GENDER DALAM BINGKAI BUDAYA, ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL Fatimah* Abstract Gender is cultur perspective can be seen in the historical dimension, the Qur’an and Hadith dimension, as well as dimensions of social transformation. The concept of gender is a socio-cultur concept of gender born from inequities that pleace women as people who do not have the dignity and equality has no value to men. This culture is voiced by women using the approach to the Qur’an and the Hadith, and transform in the form of Islamic cultural values to shape the culture of cooperation between men and women in all aspects of life. Kata Kunci: gender, transformasi sosial, budaya Pendahuluan Sebagai agama samawi, kehadiran Islam tidaklah bersifat a-historis. Sejak pertamakali diwahyukan, Islam memiliki concern terhadap perubahan kondisi ekonomi, politik, dan budaya manusia kearah perbaikan demi keharmonisan dan kesejahteraan manusia. Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang menyebabkan kebangkrutan moral bagi masyarakat. Jadi hal yang menjadi ultimate goalkehadiran agama Islam di muka bumi adalah menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, sejahtera, dan berketuhanan. Oleh karena itu sejak awal kehadiran Islam merupakan pergulatan dialektis antara dimensi normativitas ajaran wahyu yang permanendengan historisitas pengalamn kekhalifahan manusia di muka bumi yang senantiasa berubah-ubah.1 Oleh karena proses dialektis ini, maka ajaran-ajaran Islam mengalami interpretasi yang berbedabeda sesuai dengan pemahamana manusia yang “membaca” kitab Alquran. Dalam skala yang lebih luas, adanya interaksi antara Islam dengan 1
Muhammad Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 5.
60 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
masyarakat berarti pula adanya interaksi antara dimensi normativitas Islam dengan kebudayaan lokal dari masyarakat. Oleh karena interpretasi terhadap dimensi normtivitas ajaran Islam maka wajah agama Islam memiliki performance yang berbeda-beda dalam berbagai kebudayaan masyarakat dalam berbagai zaman. Meskipun memiliki sumber ajaran yang sama, yaitu Alquran dan al-Hadist, kaum muslimin memiliki ekspresi yang khas dalam melaksankan ajaran Islam sesuai dengan akar kebudayaan yang dimilikinya. Dalam interaksi yang dialektis antara Islam dengan kebudayaan lokal, terdapat kemungkinan Islam akan memberi warna, mengubah, mengolah, atau memperbaharui budaya lokal.2 Akan tetapi, dapat pula tejadi sebaliknya, justru Islamlah yang diwarnai oleh kebudayaan lokal. Proses saling mempengaruhi ini sangat tergantung dari aktor dan faktor-faktor yang mendominasi. Jika yang mendominasi dan lebih aktif adalah ajaran Islam melalui aktor-aktornya (para ulama atau da’i) melakukan “islamisasi” terhadap budaya lokal, maka Islam akan menjadi determinan pembentukan budaya masyarakat lokal. Sebaliknya, jika kebudayaan lokal yang lebih dominan, maka kebudayaan lokal menjadi determinan dalam pembentukan kebudayaan Islam. Tulisan ini akan membahas tentang gender sebagai suatu persoalan yang dihadirkan oleh kekeliruan akan kemanjaan wanita meminta persamaan, karena adanya ketidakadilan gender. Padahal dalam Islam sendiri antara pria dan wanita termasuk dalam golongan yang tidak dapat dibandingkan bahkan untuk mencari perbedaan dan persamaan antar kedua jenis makhluk ini sangat sulit. Dalam memperjelas masalah ini, penulis mencoba menghadirkan sebuah analogi kerangka filosofis dalam memahami persoalan gender, dimana manusia dikiaskan sebagai sepatu. Nilai kesepatuan baru tercipta jikalau dia berdiri dari dua sisi kiri dan kanan. Muncul sebuah pertanyaan apakah sikiri lebih baik, lebih berguna, lebih berharga dari sikanan? atau pertanyaan sebaliknya. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang kurang rasional yang sama tidak rasionalnya jikalau ada seseorang yang menggunakan sepatu dalam bentuk dan warna yang berbeda. Sesungguhnya dengan ketidaksamaan penggunaan keduanya (kiri dan kanan) sepatu tersebut tidak lebih dari seonggok sampah. Di saat si kiri berambisi memasuki kaki kanan, dan si kanan berambisi memasuki kaki kiri, maka masing-masing bermurah hati merobah dan mengoyak kediriannya. Akan tetapi manakala mereka bersungguh-sungguh menyadari nilai kekirian dan kekanannya secara sempurna, maka damailah bermilyaran sepatu yang
2
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta:Teraju,2003), 8.
