i
E-ISSN 2527-6778
ISSN 1412-9507
AL - BANJARI Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
DAFTAR ISI Tarekat dan Intelektualitas: Studi Keterlibatan Kalangan Intelektual dalam Tarekat Tijaniyah di Kota Banjarmasin Saifuddin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
1-14
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri di Majelis Taklim Al-Hidayah Hulu Sungai Selatan (Telaah Karisma dan Tasawuf Modern) 15-26 Zulkifli Perubahan Nilai Budaya (dalam Perspektif Teori Troompenaar) Imadduddin Parhani
27-56
Legal Protection Versus Legal Consciousness (The Changing Perspective in Law and Society Research) 57-58 Muhammad Helmy Hakim Eksistensi Khiyar dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Toko Modern (Analis Hukum Ekonomi Syariah) Rahmatul Huda dan Muhaimin
69-82
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Jual Beli Emas tidak Tunai 83-98 Ahmad Zakki Zamani Integrasi Sains dan Agama dalam Pembelajaran Kurikulum PAI (Perspektif Islam dan Barat serta Implementasinya) Rabiatul Adawiah
99-124
ii
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
! " "#
$
"
%
'+ ' &'()'(*
,-.
/
' 0' &'()'(*
1-2
#
'33' &'()'(*
4-5
AL-BANJARI, hlm. 1-14
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 1
TAREKAT DAN INTELEKTUALITAS: Studi Keterlibatan Kalangan Intelektual dalam Tarekat Tijaniyah di Kota Banjarmasin Saifuddin, Wardani, dan Dzikri Nirwana Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Email:
[email protected]
Abstract The development of tariqat in Indonesia is historically and sociologically related to the climate and culture of the people who in the past was formed by rural culture. However, in recent developments, in South Kalimantan for example, the assumption is very different. Although, this tariqat is usually described as traditional, backward, and associated with the countryside, it is not entirely true. With its tradisional nature, the tariqat become attractions for scholars. Those with rational thingkings entering this world with diverse motivations. There are two complementary sides. On the one hand, rational intellectuals/scholars enter into the tariqat and give a new baseline. On the other hand, the members of the tariqat also renew themselves. Motivations that drive the interest to this tariqat are doctrinal, rational, moral, and psychological. This motivation does not stand alone; it is intertwined and supports each other, in the internalization of the tariqat into the consciousness of the individual. Keywords: Tariqat, intellectuals, Tijaniyah.
Pendahuluan Secara historis, Indonesia sejak proses islamisasi merupakan lahan yang subur bagi berkembangnya sufisme, baik yang disebabkan oleh proses aktif yang dilakukan oleh para tokoh sufisme di samping peran para pedagang,1 ataupun kuatnya kecenderungan mistisisme keislaman masa awal karena perpaduan doktrin-doktrin kosmologis dan metafisis dengan ide-ide sufistik setempat.2 Iklim Indonesia yang secara sosio-religius itulah yang memungkinkan perkembangan sufisme dalam bentuk ordo-ordo sufi (sufi orders) atau yang dikenal sebagai tarekat (tharîqah). Di antara tarekat yang berkembang di Indonesia sebagiannya merupakan varian tarekat lokal, seperti Wahidiyah dan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan tarekat 1
2
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), h. 189. Lihat Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development In Marocco and Indonesia (Chicago: Chicago University Press, 1971), h. 24 dan 43-55.
2
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Syahadatain di Jawa Tengah, dan sebagian lainnya merupakan tarekat yang berafiliasi dengan gerakan sufi internasional, seperti tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan, Syâdziliyah di Jawa Tengah, Qâdiriyah, Rifâ’iyah, dan lain sebagainya. Di Kalimantan Selatan sendiri, berkembang banyak tarekat, seperti Sammâniyah, Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah, ‘Alawiyah, dan Tijaniyah. Masing-masing tarekat memiliki daya tarik tersendiri bagi pengikutnya dari kalangan tertentu dan sebagaimana tampak dalam sejarah Indonesia umumnya dan Kalimantan Selatan keterlibatan kalangan tertentu dalam tarekat ikut mewarnai arah respon tarekat terhadap kondisi-kondisi yang ada. Di Kalimantan Selatan tarekat merupakan kekuatan yang mendorong munculnya aksi-aksi sosial masyarakat menentang kolonialisme. W. A. van Rees dan P. J. Veth dalam studinya tidak menyebut tharîqat (tarekat) apa yang mendasari gerakan tersebut; Qâdiriyyah, Syattâriyyah, Naqsyabandiyyah, atau Qâdiriyyah-Naqsyabandiyyah, karena semuanya bisa ditemukan di Sumatera dan Jawa yang menjadi jaringan tharîqat ke Kalimantan. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa dua orang haji, Muhammad Arsyad (Banjarmasin) dan Ahmad (Alabio) aktif dalam penyebaran tharîqat Naqsyabandiyyah di Batang Alai dan Labuan Amas (Kabupaten Hulu Sungai Tengah) dan memperoleh 500 murîd. 3 Perlu digarisbawahi dari kasus-kasus seperti itu adalah pertama, tarekat merupakan kekuatan yang bisa mengerakkan pengikut-pengikutnya untuk memberikan respon terhadap kondisi-kondisi yang sedang dihadapi, kedua, tarekat memiliki basis massa bawah. Fakta-fakta kesejarahan seperti ini memiliki alur yang sama dengan prediksi sejumlah ilmuan tentang keberadaan sufisme sebagai tradisi Islam yang terus diperdebatkan lantaran banyak hal, antara lain, basis intelektual yang tidak cukup. Martin van Bruinessen berkomentar dalam surveinya tentang Naqsyabandiyah bahwa pengikut Naqsyabandiyah di Kalimantan Selatan pada umumnya tidak intelektual4 dalam pengertian bahwa para pengikut tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang tarekat yang diikutinya, karena sebagian besar pengikutnya adalah kalangan awam. Meski upaya-upaya untuk menyegarkannya kembali dilakukan sejumlah intelektual, namun tidak banyak merubah peta tarekat-tarekat di Kalimantan Selatan sekarang, karena basis pedesaannya (sebagian besar pengikut dari pedesaan). Latar belakang historis dan geografis tarekat yang identik dengan kultur yang dibentuk oleh kultur pedesaan di Kalimantan Selatan seperti itu sangat berbeda dengan perkembangan terakhir di sana. Fenomena yang disaksikan sekarang bahwa kebangkitan dan menjamurnya tarekat di Kalimantan Selatan, serta munculnya kalangan intelektual dan terpelajar sebagai pengikutnya menjadi fenomena yang menarik dan patut dipertanyakan tentang motivasi atau pendasaran apa yang mereka berikan untuk menerima tarekat, tentang bagaimana mendefinisikan atau memaknai tindakan mereka itu. Fenomena seperti ini antara lain dapat diamati pada gerakan 3
4
Lihat tim peneliti IAIN Antasari, Unsur-unsur Islam dalam Sejarah Perang Banjar (1859-1905), 1994, h. 19 dst.; Helius Sjamsuddin, “Islam and Resistance in South and Central Kalimantan in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries”, M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian Social Context, Annual Indonesian Lectures Series No. 15, 1989, h. 13 dst. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1998), h. 31.
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
3
Tarekat Tijaniyah di Kota Banjarmasin yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Anshari (lahir 1956) dan beralamat di Jl. Cempaka Sari Raya Rt. 74 No. 19 Kelurahan Telaga Biru, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Pengikut tarekat ini terdiri atas orang dewasa yang mayoritas tergolong orang-orang terdidik dan berekonomi mapan.5 Namun secara umum pengikutnya berasal dari berbagai lapisan masyarakat, dari kelas atas hingga kelas bawah, seperti kalangan pejabat, PNS, pedagang, ataupun petani. Metode Penelitian Bertolak dari persoalan tadi, maka penelitian ini terfokus pada dua hal: 1) bagaimana kalangan intelektual memaknai tarekat dalam Islam? Dengan pertanyaan ini, akan diungkap pandangan mereka tentang tarekat yang akan mengklasifikasikan pandangan-pandangan mereka (semisal pandangan yang mendasarkan pada ajaran normatif, kultural/ budaya, atau rasional); 2) apa alasan-alasan atau motivasi-motivasi yang mendasari mereka mengikuti tarekat? Terkait dengan masalah pertama yang mengungkap eksistensi tarekat dalam pandangan mereka, masalah kedua terkait dengan motif-motif tindakan. Penelitian ini dianggap signifikan dalam beberapa hal. Di antaranya adalah bahwa penelitian ini adalah penelitian keagamaan (religious research) yang berupaya mendeskripsikan keberagamaan (religiosity) yang diteliti melalui tarekat. Tesis bahwa “intelektualitas mengurangi ketertarikan kepada agama” dipertanyakan. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi signifikan dalam konteks memotret keberagamaan di tengah pemikiran modern dan mengungkap pendasaran-pendasaran “baru” bagi tarekat yang diberikan oleh kalangan intelektual yang tidak ditemukan dalam pendasaran normatif sebagaimana dalam literatur-literatur klasik tashawuf. Penelitian ini bersifat kualitatif yang mengkaji alasan-alasan atau motif-motif di balik keterlibatan kalangan intelektual dalam tarekat. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk menafsirkan dan memahami (interpretive understanding) atau model pembacaan verstehen dalam paradigma definisi sosial model Weber. Tokoh ini sendiri berpandangan bahwa semakin rasional tindakan yang dilakukan, maka akan semakin mudah dipahami.6 Dengan ungkapan lain, studi ini bertujuan untuk memahami “motif tujuan” (in order to motives) sebagaimana dalam verstehen Weber bahwa tindakan seseorang dilatarbelakangi oleh berbagai motif tujuan tertentu. Di samping itu, studi ini juga berupaya mengungkap keterlibatan kalangan intelektual tersebut dalam tarekat sebagai tindakan yang “bermotif sebab” (because motives).7 Jadi, objek studi dalam hal ini adalah pemaknaan atau pemberian makna (meaning) oleh kalangan intelektual terhadap keterlibatan mereka dalam tarekat itu. 5
6
7
Syarifuddin, “Terekat Tijaniyah di Kalimantan Selatan (Studi Sejarah dan Motivasi Masyarakat Masuk Tarekat), Tesis, (Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2003), h. 7. George Ritzer, Sociology: a Multiple-Paradigm Science, disadur oleh Alimandan (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 37-41. Ach. Fatchan dan Basrowi, Pembelotan Kaum Pesantren dan Pertani di Jawa (Surabaya: Yayasan Kampusina, 2004), h. 14-16.
4
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bertujuan untuk memperoleh data yang bersifat kualitatif. Penelitian difokuskan pada Tarekat Tijaniyah di Kota Banjarmasin yang dipimpin oleh KH. Ahmad Anshari (lahir 1956 M) dan beralamat di jl. Cempaka Sari Raya Rt. 74 No. 19 Kelurahan Telaga Biru, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Objek penelitian sebagaimana dikemukakan di atas akan digali dari para responden sebagai subjeknya dengan observasi partisipasi (participant observation),8 wawancara (interview),9 dan penelusuran data sekunder. Observasi partisipasi dilakukan dengan mengikuti ritual dzikir tarekat secara langsung dan bergumul dengan para peserta selain untuk mengetahui lebih mendalam, juga untuk memahami pengalaman subjektif, sebagaimana peserta lain, untuk dijadikan bahan wawancara tentang bagaimana pandangan peserta tentang aspek-aspek tertentu ritual. Karena objek yang digali menyangkut pengalaman subjektif peserta, wawancara harus dilakukan secara mendalam (indeepth interview) dan terfokus (focused interview), yaitu wawancara yang tidak berstandar, namun tetap terpusat pada masalah pokok yang diteliti.10 Penelusuran data sekunder dilakukan terhadap dokumen pengurus, terutama informasi tentang identitas peserta tetap dan latar belakangnya untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara. Secara operasional, langkah-langkah kerja metodologis fenomenologi, sebagaimana dijelaskan oleh Edmund Husserl adalah sebagai berikut; 1) reduksi fenomenologis, di mana semua pengalaman dalam bentuk kesadaran “dikurung” (bracketing) sementara, atau tahapan epoche sebagaimana disebut sebelumnya; 2) reduksi eidetis, di mana data yang diperoleh melalui tahap pertama dipilah untuk mencari yang esensial; 3) reduksi transendental yang bertujuan untuk memperoleh kondisi keberadaan subjek secara murni. Subjek melepaskan seluruh pengetahuan yang dimiliki untuk kembali ke kesadaran murni (transendental) agar objek yang menjadi sasaran kajian dapat dikonstruksi.11 Temuan Penelitian Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penelitian ini difokuskan pada Tarekat Tijaniyah di Kota Banjarmasin yang dipimpin oleh KH. Ahmad Anshari (lahir 1956 M), yang akrab dipanggil dengan Guru Anshari, beralamat di Jalan Cempaka Sari Raya, RT.74, No.19, Kelurahan Telaga Biru, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota 8
9
10
11
Observasi partisipasi adalah metode observasi (pengamatan tingkah laku) di mana peneliti sengaja menyembunyikan bahwa kehadirannya di tengah-tengah kegiatan zikir tarekat adalah untuk meneliti (Ritzer, Sociology, h. 63) Menurut Ritzer (dalam ibid.), penganut paradigma definisi sosial pada umumnya memandang metode intreview kurang relevan untuk meneliti pemaknaan melalui tindakan yang spontan. Akan tetapi, menurut saya, metode interview dalam kajian ini justeru sangat relevan untuk menopang metode observasi partisipasi, karena pemaknaan atau interpretasi terhadap ritual itu justeru dipahami melalui interview. Untuk menghindari jawaban yang tidak spontan, peneliti bisa melakukannya dengan kreavitas, seperti konfrontasi anonim. Koentjaraningrat, “Metode Wawancara”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 138-139. Ach. Fatchan dan Basrowi, Pembelotan, h. 16.
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
5
Banjarmasin. Majelis tarekat ini merupakan sentra dari sekitar puluhan majelis tarekat Tijaniyah yang tersebar di berbagai wilayah di Kalimantan Selatan, Timur, bahkan sampai Sumatera Selatan, Medan, dan Aceh. Secara khusus, amaliyah zikir dan pengajian tarekat Tijaniyah ini dilaksanakan setiap sore Jum’at hingga malam Sabtu, yaitu setelah salat Ashar hingga menjelang salat Maghrib, kemudian salat Maghrib berjamaah yang diteruskan dengan tausiyah oleh Guru Anshari sampai waktu Isya. Kegiatan amaliyah rutin setiap sore Jum’at ini bagi penganut tarekat Tijaniyah, lazim disebut sebagai haylalah sore Jum’at. Kegiatan ini termasuk dalam rangkaian wirid lazim yang wajib dilaksanakan oleh segenap pengikut tarekat di manapun mereka berada, kecuali jika ada uzur syara’. Kegiatan haylalah ini tepatnya dimulai sekitar jam 17.15 waktu setempat, atau sekitar 1,26 jam sebelum memasuki waktu Maghrib. Adapun ukuran standar pelaksanaan wazhifah dan haylalah sore hari Jum’at ini adalah dengan cara menghitung konsonan kalimat bu’ayd pada syair berikut: ﻭ ﻫﻠﻞ ﺑﻌﻴﺪ ﺍﻟﻌﺼﺮ [berhaylalah lah kamu sedikit waktu setelah salat Ashar (Jumat)]. Kalimat bu’ayd ini ternyata dapat dijadikan bahan ukuran untuk menghitung waktu pelaksanaan haylalah sore Jum’at, penghitungannya dapat dilihat pada tabel berikut:12 Kalimat
Huruf
ﺑﻌﻴﺪ
ب
Nilai 2
ع
70
ي د Jumlah
10 4 86
Angka 86 tersebut menunjukkan angka waktu dalam pelaksanaan wazhifah dan haylalah sore hari Jum’at, yang berarti 86 menit atau 1 jam 26 menit. Dalam survei peneliti, nampaknya aturan waktu ini memang diterapkan secara optimal dalam majelis tersebut. Setelah salat Maghrib berjamaah, para peserta tarekat kemudian mendengarkan pengajian dari Guru Anshari yang memang berlangsung agak lama sehingga salat Isya berjamaah dilaksanakan di majelis tersebut, lebih lambat ketimbang salat Isya yang dilaksanakan di mesjid atau di mushalla sekitar. Sebelum salat Isya, para jamaah diperkenankan untuk berkonsultasi secara khusus kepada Guru Anshari, baik yang menyangkut materi pengajian, persoalan hidup, hingga amaliyah tarekat Tijaniyah itu sendiri. Kesempatan ini ada yang dipergunakan oleh sebagian jamaah, sementara yang lainnya ada pula yang santai beristirahat, atau berbincang-bincang dengan rekan jamaahnya. Selain itu, pengajian ini juga tidak hanya dihadiri oleh para murid tarekat Tijaniyah sendiri, tetapi juga berlaku umum bagi semua orang yang ingin mengikuti pengajian Guru Anshari. Di sini terlihat sikap keterbukaan dan inklusivitas mereka terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Hal ini sebagaimana yang juga dituturkan oleh Guru Ibrahim Anjir, bahwa “jema’ah tarekat Tijaniyah ini terbuka kepada siapa pun 12
Dikutip dari Ibrahim Anjir bin Abdul Kadir [muqaddam Tarekat Tijaniyah], 100 Dialog Tarekat Tijaniyah, (Anjir Pasar: Majelis Ta’lim & Dzikir, 2004), h. 72-73.
6
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
yang ingin turut serta dalam kegiatan yang mereka laksanakan. Jema’ah ini tidak menutup diri, baik dalam mu’amalah, mu’asyarah terlebih dalam amaliyahnya. Karena setiap orang yang Islam itu tentu mempunyai komitmen bersama, yaitu persatuan dan kesatuan dan misi tarekat Tijaniyah berupaya untuk mewujudkan hal itu. Selain itu, dengan adanya kegiatan kelompok ini, akan lebih mudah dalam menyampaikan segala pesan keagamaan.13 1) Pemaknaan Tarekat [Tijaniyah] bagi Kalangan Intelektualnya Pada point ini, diungkap pandangan mereka tentang tarekat yang akan mengklasifikasikan pandangan mereka (semisal pandangan yang mendasarkan pada ajaran normatif, kultural/ budaya, atau rasional). Hal ini menjadi signifikan dalam konteks memotret keberagamaan di tengah pemikiran modern dan mengungkap pendasaran-pendasaran “baru” bagi tarekat yang diberikan oleh kalangan intelektual yang mungkin belum tidak ditemukan dalam pendasaran normatif sebagaimana dalam literatur-literatur klasik tashawuf. Dari survei dan wawancara yang dilakukan peneliti, dapat diketahui bahwa secara umum, kalangan intelektual-lokal lebih memaknai tarekat Tijaniyah mereka sebagai jalan hidup sekaligus solusi kehidupan global yang penuh dengan kompleksitas permasalahan modern. Dewasa ini, bergumulnya sejumlah problema tidak jarang membuat orang menjadi stress, frustasi, pesimis, dan gampang menyalahkan keadaan. Bahkan orang sering melakukan kompensasi dan menenggelamkan diri kepada perilaku destruktif, sehingga bukan ketenangan yang diperoleh, melainkan justru menambah rumit permasalahan yang ada. Begitu pula dengan pelaksanaan ibadah atau ritual keagamaan dan pengetahuan agama, khususnya masyarakat Banjar, kelihatannya luas, akan tetapi ilmu yang diterima masih dangkal, sehingga pengamalan agama yang ada di masyarakat sekarang ini cenderung masih di ‘permukaan’ saja, sementara amalan batinnya masih terkesan ‘kosong dan hampa’. Oleh karena itu, untuk mengatasi problem tersebut, perlu mencari ‘obat batin’ yang dapat diperoleh dari guru-guru tarekat yang mursyid. Dalam hal ini, tarekat Tijaniyah merupakan salah satu alternatif jalan dan solusi kehidupan yang dihadapi masyarakat global. Menurut salah seorang responden intelek, yang juga merupakan pengelola di majelis tarekat tersebut, bahwa sejak kepengikutannya dalam tarekat Tijaniyah, ada semacam paradigma baru yang mewarnai jalan kehidupannya yang memang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau ilmiah. Paradigma tersebut sarat dengan nilai-nilai normatif-transendental, yang menjadikannya bersifat supra rasional, sehingga tidak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah tanpa masuk ke dalam tarekat itu sendiri. Munculnya paradigma baru tersebut, selain karena faktor ‘hidayah’ dari Allah swt., juga lebih dikarenakan adanya faktor daya tarik kharismatik guru tarekat Tijaniyah itu sendiri. Sejak kelulusannya menjadi sarjana agama, responden ini melakukan hal-hal yang umumnya dilakukan sarjana yang baru lulus kuliah, semisal mengajar, bimbingan belajar, dan lain sebagainya. Pertemuannya dengan guru tarekat Tijaniyah itu memang tidak terencana sebelumnya. Namun karena itu sudah merupakan ketentuan dari Allah swt., maka pertemuan dengan syekh mursyid ini membuahkan keingintahuannya untuk 13
Ibrahim Anjir, 100 Dialog Thareqat Tijaniah, h. 73-74.
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
7
mendalami dan menjalani ritual tarekat secara bertahap. Akhirnya, dia tinggalkan sejumlah aktivitas mengajarnya, dan secara khusus dia mengabdi (khidmah) kepada Guru Anshari dengan mengelola majelis tarekat Tîjâniyah tersebut. Di awal-awal pengabdiannya, dia hanya berstatus sebagai bagian pembersihan (cleaning service), namun hal tersebut tidak membuatnya rendah diri. Dengan berkat keuletan dan kesabarannya, akhirnya sekarang dia dipercaya selain sebagai pengelola majelis, juga sebagai pengelola pondok tahfizh al-Qur’an anak-anak yang ada di area majelis tersebut, sekaligus sebagai pengelola madrasah Ibtidaiyahnya.14 Dalam hal ini, peneliti memang tidak dapat menemukan padanan istilah ilmiah yang tepat bagi paradigma normatif-transendental tersebut yang menjadi acuan kalangan intelektual dalam memaknai tarekat Tîjâniyah sebagai jalan hidupnya. Namun kehebatan paradigma ini mampu mengalahkan egoisme intelektualitasnya, sehingga mereka rela mengorbankan segalanya untuk berkhidmat kepada gurunya. Seperti yang dikemukakan responden sebelumnya, bahwa fenomena ini nampaknya juga terjadi pada sejumlah tokoh guru atau muqaddam tarekat Tîjâniyah tersebut yang berdomisili di luar negeri, yang memang sebagiannya juga berasal dari kalangan intelektual. Variabel intelektualitas ini ternyata juga berimplikasi pada sistem pengajian yang dilakukan oleh muqaddam tarekat. Dalam survei peneliti, pengajian tarekat Tijaniyah yang dilakukan Guru Anshari menggunakan fasilitas laptop, tidak menggunakan kitab secara manual seperti yang umumnya dilakukan oleh guru pengajian konvensional. Hal ini tentunya menunjukkan apresiasi guru tarekat terhadap perkembangan Iptek tanpa menafikan adab-adab pengajian itu sendiri. Dalam hal ini, Syafruddin mengemukakan bahwa tarekat Tijaniyah tidak mengajarkan kepasifan, kejumudan, dan keterbelakangan, tetapi sangat mementingkan kemajuan. Upaya lainnya yang dilakukan adalah seperti kesepakatan pembentukan organisasi yang dapat mengurus administrasi tarekat, sehingga seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Menurutnya, tarekat ini memiliki dua bentuk struktur organisasi; keagamaan dan sosial. Bentuk pertama adalah struktur yang mencerminkan hirarki ketarekatan sebagaimana tarekat lainnya, dengan guru mursyid sebagai pemimpin tertinggi. Bentuk kedua adalah sistem organisasi sekuler-profan dan modern yang tetap berada di bawah kontrol sistem ketarekatan.15 Dengan demikian, maka tarekat [Tijaniyah] bagi kalangan intelektualnya lebih dimaknai sebagai religius, dalam arti perpaduan antara doktrin, metode, dan ritual untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. 2) Motivasi Kalangan Intelektual Mengikuti Tarekat [Tijaniyah] Ada sejumlah motivasi yang mendorong para intelektual lokal mengikuti tarekat Tijaniyah, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Motivasi doktrinal: membersihkan diri dari dosa Kompleksitas permasalahan hidup yang melanda sekarang, terkadang dapat menjerumuskan manusia dalam keadaan syubhat [samar], bahkan mungkin perbuatan 14 15
Wawancara dengan Darisan, S.H.I di majelis Tarekat Tijaniyah Banjarmasin, Juli 2011. Syafruddin, Tarekat Tijaniyah di Kalimantan Selatan, tesis, (Banjarmasin: PPs. IAIN Antasari, 2003), h. 183, 187-188.
8
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
yang haram. Oleh karena itu, untuk membersihkan diri dari hal-hal tersebut, menurut mereka hanya dapat dilakukan melalui ritual tarekat. Dengan kata lain, tarekat ini bagi pengikutnya merupakan tumpuan dan pegangan dalam menghadapi persoalan kehidupan yang serba meragukan. Sementara itu, seseorang tidak mungkin mengetahui sesuatu yang halal dan baik kecuali ada yang mengajarkan, yang dalam hal ini adalah guru tarekat (mursyid) itu sendiri. Karena itulah, posisi mursyid menjadi sangat urgen bagi para pengikut tarekat. Hal ini akan terlihat dalam berbagai amalan yang harus dikerjakan setiap hari dari guru yang dijadikan sebagai perantara (wasîlah) dalam berhubungan dengan Allah swt., baik melalui zikir, shalawat, atau do’a-do’a yang diamalkan. b. Motivasi doktrinal: mendekatkan diri kepada Allah Pada umumnya, para penganut tarekat memasuki tarekat tersebut adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. agar mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian hati. Motivasi ini sangat terkait dengan motivasi pertama yang bersifat psikologis keagamaan. Amalan tarekat dianggap sebagai suatu cara yang lebih intensif dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Q.S. Al-Baqarah:186, meskipun dinyatakan bahwa Tuhan adalah dekat dengan hamba-Nya, tidak berarti bahwa setiap orang dengan kemampuan dirinya sendiri bisa mendekatkan diri secara benar kepada Allah. Dalam hal ini, diperlukan mursyid yang hanya satu, dan kecintaan terhadapnya juga tidak boleh diduakan, karena dalam Tarekat Tijaniyyah, di antara syarat menjadi pengikutnya adalah melepaskan semua tarekat yang pernah diikutinya. Dalam tarekat ini, diadopsi pernyataan ‘Abd al-Wahhâb al-Sya’rânî dalam al-Anwâr alQudsîyah, sebagaimana dikutip oleh Ustadz Ibrahim Anjir, orang yang memiliki lebih dari satu guru berarti menduakan (syirk) dalam tarekat, sedangkan orang yang syirk dalam tarekat hanya dibimbingkan oleh setan sebagai syekhnya (man lam yakun lahu ustâdz wâhid, fahuwa musyrik fî al-tharîq, wa al-mausyrik syaikhuh al-syaithân).16 Menurut al-Sya’rânî, “syirk dalam cinta” terhadap guru dilarang. Menurut Ibrahim Anjir,17 dan pernah dijelaskan oleh Darisan, hal itu karena memang sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. al-Ahzâb:4 dan secara logis bisa dipahami bahwa hati manusia hanya bisa menampung satu cinta, “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati di rongga dadanya”. Dengan mengutip penafsiran al-Qurthubî, yang dimaksud dengan ayat ini, tidak mungkin dua keyakinan yang berbeda bisa berkumpul dalam satu hati. Itu artinya adalah bahwa jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menurut Tarekat Tijaniyyah, adalah semua petunjuk dalam tarekat ini yang diikuti secara konsisten, tidak boleh digabung. c. Motivasi rasional-praktis: keutamaan shalawat Fâtih Dalam Tarekat Tîjâniyyah, membaca shalawat merupakan salah satu rukun wirid.18 Bahkan diyakini bahwa shalawat bersama istighfâr yang dibaca sebanyak 100x adalah amanat yang disampaikan oleh Rasulullah saw secara langsung kepada Syekh Ahmad al-Tijânî dalam peristiwa al-fath al-akbar, yaitu pertemuan langsung antara 16 17 18
Ibrahim Anjir, 100 Dialog Thareqat Tijaniah, h. 7. Ibrahim Anjir, 100 Dialog Thareqat Tijaniah, h. 35. M. Yunus A. Hamid, Thariqah at-Tijaniyah dalam Neraca al-Qur`an dan as-Sunnah: Tanya Jawab (Jakarta: Yayasan Pendidian dan Dakwah “Tarbiyah at-Tijaniyyah”, 1430 H), h. 90.
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
9
keduanya pada tahun 1196 H di Qashra Abi Samghun dan Syalalah di bagian timur Gurun Sahara. Rasulullah dikatakan mengamanatkan supaya wirid tersebut ditalqinkan kepada semua orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah.19 Di antara shalawat yang sering dibaca adalah shalawat Fâtih. Bagi pengikut Tarekat ini, shalawat ini tidak hanya sebagai upaya mendekatkan diri dengan Tuhan, berkumpul dengan Rasulullah, dan terhindar dari siksa api neraka, melainkan juga memiliki keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan faedah praktis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam situasi genting. Menurut penuturan Kiai Ahmad Nawawi, pengikut Tarekat Tijaniyyah yang berasal dari Barabai, ketika istrinya mengalami pendarahan mau melahirkan dan harus dibawa ke rumah sakit, dengan keyakinan hati dan selalu membaca shalawat Fâtih, meski tanpa uang yang dipersiapkan sebelumnya, semua biaya persalinan selama dua hari sebesar dua juta rupiah bisa dibayar dari sumber-sumber yang tak terduga sebelumnya. Shalawat Fâtih yang dimaksud adalah versi Ahmad al-Tîjânî yaitu:
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﻔﺎﺗﺢ ﳌﺎ ﺃﻏﻠﻖ ﻭ ﺍﳋﺎﰎ ﳌﺎ ﺳﺒﻖ ﻧﺎﺻﺮ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﳊﻖ ﻭ ﺍﳍﺎﺩﻯ ﺇﱃ ﺻﺮﺍﻃﻚ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢ ﻭ .ﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﺣﻖ ﻗﺪﺭﻩ ﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ
Shalawat Fâtih versi al-Tîjânî berbeda dengan versi Syekh Hasan al-Bakrî berikut:
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭ ﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﻔﺎﺗﺢ ﳌﺎ ﺃﻏﻠﻖ ﻭ ﺍﳋﺎﰎ ﳌﺎ ﺳﺒﻖ ﻭ ﺍﻟﻨﺎﺻﺮ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﳊﻖ ﻭ ﺍﳍﺎﺩﻯ ﺇﱃ 20 .ﺻﺮﺍﻃﻚ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺣﻖ ﻗﺪﺭﻩ ﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ
Shalawat Fâtih versi al-Tîjânî ditulis dengan tenunan bordir indah dan besar, terpampang di depan tempat shalat di Majlis Taklim Guru Anshari. Itu artinya bahwa shalawat ini dianggap sangat penting. K.H. Anshari memiliki penjelasan matematis tersendiri tentang alasan mengapa shalawat ini bisa memberikan keutamaan maksimal bagi orang yang mengamalkannya. Menurutnya, shalawat ini terdiri dari 24 kalimat, sama halnya dengan jumlah kalimat dalam surat al-Fâtihah dan jumlah waktu sehari semalam. Dengan perbandingan ini, ia menyimpulkan “Semoga dalam waktu 24 jam itu, kita semua mendapatkan limpahan rahasia surat al-Fâtihah, dan mendapatkan limpahan madadiyah dan selalu berhubungan dengan baginda Rasulullah siang dan malam (24 jam)”. Dari penamaannya, “Fâtih” yang bermakna “pembuka”, shalawat ini menghimpunkan keutamaan-keutamaan shalawat lain. Menurut Syekh Ali Harazim dalam Jawâhir al-Ma’ânî:
.ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻚ ﺇﺫﺍ ﺻﻠﻴﺖ ﺑﺼﻼﺓ ﺍﻟﻔﺎﺗﺢ ﳌﺎ ﺃﻏﻠﻖ ﺍﱁ ﻣﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﺴﺘﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﺻﻼﺓ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ
Ketahuilah bahwa jika kamu membaca shalawat Fâtih sekali, fadelahnya sama dengan fadelah membaca 600.000 shalawat yang lain. Ibrahim Anjir mengemukakan analogi sederhana dengan CD atau disket. Meski wujudnya kecil, kapasitasnya bisa menyimpan jutaaan lembar buku. Jika dianalisis berbagai penjelasan keutamaan shalawat ini, keutamaan tersebut dimaknai dengan cara beragam. Pertama, penjelasan doktrinal (perspektif tinjauan normatif), misalnya, dengan menjelaskan bahwa shalawat Fâtih merupakan amanat (perintah) Rasulullah kepada Syekh Ahmad al-Tîjânî. Logikanya adalah bahwa segala yang diperintahkan memiliki manfaat dan keutamaan. Kedua, penjelasan “rasional” dengan, misalnya, rasionalisasi jumlah kalimat dalam shalawat yang sama jumlah dengan jumlah kalimat 19 20
Hamid, Thariqah at-Tijaniyah, h. 62. Ibrahim Anjir, 100 Dialog Thareqat Tijaniah, h. 102.
10
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
dalam surat al-Fâtihah dan jumlah waktu sehari semalam. Penjelasan angka yang dikenal akrab di kalangan sufi sebagai simbolisme hurup dan angka bukanlah sesuatu yang asing. Angka memiliki makna penting karena merupakan simbol dari ajaran-ajaran. Penjelasan Syekh Ali Harazim dan Ibrahim Anjir juga bersifat rasionalisasi ajaran. Kalangan pengikut Tarekat Tîjâniyyah meyakini bahwa keutamaan shalawat ini ada yang bisa dijelaskan baik secara doktrinal maupun rasional, dan ada yang tidak bisa dijelaskan (rahasia). Keutamaan yang bisa dijelaskan secara doktrinal: 1. Membaca 1 x dalam sehari dijamin memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat. 2. Membaca 1 x dapat menghapus semua dosa dan memperoleh pahala semua tasbih, dzikir, dan doa yang diucapkan oleh semua orang tua dan muda dan dilipatgandakan sebanyak 600.000 kali. 3. Membaca 1 x lebih setara pahala ibadah wali ‘Ash selama sejuta tahun. 4. Membaca 1 x lebih utama daripada 600.000 kali shalawat yang dibaca oleh para malaikat, manusia, dan jin yang dihitung sejak mereka diciptakan. 5. Ketika membaca kedua kalinya, pembaca juga mendapatkan pahala ketika ia membacanya pada pertama kali. Hal ini pada pembacaan berikutnya. 6. Jika seseorang ingin bermimpi dengan Rasulullah, shalawat ini harus dibaca 1.000 kali pada tiga malam berturut-turut (Rabu, Kamis, Jum’at). d. Motivasi moral: solusi atas problem moralitas masyarakat Menurut KH. Anshari, berzikir sebagaimana diajarkan Tarekat Tîjâniyyah dapat menanggulangi masalah remaja, seperti masalah narkoba. Dzikir dianggap sebagai terapi batiniah, karena dengan demikian pikirannya terfokus pada Allah swt sehingga iman dan pendirian menjadi kuat. Dzikir yang bisa memfokuskan batin pada Tuhan yang disebut bisa mengatasi masalah narkoba adalah dzikir yang memenuhi syarat berikut: 1. Suara dalam keadaan normal dan sendirian, bacaan cukup terdengar oleh telinga si pembaca. Tapi, kalau berjemaah, bacaan harus dikeraskan sesuai keperluan. 2. Harus suci dari najis, baik badan, pakaian, tempat, dan perlengkapan yang dibawa. 3. Harus suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. 4. Harus menutupi aurat sebagaimana dalam shalat. 5. Tidak boleh berbicara. 6. Harus menghadap kiblat (jika wird sendiri, atau bergabung dalam shaf). 7. Harus duduk sempurna, tidak boleh bersandar, kecuali udzur. 8. Harus ijtimâ’ dalam melaksanakan wird wâzifah (setiap hari) dan hailalah sesudah shalat ‘Ashar pada hari Jum’at, apabila di daerahnya ada pengikut (ikhwân).21 Syarat dan adab dzikir ini tampaknya tidak memiliki ciri khas yang prinsipil, jika dibandingkan dzikir dalam tarekat lain, misalnya dalam Kanz al-Ma’rifah berikut: 1. Sebelum berdzikir, terlebih dahulu harus mandi untuk menghilangkan kotoran pada badan. 2. Bersuci dari hadats dengan berwudhu’ dan untuk membersihkan batin dilakukan dengan mengucapkan istigfâr (minta ampun). 3. Memakai pakaian putih dan berkhalwat di tempat yang sepi. 4. Mengerjakan shalat dua raka’at dengan sekali salam untuk memohon taufik dan 21
Hamid, Thariqah At-Tijaniah, h. 177-178.
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
11
hidayah dari Allah swt. 5. Duduk bersila sambil merendahkan diri kepada Allah swt dan menghadap kiblat dengan meletakkan kedua telapak tangan di atas dua lutut, kemudian mengucapkan Lâ ilâha dengan menyakini bahwa wujud diri dan alam semesta bukanlah wujud hakiki. 6. Selanjutnya, membaca illâllâh dengan memejamkan mata dan menyakini bahwa wujud hakiki hanya Allah swt. 7. Setelah dzikir nafy-istbât tersebut, berdzikir dengan menyebut Allâh, Allâh, Allâh dalam hati dan dibiasakan dalam kehidupan setiap hari. 8. Dzikir Allâh berakhir dengan hû dengan suara panjang sambil meresapkan pandangan batin, seakan-akan lenyap diri dan lenyap ingatan selain Allah, termasuk dirinya sendiri. Yang ada dalam kesadaran batin hanya Allah, wâjib al-wujûd.22 9. Setelah siuman dari fanâ’, hendaklah dibaca doa: Allâhumma zidnî fîka tahayyur(an).23 Memahami syarat dan adab dzikir ini menjadi penting untuk mengetahui apakah ada hal spesifik dalam dzikir Tarekat Tîjânîyah yang dikatakan bisa menjadi penanggulang narkoba. Ternyata, tidak ada hal spesifik jika dibandingkan dengan syarat dan adab dzikir dalam Kanz al-Ma’rifah. Misalnya, tidak ada keharusan berpakaian putih atau dzikir yang mengantar kepada fanâ` dalam dzikir Tarekat Tîjâniyyah. Begitu juga, jika dibandingkan dengan dzikir dalam Tarekat Qâdiriyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) yang pusatnya di Suryalaya di bawah asuhan Abah Anom yang selama ini dikenal dengan pusat rehabilitasinya untuk para pencandu narkoba. Dalam TQN diatur dzikir yang keras dengan anggukan kepada dengan fokus pikiran menghunjamkan nama Allah untuk menyerang iblis di dalam hati. Selain itu, shalat tahajjud dan mandi tengah malam juga menadi metode pengobatan kecanduan narkoba. Mandi tengah malam dijelalaskan dalam TQN bisa mengeluarkan sisa-sisa narkoba dalam tubuh, karena dengan mandi pori-pori tubuh menjadi terbuka. Spesifikasi penjelasan dzikir dalam Kanz al-Ma’rifah maupun dalam TQN tidak ditemukan hal yang serupa dalam dzikir Tarekat Tîjânîyah. Oleh karena itu, kita menyimpulkan bahwa tidak ada metode khusus yang diarahkan ke pengobatan kecanduan narkoba, kecuali hanya dalam hal bahwa dzikir, sebagaimana umumnya, bisa membawa ketenangan jiwa, memperkuat keimanan dan pendirian, sehingga orang yang melakukannya secara rutin akan terhindar dari narkoba. e. Motivasi psikologis: mencari ketenangan batin Selain motivasi moral di atas, pengikut tarekat ini ada yang didorong oleh motivasi psikologis, yaitu mencari ketenangan batin. Dewasa ini di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang diliputi oleh kemajuan material dan persaingan hidup, masyarakat sering dihinggapi oleh stres, depresi, keputus-asaan, dan kehilangan orientasi hidup. 22
23
Kanz al-Ma’rifah, h. 2-3. M. Zurkani Jahja, "Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Bidang Teologi dan Tashawuf", paper dipresentasikan pada Seminar Internasional Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan IAIN Antasari dan MUI bekerjasama dengan Pusat Ulama Kedah (PUK), Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), dan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia, di Mahligai Pancasila, Banjarmasin, 4-5 Oktober 2003, h. 22-23 Kanz al-Ma’rifah, h. 5.
