Vol. 6, No. 1, Maret 2013
ISSN 1978-4880 DAFTAR ISI
Dari Redaksi ................................................................................................
2
Penilaian dan Model Finding Aids Arsip Foto: Sebuah Pengantar ............. Machmoed Effendhie
3
Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Pemerintah DIY (Studi di BPAD DIY) .................................................................................. Syamsiyah Puji Astuti
15
Positivisme dalam Kearsipan ..................................................................... Suprayitno
27
Tata Cara Pemilihan Rektor UGM dari Tahun 1950 – 2012 ....................... Kurniatun
40
Menyusuri Jejak UGM Cabang Magelang dari Khazanah Arsip UGM ...... Musliichah
50
Resensi Buku: Perlindungan Arsip Vital .................................................... Heri Santosa
60
1
DARI REDAKSI Dengan usia yang sudah menginjak 6 tahun, dan dalam kondisi apapun, Khazanah akan tetap hadir sekaligus berupaya berbenah diri. Oleh karena itu diawal tahun 2013 ini, kami berusaha untuk lebih meningkatkan kualitas isi dan penampilan. Semangat berbagi, mengkaji, dan mensosialisasikan kearsipan tetap menjadi salah satu misi kami. Khazanah edisi kali ini, seperti edisi-edisi sebelumnya, tidak selalu hadir dalam satu tema tetapi dapat berupa beragam tulisan. Artikel tentang Arsip Foto (Still Images) menawarkan standar minimal penilaian arsip foto yang berupa sepuluh indikator penting. Selain itu juga ditawarkan alat temu balik (finding aids) arsip foto yang belum lazim diterapkan di Indonesia yakni model Kartu Indeks (cataloging) dan model Lembar Caption (Loose-Leaf). Artikel berikutnya mendeskripsikan perencanaan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah DIY, dan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam perencanaannya. Disimpulkan bahwa perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah DIY belum optimal karena keterbatasan anggaran, SDM, waktu penyusunan perencanaan, lemahnya koordinasi antar stakeholder, serta kurangnya intensitas pendampingan ke instansi. Artikel tentang Positivisme dalam Kearsipan mengingatkan kita akan tulisan Terry Cook (2012) yang menghadirkan empat tahapan perkembangan teori dan praktik kearsipan. Pengaruh positivisme Comte mulai memudar ketika arsip (di era digital) tidak lagi terikat ruang dan waktu, sekat-sekat arsip dinamis aktif, dinamis inaktif, dan arsip statis juga menjadi cair, serta batas antara archivist dan records manager semakin menipis. Terry Cook menandai hal tersebut, sebagai arus intelektual, telah beranjak dari tahap ketiga menuju tahap ke empat, dari postmodern menuju kontemporer. Selain itu, redaksi juga menghadirkan penggalan sejarah UGM tentang pemilihan Rektor UGM dari sejak UGM berdiri hingga tahun 2012 dan sejarah UGM Cabang Magelang yang kini tinggal kenangan. Diharapkan penggalanpenggalan sejarah UGM akan tetap dihadirkan, Fakultas Hukum UGM Cabang Surabaya, misalnya, kita belum banyak tahu. Ditengah kelangkaan media komunikasi bidang kearsipan di Indonesia, semoga berbagai tulisan yang kami sajikan dalam Khazanah dapat memberikan kontribusi dialektika pemikiran bagi para praktisi, akademisi, dan para pengambil kebijakan di bidang kearsipan. Bagi masyarakat umum, Khazanah semoga bisa menjadi jendela untuk mengenal dunia kearsipan dan akhirnya menumbuhkan apresiasi yang positif. Dengan segala keterbatasan, semoga yang kami sajikan membawa manfaat. Selamat membaca. Redaksi 2
PENILAIAN DAN MODEL FINDING AIDS ARSIP FOTO: SEBUAH PENGANTAR Machmoed Effendhie1 Abstract This simple writing will outline the basics of photo archives appraisal. Because appraisal photo archive material is the most difficult job in addition to involving aspects of the experience and skill also involves intellectual aspects of the photo archive assessor must be able to recognize, at least, the process of photography, prints periodization, cause damage to photos, events and people the importance and depth of understanding of the information the photograph itself by applying a minimum of nine indicators of appraisal. Meanwhile, other parts will be described three models of finding aids that registered (which is widely used by archival institution in Indonesia), and the model of cataloging and loose-leaf models. By basing the principle of the flexibility and efficiency, it is expected the other models can be applied in any archival institution. Keyword: appraisal, finding aids A. Pengantar Untuk membedakan antara arsip dengan informasi yang terekam lainnya seperti bahan pustaka, majalah, koran dan lain-lainnya, atau yang sering disebut sebagai karya cetak atau karya rekam, informasi yang terekam dalam media apapun baru dapat disebut arsip bila memenuhi minimal tiga syarat yaitu isi yang terkandung (content), struktur informasi (structure), dan keterkaitan informasi dengan lembaga penciptanya (context). Dengan kata lain, arsip harus merupakan bukti (evidence) dari suatu peristiwa atau kegiatan dan berisi data yang mempunyai arti 1
secara s osial. Selain arsip konvensional atau arsip tekstual terdapat jenis arsip lainnya yakni arsip bentuk khusus (Records in Special Format). Dalam kelompok arsip bentuk khusus terdapat jenis arsip yang disebut arsip Audio Visual, yang terdiri dari moving images (arsip citra begerak atau arsip film), sound records (arsip rekaman suara), dan still images (arsip citra diam atau arsip foto). Arsip foto merupakan salah satu media visual yang efektif karena dapat menvisualisasikan sesuatu kegiatan atau peristiwa dengan lebih konkret, realistis, lebih akurat dan dapat mengatasi ruang dan waktu.
Kepala Arsip UGM, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM
3
Dengan melihat arti penting, nilai informasional, dan nilai kebuktian dari arsip foto, maka pengelolaan arsip foto y ang tepat dengan memenuhi standar minimal pengelolaan arsip menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Pengalaman di lembaga-lembaga k earsipan d i Indonesia, hampir sebagian besar pengelolaan arsip foto baik masih be ru p a rec o rd s ( ya n g h an ya digunakan untuk layanan internal creating agency), maupun yang berupa archives (digunakan untuk layanan publik), masih menggunakan model yang sama yakni model registered. Hal itu dapat dimaklumi karena hampir semua referensi pengelolaan arsip foto (baik itu berupa surat keputusan maupun panduan) men-derivasi pedoman pengelolaan arsip foto dari lembaga kearsipan nasional. Sementara itu, di banyak lembaga kearsipan di luar negeri, termasuk perpustakaan dan museum, telah digunakan d an dikembangkan model lain selain registered, diantaranya adalah model indeks caption atau Loose-Leaf dan kartu indeks atau cataloging. Pengelolaan arsip foto di lembaga kearsipan dapat melibatkan banyak kegiatan, seperti menilai, memilah atau s eleksi, m emi lih skema klasifikasi, menetapkan kode nomor kontrol, membuat deskripsi dan menciptakan alat bantu temu balik, indeks, dan mekanisme temu balik lainnya. Banyak sistem klasifikasi yang telah dikembangkan untuk 4
mengelola arsip foto baik di institusi kearsipan, perpustakaan, maupun studio fotografi. Sebuah sistem pengelolaan arsip foto yang baik adalah minimal memenuhi unsur efektifitas, kebutuhan lembaga dan pengguna, perlindungan bahan dari kerusakan yang tidak perlu, dan mudah digunakan. Memilih sistem ya n g t e p a t t e rg a n t u n g p a d a pengetahuan mendalam tentang jenisjenis arsip foto di institusi yang bersangkutan dan bagaimana arsip foto itu kemudian akan digunakan. Dalam pengelolaan arsip foto, minimal tiga item berikut ini harus mendapat perhatian khusus. Pertama, Lokasi Penyimpanan. Di kebanyakan lembaga pemerintah maupun swasta, arsip foto akan ditemukan di seluruh unit-unit kerja, kadang-kadang bercampur dengan arsip kertas, ada yang dipajang di dinding, atau disimpan dalam tempattempat khusus yang berbeda-beda. Menyatukan semua arsip foto dalam satu repositori adalah pilihan yang tepat. Sebuah repositori terpusat memungkinkan untuk mengendalikan arsip foto yang asli dan salinannya, menggunakan sistem klasifikasi seragam, menjaga kondisi penyimpanan yang diperlukan untuk arsip foto d an memfasilitasi pengguna. Kedua, Volume dan Pertumbuhan Koleksi. T erdapat s tandar pengelompokan foto berdasarkan jumlah koleksinya: koleksi kecil yakni institusi kearsipan hanya
memiliki arsip foto di bawah 2.000 item, koleksi menengah yakni institusi kearsipan memiliki arsip foto dari 2.000 sampai 10.000 item, dan koleksi besar lebih dari 10.000 item. Adapun laju pertumbuhan arsip foto merupakan pertimbangan penting dalam menentukan tempat untuk menyimpan koleksi, menentukan sistem klasifikasi, deskripsi yang praktis, dan model temu balik paling efisien. Ketiga, Penggunaan. Kepentingan pengguna menjadi salah satu prioritas dalam pengelolaan arsip foto. Beberapa arsip foto akan mudah ditemukan dengan sistem klasifikasi tertentu karena sesuai dengan fungsinya. Foto udara, misalnya, yang digunakan s ebagai peta penerbangan d an berdasarkan konvensi disusun sesuai dengan sistem pengindeksan jalur penerbangan yang tepat atau indeks koordinat. Untuk koleksi foto medis atau sinar X sistemnya harus logis, dan skema klasifikasi menggunakan indeks nama individu menjadi pilihan yang paling tepat. Dalam situasi di mana arsip foto terkait erat dengan program-program tertentu atau kegiatan proyek tertentu di suatu lembaga, seperti foto y ang menggambarkan laporan konstruksi, sangat d imungkinkan untuk mengadaptasi sistem klasifikasi arsip tekstual seperti sistem kronologis, subjek, dan lain-lain. Arsip foto banyak jenisnya dan banyak pula tujuan penciptaannya.
Oleh karena itu, perhatian utama adalah penataan, perawatan dan kemudahan akses bagi pengguna. Sistem klasifikasi harus fleksibel, memungkinkan untuk dikembangkan, dan dapat menyesuaikan dengan penambahan koleksinya. Tulisan sederhana ini tidak bermaksud menjelaskan semua tahapan atau sistem dari pengelolaan arsip foto tetapi hanya menyoroti dua sub sistem yang dianggap penting yakni penilaian dan alat temu balik (finding aids). Itupun tidak sampai pada detail pembahasan yang bersifat teknis. B. Penilaian Nilai informasi akan selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu, baik itu karena perubahan kebijakan maupun perubahan politik. Penilaian (appraisal) terhadap bahanbahan arsip foto, merupakan kegiatan penting dalam keseluruhan tahapan pengelolaan arsip foto. Penilaian bahan arsip foto merupakan pekerjaan yang paling sulit selain melibatkan aspek pengalaman dan ketrampilan juga melibatkan aspek intelektual. Tidak ada rumus yang tepat yang dapat digunakan untuk menilai bahan-bahan arsip foto. Biasanya penilaian bahan arsip foto dilakukan oleh arsiparis dan atau petugas kearsipan dengan supervisi dari ahli arsip foto yang berpengalaman. Seleksi dan penilaian biasanya berupa seleksi dan penilaian yang bersifat teknis (Technical Handling) dan yang 5
bersifat intelektual (Intelectual Handling). Keduanya itu hampir sama dengan menilai arsip tekstual (konvensional). Hanya saja arsip foto kurang memiliki nilai kebuktian (legalitas hukum), seperti halnya arsip kertas yang self evidence tetapi arsip foto dapat memiliki nilai kebuktian (kesejarahan) tinggi bagi peneliti. Prinsip menilai foto terletak pada informasi yang terkandung di dalamnya. Pada umumnya, foto tersebut mengandung informasi, seperti nama orang, tempat, benda, fenomena, masalah dan sejenisnya. Meskipun demikian tidak semua foto hasil kegiatan pemerintahan atau ke hi d up an k eb an gs a an da p at disimpan sebagai arsip dan bernilai abadi. Oleh karena itu, arsiparis yang diserahi tugas penilaian arsip foto harus dapat mengenali, minimal, proses fotografi, periodesasi cetak foto, penyebab kerusakan foto, peristiwa-peristiwa, dan orang-orang penting serta kedalaman pemahaman tentang informasi foto itu sendiri. Lemahnya pemahaman minimal tersebut memungkinkan terjadi, “apa yang dianggap arsip penting dan bernilai tinggi oleh lembaga kearsipan yang satu, tetapi oleh lembaga kearsipan lain dianggap tidak penting dan tidak bernilai”. Oleh karena itu, beberapa indikator penilaian di bawah ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penilaian arsip foto.
