PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR, 06 AGUSTUS 2016
ISBN : 978-602-7787-19-3
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR, 06 AGUSTUS 2016
Editor : Muh. Hamzah Syahruddin Saaduddin
Program Studi Geofisika Universitas Hasanuddin ii
Prosiding Seminar Nasional Geofisika “Optimalisasi Geosains dalam Era MEA” Universitas Hasanuddin 2016 Makassar, 06 Agustus 2016
ISBN: 978-602-7787-19-3 Cetakan Pertama, Agustus 2016 Editor : Muhammad Hamzah Syahruddin, Saaduddin Perancang sampul: Wulan Salle Karurung
Tim Reviewer: Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriamihardja Prof. Dr. Halmar Halide, M.Sc. Dr. Muhammad Altin Massinai, M.T. Surv.
Diterbitkan Oleh: Departemen Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar, 90245 Email:
[email protected] http: http://www.unhas.ac.id/geofisika/
Hak cipta dilindungi undang-undang / All Right Reserved Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
KATA PENGANTAR Terlebih dahulu mari kita panjatkan Puja dan Puji Syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Allah, SWT) oleh karena atas karuniaNya sehingga Prosiding Seminar Nasional Geofisika (SNG) Universitas Hasanuddin 2016 dapat diterbitkan. SNG 2016 ini dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 06 Agustus 2016 di Gedung IPTEKS Universitas Hasanuddin, Makassar. Pelaksana kegiatan SNG 2016 adalah Program Studi Geofisika, FMIPA Universitas Hasanuddin. Seminar Nasional Geofisika Universitas Hasanuddin 2016 mengangkat tema “Optimalisasi Geosains dalam Era MEA”. Tema ini diangkat karena suatu keniscayaan pemberlakuan MEA menjadi pelung dan tantangan bangsa kita dan seluruh rakyat Indonesia. Para geosains harus mampu melihat MEA sebagai peluang yang terbuka untuk memperbaiki kualitas SDM yang ada dengan meningkatkan daya saingnya. Pengangkatan tema ini diharapkan memberi dorongan kesadaran khususnya untuk berpartisipasi aktif dalam era MEA untuk kemajuan bangsa. Sebagai Narasumber dalam acara seminar ini kami mengundang pakar Internal dari Program Studi Geofisika Unhas dan pembicara dari HAGI Pusat. Kepada Bapak/Ibu Para Narasumber kami ucapkan banyak terimakasih atas kesediaannya sebagai pembicara mengisi materi pada acara seminar ini. Sedangkan sebagai peserta seminar hadir sekitar 100-150 orang, berasal dari kalangan para peneliti, praktisi, ilmuwan, akademisi, dan stakeholders, masyarakat umum, mahasiswa, dari berbagai wilayah di tanah air. Atas partisipasi Bpk/Ibu dalam SNG 2016 kami ucapkan banyak terima kasih. Prosiding ini memuat hasil penelitian dari berbagai bidang geosains, antara lain adalah geofisika, geologi, geodesi, geografi, oceanografi, fisika bumi, meteorology, klimatologi, astronomi, vulkanologi dan geomatika. Demikian secara singkat yang dapat panitia sampaikan, ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kami haturkan kepada semua pihak yang turut membantu suksesnya pelaksanaan kegiatan seminar sampai penerbitan prosiding ini. Besar harapan semoga Prosiding Seminar Nasional Geofisika 2016 Universitas Hasanuddin dengan tema “Optimalisasi Geosains dalam Era MEA” dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Makassar, 06 Agustus 2016 Ketua Panitia Dr. Muhammad Hamzah Syahruddin, M.T.
iv
DAFTAR ISI Halaman Sampul
i
Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
v
Halmar Halide
Aplikasi Informasi Iklim Musiman Untuk Peringatan Dini Kebakaran Hutan-Lahan (Karhutla) Di Asia Tenggara Selatan
1
D.A. Suriamihardja, Amiruddin, Aryanti Virtanti Anas
Quantification of Mining Sustainability
6
Andi Azhar Rusdin, Danang Sri Hadmoko, Sunarto, Saaduddin
Analisis Pengaruh Karakteristik Sedimen dan Kedalaman Muka Airtanah Terhadap Indeks Kerentanan Seismik Kota Makassar
13
Ahmad Zaenudin, Mezrin Romosi, Suharno, Bagus S. Mulyatno
Deliniasi Bidang Gelincir Menggunakan Metode Geolistrik, Masw, dan Data Mekanika Tanah Studi Kasus : Malausma - Majalengka - Jawa Barat
20
Guntur Pasau, Gerald H. Tamuntuan, Adey Tanauma
Analisis Respons Spektra Gempa Bumi Lengan Utara Sulawesi Sebagai Upaya Mitigasi Bencana
26
Bambang Hari Mei, Hasanuddin
Analisis Data Seismik dengan Menggunakan Metode Spike dan Noise Burst Edit
30
As‟ari, Seni Herlina J Tongkukut
Pemetaan Akuifer di Unsrat untuk Inventarisasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Tanah Secara Berkelanjutan
34
Raivel, La Ode Ngkoimani, Kontrol Struktur Geologi Terhadap Vein Hidrotermal Asri Arifin pada Batuan Metamorf Desa Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara
v
39
Muhammad Hamzah Syahruddin, Asraf, Akmal, Fitriani, Fauziah Wulan Salle Karurung,
Inversi Topografi Perumahan UNHAS Antang
45
Muhammad Hamzah Syahruddin, Citra Fitriani, Wa Ode Auliah Kahar, Tri Nurhidayah, Febriana, Annisa
Inversi Self Potential Perumahan Unhas Antang
47
Muh. Karnaen, Ikhsan, Marniati, R.Jamroni, Jeszy Wan Irfandy
Studi Variasi Spasial B Value Dan Indeks Seismisitas Wilayah Sesar Matano Berdasarkan Hubungan Antara Magnitudo Dan Frekuensi Gempa Bumi
50
Bambang Harimei
Analisis Daya Dukung Tanah dengan Mengunakan Metode DCP dan CBR (Studi Kasus: Promenade Sungai Mahakam Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara)
55
Anoegrah Pratama DM, Makhrani, Sabrianto Aswad
Identifikasi Potensi Sumber Daya Timah Primer dengan Menggunakan Induksi Polarisasi dan Resistivitas Daerah Bukit Puyuh Kec.Tempilang Kab. Bangka Barat, Bangka Belitung
59
Budi Prayitno, MT
Maseral Batubara Lesongbatu dan Sekitarnya Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau – Indonesia
63
M. Khaerul As‟ad, Makhrani, S.Si, M.Si, Sabrianto Aswad, S.Si, MT
Penentuan Volume Lapisan Saprolit Daerah X Menggunakan Metode ERT 3D
71
Deniyatno, Jeni Rahmat, Erwin Anshari
Interprestasi Prospek Mineralisasi Menggunakan Metode Fault and Fracture Density (FFD) Studi Kasus Zona Buton Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara
76
Saaduddin, Sismanto, dan Marjiyono
Estimasi Ground Shear Strain Kota Padang Sumatera Barat Berdasarkan Respon Mikrotremor
80
vi
Edy Wijanarko and Eko Budi Lelolo
Mapping of Volcanic Features in Atambua, NTT Area Based on Magnetic Method: Horizontal/Vertical Derivative, Euler Deconvolution and Pseudo-gravity Methods Estimasi Cadangan Batubara Menggunakan Metode Drilling Dan Software Surpac
85
Sri Suryani
Penentuan Derajat Kualitas Air Limbah Melalui Spektrum Ultraviolet
95
Mustina, Arifin
Sensor Salinitas Berbasis Serat Optik Plastik Konfigurasi Melengkung
98
Wa Ode Suwardi, Suriyaidulman Rianse, Sevtho Linggi Allo, Rifkha Zulfaaini Rifai Deniyatno, Rezky Dwi Fitriani
Studi Pemetaan Kerentanan Air Tanah terhadap Pencemaran Polutan Nitrat dengan Menggunakan Metode DRASTIC di Kota Kendari
102
Johanes Gedo Sea, Muhammad Faisal Addi, Yawan Baso Pata, Muhammad Arif
Menganalisis Hubungan Data Equatorial Southern Oscillation Index (SOI) dengan Data Tekanan Permukaan Laut di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik (Studi Kasus: Data Sea Level Pressure (Slp) Dan Southern Oscillation Index (Soi) Milik Noaa)
108
Muhammad Alfauzi, Muhammad Hamzah, Bambang Hari Mei, Hetty Triastuty
