Editorial Kolokium Psikologi Indonesia ke-19 telah diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat, pada 30 April sampai dengan 2 Mei 2009. Kolokium Psikologi Indonesia, yang merupakan wadah berkumpulnya institusi penyelenggara pendidikan psikologi di Indonesia, telah menyepakati sejumlah hal, antara lain metamorfosis diri menuju sebuah organisasi yang berbadan hukum serta pengubahan nama "Magister Profesi Psikologi" atau pun “Program Pendidikan Profesi Psikologi Jenjang Magister (P4JM)” menjadi "Magister Psikolog". Mengenai hal yang terakhir ini, naskah kajian akademik masih dipersiapkan dalam rangka pengajuannya ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI untuk kodifikasi, meskipun pendidikan akademik yang menghasilkan psikolog profesional telah ada sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bersama antar Dekan Fakultas Psikologi se-Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia/Himpsi No. 02/KOL.PSI/02, 25 Oktober 2002. Nampaknya, justru kajian epistemologis yang mendalam terhadap nama dan substansi “Magister Psikolog” masih perlu terus dilakukan, dan memang tidak cukup dengan sekadar perbandingan analogis dengan “persenyawaan magister-profesi” dalam Magister Advokat atau Magister Manajemen. Dalam periode panjang yang kita lalui sejak 2002 ini, kita menjadi semakin menyadari arti penting epistemologi dalam (pendidikan) psikologi. Dalam kolokium juga didiskusikan mengenai harapan yang besar agar penyelenggara pendidikan psikologi semakin mempersempit peluang menganggur alumnus Sarjana Psikologi dari sisi penyusunan scientific vision berupa profil dan kompetensi lulusan serta penyusunan struktur kurikulum dan rancangan pembelajaran. Terkait dengan hal ini, kesepakatan Kolokium ke-19 berupa pemerluasan dan pemerjelasan cakupan kompetensi Sarjana Psikologi menjadi, antara lain, tidak hanya mampu merancang, akan tetapi juga mampu mempraktikkan intervensi psikologis, seperti konseling terhadap problem-problem non-patologis (parameter “patologis”: kitab Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan Pedoman penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) serta pengetesan psikologis untuk testes psikologis level A dan level B, menjadi salah satu hal yang relevan. Lagi, dengan kesepakatan ini, nampaknya perlu diadakan redefinisi yang lebih presisif dan akurat terhadap terminologi “Praktik Psikologi” dalam Kode Etik Psikologi Indonesia maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Himpsi yang menurut rencana akan disahkan perubahannya pada Kongres XI Himpsi di Surakarta pada Maret 2010. Pada edisi perdana Jurnal Psikobuana ini, M. Enoch Markum mengkaji sumbangsih psikologi sosial dalam pengentasan kemiskinan, yang meliputi intervensi individual, kultural dan struktural. Apabila dikaitkan dengan harapan kolokium di atas, maka sesungguhnya kajian-kajian semacam ini sangat perlu digalakkan. Sarjana Psikologi sesungguhnya tidak perlu terus menjadi “tukang tes” melainkan juga dapat berkarya dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, seperti dalam psikologi kemiskinan (psychology of poverty). Selanjutnya, Juneman dalam artikelnya mengenai pemrofilan kriminal―bagian dari psikologi forensik―menunjukkan bahwa pelibatan penggunaan perspektif protoscience dan pseudoscience ternyata berguna dalam melihat secara lebih tepat status
epistemologis pemrofilan kriminal sebagai sebuah ilmu psikologis dan berimplikasi pada pengembangan aplikasinya. Dalam kaitan dengan ini, sudah sejak 1985, Alvin I. Goldman dalam jurnal Synthese mengingatkan kita bahwa pertanyaan-pertanyaan epistemologis pernah dilihat secara “terpisah dengan tajam (sharply separated) dari psikologi”, padahal tidak perlu seperti itu. APA (American Psychological Association) yang menjadi referensi internasional pun memiliki Divisi ke-24, yakni Society for Theoretical and Philosophical Psychology, yang tugasnya “… encourages and facilitates informed exploration and discussion of psychological theories and issues in both their scientific and philosophical dimensions and interrelationships” (APA, 2009). Dalam kaitan dengan kerja-kerja kolokium di atas, jelas bahwa kolokium psikologi bersama Himpsi saat ini memiliki urgensi justru untuk memperkuat fondasi epistemologis “Magister Psikolog”. Dalam artikel berikutnya, Eunike Sri Tyas Suci memberikan gambaran empiris perilaku jajan murid sekolah dasar di Jakarta, yang temuannya memiliki arti penting untuk menstimulasi penerapan psikologi kesehatan (psychology of health). Selanjutnya, sementara alat ukur dalam bidang psikologis banyak mengasumsikan pengukuran unidimensi, Wahyu Widhiarso melakukan kajian mengenai koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi. Pada akhirnya, Hatib Abdul Kadir, Limas Sutanto, serta Koentjoro dan Beben Rubianto berturut-turut menelaah fenomena latah dari sudut psikoantropologis, kritik Bandler terhadap kinerja psikolog dan profesi kesehatan mental lain, serta perilaku radikal umat Islam dengan pisau analisis psikologi sosial.
Penyunting
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1
ISSN 2085-4242
Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial M. Enoch Markum
i–ii
iii 1–12
Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal Sebagai Sebuah Ilmu Psikologis Juneman
13–28
Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta Eunike Sri Tyas Suci
29–38
Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi Wahyu Widhiarso
39–48
Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi) Hatib Abdul Kadir
49–59
Menyimak Kritik Bandler Limas Sutanto
60–63
Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial Koentjoro dan Beben Rubianto
64–70
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana
71-72
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 1–12
ISSN 2085-4242
Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial M. Enoch Markum Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia This article describes poverty which is a big problem on this planet, particularly in Indonesia. The estimation is that there are 1.4 billion poor people in the world and there are about 35 million poor people in Indonesia. Poverty affects several aspects of life such as: education, housing, crimes, and mental health. All of the presidents of Indonesia, many non-governmental organizations and the society, have been trying to prevent the increasing rate of poverty. Unfortunately, there is no significant result so far. Incomplete understanding about poverty might explain the non-significant result of poverty prevention. Poverty is usually stated as the poor people's lacking of entrepreneurship, of skill, and that the poor has negative personality sides. Based on this incomplete understanding, this article proposes some alternatives for comprehensive poverty elimination through individual, cultural and structural intervention. The social psychology approach for poverty eradication means that the intervention is for the individual and his/her social environment in which social structural and cultural are included. Individual intervention means that we need to cut out the poverty circle. Cultural intervention means that we need to change this deprivation culture. Structural intervention means that we need to change the paradigm about the poor held by those who deal with policies related to poverty. Keywords: poverty culture, poverty cycle, deprivation, frustration, uncontrollability, helplessness, depression, passivity, dependency, empowerment
Salah satu masalah kemanusiaan yang dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Dengan tolok ukur pendapatan per kapita 1,25 dolar AS, diperkirakan jumlah penduduk miskin di dunia 1,4 milyar orang (“Understanding poverty,” 2009). Menghadapi kenyataan ini, komunitas internasional telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya pada kesempatan
United Nations Millennium Summit tahun 2000 di New York. Hasil dari pertemuan tersebut dituangkan dalam Deklarasi Milenium yang ditandatangani oleh sejumlah negara (termasuk Indonesia) yang mempunyai sejumlah sasaran atau dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai pada tahun 2015. Di antara delapan sasaran dimaksud, 1
2
MARKUM
salah satunya adalah “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan”. Bila Indonesia berniat mematuhi Deklarasi Milenium, maka waktu yang tersisa untuk mengatasi masalah kemiskinan ini sangat pendek atau tinggal enam tahun lagi. Melihat data BPS 2008 mengenai penduduk miskin di Indonesia yang berjumlah 34,90 juta orang dan data Susenas BPS 2006 mengenai penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun yang tidak cukup signifikan, misalnya penduduk miskin tahun 2004: 36,10 juta; tahun 2005: 35,10 juta; dan tahun 2006: 39,10 juta (Brodjonegoro, 2007), maka wajar kiranya bila kita meragukan keberhasilan Indonesia mencapai MDSs tahun 2015; apalagi bila kita mencermati dampak krisis ekonomi global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang semula diperkirakan 6,0%, dengan terjadinya krisis ekonomi global 2008, menurut perhitungan Pemerintah hanya akan mencapai 4,5% (“Kemiskinan bertambah,” 2009). Demikian pula, jumlah orang miskin tahun 2009 yang semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38 juta orang akan meningkat menjadi 33,71 juta orang atau setara dengan 14,87% jumlah penduduk Indonesia. Dalam hubungan dengan kemiskinan ini, pendapat Fadhil Hasan berikut ini akan menguatkan pesimisme kita terhadap pencapaian MDGs oleh Pemerintah tahun 2015. Menurut Hasan (“Kemiskinan bertambah,” 2009), melambatnya pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan pengangguran karena setiap 1,0% pelambatan pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan 300.000 orang kehilangan kesempatan kerja. Jika angka ini dikalikan dengan empat orang anggota keluarga, maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi atau jatuh miskin. Sementara itu, terdapat
sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan dipulangkan dari luar negeri. Bila kita mencermati sejarah kemiskinan dan penanggulangannya di Indonesia, maka sebenarnya masalah kemiskinan ini tidak pernah luput dari perhatian Pemerintah, siapa pun yang menjadi presiden (Kusumaatmadja, 2007). Hal ini dapat kita saksikan dengan diawali oleh Presiden Soekarno yang menuangkan program kemiskinan dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun; Presiden Soeharto dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan lain-lain; Presiden Habibie dengan Jaringan Pengaman Sosial, Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan lain-lain; Presiden Abdurrahman Wahid dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), dan lain-lain; Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP); sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain. Di samping upaya Pemerintah, masyarakat pun ikut berperan dalam mengatasi kemiskinan, seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dengan memberikan penghargaan kepada para wirausahawan sosial (2006). Demikian pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan, antara lain LSM Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Bina Desa, Bina Masyarakat Sejahtera, dan Bina Sumber Daya Mitra. Dalam hubungan dengan peran masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan ini, perlu
3
PENGENTASAN KEMISKINAN
dikemukakan upaya seorang profesor ekonomi dari Bangladesh yang memperoleh hadiah Nobel Perdamaian 2006, yaitu Muhammad Yunus. Hal ini perlu dikemukakan karena ia telah berhasil dengan Grameen Bank-nya memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin tanpa agunan (94% perempuan) untuk digunakan sebagai modal usaha. Perlu juga diketengahkan pelibatan partai politik dalam pengentasan kemiskinan yang disayangkan perhatian dan intensitas kegiatannya baru meningkat pada saat menjelang kampanye pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah berlangsung sejak lama dan telah melibatkan pihak pemerintah, swasta, LSM, dan partai politik sebagaimana diuraikan terdahulu tampaknya belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro, 2007). Hal ini disebabkan antara lain oleh: (a) luasnya masalah kemiskinan, ±15% penduduk miskin dari seluruh penduduk Indonesia, (b) penanganan kemiskinan yang tidak terintegrasi karena ego sektoral yang sangat kuat, (c) tidak melibatkan dan memberdayakan (empowering) orang miskin dalam mengatasi kemiskinan, (d) peraturan perundangan yang tidak memihak kaum miskin, dan (e) kemiskinan dilihat sebagai masalah ekonomi dan keterampilan teknis semata-mata. Cara pandang kemiskinan yang terakhir ini (menekankan faktor ekonomi atau keterbatasan modal usaha dan keterampilan teknis) terlihat dari dikucurkannya dana yang besar oleh pemerintah dan didirikannya sejumlah balai latihan kerja (BLK), serta diselenggarakannya berbagai kursus keterampilan singkat. Sebagai ilustrasi anggaran pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dari tahun ke tahun tampak terus
meningkat: 18 triliun (tahun 2004), 23 triliun (2005), 42 triliun (2006), dan 51 triliun (2007) (Kusumaatmadja, 2007). Dalam kenyataan terbukti bahwa alokasi anggaran pengentasan kemiskinan yang naik dari tahun ke tahun ini tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna karena selain posisi tawar (bargaining position) orang miskin yang lemah, juga mereka tidak mampu melihat peluang bisnis (business opportunity) sehubungan dengan kenaikan anggaran pengentasan kemiskinan. It is important to stress that alleviating poverty is not only a matter of giving financial aid, but more significantly, giving the poor a sense of individual mastery over their lives which preserves their dignity and self respect. (Ortigas, 2000, h. 44)
Berdasarkan kutipan Ortigas di atas, jelas bahwa pengentasan kemiskinan bukan sematamata masalah permodalan dan keterampilan teknis, melainkan masalah bagaimana membangkitkan perasaan mampu mengatasi hidup di kalangan orang miskin dengan cara yang bermartabat dan menjaga harga-diri. Dalam hubungan inilah, disiplin psikologi―khususnya melalui pendekatan psikologi sosial―dapat memberikan sumbangan terhadap upaya pengentasan kemiskinan.
Akibat Kemiskinan Pembahasan mengenai akibat kemiskinan dalam tulisan ini dibatasi pada akibat kemiskinan terhadap berbagai fenomena kehidupan yang dialami oleh masyarakat miskin perkotaan sebagai akibat urbanisasi. Untuk itu marilah kita cermati perbandingan jumlah
4
MARKUM
penduduk miskin pedesaan dan perkotaan di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2006 (Susenas BPS, 2006, dalam Brodjonegoro, 2007) sebagaimana tampak dalam Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Pedesaan Tahun 2000 – 2006 Jumlah Penduduk Miskin (dalam juta orang) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Perkotaan 12,3 8,6 13,3 12,2 11,4 12,4 14,3
Pedesaan 26,4 29,3 25,1 25,1 24,8 22,7 24,8
Total 38,7 37,9 38,4 37,3 36,1 35,1 39,1
Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa secara garis besar jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih besar (hampir dua kali lebih banyak) daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan. Salah satu implikasi dari jumlah penduduk miskin yang besar di pedesaan ini adalah urbanisasi dengan segala permasalahannya di perkotaan, seperti pedagang kaki lima, pemukiman liar di pinggir rel kereta api dan bantaran kali, pengemis, anak jalanan, dan kriminalitas. Dengan perkataan lain, kemiskinan di pedesaan dengan jumlah besar mengakibatkan arus urbanisasi dan urbanisasi menghasilkan masalah sosial (social problems) di perkotaan. Secara lebih rinci, uraian mengenai akibat kemiskinan terhadap aspek kehidupan lain ini menggunakan rujukan pendapat Farley (1987) dalam bukunya American Social Problems: An Institutional Analysis. Digunakannya rujukan masalah sosial di Amerika Serikat, khususnya yang berkenaan dengan kemiskinan (poverty)
karena, menurut pendapat penulis, masalah sosial di Amerika Serikat yang dianalisis Farley pada saat itu mempunyai banyak kesamaan atau kemiripan dengan kondisi kemiskinan Indonesia tahun 2000-an. Bagaimana dan Apa Akibat Kemiskinan? Kemiskinan berakibat pada partisipasi dan kualitas orang miskin. Artinya, akses anak-anak miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas, di samping kemungkinan putus-sekolah (drop-out) juga besar. Hasil penelitian Farley (1987) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prestasi sekolah anak-anak miskin (disadvantage children) umumnya lebih rendah daripada anakanak Amerika yang tergolong beruntung (advantage children). Kondisi ini akan berdampak di kemudian hari setelah anak-anak miskin dengan pendidikan rendah ini memasuki dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi yang juga rendah atau menjadi tenaga tidak terampil (unskilled labour), bahkan menjadi penganggur (jobless). Selanjutnya, bila mereka berkeluarga, pendidikan anak-anaknya juga akan relatif sama dengan taraf dan kualitas pendidikan yang dialami orangtuanya. Demikianlah siklus pendidikan seperti ini berlangsung dari generasi ke generasi dengan akibat pewarisan kemiskinan antar generasi. Dinamika kemiskinan yang pengaruhnya timbal-balik dengan pendidikan ini berlangsung juga di Indonesia. Hal kedua, kemiskinan juga berakibat pada perumahan. Menurut Farley, dibandingkan dengan warga-negara Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin di perkotaan menempati rumah yang kurang layak huni dalam ukuran Amerika Serikat. Baik pada
PENGENTASAN KEMISKINAN
musim panas maupun musim dingin, mereka tidak menggunakan pemanas ruangan (heater) dan penyejuk ruangan (air-conditioner) karena mereka tidak mampu membayar tagihan rekening listrik. Akibatnya, kondisi rumah yang tidak mendukung kesehatan fisik ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-orang miskin. Masalah ini berkenaan dengan perumahan penduduk miskin adalah banyaknya penghuni dalam satu rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh dua atau tiga keluarga tinggal dalam satu rumah, sehingga pembayaran sewa rumah bisa ditanggung bersama. Di beberapa kota besar di Indonesia, kondisi perumahan orang-orang miskin seperti di Amerika pada waktu itu juga terjadi. Meskipun orang-orang miskin yang datang ke kota besar ini tidak tinggal dalam satu rumah, namun rumah petak yang mereka kontrak terletak di gang atau lorong sempit yang gelap dikelilingi oleh tembok-tembok pertokoan bertingkat, sehingga sebenarnya tergolong pemukiman sangat padat. Ketiga, masalah lain yang berkenaan juga dengan perumahan adalah orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal (homeless). Orang miskin yang tidak memiliki rumah ini tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga yang bisa atau mau menampung dan merawat mereka, dan dikeluarkannya pasien penyakit jiwa dari rumah-sakit jiwa. Yang ironis, menurut Farley, beberapa pemerintah kota justru mengeluarkan aturan yang melarang orang tidur di taman kota dan tempat-tempat umum. Di Indonesia kita dapati orang miskin atau gelandangan yang digusur oleh petugas
5
keamanan dan ketertiban―karena dianggap penghuni liar―tinggal di lahan pemerintah atau swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran kali. Keempat, kemiskinan juga berakibat terhadap kriminalitas. Di satu pihak, penduduk miskin dapat menjadi korban kejahatan, seperti dirampok atau diperas, karena mereka tidak cukup memiliki akses terhadap perlindungan wilayah yang mereka huni. Dalam hubungan ini Farley mengemukakan statistik nasional kejahatan di Amerika saat itu yang menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali lebih banyak dialami oleh orang miskin daripada warga Amerika yang beruntung (advantage people). Di pihak lain, orang miskin juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang beruntung, kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah terungkap dan tertangkap pelakunya. Hal ini disebabkan karena baik jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya berlangsung di tempat-tempat umum (perampokan di toko, peredaran narkoba di jalan umum, dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum). Sedangkan pola kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong kerah-putih (white collar crimes) sangat berbeda dengan pola kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin, sehingga secara relatif lebih sulit terungkap. Demikianlah, menurut Farley (1987); intinya adalah “poverty breeds crime”. Di Indonesia perbedaan pola kejahatan antara mereka yang berkerah putih dan orang miskin juga diduga sama dengan pola kejahatan Amerika di atas. Proses peradilan tindak kejahatan seperti perampokan, penjambretan, dan pencurian
6
MARKUM
berlangsung lebih cepat (karena pembuktiannya mudah) dibandingkan dengan proses peradilan terhadap pelaku tindak kejahatan kerah-putih, seperti para koruptor. Kelima, Farley juga mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa orang-orang yang berpenghasilan rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian (Dohrenwend, 1971; Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam Farley, 1987). Penelitian lain juga menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di Amerika (Campbell, Converse, & Rogers, 1976, dalam Farley, 1987). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara kemiskinan dengan gangguan mental. Bagaimana hubungan antara kemiskinan dan kesehatan jiwa di Indonesia? Penulis tidak mempunyai pengetahuan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun, beberapa kasus individual, seperti seorang siswa SMP yang bunuh-diri disebabkan oleh orangtuanya yang tidak mampu bayar SPP dan seorang ibu yang membunuh anak kandungnya sendiri, kuli bangunan yang membunuh pembantu rumahtangga, serta anggota Satpam yang membunuh penghuni rumah yang justru harus dijaganya, barangkali dapat dijadikan petunjuk mengenai adanya hubungan antara kemiskinan dengan stres yang dialami mereka sebagai akibat tekanan ekonomi atau menanggung beban hidup yang berat.
Cara Pandang Terhadap Kemiskinan Uraian mengenai kemiskinan atau orang miskin terdahulu pada intinya menggambarkan sisi negatif orang miskin, seperti mempersempit
dan mencemari sungai, pedagang kaki lima yang membuat tidak nyaman pejalan kaki dan kemacetan lalu lintas, merusak fasilitas kota, penjambretan, pengemis, dan lain-lain. Maka beralasan apabila masyarakat memandang orang miskin atau kemiskinan identik dengan kotor, kumuh, malas, sulit diatur, tidak disiplin, sumber penyakit, kekacauan, bahkan kejahatan. Dengan perkataan lain, kaum miskin dan papa ini adalah “sampah masyarakat”, sehingga mereka tidak perlu dibantu peningkatan kesejahteraannya karena pada diri kaum miskin ini sudah terinternalisasikan (internalized) “budaya-kemiskinan” yang sulit atau bahkan tidak mungkin diubah (malas, suka jalan pintas, sulit diajak berubah, tidak menghargai waktu, boros, dan berorientasi ke masa kini). Pandangan yang menyalahkan orang miskin (blaming the poor) seperti dikemukakan di atas ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog, Richard Hernstein, yang menulis buku The Bell Curve: Intelligence and Class Structure in American Life (1994), yang intinya mengemukakan taraf inteligensi (IQ) orang miskin (Levin, Iknis, Carroll, & Bourne, 2000). Menurut Hernstein, taraf inteligensi individu akan meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf sosial-ekonomi individu yang bersangkutan. Itulah sebabnya, menurut Hernstein yang kemudian didukung oleh seorang pengamat kebijakan publik bernama Charles Murray, mengapa berbagai posisi tinggi di dunia kerja diduduki oleh individu dengan kecerdasan tinggi. Maka menurut mereka berdua memang terdapat perbedaan taraf kecerdasan antara orang miskin dan orang kaya yang dasarnya bawaan atau genetis (Hernstein & Murray, 1994, dalam Levin et al., 2000). Para pakar ilmuwan sosial banyak yang tidak menerima pendapat Hernstein dan Murray
PENGENTASAN KEMISKINAN
ini. Argumentasi bahwa ada hubungan yang kuat antara taraf inteligensi dan keberhasilan inidvidu di bidang ekonomi dianggap lemah (Fraser, 1995; Fisher et al., 1996; Jacoby & Glaubermaan, 1995, dalam Farley, 1987). Bahkan oleh Michel & Nunley, buku the Bell Curve dianggap sebagai fraud atau penipuan (1997, dalam Levin et al., 2000). Hal ini karena buku tersebut merupakan upaya politik dari mereka (baca: orang kulit putih) yang menduduki jabatan tinggi untuk menghentikan atau mengakhiri affirmative action kaum miskin. Dari uraian mengenai pandangan terhadap kemiskinan di atas dapat disimpulkan dua hal: (a) terdapat pandangan yang menekankan penyebab kemiskinan pada faktor individu (budaya-kemiskinan dan inteligensi), padahal individu tidak dapat dipisahkan baik dari struktur maupun kultur masyarakat, seperti kesempatan yang tidak sama antara orang miskin dan orang kaya dalam hal memperoleh akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, serta (b) terdapat pandangan yang menekankan sisi negatif dalam memahami orang miskin (malas, suka jalan-pintas, bodoh, dan lain-lain). Padahal, menurut Herbert Gans (1972, dalam Levin et al., 2000), terdapat fungsi positif dari orang miskin atau kemiskinan, sebagai berikut: (a) orang miskin melakukan pekerjaan kotor (dirty works) dengan upah rendah, selain pekerjaan yang mengandung bahaya, tidak bermartabat, dan tidak diminati oleh kelompok masyarakat yang beruntung, misalnya, tukang sampah, tukang gali jalan, kuli bangunan tinggi, dan tukang sapu jalan, (b) orang miskin membeli atau menampung barang-barang bekas yang tidak digunakan oleh orang kaya (koran bekas, alat elektronik bekas, kipas angin, jam tangan, dan lain-lain/tukang loak), (c) orang
7
miskin dijadikan acuan oleh masyarakat untuk mengetahui posisi atau status sosial-ekonomi anggota masyarakat yang bersangkutan: sosial ekonomi tinggi, menengah, atau rendah, (d) orang miskin “menyediakan” pekerjaan bagi sejumlah posisi atau profesi yang ada; oleh karena ada orang miskin, maka “terciptalah” pekerjaan bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), institusi pemerintah, psikolog, sosiolog, kriminolog, dan lain-lain. Diajukannya pendapat bahwa kemiskinan bukan semata-mata disebabkan oleh faktor individu―melainkan juga terdapat kontribusi peran faktor struktur dan kultur masyarakat, serta adanya fungsi positif kaum miskin, dimaksudkan agar cara pandang terhadap kemiskinan menjadi utuh. Demikian pula, kemiskinan harus dipandang bukan sematamata masalah ekonomi atau keterbatasan modal dan rendahnya keterampilan orang miskin, melainkan juga berkenaan dengan masalah mentalitas orang miskin. Dengan memandang kemiskinan sebagai gejala yang utuh dan komprehensif, maka diharapkan program pengentasan kemiskinan akan lebih tepat sasaran.