6
(1) Administrasi dan Legalitas Kriteria pertama dan paling penting untuk dipertimbangkan adalah pentingnya arsip foto ketika dinamis bagi organisasi yang menciptakannya, sekalipun pada saat dinamis hanya sebagai pelengkap arsip tekstual. Arsip foto yang dianggap p enting p ada s aat penciptaannya umumnya untuk kepentingan administrasi, keuangan, hukum, atau lainnya. D engan demikian perlu d irumuskan standarisasi pertanyaan-pertanyaan kritis terkait aspek administrasi dan legalitas. Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya: Apakah arsip-arsip foto itu ada kebuktian hak-hak hukum? Apakah ada undang-undang atau peraturan yang mensyaratkan bahwa arsip-arsip jenis itu (arsip foto) harus disimpan? Apakah ketika itu lembaga penciptanya tidak dapat beroperasi tanpa arsip-arsip itu? Dan seterusnya pertanyaan terkait dengan administrasi dan legalitas dapat diajukan. (2) Umur Usia arsip foto menjadi indikator penting dalam penilaian. Semakin tua usia foto semakin bernilai. Oleh karena itu, perlu dirumuskan standar p e r t a n ya n - p e r t a n ya a n k r i t i s , misalnya: Berapa kira-kira usia bahan arsip? Apakah informasi yang terkandung masih dapat dimengerti dan bermanfaat bagi peneliti? Kalau kondisi fisiknya rusak apakah biaya perawatan sebanding dengan nilai
informasinya? Apakah sudah ada institusi lain yang menyimpan arsip foto sejenis untuk layanan publik? Apakah arsip foto jenis ini diproduksi dalam jumlah banyak? Dan seterusnya. (3) Kuantitas Berapa banyak jenis arsip foto seperti itu? Apa keuntungannya bagi lembaga kearsipan jika semua arsip berjenis sama disimpan? A pa keunt ungann ya bag i l em baga kearsipan jika arsip foto yang disimpan menjadi e ksklusif (disimpan satu dan lainn ya dimusnahkan)? Apakah informasi yang terekam itu bermanfaat bagi penelitian? Dan seterusnya. (4) Jenis Media Cetak Informasi arsip foto tersimpan dalam berbagai media cetak, ada media kaca, media kertas, media kulit, dll. Arsip foto media kertas seringkali menggoda arsiparis untuk tetap menyimpann ya tanpa mempertimbangkan kapasitas ruang penyimpanan, biaya perawatan, dan arah kebijakan pengembangan lembaga k earsipan. Foto-foto kegiatan etnografi yang dibuat mahasiswa lebih penting daripada foto -fot o s erem onial wi suda, misalnya, k arena mengandung informasi lebih luas dalam aspek kultural, politik lokal, dan aspek sosial. Sebuah rekaman foto tokohtokoh pendiri universitas dengan kualitas rekaman yang bagus akan lebih berharga daripada rekaman foto
pidato pelepasan wisudawan dengan kualitas rekaman yang sama. (5) Keunikan Apakah ada arsip foto hasil akuisisi itu yang unik. Unik dari sisi fisiknya dan unik d ari s isi informasinya. Dari sisi fisiknya, misalnya, apakah media kertas yang digunakan untuk mencetak foto itu sekarang sudah tidak diproduksi lagi? Atau misalnya apakah media cetak foto itu dibuat dari bahan yang tidak lazim? Dari sisi informasinya, apakah informasi yang terkandung itu tidak dapat ditemukan di sumber lain? (6) Kualitas Fisik Apakah arsip-arsip foto itu dalam kondisi fisik yang baik atau rusak? Apakah mudah dilihat, dimengerti, dan jelas gambarnya? Kalau fisiknya bagus apakah informasinya penting bagi penelitian. Begitu juga kalau fisiknya rusak apakah informasinya masih jelas terlihat dan penting bagi penelitian. Kalau fisiknya rusak tetapi informasinya penting apakah tersedia biaya perawatan untuk jangka waktu yang lama. Atau perlu ada tindakan lain untuk penyelamatan. (7) Rentang Waktu Apakah arsip foto yang diterima itu mempunyai rentang waktu yang panjang. Jika rentang waktunya panjang apakah bahan-bahan arsip foto itu dapat menggambarkan sejarah dan perkembangan suatu kegiatan atau institusi. U ntuk mengetahui itu perlu dilakukan uji coba skimming beberapa arsip foto. 7
Jika setelah dilakukan ujicoba ditemukan tanda-tanda bahwa ada gambaran tentang sejarah dan perkembangan satu kegiatan atau institusi maka seluruh arsip foto itu harus diputuskan untuk disimpan s e m u a n y a s e b e l u m n a n t i n ya dilakukan penataan. (8) Aksesibilitas Apakah ada pembatasan dalam penggunaan arsip foto jika nantinya arsip foto itu disimpan? Pembatasan itu bisa dari perorangan atau institusi yang menyerahkan atau pembatasan dari lembaga kearsipan karena arsip tersebut bersifat personal atau situasi politik dan budaya tidak memungkinkan membuka arsip tersebut untuk publik. Jika terjadi situasi seperti itu, kalau ruang penyimpanan sudah penuh, maka arsip-arsip tersebut dapat dikembalikan ke pemiliknya atau unit penciptanya. Akan tetapi jika ruang penyimpanan masih memungkinkan dan dukungan perawatan jangka waktu lama juga memungkinkan maka arsip tersebut tetap disimpan di lembaga kearsipan, tanpa dilakukan tindakan penataan, cukup diberi identitas saja. (9) Kegunaan Seberapa sering nantinya bahanbahan arsip foto akan digunakan, dan untuk apa? Meskipun arsip foto tersebut belum dikelola dan tersedia bagi peneliti, pertimbangan kegunaan arsip tersebut ke depan perlu dilakukan. Jika tempat penyimpanan 8
tidak mendukung maka lebih baik menyimpan sepuluh boks arsip foto yang sering digunakan daripada menyimpan tiga puluh boks arsip foto yang dalam setahun hanya digunakan sekali. Jika tempat penyimpanan mendukung dan biaya perawatan juga mendukung maka menyimpan arsip yang jarang d igunakan d apat dilakukan. (10) Copyright. Meskipun copyright tidak merupakan unsur penting dalam penilaian, tetapi untuk arsip foto hal itu perlu dilakukan karena terkait erat dengan hak kepemilikan. Kalau copyright-nya jelas, maka akan mempermudah untuk cetak ulang, atau ketika foto akan digunakan untuk pameran atau publikasi, hal ini dapat m e n gh i n d a r i p e n ya l a h gu n a a n kepemilikan atau kegunaan. Kesepuluh item di atas merupakan standard umum penilaian. Setiap institusi kearsipan mempunyai kebijakan tersendiri dalam mengevaluasi dan menentukan arsip foto yang akan disimpan. Setelah melakukan uji kelayakan bahanbahan arsip foto dengan sepuluh kriteria tersebut di atas, hal-hal berikut ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu: a. Apakah bahan-bahan arsip foto itu sesuai dengan kebijakan institusi dan apakah dapat melengkapi koleksi yang sudah ada? b. Apakah bahan-bahan arsip foto
itu dapat mengisi kesenjangan koleksi yang sudah a da (informasi dan jenis media simpan)? c. Berapa biaya untuk memelihara dan menyimpan, dan apakah biayanya yang dikeluarkan sebanding dengan informasi yang dibutuhkan? C. Finding Aids Terdapat beberapa pijakan dasar skema klasifikasi y ang d apat digunakan, diantaranya: 1. Prinsip aturan asli (principle of original order), 2. Prinsip asal-usul (principle of provenance), dan 3. Rekonstruksi: subjek, kronologis, geografis, dll. Skema klasifikasi arsip foto yang telah dibuat itu nantinya akan digunakan sebagai dasar penataan dan penyusunan model instrumen temu balik arsip, baik itu berupa registered (atau daftar koleksi), dan model kartu indeks (atau model katalog), atau model Loose-Leaf. Untuk skema klasifikasi arsip foto dengan menggunakan dasar prinsip aturan asli (principle of original order) sangat jarang digunakan atau bahkan tidak pernah digunakan. Hal itu karena biasanya arsip-arsip foto terkait dengan transaksi dan kegiatankegiatan institusi penciptanya, sehingga penataan arsip f oto mengikuti penataan arsip tektualnya. Sementara penataan arsip tekstual sangat berbeda dengan penatan arsip foto. Hal inilah yang menyebabkan prinsip aturan asli (principle of
original order) jarang dipakai dalam penataan arsip foto. Begitu juga untuk skema klasifikasi arsip foto dengan menggunakan dasar prinsip asal-usul (principle of provenance) jarang digunakan. Hal itu disebabkan karena dengan menggunakan dasar prinsip asal-usul (principle of provenance), pengkodeanya menjadi semakin panjang dan tidak praktis. Selain itu, dengan menggunakan d asar rekonstruksi, pada tingkat deskripsi nanti, asal-usul arsip foto juga akan tercantum. Dengan begitu, hampir sebagian besar lembaga kearsipan dan perpustakaan menggunakan dasar skema klasifikasi rekonstruksi, baik itu menggunakan subjek, kronologi, geografis, atau penggabungan diantara ketiganya. Prinsip dasar skema klasifikasi berdasarkan subjek adalah main subject, sub-subjek, subsub s ubjek, d st. A dapun pengkodeannya dapat menggunakan model Mnemonic. M em bu at d e s k ri ps i , ya n g merupakan proses pencatatan semua informasi yang melekat dalam arsip foto, adalah kegiatan yang sangat penting untuk identifikasi foto agar dapat digunakan bagi pengguna. Lembaga k earsipan y ang memberikan layanan arsip foto harus melakukan pendeskripsian arsip foto setidak-tidaknya informasi-informasi dasar dari sebuah foto. Apabila informasi sebuah foto dapat diketahui secara lebih lengkap maka deskripsi tingkat item dapat dilakukan. Apabila informasi dari sebuah foto hanya 9
diketahui sedikit dan tidak lengkap maka dapat dilakukan deskripsi pada tingkat kolektif untuk foto-foto yang mempunyai subjek atau kegiatan yang sama. Foto yang undescribed (tidak dapat dideskripsi) akan kehilangan konteks-nya dan foto tersebut tidak bernilai sedikitpun. Namun demikian, foto-foto yang belum dapat dideskripsi masih dapat disimpan di lembaga kearsipan dan dipisahkan dengan arsip-arsip foto yang sudah terdiskripsi. Foto-foto yang belum d apat dideskripsi kemungkinan masih dapat dideskripsi melalui kontekstualisasi dengan penelusuran individu atau aktor yang ada d alam foto, berita-berita penerbitan sejaman yang pernah memuat foto tersebut, kolektor foto, No/ Kode
Nama Kegiatan
Uraian
Penganugerahan Gelar
Presiden UGM Prof.
AF/AM.
Doktor
menyerahkan Surat
MC/195
Honoris
Tanda Promosi
1-1R
Causa
Honoris Causa
Kepada
kepada Promovendus
Ir. Soekarno
Ir. Soekarno
Tanggal
institusi penciptan ya, atau narasumber yan g menget ahui peristiwa yang ada dalam foto. 1. Model Registered Model ini setelah disusun kemudian diberi nomor dan kode, dibuatkan daftarnya yang disebut Daftar Koleksi Arsip Foto (atau sebutan lainnya). Daftar Koleksi Arsip Foto memuat informasi setiap lembar identitas foto. Model ini banyak digunakan di lembagalembaga kearsipan di Indonesia. Adapun Daftar Koleksi Arsip Foto sekurang-kurangnya berisi: Nomor dan Kode, Nama Kegiatan, Uraian Kegiatan, Tanggal, Tempat, Asal Arsip, Pemotret, Ukuran & Jenis, dan Keterangan atau Kondisi Foto. Berikut contoh model registered. Tempat
Asal Arsip
Sitihi
Humas
nggil
UGM
Pemotret
Ukuran & Jenis
Ket
-
2R, HP
Baik
3R, HP
Baik
Loksim
Dr. Sardjito
19-Sep-51
AP1.R1. B.OA 1
Penyerahan
AF /OA.OK/ 61-1B
5 unit alat
Rektor UGM Prof.
praktikum
Dr. Herman Johannes
pertanian
sedang memberikan
dari
sambutan kepada
Presiden RI
rombongan Presiden
kepada
RI
UGM Dst.
10
Gedu 19 Des 1961
ng Pusat UGM
Heru ANRI
Kurnia wan
AP1.R1. B.OA 1
2. Model Kartu Indeks (Katalog) Standar Multilevel Data Element Set, Standar Dublin Core atau standar lainnya dapat diaplikasikan dalam model katalog fotografi maupun model lembaran lepas (loose-leaf). Multilevel Data Element Set memuat 21 elemen inti. Dari 21 elemen inti tersebut dapat dikembangkan, baik ditambah maupun dikurangi untuk disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan institusi yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan arsip foto. Sementara itu, Standar Dublin Core terdapat 15 elemen inti. Bentuk Multilevel Data Element Set atau Dublin Core sangat cocok digunakan tidak hanya untuk model manual tetapi juga dapat diaplikasikan dalam otomasi pengelolaan arsip foto s e ba gai i ns t r um en m e t a d at a. Deskripsi Multilevel maupun Dublin Core adalah kunci untuk pengelolaan koleksi arsip foto yang membuat sebuah foto dapat secara langsung “terlihat”. Standar ini membuat arsip foto dapat “dilihat langsung dalam koleksi, menyediakan akses dan memungkinkan pengguna untuk menemukan apa yang mereka cari”. Selain sebagai alat temu balik, entri katalog maupun loose-leaf dapat menjelaskan bagaimana sebuah foto diakuisisi, karakteristik fisik dan kondisinya, pengaturan tentang hak, pembatasan akses, dll. Model katalog maupun loose leaf dapat meningkatkan baik 'searchability' maupun pemahaman tentang foto itu sendiri. (Edwin Klijn & Yola de Lusenet, 2004)
Sementara itu, kartu indeks adalah sistem temu balik manual yang relatif baik untuk lembaga kearsipan yang memiliki koleksi arsip foto dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Pengkodean, penomoran, dan deskripsi informasi dicatat pada kartu ukuran s tandar (3"x5") y ang kemudian ditempatkan dalam tempat penyimpanan kartu indeks dan disusun berdasarkan subjek atau secara kronologis. Petunjuk lokasi simpan dapat dicantumkan dalam kartu indeks master, atau dapat dibuat kartu indeks tersendiri (atau kartu indeks sekunder) yang hanya berisi nomor lokasi simpan. Dalam sistem kartu indeks juga dapat disertakan copy foto dalam ukuran kecil agar pengguna dapat dengan mudah memeriksa isi dari foto itu. Adapun elemen dari kartu indeks yang banyak digunakan sekurang-kurangnya berisi informasi tentang: 1. General data (Data about the institution that is responsible for the catalogue and information about updates), 2. I d e n t i t y s t a t e m e n t a r e a (Mandatory information about the unit that is described – archives, collection, series or photograph its reference code, name and date), 3. P r o v e n a n c e a n d c o n t e x t (Information about the creator of the unit), 4. Content and structure area (Registered content description and keywords), 11
5. Conditions of access and use area (Information about availability of the unit of description. Copyright issues are also included here), 6. A l l i e d m a t e r i a l s a r e a (Information about materials with
an important relationship to the unit that is described), dan 7. Technical area (Information about the photographic technique and size).
Contoh: SUKARNO, PRESIDEN RI AF/AM.MC/1951-1R Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Kepada Ir. Soekarno, 19 September 1952, Sitihinggil, 2R Hitam Putih. Presiden UGM Prof. Dr. Sardjito menyerahkan Surat Tanda Promosi Honoris Causa kepada Promovendus Ir. Soekarno Pemotret tidak diketahui
Dapat digandakan
3. Model Lembar Caption atau Loose-Leaf Lembar Caption atau Loose-Leaf, seperti halnya model Kartu Indeks, memungkinkan pengguna untuk dapat langsung melihat foto. Deskripsi informasi tentang koleksi foto ada dalam binder portabel ( k u m p u l a n L o o s e - L e a f ya n g disatukan dengan urutan tertentu seperti buku). Karena entri keterangan umumnya dibuat secara kronologis, lembar caption ini paling 12
AP1.R1.B.OA 1
cocok untuk temu balik koleksi foto di lembaga-lembaga kearsipan yang belum menerapkan temu balik arsip foto secara otomatis (Automated Retrieval). Model deskripsinya dapat menggunakan standar internasional seperti Dublin Core atau standar internasional lainnya. Standar Dublin Core di bawah ini dapat dikembangkan sesuai kebutuhan, baik itu dengan cara penambahan atau pengurangan dari 15 elemen.
Dublin Core 1 2 3 4
Title Creator Subject Description
5 6 7 8
Publisher Contributor Date Type
9 Format 10 Identifier 11 Source 12 Language 13 Relation 14 Coverage 15 Rights
Contoh:
Judul
: Penganugerahan Doktor HC
Pencipta
: Tidak diketahui
Subjek
: Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Kepada Ir. Soekarno
Deskripsi
: Presiden UGM Prof. Dr. Sardjito menyerahkan Surat Tanda Promosi Honoris Causa kepada Promovendus Ir. Soekarno
Tanggal
: 19 September 1952
Lokasi
: Sitihinggil, Kraton, Yogyakarta
Jenis
: 2R Hitam putih
Identitas
: AF/AM.MC/1951-1R
Lokasi Simpan : AP1.R1.B.OA 1 Hak Cipta
: Arsip UGM
Dan seterusnya dapat ditambahkan sesuai kebutuhan
13
D. Penutup Penilaian (appraisal) bahan arsip foto merupakan pekerjaan yang paling sulit selain melibatkan aspek pengalaman dan ketrampilan juga melibatkan aspek intelektual. Tidak ada rumus yang tepat yang dapat digunakan untuk menilai bahanbahan arsip foto. Oleh karena itu, penilai arsip foto harus dapat mengenali, minimal, proses fotografi, periodesasi cetak foto, penyebab kerusakan foto, peristiwa-peristiwa dan orang-orang penting serta kedalaman pemahaman tentang informasi foto itu sendiri dengan minimal mengaplikasikan sembilan indikator penilaian. Tidak salah memang, lembaga kearsipan memilih finding aids dengan menggunakan m odel registered tetapi dengan mendasarkan prinsip fleksibilitas dan efisiensi, tentu aplikasi model-model lain perlu dipertimbangkan.
14
DAFTAR PUSTAKA Clarke, Susie and Franziska S. Frey, Car e o f P hotographs , Amsterdam: European Commission Preservation and Access, 2003. Coles, Laura, A Manual for Small Archivies. Columbia: Association of British Columbia Archivists, 1988. Leary, William H, The Archival Appraisal of Photographs: A RAMP Study with Guidelines. Paris: General Information and UNISIST, 1985. Messier, Paul, An Introduction to Color Photographs. Los Angeles: Conservator of Photographs, 1999. Wilhelm, Henry, The Permanence and Care of Color Photographs. Iowa: Preservation Publishing Company, 1993.