Analisis Sinyal dari Gempa Tornilo di Gunung Papandayan Periode Bulan April-Mei 2013
115
Dwi Nurfatimah, Arifin
Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya Kelengkungan pada Serat Optik Plastik untuk Deteksi Longsor
119
Wa Ode Isra Mirani, Muhammad Altin Massinai, Makhrani
Analisis Spektral Dan Distribusi Hiposenter Gempa Vulkanik Gunung Kelud
124
Reski Ayu Magfira, Andi Tenri Awali Wildana, Curnia Sri Weny Bumbungan
vii
92
Riski , Bidayatul Armynah
Laju Penetrasi Klorida Pada Beton Menggunakan Metode Rapid Migration Test
129
Aswar M, Syamsuddin, dan Muhammad Hamzah Virman, Muhammad Altin Massinai
Pengaruh Konduktifitas Hidrolik Tanah Berpori Terhadap Potensial Elektrokinetik Analisis Data Geolistrik Untuk Eksplorasi Air Tanah Zone Aluvium Di Distrik Kurik Merauke
134 139
Muhammad Altin Massinai, Pengaruh Aktivitas Tektonik pada Gunung Gamalama Suciati, Lantu
146
Syamsuddin, Hasanuddin, dan Yuanita Omega Lolon
Identifikasi Posisi Aquifer Menggunakan Metoda Resistivitas Konfigurasi Wenner Alpha Dan Wenner Beta (Studi Kasus Kebun Percobaan Pertanian Unhas)
149
Lantu, Nurhikmah Jufri, Muhammad Altin Massinai
Identifikasi Zona Seam Batubara Dengan Menggunakan Metode Ground Penetration Radar (GPR)
154
Wahidah, Lantu, Sabrianto Pemodelan Atribut Poisson Impedance (Pi) Aswad Menggunakaninversi Avo Simultan Untuk Estimasi Penyebaran Gas Dilapangan „WA‟ Cekungan Sumatera Selatan
160
Muhammad Faisal Addi
Perkembangan Tektonik Sulawesi dan Implikasinya Terhadap Sesar Regional serta Potensi Gempa Bumi di Gorontalo
166
Andi Tenri Awali Wildana, Analisis Kurva HVSR untuk Distribusi Indeks Lantu, Sabrianto Aswad Kerentanan Seismik Kawasan Rawan Gempabumi
170
Samsu Arif, D. A. Suriamihardja, Sumbangan Baja
174
Implikasi Penerapan Geospasial Sistem Penunjang Keputusan Terhadap Pengembangan Lahan
viii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Aplikasi Informasi Iklim Musiman Untuk Peringatan Dini Kebakaran Hutan-Lahan di Asia Tenggara Selatan Halmar Halide Laboratorium Hidrometeorologi Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika FMIPA UNHAS Makassar 90245 Sari Pada kurun waktu dari tahun 1900-2016, kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLA) menempatkan Indonesia pada urutan pertama negara dalam hal jumlah penduduk yang terkena dampak dan biaya ekonomi yang ditimbulkan. Pada KARHUTLA tahun 2015 yang lalu, pemerintah telah menghabiskan dana sebesar 221 trilyun rupiah dari total 1.810 trilyun rupiah total pengeluaran negara. Adanya dampak ekonomi yang begitu besar dan potensi gangguan hubungan multilateral antar negara ASEAN, upaya untuk menduga lebih awal akan terjadinya KARHUTLA menjadi sesuatu hal yang penting. Kajian untuk menduga lebih dini berikut ini dilakukan dengan memanfaatkan data hot-spot KARHUTLA berbasis satelit dan informasi iklim musiman (observasi dan prediksi ENSO, prediksi probabilitas kondisi suhu dan curah hujan) pada 2 negara ASEAN selatan yakni Malaysia dan Indonesia. Model yang mengaitkan antara masukan data ENSO dan keluaran hotspot tergolong model linear. Skill model prediktif ini diuji melalui prediksi one-step-ahead dengan proses rollingvalidation. Nilai korelasi, RMSE (root-mean-square-error) dan jarak Euclidean dari model ini masing-masing adalah: 0,7; 1650, dan 11729 ± 1154 untuk Indonesia, dan 0,69; 172, dan 1225 ± 121 untuk Malaysia. Skill model ini berubah secara signifikan dengan menambahkan satu masukan lagi yakni jumlah hot spot pada musim sebelumnya. Untuk Indonesia, skill tersebut berubah menjadi 0,90; 988 dan 7024 ± 700. Skill model yang diperoleh masih berpotensi untuk ditingkatkan lagi dengan menggunakan teknik nonlinear MIMO (Multiple Inputs Multiple Outputs) Neural-Network. Kata kunci : Pendahuluan Basis-data bencana internasional pada periode tahun 1900 hingga 2016 menempatkan Indonesia pada posisi pada urutan pertama dunia dalam hal negara dengan jumlah populasi yang terkena dampak dan biaya ekonomi yang ditanggung untuk bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) [EM-DAT, 2016]. Perolehan dari basisdata EM-DAT untuk kawasan ASEAN juga menunjukkan hal serupa. Indonesia dan Malaysia juga mendominasi KARHUTLA pada periode tahun 1979-2015. Misalnya, dari total 20 KARHUTLA yang terjadi di ASEAN, 14 diantaranya terjadi pada kedua Negara. Persentase korban
yang terdampak dan biaya ekonomi KARHUTLA pada kedua negara tersebut masing-masing mencapai masingmasing 97,76 % dan 99,89 % dari seluruh Negara ASEAN [EM-DAT, 2016]. Tingginya frekuensi dan dampak soaial dan ekonomi inilah yang menyebabkan kedua Negara tersebut menjadi bahan kajian KARHUTLA studi ini. Fokus kajian ini adalah pengembangan sistem peringatan dini KARHUTLA dalam upaya menurunkan dampak bencana yang ditimbulkannya. Hal ini menjadi salah satu paket terpenting dari upaya menurunkan dampak bencana alam di dunia[UNISDR, 2010, 2015; UN-ESCAP, 2016]. Sistem peringatan dini ini berupa penggunaan informasi iklim ENSO (El Niño Southern Oscillation) untuk memprediksi jumlah bintik-panas (hot-spot) yang terjadi di Indonesia dan Malaysia. Permodelan yang mengaitkan informasi ENSO dan jumlah hot-spot tergolong kedalam permodelan regresi linear dan proses pengujian akurasi model linear ini menggunakan teknik rolling-validation (one-step-ahead) out-of-sample forecast [Hyndman dan Atnanasopoulos, 2013]. Teknik ini telah digunakan untuk memprediksi frekuensi dan luas area KARHUTLA tahunan periode tahun 1960-2013 di USA [Halide, 2014]. Data dan Metoda / Data and Method Bahan Data ENSO (anomali suhu muka-laut di samudera Pasifik tropis wilayah Niño 3.4) dan hot-spot masing-masing diunduh dari situs NCEP - USA [NCEP, 2016] dan ASMC – Singapura [ASMC, 2016]. Data ENSO yang diunduh mulai dari musim JFM (Januari-Februari-Maret) tahun 2006 hingga MJJ (Mei-Juni-Juli) tahun 2016. Sedangkan data hot-spot yang diunduh adalah data dari bulan Januari 2006 hingga bulan Juli 2016. Untuk menyesuaikan kedua perangkat data, data hot-spot diubah menjadi data musiman. Hal ini dilakukan dengan merata-ratakan data 3 bulanan menjadi satu data musim. Misalnya, data hot-spot untuk musim ASO (Agustus-September-Oktober) adalah data hasil pererataan jumlah hot-spot pada bulan Agustus, September dan Oktober. Kedua perangkat data ini menjadi pasangan input-output untuk permodelan linear system peringatan dini yang dikembangkan. Dalam hal ini, input dan output model masing-masing adalah ENSO dan jumlah hot-spot di Malaysia atau Indonesia. Data hot-spot Malaysia merupakan penjumlahan hot-spot yang terdeteksi pada Semenanjung Malaysia dan Sabah-Serawak, sedangkan jumlah hot-spot Indonesia adalah penjumlahan
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
hot-spot yang Kalimantan.
diamati
pada
pulau
Sumatera
dan
Metoda Metoda yang digunakan dalam permodelan pasangan inputoutput system peringatan dini KARHUTLA ini adalah persamaan regresi linear. Penentuan koefisien regresinya dilakukan menggunakan algorithma matriks pada paket pemrograman MATLAB® [Brown, 2009]. Akurasi model ditentukan melalui teknik rolling-validation dengan skema pada Gambar 1.