Fatimah, Gender: antara Islam dan Budaya 61
dihadirkan di bumi ini sebagai pelengkap acesoris kaki dengan berbagai macam model dan kualitasnya. Analogi tersebut rupanya sejalan dengan konsep kemitra sejajaran yang digunakan di Indonesia sebagai upaya untuk menggeser perbedaan antara wanita dan pria yang bersifat a-simetris menuju partnership yang selama ini menjadi pembicaraan hangat. Misalnya R.A.Kartini. Implikasi dari pelopor emansipasi wanita hampir menempatkan posisi wanita sejajar dengan pria dalam segala dimensi kehidupan. Sekalipun dalam kenyataaannya masih ada posisi tertentu yang didominasi oleh pria. Hal ini mungkin didasari oleh berbagai alasan yakni etis, religius, adat ketimuran atau kultur patriarkhi. Selain itu, gender dalam perspektif ideologis perlu juga kiranya dilirik kembali bagaimana konstribusi pemikiran Fatimah Mernissi dalam menampilkan kajian tentang hadis misogini3. Untuk membentuk paradigma gender dalam fungsi sosial, maka mereka menggunakan pendekatan sejarah sebagai alat politik.4 Begitu pula Ruth More dalam penelitiannya mengambil salah satu sampel yaitu masyarakat muslim Tausug di Filipina akan keikutsertaan wanita dalam peperangan menentang orang-orang kristen. Beliau menggunakan pendekatan sejarah dan antropologi. Implikasi keikutsertaan wanita tersebut mencoba menggeser nilai akan kultur patriarkhi yang dipahami sebagai ajaran agama dalam korelasi tuntutan zaman, yakni kesamaan dalam berjuang untuk mempertahankan identitas Islam.5 Oleh karena itu untuk melihat bagaimana gender dalam dalam tataran teori dan aplikatifnya, maka dalam tulisan ini penulis menekankan pembahasannya pada gender dalam lintasan sejarah, gender dalam perspektif al Qur’an dan Hadist, serta gender dalam transformasi sosial. Gender dalam Lintasan Sejarah Pemahaman tentang arti gender merupakan kerangka dasar untuk mengetahui tentang bagaimana analisis gender dalam perspektif sejarah. Gender dan seks dalam kamus bahasa Indonesia tidakada perbedaan yang mendasar. Untuk memahami konsep gender secara jelas maka diperlukan pembatasan pengertian yang jelas tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Pengertian jenis kelamin (seks) merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang 3
Hadis yang isinya mensubordinasikan kaum perempuan. Howard, M, Federspil, Un Antropologi Of Islamic Studies, (Canada: Institut f Islamic Studies MCGILL University, 1996), 237. 5 Ibid, 238. 4
62 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak mengalami perubahan sebagai ketentuan biologis yang merupakan ketetapan dari Allah swt atau dikenal dengan istilahkodrat. Berbeda dengan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan identik dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan serta dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi.6 Secara historis, perbedaan gender (gender difference) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal. Diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Dari proses inilah sosialisasi gender akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak bisa dirubah oleh siapapun. Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi permasalahan adalah kerancuan dan pemutarbalikan makna apa yang disebut sex atau gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya oleh masyarakat, seperti kodrat wanita pada dasarnya adalah gender begitupun sebaliknya. Misalnya sering ada ungkapan mendidik anak, merawat anak dan mengelola kebersihan dalam rumah tangga (persoalan domestik) adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu yang dipahami sebagai kodrat wanita, padahal tugas tersebut bisa dilakukan oleh kaum laki-laki sebagai pertukaran yang bersifat universal. Perbedaan gender itu bisa melahirkan peran gender yang dipermasalahkan dewasa ini adalah adanya pengunaan analisis`gender dalam korelasinya dengan struktur ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat pada terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum wanita, terjadinya subordinasi pada kaum perempuan, pelabelan negatif (stereo type) terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi, kekerasan terhadap perempuan, dan peran gender mengelola rumah tangga sebagai beban kerja domestik yang dilimpahkan kepada wanita.7 Dari manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi, bahkan tersosialisasi pada kaum perempuan dan lakilaki secara mantap, yang lambat laun pada akhirnya membaur dalam 6
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transaformasi, (Bandung: Pustaka pelajar, 1996), 8. 7 Ibid, 17-18.
