PSIKOLOG DAN WARIA, ADA APA? Andrian Liem Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra, Surabaya
[email protected] Waria atau transgender merupakan individu yang tidak nyaman dengan alat kelamin biologis maupun norma gender yang bertentangan dengan identitas gendernya. Bagi waria, tubuh laki-laki adalah “penjara” dan mereka berusaha untuk bebas dari “penjara” tersebut dengan mengondisikan tubuhnya menjadi tubuh perempuan. Stigma dan diskriminasi terhadap waria membuat mereka sulit untuk membuka diri sehingga menjadikannya fenomena gunung es. Akan tetapi menurut Dinas Sosial/Dinas Kesejahteraan Sosial hingga tahun 2008 waria di Indonesia berjumlah 11.049 orang. Waria, yang dianggap abnormal, digolongkan sebagai patologi sosial yang mengalami penyimpangan. Akibatnya timbul pandangan bahwa waria merupakan objek yang harus didisiplinkan dan dihukum sehingga diskriminasi terhadap waria dianggap sebagai bentuk eksklusi dari segala bentuk relasi sosial. Buktinya, Komnas HAM menerima sekitar 1.000 kasus penyiksaan terhadap waria setiap tahunnya. Diskriminasi terhadap waria, yang merupakan wujud dari transphobia dan menjurus pada pelanggaran HAM, menempatkan waria ke dalam lingkaran setan: pemiskinan-prostitusi-IMS. Ironisnya, psikopatologisasi waria merupakan produk dari psikologi dan psikiatri. Akan tetapi perubahan nama Gender Identity Disorder menjadi Gender Dysphoria dalam DSM V menegaskan bahwa saat ini transgender lebih cenderung menggambarkan kondisi seseorang, bukan sebagai sebuah gangguan. Psikolog sebagai professional helper sudah seharusnya berprinsip bahwa semua manusia memiliki hak asasi yang sama, termasuk waria. Maka jawaban dari “Psikolog dan Waria, ada apa?” adalah depatologisasi. Caranya melalui psikoedukasi pada masyarakat mengenai kondisi waria agar stigma dan diskriminasi terhadap waria dapat dihapuskan dan empati publik meningkat. Psikolog juga dapat memberikan pendampingan psikologis pada waria melalui penerimaan diri, mencegah internalisasi transphobia, meningkatkan harga diri, dan membantu proses resiliensi khususnya pada waria yang mengalami kekerasan. Kata kunci: waria, transgender, patologi sosial, gender dsyphoria, transphobia, HAM Waria or transgender are individuals who uncomfortable with biological genitalia and gender norms that conflict with gender identity. For waria, male body is a "prison" and they strive to be free from it with conditioning the body to the female body. Stigma and discrimination toward waria making them difficult to be opened, it makes iceberg’s phenomenon. However, according to the Department of Social Welfare until the year 2008 amounted to 11.049 transgender people in Indonesia. Transgender, which is considered abnormal, classified as having irregularities social pathology. As a consequences, arise the view that transgender is an object that must be disciplined and punished so the discrimination towards transgender is considered as the exclusion of all forms of social relations. The evidence, National Human Rights Commission received about 1.000 cases of torture toward waria every year. Discrimination against waria, which is a form of transphobia and lead to human rights violations, placing transgender into a vicious circle: the impoverishment-prostitution-sexual infection. Ironically, psychopathologization of transgender is a product of psychology and psychiatry. However, “Gender Identity Disorder” changes into Gender Dysphoria in the DSM V is confirmed that waria are more likely to describe the condition of a person, not as a nuisance. Psychologists as a professional helper should hold the principle that all human beings have the same rights, including waria. So, the answer to "Psychologists and Transgender, What The Matter?" is depathologization. The way is through psychoeducation to the public about transgender condition in order to stigma and discrimination toward transgender can be eliminated and increase public empathy. Psychologists can also provide psychological assistance to waria through self-acceptance, preventing internalization transphobia, increase self esteem, and help the process of resilience especially waria who got violence. Key words: waria, transgender, social pathology, gender dsyphoria, transphobia, human rights
Artikel ini telah disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi 2012 “Peran Psikologi dalam Mengelola Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia”, Universitas Airlangga, 20-21 November 2012
