Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
327
PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI TANAMAN TERNAK DI SULAWESI SELATAN Development Prospect of Crop-Livestock Integration System in South Sulawesi Eka Triana Yuniarsih dan M. Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km.17,5, Sudiang, Makassar E-mail:
[email protected]
ABSTRACT One way of the optimization of agricultural production is by crop-livestock integration. Agribusinessoriented livestock farming with partnership pattern is one alternative to improve profitability of farmer-raisers. Crop-livestock integration system has opportunity to develop well both areas with limited agricultural land and in areas with large potential agricultural land, with the hope to increase production, population, productivity, and competitiveness of livestock products. Technological innovations for supporting the model have been carried out in South Sulawesi, including natural resource management technologies of integrated food crops/plantations and environment with livestock component as part of the business activities. Keywords: prospect, integrated, crop-livestock, South Sulawesi ABSTRAK Salah satu optimalisasi produksi pertanian adalah dengan integrasi tanaman ternak. Pengembangan usaha ternak berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan petani-peternak. Sistem integrasi tanaman-ternak berpeluang untuk terus dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas maupun di daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas, dengan harapan akan mampu meningkatkan produksi, populasi, produktivitas, dan daya saing produk peternakan. Inovasi teknologi untuk mendukung model tersebut telah dilakukan di Sulawesi Selatan dan daerah lainnya antara lain meliputi teknologi pengelolaan sumber daya alam baik tanaman pangan dan perkebunan dan lingkungan secara terpadu dengan komponen ternak sebagai bagian dari kegiatan usaha. Kata kunci: prospek, integrasi, tanaman-ternak, Sulawesi Selatan
PENDAHULUAN
Pengembangan subsektor peternakan selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang cukup nyata dalam berbagai aspek, di antaranya produksi daging meningkat dari 1.508.200 ton menjadi 2.613.200 ton atau naik 4,01% per tahun; telur meningkat dari 736.000 ton menjadi 1.149.000 ton atau naik 5,6% per tahun, dan susu meningkat dari 433.400 ton menjadi 550.000 ton atau naik 2,69% per tahun. Dengan tingkat pencapaian produksi tersebut maka tingkat konsumsi masyarakat, khususnya protein hewani asal ternak, meningkat dari 4,19 gr menjadi 5,46 gr/kapita/hari atau naik 3,08% per tahun (Uka, 2008). Sampai saaat ini ternak sapi masih dikelola secara tradisional dengan jumlah pemeliharaan hanya sekitar 2-5 ekor. Usaha ternak sapi sebagai usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan imput, pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan, dan penelitian (Pambudy, 1999). Pemeliharaan sapi dengan sistem tradisonal menyebabkan kurangnya peran peternak dalam mengatur perkembangbiakan ternaknya. Peran ternak ruminansia dalam masyarakat tani bukan sebagai komoditas utama (Haryanto, 2009).
328
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Konsep pertanian terpadu telah diterapkan di Indonesia sejak petani mengenal pertanian. Pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan sistem usaha tani terpadu yang didasarkan pada hasil-hasil pengkajian dan penelitian dan kemudian secara bertahap muncul istilah-istilah pola tanam (cropping pattern), pola usaha tani (cropping system) sampai akhirnya muncul istilah sistem usaha tani (farming system), dan akhirnya muncul istilah sistem tanaman-ternak (Crop-Livestock System/CLS) (Manwan, 1989) Adopsi teknologi sistem integrasi ternak sapi-tanaman dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga, kondisi usaha tani, alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, pendapatan dari usaha sapi, dan informasi (Femi et al., 2008). Menurut Priyanti (2007), pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga pengaruhnya kecil terhadap keputusan rumah tangga dalam mengadopsi usaha tani integrasi dan kesadaran petani-peternak untuk mengadopsinya memerlukan upaya khusus. Salah satu harapan dalam pengembangan pertanian (termasuk sistem integrasi tanamanternak, produksi tanaman pangan, dan daging) di Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan hidup petani dan mengurangi beban impor yang kian membengkak terutama sapi hidup dan daging. Sistem integrasi tanaman-ternak mengandung arti bahwa kedua usaha diharapkan berlangsung dalam sistem usaha agribisnis Crop-Livestock Systems (CLS) yang saling mengisi, yaitu dari tanaman tersedia input berupa pakan dan dari ternak termanfaatkan kotoran ternak menjadi pupuk organik (Djayanegara dan Ismail, 