Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
PROSPEK INTEGRASI TERNAK SAPI DAN TANAMAN TEBU DALAM RANGKA PENDIRIAN PABRIK GULA DI KABUPATEN BLORA DAN PURBALINGGA Muryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kontributor produksi gula nasional dengan produksi tahun 2010 sebanyak 227.000 t. Untuk mencapai swasembada gula, maka produksi gula minimal harus mencapai 325.000 t/th, dengan luas pertanaman 70.000 ha. Untuk itu diperlukan lahan tambahan seluas 17.000 ha yang akan menambah produksi gula sebanyak 98.000 t/th. Berkaitan dengan rencana tersebut, maka di Kabupaten Blora dan Purbalingga akan didirikan Pabrik Gula (PG). Sementara itu, di Jawa Tengah juga dilakukan pengembangan ternak sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi. Makalah ini membahas potensi integrasi pengembangan ternak sapi dengan tanaman tebu ditinjau dari aspek produksi dan sosial. Dari bahasan makalah ini disimpulkan bahwa pengembangan ternak sapi yang diintegrasikan dengan tanaman tebu dalam rangka mendukung pendirian PG di Kabupaten Blora dan Purbalingga adalah sangat relevan. Faktor pendukungnya adalah dua program prioritas 2014 yaitu Swasembada Gula dan Swasembada Daging Sapi. Dari integrasi ini akan terjadi sinergi dan hubungan yang saling membutuhkan, ternak membutuhkan hijauan pakan dari limbah tebu baik berupa pucuk tebu maupun limbah pabrik gula, sedangkan tanaman tebu membutuhkan pupuk kandang. Disarankan agar pemerintah bersama PG dan petani tebu, memperhatikan dampak sosial bagi masyarakat (petani kecil) yang lahannya disewa untuk perluasan areal pertanaman tebu. Fasilitasi pengembangan ternak sapi kepada masyarakat juga perlu dilakukan. Dalam pengembangan integrasi ternak sapi dengan tebu diperlukan kelembagaan pendukung yang saling menguntungkan yang melibatkan unsur pemerintah, PG, petani tebu, masyarakat (kelompok tani ternak), perbankan dan unsur lain yang terkait. Kata kunci : ternak, tebu, integrasi.
PENDAHULUAN Rencana pendirian pabrik gula di Kabupaten Blora membutuhkan lahan pertanaman tebu minimal seluas 4.000 ha di sekitar lokasi pabrik guna memproduksi tebu sebagai bahan baku untuk operasional pabrik. Di samping itu juga diperlukan lahan sebagai areal pendukung untuk pertanaman tebu seluas 15.000 ha yang direncanakan berlokasi di Kabupaten Grobogan dan Rembang. Areal 4.000 ha sebagai pendukung pabrik perlu didukung dengan legalitas hukum dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Hal itu dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan operasionalisasi pabrik. Areal lahan pendukung seluas 15.000 ha statusnya bisa milik petani tebu atau milik petani kecil yang disewa oleh petani tebu.
710
Petani pemilik lahan yang disewa atau diubah statusnya menjadi HGU perlu mendapat jaminan untuk dapat bekerja guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Pendirian pabrik gula harus memberikan Insentif bagi petani yang lahannya digunakan untuk usaha tebum khususnya apabila nilai usaha sebelumnya lebih menguntungkan. Insentif dapat berupa pinjaman modal lunak untuk usaha di sekitar pekarangan (ternak dan sayuran) atau mengolah hasil samping tebu. Bagi petani yang lahannya disewa perlu ada program yang melindungi petani, misalnya menjadi tenaga kerja baik oleh APTR maupun PG, pemeliharaan ternak, produksi pupuk organik, dan pembuatan pakan. Tebu merupakan tanaman perkebunan/ industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditas penting, karena di dalam batangnya terkandung ± 20 % cairan
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
gula. Tanaman perkebunan tebu ditinjau dari kacamata dunia Peternakan merupakan hamparan serat kasar yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia (Rudiono, 2003). Sedangkan Atmadilaga (1976) menyatakan bahwa introduksi ternak sapi ke dalam perkebunan tebu telah dimulai sejak tahun 1830. Kala itu perusahaan perkebunan tebu (pabrik gula) di Jawa yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda, mengimpor sapi jenis Ongol untuk digunakan sebagai alat transportasi tebu dari kebun ke pabrik. Pakan yang digunakan pada saat itu adalah pucuk daun tebu dan rumput di sekitar kebun. Integrasi ternak pada usaha perkebunan, akan menghasilkan pupuk organik yang dimanfaatkan untuk tanaman tebu, Hal ini untuk mengembalikan kondisi tanah yang “sakit” akibat dari penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus (Kariyasa dan Pasandaran, 2004). Di sisi lain usaha ternak sapi, selalu menghadapi permasalahan keterbatasan hijauan pakan, terutama pada musim kemarau, sehingga banyak petani menjual ternaknya guna membeli hijauan (Ilham et al., 2001). Kondisi demikian dapat diatasi dengan melakukan usaha bersama antara ternak sapi dan tanaman tebu dalam satu kawasan yang disebut dengan Sistem Integrasi TanamanTernak (Crop-Livestock System). Ciri utama Sistem Integrasi Tanaman-Ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani dapat memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanamannya sedangkan limbah tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang bergizi tinggi (Reinjess et al. dalam Ismail dan Djayanegara, 2004).
