PROSPEK MAKANAN TRADISIONAL ACEH SEBAGAI MAKANAN KESEHATAN: EKSPLORASI SENYAWA ANTIMIKROB DARI MINYAK PLIEK U DAN PLIEK U
NURLIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 xvi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Prospek Makanan Tradisional Aceh sebagai Makanan Kesehatan: Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek u dan Pliek u adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2009
Nurliana NRP B063040061
ABSTRACT NURLIANA. The Prospect of Aceh Traditional Foods as a Healthy Food: The Exploration of Antimicrobial Compounds from Pliek u oil and Pliek u. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO, LISDAR MANAF IDWAN SUDIRMAN and AGATHA WINNY SANJAYA Pliek u oil has been used as cooking oil and medicine for skin diseases, wound, fever, headache and abdominal pain. Pliek u has been consumed as spices and ingredient of hot sauce (sambal), and also used for poultry feed. This research was undertaken to detect the antimicrobial activity of Aceh traditional fermented coconut (pliek u oil and extracts of pliek u). The research was supposed to support the function of this food, especially pliek u, as a new source of antimicrobial compounds and a healthy food. Antimicrobial activity of pliek u oil and extracts of pliek u were evaluated against Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens and Candida albicans. Among antimicrobial extracts tested, crude ethanol extract (EEP) obtained from pliek u extracted by ethanol was the most active against all microbial strains. The ethanol extract (EERP) obtained from pliek u previously extracted by hexane was only active against bacterial strains and crude hexane extract (EHP) was only active against C. albicans. EEP showed antimicrobial activity at a minimal inhibitory concentration (MIC) and a minimal microbicidal concentration (MMC) at 2.5-10 mg/ml and 10-80 mg/ml, respectively. The LC50 value of EEP concentration was 3.36 mg/ml by Artemia salina L bioassay. The antimicrobial activity of EEP was stable at 100ºC, 121ºC for 15-60 minutes, 28ºC (room temperature) and 10ºC (refrigerator temperature) for 1-6 months and at pH of 3-11. EEP at 3.36 mg/ml (LC50) reduced significantly the number of S. aureus and E. coli in 2-12 hours compared to the control. The effect of EEP was detected on the number of microbe of faeces, liver and kidney structure of mice. Single dose of EEP each 370 and 733 mg/kg body weight were administered orally to the mice. On the fourth day, their body, liver and kidney weight were measured. Liver and kidney organ were made into preparate into HE staining. The result showed that there was no effect of crude EEP treatments on the number of microbe of faeces and no change on the weight of liver and kidney per body weight. Histopathological observation on the mice liver and kidney revealed minor and middle damage at single dose of EEP treatments. The damage of liver and kidney were not significantly differ (P>0.05) compared to control. EEP and EERP separated into four and three bioautographic with different Rfs 0.93, 0.71, 0.19 and 0.10 and 0.77, 0.63 and 0.4 respectively, which were all shown to be active against S. aureus. Identification of components of EEP and EERP were detected by GC-MS represented 22 (99.89%) and 9 components (99.80%), respectively. The main constituents of EEP were carboxylic acid (43.64%), esters (30.99%), aliphatic hydrocarbon (22.45%) and alcohol (2.81%), while the main constituents of EERP were alcohol (45.13%), esters (14.89%), carboxylic acid (4.25%) and other components (35.53%). The research concluded that EEP showed strong antimicrobial activity, stable and not toxic extract at concentration 370-733 mg/kg body weight of mice. Keywords: Aceh traditional food, coconut, pliek u, antimicrobial activity, active compounds
ii
RINGKASAN NURLIANA. Prospek Makanan Tradisional Aceh sebagai Makanan Kesehatan: Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek u dan Pliek u. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, LISDAR MANAF IDWAN SUDIRMAN dan AGATHA WINNY SANJAYA. Peran dan multifungsi berbagai bahan alami sebagai antimikrob biasanya langsung dimanfaatkan dalam bentuk bahan dasar atau hasil ekstraknya (herbal, rempah-rempah, jamu dan minyak). Salah satu tumbuh-tumbuhan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu adalah kelapa (Cocos nucifera L), terutama dengan memanfaatkan daging buah dan minyak kelapa. Begitu juga dengan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara turun-menurun telah menggunakan daging buah dan minyak kelapa yang diperoleh dari hasil fermentasi secara tradisional. Minyak kelapa tersebut dikenal dengan nama minyak pliek u (minyeuk simplah dan minyeuk brok), sedangkan ampas yang diperoleh setelah diambil minyaknya disebut pliek u. Minyak pliek u digunakan sebagai minyak goreng dan obat untuk sakit kulit, luka, demam, sakit kepala dan sakit perut, sedangkan pliek u dikomsumsi sebagai bumbu masak dan sambal, juga digunakan sebagai pakan ayam. Proses fermentasi erat kaitannya dengan mikrob yang dapat mengubah bahan asal menjadi produk yang lebih baik dan juga diketahui menghasilkan senyawa antimikrob di dalam produk tersebut. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeteksi dan melakukan karakterisasi aktivitas antimikrob dari minyak pliek u dan ekstrak dari pliek u. Diharapkan minyak pliek u dan pliek u yang dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa secara tradisional dari daerah Aceh (makanan khas tradisional Aceh) dapat dijadikan sebagai sumber penghasil senyawa antimikrob yang mampu menghambat pertumbuhan mikrob patogen sekaligus dapat mendukung makanan tersebut sebagai makanan sehat. Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u di Desa Reudep Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Pliek u diekstrak menggunakan pelarut heksan dan etanol 96%. Ekstrak kasar etanol (EEP) diperoleh setelah diekstrak dengan etanol, sedangkan ekstrak etanol residu pliek u (EERP) diperoleh dengan mengekstrak pliek u terlebih dahulu dengan heksan untuk mendapatkan ekstrak kasar heksan (EHP), kemudian residunya diekstrak dengan etanol. Aktivitas antimikrob minyak pliek u (minyeuk simplah dan minyeuk brok) serta ekstrak dari pliek u dideteksi terhadap Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens dan Candida albicans menggunakan metode cakram kertas. Hasil yang diproleh dari deteksi aktivitas antimikrob ekstrak dari pliek u menunjukkan bahwa EEP mampu menghambat semua mikrob (bakteri dan C. albicans), EHP hanya mampu menghambat C. albicans, sedangkan EERP hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian pada tahap selanjutnya hanya dilakukan terhadap ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap EEP. Penetapan konsentrasi EEP berdasarkan minimal inhibitory concentration (MIC) dan minimal microbicidal concentration (MMC) pada konsentrasi 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80 mg/ml terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans menggunakan media iii
cair. Uji ini menghasilkan MIC dan MMC masing-masing pada kisaran 2.5-10 mg/ml dan 10-80 mg/ml pada bakteri dan C. albicans. Konsentrasi yang mampu membunuh 50% Artemia salina L dilakukan untuk mengetahui toksisitas awal EEP, yang menghasilkan nilai LC50 dengan konsentrasi 3.36 mg/ml. Pengaruh suhu dan lama pemanasan, suhu dan lama penyimpanan serta pH menunjukkan bahwa EEP masih aktif terhadap bakteri dan C. albicans pada pemanasan 100ºC, 121ºC selama 15-60 menit, masih stabil pada penyimpanan 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 enam bulan dan tidak stabil pada suhu freezer serta tetap aktif pada pH 3-11. Penambahan EEP pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) yang digunakan untuk menguji kemampuan EEP dalam susu ternyata dapat menurunkan S. aureus dan E. coli masing-masing 2.80 log cfu/ml dan 2.52 log cfu/ml selama dua jam serta 10.03 log cfu/ml dan 10.41 log cfu/ml selama 12 jam dibandingkan dengan kontrol. Pemberian EEP secara oral (pemberian akut) pada dosis tiga kali konsentrasi LC50 atau setara dengan 370 mg/kg bb dan enam kali konsentrasi LC50 atau setara dengan 733 mg/kg bb, tidak berpengaruh terhadap mikrob feses dan juga tidak berpengaruh pada berat hati dan ginjal per berat badan mencit (P>0.05). Secara histopatologi menunjukkan bahwa hati dan ginjal mencit hanya mengalami kerusakan ringan hingga sedang, namun tidak ada perbedaan kerusakan yang nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan parameter jumlah mikrob feses dan tingkat kerusakan hati dan ginjal menunjukkan bahwa ekstrak kasar EEP tidak toksik bila diberikan dosis akut sebagai antimikrob pada dosis 370 dan 733 mg/kg berat badan mencit. Deteksi aktivitas senyawa aktif EEP dan EERP terhadap S. aureus menggunakan metode bioautografi memperlihatkan empat bercak zona hambatan dari EEP dan tiga bercak zona hambatan dari EERP. Bercak zona hambatan pada bioautogram memberikan nilai Rf yang berbeda, yaitu masing-masing pada EEP (0.93, 0.71, 0.19, dan 0.10) dan EERP (0.77, 0.63 dan 0.40). Identifikasi komposisi kimia EEP dan EERP menggunakan GC-MS teridentifikasi masing-masing 22 dan 9 komponen dengan jumlah 99.89 dan 99.80%. Komponen EEP dan EERP didominasi oleh asam lemak dan derivatnya mencapai lebih dari 50%. Komponen dalam ekstrak kasar EEP terdiri dari golongan asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%), sedangkan EERP didominasi dari golongan alkohol (45.13%), ester (14.89%), asam karboksilat (4.25%) dan komponen lain (35.53%). Jumlah komponen yang berbeda antara EEP dengan EERP menunjukkan bahwa EEP merupakan antimikrob berspektrum luas. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) memiliki aktivitas antimikrob yang sangat baik, stabil dan bukan senyawa antimikrob toksik bila diberikan per oral (dosis akut) pada konsentrasi 370-733 mg/kg bb mencit. Oleh sebab itu pliek u bisa dijadikan sebagai sumber antimikrob. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk isolasi dan identifikasi senyawa aktif dari EEP, isolasi dan identifikasi mikrob yang berperan pada proses pembuatan pliek u, pengujian efek terapi EEP serta peluangnya sebagai pengawet makanan. Kata kunci: makanan tradisional Aceh, kelapa, pliek u, aktivitas antimikrob, senyawa aktif
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
v
PROSPEK MAKANAN TRADISIONAL ACEH SEBAGAI MAKANAN KESEHATAN: EKSPLORASI SENYAWA ANTIMIKROB DARI MINYAK PLIEK U DAN PLIEK U
NURLIANA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 vi
Judul Disertasi Nama NRP
: Prospek Makanan Tradisional Aceh sebagai Makanan Kesehatan: Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek u dan Pliek u : Nurliana : B063040061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto Ketua
Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman Anggota
Dr. drh. Agatha W. Sanjaya, MS. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 12 Maret 2009
Tanggal Lulus :
vii
IKHLAS HINGGA SEKARANG HANYA KESEDIHAN YANG TERUS MENGIKUTIKU AKIBAT GEMPA DAN TSUNAMI ALLAH TLAH MENGAMBIL ANAKKU IKHLAS AKU TAK PERNAH MENYANGKA ALLAH SWT MEMBERI COBAAN BEGITU BERAT KEPADAKU AIR MATAKU TERUS MENGALIR BILA INGAT KATA KENANGAN DARI ANAKKU IKHLAS MELALUI PESAN SMS YANG DIKIRIMNYA UNTUKKU MALAM SEBELUM KEJADIAN ITU YANG MENDORONGKU UNTUK SELALU KUAT ”IBU CEPAT SEKOLAHNYA BIAR IBU CEPAT PULANG IKHLAS RINDU SAMA IBU” SERTA KALIMAT SEMANGAT YANG SELALU KUDENGAR DARI SUAMIKU DAN ANAKKU YAFIQ ”IBU GAK USAH MIKIRIN YANG LAIN, YANG PENTING IBU BELAJAR DAN CEPAT PULANG” TERIMAKASIH UNTUK ANAK-ANAKKU DAN SUAMIKU ATAS CINTA DAN PENGORBANAN KALIAN UNTUKKU TIDAK PERNAH KULUPAKAN KEIKHLASAN KALIAN TERIMAKASIH SAYANG......TERIMAKASIH SAYANG..... ATAS KEIKHLASANNYA
Kupersembahkan karyaku ini untuk Kedua orangtuaku, Suamiku, Anak-anakku
viii
PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al-Qur’an yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada pembawa risalah kebenaran al-Islam, Rasul Muhammad SAW, juga kepada keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah atas rahmat dan karunia Allah, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Prospek makanan tradisional Aceh sebagai makanan kesehatan: Eksplorasi senyawa antimikrob dari minyak pliek u dan pliek u. Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman dan Dr. drh. A. Winny Sanjaya MS, atas bimbingan, saran dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyempurnaan penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala atas izin dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor serta terimakasih kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS dan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atas beasiswa NAD selama mengikuti pendidikan S3 di IPB. Terimakasih yang sebesar-besarnya khusus penulis sampaikan kepada Prof Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto dan staf pengajar lainnya di laboratorium Kesmavet IPB Bogor serta semua pihak yang sangat membantu penulis saat mengalami musibah akibat gempa dan tsunami di Banda Aceh. Penghargaan yang setulusnya kepada orang tua ayahanda M.Yusuf Anzib (Alm) dan ibunda Hj. Ayu Ningsih Islamiati atas kasih sayang dan doa restunya, serta kepada yang tercinta suami T. Trisna Viska SE, ananda T. Ikhlasul Amal (Alm) dan Cut Yafiq Aliifah atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan dorongannya telah mengantar penulis hingga bisa menyelesaikan studi S3. Teristimewa terimakasih ku kepada wo Samsiah yang sudah banyak berkorban demi menjaga dan melindungi keluargaku. Terimakasih kepada kakakku dr Quranayati dan adikku Fatahillah ST beserta keluarga atas doanya, juga kepada bang Dedi dan bang Yose beserta keluarga. Teman setiaku Ir. Sitti Wajizah MSi., Dr. drh. Widagdo S Nugroho, MSi. serta Dr. drh. Maya Purwanti yang dengan setia menemaniku di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terimakasih yang dapat penulis sampaikan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Terimakasih kepada pak Iwa yang banyak membantu selama penelitian berlangsung, juga kepada mbak Endang di lt 3 PPSHB IPB Bogor serta kepada pak Teddi dan Hendra di Laboratorium Kesmavet FKH IPB, kawan-kawan di FORKUB dan IKAMAPA Universitas Syiah Kuala di Bogor serta kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Semoga Allah memberi rahmat bagi kita semua. Amiin Bogor, Maret 2009
Nurliana
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 10 Mei 1969 sebagai puteri kedua (tiga bersaudara) dari pasangan M. Yusuf Anzib (Alm) dan Ayu Ningsih Islamiati. Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK, lulus pada tahun 1993 dan gelar Dokter Hewan diperoleh pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang program Doktor pada Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004 yang dibiayai oleh beasiswa BPPS, Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 1995. Bidang yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah kesehatan masyarakat veteriner.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 1.4 Hipotesis ........................................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah dan Minyak Kelapa serta Komposisi ................................................... 2.2 Minyak Pliek u dan Pliek u ........................................................................... 2.3 Aktivitas dan Efektivitas Daging Buah dan Minyak Kelapa sebagai Antimikrob .................................................................................................... 2.4 Mekanisme Kerja Asam Lemak dan Minyak sebagai Antimikrob ...............
1 2 3 3 4 5 6 8
III. DETEKSI AWAL AKTIVITAS ANTIMIKROB MINYAK PLIEK U DAN EKSTRAK PLIEK U Abstract .............................................................................................................. Pendahuluan ....................................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................................... Simpulan ............................................................................................................
12 12 14 16 24
IV. PENENTUAN KONSENTRASI DAN NILAI LC50 EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U, MAKANAN FERMENTASI TRADISIONAL ACEH Abstract ............................................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................................... Simpulan ............................................................................................................
25 25 26 29 33
V. STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U (EEP) TERHADAP PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA AKTIVITASNYA DI DALAM SUSU Abstract ............................................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................. Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... Simpulan ............................................................................................................
34 34 35 38 44
VI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U TERHADAP JUMLAH MIKROB FESES, HATI DAN GINJAL MENCIT Abstract ............................................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................ Hasil dan Pembahasan ......................................................................................
45 45 46 50 xi
Simpulan ......................................................................................................... 57 VII. DETEKSI DAN KARAKTERISASI AWAL SENYAWA ANTIMIKROB DARI EKSTRAK ETANOL PLIEK U, MAKANAN TRADISIONAL ACEH Abstract ............................................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................ Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... Simpulan ...........................................................................................................
58 58 60 63 69
VIII. PEMBAHASAN UMUM ................................................................................ 70 IX.
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 77
X.
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79
LAMPIRAN ............................................................................................................. 91
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi minyak pliek u dan pliek u berdasarkan analisis proksimat ……….….. 19 2 Sifat fisik minyak pliek u dan ekstrak pliek u .........................................................
20
3 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri Gram positif dan Candida albicans .......................................................................
21
4 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri Gram negatif ...........................................................................................................
22
5 MIC dan MMC ekstrak kasar etanol (EEP) terhadap bakteri dan fungi .................
30
6 Pengaruh suhu dan lama pemanasan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans ..........................................................................
38
7 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans .........................................................................
39
8 Pengaruh pH terhadap aktivitas ekstrak etanol pliek u (EEP) ...............................
40
9 Pengaruh penambahan ekstrak etanol dari pliek u (EEP) terhadap pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam susu pada suhu penyimpanan 39ºC ..........................
41
10 Parameter dan tingkat kerusakan hati ....................................................................
49
11 Parameter dan tingkat kerusakan ginjal .................................................................
49
12 Jumlah mikrob feses mencit setelah diberi EEP .....................................................
50
13 Persentase berat hati dan ginjal per berat badan mencit setelah diberi ekstrak EEP .............................................................................................................
52
14 Tingkat kerusakan hati mencit …………...............……........................................
53
15 Tingkat kerusakan ginjal mencit …...............…….................…...……...…….….
55
16 Komposisi kimia EEP dan EERP berdasarkan GC-MS ......................................…
66
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perbedaan permukaan sel bakteri Gram positif dan Gram negatif ………...…...
10
2 Mekanisme kerja antimikrob pada bakteri ...........................................................
11
3 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u .........................................
17
4 Minyak pliek u dan pliek u …………………………...........................................
19
5 Ekstrak pliek u ……….…………………………................................................
20
6 Zona hambatan yang terbentuk dari aktivitas EEP terhadap bakteri dan fungi
23
7 Pengaruh berbagai konsentrasi EEP terhadap (a) B. cereus, (b) S. aureus, (c) S. Enteritidis (d) E. coli, (e) P. aeruginosa, (f) C. albicans ............................
29
8 Larva udang-udangan (Artemia salina L) yang digunakan pada uji toksisitas ekstrak kasar etanol dari Pliek u (EEP) ..............................................................
32
9 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol pliek u (EEP) terhadap larva Artemia salina L .........................................................................................
33
10 Aktivitas EEP terhadap S. aureus dalam susu .......................................................
42
11 Aktivitas EEP terhadap E. coli dalam susu …......................................................
42
12 Histologi jaringan hati mencit .............................................................................
54
13 Histologi jaringan ginjal mencit ..........................................................................
56
14 Kromatogram dan bioautogram ekstrak etanol (EEP dan EERP) .......................
64
15 Kromatogram komponen dalam ekstrak kasar EEP ...........................................
67
16 Kromatogram komponen dalam esktrak EERP ..................................................
67
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tahapan umum pelaksanaan penelitian ................................................................
91
2 Metode analisis proksimat kandungan gizi (AOAC 1980) ..................................
92
3 Tahapan ekstraksi pliek u (ekstraksi pertama) .....................................................
94
4 Tahap ekstraksi pliek u (ekstraksi kedua) ..........................................................
95
5 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u ..........................................
96
6 Hasil pengujian minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap beberapa mikrob menggunakan metode difusi cakram kertas .......................................................
97
7 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap jumlah beberapa mikrob serta nilai MIC dan MMC ...........................
99
8 Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikrob EEP ..........
101
9 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP .......
102
10 Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikrob EEP ...............................................
105
11 Jumlah mikrob feses mencit (log cfu/g) setelah diberikan EEP per oral ............
106
12 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hati dan ginjal mencit ..........
107
13 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati mencit ...............................................
108
14 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal mencit ............................................
109
15 Hasil identifikasi komponen di dalam ekstrak etanol (EEP dan EERP) .............
110
xv
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan dan pemberdayaan alam asal tumbuh-tumbuhan telah banyak dimanfaatkan dengan mengeksplorasi bahan aktif yang terdapat didalamnya hingga menjadi komoditas potensial, terutama sebagai bahan terapi berbagai penyakit dan juga sebagai bahan pengawet makanan. Perhatian masyarakat terhadap bahan terapi alami terus meningkat karena terbatasnya kemampuan antimikrob dan pemakaian antimikrob yang tidak terkendali serta adanya resistensi mikrob terhadap antimikrob tertentu (Pappas 2006; Barber et al. 2003; Pfaller et al. 1998; Reimer et al. 1997). Hal tersebut menyebabkan penelitian terhadap kandungan senyawa antimikrob dan antioksidan yang bersumber bahan-bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan, bumbu dan bahan makanan terus meningkat (Valero dan Salmeron 2003). Peran dan multifungsi berbagai bahan alami sebagai antimikrob biasanya dimanfaatkan dalam bentuk bahan dasar seperti herbal dan rempah-rempah serta hasil ekstraknya seperti jamu dan minyak. Salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak ratusan tahun adalah kelapa (Cocos nucifera L), terutama daging buah dan minyak kelapa. Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara turun menurun telah menggunakan minyak kelapa yang dihasilkan dari proses fermentasi secara tradisional sebagai minyak goreng dan obat, sedangkan ampasnya dijadikan sebagai bumbu masak dan pakan ayam. Proses fermentasi makanan erat kaitannya dengan mikroorganisme atau enzim, yang menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal, dan juga menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat antimikrob (Djien 1982; Battcock dan Azam-Ali 1998; Chisti 2000; Hoover 2000). Minyak kelapa hasil fermentasi (minyak pliek u) meluas digunakan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai obat untuk menurunkan panas, sakit persendian, luka, sakit kepala dan sakit perut, serta manfaat lain yang belum dapat dijelaskan, yang digunakan baik secara topikal maupun per oral. Minyak kelapa asal Aceh tersebut dikenal dengan nama minyeuk pliek u (minyeuk simplah dan minyeuk brôk), sedangkan ampas yang diperoleh setelah diambil minyaknya disebut pliek u (Bakar et al. 1985), yang digunakan sebagai bumbu masak, sambal dan pakan ayam.
2
Daging buah dan minyak kelapa merupakan makanan fungsional yang mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai bahan terapi. Menurut Kabara (2000) dan Shilhavy (2004), minyak kelapa mengandung asam laurat yang tinggi (40-60%) yang menyebabkan minyak kelapa mempunyai aktivitas antibakteri, antivirus, antijamur, antiprotozoa. Selain itu minyak kelapa juga dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh. Oleh sebab itu pemanfaatan minyak kelapa terus meningkat hingga saat ini, terutama sebagai bahan alternatif pengobatan pada manusia. Aktivitas bahan alami sebagai antimikrob yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti herbal, bumbu dan minyak dapat dilakukan dengan mendeteksi aktivitas antimikrob berdasarkan kemampuannya menghambat berbagai mikrob. Diawali dengan screening aktivitas antimikrob dari bahan yang diduga mengandung senyawa antimikrob. Pengujian dilanjutkan terhadap sifat-sifat antimikrob, pengujian kemanjuran dan kapasitasnya secara in vitro dan in vivo serta mekanisme kerja dan analisis struktur senyawa antimikrob (Cowan 1999; Naidu 2000). Sampai saat ini belum ada informasi yang jelas tentang minyak pliek u dan pliek u serta aktivitas dan kapasitasnya. Diduga selama proses fermentasi daging buah kelapa mengalami berbagai perubahan, sehingga dihasilkan berbagai metabolit yang dapat ditemukan dalam minyak pliek u dan pliek u.
Berdasarkan penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari pliek u mempunyai aktivitas lebih baik terhadap Bacillus subtilis dan Escherichia coli dibandingkan aktivitas antimikrob yang diperlihatkan oleh minyak pliek u (Nurliana et al. 2008). Diduga selama proses pengolahan terjadi
berbagai perubahan
sehingga
menghasilkan berbagai metabolit yang dapat ditemukan dalam produk yang dihasilkan, yang mungkin mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri dan jamur. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangan terhadap potensi minyak pliek u dan pliek u melalui penelusuran aktivitas antimikrobnya secara in vitro dan in vivo, sehingga dapat mendukung makanan tradisional Aceh sebagai makanan yang sehat. 1.2. Tujuan Penelitian 1. Mendekteksi aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri dan jamur. 2. Melakukan karakterisasi antimikrob yang mempunyai aktivitas terbaik yang meliputi penetapan konsentrasi, stabilitasnya terhadap penyimpanan, suhu, pH dan
3
toksisitas secara in vivo terhadap jumlah mikrob feses, perubahan hati dan ginjal mencit. 3. Melakukan identifikasi komponen yang terdapat di dalam antimikrob yang aktif. 4. Mendapatkan antimikrob terbaik dari minyak pliek u dan ekstrak pliek u yang mampu menghambat bakteri dan jamur. 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai makanan fermentasi tradisional Aceh (minyak pliek u dan pliek u), sehingga mendukung penggunaannya sebagai makanan tradisional yang sehat. Selanjutnya antimikrob yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada bidang kesehatan masyarakat dan keamanan pangan asal hewan. 1.4. Hipotesis 1. Minyak pliek u dan ekstrak pliek u mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri dan jamur serta aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh pemanasan, penyimpanan dan pH. 2. Antimikrob yang aktif terhadap bakteri dan jamur tidak toksik dan tidak mempengaruhi organ hati, ginjal dan mikrob feses mencit.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah dan Minyak Kelapa serta Komposisi Hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu sekitar 3.7 juta hektar dan sebagian besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan area yang banyak ditanami pohon kelapa. Indonesia merupakan negara penghasil buah kelapa terbanyak di dunia, yang 50% dari hasil buahnya dimanfaatkan menjadi minyak kelapa (Punchihewa dan Arancon 2004). Sebagian besar daging buah kelapa lebih banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan minyak kelapa dibandingkan untuk lainnya. Kelapa yang sudah matang memiliki berat antara 3-4 kg, terdiri dari sabut 35%, tempurung 12%, daging kelapa 22% dan air kelapa 25% (Grimwood 1975, diacu dalam Guarte et al. 1996). Selanjutnya berdasarkan rata-rata, daging buah kelapa segar terdiri dari air 50%, lemak 34%, karbohidrat 7.3%, protein 3.5%, serat 3.0% dan abu 2.2% (Banzon dan Velasco 1982, diacu dalam Guarte et al. 1996). Menurut Enig (2000), kelapa merupakan makanan fungsional yang sangat berperan dalam kehidupan manusia karena mengandung komponen yang secara fisiologis sangat bermanfaat. Komponen fungsional penting tersebut terletak pada lemak kelapa yang terdapat pada daging buah dan minyak kelapa. Minyak kelapa diklasifikasikan dalam minyak tumbuhan kelompok asam laurat, berbeda dengan minyak tumbuhan lainnya dan menempati pangsa pasar dunia karena komposisinya dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk aplikasi oleokimia dalam berbagai industri (industri makanan dan non-makanan).
Menurut Libanan (2000), banyak
aplikasi non-makanan yang menggunakan minyak kelapa, yang berdasarkan lima unsur oleokimia dasar, yaitu asam lemak, metil ester, lemak alkohol, lemak amin dan gliserin. Komposisi utama minyak dan daging buah kelapa terdiri dari asam lemak jenuh rantai pendek dan rantai sedang, yaitu masing-masing terdiri dari panjang rantai karbon C14, C12, C10, C8 dan C6, yang tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatan (Libanan 2000). Menurut Wang et al. (1993); Guarte et al. (1996), komponen utama minyak kelapa adalah asam lemak jenuh (90-92%), yang didominasi oleh asam laurat (45-48%), dan asam lemak rantai pendek dan sedang (30-36%), diantaranya asam kaprilat (8%), asam kaprat (7%), dan asam kaproat (0.5%) dan sisanya dalam jumlah yang sangat sedikit adalah asam lemak tidak jenuh (asam oleat, linoleat dan linolenat) antara 3.7-8.3%. Oleh karena kadar asam lemak tak jenuhnya rendah maka minyak
5
kelapa tahan terhadap proses oksidatif (ketengikan), sehingga makanan yang mengandung minyak kelapa lebih tahan lama (Hui 1996). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka selain sebagai minyak goreng, penggunaannya sangat meluas pada produk permen, kue, dan juga sebagai bahan pembuatan margarin, sabun, deterjen, minyak pelumas serta kosmetik. Selanjutnya gliserida rantai sedang dan pendek digunakan dalam bidang kedokteran. Ampas kelapa kering sudah banyak dimanfaatkan sebagai pakan sapi, babi dan ayam karena masih mengandung protein, karbohidrat dan lemak yang seimbang. Disamping itu juga sangat baik sebagai pakan sapi laktasi, yang bisa menghasilkan butter dengan kualitas yang baik. Sapi-sapi tetap berproduksi dengan baik dan menghasilkan kualitas susu dan aroma yang baik, namun biaya untuk memproduksi pakan jenis ini sangat besar (Guarte et al. 1996). 2.2. Minyak Pliek u dan Pliek u Minyak pliek u dan pliek u merupakan salah satu makanan khas tradisional Aceh, yang dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa.
