54% d. Peserta KB perempuan . 98%
Sumber: Heru (2002) Human Development Index (HDI) dan Gender Development Index (GDI) adalah klasifikasi yang dilakukan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP, United Nations Development Program) terhadap negara-
negara yang ada di dunia. Klasifikasi ini difokuskan pada aspek-aspek pembangunan manusia yang mencakup variabel ekonomis dan non ekonomis. Variabel ekonomis yang digunakan adalah Gross Domestic Product (GDP) perkapita, sedangkan variabel non ekonomis adalah usia harapan hidup, tingkat kematian bayi dan pencapaian pendidikan. HDI didapat dari merangking 174 negara ke dalam tiga kelompok, yaitu katagori “tinggi” (64 negara), “medium (65 negara) dan “rendah” (45 negara). Sedangkan GDI hampir sama dengan HDI, hanya saja dalam penghitungan rangkingnya dibedakan secara gender. Bila dilihat dari Tabel 1 di atas, terlihat bahwa HDI Indonesia turun dari peringkat 96 di tahun 1995 ke peringkat 109, di tahun 1998, dan meningkat lagi ke peringkat 192 di tahun 2001. Sedangkan GDI Indonesia terjadi penurunan dari tahun 1995 di peringkat 88 menjadi peringkat 90 pada tahun 1999, dan menurun lagi ke peringkat 92 di tahun 2001.
Tabel 2. Posisi Perempuan Indonesia 1. Pekerjaan (Susenas’99) Laki-laki * Tingkat partisipasi angkatan kerja 83,6% * Perbandingan upah 100 * Kerja sektor formal 70,0% 2. Posisi Perempuan dalam Pemerintah/ Politik * DPR 43 ( 8,3%) * MPR 63 ( 9,1%) * DPA 1 ( 2,5%) * BPK 0 * MA 7 (14,8%) * KPU 2 (18,1%) * Gub/ Wakil Gub 0 * Bupati/ Walikota 7 ( 6,0%) * Dubes 4 ( 0,5%) * Ketua Partai Politik 1 3. Kemiskinan
Perempuan 51,2% 46 42,0%
Sumber: Heru (2002)
Dari Tabel 2 di atas, meskipun terlihat adanya peningkatan yang cukup besar bagi perempuan, tetapi keberwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) masih belum dapat terlihat jelas. Kembali pada bagian awal, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peranperan, penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata mengakibatkan ketidakadilan gender (Simatauw et al, 2001). Lebih lanjut dinyatakan ada lima bentuk ketidak adilan gender dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, yaitu: (1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, salah satu yang terlihat nyata adalah lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar; (2) Subordinasi (penomorduaan), subordinasi perempuan ini berkaitan erat dengan masalah penguasaan terhadap sumber daya alam. Sejarah membuktikan, pemilik, atau penguasa sumber daya alam cenderung memiliki kekuasaan lebih besar dan membawahi serta berhak memerintah kelompok-kelompok tidak bermilik, termasuk perempuan. Bentuk lain dari subordinasi perempuan juga terdapat pada hak waris. Banyak budaya tidak memberikan hak waris apapun pada perempuan karena perempuan dianggap akan masuk ke dalam keluarga suaminya ketika menikah; (3) Beban kerja berlebih, pada umumnya perempuan memiliki tiga peran (triple role) yaitu produktif, reproduktif dan memelihara (anak) yang lebih dominan. Yang dapat dilihat langsung adalah jam tidur perempuan lebih pendek dibanding laki-laki, waktu istirahat hampir tidak ada. Akibatnya perempuan tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal diluar rutinitasnya seperti membaca koran, mendengarkan informasi, atau hadir dalam pertemuan-pertemuan masyarakat;
(4) Cap-cap negatif (stereotype), maksudnya adalah perempuan sering digambarkan pada bentuk-bentuk tertentu yang belum tentu benar, seperti emosional, lemah, tidak mampu memimpin, tidak rasional dan lain-lain. Sukarno (1963) menuliskan bahwa sebagai akibat dari cap-cap negatif ini, perempuan diumpamakan sebagai “sebutir mutiara”. Para suami memuliakan istri mereka, mereka mencintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikan sebagai mutiara, tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan istrinya di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya; (5) Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Bentuknya bermacam-macam mulai dari bentuk kekerasan fisik maupun psikologis. Pada konflik sumber daya alam kekerasan terhadap perempuan seringkali meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat (militer atau sipil) serta pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang keluarga, oleh suami, tetangga atau saudara.