Pendekatan Psikologi Sosial Sebelum mengemukakan pendekatan psikologi sosial dalam pengentasan kemiskinan, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian kemiskinan dan pengertian psikologi sosial. Kebanyakan orang umumnya akan mengasosiasikan kemiskinan dengan keterbatasan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan dasar. Pengertian kemiskinan yang sifatnya pragmatis ini memang lazim digunakan. Oleh karenanya, konsekuensi selanjutnya adalah dibedakan antara orang miskin yang benar-benar tidak
8
MARKUM
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bisa bertahan hidup (kemiskinan absolut), dan orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya karena tuntutan standar hidup (yang tinggi) dari masyarakat yang bersangkutan (kemiskinan relatif). Sebagai contoh, orang miskin yang tinggal di Jakarta tergolong kemiskinan relatif karena meskipun penghasilan orang miskin di Jakarta tergolong “lumayan”, namun mereka sangat sulit bertahan hidup di Jakarta karena tuntutan biaya hidupnya yang tinggi. Seandainya ada orang miskin di Jakarta yang penghasilannya “pas-pasan”, sehingga tidak mungkin bertahan hidup di Jakarta, maka mereka tergolong pada kemiskinan absolut. Barangkali, bila dibandingkan antara penduduk miskin perkotaan dengan penduduk miskin pedesaan, umumnya penduduk miskin perkotaan tergolong kemiskinan relatif karena, meskipun di satu pihak biaya hidup yang tinggi, di perkotaan relatif tersedia lapangan kerja di sektor informal (tukang parkir, pedagang asongan, pedagang kaki-lima, dan buruh bangunan). Sedangkan kemiskinan di pedesaan tergolong kemiskinan absolut karena, meskipun biaya hidup di pedesaan relatif rendah, namun tidak tersedia lapangan kerja sebagai sumber penghasilan. Meskipun kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan absolut dan relatif, namun dalam pembahasan pengentasan kemiskinan selanjutnya tidak secara spesifik dilakukan pemisahan atas dasar kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Selanjutnya, berikut ini dikemukakan mengenai pendekatan psikologi sosial, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan. Sebelum mengemukakan pendekatan psikologi sosial, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian
psikologi sosial secara singkat. Manusia adalah mahluk sosial yang kehidupannya tidak bisa lepas dari pengaruh orang lain atau masyarakat. Kemampuan berbicara dan berbahasa serta sopan-santun, misalnya, diperoleh dalam keluarga. Demikian pula perilaku lainnya, apakah seseorang akan menjadi individu yang tumbuh dan berkembang ke arah yang baik atau sebaliknya, ditentukan atau “dibentuk” oleh lingkungan sosialnya. Tentu saja manusia bukanlah mahluk pasif atau semata-mata dikendalikan oleh dorongan instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan, melainkan manusia bisa secara aktif merancang, bahkan merubah dunianya. Atas dasar ini ruang lingkup psikologi sosial meliputi interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, intrakelompok, dan antar-kelompok. Dalam psikologi sosial, individu diletakkan dalam konteks sosial. Atau, tingkahlaku individu bukan semata-mata ditentukan oleh individu, melainkan merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungannya. Secara rinci psikologi sosial dirumuskan sebagai “the scientific field that seeks to understand the nature and causes of individual behavior and thought in social situations” (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008: 6). Yang perlu digarisbawahi dari definisi di atas adalah upaya memahami tingkah laku dan pikiran individu dalam situasi sosial. Artinya, individu akan berperilaku berbeda pada saat di ruang kuliah, di jalanan umum, di lingkungan keluarga, dan di suatu resepsi pernikahan. Dihubungkan dengan upaya pengentasan kemiskinan, pendekatan psikologi sosial diartikan sebagai bukan hanya melakukan intervensi atau perubahan mind-set individu orang miskin, melainkan melakukan juga
9
PENGENTASAN KEMISKINAN
Deprivation
Frustration Dependency Uncontrollability Passivity Helplessness Depression
Gambar 1. Lingkaran kemiskinan intervensi lingkungan yang meliputi faktor kultural dan struktural (Levin et al., 2000). Dengan demikian, upaya pengentasan kemiskinan melalui pendekatan psikologi sosial meliputi tiga tingkatan: individual, kultural, dan struktural. Intervensi individual Untuk melakukan intervensi tingkat individual dari orang miskin terlebih dahulu perlu dipahami psikologi orang miskin (psychology of the poor). Sebagai acuan untuk memahami psikologi orang miskin digunakan gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle) dari Seligman (1975, dalam Ortigas, 2000) (lihat Gambar 1). Dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin adalah orang yang mengalami kondisi deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang miskin terhadap berbagai fasilitas layanan
umum (kesehatan, air bersih, sanitasi, pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain) sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin juga tidak bisa mengendalikan nasibnya atau hari depannya (uncontrollability) karena, selain merupakan kelompok minoritas, juga posisi tawarnya (bargaining power) lemah. Sebagai contoh, petani di pedesaan tidak bisa menentukan harga beras sesuai dengan kemauannya, sedangkan penjual pupuk atau sepeda motor dapat mendikte harga komoditi mereka kepada petani sesuai dengan yang mereka kehendaki. Akibat dari kondisi orang miskin yang tidak bisa menguasai atau mengendalikan kondisi lingkungannya (tidak memiliki posisi tawar yang kuat, peraturan yang merugikan orang miskin, dan harga kebutuhan pokok yang tidak terjangkau), orang miskin menjadi tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan merasa tidak berdaya (helpless). Selanjutnya, kondisi ini
10
MARKUM
Gambar 2. Titik-titik intervensi dalam lingkaran kemiskinan
diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity), tidak acuh atau tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam kondisi deprivasi. Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran kemiskinan di atas, tentulah terdapat hal-hal yang harus dilakukan untuk merubah mind-set orang miskin. Menurut Ortigas (2000), pada prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini dimaksudkan agar orang miskin tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan untuk itu mereka diyakinkan mempunyai kemampuan atau keterampilan tertentu (selfefficacy) yang selanjutnya akan tumbuh hargadirinya (self-esteem). Dengan dimilikinya keyakinan mampu melakukan sesuatu dan harga diri, diharapkan orang miskin akan menjadi tahan banting dan dapat bangkit kembali (self-
reliance) tatkala orang miskin menghadapi situasi yang sulit dan berat (lihat Gambar 2). Intervensi Kultural Di samping melakukan intervensi pada tingkat individual, dalam pendekatan psikologi sosial, perlu juga ada upaya intervensi kultural. Hal ini karena pada orang atau kelompok yang telah lama berada dalam kemiskinan atau mengalami deprivasi akan terbentuk budayakemiskinan yang sering diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya kemiskinan digambarkan sebagai tidak adanya perencanaan hidup dan tidak dapat menunda kesenangan, sehingga mereka tidak memiliki tabungan atau membuat anak mereka yang sekolah tidak bisa menyelesaikan sekolahnya (drop-out). Maka wajar apabila mereka miskin, karena mereka sendiri lah yang menciptakan kemiskinan untuk dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang miskin sendiri lah yang telah menggali lubang kubur kemiskinan untuk diri mereka sendiri.
PENGENTASAN KEMISKINAN
Persoalannya sekarang adalah bagaimana merubah kultur kemiskinan. Mengingat pemilik kultur kemiskinan adalah kaum miskin dengan status sosial-ekonomi rendah, maka kultur mereka harus diubah dengan kultur kelompok sosial-ekonomi menengah yang lebih bermartabat, agar mereka keluar dari kultur kemiskinan. Dalam hubungan ini, program penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tidak dapat dijadikan program jangka panjang karena justru akan berakibat memantapkan kultur kemiskinan. Program BLT hendaknya dipandang sebagai “obat sakit kepala” yang hanya sesaat menghilangkan sindrom sakit (Muluk, 2009). Sebaliknya, upaya menumbuhkan self-efficacy, self reliance, dan kemandirian melalui program empowerment, harus dijadikan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan. Intervensi Struktural Intervensi struktural perlu dilakukan dengan asumsi bahwa kemiskinan bukan disebabkan oleh karakteristik orang miskin sebagaimana dikemukakan terdahulu (malas, suka jalan pintas, gaya hidup boros, dan lain-lain), melainkan disebabkan oleh struktur masyarakat yang menghasilkan kondisi bahwa yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terpuruk. Yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM adalah kelompok lapisan ekonomi rendah, sementara para pemilik pompa bensin dan kelompok lapisan atas tertentu mengeruk keuntungan atau setidak-tidaknya tidak merasakan dampaknya. Dilihat dari segi sejarah, akar kemiskinan menurut Karl Marx, disebabkan oleh penguasaan alat produksi oleh pemilik modal atau kapitalis. Para kapitalis ini memaksimalkan
11
keuntungan dengan mengeksploitasi buruh. Akibatnya, menurut Karl Marx, para kapitalis secara ekonomis surplus besar, namun di lain pihak jurang ketidakadilan (inequality) semakin lebar. Yang penting adalah mencari intervensi struktural yang dapat dilakukan. Bila kita cermati kondisi Indonesia, maka secara struktural ekonomi Indonesia memang makin berorientasi kapitalistik. Hal ini terlihat dari berdirinya berbagai super-market yang mematikan pasar tradisional, perumahan dan apartemen mewah, serta sarana hiburan dengan harga tiket yang sulit dijangkau, dan lain-lain. Meskipun pemerintah telah membangun apartemen bersubsidi, namun biayanya tetap tidak terjangkau oleh kelompok sosial-ekonomi menengah. Dengan demikian, intervensi pengentasan kemiskinan harus secara struktural (baca: political will), yakni dengan memprioritaskan dibukanya akses orang miskin terhadap pendidikan, kesehatan, listrik, perumahan, air bersih, dan program welfare lainnya. Contoh intervensi struktural yang patut dibanggakan karena tidak menimbulkan konflik antara Pemda Solo dan para PKL adalah upaya walikota Solo dalam merelokasi PKL ke pasar yang dibangun oleh Pemda Solo.
Kesimpulan dan Saran Masalah kemiskinan merupakan masalah besar bagi Indonesia yang jumlah penduduk miskinnya mencapai lebih kurang 35 juta atau kira-kira 15% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Melihat hasil pengentasan kemiskinan selama ini yang tidak bermakna, timbul pertanyaan: Dapatkah Indonesia mengurangi angka kemiskinan dalam kurun waktu enam tahun ke depan sesuai dengan sasaran MDGs?
12
MARKUM
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Namun bagaimanapun, perlu ada langkah awal yang nyata yang tidak berpretensi menyelesaikannya secara tuntas dan segera, melainkan berprinsip “piece-meal problem solving” (Somantri, 2007). Tulisan ini mengajak para pemangku kepentingan untuk memandang kemiskinan sebagai fenomen yang utuh yang memerlukan pendekatan pada tingkat individual, kultural, dan struktural. Pendekatan psikologi sosial dalam hal ini dapat melakukan intervensi baik individu, kultur, maupun struktur yang menjadi penyebab kemiskinan.
Bibliografi Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2008), Social psychology. Boston: Pearson Education Inc. Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGs dan prioritas pembangunan ekonomi Indonesia. Depok: Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas Indonesia. Farley, J.E. (1987). American social problems: An institutional analysis. New Jersey: Prentice Hall. Kemiskinan bertambah. (2009, 13 Februari). Kompas, 1 & 15. Kusumaatmadja, S. (Ed.). (2007). Politik dan kemiskinan. Depok: Koekoesan. Levin, J., Iknis, K. M., Carroll, W. F., & Bourne, R. (2000). Social problems. Causes, consequences, interventions. Los Angeles, California: Roxbury Publishing Company. Muluk, H. (2009). Mosaik psikologi politik Indonesia. Depok: Insos Books Ortigas, C. D. (2000). Poverty revisited. A social psychological approach to community empowerment. Manila: Ateneo
de Manila University Press. Somantri, G. R. (2007). Beyond “delusion of grandeur”: Menuju Indonesia baru “bebas” kemiskinan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan. Depok: Lembaga Penerbitan FE UI. Understanding poverty. (2009). Ditemukembali pada 6 April 2009, dari http://go.worldbank.org/RQBDCTUXW0
PENGENTASAN KEMISKINAN
13
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 13–28
ISSN 2085-4242
Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal sebagai Sebuah Ilmu Psikologis Juneman Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah D.K.I. Jakarta Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after intensive review on latest research findings, it is detected that most criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions. This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem for psychology as a science. The author proposes several ideas to overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this understanding. The second idea is that there are some things to be considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic psychology and criminology. Keywords: criminal profiling, crime action profiling, offender profiling, crime scene, forensic psychology, signature behavior, pseudoscience, protoscience, noumena, organized/disorganized behavior, computerized criminal profiling
kampusnya. NTU. Seperti dipublikasikan media Singapura dan banyak dikutip media di dalam negeri pula, menyebut, sebelum melompat, David yang sedang tertekan kejiwaaan akibat beasiswanya dihentikan, menyayat pergelangan tangan sendiri, setelah menikam dosen pembimbing tugas akhirnya di Jurusan Teknik Elektro NTU, Prof Chan, di satu ruangan lantai V. Namun, beberapa rekan David secara terbuka di beberapa milis menyatakan, pernyataan NTU itu adalah janggal antara lain karena David mereka kenal periang, bukan tipe orang yang mudah dilanda stres. Mereka mengharapkan aparat penegak hukum di Singapura benar-benar menyelidik kasus tersebut sebab bukan tidak mungkin David adalah korban, bukan pelaku kriminal
Sejak awal Maret 2009, media massa di Indonesia ramai memberitakan kasus kematian David Hartanto Widjaja beserta perkembangan penanganannya oleh Kepolisian dan Peradilan Singapura, antara lain Kompas.com (”Penyebab tewasnya,” 2009), sebagai berikut: .... David Hartanto Widjaja, mahasiswa asal Jakarta, Senin (2/3), ditemukan tewas dalam posisi tertelungkup di antara rumput dan beton tempat jalan kaki pada selasar NTU (Nanyang Technological University). Kematian mantan duta Indonesia untuk olimpiade matematika menimbulkan kontroversi, menyusul pernyataan segera dari NTU bahwa dia bunuh diri dengan meloncat dari lantai IV di 13
14
JUNEMAN
apalagi kemudian bunuh diri ....
Di samping itu, pada sebuah forum online yang memperbincangkan kasus ini pada The Strait Times Discussion Board, seorang peserta diskusi dengan nickname shunhua09, menulis (”Student stabs,” 2009), sebagai berikut: .... Well, if I were to have my way and conclude what I believe happened. I would say: During the routine discussion, the Prof told David that he isn't making good progress with his FYP. Coupled with the fact that he got his scholarship revoked before that, in a fit of anger and displeasure, David could have threatened Prof. I believe this action, IS NOT PRE-MEDIATED and NOT PRE-PLANNED. In that case, David did so in a moment of anxiety. Hence, justifying the fact that he could have been calmed the day before and was his usual self, until the Prof talked to him, of which, the contents of the conversation might have triggered such a response. In the ensuing struggle that followed, both parties were injure. (Note: I believe its a struggle that cause the injuries of both parties, and NOT a planned offensive by David.) Seeing the damage done, I believe David hurriedly left the scene entirely due to fear, and not a planned escape. He stumbled and climbed over the ledge onto the bridge and sat down, probably because he thought it was safe there. However, due to loss of blood and his panic state, he fell off the bridge. That is what I believe....
Dari seluruh cuplikan di atas, diketahui adanya sejumlah pertanyaan yang hendak dijawab, seperti: (a) apakah David bunuh diri? (Bila ya/tidak, mengapakah? Bagaimanakah?), (b) apakah David membunuh profesornya?, (c) apakah David dibunuh oleh profesornya?, (d) apakah David mengalami kecelakaan?, dan
mungkin masih banyak pertanyaan lainnya. Sampai dengan waktu artikel ini ditulis, sejumlah pertanyaan tersebut belum juga terjawab dan kasusnya masih diproses oleh aparat hukum di Singapura. Namun, hal yang dilakukan oleh shunhua09 merupakan representasi dari upaya intuitif manusia untuk mengkonstruksi ”teori-teori” kausal mengenai perilaku manusia. Upaya tersebut dinamai oleh Fritz Heider (1958) sebagai naïve psychology. Menurut Heider, setiap orang adalah ”psikolog yang naif”. Tulisan ini tidak hendak menganalisis kasus David Hartanto dengan teori psikologi naif maupun dengan teori-teori atribusi kausal dari psikologi sosial, melainkan akan mengkaji secara kritis keilmiahan sebuah disiplin dalam psikologi forensik yang paling mungkin mendiskusikan dan menemukan jawab atas sejumlah pertanyaan di atas―yakni: pemrofilan kriminal. Hal ini menjadi semakin penting karena banyak kasus―utamanya kasus-kasus kriminal―yang menampakkan urgensi untuk menggunakan disiplin ini, khususnya di Kepolisian, dalam rangka menyelesaikan kasuskasus tersebut.
Apakah Pemrofilan Kriminal Itu? Pemrofilan kriminal (criminal profiling) merupakan pekerjaan menyimpulkan rincian ciri-ciri fisik (tinggi dan berat badan, cacat rupa, dan sebagainya), demografis (usia, jenis kelamin, latar belakang etnis, dan sebagainya), dan keperilakuan (kepribadian, termasuk motivasi, gaya hidup, fantasi, proses seleksi korban, serta perilaku sebelum dan prediksi perilaku sesudah tindak kejahatan) dari kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan aksi-aksinya pada scene kejahatan (O'Toole, 1999; Snook, Gendreau, Bennell, & Taylor,
PEMROFILAN KRIMINAL
2008). Scene kejahatan meliputi tempat-tempat potensial sejauh bukti dari sebuah tindak kriminal–misalnya, penculikan–dapat ditemukan, yang terdiri dari scene kejahatan primer dan sekunder (Horswell, 2004). Scene kejahatan primer adalah wilayah, tempat, atau sesuatu di mana insiden terjadi atau di mana sebagian besar atau konsentrasi yang tinggi dari bukti-bukti kejahatan ditemukan (misalnya, tempat terjadinya penculikan). Scene kejahatan sekunder adalah tempat-tempat atau bendabenda di mana bukti-bukti yang berkaitan dengan insiden dapat ditemukan (misalnya, alat transportasi dan rute akses yang digunakan pelaku kejahatan untuk membawa korban penculikan ke lokasi lain). Data scene kejahatan dapat juga diambil dari foto-foto, laporanlaporan penyelidik, hasil otopsi, dan sebagainya, yang akan menyusun suatu profil kriminal (criminal profile)―termasuk karier kriminal (criminal career)―dari pelaku kejahatan. Keseluruhan proses pemrofilan kriminal mirip dengan proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang dikemukakan Koentjoro (2008). Menurutnya, ada empat jenis sumber data penelitian kualitatif, yakni subjek, informan, written documents dan unwritten documents. Dalam prosesnya, penggalian data/informasi dalam penelitian kualitatif diibaratkan sebagai sebuah simfoni (Koentjoro, 2008). Dalam hal ini, potongan atau penggalan data yang diperoleh peneliti kualitatif ibarat bunyi biola atau bus atau drum yang ketika dibunyikan mungkin tidak memiliki makna apapun; namun apabila “bunyi-bunyian” tersebut dirangkaikan dengan data yang lain, barulah mereka mempunyai makna. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pelaku pemrofilan kriminal atau pemrofil (criminal profiler) pada
15
hakikatnya adalah seorang yang bekerja sebagai “peneliti kualitatif”. Turvey (2008) membedakan antara pemrofilan kriminal induktif dan deduktif. Pemrofilan kriminal induktif mencakup generalisasi berdasarkan sejumlah kecil individu atau peristiwa dan/atau penalaran statistik (pererataan, ekstrapolasi, korelasi, dan sebagainya). Metode ini memiliki kelemahan karena—berlawanan dengan asumsi statistik— tidak ada dua kasus yang persis sama; pelaku kriminal berpikir secara berbeda dari kebanyakan orang, pun perilaku memiliki makna-makna yang berbeda antar-kultur dan wilayah. Dalam metode deduktif, pemrofil menghasilkan sebuah profil berdasarkan eksaminasi forensik serta rekonstruksi keperilakuan yang hati-hati terhadap scene kejahatan. Dalam hal ini, penekanannya antara lain pada pengetahuan-diri pemrofil (pengatasan bias transferensi) dan kemampuan berpikir kritis pemrofil, beserta kemampuan pemrofil untuk memahami kebutuhankebutuhan yang sedang dipuaskan oleh setiap perilaku dari pelaku kejahatan serta pola-pola pelaku kejahatan. Kategorisasi Turvey di atas memiliki kesepadanan dengan orientasi statistik dan orientasi klinis yang dirangkum oleh Snook, Cullen, Bennell, Taylor, dan Gendreau (2008) berdasarkan sejumlah kajian kepustakaan. Dalam pemrofilan kriminal yang berorientasi statistik, pemrofil melakukan penilaian berdasarkan analisisnya terhadap para pelaku kejahatan yang sebelumnya telah lebih dahulu melakukan tindakan kriminal; dalam hal ini mereka dibandingkan keserupaannya dengan pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi saat ini. Dalam orientasi klinis, pemrofil mengambil inspirasi/gagasan pemrofilan dari pelatihan, pengetahuan, dan pengalaman yang
16
JUNEMAN
dimilikinya. Proses-proses dan istilah-istilah spesifik yang berkaitan dengan pemrofilan kriminal sangat bergantung pada latar belakang profesi dan pelatihan dari pemrofil (Snook, Gendreau, et al., 2008). Dalam lingkup psikologi forensik, misalnya, digunakan istilah-istilah antara lain, sebagai berikut: psychological profiling, offender profiling, criminal personality profiling (Webb, 2006). Istilah-istilah tersebut secara umum menggambarkan bahwa pemrofil (criminal profiler) meneliti kandungan ”psikopatologi” yang terkandung pada scene kejahatan—yang terdiri atas indikator-indikator keperilakuan dan psikologis sebagai hasil dari interaksi fisik, seksual, dan verbal antara pelaku dan korbannya, dalam hal mana indikatorindikator ini menyusun sebuah ”cerita” yang “ditulis” oleh pelaku, korban dan interaksi uniknya (O'Toole, 1999).
Kontribusi Psikologi Pemrofilan kriminal dalam lingkup kerja FBI (Federal Bureau of Investigation) di Amerika Serikat termasuk dalam unit kerja Behavioral Analysis Unit (BAU), dalam mana agen-agen yang terseleksi mengikuti kuliahkuliah yang dimulai dari kuliah mengenai psikologi dan selanjutnya kuliah-kuliah spesifik (Hits dalam Ramsland, 2008), dengan urutan sebagai berikut: Basic Psychology, Criminal Psychology, Forensic Science, Body Recovery, Criminal Investigative Analysis, Death Investigation, Threat Assessment, Statement/document Analysis, Crimes Against Children, Child Abduction and Homicide, Sexual Victimization of Children / Internet Issues, Interview and Interrogation Procedures, Serial Murder. Sejak setahun yang lalu, dalam sebuah petisi yang diajukan kepada American
Psychological Association dalam rangka pengakuan profesi Psikologi Kepolisian, pemrofilan kriminal telah diusulkan dalam domain ”operational support” dari kompetensi utama psikologi kepolisian (”Petition for,” 2008). Dimulainya rangkaian kuliah BAU FBI dengan subjek psikologi dan diusulkannya pemrofilan kriminal sebagai salah satu kompetensi khas psikologi kepolisian di atas tidak mengherankan, karena, seperti dinyatakan Turvey (2008: 125), bahwa aspek signifikan dari pemrofilan kriminal adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia dan keahlian untuk menginterpretasikan makna-makna dari perilaku tersebut; sementara itu, ahli-ahli psikologi dan psikiatri forensik memiliki pemahaman dan pelatihan yang khas dalam proses-proses mental, fisiologi, perilaku manusia, dan psikopatologi. Psikologi lingkungan juga berperan, sebagaimana ditunjukkan David Canter (2003)—seorang teoris psikologi tempat (psychology of place), dalam bukunya, ”Mapping Murder: The Secrets of Geographical Profiling”. Canter menunjukkan relasi antara psikologi lingkungan dengan kejahatan, antara lain dengan memperlihatkan secara rinci bagaimana ruang dan waktu berkaitan dengan aktivitas kriminal. Selain alasan-alasan di atas, kompetensi psikologis juga diperlukan untuk menyimpulkan signature behavior yang dibedakan dari modus operandi pelaku kejahatan. Modus operandi mengindikasikan pendidikan dan pelatihan teknis yang dimiliki pelaku kejahatan serta tingkat pengalaman pelaku kejahatan dalam melakukan tindak kriminal dan dalam menghadapi sistem peradilan; namun signature behaviors merupakan setiap tindakan yang dilakukan
PEMROFILAN KRIMINAL
pelaku kejahatan yang tidak harus menjadi syarat perlu bagi sebuah tindak kriminal, namun menyatakan kebutuhan psikologis atau emosional pelakunya (seperti: rasa tamak, balas dendam, rasa marah, mencari untung, ingin berbuat sadis atau perilaku tak wajar lainnya, hasrat berkuasa, dan sebagainya) (Rogers, 2003; Turvey, 2008). Dalam ilmu forensik komputer, contoh modus operandi adalah menjalankan skrip milik orang lain atau memprogram skrip sendiri yang digunakan untuk menyerang atau merusak sebuah komputer; sedangkan signature behavior lebih terpersonalisasi, seperti menandai files atau kode program dengan nama julukan (nickname)-nya sendiri (Rogers, 2003). Oleh karena hal-hal tersebut, profesi kesehatan mental seperti ahli psikologi dapat bekerja dengan baik dalam proses-proses pemrofilan kriminal sejauh mereka telah memperoleh pula pendidikan yang terkait dengan investigasi dan ilmu-ilmu forensik (Turvey, 2008), demikian pula ahli forensik atau pun kriminolog yang telah memperoleh pendidikan psikologi. Terdapat dua sumbangan besar psikologi dalam penelitian pemrofilan kriminal, sebagai berikut (Winerman, 2004): Pertama, offender profiling, merupakan salah satu bentuk dari psikologi investigatif yang berasal dari karya-karya seorang ahli psikologi terapan David Canter, pendiri psikologi investigatif pada awal 1990-an. Seluruh penyimpulan dalam pemrofilan ini berbasiskan penelitian empiris (atau ”psikologi akademis”) dan ditimbang oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Sebagai contoh, Canter et al. (dalam Winerman, 2004) pernah menganalisis data scene kejahatan dari 100 pembunuhan beruntun yang mengindikasikan bahwa seluruh pembunuhan menunjukkan derajat organisasi perilaku tertentu, atau dengan perkataan lain:
17
tidak bersifat dikotomis (organized atau disorganized). Perilaku terorganisasi/terencana —seperti pemosisian atau penyembunyian tubuh korban—merupakan ”variabel-variabel inti” (core variables) yang cenderung muncul dalam kebanyakan kasus dan berada bersama dengan variabel-variabel lainnya. Namun, yang membedakan antara pembunuh yang satu dengan yang lainnya bukanlah jenis-jenis perilaku disorganisasi/tak terencana-nya, melainkan cara pelaku berinteraksi dengan korbannya yang terbagi menjadi kategorikategori: melalui kontrol seksual, melalui mutilasi, eksekusi, atau perampasan. Dalam studi yang lain, Canter et al. (dalam Winerman, 2004), mengumpulkan data scene kejahatan dari 112 kasus perkosaan. Mereka menemukan bahwa hal yang membedakan satu pemerkosa dengan pemerkosa lain bukanlah jenis-jenis pencabulan seksual dan penyerangan fisik (dengan demikian, hal-hal ini tergolong variabel-variabel inti), melainkan interaksiinteraksi yang bersifat nonfisik (misalnya, apakah pelaku mencuri dari korban, meminta maaf kepada korban, dan sebagainya). Canter memberikan porsi peran yang tidak signifikan kepada ”pengalaman investigatif”, yakni pengalaman yang dikembangkan oleh agenagen penegak hukum dalam melakukan offender profiling. Menurutnya, para psikolog seyogianya mengumpulkan data dari dasar (grounded theory). Kedua, crime action profiling, yang berbasiskan pengetahuan yang dikembangkan oleh para psikolog forensik, psikiater, dan kriminolog berdasarkan sejumlah besar studi terhadap pelaku pembunuhan serial, pemerkosa, dan pelaku pembakaran. Model-model yang digunakan sebagai panduan bagi pemrofilan terhadap aksi kriminal, menurut Kocsis
18
JUNEMAN
(Winerman, 2004) serupa dengan wawancara terstruktur yang digunakan oleh para psikolog klinis untuk membuat diagnosis klinis. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikembangkan dalam rangka eksaminasi sistematis sebelum membangun prinsip-prinsip pemrofilan, antara lain, sebagai berikut (Kocsis dalam Winerman, 2004): ”Jenis informasi seperti apa yang dikandung, atau seyogianya dikandung, oleh sebuah profil? Jenis material kasus apa yang Anda perlukan untuk mengonstruksi sebuah profil? Bagaimana keberadaan atau ketidakberadaan material mempengaruhi akurasi sebuah profil?” Selanjutnya, menurut Kocsis (2006), profil kriminal yang dihasilkan oleh pemrofilan kriminal dapat dibedakan dengan profil kepribadian (personality profile) atau profil psikologis (psychological profile). Kocsis menegaskan bahwa—berkebalikan dengan pemrofilan kepribadian atau pemrofilan psikologis yang seringkali melibatkan evaluasi dan diagnosis terhadap pasien kriminal (criminal patient)—pemrofilan kriminal tidak melakukan eksaminasi atau pemeriksaan terhadap pasien kriminal melainkan terhadap aksi kriminal itu sendiri, yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan bukti keperilakuannya guna menghasilkan gambaran individu yang diduga melakukan perilaku tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Cook dan Hinman (1999) menjelaskan bahwa, ”Specific suspects, who have already been identified, are not profiled .... The focus of the analysis or profile is the behavior of the perpetrator or perpetrators within the crime scene.”