Fatimah, Gender: antara Islam dan Budaya 63
bentukan kodrat, serta struktur dan sistem yang dapat diterima sebagai suatu kepincangan. Hal inilah yang melatar belakangi kaum perempuan untuk melakukan gerakan feminisme tanpa mengindahkan analisis gender sebagai patokan dalam aksinya. Kedudukan wanita baik dalam dimensi sosial maupun perundangundangan dalam konteks sejarah, dimana wanita bagi bangsa India bagaikan benda yang tak boleh hidup sepeninggal suaminya. Di Persia, kehidupan seratus persen tergantung kepada laki-laki, wanita bisa dibunuh oleh suaminya dan bisa juga dipenjarakan di rumah untuk selamanya.8 Lain halnya orang yunani memandang perempuan sebagai penyebab lahirnya perbuatan setan, bahkan dianggap sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan di pasar bebas. Perempuan tidak berhak melakukan transaksi apapun dan tidak boleh memiliki suatu benda apalagi warisan. Apabila suaminya meninggal, seorang isteri bisa diwariskan kepada saudaranya atau kerabatnya.9 Bangsa Romawi menganggap perempuan sebagai binatang, ia tidak mempunyai hak untuk memiliki dan tidak pula menggunakan harta. Jika ada seorang pria membunuh seorang wanita, maka ia harus menyerahkan putrinya untuk dibunuh sebagai pembalasan atau perbuatannya itu. laki-laki mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kaum hawa dan boleh menjualnya sebagai budak belian.10 Di Perancis pada tahun 506 M pernah diadakan seminar tentang hak perempuan apakah ia bisa dianggap manusia atau tidak. Hasil dari seminar itu menyimpulkan bahwa kedudukan perempuan sebagai manusia diciptakan hanyalah untuk mengabdi kepada laki-laki dan tidak lebih dari itu.11 Berbeda dengan kekuasaan masyarakat jahiliyah dimana perempuan dianggap sebagai kehinaan keluarga.12 Inilah beberapa gambaran pemerkosaan harkat dan martabat perempuan pada zaman pra Islam. Dalam bidikan lensa masa kini, penilaian diri akan tujuan hidup melahirkan tiga pijakan dasar yang menjadi pilihan wanita. 1. Wanita yang melihat dirinya tak lebih dari faktor pelengkap bahkan sesekali sebagai obyek penderita laki-laki. Golongan ini merelakan segenap hidup dan matinya hanya untuk pria. Contoh klasiknya dapat kita 8
Muhammad Athiyah al-Abrasy, Maka>nah al-Mar’ah fi> al-Islam, (Kairo: Maktabah Mis}r Rajallah, t.th.), 9. 9 Ahmad Kairat, Markaz al-Mar’ah fi> al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Ma’aru>f, 1983), 11. 10 Muhammad Albar, Wanita Karier dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), 1. 11 Mansour Fakih, Analisis..., 133. 12 Lihat Q.S. al-Nahl ayat 58-59.