IV. PEREMPUAN, KEHUTANAN SOSIAL dan GENDER BUDGET
Sejak diadakannya Kongres Kehutanan Dunia, dengan tema “Hutan untuk Masyarakat” tahun 1978, terjadi perubahan perspektif dalam pengelolaan hutan. Konsep pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat dapat diterima secara internasional. Para pengambil keputusan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, menyadari bahwa yang paling tahu tentang pengelolaan hutan adalah mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan (Anonim, 2002b). Bagaimana peran perempuan dalam kehutanan sosial? Cernea (1988) menyatakan bahwa pengalaman dengan kelompok-kelompok perempuan dalam bidang kehutanan jauh lebih terbatas (bila dibandingkan dengan laki-laki). Karena perempuan bertanggung jawab dalam banyak kegiatan untuk mengumpulkan kayu bakar, mereka menjadi pihak yang secara langsung paling tertarik dalam menghasilkannya. Masih dalam tulisan yang sama, walaupun perempuan telah diorganisasi untuk kegiatan produktif yang lain atau yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga di berbagai negara, hanya sedikit yang benar-benar telah melibatkan mereka dalam tanggung jawab pengusahaan di bidang kayu. Bahkan di negara seperti Kenya, dimana kelompok-kelompok perempuan tersebar luas dan efektif, sebuah studi lapangan sosiologi melaporkan bahwa dari 100 kelompok perempuan yang aktif di satu kabupaten (Mbere), tidak ada yang secara langsung dilibatkan dalam penanaman pohon. Di kabupaten lain, kelompok-kelompok perempuan dewasa ini telah mulai menanam beberapa bidang untuk dipakai sendiri. Tujuan utama dari adanya pembangunan berwawasan gender adalah terciptanya gender equality, equity, efficacy dan women’s enpowerment di segala bidang. Konperensi Perempuan se-dunia di Beijing tahun 1995 menghasilkan apa yang dikenal sebagai Platform Beijing. Dalam platform tersebut ada tiga hal penting, yaitu (1) Mengakui adanya ketidak samaan antara perempuan dan laki-laki; (2) Mengakui bahwa kemiskinan membuat lebih buruk lagi ketidak samaan (ketidak setaraan) tersebut; (3) Menunjukkan dan menghilangkan pembatas ke arah kemajuan pemberdayaan perempuan. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, Asian Development Bank (2002) menuliskan beberapa kegiatan yang merupakan platform kebijakan bagi perempuan dalam perannya di sektor kehutanan seperti dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Kebijakan ADB Hasil Platform Beijing tentang Perempuan di Kehutanan
Sumber: Asian Development Bank (2002) Banyak upaya yang telah dilakukan di berbagai negara seperti di Afrika Selatan, Australia, bahkan di negara Inggris dan Amerika Serikat untuk memperbesar peran perempuan dalam sektor kehutanan. Tetapi dalam pelaksanaannya tetap terdapat kesenjangan (gap) antara kebijakan yang telah disusun pemerintah dengan masalah pendanaan atau anggarannya. Hidajadi (2001) menyatakan bahwa hal-hal tersebut diakibatkan dari program dan kebijakan yang disusun tidak diakomodasi oleh anggaran pemerintah yang berprekspekif gender. Masih dalam tulisan yang sama (Hidajadi, 2001), memberi ilustrasi satu contoh kasus dalam evaluasi budget yang dibuat oleh Departemen Keuangan dari pemerintah di Afrika Selatan pada tahun 1998. Diketahui bahwa pada tahun 1997 di Afrika Selatan telah dibuat 599 proyek untuk masyarakat miskin yang tersebar di 9 propinsi sesuai dengan tingkat kemiskinannya. Dari sekian banyak proyek tersebut, mereka merekrut pekerja perempuan sebesar 41 persen dan pekerja anak sebesar 12 persen. Sayangnya, dari hasil evaluasi diketahui bahwa perempuan yang bekerja untuk proyek tersebut sering hanya mengerjakan pekerjaan yang