12
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Orang yang telah terpenuhi kebutuhan materialnya pun tidak berarti bahwa ia secara otomatis akan merasa bahagia. Begitu juga, jabatan dan gelar akademis tidak secara otomatis menjamin ada ketenangan batin. Dalam konteks itu, Tarekat Tîjâniyyah yang dibimbing dengan dzikir, di bawah kharisma guru, dalam suasana kekeluargaan memberikan iklim ketenangan batin, dan menjadi magnet kuat yang menarik minat tidak hanya kalangan awam, melainkan kalangan berpunya, berpendidikan tinggi, dan memiliki jabatan. K.H. Nawawi, ketika menjelaskan bahwa motivasi mengikuti Tarekat ini adalah untuk bersyukur dan memuji Tuhan, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa ada motivasi psikologis untuk mencari ketengangan batin. Menurut, banyak orang kaya yang tidak bahagia dengan harta kekayaannya. Oleh karena itu, pintu menuju ketenangan adalah bersyukur dan menerima keadaan yang ada. Simpulan Tesis bahwa “intelektualitas mengurangi ketertarikan kepada agama” terbukti tidak benar. Meskipun, selama ini tarekat digambarkan sebagai tradisional, terbelakangan, berkonotasi alam pedesaan, komunitas petani dan pekerja kebun, ternyata tidak seluruhnya benar. Dengan sifat tradisionalitasnya tersebut, tarekat menjadi daya tarik sendiri bagi kalangan intelektual. Mereka dengan latar belakang rasional memasuki dunia tradisional ini dengan motivasi dan pendasaran yang beragam. Ada dua sisi yang saling mengisi. Di satu sisi, kalangan intelektual yang rasional masuk ke tarekat dan memberi pendasaran baru. Di sisi lain, para pengurus tarekat juga memperbarui diri, seperti penggunaan sarana-sarana modern. Hal itu juga dimaksudkan agar mereka bisa diterima oleh khalayak umum, dan tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Motivasi-motivasi yang mendorong ketertarikan dengan tarekat ini ada yang bersifat doktrinal, rasional, moral, dan psikologis. Motivasi ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait, berjalin berkelindan, saling menopang, dalam internalisasi tarekat ke dalam kesadaran individu. Seseorang yang masuk tarekat ini mungkin didorong oleh, misalnya, motivasi doktrinal-psikologis, doktrinal-rasional, atau moral-psikologis. DAFTAR PUSTAKA Anjir, Ibrahim, bin Abdul Kadir [muqaddam Tarekat Tijaniyah], 100 Dialog Tarekat Tijaniyah, Anjir Pasar: Majelis Ta’lim & Dzikir, 2004. Ach. Fatchan dan Basrowi. Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa. Surabaya: Yayasan Kampusina, 2004. Algar, Hamid. "The Naqsyabandi Order: A Preliminary survey of its History and sifnificance", Studia Islamica. Paris : G.P. Maisonneuve-Larose, 1977, vol. 44. Bogdan. Qualitative Researsh for Education: an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon Inc., 1982. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat :Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung : Mizan, 1995. Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung : Mizan, 1998. Garret, William R. "Troublesome Transcendence: The Supernatural in the Scientific
Saifudin, Wardani, dan Dzikri Nirwana
Tarekat dan Intelektualitas
13
Study of Religion". Sociological Analysis. No. 35, h. 168-170. Geertz, Clifford. Islam Observed: Religious Development In Marocco and Indonesia. Chicago: Chicago University Press, 1971. Geertz, Clifford. Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia. Chicago: Chicago University Press, 1971. Koentjaraningrat. “Metode Wawancara”. Dalam Koentjaraningrat (ed.). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989. Makdisi, George. "The Hanbali School and Sufism", Religion, Law and Learning in Classical Islam. Great Britain: Variorum, 1991. Martin, Richard C. “Scholarship and Interpretation”. Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson: The university of Arizona Press, 1985. Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2004). Ritzer, George. Sociology: a Multiple-Paradigm Science, disadur oleh Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Sjadzali, Munawir. “Religion and Society in Modern World”, makalah dipresentasikan pada Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, LIPI, 29-31 Mei 1995. Sjamsuddin, Helius. “Islam and Resistance in South and Central Kalimantan in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries”, M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian Social Context, Annual Indonesian Lectures Series No. 15, 1989. Syafruddin. Terekat Tijaniyah di Kalimantan Selatan (Studi Sejarah dan Motivasi Masyarakat Masuk Tarekat). Tesis. Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2003. Tim peneliti IAIN Antasari. Unsur-unsur Islam dalam Sejarah Perang Banjar (1859-1905). Banjarmasin: Puslit, 1994. Umar, Muhammd S. “Elizabeth Sirriyeh dalam Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking, and Rejection of Sufism in the Modern World”. Dalam Journal of Islamic Studies, Oxford University Press, vol. II, nomor I, Januari 2000, h. 76-78. Wardani. “Kajian Keislaman di Kalimantan Selatan (Sebuah Catatan Awal)”. Jurnal Kebudayaan KANDIL, Edisi II, No. 2 September 2003, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan [LK-3], Banjarmasin. Yunus, Abd. Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta : INIS, 1995.
14
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
AL-BANJARI, hlm. 15-26
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 15
PENGAJIAN TASAWUF K.H. MUHAMMAD RIDWAN BASERI DI MAJELIS TAKLIM AL-HIDAYAH HULU SUNGAI SELATAN (Telaah Karisma dan Tasawuf Modern) Zulkifli Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud Kandangan Email: zulkiflialhafi
[email protected]
Abstract This study focused on the figure of KH Muhammad Ridwan Baseri who is popularly known as Guru Ridwan Kapuh. This figure is a charismatic ulama in Hulu Sungai Selatan regency, South Kalimantan, in the study of Sufism. This research is a field research using descriptive analysis and sociological approach which refers to behavioral aspects implemented in Al-Hidayah located in Kapuh Simpur, Hulu Sungai Selatan. This study explained that Guru Ridwan Kapuh is the descendant of Datu Kalampayan, and the student of Guru Sekumpul Martapura. Sufism gives a strong color to Guru Ridwan’s life. He teaches the book of tasawuf in accordance with the present context, for example mahabbah, trust, ascetic/zuhud in the present context. Keywords: Charismatic ulama, Tasawuf Modern. Pendahuluan Tasawuf sering kali dianggap sebagai salah satu metode alternatif yang banyak digunakan manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, baik dengan penanaman sifat-sifat terpuji maupun melalui ritua-ritual zikir (tarekat). Tasawuf mempunyai relevansi dan signifikansi dengan problema manusia modern, karena secara seimbang tasawuf memberikan kesejukan batin dan disiplin syariat sekaligus. Di sisi lain, tasawuf juga dapat dipahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf Akhlaki dan dapat memuaskan dahaga intelektual melalui Tasawuf Falsafi.1 Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf, akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Fakta sejarah mengatakan bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau telah berulang kali pergi ke gua Hira untuk mengasingkan diri, di samping untuk menghindari dari perilaku penduduk Mekkah yang menyembah berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakikat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak puasa dan ibadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.2 Aktifitas tersebut dianggap oleh para sufi sebagai bagian dari ajaran tasawuf. 1 2
Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. (Semarang: Rasail Media Group, 2010), h. 83 Moh. Saifullah Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), h. 149
16
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Ketika para nabi sudah tiada, maka tugas para nabi tersebut menjadi tugas para ulama.3 Ulama sebagai penerang ke jalan yang benar, merupakan obor yang menerangi, bahkan dikatakan ulama sebagai hati masyarakat. Apabila rusak hati tersebut, maka rusaklah seluruh tubuh. Perbaikan dan bimbingan khususnya berkaitan dengan agama, tidaklah mungkin didapatkan dari orang awam, tetapi tentu dari ulama. Oleh karena itu, mereka dianggap sebagai contoh utama dalam perbuatan dan tingkah laku pergaulan, tutur kata dan sebagainya.4 Di Kalimantan Selatan Khususnya di Desa Kapuh Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan, masyarakat sangat mengenal dengan sosok K.H. Muhammad Ridwan Baseri yang populer dengan sebutan Guru Duan atau Guru Kapuh, karena beliau merupakan salah satu ulama kharismatik di Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang juga memiliki Majelis pengajian yang cukup besar dan banyak memiliki jama’ah. Majelis ta’lim tersebut mengambil tempat di Masjid Al-Hidayah, sehingga secara otomatis Majelis tersebut juga diberi nama Al-Hidayah. Adapun yang menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian terhadap aktifitas pengajian tersebut adalah : K.H. Muhammad Ridwan Baseri merupakan figur yang cukup dikenal luas oleh masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan merupakan zuriat (keturunan) Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan salah satu murid K.H. Muhammad Zaini Ghani. Pengajian yang beliau sampaikan secara kontinyu bernuansa tasawuf dan menggunakan kitab-kitab tasawuf serta banyaknya jama’ah yang mengikuti pengajian tersebut secara kontinuitas dan cukup berperan dalam pembinaan masyarakat dan sebagai alternatif pencerahan rohani. Meskipun materi tasawuf yang ia ajarkan bersifat modern, walaupun kitab-kitab yang dibaca adalah kitab-kitab tasawuf klasik. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Majlis Ta’lim Al-Hidayah yang terletak di Desa Kapuh Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Majelis Ta’lim ini mengambil tempat di ruang induk Masjid Al-Hidayah yang diperluas dengan ruang terbuka di pelataran Masjid sehingga bisa menampung lebih banyak jama’ah, dan juga di rumah K.H Muhammad Ridwan Baseri yang berdampingan dengan masjid tersebut, tak ketinggalan sekolah-sekolah yang didirikan dan dipimpin oleh K.H Muhammad Ridwan sendiri, baik Pondok Pesantren maupun Madrasah yaitu dua buah pondok pesantren, satu buah Madrasah Ibtdaiyah dan satu buah Madrasah Tsanawiyah yang masih dalam tahap pembangunan.5 Teknik pengumpulan data yang akan diterapkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lapangan lainnya yaitu : 1. Observasi, yakni pengamatan atau penglihatan. Mengamati dalam rangka mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial keagamaan dengan mencatat 3
4 5
Mirhan AM., K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura Kalimantan Selatan (1942-2005), Cet. Ke-2, (Banjarmasin: Antasari Press, 2014), h. 2 Ibid…., h. 4. Wawancara dengan Ust. Muhammad Yusran, Guru di Pondok Pesantren Minhajul Abidin (salah satu Pondok Pesantren milik K.H Muhammad Ridwan)
Zulkifli
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri
17
atau merekam untuk menemukan data analisis.6 Dalam hal ini lokasi penelitian yang akan diobservasi adalah Majelis ta’lim Al-Hidayah Desa Kapuh Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan jama’ah yang mengikuti pengajian di tempat tersebut. Observasi yang akan dilakukan sifatnya partisifan, yakni penulis terlibat langsung mengikuti pengajian, kemudian mencatat dan merekam setiap kegiatan di Majlis tersebut. Karena kegiatan pengajian yang dilaksanakan oleh K.H. Muhammad Ridwan Baseri adalah peristiwa yang masih berlangsung, maka observasi diarahkan ke Majelis ta’lim Al-Hidayah, meliputi : figur K.H. Muhammad Ridwan Baseri, aktivitas pengajiannya, materi pengajiannya dan jama’ah yang hadir. 2. Wawancara, yakni pengumpulan sumber data melalui lisan. Data yang dikumpulkan bersifat kualitatif tentang pendapat orang, arti-arti tertentu, pemahaman terhadap situasi dan realitas.7 Dalam hal ini penulis memilih informan utamaadalah K.H. Muhammad Ridwan Baseri, panitia dan petugas Majlis serta jama’ah pengajian. Wawancara juga dilakukan kepada beberapa murid-muridnya serta kepada sahabat dan keluarga dekatnya yang mengetahui tentang perjalanan hidupnya. Materi wawancara difokuskan pada riwayat hidup, kepribadian, aktifitas dan kesan-kesan terhadap figur K.H. Muhammad Ridwan Baseri. 3. Dokumentasi, yakni pengumpulan sumber melalui tulisan-tulisan, buku-buku, catatan-catatan maupun sumber internet, termasuk di dalamnya berupa foto-foto dan rekaman dalam bentuk video maupun suara. Dokumentasi merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian,yang semuanya itu memberikan informasi bagi proses penelitian. Bahan dokumentasi itu berbeda dengan literatur, dimana literatur merupakan bahan-bahan yang diterbitkan sedangkan dokumentasi adalah informasi yang disimpan sebagai bahan dokumenter.8Untuk itu data yang dikumpulkan berupa foto dan rekaman K.H. Muhammad Ridwan Baseri, foto dan rekaman kegiatan pengajian dan foto lokasi pengajian, termasuk dari media cetak dan media online. Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data (data reduction), sajian data (data display), dan merumuskan kesimpulan (conlusion of drawing/verification). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang ada pada catatan di lapangan, yang berguna untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dibuat. Sajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun sehingga akhirnya dapat kesimpulan. Sajian data merupakan sejumlah informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang tersusun secara logis dan sistematis, bila dibaca akan mudah dipahami dari pelbagai hal yang terjadi. Dengan melihat sajian data akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh dalam 6
7
8
Imam Prayogo, Tobrani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya, 2001), h. 167 Keith F. Punch, Introduction to Social research Qualitative and Quantitative Approach, (London: SAGE Publication, 1998), h. 190 M. Burhan Bungin,Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. (Jakarta: Kencana,2008), h. 121
18
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
menganalisis atau mengambil kesimpulan. Sedangkan perumusan kesimpulan adalah proses pembuatan simpulan kajian agar dapat dilakukan verifikasi, sehingga yang sebelumnya belum jelas akan menjadi jelas berdasarkan fakta di lapangan.9 Hasil Penelitian Guru Ridwan merupakan seorang ulama karismatik yang ada di Desa Kapuh Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Hal ini dinilai dari riwayat kehidupan ia hingga sekarang yang merupakan keturunan Datu Kalampayan, dan riwayat pendidikannya yang berlatarbelakang pesantren. Ia pernah belajar dari Guru Sekumpul yang juga merupakan ulama karismatik di Kalimantan Selatan. Kekarismatikan itu dibenarkan dengan adanya pengakuan dari pengikut atau jama’ah, dan itu terjadi pada sosok Guru Ridwan dengan banyaknya jama’ah yang hadir dipengajiannya baik laki-laki atau perempuan, muda ataupun tua, serta kesan dari para habib, ulama, pejabat, dan masyarakat umum. Kekharismatikan K.H. Muhammad Ridwan Baseri tidak terlepas dari latar belakang dia yang pernah berguru dengan K.H. Muhammad Zaini Ghani (Guru Sekumpul), dan setiap bulan Rajab di Majelis Ta’lim Al-Hidayah ini juga mengadakan peringatan Haul Guru Sekumpul yang dihadiri ribuan jama’ah, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu juga faktor adanya silsilah dia yang terhubung dengan garis keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau istilah orang Banjar “Zuriat Datu Kelampayan”. Guru Ridwan memiliki watak kesufian sangat kental dalam kehidupannya walaupun di zaman yang modern sekarang ini. Pengajian tasawuf yang ia ajarkan merupakan tasawuf modern, karena dalam perilaku kehidupannya ia termasuk ulama yang juga mempunyai bisnis dan memiliki beberapa sekolah dengan bermacammacam tingkatan. Dalam pengajiannya ia menjelaskan pembahasan yang ada dalam kitab tasawuf sesuai dengan keadaan sekarang seperti pengertian tentang mahabbah yang ia ibaratkan dengan pengakuan cinta seorang laki-laki ke seorang perempuan, yang mana hal ini banyak terjadi di zaman sekarang. Adapun pengertian tentang tawakkal. Guru Ridwan mengartikan tawakal dengan bukanlah tawakal itu pasrah tanpa berbuat apa-apa karena meyakini akan bagian rezeki yang sudah ditentukan baginya sebagaimana pemahaman dari sebagian para sufi terdahulu, tapi juga tetap berusaha/bekerja tetapi dengan jalan amaliah/ibadah. Demikian pula dengan zuhud, Guru Ridwan mengajarkan prinsip zuhud yaitu boleh saja memiliki harta benda dunia tapi tidak sampai menjadi tujuan hidup tetapi hanya sebagai sarana penunjang dalam beribadah, ia mengajarkan “jadikan dunia itu di tanganmu bukan di hatimu”. 1. Karisma dan Tasawuf Modern a. Karisma Karisma adalah pemberian Tuhan. Karismatik adalah sifat seorang figur yang mempunyai karisma dan merupakan pemberian Tuhan. Dalam kamus bahasa Indonesia, karisma adalah keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan 9
Keith F. Punch, Introduction to Social research Qualitative and Quantitative Approach,.. h. 203-204
Zulkifli
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri
19
atau rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya, atau kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Karisma merupakan karunia Roh Kudus yang luar biasa yang diberikan kepada orang beriman supaya melayani umat.10 “karismatik” adalah sifat seseorang yang mempunyai karisma, mempunyai kualitas tertentu bagi seorang individu yang menyebabkan dirinya berbeda dengan orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang mendapat karunia sifat adikodrati, adimanusiawi atau kekuatan dan kualitas yang sangat luar biasa. Karismatik adalah individu luar biasa yang berbeda dengan orang lain, ia menjadi teladan sebagai seorang pemimpin dan mempunyai pengikut serta mendapat pengakuan masyarakat.11 Max Weber sangat memahami fakta bahwa dinamika sosial berasal dari berbagai kekuatan sosial, tidak urung ia menempatkan banyak penekanan pada kemunculan para pemimpin karismatik.Weber mengartikan kharisma adalah gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Oleh karena itu, karisma menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugrah yang membuat dia berbeda. Gerakan-gerakan mereka berapi-api, dan dalam antusiasme luar biasa semacam itu hambatan kelas dan status melapangkan jalan bagi semangat persaudaraan dan sentimen komunitas yang meluap-luap. Karena itu, para pahlawan dan nabi-nabi karismatik dipandang sebagai kekuatan revolusioner sejati dalam sejarah.12 Karisma yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus itu melekat pada orang tersebut karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia pada umumnya.13 Dalam analisa Max Weber terdapat tiga ciri khas pokok yang menggambarkan karisma. Karisma adalah sesuatu yang “luar biasa”, yakni sesuatu yang sangat berbeda dari dunia sehari-hari; ia bersifat “spontan” sangat berbeda dengan bentuk-bentuk sosial yang stabil dan mapan dan merupakan suatu sumber dari bentuk serta gerakan baru, dan karena itu dalam arti sosiologis dia bersifat “kreatif”.14 b. Tasawuf Modern Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat modern, dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah adalah dengan cara mengembangkankehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Menurut Husien Nasr, paham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat Barat), karena mereka mulai merasakan kekekringan batin. Mereka mulai 10 11 12
13 14
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 509. Mirhan, K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani…., h. 18. Max Weber, Essay in Sosiology, diterjemahkan oleh Noorkholish dan Tim Penerjemah Promothea, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 62. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Ed. Baru 42, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 244. Thomas F.O’dea, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Rajawali Press, 1996), h. 43-44.
20
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah yang mereka hadapi. Sementara bagi mereka selama berabad-abad Islam dipandang dari isinya yang legalistik formalitas – tidak memiliki dimensi esoteris (batiniah) – maka kini saatnya dimensi batiniah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif.15 Setiap agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Kenyataan itu setidaknya dapat ditelusuri pada agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Dalam Islam, keagamaan yang bersifat mistik (mistisme) dikenal dengan nama tasawuf. Kaum orientalis menyebutnya sufisme. Jadi, istilah sufisme khusus dipakai untuk mistisme dalam Islam. Sufisme, sebagaimana mistisme dalam agama lain, bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Instisari dari mistisme—termasuk sufisme—adalah kesadaran akan adanya komunikasi ruhaniah antara manusia dengan Tuhan melalui kontemplasi. Kontemplasi itu sendiri, dalam setiap agama berbeda-beda, baik istilah maupun tingkah laku formalnya.16 Jadi jelaslah bahwa artikulasi khazanah Islam yang berupaya menyelaraskan dengan modernitas diperjuangkan penuh dengan semangat di dunia Islam. Artikulasi ini juga semakin diapresiasi di Barat, karena arti penting upaya itu dalam masyarakat Islam. Meskipun demikian, tradisi sufi Islam, yang meliputi metafisika, disiplin etika, ibadah, musik, syair dan pengalaman mistis, tidak begitu luas dianggap selaras dengan kehidupan modern, baik dalam komunitas Muslim sendiri atau pun oleh para ilmuwan sosial mencoba memahami hubungan antar agama dan modernisasi.17 2. K.H. Muhammad Ridwan Baseri Nama lengkapnya Muhammad Ridwan lahir di Desa Kapuh pada tanggal 7 Januari 1965, ayahnya bernama H. Hasan bin Baseri, ibunya bernama Hj. Jauhar binti H. Athaillah bin H. Abdul Qadir bin H. Sa’duddin atau H. Muhammad Tayyib Taniran (yang dikenal dengan Datu Taniran) bin H.M. As’ad bin Puan Syarifah bin Syekh H. Muhammad Arsyad Al-Banjari.18 Sejak kecil ia telah didik oleh orang tuanya dengan pendidikan agama, baik secara langsung oleh orang tuanya sendiri maupun melalui guru mengaji yang ada di desa tempat tinggalnya. Orang tuanya dikenal masyarakat sekitar sebagai tokoh yang sering memberikan ceramah dan khutbah, sehingga masyarakat menyebutnya dengan Tuan Guru H. Hasan Baseri.Walaupun orang tuanya termasuk golongan orang yang mampu namun Muhammad Ridwan tidak serta merta bergantung kepada finansial orang tuanya. Selain cerdas ia juga merupakan anak yang sangat menaati kepada orang tuanya, salah satu bukti kepatuhannya ia tidak membantah pilihan sekolah yang diarahkan orang tuanya, sehingga disetiap sekolah yang ia masuki, ia manfaatkan untuk menimba ilmu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana anak-anak lainya Muhammad Ridwan juga mengenyam pendidikan formal, pada usia 7 tahun orang tuanya memasukkan pendidikan dasar di SDN Kandangan dari kelas 1 hingga kelas 6 lulus pada tahun 1979. Sehabis SD ia pun masuk 15
16 17 18
M. Noor Fuady, Implementasi Ajaran Tasawuf di Era Modern, (Banjarmasin: Institut Agama Islam Negeri Antasari Program Pascasarjana, 2002), h. 36. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 206. Martin Van Bruinessen dan Julia Day Howell, Urban Sufism, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 4. Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016
Zulkifli
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri
21
ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Amawang selama 3 tahun dan lulus pada tahun 1982. Selesai mengenyam pendidikan formal, ia pun dikirim orang tuanya ke Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Jawa Timur untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di sana ia gunakan kesempatan untuk memperdalam pengetahuan agama Islam melalui kitab-kitab kuning, sehingga semua bidang ilmu seperti Fiqih, Tauhid, Tasawuf, Tafsir, Hadits dan lain-lain dapat ia kuasai dengan baik dan lulus pada tahun 1986.19 Setelah lulus dari Pondok Pesantren Gontor dan kembali ke kampung halaman, K.H. Muhammad Ridwan tidak langsung mengajar, tetapi sempat berdomisili di Sampit Kalimantan Tengah untuk mencari pekerjaan, namun tidak berlangsung lama kurang 3 tahun karena tidak terbiasa dengan lingkungan sekitar, akhirnya pada tahun 1989 ia pulang ke Kandangan dan kembali memperdalam pengetahuan Agama dengan mengikuti pengajian-pengajian ulama lokal, dalam istilah Banjar “mengaji baduduk”. Lalu pada tahun 1992 ia pun melanjutkan mengaji kitab ke Martapura kepada K.H. Muhammad Zaini Gani (Guru Sekumpul). Selama di Martapura, selain menimba ilmu K.H. Muhammad Ridwan Baseri juga sempat mengajar di Sekolah Menengah Islam Hidayatullah (SMIH) Martapura dan Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) Martapura sampai tahun 1998. Di Sekumpul inilah ia mendapatkan bimbingan tasawuf dan menjalani suluk melalui tarekat dan amalan-amalan sufi dari Guru Sekumpul. Setelah di Martapura sekitar 6 tahun ia pulang ke kampung halaman dan mengajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Amawang Kecamatan Kandangan serta membuka pengajian di Masjid Al-Hidayah samping rumahnya dan mengisi pengajian di beberapa tempat (masjid/mushalla), sambil terus menimba ilmu dengan tetap mengikuti pengajian K.H. Muhammad Zaini Ghani yang saat itu sudah berpindah lokasi ke Mushalla Raudhah Sekumpul.20 K.H. Muhammad Ridwan belajar Al-Qur’an kepada K.H. Hurairah (dikenal dengan sebutan Guru Hurai) bin K.H. Muhammad Aini Al-Hafizh desa Pandai Kecamatan Kandangan. Pada masa itu Guru Hurai adalah satu-satunya Qari yang fasih dalam membaca Al-Qur’an dan menjadi rujukan Tajwid Al-Qur’an bagi masyarakat Hulu Sungai Selatan, di mana murid-murid beliau banyak yang menjadi Qari-Qari terkenal, minimal memiliki bacaan Al-Qur’an yang bagus, termasuk di antaranya K.H. Muhammad Ridwan dari Kapuh. Walaupun ia tidak termasuk orang yang hapal Al-Qur’an, namun saat membacakan dalil ayat Al-Qur’an sangat bagus dan lancar, terkadang jika ragu-ragu meminta koreksi kepada jama’ah kalau ada kesalahan bacaan. Di masa remajanya, Muhammad Ridwan dikenal baik, tidak nakal, cerdas dalam belajar dan gigih dalam menuntut ilmu, sehingga bukan hanya ilmu-ilmu agama yang ia kuasai tapi juga ilmu-ilmu umum. Selain itu, ia aktif juga berorganisasi di masyarakat. K.H. Muhammad Ridwan Baseri menikah dengan seorang perempuan bernama Hj. Nailah. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai lima orang anak, dua laki-laki, 3 perempuan yaitu : Ahmad Fauzan, Khafifah, Khalilah, Rahel Maryam dan Muhammad Zein Ihsan. 19 20
Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016 Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016
22
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Menurut jama’ah pengajian bahwa K.H. Muhammad Ridwan Baseri adalah ulama yang konsisten antara perkataan dan perbuatan, watak kesufian sangat kental dalam kehidupannya walaupun di zaman yang modern sekarang ini. Oleh karena itu, walaupun ia tidak mengarang kitab tentang tasawuf, namun ajaran tasawufnya dapat dilihat dari kehidupan spritualnya dan dapat didengar dari pengajiannya. Jadi sumber yang penulis kumpulkan tentang ajaran tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri, adalah melalui rekaman pengajiannya baik yang direkam oleh jama’ah maupun dari media Youtube dan postingan (kiriman) grup Facebook “Jama’ah Guru Kapuh” serta dari catatan-catatan penulis saat mengikuti pengajian di Majelis Taklim Al-Hidayah, inti ajaran tasawufnya sebagai berikut : a. Tentang Tasawuf Tasawuf adalah buah dari tauhid, atau bisa juga dikatakan tasawuf adalah pengamalan dari tauhid. Inti dari ajaran tasawuf adalah adab, adab kepada Allah, adab kepada Rasulullah dan adab kepada makhluk Allah. Orang yang baik adabnya secara tidak langsung ia telah bertasawuf, jika adab yang baik itu terus ditingkatkan, akan menyampaikan kepada Allah. Sebaliknya orang yang jahat adabnya karena tidak mengamalkan tasawuf akan semakin jauh dari Allah, bahkan orang yang asalnya sudah sampai kepada Allah, akhirnya akan menjauh dari Allah karena su’ul adab (jahat perilaku) kepada salah satu yang tiga, karena tidak mencerminkan orang yang bertasawuf.21 b. Tentang Makrifat Secara hakikat, sejak Allah menciptakan makhluk, Dia sudah memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya agar makhluk itu mengenal diri-Nya sebagai Tuhan. Oleh karena itu manusia sudah seharusnya makrifat (kenal) kepada Allah SWT karena Dia sendiri yang menghendaki untuk dikenal, jadi beribadah kepada Allah tidak perlu berniat karena ingin makrifat kepada-Nya, tetapi karena sudah menjadi ketentuan yang harus dilakukan. Dalam Hadits Qudsi Allah berfirman : 22
(ﻗﺎﻝ ﻛﻨﺖ ﻛﻨﺰﺍ ﳐﻔﻴﺎ ﻓﺄﺭﺩﺕ ﺃﻥ ﺃﻋﺮﻑ ﻓﺨﻠﻘﺖ ﺍﳋﻠﻖ ﻷﻥ ﺃﻋﺮﻑ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻦ ﺳﻬﻞ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ
Jadi Tuhan memperkenalkan dirinya kepada makhluk tidak seperti hulul dan ittihad. Adapun jalan untuk menuju makrifat itu ada tiga : 1) ibadah, 2) mujahadah dan 3) riyadhah. Sedangkan tingkatan orang yang makrifat ada dua : 1) ada yang tahu bahwa ia kenal dengan Allah dan 2) ada yang tidak tahu bahwa ia telah kenal dengan Allah.23Jika seseorang sudah makrifat kepada Allah berat lidahnya untuk mengungkapkan bagaimana rasanya kenal dengan Allah, sebagaimana ungkapan para ”ﻣﻦ ﻋﺮﻑ ﺍﷲ ﹼ24 sufi "ﻛﻞ ﻟﺴﺎﻧﻪ c. Tentang Mahabbah Mengutip perkataan K.H. Muhammad Zaini Ghani (Guru Sekumpul) tentang prinsip mahabbah, yaitu : " ﻻ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﺍﻟﻌﻤﻞ,ﺔ"ﻃﺮﻳﻘﺘﻨﺎ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﺍﶈﺒ.Maksudnya, seorang hamba beribadah atau beramal karena mahabbah(cinta) kepada Allah, bukan karena ingin memperbanyak amal. Orang yang beribadah karena mahabbah tidak akan mengharap 21 22 23 24
Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 10 Maret 2016 Ali Al-Qari, Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-mashabih, Maktabah Syamilah h. 356 Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 25 Feberuari 2016 Ibid.
Zulkifli
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri
23
gantian (balasan) dalam beramal. Sebesar apa mahabbah kita kepada Allah sebesar itu pula mahabbah Allah kepada kita, kalau Allah sudah mahabbah kepada hamba-Nya, apapun akan diberikannya, sebagaimana cinta orang tua kepada anaknya, cinta suami kepada istrinya, cinta seorang lelaki kepada seorang wanita, dan sebagainya.25 d. Tentang Zuhud Prinsip zuhud “letakkan dunia di tanganmu bukan di hatimu”. Secara umum, dunia itu meng-hijab (mendinding) seseorang dari Allah, tetapi ada juga orang yang tidak ter-hijab oleh dunia tergantung bagaimana seseorang itu memandangnya. Orang yang memandangnya secara zahir maka akan tertipu oleh dunia, sebaliknya orang yang memandangnya secara batin justru akan menambah keimanannya dan menjadikan orang masuk maqam makrifat. Sebab orang yang tidak ter-hijab dari Allah karena dunia dan akhirat disebut ‘Arif, sedangkan orang yang tidak ter-hijab dari Allah karena akhirat disebut ‘Abid.26 Mencari dunia (bekerja) hendaknya diniatkan untuk ibadah, tapi bukan berarti hanya dengan bekerja seseorang sudah dianggap beribadah, sehingga meninggalkan ibadah yang wajib maupun yang sunat, seperti kebanyakan anggapan orang sekarang “aku bagawi seharian sudah kada parlu lagi sambahnyang, aku bagawi ini gasan nafkah wajib keluarga jadi ibadah jua”(saya sudah sehari penuh bekerja tidak perlu shalat lagi, saya bekerja untuk menafkahi keluarga sudah termasuk ibadah juga). Itu adalah anggapan yang keliru, orang yang bekerja untuk ibadah bukan dengan jalan meninggalkan atau mengurangi ibadah, justru ibadahnya malah semakin banyak.27 e. Tentang Tawakal Segala macam usaha (pekerjaan) memang seharusnya dilakukan, tetapi tidak bergantung ke situ, bersandarnya tetap kepada Allah yang memberi rezeki, sebab jika menyandarkan segala usaha termasuk amal kepada selain Allah, maka akan menjadi sebab seseorang akan ter-hijab dari Allah. Menyandarkan segala usaha kepada Allah itulah tawakal. Dengan tawakal usahanya senantiasa halal dan menjadi ibadah, jadi kewajiban seorang muslim selain menuntut (mencari) ilmu juga menuntut rezeki yang halal, sebagaimana hadits Nabi SAW : 28
(ﻃﻠﺐ ﺍﳊﻼﻝ ﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ
Tawakal bagi orang awam adalah kompas untuk mendapatkan asbab, dengan tawakal ia yakin semua makhluk sudah ditentukan kadar rezekinya masing-masing, sehingga dalam mencari dunia berada di jalan tengah dalam artian tidak terlalu santai dan tidak pula terlalu keras (bahimat : Banjar), karena sekeras apapun seseorang bekerja, kalau kadar rezekinya sedikit, maka sedikitlah yang ia dapatkan, sebaliknya ada seseorang yang bekerja tidak terlalu keras justru lebih banyak penghasilannya, karena kadar rezekinya memang banyak. Oleh karena itu perkuatlah ibadah walaupun sedikit mendapat rezeki.29 25 26 27 28 29
http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, mahabbah, 1 Agusutus 2015 Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 3 Maret 2016 Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 3 Maret 2016 At-Thabrani, Mu’jam Al-Ausath, (Maktabah Syamilah) h. 272 Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 17 Maret 2016
24
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
f. Tentang Mujahadah Mujahadah yang paling besar adalah berperang melawan hawa nafsu, karena nafsu sifat ingin yang enak-enak dan yang mudah saja, itulah keinginan yang disukai hawa nafsu, di sekitar itulah ia memfokuskan pandangannya, namun cenderung mengajak berbuat kejahatan untuk menuruti keinginan-keinginannya tersebut. Sebagaimana firman Allah Q.S. Yusuf : 53,
.....ﻲﻮﺀ ﺍﻻﹼ ﻣﺎ ﺭﺣﻢ ﺭﺑﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺴﻔﺲ ﻷﻣ ﺍ ﹼﻥ ﺍﻟﻨ.....