dapat menghemat pemakaian pupuk anorganik dan dapat memperbaiki unsur hara tanah yang semakin lama semakin menurun kualitasnya. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sistem integrasi ini mampu meningkatkan produktivitas tanaman maupun ternak yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani secara keseluruhan. Hasil kajian Adnyana et al. (2003) menunjukkan bahwa pelaksanaan integrasi sapi dan padi di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur terbukti mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebesar 25 - 35 % dan meningkatkan produktivitas padi sebesar 20 29 %. Bulu et al. (2004), melaporkan bahwa sistem integrasi di Provinsi NTB mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 8,4 %, sedangkan di Bali petani mampu meningkatkan pendapatannya sebesar 41,4 %. Dari segi biaya, usaha integrasi ini mampu menghemat biaya pembelian pupuk 8,8 % terhadap total biaya, sedangkan usaha ternak yang dipadukan dengan usaha tani padi mampu menghemat biaya tenaga kerja 5,26 - 6,38 % terhadap total biaya. Dari penjelasan tersebut di atas, maka rencana pengembangan pabrik gula di Kabupaten Blora dan Purbalingga sudah selayaknya perlu diintegrasikan dengan usaha ternak. Faktor yang mendukung pada saat ini adalah adanya dua program prioritas di Jawa Tengah maupun pada tingkat nasional yaitu Program Swasembada Gula 2014 dan Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau 2014. PEMBAHASAN Aspek Produksi
Pada model integrasi tanaman - ternak, petani mengatasi permasalahan keterbatasan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman pertanian maupun perkebunan seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacangan, limbah kakao, limbah kopi, termasuk limbah tebu. Limbah–limbah tersebut mampu menyediakan pakan berkisar 33,33 % dari total rumput yang diberikan (Kariyasa, 2003). Keuntungan lain dari sistem ini adalah lebih menghemat tenaga kerja pengambilan rumput sehingga memberi peluang bagi petani untuk dapat lebih meningkatkan skala pemeliharaan ternak. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik, di sisi lain,
Pengembangan Ternak Sapi Relevansi pengembangan ternak sapi kaitannya dengan integrasi dengan tanaman tebu adalah pemanfaatan hasil kotorannya sebagai pupuk organik pada lahan tebu. Sembiring (2005) dan Muryanto (2006) melaporkan bahwa setiap ekor sapi per hari menghasilkan kotoran sebanyak 10 – 30 kg, sedang BPTP Sulawesi Selatan (2003) melaporkan bahwa antara 8 – 10 kg kotoran sapi apabila diproses, maka dapat dihasilkan 4 - 5 kg pupuk organik per hari. Perhitungan tersebut dapat dipertimbangkan sebagai salah satu acuan untuk menghitung
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
711
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
keseimbangan berapa jumlah ternak sapi yang perlu dikembangkan di lahan perkebunan yang akan dibangun.
dicampurkan dengan semua bahan lainnya dalam drum plastik yang kemudian ditutup rapat. Terasi diremas terlebih dulu dengan air sebelum dicampurkan. Seluruh bahan campuran itu selanjutnya didiamkan selama 14 hari dengan ditutup rapat, namun setiap tiga hari dilakukan pengadukan. Setelah 14 hari maka hasil fermentasi tersebut siap untuk dipakai. Dalam penggunaannya Ferinsa perlu diencerkan dengan air, misalnya untuk sayuran dan hortikultura, setiap liternya dicampur dengan 40 liter air, untuk tanaman padi maka 1 liter Ferinsa dicampur dengan 30 liter air, sedangkan untuk tanaman tebu belum dilaporkan. Sebagai informasi bahwa pada tanaman padi, dalam satu musim tanam membutuhkan 25 30 liter Ferinsa/ha sawah (www.suaramerdeka.com, 2004).
Pengembangan ternak sapi yang diintegrasikan dengan pengembangan tanaman tebu sebenarnya dapat menjadi insentif utama bagi lahan perkebunan tebu, yaitu dengan diproduksinya pupuk organik. Pupuk tersebut memiliki kegunaan antara lain dapat menekan biaya penggunaan pupuk dan tidak tergantung pada pupuk kimia, memperbaiki struktur dan pH tanah, serta meningkatkan kehidupan mikroba dan unsur mikro tanah. Dengan kata lain bahwa integrasi ternak ke dalam perkebunan tebu atau crops livestock system (CLS) merupakan salah satu alternatif pengembangan usaha peternakan yang efisien, ramah lingkungan, dan berdasar prinsip saling ketergantungan sebagai satu siklus jejaring kehidupan atau disebut integrated farming system (Soeharto, 2009).