2004). Sulawesi Selatan memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan sapi karena didukung sumber daya alam yaitu lahan dan pakan, sumber daya manusia serta peluang pasar yang memadai. Pada usaha ternak yang terintegrasi dengan pakan diperoleh tiga sumber pakan, yaitu pakan yang berasal dari sisa hasil pertanian, limbah industri pertanian dan tanaman yang ada di lahan pertanian seperti pada integrasi sapi-sawit di mana bahan pakan diperoleh dari pelepah sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit, serabut perasan buah sawit, tandan kosong, dan cangkang (Umar, 2009). Potensi limbah kebun sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyediakan sumber pakan dengan daya tampung 1-3 ekor/ha kebun kelapa sawit (Diwyanto et al., 2004). Selain itu, integrasi sapi-tebu dapat berupa daun pucuk tebu dan daun rogesan, ampas tebu (bagas), dan molases (Khuluq, 2012). Limbah tanaman berupa pucuk tebu mencapai 30,8 ton/ha (Romli et al., 2012). Hamparan 100 ha kebun tebu diperkirakan dapat menghasilkan pucuk tebu sebanyak 380 ton bahan kering, yang dapat memelihara tidak kurang dari 347-520 ekor sapi dengan bobot hidup 200 kg sepanjang tahun bila sapi mampu mengosumsi bahan kering 1-1,5% dari bobot hidup (Kuswandi, 2007) Mengacu pada cetak biru (blue print) swasembada pangan 2014, jika populasi sapi potong telah mencapai 14 juta ekor, akan berdampak pada pengurangan kuota impor. Jika populasi sudah mencapai 14,3 juta ekor, Indonesia sudah bisa dikatakan berswasembada daging karena 90% kebutuhan sudah terpenuhi. Walaupun ada impor, jumlahnya tidak lebih dari 46.000 ton. Populasi sapi di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 mencapai 983.985 ekor. Angka ini menempati Sulawesi Selatan berada pada urutan ketiga nasional setelah Jawa Barat dan Jawa Timur (BPS, 2012). Keberhasilan pembangunan subsektor peternakan dalam peningkatan produksi tidak terlepas dari peran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) peternakan yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, baik dalam bentuk komponen teknologi yang secara bertahap diterapkan dalam sistem usaha pertanian (Uka, 2008). Permasalahan integrasi tanaman pangan dan sapi yang sudah dikembangkan masih terbatas pada skala kecil. Integrasi usaha tanaman perkebunan dan ternak sapi masih terbatas, padahal berdasarkan potensinya pengembangan integrasi tanaman-sapi diduga mampu meningkatkan populasi sapi secara signifikan. Berdasarkan hal tersebut sudah sewajarnya ke depan usaha peternakan sapi potong diarahkan pada sistem pertanian terintegrasi tanaman ternak. Sistem tersebut selain mampu menyediakan pakan juga mampu menghasilkan pupuk organik dengan tidak harus dibeli sehingga menekan biaya produksi dan memperbaiki kesuburan lahan sehingga menciptakan usaha pertanian yang berkelanjutan dan berdaya saing. Makalah ini membahas prospek pengembangan sistem integrasi tanaman ternak, yang bertujuan untuk (a) mendukung peningkatan populasi ternak sapi, (b) meningkatkan pendapatan
Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
329
petani, (c) mendukung peningkatan kandungan organik lahan pertanian melalui pemanfaatan limbah organik, dan (d) mengetahui kendala yang dihadapi pada Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengumpulkan data hasil kajian Integrasi Tanaman-Ternak yang telah dilakukan BPTP Sulawesi Selatan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2014. Indikator kegiatan meliputi hasil-hasil penelitian dan pengkajian sebelumnya tentang integrasi tanaman-ternak di Sulawesi Selatan yang telah dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan dan dikaitkan dengan hasil penelitian atau pengkajian yang dilaksanakan di lembaga baik di dalam maupun di luar Sulawesi Selatan.
HASIL PEMBAHASAN
Potensi Lahan Pertanian untuk Usaha Integrasi Tanaman Ternak Indonesia memiliki potensi lahan pertanian untuk pengembangan perternakan. Pada persawahan intensif, setiap panen diperoleh jerami dengan volume setara dengan produksi padi sekitar 5-8 ton/ha/panen. Hasil ini dapat memenuhi kebutuhan serat untuk dua ekor ternak dewasa sepanjang tahun. Sementara, pada kawasan perkebunan dan lahan pertanian lain dapat dihasilkan limbah berupa biomassa setiap ha dalam jumlah yang sangat besar. Pada tanaman kelapa rakyat dari 3,6 juta ha hanya sekitar 0,7 juta ha yang efektif dimanfaatkan bagi usaha budi daya kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa hampir 80% lahan perkebunan mempunyai peluang untuk dipergunakan sebagai pengembangan tanaman sela, di mana selain menghasilkan produk utama limbahnya dapat dipergunakan sebagai pakan ternak (Subagyono, 2004). Luas penggunaan lahan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Luas penggunaan lahan di Indonesia (ha) No. 1.
2. 3. 4.