A. PENDAHULUAN Waria atau transgender adalah individu yang tidak nyaman dengan alat kelamin biologis maupun norma gender yang bertentangan dengan identitas gendernya (Sugano, Nemoto, & Operario, 2006). Keberadaan waria di Indonesia bukan fenomena yang baru. Boellstorff (2004) menjelaskan bahwa sejak awal waria tidak terikat pada suku atau kelompok tertentu. Sejak tahun 1830-an, waria yang saat itu disebut “Bantji Batavia” telah menjadi komoditas dunia hiburan. Mereka adalah para pemuda yang berpakaian perempuan Barat dan menari di atas panggung. Jauh sebelum itu, penampilan laki-laki yang berbusana perempuan telah terekam dalam kesenian ludruk di tahun 1822. Winter (2012) memprediksi bahwa jumlah waria di dunia yang berusia 14 tahun ke atas sekitar 0,3%, atau sebanyak 9,5 juta orang pada tahun 2010. Di Indonesia Prabawanti dkk. (2011) mengestimasi jumlah waria adalah 21.000 dan Dinas Sosial/Dinas Kesejahteraan Sosial menyatakan hingga tahun 2008 waria di Indonesia berjumlah 11.049 orang. Angka tersebut seperti fenomena gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil jumlah waria di Indonesia. Stigma dan diskriminasi terhadap waria membuat mereka takut untuk membuka diri sehingga estimasi jumlah waria menjadi tidak akurat (Melendez, Bonem, & Sember, 2006). Lawrence (2010) menambahkan bahwa di negara yang budayanya tergolong kolektif, seperti Indonesia, kebebasan berekspresi individu sangat ditekan sehingga banyak waria yang menutupi identitas gendernya dan berpenampilan sesuai tuntutan sosial. Kondisi di atas merupakan hasil konstruksi sosial yang patriarkis. Yuliani (2006) menjelaskan bahwa tatanan patriarki ditandai oleh pelembagaan otoritas laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam unit keluarga. Oleh karena itu dalam budaya patriarki, relasi seksual yang dianggap normal dan dapat diterima oleh negara dan agama adalah relasi heteroseksual dalam wadah ikatan pernikahan. Relasi seksual di luar ketentuan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum negara dan agama. Tidak mengherankan jika kemudian hukum di banyak negara juga digunakan untuk mengontrol perempuan dan kelompok minoritas lainnya, termasuk waria, agar tidak keluar dari peran dan karakteristik gender yang telah dikonstruksi. Di beberapa negara kontrol tersebut disertasi dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan oleh lembaga pengadilan. Untuk memaksakan peran atau karakteristik gender yang diharapkan oleh nilai sosial atau norma keagamaan, negara seringkali menggunakan pendekatan paksaan dan kekerasan (Epstein dalam Yuliani). Pandangan negatif negara terhadap waria tercermin dalam Pedoman Umum Pelayanan Sosial (Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2008). Di bagian pendahuluan disebutkan bahwa kehidupan waria cenderung hidup bergelamor dan eksklusif atau membatasi diri pada komunitasnya saja. Sedangkan secara sosial mereka terkucilkan atau didiskriminasi oleh masyarakat maupun keluarganya sendiri, mengganggu ketertiban umum, dan pemalas. Menurut Departemen Sosial, waria adalah aib dan mendatangkan kesialan bagi keluarganya sehingga mereka tidak diakui sebagai anggota keluarga. Media massa juga turut serta menstigma waria. Ida (2010) melaporkan bahwa media cetak surat kabar maupun televisi mempunyai kecenderungan yang sama dalam meliput waria. Hasil penelitian Ida menunjukkan bahwa Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐2‐
waria dianggap sebagai orang-orang yang terbuang atau sampah masyarakat, yang selalu menjadi objek razia dari aparat berwenang maupun organisasi masyarakat. Sosok sampah masyarakat menjadi salah satu identitas yang ditempelkan pada komunitas waria di Indonesia. Tidak hanya itu, waria juga seringkali diidentikan dengan prostitusi. Alternatif lainnya, waria dianggap sebagai makhluk lucu yang pantas untuk dijadikan konsumsi hiburan dan ditertawakan seperti yang dijual oleh pelawak Tessy maupun almarhum Benyamin dalam “Bety Bencong Slebor” di tahun 1978. Hal yang ironis adalah negara Indonesia memiliki landasan bernama Pancasila. Sila ke-2 dan ke-5 berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal yang sama juga tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan. Akan tetapi melihat realita yang ada, sepertinya waria adalah makhluk asing yang tidak berhak diperlakukan adil dan beradab serta memiliki harkat dan martabat yang setara dengan warga negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu dalam makalah ini, para pembaca yang budiman diajak untuk membuka mata hatinya agar dapat melihat kondisi waria yang dimarjinalkan. Setelah mata hati para pembaca terbuka, khususnya para psikolog, mau ikut menegakkan hak asasi waria yang juga manusia dengan harkat dan martabat sama seperti manusia lainnya. Ajakan tersebut sebenarnya memiliki landasan yang kuat karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya maupun Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik. Indonesia juga mengakui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta, pada tahun 2007 lahir Yogyakarta Principles, yaitu Principles on the Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and Gender Identity. Usaha memanusiakan waria juga telah ditempuh oleh Gubernur Jakarta pada tahun 1972. Ali Sadikin saat itu mendukung terbentuknya Himpunan Wadam dan menegaskan bahwa waria harus dipandang sebagai manusia yang juga warga negara Indonesia (Boellstorff, 2004). B. KAJIAN PUSTAKA 1. Transphobia dan HAM Waria dianggap sebagai abnormalitas karena masyarakat hanya mengenal dikotomis laki-laki atau perempuan. Pada umumnya seseorang dianggap normal jika identitas gender selaras dengan jenis kelamin yang tampak. Masyarakat hanya memahami alat kelamin fisik sebagai penentu perilaku seseorang. Perasaan atau batin dalam diri seseorang yang membuatnya merasa sebagai laki-laki atau perempuan tidak diakui masyarakat sebagai indikator identitas gender. Dampaknya pada waria, masyarakat menganggap mereka sebagai sampah dan penyakit masyarakat. Sebagai “sebuah sampah” maka waria harus dibersihkan (Yuliani, 2006). Yuliani (2006) menjelaskan bahwa fenomena di atas disebut sebagai normalisasi, yaitu terdapat pihak yang menentukan dan ditentukan sebagai
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐3‐
normal atau abnormal. Pihak yang menentukan standar secara otomatis menganggap diri lebih normal. Sebaliknya, pihak yang ditentukan standar itu dengan mudah dikategorikan abnormal dan sering digolongkan sebagai patologi sosial yang mengalami penyimpangan. Pemikiran tersebut membawa pada pandangan bahwa pihak kedua merupakan objek yang harus didisiplinkan dan dihukum. Berdasarkan pandangan itu, diskriminasi terhadap waria dianggap hal yang wajar sebagai bentuk eksklusi atau penyingkiran waria dari segala bentuk relasi sosial. Stigmatisasi yang lahir dari konstruksi gender menjadi pemicu rasa takut akan yang lain atau yang berbeda. Rasa takut tersebut menjadi semakin kuat karena tidak ada interaksi sosial. Waria yang distigma tidak dilihat sebagai individu melainkan sebagai elemen kelompok yang didiskreditkan. Ketakutan yang dimiliki masyarakat kemudian menjalar ke negara. Pemberian pelayanan atau pemenuhan kebutuhan publik para waria oleh negara dalam bentuk pengakuan identitas seperti KTP, kesempatan mengakses pendidikan, layanan kesehatan dan pekerjaan akan dianggap sebagai penerimaan negara terhadap perilaku abnormal (Yuliani, 2006). Cukup sering diberitakan bahwa perlakuan terhadap waria selama proses penangkapan oleh pihak berwajib dengan jelas memperlihatkan bahwa waria tidak diperlakukan secara manusiawi. Diskriminasi terhadap waria di Indonesia dimulai sejak akhir 1950an dan 1960-an. Sebelum periode tersebut, waria lebih terbuka dalam mengekspresikan diri dengan menggunakan busana perempuan. Akan tetapi kemudian terjadi kekerasan yang ditujukan kepada waria sehingga mereka menggunakan baju perempuan hanya pada saat tampil di panggung atau menjadi pekerja seks saat malam hari. Di tahun-tahun tersebut sudah dapat ditemui kasus kekerasan yang menimpa waria. Pada sebuah kasus, waria dipukuli hingga berdarah, direndam dalam air, dan jarinya didekatkan ke korek api. Ironisnya pelaku kekerasan tersebut adalah ayah dan saudara laki-laki yang menganggap waria tersebut sebagai aib keluarga (Boellstorf, 2004). Stigma yang sering diberikan kepada waria adalah adalah sakit jiwa, tidak bermoral, dan penyimpangan. Berbagai stigma tersebut mendorong munculnya transphobia, yaitu diskriminasi sosial pada individu yang tidak sesuai dengan norma budaya terkait seksual dan gender (Sugano, Nemoto, & Operario, 2006). Bentuk transphobia ada dua macam, yaitu aktif (secara intensional ditujukan pada waria) dan pasif (tidak mengakui eksistensi transgender). Sugano, Nemoto, dan Operario (2006) menjelaskan bahwa transphobia termanifestasi dalam diskriminasi ketika waria melamar pekerjaan dan tempat tinggal, kekerasan, pelecehan, dan sulit mengakses layanan kesehatan. Transphobia juga berdampak pada rendahnya penelitian epidemiologi HIV pada komunitas tersebut dan seringkali digabung dengan data dari kelompok homoseksual sehingga data yang diperoleh menjadi tidak akurat. Oey (2011) merangkum pola dan bentuk diskriminasi terhadap waria yang dapat dilihat pada Tabel 1. Diskriminasi tersebut juga sejalan dengan paparan Yuliani (2006).
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐4‐
Pola Verbal Spasial Pencitraan Akses pekerjaan Akses kesehatan
Bentuk Cemooh Transphobia; pengucilan; pengusiran Eksploitasi peran waria di acara televisi; pemberitaan tentang waria hanya menampilkan berita negatif. Penolakan lamaran pekerjaan hanya karena beridentitas waria walaupun memenuhi persyaratan yang diajukan. Akses obat ARV terbatas; banyak RS menolak pasien waria; perlakuan petugas kesehatan yang diskriminatif terhadap pasien waria; diminta membayar lebih; jenazah waria tidak dimasukkan ke dalam ruang pendingin.