Pseudo- atau Protoscience? Sekalipun di dunia cukup populer aplikasinya, Snook, Cullen, et al. (2008)
mengingatkan bahwa pemrofilan kriminal telah terjebak dalam praktek pseudoscientific, dalam hal mana, meskipun penggunaannya didukung oleh petugas kepolisian dan profesi kesehatan mental, proses yang dijalani dan hasil yang diperoleh merupakan ”ilusi” belaka. Bila hal ini benar, maka status ilmiah pemrofilan kriminal dapat disejajarkan dengan pseudosciece dan praktek pseudoscientific lainnya, seperti palmistri dan astrologi (Sarwono, 2000), senam otak/brain gym (Goldacre, 2006), The DomanDelacato Patterning Treatment for Brain Damage (National Council Against Health Fraud, 2001), terapi EMDR/Eye Movement Desensitization and Reprocessing (Carrol, 2009; Cuvelier, 2001), Craniosacral Therapy (Hartman, & Norton, 2002), Thought Field Therapy (TFT)/Emotional Freedom Technique (EFT) (Barrett, 2003), analisis sidik jari (fingerprint analysis) (Sherrer, 2004), dan sebagainya. Batasan ilmu semu (pseudoscience) menurut Sarwono (2000) sebagai berikut: ... ada pula sarjana-sarjana yang mengajukan teori-teori mengenai psikologi yang sesungguhnya tidak didasarkan pada metodemetode yang benar-benar ilmiah. Yang mereka lakukan adalah menyusun pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dan bisa dikumpulkan mengenai gejala-gejala kejiwaan dan mensistematiskan pengetahuanpengetahuan itu. Karena pengetahuanpengetahuan itu sudah tersusun secara sistematis, maka tampaknya seperti sudah ilmiah, padahal tidak ada yang bisa dibuktikan secara empiris metodologis. Karena itu mereka digolongkan sebagai orang-orang yang menggunakan ilmu semu untuk menerangkan gejala kejiwaan.
PEMROFILAN KRIMINAL
19
Gambar 1. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi (Kontur-kontur menunjukkan frekuensi keseluruhan). Lilenfeld (dalam Cuvelier, 2001) menjelaskan, ”You can usually tell [what pseudoscience is] because there's a lot of marketing around these treatments, but there's no controlled evidence. Support consists of almost all anecdotes and personal testimony”. Sejumlah argumen yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang melihat pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience bersesuaian dengan batasan Sarwono dan Lilenfeld di atas, sebagai berikut: Pertama dan utamanya, terdapat kelemahan empiris metodologis dalam tipologi perilaku kriminal organized/disorganized yang sampai dengan saat ini digunakan secara luas dalam pemrofilan kriminal (Alison, Bennell, Mokros,
& Ormerod, 2002; Canter, Alison, Alison, & Wentink, 2004; Gladwell, 2007; Snook, Cullen, et al., 2008). Gladwell (2007) menggambarkan tipologi perilaku kriminal dikotomis organized/disorganized yang dihubungkan dengan kepribadian pelakunya, sebagai berikut: Dalam sebuah tindak kriminal yang ‘terorganisasi’ (organized), kejahatan dilakukan secara logis dan terencana. Korban telah diburu (hunted) dan dipilih, guna memenuhi fantasi spesifik tertentu... Pelaku mengontrol seluruh proses kejahatan .... hampir tidak pernah meninggalkan senjatanya. Ia dengan sangat teliti
20
JUNEMAN
Gambar 2. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi yang menunjukkan empat gaya interaksi pelaku kejahatan dengan korban (Kontur-kontur menunjukkan frekuensi keseluruhan). menyembunyikan tubuh korban. Dalam tindak kriminal yang ‘tidak terorganisasi’ (disorganized), korban tidak dipilih secara logis. Korban nampaknya dipilih secara acak dan ‘diserang secara kilat’ (blitz-attacked), dan bukan diburu secara diam-diam dan diserang (stalked and coerced)…. Tindakan kriminal dilaksanakan dengan sangat tidak rapi. Korban seringkali memiliki kesempatan melawan balik…. Lebih dari itu, pelaku kejahatan tidak mengetahui atau berminat akan kepribadian dari korban mereka…. Masing-masing gaya ini [organized/disorganized] berkorespondensi dengan sebuah tipe kepribadian. Perilaku kejahatan yang terorganisasi dilakukan oleh
seorang yang inteligen dan fasih, memiliki perasaan superior terhadap orang-orang di sekelilingnya. Sedangkan, perilaku kejahatan yang tak terorganisasi dilakukan oleh seorang yang tidak menarik (unattractive) dan memiliki citra diri yang buruk.
Melengkapi gagasan di atas, Douglas, Burgess, Burgess, dan Ressler (1992) menjelaskan: Secara umum pelaku kejahatan terorganisasi diduga melakukan tindak kejahatan setelah mengalami beberapa peristiwa urgen yang penuh stres, seperti masalah finansial,
PEMROFILAN KRIMINAL
masalah relasi antarmanusia, atau masalah pekerjaan.... Scene kejahatannya mencerminkan sebuah pendekatan yang metodis dan teratur. Hal ini dipandang sebagai konsekuensi dari pelaku kejahatan yang memiliki keterampilan sosial dan dalam menangnai situasi-situasi interpersonal. Pelaku kejahatan yang terorganisasi, dengan demikian, lebih mungkin menggunakan pendekatan verbal terhadap korban sebelum melakukan kekerasan .... Sebaliknya, pelaku kejahatan yang tak terorganisasi melakukan kejahatannya secara oportunistik. Ia tinggal dalam jarak yang dekat dengan scene kejahatan. Gaya penyerangannya spontan dan scene kejahatannya berada dalam situasi kaotik. Hal ini mencerminkan ketidakmampuan sosial dan ketidakterampilan interpersonal pelakunya.
Pendekatan tipologis dikotomis seperti di atas telah dikritik sebagai psikologi yang menyederhanakan (simplistic psychology) oleh Gladwell (2007). Alison et al. (2002) menyebut pendekatan tersebut sebagai naïve trait approach yang telah mengabaikan prinsip Person x Situasi sebagai faktor-faktor interaktif dalam mempengaruhi suatu tindak kejahatan. Lagipula, Canter et al. (2004) telah menunjukkan melalui riset mereka terhadap arsip 100 kasus pembunuhan seksual serial―yakni pembunuhan yang melibatkan aktivitas seksual sebagai basis dari rangkaian aksi yang membawa pada kematian korban―di Pusat Psikologi Investigatif, Amerika Serikat, bahwa tidak terdapat suatu pola yang bersifat distingtif antara perilaku terorganisasi dan perilaku tak terorganisasi. Yang banyak terjadi (Canter et al., 2004) adalah koeksistensi kedua jenis perilaku tersebut (lihat Gambar 1), dan bahwa perilaku terorganisasi dan tak terorganisasi dapat terjadi dalam banyak varian
21
gaya transaksional pelaku kejahatan dengan korban (lihat Gambar 2)—yang nampak ”inkonsisten” satu dengan yang lain; misalnya, perilaku yang tak disorgnasasi di satu pihak dapat merupakan perilaku yang melibatkan mutilasi dan pengotoran (defilement) tubuh korban, namun, di lain pihak dapat pula merupakan perilaku yang menekankan perampokan (ransacking) dan perampasan (plundering) barang-barang kepunyaan korban. Selanjutnya, dalam banyak hasil penelitian, prediktor-prediktor perilaku kriminal yang sudah diakui secara luas dan kuat (misalnya, sikap dan kognisi antisosial) ternyata tidak berkaitan samasekali dengan jenis-jenis variabel yang selama ini difokuskan oleh pemrofil, seperti perilaku pada scene kejahatan–apakah terorganisasi, tak teroganisasi, atau campuran– dan demografi pelaku kejahatan (Snook, Cullen, et al., 2008). Hal kedua yang menyebabkan orang mencurigai pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience adalah karena keberhasilan pemrofil kriminal dalam membuat prediksi yang akurat mengenai pelaku kejahatan boleh jadi tidak berbasiskan pengetahuan spesialistik mengenai kekhasan dan keunikan (idiosyncrasies) yang terdapat pada scene kejahatan yang tengah dihadapi pemrofil (Snook, Cullen, et al., 2008). Dengan perkataan lain, dalam penelitian terkendali (controlled research), tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara kemampuan memprediksi antara pemrofil profesional dan yang bukan pemrofil. Polisi yang memiliki pengetahuan yang baik dalam hal kriminologi dapat pula mencapai tingkat keberhasilan pemrofilan kriminal semata-mata dengan mengandalkan informasi minimum standar (base rate). Berdasarkan analisis kritisnya, Snook,
22
JUNEMAN
Cullen, et al. (2008) menyimpulkan adanya dua faktor utama yang saling berinteraksi yang menyebabkan orang-orang meyakini keberhasilan pemrofilan kriminal, kendatipun tidak terdapat dasar-dasar teoritis dan dukungan empiris yang kokoh (pseudoscience). Faktor pertama adalah penyajian informasi tentang pemrofilan kriminal kepada masyarakat (aspek pesan/the message); faktor kedua adalah pemrosesan informasi tersebut oleh masyarakat (aspek pikiran/the mind). Yang termasuk faktor pertama, antara lain: (a) penekanan yang berlebihan terhadap kisah-kisah sukses sejumlah pemrofil yang telah memberikan profil akurat–yang secara prediktif telah membantu menyelesaikan investigasi kriminal yang sulit (hal ini diperkuat dengan anekdotanekdot pada media massa), sementara kebanyakan kisah-kisah lain yang tidak sukses tidak diungkapkan, (b) pemaparan informasi secara repetitif bahwa pemrofilan kriminal merupakan alat investigatif yang efektif; hal ini diperkuat dengan sejumlah testimoni mengenai keberhasilan pemrofilan kriminal tertentu yang tidak divalidasi lebih lanjut secara empiris melalui riset, dan (c) adanya gejala heuristik keahlian (expertise heuristic). Pernyataan seorang pemrofil dipercaya karena ia menampakkan dirinya sebagai seorang ahli yang memiliki kemampuan dan pengetahuan istimewa (terlebih apabila ia pernah menjadi saksi ahli di pengadilan), memiliki pendidikan ilmiah formal serta pelatihan-pelatihan panjang dan akumulatif, sehingga mampu meramalkan karakteristik pelaku kejahatan secara akurat, dalam hal mana keahliannya diatribusikan lebih tinggi daripada keahlian rata-rata petugas kepolisian biasa atau orang-orang lain yang non-ahli. Yang termasuk faktor kedua melibatkan
proses-proses kognitif, antara lain: (a) ilusi korelasi dan bias konfirmasi. Dalam ilusi korelasi, orang mempersepsikan adanya hubungan antara prediksi pemrofil dengan terselesaikannya kasus kriminal, semata-mata karena sebuah profil kriminal telah diperoleh sebelum kasus terselesaikan (after-the-fact reasoning), padahal hubungan tersebut apabila diteliti sesungguhnya tidak ada. Dalam bias konfirmasi, orang mencari atau mengingat bukti-bukti konfirmatif (prediksi yang benar atau anekdot dalam literatur atau media populer) yang mendukung keyakinannya akan keberhasilan pemrofilan dan mengabaikan dan/atau melupakan bukti-bukti kontradiktif; (b) Efek Barnum (Barnum effect). Efek Barnum merupakan fenomena di mana orang cenderung menerima pernyataan-pernyataan ambigu, samar-samar dan umum sebagai deskripsi akurat atas kepribadiannya sendiri (Dickson & Kelly, 1985). Dalam pemrofilan kriminal, ditemukan efek ini, bahwa keyakinan orang terhadap metode-metode pemrofilan kriminal dan keahlian pemrofil menjadi semakin positif setelah mereka dipapar dengan materi profil yang bersifat ambigu, meskipun secara aktual metode pemrofilan yang digunakan tidak valid dan pemrofilnya tidak benar-benar ahli; (c) penularan sosial (social contagion), dalam hal mana penggunaan pemrofilan kriminal yang diyakini efektif ”ditularkan”, misalnya, oleh FBI di Amerika Serikat, melalui programprogram pelatihan, publikasi yang luas, tontonan televisi, dan sebagainya; dan (d) penyimpulan fakta berdasarkan fiksi, misalnya, fantasi pemrofilan (profiling fantasy), seperti tergambar dalam detektif-detektif fantastis, seperti Augueste Dupin, Sherlock Holmes, Hercule Poirot. Kedua faktor tersebut saling berinteraksi
PEMROFILAN KRIMINAL
membentuk suatu siklus, digambarkan Kocsis (2006):
seperti
yang
Popular culture representations and anecdotal testimonials may artificially elevate people’s belief in the capabilities of profiling. These elevated beliefs may in turn lead to misconceptions concerning the accuracy and merit of criminal profiles. Such misconceptions may then in turn sponsor the continued use of profiling and perhaps lead to even more favorable media coverage and testimonials: thus the cycle continues.
Jadi, keyakinan orang akan keberhasilan pemrofilan kriminal (keyakinan ini tidak harus berarti evidence-based) dipengaruhi oleh representasi mengenai “sukses” tersebut oleh media massa, dan selanjutnya, keyakinan tersebut berpengaruh terhadap frekuensi dan intensitas penggunaan pemrofilan kriminal, dan seterusnya. Yang patut dicermati dalam kaitan dengan seluruh uraian di atas adalah bahwa terdapat satu istilah yang tidak muncul dalam tulisan Snook, Cullen, et al. (2008) yang mengkritik pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience, yakni ”protoscience”. Padahal, menurut penulis, pengertian mengenai protoscience sangat krusial dalam pertimbangan klasifikasi apakah sesuatu itu science ataukah pseudoscience, utamanya dalam perspektif prospektif. Secara ringkas, Gay (2008) mendefinisikan protoscience sebagai “emerging science establishing its legitimacy”. Sudah sejak 1959, Karl Popper menggunakan istilah protoscience secara konseptual sebagai: A hypothesis that has not yet been adequately tested by the scientific method, but which is otherwise consistent with existing science or
23
which, where inconsistent, offers reasonable account of the inconsistency. It may also describe the transition from a body of practical knowledge into a scientific field.
Hal ini bukan berarti bahwa suatu teori yang bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya otomatis tergolong dalam pseudoscience. Namun, sebuah protoscience atau science, walaupun bertentangan dengan teori-teori tertentu, ia masih cocok dengan sejumlah teori lainnya. Hal ini sesuai dengan norma koherensi (norms of coherence) yang merupakan determinan baik-tidaknya suatu teori (Shaw & Costanzo, 2002). EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) adalah sebuah contoh yang baik dari penyelewengan fundamental yang serius terhadap norma koherensi itu: “The theory of EMDR clashes with scientific knowledge of the role of eye movements” (Barret, 2003). Berkebalikan dengan protoscience, pseudoscience dikonsepkan sebagai “…theories which are either untestable in practice or in principle, or which are maintained even when tests appear to have refuted them” (“Pseudoscience,” 2009). Apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan pemrofilan kriminal, maka nampaknya masih tersisa ruang bagi pemrofilan kriminal untuk menyandang status sebagai sebuah sains di masa mendatang. Terdapat sedikitnya dua alasan yang dapat menerangkannya: Pertama, pembedaan yang dilakukan oleh Canter et al. (2004)―sebagaimana juga terungkap sebelumnya di atas―antara core variables dan bukan core variables yang samasama penting dan berguna dalam proses pemrofilan kriminal sebenarnya lebih merupakan upaya penyempurnaan teori tipologis organized/disorganized yang
24
JUNEMAN
dipandang usang dan memiliki kelemahan. Di samping itu, pemrofilan kriminal juga konsisten dengan body of knowledge yang pernah ada sebelumnya yang relevan, yakni Prinsip Pertukaran dari Locard (Chisum & Turvey, 2000; Turvey, 1995). Prinsip pertukaran ini menyatakan bahwa siapa pun yang memasuki scene kejahatan, maka ia mengalami dua hal sekaligus, yakni mengambil sesuatu dari scene tersebut dan meninggalkan sesuatu pada scene yang membekas/menjejak dari dirinya. “Sesuatu” yang dimaksud adalah benda fisik. Telah ditunjukkan melalui sejumlah penelitian (dalam Turvey, 1995), bahwa percabangan psikologis (baca: pengembangan) dari prinsip Locard, dalam rupa aplikasi prinsip-prinsip psikologis (fantasi, disasoisasi, pengendalian, reenactment, empati, intimasi, analisis perilaku, dan lain-lain) terhadap bukti-bukti fisik, telah menunjukkan hasil yang mumpuni, meskipun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ketat. Secara operasional, Gay (2008) pernah memberikan dua puluh empat pertanyaan— sebagai modifikasi dari dua belas pertanyaan Moller (1989)—guna membantu membedakan pseudoscience dari protoscience. Moller (1989) sendiri menempatkan pertanyaan, “Apakah subjek/disiplin yang dibahas menunjukkan adanya kemajuan?” (Has the subject shown progress?) pada urutan pertama, kalau bukan yang terpenting. Ia menjelaskan: Banyak ilmu-ilmu semu telah ada lama sekali namun menunjukkan kemajuan yang sedikit, kalau bukan tidak ada kemajuan sama sekali. Contoh yang baik dalam hal ini adalah grafologi (analisis tulisan tangan). Ada sejumlah teori grafologi sepanjang abad belakangan ini, dan semua teori tersebut sama-sama lemahnya....
Bahkan, grafologi telah masuk dalam daftar subjek yang terdapat pada The Encyclopedia of the Paranormal (Beyerstein, 2002). Namun demikian, apabila indikator Moller (1989) dikenakan pada pemrofilan kriminal, maka, dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh pemrofilan kriminal di atas, jawaban “ya” dapat diberikan pada pertanyaan Moller. Terlebih lagi, jawaban positif ini dapat diperkuat dengan pengakuan Snook, Cullen, et al. (2008) sendiri, bahwa: …. there are signs that progress is being made. Several individuals are attempting to develop criminal profiling classification systems and are going through the steps required to validate those systems (e.g., Häkkänen, Lindof, & Santilla, 2004; Kocsis, 2006; Salfati, 2000). Others are taking a bottom-up approach to profiling by identifying individual behavior–offender associations and the condition in which these will arise (e.g., Goodwill & Alison, 2007). However, this research is in its infancy and the typologies emerging are still not used widely in criminal profiling circles. Unfortunately, that role is currently taken up by classification systems that are not largely supported by psychological science.
Hal kedua, dalam kaitannya dengan realitas pemrofilan yang sudah dikemukakan di atas, pendapat Koentjoro (2008) yang mengambil inspirasi epistemologis Kantian mengenai jenisjenis realitas sosial dapat dirujuk. Menurutnya, ada dua jenis realitas sosial, yaitu phenomena dan noumena. Phenomena adalah realitas sosial yang dapat kita observasi, realitasnya eksis, dan dapat dijelaskan secara rasional. Sedangkan, noumena adalah realitas sosial yang dapat kita observasi, realitasnya ada, namun belum mampu dijelaskan secara rasional (misalnya,
25
PEMROFILAN KRIMINAL
kesurupan masal). Hal ini bukan berarti bahwa noumena tersebut tidak rasional, namun otak manusia belum mampu menjelaskan secara rasional (contoh: di tahun 1950-an, televisi tanpa kabel, mesin cetak jarak jauh, dan sebagainya, mungkin dianggap banyak orang sebagai tidak rasional); dan mungkin saja suatu saat noumena akan menjadi rasional. Dalam hal bahasan tulisan ini, dapat dikatakan bahwa pemrofilan kriminal sesungguhnya berada dalam ketegangan antara noumena dan phenomena. Dengan berkembang pesatnya studi-studi ilmiah mengenenainya, pemrofilan kriminal semakin progresif menuju pada sifat phenomenal yang dapat diterangkan secara ilmiah. Demikianlah sesungguhnya terdapat harapan bahwa pemrofilan kriminal merupakan protoscience yang suatu waktu dapat dikembangkan sebagai science. Harapan ini dapat semakin diperkuat apabila kita mencoba menjawab pertanyaan lain yang diajukan Gay (2008), “Can you find relevant papers authored by the proponents in the relevant refereed scientific literature (e.g., such as on Medline Pubmed for medical subjects)?” Penelusuran penulis terhadap sejumlah pangkalan data jurnal ilmiah setidaknya menunjukkan hasil-hasil yang jauh lebih positif dalam rangka memberikan jawaban yang optimistis terhadap pertanyaan tersebut dengan kata kunci “criminal profiling” daripada, misalnya, “graphology”, “handwriting analysis”, “brain gym”, dan sejenisnya. Selanjutnya, lebih banyak ditemukan hasil-hasil temukembali yang mutakhir sekaligus apresiatif-ilmiah terhadap pemrofilan kriminal daripada terhadap contohcontoh ilmu dan praktek yang telah diidentifikasikan sebagai pseudoscience sepanjang tulisan ini.
Kesimpulan dan Saran Pemrofilan kriminal merupakan sebuah alat forensik yang dapat dipelajari dan digunakan oleh siapa saja, termasuk oleh psikolog forensik. Kompetensi dalam psikologi ternyata turut memegang peran penting dalam sukses atau tidaknya pemrofilan kriminal. Sejauh ini, banyak profesi telah mengambil manfaat— menurut persepsinya masing-masing—dari pemrofilan kriminal, termasuk profesi kesehatan mental, seperti psikolog dan psikiater. Kendati demikian, popularitas aplikasi pemrofilan kriminal tidak serta-merta menunjukkan bahwa disiplin ini sudah jelas dan kuat kedudukan keilmuannya. Berdasarkan seluruh uraian di atas nampak bahwa status ilmiah pemrofilan kriminal sampai dengan saat ini masih “kontroversial”. Menurut penulis, kontroversi tersebut lebih disebabkan karena tarik-menarik perspektif untuk mengambil posisi apakah pemrofilan kriminal saat ini sesungguhnya merupakan protoscience ataukah pseudoscience, dan bukan dalam hal penggolongan kedalam ranah dikotomis “atau pseudoscience atau science”. Pemrofilan kriminal, dan disiplin psikologi forensik lainnya―seperti yurisprudensi terapeutik (Juneman, 2008)―khususnya di Indonesia, belum memperoleh penghargaan yang layak. Namun demikian, penulis telah menunjukkan bahwa pemrofilan kriminal memiliki peluang dan masa depan untuk tumbuh dan berkembang sebagai sebuah ilmu psikologis, dan bahwa hal ini perlu dikawal dengan sikap dan penggunaan kritis terhadap pemrofilan kriminal secara berkelanjutan. Di samping itu, apabila pemrofilan kriminal hendak berjaya, hal-hal berikut perlu dipertimbangkan: (a) melakukan penelitianpenelitian lebih lanjut (search and re-search)
26
JUNEMAN
yang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas dari pemrofilan kriminal, (b) di era teknologis global sekarang ini, sudah saatnya pemrofil turut menggunakan program komputer dengan sistem fuzzy logic yang mampu menangani beragam dimensi [non-linear] dari pemrofilan kriminal (lihat, misalnya, “Match'em: Using,” 2002); dalam hal ini, penelitian validitas pemrofilan dapat juga diteliti secara masif, serta (c) pemrofilan kriminal sebagai bagian dari penegakan hukum hendaknya dipahami dalam perspektif yang jauh lebih visioner. Maksudnya, pemrofilan kriminal tidak hanya bertujuan mendeteksi, memahami suatu peristiwa kejahatan, tetapi juga menurunkan tingkat kejadian kejahatan atau berfungsi preventif (Cook & Hinman, 1999; Harcourt, 2007). Hal ini mengingat bahwa kedua tujuan tersebut dapat berkonflik atau bersifat paradoksal, sebagaimana ditunjukkan oleh Harcourt (2007: 124). Oleh karena itu, di samping pemrofilan kriminal itu sendiri perlu direvisi secara kontinu guna memenuhi secara memuaskan tujuan pertama, maka perlu adanya semacam jembatan proses atau aktivitas pengiring agar tujuan kedua juga tercapai.