PERENCANAAN PERLINDUNGAN ARSIP VITAL DI PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (STUDI DI BPAD DIY) Syamsiyah Puji Astuti Suryadi2 Imam Hardjanto3
1
Abstract Public sector reform requires the creation of good governance (good governance) have a relationship of interdependence with the archives. Records are properly managed, is a tool for achieving accountability, transparency, and as evidence of what has been achieved, as an authoritative source of information that can be used for decision-making and government services. Records are recorded information from the activity or activities of an organization. As the recorded information archive can be used for planning, implementation and supervision of the organization's activities. Archive has a vital role in protecting the rights of the interests of organizations, agencies and individuals or parties other interested parties. Hence its very important, vital records must receive special protection from possible mainly destroyed, lost or damaged due to the disaster. The purpose of this study are: to determine, analyze, and vital records protection plan described in the DIY Regional Government, and the factors supporting and inhibiting the vital records protection plan in the Government DIY. The research method uses a qualitative approach with descriptive type. Source data from informants and documents. Data was collected through interviews, observation and documentation. Data were analyzed using Miles and Huberman reduce the existing data, presents the complete data and then make conclusions and verification. The results of this study are planning phases Vital Records Protection in the DIY Local Government include: budgeting, team building, identifying vital records, determination of design or vital records protection methods, and determining the location to save. Personnel officials planner consists of structural and archivists. Vital records protection planning is top down and bottom up. Supporting factors: the rules of law or the legal umbrella of strong, vital records itself and DIY disasterprone conditions. Limiting Factors: budget constraints, human resource constraints in quantity and quality, lack of coordination among stakeholders and the limited time in planning and assistance to agencies. Keywords: planning, vital records protection 1
Post Graduate Student of Magister of Public Administration, UB, Malang Advisor, Lecturer of Faculty of Administrative Science, UB Malang 3 Co Advisor, Lecturer of Faculty of Administrative Science, UB Malang 2
15
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Isu good governance, good corporate governance, maupun clean governance, akuntabilitas (accountability), dan transparansi adalah salah satu sasaran yang ingin dicapai. Akuntabilitas adalah kunci utama dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas tersebut tidak dapat terwujud tanpa adanya transparansi dan penegakan hukum. Pemerintah, sektor publik, swasta, maupun lembaga mas yarakat h arus bertanggung jawab kepada publik (masyarakat umum) dan kepada para pemilik (stakeholders). Tanpa adanya informasi, tidak akan ada pembuatan keput us an d an ak unt abi l i t as . Sementara s alah satu sumber informasi yang paling vital adalah arsip, karena tidak semua informasi dikategorikan arsip. Reformasi sektor publik yang menuntut terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) memiliki relasi saling ketergantungan dengan kearsipan. Arsip dinamis yang dikelola dengan baik, merupakan alat untuk mencapai akuntabilitas, transparansi, sebagai bukti atas apa yang telah dicapai, sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk pembuatan keputusan dan pelayanan pemerintah. Musibah bencana alam gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran dan sebagainya yang sering terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia 16
akhir-akhir ini bukan hanya menelan korban jiwa dan harta tetapi juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap keseluruhan aspek kehidupan manusia. Salah satu dampak tersebut di antaranya adalah musnah, hilang dan rusaknya arsip a t a u d o k u m e n p e nt i n g ya n g merupakan aset bagi organisasi. Dengan adanya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MEN PAN) RI No. S E/ 06/ M . PAN/ 3/ 2005 t ent an g Program Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Kepala Arsip Nasional RI No. 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara t e r h a d a p M u s i b a h / B e n cana, K e p u t u s a n G u b e r nu r D a e r a h Istimewa Yogyakarta (DIY) No. 128 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis P e n g e l o l a a n A r s i p Vi t a l d i Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY, serta Instruksi Gubernur DIY No. 1/INSTR/2008 tentang Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Arsip Vital Pemerintah Provinsi DIY terhadap Musibah/ Bencana, maka setiap instansi atau lembaga pemerintah harus mengelola dan melindungi arsip vital instansinya dari musibah atau bencana. Untuk itu Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DIY selaku Vital Records Center atau Pusat Arsip Vital Pemerintah Daerah DIY
berkewajiban mengelola arsip vital Pemerintah DIY dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas pemerintah daerah. Kegiatan Perlindungan Arsip Vital ini merupakan program baru di Pemerintah Provinsi DIY, penerapan di lapangan berdasarkan dari teori manajemen arsip dinamis yang diperoleh dari referensi asing. Instrumen atau format-format yang digunakan baik format identifikasi maupun desain perlindungan arsip vital masih bersifat trial and error, yaitu mencoba mengambil teori dalam vital records management yang telah ada dengan mengaplikasikan ke dalam bentuk kegiatan. Hal ini dikarenakan belum ada acuan yang dapat digunakan untuk praktek di lapangan yang dibuat oleh Arsip Nasional RI (ANRI). Pedoman yang telah dibuat oleh ANRI masih bersifat umum belum sampai kepada aplikasi teknisnya. Disamping itu undang-undang kearsipan yang mengatur pengelolaan arsip dinamis baru lahir pada tahun 2009 yaitu Undang-Undang No. 43 tentang Kearsipan sedangkan undang-undang kearsipan sebelumnya yaitu UndangUndang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan h an ya mengatur penyelenggaraan kearsipan statis. Dengan d emikian program Perlindungan Arsip Vital selama ini belum dapat terlaksana secara maksimal. Disamping permasalahan
tersebut di atas terdapat beberapa permasalahan mendasar lainnya d a l a m p e r e n c a n a a n P r o gr a m P e rl i n du n gan A rs i p Vi t al di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY yaitu adanya keterbatasan anggaran, keterbatasan SDM petugas kearsipan, kurangnya pengetahuan ilmu manajemen arsip dinamis, dan lain sebagainya. Indikator dari kurang tercapainya target atau tujuan dari program Perlindungan Arsip Vital ini antara lain dapat diukur dari: - Kurang adanya atensi atau perhatian dari pimpinan instansi sasaran agar program ini dapat berjalan dengan baik - Daftar arsip vital yang dapat dihimpun atau dikumpulkan oleh BPAD Provinsi DIY kurang memadai - P rogram p endampingan k e instansi selalu berjalan tetapi tidak tepat waktu atau mundur dari waktu y ang telah direncanakan sebelumnya - Arsip-arsip vital instansi belum dapat tertata, terkelola, dan terlindungi dari musibah atau bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Mengingat p entingnya pengelolaan arsip khususnya dalam perencanaan pembangunan daerah maka penulis ingin meneliti mengenai permasalahan perencanaan kegiatan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah Daerah DIY (studi di B PA D D I Y ) . P e n e l i t i i n g i n 17
menyampaikan gambaran pentingnya arsip dalam kegiatan perencanaan dan mengetahui lebih jauh bagaimanakah perencanaan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah Daerah DIY yang telah dilaksanakan oleh B PA D D I Y b e b e r a p a t a h u n belakangan ini.
sebagai suatu proses berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihanpilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masa mendatang (Conyers dan Hills dalam Kuncoro, 2012).
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat dalam perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY?
2.2. Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan menurut Abe (2003: 30) membentuk suatu hubungan dua arah yaitu melalui top-down dan bottom-up. Pada prosedur bottom-up, perencanaan pembangunan daerah dirumuskan oleh pemerintah lokal dengan memperhatikan aspirasi lokal setempat. Sedangkan prosedur topdown, perencanaan nasional men yediakan kerangk a untuk kegiatan pembangunan nasional. Kegiatan ini diformulasikan secara lebih detail dengan menyediakan kerangka untuk rencana sektoral dan daerah. Dalam kenyataannya, kedua prosedur ini sangat penting. Untuk menyempurnakan hasil perencanaan yang telah disusun antara top-down dan bottom-up maka komunikasi dua arah menjadi sangat berperan. Perencanaan top-down berfungsi untuk menegaskan bahwa di beberapa daerah akan mempunyai proses pembangunan yang menunjang kepentingan nasional untuk waktu tertentu. Sedangkan perencanaan bottom-up menegaskan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada potensi dari wilayah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Menurut Soekartawi (1990) perencanaan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke waktu dengan melibatkan kebijakan (policy) dan pembuat keputusan berdasarkan sumber daya yang tersedia dan disusun secara sistematis. Soekartawi menyatakan perencanaan pada dasarn ya mencakup aspek apa yang perlu dikerjakan, sistematisnya dan waktu yang tertentu. Aspek apa yang dikerjakan adalah suatu kegiatan yang nanti dilaksanakan. Perencanaan juga didefinisikan 18
(lokal) yang ada. Pada perencanaan bot t om-u p s ecar a kom par at i f memastikan adanya sumber daya dan keikutsertaan masyarakat lokal dalam bentuk partisipasi. Namun pada sisi lain perencanaan top-down juga harus ada. Adanya keterbatasan dana, terutama di daerah, maka diperlukan pembagian dana dari pusat untuk semua daerah dan sektor dalam kerangka nasional untuk mencapai tujuan pembangunan. Dari prosedur top-down dan bottom-up tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perencanaan pembangunan daerah dapat terbagi dalam dua bentuk. Kedua bentuk tersebut menurut Abe (2002 : 30 ) adal ah : p ert am a, perencanaan merupakan implementasi atas penjabaran dari perencanaan pusat. Kedua, perencanaan daerah untuk merumuskan kepentingan lokal. Penjabaran perencanaan dari pusat ada dua kemungkinan yang muncul yaitu merupakan b agian dari perencanaan pusat atau penjelasan r e n c a n a n a s i o n a l y a n g a kan diselenggarakan d i d aerah. S edangk an d al am perum us an kepentingan lokal ada kemungkinan yaitu rumusan murni kepentingan daerah atau pengisian atas ruangruang yang disediakan oleh pusat. 2.3 Perencanaan Perlindungan Arsip Vital 2.3.1 Arsip Vital Undang-undang RI No. 43 tentang Kearsipan menyatakan
bahwa arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan b ermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Arsip vital merupakan arsip kelas satu yang tidak dapat digantikan dan mutlak diperlukan instansi, karena arsip vital berkaitan dengan masalah hukum, keuangan, dan operasional, serta melindungi hak dan kepentingan baik pegawai, instansi, masyarakat, dan pemerintah daerah serta untuk kelangsungan operasional instansi. Oleh karena itu arsip vital perlu diamankan dari segala bahaya yang mengancam terhadap ketidaksediaan arsip pada waktu diperlukan. Beberapa contoh arsip vital instansi antara lain: sertifikat tanah, surat Hak Guna Bangunan atau Hak Milik Bangunan, gambar gedung kantor, BPKB kendaraan dinas, surat perjanjian atau kerja sama dengan pihak lain (MoU), file pegawai, keputusan-keputusan hukum, SPJ dan arsip keuangan lainnya, serta arsip lain yang sifatnya sangat penting atau vital bagi organisasi. 2.3.2 Pengelolaan dan Perencanaan PerlindunganArsip Vital Perencanaan merupakan suatu rangkaian tindakan untuk mencapai 19
hasil yang diinginkan. Hasil dari perencanaan adalah rencana. Program p e r l i n d u n ga n a r s i p v i t al i n i merupakan sebuah rancangan yang berupa tindakan-tindakan untuk memberikan perlindungan d an pengamanan arsip vital dari musibah dan bencana. Dalam menetapkan tindakan-tindakan tersebut, agar suatu program dapat mencapai tujuan, terlebih dahulu perlu perencanaan yang matang. Perencanaan tersebut meliputi langkah-langkah identifikasi yaitu menentukan jenis arsip v ital, menentukan metode perlindungan, menentukan lokasi simpan, dan penunjukan orang yang bertanggung jawab. Hasil dari perencanaan tersebut adalah rancangan atau desain perlindungan arsip vital (Suhardo, 2011). Rancangan program perlindungan arsip vital akan tercapai apabila didukung oleh beberapa komponen yang meliputi sumber daya manusia, fasilitas, prosedur, dan anggaran (Suhardo, 2011). 2.3.3 Program Perlindungan Arsip Vital Program Perlindungan Arsip Vital Pemerintah Provinsi DIY adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY dari segala macam bahaya seperti musibah kebakaran, bencana alam banjir, gempa bumi, tsunami dan lain sebagainya. Tujuan program ini 20
adalah agar arsip selalu tersedia setiap kali diperlukan untuk opersaional instansi sekalipun terjadi bencana. III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik Analisis data menggunakan metode analisis data Miles dan Huberman yakni mereduksi data yang ada, menyajikan data secara lengkap, dan kemudian membuat kesimpulan serta verifikasi. Sumber data adalah informan dan dokumen. Informan terdiri dari pejabat sruktural dan arsiparis atau petugas arsip di BPAD DIY dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Tahap -Tahap P erencanaan PerlindunganArsip Vital Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Daerah DIY meliputi tahap-tahap berikut ini yaitu: 1. Penyusunan anggaran 2. Pembentukan tim perlindungan arsip vital 3. Pengidentifikasian arsip vital 4. Penentuan desain atau metode perlindungan arsip vital 5. Penentuan lokasi penyimpanan arsip vital Sementara itu menurut Suhardo (2011) program perlindungan arsip vital merupakan sebuah rancangan yang berupa tindakan-tindakan untuk
memberikan perlindungan d an pengamanan arsip vital dari musibah dan bencana. Dalam menetapkan tindakan-tindakan tersebut, agar suatu program dapat mencapai tujuan, terlebih dahulu perlu perencanaan yang matang. Perencanaan tersebut meliputi langkah-langkah identifikasi yaitu menentukan jenis arsip v ital, menentukan metode perlindungan, menentukan lokasi simpan, dan penunjukan orang yang bertanggung jawab. Hasil dari perencanaan tersebut adalah rancangan atau desain perlindungan arsip vital. 4.2. Rencana Strategis (Renstra) BPAD Provinsi DIY Tahun 20092013 Renstra BPAD Provinsi DIY merupakan p erencanaan taktis strategis yang disusun untuk masa periode 5 (lima) tahun (2009 - 2013). Dalam rangka mewujudkan misi kedua yaitu mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan perpustakaan dan arsip secara optimal maka BPAD P r o v i n s i D IY m e r e n c a n a k a n beberapa kegiatan atau program perbaikan sistem kearsipan dan salah satu kegiatan tersebut adalah Perlindungan Arsip Vital pada tahun 2009 sampai dengan 2013 yang tertuang dalam dokumen Renstra BPAD Provinsi DIY 2009 – 2013. Nama program tersebut adalah Perbaikan Sistem Administrasi Kearsipan. Nama kegiatan adalah P e r l i n d u n g a n A r s i p Vi t a l .
Indikatornya adalah terlaksananya apresiasi desain perlindungan arsip vital. Target pada tahun 2009: 1 kali bimbingan teknis Perlindungan Arsip Vital, 5 instansi sasaran, rencana anggaran Rp. 61.705.000,00. Target pada tahun 2010: 1 kali apresiasi, pendampingan analisa penentuan jenis arsip vital, 15 instansi sasaran, rencana anggaran Rp. 80.000.000,00. Target pada tahun 2011: Pembuatan software daftar induk arsip vital, apresiasi desain perlindungan arsip vi t al , r en c an a a n g ga r an R p . 90.000.000,00. Target pada tahun 2012: Apresiasi software daftar induk arsip v ital, Bimbingan Teknis Perlindungan Arsip Vital, 11 instansi sasaran, rencana anggaran Rp. 100.000.000,00. Target pada tahun 201 3 : P e nd am p i n ga n a na l i s a penentuan desain perlindungan arsip vital, apresiasi software daftar induk arsip vital, rencana anggaran Rp. 110.000.000,00. Pada dasarnya perencanaan pembangunan daerah dapat terbagi dalam dua bentuk. Menurut Abe (2002: 30) kedua bentuk tersebut adalah: pertama, perencanaan merupakan implementasi atas penjabaran dari perencanaan pusat. Kedua, perencananaan daerah untuk merumuskan kepentingan lokal. Dalam hal i ni penjabaran perencanaan dari pusat maka ada dua kemungkinan yang muncul yaitu merupakan bagian dari perencanaan pusat penjelasan rencana nasional yang akan diselenggarakan di daerah. 21
S edangk an d al am perum us an kepent i ngan l okal m aka a da kemungkinan merupakan rumusan murni kepentingan daerah atau lebih merupakan pengisian atas ruangruang yang disediakan oleh pusat. Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY dilaksanakan oleh BPAD Provinsi DIY adalah bentuk implementasi dari Undang-undang RI No . 4 3 Tahu n 20 0 9 t entang Kearsipan, Surat Edaran MENPAN RI No. SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Kepala ANRI No. 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Gubernur DIY No. 128 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Arsip V ital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY, dan Instruksi Gubernur DIY No. 1/INSTR/2008 tentang Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Arsip Vital Pemerintah Provinsi DIY terhadap Musibah/ Bencana. Hal t e rs eb u t b e r ar t i p e r en c an a an P e rl i n du n gan A r s i p Vi t al d i lingkungan Pemerintah DIY bersifat top-down karena menjabarkan dan mengimplementasikan peraturan dari Pusat yaitu Undang-undang RI No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, Surat E d a r a n M E N PA N R I N o . S E/ 06/ M . PAN/ 3/ 2005 t ent an g 22
Program Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Kepala ANRI No. 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana. Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY juga bersifat bottom-up karena melibatkan stakeholder yang ada di DIY dalam merumuskan peraturan di tingkat daerah yaitu Keputusan Gubernur DIY No. 128 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Arsip V ital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY, dan Instruksi Gubernur DIY No. 1/INSTR/2008 tentang Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Arsip Vital Pemerintah Provinsi DIY terhadap Musibah/ Bencana. Para stakeholder juga ikut merumuskan formulasi perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY. Hal ini sejalan dengan pendapatAbe berikut di bawah ini. Perencanaan menurut Abe (2003: 30) membentuk suatu hubungan dua arah yaitu melalui top-down dan bottom-up. Pada prosedur bottom-up, perencanaan pembangunan daerah dirumuskan oleh pemerintah lokal dengan memperhatikan aspirasi lokal setempat. Sedangkan prosedur topdown, perencanaan nasional men yediakan kerangk a untuk kegiatan pembangunan nasional. Untuk menyempurnakan hasil
perencanaan yang telah disusun antara top-down dan bottom-up maka komunikasi dua arah menjadi sangat berperan. Perencanaan top-down berfungsi untuk menegaskan bahwa di beberapa daerah akan mempunyai proses pembangunan y ang menunjang kepentingan nasional untuk waktu tertentu. Sedangkan perencanaan bottom-up menegaskan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada potensi dari wilayah (lokal) yang ada. Pada perencanaan bot t om-u p s ecar a kom par at i f memastikan adanya sumber daya dan keikutsertaan masyarakat lokal dalam bentuk partisipasi. Namun pada sisi lain perencanaan top-down juga harus ada. 4.3. Faktor-faktor Pendukung dalam Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah DIY Faktor-faktor yang mendukung Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Daerah DIY antara lain adalah: 1. Aturan perundang-undangan atau payung hukum yang kuat Surat Edaran MENPAN RI No. SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program P erlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Kepala ANRI No. 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip
Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana, Keputusan Gubernur DIY No.128 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY, serta Instruksi Gubernur DIY No. 1/INSTR/2008 tentang Perlindungan, Pengamanan, dan P enyel am at an Arsip Vit al P em e ri nt ah P rov i n s i D IY terhadap Musibah/ Bencana, merupakan faktor yang mendukung perencanaan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah Daerah DIY karena setiap instansi atau lembaga p emerintah harus mengelola dan melindungi arsip vital instansinya dari musibah atau bencana. Aturan perundangundangan tersebut menjadi dasar bagi BPAD Provinsi DIY untuk merencanakan program perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah Daerah DIY. 2. Arsip vital itu sendiri Semakin banyak arsip vital yang tercipta di suatu instansi maka semakin diperlukan adanya perencanaan perlindungan arsip vital di instansi tersebut. 3. Kondisi DIY yang rawan bencana Berdasarkan kondisi geografis, ge o l o gi s , h i d r o l o gi s , d a n dem o gr a fi s , wi l a ya h D IY memiliki kondisi yang m e m u n gk i n k a n t e r j a d i n ya bencana, baik yang disebabkan 23
oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa m anusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan. Dari kondisi tersebut justru menjadi faktor pendukung adanya perencanaan perlindungan arsip vital di wilayah DIY agar terhindar dari musibah atau bencana. 4.4. F a k t o r - f a k t o r P e nghambat Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah DIY Faktor-faktor yang menghambat dalam Perencanaan Perlindungan Arsip V ital di Lingkungan Pemerintah DIY adalah sebagai berikut: 1. Anggaran Anggaran yang terbatas menjadi faktor penghambat karena perencanaan menjadi kurang maksimal dalam pelaksanaannya. Keterbatasan anggaran tersebut mengakibatkan sarana prasarana yang seharusnya tersedia menjadi tidak tersedia atau kurang memadai. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) SDM perencana y ang a da terutama arsiparis terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas. 3. Koordinasi Kurangnya koordinasi antar 24
stakeholder yang ada di BPAD Provinsi DIY dalam perencanaan kegiatan menjadi faktor penghambat perencanaan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah DIY. 4. Waktu Waktu yang sangat terbatas pada saat penyusunan anggaran dan pada saat pendampingan ke instansi sasaran juga menjadi salah satu penghambat dalam perencanaan perlindungan arsip vital di lingkungan Pemerintah DIY. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah DIY: a. Perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah DIY bersifat topdown dan bottom-up serta tercantum dalam dokumen renstra BPAD Provinsi DIY tahun 2009 - 2013. b. Tahap-tahap perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah DIY adalah sebagai b erikut: p e n yu s u n a n a n g g a r a n , pembentukan tim perlindungan arsip vital, pengidentifikasian arsip vital, penentuan desain atau metode perlindungan arsip vital, dan penentuan lokasi penyimpanan arsip vital.