Jenis lahan Sawah a. Sawah irigasi b. Sawah nonirigasi Tegal/kebun Ladang/huma Lahan tidak diusahakan
Tahun 2008 7.991.564 4.828.476 3.162.988 11.707.380 5.328.863 15.003.359
2009 8.068.427 4.905.107 3.163.220 11.782.332 5.428.689 4.880.526
2010 8.002.552 4.893.128 3.109.424 11.877.777 5.334.545 14.754.249
2011 8.094.862 4.924.172 3.170.690 11.626.219 5.697.171 14.378.586
2012 8.132.346 4.417.581 3.714.763 11.949.727 5.260.081 14.252.383
Sumber: BPS (2013)
Pengembangan Integrasi Ternak dengan Tanaman Pangan Secara umum pertanian menghasilkan limbah bahan organik yang tinggi dan mudah membusuk. Selain itu, pertanian menghasilkan limbah dalam jumlah besar karena sebagian besar dari tanaman tidak digunakan sebagai bahan baku proses (Dede, 2008). Pada daerah lahan sawah, kegiatan Sistem Integrasi Padi-Ternak telah didukung oleh penguatan kelembagaan tani. Kegiatan tersebut secara nyata dapat meningkatkan hasil padi dan efisiensi usaha tani. Hasil padi rata-rata meningkat 13,7-28,8% dengan tambahan keuntungan Rp940.000/ha (Kusnadi et al., 2001a; Ananto, 2002). Penelitian integrasi sapi-padi dengan pola tanam IP-300 menunjukkan hasil yang cukup menarik. Ternyata integrasi sapi-padi mampu meningkatkan pendapatan petani. Sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari nilai pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi. Apabila yang dipelihara
330
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
sapi perah sistem low input, maka pola ini memberikan Rp11.000/ekor/hari karena seekor sapi dengan produksi susu 8-10 liter/hari hanya memerlukan biaya pakan senilai penjualan 3-4 liter susu (Haryanto et al., 1999). Berdasarkan komoditas, sumbangan limbah terbesar berasal dari jerami jagung (52,35%), disusul berturut-turut jerami padi (32,66%), jerami kacang hijau (4,39%, jerami kacang tanah (4,15%), jerami kacang kedelai (3,23%), dan pucuk ubi jalar (3,21%). Tingginya jerami jagung disebabkan di samping oleh rendemen jerami yang tinggi, juga oleh luas areal panen yang tersebar di daerah kering di Kabupaten Bone (22,9%), Jeneponto (13,34%), Gowa (11,4%), Bantaeng (12,32%) dan Bulukumba (13,06%) (Hikmah et al., 2010). Selama lima tahun terakhir pengembangan jagung di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan, dengan rataan luas panen 303,38 ribu ha dan produksi sebesar 1,34 juta ton. Adapun hasil ikutan limbah jagung sekitar 1,35 juta ton/tahun (BPS, 2011). Hasil pengkajian Sunanto dan Nasrullah (2012) mengenai teknologi zero waste dengan pendekatan integrasi tanaman jagung dan ternak sapi, pengujian jagung varietas Bima Super dan RK 789 menghasilkan produksi limbah tertinggi. Pengujian fermentasi pada limbah jagung berbeda nyata terhadap nilai nutrisinya, perlakuan terbaik pada 1 ton limbah, 4 liter molases, 5 kg dedak halus dengan kandungan nutrisi 12,88% protein kasar dan 1,82% lemak kasar. Pemberian pakan limbah jagung fermentasi pada sapi kandang memberikan pertambahan bobot badan harian mencapai 0,2944 kg/ekor/hari. Pendapatan usaha tani sistem integrasi selama satu musim tanam jagung dan 72 hari pemeliharaan sapi mencapai Rp6.212.067. Hasil ini diperoleh selisih antara total penerimaan Rp16.772.667 dan total biaya Rp10.514.600. Dengan demikian dapat ditentukan juga nilai R/C sebesar 1,59. Selanjutnya hasil pengkajian Sariubang et al. (2004) yang dilakukan di Desa Lantong, Kecamatan Polongangkeng Selatan, Kabupaten Takalar, oleh kelompok tani "Minasunggu", menggunakan 30 ekor sapi bali yang dipelihara secara kolektif. Perlakuan dibagi tiga (3) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor sapi yaitu (T 1) kontrol, (T2) selase jerami jagung, dan (T3) fermentasi jerami jagung dengan probiotik. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa konsumsi pakan untuk (T1) 5,93 kg/ekor/hari, (T2) 5,92 kg/ekor/hari, dan (T3) 5,85 kg/ekor/hari tidak memberikan perbedaan nyata (P>0,05). Pertambahan berat badan menunjukkan bahwa T 2 silase jagung dan T3 fermentasi jerami jagung tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) yaitu (T 2) 0,450 kg/ekor/hari, dan (T3) 0,459 kg/ekor/hari. Hasil pengkajian integrasi ternak tanaman pangan lainnya adalah pengkajian yang dilakukan oleh Sariubang et al. (2002) di Kabupaten Takalar, yaitu pemberian jerami fermentasi secara "ad libitum" (tidak dibatasi dan campuran dedak (6 bagian) + bungkil kelapa (1 bagian) + bungkil jagung (3 bagian) yang diberikan 1% dari berat badan sapi perhari menunjukkan adanya kenaikan berat badan sapi bakalan ± 0,43 kg/ekor/hari dan induk ± 0,14 kg/ekor/hari (Tabel 3) dan kontrol (kondisi petani) ± 0,19 kg/ekor/hari (bakalan) dan ± 0,03 kg/ekor/hari (induk). Peningkatan berat badan 0,43 kg/ekor/hari menunjukkan bahwa penggemukan sapi bakalan melalui integrasi sapi pada lahan sawah sangat berpeluang dengan catatan perlu tambahan konsentrat agar peningkatan berat badan harian dapat diperbaiki menjadi kisaran 0,7 kg/ekor/hari. Sementara, untuk pertambahan berat badan induk rata-rata 0,14 kg/ekor/hari cenderung pada perbaikan kondisi tubuh dan sapi yang sedang bunting. Pertambahan berat badan sapi yang dikandangkan dan diberi pakan utama jerami padi lebih tinggi dibandingkan sapi yang dipelihara secara tradisional (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata pertambahan berat badan dan konsumsi pakan sapi bali di Kabupaten Takalar Perlakuan Uraian
Kandang kolektif Bakalan Induk
Kandang petani Bakalan Induk
Konsumsi (kg/ekor/hari) · Jerami fermentasi
4,42
4,76
-
-