Tabel 1. Bentuk Diskriminasi Terhadap Waria
Yavis, Rian, Fo, Rizal, dan Deci (2011) memaparkan hal serupa. Dalam laporannya disebutkan bahwa waria dipersulit mengurus KTP karena alasan nama laki-laki yang tertera tetapi foto yang dimuat wajah perempuan. Ketika ingin berobat ke rumah sakit waria juga dipersulit aksesnya maupun selalu diberi kamar yang tersendiri dan jauh dengan alasan mengganggu pasien lain. Diskriminasi juga diberikan oleh polisi ketika waria meminta bantuan penegakan hukum. Polisi bukan menanyakan masalah yang menimpa mereka tetapi bertanya apakah mereka laki-laki atau perempuan. Di tataran sosial, waria sulit mencari tempat kos mulai dari diusir oleh pemilik kos hingga masyarakat sekitar kos yang tidak menyetujui waria tersebut tinggal. Selain kesulitan mengakses pelayanan publik waria juga kerap kali mendapat kekerasan seperti penyerangan oleh sebuah organisasi masyarakat ketika waria mengadakan lomba voli. Fenomena diskriminasi di atas menjurus pada pelanggaran HAM. Liem, Hertati, dan Ubasisa (2011) menjelaskan bahwa pelanggaran HAM secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB), serta hak sosial dan politik (SIPOL). Buktinya adalah Komisi Nasional (Komnas) HAM setiap tahun menerima sekitar 1.000 kasus penyiksaan terhadap waria (KBR68H, 2009). Angka tersebut memang terkesan sedikit tetapi perlu diingat bahwa waria juga seorang manusia yang berhak memiliki kehidupan yang layak. Di samping itu transphobia juga memiliki pengaruh yang signifikan bagi kesehatan mental waria. Hasil penelitian Sugano, Nemoto, dan Operario (2006) menunjukkan bahwa transphobia berkorelasi positif dengan depresi dan berkorelasi negatif dengan harga diri. Selain itu proporsi waria terinfeksi HIV lebih tinggi pada mereka yang mengalami kekerasan daripada waria yang tidak mengalami kekerasan. Di sisi lain, dukungan sosial berkorelasi negatif dengan depresi yang dialami oleh waria. 2. Lingkaran Setan: Pemiskinan-Prostitusi-IMS Boellstorff (2004) memaparkan bahwa waria mulai mengalami diskriminasi sejak 1950-1960 dan membuat ruang gerak mereka menjadi sempit. Akibatnya mulai tahun 1980-an terlihat waria hanya berkutat dalam tiga bidang ekonomi, yaitu pemilik salon, bekerja di salon, dan pekerja seks. Menurut Yuliani (2006), pendidikan rendah menutup kesempatan bagi banyak waria untuk mendapatkan kehidupan layak Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐5‐
sebagai seorang manusia. Akan tetapi pendidikan yang tinggi juga tidak menjamin waria mendapatkan pekerjaan yang layak seperti diungkap oleh Supriyadi dan Patuha (2009). Masyarakat memang masih belum bisa menerima waria. Mencari pekerjaan menjadi hal yang teramat sulit, baik itu bekerja di sektor formal maupun informal. Kutipan berikut dari Yulianus Rettoblaut, Ketua Waria Indonesia, dapat menggambarkan pemarginalan waria di Indonesia (Sari, 2012): "Tapi ketika mereka ini mau bekerja di sektor formal dan tahu kalau mereka ini waria, mereka tidak akan diterima. Dan kalau mereka sudah bekerja dan tahu kalau waria, mereka akan dikeluarkan. Begitu juga kepada non-formal. Seperti mereka bekerja di salon-salon besar, enggak bisa. Karena salon besar itu tetap menuntut mereka berpenampilan laki-laki. Tapi mereka yang waria ini, lebih baik tidak bekerja daripada tidak berpakaian perempuan."
Kalimat terakhir di atas mencerminkan apa yang dirasakan oleh para waria. Bagi mereka, tubuh laki-laki adalah penjara sehingga lebih baik mereka menderita daripada harus tampil sesuai kondisi fisik (alat kelamin) yang dimiliki. Jika diminta memilih, waria akan lebih mempertahankan identitas gender daripada identitas alat kelaminnya. Mereka tidak mau mengorbankan identitas diri sebagai waria demi untuk dapat hidup dan bekerja yang dianggap normal oleh sebagian besar masyarakat (Yuliani, 2006). Tidak mengherankan jika kemudian waria, sebagai minoritas, memiliki mobilitas sosial tinggi dan berkumpul dalam ruang sosial antarwaria saja. Kondisi tersebut dilihat sebagai eksklusivitas oleh masyarakat maupun alat negara seperti Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (2008). Waria dipandang sebagai kelompok yang kehilangan kemampuan untuk aktif turut serta dalam penghidupan bersama. Disfungsi sosial waria dipandang karena aspek biologisnya, permasalahan dalam pergaulan sosial, perilaku seksual beresiko dan rawan dari berbagai jenis IMS (Infeksi Menular Seksual), serta kerawananan sosial lain. Waria bukan saja terasing dari masyarakat tetapi juga mengalami penolakan dari keluarganya. Rendahnya tingkat pendidikan dan diskriminasi dari lingkungan sosial mendorong waria untuk hidup mandiri. Sementara lapangan pekerjaan yang tersedia membutuhkan keahlian, keterampilan, dan pendidikan tertentu. Ruang kerja yang tersedia bagi waria kemudian menjadi terbatas. Beberapa alternatif pekerjaan yang selama ini dijalani adalah: dunia hiburan, salon dan tata rias, penjahit, dan pilihan terakhir adalah dunia prostitusi. Untuk menekuni “pekerjaaan perempuan”, tidak semua lapangan pekerjaan memberi kesempatan yang sama kepada waria. Sedangkan untuk “pekerjaan laki-laki”, perasaan mereka tidak cocok dengan realitas fisiknya (Bustomy, 2011). Pemiskinan pada komunitas waria memaksa mereka untuk bekerja sebagai pekerja seks (Melendez, Bonem, & Sember, 2006). Kondisi tersebut menjadi sorotan utama oleh masyarakat. Messwati (dalam Yuliani, 2006) menjelasan bahwa waria juga memiliki dorongan seksual tetapi sulit disalurkan melalui relasi seksual yang formal dan legal. Pada
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐6‐