Pengembangan Tanaman Tebu Seiring dengan pengembangan pabrik gula, maka dibutuhkan tanaman tebu dalam jumlah yang memadai untuk operasional pabrik tersebut. Dengan adanya pengembangan tanaman tebu, maka akan dihasilkan produk samping atau limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak utamanya adalah pucuk tebu.
Di samping kotoran, ternak sapi juga menghasilkan urine yang dapat diproses menjadi pestisida organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pembasmi hama. Pembuatannya melalui proses fermentasi, sehingga produknya disebut “Ferinsa” atau Fermentasi Urin Sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida organik. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut. Urin sapi ditambah dengan empon-empon, yakni lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, dan kencur. Selain itu dicampur dengan susu segar sapi dan tetes tebu serta terasi. Setiap 100 liter air kencing dibutuhkan 2 kg emponempon, susu segar sapi 5 liter, dan tetes tebu 5 liter serta terasi 2 kilogram. Proses pembuatannya, empon-empon ditumbuk lalu
Pucuk Tebu Komponen pucuk tebu menurut Rudiono (2003) mencapai 13 - 15% dari bobot total tanaman tebu. Sebagai pakan ternak, pucuk tebu mempunyai kualitas cukup baik dan tidak kalah dengan berbagai pakan lain. Perbandingan kualitas pucuk tebu dengan berbagai bahan pakan lain adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan kualitas pucuk tebu dengan limbah pertanian lain (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bahan Rumput gajah Rumput lapang Jerami padi Jerami kacang tanah Jerami ketela pohon Jerami kacang kedelai Jerami sorghum Jerami ketela rambat Jerami jagung Pucuk tebu
PK
SK
Lemak
Abu
Betn
6,40 6,69 4,10 16,59 3,98 12,50 14,20 3,90 5,56 7,40
34,50 34,19 29,20 25,41 33,29 36,00 30,30 2,10 33,58 42,30
3,00 1,78 1,60 2,90 1,59 3,92 4,70 0,40 1,25 2,90
8,60 9,70 21,50 7,51 49,79 10,88 7,20 7,28 7,40
47,50 47,64 43,60 47,59 11,35 36,70 43,60 4,30 53,32 40,00
Sumber : Silitonga (1985)
712
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pucuk tebu memiliki daya cerna dan nilai gizi yang relatif rendah, hal tersebut dapat dilihat dari kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi (42,30 %). Akan tetapi tindakan pengolahan kimiawi, hayati dan fisik, secara signifikan mampu meningkatkan daya cerna, kandungan gizi dan konversi pakan (Widiyanto, 2001). Berdasar hasil penelitian, pucuk tebu dapat menggantikan peran rumput gajah, tanpa memberikan efek negatif baik pada sapi potong ataupun sapi perah. Kelebihan pucuk tebu adalah biasa dipanen pada musim kemarau, sehingga akan sangat membantu dalam kontinyuitas penyediaan pakan. Jika dilihat pengaruhnya terhadap pertambahan berat badan harian (PBBH), pemberian pucuk tebu pada ternak sapi Bali jantan mampu menghasilkan PBBH 0,78 0,82 kg/hari, sedangkan dengan pemberian rumput gajah hanya mencapai 0,69 kg/hari (Rudiono, 2003). Limbah tebu berupa pucuk tebu dapat dibuat silase dan dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dilaporkan bahwa 10 ekor sapi umur bakalan 1 tahun yang selama 4 bulan diberi pakan silase sebanyak 5% berat badan/ekor/hari ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran dedak dan onggok (2 : 1) sebanyak 10%, maka dihasilkan pertambahan bobot badan sapi rata-rata sebesar 1 kg/ekor/hari. Kebutuhan hijauan silase untuk sapi PO umur bakalan 1 tahun, yang ditetapkan adalah 5 % berat badan. Jadi kebutuhan hijauan untuk penggemukan selama 4 bulan per ekor, dengan pertambahan berat badan 1 kg per ekor per hari adalah (5 % x 300 kg x 120 hari) + (5 % x 1 kg x 120 hari) = 1800 kg + 6 kg = 1806 kg atau sekitar 1,8 ton. Jadi kebutuhan pakan hijauan dalam 4 bulan untuk satu peternak yang memelihara 10 ekor sapi adalah : 10 ekor x 1,8 ton = 18 ton/peternak. Dengan demikian maka dapat diperhitungkan berapa jumlah sapi yang dibudidayakan berdasarkan potensi limbah pucuk tebu yang ada di satu wilayah.. Menurut hasil kajian di Jawa Timur (di Jombang dan Tulungagung, dan hasil wawancara dengan praktisi pengelola pengangkutan tebu PT Blimbing Manis), diperoleh informasi bahwa 1 ha areal tebu menghasilkan 3 ton pucuk tebu. Kadar air hijauan segar yang digunakan untuk memproduksi silase harus sekitar 60%, sedangkan pucuk tebu yang siap dipanen gulanya mempunyai kadar air sebesar 50 %