· Campuran dedak, bungkil jagung, bungkil kelapa (6:3:1)
2,50
2,03
-
-
· Garam dapur dan SP36 (3:2)
0,01
-
-
-
· Pertambahan berat badan (kg/ekor/hari)
0,43
0,14
0,19
0,03
Sumber: Sariubang et al. (2003)
Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
331
Dalam penelitian Ella et al. (2004) di Kabupaten Bone, Kecamatan Berrebo, Desa Kajaolaliddong, dilakukan beberapa perlakuan (A) 150 g bioplus + 2 kg dedak halus/ekor/hari + jerami padi ad libitum; (B) 200 g bioplus + 2 kg dedak halus/ekor/hari + jerami padi ad libitum; (C) 250 g bioplus + 2 kg dedak halus/ekor/hari + jerami padi ad libitum; (D) kontrol (perlakuan petani). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh pertambahan bobot badan ternak yang paling berat adalah perlakuan C (0,55 kg/ekor/hari) dengan pemberian bioplus sebanyak 250 g/ekor selama penelitian dan nyata lebih tinggi dari perlakuan A (150 g/ekor) dan D (tanpa bioplus serat). Pertambahan tinggi badan ternak yang tercepat adalah perlakuan C (0,065 cm/hari), meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan petani yaitu 0,056 cm/hari, tetapi berbeda sangat nyata dengan perlakuan A. Panjang badan ternak nampaknya sejalan dengan bobot hidup dan panjang badan. Pertambahan panjang badan paling cepat adalah perlakuan B (0,088 cm/hari) berbeda sangat nyata dengan perlakuan A meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan C dan D. Untuk lingkaran dada ternak ternyata hanya sedikit mengalami perubahan dari setiap periode penimbangan untuk semua perlakuan. Tabel 3. Keragaan pertumbuhan sapi bali bakalan selama 12 minggu Uraian Pertambahan berat badan harian (PBBH kg/ekor) Pertambahan tinggi badan (PTB cm/ekor) Pertambahan panjang badan (PBB cm/ekor) Pertambahan lingkaran dada (PLD cm/ekor)
Perlakuan A bc 0,37 4,47 4,33 4,17
B ab 0,46 4,23 6,02 4,20
C a 0,55 5,87 8,00 4,57
D bc 0,36 4,09 6,20 3,76
Sumber: Ella et al. (2004)
Hasil penelitian Suwandi (2005) menunjukkan integrasi sapi potong-padi di Kabupaten Sragen meningkatkan pendapatan petani dan kesuburan tanah akibat bertambahnya unsur hara dari kompos. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil gabah per musim (Rp145.000/ha). Selain itu, produktivitas pakan meningkat (dihitung dari nilai penghematan konsentrat Rp1,50 juta/tahun), serta kesempatan kerja bertambah melalui pengelolaan limbah, mencapai 100 HOK atau Rp1 juta/tahun (Suwandi, 2005). Penelitian Kariyasa (2005), mengemukakan usaha ternak yang dikelola secara terpadu dengan usaha tani padi, yaitu dengan memanfaatkan jeraminya sebagai pakan hanya membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp410 ribu-Rp889 ribu/ekor, sedangkan usaha ternak sapi yang dikelola secara parsial (tidak menggunakan jerami) membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp735 ribu-Rp1.377 ribu/ekor. Penghematan biaya tenaga kerja berkisar 35,44%-44,22% atau berkisar 5,26%-6,38% terhadap total biaya usaha ternak. Selanjutnya, Syafril dan Ibrahim (2006) mengemukakan bahwa usaha ternak sapi potong yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan padi memberikan keuntungan paling tinggi, yakni 84% sementara pada usaha tani padi-sayuran-ternak ikan, pendapatan hanya meningkat 10%, padi-ternak-ikan 2%, padi-sayuran-ternak-ikan 2% dan sayuran ternak 2%. Ternak sapi memberikan kontribusi terhadap pendapatan sebesar Rp3.188.725, dan pendapatan dari usaha nonternak (padi-palawija-sayur-ikan) Rp5.078.414. Menurut Roessali et al., (2005) upaya untuk mendorong partisipasi petani dapat dilakukan melalui usaha ternak yang terintegrasi dengan kegiatan pertanian lainnya yang lebih besar dan layak secara ekonomi, yaitu melalui sistem agribisnis. Selain itu pengkajian yang dilakukan Kasman et al. (2003) di Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone dengan jumlah ternak 80 ekor menunjukkan bahwa kotoran ternak yang dikomposkan dan dicampur probiotik 2,5 kg, 2.5 kg urea, kalsit 2,5 kg, abu sekam 100 kg untuk setiap 1 ton kotoran ternak (kadar air 65%) akan memproduksi kotoran ternak berikut alas kandang dalam suatu Sistem Integrasi Padi-Sapi (SIPT) sebanyak 409,4 ton selama 8 bulan setelah dikomposkan menjadi 204,7 ton. Dengan demikian, penggunaan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha/musim dapat menanggulangi lahan sawah seluas 102,35 ha/musim selama 8 hulan. Menurut Priyanti (2007), penggunaan kompos oleh petani cenderung memengaruhi keputusan mereka untuk mengadopsi sistem integrasi ternak
332
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
sapi tanaman. Hal ini karena petani menyadari pentingnya pupuk kompos dalam memperbaiki struktur tanaman sehingga hasil padi meningkat. Pada daerah lahan sawah, kegiatan Sistem Integrasi Padi-Ternak telah didukung oleh penguatan kelembagaan tani. Kegiatan tersebut secara nyata dapat meningkatkan hasil padi dan efisiensi usaha tani. Hasil padi rata-rata meningkat 13,7-28,8% dengan tambahan keuntungan Rp940.000/ha (Kusnadi et al., 2001a; Ananto, 2002). Penelitian integrasi sapi-padi dengaan pola tanam IP-300 menunjukkan hasil yang cukup menarik. Ternyata integrasi sapi-padi mampu meningkatkan pendapatan petani. Sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari nilai pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi. Apabila yang dipelihara sapi perah sistem low input maka pola ini memberikan Rp11.000/ekor/hari karena seekor sapi dengan produksi susu 8-10 liter/hari hanya memerlukan biaya pakan senilai penjualan 3-4 liter susu (Haryanto et al., 1999).