64 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
baca dari kebaikan hati wanita menjadi selir dan dayang, sedang contoh kontemporernya betapa apresiatifnya wanita kini yang menghabiskan usianya untuk semolek dan segemulai mungkin dalam penikmatan pria. 2. Golongan yang mengutuk golongan pertama, yaitu dengan pongah meneriakkan akan kebebasan dari ketergantungan pada pihak laki-laki, bagi mereka menata meja makan dan melilit popok diperut bayi adalah sebuah pekerjaan nista, tersebutlah nama Ann Lee seorang wanita yang mengaku penjelmaan kembali Yesus.13 3. Golongan wanita yang melihat dirinya sebagai manusia dalam sosok yang utuh, menghargai serta menghormati kodrat kelahirannya sebagai wanita, ia dengan tulusnya melaksanakan fungsi kewanitaannya, tetapi ia tidak pernah lalai dalam menelusuri cita-cita dan perjalanan kariernya. Golda Meir adalah contoh yang menarik. Dapat kita kaji dalam ucapan anak yang lahir dari rahimnya “kami sangat sadar, betapa ibu kami sangat menyayangi kami, tapi kami pun harus tahu diri bahwa ia adalah milik Israel, bahkan miliki dunia, dan kami harus membaginya”.14 Dari perbedaan tampilaan profil wanita sebagai bias dari ketidak adilan gender tersebut ternyata terkontaminasi dengan versi budaya masingmasing. Ada kesan yang melahirkan keinginan wanita untuk melepaskan diri dari cengkraman ketidak adilan gender dan pelecehan harkat dan martabat wanita. Olehnya itu perlu dianalisis kembali apakah pelanggaran ketidakadilan gender secara general dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri, atau justru berasal dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi atau kultur parthiarkhi. Gender dalam Alquran dan Hadis Kehadiran Islam sebagai agama yang universal, telah menghancurkan tradisi-tradisi yang tidak manusiawiyang membantahkan penghinaan dan pemerkosaan akan hak-hak perempuan terlihat dalam beberapa ayat: 1. Alquran menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajaraan dengan laki-laki.15 2. Perempuan dan laki-laki diciptakan dari unsur tanah yang sama dan dari jiwa yang satu.16 3. Proses dan pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda.17 13
Marwah Daud Ibrahim, Teknologi Emansipasi dan Transendensi Wacana Peradaban dengan Visi Islam, (Bandung: Mizan, 1994), 120. 14 Ibid. 15
Lihat Q.S. Al-Hujurat ayat 13. Lihat Q.S. Al-A’Raaf ayat 189.
16
Fatimah, Gender: antara Islam dan Budaya 65
4. Islam menjamin kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi perempuan, bila komitmen dengan iman dan menempuh jalan yang shaleh, sebagaimana jaminan terhadap laki-laki.18 5. Perbuatan yang dilakukan perempuan setaraf dengan apa yang dilakukan laki-laki. Amal masing-masing dihargai oleh Allah SWT karena berasal dari satu derajat.19 6. Perempuan adalah makhluk yang menyertai laki-laki di dunia dan juga di akhirat (lihat Q.S An-Nahl ayat 124). Perempuan sebagai partner laki-laki dalam berjuang dan mengarungi kehidupan. Oleh sebab itu Alquran menyebutkan jenis laki-laki (al-z\akar). Ayat yang demikian ini kurang lebih ada 15 tempat dalam Alquran. Ketika masyarakat jahiliyah menganggap perempuan sebagai makhluk hina, Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan “perempuan adalah pasangan yang sebanding dengan laki-laki”. Maksud dari hadist ini adalah laki-laki dan perempuan sama dalam penciptaannya dan watak dasarnya. 7. Ayat-ayat Alquran bila berbicara kepada manusia mencakup laki-laki dan perempuan. Misalnya, ya> ayyuha> al-na>s (wahai sekalian manusia), ya> bani> a>dam (wahai anak cucu adam), ya> ayyuha> al-laz\i>na a>manu> (wahai orang-orang yang beriman), semua panggilan ini mencakup khitab kepada perempuan dan laki-laki. 8. Rasulullah saw memberikan perhatian lebih banyak kepada anak perempuan dari pada anak laki-laki. Beliau pernah menyatakan ‚sebaikbaik anakmu adalah anak perempuan‛.20 Dari ayat dan hadits yang penulis tampilkan, setidaknya dapat memberikan konstribusi kepada kita sebagai dasar untuk menganalisis bagaimana perhatian Islam dalam hal mengangkat harkat dan martabat perempuan yang telah terhina selama berabad-abad. Jadi dapat dibuktikan bahwa tanpa pengaruh faktor gender, sebenarnya perempuan dalam Islam sudah memiliki risalah, kedudukan terhormat yang perlu dilanjutkan dan diperjuangkan dalam merealisasikan ajaran Islam yang rahmat li al-a>lami>n. Artinya rahmat untuk alam kaum laki-laki, juga sekaligus rahmat untuk alam kaum perempuan, baik pada masa dahulu, masa kini, maupun yang akan datang. Hanya saja persoalannya adalah terkadang terletak pada pemahaman 17