(Siregar, 1994). Jadi untuk memproduksi HMT Silase misalnya sebanyak 360 ton, dibutuhkan hijauan pucuk tebu segar sebanyak 60 %/50 % x 360 ton = 432 ton pucuk tebu segar dan areal perkebunan tebu yang harus disediakan adalah : 432 ton/3 ton x 1 ha = 144 ha (Asri, 2010). Pengalaman pengembangan tebu di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan kasar, dari 99.510 ha tanaman tebu yang ada di provinsi tersebut setiap tahunnya dapat menghasilkan pucuk tebu segar kurang lebih sebanyak 388.138 ton. Menurut Rudiono (2003) jika diasumsikan bahwa tingkat efisiensi penggunaan pucuk tebu hanya mencapai 50% dengan tingkat konsumsi 20 kg/ekor/hari, maka produksi pucuk tebu tersebut setidaknya mampu menyediakan bahan pakan untuk 26.500 ekor sapi per tahun. Hal ini belum termasuk sumbangan dari limbah perkebunan tebu yang lain seperti tetes, blotong dan bagas. Sampai saat ini pemanfaatan pucuk tebu sebagai pakan ternak ruminansia masih terbatas, hal ini disebabkan kecernaan dan nilai gizinya rendah, oleh karena itu untuk meningkatkan dayagunanya diperlukan tindakan pengolahan. Teknik yang diperkenalkan Widiyanto (2001) dalam pengolahan pucuk tebu dan berhasil cukup baik adalah melalui kombinasi perlakuan kimiawi (amoniasi), hayati (fermentasi dengan Trichoderma reesei) yang dilanjutkan dengan perlakuan fisik (pembuatan wafer dan pellet). Kombinasi perlakuan amoniasi dan fermentasi (amofer) mampu menghasilkan peningkatan dayaguna yang jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan jika perlakuan dilakukan secara terpisah. Fermentasi dengan fungi sellulotik akan memecah selulosa sehingga kecernaan pakan meningkat, sementara produksi biomassa fungi itu sendiri, merupakan pengayaan bahan pangan dengan protein bermutu tinggi. Pengaruh fermentasi itu semakin efektif bila dikombinasi atau didahului dengan amoniasi, karena adanya pasokan nitrogen. Amoniasi merupakan praperlakuan yang penting, karena kebanyakan fungi tidak mampu memecah substrat yang berlignin (Widiyanto, 2001). Disebutkan juga bahwa pembuatan pellet dapat meningkatkan konsumsi pakan. Pemanasan yang menyertai proses tersebut dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein murni yang terkandung dalam pucuk tebu yang terolah.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
713
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
Pendirian Pabrik Gula Pengembangan pabrik gula akan menghasilkan produk samping yang bermanfaat untuk ternak sapi atau untuk keperluan lain. Produk samping tersebut antara lain berupa blotong, bagas, dan tetes: Blotong Blotong merupakan kotoran yang dapat dipisahkan dengan penapisan dalam proses klarifikasi nira. Blotong ini mengandung bahan organik, mineral, serat kasar, protein kasar, dan gula, sehingga masih dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak. Komposisi kimia blotong yang dilaporkan Rudiono (2003) meliputi air (60-78 %), sucrose (2,1 - 7,3 %), lilin (2,0 - 2,1 %), nitrogen (0,2 - 0,7 %), serat (4,3 ¬ 6,5 %), abu (41,00 %), P20s (0,4 - 1,ll %), K20 (0,02 %) dan CaO (0,8 - 1,1 %). Manfaat lain dari blotong adalah sebagai sumber energi. Semakin mahalnya harga minyak tanah, menyebabkan semakin banyak warga perdesaan di sekitar pabrik gula memanfaatkan blotong sebagai sumber energi. Akibatnya, blotong yang awalnya dapat diperoleh secara gratis berubah menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi. Blotong seukuran satu bak truk mini diperoleh dengan harga Rp 50.000,-. Harga tersebut masih relatif murah, karena blotong dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sekitar tiga bulan (www.suarapembaharuan.com, 2005).