Pengembangan Integrasi Ternak dengan Tanaman Perkebunan Pengembangan ternak ruminansia, terutama di daerah-daerah padat penduduk dan ternak menghadapi kendala semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman rumput. Jika penggunaan sapi sebagai tenaga kerja di perkebunan meningkatkan pendapatan, misalnya perkebunan sawit pemanen mendapatkan keuntungan hingga 50% melalui penerimaan upah panen, lebih menguntungkan lagi jika perkebunan sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyediakan sumber pakan dari hasil samping kebun berupa pelepah dan daun. Integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat dilakukan petani umumnya mengisi relung sistem pertanian integrasi atau semi komersial. Hal ini karena usaha tani integrasi hanya dapat dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kelapa sawit dan ternak sapi. Dari segi penguasaan modal produksi, petani pelaksana integrasi sapi dan kelapa sawit relatif memiliki taraf kehidupan yang lebih baik daripada petani subsisten. Keberhasilan model usaha sapi di perkebunan sawit kini berkembang di Bengkulu dan Jambi. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002 terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia yang telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit. Menurut Ruswendi et al. (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari meningkatkan produktivitas sapi bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada sapi bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al. (2009), bahwa sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), di samping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%. Sudaryono et al. (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%. Sistem integrasi tanaman perkebunan lainnya dengan ternak juga dikembangkan di Sulawesi Tengah, yaitu integrasi tanaman kakao dan kopi dengan ternak sapi yang merupakan inovasi teknologi pemanfaatan kulit buah kakao dan kopi sebagai pakan sapi potong. Di Sumatera Barat telah dilakukan pemanfaatan limbah kakao oleh beberapa kelompok tani. Pemanfaatan tersebut adalah pengumpulan dan pencincangan, tetapi belum sampai pada tahap fermentasi. Pemanfaatan limbah kotoran ternak berupa pengumpulan limbah padat dan limbah cair. Proses tersebut hanya sampai pada proses pengomposan, sedangkan pengolahan boigas belum dilaksanakan (Reni, 2011). Pola terintegrasi antara usaha perkebunan kakao dan usaha ternak kambing di Provinsi Lampung cukup memberikan dampak positif bagi petani di perdesaan, khususnya petani perkebunan kakao rakyat (Priyanto et al., 2004), di mana pengalaman petani dalam memanfaatkan kulit buah kakao sebagai bahan ternak kambing relatif cukup lama dengan rataan 3,32 tahun. Hasil penelitian
Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
333
Priyanto et al. (2004) menunjukkan bahwa peternak memberikan kulit kakao sebagai pakan ternak kambing 2-3 kg/ekor/hari ternak dewasa. Hal tersebut cukup membantu peternak dalam mensuplai pakan hijauan mencapai 89,8%, kambing sangat menyukai sebesar 78,9% dan sebagai langkah antisipasi kekurangan pakan hijauan sebesar 55,5%. Hal tersebut karena pemberian kulit kakao sebagai bahan ternak kambing mampu mengurangi porsi pemberian rumput yang harus disediakan peternak khusunya pada usaha pola intensif dengan pemberian pakan sistem cut and carry. Pengkajian Syamsu et al. (2005), yaitu pemanfaatan kotoran ternak kambing dan limbah kakao sebagai pupuk organik pada tanaman kakao spesifik lokasi dilaksanakan di Desa Kamanre, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Perlakuan yang diberikan kotoran ternak kambing 2 bagian, kulit buah kakao 1 bagian, daun kakao 1 bagian, dedak 1 bagian, abu sekam 1 bagian, mikroba pengurai ½ lt, gula pasir ½ kg dan air 1 bagian, dengan jangka waktu pengomposan selama 4 minggu kemudian diaplikasikan pada tanaman kakao sebanyak 5 kg per pohon ditambah dengan pupuk anorganik dengan dosis urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Hasil yang diperoleh jumlah buah terbentuk (>10 cm) dan jumlah buah dipanen tiap waktu panen pada tanaman yang dipupuk dengan pupuk organik/bokashi + urea, SP-36 dan KCl lebih tinggi masing-masing 24% dan 17% dibandingkan dengan tanaman yang hanya dipupuk Urea, SP-36 dan KCl (cara petani). Tabel 4. Rataan jumlah buah yang terbentuk dan jumlah buah yang dipetik tiap waktu panen pada masing-masing perlakuan
Nama petani H. Sugiman Sulaeman Hasan Rata-rata
Jumlah terbentuk T1 9 15 15 13,53
T2 18 8 13 7 15 12,3
Jumlah buah dipetik per 1 kali panen T1 T2 22 82 26 65 53 62 4,3 3,5
Sumber: Syamsu et al. (2013) Keterangan: Total pengamatan tiap dua bulan Perlakuan T1: Aplikasi pupuk organik pada tanaman kakao sebanyak 5 kg per pohon ditambah dengan pupuk anorganik dengan dosis urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Perlakuan T2: Pembanding adalah pemupukan cara petani pada tanaman kakao yang dipupuk tanpa dosis tetap.