Bibliografi Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135. Barrett, S. (2003). Mental help: Procedures to avoid. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel atedTopics/mentserv.html
Beyerstein, B. L. (2002). How graphology fools people. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel atedTopics/Tests/grapho.html Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books. Canter, D. V., Alison, L. J., Alison, E., & Wentink, N. (2004). The organized/disorganized typology of serial murder: Myth or model? Psychology, Public Policy, and Law, 10(3), 293–320. Carrol, R. T. (2009). From abracadabra to zombies: Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). The Skeptic’s Dictionary. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://skepdic.com/emdr.html Chisum, W. J., & Turvey, B. E. (2000). Evidence dynamics: Locard's exchange principle & crime reconstruction. Journal of Behavioral Profiling, 1(1). Cook, P. E., & Hinman, D. L. (1999). Criminal profiling: science and art. Journal of Contemporary Criminal Justice, 15, 230241. Cuvelier, M. (2001). The pursuit of pseudoscience. Psychology Today, Jul/Aug 2001, Article ID: 2141. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.psychologytoday.com/articles/pt o-20010701-000014.html Dickson, D. H., & Kelly, I. W. (1985). The Barnum Effect in personality Assessment: A review of the literature. Psychological Reports, 57, 367-382. Douglas, J. E., Burgess, A. W., Burgess, A. G., & Ressler, R. K. (1992). Crime classification manual: A standard system
PEMROFILAN KRIMINAL
for investigating and classifying violent crime. New York: Simon and Schuster. Gay, J. (2008). Veterinary medicine and the philosophy of science. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.vetmed.wsu.edu/coursesjmgay/EpiPhil.htm Gladwell, M. (2007). Dangerous minds. The New Yorker; Dept. of Criminology, 83(35), 36. Goldacre, B. (2006). Brain gym: Name & shame. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.badscience.net/2006/03/thebrain-drain/ Harcourt, B. E. (2007). Against prediction: Profiling, policing, and punishing in an actuarial age. USA: University of Chicago Press. Hartman, S. E., & Norton, J. M. (2002, November). Craniosacral therapy is not medicine. Phys Ther, 82(11), 1146-1147. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ptjournal.org/cgi/content/full/82 /11/1146 Heider, F. (1958). The psychology of interpersonal relations. New York: Wiley. Horswell, J. (Ed.). (2004). The practice of crime scene investigation. London: CRC Press. Juneman. (2008). Yurisprudensi terapeutik: Peran integratif psikologi dalam proses hukum untuk melayani kesejahteraan pribadi klien hukum. Jurnal Kajian Ilmiah Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 9(3), 908-922. Kocsis, R. N. (2006). Criminal profiling: Principles and practice. New Jersey: Humana Press. Koentjoro. (2008). Materi kuliah metode penelitian kualitatif. Tidak diterbitkan.
27
Match'em: Using fuzzy logic to profile criminals. (2002). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://ieeexplore.ieee.org/xpl/freeabs_all.jsp ?arnumber=616386 Moller, L. (1989). Pseudoscience or Protoscience? The Newsletter of The North Texas Skeptics, 3(3). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ntskeptics.org/1989/1989mayju ne/mayjune1989.htm National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html O'Toole, M. E. (1999). Criminal profiling: The FBI uses criminal investigative analysis to solve crimes. Corrections Today, 61(1), 4446. Penyebab tewasnya David ditentukan Coroner Court. (2009). Kompas.com. Ditemukembali pada 22 Maret 2009, dari http://internasional.kompas.com/read/xml/2 009/03/19/1420565/Penyebab.Tewasnya.Da vid.Ditentukan.Coroner.Court Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20Petitio n-Final.pdf Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Tenth Impression (Revised) 1980. London: Hutchinson. Pseudoscience. (2009). Wikipedia. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudoscience Ramsland, K. (2008). Criminal profiling: Part 1
28
JUNEMAN
history and method. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.trutv.com/library/crime/criminal _mind/profiling/history_method/new_22.ht ml Rogers, M. (2003). The role of criminal profiling in the computer forensics process. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www2.tech.purdue.edu/cit/Courses/CI T556/readings/Profile-Rogers.pdf Sarwono, S. W. (2000). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teoriteori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970) Sherrer, H. (2004). That’s not my fingerprint, your honor. Justice: Denied, 25, 11. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.justicedenied.org/issue/issue_25 /brandon_mayfield.html Snook, B., Gendreau, P., Bennell, C., Taylor, P. J. (2008). Criminal profiling. Skeptic, 14(2), 42-47,80. Snook, B., Cullen, R. M., Bennell C., Taylor, P. J., & Gendreau, P. (2008). The criminal profiling illusion: What's behind the smoke and mirrors? Criminal Justice and Behavior, 35, 1257-1276. Student stabs prof, jumps. (2009). The Strait Times Discussion Board. Ditemukembali pada 6 Maret 2009, dari http://comment.straitstimes.com/showthread .php?t=17387&page=15 Turvey, B. E. (1995). The Impressions of a man: An objective forensic guideline to profiling violent serial sex offenders. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.criminalprofiling.ch/article1.ht
ml Turvey, B. E. (2008). Criminal profiling: An introduction to behavioral evidence analysis (3th ed.). London: Academic Press. Webb, D. (2006). What is forensic psychology? All about forensic newsletter 2. Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.all-about-forensicpsychology.com/what-is-forensicpsychology.html Winerman, L. (2004). Criminal profiling: the reality behind the myth. Monitor on Psychology, 35(7), 66–69.
PEMROFILAN KRIMINAL
29
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 29–38
ISSN 2085-4242
Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta Eunike Sri Tyas Suci Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta The purpose of this research was to describe the snacking behavior among school children in Jakarta. It was already known that the pupils are prominent consumers of unhealthy snack widely sold near schools. The research method used was quantitative cross-sectional and the population of this study was the pupils of eight elementary schools in Jakarta. Using the purposive random sampling, 400 research respondents were recruited and it was found that their parents give them some pocket money about 1.000 rupiah to 5.000 rupiah per day. The research results showed that siomay (a type of dim sum) and batagor (fried tofu and meat balls) are two favorite snacks for the pupils and they usually buy them in their school's canteen. This finding was quite relieving, but we should worry that there are still many pupils who prefer buying snacks and food from the vendors who sell snacks out of the school yard to those who sell inside the school yard. Further, the research found that 36% of the respondents like food with tomato or chilly sauce. Keywords: snacking behavior, school children, elementary school pupil, healthy behavior
Makanan dan jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian masyarakat, khususnya orangtua, pendidik, dan pengelola sekolah, karena makanan dan jajanan sekolah sangat berisiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak mengganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun panjang anak sekolah. Penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan di Jakarta menemukan kenyataan bahwa dari 800 pedagang yang berjualan di 12 sekolah, 340 menjual jajanan yang mengandung zat kimia berbahaya (“Intaian maut,” 2005). Survei lain yang dilakukan oleh POM pada tahun 2004
melibatkan ratusan sekolah dasar di seluruh Indonesia dan menampung sekitar 550 jenis makanan yang diambil dari sampel pengujian. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 60% jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56% sampel mengandung rhodamin dan 33% mengandung boraks (”Jajanan pembawa,” 2004). Pada tahun 2007, POM melakukan survei kembali dengan melibatkan 4.500 sekolah di Indonesia dan membuktikan bahwa 45% jajanan anak berbahaya (“Jajanan anak,” 2008). Mariani dari Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan 29
30
SUCI
Nasional mengakui bahwa selama ini masih banyak jajanan sekolah yang kurang terjamin kesehatannya dan berpotensi menyebabkan keracunan ("Jajanan sekolah," 2009). Berkaitan dengan jenis dan efek zat kimia berbahaya yang sering ditemukan dalam bahan makanan, Badan POM mengungkapkan bahwa berbagai bahan kimia yang umum digunakan pada bahan makanan antara lain formalin, rodhamin, methanil yellow, dan boraks. Disebutkan bahwa formalin yang merupakan bahan pengawet mayat ternyata digunakan untuk mengawetkan bahan makanan, antara lain mi, tahu, ikan asin, dan ikan basah. Bahan kimia ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan kematian akibat rusaknya otak, hati, jantung, dan iritasi pada saluran pernapasan ("Intaian maut," 2005). Dengan banyaknya makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran, kantin-kantin sekolah, dan penjaja makanan di sekitar sekolah merupakan agen penting yang bisa membuat siswa mengonsumsi makanan tidak sehat. Sebuah survei di 220 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan hanya 16% sekolah yang memenuhi syarat pengelolaan kantin sehat ("Jajanan sekolah," 2009). Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa makanan jajanan ini menyumbang energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29%, dan zat besi 52% (Guhardja, dkk., dalam Februhartanty & Iswarawanti, 2004). Dengan demikian, terkait dengan masalah jajan anak sekolah, merupakan tantangan besar bagi pemerintah dan pengelola sekolah untuk memperhatikan bagaimana asupan gizi siswa sekolah tercukupi tanpa harus mengonsumsi jajanan di lingkungan sekolah, apabila memungkinkan. Melihat kenyataan bahwa sebagian besar
anak sekolah jajan di kantin sekolah atau di penjual makanan sekitar sekolah, peneliti ingin melihat gambaran perilaku jajan anak sekolah. Hal ini penting sekali karena “hanya” dengan kebiasaan jajan makanan yang tidak sehat, banyak anak sekolah yang akan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa yang harus dijaga dan dipelihara untuk menjadi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan sangat tergantung pada kualitas anak-anak saat ini. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini. Untuk memelihara perkembangan anak secara optimal, pemberian nutrisi dan asupan makanan yang adekuat pada anak perlu mendapat perhatian secara serius. Berkaitan dengan perilaku jajan anak sekolah, beberapa hal yang perlu diteliti antara lain adalah seberapa besar anak sekolah dasar sering menerima uang saku dari orangtua, jumlah nominal yang diterima secara rutin, serta bagaimana ia membelanjakannya (untuk jajan, ditabung, beli keperluan sekolah, beli barangbarang yang sedang tren). Jumlah nominal yang diterima anak sekolah juga perlu diketahui untuk dibelanjakan apa saja. Apabila mereka membelanjakannya untuk jajan, maka apa saja jenis makanan favorit yang mereka beli, serta mengapa mereka memfavoritkan makanan tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan perilaku sehat individu itu sendiri. Dengan mengetahui pola perilaku jajan anak sekolah dasar, para pengelola sekolah bisa lebih memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan kualitas makanan pada jenis makanan tertentu yang beredar di kantin sekolah. Apabila ditemukan bahwa jajanan favorit anak sekolah ternyata justru dijual di luar kantin sekolah,
31
PERILAKU JAJAN
para pengelola sekolah diharapkan untuk membuat kebijakan tertentu terhadap penjual makanan yang bertebaran di luar lingkungan sekolah. Juga apabila ternyata sebagian besar uang saku anak sekolah dibelanjakan untuk makanan, pihak sekolah perlu mengantisipasi untuk meningkatkan mutu jajanan yang beredar di kantin maupun di lingkungan sekolahnya. Lebih jauh, perlu adanya pendidikan khusus tentang bagaimana mengelola uang saku yang diberi oleh orangtua, serta memanfaatkannya secara lebih optimal. Salah satu contoh yang penulis ketahui adalah melalui siaran wawancara terhadap anak-anak sekolah oleh Metro TV ketika terjadi tsunami di Aceh pada 2005, dalam hal mana beberapa anak sekolah yang biasa mengumpulkan uang sakunya dalam ‘celengan’ (tabung, umumnya dari keramik berbentuk tertentu yang biasa dipakai untuk memasukkan koin)―untuk membeli barang yang mereka ingin/butuhkan saat sudah terkumpul―ketika terjadi tsunami, menyerahkan ‘celengan’ tersebut seutuhnya ke posko yang menerima bantuan untuk korban tsunami. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran perilaku jajan murid sekolah dasar, karena tanpa ada demand dari murid sekolah dasar, tentu kantin atau penjaja makanan di sekitar sekolah tidak akan berlomba-lomba untuk menjual makanan yang menarik minat anak sekolah. Secara khusus peneliti ingin mengetahui beberapa hal, antara lain: (a) pola perilaku keluarga murid sekolah dasar: kebiasaan orangtua memberi uang jajan secara rutin, jumlah rupiah yang diterima setiap hari, alasan orangtua memberi uang jajan, mengapa tidak memberi bekal makan, (b) pola perilaku murid sekolah dasar membelanjakan uang saku yang
diterima orangtuanya: berapa yang ditabung, mengapa tidak menabung, apa saja yang dibeli dengan uang saku tersebut, serta (c) pola perilaku jajan murid sekolah dasar (ditanyakan hanya apabila murid sekolah dasar menyatakan bahwa uang saku biasa dibelanjakan untuk beli makan jajanan di sekolah): apa yang paling sering dibeli, mengapa, dimana didapatkan, bagaimana kemasannya, bagaimana mengonsumsinya (cuci tangan dulu, diambil dengan tangan dari pembungkus, dan lain-lain). Gambaran perilaku jajan murid sekolah dasar ini merupakan informasi yang sangat penting guna meningkatkan kualitas makanan yang ditawarkan di lingkungan sekolah dan mencegah terjadinya infeksi dan/atau keracunan. Gambaran ketiga pola perilaku yang akan diteliti tersebut merupakan informasi dasar bagi para pimpinan Sekolah Dasar untuk mengembangkan kebijakan sekolah yang lebih komprehensif berkaitan dengan perilaku jajan murid sekolah dasar di sekolahnya.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa sekolah dasar di sekolah-sekolah dasar di Jakarta sesuai dengan sekolah yang akan digunakan oleh Tim Jakarta in Focus Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Ada delapan sekolah dasar yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) Sekolah Dasar Don Bosco, (b) Sekolah Dasar Negeri Cipulir 011 Pagi, (c) Sekolah Dasar St. Fransiskus Asisi, (d) Sekolah Dasar Santo Lukas Penginjil, (e) Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi Kelapa Gading Timur, (f) Sekolah Dasar Negeri Gandaria Selatan 01 Pagi, (g) Sekolah Dasar Negeri Mampang Prapatan 02 Pagi, dan (h) Sekolah
32
SUCI
Dasar Negeri Pecenongan Pulo 07 Pagi. Sampel penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas V dari sekolah yang sudah dipilih. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive random sampling, di mana pada setiap sekolah diambil tiga kelas (dari semua kelas V) secara acak. Dengan jumlah sekitar 40 murid per kelas, diharapkan diperoleh sampel sekitar 950 siswa. Alasan utama memilih sampel dengan siswa kelas V adalah karena mereka telah mengenal lingkungan sekolahnya cukup lama. Peneliti tidak mengambil siswa kelas VI karena mereka dalam persiapan ujian. Peneliti juga tidak mengambil siswa kelas IV atau di bawahnya, karena metode kuesioner kurang tepat untuk mereka sehingga membutuhkan waktu lebih lama. Analisis penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi-silang dengan menggunakan program komputer SPSS. Berkaitan dengan ethical clearance, peneliti menyadari bahwa subyek penelitian adalah anak-anak dibawah usia 18 tahun, sehingga peneliti perlu mendapat ijin dari orangtua murid untuk mengisi formulir yang akan diberikan. Untuk itu, seminggu sebelum menyebarkan kuesioner, terlebih dahulu peneliti membagikan lembar informasi tentang penelitian yang akan dilakukan dan pernyataan orangtua yang mengijinkan anaknya untuk mengisi kuesioner tersebut. Peneliti hanya meminta murid untuk mengisi kuesioner penelitian pada mereka yang telah mengembalikan lembar tanggapan yang telah ditandatangani orangtuanya.
Hasil dan Pembahasan Dari sekitar 600 kuesioner yang disebarkan, peneliti berhasil mengumpulkan 432 kuesioner yang kembali. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya adalah laki-laki (n = 227; 53%).
Tabel 1 memaparkan distribusi frekuensi variabel-variabel latar belakang sampel penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, dan nama sekolah. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden (N = 432) Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Missing
Latar
Usia 6 - 9 tahun 10 tahun 11 tahun ke atas Missing Nama sekolah SD Don Bosco SDN Cipulir 011 Pagi SD St. Frans. Asisi I SD Santo Lukas Penginjil SDN 01 Pagi Kelapa Gading Timur SDN Gandaria Selatan 01 Pagi SDN Mampang Prapatan 02 Pagi SDN Pecenongan Pulo 07 Pagi
Belakang
Jumlah
%
227 202 3
52,5 46,8 0,7
34 339 55 4
7,9 78,5 12,7 0,9
92 34 90 30
21,3 7,9 20,8 6,9
63
14,6
58
13,4
39
9,0
26
6,0
Berkaitan dengan usia, nampak sekali bahwa mereka mengelompok pada satu usia, yaitu usia 10 tahun (n = 339; 78,5%). Sisanya, ada 55 anak yang berusia 11 tahun ke atas (12,7%) dan 34 anak berusia 6–9 tahun (7,9%). Pengelompokan pada usia 10 tahun disebabkan karena peneliti menyebarkan kuesioner pada anak-anak yang berada di kelas V. Mereka yang umurnya 11 tahun ke atas tentu ada kecenderungan bahwa mereka pernah
PERILAKU JAJAN
mengulang kelas sebelumnya. Tabel 1 juga menunjukkan distribusi frekuensi siswa SD pada setiap sekolah dasar yang terpilih untuk diteliti. Penelitian ini dilakukan pada 3 sekolah dasar swasta dan 5 sekolah dasar negeri. Untuk sekolah dasar swasta, yaitu Don Bosco, St. Fransiskus Asisi 1, dan Santo Lukas Penginjil, total jumlah responden penelitian adalah 212 murid, atau 49% dari total sampel penelitian. Hal ini merupakan salah satu mengapa hanya dipilih tiga sekolah dasar swasta. Sebaliknya, untuk lima sekolah dasar negeri yang berpartisipasi dalam penelitian ini, total sampel yang didapat adalah 220, atau sekitar 51%. Dengan demikian diharapkan bahwa ada jumlah yang proporsional antara sekolah dasar swasta dan negeri, supaya tidak terjadi bias. Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui apakah responden menerima uang saku setiap berangkat ke sekolah. Hal ini penting untuk diketahui karena ada kemungkinan bahwa kebanyakan anak sekolah menerima uang saku (uang jajan). Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (93%) mengakui bahwa mereka menerima uang saku. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa 73% orangtua memberikan uang saku pada anaknya setiap hari (5–6 hari seminggu). Di samping itu, sekitar 11% orang tua memberikan uang saku satu atau dua kali seminggu, dan satu responden mengakui mendapatkannya sebulan sekali. Dalam hal ini, sangat mungkin orangtua memberi uang saku dalam jumlah yang cukup besar untuk dibelanjakan selama periode tertentu. Di samping tidak merepotkan, sistem ini mendidik anak untuk belajar bagaimana mengelola uang sakunya.
33
Tabel 2 Frekuensi Menerima Uang Saku (N = 432) Setiap berangkat sekolah Jumlah % mendapat uang saku 1–2 kali seminggu 48 11,1 3–4 kali seminggu 37 8,6 5–6 kali seminggu 314 72,7 Sebulan sekali 1 0,2 Tidak pernah 29 6,7 3 0,7 Missing Lebih jauh, Tabel 2 juga menunjukkan bahwa ada 29 responden (6,7%) yang menyatakan tidak pernah menerima uang saku. Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa alasan sebagian besar responden yang tidak pernah menerima uang saku adalah karena mereka membawa bekal dari rumah. Hanya beberapa responden yang menyatakan bahwa orangtua/wali tidak memberi, orangtua khawatir sakit perut, atau alasan lainnya. Oleh karena analisis selanjutnya berkait dengan perilaku jajan anak sekolah, maka peneliti hanya menggunakan sampel pada siswa sekolah dasar yang mendapat uang saku, yaitu berjumlah 400 orang. Salah satu alasan utama anak membeli makanan di sekolah adalah karena mereka tidak membawa bekal dari rumah. Ternyata, 156 siswa atau 39% dari responden menyatakan bahwa mereka membawa bekal makan siang dari rumah. Oleh karena membawa bekal makan merupakan pilihan terbaik dalam mengonsumsi makan, peneliti tertarik mengapa sebagian besar siswa tidak membawa bekal makan siang. Tabel 3 menunjukkan ada dua alasan utama, yaitu: (a) responden selalu terburu-buru, dan (b) orangtua/wali juga sangat sibuk, kemungkinan besar untuk mempersiapkan diri berangkat ke kantor. Di samping itu, alasan lain responden tidak membawa bekal adalah karena temantemannya tidak ada yang bawa, malu (karena
34
SUCI
merasa tidak lazim), dan karena sudah punya uang saku. Untuk responden yang menerima uang saku, jumlahnya sangat bervariasi, dengan rentang dari yang paling rendah, yaitu Rp 1.000,00, sampai dengan yang paling tinggi, yaitu Rp 100.000,00. Tabel 4 menampilkan besaran nominal uang saku yang diterima oleh responden. Dalam tabel ini, nampak sekali bahwa 326 siswa (82%) melaporkan bahwa mereka menerima uang saku dengan kisaran Rp 1.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00. Tabel 3 Alasan Responden Tidak Membawa Bekal dari Rumah (N = 400) Alasan tidak bawa bekal Jumlah % Saya selalu terburu-buru 88 22,0 Orangtua/wali sangat sibuk 88 22,0 Malu 15 3,8 Teman-teman tidak ada yang 17 4,3 membawa Bawa uang jajan/saku 2 0,5 190 47,5 Missing Tabel 4 Besaran Nominal Uang Saku yang Diterima Responden (N = 400) Jumlah uang saku Jumlah % Rp 1.000,00–5.000,00 326 81,5 Rp 5.500,00–10.000,00 53 13,3 Rp 11.000,00–20.000,00 8 2,0 Rp 21.000,00 ke atas 7 1,8 6 1,5 Missing Jumlah nominal sekitar Rp 1.000,00 sampai Rp 5.000,00 ini sangat berhubungan dengan pola orangtua/wali memberikan uang saku pada anaknya secara harian dan diharapkan jumlah tersebut cukup untuk membeli makanan atau jajanan di sekolah atau sekitar sekolah. Tabel 5 menjelaskan lebih jauh tentang pendapat responden berkaitan dengan alasan
orangtua/wali memberi uang saku/jajan. Tabel tersebut menunjukkan secara jelas bahwa sebagian besar, yaitu 361 siswa atau 90% responden, menyatakan bahwa orangtua mereka memberi uang saku/jajan agar mereka bisa makan ketika lapar. Tabel 5 Alasan Orangtua/wali Memberi Uang Saku/jajan (N = 400) Alasan orangtua/wali Jumlah % Agar bisa makan ketika lapar 90,3 361 Agar bisa seperti teman lain 12 3,0 Agar bisa traktir teman 5 1,3 Agar tidak malu dan minder 3 0,8 Lainnya 12 3,0 7 1,8 Missing Beberapa alasan berikutnya yang umum dilaporkan oleh responden adalah anggapan orangtua supaya mereka bisa seperti teman yang lainnya (3%), supaya bisa traktir temanteman (1,3%), dan supaya tidak merasa malu/minder (,8%). Selain itu, ada alasanalasan individual lain, misalnya agar responden bebas memilih makanan sendiri, agar mereka bisa menabung atau membelanjakan keperluankeperluan mendadak, alat tulis, dan lain-lain. Ada satu responden yang mengaku agar bisa ditabung untuk beli telepon seluler. Untuk responden yang suka membelanjakan uang sakunya untuk jajan, peneliti ingin mengetahui kemana saja mereka membeli makanan atau jajanan. Tabel 6 menunjukkan gambaran kemana saja mereka sering jajan. Tabel tersebut menunjukkan bahwa 370 (92,5%) responden menyatakan bahwa mereka jajan di kantin sekolah. Selain kantin sekolah, ternyata 33% membeli makanan jajan pada penjaja makanan di luar pagar sekolah, dan 21% membeli makanan jajan pada penjaja
PERILAKU JAJAN
makanan di dalam pagar sekolah. Temuan ini menarik untuk diketahui dan untuk menjadi perhatian lebih lanjut karena ternyata jajanan non-kantin yang dijual di dalam pagar sekolah—artinya diasumsikan bahwa penjualannya lebih terawasi—tidak semenarik jajanan yang dijual di luar pagar sekolah.