a) Partikel Board. Produk ini dibuat dari bagian kecil lignocellulostic dengan menambah adhesive organik dengan cara ditekan dan dipanaskan. Ada tiga tahap proses yaitu multiplaten hot press process, proses extrusi, dan continuous pressing. Untuk papan yang keras ditambahkan dengan vinyl chloride – vinyl asetat, methyl methacrylate, styrene atau methyl methacrylate polimer. Dengan komposisi polimer sebesar 40 % akan lebih kuat, dan kemampuan menyerap air turun dari 180 % menjadi lebih rendah dari 20 %. b) Plastik. Ada beberapa proses penggunaan ampas tebu sebagai bahan baku plastik. Komposisi utama ampas yang berperan pada proses pembuatan plastik adalah lignin, setelah serabut selulosa dihilangkan. Akan tetapi kelemahan plastik dari ampas adalah warna yang gelap sehinga kurang kompetitif untuk bersaing dengan jenis plastik yang lain. c) Pith. Ampas mengandung 30 % pith, yang mempunyai densitas 120 – 200 kg/m3, kadar air 45 – 55 %, kadar sabut 46 – 56 % dan komponen lain 2 – 4 %. Dari hasil analisa kimia kandungannya adalah karbon 45 %, oxygen 38 %, hydrogen 6 %, abu 10 %, dan nitrogen, sulfur, chloride sebesar 1 %. Nilai kalor dari pith sebesar 4600 kcal/kg sampai 4250 kcal/kg. Pith yang dipisahkan dari ampas untuk membuat pulp dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler.
Ampas Tebu (bagas) Hasil samping dari proses penggilingan tebu adalah ampas tebu. Rata – rata ampas yang diperoleh dari proses giling tebu mencapai 32 %. Ampas tebu biasa juga disebut bagas, mengandung serat (sellulosa, pentosan dan lignin), abu, dan air. Ketersediaan serat masih memungkinkan untuk digunakan sebagai pakan ternak, hanya saja dengan kandungan lignin yang cukup tinggi menyebabkan penggunaannya sangat terbatas. Beberapa proses pengolahan telah dikembangkan antara lain dengan menggunakan uap, caustic soda dan amoniasi, akan tetapi hasilnya belum memuaskan. Ampas tebu dapat dimanfaatkan untuk diproses sebagai produk turunan yang mempunyai nilai ekonomi, antara lain:
714
d) Xylitol. Ampas tebu mengandung 30 % pentosan. Dengan menggunakan asam, sekitar 13 % zat kering dapat diekstrak menjadi xylose (C5H10O5). Xylose adalah pentosa dan biasa disebut “gula kayu”. Xylitol (C5H12O5) atau xylite adalah sebuah alcohol pentahidrat turunan dari xylosa. Xylose digunakan sebagai pemanis dan rasanya hampir menyamai sukrosa, dan mempunyai efek dingin pada lidah. 1 gram xylitol mengandung 4.06 kcal, hampir sama dengan karbohidrat. Xylitol tidak bersifat karsiogenik karena diuraikan oleh bakteri (streptococci) yang terdapat dalam mulut. e) Furfural. Pembuatan furfural dari ampas tebu merupakan salah satu obyek yang banyak diteliti. Beberapa pabrik gula di China telah memproduksi furfural dari
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
ampas tebu. Furfural dapat diperolah dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung pentosan. Kandungan pentosan pada ampas tebu lebih tinggi daripada kayu keras maupun lunak, lebih dari 90 % dalam bentuk xylan. Dengan hidrolisis asam, xylan menghasilkan xylose, lalu diproses menjadi furfural dengan menghilangan 3 molekul air. Yield furfural dari ampas tebu sekitar 9 – 10 %. Dengan menggunakan asam sulfat selain dapat diproduksi furfural juga dapat menghasilkan asam levulinic. Yield yang dapat dihasilkan sekitar 25 %, dimana efisiensi konversinya 56 %. Dengan menggunakan uap dan mendistilasi uap air nya, dari 14 ton ampas kering dapat dihasilkan : 1 ton furfural, 500 unit asam asetat, 20 unit alkohol dan 95 % dari sabut diproses kembali sebagai bahan bakar boiler. Tetes Tetes tebu merupakan hasil proses pemisahan larutan dengan kristal gula, tetes ini kemudian ditampung dalam tangki tetes yang kemudian dikirim ke pabrik spritus dan alkohol untuk bahan baku pembuatan alkohol, spritus dan arak dimana sisanya dijual untuk bahan pembuatan MSG, kecap dan bahan pencampur makanan ternak. Tetes dapat digunakan sebagai pakan ternak secara langsung ataupun melalui proses pengolahan menjadi protein sel tunggal dan asam amino (Rudiono D, 2003). Di Lampung tetes telah banyak digunakan sebagai bahan campuran konsentrat, aktivator dalam pembuatan sillase serta sebagai additive dalam pengolahan jerami kering dan proses amoniasi jerami. Komposisi kimia tetes dibandingkan dengan oats dan jagung disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan nutrisi tetes dengan oats dan jagung (%) No
