PROSPEK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI SECARA KOLABORATIF. STUDI KASUS DI SUAKA MARGASATWA NANTU PROPINSI GORONTALO The Prospect of Collaborative Management of Conservation Forest (A Case Study in the Nantu Wildlife Sanctuary, Province of Gorontalo) Irwan Bempah1), Mustofa Agung Sardjono2) dan Johanes Johni Hangkueng2) Abstract. In general, this research tried to examine the aspects of collaborative forest management of the Wildlife Conservation Area of Nantu, which is located in the Province of Gorontalo. The research aimed at identifying the stakeholders; finding their interest, involvement and influence degrees; examining and studying issues related to collaborative forest management of the Nantu Wildlife Sanctuary as seen from the stakeholders’ perspectives; and formulating concrete plans and actions for the stakeholders to work collaboratively. This research was able to identify the stakeholders to this Wildlife Conservation Area and classified them as group and individual ones. Those two were then further classified into direct primary, indirect primary and secondary stakeholders. From this research analysis, 19 parties were found to be involved in the collaboration, which were then mapped even further based on their degrees of involvement and influence toward the management of Nantu Wildlife Sanctuary. The basic issue in the collaborative management of the Nantu Wildlife Sanctuary was that local communities, which were the stakeholders with the highest degree of interest to the wildlife, were still denied from direct benefits coming from the resources of Nantu reserves. They were also playing still-minor part in the collaboration. The issue, therefore, needed to be understood in a wider scope of the relations between those stakeholders. Some alternatives this research suggested to answer that basic issue included the strengthening of local communities’ institutions; the enhancement of people’s knowledge and skills; the creation of a fair negotiation mechanism; the encouragement of multi-parties decision-making and responsible and legal access for the communities to the Nantu Wildlife Sanctuary; the stipulation of clear forest borders; the collaborative empowering; the planning, implementation, and evaluation to management programs that involve all the stakeholders; and the formation of stakeholder institution and conflict resolution. To materialize those goals, roles distribution and contribution among the stakeholders were of necessity. Kata kunci: suaka margasatwa, pengelolaan hutan secara kolaboratif, hutan konservasi
___________________________________________________________________ 1) Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo, Gorontalo 2) Laboratorium Sosekbud Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
61
62
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
Konflik yang terkait dengan masalah hutan yang dikaitkan dengan partisipasi masyarakat terjadi pada tataran nilai, hak pemilikan (kelembagaan: institusi) dan model pengelolaannya. Pada tataran nilai, tidak terdapat kesepakatan dalam pemaknaan hutan maupun masyarakat. Bagi masyarakat lokal hutan merupakan habitat tempat mereka menggantungkan kehidupan perekonomiannya serta mengejawantahkan kehidupan budaya dan spiritualnya. Karena itu, masyarakat setempat akan sangat menjaga keberadaan dan keutuhan hutan. Bagi swasta, hutan hanya sebagai komoditas yang setiap saat dapat ditrasformasikan menjadi uang tunai, sedangkan bagi pemerintah nilai hutan bisa sangat plastis. Dalam konsideran-konsideran berbagai peraturan perundangundangan, hutan kerap digambarkan secara amat “religius” sebagai “rahmat Tuhan”. Tapi publik bisa dibingungkan karena hutanpun ditebang habis. Lebih lanjut, pada tataran hak pemilikan, belum tercapai kesepakatan tentang hak pemilikan hutan. Tatkala hutan sebagai ranah publik dinyatakan sebagai “dikuasai negara”, maka timbul perdebatan: apakah “dikuasai” itu identik dengan “dimiliki”, lantas di mana posisi masyarakat yang kedaulatannya justru diakomodasikan oleh negara. Pada tataran model pengelolaan, hutan tidak tergelincir menjadi suatu sumberdaya terbuka, dengan demikian timbul pertentangan apakah hutan harus dikelola oleh pemerintah atau cukup oleh masyarakat? Atau akan dipilih suatu rejim pengelolaan kolaboratif? (Tadjudin, 2000). Hutan Nantu terletak di Kecamatan Tolangohula di sebelah barat kabupaten Gorontalo, pada tahun 1999 ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 573/kpts-II/1999 dengan status Suaka Margasatwa (SM) seluas 31.215 ha. Hutan ini merupakan kawasan hutan konservasi tersisa namun kerap terjadi konflik kepentingan atas sumberdaya antara pengelola (pemerintah/BKSDA/swasta/TNI) dan masyarakat. Konflik dan pelanggaran hukum yang pernah terjadi selama ini adalah: i) upaya penegakan hukum dalam kawasan Konservasi Nantu sering diwarnai dengan kekerasan fisik (pemukulan) dan non-fisik (tekanan mental) oleh pihak Brimob (kepolisian) terhadap oknum masyarakat lokal; ii) masih ada masyarakat yang menggarap lahan di dalam kawasan, dengan alasan belum ada tata batas kawasan yang jelas dan kurangnya