Tabel 6 Tempat Jajan dan Jajanan Favorit Responden Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Tempat biasa jajan Kantin Sekolah 370 92,50 Penjaja makanan lain di 84 21,00 dalam pagar sekolah Penjaja makanan di luar 132 33,00 pagar sekolah Tempat lain 19 4,80 Makanan/jajanan yang paling sering dibeli Siomay 186 46,50 Batagor 165 41,30 Es krim 123 30,75 Cakwe 105 26,30 Nasi uduk 101 25,25 Es sirop 100 25,00 Mi ayam 74 18,50 Mi bakso 61 15,30 Bakso goreng 53 13,25 Tempat jajan lain yang dilaporkan oleh responden, selain ketiga lokasi tersebut di atas, adalah tempat jajan dekat tempat jemputan, mal, restoran, minimarket, supermarket, toko, tempat les, dan warung. Dengan banyaknya alternatif tempat jajan yang bisa dikunjungi siswa, maka siswa perlu mendapat informasi yang jelas tentang bagaimana memilih jajanan. Hanya dengan membekali siswa pemahaman untuk memilih tempat jajan yang sehat, mereka bisa terhindar dari kebiasaan mengonsumsi makanan yang tidak bergizi, tidak higienis, serta terhindar dari keracunan makanan.
35
Selanjutnya, peneliti tertarik untuk mengetahui jenis makanan yang paling sering dikonsumsi oleh responden siswa sekolah dasar. Tabel 6 menampilkan berbagai jenis makanan jajan yang umumnya dijual di kantin sekolah maupun oleh penjual di sekitar sekolah. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa siomay menempati urutan pertama yang paling disukai responden (46,5%), disusul oleh batagor (41,30%). Kalau mengaitkan temuan ini dengan Tabel 7 tentang alasan membeli makanan yang disukainya, 84% menyatakan bahwa responden membeli karena enak rasanya. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut karena rasa enak untuk anak sekolah dapat dijadikan alasan penjaja makanan untuk memberi bumbu penyedap makanan, meicin, dan lainnya, agar makanan yang dijajakan laku di pasar tanpa memperhatikan faktor kesehatan. Beberapa makanan favorit yang sering dibeli responden, antara lain es krim (31%), es sirop (25%), cakwe (26%), dan nasi uduk (25%). Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui mengenai konsumsi saus merah secara berlebihan. Tabel 7 menampilkan bentuk jajanan yang sering dikonsumsi responden termasuk kemasannya. Berkaitan dengan saus merah, ternyata 146 (37%) responden menyatakan bahwa makanan yang dibeli di kantin sekolah maupun penjaja sekitar sekolah disertai dengan saus merah. Seperti diketahui sebelumnya, kesukaan responden pada saus merah perlu mendapat perhatian lebih serius karena bisa saja warna merah dari saus disebabkan karena dicampur dengan bahan pewarna kimia yang bukan untuk makanan sebagaimana yang sering diberitakan di media massa.
36 Tabel 7 Makanan/jajanan Favorit Pertanyaan dan jawaban Alasan beli makanan/jajanan Teman-teman menyukainya Enak rasanya Murah harganya Menarik tampilannya Lainnya Missing Jajanan yang biasa dibeli Disertai saus merah Dikemas plastik Dikemas daun Dikemas bahan lain Pakai piring Tidak dikemas
SUCI
Jumlah
%
12
3,0
336 33 2 16 1
84,0 8,3 0,5 4,0 0,25
146 314 13 83 234 31
36,5 78,5 3,3 20,8 58,5 7,75
Berkaitan dengan masalah kemasan makanan yang dikonsumsi responden, ternyata sebagian besar responden menyatakan bahwa makanan yang dibeli dikemas dengan plastik (78,5%). Di samping itu, ternyata responden juga membeli makanan dengan menggunakan piring (58,5%). Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa makanan yang diletakkan dalam piring biasanya disediakan oleh kantin sekolah dan bukan penjaja disekitar sekolah. Cara makan merupakan hal penting untuk diperhatikan oleh anak usia sekolah, karena apabila tidak diajarkan sejak awal tentang cara makan yang benar, maka ada kemungkinan nantinya mereka makan secara sembarangan. Tabel 8 menggambarkan apa saja perangkat yang digunakan untuk makan di sekolah. Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden (66%) menggunakan sendok/garpu ketika makan makanan di sekolah. Cara makan yang seperti ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar mereka makan di kantin sekolah karena jarang
sekali ada penjaja makanan yang menyediakan sendok/garpu untuk pembelinya. Namun perlu diperhatikan juga, Tabel 8 menunjukkan ada 87 responden (22%) yang mengambil makanan langsung dengan tangan yang sangat mungkin tidak bersih karena habis bermain. Selain memakai tisu dan sapu tangan, ada juga yang menggunakan sumpit dan tusuk gigi untuk makan di tempat tersebut. Hal-hal yang disebutkan terakhir sangat mungkin terjadi saat responden beli makanan jajan di penjaja makanan yang tidak terkontrol.
Tabel 8 Cara Makan Responden Anak Sekolah (N = 400) Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Cara Makan Diambil langsung 87 21,8 dengan tangan Pakai sendok/garpu 265 66,3 Pakai tisu/ sapu tangan 23 5,8 Lainnya 23 5,75 2 0,5 Missing Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan Selalu dilakukan 210 52,5 Sering dilakukan 88 22,0 Jarang dilakukan 83 20,8 Tidak pernah dilakukan 17 4,25 2 0,5 Missing Berkaitan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, Tabel 8 menunjukkan bahwa separuh dari responden (53%) mengaku selalu mencuci tangan sebelum makan. Persentase ini cukup besar mengingat seringkali tempat jajan atau kantin tidak dilengkapi dengan tempat cuci tangan yang memadai. Selanjutnya, 22% responden mengaku mereka sering mencuci tangan, dan 21% lain mengaku jarang melakukannya. Selanjutnya, peneliti ingin
37
PERILAKU JAJAN
Tabel 9. Tempat Jajan di Sekolah yang Dikunjungi Responden serta Frekuensinya (N = 400) Penjaja di dalam Penjaja di luar Kantin Sekolah pagar sekolah pagar sekolah Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pernah beli makanan/jajan di tempat ini Ya, pernah 393 98,3 193 48,3 273 68,3 Tidak pernah 3 0,8 110 27,5 45 11,3 4 1,0 97 24,3 82 20,5 Missing Frekuensi makan di tempat ini 5–6 kali seminggu 130 32,5 22 5,5 63 15,8 3–4 kali seminggu 56 14,0 29 7,3 44 11,0 1–2 kali seminggu 57 14,3 32 8,0 47 11,8 Tidak tentu 149 37,25 104 26,0 129 32,3 8 2,0 213 53,3 117 29,3 Missing
mengetahui apakah responden pernah datang dan membeli makanan ke tempat-tempat jajan, seperti di kantin sekolah, penjaja di dalam pagar sekolah, dan penjaja makanan di luar pagar sekolah. Tabel 9 menampilkan tempat jajan yang dikunjungi responden dan seberapa sering mereka berkunjung ke tempat itu. Tabel 9 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden pernah berkunjung ke kantin sekolah (98%). Hal selanjutnya yang menarik untuk disampaikan adalah kenyataan bahwa sekitar 68% mengaku pernah mengunjungi penjaja makanan di luar pagar sekolah, sementara 48% mengaku pernah mengunjungi penjaja makanan di dalam pagar sekolah. Berkaitan dengan penjaja di luar pagar sekolah yang nampak lebih dikunjungi oleh siswa dibanding penjaja di dalam sekolah, ada kemungkinan bahwa jenis makanan yang enak dan murah lebih mudah didapatkan di penjaja di di luar pagar sekolah daripada yang ada di dalam pagar sekolah. Namun, dapat juga terjadi mereka sering membeli di penjaja makanan di luar pagar sekolah sambil menunggu jemputan atau kendaraan setelah sekolah usai. Sementara itu,
di dalam pagar sekolah sudah tersedia kantin dan siswa mempunyai waktu terbatas untuk jajan di dalam sekolah.
Kesimpulan dan Saran Perilaku jajan anak sekolah perlu mendapat
perhatian khusus karena anak sekolah merupakan kelompok yang rentan terhadap penularan bakteri dan virus yang disebarkan melalui makanan, atau biasa disebut food borne diseases. Dengan maraknya isu berkaitan dengan campuran kimiawi makanan jajanan yang sangat mempengaruhi kesehatan seseorang, peneliti ingin mengetahui gambaran pola perilaku jajan anak sekolah di delapan sekolah dasar di Jakarta. Dalam penelitian ini didapatkan informasi bahwa orangtua merupakan salah satu faktor penentu perilaku jajan anak sekolah dasar karena dari orangtua lah mereka mendapat uang saku. Di samping itu, jumlah nominal dan cara orangtua memberikan uang saku merupakan hal yang penting. Diketahui bahwa orangtua biasa memberi uang saku/uang jajan setiap hari dan dalam jumlah dengan kisaran Rp 1.000,00–Rp
38
SUCI
5.000,00. Jumlah ini menurut peneliti cukup wajar untuk membeli makan siang anak sekolah. Berkaitan dengan jajanan favorit, penelitian ini menemukan bahwa siomay dan batagor merupakan makanan favorit anak sekolah. Satu temuan yang cukup melegakan adalah bahwa umumnya mereka biasa membeli makanan di kantin sekolah. Meskipun mungkin lebih mahal, kualitas makanan di kantin sekolah lebih terjamin dibanding di tempat-tempat lain di sekitar sekolah. Hal yang perlu diperhatikan adalah temuan penelitian bahwa responden cenderung memilih jajanan yang dijual di luar pagar sekolah daripada di dalam pagar sekolah. Lebih jauh, sekitar 36% responden menyukai makanan yang disertai dengan saus merah. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah untuk mengupayakan penyuluhan pada penjaja makanan tentang bagaimana menyiapkan makanan yang dijajakan secara higienis. Pihak sekolah juga perlu memberi penyuluhan kepada siswanya untuk memilih jajanan yang higienis. Jajanan favorit yang ditemukan dalam penelitian ini bisa menjadi masukan pada pihak sekolah untuk menyediakannya di kantin sekolah.
Bibliografi Februhartanty, J., & Iswarawanti, D. N. (2004). Amankah makanan jajanan anak sekolah di Indonesia? Ditemukembali pada 30 Maret 2006, dari http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1097726693, 98302, Intaian maut formalin. (2005, 29 Desember). Media Indonesia Online. Ditemukembali pada 29 Desember 2005, dari http://mobile.mediaindonesia.com/mobile_editorial.asp?id=200
5122823554101 Jajanan anak mengandung zat pewarna tekstil. (2008, 19 Agustus). Tempo Interaktif. Ditemukembali pada 6 April 2009, dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2008/08/19/brk,20080819-131475,id.html Jajanan pembawa maut. (2004, 7 Juni). Tempo 15/XXXIII. Jajanan sekolah potensi sebabkan keracunan. (2009, 20 Maret). Kapanlagi.com. Ditemukembali pada 6 April 2009, dari http://www.kapanlagi.com/h/jajanansekolah-potensi-sebabkan-keracunan.html
PERILAKU JAJAN
39
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 39–48
ISSN 2085-4242
Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi Wahyu Widhiarso Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Psychological instruments which usually measure the underlying latent abilities or personality traits are called multidimensional measurements. The assumption of these measurements is that there are two or more common factors that create interrelationship among the measured variables. Factor analysis is the method which proves the interrelationship of two or more factors. Researchers usually ignore the interrelationship found in these multidimensional measurements as they apply reliability formula, which is one-dimensional (i.e., Alpha Coefficient), to find out the reliability coefficient for multidimensional instruments used to measure personality traits. This article is aimed to answer the question if Alpha Coefficient is the right coefficient for one-dimensional measurement and if the Alpha Coefficient will underestimate or overestimate the reliability coefficient of the measurement. Some other reliability coefficients for multidimensional measurements are outlined. Keywords: multidimensional measurement, factor loading, reliability formula
Pengembangan instrumen pengukuran dalam bidang psikologi banyak mengasumsikan penggunaan pengukuran yang bersifat unidimensi―yang secara konseptual dirumuskan bahwa ada satu jenis faktor abilitas, kepribadian, sifat, maupun sikap yang diukur oleh satu instrumen pengukuran. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa asumsi unidimensi tersebut sulit dipenuhi dengan ditemukannya beberapa faktor baru yang turut diukur dalam satu instrumen. Dengan perkataan lain, instrumen psikologis yang sering dipakai oleh peneliti cenderung bersifat multidimensi. Tingginya kecenderungan instrumen pengukuran bersifat multidimensi disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain, sebagai berikut: 1. Karakteristik konstruk psikologi. Hasil perbandingan pengujian ketepatan model pada Skala Harga Diri dari Coopersmith, misalnya, cenderung memiliki sifat yang multidimensi dibanding dengan unidimensi. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli pengukuran psikologi, bahwa skala psikologi cenderung mengarah pada model multidimensi (Drolet & Morisson, 2001; Spector, Brannick, & Chen, 1997) 2. Adanya pelibatan aspek-aspek dalam penyusunan alat ukur. Penyusunan instrumen psikologis seringkali diawali dari penurunan butir-butir dari beberapa aspek teoritis, 39
40
WIDHIARSO
misalnya penyusunan skala efikasi diri yang diturunkan dari aspek atletik, akademik, dan kehidupan sosial (Kamata, Turhan, & Darandari, 2003). Aspek-aspek ini berpotensi akan membangun dimensi ukur yang berbeda sehingga pengukuran menjadi bersifat multidimensi. 3. Jumlah butir di dalam instrumen. Drolet dan Morisson (2001) menunjukkan bahwa multidimensionalitas skala psikologi dipengaruhi antara lain oleh jumlah butir. Jumlah butir yang terlalu banyak dapat menambah potensi penambahan varian sesatan dalam butir sehingga memunculkan dimensi baru dari dimensi yang ditetapkan semula. Jumlah butir dan bentuk skala mempengaruhi sikap responden terhadap butir yang kemudian mempengaruhi tanggapan mereka terhadap alat ukur. 4. Teknik penulisan butir. Spector et al. (1997) menemukan bahwa teknik penulisan butir yang memiliki arah yang terbalik antara arah positif (favorable) dan negatif (unfavorable) dapat membentuk dimensi ukur baru, padahal, dalam pengambilan data, banyak skala psikologi menggunakan teknik penulisan butir yang berbeda arah. 5. Satuan pengukuran yang berbeda. Pengukuran dalam bidang psikologi cenderung memiliki satuan ukur yang berbeda antara butir satu dengan butir lainnya dalam sebuah instrumen ukur. Hal ini didukung dengan antara butir satu dengan butir lainnya memiliki kapabilitas yang berbeda sebagai indikator konstruk ukur. Kondisi ini akan menyebabkan hasil pengukuran cenderung akan bersifat multidimensi. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran dalam bidang psikologi, baik mengukur konstruk abilitas maupun non-abilitas
(kepribadian) sangat rentan terhadap kemajemukan atribut yang diukur (multidimensi). Penelitian-penelitian telah menujukkan bahwa hasil analisis faktor terhadap pengukuran psikologi menghasilkan faktor yang majemuk, misalnya: (a) Hwang, Chun, Kurasaki, Mak, dan Takeuchi (2000) menemukan enam dimensi dalam pengukuran dukungan sosial, (b) Albo, Núñez, Navarro, dan Grijalvo (2007) membandingkan model dimensi harga diri dan menemukan bahwa model empat dimensi lebih tepat menggambarkan harga diri dibanding dengan satu dimensi, serta (c) dengan membandingkan indeks ketepatan model antara model efikasi diri satu faktor dan tiga faktor, Brouwers dan Tomic (2001) menemukan bahwa model tiga dimensi memiliki indeks ketepatan model yang lebih tinggi dibanding dengan satu dimensi; artinya, efikasi diri merupakan konstruk psikologi yang bersifat multidimensi. Dengan memahami kecenderungan pengukuran psikologi lebih pada model pengukuran multidimensi dibanding model unidimensi, maka diharapkan proses identifikasi properti psikometris pengukuran psikologi sudah melibatkan teknik analisis yang menggunakan model multidimensi.
Koefisien Alpha dan Dimensionalitas Pengukuran Banyak ditemukan bahwa peneliti secara sepihak (arbitrary) menggunakan koefisien alpha dalam mengestimasi reliabilitas hasil pengukuran yang dilakukannya, padahal koefisien alpha menghendaki adanya beberapa asumsi, misalnya bahwa antara satu butir dengan butir lainnya dalam satu instrumen diharapkan memiliki unit pengukuran dan kecermatan yang sama dalam menjelaskan skor murni. Hal ini berimplikasi pada fungsinya
41
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI
sebagai estimator reliabilitas lebih tepat dikenakan pada pengukuran unidimensi dibanding dengan multidimensi. Oleh karena menekankan pada homogenitas varian butir, koefisien alpha kurang peka terhadap dimensionalitas data sehingga meskipun dikenakan pada pengukuran yang multidimensi, koefisien alpha dapat menghasilkan nilai reliabilitas yang tinggi. Sebagai bukti keterbatasan koefisien alpha dalam mengenali dimensionalitas, penulis menyusun data simulasi yang dibedakan berdasarkan jumlah butir dan dimensi yang ada di dalamnya. Hasil estimasi koefisien alpha tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil estimasi koefisien alpha pada data menunjukkan bahwa pada data yang memiliki dimensi tunggal (unidimensi), koefisien alpha menghasilkan koefisien reliabilitas yang tinggi pada semua jumlah butir. Estimasi koefisien alpha pada kasus ini bergerak antara = 0,836 dan = 0,961. Pada kasus data berdimensi
majemuk dengan jumlah butir yang sedikit (k < 15), koefisien alpha menghasilkan koefisien reliabilitas yang rendah. Sebaliknya, pada data dengan jumlah butir yang banyak (k > 15), koefisien alpha menghasilkan koefisien reliabilitas yang tinggi. Kesimpulan yang dapat diambil dari simulasi di atas menunjukkan bahwa koefisien alpha kurang peka terhadap dimensionalitas data ketika jumlah butir lebih dari 15 butir. Hal ini terlihat dari nilai reliabilitas yang cukup tinggi (> 0,7) pada berbagai jumlah dimensi. Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil simulasi tersebut adalah agar para peneliti lebih dahulu mengidentifikasi dimensionalitas data sebelum menggunakan koefisien alpha, misalnya, dengan melakukan analisis faktor. Apabila dari hasil analisis faktor ditemukan struktur data adalah unidimensi, maka koefisien alpha dapat diaplikasikan. Namun, apabila data memiliki struktur multidimensi, maka peneliti dapat mengaplikasikan koefisien alpha pada
1.0
1 dimensi 2 dimensi 3 dimensi 4 dimensi 5 dimensi
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 5 butir
10 butir
15 butir
20 butir
25 butir
Gambar 1. Perbandingan estimasi koefisien alpha pada jumlah butir dan jumlah dimensi berbeda.
42
WIDHIARSO
masing-masing dimensi, atau menggunakan koefisien reliabilitas untuk pengukuran multidimensi yang akan dibahas pada sub di bawah ini.
Koefisien Reliabilitas Pengukuran
melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada kasus skor komposit multidimensi, misalnya tes baterai yang bersifat multidimensi. Formula untuk mendapatkan besarnya reliabilitas alpha berstrata (α s ) adalah sebagai berikut:
Multidimensi Dalam mengestimasi reliabilitas, peneliti dalam bidang psikologi banyak menggunakan koefisien alpha yang sudah sangat populer. Banyak diantara peneliti tersebut tidak memahami bahwa koefisien alpha memiliki beberapa kriteria tertentu agar hasil estimasinya memiliki ketepatan yang akurat, misalnya terpenuhinya asumsi kesetaraan skor murni yang diungkap (tau-equivalent) dan unidimensionalitas data. Jika koefisien alpha diaplikasikan pada pengukuran yang multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang underestimate. Oleh karena itu, bagi peneliti yang hendak mengidentifikasi reliabilitas pengukuran yang bersifat multidimensi, dianjurkan untuk menggunakan koefisien reliabilitas yang dapat mengakomodasi model multidimensi tersebut. Artikel ini akan memaparkan beberapa koefisien reliabilitas yang dapat diaplikasikan pada model pengukuran multidimensi serta membandingkan ketepatan estimasi masingmasing koefisien tersebut.
k
s 1
i 1
2 i
(1 i )
x2
Keterangan i2 = varian butir pada komponen ke-i
i = reliabilitas komponen ke-i x2 = adalah varian skor total tes Berikut adalah contoh penghitungan koefisien alpha berstrata. Misalnya, seorang peneliti sedang mengukur konsep diri yang terdiri dari tiga dimensi, misalnya dimensi ketahanan, kompetensi dan akademik. Setelah melalui pengambilan data, didapatkan statistik deskriptif yang dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Konsep Diri Reliabilitas Tiap Dimensi Varian Dimensi Ketahanan 3 0,80 Kompetensi 3 0,80 Akademik 2 0,70 Skor Total 6
Koefisien Reliabilitas Alpha Berstrata Koefisien alpha terstratifikasi (alpha stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach, Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti koefisien alpha, koefisien alpha berstrata adalah pengukuran internal konsistensi dengan
Berdasarkan informasi pada Tabel 1, jika kita menggunakan koefisien alpha untuk mengestimasi reliabilitas pengukuran di atas maka kita akan mendapatkan hasil estimasi yang terlalu rendah (underestimate), sebagai berikut:
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI
2 3
*1
(3 3 2) 0,50 6
Koefisien reliabilitas akan menghasilkan hasil estimasi yang lebih memuaskan jika menggunakan koefisien alpha berstrata, sebagai berikut:
s 1
3(1 0.8) 3(1 0,8) 2(1 0.7) 0,70 6
Koefisien Reliabilitas Komposit Mosier Pada 1943, Mosier mengembangkan sebuah koefisien reliabilitas yang dapat dikenakan pada pengukuran yang struktur multidimensi (Mosier, 1943). Pengukuran yang memiliki struktur multidimensi didapatkan dari instrumen yang memiliki komponen tes yang independen dengan komponen lainnya. Misalnya, tes bakat atau tes potensi akademik yang terdiri dari beberapa sub tes. Koefisien ini dinamai reliabilitas skor komposit (reliability of composite score) yang mampu mengakomodasi perbedaan pembobotan pada tiap sub tes. Formula untuk mendapatkan besarnya reliabilitas skor komposit (r xx’ ) ini sebagai berikut: rxx ' 1
(w 2j s 2j ) (w 2j s 2j r jj ' ) (w 2j s 2j ) 2(w j wk s j s k r jk )
Keterangan w 2j = bobot dimensi ke-j
r jj ' = reliabilitas dimensi ke-j
r jk = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j s 2j = varian dimensi ke-j
Untuk menghitung reliabilitas skor komposit dari Mosier diperlukan informasi
43
mengenai reliabilitas masing-masing dimensi, pembobotan masing-masing dimensi, varian tiap dimensi dan korelasi antar skor dimensi. Sebagai contoh, sebuah Skala Atribusi Masalah terdiri dari dua dimensi, yaitu atribusi penyebab masalah dan atribusi pemecahan masalah. Informasi mengenai reliabilitas tiap dimensi dan korelasi antar dimensi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Atribusi terhadap Masalah Korelasi ReliaAntar Dimensi bilitas Varian Bobot Dimensi Penyebab 0,85 25 2 masalah 0,4 Pemecahan 0,75 36 3 masalah Berdasarkan informasi tersebut maka besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui, sebagai berikut: [(22.25) (32.36)] [(22.5.0,85) (32.6.0, 75) [(22.25) (32.36)] [2.(2.3.5.6.0, 4)] rxx ' 0,8310 rxx '
Karakteristik dari koefisien ini, antara lain: (a) reliabilitas ini dapat bernilai 1,00 apabila semua reliabilitas komponen juga bernilai 1,00, (b) semakin besar korelasi antar dimensi, maka nilai reliabilitas yang dihasilkan semakin besar, dan (c) nilai reliabilitas ini cenderung lebih besar daripada rerata reliabilitas tiap komponen, kecuali pada kondisi komponen memiliki reliabilitas, varian dan bobot yang sama, serta korelasi antar komponennya adalah nol. Kondisi yang terakhir ini akan menghasilkan
44
WIDHIARSO
reliabilitas yang merupakan reliabilitas tiap komponen.
rerata
dari
Koefisien Reliabilitas Komposit Wang Wang (1998) menyusun sebuah koefisien reliabilitas yang dapat dipakai untuk pengukuran yang bersifat multidimensi serta mampu mengakomodasi pembobotan masingmasing dimensi tersebut. Dengan menggunakan teori skor murni klasik―yang menyatakan bahwa reliabilitas adalah proporsi varian skor murni dengan varian skor tampak, maka didapatkan formula reliabilitas berikut ini: n
rxx '
n
n
wi2 rii ' wi w j rij i 1 n
i 1 j 1 n n
w w w r i 1
2 i
i 1 j 1
i
j ij
Keterangan w j = bobot dimensi ke-j rii ' = reliabilitas dimensi ke-j rij = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j Untuk menghitung reliabilitas komposit dari Wang (1998) ini diperlukan informasi mengenai reliabilitas masing-masing dimensi, pembobotan masing-masing dimensi, dan korelasi antar skor dimensi. Sebagai contoh, sebuah Skala Nilai Kerja terdiri dari dua dimensi, yaitu pengembangan diri (selfenhancement) dan transendensi diri (selftranscendence). Informasi mengenai reliabilitas tiap dimensi dan korelasi antar dimensi dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan informasi dari Tabel 3 maka besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui, sebagai berikut:
(12.0,85) (12.0, 75) (2.1.1.0,90) 12 12 (2.1.1.0,90) 1, 6 1,8 3, 4 0,895 rxx ' 2 1,8 3,8 rxx '
Tabel 3 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Nilai Kerja Korelasi Antar Dimensi Reliabilitas Bobot Dimensi Pengembangan 0,85 1 diri 0,90 Transendensi 0,75 1 diri Formula koefisien reliabilitas komposit ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (a) nilai reliabilitas terendah yang dapat dicapai oleh dari koefisien reliabilitas komposit adalah nilai reliabilitas dimensi yang terendah, (b) jika antara satu dimensi dengan dimensi lainnya memiliki korelasi yang tinggi, maka nilai reliabilitas komposit dapat lebih tinggi daripada reliabilitas masing-masing dimensi, serta (c) jika reliabilitas masing-masing dimensi adalah sama, maka reliabilitas komposit dapat mencapai nilai maksimal apabila pembobotan tiap dimensi adalah setara. Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov
Raykov dan Shrout (2002) yang menyusun koefisien reliabilitas komposit ini mengatakan bahwa reliabilitas komposit adalah varian skor murni dalam kaitannya dengan varian tes. Formula untuk mendapatkan besarnya reliabilitas skor komposit (r xx’ ) ini adalah sebagai berikut:
45
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI p
rxx '
var ( i 1
p
var ( i 1
k
) j 1
ij
i
k
p
j 1
i 1
pembagian varian konstruk ukur dan varian konstruk komposit.
ij i E1 )
Keterangan ij = factor loading tidak terstandarisasi
X1 FAKTOR1
X2 X3 KOMPOSIT
KONSTRAK UKUR X1
indikator Yi pada faktor i
FAKTOR2
X2
i = konstruk laten ke-i.