Fermentasi
merupakan salah satu bentuk teknologi pengawetan makanan tertua di dunia, yang bertahun-tahun sudah dilakukan dan dikonsumsi khususnya oleh masyarakat pedalaman atau pedesaan berdasarkan adat dan tradisi mereka (Battcock dan AzamAli 1998, Prajapati dan Nair 2003). Tujuan fermentasi adalah untuk mengawetkan makanan yang mudah rusak sehingga makanan yang dihasilkan mempunyai masa simpan yang lebih lama dan dapat mempengaruhi kualitas nutrisi bahan makanan tersebut. Proses fermentasi adalah proses dekomposisi lambat dari substansi organik yang disebabkan oleh mikroorganisme atau enzim dari bahan asal tumbuh-tumbuhan dan hewan (Walker 1988, diacu dalam Battcock dan Azam-Ali 1998). Makanan fermentasi sangat baik bagi tubuh karena selain mengandung bahan yang mudah dicerna juga mengandung mikroorganisme, enzim dan/atau komponen aktif yang dihasilkan selama berlangsungnya proses fermentasi. Makanan fermentasi yang mengandung mikroorganisme yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh merupakan makanan fungsional, yang juga dikenal dengan nama lain yaitu probiotik (Farnworth 2003). Pengetahuan tentang teknologi fermentasi tradisional biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya selama berabad-abad. Produk fermentasi yang dihasilkan secara tradisional biasanya jarang mengalami penyimpangan atau rusak.
6
Sama halnya dengan minyak pliek u dan pliek u, produk fermentasi ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari menu sehari-hari masyarakat Aceh, terutama pliek u digunakan sebagai bumbu masak. Secara turun menurun sejak berpuluh tahun bahkan ratusan tahun yang lalu masyarakat NAD sudah memanfaatkan minyak pliek u atau minyeuk brôk untuk menggoreng dan sebagai obat. Selain itu pliek u yang dihasilkan juga dimanfaatkan sebagai bumbu untuk memasak sayur (gulé pi’u), sambal dan bumbu rujak. Gulé pi’u merupakan makanan khas Aceh yang terdiri dari campuran bumbu pliek u, sayur nangka muda, pisang muda, ikan kering (keumamah) dan teri (karéng) (Hurgronje 1985). Minyak pliek u
memiliki nama-nama khusus sesuai dengan
proses
pengolahannya. Berdasarkan kamus Aceh-Indonesia (Bakar et al. 1985), minyak pliek u adalah minyeuk brôk, namun berdasarkan informasi dari wawancara yang penulis lakukan di tempat produksi minyak pliek u dan pliek u menyebutkan bahwa daging buah kelapa yang diperam (difermentasi) selama beberapa hari sehingga menghasilkan minyak pliek u, diberi nama berdasarkan tahap proses fermentasi dan penjemuran menggunakan sinar matahari, yaitu minyak pliek u yang tidak dijemur disebut minyeuk simplah/minyeuk reték/minyeuk lepi, sedangkan yang dijemur disebut minyeuk brôk. Pliek u adalah ampas yang diperoleh dari daging buah kelapa yang telah diperam dan diparut (dikukur) dan setelah diperoleh minyak pliek u. Pliek u memiliki namanama yang lain seperti pi, piek atau piu (Bakar et al. 1985), nama-nama tersebut juga tercantum dalam kamus Aceh-Belanda yaitu pi, pië’, plië’ dan pi oe (Djajadiningrat dan Drewes 1934). 2.3. Aktivitas dan Efektivitas Daging Buah dan Minyak Kelapa sebagai Antimikrob Kandungan asam lemak jenuh (terutama rantai karbon pendek dan sedang) dalam minyak kelapa ternyata memiliki aktivitas utama sebagai obat. Penelitian terhadap minyak kelapa sudah dilakukan sejak tahun 1966, terutama terhadap aktivitas asam laurat sebagai agen antimikrob (Kabara 1978; Enig 1998). Komponen terbesar asam lemak jenuh pada daging buah dan minyak kelapa adalah asam laurat (48-50%), yang sangat berperan dalam makanan berkaitan dengan fungsinya sebagai antibakteri, antijamur, antivirus dan antiprotozoa (Enig 2000) serta tidak toksik terhadap mukosa saluran pencernaan (Kabara 2000). Selain itu mengkonsumsi daging buah dan air
7
kelapa secara alami dapat menormalkan lemak tubuh, mencegah kerusakan hati akibat alkohol, dan dapat meningkatkan sistem imun terhadap respon anti-inflammasi. Kabara (1978), melaporkan bahwa asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon sedang dan derivatnya (monogliserida) mempunyai aktivitas antimikrob terhadap beberapa mikrob, yaitu terhadap bakteri, jamur dan virus penyebab infeksi pada mukosa dan kulit. Asam laurat adalah asam lemak jenuh rantai sedang (C12) yang fungsinya sangat penting karena dapat diubah menjadi monolaurat dalam tubuh manusia dan hewan. Monolaurat bersifat antibakteri, antivirus dan antiprotozoa. Monolaurat adalah monogliserida, paling aktif dibandingkan dengan asam laurat itu sendiri, yang digunakan untuk menghancurkan mikrob patogen. Menurut Wang et al. (1993), kandungan asam lemak jenuh rantai pendek dan rantai sedang yang sangat tinggi di dalam minyak kelapa menyebabkan substrat ini penting untuk sintesis monogliserida sebagai antimikrob. Monogliserida yang diisolasi dari minyak kelapa yang sudah dipatenkan dengan nama monolaurin mempunyai aktivitas antibakteri dan antivirus dan tidak menimbulkan resistensi, namun monogliserida dalam bentuk sintetis tidak memperlihatkan aktivitas antimikrob (Kabara 2000).
Monolaurat (MC12) atau
monolaurin diketahui mempunyai aktivitas antimikrob yang baik terhadap bakteri Gram positif, kapang dan khamir serta sebagian bakteri Gram negatif (Kabara 1993; Wang dan Johnson 1992; Rohani-Razavi dan Griffith 1994).
Pendapat tersebut
didukung oleh Isaacs dan Thormar (1991), yang menyatakan bahwa monolaurat ternyata tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif seperti E. coli yang diisolasi dari saluran pencernaan dan Salmonellae Enteritidis. Monolaurat
juga
aktif
terhadap
beberapa
patogen
seperti
Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae grup A, F dan G, dan juga sebagai antiprotozoa seperti Giardia lamblia. Beberapa hasil penelitian menyatakan
bahwa
asam
laurat
mempunyai
aktivitas
antibakteri
terhadap
Carnobacterium piscicola, Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus sake (Quattara et al. 1997). Pengujian aktivitas antimikrob dari monogliserida juga sedang dilakukan terhadap Helicobacter pylori (Kabara 2000). Monolaurin juga digunakan untuk mengobati HIV/AIDS (Dayrit
2000).
Penelitian yang dilakukan terhadap tujuh pasien HIV/AIDS yang diterapi dengan monolaurin asal minyak kelapa pada dosis 2.4 g memberikan hasil yang sangat baik. Pasien HIV/AIDS yang diterapi selama 3 bulan menunjukkan penurunan jumlah virus
8
pada 5 pasien, namun satu pasien meninggal setelah terapi 2 minggu. Dari lima pasien tersebut yang pengobatannya diteruskan selama 6 bulan ternyata 2 pasien sembuh total. Monolaurin juga efektif terhadap virus lain seperti cytomegalovirus (CMV), measles, herpes simplex (HSV-1), virus penyebab vesicular stomatitis dan visna virus (Enig 2000). Penelitian semakin dikembangkan pada derivat asam lemak lainnya yaitu monokaprat dari asam kaprat, efeknya hampir sama baiknya dengan asam laurat. Asam kaprat juga merupakan asam lemak jenuh rantai sedang, yang akan berfungsi jika diubah menjadi monokaprat di dalam tubuh manusia dan hewan. Menurut Enig (2000), monokaprat juga aktif melawan HIV dan sedang diuji terhadap beberapa virus lainnya, selain itu juga bersifat antibakteri terhadap Chlamydia sp. 2.4. Mekanisme Kerja Asam Lemak dan Minyak sebagai Antimikrob Secara umum kerja asam lemak jenuh sebagai antimikrob adalah langsung beraksi ke target membran sel sehingga menyebabkan kerusakan membran, walaupun secara rinci mekanisme selanjutnya belum dapat dijelaskan (Kabara 2000). Penelitian mengenai mekanisme antibakteri monogliserida masih terus dilakukan (Wang dan Johnson 1992). Pada dasarnya mekanisme kerja agen antimikrob diperantarai adanya interaksi agen antimikrob dengan stereospesifik, misalnya protein reseptor, enzim dan lain-lain. Selain itu sifat-sifat fisikokimia antimikrob (tegangan dan hidrofobisitas) merupakan faktor penentu utama efektivitas antimikrob. Efektivitas suatu antimikrob sangat bergantung pada kemampuannya mencapai target sasaran, terutama bagian-bagian sel sasaran dan sifat hidrofilik-hidrofobik antimikrob ataupun sel mikrob (Hogan 2003).
Menurut Davidson (2001), ada
beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikrob terhadap mikrob sasaran, yaitu 1) merusak komponen penyusun sel, terutama pada bagian luar (permukaan sel), 2) adanya reaksi antimikrob dengan membran sel yang mengakibatkan perubahan permiabilitas dan hilangnya komponen penyusun sel, 3) menghambat kerja enzim yang berperan pada metabolisme sel, 4) mempengaruhi fungsi material genetik, dan 5) mempengaruhi kandungan ion Mg2+ dan Ca2+ pada membran. Sasaran awal antimikrob adalah permukaan luar sel mikrob, walaupun permukaan setiap mikrob tidak sama sehingga akan mempengaruhi aktivitas antimikrob. Asam lemak dan monogliserida mampu merusak penyelubung virus dan membran sel bakteri. Sifat lipofilik dari monogliserida memungkinnya untuk menembus membran plasma dan menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam
9
produksi energi atau transpor nutrisi (Wang dan Johnson 1992). Monolaurat diduga mengakibatkan kerusakan membran, menyebabkan kebocoran protein intraseluler dan asam nukleat, sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam metabolisme (Kabara 1993). Aktivitas monolaurin pada virus berkaitan dengan kemampuannya melarutkan lemak dan fospolipid yang menyebabkan disintegrasi penyelubung virus. Selain itu kerja monolaurin sebagai antivirus juga berpengaruh pada pembentukan virus dan kematangan virus.
Menurut Projan et al. (1994), aktivitas monolaurin sebagai
antibakteri adalah mempengaruhi atau mengganggu signal transduksi bakteri, hal yang sama juga terjadi pada asam laurat terhadap perangkat virus (Hornung et al. 1994). Sebagian asam lemak jenuh, seperti asam laurat (C12) mempunyai aktivitas tinggi sebagai antiviral dibandingkan asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10) atau asam miristat (C14).
Gabungan antara beberapa monogliserida seperti gabungan
monolaurin dengan monokaprin sangat efektif membunuh bakteri Gram negatif seperti E. coli. Aktivitas antibakteri asam lemak dan monogliserida dapat bersifat bakterisidal yang mengakibatkan distorsi irreversible karena efeknya seperti surfaktan pada membran sel bakteri dan menyebabkan dislokasi komponen sistem energi pada mitokondria dan menghambat sistesa ATP (Kabara 1993). Asam lemak dan monogliserida menyebabkan penurunan glikolisis dan menstimulasi glukoneogenesis. Pengaruh kerja dari asam lemak dan monogliserida terhadap sistem oksidasi NADH2 memiliki kesamaan. Aktivitas sistem ini menurun 50%. Pengaruh kedua antimikrob ini adalah terhadap respirasi seluler, namun ada perbedaan aksi diantara keduanya. Efek penghambatan monogliserida terhadap sistem enzim menunjukkan bahwa monogliserida hanya bekerja pada sisi oksigen dan gugus flavin dari NADH2 dehidrogenase, sedangkan asam lemak merupakan penghambat kurang spesifik yang aktivitasnya beraksi pada beberapa sisi dan aksinya belum jelas. Perbedaan membran sel antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif menyebabkan perbedaan kemampuan antimikrob. Bakteri Gram positif mengandung 90% peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula, asam amino L-alanin, D-alanin, Dglutamat dan lisin serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat (Lay dan Hastowo 1992). Pada bagian luar bakteri Gram negatif terdapat peptidoglikan yang sangat tipis (5-20%) yang berbeda dengan bakteri Gram positif (Gambar 1), namun dilapisi oleh membran luar yang terdiri dari lipopolisakarida, fosfolipid dan protein.
10
Membran luar bakteri, terutama membran luar bakteri Gram negatif berfungsi untuk mempertahankan permiabilitas sel, yang bertanggung jawab terhadap masuknya molekul lain, seperti antibiotik, deterjen, pewarna untuk mencapai membran sitoplasma (Galvez et al. 1991). Hanya molekul yang bersifat hidrofilik yang mampu melewati lipopolisakarida membran sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif tidak ada lapisan lipopolisakarida, sehingga molekul yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik mampu melewati permukaan luar sel.
flagella Bakteri Gram positif
Bakteri Gram negatif
lipopolisakarida Asam teikoat
kait lipoprotein
porin
Protein M Lipid A Membran luar Jembatan silang peptida Peptidoglikan Ruang periplasma Membran sitoplasma protein rotor fosfolipid
Gambar 1 Perbedaan permukaan sel bakteri Gram positif dan Gram negatif (Moat dan Foster 1988) Mekanisme kerja antimikrob yang berasal dari lemak kelapa dapat disebabkan struktur lemak senyawa tersebut, yaitu monogliserida yang lebih aktif sebagai antimikrob dibandingkan asam lemaknya (Kabara 2000). Selain itu hanya monogliserida yang aktif sebagai antimikrob, sedangkan digliserida dan trigliserida tidak aktif. Efek senyawa antimikrob minyak sangat dipengaruhi oleh spesifikasi minyak, misalnya metode untuk memperoleh minyak atau cara ekstraksinya (penggunaan larutan organik untuk ekstraksi) (Maguire 2000). Secara umum mekanisme kerja minyak sebagai antibakteri terjadi dalam dua kategori, yaitu 1), secara langsung merusak membran sel, dan 2), secara tidak langsung berinteraksi dengan membran melalui peningkatan permiabilitas, yang akhirnya sama-sama menyebabkan sel pecah (Gambar 2).
11
antimikrob Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram positif
tidak bisa masuk Membran luar porin antimikrob Ruang periplasma peptidoglikan Membran sitoplasma Antimikrob
Bakteri berfilamen lisis Bakteri berfragmen
Gambar 2 Mekanisme kerja antimikrob pada bakteri (Maguire 2000) Pada kategori pertama minyak bisa bertindak seperti deterjen atau larutan organik, melarutkan lemak pada membran bakteri dan langsung merusaknya. Pada kategori kedua, interaksi terjadi lebih spesifik pada lemak bilayer pada membran dan membentuk lubang atau sumur, yang menyebabkan berbagai macam bahan masuk ke dalam sel, sehingga sel membengkak dan pecah.
Pada beberapa kasus, minyak
kemungkinan mempunyai lebih banyak interaksi spesifik dengan beberapa bagian pelengkap metabolik pada sel, sehingga minyak dengan mudah dapat menghambat kerja enzim yang membantu fungsi sel pada proses metabolisme, sehingga minyak menjadi toksik bagi bakteri.
12
III. DETEKSI AWAL AKTIVITAS ANTIMIKROB MINYAK PLIEK U DAN EKSTRAK PLIEK U (The Initial Detection of Antimicrobial Activity of Pliek u Oil and Extracts of Pliek u) Abstract Pliek u oil has been used as cooking oil and medicinal of skin diseases, wound, fever, headache and abdominal pain. Pliek u has been consumed as spices and ingredient of hot sauce (sambal), and also used for poultry feed. These foods collected from home industry in Reudep village at Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. The process to make pliek u oil and pliek u was observed to give more information about Aceh traditional fermented foods made from coconut meat. Antimicrobial activity of pliek u oil and extracts of pliek u were evaluated against seven bacterial strains (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens) and one fungal strain (Candida albicans). The antimicrobial activity was detected by using paper disc method. Among antimicrobials extracts tested, crude ethanol extract of pliek u (EEP) was most active against all microbial strains. The ethanol extract of pliek u residue (EERP) obtained from pliek u previously extracted by hexane was active toward bacterial strains and crude hexane extract of pliek u (EHP) was only active against C. albicans. The research concluded that crude ethanol extract of pliek u (EEP) showed significant (P<0.05) antimicrobial activity. Keywords: Aceh fermented food, coconut, pliek u oil, pliek u, antimicrobial activity Pendahuluan Kelapa (Cocos nucifera L) telah digunakan baik sebagai makanan maupun obat selama berabad-abad di seluruh negara, termasuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Indonesia. Masyarakat Aceh secara turun menurun telah menggunakan daging buah dan minyak kelapa terfermentasi (diperam) yang diproses secara tradisional. Proses fermentasi makanan erat kaitannya dengan mikroorganisme atau enzim, yang menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal, dan juga menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat antimikrob (Djien 1982; Battcock dan Azam-Ali 1998). Salah satu makanan fermentasi tradisional yang didalamnya mengandung senyawa antimikrob adalah tempe, yang dihasilkan oleh Rhizopus oligoporus selama proses fermentasi (Wang dan Hesselltine 1979; Djien 1979, Ginandjar 2000). Minyak kelapa yang dihasilkan dikenal dengan nama minyak pliek u terdiri dari minyeuk simplah dan minyeuk brok yang digunakan sebagai minyak goreng dan juga dimanfaatkan sebagai obat
untuk sakit kepala, luka, menurunkan panas, sakit
persendian dan sakit perut. Ampas kelapa yang diperoleh setelah diambil minyaknya
13
disebut pliek u (patarana), yang digunakan sebagai bumbu masak dan sambal serta pakan unggas. Minyak kelapa mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai bahan terapi. Secara tradisional, pengobatan yang menggunakan minyak kelapa dilakukan untuk mengobati beragam gangguan kesehatan, yaitu mulai dari pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Minyak kelapa digunakan sebagai media dalam pemberian obat melalui oral (Mahran 1991). Kandungan lemak dalam daging dan minyak kelapa merupakan komponen fungsional yang sangat bermanfaat secara fisiologis, terutama sebagai antimikrob (Enig 2002). Asam lemak bebas dan monogliseridanya terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap berbagai mikrob (Nair et al. 2005), serta tidak menimbulkan resistensi (Kabara 2000). Aktivitas bahan alami sebagai antimikrob yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti herbal, bumbu dan minyak dapat dilakukan dengan mengetahui spektrum aktivitas antimikrob berdasarkan kemampuannya menghambat berbagai mikrob. Menurut Cowan (1999, Naidu 2000), aktivitas antimikrob senyawa yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat diawali dengan mendeteksi ada tidaknya aktivitas antimikrob, kemudian pengujian terhadap sifat-sifat antimikrob, kemanjuran secara in vitro dan in vivo serta identifikasi struktur, mekanisme dan kapasitasnya. Diduga selama proses pengolahan minyak pliek u dan pliek u terjadi berbagai perubahan
sehingga menghasilkan berbagai metabolit yang mempunyai aktivitas
antimikrob. Senyawa tersebut dapat terbentuk dari bahan asal ataupun juga karena dihasilkan oleh mikrob selama proses fermentasi. Senyawa alami yang dihasilkan oleh mikrob pada proses fermentasi dapat diekstraksi dan dipurifikasi, serta dapat digunakan sebagai antimikrob untuk mengawetkan makanan (Hoover 2000). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelusuran kandungan senyawa aktif di dalam minyak pliek u dan pliek u, sehingga potensi makanan fermentasi tradisional Aceh bisa dikembangkan sebagai sumber untuk menghasilkan bahan baku antimikrob. Sampai saat ini informasi mengenai minyak pliek u dan pliek u masih sangat sedikit terutama yang berkaitan dengan proses, kemampuan serta manfaatnya sebagai makanan kesehatan. Penelitian ini merupakan suatu kajian awal sehingga pengamatan terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u juga dilakukan untuk memperoleh informasi ilmiah yang mendukung manfaat makanan tradisional Aceh sebagai makanan sehat.
14
Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia dan di Laboratorium Satwa Langka dan Konservasi Alam, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
dan
Bioteknologi
(PPSHB)-Lembaga
Penelitian
dan
Pemberdayaan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari 2006 sampai September 2007. Tahap 1, 2, dan 3 pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Minyak Pliek u dan Pliek u Makanan tradisional Aceh merupakan bahan utama dalam penelitian ini, yang terdiri dari minyak pliek u dan pliek u. Bahan tersebut diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u (tahap 1 pada Lampiran 1). Kultur Mikrob Kultur mikrob terdiri dari Bacillus subtilis (koleksi Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman). Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, isolat yang diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Salmonella Enteritidis, yang diperoleh dari Laboratorium pribadi milik J. Sri Poernomo, Cimanggu Bogor. Bacillus cereus BCC 2118, Pseudomonas aeruginosa BCC 2137 dan Pseudomonas fluorescens FNCC 070 berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Uji Kandungan Gizi Minyak Pliek u dan Pliek u Pengujian terhadap kandungan gizi (kadar lemak, protein, karbohidrat, air dan abu) minyak pliek u dan pliek u dilakukan dengan uji proksimat berdasarkan AOAC (1980). Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 2. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006) dan Sudirman (2005a). Ekstraksi pliek u merupakan tahap 2 pada tahapan penelitian (Lampiran 1). Ekstraksi pertama dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml heksan (1:10 b/v). Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated
15
incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian disaring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali dengan heksan (1:10 b/v) sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC dengan tekanan 335 mBAR untuk heksan, menghasilkan ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP). Tahap proses ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 3. Residu pliek u yang diperoleh setelah diekstrak dengan heksan, diekstrak kembali dengan etanol 96% (1:10 b/v) dengan cara yang sama sebanyak tiga kali (lampiran 3). Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC dengan tekanan 175 mBAR. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak etanol dari residu setelah pliek u diekstrak dengan heksan (EERP). Ekstraksi yang kedua dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96% (1:10 b/v). Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali dengan etanol (1:10 b/v) sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC dengan tekanan 175 mBAR. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Tahap proses ekstraksi dapat di lihat pada Lampiran 4. Uji Aktivitas Antimikrob (Metode Difusi Agar Cakram Kertas) Pengujian aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak dari pliek u dikerjakan sesuai prosedur Sudirman (2005a), menggunakan cakram kertas diameter 13 mm. Prosedur penelitian ini termasuk ke dalam tahap 3 (Lampiran 1). Minyak pliek u (minyeuk simplah/MS dan minyeuk brok/MB), serta ekstrak pliek u (EHP, EERP dan EEP), masing-masing sebanyak 100 μl (99.0-100.5 mg) diteteskan di atas kertas cakram (Schleicher & Schuell, MicroScience GmbH, Dassel Germany), kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering rambut (International compact, 220V 350 W) pada suhu 40-42ºC. Selanjutnya disterilisasi dengan sinar UV (254 nm) selama 30 menit di dalam laminar airflow cabinet (Formagro Karyanusa).
16
Cakram kertas diletakkan di atas media agar yang mengandung mikrob uji (106 cfu/ml), dipreinkubasi pada suhu 10ºC selama 3 jam, lalu diinkubasi pada suhu pertumbuhan optimal masing-masing mikrob uji. Suhu inkubasi untuk bakteri 37ºC selama 24 jam, sedangkan untuk C. albicans pada suhu kamar (26-28ºC) selama 2-3 hari. Sebagai kontrol digunakan pelarut heksan dan etanol, minyak kelapa yang dijual secara komersil yaitu Virgin Coconut Oil serta antibiotik (amoksisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, Kimia Farma) yaitu masing-masing 25 μg dalam 100 μl akuades steril per cakram kertas dan candistin (Pharos) sebanyak 100 μl yang mengandung 10000 IU nystatin per cakram kertas. Media agar yang digunakan untuk bakteri digunakan agar Mueller-Hinton, sedangkan untuk C. albicans digunakan agar Potato Dextrose. Kriteria penetapan aktivitas antimikrob berdasarkan Ela et al. (1996), diacu dalam Elgayyar et al. (2001), yaitu antimikrob aktif dan sangat aktif (zona hambatan >11 mm), aktif sedang (6 mm < zona hambatan <11 mm) dan tidak aktif (zona hambatan <6 mm). Analisis Data Rata-rata zona hambatan yang terbentuk merupakan data aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak dari pliek u yang dianalisis dengan Anova. Apabila terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Sebelum dianalisis, data ditransformasikan ke dalam √ karena ada data dalam angka nol. Data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD). Analisis statistik dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 13 for windows. Data ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.
Hasil dan Pembahasan Hasil Pengamatan Proses Pembuatan Minyak Pliek u dan Pliek u Penelitian ini diawali dengan mengamati proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u (Gambar 3 dan Lampiran 5). Proses membuat minyak pliek u dan pliek u dilakukan selama beberapa hari (± 20 hari) dengan cara mengeramkan (fermentasi secara tradisional) daging buah kelapa tanpa menambahkan mikrob apapun. Menurut masyarakat Aceh, produk ini diproses secara turun menurun dari orang tua mereka dan terjadi tanpa disengaja. Proses fermentasi ini terdiri dari tiga tahap fermentasi, yaitu pengeraman buah kelapa, pengeraman daging buah kelapa dan pengeraman serta penjemuran daging buah kelapa. Pada tahap pertama, buah kelapa
17
dibelah (tidak sampai terbuka) dan airnya dibuang, kemudian dibiarkan selama 4-5 hari. Setelah itu daging buah kelapa dikukur dan ditempatkan dalam wadah tertutup. Selanjutnya dibiarkan selama beberapa hari (4-5 hari) pada suhu kamar (29-36°C) yang tidak terpapar cahaya. Tahap ini merupakan tahap kedua (Lampiran 5). Minyak yang terbentuk pada tahap ini didiambil, minyak tersebut adalah minyeuk simplah/minyeuk retek.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Gambar 3 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u. (a) buah kelapa yang sudah dibuang airnya dan dibiarkan 4-5 hari; (b,c,d) daging buah kelapa yang sudah dikukur dan dibiar 5 hari sampai keluar minyeuk simplah; (e,f,g,h,i) proses penjemuran, pengeraman dan pemerasan untuk memperoleh minyeuk brok dan pliek u. Tahap selanjutnya adalah tahap ketiga. Pada tahap ini dilakukan penjemuran, pengeraman (fermentasi) dan pengepresan terhadap residu yang dihasilkan pada tahap 2, yang dilakukan selama beberapa hari (≥5 hari) pada suhu kamar (29-36°C). Minyak yang diperoleh pada tahap ini disebut minyeuk brok. Residu yang diperoleh disebut pliek u atau patarana, tetapi masyarakat umumnya menyebut pliek u. Makanan yang berbahan mentah dari tumbuh-tumbuhan ini (daging buah kelapa) memberikan manfaat beragam bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai makanan dan juga sebagai
18
obat.
Pliek u dijadikan bumbu masak untuk membuat masakan Gulé pi’u yang
dicampur dengan sayuran dan ikan kering (Hurgronje 1985). Nama-nama yang diberikan untuk produk yang dihasilkan pada proses fermentasi tersebut sejak lama sudah dikenal, yang dapat dilihat pada kamus Aceh Indonesia dan juga Aceh Belanda (Bakar et al. 1985; Djajadiningrat dan Drewes 1934). Selama pembuatan minyak pliek u dan pliek u tidak sedikitpun menggunakan pembakaran, namun hanya penjemuran menggunakan sinar matahari setelah minyak pliek u pertama diambil. Proses untuk membuat minyak pliek u dan pliek u juga memerlukan alat-alat khusus, yang terdiri dari klah, peungarat, prah dan linông (Djajadiningrat dan Drewes 1934), dan apet awe (informasi dari masyarakat). Alatalat tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Perkembangan makanan fermentasi pada awalnya terkait dengan masa simpan yang singkat dari suatu bahan pangan dan kebutuhan manusia akan zat gizi. Proses fermentasi merupakan proses pengawetan makanan tertua kedua setelah pemanasan, yang terjadi secara sengaja atau tanpa disengaja. Selama berabad-abad, pengetahuan tentang teknologi fermentasi tradisional diturunkan dari orang tua kepada anaknya (teradaptasi dari satu generasi ke generasi berikutnya). Produk dan cara yang mereka lakukan menghasilkan produk yang lebih baik dari bahan asal (Battcock dan AzamAli 1998). Masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya yang juga terkait dengan beragam makanan tradisional yang dihasilkan, termasuk makanan fermentasi tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Winarno 1982). Produk-produk fermentasi tradisional dari Indonesia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan sudah sangat dikenal diantaranya tempe, oncom, tape, brem, kecap, tauco, nata dan tempoyak (Ginandjar 2000). Beberapa makanan fermentasi tradisional tersebut memberikan kontribusi yang baik bagi manusia sebagai sumber protein, kalori dan vitamin. Minyak Pliek u, Pliek u dan Ekstrak dari Pliek u Proses fermentasi daging buah kelapa merupakan proses ekstraksi alami untuk mendapatkan minyak kelapa secara tradisional. Bentuk fisik minyak pliek u dan pliek u yang sudah digunakan sebagai makanan sejak lama oleh masyarakat NAD dapat dilihat pada Gambar 4. Minyeuk simplah (Gambar 4a) berwarna kuning pucat seperti minyak virgin coconut oil (VCO). Minyeuk simplah tidak begitu mengeluarkan bau menyengat khas minyak pliek u dibandingkan minyeuk brok (Gambar 4b). Setelah
19
minyak diperoleh, maka residu (ampas) yang dihasilkan disebut pliek u (Gambar 4c). Minyak pliek u dan pliek u mudah dikenal karena memberikan bau dan rasa yang khas.
a
b
c
Gambar 4 Minyak pliek u dan pliek u. (a) Minyeuk simplah; (b) Minyeuk brok; (c) Pliek u Informasi mengenai gizi minyeuk pliek u dan pliek u perlu diketahui berkaitan dengan fungsinya sebagai makanan yang menjadi konsumsi masyarakat dan juga sebagai pakan ayam. Berdasarkan analisis proksimat pada minyak pliek u dan pliek u (Tabel 1) menunjukkan bahwa pliek u masih mengandung lemak, walaupun kadar lemaknya lebih rendah dibandingkan kadar lemak dalam daging buah kelapa (Thieme 1968, diacu dalam Ketaren 2005). Komponen gizi yang masih terdapat dalam pliek u bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat mendukung fungsi pliek u sebagai makanan. Kadar lemak minyak pliek u sangat tinggi hampir mencapai 100%, sedangkan kadar lemak pliek u hanya 4.94%. Tabel 1 Komposisi minyak pliek u dan pliek u berdasarkan analisis proksimat Komponen Air Lemak Protein Karbohidrat Serat kasar Total Abu
Minyeuk simplah (%) 0.27 99.05 0.31 -
Minyeuk brok (%) 4.40 99.12 0.52 -
Pliek u (%) 18.97 4.94 23.56 47.44 15.72 8.34
Ekstrak Pliek u Pengamatan terhadap ekstrak pliek u yang diekstrak dari 20 gr pliek u yang menggunakan etanol dan heksan memberikan hasil sebagai berikut, yaitu ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) menghasilkan ekstrak lebih banyak 14.4 g
20
dibandingkan dengan ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP) sebesar 7.03 g dan ekstrak etanol dari residu pliek u (EERP) sebesar 6.65 g (Tabel 2 dan Gambar 5). Kandungan lemak dalam minyak kelapa mempunyai peran sangat berarti bagi minyak kelapa yaitu sebagai sumber nutrisi juga sebagai antimikrob (Enig 2002). Aktivitas antimikrob dipengaruhi oleh jenis lemak yang terdapat di dalam minyak kelapa yaitu monogliserida yang disintesis dari asam lemak rantai sedang yang memberi aktivitas antimikrob terhadap beberapa mikroorganisme (Wang dan Johnson 1992; Kabara 2000). Tabel 2 Sifat fisik minyak pliek u dan ekstrak pliek u Nama Bahan
Ciri-ciri fisik Konsistensi Volume ekstrak Bau/Rasa (g) Kuning pucat Cair menyerupai bau khas minyak kelapa kuning Cair Bau asam khas minyak pliek u Kuning pucat Cair 7.03 menyerupai bau khas minyak kelapa Kuning gel 6.65 Bau sepat/pahit kecoklatan Coklat Cair-endapan 14.4 Bau sepat/pahit dan asam khas pliek u kehitaman Warna
Minyak Minyeuk pliek u simplah (MS) Minyeuk brok (MB) Ekstrak Ekstrak kasar kasar heksan (EHP) pliek u Ekstrak Etanol (EERP) Ekstrak kasar Etanol (EEP)
a
b
c
Gambar 5 Ekstrak pliek u. (a) Ekstrak kasar etanol (EEP), (b) Ekstrak kasar heksan (EHP), (c) Ekstrak etanol residu (EERP) Pengamatan terhadap bau, rasa, warna, volume ekstrak dan konsistensi masingmasing ekstrak menunjukkan adanya perbedaan. Ekstrak kasar heksan tidak mengeluarkan bau yang menyengat seperti minyak pliek u (minyeuk brok) dan pliek u. Ekstrak etanol residu dan ekstrak kasar etanol mengeluarkan bau yang hampir sama dengan bau khas pliek u, berbau dan berasa sepat atau pahit.
