KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM BINGKAI PENDIDIKAN Aniati Abstract This paper deals with the importance of gender equality in education. It is argued that men and women are equal partners who are complementary and interdependent each other. Dignity and status can be achieved through persistent struggle by men and women without dependent on each other. Gender is used as an analysis to understand the social reality with regard to women and men. The existence of gender has given rise to the different roles, responsibilities, functions and even the space where human do some activities. Gender equality in educational framework is marked by the lack of discrimination between women and men, so they have access to, chance to participate, control over education and development, and obtain equal benefits. Keywords = Gender, Equality, Education PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan, termasuk kemajuan dalam bidang teknologi informasi. Hal ini, telah membuka kesempatan bagi umat manusia untuk mengakses semua informasi global, yang mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas. Peristiwa yang terjadi disuatu belahan dunia, dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan masalah kesetaraan gender. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi 1
2
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan manusia tersebut untuk mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat, yaitu kepada peserta didik. Masih banyak orang yang belum bisa membedakan secara jelas antara pengertian istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang kedua terminologi tersebut dianggap sama secara konseptual. Anggapan ini tentu tidak tepat, sebab istilah jenis kelamin dan gender memiliki pengertian yang sama sekali berbeda.1 Oleh karena itu, dalam kajian gender hal penting yang perlu dilakukan sebelum membahas lebih lanjut adalah memahami terlebih dahulu perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memecahkan masalah ketidakadilan sosial. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
1
Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 3
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
|
3
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan. 2 Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.3 Konsep keseteraan gender yang lain yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya saja, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, irasional, jantan. Padahal sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan. Dengan demikian keseteraan gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai. Dalam perkembangannya, gender digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami realitas sosial berkaitan dengan perempuan dan laki-laki.4 Semakin lama sejak kemunculannya, diskursus gender terus mencuat. Bahkan akhir-akhir ini, beberapa analisis dipakai untuk membaca gender dengan berbagai perspektif sosial, ekonomi, 2
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 1. 3 Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm.8. 4 Penemuan bahwa kategori “perempuan” dan “laki-laki” bukan merupakan fenomena biologis, tetapi konstruksi-konstruksi kultural sehingga karenanya pada dasarnya tidak mantap, mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritisyang penting. Lihat Hersri Setiawan, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta; Graha Budaya dan Kalyanamitra, 1999, hlm. 38.
4
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
politik bahkan agama. Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminisme artinya membicarakan ideologi, bukan wacana.5 Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa feminisme adalah gerakan untuk melawan terhadap praktek-praktek kekerasan, diskriminasi, penindasan, hegemoni, dominasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dan juga sistem terhadap perempuan. Dinamakan gerakan feminism karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.Tetapi kemudian makna feminisme mengalami perluasan sesuai perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki maupun perempuan. KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM BINGKAI PENDIDIKAN 1. Pengertian Gender Kata gender berasal dari Inggris, gender berarti jenis kelamin.6 Gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku. Secara kodrat, memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dengan perempuan yaitu dalam aspek biologis. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dengan perempuan yaitu senantiasa digunakan untuk menentukan dalam 5
Bahwa prinsip feminis itu ideologi (bukan wacana) karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati, dan tindakan, yaitu dengan menyadari, melihat, mengalami, adanya penindasan, hegemoni, diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS Neoliberalime, Jakarta: DebtWATCH, 2004, hlm. 5–6. 6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta; Paramadina, 2001, hlm. 33.