2. Faktor-faktor pendukung dan penghambat perencanaan Perlindungan Arsip Vital di lingkungan Pemerintah DIY: a. Faktor pendukung dalam perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah DIY antara lain adalah adanya aturan perundang-undangan atau payung hukum yang kuat, arsip vital itu sendiri dan kondisi DIY yang rawan bencana alam. b. F a k t o r p e n g h a m b a t perencanaan Perlindungan Arsip Vital di Lingkungan Pemerintah DIY antara lain adalah terbatasnya anggaran, sarana dan prasaran, terbatasnya kuantitas dan kualitas SDM arsiparis, ku ra n gn ya p em ah a m an tentang a rsip vital, kurangnya koordinasi antar stakeholder dan keterbatasan waktu d alam menyusun rencana dan pendampingan ke instansi. 5.2. Saran 1. Perlu anggaran yang cukup dan sarana prasarana yang memadai untuk perencanaan kegiatan Perlindungan Arsip Vital di tahun yang akan datang. 2. Perlu peningkatan kualitas penambahan pejabat fungsional arsiparis di instansi lingkungan Pemerintah DIY dan pemahaman
dari para stakeholder di P em eri nt ah D IY t erhada p pentingnya perlindungan dan penyelamatan arsip vital. 3. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai perencanaan dalam bidang kearsipan. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009. Surat Edaran MENPAN RI Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Pr ogram Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana. Keputusan Kepala ANRI Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap Musibah/ Bencana. K e p u t u s a n G u b e r nu r D a e r a h Istimewa Yogyakarta Nomor 128 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Arsip Vital di 25
Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yo g y a k a r t a N o m o r 1/INSTR/2008 tentang Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamata n Ar si p Vit a l Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Musibah/ Bencana. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Arsip Dinamis. Alexander Abe, Perencanaan Daerah Partisipatif. Solo: Pondok Edukasi, 2002.
26
, Perencanaan Daerah Memperkuat Prakarsa Rakyat dalam Otonomi D aerah . Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003. , Perencanaan Daerah P a r t i s i p a t i f . Yo g ya k a r t a : Pembaruan, 2005. Soekartawi, Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Rajawali, 1990. Suhardo Surotani, Perlindungan A r s i p Vi t a l . Yo g ya k a r t a : Kanisius, 2011.
POSITIVISME DALAM KEARSIPAN Suprayitno
1
Abstract Positivism thought has dominated the discourse of science during the first half of the 19th century. Positivists assume the truth if it is "positive" or real, logical, and empirical data. With this view, positivism imposes all the sciences, including the social sciences to be made "scientific" like the natural sciences. Positivist approach has also influenced archival thinking with its concept, life cycle of records. This concept influenced by positivist sociologist Auguste-Comte who sees human development in three phases, birth, life and death. The analogy of this application of life cycle in records management is creation, use and maintenance, and disposal or a variant of this stage. This positivistic life cycle model of records is good as applied to paper-based records. Along with the development of information and communication technology (ICT), positivism view has been criticized because electronic records can not be managed by life cycle approach so that it needs to be reviewed. Critics of this life cycle of records came from Australia with a new approach, records continuum model. This new archival approach was influenced by postmodern thought and Anthony Giddens's structuration theory. Keywords: Positivism, Archival Science, Records Management, Archives Administration, Life Cycle of Records, Records Continuum Pendahuluan Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, definisi "kearsipan" adalah hal-hal yang berkaitan dengan arsip. Hal-hal yang berkaitan dengan arsip mencerminkan kompleksitas mengenai arsip, baik dari segi sejarah, terminologi, kelembagaan, profesi, organisasi, manajemen, dan pemanfaatannya kepada stakeholder. Dalam praktiknya, kegiatan kearsipan lebih banyak mengulas tentang how, bagaimana cara mengelola arsip 1
secara efektif dan efisien mulai dari p e n c i p t a a n , p e n gg u n a a n d a n pemeliharaan, penyusutan, akuisisi, penataan, pendeskripsian, sampai dengan aksesnya oleh pengguna. Intinya, selama ini kearsipan lebih difokuskan pada manajemennya semata. Sementara dari segi why¸ mengapa arsip itu penting dan perlu dikelola jarang dibahas. Pertanyaan why dalam k earsipan b erarti membahas kearsipan dalam ranah keilmuan. Menurut Magetsari (2008:1)
PNS di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI; Alumni DIII Kearsipan FIB UGM
27
kajian tentang ilmu kearsipan masih jarang dilakukan, bahkan mengenai ilmu kearsipan dalam literatur di bidang kearsipan pun masih asing, dalam arti jarang ditemukan. Baru pada tahun 2000-an diterbitkan sebuah majalah yang secara khusus mengkaji masalah ini, yaitu Archival Science yang isinya mencakup sekaligus tentang archives and museum informatics.2 Di Indonesia memang tidak dikenal istilah "ilmu kearsipan" atau "ilmu arsip". Kita lebih mengenal istilah "kearsipan", "manajemen kearsipan" atau "manajemen arsip (dinamis/ statis)". Adapun istilah bahasa Inggris "archival science" yang dapat kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "ilmu arsip" atau "ilmu kearsipan" merupakan pengistilahan yang baru-baru ini m uncu l s ebagai u sah a untuk "mengilmiahkan" praktik-praktik kearsipan. Di Amerika Serikat lebih diken al istilah " archives administration". Sementara di Eropa sebagai tempat lahirnya kearsipan modern, "ilmu" kearsipan jauh sudah lahir terlebih dulu, namun istilah "ilmu" ala Eropa berbeda dengan istilah "science" dalam ilmu alam yang banyak dipakai oleh negara Anglo-Saxon seperti Amerika dengan pendekatan positivismenya. Untuk memaksudkan "ilmu arsip" di Eropa bermacam-macam. Menurut Ketelaar3, di Belanda dikenal dengan 2
i s t i l ah a rchi vi s t i ek, P eranci s archivistique, Jerman archivistik, Italia dan Spanyol archivistica, sementara kalau dibahasa-Inggriskan menjadi archivistics. akan tetapi makna "ilmu" ala Eropa ini lebih bermakna Wissenschaft (Bahasa Jerman). Membicarakan kearsipan dari sisi ilmu tidak bisa lepas dari pembahasan tentang teori kearsipan. Para theorist sepakat bahwa studi kearsipan adalah profesi terapan, itulah mengapa dalam awal tulisan disebutkan bahwa kita selama ini lebih menitikberatkan pada manajemennya daripada keilmuannya. Bila kearsipan adalah pekerjaan praktis, mengapa harus mempelajari teori? Ridener (2009:1) mengatakan bahwa alasan penting kita harus mempelajari t eori kearsipan adalah adanya fakta yang terus berkembang bahwa banyak mereka yang non-arsiparis telah menantang definisi dari arti arsip itu sendiri. Tantangan yang paling terkini datang dari kalangan pekerja seni dan galeri, teori kritis, serta ilmu komputer dan internet. Definisi baru mengenai arsip mencakup makna yang lebih luas atas isi dan bentuk yang dapat diberikan kepada masyarakat. Inovasi teknologi, khususnya meningkatknya penggunaan komputer telah menciptakan sebuah harapan tata kearsipan yang demokratis serta memperluas cakrawala memori
Jurnal Archival Science versi online dapat dikunjungi di alamat situs http://link.springer.com/ journal/10502 3 Website Eric Ketelaar http://fketelaa.home.xs4all.nl/information.html
28
budaya. Teori kearsipan yang dominan selama ini banyak dipengaruhi oleh pemi ki ran posit ivism e dal am pendekatannya. Ada 3 periode perkembangan teori kearsipan yang mendominasi literatur dan praktik kearsipan sampai saat ini: 1. Periode konsolidasi tahun 1898 di Belanda, y aitu ketika diterbitkannya buku karya Trio Belanda, Samuel Muller, Johan A. Feith, dan Robert Fruin dengan judul Handleiding voor het Ordinen en Beschrijven van Archieven (Manual Penataan dan Pendeskripsian Arsip). Konteks diterbitkannya manual ini karena Trio Belanda ingin menyeragamkan cara menata dan mendeskripsikan arsip. Di samping itu, pemerintah Belanda menginginkan adanya sentralisasi pekerjaan dan koleksi arsip dimana saat itu banyak koleksi arsip di Belanda yang penyimpanannya tersebar di berbagai tempat. Koleksi arsip ini dianggap penting dan perlu dipertahankan dari pemerintah Belanda sebelumnya serta entitas keagamaannya. Trio Belanda (Leavitt, 1940:13) mendefinisikan arsip sebagai …the whole of the written documents, drawings and printed matter, officially received or produced by an administrative body or one of its officials, in so far as these documents were intended to remain in the custody
of that body or of that official. Arsip d ianggap s ebagai organisme yang terus berubah sesuai dengan perubahan tugas dan fungsi organisasi. Menurut Terry Cook sebagaimana yang dikutip oleh Magetsari (2008:8) periode ini dianggap kelahiran pemikiran kearsipan modern. 2. P e r i o d e p e n g u a t a n (reinforcement) pada tahun 1922 di Inggris ketika Hilary Jenkinson menerbitkan bukunya yang berjudul A Manual of Archive Administration. Buku Jenkinson ini memberikan pondasi yang solid dalam menciptakan paradigma b aru k earsipan. Paradigma baru ini dibutuhkan oleh Jenkinson karena diposisikan pada situasi yang unik, yakni dihadapkan pada berbagai jenis arsip organisasi pemerintahan sebagai akibat P eran g Duni a I s ehi ngg a mendorong Jenkinson menciptakan teori kearsipan yang akan memfasilitasi penciptaan arsip perang yang nantinya juga memfasilitasi pelestarian sejarah partisipasi Inggris dalam perang dalam konteks kearsipan yang lebih luas sebagaimana telah dibangun oleh Muller dan kawankawan di Belanda. Menurut Jenkinson, definisi "arsip" ala Trio Belanda sudah tidak relevan diterapkan p ada k earsipan konteks Inggris saat itu sehingga Jenkinson mendefinisi ulang arsip sebagai wakil memori, yang terdiri atas arsip-arsip yang 29
diciptakan dan d i gunakan s epanj an g unt u k kegi at an organisasi. Jenkinson merupakan tokoh naturalis dalam perkembangan teori kearsipan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut: “The Archivist's career is one of service. He exists in order to make other people's work possible.... his creed, the sanctity of evidence; his task, the conservation of every scrap of evidence attaching to the documents committed to his charge; his aim to provide, without prejudice or afterthought, for all who wish to know the means of knowledge .... the good archivist is perhaps the most selfless devotee of truth the modem world produces...” Jenkinson melihat arsip dan arsiparis dengan pandangan positivist, yakni bersifat objektif dan netral, invisible, dan pasif. Arsiparis dianggap sebagai “a guardian of the documents”, dokumen dilihat sebagai hasil samping kegiatan administrasi, arsiparis tidak bertanggung jawab menyeleksi arsip dan ikut campur secara sadar dan sengaja dalam pendokumentasian arsip yang ia kelola dan yang ia simpan. Gagasan menonjol lainnya adalah pendapatnya mengenai bukti (evidence). Bagi Jenkinson, arsip merupakan sanctity of evidence, yang terkait dengan kebenaran (truth) yang dibangun untuk 30
merekam kegiatan unit pencipta arsipnya. Jenkinson (1922: 4483) memposisikan arsiparis (archivist) sebagai profesional yang bertugas menjaga arsip (keeper of records) yang netral, tidak dibolehkan untuk menilai arsip, karena tugas u tama arsiparis adalah mendeskripsikan dan menata arsip (physical and moral defence of archives), urusan pelayanan kepada publik adalah nomor dua karena kredo arsiparis ala Jenkinson adalah sanctity of evidence, objektif, menjaga arsip apa adanya, dan tidak memihak --- sebuah pendapat yang nantinya ditentang oleh Schellenberg. 3. Periode modern pada tahun 1930an di Amerika Serikat. Periode ini di pel opori ol eh Theodo re Roosevelt Schellenberg yang memperkenalkan pendekatan m anaj em en ars i p d i nam i s (records management) dengan pendekatan barunya yaitu seleksi arsip. Schellenberg memisahkan secara tegas antara arsip dinamis (records ) dan arsip statis (archives) sehingga profesional arsip dibagi atas records manager dan archivist. Dengan adanya kegiatan seleksi arsip/ penilaian arsip ini berarti telah membawa peran arsiparis menjadi subjektif, tidak lagi objektif sebagaimana diinginkan oleh Jenkinson. Tentu saja Schellenberg punya alasan yang visioner mengapa perlu dilakukan penilaian arsip. Konteks kearsipan era
Schellenber g adalah era perubahan b esar -besaran penciptaan arsip paska PD II sehingga membanjirnya arsip dalam jumlah masif dan beragam format perlu strategi khusus, salah satunya adalah seleksi arsip. Tidak semua arsip harus dilestarikan, cukup yang bernilai guna saja yang perlu disimpan, khususnya untuk kepentingan penelitian dan kesejarahan. Dari situlah Schellenberg mengembangkan konsep appraisal sehingga Schellenberg dianggap sebagai bapak teori penilaian arsip. Dalam melakukan p enilaian arsip, S ch el l e nb er g m e ne ka nk an perlunya kerjasama antara re c o rd s m a n a g e r s e b a ga i representasi unit pencipta dan archivist profesional yang memang diberi hak untuk menjudge nilai guna arsip yang berkelanjutan (Schellenberg, 1936 : 27). Dari kegi at an penilaian arsip ini lahirlah konsep daur hidup arsip dinamis (life cycle of records) di mana arsip dipandang layaknya organisme yang tumbuh dan berkembang secara stabil yang diklasifikasikan melalui tahap aktif, inaktif, dan statis. Melihat pemikiran tokoh-tokoh kearsipan di atas, ada precept tentang arsip yaitu menyamakannya dengan organisme hidup (Muller, dkk), menggambarkan fakta empiris, dan objektif (Jenkinson), serta p e n g k l a s i f i k a s i a n f u n gs i o n a l
(Schellenberg). Ketiga karakteristik ini mencerminkan ciri positivisme yaitu "pemaksaan" suatu objek untuk diilmiahkan layaknya ilmu pasti alam. Dalam tulisan artikel ini akan dibahas seberapa kuat pengaruh positivisme dalam kearsipan serta tantangannya dengan paradigma kearsipan saat ini. Definisi Positivisme Kata "positivisme" berasal dari kata positif dan isme. Menurut kamus Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English karangan H ornby (1987: 650) "positive" diartikan sebagai sesuatu yang sudah pasti, tidak meninggalkan ruang keraguan. Sedangkan "positivism" diartikan sebagai sistem filsafat Auguste-Comte (1798-1857), seorang filsuf Perancis yan g mendasarkan pada fenomena dan fakta positif, bukan spekulasi. Positivisme mendominasi ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20-an yang dipelopori oleh Auguste-Comte dengan mengklaim bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-data yang nyata dan empiris" atau yang disebut dengan "positif". Pengetahuan tersebut hanya dapat berasal dari teori afirmatif melalui metode ilmiah yang rigid untuk menghindari dugaan-dugaan yang metafisik. Ciri positivisme adalah: (1) klaim kesatuan science. Ilmu sosial dan ilmu alam berada dalam naungan p a r a d i g m a y a n g s a m a ya i t u positivisme. (2) Klaim kesatuan bahasa. Bahasa perlu dimurnikan dari konsep-konsep metafisik dengan 31
mengajukan parameter verifikasi. (3) Klaim kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik untuk ilmu alam maupun ilmu sosial. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, objektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. P o s i t i v i s m e ya k i n b a h w a m a s ya r a k a t a k a n m e n g a l a m i kemajuan apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat dikatakan bahwa positivisme sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran sosialnya yang dapat mengantarkan pada kesejahteraan manusia. Dengan slogannya "savoir pour prévoir, prévoir pour pouvoir" (dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi). Pada awal abad ke-20, positivisme logis (suatu versi yang lebih kaku dan lebih logis dibandingkan d engan Comte) berkembang di Wina dan menjadi salah satu dari pergerakan yang dominan dalam filsafat Amerika dan Inggris. Pandangan positivisme sering mengacu pada ideologi sains dan sering digunakan oleh tekhnokrat yang percaya pada kebutuhan dari perkembangan melalui perkembangan ilmu pengetahuan yang berargumen bahwa metode apapun yang memanfatkan ilmu harus dibatasi pada pendekatan alamiah, fisis, dan material. Gagasan Comte tentang ilmui l m u p o s i t i f ya n g m e n c a p a i puncaknya dalam sosiologi oleh 32