Berdasarkan penelitian Hasan et al. (2013), potensi limbah organik kebun kakao yang tersedia di antaranya adalah kulit buah kakao 72.058 kg/ha/tahun atau sebesar 42% dari total limbah, pangkasan daun kakao 18.615 kg/ha/tahun (11%), pangkasan daun gamal 2.624 kg/ha/tahun (2%), dan pangkasan rumput raja 76.144 kg/ha/tahun (45%) dari total limbah kebun yang tersedia. Kompos yang dihasilkan dari bahan baku limbah kebun sebanyak 39.255kg/ha/tahun, sedangkan kompos yang dihasilkan dari limbah biogas sebanyak 1.073,10 kg/tahun dari total bahan baku kotoran sapi sebanyak 4.380 kg/3 ekor/tahun. Penelitian pemanfaatan kulit buah kakao pada ternak kambing dilaksanakan di Desa Ongko dan Baruga. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kakao terhadap ternak kambing lebih dominan dalam bentuk segar. Hal ini disebabkan karena pemberian pakan berupa kulit buah kakao dalam bentuk segar lebih mudah didapatkan dibandingkan dalam bentuk lainnya. Hasil penelitian pemberian kulit buah kakao pada ternak kambing disajikan pada Tabel 5. Pemberian limbah kulit buah kakao secara langsung pada ternak justru akan menurunkan berat badan ternak. Hal ini dikarenakan tingginya kadar lignin dan selulosa yang terdapat pada kulit buah kakao. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh ternak dan untuk meningkatkan nilai protein kasarnya. Analisis ekonomi usaha ternak kambing dan kakao dapat dilihat pada Tabel 6.
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
334
Tabel 5. Pemberian kulit buah kakao pada ternak kambing No 1.
2.
Rata-rata (kg/hr/ek) Polmas Majene
Uraian Berat badan ternak kambing • Berat badan awal • Berat badan akhir • Pertambahan berat badan Berat badan ternak kambing kontrol • Berat badan awal • Berat badan akhir • Pertambahan berat badan
12,875 kg 20,067 kg
16,00 kg 21,53 kg
0,23
0,184
12,325 kg 15,797 kg 0,112
15,11 kg 18,117 kg 0,097
Sumber: BPTP Sulawesi Selatan (2001)
Tabel 6 . Analisis usaha ternak kambing dan kakao Uraian 1. Input (Rp): - Bibit ternak - Pakan suplemen - Pupuk kakao - Pestisida - Tenaga kerja - Penyusutan alat Jumlah 1 2. Penerimaan (Rp): - Produksi kakao - Nilai bobot ternak - Pupuk kandang Jumlah 2 3. Pendapatan 4. R/C
Petani kakao + ternak Kooperator Nonkooperator
Petani kakao
771.709 5.796 664.928 72.182 2.515.079 76.666 4.106.360
470.763 0 813.000 78.666 3.276.666 34.666 4.693.761
0 0 728.713 86.444 2.582.738 50.875 3.448.770
7.035.000 567.580 108.000 7.377.738 3.604.220 1,88
7.063.000 366.744 0 7.429.7444 2.735.983 1,58
6.447.00 0 0 6.447.000 2.998.230 1,87
Sumber: Syamsu et al. (2013)
Pemanfaatan limbah perkebunan lainnya seperti kopi yang digunakan untuk pakan ternak secara fisik komposisinya cukup besar yaitu sekitar 48% pada daging buah kopi (Zaenudin et al., 1995). Hasil penelitian Utomo et al. (2009) di mana dedak padi dan dedak kopi yang difermentasikan dengan jamu EKD sebanyak 1% dan rumput lapang 10% pada sapi bali, mampu mencapai pertambahan bobot badan harian (PBBH) 0,533 kg/ekor/hari. Dedak padi dan dedak kopi yang diberikan mampu memberikan tambahan protein dan sumber energi lain selain yang berasal dari rumput maupun hijauan. Untuk dedak padi kandungan proteinnya mencapai 12,79%, demikian pula dedak kopi hasil fermentasi memiliki kandungan protein mencapai 12,27% (Lab Analitik, 2011). Sistem integrasi tanaman-ternak yang dikembangkan di Sulawesi Selatan yaitu teknologi pemanfaatan limbah tebu yang umum digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketersediaan limbah tebu dan pemanfaatannya untuk pakan ternak adalah kondisi agroekologi, jenis pengelolaan usaha tani tebu, populasi ternak, dan sosial budaya.
Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
335
Waktu ketersediaan limbah tanaman tebu berupa daun rogesan 2-3 bulan sebelum waktu giling pucuk daun tebu dan anakan yang tidak diharapkan selama musim giling. Jumlah anakan selama waktu giling yang dimulai pada bulan Juni hingga Desember sebesar 30% dari total produksi tebu per hektar. Pada daerah yang beriklim basah, di mana hijauan untuk pakan ternak tersedia sepanjang tahun, limbah tebu per hektar dengan produktivitas tebu 150 ton/ha dapat mensubstitusi hijauan sebagai pakan 5 ekor sapi selama 220 hari. Untuk daerah kering dengan produktivitas tebu rata-rata 70 ton/ha, limbah tebu per hektar dapat memsubstitusi hijauan untuk 3 ekor ternak selama 180 hari (Ramli et al., 2012). Hasil penelitian Ramli et al. (2012) pada lima kabupaten di Jawa Timur menjelaskan bahwa nilai limbah tebu untuk substitusi hijauan tersebut adalah Rp1.100.000 per ekor untuk daerah beriklim basah dan Rp900.000 per ekor untuk daerah beriklim kering, sedangkan limbah tanaman tebu yang berlebih pada daerah dengan populasi ternak rendah akan diperdagangkan oleh tenaga penebang dengan nilai Rp280.000 per hektar. Limbah ternak berupa pupuk kandang digunakan untuk usaha tani tebu dan nontebu. Pupuk kandang yang dihasilkan tiga ekor sapi dewasa per tahun dapat menghemat aplikasi pupuk anorganik sebesar 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayu et al. (2004) menunjukkan bahwa pucuk tebu dapat menggantikan komposisi rumput gajah tanpa ada pengaruh negatif terhadap ternak sapi potong. Pucuk tebu dapat membantu dalam penyediaan pakan ternak pada musim kemarau, dimana pada saat itu produksi rumput menurun kuantitas maupun pucuk tebu dapat menggantikan komposisi rumput gajah tanpa ada pengaruh negatif terhadap ternak sapi potong. Selain itu, pucuk tebu dapat membantu dalam penyediaan pakan ternak pada musim kemarau, di mana pada saat itu produksi rumput menurun kuantitas maupun kualitasnya. Di sisi lain, pucuk tebu sebagai limbah perkebunan ketersediaannya cukup melimpah. Untuk meningkatkan nilai gizi dilakukan fermentasi dengan mikroorganisme (probiotik) akan membantu memecahkan struktur jaringan yang sulit terurai dalam proses pencernaan sehingga zat-zat nutrien lebih mudah diserap. Berdasarkan analisis sidik ragam diperoleh hasil bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) terhadap pertambahan bobot badan, lingkaran dada, maupun tinggi pundak. Adapun perlakuan yang diberikan adalah perlakuan (A) rumput gajah 60 kg + gamal 12 kg + dedak 6 kg + fermentasi pucuk tebu 0 kg + fosfor 15 gr; perlakuan (B) rumput gajah 45 kg + gamal 12 kg + dedak 6 kg + fermentasi pucuk tebu 15 kg + fosfor 15 gr; perlakuan (C) rumput gajah 30 kg + gamal 12 kg + dedak 6 kg + fermentasi pucuk tebu 30 kg + fosfor 15 gr. Kandungan bahan kering pucuk tebu lebih rendah dari jerami padi, namun nutrisi protein kasar lebih tinggi daripada jerami padi maupun jagung. Oleh karena itu, perlu penambahan formula dari bahan lainnya untuk meningkatkan kandungan yang dbutuhkan ternak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sistem integrasi tanaman ternak di Sulawesi Selatan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani-peternak, karena: 1) pemanfaatan limbah ternak dapat dijadikan kompos yang dapat menyuburkan tanaman dan meningkatkan unsur hara pada lahan pertanian, 2) limbah pertanian dapat dijadikan pakan ternak sehingga mengurangi biaya pakan ternak, dan 3) mampu meningkatkan pendapatan petani-peternak. Dalam pelaksanaannya integrasi tanaman-ternak harus sesuai dengan kondisi setempat, dilakukan dengan pendekatan kelompok, dan teknologi yang diintroduksikan harus mempertimbangkan aspek kelestarian sumber daya alam, serta ramah lingkungan. Pengembangan integrasi tanaman ternak memerlukan kerja sama dan komunikasi yang efektif antara petani-peternak dan pemerintah, serta modal usaha dan pelatihan teknologi sehingga produktivitas pertanian dapat terus meningkat.
