E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
PENDIDIKAN KESETARAAN (ADIL) GENDER DALAM KELUARGA Oleh : E. Mulya Syamsul
Abstract The Gender should be distinguished by sex. The Sex is a grouping of people into groups of men and women based on biological attributes that can not be changed and exchanged. While a gender is a distinction in terms of roles, behavior, mentality, and characteristics between men and women in the community growing so internalized into an ideology which is believed to be handed down from generation to generation. The fair education of Gender at the family level is essential to build a more harmonious gender relations from the family level to the national level so that a fair and prosperous society can be achieved faster and better. Key Word: gender, pendidikan, Keluarga, adil, kesetaraan
A. Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, maupun pengertian-pengertian tentang kehidupan. Ayah, ibu, serta anggota keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena itu keluarga menjadi institusi yang penting bagi anak di dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu. Salah satu perilaku yang dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan keluarga adalah perilaku yang berkaitan dengan gender. Bagaimana anak laki-laki harus bersikap atau bagaimana anak perempuan harus berperilaku
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
64
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
diajarkan pertama kali di dalam keluarga. Ada sebuah ungkapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada cara memperlakukannya. Ungkapan tersebut tidak salah karena laki laki dan perempuan memang sudah diperlakukan
secara
berbeda
sejak
mereka
dilahirkan.
Dalam
perkembangannya laki-laki kemudian lebih banyak diuntungkan oleh budaya patriarki yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini menjadikan perempuan terpinggirkan dalam banyak hal. Bahkan dalam institusi keluarga, perempuan sering menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan penderitaan. Begitu pula dalam hal pekerjaan dan kehidupan sosial lainnya, kaum perempuan kerap terpinggirkan dan terkadang kurang dihargai dibandingkan kaum laki-laki, sekalipun kemampuan dan kepandaian mereka sejatinya sama bahkan lebih dari kaum laki-laki. Kondisi tersebut secara umum terjadi pada masyarakat Indonesia. Menyadari hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangungan nasional. Melalui INPRES tersebut presiden menginstruksikan kepada seluruh pejabat negara, termasuk gubernur dan bupati/walikota untuk melaksanakan PUG di seluruh wilayah Indonesia. Melalui PUG maka seluruh proses pembangunan mulai dari penyusunan perencanaan, pelaksanaan,
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
65
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
pemantauan dan evaluasi dilakukan dalam perspektif gender dengan melibatkan peran serta warga negara baik laki-laki maupun perempuan. Upaya pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui PUG tersebut perlu dihargai. Namun demikian, sudah selayaknya perubahan juga dimulai dari institusi yang paling kecil yaitu keluarga. Hal ini sangat logis karena keluarga merupakan wahana pertama dan utama pendidikan. Berkaitan dengan hal itu, makalah ini akan mengkaji tentang bagaimana menerapkan pendidikan adil gender atau kesetaraan gender dalam keluarga.
B. Arti dan Konsep Umum Gender Secara umum, di kalangan masyarakat banyak yang belum bisa membedakan secara jelas antara pengertian istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang kedua terminologi tersebut dianggap sama secara konseptual. Anggapan ini tentu tidak tepat, sebab istilah jenis kelamin dan gender memiliki pengertian yang sama sekali berbeda (Wawan Djunaedi, 2008:3). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memecahkan masalah ketidakadilan sosial. Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan (Nasarudin Umar, 201:1). Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
66
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja (Mansour Faqih, 1996: 8). Secara terminologis, makna jenis kelamin (sex) adalah perbedaan fisik yang didasarkan pada anatomi biologi manusia, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Berdasarkan perbedaan fisik dan biologis inilah dapat teridentifikasi dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki murni didasarkan pada fungsi organ reproduksi yang kodrati dan bersifat alamiah (nature). Karena didasarkan pada perbedaan yang bersifat alamiah, perbedaan jenis kelamin berlaku secara universial bagi semua perempuan dan laki-laki di dunia (Wawan Djunaedi, 2008: 4-5). Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin (Jhon M. Echol, 1996). Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbentuk
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
67
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
melalu proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat (Mansour Faqih, 1996). Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh. Mufidah (2003: 4-6) dalam Paradigma Gender
mengungkapkan
bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
68
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial. Dengan kata lain, arti gender adalah keidealan, peran, sifat yang dibuat suatu: masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender laki-laki misalnya adalah pencari nafkah, sebagai suami, arsitek, direktur dan rasional. Sedangkan gendernya perempuan di antaranya adalah adalah ibu rumah tangga, istri, guru, sekretaris, penyabar dan emosional. Karena gender itu dibuat/dikonstruksi oleh suatu masyarakat maka konstruksi gender pada suatu masyarakat dan masyarakat lain di waktu yang berbeda bisa saja berbeda satu sama lain dan bisa berubah/diubah serta bisa dipertukarkan di antara jenis kelamin. Misalnya, seorang perempuan bisa menjadi direktur yang rasional, dan seorang pria bisa menjadi guru yang penyabar (Nina Nurmila, 2013: 1).