21
Aktivitas Antimikrob Minyak Pliek u dan Ekstrak Pliek u Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u menghasilkan zona hambatan yang bervariasi terhadap bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan C. albicans, disajikan pada Tabel 3 dan 4, Gambar 6 serta Lampiran 6. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) pada zona hambatan masing-masing mikrob uji. Hasil uji lanjut jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa aktivitas antimikrob EEP dan EERP mempunyai aktivitas yang sama terhadap bakteri Gram positif, sedangkan EHP tidak aktif terhadap bakteri. EHP mempunyai aktivitas lebih besar terhadap C. albicans dibandingkan EEP, sedangkan EERP tidak aktif terhadap C. albicans. Tabel 3 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri Gram positif dan Candida albicans Rata-rata Zona Hambatan (mm) Jenis Antimikrob Bacillus cereus Bacillus Staphylococcus Candida BCC 2118 subtilis aureus albicans 2.67±0.47b 0a 0a 2±0 b Minyak Pliek u MS c a b MB 4.67±0.94 0 5.33±0.94 8±0.8 c d a a 0 0 17.33±0.94 f 6.67±0.47 Ekstrak Pliek u ekstrak heksan (EHP) Ekstrak etanol (EERP) 19.67±0.47 f 10.33±0.94 c 18.33±0.47 d 0a f c d Ekstrak etanol (EEP) 20.33±0.47 10.67±0.47 19.33±0.47 10.67±0.47 d a a Amoksisilin 0 0 0a TD f a a Kloramfenikol 21.33±0.94 0 0 TD Tetrasiklin 12.00±0 e 7.00±0 b 13.33±0.94 c TD Nystatin TD TD TD 13.67±1.24 e Keterangan: TD (Tidak Diuji); a-e Superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05)
Apabila kriteria aktivitas antimikrob yang diuji berdasarkan pada pendapat Ela et al. (1996), diacu dalam Elgayyar et al. (2001), maka minyak pliek u, yaitu MS tergolong tidak aktif, sedangkan MB digolongkan aktif sedang terhadap C. albicans. EEP tergolong sangat aktif terhadap bakteri dan aktif sedang terhadap C. albicans. EERP sangat aktif terhadap bakteri, namun tidak aktif terhadap C. albicans, sedangkan EHP tidak aktif terhadap bakteri, namun sangat aktif terhadap C. albicans. Aktivitas antibakteri yang disebabkan oleh EERP hampir sama dengan EEP dengan rata-rata masing-masing zona hambatan adalah 18.05 mm dan 17.99 mm (Tabel 3 dan Tabel 4). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan dan sensitifitas mikrob terhadap antimikrob berbeda diantara strain mikrob. Secara umum terdapat perbedaan sensitifitas antara bakteri Gram negatif dan bakteri Gram positif yang diakibatkan oleh EERP dan EEP. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan
22
rata-rata zona hambatan yang bervariasi antara bakteri uji (Tabel 3 dan Tabel 4). Minyeuk simplah tidak aktif terhadap bakteri dan C. albicans. Ekstrak kasar EHP hanya mempunyai aktivitas kecil terhadap B. Cereus. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa EEP, EHP dan minyeuk brok aktif terhadap C. albicans. Tabel 4 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri Gram negatif Rata-rata Zona Hambatan (mm) Pseudomonas Pseudomonas Escherichia aeruginosa fluorescens coli Jenis Antimikrob BCC 2137 FNCC 070 0a 0a MS 0a a b Minyak Pliek u MB 0 1.67±0.47 1.67±0.47 b a b 3.00±0.81 0a Ekstrak heksan (EHP) 0 b d Ekstrak etanol (EERP) 20.33±1.24 20.33±0.47 16.00±0 c Ekstrak Pliek u Ekstrak etanol (EEP) 18.67±1.24 b 18.33±1.69 d 15.33±0.47 c Amoksisilin 0a 0a 0a a c Kloramfenikol 0 9.33±0.47 15.33±0.47 c Tetrasiklin 0a 9.33±0.94 c 0a a-e Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05)
Salmonella Enteritidis 0a 2.67±0.94 b 0a 21.33±1.24 d 23.33±0.47 d 13.66±1.24 c 22.66±1.69 d 28.33±0.47 e
Aktivitas antimikrob sangat dipengaruhi oleh 1) jenis antimikrob (konsentrasi dan polaritas), 2) jenis mikrob, dan 3) metode uji yang digunakan (Maguire 2000). Pengujian menggunakan metode difusi agar cakram kertas dipengaruhi oleh jenis dan ukuran cakram kertas, pH dan sifat media, konsentrasi dan kemampuan antimikrob berdifusi ke dalam media, jenis mikrob yang digunakan serta komponen yang terdapat di dalam senyawa tersebut (Branen 1993). Perbedaan ukuran zona hambatan dari satu mikrob uji yang disebabkan oleh senyawa antimikrob (minyak pliek u dan ekstrak pliek u) yang berbeda mungkin dipengaruhi oleh cara/proses untuk mendapatkan senyawa antimikrob tersebut dan tahap proses fermentasi (Gambar 6). Berdasarkan pengujian menunjukkan bahwa minyak tidak mempunyai aktivitas terhadap bakteri uji, karena minyak pliek u mungkin belum mengandung senyawa antimikrob yang bisa berpengaruh terhadap bakteri dan C. albicans. Minyak pliek u yang diperoleh dari proses tahap pertama menunjukkan tidak memiliki aktivitas penghambat. Kemungkinan proses fermentasi pada tahap pertama hanya berperan menarik minyak dari jaringan, sehingga minyeuk simplah belum mengandung senyawa antimikrob. Minyeuk brok yang dihasilkan pada tahap kedua kemungkinan sudah mendekati proses fermentasi yang hampir sempurna, sehingga hanya memperlihatkan aktivitas
23
terhadap C. albicans. Aktivitas antimikrob dari ekstrak yang diperoleh dari pliek u yang berasal dari proses tahap ketiga memberikan aktivitas hambatan yang tergolong tinggi dan zona hambatan yang bervariasi terhadap mikrob uji. Pliek u berasal dari fermentasi yang sudah sempurna, yang menyebabkan senyawa dalam pliek u sudah aktif sebagai antimikrob. Proses tahap ketiga merupakan proses fermentasi yang dikombinasikan dengan penjemuran dan pengepresan.
T EEP
MS
EEP
EHP
MB EERP
MS
a
b
K A
MS
MB
T EEP
Cd
EEP
c
d
Gambar 6 Zona hambatan yang terbentuk dari aktivitas EEP terhadap bakteri dan fungi. (a) S. aureus, (b) E. coli,(c) B. cereus dan (d) C. albicans. Ekstrak kasar etanol (EEP), ekstrak etanol residu (EERP), ekstrak kasar heksan (EHP), tetrasiklin (T), amoksisilin (A), kloramfenikol (K), candistin (Cd), minyeuk simplah (MS), minyeuk brok (MB) Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak yaitu dengan cara rendering, mechanical expression dan solvent extraction (Ketaren 2005). Antimikrob dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dan purifikasi (Hoover 2000). Menurut Maguire (2000), efek senyawa antimikrob seperti minyak sangat tergantung dari metode ekstraksinya apakah menggunakan larutan organik atau tidak. Ekstraksi dengan pelarut non-polar (ekstrak kasar heksan/EHP) hanya aktif terhadap C. albicans sedangkan ekstrak yang bersifat polar (ekstrak kasar etanol residu/EERP) yang diperoleh dari residu heksan hanya aktif terhadap bakteri. Tidak
24
adanya aktivitas EERP terhadap C. albicans menunjukkan bahwa ada komponen yang mungkin sudah terekstrak sebelumnya di dalam ekstrak kasar heksan (EHP). EEP yang diperoleh dari ekstraksi pliek u dengan etanol menyebabkan EEP mengandung sebagian senyawa non-polar, sehingga mempunyai aktivitas terhadap C. albicans, walaupun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan EHP. Penelitian ini menunjukkan bahwa C. albicans lebih sensitif terhadap komponen yang bersifat non polar, sedangkan bakteri lebih sensitif kepada komponen yang mengarah ke polar. Pada umumnya tumbuh-tumbuhan obat, bumbu, dan tumbuhtumbuhan yang diduga memberikan efek yang baik terhadap kesehatan mempunyai aktivitas antimikrob sangat baik setelah diekstrak dengan pelarut yang lebih polar seperti etanol dan metanol (Duraipandiyan et al. 2006; Gupta et al. 2006; Rojas et al. 2006; Iroegbu dan Nkere 2005; Barbour et al. 2004; Voravuthikunchai et al. 2004; Shah et al. 2004; Okeke et al. 2001). Polaritas suatu senyawa antimikrob mempengaruhi kemampuannya sebagai antimikrob yang berdasarkan sifat hidrofilik-lipofiliknya, sehingga kerja antimikrob lebih maksimum (Kanazawa et al. 1995). menjamin
aktivitasnya
sebagai
Sifat hidrofilik-lipofilik antimikrob
antimikrob,
karena
dapat
mempengaruhi
keseimbangan hidrofobik dinding sel mikrob (Branen 1993). Secara umum efek antibakteri minyak terjadi dalam dua kategori, yaitu, 1) secara langsung merusak membran sel, dan 2) secara tidak langsung berinteraksi dengan membran melalui peningkatan permiabilitas sel (Maguire 2000). Simpulan Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) berpotensi sebagai senyawa antimikrob, sedangkan ekstrak kasar heksan (EHP) dan minyak pliek u (MB) berpotensi sebagai senyawa antikandida dan ekstrak etanol residu (EERP) berpotensi sebagai antibakteri. Minyak pliek u (MS) tidak mempunyai aktivitas antimikrob. Perbedaan tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u berpengaruh pada aktivitas antimikrob. Antimikrob yang bersifat polar lebih aktif terhadap bakteri, sedangkan antimikrob yang bersifat non-polar lebih aktif terhadap. C. albicans
25
IV. PENENTUAN KONSENTRASI DAN NILAI LC50 EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U, MAKANAN FERMENTASI TRADISIONAL ACEH (Determination of Concentration and LC50 value of Crude Ethanol Extract of Pliek u, Aceh fermented traditional food) Abstract Pliek u has been consumed as spices and ingredient of hot sauce (sambal) and also used as poultry feed. These foods obtained from home industry in Reudep village at Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. The crude ethanol extract of pliek u was obtained by extraction of pliek u with ethanol 96%. The concentration of crude ethanol extract of pliek u (EEP) was determined with the dilution method against five bacterial strains (Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis and Pseudomonas aeruginosa,) and one fungal strain (Candida albicans). The initial test of toxicity has been detected by using Artemia salina L. Lethality Test is conducted to determine the toxic concentration based on the LC50 value of EEP. The results indicated that crude EEP showed antimicrobial activity at a minimal inhibitory concentration (MIC) and a minimal microbicidal concentration (MMC) at 2.5-10 mg/ml and 10-20 mg/ml, respectively. The lethality concentration of crude EEP resulted the LC50 value at 3.36 mg/ml. The research concluded that crude EEP was not toxic for A. salina L and needed further evaluation for characterization antimicrobial compound of crude EEP. Keywords: pliek u, Aceh fermented coconut, MIC, toxicity. Pendahuluan Ekstrak alami yang berbahan dasar tumbuh-tumbuhan seperti herbal, rempahrempah lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan, bumbu bahkan sebagai obat. Salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu adalah kelapa (Cocos nucifera L). Daging buah dan minyak kelapa digunakan sebagai makanan dan obat untuk mengobati penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Komponen terbesar asam lemak jenuh pada daging buah dan minyak kelapa adalah asam laurat (48-50%), yang sangat berperan dalam makanan karena berkaitan dengan fungsinya sebagai antibakteri, antijamur, antivirus dan antiprotozoa (Enig
2000) serta tidak toksik
terhadap mukosa (Kabara 2000). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil beragam makanan fermentasi, seperti tempe, oncom, tempoyak. Tempe merupakan produk fermentasi tradisional yang mengandung senyawa antimikrob (Winarno 1982; Ginandjar 2000). Pliek u merupakan salah satu produk fermentasi asal Aceh. Pliek u diperoleh dari daging buah kelapa yang difermentasi tanpa disengaja selama beberapa hari untuk mendapatkan minyak pliek u (Bakar et al. 1985; komunikasi langsung). Berdasarkan penelitian
26
sebelumnya ekstrak kasar etanol dari pliek u mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan Candida albicans (Nurliana et al. 2009, sedang proses publikasi di Forum Pascasarjana). Aktivitas suatu antimikrob tidak berarti apabila antimikrob tersebut tidak efektif pada saat diaplikasikan, sehingga diperlukan pengujian efektivitas bahan tersebut. Salah satu pengujian tahap awal yang sangat penting dilakukan adalah mengetahui efikasinya secara invivo (Cowan 1999). Metode pengujian toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina L merupakan uji yang sangat sederhana dan cepat serta dapat dijadikan sebagai uji awal untuk mengetahui toksisitas senyawa antimikrob (Khrisnaraju et al. 2005). Kemampuan bahan uji membunuh larva Artemia salina L berdasarkan 50% kematian larva (Kanwar 2007). Metode tersebut juga memberikan hasil yang sangat baik untuk menguji toksisitas bahan kimia, ekstrak tumbuh-tumbuhan dan produkproduk alami, limbah, ion-ion metal, bahan kimia pertanian, bahan tambahan makanan, produk-produk pembersih rumah dan obat-obatan
(Lieberman 1999;
Carballo et al. 2002; Nunes et al. 2006; Kiviranta et al. 2007). Untuk mendukung manfaat pliek u sebagai makanan kesehatan dan peluangnya sebagai sumber antimikrob, maka perlu dilanjutkan kajian terhadap aktivitas senyawa antimikrob berdasarkan konsentrasi efektif dalam menghambat dan membunuh bakteri dan jamur. Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi informasi terhadap karakterisasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) yang memberikan aktivitas terbaik sebagai antimikrob. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari
2006 sampai
September 2007. Tahap penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
27
Kultur Mikrob Kultur mikrob terdiri dari Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, yang diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Salmonella Enteritidis, berasal dari Laboratorium pribadi milik J. Sri Poernomo, Cimanggu Bogor. Bacillus cereus BCC 2118 dan Pseudomonas aeruginosa BCC 2137 berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006) dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96% (Bratachem).
Campuran tersebut dikocok menggunakan
refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick Scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24 jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 4050oC dengan tekanan 175 mBAR untuk etanol. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang dengan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Penetapan Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimal Microbicidal Concentration (MMC) Pengujian daya hambat senyawa antimikrob terhadap mikrob uji dilakukan dalam media cair berdasarkan prosedur Kim et al. (2004) yang sudah dimodifikasi. Untuk mendapatkan konsentrasi EEP 0, 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80 mg/ml, maka prosedur pengujian dilakukan dengan menambahkan EEP masing-masing sebanyak 0, 5, 10, 20, 40, 80, 160 dan 320 mg ke dalam 4 ml media cair Mueller-Hinton atau potato dextrose yang sudah mengandung mikrob uji (106-108cfu/ml), kemudian dikocok dengan vorteks selama 10 menit. Suhu inkubasi disesuaikan untuk masingmasing mikrob uji. Jumlah masing-masing mikrob (jumlah mikrob awal dan jumlah mikrob akhir setelah waktu inkubasi) dihitung berdasarkan metode hitung cawan menggunakan pengenceran desimal dari 1:101 – 1:109 (Swanson et al. 1992). Nilai MIC dihitung menurut Kubo (1992) adalah konsentrasi terendah yang mampu menghambat mikrob (>90%), sedangkan MMC dihitung berdasarkan Courvalin et al.
28
(1990), diacu dalam Canillac dan Mourey (2001) adalah konsentrasi ekstrak yang menyebabkan mikrob yang hidup hanya 0.01 – 0.1 %. MIC dan MMC, dihitung dengan cara sebagai berikut : jumlah mikrob akhir (MIC) % = 100% -
x 100% jumlah mikrob awal
jumlah mikrob akhir (MMC) % =
x 100% jumlah mikrob awal
Penentuan Nilai LC50 berdasarkan Uji Toksisitas menggunakan Artemia salina L Pengujian toksisitas tahap awal terhadap senyawa antimikrob (EEP) berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Khrisnaraju et al. (2005). Pengujian ini menggunakan telur A. salina L yang diperoleh dari toko penjual makanan ikan. Telur A. Salina L (1 g/L) diinkubasi selama 48 jam dalam bak air berisi air steril yang sudah dicampur dengan garam laut 35 g/L dengan pH 8.5. Bak air dilengkapi dengan aerator. Setelah 48 jam larva yang aktif dilihat dibawah mikroskop stereo pembesaran 40x dilengkapi dengan Olympus optikal, kemudian diambil menggunakan pipet tetes sebanyak 10 ekor untuk setiap perlakuan dan dimasukkan dalam vial yang mengandung air garam laut. Perlakuan terdiri dari kontrol (air garam), penambahan EEP dengan konsentrasi 1,25; 2,5; 5; dan 10 mg/ml. Jumlah larva yang mati dihitung setelah 24 jam inkubasi. Persentase kematian ditentukan berdasarkan Seen (2005), dengan rumus : jumlah larva yang mati
% kematian =
x 100
jumlah larva hidup + jumlah larva mati Analisis Data Data dari hasil penentuan konsentrasi berdasarkan MIC dan MMC dianalisis secara deskriptif, sebelumnya data ditansformasikan terlebih dahulu menjadi log cfu/ml. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD), ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Nilai LC50 diplotkan menggunakan analisis persaman regresi linier menggunakan bantuan program excell for windows. Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk grafik.
29
Hasil dan Pembahasan Konsentrasi Ekstrak Kasar Etanol Pliek u (EEP) berdasarkan Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimal Microbicidal Concentration (MMC) Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif serta C. albicans dapat dilihat pada Gambar 7
8
6.14
6
4.5
4 2 0
Jumlah Salmonella Enteritidis cfu/ml (log 10)
5
10 20 40 80
Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml)
a 14 10 8
7.47 7.46 7.9
7.25
6.44
6 4
2.07
2
1.47 0
0 0*
0** 1.25 2.5
5
10
20
40
80
konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml)
10 8 6
7.3
6.32
5.39
4.46
4
1.77
2
0
0
0
0 0* 0** 1.25 2.5
5
10
20
40
Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml)
12.55 10.79
12 10 8
80
8.41
7.41
6
4.51
4
2.54 2.07
0.9
0 0* 0** 1.25 2.5
f
3.54
2 5
10
20
40
80
Konsentrasi ekstrak e tanol (mg/ml) 12
10.46
10
8.39
7.75
8
6.46
6 3.54 3.64
4
2.93 2.98 2.82
2 0 0*
d
10.81
12
14
b
11.57
12
c Jumlah Pseudomonas aeruginosa cfu/ml (log 10)
3.74 3.87 2.57
0* 0** 1.25 2.5
e
8.2
Jumlah Staphylococcus aureus cfu/ml (log 10)
9.44 9.83 9.25
10
Jumlah Escherichia coli cfu/ml (log 10)
12
Jumlah Candida albicans cfu/ml (log 10)
Jumlah Bacillus cereus cfu/ml (log 10)
dan Lampiran 4.
0** 1.25 2.5
5
10
20
40
80
Konse ntrasi e kstrak e tanol (mg/ml)
9.43
10 8 6 5.39
5.8
5.14 3.44
4
2.56 1.3
2
0
0
40
80
0 0* 0** 1.25 2.5
5
10
20
Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml)
Gambar 7 Pengaruh berbagai konsentrasi EEP terhadap (a) B. cereus, (b) S. aureus, (c) S. Enteritidis (d) E. coli, (e) P. aeruginosa, (f) C. albicans. (0*) jumlah mikrob awal tanpa perlakuan, (0**) jumlah mikrob setelah inkubasi tanpa perlakuan, waktu inkubasi 24 jam untuk bakteri; waktu inkubasi 2 hari untuk C. albicans
30
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan terhadap aktivitas senyawa antimikrob (EEP) yang memberikan aktivitas antimikrob terbaik terhadap bakteri dan fungi. Penambahan berbagai konsentrasi EEP (1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80 mg/ml) menyebabkan penurunan yang bervariasi dari jumlah masing-masing mikrob uji dibanding kontrol. Penambahan konsentrasi EEP 20-80 mg/ml menyebabkan tidak ada pertumbuhan P. aeruginosa, sedangkan konsentrasi EEP 80 mg/ml menunjukkan tidak ada pertumbuhan S. Entiritidis dan konsentrasi EEP 40-80 mg/ml juga menunjukkan tidak ada pertumbuhan C. albicans (Gambar 7). Konsentrasi MIC yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif adalah 10 dan 5 mg/ml untuk B.cereus dan S. aureus. Konsentrasi MIC terhadap bakteri Gram negatif (S. Enteritidis, E. coli dan P. aeruginosa) masing-masing 10, 2.5 dan 5 mg/ml dan konsentrasi MIC terhadap C. albicans adalah 5 mg/ml. Konsentrasi mikrobisida (MMC) yang menyebabkan kematian mikrob uji berkisar 10-20 mg/ml, yaitu pada konsentrasi 10 mg/ml untuk bakteri, sedangkan untuk C. albicans adalah 20 mg/ml. Berdasarkan penentuan MIC menunjukkan bahwa E. coli sangat sensitif terhadap EEP dibandingkan mikrob uji lainnya, sedangkan B. cereus dan S. Enteritidis sangat tahan, yang membutuhkan EEP dengan konsentrasi paling besar (Tabel 5). Tabel 5 MIC dan MMC ekstrak kasar etanol (EEP) terhadap bakteri dan fungi Mikrob B. cereus
Jumlah mikrob awal (log cfu/ml) 1,4 x 106 (6.14)
S. aureus S. Enteritidis E. coli P. aeruginosa C. albicans
Jumlah mikroba akhir (log cfu/ml) 3,2 x 104 (4.5) 3,8 x 10 (2.57) 3,28 x 10 (4.51)
(7.41)
3,5 x 103 (3.54)
1,8 x 107
2,8 x 106 (6.44)
4
(7.25)
1,2 x 10 (2.07) 2,9 x 106 (6.46)
(8.39)
4,4 x 103 (3.54)
2,0 x 10
4
2,9 x 10 (4.46)
(7.3)
6,0 x 10 (1.77) 2,8 x 103 (3.44)
(5.39)
2,0 x 101 (1.3)
8
5
2 10
10
2 20
2.5 10
4
10
2
20
4
5
1
2,5 x 105
MMC/MIC
80
2
2,5 x 108 7
10
2
7
2,6 x 10
MIC MMC (mg/ml) (mg/ml)
5
Apabila dianalogkan dengan antibiotik berdasarkan ratio MMC/MIC ≤ 4 maka strain mikrob dikategorikan sensitif dan jika rationya > 4 digolongkan lebih toleran (Courvalin et al. 1990, diacu dalam Canillac dan Mourey 2001). Apabila 1< ratio
31
MMC/MIC <8 maka antimikrob digolongkan bersifat bakteriostatik. Berdasarkan klasifikasi tersebut B. cereus tergolong lebih toleran terhadap EEP, sedangkan S. aureus, S. Enteritidis, E. coli, P. aeruginosa dan C. albicans digolongkan strain mikrob yang rentan (susceptible) terhadap EEP, maka EEP dapat digolongkan antimikrob bersifat bakteriostatik. Sensitifitas mikrob bisa sangat dipengaruhi oleh jenis mikrob (strain yang berbeda), jumlah awal dan bahan antimikrob yang digunakan serta fase pertumbuhan mikrob (Entani et al. 1998). Senyawa antimikrob mempunyai pengaruh yang kecil pada saat proses sintesis sel selama fase statis, sehingga tidak semua mikrob akan menurun jumlahnya dengan dosis MIC. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh komponen-komponen yang terkandung di dalam media pertumbuhan mikrob dan interaksinya dengan dinding sel dan membran mikrob. Pertumbuhan mikrob pada fase log atau fase eksponensial lebih sensitif dan lebih mudah dibunuh dibandingkan pada fase stasioner (Corre et al. 1990, diacu dalam Carson et al. 2002). Menurut Kabara (2000), aktivitas antibakteri dari monogliserida dan asam lemak bebas adalah dengan merusak pertahanan permiabilitas membran sel dan menghambat pengambilan asam amino. Helicobacter pylori yang diinkubasi selama 1 jam dengan monogliserida lemak jenuh (panjang karbon dari C10:0-C14:0) menunjukkan penurunan jumlah bakteri tersebut sebesar 4 log, namun tidak demikian dengan menambahkan C9:0, C15:0, dan C16.
Interaksi dengan struktur hidrofobik
merupakan kunci utama aksi antimikrob hidrokarbon (Sikkema et al. 1995). Menurut Maguire (2000), secara umum kerja agen antimikrob bereaksi secara langsung dan tidak langsung ke target membran sel, walaupun secara detail mekanismenya belum begitu jelas. Efektivitas suatu antimikrob sangat tergantung pada kemampuannya mencapai target sasaran (Hogan 2003), terutama terhadap bagian-bagian sel sasaran. Efek antibakteri dapat beraksi pada beberapa target sasaran pada membran bakteri, sehingga menyebabkan kerusakan atau autolisis dan juga terhambatnya pertumbuhan atau bahkan kematian sel (Ahn et al. 2004). Maguire (2000), menambahkan bahwa sifat-sifat fisikokimia antimikrob, seperti tegangan dan hidrophobisitas merupakan faktor penentu utama keefektifan dari antimikrob.
32
Penentuan Nilai LC50 Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) Berdasarkan Uji Toksisitas Menggunakan Artemia salina L Penelitian ini menggunakan organisme uji yaitu udang-udangan air asin (Artemia salina L). Setelah 15 sampai 20 jam diinkubasi dalam air garam maka telurtelur udang-udangan akan menetas dan beberapa jam kemudian berenang dengan sempurna untuk mendapatkan nutrisi. Selanjutnya setelah inkubasi 48 jam menjadi bentuk nauplii (larva tahap instar III atau IV). Bentuk dewasa akan terjadi pada hari kedelapan (Treece 2000). Penelitian terhadap toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) menghasilkan uji yang cepat dan sangat sederhana. Sesuai pendapat Khrisnaraju et al. (2005), yang menguji bioaktivitas tumbuh-tumbuhan obat asal India dan sangat mendukung penggunaan obat-obat tersebut secara tradisional, sehingga metode ini bisa diandalkan untuk uji bioaktivitas dan toksisitas suatu bahan uji. Pengujian dengan brine shrimp bioassay menggunakan larva Artemia salina L merupakan metode alternatif yang dapat menggantikan penelitian yang menggunakan hewan-hewan besar, mengurangi angka kesakitan dan stres (Kanwar 2007). Penentuan tahap awal suatu bahan yang diduga toksik terhadap konsentrasi moderat dan tinggi dapat dideteksi dengan bioassay menggunakan Artemia salina L, dimana suatu senyawa yang toksik bisa menjadi tidak toksik apabila digunakan hewan coba yang lebih besar (Kiviranta et al. 2007). Pengamatan terhadap larva A. salina L yang diberikan EEP dalam media air garam menunjukkan bahwa larva yang mati terlihat berwarna coklat, kemungkinan larva memakan ekstrak pliek u, sedangkan yang masih hidup terlihat masih berwarna jingga (Gambar 8).