X3
Ei = eror pengukuran pada indikator Yi Koefisien reliabilitas komposit pada dasarnya adalah pembagian antara varian konstruk ukur yang terdiri dari j-faktor dengan varian konstruk laten fungsi linier dari tiap indikator. Hal ini merupakan penjabaran dari teori skor murni klasik, yaitu reliabilitas yang didefinisikan dari pembagian antara varian skor murni dan varian skor tampak xx T2 / X2 .
Oleh karena beroperasi pada tataran konstruk yang bersifat laten, maka diperlukan analisis faktor untuk mendapatkan besarnya reliabilitas. Sampai saat ini belum ada program komputer yang dapat secara langsung mengeluarkan hasil komputasi reliabilitas komposit (Caroline, 2004). Untuk menghitungnya, diperlukan pengoperasian sintaks yang cukup rumit pada program berbasis Persamaan Model Struktural (SEM) antara lain EQS dan LISREL (lihat Raykov & Shrout, 2002). Model pengukuran yang dipakai untuk mengkomputasi koefisien reliabilitas komposit dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan sebuah instrumen pengukuran yang bersifat multidimensi yang terdiri dari dua faktor yang masing-masing terdiri dari tiga butir. Kedua faktor tersebut memprediksi besarnya skor murni komposit, dan di sisi lain, masing-masing prediktor memprediksi besarnya skor komposit. Reliabilitas komposit didapatkan dari
Gambar 2. Model penghitungan koefisien reliabilitas komposit.
Koefisien Reliabilitas Komposit McDonald McDonald (1981) mengembangkan sebuah koefisien reliabilitas yang kemudian diberi nama koefisien reliabilitas konstruk yang juga dinamakan dengan koefisien omega ( ). Koefisien reliabilitas ini berbasis pada analisis faktor konfirmatori yang merupakan bagian dari menu pemodelan SEM. Reliabilitas konstruk ini menjelaskan besarnya proporsi indikator dalam menjelaskan konstruk ukur. Formula untuk mendapatkan besarnya koefisien reliabilitas konstruk tersebut adalah sebagai berikut:
i i i 1
2
2
i i i 1 i2 i 1 i 1
Keterangan i = factor loading indikator ke-i
terstandarisasi
Formula tersebut mengingatkan kita pada estimasi reliabilitas skor murni klasik, yang merupakan pembagian antara varian skor murni oleh jumlah antara varian skor murni dan eror
46
WIDHIARSO
[ xx ' x2 /( x2 e2 ) ]. Diperlukan informasi mengenai factor loading terstandarisasi melalui analisis faktor konfirmatori untuk mendapatkan besarnya koefisien ini. Sebagai contoh, sebuah skala yang mengukur Pengalaman Orang Tua Tunggal terdiri dari dua dimensi, yaitu pengalaman dengan keluarga dan pengalaman kerja yang masing-masing terdiri dari tiga buah butir. Setelah dianalisis dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori melalui LISREL atau AMOS, didapatkan informasi factor loading tiap indikator yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Statistik Deskriptif Hasil Pengalaman Orang Tua Tunggal Dimensi
Dimensi A
Dimensi B
Butir 1 2 3 1 2 3
Total
i 0,5 0,5 0,6 0,8 0,8 0,7 4,00
Pengukuran 1 i2 0,75 0,64 0,64 0,36 0,36 0,51 3,26
Berdasarkan informasi tersebut maka besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui, sebagai berikut:
42 0,8307 4 2 3,26
Koefisien ini banyak dipakai oleh peneliti yang menggunakan analisis berbasis SEM, baik yang menggunakan model pengukuran unidimensi, atau pun multidimensi (Segars, 1997). Penerapan pada model pengukuran paralel maupun tau equivalent―yang mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki ketepatan ukur yang setara, akan didapatkan
nilai reliabilitas konstruk yang setara dengan koefisien alpha. Di sisi lain, jika diterapkan pada model pengukuran congeneric, yang mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki ketepatan ukur yang bervariasi, maka akan didapatkan nilai reliabilitas konstruk yang lebih tinggi dibanding dengan koefisien alfa (Yurdugül, 2006). Koefisien Reliabilitas Konstruk Berbobot Koefisien reliabilitas konstruk ini diperkenalkan oleh Hancock dan Mueller (2000), yang menunjukkan seberapa jauh indikator instrumen mampu merefleksikan konstruk yang hendak diukur. Koefisien ini merupakan modifikasi dari koefisien reliabilitas konstruk McDonald yang tidak mampu mengakomodasi bobot yang berbeda antar dimensi. Hasil modifikasi tersebut adalah formula baru yang dinamakan dengan koefisien reliabilitas konstruk berbobot, sebagai berikut: li2 2 i 1 (1 l i ) w p l2 1 i 2 i 1 (1 l i ) p
Keterangan l i = koefisien dimensi ke-i terstandar
Untuk mendapatkan besarnya koefisien reliabilitas ini peneliti cukup mencari besarnya factor loading kuadrat tiap komponen yang mudah didapatkan dari analisis faktor konfirmatori. Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan program komputasi SEM, misalnya LISREL atau AMOS. Misalnya, sebuah instrumen pengukuran terdiri dari dua dimensi, yang masing-masing terdiri dari tiga butir (Tabel 5). Setelah dianalisis melalui
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI
program analisis faktor konfirmatori didapatkan besarnya korelasi kuadrat. Tabel 5 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Dimensi Butir li2 li2 /(1 li2) Dimensi A
Dimensi B Total
1 2 3 1 2 3
0,38 0,53 0,59 0,47 0,39 0,66
0,612903 1,12766 1,439024 0,886792 0,639344 1,941176 6,6469
Berdasarkan informasi tersebut maka besarnya reliabilitas konstruk berbobot dapat diketahui, sebagai berikut: w
6,6469 0,8692 1 6,6469
Koefisien reliabilitas konstruk berbobot ini dapat diartikan sebagai korelasi kuadrat antara dimensi dengan skor komposit linier optimal (optimum linear composite), sehingga beberapa ahli menamakannya dengan reliabilitas maksimal (maximal reliability).
Kesimpulan dan Saran Sebelum melakukan analisis untuk mengestimasi reliabilitas pengukuran yang dilakukan, peneliti diharapkan melakukan analisis faktor untuk mengidentifikasi berapa jumlah dimensi yang dihasilkan. Jika hasil identifikasi menunjukkan pengukuran lebih bersifat multidimensi, maka koefisien reliabilitas multidimensi dapat dikenakan. Namun, jika menghasilkan pengukuran yang bersifat unidimensi, koefisien reliabilitas yang telah dikenal, seperti Alpha Cronbach, Spearman-Brown, atau KR-20, dapat
47
dikenakan. Koefisien reliabilitas untuk pengukuran multidimensi yang dipaparkan pada artikel ini dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan informasi yang dibutuhkan untuk menghitung reliabilitas tersebut. Jenis pertama adalah reliabilitas yang diawali dengan analisis faktor konfirmatori dengan menggunakan pendekatan Model Persamaan Struktural (SEM), seperti Koefisien Reliabilitas Konstruk McDonald dan Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov. Jenis kedua adalah koefisien yang tidak memerlukan prosedur analisis faktor, seperti Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach Berstrata atau Koefisien Reliabilitas Skor Komposit Mosier. Jenis reliabilitas yang akan dipakai bergantung pada pendekatan yang dipakai oleh peneliti. Peneliti yang menggunakan pendekatan SEM dapat memilih koefisien berbasis SEM, sedangkan peneliti yang menggunakan pendekatan konvensional dapat memilih koefisien reliabilitas yang tidak berbasis SEM.
Bibliografi Albo, J. M., Núñez, J. L., Navarro, J. G., & Grijalvo, F. (2007) The Rosenberg selfesteem scale: Translation and validation in university students. The Spanish Journal of Psychology, 10(2), 458-467. Brouwers, A., & Tomic, W. (2001). The factorial validity of scores on the teacher interpersonal self-efficacy scale. Educational and Psychological Measurement, 61, 433. Cronbach, L. J., Schoneman, P., & McKie, D. (1965). Alpha coefficient for stratifiedparallel tests. Educational & Psychological Measurement, 25, 291-312. Drolet, A. L., & Morrison, D. G. (2001). Do we really need multiple-item measures in
48
WIDHIARSO
service research? Journal of Service Research, 3, 196–204. Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000). Rethinking construct reliability within latent variable systems. Dalam Cudek, R., duToit, S.H.C., & Sörbom, D. (Eds.). Structural equation modeling: Present and future. Chicago: Scientific Software International. Hwang, W. C., Chun, C., Kurasaki, K., Mak, W., & Takeuchi, D.T. (2000). Factor validity of scores on a social support and conflict measure among Chinese Americans. Educational and Psychological Measurement, 60(5). Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (2003, April). Estimating Reliability for Multidimensional Composite Scale Scores. Paper yang dipresentasikan pada the annual meeting of American Educational Research Association, Chicago. McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of tests and items. British Journal of Mathematical and Statistical Psychology, 34, 100–117. Mosier, C. I. (1943). On the reliability of a weighted composite. Psychometrika, 8, 161168. Raykov, T., & Shrout, P. E. (2002). Reliability of scales with general structure: Point and interval estimation using a structural equation modeling approach. Structural Equation Modeling, 9(2), 195–212. Segars, A. H. (1997). Assessing the unidimensionality of measurement: A paradigm and illustration within the context of information systems research. Omega, 25(1), 107-121. Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997). When two factors don't reflect two constructs: How item characteristics can
produce artifactual factors. Journal of Management, 23(5), 659-668. Wang, T. (1998). Weights that maximize reliability under a congeneric model. Applied Psychological Measurement, 22(2), 179-187. Yurdugül, H. (2006). The comparison of reliability coefficients in parallel, tauequivalent, and congeneric measurements. Journal of Faculty of Educational Sciences, Ankara University, 39(1), 15-37.
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 49–59
ISSN 2085-4242
Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi) Hatib Abdul Kadir Mahasiswa Program MA pada Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Latah is a social behavior phenomenon which has been examined theoretically by some anthropologists, historians, and psychologists. They tried to explain latah and its relation to gender, ethnicity, colonialism discourse, and mental health. Latah is considered as part of the Malay's cultural emotions. The orientalists in the middle of nineteenth century depicted their amazement on finding this phenomenon. They tried to place latah into several cultural and psychological terms, such as cultural bound syndrome, regional peculiarities, psychodrama shamanic, hysterical psychosis, arctic hysteria, reactive psychosis, startled reaction, and fright neurosis. Latah has become part of the power discourse in defining the identity of the Malays, which is in between of personal and public place, profane and sacred realm, and consciousness and unconsciousness. This article tries to analyze the articles on latah which is considered as social and cultural phenomenon in Southeast Asian countries, particularly in Indonesia. Keywords: latah, psychocultural phenomenon, cultural emotion, Malays, Malaysia, Indonesia, collective unconsciousness, psychoanthropology
Fenomena latah mengingatkan saya ketika kecil. Pada waktu itu, saya tinggal di sebuah daerah bernama Kuala Simpang. Daerah ini terletak di perbatasan antara Aceh dengan Sumatera Utara. Di daerah yang indah ini, setiap saat kita dapat melihat negara Malaysia yang hanya dibatasi oleh selat yang tak sedemikian lebar. Di Kuala Simpang ini, hiduplah seorang laki-laki paruh baya yang rumahnya tak jauh bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Laki-laki bernama Atu’ ini mempunyai kebiasaan yang sangat disukai oleh tetangga-tetangga mereka, yakni latah. Pada suatu waktu, ia tengah mencari air di
Sungai Simpang Kanan. Sepulang dari sana sembari membawa seember air, ia bertemu dengan para tetangga yang memang suka menggoda si Atu’ ini. Para tetangga itu dengan tiba-tiba berkata “siram tu’-siram tu’!”. Maka, dengan spontanitas, Atu’ menyiramkan air yang dibawanya kepada orang-orang tak dikenal yang tengah lewat... Dan basahlah mereka…. (Irwan Abdullah, dalam Kuliah Tafsir Kebudayaan di Program Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2 April 2006)
49
50
KADIR
Tabel 1. Latah dan contoh-contoh ”latah” yang lain
Gender Coprolalia Echolalia Echokinesis Automatic obedience Local term
Malayan latah
Ainu imu
Siberian mieryachit
Afro-Arab ”latah”
Lapp panic
mainly women yes
mainly women yes
mainly women yes
mainly men
yes yes yes
yes yes yes
yes yes yes
usually not noted ? yes not noted
mainly women not noted
yes
yes
yes
in some cases
Latah merupakan sebuah fenomena budaya yang pada umumnya terjadi pada masyarakat Melayu―sebagaimana ditunjukkan dalam narasi perkuliahan Irwan Abdullah (2006) di atas, meskipun, berdasarkan hasil penyelidikan Winzeler (1995), latah tidak hanya ditemukan dalam budaya Melayu (lihat Tabel 1). Latah didefinisikan secara komprehensif oleh Wilkinson (1902, dalam Winzeler, 1995), sebagai berikut: ...Maka permainsuri pun latah-lah saperti orang gila tiyada khabarkan diri-nya: the queen fell into a fit of latah and became as one mad, not knowing what she was doing; Ht. Koris. Karena bonda Morah di-dalam latah-nya barang kata orang semuwa diturut-nya: Mother Morah is suffering from one of her fits of latah; all that people say she mimichs; Ht. Koris. Pura-pura latah: pretending to be a latah subject; Sh. Bur. Nuri, 23. Bukan-nya patah, ruwat; Bukan-nya latah, di-buwut: it is not broken but bent; it is not hysteria, it is only pretence; ― a proverbial expression, the first of which is often given to suggest the second. L. Mulut: a slight form of latah in which a shock causes the victim to fly into a paroxysm of coarse language but nothing more ....
French Canadian jumping mainly men not noted
not noted yes not noted
yes ? yes
not noted
yes
Sejumlah analisis menunjukkan bahwa latah dapat merupakan fenomena psikologis yang muncul karena masyarakat Asia Tenggara―sebagai negara terjajah (colonized) dan terisolasi (isolated) dari dunia luar―mengalami berbagai bentuk keterkejutan tatkala bertemu dengan dunia Barat yang baru, asing, mengagumkan, dan penuh kekuatan (Kenny, 1978; Tseng, 2006; Winzeler, 1984). Tulisan ini di samping hendak mengkaji lebih jauh analisis di atas, utamanya sekaligus ingin mengaitkan fenomena latah dengan emosi sebuah kebudayaan, dalam hal ini latah di semenanjung Malaya dan Indonesia.
Genealogi Fenomena Latah Latah merupakan suatu emosi kebudayaan yang khas dari masyarakat Melayu (Gimlette, 1912; Kenny, 1978; Winzeler, 1995). Penafsiran terhadap latar belakang fenomena ini dapat dilakukan melalui pendekatan psikoantropologis, psikoanalisis, dan psikiatris. Dalam perspektif peneliti Barat, latah merupakan suatu kondisi kebudayaan masyarakat yang sulit dimengerti sebabakibatnya (Geertz, 1968). Munculnya latah telah diteliti sejak abad pertengahan oleh
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
kalangan petualang hingga pegawai pemerintah kolonial. Dalam pandangan Barat, latah dipandang unik dan eksotis. Perspektif psikokultural dalam pandangan Barat menjelaskan keberadaan latah, misalnya, sebagai berikut: The upbringing, general cultural environment, and biological predisposition of the latah victim combine in such a way that his/her susceptible to the kinds of shocks which precipitate latah episodes. When such shocks occur barely repressed material of a largely sexual nature spontaneously rises to the surface in the form of obscenities or threatening erotic dreams. With the controlling powers of the ego temporary in abeyance, the latah may be induced to involuntarily imitate or repeat the words and deeds of onlookers. (Kenny, 1990: 128)
Bagi orang Barat, di samping bersifat eksotis, fenomena latah juga menjadi suatu bahan anekdot tersendiri. Orang Barat menyebutnya sebagai “strange tales of native people” atau cerita aneh dari masyarakat pribumi (Kenny, 1990: 125-126). Dalam hal ini, fenomena latah diserupakan dengan bentuk mimikri terhadap fenomena hysteria, dalam hal mana istilah ini berhubungan erat dengan rahim. Seorang perempuan Barat akan berteriak histeris tatkala mengalami persalinan yang dilakukan secara tradisional yang sangat menyakitkan. Namun, dalam perspektif lakilaki Barat, hysteria tidak dianggap sebagai sebuah kesakitan, melainkan keanehan (peculiarities) yang dilakukan kaum perempuan (Aberle, 1952; Yap, 1952). Istilah yang bernada perbandingan antara bidang psikiatris dan antropologis ini merupakan dominasi persepsi yang sangat “bias Barat”.
51
Bias persepsi latah nampak pada definisi Horne (dalam Kenny, 1990: 332), sebagai berikut: Latah: a mental disorder present in certain lower class women past middle age characterized by involuntary compulsive utterance of obscenities, parodying of other’s actions or other socially or morally offensive behaviour.
Dari perspektif psikiatris telah banyak sebutan yang ditujukan kepada penyandang latah, seperti psychosis, hysterical psychosis arctic hysteria, reactive psychosis, startle reaction, fright neurosis, dan hypnoid state (Ellis, 1897; van Brero, 1895). Berbagai istilah tersebut menggambarkan bahwa latah merupakan perbuatan dalam hal dimana individu mengalami kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Latah diketahui bukan merupakan pembawaan dari lahir, melainkan bersifat temporer, bergantung pada karakter lingkungan pergaulan, dan dapat menular kepada rekan lainnya. Mudahnya penularan ini karena latah muncul secara spontanitas namun terus terjadi secara berulang, dalam bentuk perkataan dan ekspresi tubuh. Hal ini menyebabkan orang-orang disekitarnya mudah sekali melakukan proses mimikri (peniruan) terhadap pelaku latah yang berekspresi secara berulang tersebut (Winzeler, 1984). Fenomena latah muncul semarak pada masyarakat Islam di semenanjung Malaysia, seperti Kelantan dan Trengganu, orang-orang pedalaman Semai di dataran tinggi semenanjung Malaya, hingga membentang di wilayah Jawa. Beberapa laporan menyebutkan bahwa fenomena latah juga muncul di wilayah Serawak; Singapura; Kalimantan, khususnya Dayak Iban; kaum migran Malaysia;
52
KADIR
masyarakat Jawa Timur, khususnya di Surabaya (dalam wujud ritual drama masyarakat kelas bawah); dan orang-orang Bali. Secara masif, kasus ini tidak muncul di kalangan Jawa aristokrat (priyayi) dan di perkampungan China. Oleh karena itu, keadaan latah bersifat regional culture atau indigenous milieu yang hanya ada pada masyarakat tertentu, yakni khususnya pada masyarakat Melayu (Winzeler, 1991; Winzeler, 1995). Pada masyarakat Barat, fenomena latah juga disebut sebagai cultural bound syndrome yang terjadi pada lingkungan pergaulan tertentu (Winzeler, 1995: 5-6). Diskusi mengenai apakah latah merupakan suatu bentuk kebiasaan abnormal, ataukah latah identik dengan identitas kebudayaan tertentu yang dianggap hal yang wajar, merupakan hal yang menarik untuk diikuti. Salah satu pendapat menganggap latah sebagai cultural bound syndrome atau juga disebut regional peculiarities, karena latah merupakan salah satu bentuk dari tingkat ke-stress-an seseorang yang hanya ada pada wilayah tertentu. Beberapa perspektif melihat bahwa fenomena latah sebagai bentuk epidemi kebudayaan pra-Eropa di Melayu (Winzeler, 1995: 74-78). Masyarakat dianggap terkejut tatkala menyaksikan kedatangan kolonial dengan tubuh mereka yang tinggi, putih, berbadan besar, serta nyata-nyata berbeda dari bentuk fisik warga setempat. Sebagai respon psikologis, keterkejutan melihat masyarakat baru tersebut diekspresikan melalui kata-kata yang diucapkan secara cepat, riuh rendah, dan berulang-ulang, sehingga mewabah pada beberapa komunitas. Dengan demikian, latah dianggap sebagai bentuk keterpanaan (startling), bentuk peniruan, dan sekaligus pengejekan (mimicry) terhadap kaum kolonial yang secara fisik berbeda dengan masyarakat pribumi―namun yang sebagai pendatang
mempunyai kekuasaan yang bersifat superior. Di Jawa, latah disinyalir muncul pertama kali pada kaum perempuan yang bekerja sebagai pembantu di kalangan keluarga Belanda (Geertz, 1968: 96). Seorang pembantu dianggap mempunyai kontak terdekat dengan keluarga penguasa yang ada di dalam rumah. Dengan demikian, latah merupakan gaya bahasa yang telah terdistorsi maknanya, kemudian ia terdistribusikan keluar, sehingga menjadi arena perbincangan yang cukup menyenangkan dan seru di kalangan kelas bawah. Dalam konteks ini, latah diinterpretasikan sebagai bentuk imitasi bahasa yang tersebar pada wilayah rural society. Penafsiran mengenai dampak kedatangan kolonial ini diperteguh dengan pengamatan H.B.M. Murphy (1976: 3-9). Murphy menyatakan bahwa ia tidak menemukan referensi latah pada masyarakat Melayu sebelum tahun 1850 atau pertengahan abad 19. Namun, Kenny mengemukakan bahwa, pengamatan Murphy ini sedikit lengah, mengingat wilayah pedalaman merupakan area yang lepas dari pengamatan, diperkuat dengan temuan lain yang mengungkapkan bahwa latah merupakan fenomena kaum pedalaman yang telah ada, bahkan jauh sebelum kedatangan kolonial (Kenny, 1990: 127-130). Di wilayah semenanjung Malaya, munculnya latah diinterpretasikan berasal dari dunia perdukunan yang penuh dengan dunia misteri (Kenny, 1990: 131). Perspektif ini diistilahkan sebagai psychodramatic shamanic, dalam hal mana individu pada tingkat keterkejutan tertentu akan mengalami momenmomen yang bersifat trance/nirsadar secara sesaat. Konsep latah pertama kali ditemukan pada berbagai individu yang sering menyendiri di sebuah hutan. Keterkejutan secara alami dengan menyebut nama-nama binatang, seperti
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
harimau, macan, buaya, hingga ular, dipercaya akan membawa spirit asosiatif dengan binatang tersebut. Dalam hal ini, binatang, hutan, dan kesepian, diinterpretasikan sebagai suatu media transformasi individu menuju ke dunia misteri. Individu mempunyai konsep diri yang mendua. Ketidaksadaran diri (loss of control) diidentifikasikan ketika ia masuk hutan, sedangkan kesadaran diri (self-control) diidentifikasikan ketika ia berada di kampung, di tengah-tengah masyarakat. Kampung dianggap sebagai dunia yang penuh dengan nilai humanitas, penuh interaksi sosial yang hidup, sedangkan sungai dimaknai sebagai sebuah batas antara kampung dan hutan. Ketika seseorang telah memasuki hutan, maka ia akan menemui sebuah kehidupan yang misterius dan tak terduga. Tidak mengherankan apabila gerakan penyandang latah sering diidentikkan layaknya seekor macan yang tengah terkejut. Hal ini diperkuat dengan perilaku si latah dalam mengurangi keterkejutannya, yakni dengan berespons yang seolah-olah bertemu dengan macan pula. Demikianlah, gerakan latah manusia juga dipadankan dengan konsep shock, atau keterkejutan yang menduplikasi gerak hewan di hutan. Beberapa kasus di semenanjung Malaya juga menyebutkan bahwa gerak-gerik latah menjadi alat bantu perhubungan antara arwah dengan kehidupan pada saat terjadi kelahiran seorang bayi. Gerak-gerik latah juga menjadi alat bantu yang bersifat transenden, yang nampak pada momen-momen seperti keterkejutan di saat tengah melakukan meditasi. Kasus keterkejutan juga terjadi pada ibu-ibu yang telah lama mempunyai keinginan untuk mendapatkan momongan, dan ketika tahu bahwa ia mengandung. Latah dengan tiba-tiba dapat disandang oleh ibu tersebut, karena ia
53
terkejut bahwa ternyata ia mampu mengandung. Untuk mencegah dari perilaku latah yang berkelanjutan, maka diperlukan seorang dukun yang mendampingi sang ibu ini. Kasus-kasus mengenai dukun atau bidan tradisional yang menghadapi latah banyak ditemukan di dataran tinggi Semai, semenanjung Malaya (Ellis, 1897: 33; Yap: 1952: 8-12). Dalam penyelidikan terhadap hal ini, diketahui bahwa latah muncul karena sang ibu mengalami depresi hebat ketika anak yang sangat dikasihinya meninggal dunia. Kasus-kasus latah ini mempunyai hubungan erat dengan aspek medikal, yang kemudian ditangani oleh dukun perempuan yang dianggap mempunyai interaksi dengan makhluk di luar manusia (Kenny, 1990: 132-134). Interpretasi lain terhadap fenomena latah mengungkap bahwa kemunculannya dianggap sebagai respon terhadap kecemasan seksual, khususnya kaum perempuan yang mengalami masa menopause karena menyadari bahwa ketuaan benar-benar telah mendatanginya (Geertz: 1968: 103; Yap, 1952: 12; Winzeler: 1984: 96). Interpretasi ini cukup meragukan, karena budaya pos-menstruasi atau menopause pada masyarakat Melayu―yang oleh perempuan Barat dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan―sesungguhnya merupakan hal yang biasa-biasa saja bagi perempuan Melayu. Terdapat ada lima alasan, mengapa menopause bukan hal yang menakutkan bagi perempuan Melayu (Omar, 1994: 34-82). Pertama, menopause menandai masuknya perempuan ke fase kedua manusia. Perempuan justru memasuki sebuah dunia baru yang dianggapnya lebih matang. Kedua, kejadian menopause seiring usia dianggap dialami oleh perempuan yang lebih dewasa dan dihormati. Beberapa etika adat mengharuskan orang yang lebih muda (biasa disebut anak) mengharuskan
54
KADIR
hormat padanya (seperti ungkapan, “Anak yang soleh mesti hormat orang tua, mesti ingat jasa orang tua”). Meskipun tidak dapat bereproduksi dan berhenti masa suburnya, perempuan Melayu cukup bahagia, karena telah melewati masa tersebut. Ketiga, pendapat perempuan Melayu yang sudah mengalami menopause selalu didengarkan oleh orang yang berada usianya berada bawahnya, karena mereka dianggap lebih pandai dan bijak. Keempat, perempuan menopause mempunyai akses yang lebih bebas dalam berperan di masyarakat. Latah juga menghinggapi perempuan yang terkena ilmu sihir, perempuan yang berprofesi sebagai dukun beranak, kaum transvestit, hingga dialamatkan pada penganut agama kuno (Kenny, 1990: 132). Demikianlah, bersama dengan uraian lain di atas, fenomena latah di masyarakat nampak identik dengan gejala perilaku yang dialami kaum perempuan, khususnya perempuan kelas bawah yang termarjinalisasi. Nampak bahwa peneliti Barat yang bertemu dengan fenomena latah telah menciptakan batasan-batasan budaya berdasarkan kelas, politik aliran, gender, ras dan kebangsaan, yang kemudian diteorisasikan secara general, melalui bahasa-bahasa ilmiah. Teorisasi terhadap latah selama ini lahir dari ilmuwan di masa kolonial dan bersifat EuroAmerican-sentris. Beberapa pandangan melihat bahwa latah tidak lepas dari adanya dikotomisasi budaya antara kelas bawah dengan kelas atas serta perempuan dan laki-laki. Fenomena ini muncul pada dua wilayah subordinan, yakni pada perempuan dan masyarakat kelas bawah.