Dengan demikian nafsu merupakan salah satu yang mendinding seorang hamba dari Tuhannya, karena jika keinginan nafsu selalu diperturutkan akan membuat sesorang sibuk untuk mengejar apa yang diinginkan oleh nafsu.30 Tujuan mujahadah adalah untuk menundukkan nafsu bukan membunuh nafsu, kemudian membimbingnya sekedar memenuhi hasrat manusiawi, kalaupun harus mematikannya, maka cukup dengan melumpuhnya sebagaimana orang yang dibius, seperti mati tapi sebenarnya tidak mati agar mudah mengarahkan sesuai keinginan kita. g. Tentang Rububiyah dan Ubudiyah Rububiyah artinya sifat-sifat ketuhanan seperti maha besar, maha kuasa, maha tahu, sedangkan Ubudiyah artinya sifat-sifat kehambaan seperti memiliki ilmu, memiliki harta, memiliki kekuatan/kekuasaan, memiliki kecerdasan dan sebagainya. Jika seorang hamba tidak kuat takwanya kepada Allah maka sifat kehambaannya akan mengadosi sifat-sifat ketuhanan, yakni dengan apa yang dimilikinya tersebut membuatnya menjadi orang yang takabur, uzub, riya dan lain-lain. Sifat-sifat ketuhanan itu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya oleh hamba selama apa yang dimilikinya tersebut masih ada di hatinya. Dengan ketakwaan, seorang hamba akan terbuka hijab melihat sifat-sifat ketuhanan yang hakiki, barulah bisa hilang sepenuhnya sifat-sifat itu dalam diri hamba dan tinggallah sifat-sifat yang baik seperti tawadhu, khusyu, taat dan lain-lain karena sudah hilang penyebab sifat-sifat rasa memiliki. Orang yang terbuka hijab tersebut ada yang menyaksikannya ketika di dunia dan ada juga ketika di akhirat (surga).31 h. Tentang Wali Di antara tanda kewalian adalah sering mendapat busyra (kabar gembira) dari Tuhanmelalui mimpi atau melalui ilham atau bisikan malaikat. Orang-orang yang mendapat ilham (bisikan dalam hati) khususnya para wali, tidak mungkin ada bisikanbisikan yang jahat. Walaupun setiap manusia kadang-kadang mendapat bisikan seolaholah ada yang berbicara di telinganya, namun tidak semua bisa dikatakan wali, karena belum tentu itu dari Malaikat, bisikan-bisikan yang terlintas itu disebut khatir, ada yang baik dan ada yang jahat, khatir yang baik dari Malaikat sedangkan khatir yang jahat dari nafsu dan syaitan.32 Oleh karena itu, wali-wali Allah apabila menyampaikan sesuatu pasti akan terjadi, karena dia sudah mendapatkan ilham maupun khatir dari Malaikat yang disebut dengan khatir rabbani. Orang yang percaya dan yakin dengan perkataan wali, ia termasuk 30 31 32
http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, Mujahadah An-Nafs, 31 Januari2016 http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, Sifat Tuhan dan Hamba, 9 Agustus 2015 Kutipan pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 14 April 2016
Zulkifli
Pengajian Tasawuf K.H. Muhammad Ridwan Baseri
25
golongan shiddiq, sebaliknya orang yang tidak percaya dengan ucapan wali termasuk golongan munafik. Simpulan Dari hasil data yang diperoleh tentang karisma dan tasawuf modern, studi tokoh Guru Ridwan, maka dapat disimpulkan 1. Karisma adalah keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan atau rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya, atau kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. 2. Tasawuf modern adalah ilmu tentang moralitas untuk membersihkan batin agar dekat dengan Allah SWT, dengan konteks modern. Jadi pengembangan tasawuf berdasarkan dengan keadaan zaman sekarang, untuk memberikan pemahaman yang lebih mudah bagi masyarakat Islam yang telah banyak berubah keadaannya dari zaman dahulu, sehingga mudah untuk mengamalkannya. 3. Guru Ridwan adalah ulama di Desa Kapuh Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Guru Ridwan merupakan ulama terkenal tidak hanya di daerah Kandangan, tapi juga di daerah sekitar seperti Tapin. Guru merupakan ulama karismatik karena mendapat pengakuan dari jama’ah yang jumlahnya banyak dan terdiri dari daerah manapun di sekitar Kalimantan Selatan. Para Habib, ulama besar yang lainnya pun pernah berkunjung ke tempat Guru Ridwan, tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Begitu juga dengan para pejabat, dari bupati hingga gubernur Kalimantan Selatan. . 4. Tasawuf Guru Ridwan merupakan tasawuf modern, karena penjelasannya dalam pengajian tasawuf selalu dikaitkan dengan keadaan zaman sekarang, sebagaimana dengan pengertian tasawuf modern dan pengajiannya juga telah menjangkau ke dunia digital (internet). Daftar Pustaka Ali Al-Qari, Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-mashabih, Maktabah Syamilah. At-Thabrani, Mu’jam Al-Ausath, (Maktabah Syamilah). Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000). Imam Prayogo, Tobrani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya, 2001). http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, mahabbah, 1 Agusutus 2015 http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, Mujahadah An-Nafs, 31 Januari2016 http://m.youtube.com, pengajian guru kapuh, Sifat Tuhan dan Hamba, 9 Agustus 2015 Keith F. Punch, Introduction to Social research Qualitative and Quantitative Approach, (London: SAGE Publication, 1998). Martin Van Bruinessen dan Julia Day Howell, Urban Sufism, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
26
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Max Weber, Essay in Sosiology, diterjemahkan oleh Noorkholish dan Tim Penerjemah Promothea, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). M. Burhan Bungin,Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. (Jakarta: Kencana,2008). Mirhan AM., K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura Kalimantan Selatan (19422005), Cet. Ke-2, (Banjarmasin: Antasari Press, 2014). Moh. Saifullah Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998). M. Noor Fuady, Implementasi Ajaran Tasawuf di Era Modern, (Banjarmasin: Institut Agama Islam Negeri Antasari Program Pascasarjana, 2002). Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. (Semarang: Rasail Media Group, 2010). Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 10 Maret 2016 Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 25 Feberuari 2016 Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 3 Maret 2016 Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 14 April 2016 Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 3 Maret 2016 Pengajian K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 17 Maret 2016 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Ed. Baru 42, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Thomas F.O’dea, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Rajawali Press, 1996). Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002). Wawancara dengan Ust. Muhammad Yusran, Guru di Pondok Pesantren Minhajul Abidin Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016 Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016 Wawancara dengan K.H. Muhammad Ridwan Baseri, 11 Maret 2016
AL-BANJARI, hlm. 27-56
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 27
PERUBAHAN NILAI BUDAYA URANG BANJAR (DALAM PERSPEKTIF TEORI TROOMPENAAR)1
Imadduddin Parhani Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Email:
[email protected] Abstract The study about Cultural Values of Urang Banjar (Banjarese) has not been done much. This study refers to the dimension of cultural values addressed by Troompenaar. According to Troompenaar, cultural values have seven dimensions; individualism - Communitarism, specific Relationship - Diffuse relationship, Universalism - Particularism, Neutral Relationship - Emotional Relationship, Achivemenent - ascription, Sequential time - Synchoronous time, and the Environment. The results of research conducted by Troompenaar in Indonesia indicate that Indonesia is in the category of Communitarism, Diffuse relationship, Particularism, Neutral Relationship, ascription, Synchoronous Time and Outter Direction. In this study, the data was collected through questionnaires which had been previously prepared using Troompenar’s dimensions of cultural values. The total sample was 192 people. This study focused on urang Banjar, and their cultural values. The results of this study showed that the cultural values of urang Banjar are included in the category of universalism ( 78.13 percent), Komunitariasme (79.17 percent), Emotional (73), Specification ( 54.17 percent), Achievement(76.04 percent) synchronous (69,79 percent), and Outter direction (83.33 percent). There is also a difference or shift in cultural values in Banjarese society from Indonesian cultural values; from particularism into Universalism, from Neutral into Emotional, from Diffuse to be Specific, and of ascription into Achievement. The difference or shift in cultural values that occurred in Urang Banjar is caused by an ongoing process of social change in Banjarese society. Keywords: Cultural Values, Urang Banjar, Dimensions of Cultural Values, Social Change.
1
Tulisan ini merupakan Pengembangan dari makalah yang pernah di presentasikan pada Konferensi International: Transformasi Sosial dan Intelektual Orang Banjar Kontemporer pada Tanggal 9 -10 Agustus 2016 di Hotel Aria Barito Banjarmasin. Kalimantan Selatan
28
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Pendahuluan Keanekaramagaman budaya yang ada di Indonesia sebenarnya adalah sebuah kekayaan dan bukan sebuah kemiskinan. Bahwasanya Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti bahwa Indonesia tidak memiliki jati diri. Akan tetapi dengan adanya keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat Indoensia memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa apabila jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia2. Kebudayaan atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict (1934)3, melihat kebudayaan sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia dan yang membedakannya dengan kelompok lain. Sejumlah ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah perilaku dan penyesuaian diri manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari/learning behavior. Kebudayaan juga dapat dipahami sebagai suatu sistem ide/gagasan yang dimiliki suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut4. Sedangkan sistem budaya itu sendiri dapat dikatakan sebagai seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang diacu untuk menata, menilai, dan menginterpretasikan benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupannya. Nilai-nilai yang menjadi salah satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam suatu masyarakat5. Budaya Nasional adalah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat bangsa tersebut sejak zaman dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan bangsa tersebut dan memberi identitas warga, serta menciptakan suatu jati diri bangsa yang kuat. Sifat khas yang dimaksudkan di dalam kebudayaan nasional hanya dapat dimanifestasikan pada unsur budaya bahasa, kesenian, pakaian, dan upacara ritual. Unsur kebudayaan lain bersifat universal sehingga tidak dapat memunculkan sifat khas, seperti teknologi, ekonomi, sistem kemasyarakatan, dan agama. Kebudayaan nasional sesungguhnya dapat berupa sumbangan dari kebudayaan lokal. Jadi, sumbangan beberapa kebudayaan lokal tergabung menjadi satu ciri khas yang kemudian menjadi kebudayaan nasional6. Konsep kebudayaan Indonesia dibangun oleh para pendahulu kita. Konsep kebudayaan Indonesia disini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif. Nilai2
3 4 5 6
Syarif Moeis, Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2009) h. 1 Ibid h. 3 Konjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) h 40 Syarif Moeis, Pembentukan...h. 3 Ibid, h. 3
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
29
nilai itu terdapat dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana sifat/ciri khas kebudayaan suatu bangsa Indonesia7. Nilai Budaya Nasional pada dasarnya masih memerlukan pengkajian yang mendalam dan memerlukan penelitian lanjutan seperti apakah nilai budaya tersebut ketika berada di dalam kontek lokal atau nilai budaya lokal. Setidaknya terdapat 2 (dua) penelitian awal tentang nilai budaya nasional yang pernah dilakukan di Indonesia, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (1983) dan penelitian yang dilakukan oleh Troompenaar (1997)8. Troompenaar membagi 5 orientasi hubungan yang mengarahkan pada cara-cara dimana oang menyesuaikan satu sama lainnya, serta 2 sikap yang mengarah pada waktu dan lingkungan. Merujuk pada hasil penelitian Troompenaar9, maka apabila dilihat dari dimensi-dimensinya maka Indonesia secara umum memiliki kategori Communitarism, Diffuse relationship, Particularism, Neutral Relationship, Ascription,syncronous, dan Outer Direction. Secara lengkap, pengelompokan budaya antar bangsa sebagai yang telah diteliti oleh Troompenaar tersebut dapat dilihat pada tabel 1, pada tabel tersebut posisi nilai budaya nasional Indonesia berdasarkan pada dimensi-dimensi budaya nasional menurut Troompenaar dapat dibandingkan dengan nilai budaya negara lain. Tabel. 1 Pengelompokan Budaya Berdasarkan Penelitian Troompenaar Dimensi nilai N o
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Amerika Inggris Jepang Tiongkok Indoensia Hongkok Singapura Argentina Meksiko Venezuela Brasil Perancis Belgia Spanyol Italia
Individ ualism e X X
Comm unitari sm
Specifi k
Diffuse
X X X X X X X
X X X X X
Particu larism
X X X X X X X X X X
X X X
Univer salism
X X X
X X X X X X X X
Neutra l
X
X X
X X X X X X
Ascri ption
X X X X X
X
X X X X X X
X X X X
X
Achiev ement
X X
X X X X X
Emotio nal
X
X X
X
Sumber: Troompenaar dan Turner10, Dayakisni dan Yuniardi11 Penelitian ini lebih menfokuskan kepada “Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar”, penelitian ini bukan berarti akan memunculkan keprimordialan daerah. Penelitian ini justru akan memberikan sumbangan informasi untuk melihat kekayaan Nilai Budaya 7
8
9 10 11
Junus M Melalatoa, Sistem Budaya Indonesia (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indoensia dengan PT. Pamator, 1997) h 102. Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h. Ibid h 20-100 Ibid h 20-100 Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2012). h 63-64
30
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Nasional dengan menggunakan persfektif lokal, yaitu persfektif Urang Banjar. Kategori dimensi nilai budaya yang meliputi individualism - Communitarism, Specifik Relationship – Diffuse relationship, Universalism – Particularism, Neutral Relationship Emotional Relationship, Achivemenent – Ascription, Sequential time Synchoronous time, dan The Environment sudah dihasilkan oleh penelitian Troompenaar12. Berbasis dimensi tersebut akan dilakukan interpretasi dan pembuatan prosisi hubungan dimensi nilai budaya nasional tersebut dengan nilai budaya Banjar. Mengingat bahwa sampai saat ini belum ada penelitian maupun tulisan yang mengkaitkan nilai budaya nasional dengan nilai budaya Banjar maka tulisan ini akan berusaha mengetahui: bagaimana skor dimensi nilai budaya Banjar yang didasarkan kerangka berpikir dimensi nilai budaya Troompenaar? Dan bagaimana hubungan antara skor dimensi nilai budaya Banjar baru yang dihasilkan dengan nilai budaya nasional dan nilai budaya Banjar pada masa lampau. Tulisan ini merupakan penelitian awal yang mengarah pada usaha untuk menghadirkan gambaran tentang perubahan nilai budaya berbasis budaya Banjar yang dapat memberikan gambaran objektif tentang budaya Banjar itu sendiri. Penelitian ini memberikan kontribusi positif dalam kerangka penelitian di bidang Psikologi Lintas Budaya yang akan banyak meneliti tentang pengaruh aspek budaya terhadap praktikpraktik bermasyarakat, manajemen dan organisasi di suatu budaya, etnis, dan wilayah yang dalam hal ini adalah budaya Banjar Sekelumit Tentang Urang Banjar Menurut Idwar Saleh13, Banjar bukanlah suku karena tidak adanya kesatuan etnik. Banjar hanyalah grup atau kelompok besar, yang terdiri dari kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan kelompok Banjar Banjar Pahuluan. Kelompok pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura, kelompok kedua tinggal di sepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Sungai Barito sampai Kelua dan kelompok yang ketiga tinggal di kaki Pegunungan Meratus yang memanjang dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan etnik Maanyan, dan kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Senada dengan hal di atas, menurut Alfani Daud14, etnis Banjar adalah penduduk asli sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan 12
13
14
Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 20 M. Idwar Saleh, Sekilas Mengenal Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad 19. (Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan, 1986) h 10 Alfani Daud, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997) h 38.
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
31
belakangan maka terbentuklah setidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Jawa dan asal Dayak. Sesuai dengan geografi politik tradisional, Banjar adalah juga sebuah nama kerajaan Islam yang pada awalnya terletak di Banjarmasin. Dalam proses pembentukan Kerajaan Banjar Masih dengan Pelabuhan perdagangan yang disebut orang Ngaju sebagai Bandar Masih (Bandarnya orang Melayu) dijadikan sebagai Ibukota Kerajaan Banjar yang kemudian menjadi Banjarmasin15. Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke 19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar. Pada akhir abad ke 19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara sepihak mengumumkan proklamasi penghapusan kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang berhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo (Residentiz Zuider en Osterafdeling Van Borneo). Sejak itulah bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lain disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar16. Nama Banjar diperoleh karena mereka sebelum dihapuskan pada tahun 1860 adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada saat berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke daerah pedalaman, terakhir di Martapura. Nama tersebut akhirnya menjadi baku dan tidak berubah lagi17. Islamisasi Banjarmasin yang berlangsung sejak abad ke 15 hingga abad ke 19 secara nyata telah menghasilkan potret baru di kawasan selatan, tengah dan tenggara Kalimantan (Borneo) yang menyangkut manusia Banjar secara keseluruhan. Secara dinamis Islam telah melakukan transformasi reliogisitas dan kultural masyarakat Banjarmasin, dari beragama Kaharingan dan Hindu-Budha kepada agama Islam. Transformasi reliogisitas dan kultural berlangsung secara menyeluruh dalam lingkup kawasan aliran sungai, dataran rendah dan pegunungan serta pantai sehingga transformasi lambat laut dialami komunitas etnis Melayu, Jawa, Dayak, Ngaju, Maanyan, Bukit, dan Lawangan yang secara amalgamasi mendapat sebutan baru sebagai ‘Urang Banjar’ atau ‘Etnis Banjar’18. Orang Islam identik disebut Melayu, orang-orang Dayak yang masuk Islam disebut masok Melayu. Orang Dagang adalah Urang Banjar, sedangkan Urang Banjar adalah orang Islam, orang Islam dan Urang Banjar adalah orang Melayu. Mulai dari pagi hari hingga tengah malam, ajaran agama Islam mengatur kehidupan umatnya dengan berbagai pelaksanaan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnat. Tata cara makan dan minum serta hukum-hukum makanan dan minuman yang dibolehkan 15
16
17
18
Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007) h 3. A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah. (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1995/1996) h 3 Akh. Fauzi Aseri, dkk, Alfani Daud: Riwayat dan Pemikirannya, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009) h 117-118 Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin Abad ke-15 Sampai Ke-19. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016) h 402-403
32
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
atau diharamkan telah diatur dalam hukum Islam. Hak dan kewajiban suami isteri, hubungan perkawinan juga diatur dalam hukum Islam. Pendeknya, hukum Islam telah menjadi sebuah pembeda19. Menarik untuk disimak hasil penelitian Alfani Daud yang berjudul “Pembenihan serta Pemupukan Tata Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga Indonesia untuk daerah Kalimanatan Selatan. Adapun temuan-temuan penelitian tersebut antara lain adalah berkenaan dengan makna hidup, nilai yang sudah membaku dalam masyarakat Banjar ialah “hidup untuk bekerja”, dan “hidup untuk beramal ibadah”. Secara umum terdapat perbedaan pola tata nilai orang tua dan pola tata nilai remaja. Sehingga dapat dikatakan nilai-nilai ini secara mantap telah berhasil diteruskan oleh para generasi orang tua kepada generasi remaja. Tetapi bila dilihat per komunitas, nampaknya ada pergeseran nilai, tetapi hanya berkenaan dengan nilai “hidup untuk beramal-ibadah”. Dalam komunitas kota besar nilai ini yang dikalangan orang tua berada dalam kelas “agak kuat” bergeser menjadi “lemah” dikalangan remaja. Keadaan sebaliknya terjadi dalam komunitas kota kecil. Sedang dalam komunitas pedesaan nilai “hidup untuk beramal-ibadah” dikalangan orang tua turun menjadi “lemah” dikalangan remaja20. Di bawah ini akan disampaikan beberapa unsur filsafat hidup etnis Banjar, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif21: 1. Baiman. Yaitu setiap Urang Banjar meyakini adanya Tuhan/Allah. Setiap individu etnis Banjar selalu disuruh untuk mempelajari tentang rukun iman dan melaksanakan dengan rajin kelima rukun Islam. Bila belum mempelajari tentang keimanan dan rukun Islam ini dianggap keberagamaan orang Banjar belum sempurna. 2. Bauntung. Urang Banjar harus punya keterampilan hidup. Jadi Urang Banjar dari kecil sudah diajari keterampilan kejuruan, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat dilingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari asal Urang Banjar tersebut misalnya orang Kelua punya keahlian menjahit, orang Amuntai punya keahlian membuat lemari, orang Alabio punya keahlian sebagai pedagang kain, Negara punya keahlian sebagai pedagang emas, membuat gerabah, membuat perahu/kapal, orang Mergasari punya keahlian sebagai pembuat anyaman, orang Martapura punya keahlian berdagang batu-batuan. 3. Urang Banjar selalu di ajari life skill atau keterampilan agar hidup bisa mandiri. Urang Banjar harus bekerja terus menerus, karena setiap kali selesai suatu tugas, tugas lain telah menanti. 4. Batuah. Arti berkah atau bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Urang Banjar sebagai pemeluk agama Islam, tentu akan mengamalkan ajaran secara baik, yaitu agar hidupnya membawa kebaikan bagi orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi Urang Banjar dalam tatanan masa lalu maupun saat ini selalu diharapkan agar hidupnya berguna bagi dirinya, keluarga dan orang banyak. Agar bisa berguna bagi masyarakat, maka Urang Banjar harus 19 20 21
Ibid h 402-403 Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar (Banjarmasin : Antasari Press, 2015) h 13 Ibid h 33-38
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
33
memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat dan beramal kebajikan. 5. Cangkal. Yaitu ulet dan rajin dalam bekerja. Urang Banjar harus bekerja keras untuk menggapai cita-cita, sehingga di masa lalu mereka suka merantau. Sifat cangka dalam bekerja adalah salah satu identitas orang Banjar. Dalam pandangan Urang Banjar bekerja harus maksimal, berdoa dan bertawakal kepada Allah SWT, sehingga hidupnya akan bahagia di dunia dan akhirat. 6. Baik Tingkah laku. Yaitu Urang Banjar dalam pergaulan sehari-hari harus menunjukkan budi pekerti yang luhur agar dia disenangi orang lain. Dengan kata lain, Urang Banjar harus pandai beradaptasi dengan lingkungan di mana dia bertempat tinggal. 7. Kompetitif individual. Yaitu orang Banjar terkenal sebagai pekerja keras dalam menggapai cita-citanya tetapi bekerja sendiri-sendiri tidak secara kolektif, sehingga Urang Banjar tidak mampu membangun suatu poros kekuatan ekonomi atau politik di pentas nasional. Urang Banjar cenderung memiliki sifat individual dan ego yang tinggi sehingga susah diatur. 8. Materialis pragmatis. Gaya hidup Urang Banjar saat ini dikarenakan pengaruh globalisasi dengan trend hidup yang materialis-pragmatis, sehingga pola hidup Urang Banjar sangat konsumtif. Disisi lain, gaya hidup anak muda Banjar dalam memilih kerja, lebih mengutamakan kerja kantoran yang berdasi atau karyawan supermarket daripada pedagang kecil dengan modal sendiri dan mandiri. 9. Sikap qanaah dan pasrah. Urang Banjar selagi muda adalah pekerja keras untuk meraih cita-citanya, tapi kalau sudah berhasil dan sudah tua hidupnya santai untuk menikmati hidup dan beribadah kepada Allah untuk mengisi waktu. 10. Haram manyarah dan waja sampai kaputing. Yaitu pantang manyarah dan tegar pendirian. Kata hikmah di atas diungkapkan oleh Pangeran Antasari dalam rangka memperkuat motivasi pasukannya menghadapi pasukan penjajah Belanda. Urang Banjar mempunyai pendirian yang kuat untuk mempertahankan keyakinan atau yang diperjuangkannya, sehingga tidak mudah goyang atau terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang dihadapi. Nilai Budaya Nilai merupakan sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Nilai yang muncul tersebut dapat bersifat positif apabila akan berakibat baik, namun akan bersifat negatif jika berakibat buruk pada objek yang diberikan nilai22. Nilai menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu yang baik. Nilai-nilai tersebut dapat saling berkaitan membentuk suatu sistem dan antara yang satu dengan yang lain saling koheren dan mempengaruhi segi kehidupan manusia. Dengan demikian, nilai-nilai berarti sesuatu yang metafisis, meskipun berkaitan dengan kenyataan kongkret. Nilai tidak dapat kita lihat dalam bentuk fisik, sebab nilai adalah harga sesuatu hal yang harus dicari dalam proses manusia menanggapi sikap manusia yang lain23. 22 23
Munandar Sulaiman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 1992) h 19 Mardiatmaja, Tantangan Dunia Pendidikan. (Jogyakarta: Kanisius, 1986) h 105
34
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Menurut Koentjoroningrat24, nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya merupakan lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat dalam menentukan seseorang berperikemanusiaan atau tidaknya. Menurut Koentjaraningrat25, nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia. Masih menurut Koentjoroningrat26, suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakukan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih kongkrit seperti aturan-aturan khusus, dan nilai budaya tersebut. Koentjoroningrat27 mengungkapkan bahwa nilai budaya dikelompokkan ke dalam lima pola hubungan, yakni: 1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, 2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, 3) nilai budaya dalam hubungan manusia dan masyarakat, 4) nilai budaya dalam hubungan mansuai dengan orang lain atau sesama, 5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Menurut C. Kluckhom dan Stradbeck, F.L28, sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu: 1. Hakekat hidup manusia: hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern. Ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula dengan polapola kelakuan tertentu. 2. Hakekat karya manusia: setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, untuk hidup, kedudukan/kehormatan, gerak hidup untuk menambah karya. 3. Hakekat waktu manusia: hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda-beda, orientasi masa lampau atau untuk masa kini. 4. Hakekat alam manusia: ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengekploitasi alam, ada juga yang harus harmonis dengan alam atau manusia menyerah kepada alam. 5. Hakekat hubungan manusia: mementingkan hubungan antar manusia baik vertikal maupun horizontal (orientasi pada tokoh-tokoh). Ada pula berpandangan individualis. 24 25 26 27 28
Koentjorongrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) h 8-25 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987) h 85 Koentjorongrat, Kebudayaan...h 3 Koentjorongrat, Kebudayaan...h 4 Kluckhon, F.R dan Stradtbeck, F.L, Variations in value orientation, (Evanston: Row Peterson, 1961) h 5
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
35
Apabila kita mendiskusikan nilai-nilai budaya maka orientasi kita tidak harus melihat ke masa lalu dan cenderung mengabaikan manfaatnya pada masa yang akan datang. Kita perlu mendiskusikan nilai-nilai budaya apa saja yang perlu digali, dikembangkan atau direkayasa sebagai pembentuk sebuah karakter (watak, akhlak, dan kepribadian) budaya agar dapat menopang kemajuan sebuah kesejahteraan. Sebaliknya juga pemahaman akan nilai-nilai budaya ini memberikan gambaran kepada nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang layak untuk dihilangkan atau dirubah karena jika terus dikembangkan akan menghambat sebuah kemajuan. Nilai Budaya Troompenaar Salah satu pendekatan untuk studi budaya adalah melalui identifikasi dan pengukuran dimensi budaya, dan beberapa tipologi orientasi dimensi budaya pada saat ini telah dikembangkan. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai model dimensi budaya yang mempunyai pengaruh terhadap nilai budaya. Morden29 (1999:19-44) mengidentifikasi bahwa ada tiga kategorisasi dalam budaya yaitu singles dimensions models, multipledimension model dan historical social models. Sebagaimana yang tergambar dalam tabel berikut ini: Tabel 2: Model Nilai Budaya Model Single Dimension
Multiple Dimension
Sumber Hall (1990) Lewis (1992) Fukuyama (1995) Hofstede (1980, 1983)
Dimensi Budaya Hight Contex-Low Context Monochronic-Polychronic High Trust-Low Trust Powe Distance Individualism-Collectivism Masculinity-Feminity Uncertainly Avoidance
Hampter-Turner & Troompenaars (1994)
Universalism-Particularism Analyzing-Integrating Individualism-Commonitarianism Inner directed – Outer Directed Time as Sequence – Time as Sycchronization Achieved Status –Ascribed Status
Lessen & Neubeuer (1994)
Pragmatism-Humanism Rationalis-Humanism Relationship to Nature Time Orientation Basic Human Nature Activity Orientation Human Relationship Space
Kluckholn & Strodbeck (1961)
29
T. Morden. 1999. Models Of National Culture-A Management Review. Cross Cultural Management(An International Journal 6 (1). Hal 19-44
36
AL-BANJARI
Historical-Social
Bloom, Calori & de Woot (1994 Chen (1995
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 Euromanagement Model South East Asian Management Model
Di antara sekian banyak studi dan teori tentang nilai budaya tersebut salah satunya yang diakui besar pengaruhnya adalah teori nilai yang disusun oleh Trompenaar dari Belanda Dimensi budaya dari Troompenaar paling populer dalam studi pengaruh nilai budaya dalam bidang manajemen dan diakui secara luas sebagai cultural framework yang penting dalam menjelaskan perbedaan budaya antar bangsa. Studi yang dilakukan oleh Troompenaar adalah studi yang cukup lengkap menjelaskan dimensi nilai budaya mulai dari segi konseptual hingga pengukuran dalam bentuk indikator-indikator30. Trompenaar melakukan penelitian selama lebih dari 10 tahun dengan menyebar kuesioner pada lebih dari 15.000 manajer dari 28 negara. Penyusunan teorinya didasarkan kepada orientasi nilai dan orientasi relasi/hubungan yang telah dikenalkan oleh sosiolog Talcott Parsons31. Secara lebih rinci tentang uraian dimensi-dimensi nilai dari Trompenaar adalah sebagai berikut32 33 34: 1. Universalism versus Particularsm (Apa yang lebih penting, aturan atau hubungan?) 2. Universalisme adalah keyakinan bahwa ide-ide dan praktek-praktek dapat diterapkan dimana saja tanpa dimodifikasi. Sedangkan partikularisme adalah keyakinan bahwa lingkungan sekitar mendiktekan bagaimana ide-ide dan praktek-praktek seharusnya diterapkan. 3. Dalam budaya dengan dimensi universalisme yang tinggi di tandai adanya fokus pada aturan-aturan formal daripada hubungan. Sebaliknya dalam budaya dengan dimensi partikularisme yang tinggi, fokus lebih pada hubungan dan kepercayaan daripada aturan-aturan formal, kontrak legal hampir selalu dimodifikasi menyesuaikan dengan keadaan bahkan hampir selalu merubah cara –cara dimana kesepakatan itu dilaksanakan 4. Individualism versus communitarism (Apakah kita berfungsi dalam kelompok atau sebagai individu?) 5. Yang dimaksud dengan individualisme adalah orang-orang yang menggangap diri mereka sebagai individu yang otonom, sementara communitarism mengacu pada orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok. 6. Neutral versus Emotional (Apakah kita menunjukkan emosi?) 7. Budaya neutral adalah suatu budaya dimana emosi selalu dalam pengontrolan. Individu di budaya ini mencoba untuk tidak memperlihatkan perasaan mereka; mereka bertindak dengan mengendalikan emosi dan mempertahnkan ketenangan. 30 31 32 33
34
Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2012). h 59 Ibid h 59 Ibid h 59 Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 20 -100 Tim Indohun, Pedoman Aplikasi Soft Skill One Health, (Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tahun Tidak Ada) h 83
Imadduddin Parhani
8. 9.
10. 11.
12. 13.
14. 15.
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
37
Sementara budaya emosional adalah budaya dimana emosi-emosi diekpresikan secara terbuka dan spontan/alami. Orang-orang di budaya ini cenderung untuk tertawa lebar, berbicara dengan keras ketika keheranan dan selalu memberi salam dengan antusias. Specific versus Diffuse (Seberapa terpisah kehidupan pribadi dan pekerjaan kita) Budaya khusus (spesific culture) adalah budaya dimana individu-individu memiliki ruang publik yang luas yang siap mereka bagi dengan orang-orang lain dan ruang pribadi yang sempit yang mereka jaga secara ketat dan dibagi hanya dengan temanteman akrab. Sementara budaya kabur (diffuse culture) adalah budaya dimana baik ruang publik dan ruang pribadi adalah sama ukurannya dan individu-individu menjaga ruang publik mereka secara hati-hati, karena masuk ke dalam ruang publik akan membuka masuk kedalam ruang pribadi juga. Achivement versus Ascription (Apakah status diperoleh dengan membuktikan diri atau merupakan pemberian?) Dimensi ini mengacu pada pertanyaan apakah status seseorang diberikan berdasarkan agama, asal usul, atau usia, atau apakah status merupakan pengakuan terhadap kinerja individu yang telah terbukti. Budaya prestasi (Achivement culture) adalah budaya dimana orang-orang memberi status berdasarkan pada sejauhmana kualitas (baiknya) mereka menampilkan fungsi mereka. Sedangkan Ascription culture adalah budaya dimana status diatribusikan berdasarkan pada siapa atau apakah orang itu. Budaya prestasi memberikan status tinggi kepada mereka yang prestasinya tinggi. Sedangkan ascription culture memberikan status berdasarkan pada usia, gender, atau koneksi sosialnya. Sequential time versus synchronous time (Apakah kita melakukan hal-hal satu per satu atau beberapa hal sekaligus?) Dalam budaya dengan pendekatan sequential adalah umum bahwa orangorang cenderung untuk melakukan hanya satu aktivitas dalam satu waktu, mempertahankan janji dengan ketat, dan menunjukkan pilihan yang kuat untuk mengikuti rencana-rencana sebagaimana yang telah ditetapkan dan tidak menyimpang dari rencana itu. Sementara dalam budaya dengan pendekatan synchronous, individu cenderung untuk melakukan lebih dari satu aktifitas pada satu waktu, janji adalah kira-kira dan kemungkinan dirubah pada saat waktu tertentu, dan penjadwalan pada umumnya di bawah kepentingan hubungan dan dibolehkan untuk melakukan interupsi atas skedul itu. The Environment (apakah kita mengontrol lingkungan atau dikontrol oleh lingkungan?) Perhatian khusunya adalah diarahkan kepada bagaimana mereka memiliki keyakinan dalam mengendalikan atau mengontrol hasil (inner directed) atau membiarkan sesuatu di luar diri mereka mengendalikan dirinya (outer directed). Orang-orang dengan budaya pengendalian internal cenderung untuk mengidentifikasi diri dengan mekanisme, yaitu, organisasi dipahami sebagai sebuah mesin yang mematuhi kehendak operatornya. Orang-orang di budaya kontrol eksternal cenderung melihat organisasi itu sendiri sebagai produk alam, yang berkembang karena adanya nutrisi dari lingkungannya dan keseimbangan
AL-BANJARI
38
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
ekologi yang menguntungkan. Profil Responden Total sampel dalam penelitian yang diperoleh adalah 192. Berikut ini adalah ringkasan profil responden sebagaimana dalam tabel-tabel berikut:
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 3: Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan Jumlah Pegawai Negeri Sipil 53 Pegawai Swasta 46 Pedagang 10 Pelajar/Mahasiswa 46 Petani/Peternak 9 Ibu Rumah Tangga 16 Tidak Bekerja 12 Total 192
Persentase 27,60 23,96 5,21 23,96 4,69 8,33 6,25 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari Pegawai Negeri Sipil (27,60 persen) kemudian disusul oleh Pegawai Swasta dan Pelajar/Mahasiswa (masing-masing 23,96 Persen).
No
Tabel 4: Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah
Persentase
1
Laki-laki
76
39,58
2
Perempuan Total
116 192
60,42 100
Jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel di atas dimana terdapat 76 lakilaki (39,58 Persen) serta perempuan berjumlah 116 orang (60,42 Persen). Sedangkan tingkat pendidikan responden terlihat dalam tabel dibawah ini yaitu terdapat 2 responden bergelar doktor, 17 responden orang bergelar magister, 59 berpendidikan strata 1, dan 87 berlatar pendidikan SMU.