Gambar 8 Larva udang-udangan (Artemia salina L) yang digunakan pada uji toksisitas ekstrak kasar etanol dari Pliek u (EEP).
33
Hasil uji toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap larva A. Salina L setelah pengamatan 24 jam menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi EEP menyebabkan peningkatan persentase kematian larva (Gambar 9).
Nilai
konsentrasi LC50 EEP diperoleh berdasarkan analisis persamaan regresi linier adalah 3.36 mg/ml. Dosis EEP tersebut tidak toksik terhadap A. salina L. Suatu ekstrak dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50% larva A. Salina L) <1000 µg/ml untuk ekstrak kasar dan <200 µg/ml untuk ekstrak
% Kematian Larva udang (Artemia salina )
murni setelah waktu kontak 24 jam (Meyer et al. 1982).
90 80.67
80 70.33
70
y = 17.83 x - 9.97
60 50 40 30
30
20
16.67
10
20
0 0
1.25
2.5
5
10
Konsentrasi Esktrak Etanol dari Pliek u (m g/m l)
Gambar 9 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari Pliek u (EEP) terhadap larva Artemia salina L Toksisitas suatu bahan juga dipengaruhi oleh jenis ekstraknya. Penelitian yang dilakukan oleh Chaudhry et al. (2003), menunjukkan bahwa tumbuhan obat yang diekstrak dengan metanol tidak memperlihatkan aktivitas biologik pada uji brine shrimp bioassay dibandingkan dengan ekstrak diklorometan. Akan tetapi ekstrak air dari akar dan batang tumbuhan Terminalia brownii memiliki aktivitas toksik yang sangat tinggi (Mbwambo et al. 2007). Simpulan Ekstrak etanol kasar dari pliek u (EEP) berpotensi sebagai senyawa antimikrob dengan konsentrasi penghambat minimal (MIC) EEP adalah 2.5-10 mg/ml dan konsentrasi mikrobisida (MMC) EEP adalah 10- 20 mg/ml. Nilai konsentrasi LC50 EEP adalah 3.36 mg/ml dan tidak toksik terhadap A. salina L.
34
V. STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL DARI PLIEK U TERHADAP PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA AKTIVITASNYA DI DALAM SUSU (The Stability of Crude Ethanol Extract of Pliek u toward Heating, Storage, pH and its Antimicrobial Activity in Milk) Abstract Crude ethanol extract of pliek u (a traditional spice of Aceh) has been reported to exert antimicrobial activity against bacteria and fungi. The objective of this study was to investigate the stability of crude ethanol extract of pliek u (EEP) toward heating, storage, pH and its ability in milk as antimastitis in vitro. The antimicrobial activity was detected by using paper disc method. The antibacterial effect of crude EEP as antimastitis agent was assayed by inoculation of bacteria (S. aureus or E. coli) in milk then measured the bacterial reduction. The crude EEP was still active at 100ºC, 121ºC for 15-60 menit, 28ºC (room storage), 10ºC (refrigerator temperature), both for 1-6 months and at pH from 3-11. The effect of 3.36 mg/ml of crude EEP reduced the number of S. aureus and E. coli at 2.8 cfu/ml log and 2.52 cfu/ml log in two hours compared to the control or at 10.03 cfu/ml log and 10.41 cfu/ml log in 12 hours respectively. Because of the stability of crude EEP and the antibacterial activity in milk, thus needed further investigation of EEP in order to clinical applications in vivo, especially in controlling of clinical mastitis. Keyword: pliek u, stability, antimastitis. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan fermentasi, diantaranya adalah pliek u (makanan fermentasi asal Aceh). Pliek u diperoleh dari daging buah kelapa yang difermentasi tanpa disengaja selama beberapa hari untuk mendapatkan minyak pliek u (Bakar et al. 1985). Pliek u atau patarana dimanfaatkan secara turun menurun oleh masyarakat Aceh sebagai bumbu masak dan sambal (Hurgronje 1985) serta sebagai pakan unggas. Sampai sekarang makanan ini tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh. Kelapa (Cocos nucifera L) sudah lama dimanfaatkan daging buah dan minyaknya sebagai makanan dan obat untuk mengobati penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin dan influenza (Fife 2005). Asam-asam lemak bebas dan monogliserida yang terdapat dalam daging buah dan minyak kelapa mempunyai aktivitas antimikrob, tidak toksik dan tidak menimbulkan resistensi (Nair et al. 2005 dan Kabara 2000). Ada beberapa syarat jaminan yang diperlukan untuk mengembangkan bahan obat baru agar efektivitasnya tetap baik (stabil). Syarat jaminan yang diperlukan adalah stabilitas bahan obat terhadap berbagai faktor luar dan dalam, seperti faktor
35
penyimpanan, suhu penyimpanan dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarut yang digunakan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kandungan bahan aktif, sifat sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan obat (efek terapi) atau aplikasinya sebagai bahan pengawet (Voigt 1994). Sesuai dengan keputusan International Dairy Federation (IDF), bahwa penelitian yang mengarah kepada tujuan terapi terhadap kasus-kasus mastitis diprioritaskan pada memaksimalkan daya tahan inang dan efektifitas metode-metode terapeutik (Hillerton 1998). Sampai saat ini pencegahan dan pengobatan mastitis tetap menjadi perhatian terutama terhadap jenis dan bentuk terapi yang diberikan. Terbatasnya kemampuan antibiotik karena adanya faktor resistensi dan besarnya resiko pemakaian antimikrob sintetis,
menyebabkan para peneliti mencari mekanisme pertahanan secara alami
untuk mengontrol mastitis (Pfaller et al. 1998; Reimer et al. 1997; O’Brien et al. 2001; Nair et al. 2005; Pappas 2006). Sejumlah cara pengendalian dan pengobatan mastitis telah dilakukan seperti terapi alternatif telah banyak dilakukan, dan sebagian besar menunjukkan hasil positif. Beberapa diantaranya lebih ditujukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, yang tidak menimbulkan efek samping. Bahan-bahan alami tersebut dapat meningkatkan daya tahan inang dan mematikan mikrob penyebab mastitis, sehingga penelitianpenelitian kearah penggunaan terapi alternatif semakin dikembangkan. Proses pengujian terlebih dahulu dilakukan sebelum suatu bahan terapi diaplikasikan melalui pengujian secara in vitro. Tujuannya adalah untuk melihat kemampuannya dalam mereduksi mikroorganisme dan tanpa menimbulkan efek toksik secara langsung pada inang (Nair et al. 2005). Oleh sebab itu untuk mendukung manfaat pliek u sebagai makanan kesehatan dan peluangnya sebagai sumber antimikrob, perlu dilakukan pengujian aktivitas senyawa antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitasnya sebagai antimikrob. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi informasi terhadap karakterisasi ekstrak kasar etanol dari pliek u yang memberikan aktivitas terbaik sebagai antimikrob. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan
36
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari
2006 sampai
September 2007. Tahap pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kultur Mikrob Kultur mikrob terdiri dari Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, isolat klinik berasal dari Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, Bogor. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006) dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96% (Bratachem). Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24 jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 4050oC dengan tekanan 175 mBAR.
Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang
menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Stabilitas Ekstrak Kasar dari Pliek u (EEP) terhadap Suhu dan Lama Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan, serta pH Aktivitas antimikrob EEP diuji stabilitasnya terhadap suhu dan lama pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15, 30, 45 dan 60 menit. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan dilakukan dengan menyimpan EEP pada suhu kamar (25-28ºC), suhu refrigerator (10ºC) dan suhu freezer (-20ºC) selama 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 bulan. Pengaruh pH dilakukan dengan mengatur pH media menjadi 3, 5, 7, 9 dan 11, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Untuk pH asam digunakan HCl 0.1 N, sedangkan pH basa digunakan NaOH 0.1 N. Masing-masing pengujian di uji dengan metode difusi agar cakram kertas, sesuai dengan prosedur yang dikerjakan oleh Sudirman (2005a). EEP sebanyak 100 μl
37
diteteskan di atas cakram kertas, kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering rambut pada suhu 40-42°C. Selanjutnya disterilisasi dengan sinar UV (254 nm) selama 30 menit di dalam laminar airflow cabinet. Cakram kertas diletakkan di atas media agar yang mengandung mikrob uji, dilakukan preinkubasi pada suhu 10°C selama 3 jam, lalu inkubasi pada suhu optimal bagi masing-masing mikrob uji. Suhu inkubasi untuk bakteri 37°C selama 24 jam, sedangkan untuk C. albicans pada suhu kamar (26-28°C) selama 2-3 hari. Pengujian menggunakan metode cakram kertas dilakukan pengulangan tiga kali. Kriteria aktivitas antimikrob berdasarkan Ela et al. (1996), diacu dalam Elgayyar et al. (2001), yaitu antimikrob aktif dan sangat aktif: ++ (zona hambatan >11 mm), aktif sedang: + (6 mm < zona hambatan <11 mm) dan tidak aktif: - (zona hambatan <6 mm). Aktivitas Ekstrak Kasar dari Pliek u (EEP) di dalam Susu Pengujian aktivitas ekstrak kasar dari pliek u (EEP) dalam susu dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Nair et al. (1995) yang telah dimodifikasi. Susu segar berasal dari Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Sebelum perlakuan susu disteril dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Penetapan konsentrasi EEP ditetapkan sesuai dengan nilai konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml). EEP sebanyak 67.2 mg ditambahkan ke dalam masing-masing botol yang mengandung 20 ml susu. Semua sampel susu masingmasing diinokulasi dengan 20 μl S. aureus dan E. coli untuk mendapatkan jumlah sel 107-108 cfu/ml. Sampel kontrol tidak ditambahkan EEP. Sampel untuk masing-masing mikrob uji dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu kontrol dan penambahan EEP. Setiap perlakuan disimpan pada suhu 39ºC (disesuaikan dengan suhu tubuh sapi), kecuali pengamatan jam ke 0. Pengamatan terhadap laju pertumbuhan masingmasing bakteri dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Jumlah bakteri dihitung berdasarkan metode hitung cawan (Swanson et al. 1992). Analisis Data Data dari hasil masing-masing pengujian dianalisis secara deskriptif. Data dari hasil uji aktivitas EEP dalam susu ditansformasikan terlebih dahulu menjadi log cfu/ml. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD), disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
38
Hasil dan Pembahasan Stabilitas Ekstrak Kasar etanol dari Pliek u (EEP) terhadap Suhu dan Lama Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan serta pH Hasil uji stabilitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap suhu dan lama pemanasan berdasarkan zona hambatan yang terbentuk dibandingkan dengan aktivitas antimikrob EEP sebelum dipanaskan yaitu E. coli (15.33±0.47), S. aureus (19.33±0.47) dan C. albicans (10.67±0.47). Selain itu aktivitas antimikrob EEP juga berpedoman pada kriteria aktivitas berdasarkan Ela et al. (1969), diacu dalam Elgayyar et al. (2001). Hasil penelitian menunjukkan adanya zona hambatan yang bervariasi dan juga terjadi penurunan zona hambatan. EEP tetap aktif dan stabil pada pemanasan 100oC selama 15, 30, 45 dan 60 menit dan 121oC selama 15, 30 dan 45 menit, namun EEP tergolong aktif sedang pada suhu 121oC selama 60 menit (Tabel 6 dan Lampiran 8). Tabel 6 Pengaruh suhu dan lama pemanasan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans Pemanasan Suhu o
100 C
o
121 C
Keterangan :
Rata-rata Zona Hambatan (mm)
menit
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Candida albicans
15
16.67±0.57 (++)
19.33±0.57 (++)
11.00±0 (++)
30
15.33±2.88 (++)
18.33±0.57 (++)
10.33±1.15 (+)
45
15.67±1.53 (++)
18.33±0.57 (++)
10.00±1.73 (+)
60
15.33±0.57 (++)
17.67±0.57 (++)
9.33±1.53 (+)
15
12.67±1.15 (++)
16.67±1.53 (++)
10.33±0.58 (+)
30
12.67±1.53 (++)
14.33±2.31 (++)
7.67±0.57 (+)
45
13.33±2.31 (++)
13.00±2.67 (++)
5.67±0.58 (+)
60
9.33±0.58 (+)
10.33±1.15 (+)
6.00±0 (+)
(++) sangat aktif atau aktif; (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif
Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) yang dipanaskan pada suhu 121oC dari 15-60 menit masih sangat aktif sebagai antibakteri, namun pemanasan pada suhu 121oC dari 30-60 menit menyebabkan penurunan aktivitas EEP terhadap C. albicans. Menurut Martindale (1982), minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya pada suhu 150oC selama satu jam tanpa mempengaruhi komponen di dalam minyak. Pengujian yang dilakukan dengan memanaskan EEP pada suhu 100oC dan 121oC selama 15, 30, 45 dan 60 menit menunjukkan adanya perbedaan zona hambatan yang terbentuk pada masing-masing mikrob uji. Perbedaan zona hambatan tersebut
39
disebabkan sensitivitas masing-masing mikrob uji berbeda terhadap EEP. Walaupun terjadi penurunan aktivitas antimikroba pada suhu 121oC, namun EEP tetap aktif (zona hambatan antara 6-10.33 mm). Agar aktivitasnya tetap baik, sebaiknya EEP tidak dipanaskan pada suhu 121oC lebih dari 60 menit. Stabilitas EEP terhadap aktivitas antimikrobanya berdasarkan suhu dan lama penyimpanan disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 9. Pengujian pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP berdasarkan metode cakram kertas menghasilkan zona hambatan yang bervariasi pada masing-masing mikrob uji terjadi penurunan aktivitas apabila disimpan pada suhu freezer (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans Penyimpanan
Rata-rata Zona hambatan (mm)
Suhu
Lama
Suhu Kamar (25-28ºC)
1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan
Suhu Refrigerator (10ºC)
Suhu Frezeer (-20ºC)
Escherichia coli 15.67±2.89 (++)
Staphylococcus aureus 14.67±2.31(++)
Candida albicans 9.33±1.53 (+)
12.00±1.73 (++)
17.00±0 (++)
10.67±0.58 (+)
11.67±2.08 (++)
16.00±0 (++)
10.67±1.53 (+)
11.33±0.58 (++)
15.67±0.58 (++)
8.67±0.58 (+)
8.67±1.53 (+)
15.00±0 (++)
10.00±0 (+)
7.67±2.52 (+)
15.30±30.58 (++)
9.33±2.31(+)
8.33±2.31 (+)
13.00±1.73 (++)
8.33±0.58 (+)
9.67±1.53 (+)
12.00±0(++)
9.00±0 (+)
5.67±0.58 (+)
10.67±1.15 (++)
7.33±0.58 (+)
5.67±1.15 (+)
11.33±1.15 (++)
3.67±0.58 (-)
5.67±0.58 (+)
8.67±0.58 (+)
3.00±0 (-)
5.33±0.58 (-)
7.67±1.15 (+)
3.33±0.58 (-)
4.67±1.15 (-)
8.67±0.58 (+)
4.67±0.58 (-)
4.67±0.58 (-)
8.00±0 (+)
5.00±0 (-)
4.00±0 (-)
5.67±0.58 (+)
3.67±0.58 (-)
3.00±0 (-)
6.00±0 (+)
4.00±0 (-)
3.00±0 (-)
4.33±1.15 (-)
3.67±0.58 (-)
3.00±0 (-)
4.00±0 (-)
3.67±0.58 (-)
Keterangan : (++) sangat aktif atau aktif, (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif
Apabila dibandingkan dengan aktivitas antimikrob EEP sebelum perlakuan yaitu E. coli (15.33±0.47), S. aureus (19.33±0.47) dan C. albicans (10.67±0.47) maka secara umum penyimpanan pada suhu kamar (28ºC) sampai 6 bulan dan suhu refrigerator (10ºC) selama 2-4 bulan tidak menurunkan aktivitas antimikrob dari EEP, namun penyimpanan pada suhu freezer (-20ºC) sampai 6 bulan menurunkan aktivitas antimikrob EEP.
Minyak kelapa sebaiknya disimpan pada suhu 25ºC di dalam
40
kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup rapat serta terlindung dari cahaya (Martindale 1982). Kriteria stabilitas bahan obat baru ditetapkan berdasarkan daya simpan dan faktor fisika-kimianya. Pengujian masa simpan dan suhu merupakan penentuan wajib terhadap stabilitas suatu bahan obat (Voigt 1994). Hal utama yang mempengaruhi stabilitas bahan obat, adalah 1) labilitas bahan itu sendiri dan bahan pembantunya, 2) faktor luar, seperti suhu, kelembaban udara dan cahaya. Sering terjadi pada suatu bahan obat memiliki efektivitas yang baik namun bahan tersebut tidak stabil sehingga kualitasnya
tidak
baik
(mengalami
berbagai
perubahan
sehingga
terjadi
penyimpangan). Faktor lain yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu bahan obat selain suhu dan daya simpan adalah pH. Stabilitas EEP terhadap pH disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 10. Aktivitas antimikrob EEP masih sangat aktif pada pH 3-11. pH EEP sebelum diuji adalah 4,6. Selain pemanasan dan penyimpanan, pH juga berperan terhadap kestabilan bahan obat. Pengujian pH erat kaitannya dengan aplikasi secara oral atau kontak dengan komponen-komponen lain dalam suatu media (bahan pembantu). Toleransi terhadap pH biasanya berkaitan dengan sifat fisika-kimia antimikrob. Tabel 8 Pengaruh pH terhadap aktivitas ekstrak etanol dari pliek u (EEP)
pH 3 5 7 9 11
Rata-rata Zona Hambatan (mm) Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans 15.67±0.58 (++) 20.33±0.58 (++) 9.00±0.00 (+) 16.67±0.58 (++) 19.33±0.58 (++) 9.67±1.15 (+) 16.67±1.15 (++) 19.00±0.00 (++) 10.33±1.15 (+) 16.33±1.15 (++) 19.33±1.15 (++) 11.00±0.00 (+) 15.33±0.58 (++) 18.67±0.58 (++) 8.67±0.58 (+)
Keterangan : (++) sangat aktif atau aktif, (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antimikrob EEP tidak dipengaruhi oleh pH. Aktivitas EEP stabil pada rentang pH mulai dari 3-11. Monogliserida dan asam lemak bebas masih bersifat bakterisida setelah diinkubasi selama 15 menit pada pH asam dan netral (Kabara 2000). Senyawa antimikrob dengan daya larut lemak sangat tinggi mempunyai aktivitas lebih besar dan aktif pada rentang pH yang luas (Branen 1993).
41
Aktivitas Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) terhadap S. aureus dan E. coli di dalam Susu Hasil pengujian aktivitas antimikrob EEP pada nilai konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) terhadap S. aureus dan E. coli dalam susu dapat dilihat pada Tabel 9. Pengamatan terhadap jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diinkubasi pada suhu 39ºC sampai masa inkubasi 12 jam menunjukkan adanya penurunan jumlah kedua bakteri tersebut dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan setiap pengamatan menunjukkan bahwa jumlah S. aureus dan E. coli menurun dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada 0 jam penyimpanan (Tabel 9). Tabel 9 Pengaruh penambahan ekstrak etanol dari pliek u (EEP) terhadap pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam susu pada penyimpanan 39ºC Pengamatan (jam ke) 0 2 4 6 8 10 12
Jumlah bakteri dalam susu pada penyimpanan 39ºC S. aureus (log cfu/ml) E. coli (log cfu/ml) Kontrol EEP* kontrol EEP* 8.23 8.23 8.47 8.47 8.57 5.77 8.83 6.31 3.29 10.39 5.75 10.36 11.38 3.29 11.01 3.46 11.58 2.95 11.96 3.24 12.17 2.90 12.33 2.54 12.59 2.86 12.86 2.45
Keterangan : * EEP ( 3.36 mg/ml)
Penambahan EEP pada konsentrasi 3.36 mg/ml sangat cepat menurunkan jumlah S. aureus pada penyimpanan 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam dengan selisih penurunan masing-masing menjadi 2.8, 7.03, 8.09, 8.63, 9.27 dan 9.73 log cfu/ml dibandingkan dengan kontrol (Tabel 9). EEP mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan S. aureus dalam susu yang disimpan pada suhu 39ºC (Gambar 10). Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa penambahan EEP pada konsentrasi 3.36 mg/ml dalam susu terhadap penurunan jumlah S. aureus ternyata tidak berbeda antara penyimpanan 6 dengan 8 jam, begitu juga pada penyimpanan 10 dengan 12 jam. Adanya sedikit selisih penurunan jumlah S. aureus setelah penambahan EEP pada penyimpanan 4, 6, 8, 10 dan 12 jam mungkin dapat disebabkan pola pertumbuhan bakteri dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya.
Sensitifitas mikrob bisa sangat dipengaruhi oleh jenis mikrob
(strain yang berbeda), jumlah awal dan bahan antimikrob yang digunakan serta fase pertumbuhan mikrob (Entani et al. 1998).
Jumlah S. aureus (log cfu/ml)
42
14 12 10.36
10 8.57
8.23
8 6
12.59
12.17
11.58
11.38
Kontrol
EEP
5.77
4
3.29
3.29
2.95
2
2.9
2.86
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 10 Aktivitas EEP terhadap S. aureus dalam susu Senyawa antimikrob mempunyai pengaruh yang kecil pada saat proses sintesis sel selama fase stasioner, sehingga mikrob mungkin tidak akan menurun dengan cepat jumlahnya dibandingkan pada lag. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh komponenkomponen yang terkandung didalamnya dan interaksinya dengan dinding sel dan membran mikrob. Pertumbuhan sel pada fase log atau fase eksponensial lebih sensitif dan lebih mudah dibunuh dibandingkan pada fase stasioner (Corre et al. 1990, diacu dalam Carson et al. 2002). Kemampuan EEP dengan konsentrasi 3.36 mg/ml dalam susu yang disimpan pada suhu 39ºC dapat menurunkan jumlah E. coli sangat besar yaitu 10.41 log cfu/ml dibandingkan dengan kontrol dalam 12 jam penyimpanan (Tabel 9 dan Gambar 11).
Jumlah E. coli (log cfu/ml)
14 12 10.39
10
8.83
8.47
8
12.86
12.33
Kontrol
6.31
6
11.96
11.01
EEP
5.75
4
3.46
3.24
2.54
2
2.45
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 11 Aktivitas EEP terhadap E. coli dalam susu
43
Jumlah E. coli menurun lebih sedikit 2.5 dan 4.64 log cfu/ml dibandingkan dengan penurunan pada S. aureus 2.8 dan 7.03 log cfu/ml selama penyimpanan 2 dan 4 jam, namun pada 10 dan 12 jam penyimpanan menunjukkan penurunan jumlah yang hampir sama dari kedua bakteri tersebut (9.79 dan 10.41 log cfu/ml). Penelitian yang dilakukan oleh Nair et al. (2005) menunjukkan aktivitas asam lemak dan monogliserida (asam kaprilat dan monokaprilin) mampu menurunkan pertumbuhan lima patogen penyebab mastitis >5.0 log cfu/ml setelah 6 jam inkubasi dalam susu, namun E. coli sedikit lebih toleran kepada kedua antimikroba tersebut. Apabila jumlah mikrob menurun >1 log menunjukkan bahwa senyawa antimikrob tersebut aktif di dalam media pertumbuhannya. Beberapa penelitian terhadap aktivitas asam lemak sebagai antimikrob memperlihatkan aktivitas yang bervariasi terhadap mikroba uji, dimana bakteri Gram positif lebih sensitif dibandingkan bakteri Gram negatif (Quattara et al.1997). Pada penelitian ini tidak ada perbedaan aktivitas antimikrob dari EEP antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif.
Oleh karena EEP bukan ekstrak murni,
kemungkinan komponen-komponen yang terkandung di dalam EEP bersifat sinergisme sehingga campuran beberapa komponen dapat menghambat mikrob uji. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wang et al. (1993) menunjukkan bahwa gabungan beberapa monogliserida yang berasal dari minyak kelapa lebih efektif sebagai anti-listeria dibandingkan hanya dengan menambahkan monolaurin saja di dalam susu pasteurisasi. Kombinasi beberapa monogliserida terutama monokaprin dan monolaurin memperlihatkan aktivitas sinergisme lebih besar menghambat L. monocytogenes dalam susu pasteurisasi dibandingkan dengan menambahkan monolaurin. Wang dan Johnson (1992), menyatakan bahwa monolaurin tidak mampu menghambat Listeria monocytogenes dalam susu dengan kandungan lemak yang tinggi. Aktivitas asam lemak sebagai antibakteri di dalam susu juga dipengaruhi oleh kandungan lemak susu dan suhu. Antibakteri asam lemak dalam susu skim pasteurisasi yang disimpan pada suhu 4ºC lebih aktif dibandingkan bila disimpan pada suhu 13ºC atau 23ºC (Wang et al.1993). Aktivitas menghambat yang disebabkan asam lemak dan monogliserida juga dipengaruhi oleh komposisi media, karena komponen dalam makanan mampu berinteraksi dengan asam lemak sehingga ketersediaan antimikroba tersebut dapat menurun (Wang dan Johnson 1992 dan Quattara et al. 1997).
44
Kemampuan senyawa antibakteri dalam media pertumbuhan dipengaruhi oleh pH, suhu, protein, lemak, karbohidrat dan aktivitas air (Nychas dan Tassou 2000). pH EEP sebelum perlakuan adalah 4.6 maka dengan penambahan EEP dapat menurunkan pH susu menjadi 5.7-5.9, yang mungkin mempengaruhi jumlah bakteri dalam susu. Aktivitas asam lemak sebagai antimikrob juga sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan sifat polaritasnya, selain itu dipengaruhi juga oleh gabungan beberapa senyawa antimikrob, pH dan suhu penyimpanan media (Řiháková et al. 2001; Yuste dan Fung 2004). Kim dan Fung (2004) menambahkan bahwa penggunaan ekstrak alami asal tumbuh-tumbuhan tanpa dicampur dengan antimikrob lain memerlukan dosis yang lebih besar sehingga akan berpengaruh pada organoleptik makanan. Tekanan terhadap pemakaian antibiotik yang terbatas dalam pangan asal hewan menjadi tantangan dalam industri susu, walaupun antibiotik masih digunakan untuk melawan mastitis (Bradley 2002).
Hal tersebut menyebabkan banyak penelitian
dilakukan untuk mendapatkan strategi alternatif untuk pengobatan mastitis. Adanya sinergisme dari
mekanisme aktivitas antimikrob asam lemak dan monogliserida
terhadap membran mikrob memungkinkan aktivitasnya baik terhadap mikrob yang sudah resisten terhadap antimikrob lain (Bergsson et al. 1999, diacu dalam Nair et al. 2005). Simpulan Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob pada suhu dan lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama penyimpanan pada suhu 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 bulan serta pH dari 3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC (suhu freezer) 1-6 bulan. Konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) pada 3.36 mg/ml susu yang diinkubasi pada suhu 39ºC (suhu tubuh sapi) selama 12 jam mampu menurunkan jumlah S. aureus dan E. coli. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) bisa dikembangkan sebagai antimastitis dan pengawet makanan melalui beberapa penelitian lanjutan.
45
VI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U TERHADAP JUMLAH MIKROB FESES, HATI DAN GINJAL MENCIT (The effects of crude ethanol extract of pliek u on the number of microbes of faeces, liver and kidney of mice) Abstract Acute treatments of crude ethanol extract of pliek u (EEP), Aceh traditional fermented food was evaluated in mice. In the present study, the effects of a single oral dose of crude EEP from each concentration at 370 and 733 mg/kg body weight were detected to their effect on the number of microbes in faeces, the liver and the kidney structure of mice at the fourth day, hence the most toxic of crude EEP doses can also be screened. The average of mice body weight were 26-29 g. The number of microbes of faeces was measured by Total Plate Count method. The preparation of liver and kidney were made by using paraffin method and hematoxyllin-eosin staining. There were not significantly differ of EEP treatments on the microbes in faeces (P>0.05), but there was an inclined reduction of microbes count at 1.1 log cfu/g after EEP treatment at 733 mg/kg body weight of mice. The results showed that there were not significantly differ of the change of the liver and the kidney weight (P>0.05). Histopathological results revealed minor damage in liver and kidney tissue of mice, but no significantly differ of EEP treatments on the damage of liver and kidney compared to control (P>0.05). Based on the number of microbes of faeces and parameters of liver and kidney, crude EEP was not toxic as antimicrobial compound in single oral dose (acute treatment). It is suggested that needed further detection of chronic treatment of EEP at 370 and 733 mg/kg body weight of mice. Keywords: toxicity, pliek u, microbial in faeces, liver, kidney, mice Pendahuluan Kelapa telah digunakan baik sebagai makanan maupun obat selama berabadabad di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Minyak kelapa telah digunakan untuk mengatasi beragam masalah kesehatan, mulai dari pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Telah diketahui bahwa minyak kelapa tidak memberi pengaruh yang buruk terhadap tubuh karena kandungan asam lemak jenuhnya sangat baik untuk tubuh. Kandungan asam laurat yang tinggi (40-60%) dalam daging buah dan minyak kelapa
menyebabkan minyak kelapa
mempunyai aktivitas antimikrob dan sekaligus dapat meningkatkan sistem imun (Kabara 2000; Shilhavy 2004). Pada umumnya antimikrob yang berasal dari tumbuhan, hewan dan mikroorganisme dalam bentuk bahan asal atau hasil ekstraknya dapat berperan pada mekanisme pertahanan tubuh (Hsieh et al. 2001; Lopez-Malo et al. 2000, diacu dalam Kim dan Fung 2004). Beberapa ekstrak asal tumbuhan mampu melindungi organ tubuh terhadap bahan-bahan kimia yang berbahaya (Manna et al. 2006 dan Rajesh
46
dan Latha 2004). Sebaliknya ekstrak asal tumbuh-tumbuhan dapat merusak hati dan ginjal apabila diberikan dalam dosis yang tinggi dan pemberian waktu yang lama (chronic treatment) sampai tiga bulan (Al-Ashban et al. 2005). Masyarakat Aceh secara turun menurun menggunakan minyak kelapa hasil fermentasi (minyeuk pliek u) sebagai minyak goreng, selain itu juga digunakan sebagai obat untuk menurunkan panas, sakit persendian, luka, sakit kepala dan sakit perut (informasi dari lapangan). Pliek u merupakan residu yang diperoleh dari proses pemeraman daging buah kelapa setelah diambil minyaknya (Bakar et al. 1985, komunikasi langsung). Pliek u tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh sebagai bumbu, dan juga digunakan sebagai pakan ayam. Sampai sekarang tidak ada laporan sakit karena mengkonsumsi pliek u dan olahannya dan tidak ada informasi yang berkaitan dengan keamanan mengkonsumsi pliek u. Untuk melengkapi data mengenai pliek u dan ekstraknya, maka karakterisasi toksisitasnya perlu dilakukan apabila diaplikasikan untuk kesehatan dengan pemberian secara oral. Salah satu cara masuknya bahan-bahan berbahaya ke dalam tubuh adalah melalui saluran pencernaan (Omaye 2004).