Pada Gambar 2a dan 2b ditunjukkan pula adanya fenomena El Niño yang ditandai dengan nilai ENSO yang lebih besar dari +0.5 oC. Ada 3 puncak El Niño yang teridentifikasi yakni El Niño tahun 2007, 2010 dan 2015. Tampak bahwa, puncak hot-spot mendahului puncal ENSO pada ketiga El Niño tersebut.
Gambar 1. Prosedur rolling validation permodelan pasang Input/Output (I/O). Pada time step ke-i, ada 3 pasangan I/O yang digunakan untuk melatih (training) model. Hasil pelatihan ini akan menghasilkan suatu nilai parameter regresi (koefisien dan tetapan) tertentu misalnya αi dan βi. Nilai parameter ini digunakan pada masukan ke-4 untuk memprediksi 1 nilai output ke-4. Ini adalah tahap pengujian model (testing). Selanjutnya, model ini dilatih menggunakan 4 pasangan I/O yang akan menghasilkan αi+1 dan βi+1 . Perangkat αi+1 dan βi+1 ini selanjutnya digunakan untuk menghasilkan prediksi ke-5 dari nilai masukan ke-5, dan seterusnya. Akurasi prediksi (out-of-sample forecast) terhadap observasi ini ditentukan menggunakan sejumlah ukuran yakni korelasi Pearson, RMSE (root-mean-square-error) dan Euclidean Distance. Formulasi untuk menentukan nilai korelasi dan RMSE dapat ditemukan pada prediksi ENSO dan epidemic Demam Berdarah Dengue [Halide dan Ridd, 2008a,b], sedangkan penentuan Euclidean Distance, perumusannya dapat dijumpai pada prediksi cuaca [Kapoor dan Bedi, 2013] dan nilai-tukar mata uang [Pathirana, 2015]. Hasil dan Diskusi / Result and Discussion ENSO terhadap hot-spot Variasi ENSO dan hot-spot untuk Indonesia dan Kalimantan dilukiskan masing-masing pada Gambar 2a dan 2b. Tampak bahwa jumlah hot-spot di Indonesia adalah 10 kali lebih banyak dibanding jumlah hot-spot di Malaysia. Hot-spot di Indonesia setiap tahun meningkat setelah bulan Juli, sedangkan hot-spot di Malaysia menunjukkan bahwa peak (puncak) jumlah hot-spot dapat juga terjadi pada awal tahun.
Gambar 2a-b. Data time-series jumlah hot-spot musiman disandingkan dengan data ENSO musiman untuk Indonesia (a) dan Malaysia (b). Prediksi jumlah hot-spot akibat ENSO dan jumlah hot-spot semusim sebelumnya Hasil permodelan yang menggunakan ENSO sebagai prediktor tunggal jumlah hot-spot untuk Indonesia dan Malaysia ditampilkan pada Gambar 3a-d. Tampak bahwa hasil prediksi hot-spot untuk kedua Negara ternyata tak bisa menghasilkan puncak-puncak hot-spot. Ini berarti bahwa model tak berhasil memprediksi jumlah hot-spot secara baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi yang rendah, kesalahan RMSE dan jarak Euclidean yang tinggi. Namun dengan menambahkan prediktor kedua yakni jumlah hotspot semusim sebelumnya kedalam model regresi linear, akurasi model dalam memprediksi jumlah hot-spot meningkat secara signifikan (Gambar 4a-d).
2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 3a-d. Hasil prediksi time series jumlah hot-spot menggunakan ENSO masing-masing untuk Indonesia (3a) dan Malaysia (3b). Jumlah observasi hotspot ditunjukkan oleh lingkaran kosong dan prediksinya disajikan menggunakan garis penuh. Selain itu disajikan pula diagram serak jumlah hot-spot observasi versus prediksi masing-masing untuk Indonesia (3c) dan Malaysia (3d). Pada diagram-serak ini ditampilkan juga ukuran akurasi seperti korelasi („r‟), kesalahan prediksi (RMSE), dan jarak Euclidean („EUC‟).
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 4a-d. Hasil prediksi time series jumlah hot-spot di Indonesia menggunakan prediktor tunggal ENSO (4a) dan prediktor ENSO plus jumlah hot-spot semusim sebelumnya (4b). Seperti Gambar 3a dan 3b sebelumnya, jumlah observasi hotspot ditunjukkan oleh lingkaran kosong dan prediksinya disajikan menggunakan garis penuh. Selain itu disajikan pula diagram serak jumlah hot-spot observasi versus prediksi masing-masing untuk prediktor tunggal ENSO (4c) dan predictor ENSO plus jumlah hot-spot semusim sebelumnya (4d). Nilai akurasi prediksi juga ditampilkan kembali menggunakan korelasi, RMSE, dan jarak Euclidean.
Jumlah hot-spot yang teramati di Indonesia dan Malaysia dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor remote. Fenomena Iklim (ENSO) yang lokasinya di Samudera Pasifik dapat dipandang sebagai faktor remote, sedangkan jumlah hotspot semusim yang lalu adalah representasi pengaruh lokal. Meskipun sosok ENSO berperan dalam menentukan kondisi keikliman (suhu dan curah hujan) [Trenberth dan Caron, 2000; Ashok dkk., 2007] pada suatu lokasi melalui „teleconnection effect‟-nya, ia belum tentu berhubungan langsung dengan timbulnya suatu kejadian. Ambillah pemutihan terumbu karang (coral bleaching) sebagai salah satu contohnya. Fenomena ini tak selalu bersamaan waktunya dengan puncak ENSO. Pemutihan terumbu
karang di perairan laut Australia terjadi 11 bulan sebelum munculnya El Niño 1982-1983 [Coffroth dkk., 1990]. Menggunakan teknik ANFIS (Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System), Halide dan Ridd [2002] menemukan efek suhu laut lokal lebih dominan pengaruhnya pada kejadian pemutihan terumbu karang. Hal ini tampaknya yang terjadi pada kemunculan hot-spot di Malaysia dan Indonesia yang mendahului El Niño seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Bagimana dengan pengaruh jumlah hot-spot semusim sebelumnya? Dalam konteks keikliman, efek ini disebut „persistence‟ – tetap mempertahankan keadaannya. Jadi,
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
jika jumlah hot-spot saat ini berjumlah banyak, maka jumlah hot-spot pada saat mendatang juga akan berjumlah yang sama. Fenomena persistence ini misalnya sudah diselidiki oleh Pausas dan Bradstock [2017]. Mereka menemukan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh interaksi antara komunitas/species tanaman dengan rezim kebakaran. Uraian diatas menunjukkan sejumlah hal yang berkaitan dengan keberhasilan memprediksi jumlah hot-spot. Pertama, adanya dominasi faktor lokal baik itu jenis spesies/tanaman maupun kondisi meteorologis (suhu dan curah hujan) setempat. Kedua, keberhasilan membuat prediksi ini juga bergantung pada kompleksitas model yang digunakan untuk memperhitungkan efek non-linear pada ekosistem tempat terjadinya hot-spot. Aspek terakhir inilah yang kemudian mendorong aplikasi yang luas pada teknikteknik mutakhir seperti Neural-Net dan Fuzzy logic untuk memprediksi bencana termasuk KARHUTLA [Jordan dan Mitchell, 2015; Dutta dan Das, 2016]. Kesimpulan Kesesuaian antara prediksi dan jumlah hot-spot yang diamati dipengaruhi oleh banyaknya jumlah prediktor yang digunakan. Model yang menggunakan kombinasi prediktor ENSO dan jumlah hot-spot semusim sebelumnya menghasilkan prediksi yang jauh lebih akurat dengan model yang hanya menggunakan prediktor tunggal ENSO. Pustaka / References Ashok K., S. K. Behera, S. A. Rao, H. Weng, 2017, T. Yamagata, 2007.. Journal of Geophysical Research (Oceans) 112 (C11) http://onlinelibrary.wiley.com /doi/ 10.1029/2006JC003798/abstract ASMC (ASEA Specialised Meteorological Centre), 2016. [http://asmc.asean.org/asmc-haze-hotspot-monthly# Hotspot] Brown S. H., 2009. Alabama Journal of Mathematics Spring/Fall 2009. http://ajmonline.org/2009/brown .pdf Coffroth, M., H.R. Lasker, I.K. Oliver, 1990. Elsevier, Amsterdam, hal. 141-182. Dutta R.,, A. Das, J., 2016. Published 10 February 2016.DOI: 10.1098/rsos.150241. EM-DAT, 2016. [http://www.emdat.be/] Halide, H., P. Ridd, 2002. Physica-Verlag, Heidelberg, hal. 352-362.