Komponen
Tetes
Oats
Jagung
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Karbohidrat Air Protein kasar Serat kasar Mineral Ca P Bahan kering Total nutrisi tercerna Protein tercerna Carotine (mg/kg) Thiamine (mg/kg) Riboflafin (mg/kg) Niacin (mg/kg) Asarn panthotenet (mg/kg)
58,00 20,00 2,50 10,50 0,80 0,10 80,00 57,00
58,60 10,00 11,60 12,00 4,30 0,09 0,33 90,00 68.50
69,20 15,00 8,70 2,00 1,20 0,02 0,27 85,00 80,00
1,20 0,80 3,00 28,00 35,00
9,00 0,01 5,60 1,00 12,60 12,00
6,70 2,60 3,40 1,00 19,60 4,80
10 11 12 13 14 15
Aspek Sosial Kebijakan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kontributor produksi gula nasional dengan produksi tahun 2010 sebanyak 227.000 t dengan luas pertanaman 53.000 ha. Namun baik produksi maupun luas lahan mengalami penurunan, karena pada 2008 luas pertanaman tebu mencapai 60.616 ha dan produksi 272.007 t. Untuk mencapai swasembada gula, maka produksi gula minimal harus mencapai 325.000 t/tahun, dengan luas pertanaman 70.000 ha, sehingga diperlukan lahan tambahan seluas 17.000 ha yang akan menambah produksi gula sebanyak 98.000 t/tahun. Dengan demikian rencana pendirian Pabrik Gula (PG) di Kabupaten Blora dan Purbalingga adalah sangat relevan dan pendirian pabrik tersebut harus didukung dengan perluasan areal lahan tebu. Perluasan areal tebu membutuhkan dukungan kebijakan yang saling menguntungkan baik bagi perusahaan maupun bagi petani atau masyarakat. Beberapa catatan hasil Focus Group Disicussion (FGD) dari para pelaku di BPTP Jawa Tengah (2010) berikut perlu dipertimbangkan: a) Penambahan areal pertanaman tebu untuk memasok bahan baku PG disarankan menggunakan lahan tegalan, lahan bero, dan lahan di sekitar hutan. Pengembangan areal tebu dimulai pada
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
715
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
2010 seluas 1.248 ha dan secara bertahap akan menjadi 5.000 ha pada 2015. Lahan tersebut diusahakan secara sewa oleh petani skala besar dan atau dikelola oleh petani skala kecil.
Melakukan studi kelayakan pendirian pabrik gula dan usahatani tebu.
Melakukan demplot sistem usahatani integrasi tebu dan ternak sapi;
b) Pendirian pabrik gula setidaknya melibatkan 6 unsur, yaitu pengusaha, petani tebu (APTR), Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), Pemerintah, Perbankan, dan masyarakat sekitar. Petani tebu mempunyai hubungan dengan masyarakat disekitarnya, karena pada umumnya petani tebu memerlukan lahan yang luas, sehingga melakukan perjanjian sewa lahan dengan masyarakat sekitarnya yang terdiri atas petani kecil, sehingga perlu dukungan kebijakan antara lain,
Mengfasilitasi terbentuknya kelembagaan usaha yang terkait dengan industri gula dan usahatani tebu;
Mengfasilitasi pemecahan masalah yang timbul antar petani tebu (APTP), masyarakat (petani kecil), pabrik gula, misal: rendemen, biaya angkut, jadwal tebang, dll.;
Melakukan bimbingan budidaya dan kelembagaan kepada petani kecil;
Melakukan koordinasi dengan dinas/ instansi yang terkait dengan industri gula dan budidaya tebu;
Melakukan mengfasilitasi APTR;
Perlu difasilitasi budidaya di sekitar pekarangan (sayuran dan ternak/sapi, usaha pupuk organik, pembuatan pakan dan usaha lain yang terkait);
Ditampung tenaga kerjanya oleh petani penyewa atau pabrik gula;
Membentuk kelompok tani yang dibimbing oleh APTR dan lingkup Dinas Perkebunan Kabupaten dan disiapkan menjadi kelompok tani tebu yang mandiri pada saat berakhirnya masa sewa lahan;
Petani kecil yang lahannya digunakan/disewa untuk usaha tebu tetapi nilai usaha sebelumnya lebih menguntungkan, perlu diberi insentif berupa pinjaman modal lunak untuk usaha di sekitar pekarangan (ternak dan sayuran) dan atau mengolah hasil samping tebu;
Memberikan pembinaan penyediaan bibit berkualitas;
f)
716
teknis,
Menerima/membeli bahan baku tebu berdasar produktivitas yang dihasilkan petani sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati;
e) Petani tebu (APTR)
Petani kecil yang masih melakukan usaha perkebunan tebu mendapat bimbingan dari APTR dan dinas terkait.