Banyak faktor yang mempengaruhi
jumlah flora dalam usus diantaranya adalah kondisi fisik inang, kekebalan inang, makanan, interaksi antar flora (bakteri), antibiotik dan makanan yang terkontaminasi dengan mikrob (Mitsuoka 1978). Pemberian antibiotik dapat menurunkan bakteri normal dalam usus sehingga dapat meningkatkan infeksi yang disebabkan bakteri lain. Pemberian antibiotik juga menyebabkan patogenitas suatu bakteri yang pada awalnya digolongkan patogenitas rendah menjadi tinggi. Pemberian antibiotik secara rutin selama 7-10 hari akan membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan (Linder 1992). Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sebagai antimikrob terhadap flora saluran pencernaan, perubahan hati dan ginjal mencit. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan informasi ilmiah mengenai toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan preparat dan pengamatan histopatologi dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi Fakultas
47
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tahap penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hewan Uji Mencit jantan (Mus musculus) dijadikan sebagai hewan uji, berjumlah 9 ekor diperoleh dari ruang hewan percobaan Laboratorium Patologi FKH-IPB. Mencit berumur 7-8 minggu dengan berat badan 26-29 g. Mencit ditempatkan dalam bak plastik yang beralas sekam dengan tutup jeruji. Ditempatkan dalam ruang yang bersuhu 25-28ºC dan cahaya yang diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap serta diberi makan (pakan ikan SPA 5) dan minum ad libitum. Pemilihan hewan coba berdasarkan prosedur yang dilakukan Holzhűtter et al. (2003), diacu dalam Luo et al. (2004); AlAshban et al. (2005). Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006) dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96% (Bratachem).
Campuran tersebut dikocok menggunakan
refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24 jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 4050oC dengan tekanan 175 mBAR untuk etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP). Tahap ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 4. Penentuan Dosis dan Cara Pemberian EEP Penentuan dosis dilakukan berdasarkan Supartinah-Noer et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Dosis EEP (perlakuan akut) yang digunakan berdasarkan konsentrasi nilai LC50 pada uji toksisitas awal ekstrak kasar etanol dari pliek u yang menggunakan larva udang-udangan (Artemia salina L), yaitu 3.36 mg/ml. Dosis LC50 dikalikan tiga
48
dan enam, sehingga diperoleh dosis perlakuan masing-masing 10.08 mg/mencit (370 mg/kg bb) dan 20.16 mg/mencit (733 mg/kg bb). Mencit berjumlah 9 ekor dibagi dalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kontrol hanya diberikan akuades steril, sedangkan dua kelompok perlakuan yang lain masing-masing diberikan EEP dosis tunggal 370 mg/kg bb (EEP I) dan 733 mg/kg bb (EEP II) mencit. Pemberian bahan uji dilakukan per oral menggunakan sonde lambung. Sebelum perlakuan, mencit dipuasakan selama 12 jam dan ditimbang berat badannya. Pengamatan terhadap Jumlah Mikrob Feses Mencit Setelah perlakuan (pemberian akut) dosis EEP I dan EEP II, tingkah laku dan keadaan mencit diamati (Shah et al. 1998). Jumlah mikrob feses dan histopatologi hati dan ginjal diamati pada hari keempat. Pengamatan terhadap jumlah mikrob feses dilakukan berdasarkan metode hitung cawan (Swanson et al. 1992). Feses dari setiap mencit langsung diambil dari usus dan rektum. Pengujian dilakukan secara duplo untuk masing-masing pengenceran. Jumlah mikrob dihitung berdasarkan jumlah koloni yaitu colony forming unit per gram feses (cfu/g). Pengamatan terhadap Kerusakan Hati dan Ginjal Mencit Pengaruh ekstrak kasar EEP terhadap organ hati dan ginjal diamati pada hari keempat. Sebelum dinekropsi berat badan mencit ditimbang, kemudian dibius menggunakan eter berlebih. Organ hati dan ginjal juga ditimbang dan dilihat perubahan patologinya. Organ dimasukkan dalam larutan formalin 10%, dilanjutkan dengan membuat preparat sayatan dengan metode parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Sayatan histologis hati dan ginjal diamati di bawah mikroskop cahaya pembesaran 10 dan 100x (Shah et al. 1997, diacu dalam Al-Ashban et al. 2005). Penilaian kerusakan organ hati dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi FKH-IPB berdasarkan komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih. Pengukuran parameter histopatologi organ hati dan ginjal berdasarkan pengamatan 10 lapang pandang dengan memberi skor pada parameter sitoplasma, inti sel dan pembuluh darah, yang disajikan pada Tabel 10. Pemeriksaan sitologi ginjal meliputi glomuerulus,ruang Bowman dan sel-sel tubulus, selain itu diamati juga perdarahan yang terjadi pada jaringan. Pemberian skor secara kualitatif ditetapkan hanya pada glomerulus dan tubulus berdasarkan 10 lapang pandang dapat dilihat pada Tabel 11.
49
Tabel 10 Parameter dan tingkat kerusakan hati Skor 0 1
2
3
4
Sitoplasma Normal (homogen) Degenerasi parenkim; atau Degenerasi hidrofik Degenerasi parenkim; Degenerasi hidrofik(<); Degenerasi lemak sangat sedikit (<<); Degenerasi parenkim>;atau Degenerasi hidrofik(>); Degenerasi lemak sedikit (<) Degenerasi parenkim; Degenerasi lemak sangat banyak (>>); nekrosis
Parameter Inti sel Normal Ada yang normal; Piknosis sangat sedikit (<<) Ada yang normal; Piknosis sedang (<)
Ada yang normal; Piknosis sedangbanyak (>) Nekrosis
Pembuluh darah Normal Radang sangat sedikit (<<) Radang sedang (<)
Radang banyak
nekrosis
Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah
Tabel 11 Parameter dan tingkat kerusakan ginjal Skor 0 1 2 3 4
Parameter Glomerulus Normal (homogen) (N) Edema (E)
Tubulus
normal (N) Degenerasi parenkim/berbutir/granul sel tubulus (DP) Nekrosa (inti menghilang sebagian) degenerasi hidrofik (sel membengkak, (Ns) berisi air) (DH) Radang (di sekitar glomerulus) (R) degenerasi lemak (vakuolisasi sel tubulus) (DL) nekrosa, ada protein dalam lumen tubulus Atrofi (inti hilang, pengecilan (Ns,P) glomerulus), ada protein di ruang bowman (A)
Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah
Analisis Data Data jumlah mikrob feses, berat hati dan ginjal dianalisis dengan Anova, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Data jumlah
mikrob ditansformasikan menjadi log cfu/g feses. Data parameter tingkat kerusakan hati dan ginjal dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, apabila hasil berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji multiple comparison. Perhitungan statistik dilakukan dengan
50
menggunakan SPSS versi 13 for windows. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD) dan disajikan dalam bentuk Tabel dan Gambar. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) terhadap Jumlah Mikrob Feses Mencit Pengujian terdahulu secara in vitro tidak bisa memprediksikan efek antimikrob terhadap inang, sehingga uji toksisitas lanjutan secara in vivo. Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sebagai antimikrob dan efeknya pada flora normal saluran pencernaan, serta toksisitasnya pada hati dan ginjal mencit. Pengaruh pemberian EEP (pemberian akut) dengan dosis 370 (EEP I) dan 733 mg/kg bb (EEP II) terhadap jumlah mikrob feses mencit disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 11. Tabel 12 Jumlah mikrob feses mencit setelah diberi EEP Perlakuan
Rata-rata jumlah mikrob feses (log cfu/g)
EEP 0 (kontrol)
7.63 ±0.17
EEP I (370 mg/kg bb)
7.53 ±0.04
EEP II (733 mg/kg bb)
6.54±0.08
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EEP dengan dosis yang berbeda tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol (Tabel 12). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis 370 dan 733 mg/kg berat badan mencit tidak menurunkan jumlah mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, tetapi jumlah mikrob cenderung turun setelah pemberian EEP 6 x dosis LC50 . Penurunan jumlah mikrob adalah 1.1 log cfu/g feses mencit dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pemberian EEP 3 x dosis LC50 hanya menurunkan 0.1 log cfu/g feses mencit. Penurunan jumlah mikrob > 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob, walaupun tidak diberikan secara rutin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian akut EEP sebanyak 733 mg/kg berat badan atau 6 x dosis LC50 tidak baik bila diberikan secara rutin. Pemberian antibiotik secara rutin selama 7-10 hari akan membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan (Linder 1992). Jumlah mikrob (bakteri ) yang terdapat dalam feses mencit pada penelitian ini masih berada dalam kisaran jumlah normal bakteri feses saluran pencernaan bila
51
dibandingkan dengan jumlah bakteri saluran pencernaan manusia. Jumlah bakteri dalam usus kecil manusia yang sehat berkisar antara 105-108/g atau 103-109/g, sedangkan dalam usus besar mencapai lebih dari 1011-1012 g (Mitsuoka 1978; Hao dan Lee 2004). Ada lebih dari 400 spesies dan subspesies bakteri dalam saluran pencernaan. Bakteri yang lazim ditemukan dalam usus mencit, tikus, tupai dan marmut adalah lactobacilli dan bakteri anaerobik. Bakteri golongan koli lebih tinggi jumlahnya pada tikus dan tupai dibandingkan pada mencit (Mitsuoka 1978). Secara umum jumlah mikrob normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan dipengaruhi oleh sekresi lambung. Mikroorganisme sudah ada dipermukaan tubuh manusia dan hewan sejak lahir dan menjadikannya sebagai tempat yang sesuai untuk pertumbuhan hidupnya (Hao et al. 2004). Hasil penelitian terhadap jumlah bakteri pada mencit yang telah dilakukan oleh Bergonzelli et al. (2003), menunjukkan bahwa pemberian beberapa minyak essensial dapat menghilangkan infeksi Helicobacter pylori 20-30%, walaupun tidak mampu menurunkan jumlah Helicobacter pylori secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bergonzelli et al (2003) juga menyarankan agar minyak essensial tidak digunakan sebagai anti-Helicobacter, namun dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan pasien untuk menunjang pengobatan terhadap infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori. Pada penelitian ini tidak menunjukkan penurunan jumlah bakteri normal feses mencit secara signifikan (P>0.05), namun untuk menjaga flora normal saluran percernaan maka dapat dipertimbangkan pemberian EEP dengan dosis tunggal tidak lebih dari 733 mg/kg berat badan. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kasar EEP terhadap Hati dan Ginjal Mencit Pengaruh pemberian EEP peroral terhadap hati dan ginjal diawali dengan menimbang berat hati dan ginjal yang dinyatakan dalam persen terhadap berat badan mencit disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 12. Pemberian EEP dengan satu kali pemberian pada dosis rendah maupun tinggi tidak mempengaruhi (P>0.05) berat hati dan ginjal. Persentase berat hati dan berat ginjal per berat badan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) dibandingkan dengan dengan kontrol. Berdasarkan pengukuran berat hati dan ginjal mencit yang diberi EEP 733 mg/kg bb cenderung memperlihat sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 13).
52
Perubahan berat hati dan organ mungkin hanya bersifat sementara. Perubahan berat organ merupakan petunjuk awal efek toksik pada organ sasaran (Lu 1995). Berat organ yang lebih besar menunjukkan terjadinya steatosis, yaitu perlemakan dalam sel hati yang dipandang sebagai gejala efek toksik secara langsung (Vandenberghe 1996; Al-Ashban et al. 2005).
Berat organ yang lebih rendah dapat disebabkan oleh
banyaknya sel hati yang mengalami nekrosis, dimana nekrosis merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya. Perubahan berat hati tidak selalu berakibat fatal (kritis), karena hati merupakan organ yang mempunyai kapasitas pertumbuhan yang luar biasa (reversible) (Lu 1995). Tabel 13 Persentase berat hati dan ginjal per berat badan mencit setelah diberi EEP Perlakuan
Rataan berat organ/berat badan (%) hati
ginjal
EEP 0 (kontrol)
6.05±1.36
1.79±0.19
EEP I (370 mg/kg bb)
6.96±0.69
1.89±0.10
EEP II (733 mg/kg bb)
7.72±0.72
2.01±0.09
Berdasarkan pengamatan secara histopatologi pada beberapa parameter organ hati menunjukkan bahwa secara umum struktur jaringan hati terlihat normal, kerusakan ringan hingga kerusakan sedang (Tabel 14 dan Gambar 12). Berdasarkan 10 lapang pandang hanya sekitar 1-2 lapang pandang yang mengalami kerusakan ringan pada struktur hati, baik pada kontrol maupun yang diberi EEP I dan EEP II (Lampiran 13). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa struktur hati tidak berbeda nyata (P>0.05) antar perlakuan. Pengamatan terhadap rata-rata parameter hati pada perlakuan kontrol, pemberian EEPI dan EEP II menyebabkan kerusakan ringan pada hati mencit. Berdasarkan komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih dan pengamatan hasil penelitian menunjukkan bahwa organ hati mengalami kongesti, namun vena sentralis terlihat normal dan susunan sel masih teratur. Inti sel yang tidak normal hanya sedikit dan sitoplasma yang tidak homogen ditemukan dalam jumlah sedang (Gambar 12).
53
Tabel 14 Tingkat kerusakan hati mencit Perlakuan
No Mencit
EEP 0
1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan
EEP I (EEP 370 mg/kg bb) EEP II (EEP 733 mg/kg bb)
Sitoplasma 1.4 2.2 1.9 1.83±0.40 1.8 1.4 2.6 1.93±0.81 1 2.7 1 1.57±0.98
Parameter nukleus 0 0.9 1 0.83±0.55 0.8 1.4 1 1.07±0.30 1 1.3 0.7 1.00±0.30
P. darah 1.4 0.7 1.2 1.1±0.36 0.7 2.2 0.7 1.2±0.87 0.3 2.1 0.7 1.03±0.95
Parameter: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah
Struktur hati normal pada mencit ditandai dengan pembuluh darah lebar, inti sel normal, susunan sel normal, sinusoid utuh, sitoplasma homogen (Gambar 12A). Kerusakan ringan pada jaringan hati ditandai dengan pembuluh darah masih lebar, inti sel masih normal, tapi ada sedikit tidak normal (piknosis), kemudian sitoplasma sebagian tidak homogen (ada sedikit degenerasi parenkim atau degenerasi hidrofik), susunan sel masih normal dan tidak ada radang (Gambar 12B, 12C dan 12D). Menurut Supartinah-Noer et al. (2003), kerusakan ringan ditandai dengan vena sentralis melebar, susunan sel tidak teratur, inti sel tidak normal, sinusoid tidak utuh dan sitoplasma homogen. Kerusakan yang ringan pada hati semua mencit pada penelitian ini bila dibandingkan dengan kontrol mungkin tidak disebabkan oleh pemberian EEP, namun dapat disebabkan ada faktor lain yang mempengaruhi organ hati, seperti pakan dan lingkungan.
Menurut Manna et al. (2006), senyawa-senyawa organik (kimia)
termasuk obat dan toksikan yang berasal dari makanan dan lingkungan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel organ hingga terjadi peningkatan aktivitas metabolik tubuh. Adanya perubahan jaringan organ hati dapat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan dan komponen toksik yang terkandung di dalam ekstrak. Mencit yang diberi ekstrak tumbuhan Apocynaceae (jenis tumbuhan alamanda, ginje dan kamboja) memberi kerusakan yang bervariasi pada jaringan hati mulai dari kerusakan ringan hingga parah dan dipengaruhi oleh jenis tumbuhannya dan zat toksik seperti glikosida (Supartinah-Noer et al. 2003).
54
VS
VS K
SS
VS
DP
SI 50μm
50μm
A
B
P
DH DH DP C
50μm
50μm
D
Gambar 12 Histologi jaringan hati mencit. Hati normal pembesaran 10x (A) dan tingkat kerusakan ringan pada kontrol pembesaran 100x (B), kerusakan ringan pada hati mencit kelompok EEP 370 mg/kg pembesaran 100x (C), kerusakan ringan pada hati mencit kelompok EEP 733 mg/kg pembesaran 100x (D). vena sentralis (VS), susunan sel (SS), sinusoid (SI), kongesti (K), degenerasi parenkim (DP), degenerasi hidrofik (DH), sel mengalami piknosis (P). Pewarnaan HE Berdasarkan pengamatan secara histologi pada jaringan ginjal menunjukkan secara umum struktur jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan yang tidak berarti (kerusakan ringan) (Tabel 15 dan Gambar 13). Pengamatan pada struktur jaringan ginjal yang diberikan EEP 370 dan 733 mg/kg berat badan mencit
55
(pemberian satu kali) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 15). Berdasarkan pengamatan dari 10 lapang pandang pada jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan ringan (Lampiran 14). Kongesti juga terjadi pada semua ginjal mencit (Gambar 13). Pengamatan terhadap kerusakan ginjal meliputi perubahan pada glomerulus, ruang Bowman, tubulus (sel-sel tubulus proksimalis atau sekitar glomerulus dan perdarahan dalam jaringan (ruang Bowman dan di dalam serta antara tubulus). Tabel 15 Tingkat kerusakan ginjal mencit Perlakuan
Ulangan
EEP 0 (kontrol)
1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan
EEP I (EEP 370 mg/kg bb) EEP II (EEP 733 mg/kg bb)
Parameter Glomerulus Tubulus 0.7 2.3 0.6 1.3 0.7 1.4 0.67±0.05 1.67±0.55 1.5 1 1 1 1.3 1.9 1.27±0.25 1.3±0.51 1 1.1 1 1 1 1.1 1±0 1.07±0.05
Parameter : 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah
Pemberian ekstrak kasar EEP dengan satu kali pemberian (acute treatment) baik dosis rendah maupun dosis tinggi tidak bersifat toksik pada ginjal. Perubahan organ ginjal yang terjadi secara histopatologik pada mencit kontrol dan yang diberi EEP hanya degenerasi parenkim dan degenerasi hidrofik (sel yang membengkak) (Gambar 13).
Reaksi toksik pada ginjal terhadap toksikan ditandai adanya pendarahan,
ditemukannya eritrosit di antara dan dalam tubulus serta sekitar glomerulus dan ruang Bowman. Pada penelitian ini tidak ditemukan pendarahan di ruang Bowman, namun pendarahan ada terjadi di dalam pembuluh darah dan sedikit antara tubulus ginjal. Diduga adanya kongesti tidak disebabkan oleh ekstrak kasar EEP, namun faktor lain seperti cara pembiusan terhadap mencit atau karena sebelumnya sudah terpajan (terpapar) dengan toksikan. Adanya perubahan sel tubulus (degenerasi parenkim dan
56
hidrofik) pada semua mencit diduga sudah ada sebelum perlakuan (Gambar 13B, 13C dan 13D).
TD
K DP
G TP
50μm
A
50μm
B
DP RB DP DH DH 50μm
C
50μm
D
Gambar 13 Histologi jaringan ginjal mencit. Ginjal normal pembesaran 10x (A) dan tingkat kerusakan ringan pada kontrol, pembesaran 100x (B), kerusakan ringan pada ginjal mencit kelompok EEP 370 mg/kg, pembesaran 100x (C), kerusakan ringan pada ginjal mencit kelompok EEP 733 mg/kg, pembesaran 100x (D). glomerulus (G), TP: tubulus proksimal, TD: tubulus distal, RB: Ruang Bowman, K: kongesti, DP: degenerasi parenkim, DH: degenerasi hidrofik. Pewarnaan HE .
57
Parameter kerusakan ginjal akibat zat toksik adalah perubahan struktur glomerulus dan ruang Bowman (diameternya berubah) serta kematian sel tubulus. Selain perubahan struktur ginjal, pengaruh zat toksik juga ditandai dengan peningkatan nitrogen urea dan kreatinin dalam serum darah (Manna et al. 2006). Selain pengaruh toksikan, kerusakan ginjal juga dipengaruhi oleh faktor luar ginjal yang dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, sehingga sulit untuk memastikan bahwa kerusakan yang timbul disebabkan oleh toksikan. Kerusakan yang terjadi pada hati dan ginjal merupakan kerusakan yang cenderung menjadi pulih kembali (reversible). Hal tersebut terjadi bila tubuh terpapar dengan zat toksik pada kadar yang rendah atau dalam waktu yang singkat dan sifat toksikan serta keadaan hewan coba (Lu 1995). Pertahanan permukaan tubuh terhadap bahan-bahan kimia (antimikrob) seperti asam-asam lemak, polipeptida dan enzim dapat terjadi karena adanya hubungan yang erat antara mukosa dan epitel terutama sel-sel epitel, perpindahan cairan dan pergerakan mukus oleh silia (Janeway et al. 2001). Pemberian EEP secara oral memberi pengaruh yang tidak nyata terhadap flora usus, hati dan ginjal. Hal tersebut mungkin disebabkan peran pertahanan permukaan saluran pencernaan terutama sel-sel epitel saluran pencernaan atau kemungkinan komponen yang terdapat di dalam EEP tidak toksik. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis satu kali (acute treatment) EEP pada mencit dengan dosis 370 dan 733 mg/kg tidak mempengaruhi jumlah mikrob saluran pencernaan. Mencit perlakuan dan kontrol hanya mengalami kerusakan ringan pada hati dan ginjal. EEP tidak toksik bila diberikan satu kali pemberian pada dosis 370-733 mg/kg berat badan.