praktiknya, penyaluran seksual waria tidak dalam konteks cinta kasih dan monogami. Keadaan demikian mendorong waria ke perilaku seks berisiko dan masyarakat kemudian menggeneralisasi semua waria seperti itu. Oetomo (dalam Yuliani) menegaskan bahwa social gathering waria selalu diidentifikasi sebagai tempat maksiat. Oleh sebab itu sebenarnya perilaku seks berisiko waria merupakan cerminan rasa frustasi dan depresi yang dimiliki, dan dapat disebut bunuh diri secara tidak langsung yang bertahap. Longfield, Panyanouvong, Chen, dan Kays (2011) menemukan bahwa depresi dan rendahnya harga diri waria berkontribusi pada lemahnya daya negosiasi waria dalam relasi seksual, khususnya penggunaan kondom. Lemahnya daya tawar waria juga membuat mereka tidak dapat menolak penyalahgunaan narkoba yang kemudian berkorelasi positif dengan perilaku seks berisiko (Sugano, Nemoto, & Operario, 2006). Akibatnya banyak waria terkena IMS, salah satunya adalah HIV. Secara global diperkirakan 68% waria terinfeksi HIV dengan peningkatan kasus sebesar 3,4 hingga 7,8 per 100 orang per tahun. Di Jakarta selama 2003-2007 prevalensi waria yang terinfeksi HIV meningkat dari 25% menjadi 34% (Winter, 2012). Sumariyah, Latif, dan Purnomo (2011) menambahkan bahwa waria rentan terhadap penularan HIV karena mobilitasnya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menghindari diskriminasi dari lingkungan sosial. Diskriminasi oleh petugas kesehatan juga membuat waria enggan memeriksakan kesehatan dan status HIV mereka (Oey, 2011; Tanjung, 2010). Kondisi lain yang terkait dengan isu kesehatan waria adalah penyalahgunaan bahan kimia dan malpraktik medis. Waria berusaha untuk membebaskan diri dari tubuh laki-laki yang dianggap sebagai penjara. Usaha yang dilakukan adalah mengondisikan tubuhnya menjadi tubuh perempuan, mulai dari menggunakan kosmetik dan busana perempuan, menyuntikkan silikon cair di beberapa bagian tubuh, hingga operasi penyesuaian alat kelamin. Fenomena ini sudah tercatat di Indonesia sebelum tahun 1970-an (Boellstorff, 2004). Ketika itu waria meminum jamu dan menaruh balon berisi air di bawah bra yang digunakan agar terlihat lebih feminim. Usaha waria kemudian berkembang menjadi meminum pil pengontrol kehamilan atau dengan suntik hormon. Berakar dari suntik hormon, mulai timbul masalah kesehatan pada waria. Tidak ada fasilitas kesehatan yang mau menerima pasien waria. Penolakan tersebut karena waria tidak memiliki kartu identitas maupun dengan alasan mengganggu pasien lainnya. Tanpa kartu identitas, waria juga sulit untuk mengajukan asuransi kesehatan. Implikasinya, waria hanya menerima tindakan medis yang tidak aman, tanpa supervisi, dan berisiko kematian (Melendez, Bonem, & Sember, 2006). Perilaku sederhana yang dapat menjadi contoh adalah konsumsi obat antibiotik tanpa resep. Waria yang mengalami IMS mengira bahwa dengan hanya meminum antibiotik maka infeksinya akan sembuh. Kondisi tersebut diperparah dengan mudahnya membeli antibiotik tanpa resep di Indonesia yang berisiko pada resistensi obat, keracunan obat, maupun dosis berlebih. Berita waria meninggal akibat malpraktik suntik silikon juga sempat membuat heboh (Afriansyah, 2008; Priliawito, & Mahaputra, 2010;
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐7‐
Rhyma, 2010). Biaya yang murah dan akses yang mudah telah mendorong waria terburu-buru mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan risiko kematian yang mengintainya. 3. Depatologisasi, Psikolog Sebagai Professional Helper Hampir semua waria mengalami masalah psikososial seperti rasa rendah diri, depresi, bunuh diri, kekerasan seksual, penyalahgunaan obat, IMS, putus sekolah, dan pengangguran. Pada masyarakat yang hidup di dunia Timur, masalah tersebut merupakan fenomena gunung es karena banyak waria yang menutupi identitasnya karena takut dikucilkan oleh masyarakat (Wiryawan dalam Yuliani, 2006). Sebelum identitas gender ditemukan, para ahli menganggap bahwa waria merupakan orang abnormal yang perlu disembuhkan dengan gender reparative therapy. Akan tetapi kini disadari bahwa identitas gender lebih kuat daripada alat kelamin yang terlihat wujudnya. Oleh karena itu jika seorang waria diminta menyelaraskan antara perilaku dan alat kelamin yang dimiliki maka mereka akan memilih untuk merubah alat kelaminnya. Walau demikian, masyarakat awam hingga kini masih memberi label “abnormal” bagi kelompok waria. Hal yang menyedihkan adalah psikopatologisasi tersebut merupakan warisan psikologi dan psikiatri. Bahkan hingga saat ini psikolog dan psikiater Indonesia masih mengacu kepada PPDGJ III (Departemen Kesehatan RI, 1993) untuk mendiagnosis waria ke dalam Gangguan Identitas Jenis Kelamin (F64), khususnya sebagai Transseksualisme (F64.0) atau Transvestisme Peran Ganda (F64.1). Padahal ilmu psikiatri dan psikologi terus berkembang dan menunjukkan bahwa transgender lebih cenderung menggambarkan kondisi seseorang, bukan sebagai sebuah gangguan. Hal ini jelas terlihat dalam rancangan DSM V yang mengubah Gender Identity Disorder menjadi Gender Dysphoria. Dalam halaman situs DSM V tertulis” It is proposed that the name gender identity disorder (GID) be replaced by “Gender Incongruence” (GI) because the latter is a descriptive term that better reflects the core of the problem: an incongruence between, on the one hand, what identity one experiences and/or expresses and, on the other hand, how one is expected to live based on one’s assigned gender (usually at birth). In a recent survey that we conducted among consumer organizations for transgendered people, many very clearly indicated their rejection of the GID term because, in their view, it contributes to the stigmatization of their condition. ... Although the DSM-IV diagnosis of GID encompasses more than transsexualism, it is still often used as an equivalent to transsexualism. ... Furthermore, in the DSM-IV, gender identity and gender role were described as a dichotomy (either male or female) rather than a multi-category concept or spectrum. .... Taking the above regarding the avoidance of male-female dichotomies into account, in the new formulation, the focus is on the discrepancy between experienced/expressed gender (which can be either male, female, inbetween or otherwise) and assigned gender (in most societies male or
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐8‐
female) rather than cross-gender identification and same-gender aversion.