Melakukan studi identifikasi kesesuaian lahan dan air;
dan dari
d) Industri Gula Nusantara/Pabrik Gula
Melakukan budidaya tebu baik menggunakan lahan sendiri atau sewa dari masyarakat;
Melakukan pembinaan dan bimbingan bersama dinas terkait kepada petani yang disewa lahannya agar dapat mengelola lahannya secara mandiri pada saat berakhirnya sewa lahan, dan. untuk memandirikan tebu rakyat secara lebih intensif terutama pada aspek budidaya.
c) Pemerintah (Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Tanaman Pangan, Dinas Koperasi, BPTP, Instansi terkait) perlu melakukan beberapa kegiatan antara lain :
pembinaan usulan RUK
Perbankan (misalnya BRI, Bank Jateng)
Mengfasilitasi kredit lunak pendirian pabrik gula pengembangan areal tebu;
untuk dan
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
Mengfasilitasi kredit lunak untuk pengembangan ternak melalui program KKP-E, KUPS atau program kredit lunak lainnya.
Bersama sama dengan perusahaan dan perwakilan peternak menyusun perjanjian kerjasama kemitraan usaha yang proporsional dan saling menguntungkan.
Kelembagaan Usaha peternakan sapi yang terintegrasi dengan perkebunan tebu dilaksanakan dengan model kelembagaan kemitraan yang saling menguntungkan antara pabrik gula, petani tebu, kelompok peternak (masyarakat yang disewa lahannya) dan pemerintah. Usaha ternak sapi dilaksanakan oleh kelompok peternak yang mendapatkan bibit sapi dari pabrik gula, petani tebu atau dari perbankan. Pabrik gula atau petani tebu dapat membangun pengolahan pucuk tebu. Adapun secara garis besar tugas masing masing yang berkerjasama adalah sebagai berikut. a) Pemerintah Pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas yang membidangi sub sektor Peternakan kabupaten/kota mempunyai tugas sebagai berikut.
Melaksanakan introduksi pengolahan dan penyimpanan pucuk tebu untuk pakan sapi kepada kelompok peternak; Membuat demplot pemanfaatan pucuk tebu di kelompok peternak dengan pengolahan kimiawi, hayati, dan fisik; Introduksi pengolahan dan penyimpanan pucuk tebu dilakukan sebelum usaha pembibitan sapi dilaksanakan;
b) Pabrik Gula dan atau Petani Tebu (penyewa lahan) Pabrik Gula dan petani tebu bertindak sebagai perusahaan inti yang menyediakan bibit sapi yang akan dibudidayakan oleh kelompok peternak. Secara garis besar tugas dan tanggung jawab perusahaan adalah sebagai berikut.
Menyediakan bibit/bakalan sapi yang akan digaduhkan kepada peternak/ masyarakat, sedang modalnya dapat diperoleh dari perbankan dengan bunga lunak;
Membangun pabrik pakan konsentrat, tempat pengolahan pucuk tebu serta gudang pakan konsentrat dan hijauan pakan;
Melaksanakan pengolahan pucuk tebu untuk pakan ternak dengan metode kimiawi (amoniasi), fermentasi dan pengolahan fisik (chopping, wafer, atau pelleting);
Menyediakan fasilitas untuk distribusi pakan konsentrat, hasil prosesing pucuk tebu;
Bersama sama dengan fihak pemerintah melaksanakan pembinaan teknis dan manajemen;
Memanfaatkan pupuk kandang untuk perkebunan tebu.
c) Kelompok Peternak
Melakukan pelatihan inseminator dan paramedic yang juga berperan sebagai penyuluh (technical service);
Melaksanakan budidaya ternak sapi yang modalnya diperoleh secara kredit;
Menyediakan mani beku sapi, nitrogen cair, container deppo, container lapangan dan IB gun;
Menyediakan budidaya sapi;
Melakukan bimbingan, fasilitasi, pengawasan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kemitraan usaha peternakan sapi – tebu;
Secara berkelompok menyediakan tempat pengolahan dan penyimpanan pakan dari pucuk tebu serta kandang jepit untuk pelayanan IB dan kesehatan;
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
kandang
untuk
717
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
Mengembalikan kredit penjualan anak sapi;
Melakukan usahatani terpadu secara efektif dan efisien dalam wadah kelompok dengan bimbingan perusahaan dan pemerintah;
Dengan bimbingan dan fasilitasi pemerintah dan perusahaan berusaha mengembangkan lembaga keuangan mikro di tingkat kelompok;
dari
hasil