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
|
5
relasi gender, seperti pembagian status, hak-hak, peran, dan fungsi di dalam masyarakat. Padahal, gender yang dimaksud adalah mengacu kepada peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial.7 Dimana peran-peran sosial tersebut bisa dipelajari, berubah dari waktu ke waktu, dan beragam menurut budaya dan antar budaya. Berkenaan dengan pemaknaan gender, 8 Ann Oakley sebagaimana dikutip oleh Ahmad Baidowi, mendefinisikan bahwa gender adalah perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki yang dikonstruk secara sosial, diciptakan oleh laki-laki dan perempuan sendiri; oleh karena itu merupakan persoalan budaya. Gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh laki-laki dan perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Gender beda dengan seks. Pada umumnya gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Gender berkaitan dengan pikiran dan harapan masyarakat tentang bagaimana sebaiknya menjadi laki-laki atau perempuan. Karena gender merupakan bentukan sosial dari pengalaman masyarakat, maka gender dari waktu ke waktu berubah, dari masing-masing masyarakat berbeda atau sifatnya tidak universal. Gender pun dapat dipertukarkan antara
7
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir AlSya’rawi, Jakarta; Teraju, 2004, hlm. 3. 8 Heddy Shri Ahimsa membedakan pemaknaan gender menjadi beberapa pengertian, yakni (1) gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu; (2) gender sebagai suatu fenomena sosial budaya; (3) gender sebagai suatu kesadaran sosial; (4) gender sebagai suatu persoalan sosial-budaya; (5) gender sebagai sebuah konsep untuk analisis; dan (6) gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Lihat Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah (eds), Perempuan Tertindas;Kajian Hadits-hadits “Misoginis”, Yogyakarta; PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm xxii.
6
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
laki-laki dan perempuan.9 Sedangkan seks sering digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, yang tidak dapat dipertukarkan, tidak dapat berubah di manapun dan kapanpun. Seks merupakan kodrat dari Tuhan sehingga bersifat universal. 10 Istilah seks lebih banyak mengacu kepada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Seks atau jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin berkenaan dengan kenyataan bahwa laki-laki memproduksi sperma, sementara perempuan melahirkan dan menyusui anak. Lakilaki dan perempuan mempunyai tubuh yang berbeda, hormon yang berbeda, dan kromosom yang berbeda. Perbedaan jenis kelamin atau seks adalah sama di setiap negara, dan merupakan fakta mengenai biologi manusia. Namun kata “gender” digunakan untuk mengenali menjadi laki-laki atau menjadi perempuan tidak sama dari satu negara ke negara yang lain karena budaya mereka berbeda. Secara terminologis, makna jenis kelamin (sex) adalah perbedaan fisik yang didasarkan pada anatomi biologi manusia, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Berdasarkan perbedaan fisik dan biologis inilah dapat teridentifikasi dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki murni didasarkan pada fungsi organ reproduksi yang kodrati dan bersifat alamiah (nature). Karena didasarkan pada perbedaan yang bersifat alamiah, perbedaan
9
Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris, adalah orang yang mula-mula membedakan istilah “seks” dan “gender”. Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis;Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Maufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005, hlm 30. 10 Lihat modul pelatihan, Kumpulan Materi Pendidikan Gender, Blora, 20-23 Februari 2003, hlm 3.
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
|
7
jenis kelamin berlaku secara universial bagi semua perempuan dan laki-laki di dunia.11 Sedangkan gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. 12 Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. 13 Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu, gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat 14 . Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh. Mufidah dalam Paradigma Gender 15 mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. 11
Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 4-5 12 Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 5 13 Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a 14 Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, (edisi 4 November 1996). 15 Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
8
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial. 2. Konsep Kesetaraan Gender Berbicara tentang konsep kesetaraan gender berarti berkenaan dengan masalah keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
|
9
diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa implikasi dari nilai keadilan gender tercermin pada dua hal, yaitu: pertama, dalam pengertiannya yang umum, kesetaraan status berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam ukuran yang setara dan yang kedua, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dalam bidang sosial dan politik. Jadi antara keduanya memiliki hak yang setara untuk mengembangkan diri dalam kehidupan.16 Membicarakan kesetaraan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika seorang ibu yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
16
Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994, hlm. 59.