Halide, H. and P. Ridd, 2008a. International Journal of Climatology, 28 (2): 219-233. Halide, H. and P. Ridd, 2008b. International Journal of Environmental Health and Research 18 (4): 253-265. Halide, Halmar, 2014. Celebes International Conference on Earth Sciences (CICES 2014), Kendari, Nov 10, 2014. Hyndman R.J., G. Athanasopoulos, 2013. Forecasting: principles and practice [https://www.otexts.org/book/fpp] Jordan, M. I., T. M. Mitchell, 2015. Science 349 (6245): 255-260. Kapoor, P., S. S. Bedi, 2013. ISRN Signal Processing Volume 2013 [http://dx.doi.org/10.1155/2013 /156540] Pathirana, V. K., 2015. Dissertations. University of South Florida, 92 halaman. http://scholarcommons.usf.edu /etd/5757 Pausas, J. G., R.A. Bradstock, 2007. Global Ecology and Biogeography 16: 330–340. NCEP, 2016. National Center for Environmental Prediction. http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/3mth. nino34.81-10.ascii.txt Trenberth, K. E., J. M. Caron, 2000. Journal of Climate 13 (24): 4358–4365. UN-ESCAP (The United Nations for the Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), 2016. [http://www.unescap.org/resources/disasters-asiaand-pacific-2015-year-review] UNISDR (The United Nations Office for Disaster Risk Reduction), 2010. Synthesis report on ten ASEAN countries disaster risks assessment. http://www.unisdr.org/files/18872_asean.pdf UNISDR (The United Nations Office for Disaster Risk Reduction), 2015. Chart of the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. http://www.unisdr.org/files/44983_sendaiframeworks implifiedchart.pdf Ucapan Terima Kasih Saya berterima kasih kepada ASMC dan NOAA yang telah menyediakan akses data hot-spot dan ENSO bagi publik. Kedua perangkat data tersebut memungkinkan dlaksanakannya permodelan ini.
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
QUANTIFICATION OF MINING SUSTAINABILITY D.A. Suriamihardja,1) Amiruddin,1) and Aryanti Virtanti Anas2) 1) Department of Physics, Faculty of Sciences, Hasanuddin University 2) Department of Geology, Faculty of Engineering, Hasanuddin University Abstract Sustainability is the term of matter which is frequently discussed qualitatively. In this paper we try to formulate quantification of sustainability in mining activities by considering the aesthetical patterns that connect. The mining activities will be divided into three compartments: extracting, processing, and delivering. Within three compartments, there are connectors distinguished into a supply of raw material from enviroment to the system, direct cycles and recycles among compartments, dissipative terms outward of the system, and non-dissipative term as production of the system. We found that the quantified sustainability depends on a systemic efficiency and a resilience capacity. Key words: economic input-output analysis, information theory, and sustainability.
Introduction It is recognized that the term of beauty is important basis for considering sustainability. The beauty is additional basis to that of hard and soft sciences which are so far as fundament to decision maker. The beauty expresses orderliness in the patterns that connect, in the weave of existences, in the formation of flying birds, in the swarm of honeybees, in the productive landscape, in the network of systems, in the network of city transportation, in the configuration of mining activities etc. Those events and entities might be prepared themselves by communicating each other among participative members or individual existents to interwoven a share of useful information, matter, energy, perceptions and values into harmonious actions. In Al-Farabi‟s perception as quoted by Tanabayeva et al. (TANABAYEVA, 2015) in uniting moral and aesthetic values as follows: good is beautiful, and beauty is good; the beautiful is that which is valued by the intelligentsia. AlFarabi expected that this perfection as for ecological aesthetics is achievable through educational efforts which combines knowledge and virtuous behavior. Through these efforts, happiness and goodness are achieved at one and the same time. This achievement will be the important source of sustainability.
In that respect, Odin (ODIN, 1987) explicated Nishida‟s perception that truth, goodness, and beauty are converging into fusion point for both art and morality which is the ecstatic experience of self-effacement arising at the standpoint of religious intuition. Furthermore, Nishida strongly emphasized that the intuitive truth penetrates into the profound secrets of the universe, it is far deeper and greater than the logical truth obtained through ordinary thought and discrimination. This union of art or aesthetics with moral through formal education and cultural habitation together with intuitive truth gives birth to mono no aware (物の哀れ), means „an empathy towards things‟ (WIKIPEDIA) or „an ability to feel things‟ (MARRA, 2011), or gives value to things (in this case: mined sand and gravels) from the surrounded environment. In connection to thoughts mentioning above, Harries-Jones [HARRIES-JONES, 2010] argued further that aesthetics is able to unifying glimpse, provides a medium through which humanity can begin to communicate about how to understand the whole and thus the unity of the biosphere. Both ecology and aesthetics are immanent features of our existence. Living systems are recursive systems. An ecological aesthetics at the very least gave insight into holistic patterns pertaining to the unity of life and provides a contrast to the ad hoc science of parts (fragments) of patterns. Instead of considering either of the parts separately, Murase (MURASE, 2008) encouraged to integrate fragments of knowledge at various component levels and time scales when investigating the history of life. Therefore, he argued that life must be characterized by unlimited conflicts and oppositions. In this regards, he proposed a new paradigm of life which is called as the endo-exo circulation. This paradigm expresses an endless circulation between nature and nurture, or between self (endo) and non-self (exo), and gives rise to the emergence of new orders. In this case, we employ the life mentioned by Murase in the meaning of the life of mining sustainability. Going into reality in evaluating aesthetical sustainability, Anas et al. (ANAS A. V., 2013) gave example in quantifying a sustainability status of mining management concerning construction material from Jeneberang River. They considered the interconnecting aspects of social, economic, institutional, and environmental dimensions. After analyzing the obtained data, they concluded that the sustainability index of mining management in Jeneberang
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
River is still quite sustainable based on the four mentioned dimensions.
Following Finn (FINN, 1976) who carried out the ecological analysis based on economic compartment (1) to compartment (2), is the fractional outflow from compartment (1) to compartment (3), and is the fractional outflow from compartment (2) to compartment (3). While in recycle direction, is the fractional inflow from compartment (3) to compartment (1), is the fractional inflow from compartment (3) to compartment (2), and is the fractional inflow from compartment (2) to compartment (1). Matrix expression of Figure-1 can be seen in calculation purposes input-output analysis in steady ( ) , where state condition, prevailing that: ( ) both sides are expressed as:
Objectives and methods Regarding to ecological aesthetics, here we are simply proposing an interconnecting pattern of mining activities. To approach a system of mining activities, say for example, in upstream area of Jeneberang River, Makassar, we construct a framework of analysis by a model as depicted in Figure-1, needless to say in reality it could be more complex. The system simply consists of three compartments: extraction ( ), processing ( ), and delivering ( ). There will be swarm of inflows and outflows of matter, energy, or information from and to each compartment indicated by subscripts ( ).
∑
( )
(1)
;
Where is outflow from i entering j. Noting that i is limited to i=3 due to only there are 3 compartments, and is raw material from the environment.
The objectives of this paper are to quantify the mining sustainability, and to see further the relation of the components that constructing the quantified sustainability. Economic input-output analysis is first used as method of preparation, and theory of information is used as the consecutive method in quantifying the sustainability following the work of Ulanowicz et al. (ULANOWICZ R. S., 2009) based on economic input-output analysis. We extend his method into the mining activities composing of compartments of extraction, processing, and delivering in quantifying its sustainability.
(
(2)
)
∑
.
Where j=4 is for non-dissipative terms, j=5 is for dissipative terms.
Economic Input-output Analysis Based on Figure-1, first of all sustainable raw material ( ) should be determined based on natural replenishment annually accumulated behind several constructed sabo dams as was developed by Anas et al. (ANAS A. V., 2013) ; environmental impacts of , , and should be taken into account by the miners; and sustainable production ( ) should be determined based on an annual equilibrium of supply-demand for both areas of Gowa Regency and Makassar City.