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 5: Pendidikan Pendidikan Jumlah Doktoral/S3 2 Strata 2/S2 17 Sarjana/S1 59 SMU/SMK 87 SMP/SLTP 12 SD/ 15 Tidak Tamat SD 0 Total 192
Persentase 1,04 8,85 30,73 4,31 6,25 7,81 0,0 100
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
39
Sedangkan berdasarkan posisi komunitas, maka komunitas terbesar adalah berasal dari Komunitas Kota Besar yaitu sebanyak 106 orang (55,21 Persen) disusul Komunitas Kota Kecil 46 orang (23,96 Persen) dan Komunitas Pedesaan adalah 40 orang (20,83 Persen)
No 1 2 3
Tabel 6: Komunitas Komunitas Jumlah Kota Besar 106 Kota Kecil 46 Pedesaan 40 Total 192
Persentase 55,21 23,96 20,83 100
Apabila ditinjau dari kelompok usia maka dominan berasala dari kelompok Dewasa yaitu sebanyak 114 orang (59,38 persen), dan Remaja sebanyak 78 orang (40,63 persen). Sebaran data dapat dilihat pada tabel di bawah ini
No 1 2
Tabel 7: Kelompok Usia Kelompok Usia Jumlah Remaja 78 Dewasa 114 Total 192
Hasil Perhitungan Skor Dimensi Nilai Budaya Banjar 1. Universalisme versus Partikularisme Dimensi Jumlah Universalisme 150 Partikularisme 42 Total 192
Persentase 40,63 59,38 100
Persentase 78,13 21,88 100
Urang Banjar masuk dalam kategori Universalisme dengan prosentase 78,13 persen 2. Individualisme versus Komunitarisme Dimensi Jumlah Individualisme 40 Komunitarisme 152 Total 192
Persentase 20,83 79,17 100
40
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Urang Banjar masuk dalam kategori Komunitarisme dengan prosentase 79,17 persen 3. Netral versus Emosional Dimensi Neutral Emotional Total
Jumlah 51 141 192
Persentase 26,56 73,44 100
Urang Banjar masuk dalam kategori Emotional dengan prosentase 73,44 persen 4. Spesifik versus Difusi Dimensi Spesific Difusi Total
Jumlah 104 88 192
Persentase 54,17 45,83 100
Urang Banjar masuk dalam kategori Spesific dengan prosentase 54,17 persen 5. Achivement versus Askripsi Dimensi Achivement
Jumlah
Persentase
146
76,04
Askripsi
46
23,96
Total
192
100
Urang Banjar masuk dalam kategori Achievement dengan prosentase 76,04 persen 6. Sikap terhadap waktu Dimensi Sequential Sychronous Total
Jumlah 58 134 192
Persentase 30,21 69,79 100
Urang Banjar masuk dalam kategori Synchronous dengan prosentase 69,79 persen 7. Sikap terhadap Lingkungan Dimensi Inner Direction Outter Direction
Jumlah 32
Persentase 16,67
160
83,33
Imadduddin Parhani Total
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar 192
41
100
Urang Banjar masuk dalam kategori Outter Direction dengan prosentase 83,33 persen Analisis terhadap Hasil Dimensi-Dimensi Nilai Budaya 1. Analisis Terhadap Hasil Universalisme versus Partikularisme Troompenaar35, menggolongkan dua kelompok masyarakat dalam dimensi budaya, yaitu Partikularisme dan Universalisme. Partikularisme lebih mengedepankan aspek-aspek personal yang dilandasi oleh adanya hubungan emosional dibandingkan dengan peraturan yang berlaku saat itu, sedangkan dimensi universalisme lebih menfokuskan kepada tanggung jawab tiap individu kepada peraturan-peraturan yang ada daripada memikirkan nasib orang walaupun masih ada hubungan saudara. Setiap manusia dilahirkan dengan kodrat yang sama, memiliki hak dan kewajiban yang sama, tinggal bagiaman individu menjalani hidup ini, apakah menuntut hak dan menjalankan kewajiban yang ada. Hasil riset yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Asia termasuk di dalamnya Indonesia lebih dominan partikularisme daripada universalisme. Namun di dalam penelitian yang dilakukan ini, menunjukkan hasil yang berbeda. Ternyata di dalam masyarakat Banjar terjadi perbedaan atau mungkin pergeseran nilai budaya yang di anut oleh sebagian masyarakat, yaitu sebanyak 78,13 persen berada di posisi Universalisme. Prosentase ini menunjukkan bukan berarti bahwa semua masyarakat Banjar dominan Universalisme dan minoritas partikularisme. Apabila kita hubungkan dengan masyarakat Banjar dalam kesehariannya maka terlihat sejumlah tata kelakuan yang mengarah kepada Universalisme semisal seorang pemimpin di masyarakat harus membimbing karyawan atau warganya untuk menciptakan kehidupan yang dicari, berusaha melayani keperluan warganya tanpa pamrih. Dalam hal pekerjaan, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan warga/masyarakat daripada kepentingan diri pribadi atau keluarganya. Pemimpin tidak boleh memihak apabila terjadi persoalan di antara karyawan atau warganya. Ia harus mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya dengan tetap berpegang kepada peraturan yang berlaku36. Suatu sistem nilai yang dipertahankan dalam sebuah masyarakat sering menyangkut apa yang menjadi fungsi dasarnya bagi struktur masyarakat tersebut. dalam kasus masyarakat Banjar yang secara historis selalu diidentikkan dengan Islam misalnya. Islam tentunya, disini tampil sebagai pencerminan suatu sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat Banjar. Artinya, dalam banyak hal perilaku-perilaku orang Banjar dapat dicarikan referensi perilaku, fungsi keberislaman oleh masyarakat Banjar akhirnya menjadi simbol identitas yang membedakan dengan kelompok lainnya37. 35
36
37
Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 30 Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007) h 218 Irfan Noor, Ulama dan Masyarakat Banjar. (Dalam Jurnal Kandil Melintas Tradisi Edisi 1, Tahun I. Mei 2003) h 18-25
42
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Dalam hal nilai-nilai beragama, masyarakat suku Banjar pada umumnya taat menjalankan kewajiban agama. Mereka biasanya menyelenggarakan salat Jumat atau salat lainnya secara berjamaah di masjid, suarau atau di rumah seseorang. Begitu pula penyelenggaraan upacara keagamaan seperti peringatan Isra Mikraj, peringatan Maulid dan penyelenggaraan upacara kematian. Setiap individu secara sendiri atau bersama dituntut untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ajaran agama yang dianut38. Tata kelakuan yang berlaku di ranah keagamaan ini dilandasi oleh tuntutan agama. Dalam agama Islam kepada penyelenggara atau pimpinan upacara, juga pesertanya dituntut suatu persyaratan untuk memenuhi sah tidaknya ibadah yang dilakukan. Setiap orang tanpa memandang asal-usul, tingkatan sosial dan jabatannya harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama39. Dalam ranah ekonomi, maka masyarakat Banjar yang beragama Islam dengan pekerjaan sebagai penjual dituntut bersikap jujur dalam memberi untung (laba). Sesama penjual harus dapat merahasiakan kelemahan masing-masing. Landasan dasar tata kelakuan pergaulan antara penjual dengan penjual adalah agama, adat istiadat, dan keyakinan. Penjual siap menolong jika pembeli benar-benar memerlukan untuk mendesak dengan cara meminjam terlebih dahulu (utang) dan dibayar belakangan menurut perjanjian tanpa menaikkan harganya40. Dalam hal terjadi kesepakatan jual beli, saat penyerahan uang, pembeli melakukannya dengan tangan kanan. Begitu juga penjual menerimanya dengan tangan kanan dibarengi ucapan: “ku jual barang-barang seharga” dengan menyebut jumlahnya. Pembeli pun membalasnya dengan perkataan “ku tukar barang ini seharga” sesuai hasil tawar menawar. Bagi penjual dan pembeli akad jual beli itu penting, karena berdasarkan agama Islam41. Disamping adanya persentuhan dengan kebudayaan lain diluar Budaya Banjar, berkembangnya keyakinan terhadap nilai – nilai hakekat hidup di mana manusia agar bisa tetap eksis harus berusaha memperbaiki hidupnya, menjadi pendorong masyarakat Banjar untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dengan berusaha merubah kondisi hidupnya ke arah yang lebih baik dengan membuat sejumlah aturan atau norma yang dipatuhi bersama. Bertambahnya penduduk yang sangat cepat pada masyarakat Banjar juga berdampak terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat terutama dalam lembagalembaga kemasyarakatan (dalam bentuk aturan/norma sosial). Wujud nyatanya adalah seperti munculnya aturan-aturan tertulis (peraturan yang diolah untuk mengatur tata perilaku masyarakat) yang sebelumnya tidak pernah ada. Semakin banyaknya aturan/ norma yang diberlakukan di masyarakat akan membuat individu semakin terikat dengan aturan/norma yang ada. 2. Analisis Terhadap Hasil Individualisme versus Komunitarisme Prosentase hasil Individualisme dalam penelitian ini adalah 20,83 persen dan 38 39 40 41
Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah...h 220 Ibid, h 220 Ibid, h 222. Ibid,) h 222
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
43
Komunitarisme sebesar 79,17 persen. Hasil penelitian ini sejalan dan memperkuat posisi Indonesia yang tetap dengan budaya individualisme rendah dan komunitarisme tinggi42. Dalam budaya kolektif, seseorang akan belajar untuk berpikir dalam term “Kami” daripada “Saya”. Dalam budaya kolektif, pemikiran jalan tengah yang mencerminkan pendapat bersama lebih dihargai. Orang tidak terbiasa untuk memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat kelompok secara umum. Kukuh dalam mempertahankan pendapat pribadi tidak lazim dilakukan dan cenderung dianggap tidak berbudaya. Di tempat tempat kerja, menciptakan hubungan yang baik antar pribadi atasan dengan bawahan dan juga rekan sejawat adalah hal yang penting sebelum terlibat dalam suatu pekerjaan. Tugas seorang bukan hanya pada fokus pada pekerjaan semata namun juga memperhatikan persoalan-persoalan non teknis di luar pekerjaan seperti: menjaga harmoni kelompok, tidak terlalu menonjolkan diri dan berusaha mengintegrasikan diri pada bagian yang lebih besar yaitu kelompok. Pembahasan tentang Individualistik dan Komunitarisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konsep gotong royong yang masih cukup berakar di Indonesia. Dalam konsep ini, manusia dipersepsikan sebagai mahluk yang tidak dapat berdiri sendiri. Manusia membutuhkan bantuan dari sesamanya terutama dari kaum kerabatnya. Suatu tema berpikir seperti itu akan membawa pada rasa aman bagi nurani yang amat dalam dan mantap kepada masyarakat, karena akan selalu ada bayangan postif dalam hidup, bahagia yang dirasa atau sedang tertimpa bencana. Selalu ada orang lain di sisi manusia yang bersikap kolektif karena permasalahan satu orang adalah juga kepedulian bagi anggota lainnya. Tolong menolong merupakan kecenderungan alamiah manusia. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar untuk meminta dan memberikan pertolongan pada orang lain. Sebagai mahluk yang lemah tentu seorang manusia akan membutuhkan orang lain untuk meringankan sebagian beban yang dialaminya. Tapi, sebagai mahluk yang dianugrahi kelebihan dan sebagai khalifah di muka bumi, manusia pun mempunyai kuasa dan kewajiban sosial untuk membantu meringankan beban hidup yang dialami orang lain43. Perilaku tolong menolong, secara sosial dan spritual sangat disuakai dan dianjurkan. Secara universal, masyarakat di belahan dunia manapun sangat menyukai orang-orang yang dermawan, suka menolong, kooperatif, solider, dan mau berkorban untuk orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang kikir, egois, atau individualistik, sangat tidak disukai masyarakat44 Apabila kita kaitkan dengan konteks budaya Banjar, maka temuan penelitian yang menunjukkan rendahnya individualisme dan tingginya komunutarisme tersebut sudah sejalan dengan tata kelakuan di lingkungan dan masyarakat Banjar. 42
43
44
Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h. 57 Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013) h 218. Ibid,h 218
44
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Dalam budaya Banjar, kegiatan komunitarisme tergambar pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dalam hal kerja bergotong royong. Apabila seorang warga mendapat musibah seperti kebakaran, kematian, kecurian, kecelakaan dan sebagainya, maka warga berusaha untuk datang ke tempat warga yang kena musibah tersebut dan bergotong royong untuk membantu menanggulangi musibah45. Gotong royong juga dilaksanakan pada saat memperbaiki jalan, membuat saluran air, mendirikan langgar, masjid, pelaksanaan perkawinan, dan lain-lain. Sebelum pekerjaan dimulai dilakukan musyawarah warga masyarakat. Karena yang terlibat adalah masyarakat, maka secara otomatis kegiatan ini mengundang massa untuk bekerja sama46. Semua warga masyarakat yang terlibat dalam kegiatan sosial bersama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama, sehingga harus saling membantu. Anggota masyarakat yang bersedia membantu kegiatan gotong royong maka akan dihargai oleh masyarakatnya. Sebaliknya yang tidak bisa bekerjasama dalam masyarakat akan dicela47. 3. Analisis Terhadap Hasil Netral versus Emosional Budaya netral adalah suatu budaya dimana emosi selalu dalam pengontrolan. Orang-orang dalam budaya ini mencoba untuk tidak memperlihatkan perasaan mereka; mereka bertindak dengan mengendalikan emosi dan mempertahankan sebuah ketenangan. Sedangkan budaya emosional adalah budaya dimana emosi-emosi diekpresikan secara terbuka dan spontan/alami. Orang-orang dalam budaya emosional ini cenderung selalu tertawa lebar, berbicara dengan keras ketika merasa keheranan, dan memberi salam dengan antusias48. Menurut William James49, emosi adalah “kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya. Sedangkan Crow & Crow (1962)50 mengartikan emosi sebagai “suatau keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Setiap orang memiliki jenis perasaan yang sangat serupa, namun intensitasnya berbeda-beda. Emosi-emosi ini dapat merupakan kecnderungan yang membuat kita menjadi frustasi, tetapi juga menjadi modal untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan hidup. Semua itu bergantung kepada emosi mana yang dipilih dalam bereaksi terhadap orang lain, kejadian-kejadian, dan situasi. Merujuk pada hasil penelitian Troompenaar51, memposisikan Indonesia dalam kategori netral. Sedangkan dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Banjar berada dalam kategori emosional dengan prosentase 73,44 persen. Menurut 45 46 47 48 49 50 51
Ibid, h 217 Ibid, h 225 Ibid, h 225 Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2012). h 61 Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Linatasan Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) h 399-400 Ibid,h 399-400 Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 70
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
45
Ideham, M. Suriansyah, dkk52, dalam masyarakat Banjar sikap hormat, ramah dan sopan dilakukan seseorang kepada orang lain akan selalu berlaku pada situasi yang bagaimanapun. Gambaran emosional masyarakat Banjar dapat terlihat ketika seorang pemimpin agama dengan pemimpin agama lainnya harus saling menghargai dan hormat menghormati. Dalam hal perbedaan pendapat di antara dua pemimpin, maka pemimpin dapat menyampaikan alasan dan argumennya satu sama dengan tetap berusaha mendapatkan jalan sehingga terdapat kesepakatan di antara mereka. Antara pemimpin dengan pemimpin lainnya tidak boleh ada persaingan atau saling merendahkan53. Orang-orang yang merupakan pengikut dalam memberikan penghormatan dan penghargaan kepada pemimpin agama tidak terbatas hanya pada lembagalembaga keagamaan, tetapi juga di luar lembaga. Jika bertemu di jalan setiap pengikut mengucapkan salam kepada pemimpin agama. Ketika memasuki suatu lembaga pengajian baik yang bertempat di masjid dan surau maupun rumah seseorang, maka harus mengucapkan salam assalamualikum, dan sebelum duduk bersalaman menjabat tangan orang-orang yang telah hadir terlebih dahulu. Apabila masuk bersama-sama orang lain, maka yang mengucapkan salam cukup satu orang yang berada di depan. Kalau sebagian yang hadir dalam ruangan sukar didatangi atau terlalu banyak, biasanya cukup mengucapkan salam sambil sedikit mengangkat tangan kanan54. Ketika melaksanakan sebuah upacara atau kegiatan pun pada saat bertemu antar peserta dengan peserta lain di dalam ruangan upacara, sebelum masuk akan memberi salam terlebih dahulu, lalu bersalaman berkeliling. Peserta lain mempersilahkan duduk pada ruangan yang masih kosong berdampingan dengan peserta lainnya55. Dalam pergaulan masyarakat, seseorang berusaha menarik hati orang yang datang ke desanya. Pada umumnya anggota warga suatu tempat bermuka cerah dan riang ketika kedatangan warga masyarakat lainnya56. Kebanyakan ketika pencuri yang tertangkap oleh penduduk cenderung untuk dianiaya oleh para penangkapnya dan kemudian diserahkan kepada pihak polisi untuk diselesaikan. Demikian pula pada saat kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan korban luka atau meninggal, si sopir selalu dianggap bersalah, dan ada daerah dimana sopir cenderung dianiaya dan kendaraanya cenderung dirusak penduduk, apabila tidak cepat-cepat menghindar dari tempat kejadian. Biasanya si sopir segera melaporkan diri kepada seorang kepala kampung yang berwibawa atau ke kantor polisi terdekat, guna memperoleh perlindungan57. 52
53 54 55 56 57
Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007) h 217 Ibid, h 220 Ibid, h 221 Ibid, h 224 Ibid, h 226 Alfani Daud, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997) h 103
46
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Meskipun terkesan emosi masyarakat Banjar cenderung terkendali dan normatif, namun beberapa catatan kasus agresivitas masyarakat Banjar menunjukkan terjadinya kasus agresivitas yang kental dengan muatan SARA. Menurut Djohan Effendi dalam bukunya ‘Merayakan Kebebasan Beragama’ (2009) menulis bahwa agresivitas muncul sebagai sikap masyarakat Indonesia terhadap anggapan adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa (lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sehingga sebagian besar agresivitas ini mengarah kepada hal-hal destruktif atau menghancurkan dan merugikan semua masyarakat kita sendiri58. Masyarakat menjadi agresif apabila terjadi krisis kreativitas di dalam jiwanya sehingga mudah meledak dengan cara-cara yang tidak cerdas. Masyarakat menjadi agresif bila nilai-nilai kearifan dan ajaran sudah tidak lagi menjadi pedoman hidup. Selama ini ajaran agama yang diajarkan di sekolah hanya sebatas pengetahuan, dan itu pun hanya untuk menjawab soal ujian59. Menurut Passe & Smith60, salah satu penyebab munculnya agresi adalah frustasi. Berbagai macam tekanan dan stres dalam hidup, terlebih lagi yang muncul dalam era modern ini, diduga turut memicu bentuk agresi dan kekerasan dalam masyarakat. Masyarakat kini semakin banyak dibebani oleh berbagai macam hal dan permasalahan. Terlebih lagi di era demokrasi di mana semua hal menjadi layak diperbincangkan, secara tidak langsung itu menambah frustasi di masyarakat. Hal-hal yang dapat menyebabkan frustasi itu adalah saat mengejar sebuah tujuan, bawaan genetis, konflik sosial, kebutuhan untuk mengatur oreang lain, keinginan untuk menguasai secara seksual, nasionalisme, hasrat egois untuk mendapatkan keuantungan pribadi, kesulitan ekonomi, emosi negatif, proyek idealis yang ditujukan untuk membuat dunia menjadi lebih baik dan lain-lain. Selain itu masyarakat juga menjadi agresif karena meniru aksi agresif dari tontonan61. Selain hal tersebut diatas, masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan latar belakang kebudayaan, ras, ideologi dan sebagainya, mempermudah terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat, sehingga sering muncul goncangan- goncangan yang mendorong terjadinya perubahan emosi kehidupan masyarakat. 4. Analisis Terhadap Hasil Spesifik versus Difusi Budaya spesifik adalah budaya dimana individu mempunyai ruang publik yang sangat mereka jaga dan hanya dibagi dengan teman dekat kolega. Dalam budaya spesifik, masyarakat cenderung lebih terbuka, dan ada batas yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sedangkan budaya difusi adalah budaya dimana ruang publik dan ruang pribadi berukuran sama dan individu menjaga ruang publiknya dengan hati-hati, karena memasuki ruang publik sama bernilainya dengan memasuki ruang pribadi. Orang dalam budaya difusi, cenderung lebih berbasa-basi dan tertutup, dan 58
59 60 61
Imam Ratrioso, Rakyat Nggak Jelas Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi, (Jakarta: Renebook, 2015) h 87 Ibid, h 90 Ibid, h 90 Ibid, h 90-91
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
47
pekerjaan dan kehidupan pribadinya berkait erat62. Dalam budaya Diffuse seperti Indonesia63 dan Masyarakat Banjar64, maka adalah hal yang lazim ditemukan diluar waktu dinas, ketentuan bahwa yang lebih muda berlaku hormat kepada yang lebih tua masih tetap berlaku. Cara-cara penghormatan dan sikap ramah serta keterbukaan kepada mereka yang bertamu kerumah seorang pemimpin masyarakat juga tetap diegang teguh. Dalam masyarakat suku Banjar sikap hormat, ramah, dan kepatuhan yang dilakukan seseorang kepada orang lain akan selalu berlaku pada sitausi yang bagaimanapun. Apabila ada di antara sesama karyawan yang sakit, karyawan yang lainnya mengunjunginya. Demikian pula pada hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha, kebiasaan saling mengunjungi berlaku di wilayah birokrasi65. Sangat menarik apabila melihat dari hasil penelitian ini, karena ternyata ada pergeseran dimensi budaya yang terjadi di masyarakat Banjar. Berdasarakan hasil pengkategorian menunjukkan perubahan dimensi dari yang awalnya Diffuse menuju kepada Spesifik. Dimensi budaya Diffuse adalah 45,83 persen sedangkan Dimensi Budaya Spesifik adalah 54,17 persen. Meskipun tidak secara signifikan namun data prosentase tersebut memberikan sebuah gambaran adanya perubahan dimensi budaya di masyarakat Banjar. Menurut Ideham, M. Suriansyah, dkk (editor)66, gambaran masyarakat Banjar yang spesifik terlihat di dalam hubungan pekerjaan, yaitu seorang karyawan tidak akan mencampuri tugas, pekerjaan atau kebijaksaan yang diambil karyawan lainnya, selama yang bersangkutan tidak meminta pertimbangannya. Kecuali kalau apa yang dilakukan seorang karywan tersebut nyata-nyata merugikan lembaga atau karyawan lainnya, baru seorang karyawan boleh memperingatkannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alfani Daud dengan judul “Pembenihan serta Pemupukan TataNilai Sosial Budaya dalam Keluarga Indonesia Untuk Daerah Kalimantan Selatan”, digambarkan tentang makna hidup yang sudah membaku dalam masyarakat Banjar ialah “hidup untuk bekerja” dan “hidup untuk beramal-ibadah”67. Orang Banjar dalam bekerja haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Hidup ini harus diisi dengan kerja keras, sekaligus juga berdoa dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini memberikan bahwa bagi orang Banjar dua hal tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama. Agama Islam mengajarkan agar umatnya selalu mengadakan keseimbangan antara persiapan untuk kehidupan di akhirat dan kehidupan di dunia. “carilah pada apa yang telah diberikan Allah untuk akhirat, tetapi jangan lupakan bagian kamu di dunia (Q.S. 28:77). Tekanan selalu diberikan kedua-duanya, atau dengan perkataan lain, nilai “hidup untuk bekerja” dan “nilai untuk beramal-ibadah” harus selalu berkembang 62
63 64
65 66 67
Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 88 Ibid, h 88 Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007) h 217 Ibid, h 217 Ibid, h 218-219 Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar.(Banjarmasin : Antasari Press, 2015) h 32
48
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
sama kuat. Di dalam Al Quran umat Islam diperintah untuk meninggalkan urusan duniawi jika panggilan untuk beribadah telah dikumandangkan, tetapi setelah ibadah selesai dikerjakan masing-masing disusuh untuk berusaha sungguh-sungguh mencari nafkah. Namun dalam pada itu tetap ditekankan agar ketika sibuk mencari nafkah itu selalu dalam keadaan ingat kepada Tuhan68. Adanya pergeseran dimensi budaya ini mungkin karena adanya perbedaan antara pola tata nilai orang tua dan pola tata nilai remaja. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai-nilai diffuse tidak berhasil diteruskan oleh para generasi orang tua kepada generasi remaja. Nilai hidup untuk beramal-ibadah dalam kalangan orang tua berada dalam posisi agak kuat dan bergeser menjadi lemah ketika berada di kalangan remaja. Demikian juga sebaliknya, hidup untuk bekerja menguat pada kalangan remaja dan melemah pada kalangan orang tua. Karena pengaruh kehidupan modern maka para pemuda Banjar gaya hidupnya sudah mengarah ke materialis pragmatis yaitu cenderung kepada kepentingan praktis dalam kehidupan69, sehingga pola hidup orang Banjar sangat konsumtif. Hal ini dapat dilihat dengan menjamurnya warung makan di pinggir jalan sampai restoran yang selalu dipandati pengunjung untuk menikmati berbagai jenis makanan yang disajikan. Realitas ini bertolak belakang kondisi yang terjadi di mesjid atau langgar yang cenderung sepi dari remaja dan hanya diisi oleh orang yang sudah tua untuk menikmati hidup dan beribadah kepada Allah untuk mengisi waktu70. 5. Analisis Terhadap Hasil Achivement versus Ascription Budaya prestasi (achivement culture) adalah budaya dimana orang-orang memberi status berdasar pada sejauhmana kualitas (baiknya) mereka menampilkan fungsi mereka. Sedangkan ascription culture adalah budaya dimana status diatribusikan berdasarkan pada siapa atau apakah orang itu. Budaya prestasi memberikan status tinggi kepada mereka yang prestasinya tinggi. Sementara ascription culture memberikan status berdasarkan pada usia, gender, atau koneksi sosial71. Selain itu, budaya yang bersifat achievement adalah budaya yang menilai tinggi mutu dan ketelitian sebagai hasil karya unggul dari manusia. Sasaran orientasi karya nya harus merupakan karya itu sendiri, bukan berupa harta untuk dikonsumsi atau kedudukan sosial yang menambah gengsi72. Dalam masyarakat dengan ascription tinggi seperti Indonesia73, simbol-simbol status diterima sebagai sesuatu hal yang wajar. Gelar-gelar keagamaan, akademis dan penghormatan lain dilihat sebagai sesuatu yang penting. Status seseorang banyak ditentukan oleh gelar-gelar formal yang menunjukkan siapa orang tersebut (ascribed status) dan bukan apa yang telah di capai oleh orang tersebut (achieved status). 68 69 70 71 72 73
Ibid, h 35 Ibid, h 37 Ibid, h 36-37 Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2012). h 61-62 Koenjraningrat, Pengantar Ilmu Antrapologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) h 35 Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 105
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
49
Pola hubungan kerja antara atasan dan bawahan di tempat kerja merupakan buah dari pendidikan di rumah dan disekolah. Di rumah, orang tua adalah sumber kebaikan dan moralitas yang ditunjukkan dengan mencium tangan sebelum pergi dan pulang sekolah atau segala kegiatan di luar rumah yang memerlukan waktu dan jarak cukup jauh. Hormat kepada orang yang lebih tua diajarkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendengarkan nasehat atau petuah merupakan tradisi penting sebelum melakukan kegiatan yang dianggap penting. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh apabila seorang yang dianggap pemimpin akan dipanggil Bapak atau Ibu, meskipun umurnya jauh lebih muda, yang merefleksikan hubungan antara anak dan orang tuanya. Pola hubungan ini tidak akan ditemukan pada negara-negara Barat yang memiliki Achievement culture yang tinggi, dimana menyebut nama langsung dalam hubungan atasan-bawahan, lebih menjadi keseharian. Dalam budaya Banjar pun, hal demikian masih sering ditemukan, antara atasan yang lebih tinggi tetap berpatokan pada usia masing-masing. Begitu pula atasan dengan bawahan, faktor umur merupakan hal yang patut diperhatikan. Sehingga jika bawahan yang lebih tua usianya menggunakan aku dan ikam kepada atasannya yang lebih muda umurnya, maka hal tersebut bukanlah melanggar aturan. Sebaliknya seorang atasan yang usianya lebih muda selalu menggunakan sebutan ulun pian kepada bawahannya yang lebih tua umurnya. Akan tetapi dalam masyarakat Banjar biasanya menghargai jabatan seseorang. Karenanya bahawan yang usianya lebih tua daripada atasannya juga menggunakan ulun-pian dalam percakapan, sedang atasannya juga menggunakan sebutan demikian74. Dalam tata kelakuan dalam ranah pendidikan yang meliputi lembaga pendidikan dari yang paling rendah sampai tertinggi, serta keterlibatan orang tua maka dalam masyarakat Banjar seorang Kepala Pendidikan harus membimbing dan menjadi teladan bagi guru atau dosen yang membantunya. Mereka harus saling menghormati hak dan wewenang masing-masing. Guru yang lebih muda harus menghormati guru yang lebih tua, harus bekerjasama dan memberikan bantuan satu sama lainnya75. Tingkahlaku seorang guru atau dosen haruslah menjadi panutan bagi muridmuridnya. Sebagai pendidik, harus memberiu teladan yang baik dan terpuji. Sikap dan perbuatan bahkan sampai pada cara berpakaian perlu diperhatikan oleh seorang pendidik. Apabila seorang pendidik melakukan hal-hal yang tidak baik, menyebabkan hilangnya wibawa di hadapan murid-muridnya76. Murid harus menghormati gurunya. Kalau bertemu di jalan ia harus menyapa lebih dahulu. Jika murid berjalan beriringan dengan guru, ia akan mempersilahkan guru untuk berjalan di depan. Pada waktu masuk ruang kelas, ternyata di depan pintu berdiri seorang guru, maka yang melewatinya harus membungkukkan badan77. Dalam berbicara murid menggunakan sebutan ulun untuknya dan pian untuk sebutan gurunya serta mengiyakan percakapan gurunya dengan percakapan inggih, 74
75 76 77
Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007) h 217 Ibid, h 219 Ibid, h 219 Ibid, h 219
50
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
kalau dipanggil harus menyahut dengan dengan pun. Seorang murid berbicara pada guru seperti halnya seorang anak berbicara kepada orang tuanya. Murid memanggil guru dengan sebutan Bapak atau Ibu, Murid tidak boleh berbicara keras atau mengatasi pembicaraan guru78. Berbeda dengan hasil penelitian Troompenar dan gambaran tata kelakuan masyarakat Banjar yang menempatkan Indonesia dan masyarakat Banjar dalam posisi Ascription Culture. Penelitian ini menunjukkan skor Achievement yang tinggi yaitu 76,04 persen sedangkan Ascription nya hanya 23,96 persen. Tingkat persepsi terhadap dimensi budaya Achievement yang tinggi ini menunjukkan adanya proses pergeseran dimensi budaya yang awalnya ascription menuju prioritas achievement, yaitu penguatan kepada orientasi assertivenes, uang, materi dan kesuksesan. Perubahan kutub nilai budaya ini mungkin disebabkan makin kuatnya budaya materi karena tuntutan hidup yang semakin memerlukan uang dan apresiasi yang tinggi terhadap penampilan fisik seseorang. Selain itu, masyarakat Banjar yang mewarisi karakter masyarakat feodal zaman Kerajaan Banjar, tampaknya tidak banyak mempengaruhi perkembangan budaya masyarakat Banjar. Karakter masyarakat feodal yang menonjolkan asal usul dan asesori diri serta memandang martabat dari peranan dan kekuasaan, tampaknya tidak terwariskan karena memang tokoh sentralnya (sultan atau raja) tak berlanjut sejak dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda sejak abad ke 19, juga tidak sejalan dengan ajaran Islam yang dianut masyarakat, yang memandang manusia sama di hadapan Allah kecuali dari segi ibadahnya79. Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka merupakan sistem yang memberikan peluang atau kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk mengalami mobilitas sosial vertikal secara luas, dimana setiap warga masyarakat memiliki kesempatan untuk meraih prestasi dan memiliki kedudukan/status sosial yang lebih tinggi. Adanya kontak dengan kebudayaan lain sebagai kebudayaan baru juga berperan dalam terjadinya perubahan nilai budaya, sehingga menghasilkan perubahan secara perlahan-lahan di budaya masyarakat Banjar. Pendidikan juga memberikan kontribusi positif terjadi perubahan sosial di masyarakat Banjar, pendidikan akan memberikan nilai-nilai tertentu kepada manusia, terutama dalam membuka pikirannya, menerima hal - hal baru, maupun cara berfikir secara ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir secara obyektif, rasional dan melihat ke masa depan, berusaha menciptakan kehidupan yang lebih maju. 6. Analisis Terhadap Hasil Sikap Terhadap Waktu Troompenaar80 mengidentifikasikan dua pendekatan yang berbeda dalam persfektif waktu, yaitu sequential dan synchronous. Menurut Dayakisni dan Yuniardi81, 78 79
80
81
Ibid, h 219 Nawawi, Ramli. 2014 Perihal Keberadaan Nilai Budaya Orang Banjar (Kalimantan Selatan). dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.co.id/2014/03/perihal-keberadaan-nilai-budaya-orang. diakses Jumat, 1 Juli 2016 Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 123 Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Press, 2012). h 62
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
51
dalam budaya dengan pendekatan sequential adalah umum orang-orang cenderung untuk hanya melakukan satu aktifitas pada satu waktu, mempertahankan janji dengan ketat, dan menunjukkan pilihan yang kuat untuk mengikuti rencana-rencana sebagaimana yang telah ditetapkan dan tidak menyimpang dari rencana tersebut. Sementara dalam budaya dengan pendekatan syynchronous, orang cenderung untuk melakukan lebih dari satu aktifitas pada satu waktu, janji adalah kira-kira dan kemungkinan dirubah pada saat tertentu dan penjadwalan pada umumnya dibawah kepentingan hubungan dan dibolehkan untuk melakukan interupsi atas jadwal tersebut. Bagi orang-orang yang berasal dari budaya Synchronous adalah hal yang biasa akan menghentikan apa yang mereka lakukan untuk bertemu dan menyambut individuindividu yang datang ke kantor mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Troompenaar82 menposisikan Indonesia kedalam kategori Budaya Synchronous, dan demikian pula dalam penelitian yang dilakukan ini menposisikan masyarakat Banjar dalam posisi kategori Budaya Synchronous (69,79 persen). Di Indonesia, dan termasuk juga dalam masyarakat Banjar. Waktu dipandang sangat relatif. Di masyarakat dikenal istilah “Jam Karet”. Istilah ini menunjukkan toleransi pada waktu. Contoh sederhana adalah ketika memiliki janji dengan seseorang pada pukul 10 pagi, maka kita tidak dapat menjamin bahwa pukul 10 kita sudah saling bertemu. Karena pandangan orang terhadap waktu itu bersifat relatif maka siapa tahu bagi teman kita pukul 10 itu sudah harus ditempat, lalu kita menggangap kita sudah berangkat pukul 10. Pada kebanyakan kasus, jam karet lebih banyak berkaitan dengan penguluran waktu beberapa saat di luar waktu yang telah ditetapkan. Menurut Djamaluddin Ancok83, banyak faktor yang diperkirakan mempuanyai kaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya kebiasaan jam karet, faktor-faktor tersebut antara lain: Pertama, yaitu masyarakat Indonesia yang agraris. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang sangat bergantung pada bidang pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi. Mayoritas penduduk Indonesia, termasuk kakek dan neneknya, adalah petani. Pekerjaan sebagai petani ini tidak terlalu menuntut ketepatan waktu di bidang industri. Orang dapat pergi ke sawah kapan saja, pagi, siang, atau sore. Lain halnya dengan para pekerja di dalam industri yang jam kerjanya sangat diatur oleh perusahaan. Pada pekerjaan industri, keterlambatan datang ke tempat kerja akan menyebabkan turunnya produktivitas kerja. Kedua, sikap pemuka masyarakat. Yang dimaksudkan di sini adalah sikap pemuka masyarakat yang menduduki jabatan formal, seperti kepala desa, camat, kepala kantor, dan lain-lain. Ada kecenderungan bahwa pemuka masyarakat ini di dalam beberapa kegiatan selalu harus ditunggu oleh bawahannya, bukan menunggu bawahannya. Di dalam kegiatan rapat misalnya, biasanya pimpinanlah yang datang paling akhir. Setelah pimpinan datang, rapat baru dimulai. Keterlambatan ini tidak berarti bahwa pimpinan terlambat tiba atau datang di tempat rapat. Cukup sering pimpinan sudah berada di kantor. Pimpinan terlambat datang karena dia biasanya menghendaki semua 82 83
Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding...h 123 Djamaluddin Ancok, Psikologi Terapan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004). h 30
52
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
orang lain sudah hadir. Satu hal lain yang membuat pimpinan atau juga orang lain suka terlambat dalam mengerjakan sesuatu kegiatan yang telah ditetapkan, adalah kebiasaan memegang jabatan rangkap. Makin banyak jabatan yang dipegang maka akan makin besar kemungkinan untuk membiasakan diri dengan jam karet. Hanya segelintir manusia dengan disiplin sangat tinggi yang dapat mempertahankan ketepatan waktu kerja dalam kondisi jabatan yang demikian. Ketiga, sistem penilaian prestasi. Ketepatan waktu di dalam melaksanakan suatu pekerjaan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan kerja. Namun seringkali dalam kenyataannya mereka ‘yang tepat-waktu’ dan ‘yang terlambat’ diperlakukan sama saja. kondisi karyawan tidak dinilai dari ketepatan waktu tersebut. Jarang sekali orang-orang yang tepat-waktu mendapat penghargaan. Demikian pula dengan aspek kehidupan masyarakat di luar kantor atau perusahaan. Seringkali keterlambatan tidak menimbulkan konsekuensi apa-apa. Misalnya kalau terlambat datang ke stasiun kereta api untuk membeli karcis, seseorang tidak perlu antri. Ia dapat secara langsung menyerobot di depan orang lain tanpa konsekuensi apa-apa. Tidak ada yang menegur apakah petugas atau orang lain yang dalam antrian. Sifat tidak suka memberi kritik itu semakin menonjol bila orang yang melakukan jam karet itu adalah pimpinan. Ada rasa kuatir bahwa kritik terhadap pimpinan itu akan mencelekakan dirinya. Daripada membuat masalah lebih baik diam saja. Upaya pemberantasan jam karet ini sangat ditentukan oleh sikap pimpinan formal. Keempat, sikap masyarakat yang rikuh dan tidak berterus terang. Sifat atau nonasertif ditandai oleh adanya perasaan segan untuk mengatakan sesuatu perbuatan orang lain yang dianggap kurang wajar. Keseganan ini timbul karena adanya kekhawatiran bahwa teguran yang disampaikan akan membuat orang lain menjadi tersinggung perasaannya. Sifat yang demikian akan membuat orang tidak bersedia untuk mengkritik perilaku jam karet. Kelima, sikap masyarakat yang menyerah pada keadaan. Jika ditinjau dari cara manusia melihat faktor yang mempengaruhi kehidupannya, secara garis besar manusia dapat digolongkan ke dalam dua tipe. Tipe pertama disebut dengan pusat kendali internal (internal locus of control) yang melihat kemajuan di dalam hidup ditentukan oleh faktor-faktor di dalam diri seperti bekerja keras, cita-cita yang tinggi, dan keuletan dalam mengubah nasib. Orang tipe ini yakin bahwa kemajuan dirinya ditentukan oleh dia sendiri. Tipe yang kedua adalah pusat kendali eksternal (external locus of control). Orang yang termasuk ke dalam tipe ini beranggapan bahwa faktorfaktor di luar dirilah yang menentukan keberhasilan seseorang. Misalnya karena nasib naik, adanya koneksi, dan bukan karena kerja keras dari diri sendiri. Orang tipe ini beranggapan bahwa bekerja keras, menepati waktu, bekerja penuh disiplin bukanlah faktor utama penyebab keberhasilan untuk menduduki posisi tertentu. Faktor yang paling menentukan adalah ada tidaknya koneksi, khususnya koneksi yang masih ada kaitan keluarga. Dalam masyarakat yang menganut prinsip kekeluargaan sifat subjektif untuk mengutamakan anggota kelaurga sendiri sangatlah besar. Kalau sekiranya anggota keluarga diberi kesempatan tersebut memang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan sistem koneksi tidak memberikan pengaruh yang fatal. Tetapi kalau anggota keluarga yang diberikan kesempatan tersebut tidak memiliki
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
53
kualifikasi yang dituntut oleh pekerjaan maka akibatnya akan fatal. Dalam masyarakat kita sering terdengar selorohan seperti ‘sedulurisasi’ dalam hal untuk mendapatkan kesempatan. Suasana masyarakat yang demikian ini akan membuat orang kurang yakin bahwa disiplin di dalam menggunakan waktu akan mengantarkan seseorang ke kemajuan karir diri sendiri. Selain menganggap waktu itu relatif yang mengarah pada perilaku jam karet, masyarakat Indonesia tidak terkecuali masyarakat Banjar juga masih banyak yang menggagap bahwa ada hari tertentu yang memiliki peruntungan yang baik dan hari naas serta hari yang baik untuk melakukan sesuatu84. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan orang tua dahulu yang belum bisa lepas seutuhnya dari tradisi turun temurun meski gaya hidup sudah dipengaruhi oleh budaya Barat. Masyarakat Banjar tidak mempunyai nama-nama bulan dan nama hari sendiri. Nama-nama bulan yang biasa dipakai ialah nama-nama bulan Arab (dengan perubahan bunyi) atau dinamakan sesuai dengan peristiwa atau kegiatan upacara yang biasa dilakukan waktu itu85. Waktu sehari dan semalam dibagi atas kelompok-kelompok waktu yang disesuaikan dengan waktu sembahyang. Maka terdapatlah waktu subuh, saat orang sembahyang subuh, waktu duha, saat orang bersembahyang sunat duha, waktu zuhur atau juhur (saat bersembahyang zuhur), waktu asar (saat bersembahyang asr), waktu magrib (saat bersembahyang magrib), waktu isya (saat bersembahyang isya). Selain itu digunakan pula istilah limbah isya untuk waktu sesudah orang selesai bersembahyang isya (dimulai kira-kira jam 8.30 malam) tangah malam (tengah malam), dan dinihari atau kadang-kadang waktu (makan) sahur (dimulai kira-kira jam 02.00) untuk melengkapi waktu-waktu tersebut86. Pembagian waktu yang lain lagi disesuaikan dengan jalannya matahari, yaitu pagi-pagi, tangah naik ([matahari] tengah naik, tangah hari( tengah hari), tangah turun ([matahari]tengah turun), dan petang hari (petang hari); yang terkahir ini sering dinamakan puhun kamarian. Pembagian waktu pagi-pagi, tangah naik dan seterusnya ini biasanya digunakan untuk meramal atau untuk menentukan saat yang tepat untuk turun piturun meskipun sudah ada yang menyebut jamnya87. 7. Analisis Terhadap Hasil Sikap Terhadap Lingkungan Sejalan dengan penelitian Troompenar88 yang menempatkan Indonesia pada posisi Outer directed, penelitian ini juga menunjukkan outer directed pada budaya Banjar berada pada posisi dominan yaitu sebesar 83,33 persen sedangkan inner directed nya hanya sebesar 16,67 persen. 84
85 86 87 88
Alfani Daud, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997) h. 366 Ibid, h 367 Ibid, h 368 Ibid, h 368 Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. Riding The Waves of Culture, ( London: Nicholas Brealy Publishing, 1997) h 143
54
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Perhatian khusus sikap pada lingkungan ini diarahkan pada bagaimana mereka memiliki keyakinan dalam mengendalikan atau mengontrol hasil (inner directed) atau membiarkan sesuatu di luar diri mengendalikan dirinya (Outer directed). Misalnya seseorang yang memiliki keyakinan dalam mengendalikan lingkungannya akan memilih pilihan pertama yaitu inner directed; dan percaya bahwa apa yang terjadi pada mereka adalah perbuatan mereka sendiri. Di Amerika, seseorang merasa sangat yakin bahwa mereka menguasai nasib mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan sikap dominan mengarah pada lingkungan dan tidak senang ketika mendapatkan sesuatu di luar kendali mereka. Sebaliknya, beberapa negara Asia termasuk Indonesia di dalamnya memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu bergerak atau berubah secara alami dan seseorang seharusnya “menempuhnya dengan mengalir”, sehingga sikap fleksibel, yang ditandai oleh ciri adanya kesediaan untuk kompromi dan mempertahankan harmoni dengan alam adalah menjadi penting Manusia dengan pengetahuannya dapat mempengaruhi, mengubah, dan membentuk lingkungan yang dapat memberikan sumber kehidupan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Hubungan manusia dengan lingkungan dijembatani oleh pola kebudayaan. Melalui kebudayaan inilah manusia belajar mengadaftasikan dirinya dengan keadaan lingkungannya supaya tetap bertahan dalam kehidupannya. dalam beradaftasi dan mendayagunakan alam lingkungannya itu mereka berusaha melakukannya dengan cermat, penuh kehati-hatian dan terarah agar bisa menunjang kebutuhan hidup89 Berbagai peristiwa alam senantiasa dialami dalam perputaran waktu, yang kadang karena berulang-ulang terjadinya akhirnya dapat diperhitungkan gejala-gejalanya. Nmanusia yang berdasarkan pengalamannya menghadapi perubahan alam, terutama yang berkaitan dengan sumber kehidupan mereka berusaha untuk memahami keadaan lingkungannya. Pengalaman yang dialami itu pada gilirannya menjadi sumber acuan dalam melakukan pekerjaan. Demikian juga yang terjadi dengan masyarakat Banjar yang mayoritas petani, memiliki pengetahuan khusus tentang cara memulai pekerjaan dan beradaftasi dengan lingkungannya90. Kepedulian masyarakat Banjar terhadap lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam yang mayoritas dianut. Masyarakat Banjar menganggap lingkungan merupakan faktor produksi dan bahan konsumsi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk dinikmati dan dipelihara. Jadi dengan dasar itu, perlakuan masyarakat Banjar terhadap lingkungannya sangat tergantung pada pandangan mereka sendiri, mau berbuat kearifan atau tidak terhadap lingkungannya. Dalam konsep dasar pandangan urang Banjar sesungguhnya telah tertanam suatu prinsip bahwa Tuhan telah menciptakan dan mengatur kebutuhan hidup manusia. Alam semesta diciptakan Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. Tuhan menentukan tata tertib hidup yang khusus bagi manusia, namun Tuhan juga memberikan keleluasaan untuk mengatur hidup dan kehidupan dalam lingkungannya91. 89 90 91
Ideham dan M. Suriansyah, dkk (editor), Sejarah...h 239 Ibid, h 239 Ibid, h. 239
Imadduddin Parhani
Perubahan Nilai Budaya Urang Banjar
55
Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Banjar selalu berpedoman pada prinsip agama Islam. Sumber utamanya adalah Al Quran dan Sunnah yang banyak sekali berisi ayat-ayat yang menyiratkan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan serta bagaimana harus beradaftasi dengan lingkungan hidup92. Simpulan Adanya perbedaan nilai Budaya Indoensia dengan nilai budaya Urang Banjar menunjukkan bahwa perubahan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Banjar berlangsung terus-menerus dan tidak akan pernah berhenti, karena tidak ada satu masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Berlangsungnya perubahan dimensi nilai budaya pada masyarakat Banjar ini merupakan bukti nyata dari berlangsungnya perubahan sosial di dalam masyarakat Banjar. Setidaknya terdapat sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi yang dapat menjadi faktor pendorong dan faktor penghambat terjadinya proses perubahan sosial di masyarakat Banjar yaitu: kontak dengan kebudayaan lain, adanya sistem pendidikan formal yang maju, sistem stratifikasi sosial masyarakat Banjar yang terbuka, masyarakat Banjar yang semakin heterogen, adanya ketidakpuasan masyarakat Banjar terhadap berbagai bidang kehidupan, pandangan bahwa manusia harus senantiasa memperbaiki hidupnya, Daftar Pustaka Abdul Rahman, Agus. 2013. Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ancok, Djamaluddin. 2004. Psikologi Terapan. Yogyakarta: Darussalam. Aseeri, Akh. Fauzi, dkk. 2009. Alfani Daud: Riwayat dan Pemikirannya. Banjarmasin: Antasari Press. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Dayakisni, Tri. Yuniardi, Salis. 2012. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press. Ideham, M. Suriansyah, dkk (editor). 2007. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Kluckhon, F.R dan Stradtbeck, F.L. 1961. Variations in value orientation. Evanston: Row Peterson. Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjorongrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Koenjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koenjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Mardiatmaja. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Jogyakarta: Kanisius. Melalatoa, Junus M. ed. 1997. Sistem Budaya Indonesia, Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator 92
Ibid, h 240
56
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Moeis, Syarif. 2009. Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia, Makalah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Nawawi, Ramli. 2014 Perihal Keberadaan Nilai Budaya Orang Banjar (Kalimantan Selatan). dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.co.id/2014/03/perihalkeberadaan-nilai-budaya-orang. diakses Jumat, 1 Juli 2016. Noor, Irfan. 2003. Ulama dan Masyarakat Banjar. Dalam Jurnal Kandil Melintas Tradisi Edisi 1, Tahun I. Mei 2003 hal 18-25. Noor, Yusliani, 2016. Islamisasi Banjarmasin Abad ke-15 Sampai Ke-19. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ratrioso, Imam. 2015. Rakyat Nggak Jelas Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi. Jakarta: Renebook. Sahriansyah. 2015. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Banjarmasin : Antasari Press. Saleh, M. Idwar. 1986. Sekilas Mengenal Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad 19. Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan. Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum dalam Linatasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. Sulaiman, Munandar. 1992. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama. T. Morden. 1999. Models Of National Culture-A Management Review. Cross Cultural Management(An International Journal 6 (1). Hal 19-44. Tim Indohun. Tahun Tidak ada. Pedoman Aplikasi Soft Skill One Health. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Troompenaar, F dan Hampden Turner, F. 1997. Riding The Waves of Culture. London: Nicholas Brealy Publishing. Usman A. Gazali. 1995/1996. Urang Banjar Dalam Sejarah. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press.