Menanggapi hal di atas, psikolog sebagai seorang professional helper sudah seharusnya memegang teguh prinsip umum yang terdapat dalam Kode Etik Psikologi (HIMPSI, 2010), yaitu penghormatan pada harkat martabat manusia. Kesadaran tersebut menjadi jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul makalah ini (psikolog dan waria, ada apa?), yaitu depatologisasi. Melalui depatologisasi, label “abnormal” yang dilekatkan pada waria dilepas sehingga stigma dan diskriminasi yang mereka terima dapat direduksi. Depatologisasi yang dilakukan oleh psikolog bersifat dua arah, yaitu ditujukan pada komunitas waria dan masyarakat luas (Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2008; Yuliani, 2006). Salah satu contoh depatologisasi adalah yang dilakukan oleh pemerintah Thailand. Di sana pemuda berusia di atas 18 tahun harus mengikuti wajib militer tetapi selalu mendiskualifikasi waria serta mengklasifikasikan mereka "memiliki gangguan mental permanen". Pada tahun 2011 Pengadilan Pusat Administrasi di Bangkok memutuskan bahwa pemberian label “waria adalah penderita penyakit mental” tidak akurat dan melanggar hukum sehingga harus dihapuskan (Wartanews, 2011). Pada tataran internal waria, Sugano, Nemoto, dan Operario (2006) menyarankan bahwa identifikasi diri secara dini dapat membantu waria untuk lebih cepat melakukan penerimaan diri. Para waria dalam penelitian Boellstorff (2004) mengaku bahwa mereka sudah merasakan diri sebagai waria sejak remaja, bahkan beberapa di antaranya sejak berusia lima tahun. Penerimaan diri yang baik berkorelasi positif dengan perilaku seks yang aman sehingga waria juga terhindar dari IMS. Implementasinya, intervensi perlu ditujukan pada waria remaja agar dapat menerima dirinya, siap menghadapi stigma dan diskriminasi, dan menjaga agar harga diri mereka tidak turun. Bagi waria yang mengalami kekerasan, psikolog dapat memberikan pendampingan psikologis dengan tujuan mencegah internalisasi transphobia, meningkatkan harga diri, dan membantu proses resiliensi (Radix, 2011; Ratnam, Goh, & Tsoi, 1991; Sugano, Nemoto, & Operario). Brown dan Rounsley (1996) menjelaskan bahwa waria membutuhkan terapi untuk mengurangi kecemasan, depresi, dan emosi negatif. Selain itu psikolog juga dapat membantu waria untuk merancang tujuan hidup dan kebutuhan di masa depan, serta menjadi penghubung antara waria --yang terisolasi dan tanpa dukungan sosial-- dan masyarakat. Oleh karena itu psikolog harus nonjudgemental dan open minded. Hasil penelitian Prabawanti dkk. (2011) menunjukkan bahwa waria yang memiliki pengetahuan tentang pencegahan HIV lebih konsisten menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual. Berdasarkan temuan tersebut, psikolog bisa mendorong waria agar berperilaku seks yang aman. Longfield, Panyanouvong, Chen, dan Kays (2011) menemukan bahwa komunikasi interpersonal merupakan intervensi yang efektif dalam pencegahan HIV pada waria, salah satunya dengan metode pendidik sebaya. Intervensi lainnya adalah meningkatkan harga diri waria dan daya negosiasi untuk menggunakan kondom. Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐9‐
Depatologisasi yang ditujukan kepada waria harus bersifat berkesinambungan dan pada akhirnya mereka dapat memberdayakan dirinya sendiri. Bustomy (2011) dan Yuliani (2006) menerangkan bahwa psikolog perlu membantu waria memperbaiki citra dirinya dan membentuk organisasi waria. Organisasi waria adalah alat yang paling efektif untuk menghapus ekslusivitas karena interaksi waria bergerak dari dari ruang sosial antarwaria menuju ke ruang sosial masyarakat. Sejauh ini sudah ada beberapa organisasi waria yang tersebar di berbagai daerah. Tantangan yang dihadapi oleh organisasi waria adalah menjaga kelanggengan organisasi dan ketergantungan pada figur pemimpin organisasi. Melihat realita tersebut, psikolog dapat memberikan pendampingan tentang kepemimpinan dan organisasi. Seperti yang telah dipaparkan bahwa organisasi waria adalah alat efektif untuk mereduksi eksklusivitas. Selain itu organisasi waria juga dapat digunakan sebagai jembatan untuk depatologisasi yang diarahkan ke masyarakat. Tujuan depatologisasi pada masyarakat adalah penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap waria, serta meningkatnya empati publik. Psikolog dapat memberikan psikoedukasi tentang identitas gender dan seluk-beluk waria untuk mewujudkan tersebut. Akan tetapi depatologisasi kepada masyarakat akan terasa berat jika psikolog hanya bekerja sendiri sementara komunitas waria tidak menunjukkan citra yang positif. Oleh karena itu depatologisasi kepada waria dan masyarakat harus dilakukan bersamaan. Menurut Bustomy (2011), dengan melakukan keduanya secara bersamaan maka gembok pintu pengakuan legal formal bagi waria akan mulai terbuka.