sosialisasi; iii) di satu sisi ada pihak mitra BKSDA yang dianggap oleh sebagian kalangan khususnya masyarakat lokal terlalu berlebihan dalam pengamanan/perlindungan kawasan, sementara di sisi lain, BKSDA yang memiliki kewenangan terhadap kawasan belum secara maksimal menjalankan tugas dan fungsinya karena terbatasnya kemampuan kelembagaan (BKSDA Gorontalo masih berstatus unit), sehingga hal ini berdampak pada tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan; iv) belum ada suatu kajian penelitian tentang model pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu yang melibatkan banyak pihak, sehingga yang merasa berkepentingan tetapi tidak diperankan menjadi kecewa dan cenderung berbeda (out-group). Berdasarkan pengamatan sementara, konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: masyarakat lokal belum dilibatkan dalam pengelolaan kawasan, masyarakat belum sadar manfaat kawasan konservasi karena akses terhadap sumberdaya hutan sangat dibatasi, banyaknya pihak (institusi, kelompok sosial dan individu) yang berkepentingan terhadap kawasan, baik kepentingan yang
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
63
berasal dari mandat institusional, kedekatan geografis, asosiasi sejarah, ketergantungan pada mata pencaharian, kepentingan ekonomi dan berbagai jenis kapasitas kepentingan lainnya serta kurangnya koordinasi antar pihak khususnya pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi yang terjadi adalah konflik berkepanjangan dapat mengancam kelestarian kawasan konservasi sebagai akibat penyerobotan lahan secara paksa (perlawanan) oleh masyarakat yang merasa haknya diabaikan. Salah satu faktor pendukung keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi adalah adanya strategi kemitraan (yang juga disebut co-management, manajemen partisipasi, manajemen kolaboratif). untuk menjelaskan di mana semua stakeholder yang relevan dalam kawasan konservasi tersebut terlibat secara substansial. Seperti yang disampaikan Tadjudin (2000), pengelolaan sumberdaya hutan merupakan properti masyarakat, serta bidang terap yang cocok bagi manajemen kolaboratif. Dalam mengembangkan manajemen kemitraan menurut Munggoro (1999) dan Tadjudin (2000), ada tiga langkah dasar yang dapat diidentifikasi, yaitu: i) mempersiapkan kerja sama (mengidentifikasi kelompok-kelompok dan individuidividu mana yang mempunyai kepentingan dan kemampuan yang terkait dengan kawasan konservasi); ii) menyusun kesepakatan bersama (identifikasi masalah/konflik dan solusinya, identifikasi kepentingan dan kemampuan stakeholder), iii) implementasi dan review kesepakatan (kesadaran stakeholder, keterlibatan stakeholder, definisi fungsi, hak dan tanggung jawab yang telah disepakati sebagai aksi kongkrit). Dengan mengacu pada tiga langkah dasar tersebut di atas diharapkan dapat memunculkan proses menuju pengelolaan kawasan koservasi secara kolaboratif. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pengelolaan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Nantu di Kabupaten Gorontalo secara kolaboratif. Lebih rinci tujuan tersebut adalah sebagai berikut: i) mengidentifikasi parapihak (stakeholders) yang terkait atau berkepentingan, baik langsung maupun tidak terhadap kawasan Suaka Margasatwa Nantu; ii) mengetahui kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) parapihak dalam pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu; iii) mengkaji dan mempelajari permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaboratif ditinjau dari perspektif berbagai pihak; iv) merumuskan langkah-langkah aksi kongkrit parapihak untuk tujuan ke arah kolaboratif. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa yang terdekat dengan kawasan Suaka Margasatwa Nantu yaitu Desa Mohiolo dan Desa Pangahu Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo. Desa Saritani Kecamatan Wonosari yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Boalemo. Keseluruhan lokasi penelitian tersebut berada pada satu wilayah Propinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: ketiga lokasi yaitu Desa Mohiolo, Desa Pangahu dan Desa Saritani merupakan desa yang terdekat dengan kawasan Suaka Margasatwa Nantu; masyarakat di tiga Desa tersebut sering terlibat konflik dengan pengelola kawasan Suaka Margasatwa
64
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
Nantu dan memiliki akses ketergantungan langsung terhadap kawasan; lokasi penelitian walaupun cukup terpencil dan jauh namun aksesibilitas sangat mudah dijangkau dengan jarak tempuh 34 jam dari ibukota Kabupaten Gorontalo melalui transportasi darat dan air. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (MaretAgustus 2004) mulai dari tahap persiapan, orientasi lapangan, pengumpulan data lapangan, hingga penelusuran dokumentasi. Bahan dan alat yang digunakan adalah: daftar kuesioner; peta-peta dan dokumen-dokumen (hasil penelitian); kamera dan film serta tape recorder. Dalam menjaring data, objek utama penelitian ini adalah kelompok besar yang terdiri dari: masyarakat Desa Mohiolo, Desa Pangahu, Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo. Desa Saritani yang masuk wilayah Kabupaten Boalemo (desa terdekat dengan kawasan Suaka Margasatwa Nantu), para stakeholder (institusi pemerintah/swasta, lembaga sosial dan individu) yang terkait kepentingan terhadap kawasan Suaka Margasatwa Nantu. Data yang dikumpulkan berdasarkan tujuan penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yaitu: data primer meliputi: informasi parapihak yang terkait kepentingan secara langsung maupun tidak terhadap kawasan Suaka Margasatwa Nantu, informasi tentang kepentingan keterlibatan dan pengaruh parapihak (multi stakeholder) dalam memberikan kontribusi terhadap pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu, informasi tentang permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu ditinjau dari perspektif berbagai pihak, langkah-langkah aksi kongkrit parapihak untuk tujuan ke arah kolaboratif. Data primer penelitian diperoleh langsung dari responden melalui kuesioner dan wawancara secara mendalam serta Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder yaitu: laporan hasil penelitian, makalah, batas dan luas wilayah, topografi, karakteristik hutan serta jenis flora dan fauna, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, pendidikan penduduk, kelembagaan desa, mata pencaharian penduduk serta pemanfaatan lahan. Untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: observasi, wawancara berstruktur dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan (kuesioner) yang sudah disusun sebelumnya dengan cermat secara tertulis dan Focus Group Discussion (FGD). Selanjutnya pengolahan data dengan cara pengklasifikasian dan pentabulasian data dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu: 1. Untuk tujuan ke 1 dan ke 2, mengidentifikasi stakeholder dan mengetahui kepentingan keterlibatan dan pengaruh parapihak (multi stakeholder) dalam pengelolaan kawasan hutan Suaka Margasatwa Nantu digunakan metode analisis stakeholder menurut Anonim (1995), Munggoro (1999) dan Tadjudin (2000). Analisis dengan menyiapkan tabel stakeholder (stakeholder table), tujuannya adalah: mengidentifikasi dan mendaftar semua keterlibatan stakeholder dan menggolongkan ke dalam beberapa kelompok (goup) (Tadjudin, 2000); mengidentifikasi kepentingan stakeholder, baik yang sudah terungkap maupun yang belum.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
65
2. Penilaian tingkat kepentingan keterlibatan stakeholders dilakukan dengan menggunakan kriteria menurut Meyers (2005), Anonim (1995), Munggoro (1999) dan Tadjudin (2000): Kepentingan Tinggi: i) kehidupan sosial ekonomi stakeholder sepenuhnya tergantung pada sumberdaya hutan; ii) aktivitas keseharian stakeholder sepenuhnya berkaitan/berdampak langsung pada sumberdaya hutan; iii) sering berinteraksi dengan stakeholder lain. Kepentingan sedang: i) kehidupan sosial ekonomi stakeholder tidak sepenuhnya tergantung dari sumberdaya hutan; ii) Aktivitas keseharian stakeholder tidak sepenuhnya berkaitan/berdampak (tidak langsung) pada sumberdaya hutan; iii) tidak sering berinteraksi dengan stakeholder lain. Kepentingan rendah: i) kehidupan sosial ekonomi stakeholder sepenuhnya tidak tergantung dari sumberdaya hutan; ii) aktivitas keseharian sepenuhnya tidak berkaitan/berdampak pada sumberdaya hutan; iii) kurang berinteraksi dengan stakeholder lain. 3. Penilaian tingkat pengaruh stakeholders dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Pengaruh tinggi: i) stakeholder mempunyai status sosial yang kuat dan dapat mempengaruhi pihak lain dan/atau sumberdaya hutan; ii) aktivitas berdampak langsung terhadap sumberdaya hutan; iii) sebagai penentu kebijakan langsung terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Pengaruh sedang: i) stakeholder mempunyai status sosial yang kuat, tapi tidak dapat mempengaruhi pihak lain dan atau sumberdaya hutan; ii) aktivitas berdampak tidak langsung terhadap sumberdaya hutan; iii) sebagai penentu kebijakan tidak langsung terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Pengaruh rendah: i) stakeholder mempunyai status sosial yang lemah dan tidak dapat mempengaruhi pihak lain/sumberdaya hutan; ii) aktivitas tidak berdampak pada sumberdaya hutan; iii) bukan sebagai penentu kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 4. Hasil identifikasi stakeholder dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. 5. Untuk tujuan ke 3 dan ke 4 yaitu mengidentifikasi permasalahan dari perspektif stakeholder serta langkah-langkah kongkrit stakeholders ke arah tujuan pengelolaan hutan secara kolaboratif, dirumuskan dengan menggunakan tahapan dari analisis ZOPP (Ziel Orienterte Projekt Plannung) yang disederhanakan, dengan menggunakan langkah-langkah analisis sebagai berikut: analisis masalah (problem analysis), yakni mengidentifikasi masalah-masalah dan sebab serta akibatnya dari perspektif stakeholder berkenaan dengan suatu keadaan negatif yang ingin diperbaiki; analisis tujuan (objective analysis), yakni mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai sebagai akibat dari terpecahkannya masalah-masalah; analisis alternatif (alternative analysis), yakni mengidentifikasi dan mengkaji kemungkinan pilihan strategi yang dapat mendukung keberhasilan tujuan (program).