kurang membutuhkan ketrampilan, dengan masa kerja yang lebih pendek dibanding pekerja laki-laki, dan otomatis menerima upah lebih rendah. Lebih dari itu ternyata hanya 32 persen pekerja perempuan yang mendapatkan kesempatan mengikuti training kerja, dibanding pekerja laki-laki yang mencapai 37 persen. Dari ilustrasi di atas tergambar bahwa walaupun proyek tersebut telah memberikan kesempatan yang besar pada perempuan, tetapi ternyata “ketidak adilan” masih tetap ada. Lalu bagaimana agar dalam proyek-proyek kehutanan sosial di Indonesia nantinya dapat lebih efektif bagi perempuan? Salah satu caranya adalah dengan apa yang disebut dengan gender budget. Gender budget adalah konsep baru yang ditawarkan untuk membantu mengatasi kesenjangan (gap) yang terjadi, agar anggaran pemerintah dapat dikumpulkan dan dibelanjakan dalam proyek kehutanan sosial dengan lebih efektif. Gender budget juga dapat membantu pemerintah supaya tujuan pembangunan yang bersifat ekonomi dan sosial dapat dicapai secara lebih seimbang. Hidajadi (2001) menyatakan bahwa konsep gender budget sebenarnya tidaklah ditujukan untuk membuat anggaran secara khusus bagi perempuan, atau untuk meningkatkan anggaran lebih bagi perempuan. Tetapi, pada dasarnya, konsep ini bertujuan untuk membantu menganalisa anggaran pemerintah dengan perspektif gender.
V. PENILAIAN ANGGARAN PROYEK BERDASARKAN GENDER
Meskipun tidak ada blueprint atau pedoman dalam penyusunan gender budget, Budlender et. al., (1998); Elson (1999) menyatakan bahwa minimal ada 4 (empat)
teknik dalam menilai apakah suatu anggaran proyek berpihak kepada kaum perempuan atau tidak, yaitu: (1) Penilaian kebijakan (anggaran) yang sadar gender; (2) Penaksiran manfaat berdasarkan pemilahan gender; (3) Analisis luasnya akibat yang ditimbulkan berdasarkan pemilahan gender; (4) Analisis dampak dari budget dalam alokasi waktu berdasarkan pemilahan gender. Penjelasan secara ringkas dari teknik penilaian ini dalam proyek kehutanan sosial adalah sebagai berikut: Penilaian kebijakan (anggaran) yang sadar gender
Metode ini adalah metode yang paling sering digunakan untuk menilai apakah suatu anggaran berpihak kepada perempuan atau tidak. Metode ini dimulai dengan asumsi bahwa anggaran harus mencerminkan kebijakan. Sehingga kebijakan yang bertujuan untuk pengarusutamaan gender (gender meanstreaming) akan membuat hubungan yang kuat dan langsung pada alokasi sumber dana dan sumber daya. Cara yang digunakan dalam metode ini adalah dengan memberikan pertanyaan kepada merekamereka yang akan terlibat dalam proyek, apakah kebijakan pengalokasian sumber dana dan sumber daya dapat mengurangi, menambah atau menghilangkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penaksiran keuntungan dari pemilahan gender Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan menganalisis pendapat-pendapat pria dan wanita yang secara aktual atau potensial diuntungkan oleh proyek yang akan dilaksanakan. Polling opini, survei perilaku dan diskusi fokus grup adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data metode ini. Dengar pendapat atau public hearing dapat pula dilakukan untuk membahas mana prioritas pengeluaran yang berperspektif gender. Analisis luasnya akibat yang ditimbulkan dari pengeluaran publik berdasarkan pemilahan gender
Metode ini membandingkan secara luas bagaimana laki-laki dan perempuan, anak lakilaki dan anak perempuan diuntungkan dari pengeluaran proyek. Metode ini menggunakan data survei pengeluaran rumah tangga untuk memperoleh distribusi pengeluaran masyarakat tersebut. Analisis dampak dari budget dalam penggunaan waktu berdasarkan pemilahan gender.