10
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
Memahami konsep gender tentu perlu dibedakan antara pengertian gender dengan pengertian seks atau jenis kelamin. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Artinya secara biologis alat-alat yang melekat pada perempuan seperti alat reproduksi, rahim, vagina, alat menyusui dan laki-laki seperti penis, kala menjing, dan alat untuk memproduksi sperma tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan alat ketentuan biologis atau sering dikat akan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interprestasi biologis oleh kultur kita. Gender mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan sebagainya.17 Menjernihkan perbedaan antara seks dan gender, yang menjadi masalah adalah adanya kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Gender merupakan konstruksi sosial sering dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan oleh masyarakat. Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum lakilaki maupun perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu: a) Gender dan Marginalisasi Perempuan Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak dalam rumah tangga dengan bentuk diskriminasi atas anggota keluarga lakilaki dan perempuan. Salah satu contoh marginalisasi perempuan 17
Julia C. Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20002).
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
| 11
dalam permainan tradisional pasar-pasaranadalah anak perempuan lebih diarahkan pada pemilihan peran masak-masakansedangkan anak laki-laki diarahkan pada pemilihan peran menjadi pembeli atau kepala rumah tangga. b) Gender dan Subordinasi Sebagian masyarakat beranggapan bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan dan pengasuhan anak adalah tugas wanita, walaupun wanita tersebut bekerja. Ada hal batasan yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh pria dan wanita dalam menjalankan tugas-tugas rumah tangga. Termasuk dalam permainan tradisional pasar-pasaran, anak laki-laki dianggap tidak pantas untuk memerankan masak-masakan sebab memasak merupakan pekerjaan perempuan. c) Gender dan Stereotipe Salah satu jenis stereotipe bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang bersumber dari penandaan yang dilekatkan pada mereka. Laki-laki dipersiapkan untuk menjadi tiang keluarga, sedangkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga, kalaupun mereka bekerja, hasilnya dianggap tambahan, oleh sebab itu, pendidikan perempuan dinomorduakan. Seperti halnya dalam permainan anak, anak perempuan lebih diarahkan pada permainan yang mengarah pada bidang domestik seperti pasar-pasaran, sedangkan anak laki-laki lebih sering diarahkan pada permainan yang mengandung IPTEK. d) Gender dan Kekerasan Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang terjadi pada perempuan umumnya merupakan kekerasan akibat adanya keyakinan gender. Kekerasan yang berbasis gender, pada dasarnyaadalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat. Salah satu contoh bentuk kekerasan gender dalam permainan tradisional
12
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
pasar-pasaran adalah ejekan atau olok-olok berupa kata banci yang diterima oleh anak laki-laki jika berperan masak-masakan. e) Gender dan Beban Kerja Adanya anggapan bahwa perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, berakibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja di sektor domestik, mereka masih harus bekerja membantu suami dalam mencari nafkah. Oleh sebab itu, pekerjaan memasak sudah mulai dikenalkan kepada anak perempuan sejak kecil salah satunya melalui permainan tradisional pasar-pasar Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan tuntutan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur-adukkan cirri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat gender yang sebenarnya bisa berubah. Pembedaan peran gender ini sangat membantu untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah elekat pada perempuan dan laki- laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki- laki dalam masyarakat. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaatyang setara dan adil dari pembangunan.
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
| 13
3. Gender dalam Bingkai Pedidikan Mengingat belajar adalah proses bagi peserta didik dalam membangun gagasan atau pemahaman sendiri, maka kegiatan belajar hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik antara lakilaki dan perempuan, untuk melakukan hal itu secara lancar dan termotivasi. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dua tujuan. Pertama, sebagai hamba-Nya yang selalu taat menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sebagai khalifah dimukabumi yang mampu memimpinmulai dari dirinya sendiri, orang lain, ingga bangsa ataupun dunia. Dalam kapasitas sebagai hamba dan khalifah tidak ada diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama mempunyai potensi. Pendidikan merupakan kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu proses belajar dan penyesu-aian setiap individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat.”18 Qasim Amin, seorang pembaharu Mesir meletakkan pendidikan sebagai “isu utama gerakannya”, 19 karena menurutnya pendidikan merupakan salah satupintu untuk melakukan perubahan. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan, Gender ini merupakan suatu konstruksi dari masyarakat yang secara sosial, sikap dan perilaku menganggap bahwa antara perempuan dan laki-laki itu berbeda. Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran ini tidak ditentukan karena perbedaan 18
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: LogosWacana Ilmu, 1998), Cet ke-1. h, 4 19 Ala’i Najib, Yang Luput: Pendidikan Perempuan, Swara Rahima No. 7, (Maret 2003), h. 16.