66
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Parapihak yang Terkait Kepentingan, Baik Langsung Maupun Tidak terhadap Pengeloaan Kawasan Suaka Margasatwa Nantu Adanya berbagai perubahan, baik di tingkat global, nasional, regional dan bahkan lokal telah mendorong pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia agar lebih kolaboratif, sehingga tujuan penetapannya tidak gagal. Kawasan konservasi dulu lebih dianggap sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati semata, saat ini pemahaman bergeser menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Hermawan dkk., 2005; Meyers, 2005; Anonim, 1995; Munggoro, 1999; Tadjudin, 2000). Proses pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaboratif membawa konsekuensi adanya pembagian otoritas dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan di antara parapihak (stakeholders) yang diwujudkan dalam suatu proses dan mekanisme kelembagaan pengelolaan. Stakeholders yang terkait langsung maupun tidak dengan Suaka Margasatwa Nantu dapat dibedakan atas stakeholders individu yaitu orang perorang yang berasal dari masyarakat desa sekitar atau dari luar desa dan stakeholders kelompok (group), baik berupa lembaga, organisasi atau instansi yang berasal dari dalam atau dari luar desa. Masing-masing stakeholders (individu dan kelompok) diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam isu pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu menjadi tiga kelompok, yakni: i) primer langsung, ii) primer tidak langsung dan iii) sekunder (Gambar 1). Individu
Primer langsung
Primer tdk langsung
Kelompok
Sekunder
Primer langsung
Primer tdk langsung
Sekunder
Gambar 1. Skema Klasifikasi Stakeholders Individu dan Kelompok
Kelompok primer langsung adalah stakeholders yang terlibat langsung dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu dan atau memperoleh dampak langsung dari pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu. Kelompok primer tidak langsung merupakan stakeholders yang terlibat secara tidak langsung dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu, tetapi memperoleh manfaat langsung dari Suaka Margasatwa Nantu, sedangkan kelompok sekunder adalah stakeholders yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu dan tidak memperoleh manfaat secara langsung dari pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
67
1.1. Identifikasi stakeholder individu Stakeholder individu yang berhasil teridentifikasi berdasarkan kepentingan utamanya terhadap kawasan Suaka Margasatwa Nantu, dapat dirinci seperti pada Tabel 1. Stakeholder individu sekunder dalam studi kasus ini tidak teridentifikasi. Tabel 1. Identifikasi Stakeholder Individu Berdasarkan Kepentingan Utama Stakeholder individu Primer langsung Bupati Kepala Desa Kepala Dusun Primer tidak langsung Imam Mesjid Sekunder
Kepentingan utama Pengelolaan wilayah administrasi Manfaat langsung bagi warga desa Pembinaan warga dusun Sikap dan perilaku warga -
1.2. Identifikasi stakeholder kelompok/lembaga/instansi Dalam studi kasus di kawasan Suaka Margasatwa Nantu, stakeholder kelompok yang berhasil teridentifikasi dapat dirinci pada Tabel 2. Tabel 2. Identifikasi Stakeholder Kelompok Berdasarkan Kepentingan Utama Stakeholder kelompok/lembaga Primer Langsung Seksi KSDA Gorontalo Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo Kelompok petani yang lahannya berbatasan dengan kawasan SM Nantu Kelompok pencari daun woka, kayu bakar, rotan, ikan sungai Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) Primer tidak langsung Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo Universitas Gorontalo (UG) Mahasiswa Pecinta Alam Sekunder Kelompok pemilik perahu Pers/wartawan LSM JAPESDA (Jaringan advokasi Pengelolaan SDA) LSM LIBD (Lembaga Inovasi Bina Desa) DPRD Kabupaten Gorontalo
Kepentingan utama Konservasi sumberdaya hutan Pengembangan Sumber daya Hutan Akses lahan pertanian sumber kehidupan Manfaat Langsung sebagai sumber kehidupan Konservasi sumberdaya hutan, penelitian dan misi sosial Pariwisata Pembangunan pertanian daerah Penelitian dan pengembangan Penggunaan kawasan alam terbuka Mengangkut para pengunjung SM Nantu Meliput berita Kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat Kemitraan Kontrol kebijakan
Data pada Tabel 1 dan 2 menunjukan sejumlah stakeholders individu dan kelompok yang teridentifikasi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut: i) stakeholder individu primer langsung, terdapat 3 pihak, berasal dari kalangan pimpinan pemerintahan; stakeholder individu primer tidak langsung terdapat 1 pihak dan untuk stakeholder individu sekunder dalam studi ini tidak teridentifikasi. ii) stakeholder kelompok primer langsung terdapat 5 pihak, terdiri dari kelompok
68
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
pemerintahan, masyarakat desa dan swasta. Stakeholder kelompok primer tidak langsung terdapat 4 pihak berasal dari instansi pemerintah dan perguruan tinggi; Stakeholder kelompok sekunder teridentifikasi 6 pihak yang berasal dari kalangan LSM, masyarakat, Lembaga Legislatif dan Kepolisian. Dengan demikian jumlah stakeholder yang terkait kepentingan dengan pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu adalah sejumlah 19 pihak. Keragaman parapihak tersebut berimplikasi pada konsekuensi pembagian peran yang setara antar stakeholders. Meskipun hal ini sebuah pekerjaan yang rumit, namun dapat diawali dengan proses membangun kesadaran bersama bahwa perbedaan nilai dan kepentingan adalah hal yang wajar bahkan dapat dijadikan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. 2. Tingkat Kepentingan Keterlibatan (Interest) dan Pengaruh (influence) Parapihak dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Nantu Parapihak yang teridentifikasi berdasarkan kepentingan utama yang berkaitan dengan Suaka Margasatwa Nantu ini dibedakan lagi berdasarkan kepentingan keterlibatan (interest) dan pengaruhnya (influence) terhadap pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu seperti yang terinci pada Tabel 3. Tabel 3. Identifikasi Kelompok dan Individu Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (Interest) Keterlibatan dan Pengaruhnya (Influence) terhadap Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Nantu Propinsi Gorontalo Parapihak Primer langsung Sub BKSDA Gorontalo.
Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo.
Kepentingan keterlibatan Kepentingan tinggi: konservasi sumberdaya hutan.