Latah dalam Berbagai Konteks Psikoantropologi Emosi
Latah merupakan fenomena yang menjadi arena multitafsir yang dapat dipandang dari berbagai konteks kejadian. Misalnya, latah diidentikkan dengan keeksentrikan yang berkaitan erat dengan karakter perempuan (effeminate), dihubungkan pada ranah mistis dan ketidaknormalan mental (mental disorder), diakibatkan oleh keganjilan sebuah mimpi, hingga kegilaan (insanity) (Ellis, 1897; Geertz, 1968; Murphy, 1976; Winzeler, 1984). Clifford Geertz menyebut fenomena latah sebagai “stage fright” (Geertz, 1960: 241-260), yakni sebuah keadaan dimana individu mengalami kehilangan kontrol dalam mode tindakan. Yang dilakukan individu tersebut adalah pengungkapan berbagai simpul emosi yang terbaur menjadi satu, yakni antara keterkejutan, ketakutan, hingga keberanian. Beragamnya penafsiran terhadap fenomena latah karena perbuatan ini menjadi sebuah gerak-gerik bawah sadar, dalam hal mana penyikapan/respons terhadap suatu simbol dan kode-kode tertentu bersifat spontan tanpa berafirmasi dengan masyarakat sekitar. Dalam kebudayaan Jawa, Geertz (1960; 1979) mengoposisikan kasus latah ke dalam ruang budaya yang dikotomis antara mode pembicaraan (mode of speech) yang “halus” dan “kasar”. Latah dianggap sangat tabu jika ia dilakukan dalam wilayah aristokrat (dalam hal ini: keraton). Sebaliknya, latah menjadi fenomena emosional yang menyenangkan, bahkan menghibur, ketika berada di wilayah masyarakat akar rumput. Wilayah aristokrat dipandang selalu dipenuhi dengan atmosfir perbuatan penuh kesopanan dan pengendalian diri, sebaliknya wilayah akar rumput dikontekskan sebagai masyarakat ekspresif, kasar, riuh rendah dan tak memberi ruang ketat pada nilai hierarkis (Geertz, 1979: 333-348;
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
Kenny, 1990: 126). Lingkungan pergaulan pada kasus latah menjadi kode tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Dalam budaya Jawa, kedudukan atau status seseorang ditentukan oleh banyak hal di samping kekayaan, keturunan, pekerjaan, dan usia. Mode berbahasa dan gaya berbicara merupakan kode yang sangat jelas menunjukkan sebuah status. Latah identik dengan kelas bawah karena perilaku ini nyaris tidak memberi ruang kerendahatian si pembicara, di samping menghadirkan ekspresi emosi yang tidak mencerminkan bahwa si pelaku latah tengah berbicara dengan kelas yang lebih atas, atau berhadapan dengan kelas yang lebih bawah. Di Jawa, latah dianggap sebagai suatu bentuk bahasa yang lepas dari organisasi sosial yang kaku dan dianggap sebagai budaya kasar karena sejumlah hal (Geertz, 1960; Geertz, 1968). Pertama, perbuatan latah lepas dari serangkaian konjugasi bahasa yang seharusnya penuh dengan hierarki dan kerapian. Untuk mengeluarkannya, tak perlu ada pemilihan kata denotatif yang penuh kesopanan, karena latah keluar nyaris tanpa kesengajaan dan rekayasa. Kedua, latah identik dengan keterusterangan terhadap suatu maksud dan kehendak. Sedangkan dalam aristokrasi Jawa, konsep kehendak merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak diungkapkan secara langsung, tiba-tiba, serta transparan. Menjadi lebih bijaksana apabila suatu kehendak ditunda atau disembunyikan terlebih dahulu. Dalam perilaku Jawa, langkah bijak terhadap suatu kekecewaan dan keterkejutan bukan respon secara ekspresif, melainkan diungkapkan di belakang atau dengan cara solilokui (Bahasa Jawa: nggembremeng atau menggerundel). Analisis pertama dan kedua tersebut agak berbeda
55
dengan sejumlah uraian sebelumnya. Konsep latah yang tumbuh di semenanjung Malaysia tidak lepas dari adanya colonial encounter (antara colonializer dengan colonialized), sehingga latah tumbuh ketika terjadi kontak antara pembantu yang keluarga tuan kolonial yang ada dalam rumah, kemudian membentuk sebuah distribusi mimikri. Dengan perkataan lain, konsep latah terbangun melalui konstruk servant-mastery antara masyarakat setempat dengan kaum koloni. Ketiga, latah mempunyai hubungan erat dengan istilah semangat atau tindakan yang cukup berapi-api dari individu. Karakter emosi kesemangatan dari individu ini bersifat defensif (Kenny, 1990: 130-131). Kesemangatan perucapan latah terjadi ketika ada pemicu yang menggerakkan keterkejutannya, dan pelaku akan mengeluarkan respon balik yang juga bisa diartikan sebagai bentuk pertahanan. Bentuk semangat yang defensif dianggap sebagai strategi untuk mereduksi kekhawatiran dan ketakutan penyandang latah. Dalam perspektif Jawa, perilaku berapi-api, terlalu bersemangat dan mudah terkejut, mudah heran (“Ojo kagetan, ojo nggumunan”) merupakan tindakan yang tidak dianjurkan oleh kalangan aristokrat Jawa. Tindakan ini hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan dan berperadaban halus. Merupakan karakter orang Jawa untuk selalu tenang, sabar, dan bijak, ketika menanggapi sesuatu. Keempat, kata-kata spontan yang dikeluarkan dalam latah sering bersifat cabul (dirty jokes) dan merujuk kepada anggotaanggota tubuh yang sensitif, seperti menyebut salah satu bagian alat kelamin dengan menggunakan bahasa daerah. Padahal mengeluarkan kata-kata tubuh tertentu sangat dianggap tidak sopan dalam pandangan kelas
56
KADIR
terdidik dan aristokrat. Pada tataran perilaku kecabulan, penyandang latah justru menjadi suatu hiburan tersendiri, tatkala dengan responsif ia memelorotkan celana atau pakaian penutup aurat tertentu akibat dikejutkan oleh suatu perintah secara tiba-tiba. Dalam sebuah studi kasus, pada fenomena latah di Serawak yang merujuk pada sejumlah nama hewan, dunia mistis dan organ seksualitas tubuh juga terjadi, seperti laporan berikut (Kenny, 1990: 136): A survey study of latah among Malay women included as content: male genitalia hanging on a tree; detached male and female genitalia on their own; basketfuls of steamed male genitalia; giving birth; ghosts and worms; snaky; monkey and crocodiles; similar dreams are reported from peninsular Malaysia as well.
Pada konteks wilayah Trengganu, Malaysia, latah pada kaum laki-laki diidentikkan dengan kepemilikan potensi menyanyi yang baik. Sedangkan, perempuan latah dianggap sebagai perempuan yang elegan dan penuh kehormatan (jika meminjam istilah Jawa: “perempuan yang tanpa tedeng aling-aling”) (Geertz, 1968: 100). Di Jawa, sang pelaku latah dianggap sebagai orang yang lucu. Semakin ia mudah terkejut dan semakin cabul kata-kata yang dikeluarkan, semakin lucu orang menganggapnya. Kelucuan akan semakin bertambah karena sang pelaku terkadang berani mengeluarkan kata-kata yang tak beraturan (chaotic) dengan merusak tatanan bahasa baku yang telah ada. Akibat kelucuan yang berulang-ulang, maka seringkali rekanrekan si latah tak bosan menggodanya. Inilah mengapa fenomena penyandang latah di Jawa justru mendapatkan empati tersendiri dalam lingkungan pergaulan.
Tertawa akibat melihat kelatahan seseorang menghadirkan suasana interpretasi emosi yang ambigu pula. Pada satu sisi, respons penyandang latah dianggap menyenangkan sekaligus menghibur, namun di sisi lain respons penyandang latah dianggap tidak pantas atau bahkan subversif. Latah dapat dikategorikan sebagai tindakan subversif karena didalamnya terdapat lelucon yang menjadi sebuah bahan tertawaan, dalam hal mana lelucon ini mempunyai sifat menyindir yang sangat keras terhadap nilai-nilai normatif yang berlaku dalam struktur suatu masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, Danadjaja (2002) memasukkan lelucon ke dalam bagian folkore lisan, yakni cerita rakyat yang masuk ke dalam sub bagian dongeng. Dandjaja mengatakan bahwa joke atau anekdot berfungsi sebagai protes sosial atau sindiran, dapat juga digolongkan sebagai joke politik. Latah dapat menjadi bagian sindiran tersebut. Ruang humor pada kasus latah menunjukkan simbol ekspresi emosi yang hierarkis―egaliter dalam sebuah relasi sosial. Selain dipercaya sebagai sebuah gejala yang bersifat sementara (transitory), terdapat dua karakter lainnya bagi penyandang latah. Pertama, yang bersifat natural, misalnya, pada kasus beberapa anggota keluarga di Jawa yang rentan menyandang kebiasaan latah ini, sehingga tidak jarang orang Jawa menganggapnya sebagai suatu “keturunan sosial”. Di sisi lain, latah menjadi bagian dari ekshibisionisme, atau sekedar pameran yang dibuat-buat, akibat meniru tren dari rekanrekannya (Elliz, 1897: 32-40). Dalam konstruk jender, latah berkaitan erat dengan karakter keperempuanan (effeminate), karena latah sering dialami oleh kaum perempuan. Namun demikian, konstruk jender ini mengalami ambiguitas. Hal ini karena
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
perempuan yang menyandangnya dianggap memiliki tingkat femininitas yang rendah apabila dikaitkan dengan konsep semangat dan ekspresivitas emosi meledak-ledak―yang seharusnya disandang oleh kaum laki-laki (Kenny, 1990:34-5). Di sisi lain, bagi laki-laki, latah yang dialami perempuan justru dianggap sebagai suatu perilaku yang tidak maskulin dan penuh kecabulan, karena yang menjadi parameter maskulinitas bagi laki-laki adalah amok/ngamuk (Jawa; Aceh: Aceh Pungoh; Maluku: Kapitang) (Reid, 1992), dalam hal mana laki-laki yang pernah mengamuk dianggap sebagai laki-laki yang kuat, bahkan disegani. Selanjutnya, lagi-lagi, perempuan penyandang latah didudukkan pada posisi yang ambigu, karena keterkejutan perempuan di satu sisi menunjukkan suatu hubungan emosional yang penuh semangat dan demonstratif, namun di sisi lain dipandang bahwa perempuan tersebut berada di posisi kesadaran yang tidak seimbang. Pada kode kultural yang lain, latah juga identik dengan laki-laki yang berorientasi seksual sejenis (homoseksual) dan transvestit. Beberapa laporan, seperti Peacock (1968), menggambarkan model kelatahan yang diaplikasikan dalam berbagai pertunjukkan lawak.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertama, pada fenomena latah terkandung batas-batas psikologis budaya dimana karakternya menjadi sebuah peran tersendiri bagi seseorang yang menyandangnya. Latah berada pada ruang-ruang batas pertemuan yang bersifat ambigu, antara lain: (a) ruang sakral dan profane, (b) ruang personal dan ruang publik, (c) ruang liar dan ruang normatif, dan (d) diri yang sadar dan diri yang tidak
57
sadar. Oleh karena latah diidentikkan dengan situasi liminal tubuh, maka latah juga muncul dari batas pertemuan yang sifatnya dikotomis. Interpretasi awal mengira bahwa kondisi latah muncul dari adanya colonial encounter, namun, selanjutnya, interpretasi mistis menganggap bahwa latah juga muncul dari adanya pertemuan masyarakat kampung dengan makhluk asing di hutan (encounter in forest). Dalam hal ini, kampung didudukkan sebagai wilayah berkebudayaan, sedangkan hutan ditempatkan sebagai wilayah misterius dan tidak untuk dihuni. Bagi para penduduk kampung, memasuki hutan akan menimbulkan berbagai keterkejutan dari suara-suara aneh yang kemudian diikuti oleh penduduk. Pengikutan inilah yang kemudian dianggap dengan asal munculnya latah. Kedua, latah dapat disimpulkan sebagai fenomena emosi kebudayaan Melayu yang sifatnya partikular dan khas, sebagaimana telah ditunjukkan oleh seluruh tulisan di atas. Sifat khusus dan khas ini semakin diperkuat dengan dialaminya kesulitan oleh para teoris Barat untuk menentukan seperti apakah representasi konsep latah pada masyarakat Melayu. Sejauh ini, latah sempat didefinisikan dalam beberapa konsep, seperti psychosis, hysterical psychosis arctic hysteria, reactive psychosis, startle reaction, fright neurosis, hypnoid state, hingga psychodramatic shamanic. Munculnya konsep psikologis ini berasal dari pertemuan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat kolonial―yang mendefinisikan perilaku lokal masyarakat Melayu. Kajian Barat melihat bahwa latah sebagai bentuk emosi budaya dianggap sebagai bagian dari bentuk ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) dari masyarakat Timur. Nampak bahwa terdapat sebuah rasionalitas
58
KADIR
tersendiri dari budaya Timur yang gagal ditangkap oleh bangunan narasi besar dari ilmuwan Barat. Memang, selama ini teori besar dalam ilmu pengetahuan modern mempunyai bias problematis, karena menghasilkan otoritas dalam melegitimasi dan mengonsepsikan fenomena sosial kebudayaan dan makna kebenaran, menciptakan nilai-nilai dengan mengklaim siapa yang normal siapa yang bukan, serta siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Latah harus dipahami sebagai sebuah istilah yang memuat fenomena dan fakta emosi yang kompleks. Untuk meneliti lebih lanjut, sangat diperlukan data lapangan secara mendetail dan interpretasi psikohistoris-budaya yang meyakinkan serta representatif.
Bibliografi Aberle, D. F. (1952). Arctic hysterial and latah in Mongolia. Transactions of the New York Academy of Sciences, 2nd series, 14, 291297. Danandjaja, J. (2002). Folklore Indonesia. Jakarta: Grafitti. Ellis, W. G. (1897). Latah: A mental malady of the Malays. Journal of Mental Science, 43, 32-40. Gimlette, J. D. (1912, Agustus). Remarks on the etiology, symptoms, and treatment of latah, with a report of two cases. British Medical Journal, 2, 455-457. Geertz, C. (1960). The religion of Java. Free Press, Glencoe, Ill. Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books. Geertz, C. (1979). Abangan, santri, priyayi, Jakarta: Pustaka Jaya. Geertz, H. (1968, April). Latah in Java: A theoretical paradox. Indonesia, 5, 93-104.
Kenny, M.G. (1978, September). Latah: The symbolism of a putative mental disorder. Culture, Medicine and Psychiatry, 2(3), 209-231. Kenny, M.G. (1990). Latah: The logic of fear. Dalam Karim, W.J. (Ed.), Emotions of culture. Singapore: Oxford University Press. Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culturebound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii. Peacock, J. L. (1968). Rites of modernization: Symbolic and social aspects of Indonesian proletarian drama. Chicago: University of Chicago Press. Omar, R. (1994). Malay woman in the body: Between biology and culture. Kuala Lumpur: Fadjar Bakti. Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680: Tanah di bawah angin (Mochtar Pabotinggi, Penerj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tseng, W.-S. (2006). From peculiar psychiatric disorders through culture-bound syndromes to culture-related specific syndromes. Transcultural Psychiatry, 43(4), 554-576. Yap, P. M. (1952). The latah reaction: Its pathodynamics and nosological position. Journal of Mental Science, 98, 515-564. van Brero, P. C. (1895). Latah. Journal of Mental Science, 41, 537. Winzeler, R. L. (1984, April). The study of Malayan latah. Indonesia, 37, 77-104. Winzeler, R. L. (1991). Latah in Sarawak, with the special reference to the Iban. Dalam Sutlive, V. H. (Ed.), Female and male in Borneo: Contribution and challenges to gender studies. Williamsburg, VA: College
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
of William & Mary. Winzeler, R. L. (1995). Latah in Southeast Asia: the history and ethnography of a culture-bound syndrome. UK: Cambridge University Press.
59
60
KADIR
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 60–63
ISSN 2085-4242
Menyimak Kritik Bandler Limas Sutanto Asia Pacific Association of Psychotherapists The purposes of this article are to describe Bandler's criticism toward behaviorism and its further influence to the works of helping professions (psychologists, psychiatrists, counselors, psychotherapists, etc). The author described the facts that the therapeutic effect of the works delivered by the helping professions in this country was not as efficient and effective as it had expected. This was due to the theoretical interpretation which received more attention from the professionals, than observation and attendance to the physiological process in the brain (as the concrete object of soul and self) of troubled persons. The author suggested that the curriculum and training of helping profession education need to be developed and invited the educators and trainers to have deeper concern toward observing and listening skill ability of those who are students of helping field of study. Keywords: brain, soul, self, helping professions, therapeutic effect, theoretical interpretations, observing and listening abilities
Apa yang dikemukakan Richard Bandler (salah satu pelopor dan pengembang neurolinguistic programming) dalam bukunya, Richard Bandler’s Guide to Trance-formation (2008), cukup penting untuk disimak oleh para psikolog, psikiater, konselor, psikoterapis, dan insan-insan lain yang terangkum dalam helping professions. Bandler (2008) mengatakan dengan ungkapan yang agak keras, bahwa para terapis perilaku (behaviorists) mengejawantahkan inspirasi B.F. Skinner dengan mencoba memecahkan masalah jiwani dengan mengeliminasi (mengabaikan) otak. Mereka melewatkan, atau mem-by pass otak serta menerangkan betapa semua perilaku adalah buah dari suatu rangsangan (stimulus) yang masuk ke dalam “kotak hitam” (black box) (yang sesungguhnya adalah otak–organ paling
canggih di tengah alam semesta), dan kemudian dari kotak hitam itu keluarlah sebuah respons. Mereka memastikan, apa yang terjadi hanyalah antara S dan R (stimulus dan response). Menyikapi itu semua, Bandler menegaskan dengan ungkapan lugas, “They were wrong”. Yang keliru adalah bahwa apa yang terjadi antara S dan R itu sedemikian diabaikan, padahal justru sesungguhnya apa yang terjadi di sana–yang terjadi dalam otak–sangat penting untuk diketahui. Pengetahuan mengenai apa yang terjadi dalam otak itu akan sedemikian memungkinkan para psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis untuk membantu klien atau pasien membuat perubahan secara cepat dan efektif pada dirinya; atau, dengan perkataan lain, membantu klien atau pasien memecahkan masalah-masalahnya dan 60
61
KRITIK BANDLER
mencapai penyembuhan secara cepat dan efektif. Pada titik ini, terapi (psikoterapi dan konseling) perlu mendapatkan pemaknaan baru, sebagai sebuah proses relasional yang menguak fakta-fakta tentang apa yang terjadi dalam otak. Ungkapan “apa yang terjadi dalam jiwa” kini perlu dimaknai lebih konkret sebagai “apa yang terjadi dalam otak”. Oleh karena apa yang terjadi dalam otak itu pada dasarnya merupakan perubahan-perubahan neurologis dan perubahan-perubahan bahasa, maka psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis perlu memahami perubahan-perubahan neurologis apa dan perubahan-perubahan bahasa apa yang terjadi dalam otak pasien atau klien.
Mengamati dan Mendengarkan Porus Perubahan-perubahan neurologis pada seseorang selalu menampakkan gejala-gejala dan tanda-tanda yang dapat dilihat (diamati) dan didengarkan oleh orang lain. Perubahanperubahan bahasa pada seseorang pun dapat dilihat (diamati) dan didengarkan oleh orang lain. Pada titik ini Bandler menegaskan betapa manusia selalu saja membocorkan isyaratisyarat melalui setiap porus (“lubang terkecil di permukaan tubuhnya”) tentang apa yang terjadi dalam otaknya, tentang bagaimana dirinya memproses informasi. Kata Bandler, “People leak clues from every pore about how they’re processing information.” Bandler memandang bahwa setiap manusia selalu saja membocorkan isyarat-isyarat itu tanpa henti. Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah tidak berkomunikasi, atau tidak pernah bisa berhenti mengomunikasikan dirinya kepada orang-orang lain, bahkan ketika ia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun. Apabila demikian, maka terdapat hal-hal
yang sangat diperlukan oleh setiap psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis, sebagai orang-orang yang dianggap mampu dan perlu melaksanakan tugas serta keahlian mereka sebagai helper dan terapis bagi klien-klien atau pasien-pasien mereka. Yang sangat diperlukan adalah kesediaan dan kemampuan untuk melihat (mengamati) dan mendengarkan setiap klien atau pasien dengan tepat. Melihat (mengamati) serta mendengarkan dengan tepat berarti mengetahui apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri) pasien dan klien, sebagaimana adanya; sekali lagi, sebagaimana adanya, bukan “apa yang terjadi dalam diri klien atau pasien berdasarkan penafsiran (interpretasi) psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis”, bukan pula “apa yang terjadi dalam diri klien atau pasien menurut teori atau kerangka teoretis ini atau itu”.
Sibuk Melekat Pada Teori Yang patut disesalkan adalah bahwa apa yang tergelar di tengah kenyataan kinerja profesional dan pelaksanaan tugas para psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis, di sana-sini, justru masih mencerminkan betapa mereka sibuk sekali menekankan dan membela teori-teori mereka, dan mereka selalu saja repot mencoba menafsirkan (menginterpretasikan) pengalaman klien-klien atau pasien-pasien mereka, bukan melihat (mengamati) dan mendengarkan apa yang sedang terjadi dalam otak (jiwa; diri) pribadi yang sedang berada di hadapan mereka. Pada perspektif ini, psikolog, psikiater, dan psikoterapis psikoanalitis (mungkin termasuk penulis sendiri!) mengatakan bahwa mereka dapat meraih kebenaran tentang klien atau pasien melalui tindakan menganalisis dan menginterpretasikan mimpi-mimpi klien atau
62
SUTANTO
pasien, melalui tindakan menganalisis dan menginterpretasikan resistensi serta transferensi yang terjadi dalam relasi mereka dengan klien atau pasien. Sebagian terapis–seiring dengan teori-teori yang mereka kuasai–meyakini, dan selalu saja meyakini bahwa seorang pasien atau klien gangguan stres pascatraumatis (posttraumatic stress disorder) akan mengalami penyembuhan seiring dengan makin seringnya dia “mengalami kembali dan mengolah” (working through) pengalaman traumatisnya. Padahal, apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien gangguan stres pascatraumatis adalah pengulangan-pengulangan nirsadar pengalaman traumatis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya problem pasien atau klien gangguan stres pascatraumatis berintikan obsesi dan kompulsi untuk kembali ke pengalaman traumatis yang telah berlalu. Dengan memahami “apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri) pasien atau klien”, dan bukan memahami “semata berdasarkan teori tertentu”, dapat dipertanyakan, apakah pendekatan yang menekankan tindakan “mengalami kembali dan mengolah pengalaman traumatis” merupakan pendekatan yang terbaik untuk menyembuhkan pasien atau klien gangguan stres pascatraumatis. Semakin sibuk dan lekat seorang psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis terhadap teori-teori terapinya, semakin banyak pula lah ia melakukan interpretasi terhadap klien atau pasiennya. Selanjutnya, seiring dengan kian seringnya mereka melakukan interpretasi, mereka pun menjadi kian kehabisan waktu untuk melakukan dua aktivitas profesionalnya yang terpenting: melihat (mengamati) dan mendengarkan. Hasilnya adalah, psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis makin memahami klien atau pasien menurut teori yang
mereka yakini, dan mereka tidak makin memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien. Mereka memahami apa yang benar menurut peta mereka sendiri, bukan memahami peta sang klien atau pasien sebagaimana adanya. Yang dipahami oleh psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis adalah the truth according to my own theory, atau the reality as I subjectively perceived, bukan what was happening inside the patient’s psyche, bukan pula what is really happening in the patient’s brain.