336
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
DAFTAR PUSTAKA Awaludin, R. dan S.H. Masurni (2004). Systematic beef cattle integration in oil palm plantation with emphasis the utilization of undergrowth. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit–Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. p. 23-35. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan. 2011. Sulawesi Selatan dalam Angka Tahun 2010. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Bahar, S., N. Qomariyah, dan H. Muhammad. 2013. Integrasi ternak kambing pada perkbunan kakao. Prosiding Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. hlm. 568-577. Diwyanto, K., D.M. Sitompul, I. Manti, I W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Prosiding Lokakarya Nasional. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu, 9-10 September 2003. Departemen Pertanian dengan PT. Agricinal, Bogor. Djayanegara, A. dan I.G. Ismail. 2004. Manajemen sarana usaha tani dan pakan dalam sistem integrasi tanaman ternak. Workshop Kelembagaan Usaha Tanaman-Ternak Terpadu dalam Sistem dan Usaha Agribisnis, Denpasar, 30 Nopember-2 Desember 2004. Ella, A., A. Nurhayu dan D. Pasambe, 2004. Respon pemberian bioplus serat dan jerami fermentasi terhadap pertumbuhan ternak sapi bali bakalan pada pengembangan sistem integrasi padi - ternak (SIPT). Prosiding Seminar Nasional Denpasar, 20-22 juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan BPTP Bali dan CASREN. Femi, H.E, B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi. 2008. Pengembangan usaha ternak sapi rakyat melalui integrasi sapi-tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian 27(3):63-68. Haryanto, B. 2009. Inovasi teknologi pakan ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak berbasis limbah mendukung upaya peningkatan produksi daging. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3):163-176. Haryanto, B., M. Sabrani, M.Winugroho, B. Sudaryanto, B. Risdiono, A. Priyanti, E. Martindah, M. Siahaan, E. Suyanti, dan Subiyanto. 1999. Pengembangan Hijauan Makanan Ternak IP 300. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Bagian Proyek Pemberdayaan Petani Peternak Pusat. Hasan, M., D. Useng, dan Haerani. 2013. Analisis ketersediaan bahan organik dan penilaian kesesuain lahan kebun kakao berbasis sistem integrasi tanaman–ternak model zero waste. Jurnal Agri Techno 6(1):7987. Hikmah M, Ali, M. Yusuf, dan J.A Symasu. 2010. Prospek pengembangan peternakan berkelanjutan melalui sistem integrasi tanaman ternak model zero waste di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Peningkatan Akses Pangan Hewani melalui Integrasi Pertanian-Peternakan Berkelanjutan Menghadapi Era ACFTA” dilaksanakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tanggal 23 Juni 2010 di Jambi. Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman-ternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Analisis Kebijakan Pertanian 3(1):68-80. Kasman, A. Ella dan A. Nurhayu. 2013. Kontribusi kotoran sapi dalam sistem usahtani padi sawah irigasi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Hlm. 182-185. Khuluq, A.D. 2012. Potensi pemanfaatan limbah tebu sebagai pakan fermentasi probiotik. Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 4(1):37-45. Kusnadi, U. 2008. Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak untuk menunjang swasembada daging sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3):189-205. Kusnadi, U., A. Thalib, dan D. Kusdiaman. 2001a. Model Usaha Penggemukan Sapi pada Daerah Berbasis Usaha Tani Padi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Kuswandi. 2007. Teknologi Pakan untuk Limbah Tebu (Fraksi Serat) sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa 17(2):82-92. Laboratorium Analitik. 2011. Hasil Uji Laboratorium Pakan Ternak. Universitas Udayana. Denpasar. Manwan, I.1989. Farming sistems research in Indonesia: its evolution and future out look. In: Sukmana et al. (eds). Development in Procedures for farming System Research: Proceeding of an international Workshop. Indonesian Agency for Agriculture Research and Development. Jakarta.
Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Sulawesi Selatan M. Basir Nappu
Eka Triana Yuniarsih dan
337
Nurhayu, A. dan M. Sariubang. 2004. Pengaruh pemberian pucuk tebu fermentasi terhadap tampilan berat badan sapi bali. Prosiding Seminar Nasional Industri Peternakan Modern "Pemberdayaan Peternakan Rakyat melalui Forum Komunikasi Industri Peternakan Modern", 21-22 Juni 2004. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI bekerja sama dengan Disnak Provinsi Sulawesi Selatan. Pambudy, R. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternakan, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Roessali, W., B.T. Eddy, dan A. Murthado. 2005. Upaya pengembangan usaha sapi potong melalui entinitas agribisnis corporate farming di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial Ekonomi Peternakan (1):25-30. Romli, M., T. Basuki, J. Hartono, Sudjinro dan Nurindah. 2012. Sistem Pertanian Terpadu Tebu-Ternak Mendukung Swasembada Gula dan Daging. Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian. Jakarta. Romli, M., T. Basuki., J. Hartono, Sudjinro, dan Nurindah. 2012. Laporan Akhir Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan Teknologi. Sistem Pertanian Terpadu Tebu-Ternak Mendukung Swasembada Gula dan Kambing. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Sariubang, M., A. Ella, A. Nurhayu 2003. Laporan Sistem Usaha tani Tanaman Ternak pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Maros. Sariubang, M., A. Ella, A. Nurhayu, dan D. Pasambe, 2001. Laporan Sistem Usaha Pertanian Sapi Potong di Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Maros. Sariubang, M., Amir Syam, A. Nurhayu. Daniel Pasambe, Muslimin dan Umar Abduh. 2004. Laporan Pemanfaatan Silase Jagung Sebagai Pakan Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Maros. Subagyono, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Sulaeman, D. 2008. Zero Waste (Prinsip Menciptakan Agro-industri Ramah Lingkungan). Subdit Pengelolaan Lingkungan, Dit. Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen PPHP-Deptan. Anggota Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia (Perwaku). Sunanto dan Nasrullah. 2012. Kajian model pertanian zero waste dengan pendekatan sistem integrasi tanaman jagung-ternak sapi di Sulawesi Selatan. Prosiding InSINAS 2012. hlm. 223-228. Suryanti, R. 2011. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian. Artikel. Universitas Andalas. Padang. Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syafril dan I. Ibrahim. 2006. Kontribusi pendapatan usaha tani ternak sapi terhadap pendapatan usaha tani di Kota Padang, Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan IX(2):130-137. Umar, S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam merevitalisasi dan mengaselerasi pembangunan peternakan berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi Ternak pada Fakultas Pertanian, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 12 Desember 2009, Medan. Utomo, N.N., E. Widjaya, dan E.K. Dara. 2009. Pengaruh pemberian probiotik lokal (Jamu EKD) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali jantan di Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 12(1):11 – 2. Zainuddin. D., I P. Kompiang dan H. Hamid. 1995. Pemanfaatan Limbah Kopi dalam Ransum Ayam. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN T.A. 94/95. Balai Penelitian Ternak. Bogor.