Kepentingan tinggi: i) pengembangan sumberdaya, ii) melaksanakan peraturan daerah. Kelompok petani yang Kepentingan tinggi: pemanfaatan lahannya berbatasan dengan lahan di dalam dan di luar kawasan SM Nantu. kawasan. Kelompok pencari daun woka, Kepentingan tinggi: i) menerima kayu bakar, rotan, ikan sungai. dampak langsung dan manfaat langsung, ii) mengambil daun woka, tumbuhan obat, rotan. Kepala Desa. Kepentingan tinggi: i) terlibat dalam sosialisasi/penyuluhan kelestarian kawasan, ii) terlibat dalam penataan batas kawasan, iii) menjadi mediator informasi warga dan pengelola. Kepala Dusun. Kepentingan tinggi: terlibat dalam pembinaan warga yang tinggal berbatasan dengan kawasan.
Pengaruh Pengaruh sedang: memiliki otoritas pengelolaan SM Nantu, tetapi tidak didukung oleh sumberdaya yang memadai. Pengaruh tinggi: koordinator pengelolaan sumberdaya hutan daerah. Pengaruh tinggi: berpengaruh terhadap penataan batas kawasan. Pengaruh tinggi: berpengaruh terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem SM Nantu. Pengaruh tinggi: berpengaruh terhadap keputusan desa dan partisipasi warga desa terhadap pelestarian kawasan.
Pengaruh rendah: tidak punya kekuatan mencegah perambahan lahan oleh warga dari luar desa.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
69
Tabel 3 (lanjutan) Parapihak Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI).
Primer tidak langsung Bupati (Pemda).
Imam mesjid.
Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo. Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo. Universitas Gorontalo (UG).
Mahasiswa Pecinta Alam. Sekunder Kelompok pemilik perahu.
Pers/wartawan. LSM JAPESDA (Jaringan advokasi pengelolaan SDA).
Kepentingan keterlibatan Kepentingan tinggi: i) mendirikan stasiun penelitian, ii) koordinator pengamanan kawasan di lapangan, iii) pemberdayaan masyarakat lokal dengan cara memberikan pelatihan kelompok tani, penyuluhan, pendidikan lingkungan dan bahasa Inggris bagi anak SD, memberikan bantuan fasilitas sekolah dasar.
Pengaruh Pengaruh tinggi: kekuatan finansial (sebagai donor), kekuatan koordinasi, implementasi program, mobilisasi sumberdaya, advokasi.
Kepentingan tinggi: i) pengelolaan wilayah administrasi, ii) usulan inisiatif Perda pengelolaan hutan Nantu, iii) dukungan kebijakan dalam rencana peningkatkan status kawasan SM Nantu menjadi Taman Nasional. Kepentingan rendah: terlibat dalam diskusi warga.
Pengaruh tinggi: usulan inisiatif Perda pengelolaan hutan Nantu.
Pengaruh tinggi: dapat mempengaruhi sikap dan perilaku warga desa. Kepentingan tinggi: i) promosi Pengaruh tinggi: koordinator ekowisata, ii) pendapatan daerah pengelolaan kepariwisataan sektor wisata. daerah. Kepentingan tinggi: pemanfaatan Pengaruh rendah: dapat bekerja lahan dalam rangka pengembangan sama, tetapi tanpa kekuatan program pertanian agropolitan. intervensi. Kepentingan rendah: i) melakukan Pengaruh tinggi: academic aktivitas field research dalam authority. bentuk konsep pengelolaan kawasan SM Nantu, ii) mitra kerja YANI. Kepentingan rendah: memiliki Pengaruh rendah: pemerhati SDM. lingkungan. Kepentingan tinggi: mengangkut para pengunjung SM Nantu.
Pengaruh rendah: transportasi air bukan satu-satunya akses kawasan SM Nantu. Kepentingan tinggi: meliput berita. Pengaruh tinggi: dapat mempengaruhi publik. Kepentingan tinggi: i) kampanye Pengaruh tinggi: dapat pelestarian lingkungan, mempengaruhi kebijakan ii) pendampingan masyarakat lokal pemerintah melalui kampanye dengan cara memberikan pelatihan media. kelompok tani agroforestry, iii) pendampingan masyarakat dalam rangka penyiapan calon Taman Nasional Nantu, iv) advokasi HAM dalam kasus konflik kekerasan pemukulan oknum masyarakat oleh anggota Brimob (kepolisian).
70
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
Tabel 3 (lanjutan) Parapihak LSM LIBD (Lembaga Inovasi Bina Desa). DPRD Kabupaten Gorontalo.
Satuan Brimob Polda Gorontalo.
Kepentingan keterlibatan Pengaruh Kepentingan sedang: mitra kerja Pengaruh sedang: pemberi YANI. usulan terhadap program kerja YANI. Kepentingan tinggi: i) Pengaruh tinggi: dukungan menetapkan anggaran dalam proses pengambilan pengelolaan kawasan, ii) keputusan dan kebijakan lokal. legalitas Perda hutan Nantu, iii) mengontrol kebijakan, iv) mediasi konflik. Kepentingan tinggi: terlibat Pengaruh tinggi: penegakan langsung dalam operasional hukum di lapangan. pengamanan kawasan di lapangan.