Lihat Q.S. Al-Qiyamah ayat 37-39. Lihat Q.S. al-Nahl ayat 97. 19 Lihat Q.S. Ali Imran ayat 195. 20 Dalam hadist Rasulullah saw. menyatakan ‚tidaklah menghormati perempuan, kecuali orang yang terhormat dan tidak pula menghinakannya kecuali orang yang hina. Lihat Hasan Musa Al-S{affar, Al-Mar’ah Mas’u>liyyah wa Mawaraqif, (Beirut: Da>r al-Zahrah, 1405 H/1985 M), 11. 18
66 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
ayat yang bersifat textual, dan boleh jadi tidak menutup kemungkinan terkontaminasi dengan kultur patriarkhi. Salah satu arti Hadist yang dijadikan pengkiblatan terhadap gender yang berbunyi “tidak berbahagia suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan negaranya kepada wanita (H.R. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Nasa’i)”21 sebagai hadist yang dilatar belakangi ketika Rasulullah mendengar berita tentang peralihan kepemimpinan raja Persia kepada putrinya. Menurut pemahaman Musthafa al Sibai terhadap hadist tersebut merupakan larangan bagi seorang wanita untuk menjadi kepala negara. Rasulullah melihat bahwa jabatan kepala negara bukan hanya sekedar simbol, akan tetapi kepemimpinan dalam arti luas, baik dalam kondisi aman maupun perang.22 Oleh karena pertimbangan fisik yang dianggap perempuan berfisik lemah sehingga dikhawatirkan tidak mampu memimpin negara dalam kondisi tersebut. Jadi untuk kemaslahatan ummat dan kebaikan dirinya (perempuan)maka tidak selayaknya jabatan itu diserahkan kepada wanita, tetapi larangan itu bukan karena persoalan hak. Penafsiran Alquran secara textual melahirkan image tentang sistem hukum yang diterapkan di Indonesia tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam23. Hal ini terjadi kontroversial antara Rasyid Ridha24yang dalam penafsirannya berorientasi pada pengaturan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga sebagai suami istri. Sementara Joda Al-Maula mengakui akan kemampuan wanita dalam memimpin bahkan bisa melebihi kaum laki-laki dalam berfikir maupun dalam legendaris urusan negara.25 Menurut penulis sangat ironis untuk dijadikan landasan normatif dalam persoalan gender. Al-Maududi26 juga menolak kepemimpinan terhadap
21
Anwar Harjono, Indonesia Kita pemikiran Berwawasan Iman, Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),107. 22 Mus}t}afa> al-S}iba>’i>, al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Cet. ke-2; Damaskus: Maktabah al-Arabiyah, 1958), 39-40. 23 Lihat Q.S. An-Nisa ayat 34, Q.S al-Baqarah ayat 228, Q.S an-Nisa ayat 176, dan Q.S al-Maidah ayat 5. 24 Seorang ulama Salafiah berpendapat bahwa pria dan wanita memiliki persamaan dalam segala hal kecuali kepemimpinan. Lihat Munawir sadzali, Ijtihad kemanusiaan, (Jakarta:Paramadina, 1997), 64. 25 Mengakui kemampuan wanita untuk memimpin melebihi kemampuann laki-laki, cuma persaoalnnya terletak pada kurangnya wanita yang mempunyai kemampuan seperti itu. Lihat Azis Masyhuri, Studi dan Peranan Wanita Menurut Islam, (Solo: tp,tth), 38-39. 26 Dalam sejarah peralihan kepemimpinan dari Ali Jinnah ke fatimah Jinnah, Al-maududi ikut berkampanye sebagai dorongan obsesi menentang Ayub Khan
Fatimah, Gender: antara Islam dan Budaya 67
wanita sebagai kepala negara atau jabatan penting dalam pemerintahan, namun pandangan ini tidak konsisten karena ada indikasi kebangkrutan politik. Jadi, dapat dipahami bahwa bahwa persoalan gender disebakan oleh adanya pemahaman dan penafsiran ayat dan hadist secara textual. Selain itu besar kemungkinan juga dipengaruhi oleh proses kultur partriarkhi yang berkepanjangan yang mempengaruhi penafsiran dalil-dalil secara textual yangmelenceng dari watak agama itu sendiri. Gender dalam Transformasi Sosial Pembahasan tentang perempuan dalam transformasi sosial maka salah satu konsep yang perlu dijabarkan adalah konsep gender. Berawal dari konsep gender yang berkembang sejak akhir tahun 1970-an dilatar belakangi oleh adanya kalangan yang berkecimpung dalam issu-issu kaum kaum perempuan terdapat ketidakpuasan dengan