AL-BANJARI, hlm. 57-68
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 57
LEGAL PROTECTION VERSUS LEGAL CONSCIOUSNESS (The changing Perspective in Law and Society Research)
Muhammad Helmy Hakim Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin Email:
[email protected] Abstract This article discusses the important role of historical, cultural, social, and attitudinal aspects in the study of law, there has been a shift from instrumental law to constitutive law. While instrumental law considers law beyond the social and cultural spheres, constitutive law integrally embraces law, politics, ideology, and action. Legal consciousness is an important asset for marginalised people who are at high risk of discriminative treatments in occupational and social life. Not only will they are legally aware of their rights and obligations at works, they will have adequate knowledge of where and how to name, blame, and claim in case mistreatment do occur. Legally proficient will allow them build legal protection which is not adequately provided by the authorized bodies. Keywords: Instrumental law, Constitutive law, Legal Protection, Legal consciousness. Introduction Nowadays, many countries in the world have established a complex system of laws and institutions expected to protect the interest of people, particularly the marginalised one in the employment sector. This model of legal protection has broader significance in legal theory, it also reflects assumptions in dominant research paradigms in law and society, and even this model and its critique have been applied to other areas of law.1 From the legal protection model perspective, the law is authoritative and effective instrument that offers victims with a tool by which they can use to force perpetrators to comply with legal rules. This model adopts that those who have suffered injuries will recognize their harms and invoke the law through litigation. In brief, they assume that those in the protected class are able and convinced to bear these burdens.2 This 1
2
Kristin Bumiller, "Victims in the Shadow of the Law: A Critique of the Model of Legal Protection," Signs 12, no. 3 (1987): 422. Ibid., 106.
58
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
kind of strategy is called as “litigious policies,”3 or Complaint-Driven Enforcement Model4 , where the enforcement relies on individuals bringing their rights of action. However, strategies of equal protection may inadequately deliver the burdens imposed on marginalised people because they accept the authoritative discourse of law rather than inquiry the compatibility of legal rules with their legal conception. The proponents of legal consciousness argue that litigation is just one of the many avenues that disputants have in their catalogue of choices. Even though the judiciary is believed to monopolize the enforcement of legal norms, it is not the only source of normative messages in society. Courts are not even the institutions that handle the majority of legal conflicts and neither occupy the center of legal life. To the contrary, only a minimal fraction of disputes that we can label as legal enter the judiciary and from that number is really difficult to know how many are actually resolved.5 Thirty years ago, Galanter et.al pointed out that very few cases of dispute were resolved. This minimal resolution was even smaller than the number of cases the court was supposed to deal with, the fraction of which was much smaller than the actual cases of dispute.6 As a matter of fact, it is now trite to recapitulate that the modern justice system through aggressive prosecution and legislation of punitive laws against batterers, has failed to respond adequately to crime generally and to marginalised people in particular.7 Many research showed that strong legal protection makes a difference, but it also displayed that even in the United States of America where legal protection is strong, some victims are not afforded their rights.8 3
4
5
6
7
8
Thomas F Burke, Lawyers, Lawsuits, and Legal Rights (Berkeley: University of California Press, 2002), 4. Human Rights Watch (Organization), Hidden in the Home: Abuse of Domestic Workers with Special Visas in the United States (New York: Human Rights Watch (Organization), 2001), 32. M. A. Gomez, "All in the Family: The Influence of Social Networks on Dispute Processing (a Case Study of a Developing Economy)," (Stanford University (UMI Number: 3253485) Retrieved August 20, 2009, from Dissertations and Theses database., 2007), 23. Bliss Cartwright, Marc Galanter, and Robert Kidder, "Introduction: Litigation and Dispute Processing," Law & Society Review 9, no. 1 (1974). Marc Galanter, "Afterword: Explaining Litigation," Law & Society Review 9, no. 2 (1975). Marc Galanter, "Reading the Landscape of Disputes: What We Know and Don’t Know (and Think We Know) About Our Allegedly Contentious and Litigious Society," UCLA Law Review 31, no. 4 (1983). Marc Galanter, "The Day after the Litigation Explosion," Maryland Law Review 46, no. 3 (1986). Marc Galanter, "Adjudication, Litigation and Related Phenomena," in Law and the Social Sciences, ed. L Lipson and S Wheeler(New York: Russel Sage Foundation, 1987). Randy E. Barnett and John III Hagel, Assessing the Criminal. Restitution, Retribution, and the Legal Process (Cambridge: Ballinger Publishing, 1977). The Human Right Watch Report (2001) concluded that The United States has failed to protect migrant domestic workers’ rights and to guarantee that workers have an “effective remedy” if their rights are offended. As a matter of fact, the report indicated that there were only six out of twenty-seven domestic workers attempted to file complaints against their employers. Though most of the workers knew that their employment conditions violated U.S. law they did not wish to or did not know how to file legal complaints against their employers see further Human Rights Watch (Organization)..
Muhammad Helmy Hakim
Legal Protection versus Legal Consciousness
59
However, despite the widespread adoption of legal protection, the implementation of such protection and its impact on victims have not been widely studied. In other words, this kind of research might be considered as the bottomup approach, which is commonly defined in sociology of law literature as the study of critical legal consciousness. This study will provide a brief review of two bodies of research. First, the research reviews the changing perspective of law and society research from an instrumental view of law to the view of law as an integral part of society. This more expansive view of the role of law in society has led to the legal consciousness. Next, it reviews some of the innovative work of legal consciousness scholarship. Instrumental and Constitutive Perspectives There has been a shift the law and society research from instrumental to constitutive perspective. The former treats law as a separated entity and thus autonomous from social life while the latter implies the existence of different competing forces that contribute to shape social life and normative system. Constitutive perspective puts law in the interconnection to and embeddedness in different other fields to allow holistic consideration of law-influencing cultural and social aspects. Sarat and Kearns9 introduced these two different perspectives in this area of research, the instrumental and the constitutive. Although these two perspectives are in similar way in favoring law in studying society, they hold opposing views by which law affects society: whether by imposing external sanctions or by shaping internal meanings. Subsequently, they likely to fail to notice the variety of ways in which society responds to law, occasionally by ignoring it, reconstructing it, or using it in unusual and unanticipated ways. These two perspectives, the instrumental and constitutive, represent two basic views of the relationship between law and society. Instrumentalist scholarship, which sees law as different from, and acting on society, focuses on legal norms, legal rules, and legal actors. And this separation has been an attempt to make out the power of law as a tool for creating or supporting social change. Instrumentalist tries to “... search for the conditions under which law is effective, that is, when legislation or judicial decisions can be counted on to guide behaviour or produce social changes in desired ways.”10 In short, the instrumentalism emphasizes sharp distinction between legal standards on the one hand, and non-legal human activities, on the other. It then hypothesizes the effectiveness of the legal standard upon society. On the other view, the constitutive perspective assumes that social life is run through with law, or in other words, “law shapes society from the inside out, by providing the principal categories that make social life seem natural, normal, cohesive, and coherent.”11
9 10 11
A. Sarat and T. R. Kearns, Law in Everyday Life (Michigan: University of Michigan, 1995). Ibid., 27. Ibid., 22.
60
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Scheingold against the instrumentalism However Scheingold12 argues against the idea of instrumentalism which assume that legal standard with litigation and courts decisions can produce effective social change. He proposes that declaration of rights from courts has been the focus of a great number of law reformers. Effective declaration realizes these rights which lead to equivalently meaningful change. Put in different words, "the myth of rights is directly related to litigation, rights, and remedies with social change."13 The underlying ideology is that "the American political order indeed takes similar patterns of rights and obligations specified in the Constitution."14 Scheingold proposes the legal paradigm which views human interaction largely about rules and rights dominates the ideology of the myth of rights and mischaracterizes the interplay of legal, political and social forces. Surely these views have, at least until lately, dominated the literature on law and politics in the United States. As a matter of fact, Scheingold rejects the myth of rights and proposes the constitutive understanding of law and legal mobilization as he moves from the myth of rights into his discussion of the political significance of the ideology of rights. He puts forward the concept of the politics of rights: “The politics of rights implies a much more comprehensive assessment which includes but transcends the simple straight-line projection from judicial decision to compliance.”15 Scheingold is skeptical of the emphasis on litigation as a tool for redistributing power. He notes the tendency of law and politics to reinforce the status quo, embedded as they are in the existing power structures. Nevertheless, he asserts the ideology of rights can play a significant role in mobilizing action. “The myth of rights provides political ideals [which] influence the behaviour of government and private citizens. The politics of rights is, in short, concerned with the interplay between ideology and action in American politics.”16 It is the recognition of the relationship between law, politics, ideology and action that characterizes the constitutive view of law and society. Sarat and Kearns highlight that constitutive perspective of law decline the instrumentalist picture of law as outside to social practices. They attempt to draw the way legal power and legal forms exist in social relations. Constitutive perspective claim that instrumentalism brings about a falsified impression of the role of law in everyday life. By centering on law as a distinct tool, or efforts of law to change behaviour, instrumentalists diverts attention from the deep, often invisible, but pervasive effects of legal concepts on social practices.17
12 13 14 15 16 17
Stuart A Scheingold, The Politics of Rights (Michigan: University of Michigan Press, 2007). Ibid., 5. Ibid., 17. Ibid., 8. Ibid., 83. Austin Sarat, "The Law Is All Over: Power, Resistance and the Legal Consciousness of the Welfare Poor," Yale Journal of Law and the Humanities 2 (1990): 50.
Muhammad Helmy Hakim
Legal Protection versus Legal Consciousness
61
Bumiller refuses legal protection model Bumiller18 shows the seeming failure of anti-discrimination doctrine. She contradicts the instrumental concept of law and in the contrary examines the individual attitudes and behaviour which can serve to oppose the apparent goal of civil rights legislation and litigation. She states that the traditional model of legal protection, which supposes law to be a powerful tool to end discriminatory practices, is flawed because it fails to take into account the way individual actions and attitudes are influenced by law. Bumiller takes a firm stand that the view the primacy of the legal order produces the illusion that law is a source of power and authority disconnected from other power structures in society. In fact, the deep logic of the law does not reflect the complex social reality of discrimination in society, but rather restricts legal resolution to social problems appropriate for litigation.19 Bumiller argues that the 1964 Act and subsequent legislation generally have failed to rectify earlier forms of injustice, discrimination, and inequality. She notes that the conventional wisdom generally attributes these failures to inadequate resources, entrenched cultural biases, and the slow progress in attaining real economic and social gains. To the contrary, Bumiller says that the model of legal protection that forms the basis for civil rights law itself discourages social victims from emancipating themselves from oppressive conditions. She further argues that protective legislation may serve to perpetuate patterns of behaviour (among both victims and victimizers) that maintain discriminatory practices. Modern law is said to embody and reproduce a socially constructed, dehumanized victim. Bumiller further proposes that there is a current proliferation of antidiscrimination strategies. This proliferation is seen as a coherent extension of the universalization of rights, which is itself a result of the civil rights model of legal protection. She concludes that "by including all groups, it further dilutes the benefits received by the historically most disadvantaged groups." 20 Bumiller refuses the traditional model of legal protection but relies on stories told by victims of discrimination to explore the complications of anti-discrimination law. In order to better understand the relationship between law and social change, she creates a paradigm for legal consciousness research by opposing the perspectives and experiences of individuals against the traditional, instrumentalist view of legal protection. Bumiller’s position on the role of law deduces from Foucault’s explanation of law and social control. She notes that Foucault’s conception of law and ideology moves us away from the conventional view of anti discrimination law as a command directed at its perpetrators to acknowledgement of the law as a form of knowledge and power that shapes its subjects. This brings up the inquiry of how law practices its authority on victims and creates victims views of themselves and their position.21 The essential claim of the constitutive approach to the study of law is the assertion that, “Law exercises its power by less obvious means than can be discerned 18
19 20 21
Kristin Bumiller, The Civil Rights Society: The Social Construction of Victims (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988). Ibid., 10. Ibid., 117. Ibid., 33.
62
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
from formal and visible decision making in court.”22 Bumiller detects evidence of the mutual nature of law as constitutive of social relations and the importance of examining the gap between legal doctrine and law in everyday’s life. She affirms the power of legal ideas and concepts to influence social relationships even in the absence of a legal claim. She points out that the introduction of legal themes may shape behaviour at all stages of the conflict - from its creation to its settlement. The situation is metamorphosed by the introduction of law even if the parties do not talk to lawyers or take the case to a legal forum.23 The theoretical change from the instrumental view of law to the constitutive view of law leads scholarship toward a acknowledgement of the importance of analysing the ways that law comes out of and is constituted by specific historical, cultural, social situations and attitudes. The change in the understanding of the meaning of law needs a significant change in the way of the study the relationship between law and society, from a focus on institutions to individuals. Consequently, Bumiller maintains the importance of interviewing individual subjects about their thoughts and experiences with law. “An important premise of this book, therefore, is that neither the potentialities nor the troubles deriving from social conflict can be fully understood outside the changes of an individual life.” 24 Constitutive studies of law have extended to the understanding that law is more than a set of rules and procedures, law constitutes a belief system which is imbedded in, and perpetuates, a certain power structure. It is the study of law as a set of beliefs, and the significances of those beliefs that forms the basis of legal consciousness research. Discourse of legal consciousness Legal consciousness has been an important topic in socio-legal research because it represents the intersection of law as an institutional force and individuals as legal agents. Traditionally, the sociology of law has been related with the legitimacy of law, which finally is rooted in individuals' belief in and adoption of legal order.25 However, this traditional conceptualization of legal consciousness which emphasizes on the acceptance of official power by individuals has moved away into the notions of justice and rights that people convey in their minds and practice in their every-day life. Hence, scholars have begun to investigate whether and why people invoke the law in disputes26 or in social movements aimed at broader social change.27
22 23 24 25
26
27
Ibid., 37. Ibid., 36. Ibid., 35. Roberto Unger, Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory (New York: Free Press, 1985). Sally Engle Merry, “Anthropology, Law, and Transnational Processes,” Annual Review of Anthropology 21, no. (1992). Michael McCann, Rights at Work (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
Muhammad Helmy Hakim
Legal Protection versus Legal Consciousness
63
Merry28 defines consciousness as “people’s conception of the “natural” and normal method of work acccomplishment, habitual patterns of talk and action, and commonsense in understanding of the world.” Further she asserts that consciousness is not only the realm of "deliberate, intentional action but also that of habitual action and practice.”29 In line to Merry, Ewick & Silbey define consciousness as the part of a reciprocal process through the patterned, stabilized, and objectified meanings given by individuals to their world. The already institutionalized meaning becomes part of the material and discursive systems to limit and constrain the making of new meanings in future time.30 Nielsen puts that their commonsense understanding of the way law works. 31 In other words, legal consciousness refers to the way people think about the law. This includes the prevailing norms, day-by-day practices, and commonly adopted ways of legal problem solving. Put differently, this results from legally- and ideologically-related experiences.32 In relation to consciousness, Max Weber introduced “the subjective meaningcomplex of action”33 which can be implemented to the intersection of social agency and legal consciousness. Opposed to Marx, Weber proposes that culture can influence agency while agency can influence culture. Weber describes the subjective interpretation of action as an effect to understand human behaviour in terms of “the concepts of collective entities.”34 This suggests that for Weber a dual character of action/consciousness in which thoughts or concepts “have a meaning in the minds of individual persons, partly as of something actually existing, partly as something with normative authority.”35 Consciousness is subjective, the product of an interaction between the observer and the observed.36 Jean Comaroff defines consciousness as "inherent in the daily-life practical constitution and is integrated in the process in which external social and cultural factors have constituted the subject."37 Consciousness may appear in subtle and different ways of how people act and speak and what their utterance contain.38 This becomes an integrated part of practical knowledge to which people refer when 28
29 30
31
32 33
34 35 36 37
38
Sally Engle Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans, Language and Legal Discourse (Chicago: University of Chicago Press, 1990). Ibid., 5. Patricia Ewick and Susan S. Silbey, The Common Place of Law: Stories from Everyday Life, Language and Legal Discourse (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 39. Laura Beth Nielsen, License to Harass: Law, Hierarchy, and Offensive Public Speech (Princeton: Princeton University Press, 2004). Ibid., 7. Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York: Oxford University Press, 1947), 102. Ibid. Ibid., 101-102. Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans, 4. J. Comaroff, Body of Power: Spirit of Resistance: Culture and History of a South African People (Chicago: Univ. Chicago Press, 1985), 5. J. Comaroff and J. L. Comaroff, Of Revelation and Revolution: Christianity, Colonialism, and Consciousness in South Africa, vol. 1 (Chicago: Univ. Chicago Press, 1991).
64
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
doing things. The construct of consciousness is much more dynamic than a mere social entity. This "type of social practice”39 assigns meanings to social structures, which is not an end. The assigned meaning will undergo further refinement, reproduction, and development along individual experience that occurs within the social structures by which one’s live is defined. Of equal importance, it changes with contradictory experiences. People question what they are doing and shift directions if it appears that their way of acting either is not working or contradicts what happens to them.40 Time has played an important role in the process of individual's consciousness changes. One’s consciousness is likely to change along with their experience in social process. Such this change in consciousness constitutes a great interaction of social and structural entities. Comprehension about how consciousness changes will help a systematic discussion of legal consciousness. Nielsen asserts that consciousness, is simultaneously created and communicated; it is contingent, meaning that it changes based on the knowledge and experiences of individuals, as well as context.41 Legal consciousness refers to “how people understand and use the law” and "participate in legality construction process." 42 Recently many legal consciousness studies have merely emphasized on law conceptualization and its impacts on the individuals’ daily lives.43 They reveal the dynamic nature of legal consciousness concept. It is not the external enforcement that counts in legal consciousness establishment, but rather, it is internally learned process through which individuals gain their legal consciousness. They are in active engagement to form their individual specific legal consciousness. First, social consciousness becomes the foundation of individual legal consciousness. Second, with legal experiences and reactions they develop their legal consciousness. The dynamic nature of legal consciousness construct and its socially related process are manifested in words or actions, a multifaceted, contradictory, and variable legal consciousness."44 Establishment of legal consciousness does not stand alone. Different aspects play a role in the establishment of legal consciousness. They are, among others, the perceptions of lawmaking bodies, the court system, law enforcement and other “meanings, sources of authority, and cultural practices commonly recognized as legal.”45 As it is common in other schemas, legality is not exclusively inherent in individual's ideas and attitudes. To be always vital, individuals and groups have to 39 40 41
42
43
44
45
Ewick and Silbey, 225. Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans, 5. Laura Beth Nielsen, "License to Harass: Offensive Public Speech, Legal Consciousness, and Hierarchies of Race, Gender and Class," (University of California, Berkeley (UMI Number: 9931344) Retrieved August 21, 2009, from Dissertations and Theses database, 1999), 39. Ewick and Silbey, 35; Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans. Erik W. Larson, "Institutionalizing Legal Consciousness: Regulation and the Embedding of Market Participants in the Securities Industry in Ghana and Fiji " Law & Society Review 38, no. 4 (2004). Susan S. Silbey, "Making a Place for Cultural Analyses of Law," Law & Social Inquiry 17, no. 1 (1992): 46. Ewick and Silbey, 22.
Muhammad Helmy Hakim
Legal Protection versus Legal Consciousness
65
continually produce, work, invoke, and deploy it."46 As suggested by some legal consciousness studies, legal ideas may be pushed and pulled, which implies the texture of law in our everyday existence in order to construct legality.47 Law may be pulled to construct and restrict what people may act and decide. The restriction is elaborated into the elaborated regulations, conduct-prohibition codes, and social norms. They are all designed to reserve the already arranged power and order. Through their familiarity these codes, lay people will be used to adopting t and obeying the formal regulations. Such this acceptance by the people has opened a way for the law to shape the everyday life of the people and rule some courses of action without which they would have been taken otherwise. In this way, law has created natural, normal, cohesive, and coherent society based on the principal categories."48 At the same time, law may be pushed by individuals' own readings of law." This kind of process has enriched the variants of legality. In this perspective, law indeed dynamically develops. Through legality context in daily life, ordinary people contribute to shape and assign meaning to an "abstract but binding form."49 The legality enacted everyday in turn, will result in the establishment of a theory for legal, institutional, and social changes. Any decision that may have impacts on the law will result in new meaning and a new legal claim. Therefore, while it restricts what action individuals may have taken, opportunities of redefinition of and challenge against the restraints are wide open.50 With legality, individuals may also anticipate on the vast resources of the state by mobilizing the law. The accumulated of individual’s needs for legal system is likely to result in great effects on other people through the creation of new legal rights and novel legal claims.51 Thus, in spite of the fact that law has colonized everyday existence through oppression and inequality, legality provides a means of resistance.52 Legal consciousness studies have revealed that the law provides schemas and frames to construct the meaning of what people have experienced.53 Using the existing legal concepts and resources, people assign meaning to their disputes with their neighbors, their family problems, even their experiences with street harassment.54 46 47
48 49 50 51
52
53
54
Ibid., 43. Anna Maria Marshall and S. Barclay, "In Their Own Words: How Ordinary People Construct the Legal World," Law & Social Inquiry 28, no. 3 (2003a): 617. Sarat and Kearns, Law in Everyday Life, 22. Marshall and Barclay. Ewick and Silbey. Frances Zemans, “Legal Mobilization: The Neglected Role of the Law in the Political System," APSR 77, no. (1983). Michael McCann and Tracey March, "Law and Everyday Forms of Resistance: A Socio-Political Assessment," Studies in Law Politics and Society 15, no. (1995); Sally Engle Merry, "Culture, Power, and the Discourse of Law," New York Law School Law Review 37, no. (1995a); Sally Engle Merry, “Resistance and the Cultural Power of Law " Law & Society Review 29, no. 1 (1995b); Sarat and Kearns, Law in Everyday Life. Patricia Ewick and Susan S. Silbey, "Conformity, Contestation, and Resistance: An Account of Legal Consciousness. , Vol. 26/731," New England Law Review 26, no. (1992); Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans. Merry, Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans; Laura Beth Nielsen, "Situating Legal Consciousness: Experiences and Attitudes of Ordinary Citizens
66
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Studies of legal consciousness deals with "how, where, and with what effect law is produced in and through commonplace social interactions within neighborhoods, workplaces, families, schools, community organizations and the like."55 Concluding Remark Considering the important role of historical, cultural, social, and attitudinal aspects in the study of law, there has been a shift from instrumental law to constitutive law. While instrumental law considers law beyond the social and cultural spheres, constitutive law integrally embraces law, politics, ideology, and action. Legal consciousness is an important asset for marginalised people who are at high risk of discriminative treatments in occupational and social life. Not only will they are legally aware of their rights and obligations at works, they will have adequate knowledge of where and how to name, blame, and claim in case mistreatment do occur. Legally proficient will allow them build legal protection which is not adequately provided by the authorized bodies. Reference List Barnett, Randy E., and John III Hagel. Assessing the Criminal. Restitution, Retribution, and the Legal Process. Cambridge: Ballinger Publishing, 1977. Bumiller, Kristin. "Victims in the Shadow of the Law: A Critique of the Model of Legal Protection." Signs 12, no. 3 (1987): 421-439. Bumiller, Kristin. The Civil Rights Society: The Social Construction of Victims. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988. Burke, Thomas F. Lawyers, Lawsuits, and Legal Rights. Berkeley: University of California Press, 2002. Cartwright, Bliss, Marc Galanter, and Robert Kidder. "Introduction: Litigation and Dispute Processing." Law & Society Review 9, no. 1 (1974): 5-8. Comaroff, J. Body of Power: Spirit of Resistance: Culture and History of a South African People. Chicago: Univ. Chicago Press, 1985. Comaroff, J., and J. L. Comaroff. Of Revelation and Revolution: Christianity, Colonialism, and Consciousness in South Africa. Vol. 1. Chicago: Univ. Chicago Press, 1991. Ewick, Patricia , and Susan S. Silbey. "Conformity, Contestation, and Resistance: An Account of Legal Consciousness. , Vol. 26/731." New England Law Review 26 (1992): 731-749. Ewick, Patricia , and Susan S. Silbey. The Common Place of Law: Stories from Everyday Life Language and Legal Discourse. Chicago: University of Chicago Press, 1998. Galanter, Marc. “Why the Haves” Come out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change.” Law & Society Review 9, no. 95-127 (1974). Galanter, Marc. "Afterword: Explaining Litigation." Law & Society Review 9, no. 2 (1975): 347-368 55
About Law and Street Harassment," Law & Society Review 34, no. 4 (2000). Ewick and Silbey, The Common Place of Law: Stories from Everyday Life, 20.
Muhammad Helmy Hakim
Legal Protection versus Legal Consciousness
67
Galanter, Marc. "Reading the Landscape of Disputes: What We Know and Don’t Know (and Think We Know) About Our Allegedly Contentious and Litigious Society." UCLA Law Review 31, no. 4 (1983): 7-71. Galanter, Marc. "The Day after the Litigation Explosion." Maryland Law Review 46, no. 3 (1986): 3-39. Galanter, Marc. "Adjudication, Litigation and Related Phenomena." In Law and the Social Sciences, edited by L Lipson and S Wheeler, 151-257. New York: Russel Sage Foundation, 1987. Gomez, M. A. "All in the Family: The Influence of Social Networks on Dispute Processing (a Case Study of a Developing Economy)." Stanford University (UMI Number: 3253485) Retrieved August 20, 2009, from Dissertations and Theses database., 2007. Human Rights Watch (Organization). Hidden in the Home: Abuse of Domestic Workers with Special Visas in the United States. New York: Human Rights Watch (Organization), 2001. Larson, Erik W. . "Institutionalizing Legal Consciousness: Regulation and the Embedding of Market Participants in the Securities Industry in Ghana and Fiji " Law & Society Review 38, no. 4 (2004): 737-768. Marshall, Anna Maria, and S. Barclay. "In Their Own Words: How Ordinary People Construct the Legal World." Law & Social Inquiry 28, no. 3 (2003a): 617-628. McCann, Michael. Rights at Work. Chicago: University of Chicago Press, 1994. McCann, Michael, and Tracey March. "Law and Everyday Forms of Resistance: A Socio-Political Assessment." Studies in Law Politics and Society 15 (1995): 207–236. Merry, Sally Engle. Getting Justice and Getting Even: Legal Consciousness among Working-Class Americans Language and Legal Discourse. Chicago: University of Chicago Press, 1990. Merry, Sally Engle. "Anthropology, Law, and Transnational Processes." Annual Review of Anthropology 21 (1992): 357-379. Merry, Sally Engle. "Culture, Power, and the Discourse of Law." New York Law School Law Review 37 (1995a): 209-225. Merry, Sally Engle. "Resistance and the Cultural Power of Law " Law & Society Review 29, no. 1 (1995b): 11-26. Nielsen, Laura Beth. "License to Harass: Offensive Public Speech, Legal Consciousness, and Hierarchies of Race, Gender and Class." University of California, Berkeley (UMI Number: 9931344) Retrieved August 21, 2009, from Dissertations and Theses database, 1999. Nielsen, Laura Beth. "Situating Legal Consciousness: Experiences and Attitudes of Ordinary Citizens About Law and Street Harassment." Law & Society Review 34, no. 4 (2000): 1055-1090.
68
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Nielsen, Laura Beth. License to Harass: Law, Hierarchy, and Offensive Public Speech. Princeton: Princeton University Press, 2004. Sarat, A., and T. R. Kearns. Law in Everyday Life. Michigan: University of Michigan, 1995. Sarat, Austin. "The Law Is All Over: Power, Resistance and the Legal Consciousness of the Welfare Poor." Yale Journal of Law and the Humanities, no. 2 (1990): 343-379. Scheingold, Stuart A. The Politics of Rights. Michigan: University of Michigan Press, 2007. Silbey, Susan S. "Making a Place for Cultural Analyses of Law." Law & Social Inquiry 17, no. 1 (1992): 39-48. Unger, Roberto. Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory. New York: Free Press, 1985. Weber, Max. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press, 1947. Zemans, Frances. "Legal Mobilization: The Neglected Role of the Law in the Political System." APSR 77 (1983): 690-703.
AL-BANJARI, hlm. 69-82
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 69
EKSISTENSI KHIYAR DALAM UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI TOKO MODERN (Analisis Hukum Ekonomi Syariah) Rahmatul Huda dan Muhaimin Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin Email:
[email protected] /
[email protected] Abstract Indonesia is a country that is predominantly Muslim, so that Muslim consumers certainly get the protection of the goods and/or services in accordance with Islamic law. Because the protection of the rights of every citizen of Indonesia. Khiyar is one form of consumer protection in Islam. Surely, khiyar as one of the forms to protect the rights of Muslim consumers are contained in the Consumer Protection Law. This thesis aims to determine: (1) Existence khiyar in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, and (2) Analysis of the existence of khiyar in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. This research is a normative law (normative legal research), namely legal research conducted by examining the legal material. The approach taken in this study is the statute approach and the conceptual approach. Based on the method used produced the conclusion that the existence khiyar in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, contained in article 4, which khiyar ‘aib and khiyar syarath with the right to safety (article 4 letter a), khiyar majlis and khiyar ta'yin with the right to choose (article 4 letter b), khiyar tadlis and khiyar ‘aib with the right to be informed (article 4 letter c and h), and khiyar ru'yah with the right to be heard (article 4 letter d ). Existence khiyar in article 4 of the Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection in terms of the Islamic economic law in accordance with the rules of fiqh, maqasid shari'ah, and fiqh. Keywords: Existence, Rights, Khiyar, Consumer Protection, Modern Store.
Pendahuluan Islam merupakan agama yang universal dan komprehensif, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (‘ibādah) saja, tetapi juga mengatur bagaimana hubungan antarmanusia (mu’āmalah). Aturan kompleks dan lengkap dari Allah SWT sebagai tuntunan bagi hamba-Nya dalam menjalani kehidupan dunia sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi apapun bentuknya tentu harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yang merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah tidak mengandung riba, gharar, dan maisir. Adapun asas transaksi syariah yang
70
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
telah ditetapkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yaitu: (1) persaudaraan, (2) keadilan, (3) kemaslahatan, (4) keseimbangan, dan (5) universalisme.1 Islam adalah syari’at yang benar-benar menghormati hak kepemilikan ummatnya. Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memakan atau menggunakan harta saudaranya kecuali bila saudaranya benar-benar merelakannya, baik melalui perniagaan atau lainnya. Prinsip saling merelakan (‘an tarâdhin) menjadi barometer sah atau batalnya perniagaan/perdagangan yang dilakukan di antara manusia. Prinsip saling merelakan merupakan etika perdagangan. Oleh karena itu, prinsip ini mutlak dijadikan landasan.2 Kegiatan ekonomi yang tidak bisa lepas dari kehidupan sosial masyarakat di antaranya adalah jual beli. Salah satu unsur dalam transaksi jual beli adalah adanya hak khiyar, yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan transaksi karena sebab tertentu. Khiyar disyariatkan bertujuan untuk memelihara keadaan saling rela dan menjaga maslahat kedua pihak yang berakad, atau mencegah bahaya kerugian yang bisa jadi menimpa salah satu pihak yang berakad.3 Syari’at Islam memberikan hak khiyar untuk menjaga jangan sampai terjadi perselisihan antara pembeli dan penjual.4 Pada pelaksanaannya ada sebagian transaksi yang meniadakan hak khiyar ini. Terlihat di beberapa toko modern seperti swalayan, supermarket, minimarket, dan toko-toko lain yang memberikan label beberapa barang jualannya dengan tulisan yang mengindikasikan tidak adanya hak khiyar bagi pembeli. Jika melihat pada konsep umum dari jual beli, ada satu hal yang menjadi masalah yaitu tidak adanya hak khiyar. Bila hak khiyar bagi pembeli sudah tidak diberlakukan lagi, maka bisa mengakibatkan penyesalan bagi pembeli jika barang yang dibelinya ada cacat. Bahkan akan mengakibatkan permusuhan antara dua orang yang bertransaksi. Sedangkan prinsip umum jual beli adalah harus saling ridho (rela). Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga sudah seharusnya konsumen muslim mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa sesuai dengan syariat Islam.5 Karena perlindungan tersebut merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Hak khiyar yang merupakan salah satu bentuk perlindungan konsumen dalam Islam, tentunya memiliki peranan dalam kegiatan muamalah. Sudah seharusnya hak khiyar sebagai salah satu bentuk untuk melindungi hak-hak konsumen muslim tersebut termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
1 2
3
4
5
Ikatan Akuntan Indonesia. Standar Akuntansi Keuangan, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 54. Moh. Fauzan Januri, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 300. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 179. M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 138. Mayoritas penduduk Indonesia penganut Agama Islam dengan jumlah 207,2 juta penganut, berdasarkan data BPS pada Sensus Penduduk tahun 2010. https://www.bps.go.id/website/ pdf_publikasi/Statistik-Politik-2015.pdf. Diakses pada 23 Maret 2016 pukul 20.00 WITA.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
71
Tinjauan Umum Tentang Khiyar Khiyar secara etimologi, berasal dari bahasa Arab yang merupakan isim mashdar dari kata ﺍﺧﺘﺎﺭ – ﻴﺨﺘﺎﺭ – ﺍﺧﺘﻴﺎﺭyang artinya memilih dan melebihkan. Kemudian kata ikhtiyâr atau takhyîr berubah menjadi khiyar yang berarti hak untuk memilih antara melangsungkan jual beli atau membatalkannya. Namun kalau menilik pada kata dasar ikhtâra, penulis berasumsi bahwa kata khiyar dapat dikatakan berasal dari fi’il ﺧﺎﺭ – ﳜﲑ – ﺧﲑﺍyang jadi baik, yang baik, dan lebih baik.6 Sebab ikhtâra bermula dari kata khâra. Sehingga secara etimologi, kata khiyar didefinisikan dengan mencari yang terbaik di antara dua pilihan. Sedangkan pengertian khiyar secara terminologi menurut ulama fiqih adalah:
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻠﻤﺘﻌﺎﻗﺪ ﺍﳊﻖ ﰱ ﺍﻣﻀﺎﺀ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻭ ﻓﺴﺨﻪ ﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﳋﻴﺎﺭ ﺧﻴﺎﺭ ﺷﺮﻁ ﺍﻭ ﺭﺅﻳﺔ ﺍﻭ ﻋﻴﺐ ﺍﻭ 7 ﺍﻥ ﳜﺘﺎﺭ ﺍﺣﺪ ﺍﳌﺒﻴﻌﲔ ﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﳋﻴﺎﺭ ﺧﻴﺎﺭ ﺗﻌﻴﲔ
Artinya: “Suatu keadaan yang menyebabkan ‘aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib, atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin”. Khiyar adalah perbuatan memilih antara dua hal yang lebih baik, yaitu antara melangsungkan akad jual beli dan membatalkan akad tersebut.8 Jadi, berdasarkan dari beberapa definisi khiyar tersebut dapat kita pahami bahwa khiyar adalah hak ‘aqid untuk memilih antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya disebabkan karena suatu hal. Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Hak khiyar ditetapkan oleh syari’at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau dibolehkan bagi masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.9 Para ahli fikih mengemukakan bermacam-macam khiyar. Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Adapun khiyar yang sangat masyhur di kalangan ulama fikih, yaitu: A. Khiyâr Majlis Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqih adalah:
ﻤﺎ ﺃﻭ ﳜﲑ ﺍﺣﺪﳘﺎ ﺍﻻﺧﺮﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺎ ﻗﺪ ﻳﻦ ﺣﻖ ﻓﺴﺦ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻣﺎﺩﺍﻣﺎ ﰱ ﳎﻠﺲ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﱂ ﻳﺘﻔﺮﻗﺎ ﺑﺎﺑﺪﺍ 10 .ﻓﻴﺨﺘﺎﺭ ﻟﺰﻭﻡ ﺍﻟﻌﻘﺪ
Artinya: “Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad”. Khiyar majlis ialah kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli selama masih berada dalam satu 6 7
8 9 10
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 123. Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamî Wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 2006), h. 3104. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, h. 179. Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta; Prenada Media, 2005), h. 80. Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamî Wa Adillatuhu, h. 3104.