Metode ini menganalisis hubungan antara anggaran proyek dengan waktu digunakan (oleh perempuan) di dalam rumah tangga. Dengan kata lain, metode ini didasarkan pada penggunaan waktu yang digunakan oleh perempuan, dimana penggunaan waktu ini dapat digolongkan dalam waktu untuk bekerja dan waktu luang. Seperti diketahui, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan dibanding laki-laki di dalam pekerjaan informal, pekerjaan domestik atau reproduksi dan pekerjaan penunjang di masyarakat. Sehingga metode ini mencari hubungan antara penggunaan anggaran proyek dan waktu digunakan perempuan dalam keluarga, dengan maksud agar perempuan dapat ikut terlibat di dalam proyek diluar waktu dimana mereka bekerja untuk rumah tangga dan pekerjaan informal lainnya.
VI. PENUTUP
Kehutanan sosial dengan berbagai variant penyelenggaraannya akan dapat menjadi program unggulan kehutanan karena akan membawa implikasi tumbuhnya sikap tanggungjawab masyarakat disamping masyarakat juga dapat memperoleh keuntungan dan manfaat langsung dari keterlibatan dalam pengelolaan hutan. Dalam kehutanan sosial, kemungkinan pengikut sertaan perempuan secara aktif adalah terbuka lebar. Perempuan dapat diikutsertakan tidak hanya pada saat pelaksanaan proyek tetapi
dapat pula diikutsertakan sejak awal perencanaan proyek dibuat dan termasuk kontrol terhadap proyek kehutanan sosial.
Agar tidak terjadi kesenjangan antara peran laki-laki dan perempuan, dalam proyek kehutanan sosial, perlu adanya gender budget yang dapat menyeimbangkannya. Konsep gender budget sebenarnya tidaklah ditujukan untuk membuat anggaran secara khusus bagi perempuan, atau untuk meningkatkan anggaran lebih bagi perempuan. Tetapi, pada dasarnya, konsep ini bertujuan untuk membantu menganalisis anggaran proyek pemerintah dengan perspektif gender. Gender budget digunakan untuk mengididentifikasi bagaimana alokasi anggaran dapat memberi kontribusi untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jika anggaran tersebut hanya memberi sedikit atau bahkan tidak sama sekali terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan maka dapat dikatakan bahwa anggaran tersebut tidak digunakan secara efisien. Gender budget tidak hanya menyoroti berapa banyak anggaran yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan, tetapi harus juga menunjukkan bagaimana anggaran tersebut digunakan. Sehingga dalam penyusunannya diperlukan akuntabilitas dan transparansi baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan yang akan diterima.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Lukas Rumboko Wibowo, MSc., Ir. Subarudi, MSc., dan Ir. Eko Budi Susantyo, MSc dari PUSLITBANG Sosial, Budaya dan Ekonomi Kehutanan, serta reviewer Jurnal Hutan Rakyat atas komentar dan sarannya pada draft awal tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002a. Social Forestry. URL: http://edugreen.teri.res.in/explore /forestry/social.htm Anonim. 2002b. Social Forestry: Refleksi Kehutanan Pasca Reformasi. Workshop Social Forestry, 10 September, Cimacan, Bogor. Asian Development Bank. 2002. Gender in Forestry: When Mother Nature Suffers, Women Suffer Too. URL: http://www.adb.org/Document/Events/2002/ForestryStrategy/Gender_Torres.pdf Awang, S.A., 2000. Hutan Desa: Peluang, Strategi dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat, Volume 3 (November). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 19-32. Budlender, D., R. Sharp., and K. Allen. 