Lingkaran Wina (Vienna Circle) dengan pendiri-pendirinya yang dikenal sebagai "positivisme logis", "neo-positivisme", atau "empirisme logis" dalam pandangannya sebagai berikut: 1. Menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; 2. M e n g a n g g a p p e r n ya t a a n pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika sebagai hal yang nonsense; 3. Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (unified science); 4. Memandang tugas f ilsafat sebagai analisis atas kata-kata atau statement. Positivisme dalam Ilmu Sosial Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu sosial, mengadopsi saintisme ilmu alam yan g menggunakan prosedur prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subjektivitas. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat bagian dari alam dan metode-metode empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat s ebagai suatu keseluruhan o r g anik yang kenyatannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini maka metode penelitian empiris harus digunakan dengan ke yakinan b ahwa mas yarakat
merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Dengan dalilnya tiga tahap, yaitu bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama, Comte berpendapat b ahwa manusia ditentukan oleh tiga cara berpikir yang dominan yaitu tahap teologi, metafisika, dan positivism, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bertens (1998: 73) berikut ini. 1. Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk insani biasa. Pada tahapan ini, di mana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi objek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi s ubjek. A nimisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada rohroh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya di keseharian. 2. Zaman metafisis atau nama lainnya tahap transisi dari buah
pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari t ahapan s ebelum nya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. 3. Zaman positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengel uarkan a s ap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yan g m el akukan a kti vit as kimiawi menguraikan sulfur pada t ul an g b el ul an g m an us i a, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap. Comte menjelaskan b ahwa hukum tiga tahapnya merupakan sebuah kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai era peradaban Perancis abad XIX yang sangat maju. Comte meyakini bahwa watak struktur sosial masyarakat bergantung pada gaya epistemologinya atau pandangan dunia (world view) atau cara 33
mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan. Pengaruh Positivisme Comte dalam Kearsipan Bila pemikiran positivisme ala C om t e i n i d i ka i t k a n d en gan kearsipan, tampak sekali bahwa teori kearsipan yang digagas oleh Trio Belanda, Jenkinson, dan Schellenberg dipengaruhi oleh pemikiran Comte. Dari pemikiran Comte di atas yang sengaja penulis garis bawahi, ada tiga ciri Comte memandang suatu masyarakat yaitu: 1. m as ya rak at s eb agai suatu keseluruhan o r g anik yang kenyatannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung; 2. untuk mengerti kenyataan ini maka metode penelitian empiris harus d igunakan d engan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik; 3. masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama (tiga siklus hidup). Pada poin pertama masyarakat sebagai keseluruhan organik yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung dianalogikan pada arsip sebagaimana yang dikemukakan oleh Trio Belanda. Muller, dkk (Leavitt, 1968: 19) mengatakan bahwa an archival collection is an organic whole. Trio Belanda menjelaskan bahwa arsip merupakan keseluruhan organik layaknya organisme hidup. Konsep ini menegaskan bahwa ciri arsip adalah interrelatedness, 34
keterkaitan hubungan antar-arsip. Prinsip ini dikembangkan atas dasar hakikat arsip yang sesungguhnya merupakan produk sampingan yang terekam dari sebuah peristiwa atau sebuah proses kehidupan. Magetsari (2008:3) menjelaskan hubungan antar-arsip ini seperti sebuah frame dari layar lebar. Setiap frame memiliki cantolan dengan frame lainnya, dan frame yang lain memiliki cantolan lebih lanjut dengan frame berikutnya dan demikian seterusnya sampai seluruh film selesai merekam ceritanya. Atas dasar inilah maka untuk dapat mengerti cerita yang terekam dalam film kita tidak dapat memperolehnya hanya dengan melihat satu frame saja, melainkan harus melihatnya melalui keterkaitan antar frame sehingga dapat memperoleh gambaran menyeluruh tentang ceritanya. Poin kedua, bahwa metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Pemikiran ini s ejalan dengan konteks pengembangan teorinya Jenkinson di Inggris, di mana pasca Perang Dunia I di Inggris terjadi usaha untuk mengembangkan teknologi sebagai tuntutan inovasi industri dan ilmiah sehingga di Inggri s s aat itu melahirkan tokoh publik dengan pendekatan ilmiahnya, sebut saja misalnya Adam Smith, pengarang buku The Wealth of Nations, traktat pertama dalam ilmu ekonomi barat. Pengaruhnya terhadap kearsipan adalah arsip harus ditata dan
dideskripsikan dengan pendekatan ilmiah, artinya keadaan arsip ketika diciptakan haruslah sama ketika menjadi statis, tanpa perubahan karena intervensi arsiparis lewat penilaian arsip, atau istilahnya first-in first-out (FIFO). Jenkinson terkenal dengan usahanya yang objektif dan menjaga peran arsiparis untuk tetap netral. Pendekatan teori kearsipan Jenkinson ini yang melahirkan karakteristik arsip sebagai impartial and authentic. Poin ketiga, masyarakat berkembang d alam tiga tahap (siklus), y aitu tahap teologi, metafisika dan positivisme. Dalam bidang kearsipan barangkali ini yang paling dominan baik dalam literatur kearsipan modern maupun cara berpikir arsiparis saat ini. Pemikiran Schellenberg ini sangat jitu dalam mengontrol ledakan arsip dinamis (khususnya arsip dinamis berbasis kertas). Siklus hidup arsip terbagi atas t i ga t ahap yai t u penci pt aan , penggunaan dan pemeliharaan, serta penyusutan. Daur hidup merupakan konsep yang dipakai dalam ilmu pengetahuan alam atau sains. Konsep ini menggambarkan k eseluruhan rangkaian proses yang membentuk sejarah hidup suatu organisme. Manusia, misalnya, memiliki siklus hidup yang sama dengan sejarah kehidupan spesies atau genus, dengan pola pengulangan siklus yang dapat kita amati tiap generasinya. Seekor katak mula-mula terbentuk dari embrio, berudu/kecebong, anak katak, katak beneran sampai akhirnya
mati, ia hidup melalui suatu siklus kehidupan yang paripurna. Dalam ilmu pengetahuan sosial model daur hidup juga dipakai untuk menjelaskan ritual siklus kehidupan manusia yang masih dalam proses, misalnya, dari kelahiran sampai inisiasi menuju masyarakat dewasa lalu pernikahan sampai akhirnya pada tahap kematian. Tahap-tahapan ini biasanya memiliki kaitan yang kuat dalam mewujudkan hak-hak serta kewajiban yan g ada d alam lingkungannya. Seperti halnya dalam versi d aur h idup dalam ilmu pengetahuan alam, versi daur hidup dalam sosiologi juga memberikan pola generasi dari kehidupan sampai dengan kematian. Pada daur hidup tata arsip dinamis ada ciri pengulangan atas generasi arsip dinamis yang dapat dideskripsikan ke dalam tahap-tahap tertentu. Premisnya adalah bahwa tiap-tiap tahap arsip dinamis dapat diamati selama periode 'kehidupan' arsip d inamis dari kelahi ran (penciptaan), kehidupan (penggunaan dan pemeliharaan), dan akhirnya sampai kematian (penyusutan). Adapun versi model siklus hidup ada dua macam yaitu model ilmu pengetahuan alam dan m odel sosiologi. Frank Upward (1997) mengilustrasikan model siklus hidup dalam arsip sebagai berikut: D a u r H i d u p Ve r s i I l m u Pengetahuan Alam Konsep daur hidup arsip dinamis dalam tataran dasar pada bidang manajemen arsip dinamis (records 35
management) , meliputi proses p e n c i p t a a n , p e n gg u n a a n d a n pemeliharaan, serta pemusnahan. Kalau ditambah dengan manajemen arsip statis, akan menjadi identifikasi dan penilaian, akuisisi, deskripsi, serta penggunaan dan akses. Pola ini mirip dengan model daur hidup sains. Semua items arsip dinamis dapat (menurut dugaan) diamati – melalui siklus hidup yang sama kecuali pada tahap pemusnahan.
Contoh pendekatan sejarah kehidupan yang lengkap terhadap daur hidup arsip dinamis adalah pendekatan yang dipakai oleh Arsip Nasional Amerika Serikat pada tahun 1940-an. Konsep ini dikembangkan sebagai cara untuk menggambarkan proses penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta pemusnahan arsip dinamis. Model manajemen arsip dinamis dan statis dikembangkan dengan pola-pola seperti dibawah ini:
Pendekatan kearsipan Amerika memiliki ciri bahwa keputusan 'Jadwal Retensi Arsip Dinamis (JRA)' merupakan gap/ pemisah antara unit pencipta (records management) dan unit kearsipan (sebagian kecil bagian dari records management) dan depo arsip (archives administration).
dinamis ditransfer dari tempat simpan arsi p akti f (centra l files ) ke intermediate records centre lalu ke arsip (statis). Tahapan-tahapan ini berkaitan erat dengan hak dan kewajiban lembaga kearsipan untuk memelihara arsipnya sebagai bukti tindakan yang otentik dan andal (authentic and reliable evidence of actions). Adapun kompetensi otoritas kearsipan dijelaskan dan dibakukan oleh tiap-tiap tahap arsip dalam proses tata arsip dinamis (record keeping process).
Versi Ritual dalam Sosiologi Versi Eropa terhadap daur hidup lebih menekankan pada ritual perjalanan yang diasosiasikan dengan r e l o ka s i fi si k a r sip dinamis . Contohnya adalah pendekatan “tiga tahap arsip” yang berdasarkan pada tempat simpan arsip aktif, semi-aktif, dan i naktif. K ejadian-kejadian tertentu diharapkan terjadi selama tiga tahap utama ini pada saat arsip 36
Versi Campuran Kalau kita gabungkan versi ritual perjalanan dengan versi sejarah kehidupan dari konsep daur hidup di atas maka akan menghasilkan model
yang dapat mencakup kompleksitas tahap-tahap arsip, sehingga tahapantahapannya menjadi: CREATION, DISTRIBUTION, UTILIZATION, ACTIVE STORAGE, TRANSFER, INACTIVE STORAGE, DISPOSITION, AND PERMANENT STORAGE (ARCHIVES). Dari semua versi konsep daur hidup diatas, tampak bahwa di sana ada pemisahan yang jelas antara records manager dengan archivist. Kompetensi dan tanggung jawab records manager serta archivist direpresentasikan secara eksklusif dengan tahapan yang berbeda dalam daur hidupnya, serta dengan tujuan tata arsip dinamis yang berbeda pula. Kesimpulan Positivisme telah mereduksi kekayaan pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris. Prinsip bebas n ilai positivisme telah membuat ilmuwan menjadi robotrobot tak berperasaan. Positivisme telah mengakibatkan keringnya semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga, semesta didesakralisasi (Adian, 2002). Metode positivisme yang mengasumsikan bahwa objekobjek alam maupun manusia bergerak secara deterministik melihat manusia lebih dari sekedar benda mati yang bergerak semata-mata berdasarkan stimulan dan respon, rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat. Padahal, manusia menurut Ernest Cassires adalah manusia simbolik (animal symbolicum). Satu-satunya makhluk
yang dapat memiliki substratum simbolik dalam benaknya hingga mampu memberi jarak antara rangsangan dan tanggapan. Pemikiran kearsipan modern yang dibangun dalam konteks era industrialisasi dan perkembangan teknologi komunikasi yang menuntut adanya kecepatan (speed) sangat dipengaruhi oleh pemikiran positivisme dengan pendekatan ilmiah. Teori life cyle of records dalam pendekatan kearsipan di Amerika, yang notabene hasil "ijtihad" Schellenberg pada dasarnya didorong oleh kebutuhan efisiensi dalam mengontrol membanjirnya arsip yang semakin masif. Karakteristik speed dan efisiensi berpengaruh pada manajemen kearsipan, baik di lingkungan pemerintah maupun bisnis. Arsip dinamis sebagai hasil samping organisasi harus dikelola dengan manajemen modern. Dengan model life cycle ini arsip diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yakni arsip dinamis (records) yang untuk kebutuhan unit pencipta, dan arsip statis (archives) untuk kepentingan publik. Pendekatan fungsi dalam arsip i ni mengakibatkan terfragmentasinya ruang dan waktu, serta profesional kearsipan. Dalam konteks ruang, pendekatan life cycle of records memisah-misahkan antara unit pencipta, unit kearsipan, dan lembaga kearsipan. Dalam konteks waktu, terjadi pembedaan antara waktu arsip menjadi aktif, inaktif/ 37
semi aktif, dan statis. Sementara dalam sebutan profesionalnya terjadi pembedaan antara records manager dan archivists, meskipun untuk konteks Indonesia kedua profesi ini melebur dalam sebutan profesi arsiparis. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa pendekatan life cycle of records masih ideal diterapkan pada era arsip dinamis kertas. Seiring dengan lahirnya era teknologi informasi dan komunikasi, pendekatan positivisme mulai menuai kritikan dari para teoris kearsipan kont em porer, khusus n ya dari Aust ral i a dengan p endekatan postmodern dan teori strukturasinya. Karakteristik medium arsip dinamis elektronik tidak dapat dikelola dengan pendekatan life cycle of records. Dalam mengelola arsip dinamis elektronik, konsep ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan. Dalam ranah elektronik, aktif, inaktif, dan statis bersifat cair, bukan dibatasi oleh sekat-sekat waktu yang linear. Begitu juga dengan pengelola arsipnya, peran records manager dan archivist semakin kabur karena archivist tidak mungkin menilai arsip dinamis elektronik yang dianggap statis harus menunggu dulu inaktif dari tempat simpan records manager, namun ia harus terlibat aktif sejak masa penciptaann ya. P endekatan kontemporer ini dikenal dengan pendekatan records continuum model yang dikembangkan di Australia. Demikianlah tantangan kearsipan 38
terlihat semakin dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Sangatlah tepat kiranya definisi arsip menurut UU No 43 Tahun 2009 tentang K earsipan dengan memperjelas dengan kata "sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi". DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002. Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English. Revised and Updated. USA: Oxford University Press, 1987. Jenkinson, Hilary, A Manual of Archive Administration. Edited by Roger H.Ellis. 2nd rev. ed. London: Percy Lund, Humphries & Co. Ltd, 1937. Muller, Samuel, J.A. Feith and R. Fruin. (1940), Manual for the Arrangement and Description of Archives. Translated by Arthur H.
Leavitt. New York: H.W. Wilson. reprinted, Chicago: Society of AmericanArchivists, 2003. Noerhadi Magetsari, "Organisasi dan Layanan Kearsipan", Jurnal Kearsipan, Volume 3, Nomor 1, 2008. Hlm. 1-17. Ridener, John, From Polders to Postmodernism A Concise History of Archival Theory. Minnesota: Litwin Books, LLC, 2009.
Schellenberg, T.R., Modern Archives Principles and Techniques. USA: The S ociet y o f American Archivists, 1956. Sumber Internet: "Yesterday, Today, and Tomorrow: A Continuum of Responsibility", (dl: 5 Januari 2013). "What is Archivistics or Archival Science?", http://fketelaa.home. xs4all.nl/ information.html, (dl: 5 Januari 2013).