72
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
majlis (tempat) atau toko.11 Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya selama keduanya masih dalam satu tempat (majlis) dan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan pola jual beli, sebagimana sabda Rasulullah saw.:
ﻓﺈﻥ ﺻﺪﻗﺎ ﻭﺑﻴﻨﺎ، ﺍﻟﺒﻴﻌﺎﻥ ﺑﺎﳋﻴﺎﺭ ﻣﺎﱂ ﻳﺘﻔﺮﻗﺎ:ﻋﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﺰﺍﻡ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺑﺮﻙ ﳍﻤﺎ ﰲ ﺑﻴﻌﻬﻤﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺬﺑﺎ ﻭﻛﺘﻤﺎ ﳏﻘﺖ ﺑﺮﻛﺔ ﺑﻴﻌﻬﻤﺎ Artinya: Diriwayatkan dari Hakim Bin Hizam bahwa Nabi bersabda: "Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan". (HR. Bukhari Muslim). B. Khiyâr Syarath Pengertian khiyar syarath menurut ulama fiqih adalah: 12
.ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻷﺣﺪ ﺍﻟﻌﺎﻗﺪﻳﻦ ﺍﻭ ﻟﻜﻠﻴﻬﺎ ﺍﻭ ﻟﻐﲑﳘﺎ ﺍﳊﻖ ﰱ ﻓﺴﺦ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻭ ﺍﻣﻀﺎﺋﻪ ﺧﻼﻝ ﻣﺪﺓ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ
Artinya: “Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad atau masing-masing yang berakad atau selain kedua pihak yang berakad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan”. Khiyar syarath ialah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad itu selama dalam tenggang waktu yang disepakati.13 Khiyar syarath yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli.14 Khiyar syarath ini diperbolehkan untuk menghilangkan unsur penipuan dan kelalaian yang mungkin terjadi. Khiyar syarath diperbolehkan sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
(ﺍﻧﺖ ﺑﺎﳋﻴﺎﺭ ﰲ ﻛﻞ ﺳﻠﻌﺔ ﺍﺑﻌﺘﻬﺎ ﺛﻼ ﺙ ﻟﻴﺎﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: “Kamu boleh khiyâr pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah). C. Khiyâr ‘Aib Khiyar ‘aib menurut ulama fiqih adalah:
ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻷﺣﺪ ﺍﻟﻌﺎﻗﺪﻳﻦ ﺍﳊﻖ ﰱ ﻓﺴﺦ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻭ ﺍﻣﻀﺎﺀﻩ ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﻋﻴﺐ ﰱ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﺒﺪﻟﲔ ﻭﱂ ﻳﻜﻦ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻋﺎﳌﺎ 15 .ﺑﻪ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻌﻘﺪ
Artinya: “Keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad”. Berdasarkan definisi tersebut, penyebab khiyar ‘aib adalah adanya kecacatan pada barang yang diperjualbelikan (ma’qûd ‘alaih), atau harga (tsaman) tidak sesuai dengan yang dimaksud, atau orang yang berakad tidak meneliti kecacatannya ketika akad. Sabda Rasulullah Saw. Tentang khiyar ‘aib, yaitu: 11 12 13 14 15
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h. 139. Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamî Wa Adillatuhu, h. 3109. M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h. 139. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 83. Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamî Wa Adillatuhu, h. 3116.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
73
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻋﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ.ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺍﺧﻮ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻻ ﳛﻞ ﳌﺴﻠﻢ ﺑﺎﻉ ﻣﻦ ﺍﺧﻴﻪ ﺑﻴﻌﺎ ﻭﻓﻴﻪ ﻋﻴﺐ ﺍﻻ ﺑﻴﻨﻪ ﻟﻪ
Artinya: “Sesama muslim bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim yang lain, padahal pada barang itu terdapat cacat, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.” (HR. Ibnu Majah) D. Khiyar Ru’yah Khiyar ru’yah adalah ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.16 Adanya khiyar ru’yah ini disebabkan karena orang yang berakad, yaitu khususnya pembeli tidak melihat objek akad ketika terjadinya akad. Pembeli dapat menentukan sikapnya pada saat telah melihat barang itu, apakah ia langsungkan akad itu atau tidak. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Zahiriyah) menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
( ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﺷﺘﺮﻯ ﺷﻴﺌﺎﱂ ﻳﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﳋﻴﺎﺭ ﺍﺫﺍ ﺭﺃﻩ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻗﻄﲎ:ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺭﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang tersebut”. (HR. Daru-Quthni) E. Khiyar Tadlis Khiyar tadlis yaitu jika mengelabui pembeli sehingga menaikkan harga barang, maka hal itu haram baginya. Dalam hal ini pembeli memiliki khiyar selama tiga hari.17 Adanya khiyar untuk mengembalikan barang tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah yang dituturkan oleh Abu Hurairah: “Janganlah kalian membiarkan unta dan domba tidak diperah (sebelum dijual). Siapa saja yang membelinya, kemudian setelah dia memerahnya, dia boleh memilih di antara dua hal; jika ingin dia boleh mempertahankannya; jika dia ingin dia boleh mengembalikannya disertai dengan satu sha’ kurma”. (HR. Bukhari dan Muslim). F. Khiyar Ta’yin Khiyar jenis ini memberikan hak kepada pembelinya untuk memilih barang yang ia inginkan dengan sejumlah atau kumpulan barang yang dijual walaupun barang tersebut berbeda harganya, sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki. Misalnya, seseorang membeli empat ekor kambing dari sekumpulan kambing, maka pembeli diberi hak khiyar ta’yin sehingga dia dapat menentukan empat ekor kambing yang dia inginkan di antara sekumpulan kambing tersebut.18 G. Khiyâr al-Gubn al-Fâhisy ma’a al-Taghrîr Khiyâr al-gubn al-fâhisy ma’a al-taghrîr yaitu khiyar karena adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang dipertukarkan dengan sebab perdayaan atau tipuan.19 Pembahasan tentang tipu daya adalah salah satu penyebab rusaknya akad. Oleh karena itu, pihak korban tipuan berhak mendapat hak khiyar. Hal ini merupakan keistimewaan fikih Islam dalam perlindungan konsumen. 16 17
18 19
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h. 141. Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 310. Ibid., h. 316. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, h. 185.
74
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Gambaran Umum Tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen A. Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang dan/atau jasa.20 Menurut peraturan perundang-undangan, yaitu Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.21 Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang sangat luas meliputi perlindungan terhadap segala kerugian akibat penggunaan barang dan/atau jasa. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan indikator lemahnya kedudukan konsumen, yaitu: 1. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap suatu produk. 2. Lemahnya pengetahuan tentang proses produksi. 3. Lemahnya kemampuan tawar-menawar (bargaining power) secara ekonomis.22 B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Asas-asas yang berlaku dalam hukum perlindungan konsumen sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.23 Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang tersebut, selaras dengan tujuan pada Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.24 Tujuan perlindungan konsumen pada hakikatnya adalah untuk mencapai maslahat dari hasil transaksi ekonomi/bisnis. Pengertian maslahat dalam kegiatan 20
21 22 23 24
Burhanuddin S., Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 1. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat 1. Burhanuddin S., Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, h. 1-2. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 2. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 3.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
75
ekonomi/bisnis adalah perpaduan antara pencapaian keuntungan dan berkah.25 Keuntungan diperoleh apabila kegiatan usaha memberikan nilai tambah dari aspek ekonomi, sedangkan berkah diperoleh apabila ketika usaha dilakukan dengan niat ibadah sesuai prinsip-prinsip syariah. Karena itu untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kesadaran dari para pelaku usaha untuk selalu mengedepankan perbuatan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah dan peraturan lainnya yang berlaku secara yuridis formal. C. Hak dan Kewajiban Konsumen Hak konsumen terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut: Pasal 4 Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.26 Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih luas dari pada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F.Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu: 1) Hak Memperoleh Keamanan (the right to safety), 2) Hak Memilih (the right to choose), 3) Hak Mendapat Informasi (the right to be informed), dan 4) Hak Untuk Didengar (the right to be heard).27 Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union – IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen lainnya yang harus dilindungi, yaitu: 1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, 2) Hak untuk memperoleh ganti rugi, 3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, dan 4) Hak untuk memperoleh 25 26 27
Tim P3EI Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 135. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), h. 7.
76
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.28 Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu: 1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), 2) Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), 3) Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), 4) Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming), dan 5) Hak untuk didengar (recht om te worden goherd).29 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen yang dikemukakan oleh Jhon F. Kenedy, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”.30 Oleh karena itu hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hakhak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Menurut Zulham dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa ada beberapa persamaan antara istilah hak-hak perlindungan konsumen yang disebutkan sebelumnya dengan hak-hak perlindungan konsumen dalam Islam, yaitu: khiyar ‘aib dengan the right to safety, khiyar ta’yin dengan the right to choose, khiyar tadlis dan ‘aib dengan the right to be informed, khiyar ru’yah dengan the right to be heard.31 Di samping ada hak tentu ada juga kewajiban yang harus diperhatikan oleh seorang konsumen, terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut: Pasal 5 Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.32 Adanya kewajiban konsumen tersebut yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dianggap perlu, sebab kewajiban ini adalah untuk 28
29
30 31 32
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 39. Mariam Darus Badrul Zaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 1981), h.53. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 16. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 62-63. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 5.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
77
mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya perlindungan konsumen secara patut. Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Eksistensi Khiyar dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan transaksinya atau membatalkannya karena sebab tertentu. Jadi bisa dikatakan bahwa khiyar merupakan hak pembeli atau konsumen. Hukum positif yang berbicara tentang konsumen yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Berbicara tentang eksistensi khiyar dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, terdapat pada pasal 4. Sekilas, memang istilahistilah perlindungan hak-hak konsumen dalam Islam berbeda dengan istilah-istilah perlindungan hak-hak konsumen pada saat ini. namun setelah dikaji secara mendalam dari sisi pengaturan, nilai, dan tujuan memiliki peran dan fungsi yang sama dalam perlindungan hak-hak konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu jika dibandingkan terdapat persamaan antara: 1. Khiyar ‘aib dan khiyar syarath dengan the right to safety, dilihat pada pasal 4 huruf a. 2. Khiyar majlis dan khiyar ta’yin dengan the right to choose, dilihat pada pasal 4 huruf b. 3. Khiyar tadlis dan ‘aib dengan the right to be informed, dilihat pada pasal 4 huruf c dan h. 4. Khiyar ru’yah dengan the right to be heard. dilihat pada pasal 4 huruf d. Hal ini membuktikan bahwa jauh sebelum Barat dan Eropa mengenal hukum perlindungan konsumen, Islam telah melaksanakan dan menjalankan hukum perlindungan konsumen. Islam pada masa Rasulullah saw. belum mengungkapkan pengaturan perlindungan konsumen secara empiris seperti saat ini. Walaupun dengan keterbatasan teknologi pada saat itu, namun dasar-dasar tentang pengaturan perlindungan konsumen telah diajarkan oleh Rasulullah, sehingga pengaturan tersebut menjadi cikal bakal produk hukum perlindungan konsumen modern. A. Analisis dengan Perspektif Kaidah Fikih Islam merupakan agama yang universal telah memberikan ruang kebebasan yang luas bagi umat muslim dalam konteks ber-mu’amalah. Prinsip kebebasan ini juga dimiliki oleh muamalah sebagai salah satu bagian dari hubungan antar sesama manusia. Khususnya muamalah dalam pengertian sempit yang berarti hubungan transaksional atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam rangka untuk tukarmenukar manfaat.33 Rasulullah menegaskan bahwa segala bentuk perjanjian muamalah hukumnya adalah mubah (boleh), selama transaksi tersebut tidak menghalalkan yang haram ataupun mengharamkan yang halal. Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak dilarang baik dalam al-Qur’an maupun hadits, maka ia dapat dipandang sebagai suatu perjanjian yang sah menurut kacamata Islam. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
33
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 15.
78
AL-BANJARI %1
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 !"
#$ %&
'() +* , - . 0 / !"
Artinya: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”.34 Berdasarkan hadits tersebut, maka para ulama merumuskan kaidah penting yang menjadi acuan dalam pembentukan dan legalisasi berbagai akad yang dipraktekkan selama ini, yaitu:
ﺍﻷﺻﻞ ﰲ ﺍﳌﻌﺎﻣﻠﺔ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻲ ﲢﺮﳝﻬﺎ
Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.35 Kaidah tersebut mengindikasikan bahwa semua bentuk transaksi muamalah pada dasarnya diperbolehkan, baik transaksi tersebut berbentuk tradisional yang telah dilaksanakan seperti pada masa Rasulullah saw. dan ulama salaf, ataupun juga transaksi yang berbentuk modern dan kontemporer, kecuali dalam syari’at secara tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudharatan, adanya unsur penipuan, judi, dan riba. B. Analisis dengan Perspektif Maqâṣid Syarî’ah Secara bahasa maqâṣid syarî’ah terdiri dari dua kata yaitu maqâṣid dan syarî’ah. Maqâṣid bentuk jamak dari maqṣûd yang berarti tujuan atau kesengajaan. Sedangkan secara etimologi sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syariah adalah hukum agama yang menjadi peraturan bagi kehidupan manusia.36 Adapun secara istilah, maqâṣid syarî’ah ialah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat alQur’an dan hadits sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.37 Maqâṣid syarî’ah memiliki kategori dan peringkat yang tidak sama. Syatibi membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu ḍarûriyyât, ḥâjiyyât, dan taḥsîniyyât. Pengkategorian tersebut didasarkan pada seberapa besar peran dan fungsi suatu mashlahat bagi kehidupan manusia. Maqâṣid ḍarûriyyât tersebut meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan atau nasab, dan harta.38 Pemeliharaan harta inilah yang mungkin menjadi titik temu antara maqâṣid syarî’ah dan eksistensi khiyar dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di toko modern. Tindakan memakan harta orang lain secara bathil sangat dilarang oleh Allah, baik dalam bentuk pencurian, pemerasan, perampokan, judi, riba, suap, penipuan, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya.39 Inilah yang diinginkan dari konsep hifzul 34 35 36 37 38 39
At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi, Juz III, (Beirut:Dâr al-Garbi al-Islami, 1998), h. 626. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 130. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 984. Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 233. Ibid., h. 234. Jalâluddîn al-Mahalli, dan Jalâluddîn al-Suyûthi, Tafsir Jalâlain, tth, h. 83.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
79
mâl dalam maqâṣid syarî’ah, yaitu manusia dalam kepemilikan hartanya berhak untuk dihindarkan dari hal-hal yang dirugikan. Sebab jika berbagai bentuk kejahatan terhadap harta tersebut dilegalkan, akan terjadi kemudharatan yang berujung kepada hancurnya tatanan sosial, di mana manusia saling merugikan satu sama lain. Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. an-Nisa [4]:29) C. Analisis dengan Perspektif Fikih Salah satu dari syarat sahnya melakukan akad jual beli yaitu adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli). Sehingga dalam Islam mengatur adanya hak pilih (khiyar), yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad. Sebagaimana telah diuraikan pada sebelumnya bahwa para ahli fikih mengemukakan bermacam-macam khiyar. Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan jumlah khiyar tersebut. Adapun khiyar yang masyhur di kalangan ulama fikih, yaitu khiyar majlis, khiyar syarath, khiyar ‘aib, dan khiyar ru’yah. Di antara macam-macam khiyar tersebut yang telah diuraikan sebelumnya, bentuk khiyar majlis lah yang sering terjadi dalam transaksi baik di pasar tradisional maupun di toko modern. Proses produksi barang kebutuhan masyarakat yang kini berkembang karena kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat akhir-akhir ini, menghasilkan produk yang tidak dapat diperkirakan resiko dan manfaatnya oleh konsumen. Hal ini disebabkan karena informasi di balik proses produksi semakin tersembunyi di tengah kompleksitas pertumbuhan ekonomi dan industri yang semakin matang. Oleh karena itu dibutuhkan adanya bentuk perlindungan khususnya bagi konsumen. Salah satu bentuk perlindungan konsumen dalam Islam adalah melalui khiyar. Tujuan dari khiyar itu sendiri sejalan dengan tujuan diberlakukannya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha. Tujuan tersebut dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Sehingga kemashlahatan di antara kedua belah pihak dapat terjaga. Dengan adanya khiyar, diharapkan dalam sistem jual beli harus ada sikap saling menguntungkan, baik yang bersifat sosial maupun keuntungan yang bersifat ekonomi. Penutup Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi khiyar dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, terdapat pada Pasal 4, yaitu khiyar ‘aib dan khiyar syarath dengan the right to safety (pasal 4 huruf a), khiyar majlis dan khiyar ta’yin dengan the right to choose (pasal 4 huruf b), khiyar tadlis dan ‘aib dengan the right to be informed (pasal 4 huruf c dan
80
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
h), dan khiyar ru’yah dengan the right to be heard (pasal 4 huruf d). Eksistensi khiyar pada Pasal 4 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut ditinjau dari hukum ekonomi syariah telah sesuai dengan kaidah fikih, maqâṣid syarî’ah, dan fikih. Daftar Pustaka A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana, 2010. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991. Abu Yasid, Aspek-Aspek Penelitian Hukum; Hukum Islam – Hukum Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Agustin, Risa, Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya: Serba Jaya, tth. Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analisis Berdasarkan SumberSumber Autentik. Jakarta: Qisthi Press, 2009. Al-Mahalli, Jalâluddîn dan Jalâluddîn al-Suyûthi, Tafsir Jalâlain. tth. Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamî Wa Adillatuhu, Juz IV. Damsyiq: Dâr al-Fikr, 2006. Armstrong, Karen, Muhammad Prophet for Our Time. Bandung: Mizan, 2007. As-Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis. Bogor: AlAzhar Press, 2009. As-Sâbûni, Muhammad Ali, Safwâtut Tafâsîr, Juz III. Beirut: Dâr al-Fikr, 2001. At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi, Juz III. Beirut: Dâr al-Garbi al-Islami, 1998. Burhanuddin S., Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE UGM, 2009. -------------------------, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal. Malang: UIN Maliki Press, 2011. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2008. Dewi, Gamela, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2005. Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2009. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Tintamas, 1984. Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Hasani, Ismail, Nadzariyatu al-Maqashid ‘inda al-Imam ath-thahir bin Asyur. tth. Hidayat, Enang, Fiqih Jual Beli. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015. Ibnu Taymiyyah, Taqiyyuddin Ahmad, al-Hisbah fi al-Islâm. ditahkik oleh Said Muhammad ibn Abi Sa’dah, Kuwait: Maktabah Dâr al-Arqâm, 1983. Januri, Moh. Fauzan, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Rahmatul Huda dan Muhaimin
Eksistensi Khiyar
81
Jones, Gareth R. dan Jennifer M. George, Essentials of Contemporary Management. New York: The McGraw-Hill, 2007. Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syari’ah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Khan, Muhammad Akram, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi. Jakarta: Bank Muamalat, 1996. Ma’arif, Nelli Nailatie, The Power of Marketing: Practitioner Perspectives in Asia. Jakarta: Salemba Empat, 2008. Manan, Bagir, Penelitian Bidang Hukum, ditulis dalam jurnal Hukum. Bandung: Puslitbankum Unpad, 1999. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE, 2004 Muhjad, M. Hadin, Dasar-Dasar Penelitian Hukum. Banjarmasin, 2011. Nafis, M. Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: UI-Press, 2011. Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer; Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012. Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2009. Rahman, Afzalur, Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Swarna Bhumi, 2000. Sahroni, Oni dan Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam: Sintesis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press, 2015. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta: Universitas Indonesia, 2004. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000. Soejono, dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Buana Press, tth. Sofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
82
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Tim P3EI Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2008 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed. 3, cet. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Tjiptono, Fandy, Strategi Pemasaran. Yogyakarta: ANDI, 2008. Ya’qub, Hamzah, Etos Kerja Islami. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990. Zaman, Mariam Darus Badrul, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya. Bandung: Alumni, 1981. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana, 2013. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang- Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 70/M-DAG/ PER/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6290. Diakses pada 8 Januari 2016, pukul 14.30 WITA. ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/iqtishaduna/article/view/75. Diakses pada 8 Januari 2016, pukul 14.15 WITA. https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Politik-2015.pdf. Diakses pada 23 Maret 2016 pukul 20.00 WITA. https://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi. Diakses pada 10 Juni 2016, pukul 06.15 WITA. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39472/6/Cover.pdf. Diakses pada 8 Januari 2016, pukul 14.00 WITA.
AL-BANJARI, hlm. 83-98
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 83
ISTIDLAL FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL TENTANG JUAL BELI EMAS TIDAK TUNAI
Ahmad Zakki Zamani Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah Email:
[email protected] Abstract Fatwa of DSN-MUI No.77 / DSN-MUI / V / 2010 issued on June 3, 2010 states that selling and buying gold with non-cash payment is allowed (mubah) as long as the gold is not as the official medium of exchange (subtituting money) either through purchase or ordinary selling murabaha.This fatwa is controversial among scholars. Some argue that this fatwa is in contrast to the hadiths explaining that it is not allowed to sell an usury item with other item unless it is cash. It also should not be selled by loan although the items are in different types and sizes. The authors are interested in doing research with a focus on two issues, namely: the method of istinbath in a fatwa of DSN law on non-cash trade in gold and its relation with National Sharia Board Fatwa No.77 / DSN-MUI / V / 2010 On Selling and Buying Gold Non-Cash with four Imam sect.. Keywords : Istidlal, Murabaha, Istinbath Pendahuluan Islam telah menentukan aturan-aturan terkait dengan jual beli. Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terhadap peralihan hak atas suatu benda (barang) dari pihak penjual kepada pihak pembeli, baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung (tanpa perantara). Dalam jual beli sudah ditetapkan mengenai rukun dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu dalam prakteknya, jual beli harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Islam.1 Dalam praktek jual beli di masyarakat, kadangkala tidak mengindahkan hal-hal yang dapat merugikan satu sama lain. Kerugian tersebut ada kalanya berkaitan dengan obyek ataupun terhadap harga. Kerugian ini disebabkan karena ketidaktahuan ataupun kesamaran dari jual beli tersebut.2 Praktek jual beli emas yang terjadi pada masa sekarang khususnya di perbankan syariah, sebagian berpendapat jual beli tersebut mengandung unsur ketidaktahuan atau 1
2
Abdullah Siddiq al-Haji, Inti Dasar Hukum Dalam Islam, (Cet I, Jakarta : Balai Pustaka, 1993), h. 55. H. Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (bag.I, Cet I, Jakarta : Balai Pustaka, 1997), h.40.
84
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
kesamaran terhadap obyek yang telah diperjual belikan, baik penjual maupun pembeli tidak dapat memastikan wujud dari obyek yang telah diperjualbelikan berdasarkan tujuan akad, yakni jual beli emas dengan sistem murabahah atau yang lebih dikenal dengan investasi emas.3 Ada salah satu hadis nabi yang kualitasnya shahih menyebutkan tentang pelarang jual beli emas seperti: “Telah menceritakan Yahya bin Yahya mengatakan saya telah membaca pada Malik dari Nafi’ dari Aby Sa’id al Khudri sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan: “janganlah menjual emas dengan emas kecuali sepadan, dan janganlah melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Janganlah jual beli sesuatupun dari (emas dan perak) itu yang tidak ada (terhutang) dengan yang ada (tunai)”4 Asbabul wurud mengenai hadist ini adalah ketika Rasulullah ditanya tentang pertukaran antara gandum dengan syair, emas dan perak dengan pembayaran diakhirkan, maka rasulullah pun menjawabnya dengan hadist tersebut. Dalalah/isi kandungan hadist di atas adalah qoth’i; mengandung satu makna tentang pelarangan jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan jewawut dengan jewawut kecuali sepadan ataupun ditunaikan terlebih dahulu.5 Munculnya fatwa DSN yang masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini yaitu fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai No. 77 tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2010 menyatakan hukum mubah melakukan praktek jual beli emas secara tidak tunai.6 Dalam fatwa tersebut juga dicantumkan dan dipaparkan beberapa hasil keputusan Rapat Pleno DSN-MUI yang terjadi pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/ 3 Juni 2010 M yang salah satunya berbunyi : Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi tentang larangan jual beli emas tidak tunai merupakan ahkam mu’allalah (hukum yang memiliki ‘illat) dan ‘illat-nya adalah tsamaniyah, yang mengandung arti bahwa emas dan perak pada masa wurud hadis merupakan tsaman (harga, alat pembayaran atau pertukaran, uang). Dan saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang, tetapi memperlakukannya sebagai barang (sil’ah). Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam dalil fatwa DSN-MUI ini mengambil suatu ‘illat hukum terhadap hadis Nabi yang mengartikan emas dengan tsaman. Pertimbangan lain yang menjadi dasar Fatwa DSN-MUI ini adalah pertimbangan latar belakang sosial budaya, salah satunya adalah kaidah fikih: “Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat”. 7 Kegiatan jual beli emas tidak tunai ini terus berjalan sampai saat ini di perbankan syariah. Munculnya kegiatan investasi atau berkebun emas yang oleh pakar ekonomi 3 4 5 6 7
Ibid, h. 41. Imam Nawawi, Terjemah Syarah Shahih Muslim, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), h. 57 Ibid, h. 60. Ibid, h. 45. Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz.2, h. 228.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
85
syariah dan fiqh terdapat unsur riba, spekulasi, gharar, disamping itu proses kegiatannya, dalil-dalilnya, maupun fatwa DSN itu sendiri dianggap bermasalah oleh kalangan tertentu. Dengan adanya permasalahan ini, penulis akan memfokuskan penelitian ini kepada pengambilan dalil illat hukum DSN-MUI mengenai jual beli emas tidak tunai ini agar dapat menemukan solusi berdasarkan petunjuk ilmiah dalam mengungkapkan kebenaran fatwa. Pembahasan Konsep dan Teorti Istidlal Definisi Istidlal Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.8 Dalam proses pencarian, al-Qurân menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, ijma’ menjadi yang ketiga dan qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan lain-lain. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.9 Definisi di atas menunjukan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan al-Qurân, kemudian As-Sunnah, lalu Ijma selanjutnya qiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada al-Qurân, As-Sunnah, Al-‘Ijma dan Al-Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain ( Istidlal ). Pembagian Istidlal Istidlal terdiri dari dua macam, yaitu Istidlal Qiyasi dan Istidlal Istiqra’i (istiqra’i disebut juga istinbathi) :10 a) Istidlal Qiyasi Menurut Al-Jurzany, pengertian Qiyas adalah sebagai berikut:“penuturan yang tersusun dari keputusan-keputusan (qadhiyah), yang jika keputusan-keputusannya benar, mesti melahirkan suatu kesimpulan (natijah). Menurut penelitian ahli mantiq, qiyas ada dua macam :Pertama, qiyas iqtirani, kedua, qiyas istisna’i. Qiyas istiqrani adalah: suatu qiyas yang dua muqadimahnya mengandung natijah secara implisit (bil kuwah), tidak eksplisit (bil fi’il). Dan ada bentuk hamli ada yang syarthi.11 Qiyas istisnai’ adalah qiyas yang natijahnya telah disebutkan atau naqidnya dengan nyata (bil fi’li). Qiyas istisna’i hanya tersusun dari dua qadiyah syarthiyah. Qiyas istisna’i mempunyai ciri pada kedua qadhiyahnya yaitu terdapatnya adat istisna’i, yakni “lakin” 8
9 10
11
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 50. Ibid. Sukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1996 ), h, 113. Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, (Riyadh: Maktabah AlMamlakat Al-Arabiya, t.th) , h. 440.
86
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
yang artinya akan tetapi, istisna’i ada yang ittishal artinya (terikat) ada yang infishal (artinya tidak terikat). Bentuk yang bermakna ittishal ada dua :12 b) Istidlal Istiqra’i istidlal Istiqra’i adalah proses berpikir dengan cara menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian yang cermat dan tepat. Istilah lain untuk istidlal istiqra’i ini adalah istinbathi (induktif).13 Sedangkan Para ulama ushul fiqih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa macam, antara lain : istishab, maslahah mursalah, istihsan, sadduz zara’i, ilham.14 Konsep dan Teori Istinbath Hukum Pengertian Istinbath Istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.15 Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayatayat al-Qurân dan hadis-hadis Nabi s.a.w..Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.16 Bentuk-Bentuk Istinbath Hukum Islam a) Metode Bayani Dalam khasanah ushul fiqh, metode ini sering disebut dengan al-qawa’idallugawiyyah, atau dilalat al-lafz. Inilah yang disebut dengan metode bayani, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Arab.17 b) Metode Ta’lili Metode ini diigunakan untuk mengali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun zhanni dan tidak juga ada ijma yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada, berdasarkan kegunaan dan kedudukannya, illat dibagi menjadi illat tasyri dan illat qiyasi.18 c) Metode Istislahi Metode istislahi adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Jadi biasanya, metode ini baru digunakan bila metode bayani dan ta’lili tidak dapat dilakukan. Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: kategori pertama, sasaran-sasaran 12 13 14 15
16 17
18
Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih, h 208. Ibid, h.443. Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hm. 203. Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung : Mizan Anggota IKAPI, 1996), h. 25. Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), h. 1. Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uṣul al-Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama. 1994), h 1. Ibid, h.2.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
87
(maqasid) yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syariat melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia. Dalam hal ini ada tiga kategori, yaitu daruriyah, hajiyyah, dan tahsiniyah.19 Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Jual beli secara tidak tunai/kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).20Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai/kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak tunai.21 Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma), dalam jual beli, emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi22 dikarenakan illat-nya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang modern.23 Dan dikarenakan sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang berbeda. Syarat yang diberikan oleh Islam dalam jual beli emas (dikenal dengan istilah: sharf) tidak bisa ditawar-tawar berdasarkan hadis berikut : “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584) Sehingga syarat jual beli emas ada 2 yaitu : 1) Jika emas ditukar dengan emas, maka syarat yang harus dipenuhi adalah (1) yadan bi yadin (harus tunai), dan (2) mitslan bi mitslin (timbangannya sama meskipun beda kualitas). 2) Jika emas ditukar dengan uang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah yadan bi yadin (harus tunai), meskipun beda timbangan (nominal). Implementasi dalil ini dalam konteks kekinian memunculkan ragam persepsi, terutama saat emas atau perak tak lagi diposisikan sebagai media utama bertransaksi. Perbedaan pendapat pun muncul, baik di kalangan ulama salaf atapun khalaf (kontemporer). Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, dengan penjelasan sebagai berikut : 19 20
21 22
23
Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uṣul al-Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, h 313. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 760. Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi, h 124. Benda-benda yang telah ditetapkan ijma’ atas keharamannya karena riba ada enam macam yaitu: emas, perak, gandum, syair, dan kurma, dan garam. Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, (Jakarta: Hasyimi Press, 2010), h.226. Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi, h 86.
88
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
a. Ulama yang tidak membolehkan jual beli emas secara tidak tunai Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad Hanbali). b. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu’ah, mufti Mesir. Hukum Jual Beli Emas Tidak Tunai Menurut Para Ulama Pandangan Ulama Empat Mazhab Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma), emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi24 karena illatnya yaitu sebagai patokan harga dan merupakan alat pembayaran yang fungsinya seperti mata uang modern.25Oleh sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang berbeda.26Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad Hanbali).Dinyatakan dalam hadis Ubadah bin Shamit ra, beliau berkata :
ﺍﻟﺘﻤﺮ، ﺍﻟﺸﻌﲑ ﺑﺎﻟﺸﻌﲑ، ﺍﻟﱪ ﺑﺎﻟﱪ، ﺍﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ، )ﺍﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ:ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ 27 ٍ ﺍﳌﻠﺢ ﺑﺎﳌﻠﺢ ﻣﺜ ﹰ،ﺑﺎﻟﺘﻤﺮ (ﲟﺜﻞ ﺳﻮﺍ ًﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ ﻼ ﹴ
“Telah bersabda Rasul Saw : “Emas dengan emas, perak dengan perak, biji gandum dengan biji gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus semisal dan sama” Benda-benda ribawi menurut ijma ada enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i illat emas dan perak karena menjadi patokan harga dan yang bisa disamakan dengan uang.28 Jika melakukan jual beli emas dan perak mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Dan pendapat ini disetujui pula oleh Imam Malik. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukat, dan sama hukumnya.29 24
25 26 27
28
29
Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas keharamannya karena riba ada enam macam yaitu : emas, perak, gandum, syair, dan kurma, serta garam. Syaikh Al-Alamah Muhammad, fiqh emapat mazhab, (Jakarta : Hasyimi Press, 2010), h. 226. Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi, h. 86. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, ,h 50. Hadis, “shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalam Mausu’at al-Hadis al-syarif, edisi 2, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h.340-343. Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 5, Jilid V ,(Semarang: Pustaka Rizki
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
89
Jadi menurut jumhur ulama khususnya Imam Empat Mazhab, bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat, sedangkan kurma, gandum, sya’ir, dan garam juga memiliki illat tersendiri, dan hukumnya haram jika diperjualbelikan secara kredit. Pandangan Ulama Kontemporer Para ulama kontemporer seperti yang disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu’ah, mufti Mesir yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai. Dalil yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi saw :
* ! +, (! *+, ' -!. 89"'( ;: <. 56=/%0!( 1/%2 3! 4 ! ! % (! 4! %
! #" $% #& ' (! )" 89"'( ;: <. 56=/%0!( 1/%2 3!
' -!. 567"'( 30 .H " ED ;FG2 > ?6 @ ! (! A-B C 8"2 ' -!.
567'" (
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak.” Muttafaq Alaihi Menurut Syekh Ali Jumu’ah yang dikutip dalam fatwa, emas dalam hadis ini mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul : ﺍﳊﻜﻢ ﻳﺪﻭﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ “hukum itu berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat”. Ketika saat ini kondisi itu telah berubah, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan ‘illat-nya, baik ada maupun tiada.Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara’ untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.31 Selanjutnya dalam fatwa DSN-MUI mengutip pendapat Ibnu Taymiyah yaitu,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).” 32 Selanjutnya kutipan dari Ibnul Qayyim lebih lanjut menjelaskan, “Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan 30
31 32
Putra, 2003) , h.262. CD Room Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalam Mausū’at al-Hadīts al- Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997. Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, h 4. Ibid, h 7.
90
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jualbeli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama.33 Jadi menurut Ulama Kontemporer emas sudah berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang) maka boleh dilakukan jual beli terhadapnya baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang). AnalisisMetode Istinbath Hukum Dewan Syariah Nasional No.77/DSNMUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Metode istinbath yang digunakan DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai adalah berdasarkan al-Qurân, hadis Nabi Saw, kaidah ushul, kaidah fiqh, dan pendapat para ulama, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Firman Allah SWT dalm QS Al-baqarah Ayat 275 : "… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …" Lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya tentang jual beli yaitu mencantumkan ayat al-Qurân di atas, yaitu dalil al-Qurân yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual beli yaitu QS. al-Baqarah ayat 275. 2)Hadis Nabi Saw Dalil-dalil dari hadis Nabi Saw ada enam hadis yang digunakan untuk menjadi landasan fatwa, empat diantaranya yaitu : a) Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan emas haruslah secara tunai. b) Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai. c) Hadis tentang larangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang tunai. d) Hadis tentang larangan untuk menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai) Empat hadis di atas secara tegas dan eksplisit melarang transaksi emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil) . Sedangkan dua hadis lain berkaitan dengan dasar dalam berjual beli yaitu : a) Hadis tentang jual beli harus berdasarkan kerelaan pihak yang bertransaksi. 33
Ibid.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
91
b) Hadis tentang musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kedua hadis diatas menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengambilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Menurut DSN-MUI, saat ini masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas dan perak sebagai uang, tetapi sebagai barang (sil’ah). Karena itu, jual beli emas dan perak secara tangguh diperbolehkan.Hal inisesuai dengan kaidah ushul yang menjadi landasan DSN-MUI. 3) Kaidah Ushul Kaidah Ushul dalam fatwa yang digunakan adalah “hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat”. Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnyamerupakan kelaziman dalam mengambil hukum.Kaidah ini mereferensi dari buku yang ditulis Ali Ahmad al-Nadawiy. 4) Kaidah Fiqih DSN-MUI menyebukan 4 kaidah fikih, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu : a) Adat (kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan hukum. b) Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uangdalam muamalat. c) Setiap hukum yang didasarkan pada suatu ‘urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah. Dan yang keempat adalah kaidah dasar dalam bermualah : d) Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali adalil yang mengharamkannya. 5) Pendapat Para Ulama Yang Membolehkan Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman(harga, alat pembayaran, uang).Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman(harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.34 Kedua, Pada zaman ini manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli 34
Fatwa DSN_MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010, h 9.