1998. How to Do A Gender-Sensitive Budget Analysis: Contemporary Research and Analysis. Australian Agency for International Development, Canberra and the Commonwealth Secretariat, London. Cernea, M.M. 1988. Unit-unit Alternatif Organisasi Sosial untuk Mendukung Strategi Penghutanan Kembali. Dalam: Cernea, M.M. (ed.) Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Alih bahasa oleh Teku, B.B. Universitas Indonesia Press, Jakarta: 341-378. Elson, P. 1999. Gender Budget Initiative. Gender and Youth Affairs Division Background Papers. Commenwealt Secretariat, London. Foresta, H. dan G. Michon, 2000. Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda Pendekatan. Dalam: Foresta, H., A. Kusworo., G. Michon., dan W.A. Djatmiko, (ed.) Ketika Kebun Berupa HutanAgroforestri Khas Indonesia-Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan. International Centre for Research in Agroforestry, Institut de Recherche Pour Le Développment dan Ford Foundation, Indonesia. pp 1-18. Heru, H. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Nasional. Makalah Pelatihan “Analisis Gender dengan GAD”, 20-21 Nopember. Departemen Kehutanan, Jakarta. Hidajadi, M. 2001. Perempuan dan Pembangunan. Jurnal Perempuan. Nomer 17. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: 7-18. Kusnadi. 2001. Pengamba’ Kaum Perempuan Fenomenal. Humaniora Utama Press, Bandung. Munggoro, D.W., dan A. Aliadi., 1999. Community Forestry dalam Konteks Perubahan Institusi Kehutanan. Dalam: Aliadi, A., (ed.) Kembalikan Hutan kepada Rakyat. Penerbit Pustaka Latin, Bogor: 29-42.
Nguyen. 2001. Social Forestry: Terminology Forum. URL: http://www.socialforestry.org.un/forum/sfforum/english/term01.htm Noronha, R. dan Spears, J.S. 1988. Variabel-variabel Sosiologi dalam Rancangan Proyek Kehutanan. Dalam: Cernea, M.M. (ed.) Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Alih bahasa oleh Teku, B.B. Universitas Indonesia Press, Jakarta: 287-340. Pramuharsanto, Y., 2002. Kajian Komposisi Jenis Pohon pada Pola Agroforestry Sepanjang Jalan PatukWonosari Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Proposal Penelitian, Jurusan Budi Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR), 1999. Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Kasus Desa Kedung Keris, Gunung Kidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian, Ford Foundation dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Simatauw, M., Simanjuntak, L., dan Kuswardono, P.T. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL), Kupang.
Sukarno. 1963. Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Penerbit Buku- Buku Karangan Presiden Sukarno, Jakarta. Vermaulen, S. 2002. Memahami Komuniti Forestri: Lima Hal Pokok yang Perlu Dipertimbangkan. Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 5 Tahun V, (April). Pustaka Latin, Bogor: 29-37. Wahyuni, E.S. 2002. Konsep Jenis Kelamin dan Gender. Makalah Pelatihan Analisis Gender dengan GAD, 20-21 Nopember. Departemen Kehutanan, Jakarta. Sumber: Artikel pada Jurnal Hutan Rakyat, Pusat Kajian Hutan Rakyat (Center For Community Forestry Studies) Fakultas Kehutanan UGM, Volume V No. 3 Tahun 2003, Halaman 1- 16.
Anggota Kelompok Kerja Gender Mainstreaming Badan Litbang Departemen Kehutanan RI dan Staf Peneliti pada PUSLITBANG Sosial, Budaya, dan Ekonomi Kehutanan. Sumber: Jurnal Hutan Rakyat Volume V Nomor 3 Tahun 2003 Hal 1-16, Pusat Kajian Hutan Rakyat (Centre for Community Forestry Studies), Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.