C. Bias dan Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender (Hanun Asrohah, 2008: 178).
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
69
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain: 1. Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Di negara-negara dunia ketiga dimana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki (Amasari, 2005: 1). 2. Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis.
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
70
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment). Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling
prophecy” terhadap siswa perempuan karena menganggap
perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi. 4. Dimensi akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memilki otoritas untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang tersedianya sekolah menengah di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat tinggal, beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku sekolah. 5. Dimensi proses pembelajaran adalah materi pendidikan seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatasnamakan laki-laki. Dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti camat dan direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
71
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender. 6. Dimensi penguasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memajukan
peranannya
dalam
masyarakat.
Faktor
penyebabnya
pemanfaatan yang minim, peran yang tidak terserap oleh masyarakat dan masih berpegang pada nilai-nilai lama yang tidak terreformasi. Contohnya saja buta huruf yang didominasi oleh kaum perempuan. 7. Dimensi kontrol adalah kemampuan atau otoritas untuk memutuskan menggunakan produk atau hasil, bahkan juga untuk menentukan metode pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya tidak memiliki otoritas atau kemampuan untuk menggunakan maupun mendayagunakan sumber daya. 8. Dimensi manfaat adalah sesuatau yang baik intuk didapatkan atau diterima oleh seseurang dari proses penggunaan atau mendayagunakan sumber daya. Faktor penyebabnya dimensi akses, kontrol, maupun partisipasi yang didapatkan kecil.
Sedangakan arti keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan,
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
72
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya
diskriminasi
mengenai
hak sosial, budaya,
hukum
dan
politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender diatas, maka pendidikan perlu memenuhi dasar pendidikan yakni menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
73
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut: Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik (Eni Purwati dan Hanun Asrohah, 2005: 3) 1. Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender. 2. Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu. 3. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman. 4. Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
D. Urgensi Membangun Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender dalam Keluarga Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
74
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
terbangun
seringkali
menempatkan
seolah-olah
laki-laki
memiliki
kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan). Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
75
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peranperan yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja. Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, dimana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan makanan/jajanan
atau
bekerja
paruh
waktu
untuk
tetap
menjaga
keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus rumah, dll.) tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam rumah (domestik) maupun di luar rumah (publik). Berbeda
dengan
pendekatan
teori
struktural-fungsional
yang
menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
76
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga. Menurut Collins yang dikurip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antarindividu, kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya,
pendekatan
sosial-konflik
lebih
menegaskan
bahkan
menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga. Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia, entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
77
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut “person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu. Pemahaman
tentang
perbedaan
biologis,
aspirasi,
kebutuhan,
kemampuan masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk. Sistem patriarkat yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masingmasing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membedabedakan peran gender. Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
78
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.