92
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli emas secara angsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka akan mengalami kesulitan. Sekiranya pintu (jual beli emas secara angsuran)ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang, masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak terkira.35 Dengan demikian, dalam penetapan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai DSN-MUI mengacu pada prosedur penetapan metode Istidlal kemudian diistinbathkan dengan hukum mubah dalam jual beli emas tidak tunai, metode yang digunakan DSN yaitu metode Istinbath Istislahi yaitu penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa fatwa yang dikeluarkan DSN secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah dalam mengeluarkan fatwa. Analisis Relevansi Fatwa Dewan Syariah Nasional No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Dengan Ulama Empat Imam Mazhab Analisis Pandangan Ulama Empat Imam Mazhab Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Jumhur ulama sepakat berdasarkan hadis-hadis nabi tentang jual beli emas, maka disimpulkan benda-benda yang diharamkan riba yang dinashkan dengan ijma ada enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan benda-benda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang.36 Menurut Imam Syafi’i illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak saja.Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Dan pendapat ini disetujui Imam Malik. Menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukat, dan sama hukumnya.37 Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan hadis tersebut sebagai sebab (illat) dimana emas dianggap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : “jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha’ dengan dua sha”. Keempat hadis yang melarang berjual beli emas secara tidak tunai ini telah menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata cara mentransaksikannya diingatkan begitu rinci oleh Nabi Saw. Mengingat emas adalah 35 36 37
Ibid. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam,, hal.340-343. Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 5, Jilid V , , hal.262.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
93
logam mulia yang secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang menyimpan nilai dan sebagai pengukur nilai barang lain, sehingga emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran atau uang. Imam Syafi’i dan Imam Malik menginterpretasikan hadis riba tersebut secara berbeda. Dalam pandangan mereka, dua jenis pertama mewakili penentu harga (tsaman) sedangkan empat jenis barang yang lain terkait dengan makanan. Dengan paham ini segala bentuk jual beli yang dibayar dengan uang secara hukum dibenarkan. Menurut Imam Syafi’i uang tidak bisa dikategorikan ke dalam makilat maupun mauzunat, melainkan terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Lebih jauh karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar (tsamaniya), pendapat Imam Syafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan dan lebih pragmatis. Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga didukung oleh hadis Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk memperoleh penghidupan”.38 Konsep Imam Syafi’i mengenai tsamaniah membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi-berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya. Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan manusia. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut. Meskipun demikian Imam Syafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang berbeda. Jika dikaitkan dengan metode istidlal dan istinbath hukum yang dilakukan oleh para ulama empat mazhab, hanya melakukan kajian fahmul hadis (pemahaman hadis) secara tekstual dengan menyandarkan beberapa pendekatan historis seperti asbababul wurud hadis, dan pengambilan illat hukum emas yang masih tetap sebagai tsaman. Dapat disimpulkan dari pendapat imam empat mazhab, walaupun uang dan emas adalah dua jenis yang berbeda, akan tetapi keduanya mempunyai illat yang sama yaitu mempunyai nilai tukar. Karenanya keduanya boleh ditukarkan dengan syarat harus kontan. Analisis Fatwa DSN/MUI NOMOR:77/DSN-MUI/V/2010 tentang Kebolehan Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut DSN-MUI hadis tentang pelarangan jual beli emas tidak tunai mengandung illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat pada masa dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah berubah, perubahan kondisi menyebabkan perubahan hukum. 38
Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah ‘Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, Taisirul ‘Allam Syarhu Umdatil Ahkam. h. 205
94
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan bahwa, emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman(harga, alat pembayaran, uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman(harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.39 Relevansi Fatwa Dewan Syariah Nasional No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Dengan Ulama Empat Imam Mazhab Dalam hal jual beli emas secara tidak tunai para ulama berbeda pendapat di antaranya Pertama melarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Kedua membolehkan; dan ini pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, disini terjadi perbedaan pandangan mengenai illat pada obyek jual belinya yaitu emas. Dan DSN-MUI menggunakan pada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, Ibnu Taimiyah berpendapat,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagaiharga (uang).”40 Imam Syafi'i berpendapat bahwa menjual emas dan perak (lain jenis) dengan berbeda lebih banyak adalah boleh, tetapi jika sejenis (emas dengan emas) tidak diperbolehkan dengan kata lain riba, sedangkan Imam Syafi'i mensyaratkan agar tidak riba yaitu sepadan (sama timbangannya, takarannya dan nilainya) spontan dan bisa diserah terimakan. Dan mereka sepakat bahwa jual beli mata uang harus dengan syarat tunai, tetapi mereka berbeda pendapat tentang waktu yang membatasi. Imam Hambali dan Syafi'i berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimanya pada saat transaksi atau penerimaannya terlambat. Tetapi imam Maliki berpendapat jika penerimaan pada majelis terlambat, maka jual beli tersebut batal, meski kedua belah pihak belum berpisah. Emas dan uang kertas itu sama pada dasarnya hal itu dikarenakan emas diterima oleh masyarakat sebagai alat penukar tanpa perlu dilegalisasi oleh pemerintah (bank sentral), sedangkan uang kertas diterima sebagai alat penukar karena pemerintah mengatakan behwa uang kertas itu adalah alat pembayar yang sah.41 39 40 41
Fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSN-MUI/V/2010, h 9. Ibid, h. 11. Prathama Rahardja, Uang Dan Perbankan, (Jakarta: Rineka Cipta,Cet-III, 1997), h. 11.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
95
Dalam hal inilah kita dapat melihat bahwa uang dapat mengambil bentuk barang yang nilainya dianggap sesuai dengan kemampuan tukarnya.Emas dan perak memiliki nilai yang dianggap sebagai komoditas untuk menyimpan kekayaan.Ibnu Khaldun menulis, tuhan menciptakan dua logam mulia (emas dan perak) itu untuk menjadi alat pengukur nilai/ harga bagi segala sesuatu.42Al-Maqrizi dalam Ighatsah menambahkan, tuhan menciptakan dua logam mulia itu bukan sekedar sebagai alat pengukur nilai, atau untuk menyimpan kekayaan, tapi juga sebagai alat tukar.43Para ulamamazhab yang berpendapat demikian itu ialah Imam Malik, Ahmad dan sebagian ulama Syafi’iyyah. Alasan mereka ialah karena dengan cara demikian itu agar tercapai tujuan agama Islam mencegah riba dan menutup kemungkinan dari praktek riba itu.44 Agar dapat mengamati secara jelas perbedaan yang terjadi antara ulama empat Mazhab dan DSN yang mengambil rujukan ulama kontemporer, maka penulis membuat tabel sebagai berikut: Pemahaman Hadis Jual Beli Emas antara DSN dan Ulama Empat Mazhab No 1
2
Hadis-Hadis Yang Dijadikan Dalil Jual Beli Emas Dari ‘Ubadah binShamit, Nabi s.a.w. bersabda:“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak,gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai.Jika jenisnyaberbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai. -
Dari Umar bin Khatthab, Nabis.a.w. bersabda:“(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali(dilakukan) secara tunai.”
-
-
-
42 43 44
DSN-MUI Yang dijadikan illat dalam hadis ini adalah emas dan perak, dimana keduanya merukan media pertukaran dan transaksi di masyarakat. Hukum berputar (berlaku) bersama dengan illatnya, baik ada maupun tiada, maka ketika saat ini kondisi itu telah tiada , maka tiada pula hukum tersebut. Tidak ada larangan syara’ menjual belikan emas yang telah dibuat secara angsuran. Syaikh Ali Jum’ah : Emas dan perak yang telah dibuat (menjadi perhiasan) boleh dilakukan jual beli secara angsuran Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani : Emas dan perak yang sudah dibentuk perhiasan sudah keluar dari fungsi sebagai tsaman, maka boleh dilakukan dengan tidak tunai. Ibnu Taimiyah : Boleh melakukan jual beli emas dan perak selama dibentuk menjadi perhiasan (bukan emas batangan) baik dilakukan secara tunai maupun tidak. Ibnu Qayyim :
Ulama Empat Mazhab -
-
-
-
Jumhur ulama sepakat benda-benda yang diharamkan riba berdasarkan hadis ada enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Imam Syafi’i dan Imam Malik : illatkeharaman pada hadis hanya dengan emas dan perak saja. Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah Ulama Hanafiyah: berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan peraksecara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yangditimbang. Imam Ahmad bin Hanbal: sebab (illat) dalam hadis ini dimana emas dianggap sebagai takaran atau timbangan
Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, (Jakarta: Pt.Ufuk Publising House, 2012), h. 92. Ibid. As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Jilid III, terj. Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam III, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995), h. 142.
96 3
AL-BANJARI Dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabis.a.w. bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama(nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atassebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perakkecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkansebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjualemas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yangtunai.”
Ikhti l-af Al Jam’u wa at-Taufiq Dengan metode Istidlal Qiyashi Istisna’i
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 Pembuatan emas dan perak menjadi perhiasan telah keluar ari tujuannya sebagai harga dan telah dimaksudkan untuk perniagaan, maka tidak ada larangan untuk memperjual belikan sejenis secara tidak tunai.
dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab.
Kebolehan jual beli emas tidak tunai Keharaman emas disebabkan selama emas tersebut dibentuk dan emas bukan sebagai dan dijadikan perhiasan. dijadikan barang (sila’). Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunai. Tetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunai Akan tetapi emas bukan perhiasan = tunai
Dari tabel diatas penulis memberikan perbandingan yang menjadi letak perbedaan dalam memahami hadis yang dijadikan dalil sebagai pelarangan jual beli emas tidak tunai.Dan dapat disimpulkan bahwa letak perbedaan tersebut terdapat pada penetapan illat emas itu sendiri baik sebagai harga maupun sebagai barang. Kemudian setelah penulis membuat kesimpulan statement terhadap masingmasing pendapat baik DSN yang mengambil pendapat Ulama kontemporer dan Ulama empat mazhab.Maka penulis berpendapat kedua kelompok tersebut masing-masing memberikan pendapat dengan dalil-dalil yang rajih (kuat). Agar dapat menghilangkan perbedaan tersebut maka penulis melakukan metode Al-jam’u wat Taufiq yaitu menghubungkan dua dalil yang Nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian. Maka untuk melakukan prosestersebut penulis menggunakan jalan Istidlal Qiyashi Istisna’i yang telah diambil kesimpulan statement yaitu : Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunai Tetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunai Akan tetapi emas bukan perhiasan = tunai Jadi antara fatwa DSN dan Ulama Empat mazhab pada dasarnya tidak ada perbedaan atau ikhtilaf pendapat tentang kebolehan jual beli emas tidak tunai, baik ulama kontemporer yang dirujuk DSN maupun ulama empat imam mazhab saling melengkapi dalam menjelaskan makna pemahaman hadis tersebut. Dimana selama emas tersebut tidak dijadikan perhiasan (barang) maka dalam melakukan jual belinya harus tunai sedangkan jika dijadikan perhiasan maka boleh dijualbelikan secara kredit.
Ahmad Zakki Zamani
Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional
97
Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan serta membanding pendapat DSN-MUI dan Empat Imam Mazhab, dimana DSN mengambil rujukan dari pendapat Ulama kontemporer seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Ali Jum’ah yang berpendapat bahwa emas dan perak yang sudah dibentuk menjadi perhiasan adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang), sedangkan pendapat ulama empat Imam Mazhab sepakat bahwa emas yang bukan perhiasan dalam jual belinya disyaratkan tunai dan emas termasuk kedalam barang ribawi. Penulis berpendapat kedua kelompok tersebut masing-masing memberikan pendapat dengan dalil-dalil yang rajih (kuat). Dengan menggunakan metode al-jam’u wat taufiq yaitu menghubungkan dua dalil yang nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian dengan menggunakan jalan Istidlal Qiyashi Istisna’i dapat disimpulkan: Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunai Tetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunai Akan tetapi emas bukan perhiasan = tunai Jadi antara fatwa DSN dan ulama empat mazhab pada dasarnya tidak ada perbedaan atau ikhtilaf tentang kebolehan jual beli emas tidak tunai, baik ulama kontemporer yang dirujuk DSN maupun ulama empat imam mazhab saling melengkapi dalam menjelaskan makna pemahaman hadis tersebut. Dimana selama emas tersebut tidak dijadikan perhiasan (barang) maka dalam melakukan jual belinya harus tunai sedangkan jika dijadikan perhiasan maka boleh dijualbelikan secara kredit. Daftar Pustaka Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah ‘Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib,“Taisirul ‘Allam Syarhu Umdatil Ahkam”, (Malang: Cahaya Tauhid Press, Cet.VII, 2010). Ahmad, Imam bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya : Al-hidayah). Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974). Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Ibnu Majah, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2005). Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugul Maram, terjemahan A. Hasan (Bandung : Diponegoro, 2000). Antonio, Mohammad Syafi'i, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Cet II, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009). Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).
98
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadis 5, Jilid V , (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003) . Hadi, Muhammad Sholikul, Pegadaian Syariah, Edisi Pertama. (Jakarta : Salemba Diniyah, 2003). Huzaemah, Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet.I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) . Haq, Hamka, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998). Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, Jakarta: Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 200). Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, (Semarang: Pustaka Zaman, 2007). Imam Abi Al-Husein Muslim, “Shahih Muslim”, Juz I(Bairut-Libanon : Darul Fikr, tt) .
AL-BANJARI, hlm. 99-124
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 99
INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DALAM PEMBELAJARAN KURIKULUM PAI (Perspektif Islam dan Barat serta Implementasinya)
Rabiatul Adawiah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Antasari Banjarmasin Email:
[email protected] Abstract: The Islamic teachings contain various moral and ethical values which is very important in today's modern era because Islam always concerns with the balance between body and spirit, inward and outward, spiritual and the material, between world and hereafter. Islam can provide moral and ethical values in the development of science. With religion, it is expected that man does not forget himself after successfully developing science, and aware that the science he developed is an ongoing effort within the framework of worship. Therefore, through science, humans will find the ultimate truth that is God. Science is one of the strategic doors to bring people closer to God through intensive and serious effort to consider the universe to the perfection of human life, both physically and spiritually. Through the integration of science and religion developed in PAI (Islamic Education), it is expected to produce the learners who have a scientific attitude, scientific responsibility, capability of utilizing science and become ululalbab. Keywords: Integration, science, religion, Islamic Education Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri bahwa sains dan agama adalah dua hal yang semakinmemainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan sains di dunia modern tidak berarti menurunnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, sebagaimana selama ini diprediksi dalam teori sekularisasi. Kencenderungan semakin menguatnya sains dan agama menarik perhatian banyak kalangan, terutama berkenaan dengan hubungan antarkeduanya. Banyaknya pandangan dan doktrin agama yang tampak bertentangan dengan teori sains modern memungkinkan terjadinya “konflik” antara agama dan sains. Kasus eksekusi gereja terhadap Galileo pada abad 19 dan perdebatan panjang antara pendukung teori evolusi dan teori penciptaan menjadi bukti nyata betapa konflik telah mewarnai hubungan sains dan agama. Pada realitasnya, agama menjalin hubungan dengan sains dalam pola yang tidak sederhana. Ada spektrum yang cukup luas dalam pandangan tentang relasi sains – agama: dari ekstrim konflik hingga peleburan total. Dalam wacana kontemporer
100
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
menurut Thayyib1, terdapat empat teori yang diangkat dalam perdebatan relasi sains - agama; konflik, kontras (independen), kontak (dialog) dan konfirmasi (integrasi). Kubu konflik memandang agama dan sains secara instrinsik berlawanan. Keduanya bertarung untuk saling menyalahkan, bahkan saling meniadakan, dan karena itu tidak mungkin bisa dipertemukan. Seseorang tidak bisa secara bersamaan mendukung teori sains dan keyakinan agama. Agama tidak dapat membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight forward), sementara sains bisa menunjukkannya. Sementara itu kaum agamawan berargumentasi sebaliknya, baginya sains tidak punya otoritas untuk menjelaskan segala hal yang ada di muka bumi. Rasio yang dimiliki oleh manusia sebagai satu-satunya instrumen sains sangatlah terbatas dan dibatasi. Kubu kontras (independent) memandang agama dan sains masing-masing memiliki persoalan, wilayah kerja, metode sendiri-sendiri yang otonom, terpisah dan absah. Meskipun tidak perlu bertemu (contact), keduanya harus saling menghormati integritas masing-masing. Adapun kubu kontak atau dialog sebaliknya, menyarankan agama saling bertukar pandangan dengan sains untuk memperkaya perspektif tentang realitas. Akan tetapi keduanya tidak mesti bermufakat, apalagi meleburkan diri. Model dialog ini justru mencari titik persamaan antara sains dan agama. Kesamaan antara sains dan agama menurut Barbour bisa terjadi pada kesamaan metodologis dan konsep. Secara metodologis kebenaran sains tidak selamanya objektif sebagaimana agama tidak selamanya subjektif. Sementara secara konseptual keduanya menemukan muara persamaan, misalnya pada teori komunikasi informasi. Sedangkan kubu konfirmasi atau integrasi menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan, terutama dalam berbagai pandangan tentang anggapan dasar tentang realitas, tanpa harus kehilangan identitas masing-masing. Sains memperkuat dan mendukung keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Terlepas dari empat teori dalam perdebatan relasi sains - agama di atas, realitas yang tampak akibat kemajuan sains adalah memberikan dampak berupa lahirnya sikap mendewakan rasionalitas manusia, mengukur keberhasilan dari segi materi dan mengklaim agama sebagai penghambat kemajuan dan kebebasan manusia.2 Jujun S. Suriasumantri mengungkapkan bahwa nilai agama berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan. Hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses pembudayaan melainkan dekadensi, keruntuhan peradaban. Dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan: sebuah makna, semacam arti, yang membedakan seorang manusia dari ujud berjuta galaksi. Kemajuan pesat di bidang ilmu dan teknologi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama. Seperti juga seni 1
2
Lalu Ibrahim Muhammad Thayyib, Keajaiban Sains Islam : Mengungkap Kebenaran Isi Alquran dan Hadits Dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010), hlm. 9. A. Charis, Zubair. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam (Kata Pengantar), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1977), hlm. V.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
101
dengan ilmu maka agama dengan ilmu saling melengkapi; kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi.3 Dari uraian di atas, maka makalah ini akan menelusuri persoalan sains dan agama lebih dalam serta integrasinya, termasuk implementasinya terhadap PAI dengan mengungkapkan beberapa persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimana makna sains, agama dan pendidikan Islam? 2. Bagaimana integrasi sains dan agama dalam perspektif Islam dan Barat? 3. Bagaimana perkembangan sains? 4. Bagaimana implementasi integrasi sains dan agama dalam pembelajaran/ kurukulum PAI? 5. Bagaimana aksiologi integrasi sains dan agama dalam Kurikulum PAI? Semoga tulisan ini mampu memberikan solusi atas kelima persoalan tersebut. Saran, kritikan dan masukan tentulah sangat diharapkan demi kesempurnaan. Semoga tulisan ini memberikan inspirasi dan manfaat bagi kita semua.Amin, Ya Rabbal Alamin. Makna Sains, Agama dan Pendidikan Islam Makna Sains Sains dari kata “science” artinya “toknow”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Science dapat diterjemahkan ilmu. Istilah science atau ilmu merupakan suatu kata yang sering diartikan dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam arti sebagai natural science, biasanya dimaksudkan dalam ungkapan “sains dan teknologi”. Dalam kamus istilah ilmiah dirumuskan pengertian sciences and technology sebagai “the study of the natural sciences and the application of the knowledge for practical purpose”, yang artinya adalah penelaahan dari ilmu alam dan penerapan dari pengetahuan ini untuk maksud praktis. 4 Sains berarti ilmu, yaitu pengetahuan tentang suatu bidang tertentu disusun secara sistematis dengan metode tertentu untuk menerangkan gejala tertentu. Adapun sifatnya sistematis, koheren, empiris, dapat dibuktikan dan diukur.5 Menurut Hergenhahn dan Olson, Science (Ilmu Pengetahuan Ilmiah) mengombinasikan dua pandangan filsafat kuno tentang asal usul pengetahuan. Salah satunya, yang dinamakan rasionalisme, menyatakan bahwa seseorang mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan pikiran, atau dengan kata lain dengan berpikir, menalar dan menggunakan logika. Menurut kaum rasionalis, informasi harus dipilahpilah oleh pikiran sebelum konklusi (kesimpulan) yang rasional dan masuk akal (reasonable) dapat diambil. Pandangan yang kedua, dinamakan empirisme, menyatakan bahwa pengalaman indrawi adalah basis dari semua pengetahuan. Dalam bentuk ekstremnya, empirisme menyatakan bahwa kita hanya tahu apa-apa yang kita alami. Jadi rasionalis menekankan pada operasi mental, sedangkan empiris menyamakan 3
4
5
Jujun S. Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1999), hlm. 270. Muhammad Adib. FIlsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengertahuan. (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 2010). hlm. 49. Ibid. hlm. 50
102
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
pengetahuan dengan pengalaman. Ilmu pengetahuan ilmiah mengombinasikan dua pendapat tersebut akan menghasilkan perangkat epistemologis yang kuat.6 Secara sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak jaman dahulu. Sains juga bisa berarti suatu metoda khusus untuk memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada. Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa disebut sebagai teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekuensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sehingga biasanya salah satu definisi populer tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya. Makna Agama Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.7Agama merupakan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu (agama samawi) yang bersifat intuisi serta rohani. Kebenarannya pun bersifat mutlak atau hakiki. Agama merupakan petunjuk dari Tuhan bagi kehidupan manusia. Dengan agama manusia tidak akan tersesat dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang benar-benar menjalankan agama akan menjadi orang yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia. Dia akan mampu berakhlak baik terhadap Tuhan, sesama manusia, binatang, dan lingkungan sekitar. Makna Pendidikan Islam Istilah pendidikan Islam telah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan ahli pendidikan. Secara terminologis, banyak kalangan tokoh-tokoh pendidikan Islam mendefiniskan pendidikan dalam Islam menggunakan beberapa istilah dan yang cukup populer adalah termtarbiyah, ta’lim, ta’dib.8Selain tiga kata tersebut masih terdapat kata-kata yang berhubungan dengan pendidikan. Seperti al-tazakiyah, al-muwa’idzah, al-tafaqquh, al-tilawah, al-tahzib, al-irsyad, al-tabyin, al-tafakkur, al-ta’aqquldan al-tadabbur.9 Tarbiyah berasal dari fiil madhi serta memiliki tiga makna: Pertama; rabaa-yarbuu dengan makna bertambah atau berkembang (zaada dannamaa).Kedua; rabiya-yurbaatas wazan khafiya-yukhfaartinya tumbuh dan berkembang yang maknanya mengembangkan dan memelihara (nasya’a dan ra’aa). Ketiga; rabba-yarubbu dengan wazan madda-yamuddu atau rabba-yurabbi dengan makna memperbaiki, memelihara, dan menjaga serta 6
7
8 9
Lihat B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, An Introduction to theories of Personality (6th ed..), (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), hlm. 11. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi IV, Cet. 1, hlm. 15. Ahmad Salabi. Tarikh al-Tarbiyat al-Islamiayat, (Kairo: al-Kasaf, 1954) hlm. 213. Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 7
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
103
memperhatikan.10 Sedangkan tarbiyah secara etimologi mempunyai banyak arti diantaranya pendidikan (education), pengembangan (upbringing), pengajaran (teacing), perintah (intruction), pembinaan kepribadian (breeding), memberi makan (raising), mengasuh anak.11Menurut Fahr al-Razi, istilah tarbiyah yang berakar kata dari rabbayani dengan makna at-tanmiyah12 yaitu pertumbuhan dan perkembangan.Tarbiyah sebagai pendidikan bukan hanya menjangkau manusia melainkan juga menjaga alam jagat raya, bendabenda alam selain manusia, karena benda-benda alam selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensial, seperti akal, pancaindra, hati nurani, insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk didik. Al-ta’lim asal katanya, yaitu ‘allam, yu’allimu, ta’liman. Kata ta’lim dihubungkan dengan mengajarkan ilmu kepada seseorang, dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Ta’dib berasal dari kata adab artinya perilaku dan sopan santun. Kata ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata أدبyang berarti menanamkan perilaku dan sopan santun. Inilah yang disebut mendidik. Syekh Muhammad Naquib al-Attas menggunakan istilah ta’dib dalam arti pendidikan Islam untuk menjelaskan proses penanaman adab kepada manusia. Al-Attas mempunyai definisi tersendiri dan lebih rinci tentang ta’dib yaitu pengakuan realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatantingkatannya, dan bahwasanya seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spritualnya.13 Integrasi Sains dan Agama dalam Perspektif Barat dan Islam Integrasi Sains dan Agama dalam Perspektif Barat Pada abad ke-18 perkembangan sains barat sekuler sedemikian pesat, seiring dengan terjadinya revolusi industri yang dijiwai oleh roh renaissance dan zaman aufklarung. Roh renaissance adalah semangat/cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang tidak terbelenggu oleh zaman abad pertengahan yang dikuasai oleh gereja/agama. Manusia renaissance adalah manusia yang tidak terikat oleh otoritas tradisi, sistem gereja, dan sebagainya, kecuali otoritas yang ada pada masing-masing diri. Manusia renaisance didewasakan oleh zaman aufklarung yang melahirkan sikap mental manusia yang percaya dengan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas dan sangat optimis untuk menguasai masa depannya, sehingga menjadi manusia kreatif dan inovatif.14 10
11
12 13
14
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wa Madrasati wal Mujtama, diterjemahkan oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 20 Ali bin Muhammad Ali al-Jurzani, at-Ta’rifat, Dar-Al-kitab al-arab, (Beirut: tt.) Juz 1, cet 1, hlm. 145 Fahr al-Razi, mawafiqu lil mathbu, (Beirut, Dar Ihya at-Thuras al-Arab), Juz 1. hlm. 2797 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1992) hlm.53 Sutoyo, “Epistemologi Sains Barat Sekuler” dalam Religiousitas Sains: Meretas Jalam Menuju Peradaban Zaman (Malang: Universitas Brawijaya Malang, 2010), hlm. 5.
104
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Pada awal perkembangannya, sains modern telah mengguncang kepercayaan manusia terhadap agama, khususnya agama Kristen yang mendominasi Eropa saat itu. Paradigma baru yang ditawarkan oleh dunia sains tentang alam semesta sungguh sangat bertentangan atau bertolak belakang dengan pandangan agama. Ada dua fakta historis yang menunjukkan kerancuan antara agama dan sains, yaitu: Pertama, teori Nicolas Kopernicus (1473-1543) dan Galileo-Galilei (1564-1642) mampu membalikkan pandangan dari keyakinan wahyu (Kristen) yang mengatakan bahwa bumi menjadi pusat tata surya, menjadi kebenaran lewat pembuktian sains bahwa bumilah yang mengitari matahari sebagai pusat tata surya; Kedua, teori evolusi oleh Charles Darwin yang mengatakan bahwa bumi telah ada selama beberapa milyar tahun lalu, dan semua makhluk berkembang dari satu makhluk purba sederhana yang berevolusi karena kekuatan fisiko-kimia alam semesta, jadi tidak ada manusia pertama seperti Adam dan Hawa.15 Sir Isaac Newton dan para ilmuwan Barat lainnya, menempatkan Tuhannya hanya sekedar sebagai penutup sementara lubang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Keberadaan Tuhan dan agama justru dianggap sebagai penghalang perkembangan sains, seperti pada abad pertengahan di Eropa.16 Sains Barat Sekuler dikembangkan dengan bersumber dari paham materialisme. Demokritos (±545-460SM), Anaximenes (585-528SM), Anaximandros (610545SM) dan Thales (625-545SM) adalah pemikir Yunani yang mencetuskan paham materialisme. Paham materialism menyatakan bahwa tidak ada keberadaan apapun selain materi. Dunia tidak ada selain materi nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Pada abad ke-18 para ilmuwan barat mengangkat kembali pemikiran paham materialisme. Para ilmuwan barat tersebut di antaranya Lamettrie (1709-1815), Feurbach (1804-1877), Herbert Spencer (1820-1903), Frederic Engels dan Frederic Karl Marx (1818-1883). Pandangan ini mendapat dukungan dari teori Evolusi yang dikembangkan oleh Robert Charles Darwin. Frederic Enggels dan Karl Hendric Marx, selama revolusi Perancis, mengambil kembali paham materialisme. Mereka bertujuan untuk menghapuskan agama, karena hanya paham materialisme-lah yang dapat ditandingkan untuk menghapus pemikiran agama.17 Terdapat lima belas ciri sains barat sekuler yang dianggap dapat membawa kemajuan perkembangan sains, yakni: 1) percaya pada rasionalitas, 2) sains untuk sains, 3) satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas, 4) netralitas emosional sebagai prasarat kunci menghadapi rasionalitas, 5) tidak memihak, 6) tidak adanya 15
16 17
Rafael Tunggu, “Que Vadis Sains Barat Sekuler: Anugerah atau Bencana bagi Peradaban?” dalam Religiousitas Sains: Meretas Jalam Menuju Peradaban Zaman (Malango: Universitas Brawijaya Malang, 2010), hlm. 35. Ibid., hlm. 6 Ibid., hlm. 7. Lihat juga K. Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983), hlm. 79.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
105
bias, 7) penggantungan pendapat, 8) reduksionisme, 9) fragmentasi, 10) universalisme, 11) individualisme, 12) netralitas, 13) loyalitas kelompok, 14) kebebasan absolute, dan 15) tujuan membenarkan sarana.18 Sains barat sekuler semakin memperoleh pembenaran sejak dikembangkannya revolusi sains yang dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn. Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali. Revolusi sains muncul jika paradigm lama mengalami krisis, dan akhirnya orang mencampakkannya kemudian merangkul paradigma yang baru. Menurut Kuhn bahwa ilmu berkembang secara revolusioner yang dirumuskan dalam rangkaian proses berikut:
P1 → Ns → A → C → R → P2 P1 : Paradigma lama/paradigma masyarakat sains yang eksis pada masyarakat Ns : Normal Sains + para ilmuan yang berpegang teguh pada teori pendahulunya. A : Anomali = terjadinya pertentangan antara kelompok ilmuan yang berpegang teguh pada pencapaian lama dengan kelompok ilmuwan yang menghendaki perubahahan dari adanya gejala-gejala baru yang mendorong untuk merubah yang lama. C : Krisis = munculnya paradigma baru yang menggoncangkan paradigma lama. R : Revolusi Sains = pergantian paradigma baru P2 : Muncul teori baru sebagai pengganti teori lama yang bisa diterima oleh masyarakat luas.19 Ilmu senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Paradigma lama akan terus diuji dengan paradigma baru yang selanjutnya akan diuji dengan paradigma yang lebih baru. Terhadap proses keilmuan yang demikian, Einstein menyatakan: …”dalam peperangan ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling mengganjal. Dalam perdamaian dia membuat kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang indah ini yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?”.20 Sains dan teknologi barat berhasil membentuk ‘mind set’ manusia tentang cara bersikap dan perperilaku terhadap sesama manusia, lingkungan alam, budayanya dan bahkan iman kepercayaannya sendiri. Akibatnya, muncul berbagai macam isme dalam masyarakat. Salah satu isme yang perlu mendapat perhatian adalah saintisme. Paham ini merupakan pengaruh nyata dari sains barat sekuler. Saintifisme adalah paham yang menyatakan bahwa hanya sainslah satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan benar yang objektif tentang kenyataan, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara saintifis dianggap tidak nyata.21 Dengan menganut paham ini, ada kemungkinan manusia menyangsikan kebenaran yang ditawarkan 18
19 20 21
Trianto, Wawasan Ilmu Alamiah Dasar: Perspektif Islam dan Barat (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm. 308. Sutoyo, op. cit. hlm. 17. Ibid. hlm. 19. Rafael Tunggu, op. cit., hlm. 33.
106
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
oleh agama, yang pada akhirnya akan bermuara pada paham atheisme, sebagaimana dikatakan oleh Ralp Ross bahwa banyak orang menjadikan sains sebagai dogma yang menggantikan kedudukan agama, di mana mereka memandang sains sebagai suatu kebenaran yang bersifat pasti dan absolut.22 Menyikapi kontradiksi sains dan agama, para agamawan terbagi dalam beberapa pola pemikiran. Ada dua paham atau pemikiran yang muncul di kalangan pemuka agama (Kristen), yakni paham konflik (kreasionisme) dan paham pola independensi. Paham kreasionisme berpendapat bahwa apa yang dikatakan dalam kitab sucilah yang dipandang sebagai kebenaran sejati. Pandangan bahwa alam semesta dan manusia muncul berdasarkan kebetulan dan keniscayaan hukum alam dan bukannya rencana agung Tuhan, merupakan pandangan sesat dan harus ditolak, karena kalau pandangan itu diterima, maka tidak ada lagi tempat bagi Tuhan, merupakan pandangan sesat dan harus ditolak, karena kalau pandangan itu diterima, maka tidak ada lagi tempat bagi Tuhan sebagai Maha Pencipta. Paham pola independensi meyakini bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara agama dan sains karena secara ontologism, epistemologis, dan aksiologis, keduanya berada pada tataran dan lingkup berbeda. Kitab suci sebagai dokumen iman kepercayaan mempunyai fungsi dan maksud religious guna membangun kehidupan iman jemaat dan bukan sebagai objek kajian sains. 23 Dari sini kita dapat pahami bahwa konsep barat sekuler meniadakan dan memisahkan iman dan ilmu. Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut melahirkan saintis tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan terhadap keesaan Tuhan akan menyesatkan dan dapat melahirkan sikap anti terhadap agama. Atau, ilmu tanpa hidayah dan hikmah hanya akan membuat para ilmuwan kian jauh dari keimanan. Integrasi Sains dan Agama dalam Perspektif Islam Pembahasan tentang sains dalam Islam tidak lepas dari epistemologi atau teori ilmu dalam pendekatan al-Quran. Sebab sains punya hubungan erat dengan induknya yaitu ilmu. Dan salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lain adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Al-Quran dan al-Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu serta kearifan, dan menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Quran, dasar interpretasi dari semua bentuk ilmu adalah tauhid, dalam arti ilmu dikembangkan dalam semangat tauhid. Kata al-‘ilm dalam al-Quran disebut sebanyak 105 kali, dan dari akar katanya disebut dalam berbagai bentuk tidak kurang 744 kali.24 Dalam al-Quran, khususnya lima ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia 22
23
24
Ralph Ross, Symbols and Civilization, (United States: Hard Court, Braace and Word, Inc, 1996), hlm. 6. Rafael Tunggu, op. cit., hlm. 36. Lihat J. Sudarminta, “Diskursus”, Jurnal Filsafat dan Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 1 No. 1, April 2002, hlm. 34. Imam Syafi’e. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Quran, (Yogyakarta : UII Press. 2000). hlm. 30. Adapun Mehdi Gholshani mnyebutkan lebih dari 750 kali, dan beliau menggunakan kata lebih untuk menghindari kesalahan dalam hitungan. Lihat Mehdi Golshani. The Holy Quran and the Sciences of Nature. Alih Bahasa oleh Agus Effendi. Filsafat-Sains Menurut Al-Quran. (Bandung: Mizan. 2003) hlm. 32.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
107
dan disinyalir bahwa ilmu tidak dipisahkan dari Sang Pemilik Ilmu, tetapi harus selalu terkait dengan-Nya agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96: 1-5). Al-Quran dan hadits yang sahih merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk mencapai ilmu pengetahuan, seperti observasi atau eksperimen, rasio, intuisi dan juga wahyu. Sebenarnya epistemologi atau teori ilmu menjadi perhatian utama para ilmuwan muslim di masa silam. Mereka menyadari pentingnya mendefinisikan ilmu, mengidentifikasinya, menjelaskan sumbernya, menerangkan metodenya serta mengklasifikasikan dan mengaktualisasikan ke dalam berbagai disiplin. Ini terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap Islam yaitu tauhid. Kesadaran epistemologis ini kurang dimiliki oleh ilmuwan muslim sekarang, akibatnya umat Islam sekarang tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan, dan orisinil terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Padahal ketika mengkaji lebih dalam lewat al-Quran, akan kita temui bahwa sebenarnya al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang paling signifikan dapat mengarahkan ilmu pengetahuan atau sains ke arah yang benar. Rujukan al-Quran terhadap ilmu pengetahuan atau sains dapat kita lihat dari ayat-ayat al-Quran itu sendiri dan ini dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu : a) Ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkapkan atau menggambarkan elemen pokok/objek. Contoh ayat : “Maka hendaknya manusia memerhatikan, dari apa ia diciptakan ?” (QS. 86: 5) “Dan Allah telah menciptakan segala makhluk hidup dari air.” (QS. 24: 45) b) Ayat yang mencakup cara penciptaan objek-objek materil, maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkapkan asal-usulnya. Contoh ayat : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati tanah. Kemudian Kami menjadikannya nutfah (bakal makhluk hidup) yang disimpan dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian kami menjadikannya segumpal darah, dan segumpal darah itu Kami jadikan suatu jaringan, kemudian Kami menjadikannya tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya ciptaan yang lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. 23 : 12-14) “Maka apakah mereka tidak memerhatikan bagaimana unta diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan … .” (QS. 88: 17-20) c) Ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkap bagaimana alam fisik ini berwujud. Contoh ayat : “Dan apakah mereka tidak memerhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian mengulanginya (kembali).” (QS. 29:19) d) Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk memelajari fenomena alam.25Misalnya: “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan, dan Allah 25
Mehdi Golshani. Ibid., hlm. 34
108
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpalgumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya … .”(QS. 30: 48) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering), dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang bisa dikendalikan di antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. 2: 164) e) Ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas berbagai macam objek alam. Contoh ayat : “Demi langit dan bintang malam hari. Tahukah kamu apakah bintang malam itu? (yaitu) bintang yang cahayanya terang menembus).” (QS. 86: 1-3) f) Ayat yang merujuk kepada fenomena alam dan kemungkinan terjadinya kebangkitan. Contoh ayat : “Hai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan, maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. … Dan kalian lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhlah berbagai macam rumput-rumputan yang indah.” (QS. 22: 5) g) Ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah.26 Contoh ayat: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kukuh tiap-tiap sesuatu … .”(QS. 27: 88) h) Ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam fisik, dan ketundukan apa yang ada di langit dan di bumi kepada manusia.27 Contoh ayat: “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada pakaian yang menghangatkan dan berbagai macam manfaat, dan sebagiannya kamu makan.” (QS. 16:5) “…Dan Kami turunkan besi, padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS. 57: 25). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah menganjurkan kepada hamba-hambaNya untuk mengembangkan ilmu kealaman atau sains. Konsep ilmu kealaman atau sains ini tidak lepas dari Tuhan sebagai asal-usul ilmu. Segenap upaya untuk memahami dan mengembangkan sains harus mengacu dengan Tuhan (tauhid) agar dapat mencapai kebahagiaan serta keselamatan dunia akhirat. Memiliki pengetahuan tentang alam (sains) merupakan hal efektif dalam mengantarkan kita lebih dekat kepada Allah. Sains yang efektif adalah sains yang dapat mengantarkan kita lebih dekat kepada Allah. Itu terjadi jika kita beriman kepada Allah. Jika sains diibaratkan setetes embun maka jadilah setetes embun yang berkilauan seperti mutiara, yang mampu menempel pada dedaunan bukan merusaknya dan kemudian 26 27
Ibid. hlm. 35 Ibid. hlm. 36
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
109
menaburi bumi dengan kesejukan dan rahmat bukan bencana, yang kemudian menjadi sandaran ruhani yang mampu membawa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Para Saintis diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya di bidang sains dengan syarat tidak mengganggu atau merusak kepentingan orang banyak. Artinya, pergerakan ke arah keburukan akan selalu dihadang dari berbagai arah dengan standar aturan baik dan buruk menurut al-Quran.28 Al-Quran surah ke 89: 6-9 menggambarkan sebagai berikut : “Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Allah mengazab kaum “Aad, penduduk kota Iram, dengan tiang-tiang yang tinggi yang belum pernah dibangun di negeri lain sebelumnya. Dan kaum Tsamud, yang memahat batu di lembah.” Kemudian temuan arkeologis membuktikan bahwa kaum tersebut memang benar-benar ada. Pembuktian pertama berasal dari naskah yang ditemukan Hisn-iGuhurub dekat Aden di Yaman Selatan. Naskah ini ditemukan dari dalam tanah pada tahun 1934, bertuliskan Arab lama “hymarite”. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang menunjukkan nama Nabi Hud, a.s.29 Bukti Arkeologis lain mengenai eksistensi Iram berasal dari eksplorasi Nicholas Clapp di Gurun Arabia Selatan pada tahun 1990-an. Berdasarkan data ini, Clapp dan timnya mulai mengecek tanah terlarang ini pada tahun 1990, dan mulai melakukan pencarian pada akhir 1991. Kemudian pada bulan Februari 1992, mereka menemukan sebuah bangunan segi delapan dengan dinding-dinding dan menara-menara tinggi, sesuai yang disebut dalam al-Quran di atas. Ketinggiannya mencapai 9 meter. Adapun kapasitas yang dapat mendiami benteng tersebut kira-kira sekitar 150 orang, tetapi para penjelajah berteori bahwa ribuan lainnya mendiami tenda-tenda di sekitar bangunan tersebut. Temuan ini telah membuka mata dunia khususnya para saintis bahwa kisahkisah dalam al-Quran benar-benar merupakan fakta historis.30 Banyak lagi sebenarnya temuan ilmiah yang baru diketahui sekarang padahal sebelumnya sudah digambarkan al-Quran sejak 14 abad yang silam. Di antaranya seperti yang sering dikemukakan oleh Harun Yahya. Temuan tersebut merupakan fakta ilmiah bahwa secara epistemologis al-Quran sebagai sumber utama perkembangan sains tidak perlu diragukan lagi. Bahkan menurut Deliar Noer, cerita-cerita yang diungkap al-Quran bukan sekedar pengetahuan tetapi dapat dijadikan pelajaran hidup bagi manusia.31 Misalnya ahli geodinamika akan tersentuh pikirannya atau juga hatinya dengan firman Allah surah 27: 88, yaitu : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” Fakta bergeraknya benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter per tahun baru ditemukan pada abad ke-20. Padahal Nabi Muhammad sudah 28
29
30 31
Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran, dan Pemaknaan. (Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2008) hlm. 66. Umar Anggara Jenie, “Kisah Sejarah Purba dalam Al-Quran” dalam Mukjizat Al-Quran dan AsSunnah tentang IPTEK. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm. 71. Ibid. hlm. 73 Deliar Noer, “Al-Quran, Sejarah dan Studi Masyarakat” dalam Mukjizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang IPTEK. (Jakarta : Gema Insani Press. 1995) hlm. 85.