Figure-1 A system of mining activities involves swarm of inflows to and outflows from each compartment, with dissipative outflows symbolized by: , , and from compartment ( ), ( ), and ( ) respectively. There should be raw material supply ( ) to and production ( ) from the system.
Actually, this equilibrium will depend on the annual economic growth of both areas. In direct cycles, there are consecutive fraction share of useful input from compartment i to compartment j, such that is the fractional outflow from as noted in Table-1 and Table-2.
Table-1 Expansion of inflows in equation (1) and outflows in equation (2) Inflow to: ( ) ( ) ( )
,
, and
: equation (1)
Outflow from ( ( (
,
, and
: equation (2)
) ) )
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Table-2 Calculation of internal storages in each compartment: ̃ , ̃ , ̃ Steady state condition: Inflows = Outflows => ( ) ( )
Calculating E1, E2, and E3 based on given N01, f12, f13, f23, f21, f31, and f32.
(
)
(
)(
Calculating internal storage ̃ , ̃ , ̃
̃ ̃
)
̃
Further examples are shown in Table-3 for variety of dissipations and productions with keeping supply of raw material to be constant.
In the case of no dissipative outflows: ; and no recycles: , such that it may be: ; ; and , the system remains that which means that no mining activities at all as depicted in Figure-2.
Figure-2 The system has no dissipations: and has no recycle processes: Eventually:
Following Ulanowicz et al. (ULANOWICZ R. S., 2009) based on economic input-output analysis, the following Table-4 and Table-5 are useful tables to see how the interactions conduct in the mining activities between compartments of extraction, processing, and delivering, and to compare what is the ratio of a share connector to both total outflows and inflows in each compartment. It can be distinguished by different colors, that are cycle connectors, while are recycle connectors.
; ;
Table-3 Examples results of calculations of volume storage in each compartment EXAMPLES
Matrix Operator
(
Total Storage
)
(
Internal Storage ̃ (̃) ̃
)
Externalities , ,
, ,
̃ (
(1)
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(̃) ̃
(
)
̃ (2)
(
)
(̃) ̃
(
)
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
̃ (3)
(
)
(
)
(
)
(̃) ̃
(4)
(
)
(
)
(
)
(̃) ̃
(
)
(
)
̃
Table-4 Matrix required for calculation using total system throughput ( 𝒋
𝟏
𝒋
𝟐
𝒋
̃
𝒊
𝟏
𝒊
𝟐
̃
𝒊
𝟑
̃
0
0 ̃
𝟑
̃
̃
̃ ̃
0
𝐓𝐒𝐓
Table-5 Denoting each connector of 𝒋 𝟏
𝒊
𝟐
𝒊
𝟑
Outflows
̃
Inflows
𝒊
)
𝟏
𝒋
𝟐
𝑻
̃ in the matrix by 𝒋
𝟑
Outflows
0 0 0
Inflows
𝑻
Quantifying Ascendency, Resilience, and Sustainability Quantification process is using the result of economic input-output analysis above, and brings them entering the theory of information which has been used in ecology by Ulanowicz et al. (ULANOWICZ R. S., 2009) for more than three decades commencing from late 1980. As was mentioned previously, Bateson defined information as “difference that makes difference,” in this respect Ulanowicz (ULANOWICZ R. S., 2009) further gives additional attribute that such difference almost always involves the absence of something. Based on this importance of being absent, he uses Boltzmann‟s famous definition of surprise: [ ] (3)
The symbol represents one‟s surprise at seeing an event that occurs with probability, , and k is an appropriate positive scalar constant. Moreover is the unconditional probability that event i will occur under all possible conditions. The product of the (probability) measure of the presence of an event, i, by a magnitude of its (probability) absence or surprise yields a quantity that represents the indeterminacy of the event, (4) For the entire ensemble of events, the aggregate systems indeterminacy, H(A), can be calculated through (Shannon index) or the average of indeterminacy: ∑ ∑ (5) 𝐻(𝐴)
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
The equation (5) represents the average information that we do not have, which is called missing information, and is called also as a self-information of the system. Missing information for a collective compartment according to Koorehdavoudi [KOOREHDAVOUDI, 2016] is defined as the level of missing communicated information between compartments due to their interactions. In other words, the interpretation of missing information by Koorehdavoudi is the amount of information needed to specify the coupling between the compartments as a result of the exact structural state of the group forming a specific structure of the system. The missing information of the state due to the swarm evolving from other compartments is gauged by scaling the Shannon index (the aggregate systems indeterminacy) by the Total System Through-flow ( ) which consider the interaction with other compartments. Ulanowicz [ULANOWICZ R. S., 2009] formulated the Total System Through-flow ( ) by summing the whole swarm of inflows and outflows to and from each compartment structuring the system, as is shown in Table 4 and Table-5. Consequently, the missing information of the system is formulated as: (6)
∑ (
𝐻(𝐴) ∑ (
)
∑
(
)
(
∑
)
)
principle: “In the absence of major perturbations ecosystems exhibit a propensity to increase in ascendency, or the systems develop more along the lines on increasing efficiency.” However, Goener et al. [GOENER, 2009] reminded that both resilience and efficiency are related to the levels of diversity and connectivity found in the network which can be represented by total system through flow, , but in opposite directions. Consequently, they argued further that flow-network sustainability can reasonably be defined as the optimal balance of efficiency and resilience as determined by nature and measured by system structure. In their curve, the optimal sustainability is situated slightly (asymmetric) toward the resilience side, the resulting asymmetry suggests that resilience plays a greater role in optimal sustainability than does efficiency. Systemic efficiency (SE) and resilience capacity (RC) or reserve capacity (overhead), based on equation (6) and (8), are formulated as follows: (𝐴
(9)
)
∑
(
)
Where the term under the logarithmic operator is the ratio of micro probability ⁄ (as ratio of connector to internal storage of compartment or partial probability of outflow from compartment i), to macro probability ⁄ (as ratio of internal storage to total system throughflow or probability of outflow from compartment j), which can be rewritten as: ⁄
Ulanowicz [ULANOWICZ R. , 2001] argued that 𝐻(𝐴) must be considered on how A distributes when it interacts with B. From his mathematical reasoning, 𝐻(𝐴) its self as depicted in equation (6) performs the meaning of 𝐻(𝐴 ) as a joint entropy which can be decomposed into two components according to its relationship between probability of event (entity) A and probability of event (entity) B as follows: (𝐴 ) 𝐻(𝐴| ) (7) 𝐻(𝐴 )
(10)
In equation (7), (𝐴 ) is called as the average mutual information, and describes how much A is correlated with (constrained by) B; whereas 𝐻(𝐴| ) is the conditional entropy, quantifies how much freedom (or dissociation of) A exhibits in the presence of B, in addition 𝐻(𝐴| ) is the appropriate measure of choice extant in the system, and it should be related to system stability. The average mutual information is written as follows:
Sustainability has a peak value at optimal balance between efficiency and resiliency, and spreading to opposite extremes from insufficient diversity (towards brittleness or greater efficiency: ) up to insufficient efficiency (towards stagnation or greater resilience: ). This information confirms effectively the equation stands for sustainability which can be written as: (12) Using equation (6), the sustainability can be written as:
(8)
(𝐴
)
∑ ∑ (
∑ )
(∑ (
∑
)
)
When
.
⁄
, it simply (10) gives:
.