39
TATA CARA PEMILIHAN REKTOR UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM) DARI TAHUN 1950 – 2012 Kurniatun
Sumber: http://ugm.ac.id
"Alhamdulillah kami sudah punya pejabat rektor dengan legitimasi kuat," kata Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Sofian Effendi saat mengumumkan h asil pemungutan suara di Gedung Pusat UGM, Kamis 22 Maret 2012. Melalui putaran akhir pemungutan suara MWA UGM, Prof. Pratikno, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM, meraih kemenangan telak dalam pemilihan rektor periode 2012-2017 (http://www.tempo.com). Prof. Dr. P ratikno terpilih menjadi Rektor UGM periode 20122017. Pratikno menjadi peraih suara terbanyak dalam pemilihan yang digelar oleh MWA dengan 26 suara. Sidang pleno MWA digelar di Balai Senat G edung Pusat UGM Bulaksumur Yogyakarta, Kamis (22/3/2012). Sidang dipimpin 1
Arsiparis Arsip UGM
40
1
langsung oleh Ketua MWA Prof. Dr. Sofian Effendi. Dalam pemilihan itu, Pratikno memperoleh 26 suara, Marsudi Triatmodjo sebanyak 5 suara dan Danang Parikesit 1 suara. Saat penghitungan suara semua civitas akademik UGM menyaksikan dari layar televisi yang dipasang di Balairung UGM. Setelah penghitungan akhir selesai dan Pratikno dinyatakan sebagai rektor terpilih periode 2012-2017, Pratikno akan menggantikan Prof. Dr. Ir. Sudjarwadi. (http://news.detik.com). Sebagai lembaga kearsipan UGM , Ars i p UGM m em i l i k i khasanah arsip tentang kegiatan pemilihan rektor, yang terdiri dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah RI, Keputusan Presiden, Surat Keputusan Presidium UGM, Peraturan Senat UGM, Keputusan Senat Akademik Sementara (SAS), Keputusan MWA UGM dan beberapa khazanah kliping media. Dari berbagai sumber arsip yang tersimpan di Arsip UGM dapat diketahui tentang kegiatan pemilihan rektor di UGM sebagai berikut: Tahun 1950-1977 Pemilihan Rektor UGM sejak tahun 1950 sampai tahun 1977
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37/1950 tentang Peraturan Sementara tentang Universitit Negeri Gadjah Mada. Dalam bab IX pasal 31 disebutkan presiden universitit diangkat oleh Presiden RI, seberapa dapat dari antara guru besar atas usul senat universitit dengan mengingat pertimbangan dewan kurator buat waktu yang tertentu tidak melebihi empat tahun dan dapat diangkat lagi atas usul senat universitit dengan mengingat pertimbangan dewan kurator. Pengangkatan Prof. Dr. M. Sardjito sebagai Presiden Universitit Negeri Gadjah Mada berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 143/A/50, dengan pemangku jabatan Assaat, pengangkatan tersebut berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1950. Pada masa tersebut presiden universitas diangkat d an diberhentikan oleh presiden. Hal ini dapat diketahui dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Per guruan T inggi pasal 1 2 menyebutkan (1) universitas/ institut dipimpin oleh presiden universitas/ institut yang dalam segala segi kedudukannya, baik yang bersifat penyelenggaraan pendidikan maupun tata-usaha, didampingi oleh senat universitas/ institut atas dasar musyawarah. Pada pasal 20, Ayat (2) menyebutkan presiden universitas/ i ns t i t u t n e ge ri di a n gk at d an diberhentikan oleh Presiden RI atas usul menteri setelah mendengar pertimbangan senat, dan memangku
jabatan selama masa empat tahun dan jika perlu dapat diangkat kembali. Selanjutnya pada tahun 1967, UGM mengeluarkan k ebijakan tentang pemilihan calon rektor. Hal itu tertuang d alam Keputusan Presidium UGM No. 35 Tahun 1967 tentang Pemilihan Tjalon Rektor. Dalam pasal 1 disebutkan yang dapat dipilih sebagai calon rektor adalah: a. Tenaga tetap edukatif (dosen b i a s a ) y a n g s e n i o r ya n g memenuhi persjaratan (menondjol, terutama unsur kepribadian/ kepemimpinan/ kewibawaan/ watak technis/ akademis) dalam lingkungan UGM, b. S e p e r t i p e r s j a r a t a n j a n g tercantum d alam a d ari lingkungan Direktorat Djenderal Perguruan Tinggi, c. Tenaga lain, djika tidak ada tjalon dari lingkungan D irektorat Djenderal Perguruan Tinggi. Pasal 2 keputusan tersebut menyebutkan bahwa yang dapat memilih calon rektor adalah anggotaanggota Senat UGM yang terdiri dari: 1. Anggota-anggota presidium 2. Guru-guru besar biasa dan luar biasa 3. Dekan-dekan fakultas, kepala lembaga yang setingkat dengan fakultas dalam lingkungan UGM Pasal 3 berbunyi: Oleh Presidium UGM sekurang-kurangnya akan disampaikan tiga orang calon rektor kepada Direktur Djenderal Perguruan 41
Tinggi yang disertai dengan berita acara mengenai prosedur serta hasil pemilihan calon rektor oleh Senat UGM. Pasal 4: Pemilihan calon rektor dilakukan dengan musyawarah dan jika tidak mungkin dengan pemungutan suara (voting). Pasal 5: Rapat senat untuk pemilihan calon rektor dipimpin oleh ketua. Pasal 7: Sesuai dengan bunyi ayat 2 pasal 20 Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, keputusan senat mengenai pencalonan rektor hanya merupakan b ahan pertimbangan bagi Dirjen Perguruan Tinggi/Menteri Pendidikan dan Kebudajaan untuk diusulkan kepada presiden RI guna mendapat surat keputusannya. Kemudian pada tahun 1968, Senat UGM mengeluarkan Peraturan Senat UGM No. 34 Tahun 1968 tentang Pemilihan Rektor UGM. Pasal 1 peraturan tersebut berbunyi: pemilihan rektor dengan cara pemungutan suara oleh Anggota Senat UGM dalam suatu rapat senat tertutup khusus diadakan untuk keperluan pemilihan Rektor UGM. Pasal 2 menyebutkan tentang syarat yang dapat diajukan sebagai Rektor UGM ialah mereka yang memenuhi syarat-syarat: a. Mempunyai watak yang baik, bud i yan g luhu r, b erj iwa Pancasila sejati b. Tenaga edukatif yang menjabat guru besar tetap pada UGM dan sekurang-kurangnya sudah tiga tahun berturut-turut bekerja 42
c.
d.
e.
f.
g.
h. i. j.
sebagai pegawai tetap di dalam lingkungan UGM. Pernah menjabat pimpinan di dalam lingkungan perguruan tinggi umumnya dan lingkungan UGM pada khususnya Mempunyai pengalaman intensif dalam hubungannya dengan badan-badan ilmiah tingkat nasional ataupun internasional Mempunyai publikasi-publikasi yang tersiar luas dalam dunia ilmu pengetahuan Sedapat mungkin pernah aktif dalam perjuangan kemerdekaan, baik dalam lapangan s ipil ataupun militer Pernah memberikan sumbangansumbangan pikiran yang konkret kepada UGM Mempunyai akademik record yang baik Mempunyai kewibawaan Tidak tersangkut G.30.S/PKI
Pada pasal 3 diatur tentang rapat pemilihan yang diadakan dalam dua rapat, yaitu: a. Rapat persiapan b. R a p a t p e m i l i h a n y a n g sesungguhnya Dalam rapat persiapan maupun rapat pemilihan yang sesungguhnya, jumlah anggota yang hadir harus sekurang-kurangnya sebesar separuh dari jumlah anggota seluruhnya ditambah satu. Dalam rapat persiapan diajukan nama-nama calon secara bebas dan rahasia dengan tidak perlu
menghitung jumlah suara yang masuk. Kemudian kepada para calon ditanyakan tentang kesanggupan m en j a d i r ek t o r. K et u a r apat ditugaskan untuk: 1. Mengumumkan lewat Humas UGM untuk diteruskan kepada mass media yang ada mengenai waktu dan tempat rapat pemilihan akan diadakan. 2. Segera setelah riwayat hidup para calon masuk, turunannya supaya segera dikirim kepada para anggota senat 3. Segera mengirimkan undangan rapat pemilihan kepada para anggota senat Cara pemilihan diatur dalam Pasal 6 yakni diadakan secara bertahap, dengan catatan bahwa yang di per gunak an s eba gai s at uan hitungan 100% di dalam menghitung suara adalah jumlah seluruh anggota senat yang hadir, termasuk suara yang abstain. Dalam pemilihan angka pecahan 0,5% ke atas dianggap sebagai angka satu dan kurang dari 0,5% dihapuskan. Pasal 8: Segera setelah pemilihan selesai maka oleh ketua rapat pemilihan dengan dibantu oleh staf sekretariat UGM harus dibuat sebuah risalah mengenai jalannya pemilihan, untuk kemudian diberi amandemen jika perlu dan kemudian disahkan oleh semua anggota senat yang hadir. Tahun 1980-1990an Tahun 1980-1990an, tata cara pemilihan Rektor UGM dapat dilihat
dalam beberapa khazanah kliping media. Berdasarkan Kliping Media di Arsip UGM diketahui bahwa pemilihan Rektor UGM periode 1981-1985 dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5/1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/ Institut Negeri, yang antara lain menyebutkan: universitas hanya diminta pertimbangan saja. Keputusan ada di tangan Menteri P dan K yang disahkan Kepala Negara. Peraturan Pemerintah No. 5/1980 pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa universitas/ institut adalah unit organik di Lingkungan Departemen P endidikan d an Kebudayaan , dipimpin oleh rektor yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Pasal 50 disebutkan: (1) Rektor universitas/ i nstitut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden RI atas usul Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2) Sebelum m engajukan u sul pengangkatan/ pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta pertimbangan senat guru besar melalui rektor. Tahun 2000-an Pada tahun 2000 terjadi perubahan status UGM menjadi Badan H uku m M i l i k Ne gara (BHMN). Hal ini menyebabkan perubahan pula dalam tata cara 43
pemilihan Rektor UGM. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI No. 153 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Gadjah Mada sebagai Badan Hukum Milik Negara. Pasal 18 ayat 1 dan 2 peraturan ini menyebutkan: 1. Rektor universitas diangkat dan diberhentikan oleh MWA melalui suatu pemilihan dengan suara yang dimiliki unsur menteri adalah 35 persen dari seluruh suara yang sah dan 65 persen sisanya dibagi rata kepada setiap anggota lainnya. 2. Calon r ektor universitas diajukan oleh SA universitas kepada MWA melalui suatu proses pemilihan Calon rektor disebutkan di pasal 19 harus memenuhi persyaratan utama sebagai berikut: a. Berkewarganegaraan Indonesia b. Sehat jasmani dan rohani c. Berpendidikan doktor
d. Memiliki integritas komitmen dan kepemimpinan yang tinggi e. Memiliki jiwa kewirausahaan f. Berwawasan luas mengenai pendidikan tinggi Tata cara pemilihan rektor disebutkan di pasal 20 yaitu: 1. Tata cara pemilihan rektor universitas dapat dilakukan melalui pembentukan panitia oleh M WA y ang b ertugas menyeleksi bakal calon rektor melalui mekanisme kompetisi terbuka, baik yang berasal dari dalam maupun luar universitas. 2. M W A d a p a t m e m i n t a pertimbangan kepada SA dan MGB terhadap bakal calon rektor sebelum dilaksanakan pemilihan. 3. Pemilihan rektor dilakukan dalam suatu rapat terbuka MWA yang dipimpin oleh Ketua MWA. 4. Calon rektor yang memperoleh suara terbanyak diangkat sebagai rektor melalui keputusan MWA.
Sri Sultan HB X sedang memilih calon Rektor UGM (Khazanah Arsip UGM)
44
Pada tahun 2002 SAS UGM mengeluarkan SK Nomor: 316/SK/SAS/2002 tentang Tata Cara Pemilihan Calon Rektor oleh SAS UGM. Pasal 1 ayat: (5) Pemilihan adalah pemberian suara yang dilakukan oleh anggota SAS untuk memilih calon rektor (6) Calon rektor yang dipilih oleh SAS adalah calon y ang memenuhi syarat administrasi setelah diseleksi oleh PAH Pemilihan Rektor (7) Calon terpilih adalah calon-calon yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan Prinsip pemilihan disebutkan pada pasal 4 dengan ayat-ayat sebagai berikut: (1) Pemilihan rektor dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama yang akan memilih lima orang calon dan tahap kedua yang akan memilih tiga orang calon (2) Setiap anggota SAS mempunyai hak suara yang sama (3) Pemberian suara dilaksanakan secara langsung, bebas dan rahasia (4) U n t u k m e n g g u n a k a n h a k suaranya, anggota SAS harus hadir pada waktu pemilihan dilaksanakan (5) SAS melaksanakan pemilihan rektor untuk memilih tiga orang calon rektor yang diajukan kepada Majelis Wali Amanat. Pasal 5 menyebutkan tentang pemberian suara:
(1) Setiap anggota SAS memberikan suara dengan melingkari satu nama calon yang sudah disahkan pada selembar kertas suara yang telah disediakan oleh PAH Pemilihan Rektor (2) Pemilihan calon rektor tidak mengenal sistem penggabungan suara diantara calon-calon Pengesahan tentang calon rektor disebutkan dalam pasal 6: (1) Lima calon yang mendapat suara terbanyak ditetapkan sebagai calon rektor untuk dipilih oleh SAS pada pemilihan berikutnya (2) A p a b i l a a d a c a l o n y a n g m e n gu n d u r k a n d i r i , ya n g mendapat s uara terbanyak berikutnya dinyatakan sebagai calon rektor (3) Apabila ada dua atau lebih calon terpilih mendapat suara sama maka khusus untuk calon-calon tersebut diadakan pemilihan ulang Pada tahun 2002 setiap calon r ekt o r di w aj i bk an m en gi k ut i presentasi dan wawancara. Hal ini disebutkan pada pasal 7: (1) Li m a cal o n R ektor UGM melaksanakan presentasi dan mengikuti wawancara yang dilaksanakan oleh SAS (2) Wawancara dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh SAS UGM (3) Anggota tim adalah para mantan Rektor UGM (4) Presentasi dan wawancara calon Rektor UGM dilaksanakan di hadapan sidang SAS UGM 45
Mendiknas Prof. Dr. A. Malik Fajar sedang memasukkan kartu suara pemilihan Rektor UGM (Khazanah Arsip UGM)
Pasal 8 berbunyi pimpinan sidang pemilihan membuat berita acara yang memuat proses dan hasil pelaksanaan pemilihan. Pasal 9 menyebutkan keputusan ini hanya berlaku untuk pemilihan calon Rektor UGM masa bakti 2002-2007. Pada tahun 2007 MWA UGM mengeluarkan Keputusan MWA UGM Nomor: 08/SK/MWA/2007 tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Rektor UGM. Pasal 2 keputusan tersebut menyebutkan: (1) Bakal calon rektor yang akan dipilih sebagai calon rektor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. B e r k e w a r g a n e g a r a a n Indonesia; b. Mempunyai komitmen tinggi untuk mempertahankan Pancasila dan U ndangUndang Dasar Republik Indonesia; c. Sehat jasmani dan jiwa yang dinyatakan dengan Surat 46
d.
e. f.
g.
h.
i.
Keterangan Dokter; Memiliki g elar hasil pendidikan Strata 3 dari perguruan tinggi yang diakui oleh universitas; Memiliki moral, integritas, dan komitmen yang tinggi; M e m i l i k i j i w a kepemimpinan, kemampuan manajerial yang profesional dan mampu bekerja dalam teamwork; Memiliki wawasan yang luas dan v isioner mengenai perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi dan v isi s erta misi universitas; Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan anggota MWA baik karena kelahiran (orang tua, anak atau saudara kandung) maupun karena perkawinan (suami-istri atau mertua-menantu); Tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadi l an yan g t el ah mempunyai kekuatan hukum tetap; j. Pernah menduduki jabatan pimpinan dalam lingkungan perguruan tinggi atau jabatan ya n g s et a ra s ek u ra n gkurangnya 3 (tiga) tahun; k. Dicalonkan oleh sekurangkurangnya 5 (lima) orang masyarakat UGM yang dibuktikan dengan tanda tangan. Pasal 8 ayat 1 keputusan ini menyebutkan proses pemilihan calon rektor dilakukan d alam Rapat Gabungan Pleno SA dan MGB. Adapun proses pemilihan calon rektor disebutkan di pasal 9: (1) Setelah pemaparan visi dan misi rapat dilanjutkan dengan acara pemungutan suara untuk memilih 3 (tiga) calon rektor yang memperoleh suara terbanyak (2) Pemungutan suara dilakukan oleh Anggota SA dan MGB UGM yang hadir secara langsung, bebas, dan rahasia dengan cara mengisi surat suara yang telah disiapkan oleh PAH. (PAH= Panitia Ad-Hoc, diatur dalam Keputusan SAS UGM No. 181/ S K/ S AS / 200 1 tent an g Pembentukan Panitia Ad-Hoc Pemilihan Rektor UGM dan Keputusan SAS UGM No.
183/ S K/ S AS / 200 1 tent an g Keanggotaan Panitia Ad-Hoc Pemilihan Rektor UGM). (3) Anggota SA dan MGB yang menjadi calon rektor tidak berhak memilih (4) N a m a t i g a c a l o n r e k t o r sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diserahkan oleh SA kepada MWA selambatlambatnya 3 (tiga) hari setelah rapat gabungan pleno SA dan MGB. Pasal 13 menyebutkan tentang Tata Cara Pemilihan: (1) Pemilihan rektor dilakukan secara bertahap yaitu tahap pertama memilih 2 (dua) orang calon tahap ke dua memilih satu calon (2) Dua calon yang mendapat suara terbanyak ditetapkan sebagai calon rektor untuk dipilih oleh MWApada tahap kedua (3) Apabila dalam pemilihan tahap pertama seorang calon berhasil memperoleh suara 50% ditambah 1 (satu) maka pemilihan tahap kedua tidak perlu dilaksanakan (4) Setiap anggota MWA mempunyai hak suara yang sama kecuali menteri (5) Pemberian suara dilaksanakan secara langsung, bebas dan rahasia (6) U n t u k m e n g g u n a k a n h a k suaranya, anggota MWA harus hadir pada waktu pemilihan (7) Apabila terdapat 2 (dua) orang 47
calon yang memperoleh suara yang sama maka d iadakan pemilihan ulang khusus untuk 2 (dua) orang yang mendapat suara yang sama. Pasal 14 menyebutkan tentang pemberian suara: (1) S e t i a p a n g g o t a M W A memberikan suara d engan melingkari salah satu nomor urut calon pada surat suara yang telah disediakan (2) Pemilihan calon rektor tidak
mengenal sistem penggabungan suara diantara calon-calon rektor Pasal 18 berbunyi: Rektor terpilih dilantik dan diambil sumpahnya oleh MWA selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah proses penetapan calon terpilih. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sejak UGM berdiri sampai saat ini telah terjadi banyak perubahan dalam tata cara pemilihan Rektor UGM. Adapun Rektor UGM dari awal pendirian hingga sekarang adalah sebagai berikut:
Rektor Ke-
Nama Rektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Prof. Dr. M. Sardjito Prof. Ir. Herman Johannes Drg. Nazir Alwi Drs. Soepojo Padmodipoetro (Ketua Presidium) Drs. Soeroso H. Prawirohardjo, M.A. Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, M.A. Prof. Dr. Teuku Jacob, M.S., M.D. Prof. Dr. Koesnadi Hardja Soemantri, S.H. Prof. Dr. Mochamad Adnan, M.Sc. Prof. Dr. Sukanto Reksohadiprojo, M.Com. Prof. Dr. Dr. Ichlasul Amal, M.A. Prof. Dr. Sofian Effendi, M.PIA. Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. Prof. Dr. Pratikno
48
Periode 1949-1962 1962-1966 1966-1967 1967-1968 1968-1973 1973-1977; 1977-1981 1981-1986 1986-1990 1990-1994 1994-1998 1998-2002 2002-2007 2007-2012 2012-2017
Daftar Singkatan: SA = Senat Akademik SAS = Senat Akademik Sementara MWA = Majelis Wali Amanat MGB = Majelis Guru Besar PAH = Panitia Ad-Hoc
REFERENSI Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi.