Kesimpulan dan Saran Sungguhkah memahami klien atau pasien menurut pengertian terapis sendiri (berdasarkan teori yang dikuasai oleh terapis; berdasarkan interpretasi yang dibuat oleh terapis) adalah lebih bermanfaat bagi klien atau pasien daripada memahami apa yang sedang terjadi dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien? Kendati jawaban kita bisa dan boleh sedemikian beragam, namun tidak ada salahnya psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis menyimak kritik Bandler untuk menumbuhkembangkan kemampuan terapeutis profesionalnya. Dapat dirasakan, kurikulum pendidikan dan pelatihan berbagai helping profession (psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis), dan praksis pendidikan dan pelatihan berbagai helping profession itu, di negeri ini, masih kurang, bahkan mungkin sangat kurang, memberikan perhatian pada upaya menumbuhkembangkan kemampuan melihat (mengamati) dan mendengarkan dengan tepat, bagi setiap peserta didik. Kritik Bandler mungkin dapat menggugah kita untuk menumbuhkembangkan kurikulum pendidikan dan pelatihan serta praksis
KRITIK BANDLER
pendidikan dan pelatihan bagi psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis yang memberikan perhatian besar bagi upaya menumbuhkembangkan kemampuan yang efektif untuk melihat (mengamati) dan mendengarkan dengan tepat.
Bibliografi Bandler, R. (2008). Richard Bandler's guide to trance-formation: How to harness the power of hypnosis to ignite effortless and lasting change. Florida, US: Health Communications, Inc.
63
64
SUTANTO
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 64–70
ISSN 2085-4242
Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial Koentjoro
Beben Rubianto
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Forum Komunikasi Tafsir Hadis Indonesia
The purpose of this article is to describe the dynamics of radicalism among the Indonesian Moslems. In Indonesia, radicalism is mostly induced by the Moslems’ depressed and threatened feeling due to their being marginalized in political life and individually brainwashed by the religion teachers through dogmatic teaching. From group processes point of view, Islamic radicalism groups tried to enlist people to their groups as they believe that this recruiting effort will unify Islam and the country. The author proposes his opinion that the radical groups in order to be exist and as they were unable to find alternatives for their struggle, they provoked terrorism. Reasoned action theory (Ajzen & Fishbein, 1980) and frustration–aggression theory (Dollard, Doob, Miller, Mowerer, & Sears, 1939) in the field of social psychology are relevant to analyze the Moslems’ radical behavior. The author suggested that Islamic radicalism needs appropriate channels for their concerns (for example, through mass media); however, it also needs to be sharply distinguished from terrorism and violence for Islam means "natural law", "safe", and "peace". Keywords: radicalism, terrorism, militant, Islam, losers, ingroupoutgroup feeling, reasoned-action, frustrations, psychology of teaching/dakwah, religious peace
Bom yang meledak di Sharm el-Sheik, Mesir, pada 2005, yang menewaskan sedikitnya 88 orang, konon merupakan perbuatan salah satu jaringan Al-Qaeda (“Al-Qaeda Mesir,” 2005), meskipun indikasi ini perlu dikaji kebenarannya. Yang pasti, pelaku peledakan bom di area wisata laut merah―maupun dalam peristiwa ledakan-ledakan bom lainnya―akan mendapat tanggapan dan sebutan yang bermacam-macam dari masyarakat, antara lain: radikal, militan, dan teroris. Yang menarik, bukan saja Obama sekarang mulai menarik pasukannya dari Irak dan akan berkonsentrasi di
Afganistan, tetapi juga sebutan-sebutan tadi―apalagi dikaitkan dengan peledakan bom―cenderung ditujukan kepada kelompokkelompok bernuansa Islam. Artinya, sebutan radikal, militan, dan teroris dianggap memiliki daya tarik bila dikaitkan dengan sentimen keagamaan daripada dengan ideologi, politik, budaya, hankam, dan lain-lain, serta cenderung berkonotasi negatif. Benarkah demikian? Menurut penulis, invasi atau campur tangan Amerika ke Afganistan, Libia, Palestina, Bosnia, dan kemudian dilanjutkan invasi Amerika ke Irak, semakin membenarkan 64
RADIKALISME ISLAM
hipotesis Huntington (1998), bahwa dengan redanya perang dingin Amerika versus Soviet, maka yang dianggap musuh Amerika adalah Islam. Tulisan ini hendak menelaah bagaimana radikalisme Islam terjadi di Indonesia dan mengapa hal tersebut harus terjadi di Indonesia.
Indonesia sebagai Melting Pot Negara yang berpenduduk dan memeluk agama Islam terbesar di dunia adalah Indonesia. Oleh karenanya, ada saja yang menganggap bahwa Indonesia adalah ancaman apabila ia merupakan negara yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari fenomena “Indonesia Phobia” yang ditunjukkan oleh sebagian politisi dan/atau masyarakat Australia (“Australians see,” 2005). Dalam konteks ini, apabila teori Huntington diterapkan di Indonesia, dan melihat fenomena terorisme di Indonesia, maka teori itu kemudian mendekati kebenaran. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam yang kaya sumberdaya jelas merupakan ancaman. Di mata penulis, aksi teror bukanlah hanya aksi bom dan penembakan misterius. Namun, lebih dari itu, kasus narkoba juga bagian dari terorisme. Kekalahan Cina atas Inggris hingga lepasnya Macau dan Hongkong terjadi akibat candu. Afganistan menjadi bulan-bulanan Amerika; banyak orang tidak menyangka bahwa Afganistan adalah produsen opium terbaik di dunia. Belajar dari sejarah Cina dengan perang candunya, maka dapat dipertanyakan apakah narkoba yang beredar di Indonesia terkait dengan terorisme ini. Amerika dan beberapa Negara sekutunya menghendaki agar Indonesia, negara dengan jumlah penduduk yang beragama Islam terbesar di dunia ini, menjadi kerdil alias tidak pernah menjadi besar.
65
Pada tahun 1996, Sarwono Kusumaatmadja menyadarkan penulis bahwa kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Dikatakannya, bahwa ada sekitar 15-20 persen penduduk Indonesia yang memiliki taraf kehidupan sebagaimana orang Swiss (Kusumaatmadja, komunikasi personal di Gedung Konsulat RI di Melbourne, 1996). Apabila di tahun itu jumlah penduduk Indonesia adalah 195 juta (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2006), maka orang Indonesia yang memiliki taraf kehidupan sebagaimana orang Swiss berjumlah kira-kira 30-40 juta. Marilah kita bandingkan dengan Australia yang total jumlah penduduknya hanya sekitar 20,4 juta (“Australia,” 2009) dengan luas wilayah yang sedikit lebih besar daratannya dibandingkan dengan Indonesia. Dengan tingkat keterdidikan masyarakat Indonesia yang makin meningkat dan apabila kemudian jumlah kelas menengah bertambah, ini dianggap oleh mereka sebagai sebuah ancaman. Oleh karena itulah, penyebab teror kemudian diciptakan, dan Indonesia merupakan melting pot-nya. Kelompok pesimis akan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan pernah aman. Sebuah tesis hasil penelitian mahasiswa program Magister Psikologi di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta meneliti hubungan antara ayat yang mengandung jihad dengan tingkat agresivitas. Ditemukan bahwa mahasiswa yang mendapatkan bacaan ayat yang mengandung jihad, agresivitasnya meningkat secara signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa radikalisme tidak selalu disebabkan karena tindakan represif suatu rezim pada umat Islam, tetapi juga dapat terjadi karena proses brainwashing. Ketaatan yang terkait dengan agama seringkali dapat terjadi karena sifat
66
KOENTJORO DAN RUBIANTO
dogmatis dari ajarannya. Banyak kisah menunjukkan keterkaitan tersebut, baik pada sekte keagamaan di Amerika, Afrika, maupun Asia. Misalnya, seorang santriwati dibujuk oleh kyainya agar mau dinikahi dengan alasan menjadi istri kyai jaminan surga; hal ini jauh lebih baik, menurut sang kyai, dari pada santriwati tersebut di dunia tidak mendapat surga. Oleh karenanya, tidaklah aneh apabila militanisme dalam kegiatan radikalisme dalam agama ini dapat dengan mudah dibentuk. Orang dengan mudah dan sukarela dipengaruhi untuk mati syahid atas nama sebuah perjuangan, “Lebih baik dapat surga di akhirat daripada tidak mendapat surga di dunia maupun di akhirat.” Barangkali hal ini diilhami dari sebuah kredo “isy kariman au mut syahidan” (“Hidup mulia atau mati syahid”). Menurut penulis, dalam konteks bahasan ini, lebih tepat apabila kredo itu berbunyi “isy kariman wa mut syahidan” (“Hidup mulia dan mati pun syahid”).
Radikalisme dalam Perspektif Group Processes Ketika Indonesia belum merdeka, terdapat kesadaran yang amat kuat pada masyarakat negeri ini untuk bersatu, bahu membahu mengusir penjajah. Sejarah mencatat munculnya organisasi Islam, seperti Sarikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, yang dengan gaya dan caranya masingmasing berjuang, bersatu dengan kelompok nasionalis dan kelompok lain, untuk memerdekakan negeri ini. Pada zaman sebelum kemerdekaan ini, ada sebagian mereka yang ketika berperang mengelompokkan diri dalam ikatan agama, serta ada pula yang mengatasnamakan ikatan tertentu yang lain. Meskipun demikian, karena tujuan
kemerdekaan demikian kuat, maka perbedaan yang ada di antara mereka tidak mereka hiraukan. Bagi mereka, yang penting adalah merdeka. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila kemudian bergulir semboyan, “Merdeka atau Mati!”. Dalam bahasan psikologi, kelompok dengan kondisi di atas merupakan gambaran bahwa mereka telah mengacuhkan perasaan ingroup-outgroup. Bahwa tujuan yang lebih besar mengalahkan sentimen dan loyalitas pada kelompoknya. Dampak dari perasaan ingroup-outgroup lah yang kemudian dapat memunculkan superioritas. Bahwa kelompokku lebih hebat apabila dibanding dengan kelompok lain. Dalam pendekatan statistika, posisi kelompok radikal ini terletak pada dua ujung sebuah kurva normal, yang menurut penulis terjadi secara alamiah. Ada orang atau kelompok yang menyatakan bahwa ketidakpuasan orang-orang Islam radikal tertentu terhadap kebijakan penguasa pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia menyebabkan mereka berhimpun dalam satu wadah, yaitu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII). Menurut mereka, barangkali salah satu sumber masalahnya adalah perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945. Pendapat orang atau kelompok ini benar, namun tidaklah seluruhnya benar. Ketika kemerdekaan tercapai, kemudian “kue kekuasaan” dibagi dan aturan main kemudian dibuat. Muncullah ketidakpuasan pihak-pihak yang terlibat. Di sinilah bentrok dan radikalisme di awal kemerdekaan terjadi. Ketiga negosiasi-negosiasi politik jalan buntu, ketika golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalisme, masing-masing kelompok berusaha masuk wilayah kekuasaan, namun pada sisi lain, ada
RADIKALISME ISLAM
juga kelompok yang teraleniasi dan itu adalah golongan Islam. Kondisi ini dapat dilihat bahwa, hingga tahun 1955, terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan di Indonesia. Islam adalah sebuah ideologi agama syamil (global), kamil (sempurna), wamutakamil (dan disempurnakan). Jutaan umat Islam setiap hari melihat fenomena yang beraneka ragam di masyarakat. Banyak orang kemudian merasa tidak puas terhadap tatanan dan kondisi masyarakat yang amburadul tidak sesuai ajaran Islam. Bukanlah hal yang mustahil apabila kemudian banyak yang ingin melakukan purifikasi agama. Mereka tidak puas dengan kondisi lingkungannya yang jauh berbeda dengan ajaran dan syariat Islam, atau, paling tidak, dengan idealisme mereka tentang Islam, syariat, dan Negara Islam. Orang yang sealiran dengan pemahaman ini, melalui interaksi mereka yang sengaja mereka selenggarakan atau kebetulan, kemudian berhimpun diri. Dengan alasan pemurnian ajaran agama, maka mereka menciptakan simbol-simbol dan cara berpakaian yang berbeda dengan khalayak ramai. Akibatnya sangatlah jelas, bahwa simbolisme merupakan proses pemilahan “siapa yang termasuk kelompok saya” dan “siapa yang bukan termasuk kelompok saya”. Kondisi ini diperparah dengan tindakan represif rezim Soeharto yang pada satu sisi menumbuhsuburkan Islam―yang seperti dimaui penguasa saat itu, namun pada sisi yang lain memberangus kegiatan Islam yang berseberangan dengan keinginan rezim. Tindakan represif itu tidak membunuh akar gerakan Islam radikal, namun justru memberikan dampak pada militanisme dan radikalisme. Kondisi ini pernah penulis buktikan ketika berkunjung ke Manly (sebuah suburb di utara Sydney). Di sana, ada masjid
67
tempat orang-orang Islam teralienasi pada jaman rezim Soeharto dan bahkan Soekarno. Zada (2003), mengutip pendapat Hunter, mengemukakan enam ideologi gerakan yang dapat mempersatukan kelompok radikal, yaitu: (a) konsep din wa daulah. Islam merupakan sistem kehidupan total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu, dan tempat. Pemisahan antara din (agama) dan daulah (negara) adalah hal yang mustahil dapat diterima oleh kelompok radikal. Bagi kelompok radikal, agama dan negara adalah dua hal yang tak terpisahkan dan hendaknya dipahami secara integral; (b) kembali ke Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, umat Islam diperintahkan untuk kembali pada praktek ajaran Nabi yang puritan dalam mencari keaslian ajaran dan pembaruan; (c) puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan adat-istiadat Barat ditolak sebagai sesuatu yang sekuler dan asing bagi Islam. Oleh karena itu, mereka menuntut agar media massa mampu memberikan dakwah secara puritan yang berkeadilan sosial. Namun, tuntutan yang demikian itu mungkin akan mengalami masalah besar, sebab pada sisi yang lain, kesadaran jender menuntut adanya pemaknaan ulang terhadap Al Qur’an; (d) kedaulatan syariat Islam; (e) jihad sebagai instrumen gerakan; dan (f) perlawanan terhadap Barat yang hegemonik dan intervensinya di Negara-negara Islam, seperti Libia, Bosnia, Palestina, Afganistan, dan Irak (Ahmed & Donnan, 1994).
Dalam konteks tersebut, penulis berpendapat bahwa, bagi penganut radikalisme modern di Indonesia, kenyataan adanya sejarah DI/TII dan NII menjadi semacam reinforcement atau penguat perilaku, atau pertanda bahwa dahulu pun pernah ada gerakan radikal seperti yang mereka lakukan saat ini.
68
KOENTJORO DAN RUBIANTO
Radikalisme dan Perilaku Orang Kalah Radikalisme dalam Islam pernah tercoreng dengan kasus yang dimuat dalam novel Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah, karya Muhidin M. Dachlan (2004), yang secara tidak sengaja membedah kehidupan kelompok radikal. Novel itu membuka kedok bahwa kelompok yang menggunakan simbol atau asesoris Islam radikal tertentu ternyata tidak melaksanakan syariat dan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Radikalisme yang clandestine lah, menurut hemat penulis, yang justru merupakan gerakan yang paling mungkin dan paling efektif dilakukan oleh kelompok radikal Islam di balik lingkungan sistematis budaya Barat yang amat dominan dan membelenggu. Kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok ini merupakan metafora tentang eksistensinya. Meskipun diakui bahwa terorisme merupakan bagian dari psy-war, namun terorisme adalah tindakan orang kalah. Terorisme berbeda dengan radikalisme dan militanisme. Teror memiliki dua sifat: (a) terror for production of fear, yang bersifat murni dan dirancang untuk menimbulkan rasa takut, dan (b) terror by siege, yang bersifat kontra-teror, dengan sengaja menciptakan suasana mencekam untuk menimbulkan situasi berjagajaga (Koentjoro, 2002). Meski perilakunya adalah sama, namun dalam hal makna ia berbeda, karena radikalisme dan militanisme tidak selalu ditempuh melalui terorisme. Terorisme, menurut penulis, adalah bahasa orang kalah. Teror adalah alternatif terakhir dari sebuah perjuangan. Perjuangan radikalisme dan militanisme di abad mendatang sebenarnya dapat dilakukan melalui media. Reputasi Islam telah hancur, karena efek media. Oleh karena itulah, sudah saatnya perjuangan umat Islam
dilakukan melalui media. Kelompok radikal yang satu terhadap yang lain secara santun juga menginginkan adanya superioritas, meskipun pada dasarnya mereka adalah minoritas. Dengan demikian, konflik antar-kelompok radikal pun amat sangat mungkin terjadi. Sebuah pertanyaan yang pantas diajukan adalah, “Mungkinkah kelompok minoritas mempengaruhi mayoritasnya?" Jawabnya adalah mungkin. Menurut teori psikologi, kelompok minoritas dapat mempengaruhi mayoritas apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain: (a) apabila jika terdapat masalah yang menyangkut kepentingan umum, mereka berdiri dan menjadi garda terdepan, dan (b) apabila mereka konsisten dengan perjuangannya dan ideologinya (Koentjoro, 2002).
Radikalisme dalam Perspektif Psikologi Dalam konteks Psikologi Dakwah, fenomena radikalisme dalam Islam sungguh tidak menguntungkan. Islam dalam hal ini jauh dari kesan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan metafora pedang dan huruf Arab dalam bendera Islam, serta teriakan “Allahu Akbar!“ dan tidak takut mati, tentulah membuat miris orang yang melihatnya. Terdapat beberapa stigma tentang Islam yang muncul secara kental, antara lain: (a) Islam adalah kekerasan atau teror, (b) Islam adalah merusak dan tidak memberi solusi, dan (c) Agama yang berhak eksis di muka bumi hanyalah Islam. Gerakan Islam radikal lebih cenderung berorientasi memerangi orang atau kelompok masyarakat atau agama yang berusaha mempengaruhi orang masuk ke agama selain Islam. Di samping itu, perasaan ingroupoutgroup juga menyebabkan munculnya pandangan bahwa orang-orang yang Islamnya
69
RADIKALISME ISLAM
tidak seperti mereka merupakan orang kafir. Belajar dari kasus G-30-S/PKI, maka kita dapat saja tidak setuju atau memberantas komunisme. Namun, manusia pengikut ajaran komunisme itulah yang harus kita sadarkan dan kita ajak masuk Islam, bukan malah dimusuhi atau dijauhi seperti selama ini. Ketika penulis (Koentjoro) belajar di Melbourne Australia pada tahun 1996, penulis dan kawan-kawan kedatangan satu kelompok radikal. Sebagai saudara setanah air, mereka kami anggap sebagai tamu terhormat yang sedang melakukan syiar agama. Namun demikian, mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka menusuk perasaan istri ketua kelompok pengajian kami. Pada saat rombongan itu bertamu ke rumah ketua kelompok pengajian kami, pintu dibuka dan yang membukakan pintu adalah istri ketua kelompok pengajian kami. Namun, mereka kemudian dengan segera menutup matanya dengan telapak tangannya sembari membelakangi nyonya rumah. Kondisi seperti di atas jelas amat tidak menguntungkan bagi perkembangan Islam. Oleh karenanya, persepsi terhadap Islam yang telah mengarah menjadi stigma harus diubah kedalam mekanisme dakwah yang sejuk, menerima, dan bukan menghukum. Dalam perspektif keperilakuan, agama atau keyakinan berada di atas sikap dan amat sangat sulit diubah. Kondisi ini barangkali menjelaskan kepada kita tentang militanismenya mereka. Berdasarkan pendekatan teori reasoned action dari Ajzen dan Fishbein (1980), keyakinan akan radikalisme dapat dianalisis terletak pada wilayah objective norms dan subjective norms, yang amat dekat dengan niat dan perilaku. Perilaku kelompok radikal dengan segala cirinya, sebagai sebuah fenomena sosial,
menarik untuk diamati. Namun eksklusivisme mereka menjadikan peneliti amat susah masuk kedalam kelompok ini. Penelitian tentang komando jihad pernah juga dilakukan oleh mahasiswa Magister Psikologi UGM, namun mereka mendapatkan kendala untuk masuk lebih dalam. Anehnya, banyak Islam radikal selalu mengatasnamakan dirinya sebagai Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Menurut perspektif frustrasi-agresi yang dikembangkan oleh Dollard, Doob, Miller, Mowerer, dan Sears (1939), agresivitas suatu perilaku individu atau kelompok sebanding dengan tingkat frustrasi yang dialami oleh kelompok atau individu tersebut. Radikalisme memang berbeda dengan agresivitas, namun dalam banyak hal, kita melihat adanya korelasi antar keduanya. Iklim demokratis dan kemerdekaan berserikat telah dibuka sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga kini. Ini mengindikasikan bahwa, dalam konteks gerakan, terdapat perbedaan ideologi radikalisme antara zaman Soeharto dengan pasca Abdurrahman Wahid. Frustrasi akibat tindakan represif barangkali sudah tidak ada lagi, demikian pula gerakan clandestine. Radikalisme yang terjadi saat ini lebih kepada pemurnian ajaran agama Islam, dan sebagian lagi adalah tuntutan konsep din wa daulah (Islam sebagai sistem kehidupan total).
Kesimpulan dan Saran Radikalisme dan militanisme memang dalam hal tertentu dibutuhkan untuk purifikasi agama. Namun demikian, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tetap harus diciptakan, karena Islam itu sendiri artinya “selamat” atau “kedamaian”. Bukankah Tuhan mengultimatum, “watawaa shou bilhaq watawaa shou bisshabr” (Menegakkan
70
KOENTJORO DAN RUBIANTO
kebenaran haruslah disertai dengan kesabaran/santun)? Penempatan bilhaq dan bissharb dalam satu ayat yang sejajar, mengindikasikan bahwa secara teologis, Tuhan menghendaki adanya fatsoen (kode etik) dalam menegakkan ajaran-Nya. Oleh karena itu, perlu diciptakan mekanisme yang memberi kesempatan untuk menjadi militan dan radikal. Namun, kedamaian agama lewat silaturahmi juga wajib ditegakkan. Satu hal yang perlu dievaluasi adalah bahwa hendaknya militanisme dan radikalisme dibedakan dari kekerasan. Militan dan radikal tidak selalu berbuat kekerasan yang melanggar aturan. Untuk menciptakan pencitraan radikalisme yang baik, perjuangan melalui media sangat penting dilakukan umat Islam saat ini. Hancurnya FEER, Asiaweek, dan media lain yang menjadi kepanjangan tangan Amerika, mengindikasikan adanya kesadaran terhadap local wisdom. Bahwa telah terdapat kesadaran kritis bangsa untuk tidak dicekoki informasi dari satu arah saja.
Bibliografi Ajzen, I., & Fishbein, M. 1980. Understanding attitudes and predicting social behavior. NJ: Prentice Hall, Englewood Cliffs. Al-Qaeda Mesir bertangung jawab atas bom Sharm El-Sheikh. (2005, 24 Juli). Kapanlagi.com. Ditemukembali pada 6 April 2009, dari http://www.kapanlagi.com/h/0000074077.ht ml Australia. (2009). Wikipedia. Ditemukembali dari http://id.wikipedia.org/wiki/Australia Australians see Susilo as open-minded, honest. (2005, 21 April). The Jakarta Post. Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
http://www.thejakartapost.com/news/2005/0 4/21/australians-see-susilo-openmindedhonest.html Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2006). Tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2006. Ditemukembali pada 6 April 2009, dari http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskin an-01sep06.pdf Dachlan, M. M. (2004). Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur! Memoar luka seorang muslimah. ScriPta Manent. Dollard, J., Doob, L., Miller, N. E., Mowerer, O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration and aggression. New Haven, CT: York University Press. Huntington, S. P. (1998). The clash of civilizations and the remaking of world order. UK: Simon & Schuster. Koentjoro. (2002). Psikologi politik: Materi kuliah mahasiswa program S1 psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Zada, K. (2003, 15 Agustus). Ideologi Gerakan Islam Radikal. Media Indonesia.
RADIKALISME ISLAM
71
Psikobuana 2009, Vol. 1, No. 1, 71–72
ISSN 2085-4242
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered) Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi Nama dan alamat lembaga (12 point centered) Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and written in single paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short description of result. (11 point, use block format, no indentation). Keywords: written inline, three to ten words (10 point).
Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau "Latar Belakang".
umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological Association (APA) 5th ed. (2001). Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua peringkat sub-heading:
Panduan Bagi Penulis Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemberitahuan revisi. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. Kepastian pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara tertulis. Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar salinannya dikirimkan dalam format soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui media cakram kompak ke alamat surat Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan alamat
[email protected]
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada
Ini Heading Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush Left, Capitalize Keywords) Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini menerangkan hal tersebut. Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a) pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian, gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan problem-problem terkait yang dipandang dapat memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,
PANDUAN BAGI PENULIS
implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan, ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan dan rekomendasi. Tabel dan gambar harus diberi caption (judul/keterangan) menggunakan huruf besar di awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case untuk gambar), serta dengan penomoran yang berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya tidak terlalu kecil. Usahakan penggunaan gambar dua warna (hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p < 0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk kai kuadrat, dan sejenisnya.
Cara Mengacu dan Bibliografi Penulisan acuan mengikuti format APA (2001). Contoh cara mengacu: Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun .... Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008) berargumen bahwa kekerasan verbal .... Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang serupa mengenai .... Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk, disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang berasal dari sumber primer (laporan penelitian, artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan bibliografi:
Bibliografi Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135. Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books. Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997, April). Level of voice among adolescent males and females. Paper presented at the bi-annual meeting of the Society for Research in Child Development, Washington, DC. Johnson, E. (1995). The role of social support and gender orientation in adolescent female development. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Denver, Denver, CO. Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii. National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20PetitionFinal.pdf Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970) Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain for Intel. Time Magazine, 9-10.