58
VII. DETEKSI DAN KARAKTERISASI AWAL SENYAWA ANTIMIKROB DARI EKSTRAK ETANOL PLIEK U, MAKANAN TRADISIONAL ACEH (Detection and preliminary characterization of antimicrobial compounds of ethanol extracts of pliek u, Aceh traditional food) Abstract Pliek u (obtained by traditionally fermentation of coconut meat) is a potential source of antimicrobial compounds. This research was aimed to detect their active compounds by bioautographic method and to analyze their chemical composition by GC-MS. For this purposes, pliek u was extracted with ethanol 96% to get crude ethanol extract of pliek u (EEP) and to get ethanol extract of residual pliek u (EERP) which was previously extracted by hexane. Crude EEP separated into four bioautographic spots with different Rfs (0.93, 0.71, 0.19, and 0.10) which were all shown to be active against Staphyloccoccus aureus. Similar result was shown by EERP, but only three bioautographic spots (Rfs 0.77, 0.63, and 0.4). Crude EEP consisted of 22 components representing 99.98% with fatty acids, ester, and alcohol as major constituents and aliphatic hydrocarbon. EERP consisted of 9 components representing 99.80% with alcohol as major constituents and fatty acids, ester, 4Dibenzofuramine and amine as minor constituents. The present of many active compounds in pliek u supports the use of pliek u as spice to improve the quality of food and encourages further studies to determine those active compounds. Keyword: Antimicrobe detection; chemical composition; pliek u Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan fermentasi tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Produk-produk fermentasi tradisional tersebut banyak ditemukan dalam bentuk minuman, saos, bumbu dan makanan berprotein tinggi. Pliek u adalah salah satu produk fermentasi tradisional dari Aceh, yang diperoleh dari fermentasi daging buah kelapa tanpa disengaja selama beberapa hari. Produk ini merupakan hasil dari fermentasi terakhir yang diperoleh setelah melewati fermentasi tahap 1 dan fermentasi tahap 2 dan tahap 3 (untuk mendapatkan minyak pliek u) (komunikasi langsung dengan masyarakat, Bakar et al. 1985). Pliek u sudah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan meluas penggunaannya di NAD secara tradisional sebagai bumbu masak untuk membuat berbagai menu makanan tradisional Aceh. Makanan fermentasi tradisional diperoleh dari fermentasi bahan dasar yang masih mentah atau hanya dipanaskan, sehingga menghasilkan produk yang memiliki sifat-sifat karakteristik yang khas. Makanan fermentasi tradisional mempunyai nilai nutrisi yang tinggi karena dapat menurunkan senyawa toksik, mudah dicerna serta menghasilkan vitamin dan antibiotik (Wolf 1997; Campbell-Platt 2000). Masyarakat
59
mempercayai bahwa mengkonsumsi makanan fermentasi tradisional dapat melindungi mereka dari berbagai penyakit. Beberapa negara menghasilkan makanan fermentasi tradisional yang digunakan sebagai anti infeksi, seperti Koumiss dari Rusia yang diberikan untuk mengobati tubercolusis, pulque dari Meksiko dan bubur fermentasi dari Tanzania, Sudan dan Kenya yang diberikan kepada anak-anak sebagai antidiare serta tempe dari Indonesia yang juga menghasilkan senyawa antimikrob (Dirar 1992; Watson et al. 1996; Svanberg 1992; Gandjar 2000; Farnworth 2003). Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan makanan tertua di dunia, yang sejak lama (ratusan tahun) secara turun temurun sudah dilakukan dan produknya dikonsumsi lebih banyak oleh masyarakat pedalaman atau pedesaan berdasarkan adat dan tradisi mereka (Battcock dan Azam-Ali 1998; Prajapati dan Nair 2003). Produkproduk fermentasi dihasilkan dari proses biokimia atau proses dekomposisi lambat yang disebabkan oleh mikroorganisme atau enzim (Walker 1988). Proses fermentasi sangat tergantung pada jenis, jumlah dan aktivitas mikroorganisme, komposisi kimia bahan dasar dan lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan bisa menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal (Djien 1982; Battock dan Azam-Ali 1998; Chisti 2000). Makanan fermentasi mengandung asam organik, bakteriosin, alkohol, asamasam lemak dan enzim yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Hal tersebut menyebabkan senyawa-senyawa alami yang dihasilkan dari fermentasi kultur dapat diekstrak dan dipurifikasi, yang digunakan sebagai pengawet makanan atau antimikrob (Hammes dan Tichazek 1994; Ottogali dan Galli 1997; Mortajemi et al. 1996; Hoover 2000). Akhir-akhir ini makanan fermentasi menjadi populer karena dapat memperpanjang masa simpan tanpa penambahan bahan pengawet. Secara tradisional, minyak kelapa digunakan untuk beragam masalah kesehatan, seperti pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Minyak kelapa juga digunakan sebagai bahan campuran obat yang diberikan melalui oral (Mahran 1991). Berdasarkan beberapa laporan, daging buah dan minyak kelapa mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai bahan terapi. Kandungan lemak dalam kelapa seperti asam-asam lemak dan derivatnya merupakan komponen fungsional yang sangat bermanfaat secara fisiologis, terutama sebagai antimikrob (Kabara 2000; Enig 2002). Asam-asam lemak bebas (jenuh rantai sedang) dan monogliseridanya terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap
60
berbagai mikroba seperti bakteri, jamur dan virus serta tidak menimbulkan resistensi (Kabara 1978; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993; Nair et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak kasar etanol (EEP) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif serta fungi (C. albicans), sedangkan ekstrak etanol (EERP) hanya mampu menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Oleh sebab itu untuk
mengetahui perbedaan aktivitas kedua ekstrak tersebut maka perlu dideteksi kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak EEP dan EERP untuk mengetahui jumlah dan karakter komponennya berdasarkan mentode bioautografik dan analisis GC-MS. Penelitian ini dilakukan juga untuk mendukung makanan fermentasi tradisional Aceh (pliek u) sebagai makanan kesehatan. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pemeriksaan komposisi kimia ekstrak EEP dan EERP dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat Daerah Propinsi DKI, Jakarta. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, yang diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006) dan Sudirman (2005a). Ekstraksi pertama dilakukan terhadap pliek u untuk mendapat esktrak etanol residu pliek u (EERP), yang diawali mengekstrak pliek u dengan heksan, kemudian residunya diekstrak dengan etanol. Ekstraksi ini dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml heksan. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang
61
diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC pada tekanan 335 mBAR untuk heksan, menghasilkan ekstrak kasar heksan (EHP). Residu yang diperoleh setelah diekstrak dengan heksan diekstrak lagi dengan etanol 96% dengan cara yang sama, filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC pada tekanan 175 mBAR. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak etanol residu (EERP). Ekstraksi yang kedua dilakukan hanya mengekstrak pliek u dengan etanol 96% untuk mendapatkan ekstrak etanol (EEP). Ekstraksi ini dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96%. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC pada tekanan 175 mBAR untuk etanol, menghasilkan ekstrak. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak kasar etanol (EEP). Deteksi Senyawa Antimikrob dengan Metode Bioautografi Pengujian aktivitas senyawa antimikrob EEP dan EERP dilakukan berdasarkan prosedur yang dikemukan oleh Sudirman (2005b) menggunakan kromatografi lapis tipis yaitu lempengan dengan gel silika (60 F-254 ref.5714, Merck, ketebalan 0.1 mm 20 x 5 cm). Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus berdasarkan Nakamura et al. (1999). S. aureus diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi, FKH IPB, Bogor. Inokulum S. aureus yang berasal satu ose dari koloni yang berwarna hitam pada media Vogel Johnson Agar diinokulasi ke dalam 10 ml Mueller Hinton broth dan diikubasi pada suhu 37°C selama 24 jam yang akan digunakan untuk uji bioautografi. Pengujian dengan metode bioautografi dilakukan untuk melihat bercak yang menunjukkan aktivitas senyawa antimikrob. Ekstrak etanol (EEP dan EERP) masingmasing sebanyak 10 µl diteteskan diatas lempengan gel silika ukuran 20 x 5 cm dengan jarak tetesan dari pinggir bawah lempengan 2,5 cm. Lempengan dimasukkan dalam bejana pengembang yang sudah mengandung campuran larutan butanol: asam asetat: air pada perbandingan 3:1:1 v/v yang sebelumnya campuran larutan tersebut dijenuhkan selama 1-2 jam dalam bejana pengembang. Jarak campuran larutan kira-
62
kira 1 cm dari pinggir bawah lempengan. Lempengan di uji secara duplikat, satu lempengan digunakan sebagai referensi khromatogram yang divisualisasi dengan sinar UV 366 nm, sedangkan satu lempengan yang lain diuji bioautografi. Lempengan TLC ditempatkan dalam wadah bertutup steril yang bagian bawahnya ada kertas saring yang dituang dengan akuades steril secukupnya, semua dikerjakan dalam laminar yang telah di UV. Sebelumnya lempengan dihilangkan pelarutnya dengan membiarkan lempengan dalam lemari asam selama 24 jam. Selanjutnya lempengan dilapisi dengan agar Vogel Johnson yang mengandung S. aureus (106-107cfu/ml) sampai menyebar merata diatas lempengan uji. Setelah mengeras lempengan dipreinkubasi selama 2-3 jam pada suhu 10ºC, kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Zona hambatan yang terbentuk menunjukkan adanya spot-spot senyawa yang aktif sebagai antibakteri. Pertumbuhan koloni S. aureus pada media agar VJA berwarna hitam dan zona kuning dipinggir koloni. Semua lempengan TLC didokumentasikan. Nilai Rf
pada bioautogram
dihitung dengan membagi jarak bercak (zona hambatan) yang terbentuk dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan campuran larutan. Data dianalisis secara deskriptif. Karakterisasi Senyawa Antimikrob Prosedur dikerjakan berdasarkan Simonsen et al. (2006), yang dilaksanakan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Komponen yang terdapat dalam bahan uji diidentifikasi dengan metode FAMES 1 M menggunakan alat Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Bahan uji dipreparasi terlebih dahulu berdasarkan AOAC (1995). Bahan uji 100 mg dilarutkan dengan 4 ml NaOH 0,5 N (dibawah gas Nitrogen), ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan pada suhu 100ºC selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan Boran triflorioit (BF3) 7% dalam 5 ml metanol, ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan pada suhu 100ºC selama 45 menit, kemudian ditambahkan 5 ml heksan, diinkubasi selama 5 menit, ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh, ditutup dan dikocok selama 10 menit, lalu didiamkan 10 menit dan dikocok 10 menit, kemudian disentrifus selama 10 menit. Fase organik (supernatan) diambil dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat serta didiamkan selama 10 menit kemudian dipekatkan dengan heksan menjadi ± 150 µg. Alat Gas Chromatograph (Agilent Technologies 6890) dihubungkan dengan auto sampler dan Mass Selective Detector 5973 serta data system Chemstation yang dihubungkan dengan kolom kapiler Innowax panjang 30m x diameter 0.25mm, film
63
thickness 0.25 μm. Suhu oven diprogram pada 250ºC, dengan suhu awal 130ºC selama 2 menit, kemudian dinaikkan 6ºC/menit menjadi 170ºC dipertahankan selama 2 menit, kemudian ditingkatkan lagi 3ºC/menit sampai mencapai 215ºC dipertahankan selama 1 menit, lalu ditingkatkan lagi 40ºC/menit menjadi 250ºC dan dipertahankan selama 10 menit. Suhu injeksi adalah 250ºC, suhu sumber ion 230ºC, suhu interface 280ºC dan suhu quadropole 140ºC serta , dan voltase ionisasi Electron Impact 70 eV. Gas pembawa yang digunakan adalah Helium dengan aliran konstan 1.5 µl/menit. Volume injeksi adalah 5 µl (mode split) pada perbandingan 100:1. Analisa kuantitas ditampilkan sebagai persentase (%) puncak area. Puncak yang muncul pada layar GCMS diidentifikasi dengan pencarian komputer pada referensi pada kepustakaan spektra massa database Wiley 275.L. Data yang dihasilkan dikelompokkan berdasarkan Fessenden dan Fessenden (1997). Hasil dan Pembahasan Deteksi Senyawa Antimikrob Ekstrak Etanol dari Pliek u (EEP dan EERP) berdasarkan Metode Bioautografi Deteksi senyawa antimikrob EEP dan EERP pada kromatografi lapis tipis (KLT) masing-masing menghasilkan empat dan tiga bercak zona hambatan (Gambar 14). Zona hambatan yang terbentuk berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh S. aureus (koloni berwarna hitam pada media VJA). Nilai Rf dari zona hambatan EEP adalah Rf1: 0.10; Rf2: 0.19; Rf3: 0.71; Rf4 :0.93 (Gambar 14b), sedangkan EERP memberikan tiga zona hambatan dengan nilai Rf , yaitu Rf1: 0.40; Rf2 : 0.63; Rf3: 0.77 (Gambar 20d). Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa zona hambatan yang terbesar dihasilkan oleh Rf3 : 0.71 dari EEP, mempunyai nilai Rf yang hampir sama dengan zona hambatan dari nilai Rf3: 0.77 dari EERP, walaupun zona hambatannya kecil di bawah sinar UV 366 nm (Gambar 14a dan 14c). Pengujian dengan metode bioautografi merupakan metode yang sangat menguntungkan dan lebih efisien untuk mendeteksi senyawa antimikrob. Metode ini hanya memerlukan sedikit sampel uji dibandingkan dengan metode cakram kertas. Pada penelitian ini hanya memerlukan sampel uji EEP dan EERP masing-masing 10 µl dibandingkan dengan metode difusi kertas cakram memerlukan sampel uji 100 µl. Metode bioautografi merupakan gabungan dua metode yaitu metode kimia (kromatogram) dan mikrobiologi yang dapat menghasilkan zona hambatan yang terpisah karena aktivitas senyawa yang terpisah pada kromatogram dan lebih sensitif
64
dibandingkan metode difusi cakram kertas (Rahalison et al. 1991, diacu dalam Runyoro et al. 2006; Rosner dan Aviv 1980, diacu dalam Sudirman 2005b). Pada
saat
kromatogram
dari
hasil
bioautografi
belum
dikeringkan
memperlihatkan zona hambatan masih berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh koloni berwarna hitam dan media berwarna kuning, sehingga kromatogram terlihat kontras karena aktivitas penghambat yang disebabkan senyawa dari EEP dan EERP. Metode bioautografi dalam penelitian ini sudah dimodifikasi dengan menggunakan media agar spesifik untuk S. aureus, yaitu agar Vogel Johnson Agar yang ditambah dengan larutan tellurite 1%. Media ini merupakan media spesifik untuk menumbuhkan S. aureus dengan ciri khas koloni berwarna hitam yang dikelilingi zona berwarna kuning. Koloni yang tidak tumbuh menandakan adanya aktivitas senyawa antibakteri dari EEP dan EERP (Gambar 14). EEP
EERP
Rf 4 : 0.93 Rf 3 : 0.77 Rf 3 : 0.71
Rf 2 : 0.63
Rf 1 : 0.40
Rf 2 : 0.19 Rf 1 : 0.10 a
b
c
d
Gambar 14 Kromatogram dan bioautogram ekstrak etanol (EEP dan EERP) Kromatogram setelah disinar dengan UV 366 nm, EEP (a) dan EERP (c); Bioautogram setelah uji bioautografi, EEP (b) dan EERP (d) Bercak zona hambatan yang terbentuk pada bioautogram menunjukkan adanya perbedaan senyawa aktif antara EEP dengan EERP. Bercak-bercak yang terbentuk bisa dideteksi dengan pewarnaan revelasi kimia
seperti yang dikerjakan oleh
Sudirman (1994). Penyemprotan menggunakan reagen vanillin dalam asam sulfat berdasarkan Stahl (1969) terhadap EEP dan EERP memberikan warna ungu hingga
65
hitam (data tidak diperlihatkan). Hasil penyemprotan tidak bisa dibandingkan dengan bercak zona hambatan yang terbentuk, sedangkan deteksi menggunakan sinar UV masih bisa dibandingkan dengan bercak zona hambatan yang dihasilkan (Gambar 14). Hal tersebut mungkin dapat disebabkan jumlah ekstrak yang ditetes di atas lempeng TLC masih terlalu besar (10 μl). Deteksi
menggunakan
metode
bioautografi
pada
kromatogram
TLC
menunjukkan bahwa EEP dan EERP masing-masing mengandung 4 dan 3 senyawa antimikrob yang aktif terhadap S. aureus. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak EERP. EERP diperoleh dengan mengekstrak pliek u terlebih dahulu dengan heksan, kemudian residunya diekstrak dengan etanol, sehingga ada komponen aktif yang mungkin terekstrak terlebih dahulu. Hasil ini juga menguatkan penelitian terdahulu, dimana EEP aktif terhadap bakteri dan jamur. Komponen yang tidak terdeteksi pada EERP namun terdeteksi pada EEP mungkin aktif terhadap bakteri dan jamur. Walaupun zona hambatan terbesar pada penelitian ini diperlihatkan oleh nilai Rf 0.71, namun dengan terdeteksinya tiga zona hambatan lainnya pada EEP menunjukkan bahwa adanya sinergisme antar komponen sehingga memiliki aktivitas terbaik terhadap bakteri dan jamur. Pelarut etanol dan metanol yang digunakan pada proses ekstraksi menyebabkan banyak komponen aktif bersifat polar yang terlarut, sehingga memperlihatkan aktivitas antimikrob yang berspektrum luas terhadap bakteri dan fungi seperti yang telah dikerjakan oleh Okeke et al. (2001); Barbour et al. (2004); Voravuthikunchai et al. (2004); Shah et al. (2004); Nkere dan Iroegbu (2005); Runyoro et al. ( 2006); Duraipandiyan et al. (2006); Gupta et al. (2006); Rojas et al. (2006). Identifikasi Komponen Ekstrak Etanol dari Pliek u Hasil identifikasi senyawa kimia pada EEP dan EERP menggunakan GC-MS disajikan pada Tabel 16, Gambar 15, Gambar 16 dan Lampiran 15. Berdasarkan hasil uji GC-MS dapat diidentifikasi 22 komponen dari 99.89% EEP, sedangkan dari 99.80% EERP diidentifikasi hanya 9 komponen, namun jenis dan jumlah komponennya ada yang berbeda. Hampir sebagian besar senyawa yang terkandung dalam EEP adalah asam lemak dan derivatnya, seperti asam kaprilat, asam kaprat, asam laurat, asam miristat, asam palmitat,asam palmitoleat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat, 7,10,13-asam heksadekatienoat, 9,12,15-asam oktadekatrienoat dan asam tetradekanedioat serta ester dan alkohol. Masing-masing secara berurutan memberikan % area sebesar
66
43.64, 30.99, 2.81 % dan terdapat komponen lain dalam jumlah yang kecil yaitu hidrokarbon alifatik (22.45%) (Tabel 16). Tabel 16 Komposisi kimia EEP dan EERP berdasarkan GC-MS No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Decanoic acid (asam kaprat) (C10:0) Decanoic acid methyl ester Dodecanoic acid (asam laurat) (C12:0) Dodecanoic acid, methyl ester Dodecanoic acid, 2 hydroxy-1 Tetradecanoic acid (asam miristat) (C14:0) Tetradecanoic acid methyl ester Hexadecanoic acid (asam palmitat) (C16:0) Hexadecanoic acid methyl ester Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy Hexadecanoic acid, 2 hydroxy-1 9-Hexadecenoic acid (asam palmitoleat) (C16:1) Octadecanoic acid (asam stearat) (C18:0) Octadecanoic acid methyl ester 9-Octadecenoic acid (asam oleat) (C18:1) 9-Octadecenoic acid methyl ester 9,12-Octadecadienoic acid (asam linoleat) (C18:2) 9,12-Octadecadienoic acid methyl ester 7,10,13-hexadecatienoic acid 9,12,15-octadecatrienoic acid 3-Dodecendiena 1,4-cyclononadiena Tetradecanedioic acid (C14:2) Octanoic acid (asam kaprilat) (C8:0) 4-Dibenzofuramine Etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3’(piperadine) Total
Golongan Asam karboksilat Ester Asam karboksilat Ester Alkohol Asam karboksilat Ester Asam karboksilat Ester Alkohol Alkohol Asam karboksilat Asam karboksilat Ester Asam karboksilat Ester Asam karboksilat Ester Asam karboksilat Asam karboksilat Hidrokarbon alifatik Hidrokarbon alifatik
Asam karboksilat Asam karboksilat Amina
Area (%) EEP EERP 0.91 0.49 10.76 0.85 8.05 31.47 5.24 0.55 7.34 10.24 0.01 6.15 13.66 2.81 2.39 1.55 3.70 14.89 9.69 2.84 4.57 0.74 0.69 1.06 0.23 19.36 3.09 0.51 0.32 22.82 12.71 99.89 99.80
EEP (Ekstrak kasar etanol dari pliek u), EERP (Ekstrak etanol dari residu)
Kandungan utama EERP adalah asam lemak dalam jumlah yang sedikit (asam laurat, asam miristat dan asam oleat) dan derivatnya (ester dan alkohol) dengan % area masing-masing 4.25, 14.89 dan 45.13%, serta komponen lain seperti
4-
Dibenzofuramine (22.82%) dan etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3(piperadine) (12.71%) (Tabel 16). Pengelompokkan asam lemak dan derivatnya menjadi asam karboksilat, ester dan alkohol berdasarkan Fessenden dan Fessenden (1997).
67
Gambar 15 Kromatogram komponen dalam ekstrak kasar EEP
Gambar 16 Kromatogram komponen dalam ekstrak EERP Berdasarkan hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komponen yang terdapat di dalam ekstrak kasar EEP lebih banyak asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon C8, C10, C12, C14, C16 dan C18 sebesar 29.02%, sedangkan derivat esternya sebesar 25.73%. Secara keseluruhan memberikan % area paling besar yaitu 54.75% pada EEP, sedangkan EERP hanya mengandung asam lemak jenuh sebesar 1.41% dengan panjang rantai karbon C12, C14 dan C16 dan hanya mengandung komponen golongan ester sebesar 14.89%, dengan jumlah secara keseluruhan 16.3% (Tabel 16 dan Lampiran 15). Berbagai asam lemak bebas terutama derivatnya telah dilaporkan mempunyai aktivitas antimikrob dengan rentang yang luas terhadap berbagai mikrob (bakteri,
68
jamur dan virus) dan aktivitas lebih besar apabila adanya kombinasi atau gabungan senyawa antimikrob (Wang dan Johnson 1992; Kabara 2000; Řiháková et al. 2001; Nair et al. 2005). Tidak semua asam lemak memberikan aktivitas yang sama sebagai antimikrob, asam lemak seperti C12, C14, C16, C16:1, C18, C18:1, C18:2 dan C18:3 tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif dan hanya C12 dan C16:1 yang aktif terhadap bakteri Gram positif (Quattara et al. 1997). Monogliserida dari asam lemak dengan panjang rantai sedang, terutama monogliserida dari asam laurat lebih aktif sebagai antibakteri dibandingkan asam lemak bebasnya, namun ada beberapa derivat asam lemak lainnya juga mempunyai aktivitas antimikrob dengan spektrum luas (Kabara 1978; Nair et al. 2005). Monogliserida seperti monolaurat (MC12) mempunyai aktivitas antimikrob yang paling baik, selain itu monokaprilat (MC8), monokaprat (MC10) dan monomiristat (MC14) ternyata juga mempunyai aktivitas antimikrob, sedangkan monopalmitat (MC16), monostearat (MC18), monooleat (MC18:1) dan monolinoleat (MC18:2) tidak mempunyai aktivitas antimikrob (Kabara 1978; Wang et al. 1993; Wang dan Johnson 1992). Asam karboksilat dan komponen hidroksil yang terdapat di dalam EEP dan EERP mungkin menyebabkan kedua ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antibakteri. Aktivitas tersebut mungkin dapat disebabkan besarnya golongan hidroksil di dalam ekstrak. Menurut Cowan (1999) banyaknya komponen hidroksil dalam ekstrak tumbuh-tumbuhan menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih besar. Begitu juga dengan ekstrak herbal, bumbu dan tumbuh-tumbuhan obat yang didalamnya mengandung asam karboksilat ternyata mempunyai aktivitas antimikrob yang baik (Chen Xie et al. 2004; Paraschos et al. 2007). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ternyata EEP mempunyai aktivitas yang paling baik dibandingkan EERP. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan komponen aktif sebagai antimikrob di dalam ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) dapat disebabkan senyawa golongan asam karboksilat sebesar 43.64%, sedangkan asam karboksilat di dalam EERP hanya 4.25%. Secara umum, polaritas antimikrob erat kaitannya dengan komponen yang terkandung didalamnya. Penggunaan etanol untuk ekstraksi secara sendiri untuk mengekstrak pliek u (tanpa didahulukan dengan ekstraksi menggunakan heksan) dapat menyebabkan komponen yang mengarah non polar juga bisa ikut larut, sehingga menyebabkan adanya sinergisme antar komponen (gabungan komponen non polar dan
69
polar) yang menyebabkan mikrob menjadi lebih sensitif. Lain halnya dengan EERP yang mungkin lebih banyak mengandung komponen yang mengarah ke polar dan sangat aktif sebagai antibakteri. Daya kelarutan asam lemak lebih besar di dalam pelarut non polar dan agak polar dibandingkan dengan komponen gliseridanya. Semakin panjang rantai karbon maka semakin sukar untuk larut. Asam lemak tidak jenuh lebih mudah larut dalam pelarut non polar dibandingkan asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon yang sama. Asam lemak yang bermolekul besar sangat mudah larut dalam pelarut non polar dan dapat melindungi bakteri dari senyawa antibakteri, namun asam-asam lemak tersebut dapat sangat aktif sebagai antikandida. Terdeteksinya beberapa komponen aktif di dalam ekstrak pliek u mendukung penggunaannya dalam makanan, terutama sebagai bumbu. Banyak bumbu yang mengandung
berbagai
senyawa
antimikrob
yang
sifatnya
sinergisme
dan
menghasilkan aktivitas antimikrob lebih baik. Oleh sebab itu penggunaan bumbubumbu dalam makanan dapat mencegah infeksi oleh kuman patogen penyebab penyakit. Salah satu bumbu yang menghasilkan berbagai senyawa antimikrob adalah bawang putih, mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino dan sejumlah senyawa lain. Ekstrak bawang putih aktif terhadap S. aureus dan C. albicans (Elnima et al. 1983; Block 1985). Simpulan Deteksi aktivitas antibakteri terhadap S. aureus berdasarkan bioautografi terhadap EEP menghasilkan empat bercak zona hambatan pada Rf (0.93, 0.71, 0.19 dan 0.10) dan bioautografi terhadap EERP menghasilkan tiga bercak zona hambatan pada Rf (0.77, 0.63 dan 0.4). Identifkasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) menghasilkan 22 komponen sebanyak 99.89% sedangkan esktrak etanol dari residu heksan (EERP) menghasilkan 9 komponen sebanyak 99.80%. EEP lebih banyak mengandung asam lemak dan derivat ester (>50%) dibanding EERP hanya mengandung <20%.
70
VIII. PEMBAHASAN UMUM Kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara fungsional, terutama daging buah dan minyak kelapa. Daging buah dan minyak kelapa mengandung hampir 50% asam laurat, yang mempunyai aktivitas sebagai antimikrob terhadap bakteri, jamur dan virus (Kabara 1978; Quattara et al. 1995; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993;Kabara 2000; Bergsson et al. 2002). Menurut Fife (2005), penggunaan minyak kelapa untuk pengobatan secara tradisional dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan seperti penyakit kulit, gangguan saluran pencernaan, penyakit kelamin dan influenza. Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak lama sudah menggunakan minyak kelapa (minyak pliek u) dan ampasnya (pliek u) yang diperoleh dari pengolahan daging buah kelapa dengan cara fermentasi secara tradisional (Bakar et al. 1985). Pada awalnya minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi tidak disengaja selama beberapa hari. Menurut masyarakat NAD, produk yang dihasilkan tersebut terkait dengan faktor penyimpanan, dimana panen buah kelapa yang berlimpah hanya mempunyai masa simpan yang tidak terlalu lama (paling lama dua bulan). Sampai sekarang produk tersebut masih diproduksi dengan cara yang sama dan tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat NAD sebagai makanan maupun obat. Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan tertua setelah metode pengeringan, dimana produk yang dihasilkan bisa lebih baik dari bahan asalnya, bahkan menghasilkan senyawa aktif yang bersifat antimikrob (Battcock dan Azam-Ali 1995). Minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa secara tradisional, memungkinkan di dalam produk tersebut mengandung senyawa antimikrob yang bisa berasal dari bahan asal atau karena proses fermentasi. Informasi dari hasil kajian aktivitas antimikrob untuk mengetahui keberadaan dan pengaruh senyawa antimikrob yang berasal dari makanan tersebut dapat melengkapi informasi mengenai makanan tradisional Aceh (minyak pliek u dan pliek u) dan dapat mendukung manfaat produk tersebut sebagai makanan kesehatan serta berpeluang menghasilkan senyawa antimikrob sebagai produk farmasi yang dapat digunakan sebagai pencegah dan terapi berbagai penyakit melalui uji yang lebih spesifik. Deteksi aktivitas antimikrob minyak pliek u dan pliek u diawali dengan melakukan ekstraksi terhadap pliek u, karena pengujian secara langsung dengan meletakkan pliek u diatas media agar yang mengandung mikrob uji hanya ada sedikit
71
hambatan pertumbuhan mikrob uji (<2 mm) (data tidak ditampilkan). Deteksi aktivitas antimikrob dari minyak pliek u dan ekstrak kasar dari pliek u menunjukkan hanya pliek u yang diekstrak dengan etanol (96%) (EEP) yang secara sekaligus aktif terhadap bakteri dan Candida albicans. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sangat aktif menghambat semua mikrob uji (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens dan C. albicans). Ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP) dan minyeuk brok (MB) hanya mempunyai aktivitas antimikrob terhadap C. albicans sedangkan ekstrak etanol (EERP) dari residu pliek u (setelah diekstrak dengan heksan) hanya mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Minyak pliek u (minyeuk simplah) digolongkan tidak aktif sebagai antimikrob. Perbedaan aktivitas MS, MB, EHP, EERP dan EEP dapat disebabkan perbedaan tahap proses fermentasi pada pengolahan daging buah kelapa menjadi produk minyak pliek u dan pliek u. Aktivitas antimikrob yang luas diperlihatkan oleh ekstrak dari pliek u, mungkin disebabkan proses fermentasi yang sudah sempurna. Polaritas ekstrak mempengaruhi aktivitasnya sebagai antimikrob. Tidak ada aktivitas antibakteri EHP mungkin disebabkan komponen yang terekstrak lebih banyak didominasi oleh trigliserida minyak dan asam lemak yang tidak aktif terhadap bakteri dan bahkan dapat melindungi bakteri dari senyawa antimikrob. Akibatnya ekstrak heksan tidak mampu berdifusi dan menghambat pertumbuhan bakteri serta hanya aktif sebagai antikandida. Lain halnya dengan EERP yang hanya aktif sebagai antibakteri, kemungkinan komponen yang terlarut lebih bersifat polar dan sangat aktif sebagai antibakteri. Monogliserida dan asam lemak rantai pendek dan sedang (C8C14) sangat aktif sebagai antimikrob. Polaritas senyawa antimikrob merupakan sifat fisik yang penting dari antimikrob, karena polaritas optimum senyawa antimikrob akan memberikan aktivitas antimikrob yang maksimum. Adanya perbedaan kepolaran antar ekstrak uji memberikan aktivitas antimikrob yang berbeda dan hasil yang bervariasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan keseimbangan hidrofilik dan lipofilik antimikrob (Kanazawa et al. 1995, Hilmarsson et al. 2005). Sifat hidrofilik antimikrob dapat menjamin senyawa tersebut larut dalam air dimana air merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrob, namun senyawa yang aktif dan bekerja pada membran sel yang bersifat hidrofobik memerlukan sifat lipofilik,
72
sehingga mutlak keseimbangan hidrofilik-lipofilik antimikrob sangat diperlukan, agar aktivitasnya sebagai antimikrob lebih optimal (Branen 1993). Aktivitas antibakteri yang diperlihatkan oleh EEP berbeda dengan aktivitas EERP. Hal tersebut terkait dengan komponen yang terkandung di dalam kedua ekstrak tersebut. Ada komponen yang hilang dalam EERP berdasarkan metode bioautografi, kemungkinan komponen yang tidak terdeteksi tersebut sangat berperan sebagai antikandida. Menurut Kabara (2000); Bergsson et al. (2001), bahwa asam laurat dengan konsentrasi yang kecil sekalipun mampu menghambat pertumbuhan C. albicans, namun asam kaprat lebih cepat dan efektif sebagai antikandida. Asam lemak rantai pendek dan sedang serta monogliseridanya
mempunyai aktivitas sebagai
antibakteri sangat larut dalam fase air (Kabara 2000). Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) hanya diekstrak dengan etanol mungkin juga dapat mengekstrak komponen yang aktif terhadap fungi, walaupun dalam jumlah yang sedikit (terlihat dari bentuk fisik rendemen yang dihasilkan), sehingga mempunyai aktivitas sebagai antikandida. Aktivitasnya sebagai antikandida sedikit lebih kecil dibandingkan aktivitas yang diperlihatkan ekstrak kasar EHP. Tingginya konsentrasi komponen asam laurat dalam EEP menyebabkan ekstrak ini memiliki aktivitas yang sama dengan EHP sebagai antikandida, sedangkan dalam EERP sangat sedikit (cenderung tidak berpengaruh). Aktivitas antifungi hanya disebabkan oleh asam laurat dan monogliseridanya (Řiháková et al. 2001). Deteksi aktivitas antimikrob hanya dilakukan pada ekstrak kasar dan tidak ada proses purifikasi, sehingga faktor kombinasi beberapa senyawa antimikrob berpengaruh terhadap aktivitas antimikrob. Adanya kombinasi kerja senyawa antimikrob dapat dideteksi dengan metode bioautografi, menunjukkan bahwa EEP menghasilkan bercak zona hambatan lebih banyak (empat bercak) dibandingkan EERP (tiga bercak), sehingga esktrak kasar EEP lebih aktif sebagai antimikrob. Adanya sinergisme antara senyawa antimikrob (kemungkinan beberapa asam lemak dan derivatnya) menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih baik, misalnya gabungan dua monogliserida seperti monokaprin dengan monolaurin sangat aktif terhadap Listeria monocytogenes (Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993). Komponen yang terdapat dalam EEP didominasi asam lemak dan derivat esternya yang terdiri golongan asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%), namun komponen utama dalam EERP didominasi oleh derivat asam lemak yaitu golongan alkohol (45.13%),
73
kemudian diikuti oleh golongan ester (14.89%), asam karboksilat (4.25%) dan komponen lain (35.53%). Adanya kkomponen asam lemak dan derivat yang hampir sama antara EEP dengan EERP mungkin berpengaruh pada kesamaan aktivitas antibakteri dari kedua ekstrak tersebut sebagai antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, walaupun di dalam EERP komponen asam laurat sedikit (0.85%) dan asam laurat esternya tidak ada dibandingkan dalam EEP dimana kandungan asam lauratnya cukup besar (10.76%) dan asam laurat esternya (8.05%). Aktivitas EERP mungkin bisa disebabkan oleh komponen asam laurat kelompok alkohol yang sangat besar (31.47%). Adanya perbedaan kelompok polar dari alkohol dan asam lemak (kelompok hidroksil versus kelompok karboksil) menghasilkan aktivitas antimikrob yang bervariasi (Hilmarsson et al. 2005) Mengingat pliek u tidak terlepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh dan sering dikomsumsi oleh masyarakat Aceh paling sedikit sekali seminggu dalam keadaan mentah maupun sebagai bumbu masak, maka kajian toksisitas awal pada EEP dapat memberi tambahan informasi mengenai produk makanan fermentasi tradisional ini. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) pada konsentrasi 3.36 mg/ml tidak toksik berdasarkan Artemia salina L bioassay. Suatu ekstrak dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50% larva A. Salina L) <1000 µg/ml untuk ekstrak kasar atau <200 µg/ml untuk ekstrak murni setelah waktu kontak 24 jam (Meyer et al. 1982). Konsentrasi 3.36 mg/ml masih berada pada rentang kisaran nilai MIC dan MMC antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20 mg/ml terhadap mikrob uji (Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans).
Rentang konsentrasi yang agak jauh bisa disebabkan
perbedaan strain mikrob uji dan kepekaan masing-masing mikrob tidak sama terhadap satu jenis antimikrob. Terdapat perbedaan kepekaan antara dua bakteri Gram negatif (Helicobacter pylori dan Escherichia coli) setelah diberi perlakuan antimikrob lipid yang sama (Bergsson et al. 2002). Pengujian lanjutan untuk mendukung penggunaan pliek u sebagai makanan kesehatan dan juga sebagai sumber antimikrob dilakukan dengan memberikan EEP secara oral pada mencit hanya dengan satu kali pemberian (acute treatment). Pengujian lanjut ini dilakukan untuk melihat toksisitas lanjutan dari EEP, yang mungkin pada uji awal tidak bisa mewakili pemakaian esktrak (EEP) pada hewan
74
besar. Penentuan toksisitas tahap awal suatu bahan yang diduga toksik terhadap konsentrasi moderat dan tinggi dapat dideteksi dengan bioassay menggunakan Artemia salina L, dimana suatu senyawa yang toksik bisa menjadi tidak toksik apabila digunakan hewan coba yang lebih besar (Kiviranta et al. 2007). Dosis EEP yang diberikan berdasarkan tiga dan enam kali konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) yaitu 10.08 mg/mencit (370 mg/kg bb) dan 20.16 mg/mencit (733 mg/kg bb) tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan jumlah mikrob, namun terlihat sedikit penurunan jumlah pada pemberian EEP 6 x dosis LC50 yaitu 1.09 log cfu/g dibanding kontrol, sedangkan pemberian EEP 3 x dosis LC50 hanya menurunkan 0.1 log cfu/g feses. Penurunan jumlah mikrob > 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob. namun dosis 733 mg/kg berat bada mencit dapt menurunkan jumlah mikrob saluran pencernaan. Kedua dosis EEP tersebut menyebabkan kerusakan ringan hingga sedang pada hati mencit, namun kerusakan tersebut juga terlihat pada mencit perlakuan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada ginjal mencit, dimana kerusakan ringan terjadi pada kontrol dan pemberian EEP. Hasil yang diperlihatkan pada uji toksisitas ini tidak bisa menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada organ hati dan ginjal disebabkan oleh EEP. EEP dari 370-733 mg/kg berat badan tidak toksik jika diberikan secara acute traetment dan mungkin komponen yang terdapat di dalam ekstrak kasar EEP tidak toksik terhadap tubuh. Toksisitas ekstrak kasar EEP tidak terlihat pada hati dan ginjal, karena bisa dikatakan bahwa mungkin EEP yang diberikan secara oral terlebih dahulu akan berakumulasi dan larut dalam kandungan saluran pencernaan mencit.