Keputusan Senat Akademik Sementara UGM Nomor: 316/SK/SAS/2002 tentang Tata Cara Pemilihan Calon Rektor oleh Senat Akademik Sementara Universitas Gadjah Mada. Peraturan Senat UGM No. 34 Tahun 1968 tentang Pemilihan Rektor UGM. Sumber Internet:
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 195 0 t ent an g Per at ur a n Sementara tentang Universitit Negeri Gadjah Mada.
”Prof. Dr. Pratikno Terpilih menjadi R e k t o r U G M ” , http://www.ugm.ac.id/index.php ?page=rilis&artikel=4534 (dl: 2 Januari 2013).
Peraturan Pemerintah RI No. 5 Tahun 1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/ Institut Negeri.
“Pratikno Jabat Rektor UGM 20122017”, http://www.tempo.co/ read/news/ 2012/03/22/ 079391958/ (dl: 2 Januari 2013).
Keputusan Majelis Wali Amanat U G M N o m o r : 08/SK/MWA/2007 tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Rektor UGM.
“Pratikno Terpilih sebagai Rektor UGM”, http://news.detik.com/ r e a d / 2 0 1 2 / 0 3 / 2 2 / 13 4 5 4 1 / 1874420/10/ (dl: 2 Januari 2013).
Keputusan Presidium UGM No. 35 Tahun 1967 tentang Pemilihan Tjalon Rektor.
49
MENYUSURI JEJAK UGM CABANG MAGELANG DARI KHAZANAH ARSIP UGM Musliichah1 “UGM Cabang Magelang? Pertanyaan ini tak juga mau berlalu. Bukan apaapa, selama ini kisah tentang UGM Cabang Magelang nyaris tak pernah terdengar. Dalam berbagai carikan dokumen atau buku-buku yang tentang sejarah UGM hampir tak diketemukan kisah tentang ini. Padahal UGM pernah membangun gedung untuk Fakultas Teknik (FT) di Magelang. Jadi adakah ini seperti sebuah kisah sejarah yang tercecer?” (www.ugm.ac.id) Pertanyaan di atas merupakan sebuah kenyataan yang menggambarkan kondisi civitas akademika UGM yang kehilangan bagian dari memori sejarahnya. UGM Cabang Magelang adalah sebuah kepingan sejarah UGM. Mengenal sejarah diri adalah langkah menemukan jati diri. P epatah mengatakan bahwa barang siapa tak mengenal sejarah dirinya, maka dia akan kehilangan jati diri. UGM Cabang Magelang berada di lingkungan Karesidenan Kedu. Saat ini kondisi dari bangunan tersebut sudah tidak digunakan lagi, hanya terdapat sebuah monumen yang menjadi sebuah perlambangan akan kebenaran dari kampus UGM yang pernah ada di kota Magelang. Ki s ah s ej ar ah U G M C aban g Magelang bermula dari Perguruan Tinggi Magelang (PTM) yang didirikan oleh sebuah yayasan perguruan tinggi pada September 1963. Melalui SK Menteri Perguruan 1
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) N o . 1 8 1 / 1 96 4 t e r t a n g ga l 1 8 Desember 1964 PTM berubah status menjadi perguruan tinggi negeri. Perubahan status ini diumumkan oleh Menteri PTIP Brigjend dr. Sjarif Thayeb pada 19 Desember 1964, bersamaan dengan Dies Natalis UGM. PTM akhirnya berganti nama menjadi UGM Cabang Magelang yang terdiri dari beberapa fakultas yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Tehnik, dan Fakultas Ekonomi. Perjalanan UGM Cabang Magelang akhirnya terhenti pada tahun 1978. Akhirnya UGM Cabang Magelang dipindahkan ke UGM pusat di J ogj akart a. (ht t p: / / n ya ri wat u . blogspot.com) Riwayat Pendirian UGM Cabang Magelang Dari lembaran arsip y ang tersimpan di Arsip UGM, kita dapat merunut kembali keberadaan UGM Cabang Magelang. Arsip-arsip
Arsiparis Arsip UGM; Dosen Kearsipan Sekolah Vokasi UGM
50
tersebut menjadi bukti keberadaan UGM Cabang Magelang sekaligus saksi yang dapat menceritakan sejarah UGM Cabang Magelang. Dalam Laporan Akhir Jabatan Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang Tahun 1978 disebutkan riwayat singkat UGM Cabang Magelang. UGM Cabang Magelang bermula dari sebuah perguruan tinggi swasta y ang didirikan o leh Ya yasan P TM. Pimpinan yayasan ini adalah para pejabat pemerintahan di lingkungan Kabupaten dan Kotamadya Magelang baik sipil maupun militer. Tujuan pendirian perguruan tinggi swasta tersebut selain untuk memajukan pendidikan di daerah Magelang juga ada tujuan politis yaitu untuk mengimbangi usaha Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu telah mendirikan Universitas Rakyat Borobudur yang dirintis oleh Walikota Kodya Magelang. Oleh karena itu, meskipun UGM Cabang Magel an g b erada d i w ilayah Kotamadya Magelang tetapi ketua yayasannya dijabat oleh Bupati K . D . H . M a ge l a n g . P i m p i n a n perguruan tinggi pada waktu itu dipercayakan kepada Pamen A.M.N. seorang abiturient Fakultas Hukum UGM, sedangkan pimpinan fakultas yang terdiri dari Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Teknik dipercayakan kepada dosen-dosen dari fakultas sejenis di UGM Yogyakarta. Berdasarkan SK Menteri PTIP
No. 181 Tahun 1963, perguruan tinggi tersebut berubah status menjadi perguruan tinggi negeri (PTN) dengan nama UGM CABANG MAGELANG. Surat keputusan tersebut menyebutkan bahwa status negeri hanya pada bidang akademisnya saja, sedangkan bidang administrasi, personil, dan keuangan tetap menjadi tanggung jawab Yayasan PTM. Berkat keterampilan Pimpinan UGM Cabang Magelang dan uluran tangan dari Pimpinan UGM Yogyakarta (Presidium dan Rektor) maka secara berangsurangsur UGM Cabang Magelang mendapat personil dan dana dari pemerintah. Sumber pembiayaan UGM Cabang Magelang selain dari pemerintah juga dari masyarakat dan AKABRI Bagian Umum dan Darat. Pada saat mendapat status negeri, UGM Cabang Magelang memiliki 2 fakultas yaitu Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum. Pada tahun 1964 ditambah dengan Fakultas Teknik Bagian Sipil. Penutupan UGM Cabang Magelang Sejarah UGM Cabang Magelang berakhir pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya SK Rektor UGM Nomor UGM/17/P/III/C/78 tanggal 14 Juli 1978. SK tersebut memutuskan mendahului SK Menteri P e n d i d i k a n d a n K e b u d a ya a n menutup UGM Cabang Magelang berhubung proses likwidasi telah berakhir dan tugas pokok 51
penyelenggaraan kegiatan akademis UGM Cabang Magelang telah selesai s e l u r u h n ya . S u r a t k e p ut us an penutupan UGM Cabang Magelang ini berlaku terhitung mulai akhir Juni 1978. Proses penutupan UGM Cabang Magelang ini diserahkan kepada Pelaksana Pimpinan Harian UGM Caban g Magelang. Pelaks ana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang diangkat berdasarkan SK Rektor UGM No. UGM/2/P.C/1973 tanggal 2 Maret 1973. Surat keputusan tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut hasil keputusan rapat antar rektor PTN seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada akhir tahun 1971. Diantara keputusan rapat tersebut adalah menutup seluruh cabang dari semua PTN yang ada pada saat itu. SK Rektor UGM No. UGM/2/P.C/1973 tersebut menetapkan hal-hal sebagai berikut: 1. P i m p i n a n U G M C a b a n g Magelang yang semula dengan jabatan Koordinator FakultasFakultas pada UGM Cabang Magelang d iubah menjadi Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang. 2. Terhitung mulai tahun ajaran 1972 UGM Cabang Magelang tidak menerima mahasiswa baru lagi. 3. Para mahasiswa angkatan 1971 diberi kesempatan belajar sampai tingkat Sarjana Muda dengan pembatasan waktu belajar 52
maksimal 2 tahun untuk tiap tingkat. S ebel um p enut upan UGM Cabang Magelang, langkah-langkah likwidasi telah dilakukan oleh pengurus diantaranya: a. BidangAkademis - Atas dasar pertimbangan efisiensi dalam pengelolaan perkuliahan, Fakultas Teknik UGM Cabang Magelang yang jumlah mahasiswanya sedikit digabung dengan Fakultas Teknik UGM di Yogyakarta pada tahun 1975. - P erkuliahan Fakultas Ekonomi d an Fakultas Hukum telah diakhiri. - Tahun 1975 dan berikutnya diper gunakan untuk penyelenggaraan ujian-ujian pendadaran dan skripsi. b. Bidang Personil - Tenaga edukatif dipindahkan ke Universitas Diponegoro 3 orang, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta 5 orang, dan Universitas Sebelas Maret Surakarta 1 orang. - T enaga a dministratif dipindahkan ke Universitas Diponegoro 1 o rang, Universitas Gadjah Mada di Yo g y a k a r t a 8 o r a n g , Universitas Sebelas Maret Surakarta 1 orang, Lingkungan Kanwil Jateng 9 orang, dan 1 orang keluar.
Kondisi Pasca Penutupan UGM Cabang Magelang Kondisi UGM Cabang Magelang pada saat penutupan tahun 1978 dilaporkan oleh Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang Slamet Dwirahardjo, SH. bahwa SDM tenaga e dukatif kosong sedangkan tenaga administrasi ada 2 orang. Barang-barang inventaris meliputi barang tetap dan barang ber g erak, d an buku-buku perpustakaan diserahkan ke UGM Yogyakarta. Situasi umum kampus UGM Cabang Magelang dilaporkan bahwa sejak tahun 1976 telah digunakan untuk penyelenggaraan perkuliahan Akademi Farming Magelang yang pada tahun 1978 telah mencapai tingkat III. Penggunaan kampus UGM Cabang Magelang ini berdasarkan hasil pembicaraan Ketua Yayasan PTM, Bupati KDH. Dati II Magelang dan Rektor UGM di Yogyakarta pada akhir tahun 1975
bertempat di kampus UGM Cabang Magelang. Saran yang disampaikan oleh Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang terkait penutupan UGM Cabang Magelang adalah: 1. U n t u k m e w u j u d k a n kesinambungan usaha pendidikan tinggi di wilayah Magelang dan sekaligus untuk memanfaatkan gedung bekas kampus UGM Cabang Magelang beserta fasilitas-fasilitas lainnya supaya dapat dipinjamkan kepada Ya y a s a n P T M g u n a melangsungkan dan m e n ge m b a n gk a n A k a d e m i Farming Magelang. 2. Semua pekerjaan administrasi yang berhubungan dengan urusan alumni dan akademis para alumni supaya dapat dilayani di masingmasing Bagian Kemahasiswaan dan A lumni d an Bagian Pengajaran UGM di Yogyakarta.
Sisa Bangunan ex UGM Cabang Magelang (Khazanah Arsip UGM) 53
Setelah UGM Cabang Magelang tutup, ada surat permohonan dari Yayasan Achmad Yani (Achmad Yani Foundation) yang beralamat di Suranegaran N o. 7 P urworejo Karesidenan Kedu Jawa Tengah k e p a d a Wa l i k ot a K o t a m ad ya Magelang tertanggal 4 September 1977 yang intinya mohon menggunakan gedung dan fasilitas UGM Cabang Magelang untuk kegiat an program pendidikan Yayasan Achmad Yani (Achmad Yani Foundation). Salinan surat tersebut juga dikirimkan kepada Pimpinan UGM Cabang Magelang. Tanggal 26 September 1977 dengan surat No. 170/Pelpimhar/ 1977, Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang memberikan penjelasan tentang gedung UGM Cabang Magelang kepada Ketua Umum Ya yasan A chmad Ya ni (Achmad Yani Foundation). Surat tersebut menjelaskan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kegiatan perkuliahan UGM Cabang Magelang yang meliputi Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum telah berakhir sejak permulaan tahun 1976. 2. Sejak permulaan tahun 1976 gedung tersebut telah digunakan untuk perkuliahan Akademi Farming Magelang yang berada dibawah Yayasan PTM. Yayasan ini merupakan pendukung UGM Cabang Magelang sejak masih berstatus swasta hingga saat selesai dilikwidasi. 54
3. Pembentukan Akademi Farming Magelang telah mendapat restu dari Bapak Supardjo selaku Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah. 4. Penggunaan gedung UGM Cabang Magelang beserta segala perlengkapannya berdasarkan ijin Rektor UGM Yogyakarta. Pada tanggal 1 Agustus 1978, Yayasan PTM yang beralamat di Jl. Diponegoro No. 1 Komplek UGM Cabang Magelang mengajukan surat No. 2/IV/YPTM/1978 kepada Rektor UGM. Isi surat tersebut adalah permohonan ijin untuk menggunakan gedung serta b arang-barang inventaris UGM yang semula dipergunakan oleh UGM Cabang Magelang guna meneruskan penyelenggaraan Akademi Farming Magelang. Sebelum s urat permohonan tersebut diajukan, telah dilakukan p embicaraan antara Ya ya s a n P T M , B u p a t i KD H Kabupaten Magelang, dan Rektor UGM pada akhir tahun 1975. Pembicaraan tersebut membahas rencan a m endirikan A kademi Farming Magelang pada tahun 1976. Barang-barang milik UGM Cabang Magelang yang diajukan sebagai pinjaman Yayasan PTM adalah gedung 1, Mobil Fiat Compagnola 1, sepeda 1, brankas uang 1, almari kantor 3, kursi kuliah 100, meja tulis biasa 6, dan mesin tulis 1. Dari catatan arsip yang tersimpan di Arsip UGM, terdapat surat dari Universitas Tidar Magelang No. 0534
a/Q/UTM/IV/1989 tanggal 27 April 1989 yang ditujukan kepada Bapak Pembantu Gubernur Jawa Tengah Wilayah Kedu perihal permintaan kembali gedung milik UGM Cabang Magelang yang terletak di atas tanah milik Pemda TK 1 Jawa Tengah Cq. Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu di Magelang. Dalam surat tersebut menyebutkan beberapa hal sebagai berikut: - Universitas Tidar Magelang pada bulan Februari 1989 telah membuat laporan k epada Walikotamadya Kepala Daerah TK II Magelang selaku Ketua Dewan P engawas Yayasan Per guruan T inggi T i dar Magelang. Laporan tersebut menjelaskan b ahwa pada prinsipnya Universitas Tidar Magelang akan menyerahkan kembali gedung milik UGM kepada pihak UGM Yogyakarta. - Pengelolaan gedung milik UGM akan diserahkan kepada pihak UGM pada awal tahun akademik 1989/1990 (bulan Agustus/ September 1989) supaya tidak mengganggu jalannya program pendidikan d alam tahun akademik 1988/1989. - Sesuai petunjuk yang diterima oleh Universitas Tidar Magelang pada saat menghadap Pimpinan UGM pada tanggal 20 Pebruari 1989, bahwa sebelum gedung tersebut diserahkan kembali kepada UGM maka gedung harus dalam keadaan kosong. Setelah
gedung dalam keadaan kosong maka baru dapat diserahkan kepada UGM. - Universitas Tidar Magelang berupa ya agar selambatlambatnya akhir tahun akademik 1988/1989 (akhir bulan Juli 1989) akan mengosongkan seluruh isi/ penghuni gedung milik UGM di Magelang. - Ruang praktikum/ laboratorium mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tidar Magelang yang semula menggunakan gedung UGM Cabang Magelang pada akhir tahun akademik 1988/1989 akan dipindahkan di salah satu gedung di lingkungan Kampus Universitas Tidar Magelang. Namun d emikian, terdapat catatan pada surat Rektor UGM kepada Sekretaris J enderal Departeman Pendidikan d an Kebudayaan No. UGM/3510/PL/ 06/0 3 t anggal 1 4 J uni 1991 menyebutkan bahwa UGM telah menyampaikan surat N o. UGM/4745/PL/06/03 tanggal 11 Juni 1990 yang menegaskan bahwa Gedung UGM di Magelang (dan inventaris yang lain) T IDAK diserahkan kepada Universitas Tidar Magelang, melainkan diserahkan/ dihibahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam hal ini Pembantu Gubernur Jawa Tengah Wilayah Kedu. Pada tanggal 9 Mei 1994 UGM dengan s urat N o. UGM/2340/ PL/07/06 mengajukan usulan hibah 55
barang-barang inventaris milik UGM di Magelang kepada Sekretaris Jenderal Depdikbud u.p. Kepala Biro Perlengkapan. Usulan tersebut diajukan kembali oleh UGM dengan surat No. UGM/5057/PL/07/06 tanggal 2 September 1994. Pada tanggal 4 November 1994 dengan surat No. 64024/A/A4.D/94 Sekretaris Jenderal Depdikbud menyampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan beberapa hal terkait hibah gedung UGM di Magelang sebagai berikut : - Sekretaris Jenderal Depdikbud pada prinsipnya menyetujui permohonan Rektor UGM surat nomor 4745/PL/06/03 tanggal 11 Juni 1990 tentang hibah gedung beserta i ventaris peralatan lainnya di Magelang. - Gedung UGM Cabang Magelang seluas 600 M 2 terletak di kompleks perkantoran Pemda Magelang berdiri di atas tanah
No.