14
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
biologis atau kodrat antara laki-laki dan perempuan,melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan. Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang dimiliki oleh laki-laki.20 Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski gurugurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki. Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya lakilaki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional.
20
http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article &id=166:kesetaraan-gender-dalam-pendidikan&catid=39:gender&Itemid=93 (diakses tgl 17-6-2014).
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
| 15
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anakbperempuan tetapi juga bagi anak lakilaki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang. Salah satu kesetaraan gender dalam bingkai pendidikan adalah keterlibatan Kemendiknas sebagai pengambil kebijakan dibidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan pembedaan peran.Anggapan bahwa sikap perempuan feminim dan laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin biologisnya. Dengan demikian gender adalah perbedaan peran lakilaki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Keseteraan gender dalam bingkai pendidikan, yaitu:
16
a)
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
Akses Yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anakperempuan dan lakilaki terhadap sumberdaya yang akan dibuat.Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi guru adalah aksesmemperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk guru perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak. b) Partisipasi Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini guru perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di sekolah atau tidak. c) Kontrol Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan sekolah sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak. d) Manfaat Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikanmanfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengembang sebuah amanah dan berpotensi meraih prestasi. Dalam Alquran mengisyaratkan konsep kesetaraan gender dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karir profesional dan mesti memonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Artinya laki-laki da perempuan memperoleh kesempatan meraih suatu prestasurah
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
| 17
Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender tersebut, maka pembelajaran perlu memenuhi dasar pendidikan yakni menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.21 Ciri-ciri kesetaraan gender dalam bingkai pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender. 2. Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu. 3. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman. 4. Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya. Banyak laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional,dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit 21
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), 30.
18
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Kesetaraan gender dalam pendidikan seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Kedua orang tua yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri. Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki. PENUTUP Dari uaraia di atas dapat disimpulkan bahwa kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Gender merupakan pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat Konsep kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keseteraan gender dalam bingkai pendidikan adalah: a) aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau
Aniati, Konsep Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pendidikan
| 19
menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan, b) Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasimnseseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, c) Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatanuntuk mengambil keputusan, dan d) Aspek manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994. Ali Engineer, Asghar The Right of Women in Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Azra, Azyumardi Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Jakarta: LogosWacana Ilmu, 1998.
dan
C. Mosse, Julia Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Djunaedi, Wawan, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, Jakarta: Pustaka STAINU, 2008. Faqih, Mansour, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content& view=article&id=166:kesetaraan-gender-dalampendidikan&catid=39 :gender&Itemid=93 (di akses tgl 17-6-2014). Setiawan, Hersri, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Graha Budaya dan Kalyanamitra, 1999.
20
|
MUSAWA, Vol. 6 No. 1 Juni 2014 : 1-20
Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS Neoliberalime, Jakarta: DebtWATCH, 2004. Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004. Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar InggrisIndonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996. Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial, Malang: UIN Maliki Press, Mufidah Ch, Paradigma Gender, Publishing, 2003.
Malang: Bayumedia
Oakley, Anne dan Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Maufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005. Purwati, Eni dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha, 2005. Sodik, Mochamad dan Inayah Rohmaniyah (eds), Perempuan Tertindas; Kajian Hadits-hadits “Misoginis”, Yogyakarta; PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003. Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif alQur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.