E. Konsep dan Praktik Pendidikan Adil Gender dalam Keluarga Secara konseptual pendidikan kesetaraan gender (adil gender) adalah sub-set dari pendidikan untuk semua dan kemudian merupakan sub-set dari hak untuk mendapatkan pendidikan sebagai salah satu komponen dari hak asasi manusia yang sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM). Pendidikan yang didasari oleh Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya kepada lakilaki dan perempuan dalam memperoleh: akses, manfaat, serta keikutsertaan dalam berbagai jenis program pendidikan agar kesenjangan gender dapat dihilangkan. Secara umum, Pendidikan adil gender adalah tercapainya KKG pada kinerja pembangunan pendidikan nasional yang terdiri atas kesetaraan
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
79
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
dan keadilan gender dalam aspek: (1) Lingkungan strategis pendidikan; (2) pemerataan dan keadilan dalam pendidikan; (3) mutu dan relevansi pendidikan; dan (4) manajemen pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan adil gender dalam keluarga adalah memberikan kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana.
1. Bentuk Pendidikan Kesetaraan dan Adil Gender Dalam Keluarga Bentuk pendidikan adil gender dalam keluarga adalah: a. Suami dan istri harus selalu menghidupkan komunikasi yang baik, lancar dan dua arah dilandasi oleh rasa tanggung jawab, tulus dan jujur agar keadaan apapun (baik atau buruk) dapat dikomunikasikan dengan baik. b. Hubungan suami istri, bukanlah hubungan “ Atasan dengan Bawahan” atau “Majikan dan Buruh” ataupun “Orang Nomor satu dan orang belakang”, namun merupakan hubungan pribadi-pribadi yang “Merdeka”, pribadi-pribadi yang menyatu kedalam satu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain untuk sama-
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
80
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
sama bertanggungjawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. c. Hubungan suami istri tidak boleh ada unsur pemaksaan, misalnya suami memaksa istri untuk melakukan sesuatu, dan sebaliknya istri memaksa suami untuk melakukan sesuatu, termasuk juga dalam hubungan intim suami-istri. d. Makna “Pemimpin Keluarga” yang adil gender bermakna “Pemimpin Kolektif”antara suami dan istri dengan saling melengkapi kemampuan dan kelemahan masing-masing. Jadi bukan kepemimpinan otoriter yang seakan-akan istri/ suami harus tunduk kepada kemauan salah satu pihak. Dengan demikian bentuk adil gender dalam keluarga diawali dari “Mitra Setara” antara suami dan istri (meskipun suami tetap menjadi pemimpin keluarga), yaitu masing-masing menjadi pendengar yang baik bagi pihak lain termasuk juga dari pihak anak-anak. e. Status suami atau istri tidak berarti menghambat atau menghalangi masing-masing pihak dalam mengaktualisasikan diri secara positif (suami dan istri memang sudah mempunyai pekerjaan sebelum menikah, dan masing-masing mempunyai kemampuan intelektual dan ketrampilan masing-masing). Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam segala bidang di masyarakat. Justru, kalau
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
81
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
memungkinkan, status baru suami istri dapat mendukung satu sama lain dalam melaksanakan peranserta individu dalam masyarakat. f. Suami dan istri harus mampu mengatur waktu dan berinteraksi dengan baik serta dapat berbagi tugas dalam menjalankan perannya masingmasing secara adil dan seimbang, karena pada hakekatnya semua urusan rumahtangga, baik aspek produktif, domestik, dan sosial kemasyarakatan, serta kekerabatan adalah urusan bersama dan tanggung jawab bersama suami istri. Oleh karena itu, kemampuan mengendalikan diri dan kemampuan bekerjasama didasari saling pengertian adalah kunci utama dalam membina kebersamaan. g. Untuk suami, meskipun menurut sebagian besar adat dan norma serta agama adalah kepala rumahtangga atau pemimpin bagi istrinya, namun tidak secara otomatis suami boleh semena-mena dengan sekehendak hatinya menjadi pribadi yang otoriter, menang sendiri, dan berkeras hati mempimpin keluarga tanpa mempertimbangkan kemauan dan kemampuan intelektual istrinya. h. Memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan yang sama dalam memperoleh akses terhadap pendidikan formal, sumberdaya keluarga dan pembinaan lainnya. Anak-anak perempuan tidak boleh dinomorduakan di
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
82
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
dalam keluarga, baik dalam pembagian hak waris, hak atas makanan, hak atas properti, hak atas pendidikan, dan hak atas pengambilan keputusan.