Menurut
Kabara (2000), asam-asam lemak akan larut dalam saluran pencernaan, kemudian asam lemak dengan panjang rantai karbon pendek dan sedang beberapa saat akan diserap, berikatan dengan albumin dan dibawa langsung ke hati melalui vena porta. Dilain pihak asam lemak rantai panjang terlebih dahulu dibawa melalui sirkulasi limfatik dan sistemik dalam bentuk kilomikron, yang akhirnya akan sampai ke hati. Asam-asam lemak dan monogliseridanya yang berasal dari trigliserida dengan panjang rantai karbon (MC6:0-MC12:0), yang diberikan dalam makanan ataupun secara intravenous tidak memperlihatkan toksisitas pada sistemik (Kabara 1978; Kabara 2000). Monolaurat (monolaurin) dan monokaprat (monokaprin) yang berasal dari lemak kelapa dan susu pada konsentrasi yang aktif terhadap bakteri dan virus dikelompokkan sebagai GRAS (generally recognized as safe), serta dinyatakan oleh
75
FDA (food and drug administration) sebagai senyawa antimikrob yang tidak toksik dan tidak berbahaya bagi tubuh. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa esktrak kasar EEP tidak toksik sekalipun pada dosis yang besar apabila diberikan dalam bentuk acute treatment . Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) berpeluang sebagai produk farmasi yang bisa digunakan sebagai pencegah dan terapi infeksi, sehingga stabilitas EEP terhadap berbagai faktor sangat mempengaruhinya untuk aplikasi selanjutnya. Syarat jaminan yang diperlukan dalam mengembangkan bahan obat baru adalah efektifitasnya tetap baik (stabil) terhadap berbagai faktor luar dan dalam seperti faktor penyimpanan, suhu dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarutnya. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kandungan bahan aktif, sifat sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan obat (efek terapi) atau aplikasi lainnya (bahan pengawet) (Voight 1994). Penentuan utama dan wajib dilakukan terhadap stabilitas bahan obat baru adalah berdasarkan dua faktor, pengaruh masa simpan dan suhu (Voigt 1994). Aktivitas antimikrob EEP dipengaruhi oleh berbagai suhu dan pemanasan, suhu dan penyimpanan serta pH. EEP stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob pada suhu dan lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama penyimpanan pada suhu 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 bulan serta pH 3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC (suhu freezer) selama 1-6 bulan. Pada penelitian ini EEP dikemas dengan kemasan berwarna gelap namun tidak kedap udara. Menurut Martindale (1982), minyak kelapa sebaiknya disimpan pada suhu 25ºC di dalam kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup rapat serta terlindung dari cahaya. Selanjutnya Martindale (1982) juga menyebutkan bahwa minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya pada suhu 150oC selama satu jam dan tidak mempengaruhi komponen di dalam minyak. Aplikasi EEP dalam susu dapat mendukung penggunaannya sebagai bahan pengawet makanan dan juga dapat dikembangkan sebagai antiinfeksi khususnya antimastitis melalui serangkaian penelitian lanjutan lainnya. Konsentrasi EEP 3.36 mg/ml dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diikubasi pada suhu 39oC (suhu tubuh sapi). Hasil penelitian yang telah dilakukan Nair et al. (2005) menunjukkan bahwa asam kaprilat dan monokaprilat di dalam susu steril efektif membunuh lima mikrob patogen mastitis (Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli), namun pendapat tersebut tidak sama dengan penelitian yang telah
76
dilakukan oleh Wang dan Johnson (1992), dimana asam lemak dengan rantai karbon C12 dan C14 serta monolaurin tidak aktif terhadap L. monocytogenes di dalam susu, namun aktif di dalam broth Brain Heart Infusion. Pada penelitian ini ekstrak digunakan adalah ekstrak kasar, tidak menggunakan ekstrak murni, sehingga kemungkinan aktivitas antimikrob disebabkan adanya kombinasi kerja dari komponen yang ada di dalam ekstrak kasar EEP. Hal ini juga didukung berdasarkan uji GC-MS, dimana komponen asam lemak dan derivatnya dengan panjang rantai karbon pendek hingga sedang lebih banyak terdapat dalam EEP. Aktivitas antimikrob asam lemak sangat dipengaruhi oleh panjang rantainya, aktivitasnya semakin berkurang apabila panjang rantainya bertambah, dimana asam lemak rantai sedang lebih besar aktivitasnya dibandingkan asam lemak rantai panjang (Wang dan Johnson 1992 dan Quattara et al. 1995). Adanya perbedaan kepekaan mikrob terhadap aktivitas antimikrob dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis antimikrob dan juga pengaruh permukaan luar mikrob. Selain itu kemungkinan dengan adanya sinergisme kerja antar beberapa antimikrob menyebabkan mikrob menjadi lebih peka. Berdasarkan beberapa rangkaian penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil dimana EEP dapat dijadikan antimikrob yang berpotensi sebagai antiinfeksi atau aplikasinya dalam sistem pangan, namun masih harus melalui serangkaian penelitian lanjutan yang dapat mendukung aplikasi tersebut. Mengingat proses fermentasi untuk membuat pliek u tidak dalam keadaan asepsis sehingga kajian terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u serta keamanan produk tersebut perlu dilakukan. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendeteksi mikrob yang berperan pada proses fermentasi berdasarkan tahap prosesnya.
77
IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pliek u dapat dijadikan sebagai sumber antimikrob melalui ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% dan heksan serta berpeluang sebagai makanan kesehatan. Pliek u yang diekstrak menggunakan etanol 96% (EEP) aktif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan fungi (Candida albicans). Pliek u yang diekstrak dengan pelarut heksan (EHP) dan minyeuk brok hanya aktif menghambat C. albicans, sedangkan residu heksan yang diekstrak dengan pelarut etanol 96% (EERP) hanya aktif menghambat bakteri. Minyak pliek u (minyeuk simplah) tidak mempunyai aktivitas antimikrob. Aktivitas antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap bakteri dan fungi menghasilkan MIC dan MMC pada konsentrasi antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20 mg/ml, serta tidak toksik pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) berdasarkan Artemia salina L Bioassay. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) tetap stabil dan aktif sebagai antimikrob setelah dipanaskan pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, penyimpanan 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 enam bulan, serta tetap aktif pada pH 3-11. Penambahan EEP dalam susu pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E.coli. Pemberian EEP dosis akut pada mencit secara oral dengan dosis tiga kali konsentrasi LC50 atau setara dengan 370 mg/kg bb dan enam kali konsentrasi LC50 atau setara dengan 733 mg/kg bb, tidak menurunkan jumlah mikrob feses dan juga tidak menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (tidak toksik pada dosis akut). Senyawa antimikrob dalam EEP yang aktif berdasarkan bioautografi memperlihatkan empat komponen aktif menghambat pertumbuhan S. aureus yang memberikan nilai Rf (0.93, 0.71, 0.19 dan 0.10). Identifikasi komponen dalam EEP menghasilkan 22 komponen dengan jumlah 99.89 %. Kandungan utama dalam EEP adalah asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%). 9.2. Saran Kajian lanjutan sangat perlu dilakukan terhadap isolasi dan identifikasi mikroorganisme mikrob yang berperan aktif pada proses fermentasi pada pembuatan pliek u, sehingga pliek u dapat dibuat secara terkontrol dan dapat distandarisasi. Selanjutnya kajian EEP sangat perlu dilanjutkan pada efek terapinya serta peluangnya
78
sebagai antimikrob dalam makanan serta tahap isolasi, purifikasi dan identifikasi senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Penelitian ini perlu juga dilanjutkan terhadap ekstrak heksan dari pliek u (EHP) yang berpeluang sebagai antifungi. Terkait dengan pengembangan makanan tradisional Aceh (pliek u) sebagai makanan kesehatan maka perlu dilakukan kajian terhadap keamanan dan mutu pliek u.
79
X. DAFTAR PUSTAKA Abriouel H, Valdivia E, Galvez A, Maqueda M. 1998. Response of Salmonella choleraesuis LT2 spheroplasts and permeabilized cells to the bacteriocin AS48. Appl Environ Microbiol 64:4624-4626. Ahn J, Grün IU, Mustapha A. 2004. Antimicrobial and antioxidant activities of natural extracts in vitro and in ground beef. J Food Protect 67(1):148-155. Al-Ashban RM, Barrett DA, Shah AH. 2005. Effects of chronic treatment with ethanolic extract of Teucrium polium in mice. J Herbs, Spices & Med Plants 11 (4):27-36. [Terhubung berkala]. http: //www. haworthpress. com/ web/ JHSMP. 16 Juli 2008. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1980. Animal Feed, Chapter 4. Washington DC. AOAC Official Methods of Analysis. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Fatty Acid Oils and Fats. Washington DC Bakar AB, Sulaiman MA, Hanafiah ZA, Ibrahim, Syarifah H. 1985. Kamus Aceh Indonesia 2 Seri 2 M-Y. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Banzon JA, Velasco JR. 1982. Coconut production and utilization. Manila, PCRDF. Barber DA, Miller GY, Mc Namara PE. 2003. Models of antimicrobial resistance and foodborne illness: examining assumptions and practical applications. J Food Protect 66: 700-709. Barbour EK, Al Sharif M, Sagherian VK, Habre AN, Talhouk RS, Talhouk SN. 2004. Screening of selected indigenous plants of Lebanon for antimicrobial activity. J Ethnopharmacol 93: 1-7. Battcock M, Azam-Ali S. 1998. Fermented fruitis and vegetables a global perspective. Food and Agriculture Organization United Nation, Rome, Itali. FAO Agricultural Services Bulletin 134. Begue WJ, Kline RM. 1972. The use of tetrazolium salts in bioautographic procedures. J Chromatogr 64:182-184. Bergsson G, Steingrimssons O, Thormar H. 1999. In vitro susceptibilities of Neisseria gonorahoeae to fatty acids and monoglyserides. Antimicrob Agents Chemother 43: 2790-2792. Bergsson G, Steingrimssons O, Thormar H. 2002. Bactericidal effects of fatty acids and monoglyserides on Helicobacter pylori.Int J Antimicrob Agents 20: 258262.
80
Bergsson G, Arnfinnsson J, Steingrimssons O, Thormar H. 2001. In vitro killing of Candida albicans by fatty acids and monoglyserides. Antimicrob Agents Chemother 45(11):3209-3212. Bergonzelli GE, Donnicola D, Porta N, Corthésy-Theulaz IE. 2003. Essential oils as components of a diet-based approach to management of Helicobacter infection. Antimicrob Agents Chemother 10:3240-3246. Block E. 1985. The chemistry of garlic and onions. Scientific American 252:114-119. Bradley AJ. 2002. Bovine mastitis: an evolving disease. Vet J 164:116-128. Branen AL. 1993. Introduction to use of Antimicrobials. Di dalam: Davidson PM, Branen AL, editor. Antimicrobials in Foods. 2nd ed. New York: Marcell Dekker Inc. hlm 1-9. Campbell-Platt G. 2000. Fermented Foods. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 2. London: Academic Pr. hlm 736-739. Canillac N, Mourey A. 2001. Antibacterial activity of the essential oil of Picea excelsa on Listeria, Staphylococcus aureus and coliform bacteria. Food Microbiol 18:261-268. Carballo JL, Hernadez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products. BMC Biotechnology 2(17). [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6750 / 2 / 17. [10 April 2007] Carson CF, Mee BJ, Riley TV. 2002. Mechanism of action of Melaleuca alternifolia (tea tree) oil on Staphylococcus aureus detemined by time-kill, lysis, leakage, and salt tolerance assays and electron microscopy. Antimicrob Agents Chemother 6:1914-1920. Chaudry BA, Syad MY, Janbaz KH, Dasti AA, Loothar BA. 2003. Biological activities of Polygonum barbatum. J Res Sci 14(2): 169-175. Chen Xie, Kokubun T, Houghton PJ, Simmonds MSJ. 2004. Antibacterial activity of the Chinese traditional medicine, Zi Hua Di Ding. Phytotherapy Res 18(6):497-500. (Abstract). [terhubung berkala]. 2004.copyright@2004 John Wiley&sons. [24 April 2005]. Chisti Y. 2000. fermentation (Industrial). Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology, Vol 2. London: Academic Pr. hlm 663-674. Conner DE, Beuchat LR. 1984. Effect of essential oils from plants on growth of spoilage yeasts. J Food Sci 49:429-434.
81
Corre J, Lucchini JJ, Mercier GM, Cremieux A. 1990. Antibacterial activity of phenethyl alcohol and resulting membrane alterations. Res Microbiol 141:483-497. Courvalin P, Drugeon H, Flandrois JP, Goldstein F. 1990. Bactéricidie. Aspects théoriques et thérapeutiques. Paris, Maloine. hlm 374 Cowan MM. 1999. Plant produtcs as antimicrobial agents. Clinical Microbiol 10:564582. Davidson PM. 2001. Chemical Preservatives and Natural Antimicrobial Compounds. Di dalam: Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ, editor. Food Microbiology. Washington DC: ASM Pr. Dayrit SC. 2000. Coconut oil in health and disease : its and monolaurin’s potential as cure HIV/AIDS. Di dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century. Proceeding of the XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai 24-28 Juli 2000, India: APCC Asian and Pacific Coconut Community. hlm 110-122. Dirar H. 1992. Sudan’s Fermented Food Heritage, in “Application of Biotechnology to Traditional Fermented Foods”. Washington DC: National Academic Pr. Djajadiningrat H, Drewes GWJ. 1934. Atjēhsch-Nederlandsch Woordenboek met Nederlandsch-Atjēhsch Register. Uitggeven op last der Regeering Deel II. Batavia, Landsdrukkerij. Djien KS. 1979. Some Aspects Concerning the Microbiological Safety of Traditional Fermented Foods in Tropical Asia. Proceedings International Symposium on Microbiological Aspects of Foodstorage, Processing and Fermentation in Tropical Asia. Cisarua, Bogor, Indonesia. Dec. 10-13. Djien KS. 1982. Safety Aspects of Food Fermentation. In: Traditional Food Fermentation as Industrial Resources in ASCA Countries. Saono S, Winarno FG, Karjadi D (ed). Proceedings of a technical seminar. Medan. February 911, 1981, Jakarta, The Indonesian Intitute of Science (LIPI) Duraipandiyan V, Ayyanar M, Ignacimuthu S. 2006. Antimicrobial activity of some ethnomedicinal plants used by Paliyar tribe from Tamil Nadu, India. BMC Complement Alternative Med 6:35. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 35. [22 Februari 2008]. Ela MA, El-Shaer NS, Ghanem NB. 1996. Antimicrobial evaluation and chromatographic analysis of some essential and fixed oils. Pharmazie 51:993-995. Elgayyar M, Draughon FA, Golden DA, Mount JR. 2001. Antimicrobial activity of essential oils from plants against selected pathogenic and saprophytic microorganism. J Food Protect 64: 1019-1024. Elnima E et al. 1983. The antimicrobial activity of garlic and anion extract. Pharmazie 38:747-748
82
Enig MG. 1998. Lauric oils as antimicrobial agents: theory of effect, scientific rationale, and dietary applications as adjunct nutritional support for HIVinfected individuals. Di dalam: Watson RR, editor. Nutrients and Foods in AIDS. Boca Raton: CRC Pr. Enig MG. 2002. Coconuts : In Support of Good Health in the 21st Century. Extracted from Nexus Magazine. 9(2). [Terhubung berkala]. editor @ nexusmagazine. com [24 April 2005]. Entani E, Asai M, Tsujihata S, Tsukamoto Y, Ohta M. 1998. Antibacterial action of vinegar against food-borne pathogenic bacteria including Escherichia coli O157:H7. J Food Protect 61: 953-959. Farnworth ER, editor.. 2003. Washington DC: CRC Pr.
Handbook of Fermented Functional Foods.
Fessenden RJ, Fessenden JS. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. Di dalam: Maun S, Anas K, Sally TS, penerjemah. Fundamentals of Organics Chemistry. Jakarta: Binarupa Aksara. Fife B. 2005. Makan agar Menjadi Lebih Sehat. Ed ke-2. Di dalam: Rahmalia A, penerjemah, Ardi FU, editor. Coconut Oil Miracle. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer kelompok Gramedia. hlm 235-268 Galvez A, Maqueda M, Bueno MM, Valdivia E. 1991. Permeation of bacteria cell, permeation of cytoplasmic and artificial membrane vesicles and channel formation on lipid bilayers by peptide antibiotic AS-48. J Bacteriol 173:886892. Gandjar I. 2000. Fermentations of the Far East. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 2. London: Academic Pr. hlm 767-773. Guarte RC, Mühlbauer W, Kellert M. 1996. Drying characteristic of copra and quality of copra and coconut oil. Postharvest Biol Technol 9:361-372. Gupta M, Mazumder UK, Gomathi P, Selvan VT. 2006. Antiinflammatory evaluation of leaves of Plumeria acuminata. BMC Complement and Alternative Med 6:36. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 36. [22 Februari 2008]. Grimwood BE. 1975. Coconut palm products. Rome: FAO. Hammes WP, Tichazek PS. 1994. The potencial of lactic acid bacteria for production of safe and wholesome food. Zeitschrift fűr Lebenmitteltechnol. Hao WL, Lee YK. 2004. Microflora of the gastrointestinal tract: a review. Methods Mol Biol 268:491-502.
83
Hillerton JE. 1998. Mastitis treatment-A welfare Issue. Proceeding of the British Mastitis Conference. Axient/Institute for Animal Health, Milk Development Council/Novartis Animal Health: hlm 3-8. Hilmarsson H, Kristmundsdottir T, Thormar H. 2005. Virucidal activities of mediumand long-chain fatty alcohols, fatty acid and monoglycerides agains herpes simplex virus types 1 and 2: comparison at different pH levels. Apmis 113: 58-65. Hogan J. 2003. Resistance of microbial cells to antimicrobial agents by efflux. Trinity Student Medicinal J. Holzhűtter HG, Genshow E, Diener W, Schelede E. 2003. Dermal and inhalation acute toxic class methods: test procedures and biometric evaluation for the globally harmonized classification system. Arch Toxicol 77:243-254. Hoover DG. 2000. Microorganisms and their Products in the Preservation of Food. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW, editor. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol 1. Gaithersburg, Maryland: Aspen publisher. hlm 251-268.. Hornung B, Amtmann E, Sauer G. 1994. Lauric acid inhibits the maturation of vesicular stomatitis virus. J General Virol 75:353-361. Hsieh P, Mau J, Huang S. 2001. Antimicrobial effect of various combination of plants extracts. Food Microbiol 18:35-43. Hui YH. 1996. Vegetable Oils. Ed ke-5, Vol 1. Di dalam Hui YH, editor. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edible oil and Fat Products: General Applications. New York: Wiley-Interscience. Hurgronje CS. 1985. Aceh di mata kolonialis. Jilid I. O’Sullivan AWS, penerjemah. Jakarta: Yayasan Soko Guru. Terjemahan dari : The Achehnese. Iroegbu CU, Nkere CK. 2005. Evaluation of the antibacterial properties of Picralima nitida steambark extracs. Int J Mol Med Adv Sci 1: 182-189. Isaacs CE, Thormar H. 1991. The role of milk-derived antimicrobial lipids as antiviral and antibacterial agents. Di dalam: J Mestecky, et al. (editor). Immunology of Milk and the Neonate. New York: Plenum Pr. Janeway CA, Travers P, Walport M, Sclomchik M. 2001. Innate immunity. Immunobiology: the immune system in health and disease. S. Gibbs New York: Garland Pub. hlm 35-91 Kabara JJ. 1978. Fatty acids and derivatives as antimicrobial agents: A review. Di dalam: JJ Kabara, The Pharmacological Effect of Lipids American Oil. Chemists' Society, Champaign III.
84
Kabara JJ. 2000. Health oils from the tree of life (nutritional and health aspects of coconut oil). Di dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century. Proceeding of the XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai, 24-28 Juli 2000. India: APCC Asian and Pacific Coconut Community. hlm 101-109. Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A Novel approach to made of action on cationic biocides: morphology effect on antibacterial activity. J App Bacteriol 78:5560. Kanwar AS. 2007. Brine shrimp’Artemia salina’ a marine animal for simple and rapid biological assays. (Review). J Chinese Clinic Med 2(4). [terhubung berkala]. http: // www. cjmed.net / html / 2007424-63. html?PHP. [22 Februari 2008]. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,. Kim S, Fung YC. 2004. Antibacterial effect of water-soluble Arrowroot (Puerariae radix) tea extracts on foodborne pathogens in ground beef and mushroom soup. J Food Protect 67(9):1953-1956. Kim JW, Kim YS, Kyung KH. 2004. Inhibitory activity of Essential oils of garlic and onion against bacteria and yeast. J Food Protect 67(3):499-504. Kiviranta J, Sivonen K, Niemela SI, Huovinen K. 2007. Detection of toxicity of cyanobacteria by Artemia salina bioassay. [terhubung berkala]. http: // www3. interscience. wiley. com / cqi-bin / abstract / 112502097 / ABSTRACT. [22 Februari 2008]. Krishnaraju AV, Rao TVN, Sundararaju D, Vanisree M, Tsay Hsin-Sheng, Subbaraju GV. 2005. Assesment of bioactivity of Indian meadicinal plants using brine shrimp (Artemia salina) lethality assay. Int J Appl Sci Eng 3: 125-134. Kubo I. 1992. Antimicrobial activity of green tea flavour components (effectiveness against Streptococcus mutans) Di dalam: Teranishi R, Buttery RG, Sugisama H, editor. Bioactive Volatile Compounds for Plants. American Chemical Society, Washington. Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Ed ke-1. Jakarta: Rajawali Pers. Libanan A. 2000. Coconut product diversification and processing: cocochemicals. Di dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century. Proceeding of the XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai 24-28 Juli 2000, India: APCC Asian and Pacific Coconut Community. hlm 58-73. Lieberman M. 1999. A brine shrimp bioassay for measuring toxicity and remediation of chemicals. J Chem Edu 76 (12) :1689-1691. [terhubung berkala]. http: // jchemed. chem. wisc. Edu / Contributors / Author / Journal / Laboratory / example 03 / p1689. pdf. [22 Februari 2008].
85
Linder MC, editor. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Prakkasi A, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. hlm 21. Lopez-Malo A, Alzamora SM, Guerrero S. 2000. Natural antimicrobials from plants. Di dalam: SM Alzamora, MS Tapia, A Lopez-Malo, editor. Minimally processed fruits and vegetables. Gaithersburg: Aspen Pub. Luo M, Li-Ke Jiang, Guo-Lin Zou. 2005. Acute and genetic toxicity of essential oil extracted from Litsea cubeba (lour.) Pers. J Food Protect. 68: 581-588. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, organ, sasaran dan penilaian. Edisi ke-1. E Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari : Basic Toxicology: fundamentals, target organ and risk assessment. Maguire M. 2000. Re:how do essential oil interact with bacteria to suppress bacterial growth? MadSci Network:Biochemistry. [terhubung berkala]. Webad min @ www. madsci. org. [22 Des 2004]. Mahran GH. 1991. Recent Research on Medicinal Plants in the African Region. Di dalam: Wijesekera ROB, editor. The Medicinal Plant Industry. Boca Raton: CRC Pr. hlm 209-222. Manna P, Sinha M, Sil PC. 2006. Aqueous extract of Terminalia arjuna prevents carbon tetrachloride induced hepatic and renal disorders. BMC Complement and Alternative Med 6(33): 1-10. [Terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 33. [16 Juli 2008]. Martindale. 1982. The Extra Pharmacopoeia. Ed ke-28. Reynolds EF and Prasad AB, editor. London. The pharmaceutical Pr. Mbwambo ZH, Moshi MJ, Masimba PJ, Kapingu MC, Nondo RSO. 2007. Antimicrobial activity and brine shrimp toxicity of extracs of Terminalia brownii roots and stem. BMC Complement and Alternative Med. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 7 /9. [22 Februari 2008]. Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Ja Cobsen LB, Nichols DE, McLaughlin JL. 1982. Brine Shrimp: A Conventient General Bioassay for Active Plant Constituent. Planta Medica 45:3145. Mitsuoka T. 1978. Intestinal Bacteria and Health. Watanabe S, Leung WCT, penerjemah. Tokyo: Iwanami Shoten. Terjemahan dari: Chonaisaikin no hanashi. Moat AG, Foster JW. 1988. Microbial Physiology. New York, A Wiley-Interscience Pub. Motarjemi Y et al. 1996. Food Fermentation a safety and Nutritional Assesment. Switzerland. Bulletin of the World Health Organisation.
86
Naidu AS. 2000. Natural Food Antimicrobial System. Washington DC: CRC Pr. Nair MKM, Joy J, Vasudevan P, Hinckley L, Hoagland TA, Venkitanarayanan KS. 2005. Antibacterial effect of Caprylic acid and monocaprylin on major bacterial mastitis pathogens. J Dairy Sc . 88:3488-3495. Nakamura CV, Ueda-Nakamura T, Bando E, Melo AFN, Cortez DAG, Filho BPD. 1999. Antibacterial activity of Ocimum gratissimum L. essential oil. Mem Inst Oswaldo Cruz 94: 675-678. Nevas M, Korhonen A-R, Lindstrom M, Turkki P, Korkeala H. 2004. Antibacterial Efficiency of finish spice essential oils against pathogenic and spoilage bacteria. J Food Protect 67: 199-202. Nkere CK, Iroegbu CU. 2005. Evaluation of the antibacterial properties of Picralima nitida steambark exracts. Int J Mol Med Adv Sci 1: 182-189. Nunes BS, Carvalho FD, Guilhermino LM, Stappen GV. 2006. Use of the genus Artemia in ecotoxicity testing. Environment Pollu 144: 453-462. [terhubung berkala]. www. sciencedirect. com [8 Juli 2008]. Nurliana, Sudarwanto M, Sudirman LI, Sanjaya AW. 2008. Pengujian awal aktivitas antibakteri dari minyak pliek u dan pliek u: makanan tradisional Aceh. J Kedokteran Hewan 2: 150-156. Nychas GJE, Tassou CC. 2000. Traditional Preservatives-Oils and Spices. Di dalam Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology Vol 1. London: Academic Pr. O’Brien CN, Guidry AJ, Douglass LW, Westhoff DC. 2001. Immunization with Staphylococcus aureus Lysate incorporated into microsphere. J Dairy Sci 84:1791-1799. Okeke MI, Iroegbu CU, Jideofor CO, Okoli AS, Esimone CO. 2001. Anti-microbial activity of ethanol extracts of two indigenous Nigerian spices. J Herbs Spices Medicinal Plants 8: 39-46. Oliva MM, Demo MS, Lopez AG, Lopez ML, Zygadlo JA. 2005. Antimicrobial activity and composition of Hyptis mutabilis essential oil. J Herbs Spices Med plants 11: 57-63. Omaye ST. 2004. Food and Nutritional Toxicology. Boca Raton Florida: CRC Pr. Ottogalli G, Galli A. 1997. Fermented Foods in the Past and in the Future. Italy, Annali di Microbiologia ed Enzimologia. Pappas PG. 2006. Invasive candidiasis. Infect Dis Clin North Am 20(3):485-506. [terhubung berkala]. http: // www. ncbi. nml. nih. Gov / pubmed / 17223626. [14 Agustus 2008]. (Abstract).
87
Parachos S et al. 2007. In Vitro and in vivo activities of Chios Mastis Gum extracts and constituents against Helicobacter pylori. Antimicrob Agents Chemother 51:551-559. Pfaller MA, Jones RN, Doern GV, Sader HS, Hollis RJ, Messer SA, the SENTRY participant group. 1998. International surveillance of bloodstream infections due to Candida spesies: frequency of occurance and antifungal susceptibilities of isolates collected in 1997 in the United States, Canada and South America for the SENTRY program. J Clin Micribiol 36:1886-1889. Pfaller MA, Jones RN, Doern GV, Sader HS, Messer SA, Houston A, Coffman S, Hollis RJ, the SENTRY participant group. 2000. Bloodstream infectiouns due to Candida spesies: SENTRY antimicrobial surveillance program in North America and Latin America, 1997-1998. Antimicrob agents Chemother 3:747-751. Pfaller MA, Diekema DJ. 2007. Epidemyology of invasive candidiasis: a persistent public health problem. Clin Microbiol Rev 20(1):133-163. [terhubung berkala]. http: // www. ncbi. nml. nih. Gov / pubmed / 16984866. [14 Agustus 2008]. (Abstract). Prajapati JB, Nair BM. 2003. The History of Fermented Foods. Di dalam: Farnworth ER, editor. Handbook of Fermented Functional Foods. Washington DC: CRC Pr hlm 3-8. Projan SJ, Brown-Skrobot S, Schlievert PM, Vandenesch F, Novick RP. Glycerol monolaurate inhibits the production of ß-lactamase, toxic shock syndrome toxin-1, and other staphylococcal exoproteins by interfering with signal transduction. J Bacteriol 176:4204-4209. Punchihewa PG, Arancon RN. 2004. Coconut: postharvest operations. Chapter XV. Asian and Pacific Coconut Community. [Terhubung berkala] http: // www. apcc. org. sg/. [22 Des 2004]. Quattara B, Simard RE, Holley RA, Piette GJ-P, Bégin A. 1997. Antibacterial activity of selected fatty acids and essential oils against six meat spoilage organism. Int J Food Microbiol 37: 155-162. Rahalison L, Hamburger M, Hostettmann K, Monod M, Frenk E. 1991. A bioautographic agar overlay method for the detection of anti-fungal compounds from higher plants. Phytochem Anal 2: 199-203. Rajesh MG, Latha MS. 2004. Protective activity of Glycyrrhiza glabra Linn. on carbon tetrachloride-induced peroxidative damage. Indian J Pharmacol, 36:284-287. Reimer LG, Wilson ML, Weinstein MP. 1997. Update on detection of bacteremia and fungemia. Clin Microbiol Rev 10:444-465.