C. PENUTUP Sebagai kesimpulan sekaligus penutup, Gambar 1 dapat meringkas kondisi waria dan peran psikolog dalam memanusiakan waria melalui depatologisasi.
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐10‐
Gambar 1. Dinamika Waria dalam Budaya Patriarki dan Depatologisasi
Waria dalam budaya patriarki
Untuk masyarakat: Psikoedukasi tentang identitas gender (waria)
Depatologisasi Stigma
-Antibiotik -Suntik silikon -Suntik hormon -Pil hormon
Untuk waria: -Identifikasi dini -Penerimaan diri -Pendampingan psikologis -Pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi -Kepemimpinan dan organisasi
-Rendah diri -Penyalahgunaan narkoba -Depresi -Bunuh diri
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐11‐
DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, R. (2008). Dua Waria Kasus Pembunuhan Ditangkap. Diunduh dari http://www.indosiar.com/patroli/dua-waria-kasus-pembunuhanditangkap_53529.html pada tanggal 10 Agustus 2012. APA.
(2012). DSM V. Diunduh dari http://www.dsm5.org/ProposedRevisions/Pages/proposedrevision.aspx?rid= 482 pada tanggal 1 Agustus 2012.
Boellstorff, T. (2004). Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites. Cultural Anthropology, 19 (2), 159-195. Brown, M.L., & Rounsley, C.A. (1996). True Selves: Understanding Transsexualism – For Families, Friends, Coworkers, and Helping Professionals. USA: Jossey-Bass. Busey, K. (2011). Depathologization of Transsexulism: Removal from the DSM Good or Bad? Diunduh dari http://dallastaa.ning.com/profiles/blogs/depathologization-of-transsexulismremoval-from-the-dsm-good-or-b pada tanggal 10 Agustus 2012. Bustomy, M. (2011). Transeksual dalam Lipatan Stigma. Diunduh dari http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/18/transeksual-dalam-lipatanstigma/ pada tanggal 10 Agustus 2012. Cohen-Kettenis, P.T., & Pfäfflia, F. (2003). Transgenderism and Intersexuality in Childhood and Adolescence: Making Choices. California: Sage. Dailymail. (2012). Indonesia's 'Complex' Attitude to Transgenders. Diunduh dari http://www.dailymail.co.uk/news/article-2110437/Revealed-BarackObamas-gay-transgender-prostitute-nanny-cracked-trying-motherslipstick.html#ixzz256LTPnNs pada tanggal 10 Agustus 2012. Departemen Kesehatan RI. (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. (2008). Pedoman Umum Pelayanan Sosial Waria. Jakarta: Dinas Sosial. Galop. 2012. Transphobia. United Kingdom: Galop. HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Psikologi Indonesia. Ida, R. (2010). Respon Komunitas Waria Surabaya terhadap Konstruk Subyek Transgender di Media Indonesia. Judul Jurnal, 23 (3), 221-228. IDAHO. (2011). IDAHO report 2011 – Indonesia. Diunduh dari http://www.dayagainsthomophobia.org/IDAHO-report-2011-Indonesia,1193 pada tanggal 10 Agustus 2012. KBR68H. (2009). Diskriminasi Waria di Indonesia. Diunduh dari http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/diskriminasi-waria-di-indonesia pada tanggal 10 Agustus 2012. Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐12‐
Lawrence, A.A. (2010). Societal Individualism Predicts Prevalence of Nonhomosexual Orientation in Male-to-Female Transsexualism. Arch Sex Behave, 39, 573-583. doi: 10.1007/s10508-008-9420-3. Liem, A., Hertati, A.V.L., & Ubasisa, V.W. (2011). Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia. Dipresentasikan pada Psychology Village 2 – Harmotion. Tangerang: Fakultas Psikologi UPH. Longfield, K., Panyanouvong, X., Chen, J., & Kays, M.B. (2011). Increasing Safer Sexual Behavior among Lao Kathoy Through an Integrated Social Marketing Approach. BMC Public Health, 11, 872-883. Melendez, R.M., Bonem, L.A., & Sember, R. (2006). On Bodies and Research: Transgender Issues in Health and HIV Research Articles. Sexuality Research & Social Policy: Journal of NSRC, 3 (4), 21-38. Morineau, G., Nugrahini, N., Riono, P., Nurhayati, Girault, P., Mustikawati, D.E., & Magnani, R. (2011). Sexual Risk Taking, STI and HIV Prevalence among Men Who Have Sex with Men in Six Indonesian Cities. AIDS Behav, 15, 1033-1044. doi: 10.1007/s10461-009-9590-6. Nugroho, Y.T.W. (2012) . Kelas Pengantar Studi HAM (A) 2012: Diskriminasi Terhadap Waria. Diunduh dari http://kelaspshama2012.blogspot.com/2012/03/diskriminasi-terhadapwaria.html pada tanggal 10 Agustus 2012. Oey, K. (2011). Hak-hak ODHA dan LGBT dalam Persoalan HIV/AIDS. Jakarta: Arus Pelangi. Pikiran Rakyat. (2012). Waria Mantan Pengasuh Obama Kecil Dikenal Telaten Merawat. Diunduh dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/179681 pada tanggal 10 Agustus 2012. Planasari, S., Nedwika, A., Decilya, S., & Jobpie. (2010). Alter Ditahan dengan Tuduhan Memalsukan Jenis Kelamin. Diunduh dari http://17-081945.blogspot.com/2010/05/koran-digital-alter-ditahan-dengan.html pada tanggal 10 Agustus 2012. Prabawanti, C., Bollen, L., Palupy, R., Morineau, G., Girault, P., Mustikawati, D.E., Majid, N., Nurhayati, Aditya, E.R., Anartati, A.S., & Magnani, R. (2011). HIV, Sexually Transmitted Infections, and Sexual Risk Behavior among Transgenders in Indonesia. AIDS Behav, 15, 663-673. doi: 10.1007/s10461-010-9790-0. Priliawito, E., & Mahaputra, S.A. (2010). Dewi Tewas Setelah Suntikan Silikon di Pantat. Diunduh dari http://metro.news.viva.co.id/news/read/124333waria_tewas_setelah_suntik_silikon_di_bokong?utm_source=feedburner&u tm_medium=twitter&utm_campaign=Feed%253A+vivanews%252Fwphead lines+%28Viva+News+Headlines%29 pada tanggal 10 Agustus 2012. Priyanto, W. (2011). Pengesahan terhadap Pergantian Kelamin. Diunduh dari http://waktuterindah.blogspot.com/2011/02/pengesahan-terhadappergantian-kelamin.html pada tanggal 10 Agustus 2012.