konsep-konsep “perempuan dalam pembangunan” (women is developments/WID) yang melihat kaum perempuan terpisah dari kaum laki-laki. Dalam pemahaman WID ini sepertinya kurang diperhatikan hakekat hubungan sosial yang mendasari subordinasi kaum perempuan, lagi pula dirasakan perlumya dibuat perbedaan seks yang bersifat biologis dan gender yamng bersifat sosial.27 Gender dalam konteks sosial budaya menggambarkan peran, fungsi serta perilaku laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Konsep ini muncul didasarkan pada konteks sex atau perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dimana yang diikat oleh budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan demikian, pelabelan perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan bukan hanya aspek biologis saja. Melalui proses sosialisasi yang terbentuk mulai dari keluarga, konsep tentang perilku perempuan (feminitas) dan perilaku laki-laki (maskulinitas) yang tepat, diserap sejak kecil.28 Konsep gender perlu didekati dalam dua pendekatan yaitu: peran gender dan analisa hubungan sosial. Pendekatan peran gender terfokus pada distribusi peran dan prasarana (resources) dalam rumah tangga. Pendekatan ini secara sistematis meneliti kegiatan laki-laki dan perempuan agar mengatasi stereotype dan ideologi yang menjadikan pekerjaan perempuan sebagai presiden Pakistan. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press,t.th), 174. 27 Sharashoub Razali dan Coral Miller, From Wid to Gad, Conceptual Shifts In The Woman And Development Discource, (Jenewa: UNRISD,1995), 13. 28 Mely G. Tan, Kemitraan: Wujud Kesetaraan dalam Keluarga dalam Mendidik Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),286-287.
68 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
tidak terlihat. Dengan demikian pendekatan ini menekankan argumentasi ekonomi untuk memberikan prasarana (resources) kepada kaum perempuan. Sementara dalam pendekatan analisa hubungan sosial, gender merujuk pada dimensi hubungan sosial yang menyebabkan terjadinya perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam proses sosial. Permasalahan yang mendasar dalam pendekatan ini melihat subordinasi perempuan yang bukan hanya sebagai masalah realokasi sumber-sumber ekonomi, akan tetapi lebih pada persoalan redistribusi kekuasaan (redistribusi power). Implikasi dari pentingnya hubungan kekuasaan dalam pendekatan ini posisi kaum perempuan perlu diperbaiki dalam bentuk pemberdayaan perempuan. Selain dari konsep pemberdayaan29 konsep kemitrasejajaran30 juga relevan dengan pembahasan ini. Konsep ini sangat signifikan dalam membantahkan ideologi patriarkhi. Selain itu, konsep ini juga dapat merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dalam bentuk ketidaksamaan sosial, serta memberi peluang bagi perempuan untuk memperoleh akses dan penguasaan sumber material dan informasi. Selain itu, gender dalam transformasi sosial juga perlu dilakukan dengan cara: pertama, mengintegrasikan gender kedalam seluruh kebijakan organisasi danlembaga pendidikan. Kedua, advokasi atau pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidak adilan gender di negara dan masyarakat. Untuk memaksimalkan strategi ini maka perlu diadakan identifikasi permasalahan dengan cara: 1. Apakah letak permasalahannnya berada dalam substansi hukum (subtance of the law) baik dalam hukum positif, hukum agama, maupun hukum adat yang menjelaskan tentang ketidakadilan gender. 2. Apabila persoalannya terletak pada kultur hukum atau kultur masyarakat dalam mentaaati hukum, maka perlu diterapy dengan kampanye dan pendidikan massa. 3. Apabila persoalannya terletak pada aparat pelaksana hukum, maka diperlukan penyadaran aparat hukum akan persoalan ketidakadilan gender. Dari identifikasi permasalahan tersebut mencerminkan suatu gerakan transformasi sosial yang bersifat demokratisasi, atau proses gerakan dalam 29
Konsep pemberdayaan meliputi penguasaan atas aset material, sumber inteletual dan ideologi. 30 Konsep kemitrasejajaran merupakan kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan dan peranan dengan dilandasi sikap dan perilaku untuk saling membantu dan saling mengisi pada semua bidang kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis ini merupakan tanggung jawab bersama.