2. Pengasuhan Anak Yang Berkeadilan Gender a. Mendidik anak berdasarkan asas keadilan gender berarti memberikan kesempatan yang sama pada anak dalam memperoleh akses, manfaat, partisipasi,
kontrol
terhadap
semua
sumberdaya
keluarga
untuk
mewujudkan sumberdaya manusia yang sehat jasmani dan rohani b. Anak laki-laki dan perempuan adalah berbeda, namun jangan dibedabedakan. c. Setiap
anggota
keluarga
terbuka
untuk
berkomunikasi,
dapat
mendengarkan keluhan anggota keluarga, memecahkan masalah keluarga secara bersama, komunikasi terbuka dan jelas, saling berbagi dan empati, saling percaya dan menghargai. d. Ayah & Ibu harus memperhatikan personalitas masing-masing anak yang unik e. Orangtua memberi contoh bagaimana kemitraan laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. f. Tumbuhkan motivasi belajar, memilih program studi yang cocok dengan kompetensi dan minatnya.
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
83
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
g. Memberi kesempatan anak perempuan yang cakap untuk sekolah di luar kota dan ke perguruan tinggi dengan program studi tehnik dan ilmu eksakta. Sementara itu tidak ada salahnya memberi kesempatan anak lakilaki untuk sekolah dengan program studi ilmu sosial, keluarga, dan kerumahtanggaan. h. Melatih kemandirian baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. i. Anak perempuan harus bisa memahami listrik, kompor gas, kendaraan, dan sense of dangerous untuk keperluan “survival”.. Anak laki-laki harus bisa memasak, mencuci, menyeterika, dan membersihkan tempat tidur sendiri untuk keperluan “survival”.
F. Penutup Gender harus dibedakan dengan seks (jenis kelamin). Seks (jenis kelamin) merupakan pengelompokan manusia ke dalam kelompok laki-laki dan perempuan berdasarkan atribut biologis yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan. Sementara itu gender merupakan pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat sehingga terinternalisasi menjadi suatu ideology yang diyakini secara turun temurun dari generasi ke generasi. Perbedaan tersebut bukan merupakan kodrat, sehingga dapat dibentuk dan
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
84
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
dirubah sesuai dengan tempat, kelas dan waktu, serta dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan Secara konseptual pendidikan kesetaraan gender (adil gender) adalah sub-set dari pendidikan untuk semua dan kemudian merupakan sub-set dari hak untuk mendapatkan pendidikan sebagai salah satu komponen dari hak asasi manusia yang sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM). Pendidikan adil gender di tingkat keluarga sangatlah penting untuk membangun relasi gender yang lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat nasional agar masyarakat adil dan makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Fakih, M. 2003. Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jhon M. Echol, 1996. dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Lips, H.M. 1993. Sex and gender: An introduction. London: Mayfield Publishing Company Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, (edisi 4 November 1996). Mansour Faqih, 1996. Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mufidah Ch, 2003. Paradigma Gender, Malang: Bayumedia Publishing Mufidah Ch, 2010. Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial, Malang: UIN Maliki Press
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
85
E. Mulya Syamsul : Pendidikan Kesetaraan.......
Nasarudin Umar, 2001 Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina Nina Nurmila, Pendidikan Gender, Panduan Perkuliahan pada Program Studi S3 Pendidikan Islam Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Prent, K., Adisubrata, J., & Poerwadarminta, W.J.S. 1969. Kamus Latin Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Puspitawati, H. 2007. Modul Pendidikan Adil Gender Dalam Keluarga. Makalah (Tidak diterbitkan). Jakarta: Dirjen Kelautan, Pesisir, Dan Pulau-Pulau Kecil DKP Umar, N,. 1999. Argumen kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Wawan Djunaedi, 2008. dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, Jakarta: Pustaka STAINU, 2008 Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, 2008. Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, Jakarta: Pustaka STAINU Hanun Asrohah, 2008. Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Kopertais Press. Amasari (Member of PSG LAIN), 2005. Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender, Banjannasin: IAIN Antasari. Eni Purwati dan Hanun Asrohah, 2005. Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha
Al-Akhbar : Vol.7 No.3 April 2014
86