110
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
mengetahui fenomena ini. Rasulullah mengetahui fenomena ini, tentunya dari Yang Maha Berilmu, yaitu Allah.32 Melalui indra-indra eksternal dan intelek, manusia seharusnya lebih dekat dengan Tuhan dengan memahami tanda-tanda Ilahi. Di manapun dalam al-Quran terdapat rujukan akan bukti-bukti Ilahi dalam dunia fisik dan ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam pengembangan ilmu atau sains tujuan utamanya adalah mencari ridha ilahi. Allah memberikan kemampuan kepada manusia-manusia untuk memahami ilmu atau sains dengan menggambarkan manusia dalam beberapa kelompok khusus,33 yaitu : 1. Para perenung (yatafakkarun). “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berefleksi (merenung).” (QS. 45: 13) 2. Orang yang arif ( ya’qilun). “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintangbintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. 16:12) 3. Orang yang memahami (ulil albab) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, ada tanda-tanda bagi orang yang memahami.” (QS. 3 : 180) 4. Orang yang beriman (mu’minin) “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaaan Allah untuk orang-orang yang beriman.” (QS. 45 : 3). 5. Orang yang berilmu (‘alimin) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berilmu.” (QS. 30 : 22) 6. Orang yang ingat/sadar (yadzakkarun) “Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya; sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda kekuasan Allah bagi kaum yang ingat.” (QS. 16 : 13). 7. Orang yang mendengarkan kebenaran (yasma’un) “Dan Allah menurunkan air dari langit (hujan) dan dengannya itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda Allah bagi orang-orang yang mendengarkan.” (QS. 16 : 65). 8. Orang yang yakin (yuqinun) “Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini.” (QS. 45: 4). 32
33
Muhammad Sinal. “Religiousitas Sains Dalam Al-Quran: kajian Epistemologis Sains Menurut Pandangan A-Quran” dalam Religiousitas Sains : Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman. (Malang: Universitas Brawijaya Press. 2010). hlm. 85 Mehdi Golshani, Op. Cit., hlm.99.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
111
9. Orang yang menguji kebenaran/paham (yafqahun) “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat simpanan. Susungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” (Qs. 6: 98) Kata-kata tafakkarun atau tafakkur, ta’qilun atau ta’aqqul, yafqahun atau tafaqquh dan lain-lain, yang digunakan dalam Al-Quran adalah merujuk pada tingkatan-tingkatan persepsi intelektual manusia yang berbeda dan sebagian di antaranya diperlukan bagi bagian yang lain. Perpaduan antara sains dan agama (al-Quran) akan mendukung kedamaian dunia dan akhirat. Kebahagiaan hakiki yang ditimbulkan oleh sains sangat ditentukan oleh benar atau tidaknya saintis dalam mencapai kebenaran. Secara hakiki, al-Quran telah memberikan petunjuk untuk memperoleh kebenaran tersebut. Jadi, tepatlah jika Muthahhari menyatakan bahwa al-Quran secara tegas mengajak umat manusia pada epistemologi.34 Epistemologi sains menurut pandangan al-Quran berawal dari suatu keyakinan atau keimanan (premis iman kepada Allah dan Rasul-Nya). Keyakinan akan kebenaran al-Quran merupakan titik tolak sains karena berbagai kebenaran yang ada, utamanya yang merupakan hasil penemuan akal dan panca indera manusia bukan merupakan kebenaran yang hakiki. Uraian di atas memberikan motivasi dan petunjuk kepada kita bahwa al-Quran sangat mendorong umatnya untuk mengembangkan sains. Tidak ada pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu alam. Hal ini didasarkan atas universalitas Islam sendiri yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan ini sejalan dengan fungsi al-Quran sebagai rahmat bagi semesta alam. Semua ilmu satu bersumber dari Yang Maha Satu. Mudah-mudahan ini bisa menjadi renungan bahwa sains itu penting, terlebih lagi sains yang diperkuat iman (tauhid), karena sains itu laksana lampu kehidupan dan iman atau agama adalah petunjuknya. Perkembangan Sains: Sebuah Renungan Seringkali ilmuan kita sebagaimana ilmuan Barat mengulas sejarah ilmu pengetahuan hanya memulai dari zaman Yunani Kuno. Para ilmuan Yunani kuno seperti Thales, Permenedies, Plato, dan Aristoteles disebut sebagai pelopor pembangunan ilmu pengetahuan. Mereka sama sekali mengabaikan kepeloporan ilmuan pertama, yaitu Nabi Adam a.s., yang mendapat pengajaran langsung dari Maha Gurunya Allah swt. “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar. Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 31-32). Konsekuensi logis dari itu adalah ilmuwan muslim seperti, Iskandar Zulkarnain yang dikenal sebagai Lukmanul Hakim, Abdan Saleh yang dikenal sebagai Nabi Khaidir dan seterusnya sampai pada 34
Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikian Asing dan Kokohnya Pemikian Islam. (Jakarta : Lentera, 2008) hlm. 51.
112
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Razi, Al-Jabir, Al-Khawarismi, Al-Masudi, Al-Biruni, Omar Khayyam nyaris hilang dalam sejarah ilmu pengetahuan.35 Sayyed Husein Nashr dalam bukunya An Introduction to Islamic Cosmological (1992), seperti yang dikutip oleh Thohir Luth mengatakan : Adam a.s. telah mewariskan ilmuilmu kepada anaknya Syith bin Adam a.s., yang dikenal orang pertama dalam masyarakat Yunani Kuno. Beliau merupakan guru dari Nabi Idris yang diketahui oleh Yunani kuno sebagai Hermes dimana ia dianggap bapak dari ilmu-ilmu Yunani Kuno. Beliau merupakan penggagas sains, astrologi, astronomi, geometri dan mekanik yang menurut Tasy Kubra Zada, Nabi Idris merupakan sumber semua ilmu berbentuk teori dengan hikmah. Nabi Idris atau Hermes telah menyediakan Mesir sebagai pusat pengajarannya. Dari sinilah beliau mengajarkan murid-muridnya tentang kaidah/asas dalam ilmu pengetahuan dan astronomi yang telah mendapatkan keilmuan mereka, yaitu melalui murid-murid Hermes. Tokoh-tokoh Yunani Kuno seperti Thales, Socrates dan Plato diketahui pernah berada di Mesir untuk belajar pada murid-muridnya Hermes. 36 Sejak Yunani kuno belum menghasilkan sains observasional secara baku (diceritakan bahwa Archimides telah melakukannya), namun pada umumnya hanya bersifat kontemplatif saja. Sebaliknya di dunia muslim sains empirical ikut berkembang bersama pemikiran-pemikiran kontemplatif. Matematika dan astronomi maju dengan pesat sekali. Dibidang matematika terkenal Al-Jabru yang kini menjadi Algebra, dan Al-Khowaritzi yang kini dikenal dengan Logaritma. Para ilmuan muslimlah yang mulamula merubah astrologi (ilmu ramal) menjadi astronomi (ilmu falak), berdasarkan pada observasi yang disertai dengan pengukuran-pengukuran yang cermat. Observasi dan lain-lain termuat dalam al-Quran surah Ali Imran ayat 19037 dan ayat 19138, sedangkan pengukuran yang cermat termuat dalam al-Quran surat Al-Qamar ayat 4939. Kegunaan praktisnya adalah untuk menetapkan waktu sembahyang dan menetapkannya tibanya puasa dan idul fitri. Demikian majunya ilmu falaq muslim, sehingga otak muslimlah (bernama Abdul Majid) yang berfungsi sebagai nafigator Columbus dalam menemukan benua Amerika.40 Dalam pengembangan ilmu kedokteran klinis/ekspremental terkenallah Al-Razi dengan bukunya yang berjudul As-Shifa dan juga Ibnu Sina dengan bukunya yang berjudul Qanun at-Thibb dan As-Shifa. Dibidang ilmu sosial, sosiolog Barat mengakui bahwa Ibn Khaldun pada abad 14-15, sudah menggunakan data empiris untuk menerangkan teori masyarakat, 35
36 37
38
39 40
Thohir Luth, “Pengantar”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman, (Malang: UP Press, 2010),hlm. x. Ibid., hlm.x. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” “Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” Irit Suseno,, “Dekonstruksi Sains barat Sekuler: Sebuah Keniscayaan (Religiousitas Sains Barat Sekuler)”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman, (Malang: UP Press, 2010), hlm. 52.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
113
yang bertumpu pada konsepnya assyobiyah, yang berarti solidaritas. Di dunia Barat, yang mula-mula mengangkat pentingnya eksperimentasi sehingga sederajat dengan pemikiran-pemikiran kontemplatif adalah Leonardi da Vinci. Namun kemajuan sains Barat dimulai oleh Copernicus, yang menyatakan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, akan tetapi sebaliknya. Ini terkenal dengan sebutan Compernican revolution, yang merupakan kemenangan sains terhadap gereja. Ini terjadi Abad 16. Demikianlah sains Newtonian berjalan pada abad 18 dan 19. Namun pada abad 20 sudah terjadi lagi kemajuan. Kini beralih wujud menjadi sains pasca Newtonian, dalam tiga bidang penemuan: (1) teori relativitas Einstein; (2) teori mekanika kuantum, antara lain uncertainty principle yang ditemukan sejak 1927 oleh Lemaitre, Hubble (1929) dan Gamow (1952).41 Namun ternyata sains Barat ini lebih banyak merusaknya daripada manfaatnya. Jelas bahwa untuk kesejahteraan hidup umat manusia, perlu dirintis sains baru, ialah sains yang diletakkan atas premis-premis yang berupa perintah Allah, atau ilmu Tauhidullah. Implementasi Integrasi Sains dan Agama dalam Pembelajaran/Kurikulum PAI Pada madrasah atau sekolah beberapa mata pelajaran dalam kurikulum biasanya dikelompokkan menjadi dua bagian: yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Mata pelajaran yang tergolong ilmu agama justru lebih sedikit dibanding dengan mata pelajaran ilmu umum. Pada madrasah pelajaran agama Islam hanya ± 15% sementara pelajaran umum ± 85%. Apabila pada sekolah, jam pelajaran PAI disediakan ± dua jam, dan selebihnya pelajaran umum. Padahal upaya peningkatan keimanan dan ketakwaan justru ditentukan oleh mata pelajaran PAI yang lebih dominan.42 Untuk menghadapi persoalan ini, maka salah satu usaha yang harus dilakukan adalah dengan pengintegrasian mata pelajaran PAI ke dalam mata pelajaran umum yang selama ini bebas nilai, sehingga dapat berubah menjadi sarat nilai. 1. Pentingnya Pengintegrasian Mata Pelajaran PAI ke dalam Mata Pelajaran Umum Menurut Ramayulis, ada beberapa alasan perlunya pengintegrasian mata pelajaran PAI ke dalam mata pelajaran umum: a. Tidak adanya dikotomi ilmu dalam Islam Islam menyatukan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan sunnah Allah. Sedangkan hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia dinamakan din Allah yang mencakup akidah dan syariah. Keduanya tidak bertentangan apalagi dipertentangkan karena keduanya sama-sama ayat-ayat Allah, yang diturunkan Allah kepada manusia sebagai alat untuk mencari kebenaran. Kalau dalam pengembangan ilmu pengetahuan nantinya terdapat perbedaan atau pertentangan; antara hasil penelitian ilmiah dengan berita wahyu, tentu saja yang terjadi salah satu dari dua hal yang keliru yaitu: penyelidikan ilmiah yang belum sampai kepada kebenaran ilmiah yang objektif atau orang salah memahami ayat yang menyangkut objek penelitian.43 41 42
43
Ibid., hlm. 53. Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analsis Filosofis Sistem Pendidikan Islam ( Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 325. Ibid., hlm. 326
114
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Adanya dikotomi dalam pendidikan sebenarnya merupakan warisan sejarah masa kemunduran Islam. Penyakit dikotomis keilmuan seperti ini menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Ilmu umum yang tidak berdasarkan agama menyebabkan terjadinya kemajuan yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak didasarkan pada ilmu agama menyebabkan terjadinya penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tujuan-tujuan menghancurkan umat manusia.44 Untuk mengatasi terjadinya dikotomi tersebut adalah dengan melakukan pengintegrasian kedua bidang ilmu. Dengan pendekatan integrasi tersebut dapat dipahami bahwa antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum adalah satu atau terikat oleh keimanan dan tauhid sehingga peserta didik memiliki kepribadian yang beriman dan bertakwa (imtaq) serta menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).45 b. Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional tidak hanya melalui mata pelajaran PAI, tetapi juga melalui mata pelajaran umum. Dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan: “Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) kelompok mata pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. Khususnya untuk kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia dilaksanakan melalaui muatan lokal dan/ atau kegiatan agama, akahlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan. Dengan demikian setiap lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah, seyogyanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap peningkatan keimanan dan ketakwaan tersebut.46 Berdasarkan hal ini perlu pengintegrasian PAI ke dalam mata pelajaran umum. Mata pelajaran PAI mesti mewarnai dan menjiwai pelajaran umum tersebut. Itulah sebabnya mata pelajaran PAI terletak pada urutan pertama dalam kurikulum nasional. c. Setiap guru mempunyai tanggungjawab dalam pembinaan karakter peserta didik. Dalam perspektif Pendidikan Islam, setiap guru khususnya yang beragama Islam terlepas apakah dia guru PAI atau guru pembelajaran umum harus mempunyai tanggung jawab dalam membimbing dan membina sikap keberagamaan peserta didik hingga melahirkan peserta didik yang berkarakter/akhlak mulia. Sebab setiap ilmu yang dimiliki guru, baik di bidang sains, sosial, dam lain-lainnya pada hakikatnya bersumber dari Yang Maha Berilmu yaitu Allah swt.47 44
45 46 47
Ibid., hlm. 327. Lihat juga Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu dan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 6. Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 239. Ramayulis, op. cit., hlm. 329. Ibid., hlm. 330
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
115
2. Usaha-Usaha yang Dapat Dilakukan untuk Pengintegrasian Mata Pelajaran PAI dengan Mata Pelajaran Umum Pengintegrasian mata pelajaran PAI ke mata pelajaran umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, melalui pencarian dasar dan padanan konsep, teori mata pelajaran umum yang digali dari al-Quran dan hadits nabi dan pendapat para ulama. Dalam hal ini konsep dan teori mata pelajaran umum tidak diganggu gugat, kecuali hanya diberi dan diisi dengan nilai-nilai Islami atau dicarikan padanan konsepnya serta diberi landasan berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli guna memberikan legitimasi terhadap ilmu umum. Misalnya, mata pelajaran Biologi terdapat pembahasan tentang ekologi. Dalam perspektif ekologi, lingkungan hidup mencakup segala suatu yang ada di sekitar manusia yang terdiri dari faktor-biotik dan abiotik serta budaya manusia. Lingkungan abiotik, yang meliputi segala sesuatu yang tidak hidup yang berupa benda mati yang secara tidak langsung terkait pada keberadaan makhluk hidup, seperti air, tanah, cahaya, kelembaban udara, keadaan tanah, tempat makhluk hidup berada.48 Air merupakan komponen utama yanga sangat diperlukan oleh makhluk hidup, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Air sebagai sumber bagi kehidupan makhluk hidup, dijelaskan dalam al-Quran surah al-Jatsiyah ayat 5.49 Tanah menjadi tempat tinggal sebagian besar makhluk hidup, peran tanah sebagai lingkungan hidup sangat menentukan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surah al-Hijr ayat 19.50 Angin merupakan udara yang bergerak dan terjadi karena perbedaan tekanan udara, adanya angin menjadi tanda akan adanya hujan, di mana air hujan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi makhluk hidup, di samping itu angin akan mempengaruhi tumbuh-tumbuhan, terutama dalam rangka penyerbukan bunga sehingga tumbuh-tumbuhaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Selain itu angin dapat membantu penyebaran organism. Adanya angin juga mengatur suhu udara, kelembaban udara, terjadinya hujan, seperti apa yang terdapat dalam Alquran dalam surah ar-Rum ayat 48.51 Kedua, dengan cara mengambil atau mempelajari konsep dan teori mata pelajaran umum kemudian dipadukan dengan mata pelajaran PAI. Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan untuk mengkaji ulang mata pelajaran yang dengan cara52: 48 49
50
51
52
Ibid., hlm. 331. Dari pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya dan menjadikannya bergumpal-gumpal lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-haba-Nya yang dikehendaki-Nya, tibatiba mereka menjadi gembira. Ramayulis, Ibid., hlm. 332.
116
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
1) Mengakses materi PAI dalam rangka memberikan nilai-nilai Islami bagi konsep atau teori pengetahuan umum. Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha sebagaimana yang dinyatakan al-Quran. Demikian pula dengan teori ekonomi yang menuntut manusia untuk berusaha menenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam bekerja seseorang harus selalu mengingat Allah yang memberikan rezeki. Jadi, teori ekonomi tersebut diberikan muatan nilai-nilai Islam. 2) Mengakses materi PAI untuk memberikan arah penggunaan pengetahuan umum. Dalam biologi dan ilmu kesehatan manusia dianjurkan memakan makanan bergizi guna menjaga kesehatan. Agama Islam mengarahkan agar makanan yang dimakan itu, harus memperhatikan prinsip “halalan thayyiban”, yaitu makanan yang halal lagi baik. 3) Menghubungkan teori dan konsep mata pelajaran umum bersamaan dengan saling memperkuat. Pada tahun 2004, seorang perempuan ahli teknik, Dr. Amal al-Iraqi di Saudi Arabia, yang menjabat direktur perusahaan Nafia Water bekerja sama dengan para ahli Perancis dan Nymphaea Water, melakukan penelitian tentang cara memperoleh air tawar dan air laut tanpa melalui penyulingan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di sepanjang dasar laut Merah yang asin, terdapat beribu-ribu titik sumber mata air tawar. Sumber-sumber air tawar ini mengeluarkan air terus-menerus dan tidak bercampur dengan air laut di sekitarnya yang asin, seolah-olah ada dinding selubung yang membatasinya.53 Hal ini terjadi karena pada zaman purbakala, mata air tawar berada di daratan. Karena gerakan geeologis, daratan tadi tenggelam, atau sebaliknya permukaan air laut yang naik, kini daratan tadi berada di dasar laut. Tetapi tenggelamnya tidak menghentikan pancaran mata air itu. Mereka tetap mengalirkan air tawar dengan tingkat keasinan kurang dari 1,4 gram per liter dan temperature 17ºC. Debitnya di musim panas 80 liter per detik dan di musim dingin 120-150 liter per detik. Dengan teknologi khusus, air tadi tinggal dialihkan melalui pipa untuk memenuhi kebutuhan kota-kota di sepanjang pantai Laut Merah, atau bisa dikemas dalam botol. Teknologi sederhana, tidak merusak ekosistem. Pieere Becker dan Thierry Carlin, penemu system teknologi tadi, pertama kali melakukan uji coba di mata air dasar laut di perbatasan Prancis-Italia. Menurut mereka, sumber-sumber mata air tawar terdapat di seluruh dasar laut di dunia. Adanya air tawar di air laut ini juga dijelaskan dalam Alquran surah Al-Furqan ayat 53.54 Pada mulanya para mufassir cenderung kesulitan dalam menafsirkan ayat di atas. Namun dengan adanya temuan ilmiah tersebut maka ayat ini lebih mudah dipahami. Sebaliknya pejabat Saudi Arabia, Dr. Amal al-Iraqi juga terinspirasi dari ayat ini untuk melakukan penelitian, sehingga ayat ini sesungguhnya memperkuat temuan ilmiah yang dihasilkan. 53
54
Ibid., hlm. 333. Lihat juga Bambang Pranggono, Mukjizat Sains dalam Al-Qur’an: Menggali Inspirasi Ilmiah (Bandung: Ide Islami, 2008), cet. Ke-5, hlm. 55. Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang membatasi.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
117
Adapun, Syaifuddin Sabda55, mengemukakan bahwa pemaduan kurikulum iptek dan imtaq pada dasarnya merupakan upaya rekayasa yang telah ada dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam tataran praktis pemaduan iptek dan imtaq dapat dilakukan dalam dua bentuk: 1) Pemaduan iptek dan imtaq Kurikulum mata pelajaran iptek seperti Biologi, Fisika, Kimia, dan lain-lain dicoba direkayasa ulang dengan memasukkan konsep, teori, nilai-nilai Islami ke dalamnya, baik dalam komponen tujuan, isi/materi, proses, maupun hasil yang diharapkan. Model pemaduannya dapat dilakukan dalam bentuk: a) Apologetik; model ini didasari oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan (sains) adalah produk yang bersifat universal dan bebas nilai. Karena itu ia dapat dipakai dan berlaku di mana saja dan di lingkungan apa saja. Dalam kaitan integrasi iptek dan imtak mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan teori sains tersebut, yang menurut mereka telah ada dalam ajaran agama (Alquran). b) Islamisasi sains, model ini tidak menerima begitu saja konsep-konsep dan teori-teori yang diproduk oleh pengetahuan, tetapi harus dimodifikas sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip ajaran Islam. c) Pembentukan sains islami; model ini amat yakin adanya sains Islam dan benar-benar Islami (sains Islami) yang berangkat dari paradigma sains Islam. Ketiga bentuk ini dapat digunakan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam (PAI) ke dalam mata pelajaran umum. 2) Pemaduan imtaq dan iptek Model pemaduan kurikulum terpadu iptek dan imtaq juga dapat dilakukan sebaliknya, yaitu memadukan imtaq dengan iptek, baik dalam bentuk iptek yang terdapat dalam mata pelajaran umum, seperti Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain atau konsep dua teori iptek yang ada di berbagai mata pelajaran resmi. Dalam rangka pemaduan mata pelajaran imtaq dengan iptek ini dapat dilakukan dengan cara: a) Memadukan materi pelajaran imtaq (PAI) dengan materi pelajaran (IPA dan IPS) untuk saling mendukung guna perluasan wawasan pengetahuan peserta didik. b) Memadukan materi pelajaran PAI dengan konsep/teori iptek di luar mata pelajaran iptek untuk memberikan wawasan bagi pelajaran PAI. Untuk menunjang ini, maka UIN/IAIN/STAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam menyiapkan calon-calon guru, di samping membuka program-program studi tidak hanya Pendidikan Agama Islam, tapi Matematika, IPA, IPS dan sebagainya, guna mengembangkan kemampuan mengintegerasikan wawasan iptek dan imtaq atau PAI dan mata pelajaran umum.
55
Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain, Pengembangan Implementasi (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), hlm. 53-55.
118
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Aksiologi Integrasi Sains dan Agama dalam Kurikulum PAI: Sebuah Analisis Ketika agama Islam mengajarkan tentang moral dan etika berintegrasi dengan sains dalam kurikulum PAI, maka secara aksiologis memberikan sumbangsih terhadap etika pengembangan sains, sebagai berikut : 1. Sikap Ilmiah Sikap ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana memperoleh sains yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk kelestarian, dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras dengan kehendak manusia dan kehendak Tuhan.56 Sikap ilmiah yang perlu dimiliki setiap ilmuan adalah: (1) Tidak ada rasa pamrih, (2) Bersikap selektif, dengan tujuan agar melakukan pemilihan terhadap apa yang dihadapi, (3) Adanya rasa percaya yang layak, baik terhadap kenyataan, alat indra serta budi, (4) Ada suatu kegiatan yang rutin, (5) Harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan sains untuk kemajuan ilmu dan kebahagiaan manusia. (6) Kejujuran ilmiah. Semua sikap ilmiah ini telah diajarkan dalam agama, dimana manusia dalam melakukan setiap pekerjaannya harus dilandasi dengan rasa ikhlas tanpa pamrih, termasuk dalam mengembangkan sains. Hal ini seperti tersebut dalam Alquran Surah Yaasin ayat 21artinya ; “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Selanjutnya agama juga mengajarkan untuk selalu bersikap selektif. Allah swt. memberi alat kepada kita untuk belajar dan mendengar apa yang kita ikuti dan apa yang buruk kita tinggalkan, seperti dijelaskan dalam Alquran dalam surah az-Zumar ayat 17-18 :“Sebab itu sampaikanlah berita-berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” Rasa percaya yang layak terhadap kenyataan, alat indra dan budi berarti harus dapat menerima kebenaran berdasarkan dalil atau bukti-bukti nyata. Quran pun mencela mereka yang menutup mata dan telinga untuk melihar sinar terang sehingga mereka tidak mendapat kepastian. Hal ini diterangkan dalam surah Fushshilat ayat 26: “Dan orang-orang yang kafir berkata,“Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Alquran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka)”, surah Nuh ayat 7:“Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutup bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri” dan al-An’am ayat 7; “Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, “ Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. Setiap ilmuan harus giat dan rutin dalam mengembangkan pengetahuan demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup manusia. Manusia telah diberi akal oleh Allah untuk berpikir guna memperoleh ilmu yang semuanya untuk kehidupan manusia. Berpikir atau tafakur dalam istilah agama merupakan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa sains sangat relevan dengan ajaran agama. 56
Tim Penyusun Fakultas UGM, Tim Penyusun Fakultas UGM. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 112.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
119
2. Tanggung Jawab Ilmuwan Seorang ilmuwan mempunyai tugas ganda. Secara individual, dia melaksanakan penelaahan keilmuannya tanpa henti-hentinya. Dan secara sosial ilmuan bertanggung jawab sosial agar hasil produk keilmuannya diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berkenaan dengan tanggung jawab ilmuwan ini, agama memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, bukan sekedar untuk kepentingan individu dan sosial semata, tetapi lebih jauh untuk kehidupan yang tiada batas dan akhir. Dimana setiap ilmu yang dikembangkan adalah merupakan amanah sebagai khalifah di muka bumi yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan diperlukan untuk suatu kebahagiaan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi. Dengan adanya keyakinan seperti ini tentunya para ilmuan (muslim) menyadari bahwa tujuan pengembangan sains adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 3. Pemanfaatan Sains Tidak dapat disangkal bahwa sains sangat memberi manfaat kepada manusia. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sains juga bisa memberi mudharat kepada manusia. Semuanya tergantung kepada manusia dalam menggunakannya. Oleh karenanya para ilmuwan haruslah memiliki landasan moral dan etika yang kuat, sehingga dapat menggunakan atau memanfaatkan sebaik mungkin demi peningkatan martabat dan kesejahteraan seluruh manusia, tidak hanya perorang. Agama Islam yang syarat dengan etika, tentunya dapat memberikan sumbangsih moral terhadap para ilmuwan dan pengguna sains dalam pemanfaatan sains ini. Islam dapat memberikan nilai moral dan etis terhadap pengembangan sains. Dengan PAI diharapkan manusia tidak lupa diri setelah berhasil mengembangkan sains, tetapi sadar dan dapat membuka diri bahwa sains yang dikembangkannya pada dasarnya merupakan upaya berkesinambungan, tetap dalam kerangka ibadat. Sehingga dengan sains, manusia sebagai hamba akan menemukan kebenaran realitas tertinggi, yaitu Tuhan. Di sisi lain, sains merupakan salah satu pintu strategis untuk mendekatkan manusia dengan Allah melalui upaya intensif dan serius memikirkan manfaat alam raya bagi penyempurnaan kehidupan manusia, lahir batin. 4. Membentuk Generasi Ulul Albab. Adanya integrasi antara agama dan sains dalam kurikulum PAI diharapkan terbentuk generasi ulul albab. Ulul albab adalah orang-orang yang mempunyai akal yang bersih, sehat, dan cemerlang. Ulul albab mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Ulul albab adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, membenarkan dan meyakini wahyu. b. Orang yang memerhatikan alam dan berbagai fenomena dengan pengamatan dan pemikiran, kemudian menjadi landasan (dalil) untuk senantiasa zikrullah dan berdoa kepada-Nya, c. Orang yang memiliki hikmah dan mendatangkan kebajikan yang banyak. d. Orang yang mampu memahami, membenarkan, dan memahami wahyu Allah yang penuh berkah serta mengambil pelajaran darinya.
120
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
e. Orang yang memahami kewajiban ibadah pada Allah swt., dan takut kepada-Nya. f. Orang yang dapat memahami syariat Allah, mengambil pelajaran dari hukum qishash (hukum balas) bahwa di dalamnya ada kehidupan. g. Orang yang dapat mengambil ibrah dari kisah-kisah dalam Alquran yang merupakan kisah-kisah yang terbaik. h. Orang yang dapat mengambil pelajaran dari kisah orang-orang yang beriman dan kisah orang yang durhaka kepada Allah swt. i. Orang yang kritis, mampu membedakan antara yang halal dan yang haram. j. Orang yang mendapat petunjuk, kritis dan mampu menyaring perkataan dan pikiran orang lain, kemudian mengikuti yang baik dan menjauhi yang jelek.57 Perpaduan antara iman, takwa, dan ilmu pengetahuan (sains) akan menjadi pribadi yang unggul, berwawasan ulul albad, berkarakter dan berjiwa sufistik. Berjiwa sufistik dapat dimaknai pribadi yang senantiasa ingin mendekatkan diri kepada Allah, sehingga ketika sains dan agama berpadu dalam dirinya maka konsep-konsep tasawuf dalam dirinya akan bermakna sebagai berikut: Pertama, taubat dimaknai sebagai meninggalkan dan tidak mengulangi perbuatan dosa. Sains dengan riset ilmiahnya akan memudahkan manusia untuk meninggalkan dan tidak mengulangi dosa berupa kebodohan, keterbelakangan dan kemisikinan. Kedua, wara’ berarti menahan dri untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah. Sains dengan riset kimianya akan mengetahui bahwa setiap makanan memiliki kandungan enzim pada setiap makanan, maka akan diketahui bahwa enzim tertentu boleh atau tidak boleh bagi manusia. Sehingga, dengan mudah manusia akan menahan diri dari tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung enzim yang berbahaya. Ketiga, zuhud, artinya lepasnya pandangan keduniaan yang berarti pula melepaskan kehidupan materi menuju kehidupan immateri. Sains dengan pendekatan fenomenologinya menekankan adanya kebenaran di balik tampilan lahir, seperti dikaji dalam dunia psikologi, dunia psikoanalisis, dan dunia psikoteraphy. Keempat, sabar, dalam arti ketabahan menghadapi cobaan dan dorongan hawa nafsu. Sains dengan metode sistematis menjadikan manusia lebih bersikap sabar dan telaten. Kelima, faqr, tenang dan tabah menghadapi kemiskinan. Sains dengan riset ilmiahnya menghasilkan berbagai fasilitas teknologi untuk mengentaskan kemiskinan, seperti mesin-mesin pengolah lahan pertanian, peralatan rumah tangga dan sebagainya.58 Sains bisa berfungsi sebagai pintu gerbang memahami agama, sebaliknya relung sains hanya bisa didalami utuh dan bermartabat lewat pintu agama. Bahkan, optimalisasi keduanya mengantarkan ke peneguhan tauhid. Alam semesta bisa menghamparkan sekian banyak probabilitas yang menuntun menuju Tuhan. Tentunya semua ini bisa terwujud melalui pengintegrasian sains dan agama dalam kurikulum/pembelajaran PAI.
57
58
Anas Salahuddin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya, (Bandung; Pustaka Setia, 2013), hlm. 407 M. Nur Yasin, M. Nur Yasin. “Religiousitas Sains Dalam Ajaran Tasawuf”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman, (Malang: UP Press, 2010), hlm. 132.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
121
Simpulan Antara sains dan agama memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Secara epsitemologi hubungan keduanya jangan dipahami sebagai suatu konflik, tetapi sebaliknya harus dipahami sebagai suatu totalitas sistem yang mana antara yang satu dengan yang lain sama-sama memberikan sumbangan atau saling melengkapi. Perkembangan sains memerlukan sandaran agama agar pertumbuhannya tidak berakhir dengan bencana. Al-Quran dengan kebenaran-kebenarannya perlu dikomparasikan dengan sains agar secara ilmiah dapat dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Integrasi sains dan agama akan menghasilkan ilmu pengetahuan transenden, sekaligus didukung oleh kebenaran empiris dan rasional sebagai tolak ukur utama kebenaran ilmiah. Manusia dikaruniai akal dan berbagai fakta empiris sebagai wahana untuk memahami kebenaran dari Allah. Perpaduan antara kebenaran wahyu dan kebenaran ilmiah menghasilkan kebenaran yang sangat akurat. Sains dan agama tidak dapat dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Pengintegrasian mata pelajaran PAI ke mata pelajaran umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, melalui pencarian dasar dan padanan konsep, teori mata pelajaran umum yang digali dari al-Quran dan hadits Nabi dan pendapat para ulama. Dalam hal ini konsep dan teori mata pelajaran umum tidak diganggu gugat, kecuali hanya diberi dan diisi dengan nilai-nilai Islami atau dicarikan padanan konsepnya serta diberi landasan berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli guna memberikan legitimasi terhadap ilmu umum. Kedua, dengan cara mengambil atau mempelajari konsep dan teori mata pelajaran umum kemudian dipadukan dengan mata pelajaran PAI. Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan untuk mengkaji ulang mata pelajaran yang dengan cara: 1) Mengakses materi PAI dalam rangka memberikan nilai-nilai Islami bagi konsep atau teori pengetahuan umum; 2)Mengakses materi PAI untuk memberikan arah penggunaan pengetahuan umum; 3) Menghubungkan teori dan konsep mata pelajaran umum secara bersamaan dengan saling memperkuat. Selain itu dengan melakukan pemaduan antara iptek-imtaq dan imtaq-iptek.Jadi untuk kesejahteraan hidup umat manusia, perlu dirintis sains baru, ialah sains yang diletakkan atas premis-premis yang berupa perintah Allah, atau ilmu Tauhidullah. Daftar Pustaka Adib, Muhammad. 2010. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran, dan Pemaknaan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Attas, Syed Muhammad al-Naquib al, 1992. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Mizan. Bertens, K. 1983. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Golshani, Mehdi. 2003. The Holy Quran and the Sciences of Nature. Alih Bahasa oleh Agus Effendi. Filsafat-Sains Menurut Al-Quran. Bandung: Mizan.
122
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016
Hergenhahn, B.R. dan Matthew H. Olson, 2003. An Introduction to theories of Personality (6th ed..), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Jenie, Umar Anggara, 1995. “Kisah Sejarah Purba dalam Al-Quran” dalam Mukjizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press. Jurzani, Ali bin Muhammad Ali al, at-Ta’rifat, Dar-Al-kitab al-arab, Beirut: tt. Juz 1, cet 1. Luth, Thohir. 2010. “Pengantar”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman. Malang: Universitas Brawijaya Press. Muthahhari, Murtadha, 2008. Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikian Asing dan Kokohnya Pemikian Islam. Jakarta : Lentera. Nahlawi, Abdurrahman al, 1996. Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wa Madrasati wal Mujtama, diterjemahkan oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat Jakarta: Gema Insani Press. Naisabury, Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, Dar al-Khair, t.t. Nasr, Seyyid Hossein, Islam and the Plight of Modern Man, London: 1975 Nata, Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo. --------------, 2010. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. --------------, dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Noer, Deliar. 1995. “Al-Quran, Sejarah dan Studi Masyarakat” dalam Mukjizat AlQuran dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta : Gema Insani Press. Pranggono, Bambang. 2008. Mukjizat Sains dalam Al-Qur’an: Menggali Inspirasi Ilmiah Bandung: Ide Islami. Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam: Analsis Filosofis Sistem Pendidikan Islam Jakarta: Kalam Mulia. Razi, Fahr al, tth. Mawafiqu lil Mathbu. Beirut, Dar Ihya at-Thuras al-Arab. Juz 1. Ross, Ralph. 1996. Symbols and Civilization, United States: Hard Court, Braace and Word, Inc, S., Nor Amin. 1999. Shalat dalam Pespektif Kosmologi, Gerakan Ruku’ dan Sujud, Jakarta: Titian Ilahi Press. Sabda, Syaifuddin. 2006. Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain, Pengembangan Implementasi. Ciputat: Quantum Teachin. Salabi, Ahmad. 1954. Tarikh al-Tarbiyat al-Islamiayat, Kairo: al-Kasaf. Salahuddin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie, 2013. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya, Bandung; Pustaka Setia. Sinal, Muhammad. 2010. “Religiousitas Sains Dalam Al-Quran: kajian Epistemologis Sains Menurut Pandangan Al-Quran” dalam Religiousitas Sains : Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman. Malang: Universitas Brawijaya Press. Sudarminta, J., “Diskursus”, Jurnal Filsafat dan Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 1 No. 1, April 2002.
Rabiatul Adawiah
Integrasi Sains dan Agama
123
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. Suseno, Irit. 2010. “Dekonstruksi Sains barat Sekuler: Sebuah Keniscayaan (Religiousitas Sains Barat Sekuler)”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman, Malang: Universitas Brawijaya Press. Sutoyo, 2010. “Epistemologi Sains Barat Sekuler” dalam Religiousitas Sains: Meretas Jalam Menuju Peradaban Zaman. Malang: Universitas Brawijaya Press. Syafi’e, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Quran, Yogyakarta : UII Press. Thayyib, Lalu Ibrahim Muhammad. 2010. Keajaiban Sains Islam : Mengungkap Kebenaran Isi Alquran dan Hadits Dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Tim Penyusun Fakultas UGM, 1997. Tim Penyusun Fakultas UGM. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. Edisi IV, Cet. 1. Trianto, 2007. Wawasan Ilmu Alamiah Dasar: Perspektif Islam dan Barat. Jakarta: Prestasi Pustaka. Tunggu, Rafael. 2010. “Que Vadis Sains Barat Sekuler: Anugerah atau Bencana bagi Peradaban?” dalam Religiousitas Sains: Meretas Jalam Menuju Peradaban Zaman. Malang: Universitas Brawijaya Press. Yasin, M. Nur. 2010. “Religiousitas Sains Dalam Ajaran Tasawuf”, dalam Sutoyo (Eds), Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman, (Malang: Universitas Brawijaya Press. Zubair, A. Charis. 1977. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam (Kata Pengantar), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
124
AL-BANJARI
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016