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐13‐
Radix, A. (2011). HIV Prevention and Treatment for Transgender Individuals. New York: Callen Lorde Community Health Center. Ratnam, S.S., Goh, V.H.H, & Tsoi, W.F. (1991). Cries from Within: Transsexualism, Gender Confusion and Sex Change. Singapore: Longman. Republika. (2012). Mantan Pengasuh Obama: Pernah Jadi Waria Penghibur di Jalanan. Diunduh dari http://sosok.kompasiana.com/2012/03/06/mantanpengasuh-obama-pernah-jadi-waria-penghibur-di-jalanan/ pada tanggal 10 Agustus 2012. Rhyma. (2010). Usai Suntik Silikon di Payudara, Seorang Waria Tewas. Diunduh dari http://surabaya.detik.com/read/2010/11/12/171550/1493201/475/usaisuntik-silikon-di-payudara-seorang-waria-tewas pada tanggal 10 Agustus 2012. Sari, D. (2012). Sang Pejuang Waria Siap Masuk Komnas HAM. Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/02/08/078382583/Sang-PejuangWaria-Siap-Masuk-Komnas-HAM pada tanggal 10 Agustus 2012. Sugano, E., Nemoto, T., & Operario, D. (2006). The Impact of Exposure to Transphobia on HIV Risk Behavior in a Sample of Transgendered Women of Color in San Fransisco. AIDS and Behavior, 10 (2), 217-225. doi: 10.1007/s10461-005-9040-z. Sumariyah, Latif, R.V.N., & Purnomo, I. (2011). Studi Kualitatif Perilaku Seksual Waria Pekerja Seks dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Kota Pekalongan. Pena Media Jurnal Kesehatan, 3 (1). Supriyadi, O., & Patuha, S. (2009). Stigma dan Diskriminasi Pada Waria. Diunduh dari http://www.satudunia.net/content/stigma-dan-diskriminasipada-waria pada tanggal 10 Agustus 2012. Tanjung, S. (2010). Waria Masih Mendapat Perlakuan Diskriminasi. Diunduh dari http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=117835:waria-masih-mendapat-perlakuandiskriminasi&catid=14&Itemid=27 pada tanggal 10 Agustus 2012. Tempo. (2011). Alasan Waria Ogah Pakai Kondom. Diunduh http://www.aidsindonesia.or.id/alasan-waria-ogah-pakai-kondomtempointeraktif-com.html pada tanggal 10 Agustus 2012.
dari
Tribun. (2012). Biaya Operasi Kelamin Rp 30 Juta. Diunduh http://forum.tribunnews.com/showthread.php?506718-Biaya-OperasiKelamin-Rp-30-Juta pada tanggal 10 Agustus 2012.
dari
Wartanews. (2011). Thailand: Waria Bukan Penyakit. Diunduh dari http://www.wartanews.com/internasional/96be0202-2655-7b71-19c697189842a138/thailand-waria-bukan-penyakit pada tanggal 10 Agustus 2012. Winter, S. 2012. Lost in Transition: Transgender People, Rights, and HIV Vulnerability in the Asia-Pacific Region. Thailand: UNDP Asia-Pacific Regional Centre. Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐14‐
Yavis, Rian, Fo, Rizal, & Deci. (2011). Transgender: Memupus Diskriminasi, Mendorong Keadilan. Diunduh dari http://sejuk.org/pers-kampus/63-perskampus/169-transgender-memupus-diskriminasi-mendorong-keadilan.html pada tanggal 10 Agustus 2012. Yogyakarta Principles. (2007). The Yogyakarta Principles: Principles on the application of international human rights law in relation to sexual orientation and gender identity. Diunduh dari www.yogyakartaprinciples.org pada tanggal 10 Maret 2010. Yuliani, S. (2006). Menguak Konstruksi Sosial di balik Diskriminasi Terhadap Waria. Jurnal Sosiologi Dilema, 18 (2), 1-11.
Andrian Liem (
[email protected]) Psikolog dan Waria, Ada Apa?
‐15‐