Tiga stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya rendah yakni Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo, kelompok pemilik perahu dan kepala dusun. Hal ini dapat dimaknai bahwa stakeholder tersebut merupakan pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan pengelolan kawasan suaka Margasatwa Nantu. Maka diperlukan inisiatif-inisiatif khusus untuk tujuan peningkatan kesadaran akan pentingnya konservasi sumberdaya hutan bagi keberlanjutan program pertanian. Satu stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya sedang, yakni Seksi KSDA Gorontalo. Hal ini menandakan bahwa Seksi KSDA sebagai pemegang otoritas pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu belum dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan maksimal, karena masih memiliki keterbatasan kemampuan kelembagaan, seperti jumlah SDM dan fasilitas teknis lainnya. Kondisi ini dapat difahami, karena lembaga ini masih berstatus Seksi Wilayah (Eselon IV). Sebelas stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya tinggi, yakni: Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo, kelompok petani pemilik yang lahannya berbatasan langsung dengan kawasan Suaka Margasatwa Nantu, kelompok pencari (daun, kayu bakar, rotan, ikan sungai), kepala desa, Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI), Bupati Gorontalo, Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, LSM Japesda, DPRD Kabupaten Gorontalo dan Satuan Brimob Polda Gorontalo serta Pers/wartawan. Posisi seperti ini menggambarkan bahwa kelompok dan individu stakeholder tersebut adalah penentu keberhasilan program pengeloaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu, meskipun dengan mengikutsertakan kelompok dari stakeholder lain sebagai pendukung utama. Dengan demikian sinergitas kolaborasi dari parapihak tersebut lebih ditingkatkan. Dua stakeholder dengan tingkat pengaruh tinggi dan tingkat kepentingan yang sedang yakni Universitas Gorontalo dan imam mesjid. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa keterlibatan dari para stakeholder kelompok ini perlu diperhitungkan, karena dapat dipandang sebagai pendukung utama bagi keberhasilan tujuan.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
71
Satu stakeholder dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh sedang yaitu LIBD. Kelompok stakeholder tersebut hanya dapat dilibatkan pada momentum tertentu saja bila diperlukan. Satu stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah yaitu MAPALA Gorontalo. Kelompok stakeholder ini kurang memerlukan pelibatan intensif dalam pencapaian tujuan. 3. Permasalahan dan Langkah-langkah Kongkrit Parapihak untuk Tujuan Pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu secara Kolaboratif 3.1. Permasalahan inti Masalah yang terjadi dalam pengeloaan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaboratif adalah masyarakat (Desa Pangahu dan Saritani) sebagai pihak yang mempunyai kepentingan tinggi terhadap kawasan karena ketergantungan terhadap sumberdaya, belum mendapatkan apa yang semestinya diperoleh. Porsi pembagian peran dan hak akses terhadap sumberdaya, serta posisi tawar dengan stakeholder lain yang belum berimbang berimplikasi pada terjadinya konflik yang berulangulang dan berkepanjangan, sebagai salah satu resiko dari sekian banyak akibat yang ditimbulkannya. 3.2. Sebab-sebab Belum terpenuhinya kepentingan (manfaat langsung dan peran kolaborasi) masyarakat dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaboratif, sesuai analisis masalah terdapat beberapa faktor penyebab yang dapat dirinci sebagai berikut: a. Lemahnya posisi tawar masyarakat. Peran yang ”dimainkan” masyarakat lokal dalam proses kolaborasi berdasarkan faktor internal masih lemah. Kelemahan ini disebabkan dari berbagai faktor berikut: i) fungsi kelembagaan yang ada di masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan semestinya; ii) faktor pendidikan/pengetahuan dan keterampilan yang rendah berpengaruh nyata terhadap pola adopsi masyarakat yang tidak berimbang dengan stakeholder dari luar desa yang sebagian besar telah dibekali pengetahuan dan pendidikan yang cukup; iii) masyarakat tidak mampu mempengaruhi keputusan. b. Aturan main tidak jelas. Dalam pengelolaan kolaborasi ada aturan main yang disepakati bersama yakni mekanisme proses dalam berinteraksi antar stakeholders. Aturan main yang tidak jelas ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: i) pelanggaran rambu-rambu interaksi: stakeholder masyarakat belum mengetahui perilaku seperti apa yang diterima dan tidak direrima oleh stakeholder lain; ii) mekanisme negosiasi tidak berfungsi: belum ada cara yang disepakati bersama tentang bagaimana bernegosiasi untuk menyelaraskan tujuan dengan kepentingan sesama stakeholders. Padahal menurut Sardjono (2004), Hermawan dkk. (2005), Meyers (2005), Anonim (1995), Munggoro (1999), Tadjudin (2000), negosiasi dengan stakeholder luar desa harus mampu menghasilkan persetujuan (agreements) yang akan dilaksanakan secara kolaboratif dengan tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat dan dalam proses yang mana kekuatan (power) terbagi secara merata
72
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