While, resilience capacity (RC) depends on product of ⁄ (partial probability of outflows from compartment i) to ⁄ (partial probability of inflows to compartment j) with reference to , which is written as: (11)
(13)
∑
𝐻(𝐴
(
)
)
∑(
)
(
)
Equations (12) and (13) have been confirmed in Table-6. Systemic efficiency (SE) or ascendency is a measure of system organization. In this respect, Ulanowicz [ULANOWICZ R. , 2001] proposes the phenomenological
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Table-6 Quantification Systemic Efficiency, Resiliency Capacity and Sustainability EXAM PLES
S=SE+RC
Internal Storage
Interaction Matrix Among Compartments
𝑻𝟏
𝑻 𝟐 0
𝑻 𝟐 0.33
𝑻 𝟑 0.33
0 0 0
0 0 0.33 𝒋 𝟐
0.33 0 0.67 𝒋 𝟑
𝑻 𝟐 0
𝑻 𝟐 0.262
𝑻 𝟑 0.262
0.071 0.096 0.167 𝒋 𝟏
0 0.096 0.357 𝒋 𝟐
0.214 0 0.476 𝒋 𝟑
𝑻 𝟐 0
𝑻 𝟐 0.373
𝑻 𝟑 0.133
0.063 0.047 0.11 𝒋 𝟏
0 0.047 0.42 𝒋 𝟐
0.336 0 0.47 𝒋 𝟑
𝑻 𝟐 0
𝑻 𝟐 0.4
𝑻 𝟑 0.17
0.043 0.025 0.068 𝒋 𝟏
0 0.025 0.425 𝒋 𝟐
0.34 0 0.51 𝒋 𝟑
𝑻𝟐 𝑻𝟑
(1)
𝒋
𝑻𝟏 𝑻𝟐 𝑻𝟑
(2)
𝑻𝟏 𝑻𝟐 𝑻𝟑
(3)
𝑻𝟏 𝑻𝟐 𝑻𝟑
(4)
𝟏
0.67
𝒊
𝟏
0.33 0 1
𝒊 𝒊
𝟐 𝟑
0.523
𝒊
𝟏
0.285 0.191 1
𝒊 𝒊
𝟐 𝟑
0.507
𝒊
𝟏
0.399 0.094 1
𝒊 𝒊
𝟐 𝟑
0.57
𝒊
𝟏
0.38 0.05 1
𝒊 𝒊
𝟐 𝟑
̃ (̃) ̃
(
)
̃ (̃) ̃
̃ (̃) ̃
(
)
(
)
(
)
̃ (̃) ̃
Conclussion The results gave confirmation to quantification of the mining sustainability , as function of Systemic Efficiency ( ) plus Resilience Capacity ( ). Algebraically, plus will obviously form the formulation of through the key relation of the following term: (14)
(
)
(
)
(
)
(
)
The sustainability is based to equation (14) whether through equation (6) or equation (13).
Based on Harries-Jones`s thought [HARRIES-JONES, 2010], that the role of aesthetics confirms to provide a medium through which the mining system should be able to communicate through connectors among compartments about how to understand the whole and thus the unity of the mining activities and the environment. This thought was emphasized by the Murase`s paradigm [MURASE, 2008] of endless circulation between nature and nurture, or between self (endo: mining activities) and non-self (exo: the environment), and gives rise to the emergence of new orders.
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Acknowledgment The authors express their appreciation to the Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, in providing support and facilitation during conducting this work, and to Hasanuddin University for the permission to leave from everyday academic life for several months as the realization of cooperative memorandum between both universities. References Anas, A. V. (2013, July). International Journal of Innovation and Applied Studies, 3(3), 774-780. retrieved from http://www.issr-journals.org/ijias/ Anas, A. V. (2013, December). International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT), 2(12), 191-195. Retrieved from http://www.ijert.org Finn, J. (1976). J. Theoretical Biology, 56, 363-380. Goener, S. B. (2009). Ecological Economics, 69, 76-81. doi:doi:10.1016/j.ecolecon.2009.07.018 Harries-Jones, P. (2010). Entropy, 12, 2359-2385. doi:doi:10.3390/e12122359 Koorehdavoudi, H. B. (2016). Nature: Scientific Reports, 6(27602), 1-13. doi:doi: 10.1038 Marra, M. (2011). In S. INAGA (Ed.), The 38th International Research Symposium (Nov. 8-11, 2010); Quetioning Oriental Aesthetics and Thinkings: Conflicting Visions of "Asia"under the Colonial Empires (pp. 15-29). Kyoto: International Research Center for Japanese Studies. Retrieved from http://www.nichibun.ac.jp Murase, M. (2008). In M. M. Ichiro, What is Life ? The Next 100 years of Yukawa's Dream, Progress of Theoretical Physics Supplement No 173, 1-10 (2008) (pp. 1-15). Kyoto. Retrieved from http://hdl.handle.net/2433/67886 Odin, S. (1987). Monumenta Nipponica, 211-217. Retrieved from http://www.jstor.org/journals/sophia.html Tanabayeva, A. A. (2015). The European Proceeding of Social & Behavioral Sciences (pp. 124-129). UK: Future Academy. doi:http://dx.doi.org/10.15405/epsbs.2015.01.14 Ulanowicz, R.S. (2001). Computers and Chemistry, 25, 393-399. Retrieved from http://www.elsevier.com/locate/compchem Ulanowicz, R. S. (2009). Ecological Complexity, 6, 27-36. doi:10.1016/j.ecocom.2008.10.005
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisis Pengaruh Karakteristik Sedimen dan Kedalaman Muka Airtanah Terhadap Indeks Kerentanan Seismik Kota Makassar Andi Azhar Rusdin1), Danang Sri Hadmoko2), Sunarto2), Saaduddin3) 1) Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Gowa 2) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 3) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin Makassar Sari Kota Makassar merupakan salah satu kota yang rentan akibat gempabumi karena terletak di atas endapan aluvium. Penelitian ini dilakukan menggunakan 100 data pengukuran mikrotremor serta data bor dan kedalaman muka airtanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran daerah rentan terhadap gempabumi serta mengetahui pengaruh karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap indeks kerentanan seismik. Penelitian ini menggunakan teknik Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR). Analisis ini digunakan untuk mengetahui sebaran Indeks Kerentanan Seismik (Kg). Selain itu analisis statistik juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah dengan variasi indeks kerentanan seismik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persebaran daerah lebih rentan secara seismik yang dapat berpotensi terjadi local site effect saat gempabumi terdapat di Kota Makassar bagian barat dan selatan. Persebaran daerah kurang rentan secara seismik terdapat di Kota Makassar bagian timur dan utara. Terdapat hubungan antara karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap variasi indeks kerentanan seismik. Indeks kerentanan seismik tinggi terdapat di lapisan sedimen pasir yang tebal dengan ketebalan sedimen yang tebal serta kedalaman muka airtanah yang dangkal, sebaliknya indeks kerentanan rendah terdapat pada lapisan sedimen pasir yang tipis dengan batuan tufa dangkal dan memiliki ketebalan sedimen yang dangkal serta kedalaman muka airtanah dalam. Kata kunci: indeks kerentanan seismik, karakteristik sedimen, kedalaman muka airtanah. Pendahuluan Wilayah Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah rawan gempabumi, tercatat tidak kurang dari 7 kali gempabumi merusak pernah terjadi di daerah ini yaitu pada tahun 1828, 1967, 1969, 1972, 1984, 1993 dan 1997 Kondisi ini disebabkan karena lokasi Sulawesi Selatan yang terletak di zona sesar aktif (Gambar 1). Salah satu sesar aktif tersebut adalah Sesar Walanae yang terletak di sepanjang Timur Kepulauan Selayar hingga Timur Laut Kota Mamuju Sulawesi Barat. Kota Makassar merupakan salah satu kota memiliki tingkat risiko yang tinggi terhadap
bencana gempabumi, karena memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Kota Makassar yang terdapat di atas endapan aluvial dengan material sedimen halus juga memberi dampak terhadap respon penjalaran gelombang seismik.