Fatimah, Gender: antara Islam dan Budaya 69
menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara fundamental ke arah yang lebih baik dan adil. Begitu pula gerakan feminisme sebagai gerakan perlawanan terhadap citra partriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai posisi yang passif, tergantung dan imperior. Dalam perspektif ini, lahirlah BKMT (badan kontak majelis taklim) sebagai salah satu lembaga dakwah Islam yang tumbuh dilingkungan masyarakat Islam. Lembaga ini memberdayakan perempuan dalam proses pembangunan bangsa baik dalam pengembangan IPTEK maupun IMTAQ. BKMT melihat bahwa setiap upaya pemberdayaan perempuan harus diselaraskan dengan perkembangan sosio kultural bangsa kita.31 Sasaran pembangunan manusia seutuhnya perlu meletakkan perempuan bukan sebagai benda mati, melainkan makhluk hidup yang beragama, berbudaya, berfalsafah dan bertradisi. Penutup Dalam mengkaji persoalan gender maka diperlukan adanya pembedaan antara kata seks dan gender. Konsep gender merupakan konsep sosial budaya yang digunakan untuk menggambarkan peran, fungsi dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Pemahaman ini diperoleh melalui proses belajar atau sosialisasi. Sementara konsep seks merupakan konsep biologis (jenis kelamin) yang melekat pada laki-laki dan perempuan dan tidak akan mengalami perubahan serta pergantian secara universal. Perempuan dalam dimensi historis menampilkan sosok manusia yang tidak mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia yang utuh, bahkan nilai kemanusiaannya dapat dipertukarkan dengan dimensi materil. Melihat kondisi seperti ini maka kelahiran Islam dapat memberikan solusi dengan jalan mengangkat harkat dan martabat wanita yang selama ini terpuruk dengan kultur yang menempatkan wanita sebagai subordinasi. Gender dalam perspektif transformasi sosial memberikan makna, konsepsi, ideologi, dan mengaplikasikan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Olehnya itu paradigma partnership antara laki-laki dan perempuan perlu dibarengi dengan pemberdayaan bagi kaum perempuan akan keikutsertaannya dalam pembangunan.
31
Tuty Alawiyah AS, Strategi Dakwah Dalam Lingkungan Majelis Taklim, (Bandung:Mizan, 1997), 115.
70 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 59-70
Daftar Pustaka Abdullah, Muhammad Amin, Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. al-Abrasy, Muhammad Athiyah, Maka>nah al-Mar’ah fi> al-Islam, Kairo: Maktabah Mis}r Rajallah, t.th. Alawiyah AS, Tuty, Strategi Dakwah Dalam Lingkungan Majelis Taklim, Bandung: Mizan, 1997. Albar, Muhammad, Wanita Karier Dalam Timbangan Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 1998. al-S{affar, Hasan Musa, Al-Mar’ah Mas’u>liyyah wa Mawaraqif, Beirut: Da>r al-Zahrah, 1405 H/1985 M. al-S{iba>’i Mus}t}afa>, al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, Cet. II; Damaskus: Maktabah al-‘Arabiyyah, 1958. Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transaformasi, Bandung: Pusata pelajar, 1996. Harjono, Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman, Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Howard, M, Federspil, Un Antropologi of Islamic Studies, Canada: Institut Of Islamic Studies MCGILL University, 1996. Ibrahim, Marwah Daud, Teknologi Emansipasi dan Transendensi Wacana Peraadaban Dengan Visi Islam, Bandung: Mizan, 1994. Khairat, Ahmad, Markaz al-Mar’ah fi> al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Ma’arif, 1983. Masyhuri, Azis, Studi dan Peranan Wanita Menurut Islam, Solo: tp.,t.th. Razali, Sharashoub dan Coral Miller, From Wid to Gad, Conceptual Shifts in The Woman and Development Discource, Jenewa: UNRISD,1995. Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta:Teraju,2003. Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta:Paramadina, 1997. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, t.th. Tan, Mely G., Kemitraan: Wujud Kesetaraan dalam Keluarga dalam Mendidik manusia Merdeka, Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. * Penulis adalah dosen tetap pada STAIN Sorong Irian Jaya