56
Jenis Barang
JML
1
Bangunan laboratorium
1 unit 600 M2
2 3 4 5 6
Mesin tulis Almari Kursi kuliah Meja kerja ½ Biro Buku perpustakaan
1 buah 3 buah 100 buah 6 buah 433 exp.
-
-
-
negara yang dibangun dengan dana rutin otorisasi Depdikbud tahun 1968 melalui Departemen Pekerjaan Umum pada saat itu Jawatan Gedung-Gedung Negara Daerah Yogyakarta. Pada tanggal 30 Juni 1978 gedung UGM di Magelang ditutup dan tidak dimanfaatkan lagi karena seluruh kegiatan akadem i k di pindahkan k e Yogyakarta. Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Tengah dalam hal ini Pembantu Gubernur Jawa Tengah Wilayah Kedu meminta gedung tersebut untuk kepentingan dinas yang sangat mendesak beserta barang inventaris lainnya yang sudah tidak digunakan Depdikbud. Sehubungan dengan hal tersebut Sekjen Depdikbud memerintahkan Dirjen Anggaran untuk menerbitkan persetujuan hibah aset yang terdiri dari:
Th. Pemb./ Keterangan Perolehan 1968 Dihibahkan kepada Pemda TK I Prop Jateng 1968 Rusak 1968 Baik 1968 9 buah rusak 1968 Baik 1968 Baik
Hingga Januari 1995 UGM belum menerima keputusan hibah barang-barang inventaris milik UGM di Magelang dari Mendikbud. Oleh karena itu, pada tanggal 6 Pebruari 1995 UGM kembali mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala Biro Perlengkapan Depdikbud yang isinya mohon
informasi atas kemajuan usulan hibah barang-barang inventarsi milik UGM di Magelang. Keberadaan UGM Cabang Magelang telah memberikan andil dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Hasil yang dicapai dari tahun 1963 sampai ditutup tahun 1978 adalah:
Ekonomi
Hukum
Tehnik
Fakultas Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Mahasiswa Terdaftar
708
153
629
263
95
7
Lulus Sarjana muda
340
25
202
74
3
-
Lulus Sarjana Lengkap
144
24
121
32
-
-
Sumber: Laporan Akhir Jabatan Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang 1978
Untuk mengenang keberadaan UGM Cabang Magelang, Gubernur Jawa T e ngah M ardiyanto meresmikan Monumen UGM Cabang Magelang di tepian Kali Progo, yang membatasi wilayah Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang, Jateng. Peresmian ditandai d engan penandatanganan prasasti monumen yang berada di Kompleks Kantor eksKeresidenan Kedu oleh Gubernur Jawa Tengah. Gubernur Mardiyanto
mengatakan, monumen tersebut sebagai salah satu tonggak sejarah penting J ateng terkait upaya pembangunan bidang pendidikan pada masa lalu. Harapan Beliau semoga monumen tersebut tidak hanya menjadi monumen yang dapat dikatakan sebagai `tetenger` tetapi justru sebagai ` tetenger` dari bangunan hidup yang dapat berjalan di bidang pendidikan. (sumber: http://www.antaranews.com/)
57
Penandatanganan Prasasti Pengesahan Monumen UGM Cabang Magelang
(Khazanah Arsip UGM)
Monumen UGM Cabang Magelang
(Khazanah Arsip UGM)
58
Demikian sepenggal sejarah perjalanan UGM Cabang Magelang yang berhasil ditelusur dari khazanah arsip yang tersimpan di Arsip UGM. Runtutan sejarah yang singkat dan terbatas ini semoga dapat mengisi sebagian kekosongan memori sejarah UGM dan memperkaya pemahaman civitas akademika UGM tentang jati diri UGM.
Surat Universitas Tidar Magelang No. 0534a/Q/UTM/IV/1989 tanggal 27 April 1989 tentang Permintaan Kembali Gedung UGM Cabang Magelang.
REFERENSI
Surat UGM Cabang Magelang No. 170/Pelpimhar/1977 tanggal 26 September 1977 tentang Pe nj el a s a n G e du n g UG M Cabang Magelang.
Laporan Akhir Jabatan Pelaksana Pimpinan Harian UGM Cabang Magelang tanggal 13 Juli 1978. SK Rektor UGM Nomor UGM/17/P/III/C/78 tanggal 14 Juli 1978 tentang Penutupan UGM Cabang Magelang. Surat Rektor UGM No. G11/04/VII/78 tanggal 14 Juli 1978 tentang Inventaris UGM Cabang Magelang. Surat Rektor UGM No. UGM/140 PL/07/06 tahun 1994 tentang Usulan Hibah Barang Inventaris UGM di Magelang. Surat Rektor UGM No. UGM/3510/PL/06/03 tanggal 14 Juni 1991 tentang Gedung UGM di Magelang. Surat Sekretaris Jenderal Depdikbud No. 64024/A/A4.D/94 tanggal 4 Nopember 1994 tentang Hibah Gedung UGM di Magelang.
S u r a t Ya y a s a n P T M N o . 2/IV/YPTM/1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Peminjaman Inventaris UGM Cabang Magelang.
Surat Yayasan Achmad Yani No. 047/K/Ed/YAY/IX/77 tanggal 4 September 1977 tentang Kerjasama Pendidikan dengan Kotamadya di Magelang. Sumber Internet: “Gubernur Jateng R esmikan M o n u m e n U G M ” , http://www.antaranews.com/vie w/?i= 1176556461&c=SBH&s (dl: 1 Februari 2013). “Mengenang UGM Cabang M a g e l a n g ” , http://www.ugm.ac.id/index.php ?page= headline&artikel (dl: 1 Februari 2013). “UGM Cabang Magelang”, http://nyariwatu.blogspot.com/2 011/12/ugm-cabangmagelang.html (dl: 1 Februari 2013).
59
RESENSI BUKU PERLINDUNGAN ARSIP VITAL Heri Santosa1 Penulis Edisi Cetakan Penerbit ISBN Halaman
: Suhardo Surotani : Ketiga : Ketiga, 2013 : Kanisius, Yogyakarta : 978-979-21-2942-7 : 132
Buku Perlindungan Arsip Vital ini secara umum menyajikan tentang cara membuat program arsip vital bagi lembaga pemerintah/ swasta. Buku tersebut juga dimaksudkan memberi sumbangan dalam usaha ikut mengembangkan ilmu kearsipan dinamis di Indonesia dengan harapan dapat bermanfaat bagi arsiparis, para pemerhati arsip, para mahasiswa kearsipan pada khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Buku ini terdiri dari 6 bab yang menguraikan beberapa hal pokok yang harus diperhatikan bagi lembaga pemerintah/ swasta yang ingin mengelola dan meyelamatkan arsip v i t a l n ya . B a b 1 m e r u p a k a n pendahuluan yang berisi tentang Daur Hidup Arsip yang disederhanakan menjadi tiga fase antara lain: fase penciptaan, fase Penggunaan dan pemeliharaan, dan fase penyusutan. 1
Arsiparis Arsip UGM, Mahasiswa DIV Kearsipan UT
60
Menurut Betty R. Rick (1992: 246) arsip dibagi menjadi 4 golongan berdasarkan kepentingan organisasi yaitu arsip kelas satu (1) atau arsip vital, arsip kelas dua (2) atau arsip penting, arsip kelas tiga (3) atau arsip yang berguna, dan arsip kelas 4 atau arsip tidak berguna. Dari keempat kelas tersebut, arsip vital merupakan arsip dinamis yang sangat penting untuk kelangsungan organisasi. Bab 2 menguraikan tentang Perencanaan Program Arsip Vital yang merupakan sebuah rancangan yang berupa tindakan-tindakan untuk memberikan perlindungan d an pengamanan arsip vital dari musibah dan bencana. Adapun langkahlangkah perencanaan tersebut adalah dukungan dan persetujuan pimpinan, pembentukan tim, identifikasi arsip vital, penunjukan orang yang bertanggung jawab, menentukan
metode perlindungan, dan penentuan lokasi simpan. Hasil dari perencanaan tersebut adalah rancangan atau desain perlindungan arsip vital. Rancangan program arsip vital akan tercapai apabila didukung oleh beberapa komponen yang meliputi: orang (SDM), fasilitas, prosedur, dan anggaran. Pada bab 3 membahas tentang Identifikasi Arsip Vital yaitu kegiatan untuk mengenali arsip dinamis yang dimiliki oleh suatu organisasi. Dalam kegiatan identifikasi seorang analis harus memahami fungsi organisasi, proses administrasi, dan bukti transaksi. Untuk itu diperlukan analisis fungsi organisasi dan analisis resiko. Adapun langkah-langkah dalam mengidentifikasi arsip vital adalah meminta peraturan-peraturan tentang pembentukan kelembagaan, mempelajari tugas pokok, dan fungsi organisasi, mengisi format analisa fungsi, mempelajari proses administrasi, mempelajari nilai guna primer dan sekunder arsip, mengisi format analisa resiko, menganalisa resiko bagi or ganisasi, d an menentukan arsip vital, penting atau berguna. Perlindungan a rsip vital merupakan suatu tindakan preventif yang dilakukan untuk mengamankan arsip dinamis kelas satu sebelum t erj ad i s uat u peri s t i wa y an g mengakibatkan rusak atau hilangnya arsip vital. Bab 4 ini menjelaskan beberapa metode yang digunakan dalam perencanaan perlindungan
arsip vital antara lain penyimpanan duplikat di berbagai lokasi simpan, pembuatan s alinan e kstra, pemindahan arsip, duplikat, dan pemakaian peralatan khusus (almari baja tahan api). Dalam bab ini juga dijelaskan b ahwa perencanaan perlindungan arsip vital elektronik berbeda dengan arsip tekstual karena penyimpanan media dan pers yaratann ya memerlukan penyelamatan, analisis dan informasi duplikat. Untuk meminimalisasikan terjadin ya kerusakan akibat terjadinya musibah maupun bencana, ruang penyimpanan arsip perlu dilengkapi sarana dengan ketentuan pengamanan ruang penyimpanan, pencegahan kebakaran, system sprinkler, dan memonitor temperatur dan kelembaban udara. Kerusakan dan m usnahn ya arsip d apat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor lingkungan internal maupun eksternal. Menurut Karmidi Martoadmodjo d alam bukunya Krihanta yang berjudul Penataan dan Pengelolaan Arsip Vital (2008: 5.35.1 0 , 514 - 5.2 2 ) m enj el a s k an mengenai berbagai perusak arsip dan bahan pustaka untuk daerah tropis seperti di Indonesia diantaranya adalah: serangga, binatang pengerat, jamur, kelembaban, debu, gempa bumi, kekeringan, gelombang pasang surut, dan angin topan. Selanjutnya Karmidi Martoatmodjo (1994: 36) mengelompokkan faktor penyebab kerusakan dan musnahnya arsip antara lain: faktor fisika, faktor biota, 61
faktor kimia, faktor bencana alam, dan faktor manusia. Manajemen arsip v ital merupakan aktivitas dari planning, organizing, actuating, controlling, coordinating yang merupakan tugas managerial. Pengorganisasian arsip vital tidak berbeda dengan arsip dinamis lainnya. Arsip vital disimpan secara terpisah dari arsip dinamis lainnya, dimana dapat disimpan secara sentral maupun desentral. Dalam bab 5 ini dijelaskan bahwa pengorganisasian arsip vital terdiri dari unit kearsipan, unit pengolah, dan lembaga kearsipan daerah. Dalam rangka melakukan perlindungan dan pengamanan arsip vital diperlukan sarana pengawasan untuk mengetahui keberadaan serta kondisi arsip vital serta sarana untuk merekonstruksi ketika dalam keadaan darurat. Adapun sarana tersebut antara lain: daftar arsip vital, daftar induk arsip vital, klasifikasi arsip vital, jadwal retensi arsip, jadwal rotasi, kartu kontrol, pengiriman arsip vital, daftar pemindahan arsip vital, dan manual arsip vital. Langkah akhir dari perlindungan arsip vital adalah evaluasi. Dalam bab terakhir diuraikan mengenai program disaster recovery atau dikenal s ebagai program penyelamatan dan pemulihan arsip vital ketika terjadi musibah dan pasca bencana. Berdasarkan Peraturan
62
Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia No. 06 tahun 2005 tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen Arsip Vital Negara, pen yel am at an dan p em uli han (recovery) arsip vital pasca bencana dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: penyelamatan, pemulihan arsip, dan pelaksanaan penyelamatan. Sedangkan menurut Krihanta (2008: 7.19) metode pemulihan arsip vital adalah dengan vacuum freezing, vacuum drying, freezing, dan air drying. Tak ada gading yang tak retak istilah ini menunjukkan bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna. Dikarenakan buku ini sebagai kumpulan bahan kuliah di DIII Kearsipan Sekolah Vokasi UGM maka isinya cenderung mengikuti pola materi perkuliahan. Tetapi buku ini patut diapresiasi karena buku ini dapat menambah khasanah keilmuan tentang k earsipan. Diharapkan dengan terbitnya buku ini, akan lahir buku -buk u t ent an g k earsi pan lainnya.Akhirnya, buku karya Suhardo Surotani ini dapat dijadikan referensi bagi lembaga pemerintah/ swasta, arsiparis, para pemerhati arsip, para mahasiswa kearsipan pada khususnya dan para pembaca pada umumnya untuk mengelola, merawat dan menyelamatkan arsip vital yang dimilikinya.
BERITA Studi Banding keArsip UGM 1. Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta pada tanggal 29 November 2012, sebanyak 2 orang. 2. Kantor Wilayah DJB Wajib Pajak Besar pada tanggal 6 – 7 Des 2012, sebanyak 7 orang pegawai. 3. Siswa SMK Bekasi pada tanggal 18 Desember 2012/ 4. Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tanggal 18 Januari 2013, sebanyak 17 orang. Magang di Arsip UGM 1. Eny Wiji Astuti, mahasiswa DIII Kearsipan UGM pada tanggal 14 Januari – 28 Maret 2013. 2. Zainur Rahmah dan D ina Oktaviana, mahasiswa Prodi Informasi dan Perpustakaan Fisipol Universitas Airlangga pada tanggal 17 Januari – 17 Februari 2013. Sosialisasi dan Bimbingan Teknis 1. Tanggal 20 Desember 2012 di Ruang Sidang Arsip UGM dan dihadiri oleh 40 orang peserta, terdiri dari: a. S o s i a l i s a s i P r o s e d u r Pen yusutan Arsip d i Lingkungan UGM. b. Sosialisasi Kearsipan dan Promosi Jabatan Arsiparis di Lingkungan UGM.
c. B i m b i n g a n T e k n i s Manajemen Records Center dan Pengelolaan Arsip Inaktif di Lingkungan UGM. 2. Ta n ggal 2 2 J anuari 2013 bertempat di Ruang Sidang Arsip UGM, Pelatihan Singkat Wawancara Oral History oleh Kepala Arsip UGM yang diikuti oleh 11 arsiparis Arsip UGM dan 3 orang mahasiswa magang. 3. Tanggal 30 Januari 2013 di Ruang Sidang Arsip UGM, Pembinaan A rsiparis yaitu Pendampingan P enyusunan DU PAK dalam rangka Penciptaan Arsiparis diikuti oleh 5 orang calon arsiparis dari unit kerja di lingkungan UGM. Pameran Arsip 1. Tahun 2012, dilaksanakan pada tanggal 14 – 16 Desember 2012 di Grha Sabha Pramana bersamaan dengan acara “Research and Innovation Expo 2012”, sebagai rangkaian Dies Natalis UGM ke63. 2. Sejak 1 Januari 2013, secara terus menerus dengan materi yang secara periodik diganti setiap bulan bertempat di depan Kantor Arsip UGM. AkuisisiArsip 1. Arsip Drs. Pariata Westra berupa Buletin BPA, hasil penelitian UGM Taman Cagar Budaya Candi Borobudur dan Candi Prambanan, karya ilmiah tokoh 63
UGM, survey pengamal an pancasila di berbagai propinsi oleh Fakultas Filsafat UGM, dan buku pedoman fakultas-fakultas di UGM tahun 1960-an. 2. Arsip Pusat Studi Pancasila UGM berupa berkas t entang pe n ye l en gga r a an s em i n ar , sarasehan d an Konggres Pancasila Tahun 2006 - 2012, dan kegiatan-kegiatan terkait pendidikan karakter. 3. Arsip Senat Akademik UGM berupa disertasi, pidato
64
pengukuhan guru besar, laporan, personal paper, dan pidato dies. Pendampingan Unit Kerja 1. K e g i a t a n p e n d a m p i n g a n penataan dan penyusutan arsip di SKKK UGM, dilaksanakan mulai tanggal 27 November 2012. 2. K e g i a t a n p e n d a m p i n g a n penataan arsip di Senat Akademik UGM dimulai pada tanggal 29 November 2012.