Gambar 1. Struktur Geologi Lengan Selatan Sulawesi (Surono dan Hartono, 2013) Tingkat kerusakan akibat gempabumi di suatu tempat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mekanisme kejadian gempabumi, magnitudo gempabumi, kedalaman gempabumi, jarak episenter serta kondisi geologi setempat (local site effect) (Daryono, 2011., Widodo, 2012). Fenomena local site effect tampak dalam beberapa kejadian gempabumi merusak di dunia. Kajian pengaruh karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap indeks kerentanan seismik merupakan salah satu topik penelitian bidang mitigasi gempabumi yang menarik. Dengan mengetahui karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah diharapkan dapat mengetahui respon gelombang seismik pada lokasi setempat, sehingga dapat menjelaskan hubungan dan seberapa besar pengaruh karakteristik sedimen terhadap indeks kerentanan seismik berdasarkan pengukuran mikrotremor. Mikrotremor merupakan getaran alami (ambient vibration) yang berasal dari dua sumber utama yaitu alam dan
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
manusia (Bonnefoy et al., 2006; Nakamura, 2008). Mikrotremor atau disebut juga sebagai ambient noise merupakan getaran tanah yang disebabkan oleh beberapa faktor akibat aktivitas manusia, seperti lalulintas, industri, dan aktivitas manusia lainnya, selain itu sumber mikrotremor juga disebabkan oleh faktor alam seperti interaksi angin dan struktur bangunan, arus laut, serta gelombang laut perioda panjang (Motamed et al., 2007; Peck, 2008).. Menurut Nakamura (1997) indeks kerentanan seismik (Kg) dapat menggambarkan tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap deformasi saat terjadi gempabumi. Indeks kerentanan seismik dapat digunakan untuk mengetahui daerah yang merupakan zona rentan pada saat terjadi gempabumi (Saita et al., 2004; Daryono, 2011). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian pengaruh karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap indeks kerentanan seismik. Maka tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui persebaran daerah rentan terhadap gempabumi di Kota Makassar, serta (2) untuk menganalisis pengaruh karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap nilai indeks kerentanan seismik di Kota Makassar. Data dan Metoda Lokasi penelitian mikrotremor dalam penelitian ini dilakukan di Kota Makassar dengan koordinat 5,06° LS – 5,25° LS dan 119,38° BT – 119,54° BT (Gambar 2).. Lokasi penelitian ini terdapat 3 satuan batuan yaitu satuan aluvium, satuan formasi camba dan retas basal (Sukamto dan Supriatna, 1982). Sampel penelitian meliputi data mikrotremor yang berlokasi di Kota Makassar dengan jumlah titik pengukuran berjumlah 100 lokasi (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi penelitian dan pengambilan sampel penelitian Sampel data mikrotremor merupakan data utama untuk
mendapatkan nilai frekuensi dominan (f0) dan puncak spektrum/amplifikasi (A) yang akan digunakan untuk menentukan indeks kerentanan seismik pada wilayah penelitian. Data mikrotremor dianalisis dengan menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR). Metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) digunakan dengan cara membandingkan spektrum mikrotremor komponen horizontal terhadap komponen vertikal di daerah penelitian. Seluruh perhitungan dikerjakan menggunakan program Geopsy dengan keluaran berupa rata-rata spektrum HVSR. Dari spektrum ini dapat diketahui nilai frekuensi predominan (f0) dan amplifikasi (A0) di lokasi pengukuran mikrotremor. Selanjutnya nilai f0 dan A0 tersebut dipergunakan untuk menghitung nilai indeks kerentanan seismik (Kg) dengan rumus: 𝑲𝒈
𝑨𝟐 𝒇𝟎
Analisis data lapangan meliputi analisis spasial dan analisis statistik. Analisis data spasial digunakan untuk mengetahui sebaran data hasil pengolahan data mikrotremor dan data lapangan lainnya. Proses analisis ini dilakukan dengan cara melakukan pemetaan data hasil pengolahan data lapangan seperti nilai nilai frekuensi predominan (f0) dan amplifikasi (A0) dan indeks kerentanan seismik (Kg). Analisis statistik digunakan untuk mengetahui nilai korelasi dan hubungan antara ketebalan sedimen dan kedalaman muka airtanah dengan indeks kerentanan seismik. Hasil dan Diskusi 1. Frekuensi Dominan, Faktor Amplifikasi dan Indeks Kerentanan Seismik Nilai frekuensi dominan (f0) Kota Makassar yang diperoleh dari puncak spektrum/faktor amplifikasi dengan metode HVSR berkisar antara 1,1 Hz hingga 9,1 Hz (Gambar 3). Frekuensi dominan terendah dengan nilai f0 1,1 Hz terdapat pada lokasi pengukuran Tanjung Merdeka 1 yang terletak pada Kecamatan Tamalate. Sebaliknya, lokasi pengukuran Karampuang yang terletak di Kecamatan Panakkukang memiliki nilai frekuensi dominan (f0) HVSR tertinggi dibandingkan dengan lokasi pengukuran lainnya dengan nilai f0 sebesar 9,1 Hz. Spektrum HVSR dari hasil pengolahan data mikrotremor tidak hanya menunjukkan nilai frekuensi dominan 0 dari suatu daerah tetapi juga memberikan informasi mengenai nilai faktor penguatan atau faktor amplifikasi (A) daerah tersebut (Gambar 4). Nilai A tersebut diperoleh dari penunjukan puncak amplitudo spektrum HVSR. Nilai faktor amplifikasi (A) menjelaskan adanya kontras impedansi antara lapisan permukaan terhadap lapisan yang berada di bawahnya atau dengan kata lain faktor amplifikasi (A) merupakan suatu parameter yang
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
memberikan informasi mengenai struktur internal lapisan sedimen yang lunak. Hasil pengolahan HVSR data mikrotremor tiga komponen dengan menunjukkan bahwa nilai faktor amplifikasi (A) yang diperoleh bervariasi dengan nilai minimum sebesar 0,8 dan nilai maksimum sebesar 10,1. Faktor amplifikasi terendah dominan diperoleh dari lokasi pengukuran yang terletak di Kecamatan Panakukang, sedangkan untuk lokasi dengan faktor amplifikasi tertinggi terletak pada lokasi pengukuran Pampang.
Gambar 3. Peta sebaran frekuensi dominan (f0) hasil pengolahan data mikrotremor Kota Makassar
Gambar 4. Peta Faktor Amplifikasi (A) hasil pengolahan data miktrotremor Kota Makassar Karakteristik spektrum HVSR menunjukkan bahwa nilai frekuensi dominan (f0) pada daerah penelitian sebelah barat dan selatan cenderung lebih rendah dan mengalami peningkatan ke arah timur dan utara sedangkan sebaliknya dengan faktor amplifikasi (A) yang semakin ke barat dan selatan semakin tinggi nilainya faktor amplifikasinya. Hal ini berkesesuain dengan kondisi geologi (litologi) daerah penelitian. Adanya variasi spektrum mikrotremor dipengaruhi oleh kondisi geologis (litologi) dan ketebalan
sedimen ( Parolai et al.,2002; Sato et al., 2004; Daryono, 2011). Pada daerah penelitian sebelah barat dan selatan didominasi dengan endapan aluvium yang juga merupakan daerah pesisir sehingga nilai f0 yang diperoleh semakin rendah ke arah pantai dan sebaliknya untuk faktor amplifikasi. Peningkatan nilai f0 ke arah timur dan selatan disebabkan karena pada daerah tersebut didominasi dengan batuan sedimen laut berselingan batuan gunungapi yang terdiri dari Breksi, Lava, Konglomerat dan Tufa. Analisis data mikrotremor juga menghasilkan indeks kerentanan seismik. Indeks kerentanan seismik (𝐾𝑔) merupakan salah satu parameter yang dapat dihitung dengan menggunakan parameter masukan dari hasil analisis HVSR data mikrotremor tiga komponen yaitu parameter frekuensi dominan (f0) dan puncak spektrum/faktor amplifikasi (𝐴0). Nilai kedua parameter tersebut diperoleh dari penunjukkan spektrum HVSR. Hasil perhitungan indeks kerentanan seismik (Kg) di Kota Makassar berkisar 0,1 hingga 62,2 (Gambar 6). Indeks kerentanan seismik terendah terdapat di lokasi pengukuran Tamalanrea Jaya 1 yang terletak di Kecamatan Tamalanrea dengan nilai indeks kerentanan seismik sebesar 0,1. Sebaran indeks kerentanan seismik (Kg) tertinggi dengan nilai indeks kerentanan seismik lebih besar dari 60 terletak di lokasi pengukuran Wajo Baru, Layang dan Pampang. Berdasarkan hubungan antara indeks kerentanan seismik, maka daerah penelitian dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas kerentanan, yaitu: daerah lebih rentan dan daerah kurang rentan secara seismik. Daerah lebih rentan merupakan daerah yang dapat mengalami local site effect saat terjadi gempabumi. Daerah lebih rentan terdapat pada daerah penelitian yang memiliki nilai indeks kerentanan lebih dari 1 sedangkan daerah yang kurang rentan memiliki nilai indeks kerentanan seismik kurang dari 1, di mana daerah tersebut tidak mengalami local site effect saat terjadi gempabumi (Daryono, 2011). Persebaran daerah lebih rentan secara seismik pada daerah penelitian terdapat Kecamatan Mariso, Kecamatan Mamajang, Kecamatan Tamalate, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Makassar, Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Wajo, Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo dan Kecamatan Panakukang (Gambar 5). Persebaran daerah lebih rentan mengikuti satuan formasi batuan yang terdapat pada daerah penelitian. Daerah lebih rentan terdapat di satuan batuan aluvium yang material pasir, lanau dan lempung yang tebal dengan batuan dasar yang dalam yang menyebabkan terjadinya resonansi gelombang seismik saat terjadinya gempabumi. Persebaran daerah kurang rentan secara seismik terdapat pada 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Manggala bagian timur dan utara, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. Daerah kurang rentan ini memiliki nilai indeks kerentanan seismik lebih kecil dari 1. Persebaran daerah kurang rentan terdapat pada satuan
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
batuan formasi camba yang tersusun dari batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi dengan ketebalan sedimen yang tipis sehingga tidak berpotensi terjadi resonansi saat gempabumi.