antara masyarakat dan stakeholder lain; iii) pengambilan keputusan sepihak: dalam hal pengambilan keputusan biasanya stakeholder yang memiliki cukup pengetahuan saja yang diikutkan dalam proses. Setelah keputusan diambil baru kemudian diinformasikan kepada stakeholder lain. c. Hambatan hukum dan aturan. Disadari bersama bahwa dalam rangka penegakkan aturan pada kawasan konservasi sama halnya dengan mempertemukan dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan kelestarian sumberdaya ekosistem hutan yang relatif stabil dan kepentingan sosial ekonomi dan pembangunan yang sangat dinamis. Manakala penafsiran terhadap hukum menjadi pedoman utama untuk mengakomodir dua kepentingan tersebut, maka tak dapat dihindari bahwa kadangkala kepentingan sosial akan terabaikan. Dalam studi kasus yang terjadi di Suaka Margasatwa Nantu, hukum dan aturan kawasan konservasi dianggap sebagai penghambat keterlibatan masyarakat dalam memperoleh hakhaknya terhadap sumberdaya. Faktor-faktor penyebabnya adalah: i) pembatasan akses masyarakat: akses masyarakat terhadap manfaat langsung yang berasal dari sumberdaya hutan, seperti mengambil daun-daunan, ikan sungai dan produk hutan lainnya dibatasi oleh stakeholder lain untuk alasan penegakan hukum; ii) tata batas hutan tidak jelas: ketidakjelasan batas kawasan dengan lahan milik masyarakat menjadi faktor penghambat bagi ketaatan terhadap aturan yang sudah disepakati dengan stakeholder lain. d. Program pengelolaan belum mengakomodir semua kepentingan. i) program didominasi konservasi hutan: program pengelolaan selama ini terfokus pada pengamanan kawasan dengan cara berpatroli pada sisi kawasan yang rentan dimasuki dan program pengembangan penelitian. ii) pemberdayaan bersifat upaya perbaikan (betterment): program pengelolaan yang menyangkut pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu antara lain: pelatihan kelompok tani, pemberian sumbangan bibit, pemberian sumbangan peralatan sekolah, les bahasa Inggris bagi anak sekolah dasar. Program ini cukup berhasil kalau melihat ”respon” dari masyarakat. Tetapi dampak dari tujuan kegiatan bahwa masyarakat akan menjadi ”kuat” dan tidak tertarik lagi manfaat langsung dari hutan masih jauh dari harapan. Program seperti in, menurut Sardjono (2004) merupakan upaya pemberdayaan yang dimulai dari luar masyarakat dan selanjutnya masyarakat hanya dilibatkan dalam proses yang didesain dan dikontrol oleh stakeholder luar; iii) belum ada pembagian peran yang seimbang dalam perencanaan, implementasi dan monitoring evaluasi program pengelolaan. 4. Akibat-akibat Akibat yang terjadi dari pembatasan hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu dapat dilihat pada gambar berikut.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
Masalah Inti
73
Akibat-akibat
Perlawanan masyarakat
Terjadi konflik
Saling curiga antar stakeholder Perebutan sumberdaya
Kepentingan stakeholder masyarakat belum terpenuhi
Tanggung jawab rendah Rendahnya kepedulian masyarakat terhadap kawasan
Partisipasi rendah
Sikap tertutup Gambar 2. Skema Hubungan Masalah Inti Pengelolaan SM Nantu secara Kolaborasi dan akibat-akibatnya
5. Alternatif Upaya Dalam Rangka Menciptakan Kondisi Positif Tinjauan masalah dari perspektif stakeholder dan tujuan aksi kongkrit ke arah pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaborasi dapat dilaksanakan dengan alternatif upaya-upaya seperti terlihat pada Tabel 4. Dari kajian masalah inti yang berimplikasi pada sebab dan akibat yang ditimbulkannya serta merumuskan tujuan kolaborasi yang ingin dicapai dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu dengan metode mengubah kondisi tersebut menjadi upaya positif, menghasilkan beberapa aksi parapihak sebagai proses membangun kolaborasi. Namun disadari upaya-upaya tersebut di atas tidak bisa ditangani oleh satu atau dua pihak saja, olehnya diperlukan pembagian peran dan kontribusi stakeholder lain dalam rangka mewujudkan upaya-upaya yang telah dijabarkan sebelumnya.
74
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
Tabel 4. Alternatif Upaya Pengembangan Pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu Secara Kolaborasi Kondisi positif yang harus diciptakan Penguatan kelembagaan lokal.
Alternatif upaya i) pemberlakuan kembali norma-norma adat Gorontalo yang sudah punah, ii) pendampingan intensif dari stakeholder lain guna melatih penguatan kelembagaan. Meningkatkan pengetahuan dan Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat keterampilan masyarakat. dimaksudkan adalah upaya trade off transformasi knowledge dari masyarakat ke stakeholder lain dan sebaliknya. Kemampuan mempengaruhi Stakeholder lain seperti YANI dan BKSDA memberikan keputusan. kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat lokal untuk mengambil keputusan dalam kesepakatan sesuai keinginannya. Patuh pada rambu-rambu interaksi. Dalam aturan main kolaborasi para stakeholder sudah menyepakati tentang bagaimana berperilaku yang baik dan tidak baik untuk kepentingan tujuan. Mekanisme negosiasi berfungsi dengan Dengan kesepakatan bersama bahwa masyarakat diberi baik. kemudahan dalam bernegosiasi dengan pihak lain dan menghasilkan persetujuan untuk tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat. Pengambilan keputusan secara Stakeholder yang memiliki pengaruh kuat seperti mitra parapihak. pengelola dan pemerintah daerah dapat memberi kesempatan kepada pihak masyarakat untuk menentukan pilihannya sediri dalam pengambilan keputusan. Akses masyarakat sesuai aturan dan Menciptakan kesepakatan parapihak untuk memberi kesepakatan. kesempatan kepada masyarakat agar tetap dapat memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya. Memperjelas tata batas hutan. Pihak BKSDA dan stakeholder lain bersama masyarakat melakukan pengukuran dan pemancangan patok tata batas hutan khususnya yang berbatasan langsung dengan lahan milik masyarakat. Program pengelolaan tidak didominasi Porsi program pengelolaan berimbang antara konservasi konservasi. dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Pemberdayaan bersifat kolaboratif. i) mengorganisir kelompok masyarakat dengan dukungan tujuan kerja sama yang ditetapkan oleh masyarakat sendiri, ii) masyarakat bersama stakeholder lain melaksanakan tujuan dimaksud. Perencanaan, implementasi, monitoring Di setiap tahapan program mulai dari perencanaan sampai dan evaluasi program pengelolaan dengan monitoring dan evaluasi lebih banyak melibatkan dilakukan secara kolaborasi. masyarakat lokal. Pembentukan kelembagaan Dalam pengelolaan kelembagaan stakeholders, masyarakat stakeholder. diberi peran yang setara dengan pihak lain. Lembaga dimaksud adalah Badan Pengelola Suaka Margasatwa Nantu yang berkewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan kawasan sesuai yang diamanahkan oleh Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2004.