88
Rhayour, Khadija, Bouchikhi, Touria, Tantaoui-Elaraki, Abdelrhafour, Sendide, Khalid, Remmal, Adnane. 2003. The mechanism of bactericidal action of oregano and clove essential oils and of their phenolic major components on Escherichia coli and Bacillus subtilis. [Terhubung berkala] J Essent Oil Res Jul/Aug. [10 Maret 2006]. Řiháková Z, Plocková M, Filip V. 2001. Antifungal activity of lauric acid derivates against Aspergillus niger. Eur Food Res Technol 213:488-490. Rohani-Razavi SM, Griffiths MW. 1994. The effect of mono and polyglycerol laurat on spoilage and pathogenic bacteria associated with food. J Food Safety 14: 131-151. Rojas JJ, Ochoa VJ, Ocampo SA, Muňoz JF. 2006. Screening for antimicrobial activity of ten medicinal plants used in Colombian folkloric medicine: a possible alternative in the treatment of non-nosocomial infections. BMC Complementary and Alternative Medicine 2006 6:2. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 2. [22 Februari 2008]. Rosner A, Aviv H. 1980. Gentamicin bioautography assay vs. The microbiological disk test. J Antibiot 33:600-603. Runyoro DKB, Matee MIN, Ngassapa OD, Joseph CC, Mbwambo ZH. 2006. Screening of Tanzania medicinal plants for anti-Candida activity. BMC Complement Alternative Med 6(11): 1-10. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 11. [ 20 Feb 2008]. Sara B. 2004. Essential oil: their antibacterial properties and potential applications in food. Review. Int J Food Microb 94:223-253. Seen A. 2005. Toxicity testing (Teacher notes). Australian School Innovation in Science, Technology and Mathematics Project. [terhubung berkala]. http: // www. cyut. edu.tw / ~ijase / 2005 / IJASE203-2-6. pdf. [10 April 2007]. Shah A, Cross RF, Palombo EA. 2004. Identification of the antibacterial component of an ethanolic extract of the Australian medicinal plant, Eremophila duttoni. Phytotherapy Res 18: 615-618 Shah AH, Al-Shareef AH, Qureshi S, Ageel AM. 1998. Toxicity studies on some common spices: Cinnamon zylanicum and Piper longum. Plant Fd. Hum. Nutr. –Qualitas Plantarum 52:231-241. Shah AH, Khan ZA, Baig ZA, Qureshi S, Al-Bekairi AM. 1997. Gastroprotective effect of pre-treatment with Zizyphus sativa fruits against txic damage in rats. Fitoterapia LXVIII:226-234. Shilhavy B. 2004. The myth of enzymes and coconut oil. [terhubung berkala] http: // www. bewell. com / virgin / coconut / oil / facts. Html / 18. [23 Des 2004]. Sikkema J, de Bont JAM, Poolman B. 1995. Mechanisms of membrane toxicity of hidrocarbons. Microbiol Rev 59:201-222.
89
Simonsen HT et al. 2006. Ethnopharmacological evaluation of radal (leaves of Lomatia hirsute) and isolation of 2-methoxyjuglone. BMC Complement Alternative Med 6:29. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 29. Sudirman LI, Lefèbvre, Kiffer E, Botton B. 1994. Purification of antibiotics produced by Lentinus squarrosulus and preliminary characterization of a compound active against Rigidoporus lignosus. Current Microbiol 29:1-6. Sudirman LI. 2005a. Antimicrobial compounds from tropical mushrooms. Di dalam: International Seminar on Microbial Biotechnology and Bioprospecting; Jakarta, 3 Desember 2005. Indonesia: Fakultas Biotechnology, Universitas Katolik Atmajaya. Sudirman LI. 2005b. Deteksi senyawa antimikrob yang diisolasi dari beberapa Lentinus tropis dengan Metode bioautografi. Hayati 12(2):67-72. Supartinah-Noer I, Kusmoro J, Anugrawati, Pasaribu ART, Ramlan A. 2003. Toksisitas beberapa tumbuhan Apocynaceae pada hati dan ginjal mencit swiss-ebster. J Biotika 2: 30-43. Svanberg B. 1992. Fermentation of cereals: traditional Household Technology with Nutritional Benefits for Young Children. Canada: IDRC Currents. Swanson KMJ, Busta FF, Peterson EH, Johnson MG. 1992. Colony Count Methods. Di dalam: Vanderzant C, Splittstoesser DF, editor. Ed ke-3. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. USA: American Public Health Ass. hlm 75-96. Thieme JG. 1968. Coconut oil Processing. Paper. Rome: FAO Agriculture Development. Trecee GD. 2000. Artemia production for marine larval fish culture. [terhubung berkala]. http://www.mblaquaculture.com/content/download/articles/SRACArtemia-Production.php. [10 April 2007]. Valero M, Salmeron MC. 2003. Antibacterial activity of 11 essential oils against Bacillus cereus in tyndallized carroth broth. Intl J Food Microbiol 85:73-81. Vandenberghe J. 1996. Hepatotoxicology: Structure, Fuction and Toxicological Pathology. Dalam JM Raymond, J de Vrien and AH Manfried (Eds). Toxicology Principles and Application. New York: CRC Pr. Voigt R.1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Noerono S, penerjemah; Reksohadiprodjo MS, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Lehrbuch der Pharmazeutischen Technologie. Voravuthikunchai S, Lortheeranuwa A, Jeeju W, Sririrak T, Phongpaichit S, Supawita T. 2004. Effective medicinal plants against enterohaemorrhagic Escherichia coli 0157:H7. J Ethnopharmacol 94: 49-54
90
Walker PMB. 1988. Chambers science and Technology Dictionary. London: Oxford University Pr. Wang lih-ling, Johnson EA. 1992. Inhibition of Listeria monocytogenes by fatty acids and monogliserida. Appl Environ Microbiol 2:624-629. Wang lih-ling, Yang Bao-kang, Parkin KL, Johnson EA. 1993. Inhibition of Listeria monocytogenes by monoacylglycerols synthesized from coconut oil and milkfat by lipase-catalized glycerolysis. J Agric Food Chem 41:1000-1005. Watson FE, Ngesa A, Onyango J, Alnwick D, Tomkins AM. 1996. Fermentation-a Traditional Anti-Diarrheal Practice Lost. Int J Food Sci Nutri. Wolf G. 1997. Traditional fermented food. Di dalam: Anke T, editor Fungal Biotechnology. London: Chapman&Hall. hlm 3-5. Yuste J, Fung DYC. 2004. Inactivation of Salmonella Typhimurium and Escherichia coli 0157:H7 in apple juice by a combination of nisin and cinnamon. J Food Protect 67: 371-377.
91
Lampiran 1. Tahapan Umum Pelaksanaan Penelitian
MAKANAN FERMENTASI TRADISIONAL ACEH
TAHAP 1 PENGAMATAN
MINYAK PLIEK U
TAHAP 2 EKSTRAKSI
PLIEK U
PEMBUATAN
EKSTRAK KASAR HEKSAN
EKSTRAK ETANOL RESIDU
EKSTRAK KASAR ETANOL
TAHAP 3 UJI AKTIVITAS ANTIMIKROB
(+) AKTIVITAS TERBAIK MENGHAMBAT BAKTERI & FUNGI TAHAP 4 UJI LANJUT
MIC & MMC
TOKSISITAS AKUT
TOKSISITAS AWAL PENETAPAN LC50 IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF STABILITAS
HASIL/DATA
92
Lampiran 2. Metode analisis proksimat kandungan gizi (AOAC 1980) 1. Kadar air: Sampel segar sebanyak 1 g dimasukkan dalam botol timbangan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 8 ajm, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus:
Bobot sampel (segar-kering)
Kadar air =
Bobot sampel segar
x 100%
2. Kadar abu: Sampel segar sebanyak 1 g ditempatkan dalam wadah porselin dan dibakar sampai tidak meresap, kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 ºC selama 1 jam, lalu ditimbang. Bobot abu Kadar abu =
Bobot sampel kering
x 100%
3. Kadar lemak kasar: Sampel kering sebanyak 2 g disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan dalam labu soxhlet. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu100 ºC selama 1 jam. Kadar lemak =
Bobot lemak terekstrak
x 100%
Bobot sampel kering 4. Kadar protein kasar: Sampel kering sebanyak 0.25 g ditempatkan dalam labu Kjeldahl ukuran 100 ml dan ditambahkan 0.25 g Selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40%, lalu ditestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda yang tidak hilang. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus:
93
(S-B) x NHCl x 14 %N
=
x 100%
w x 1000
Keterangan: S = volume titran sampel (ml); B = volume titran blanko (ml); w = bobot sampel kering (mg) Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4.38 (faktor perkalian umum). Faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 6.25 (AOAC 1980). 5. Kadar serat kasar: Sampel kering sebanyak 1 g dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1.25% dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Watman (Ø 10 cm) dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1.25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1.25% mendidih, 2.5 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin dan dikeringkan dalam oven 130 ºC selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 600 ºC selama 30 menit, lalu didinginkan dan ditimbang kembali (B). Bobot serat kasar Kadar serat kasar =
Bobot sampel kering
x 100%
Keterangan : w – wº = bobot serat kasar w
= bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A – (bobot kertas saring+cawan); A: bobot residu + kertas saring + cawan
W
= bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B – (bobot cawan); B: bobot residu + cawan
6. Kadar kabohidrat: Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yaitu: 100% - (kadar air + abu + protein + lemak). Kadar karbohidrat N-free menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat dicerna dari suatu bahan pangan. Ditentukan dengan cara 100% - (kadar air + abu + protein + lemak + serat kasar).
94
Lampiran 3. Tahap Ekstraksi Pliek u (Ekstraksi Pertama)
Pliek u
Ekstraksi heksan 1 (20 g pliek u + 200 ml heksan)
Ekstraksi heksan 2 (residu pliek u + heksan) (1:10b/v)
Ekstraksi heksan 3 (residu pliek u + heksan) (1:10 b/v)
Ekstrak Heksan I
Ekstrak Heksan II
EHP
Ekstrak Heksan III
residu pliek u
Ekstraksi etanol 1 (residu pliek u + etanol) (1:10 b/v)
Ekstrak Etnol I
Ekstraksi etanol 2 (residu pliek u+ etanol) (1:10 b/v)
Ekstrak Etanol II
Ekstraksi etanol 3 (residu pliek u + etanol) (1:10 b/v)
Ekstrak Etanol III
EERP
95
Lampiran 4. Tahap Ekstraksi Pliek u (Ekstraksi Kedua)
Pliek u
Ekstraksi etanol 1 (20 g pliek u + 200 ml etanol)
Ekstrak Etanol I
Ekstraksi etanol 2 (residu pliek u + etanol) (1:10 b/v)
Ekstrak Etanol II
Ekstraksi etanol 3 (residu pliek u + etanol) (1:10 b/v)
Ekstrak Etanol III
EEP
96
Lampiran 5. Tahap Proses Pembuatan Minyak Pliek u dan Pliek u
Kelapa
Tahap I
dibelah (kelapa tetap utuh) Airnya dibuang Difermentasi (4-5 hari) Pada suhu kamar (29-36°C)
Daging buah dikukur Tahap II
Difermentasi (4-5 hari) Pada suhu kamar (29-36°C) tanpa kena sinar matahari & tertutup
Minyeuk simplah (diambil setiap hari)
Ampas tanpa minyeuk simplah (warna keabu-abuan)
Tahap III
Fermentasi dan penjemuran (terbuka). Pengepresan dilakukan setelah minyak terlihat keluar. (Proses ini berlangsung ≥ 5 hari)
Pliek u (sudah kering tanpa minyeuk brok)
Minyeuk brok (diambil setiap hari)
97
Lampiran 6 Hasil pengujian minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap beberapa mikrob menggunakan metode difusi cakram kertas Diameter Zona Hambatan (mm)* Jenis Antimikrob
MS Minyak Pliek u MB Ekstrak heksan (EHP)
Ekstrak Pliek u
Ekstrak etanol residu (EERP) Ekstrak kasar etanol (EEP)
Amoksisilin
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Nystatin (Candistin)
Bacillus cereus BCC 2118
Bacillus subtilis
Staphylococcus aureus 168
Candida albicans
3
0
0
2
2
0
0
2
3
0
0
2
4
0
4
9
4
0
6
8
6
0
6
7
7
0
0
18
7
0
0
18
6
0
0
16
19
9
18
0
20
11
19
0
20
11
18
0
21
10
19
10
20
11
20
11
20
11
19
11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
22
0
0
0
20
0
0
0
22
0
0
0
12
7
14
0
12
7
12
0
12
7
14
0
td
td
td
14 15 12
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
EER
98
Lanjutan Lampiran 6 Diameter Zona Hambatan (mm)* Jenis Antimikrob
MS Minyak Pliek u MB Ekstrak heksan (EHP)
Ekstrak Pliek u
Ekstrak etanol residu (EERP) Ekstrak kasar etanol (EEP)
Amoksisilin
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Pseudomonas aeurogenosa BCC 2137
Pseudomonas fluorescens FNCC 070
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
0
1
2
2
0
2
1
4
0
3
0
0
0
4
0
0
0
2
0
0
19
20
16
20
20
21
16
21
22
20
16
23
17
16
15
23
19
20
16
24
20
19
15
23
0
0
0
15
0
0
0
12
0
0
0
14
Escherichia Salmonella Coli Enteritidis
0
9
16
25
0
10
15
21
0
9
15
22
0
10
0
29
0
8
0
28
0
10
0
28
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
99
Lampiran 7 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP), terhadap jumlah beberapa mikrob serta nilai MIC dan MMC Jenis Mikrob
B. cereus
S. aureus
E. coli
S. Enteritidis
(Jumlah mikrob Konsentrasi Jumlah mikrob MIC (>90%) awal) EEP (mg/ml) akhir
1,4 x 106
2,6 x 107
(2,5 x 108)
1,8 x 107
0 1.25 2.5 5 10 20 40 80
2,8 x 109 6,9 x 109 1,8 x 109 1,6 x 108 3,2 x 104 5,6 x 103 7,5 x 103 3,8 x 102
0 1.25 2.5 5 10 20 40 80
3,6 x 1012 6,30 x 1010 2,63 x 108 3,28 x 104 3,5 x 103 3,5 x 102 1,2 x 102 0,8 x 101
0 1.25 2.5 5 10 20 40 80
2,9 x 1010 5,7 x 107 2,9 x 106 3,5 x 103 4,4 x 103 8,6 x 102 9,6 x 102 6,7 x 102
0 1.25 2.5 5 10 20 40 80
3,8 x 1011 3,0 x 107 2,9 x 107 8,0 x 107 2,8 x 106 1,2 x 102 3,0 x 101 0
MMC (0.01%)
*
**
* **
* **
* **
100
Lanjutan Lampiran 7 Jenis Mikroba (Jumlah mikroba Konsentrasi Jumlah awal) EEP (mg/ml) mikroba akhir
P. aeruginosa
C. albicans
2,0 x 107
2,5 x 105
0 1.25 2.5 5 10 20 40 80 0 1.25 2.5 5 10 20 40 80
6,5 x 1010 2,1 x 106 2,5 x 105 2,9 x 104 6,0 x 101 0 0 0 2,7 x 109 6,4 x 105 1,4 x 105 2,8 x 103 3,7 x 102 2,0 x 101 0 0
MIC (>90%) MMC (0.01%)
* **
* **
101
Lampiran 8 Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikrob EEP Suhu
Waktu (menit)
Ulangan
Diameter Zona Hambatan (mm)*
Escherichia coli Staphylococcus aureus 100 C 15 n1 16 20 n2 17 19 n3 17 19 Σ 50 58 rataan ±SD 16,67±0,57 19,33±0,57 30 n1 12 18 n2 17 19 n3 17 18 Σ 46 55 rataan ± SD 15,33±2,88 18,33±0,57 45 n1 16 19 n2 14 18 n3 17 18 Σ 47 55 rataan ± SD 15,67±1,53 18,33±0,57 60 n1 15 17 n2 16 18 n3 15 18 Σ 46 53 rataan ± SD 15,33±0,57 17,67±0,57 121oC 15 n1 12 15 n2 12 17 n3 14 18 Σ 38 50 rataan ± SD 12,67±1,15 16,67±1,53 30 n1 14 17 n2 13 13 n3 11 13 Σ 38 43 rataan ± SD 12,67±1,53 14,33±2,31 45 n1 12 16 n2 16 12 n3 12 11 Σ 40 39 rataan ± SD 13,33±2,31 13±2,67 60 n1 10 9 n2 9 11 n3 9 11 Σ 28 31 rataan ± SD 9,33±0,58 10,33±1,15 Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm. o
Candida albicans 9 11 11 31 10,33±1,15 11 11 11 33 11±0 8 8 7 23 7,67±0,57 9 8 11 28 9,33±1,53 10 10 11 31 10,33±0,58 8 11 11 30 10±1,73 6 5 6 17 5,67±0,58 6 6 6 18 6±0
102
Lampiran 9 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP Lama Suhu Penyimpanan Penyimpanan Suhu Kamar (28ºC)
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
Ulangan n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD
Diameter Zona Hambatan (mm) Escherichia Staphylococcus Candida coli aureus albicans 14 12 9 19 16 8 14 16 11 47 44 28 15,67±2,89 14,67±2,31 9,33±1,53 14 17 11 11 17 11 11 17 10 36 51 32 12±1,73 17±0 10,67±0,58 10 16 11 11 16 12 14 16 9 35 48 32 11,67±2,08 16±0 10,67±1,53 11 16 9 11 15 9 12 16 8 34 47 26 11,33±0,58 15,67±0,58 8,67±0,58 7 15 10 10 15 10 9 15 10 26 45 30 8,67±1,53 15±0 10±0 5 15 12 8 16 8 10 15 8 23 46 28 7,67±2,52 15,3±30,58 9,33±2,31
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
103
Lanjutan Lampiran 9 Lama Suhu Penyimpanan Penyimpanan Suhu Refrigerator (10oC)
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
Ulangan n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD
Diameter Zona Hambatan (mm)* Escherichia Staphylococcus Candida coli aureus albicans 7 12 8 11 12 9 7 15 8 25 39 25 8,33±2,31 13±1,73 8,33±0,58 8 12 9 10 12 9 11 12 9 29 36 27 9,67±1,53 12±0 9±0 5 10 8 6 12 7 6 10 7 17 32 22 5,67±0,58 10,67±1,15 7,33±0,58 7 10 3 5 12 4 5 12 4 17 34 11 5,67±1,15 11,33±1,15 3,67±0,58 5 8 3 6 9 3 6 9 3 17 26 9 5,67±0,58 8,67±0,58 3±0 5 7 3 6 9 3 5 7 4 16 23 10 5,33±0,58 7,67±1,15 3,33±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
104
Lanjutan lampiran 9 Suhu Lama Penyimpanan Penyimpanan Suhu Freezer (-20ºC)
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
Ulangan n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD
Diameter Zona Hambatan (mm)* Escherichia Staphylococcus Candida coli aureus albicans 4 9 4 6 9 5 4 8 5 14 26 14 4,67±1,15 8,67±0,58 4,67±0,58 5 8 5 5 8 5 4 8 5 14 24 15 4,67±0,58 8±0 5±0 4 6 4 4 5 3 4 6 4 12 17 11 4±0 5,67±0,58 3,67±0,58 3 6 4 3 6 4 3 6 4 9 18 12 3±0 6±0 4±0 3 5 4 3 5 3 3 3 4 9 13 11 3±0 4,33±1,15 3,67±0,58 3 4 4 3 4 3 3 4 4 9 12 11 3±0 4±0 3,67±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
105
Lampiran 10 Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikrob EEP pH
Ulangan
3
n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD n1 n2 n3 Σ rataan ± SD
5
7
9
11
Diameter Zona Hambatan (mm)* Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans 16 20 9 15 21 9 16 20 9 47 61 27 15,67±0,58 20.33±0,58 9±0 17 19 11 17 19 9 16 20 9 50 58 29 16,67±0,58 19,33±0,58 9,67±1,15 18 19 11 16 19 11 16 19 9 50 57 31 16.67±1,15 19±0 10,33±1,15 15 18 11 17 20 11 17 20 11 49 58 33 16,33±1,15 19,33±1,15 11±0 16 18 8 15 19 9 15 19 9 46 56 26 15,33±0,58 18,67±0,58 8,67±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
106
Lampiran 11 Jumlah mikrob feses mencit (log cfu/g) setelah diberikan EEP per oral Jumlah mikrob feses mencit Mencit
EEP I
EEP II
6
5
EEP 0
n1 n2 n3
34.10 37.106 31.106
41 . 10 35 . 105 29 . 105
47 . 106 57 . 106 26 . 106
total
102 .106
105 . 105
130 . 106
rata-rata
3.4 .107
3.5 . 106
4.33 . 107
log cfu/g
7.53
6.54
7.63
Keterangan: EEP I (370 mg/kg berat badan), EEP II (733 mg/kg berat badan), EEP 0 (kontrol)
107
Lampiran 12 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hati dan ginjal mencit Tabel 1 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hat mencit Perlakuan EEP 0
EEP I
EEP II
Mencit 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Berat hati (g) 1.58 1.35 2.23 1.89 2.17 2.08 2.45 2.05 2.35
Berat badan (g) 28.15 27.2 29.43 30.64 28.91 28.82 29.11 29.42 30.13
Berat hati/berat badan (%) 5.61 4.96 7.58 6.17 7.50 7.21 8.42 6.97 7.79
Rataan ± SD
6.05±1.36
6.96±0.69
7.73±0.72
Keterangan: EEP I (370 mg/kg bb), EEP II (733 mg/kg bb), EEP 0 (kontrol)
Tabel 2 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat ginjal mencit Perlakuan
Mencit
EEP 0
1 2 3 1 2 3 1 2 3
EEP I
EEP II
Berat ginjal (g) 0.52 0.43 0.57 0.59 0.57 0.61 0.57 0.61 0.61
Berat badan (g) 28.15 27.2 29.43 30.64 28.91 28.82 29.11 29.42 30.13
Berat ginjal/berat badan (%) 1.85 1.58 1.94 1.93 1.97 2.12 1.96 2.07 2.02
Keterangan: EEP I (370 mg/kg bb), EEP II (733 mg/kg bb), EEP 0 (kontrol)
Rataan ± SD
1.79±0.19
2.01±0.1
2.02±0.5
108
Lampiran 13 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati mencit Tabel 1 Hasil p engukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang tidak diberikan EEP Ulangan
Parameter 2 1 0 1
3 1 0 1
4 1 0 1
Lapang pandang 5 6 7 1 2 2 0 0 0 1 2 2
IK1
Sitoplasma nukleus P. darah
1 1 0 1
IK2
Sitoplasma nukleus P. darah
1 1 1
1 1 1
3 1 1
3 1 0
3 1 0
2 0 1
K3
Sitoplasma nukleus P. darah
1 1 0
2 1 2
2 1 2
2 1 2
2 1 0
2 1 0
8 2 0 2
9 2 0 2
10 1 0 1
2 1 1
3 1 1
2 1 0
2 1 1
2 1 0
2 1 2
2 1 2
2 1 2
Tabel 2 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang diberikan EEP (370 mg/kg bb) Ulangan
Parameter 2 1 0 0
3 1 1 0
4 1 1 0
Lapang pandang 5 6 7 1 3 3 1 1 1 1 1 1
EK1
Sitoplasma Nukleus P. darah
1 1 0 1
EK2
Sitoplasma Nukleus P. darah
2 1 1
1 2 1
1 2 1
1 2 1
1 0 3
1 0 3
EK3
Sitoplasma Nukleus P. darah
3 1 1
2 1 0
2 1 1
2 1 1
3 1 0
3 1 1
8 3 1 1
9 3 1 1
10 1 1 1
1 2 3
2 2 3
2 2 3
2 1 3
3 1 1
3 1 1
3 1 0
2 1 1
Tabel 3 Pengukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang diberikan EEP (733 mg/kg bb) Ulangan
Lapang pandang
Parameter
FK1
Sitoplasma nukleus P. darah
1 1 1 0
2 1 1 0
3 1 1 1
4 1 1 1
5 1 1 0
6 1 1 0
7 1 1 0
8 1 1 1
9 1 1 0
10 1 1 0
FK2
Sitoplasma nukleus P. darah
3 1 2
2 1 2
3 2 2
3 2 2
3 0 2
2 0 2
3 2 2
3 2 2
3 2 2
2 1 3
FK3
Sitoplasma nukleus P. darah
1 0 0
1 0 0
1 0 1
1 1 0
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 2
1 1 0
1 1 1
109
Lampiran 14 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal mencit Tabel 1 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang tidak diberikan EEP Lapang pandang
Ulangan Parameter IK1
Glomerulus Tubulus
1 1 4
2 0 3
3 1 1
4 0 1
5 0 1
6 1 3
7 1 1
8 1 3
9 1 3
10 1 3
IK2
Glomerulus Tubulus
0 1
0 1
1 1
1 1
1 1
0 1
0 1
1 4
1 1
1 1
IK3
Glomerulus Tubulus
1 4
1 1
0 1
0 1
1 1
1 1
1 1
0 2
1 1
1 1
Tabel 2 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang diberikan EEP (370 mg/kg bb) Lapang pandang
Ulangan Parameter EK1
Glomerulus Tubulus
1 4 1
2 1 1
3 1 1
4 4 1
5 1 1
6 1 1
7 0 1
8 1 1
9 1 1
10 1 1
EK2
Glomerulus Tubulus
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
EK3
Glomerulus 4 1 1 Tubulus 1 1 1 Radang interstisial 20%
1 1
1 4
1 1
1 4
1 4
1 1
1 4
Tabel 3 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang pada mencit yang diberikan EEP (733 mg/kg bb) Ulangan Parameter FK1
FK2 FK3
Lapang pandang
1 2 Glomerulus 1 1 Tubulus 2 1 Radang interstial 10% Glomerulus 1 1 Tubulus 1 1
3 1 1
4 1 1
5 1 1
6 1 1
7 1 1
8 1 1
9 1 1
10 1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
Glomerulus Tubulus
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 2
110
Lampiran 15 Hasil identifikasi komponen di dalam ekstrak etanol (EEP dan EERP) Tabel 1. Hasil identifikasi komponen dalam EEP menggunakan GC-MS No 1
Komponen Decanoic acid (asam kaprat)
2
Decanoic acid methyl ester
3
Dodecanoic acid (asam laurat)
4
Dodecanoic acid, methyl ester
5
Tetradecanoic acid (asam miristat)
6
Tetradecanoic acid methyl ester
7
Hexadecanoic acid (asam palmitat)
8
Hexadecanoic acid methyl ester
9
Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy
10
9-Hexadecenoic acid (asam palmitoleat)
11
Octadecanoic acid (asam stearat)
12
Octadecanoic acid methyl ester
13
9-Octadecenoic acid (asam oleat)
14
9-Octadecenoic acid methyl ester
15
9,12-Octadecadienoic acid (asam linoleat)
16
9,12-Octadecadienoic acid methyl ester
17
7,10,13-hexadecatienoic acid
18
9,12,15-octadecatrienoic acid
19
3-Dodecendiena
20
1,4-cyclononadiena
21
Tetradecanedioic acid
22
Octanoic acid (asam kaprilat) Total
RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%) RT Area (%)
Jumlah RT dan area (%) 14.51 0.91 3.87 0.49 19.23 19.76 9.61 1.15 6.35 6.91 6.06 1.99 24.14 4.73 9.32 9.94 4.63 2.71 27.39 28.05 28.27 29.59 0.53 7.16 2.08 0.47 13.06 13.87 3.59 2.56 27.01 2.81 28.56 2.39 27.77 31.63 0.16 1.39 17.55 18.44 2.32 1.38 32.24 32.36 45.94 2.8 1.25 5.64 17.96 18.77 2.84 1.73 33.46 0.74 18.99 0.69 46.47 1.06 44.15 0.23 42.37 42.44 13.40 5.96 35.50 3.09 22.32 0.51 10.37 0.32
Jumlah 0.91 0.49 10.76 8.05 5.24 7.34 10.24 6.15 2.81 2.39 1.55 3.7 9.69 4.57 0.74 0.69 1.06 0.23 19.36 3.09 0.51 0.32 99.89
111
Lanjutan Lampiran 15 Tabel 2 Hasil identifikasi komponen dalam EERP menggunakan GC-MS No 1 2 3 4 5 6
7 8 9
Komponen Dodecanoic acid (asam laurat)
RT Area (%) Dodecanoic acid, 2 hydroxy-1 RT Area (%) Tetradecanoic acid (asam miristat) RT Area (%) Hexadecanoic acid (asam palmitat) RT Area (%) Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy RT Area (%) Octadecenoic acid methyl ester RT Area (%) RT Area (%) 9-Octadecenoic acid (asam oleat) RT Area (%) 4-Dibenzofuramine RT Area (%) Etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3 (piperadine) RT Area (%) Total
Jumlah RT dan Area (%) 19.26 19.77 0.80 0.05 29.10 29.29 32.98 33.15 7.83 8.54 7.34 7.76 24.43 0.55 24.95 0.01 28.02 29.63 35.96 1.45 11.60 0.61 22.06 27.14 27.58 27.73 28.22 0.22 1.15 4.06 1.11 4.04 28.41 28.58 35.67 37.08 1.91 1.52 0.80 0.08 27.88 35.54 2.12 0.72 30.90 31.60 8.39 14.43 33.57 12.71
Jumlah 0.85 31.47 0.55 0.01 13.66
14.89 2.84 22.82 12.71 99.80