Dengan bimbingan dan fasilitasi pemerintah dan perusahaan mengembangkan sentra pengembangan ternak sapi; Memanfaatkan pupuk kandang untuk usahataninya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengembangan ternak sapi yang diintegrasikan dengan pengembangan tanaman tebu dalam rangka mendirikan pendirian Pabrik Gula (PG) di Kabupaten Blora dan Purbalingga adalah sangat prospektif. Faktor pendukungnya adalah dua program prioritas di Jawa Tengah maupun pada tingkat nasional 2014 yaitu Swasembada Gula dan Program Swasembada Daging Sapi. Dari integrasi ini akan terjadi saling membutuhkan yaitu ternak membutuhkan hijauan dari limbah tebu baik berupa pucuk tebu maupun dari limbah pabrik gula (tetes, blotong, ampas tebu), sedangkan tanaman tebu membutuhkan pupuk kandang dari ternak sapi dan urin sapi yang dapat diproses menjadi pestisida organik Saran Pemerintah bersama Pabrik Gula (PG) dan petani tebu perlu memperhatikan dampak sosial bagi masyarakat (petani kecil) yang lahannya disewa (oleh petani tebu) guna perluasan areal pertanaman tebu. Fasilitasi pengembangan ternak sapi kepada masyarakat (petani kecil) yang lahannya disewa perlu dilakukan. Dalam pengembangan ternak sapi yang diintegrasikan dengan tanaman tebu perlu
718
didukung dengan kelembagaan yang saling menguntungkan yang melibatkan unsur pemerintah, PG, petani tebu, masyarakat (kelompok tani ternak), perbankan dan unsur lain yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana et al. 2003. Pengkajian dan Sintesis Kebijakan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Padi dan Ternak (P3T) ke Depan. Laporan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Litbang Pertanian. Bogor Asri, D. 2010. http://koranpdhi.com/buletinedisi8/edisi8-peternakan.htm. Peternakan Rakyat Berbasis Pemanfaatan Limbah Atmadilaga, D. 1976. Politik Peternakan Indonesia. Biro Penelitian dan Afiliasi,Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. Bandung. BPTP Jawa Tengah. 2010. Focus Group Discussion (FGD) Rencana pengembangan Pabrik Gula di Kab. Blora dan Purbalingga. BPTP Sulawesi Selatan. 2003. Integrasi ternak dan tanaman. Bulu Y. G., K. Puspadi, A. Muzani dan T. S. Penjaitan. 2004. Pendekatan Sosial Budaya dalam Pengembangan Sistem Usatani Tanamn-Ternak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak”. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Harliyani, A. 1999. Pemanfaatan limbah tebu sebagai bahan baku complete feed block untuk ternak ruminansia. Fak. Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id/ Integrasi usaha peternakan sapi pada perkebunan tebu di posting oleh Ir Dadam Abdul Syukur Tanggal :2006-07-23 10:06:30 WIB Ilham N., K. Kariyasa, B. Wiryono, M. N. A. Kriom dan S. Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Muryanto – Prospek Integrasi Ternak Sapi dan Tebu dalam Pendirian Pabrik Gula
Ismail, I. G. dan A. Djayanegara. 2004. Kerangka Dasar Pengembangan SUT Tanaman Ternak (Draft). Proyek PAATP. Jakarta.
Sembiring, I. 2005. Biogas, Alternatif Ketika BBM Menipis http://BIOGAS\Waspada. co.id » Seni & budaya » Biogas, Alternatif Ketika BBM Menipis.htm
Kariyasa, K. dan E. Pasandaran. 2004. Dinamika Struktur Usaha dan Pendapatan Tanaman-Ternak Terpadu. Makalah Disampaikan dalam Seminar Kelembagaan Usahatani TanamanTernak Tanggal 30 November-2 Desember 2004 di Denpasar Bali. Proyek PAATP. Jakarta.
Silitonga, A. 1983. Pemanfaatan daun tebu untuk pakan ternak di Jawa Timur. Proc.Seminar Pemanfaata limbah Tebu untuk pakan Ternak. Grati, 5 Maret 1983. P 6-8.
Mathius, I. W., M. Rangkuti, dan A. Djajanegara. 1991. Daya Konsumsi dan Daya Cerna Gliricida (Gliricida maculate HB & K). Lembaran LPP. No. 2-4 (XI). Muryanto, J. Pramono, Suprapto, Ekaningtyas K., dan Sudadiyono. 2006. Biogas, Sumber Enrgi Alternatif. BPTP Jawa Tengah. Semarang. Rasyaf, M. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya (anggota IKAPI). Jakarta. Rudiono. 2003. Potensi Limbah Perkebunan Tebu. www.disnakkeswan.lampung.go.id. Diakses Senin, 10 November 2008.
Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Rumansia. Penebar Swadaya Jakarta. Soeharto. 2009. Integrated Farming System. CV. Lembah Hijau Multifarm. LHM – Research Station Solo Indonesia. Widiyanto. 2001. Pengaruh amoniasi dan fermentasi terhadap kecernaan serat kasar pucuk tebu secara in sacco. Fak Peternakan Undip, Semarang www.risvank.com. 2009. Ampas tebu dan turunannya www.suaramerdeka.com. 2004. Air Kencing Sapi Jadi Pembasmi Hama www.suarapembaharuan.com. 2005. Minyak Tak Terbeli, Blotong Pun Jadi.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
719