Bempah dkk. (2007). Prospek Pengelolaan Kawasan Hutan
75
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Nantu dapat dibedakan menjadi stakeholder kelompok dan individu. Keduanya dikelompokan menjadi stakeholder primer langsung, primer tidak langsung dan sekunder. Dari hasil analisis stakeholer terdapat sejumlah 19 pihak yang terlibat. Masing-masing terbagi berdasarkan klasifikasi yaitu: stakeholder primer langsung sejumlah 7 pihak, stakeholder primer tidak langsung sejumlah 6 pihak dan stakeholder sekunder terdapat sejumlah 6 pihak. Dari hasil pemetaan diperoleh sejumlah stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan pengaruhnya terhadap kawasan Suaka Margasatwa Nantu yakni: i) terdapat 3 stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya rendah; ii) terdapat 1 stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya sedang; iii) terdapat 11 stakeholder dengan tingkat kepentingan keterlibatan tinggi dan tingkat pengaruhnya tinggi; iv) terdapat 2 stakeholder dengan tingkat pengaruh tinggi dan tingkat kepentingan yang rendah; v) terdapat 1 stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah; vi) terdapat 1 stakeholder dengan tingkat kepentingan rendah dan pengaruh sedang. Masalah inti yang terjadi dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaboratif adalah masyarakat lokal sebagai stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi terhadap kawasan belum mendapatkan apa yang semestinya diperoleh, yaitu manfaat langsung dari sumberdaya yang bernilai ekonomi (baca: hak akses) dan pembagian peran yang setara dengan stakeholder lain dalam konteks pengelolaan kawasan secara kolaboratif. Upaya alternatif untuk menyelesaikan masalah inti tersebut adalah: penguatan kelembagaan masyarakat lokal, peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, peningkatan kemampuan untuk mempengaruhi keputusan, aturan main yang jelas ditandai dengan patuh terhadap rambu-rambu interaksi, menciptakan mekanisme negosiasi, pengambilan keputusan secara multipihak, akses masyarakat sesuai aturan dan kesepakatan, tata batas hutan jelas, program pengelolaan tidak didominasi oleh konservasi, pemberdayaan bersifat kolaboratif, perencanaan, implementasi dan monitoring evaluasi program pengelolaan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder dan pembentukan kelembagaan stakeholder. Pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu secara kolaborasi ditunjukan dengan aksi bersama yakni pembagian peran dan kontribusi antar stakeholder dalam mewujudkan upaya-upaya penyelesaian masalah inti. Saran Meningkatkan status kelembagaan Seksi KSDA Gorontalo menjadi Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Karena dengan meningkatnya status tersebut diharapkan akan meningkatkan pula kemampuan institusi ini, baik dari aspek sumberdaya manusia, maupun administrasi kelembagaan, sehingga di masa yang akan datang lembaga tersebut akan lebih optimal dalam menjalankan tugas
76
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (1), APRIL 2007
dan fungsinya, khususnya dalam pengelolaan hutan Cagar Alam yang masih tersisa di Gorontalo. Meningkatkan status kawasan Suaka Margasatwa Nantu untuk menjadi Taman Nasional, sehingga Taman Nasional dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal dalam hal pemanfaatan ruang pada zona pemanfaatan dan mendukung pengelolaan kolaboratif. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Guide Note on How to Do Stakeholder Analysis of AID Projects and Programmes. Social Development Department. 15 h. Hermawan, T.T.; A. Afianto; A. Susanti; E. Soraya; W. Wardhana dan S. Riyanto. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Suatu Rancangan Model. Pustaka Latin, Bogor. Meyers, J. 2005. Analisis Kekuatan Stakeholder. Dalam: Manajemen Kolaborasi, Memahami Pluralisme Membangun Konsensus (Supohardjo, ed.). Pustaka Latin, Bogor. 305 h. Munggoro, D.W. 1999. Manajemen Kemitraan: Meretas Kemelut Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dalam: Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat Melalui Strategi Kemitraan dalam Mengelola Sumberdaya Alam di Kabupaten Jember (Widodo, K. dan A. Aliadi, eds.), h 1748. Pustaka Latin, Jember. Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press, Yogyakarta. Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin, Bogor. 159 h.