Gambar 5. Peta tingkat kerentanan seismik Kota Makassar Fakta ini yang mendasari kesimpulan bahwa variasi nilai indeks kerentanan seismik tersebut menunjukkan adanya ketidakhomogenan material penyusun setiap formasi batuan serta adanya perbedaan ketebalan lapisan sedimen pada daerah tersebut. Fakta-fakta ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nakamura et al. (2000), Gurler et al. (2000), Saita et al. (2004), Nakamura (2008) serta Daryono (2011). 2.
Pengaruh Karakteristik Sedimen dan Kedalaman Muka Airtanah terhadap Indeks Kerentanan Seismik
Tingkat kerentanan seismik sangat ditentukan oleh kondisi satuan litologi. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi indeks kerentanan seismik diantaranya adalah karakteristik sedimen dan karakteristik hidrologi. Karakteristik sedimen dalam penelitian ini meliputi jenis material penyusun dan ketebalan sedimen/kedalaman batuan dasar, sedangkan karakteristik hidrologi di dalam penelitian ini yaitu kedalaman muka airtanah. Untuk mengetahui pengaruh jenis material penyusun dan indeks kerentanan seismik, maka dibuat 2 penampang litologi berdasarkan data bor NSPT yang terletak di bagian barat dan timur daerah penelitian dan melintang dari arah selatan hingga utara daerah penelitian (Gambar 6). Berdasarkan hasil pengukuran mikrotremor, bagian barat Kota Makassar memiliki indeks kerentanan tinggi tersusun dari endapan aluvium berupa pasir, lanau serta lempung. Indeks kerentanan mengalami penurunan ke arah timur Kota
Makassar yang tersusun Formasi Camba yang terdiri dari batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi (Breksi, Lava, Konglomerat, Tufa). Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan antara kondisi geologi dengan indeks kerentanan seismik. Lokasi bor daerah Pettarani (B) dan Urip Sumoharjo (C) Kecamatan Panakukang menunjukkan bahwa lapisan sedimen di daerah tersebut tersusun dari lapisan pasir tipis berselang seling dengan lanau dan lempung dengan ketebalan lapisan sedimen mencapai 9 meter, lokasi tersebut berdekatan dengan lokasi mikrotremor Tidung 2 dan Tamamaung yang memiliki nilai indeks kerentanan seismik (Kg) 24. Indeks kerentanan seismik terendah yang terdapat pada penampang bor 1 yaitu di lokasi pengukuran mikrotremor Kapasa 1 dengan nilai Kg sebesar 0,2 dan Sudiang 1 yang memiliki nilai Kg sebesar 0,7. Lokasi pengamatan mikrotremor tersebut terletak pada lapisan sedimen tipis yang didominasi dengan material pasir dan terdapat batupasir tufaan di bawahnya. Lokasi penampang bor kedua terletak di bagian barat daerah penelitian di sekitar lokasi pengamatan mikrotremor yaitu Tanjung Merdeka 2, Bontorannu, Mattoanging, Sawerigading, Pattunuang 2, Kaluku Bodoa 1, dan Tallo. Lokasi Mikrotremor Tanjung Merdeka dan Bontorannu terletak dekat dengan lokasi bor di daerah Tanjung Bunga (E) yang memiliki ketebalan sedimen mencapai 22 meter dengan material penyusun terdiri dari lanau yang tipis dan lempung yang tebal dengan nilai indeks kerentanan seismik 19,4 dan 23,6. Indeks kerentanan tertinggi dengan nilai Kg 36,9 terletak di dekat lokasi bor daerah Bontolempangan (F) dengan ketebalan lapisan 22 meter dan tersusun dari material pasir tebal mencapai 10 meter serta material lempung dengan ketebalan mencapai 12 meter, sedangkan untuk indeks kerentanan seismik rendah pada penampang data bor ini terletak di Tallo dengan besaran Kg 7,8 (Gambar 6). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa batupasir tufaan yang dangkal dengan material lanau dan pasir tipis memiliki hubungan dengan nilai indeks kerentanan seismik yang rendah sedangkan lapisan material pasir dan lempung tebal memiliki indeks kerentanan seismik yang tinggi dan sangat rentan terhadap gelombang seismik. Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi indeks kerentanan seismik sangat dipengaruhi oleh jenis material penyusunnya. Penelitian-penelitian terdahulu sudah mengungkapkan bahwa litologi batuan dan relief muka bumi memberi berpengaruh terhadap tingkat kerentanan gempabumi (Gurler et al, 2000; Tuladhar et al, 2004; Saita et al, 2004; Parolai et al., 2007, Nakamura, 2008; Daryono, 2011; Nurwihastuti et al., 2014).
16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Penampang E-F-G-H-I
Indeks Kerentanan Seismik
20
10
0 Tidung Tamamaung 2 Lakkang 1 MKS053 MKS060 MKS041
Kapasa 1 MKS023
Sudiang 1 MKS095
Indeks Kerentanan Seismik
Penampang A-B-C-D 30
40 30 20 10 0
Lokasi Pengamatan Mikrotremor
KETERANGAN:
PASIR
LANAU
Lokasi Pengamatan Mikrotremor
LEMPUNG
BATUPASIR
BATUPASIR TUF
Gambar 6. Peta indeks kerentanan seismik disertai dengan penampang data bor Kota Makassar
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Selain jenis material penyusun sedimen, variasi indeks kerentanan seismik juga dipengaruhi oleh ketebalan sedimen (Gurler et al,2000; Saita et al, 2004; Nakamura, 2008; Daryono, 2011). Ketebalan sedimen pada penelitian ini didapatkan dari hasil data boring log and SPT/CPT Test Result yang tersedia di Kota Makassar. Ketebalan sedimen Kota Makassar berdasarkan data bor N-SPT/CPT yaitu berkisar 2 hingga 26 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang memiliki ketebalan sedimen yang tipis 2 meter yang terletak di timur Kota Makkassar memiliki indeks kerentanan seismik sebesar 0,3. Indeks kerentanan tertinggi (Kg = 49,1) terletak di bagaian barat daerah penelitian (pesisir) yang memiliki ketebalan sedimen diatas 21,6 meter. Indeks kerentanan seismik rendah (Kg < 1) terletak pada ketebalan sedimen yang kurang dari 10 meter, sedangkan indeks kerentanan tinggi terletak (Kg > 30) terdapat pada daerah dengan ketebalan sedimen lebih 20 meter (Gambar 7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan antara indeks kerentanan seismik dengan ketebalan sedimen, dimana semakin tebal lapisan sedimen cenderung memiliki indeks kerentanan seismik yang semakin tinggi dan sebaliknya semakin tipis lapisan sedimen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bahwa indeks kerentanan seismik memiliki korelasi signifikan dengan ketebalan sedimen dengan nilai korelasi sebesar 0,913 (Gambar 8).
Gambar 7. Model ketebalan sedimen berdasarkan data bor dan indeks kerentanan seismik berdasarkan mikrotremor.
airtanah pada puncak musim hujan (Februari-Maret) menunjukkan muka airtanah terdapat pada kedalaman 0 sampai 4 meter. Kedalaman muka airtanah pada musim kemarau diukur pada bulan Agustus hingga September dengan kedalaman muka airtanah 0,4 hingga 6 meter. Kedalaman muka airtanah rata-rata pada musim kemarau adalah 1,75 meter. Muka airtanah dangkal terdapat di bagian barat Kota Makassar, sedangkan muka airtanah dalam terdapat di bagian timur Kota Makassar. Kedalaman muka airtanah rata-rata di daerah penelitian yaitu 0,3 meter hingga 4,25 meter. Kedalaman muka airtanah rata-rata di Kota Makassar didapatkan dengan merata-ratakan kedalaman muka airtanah musim kemarau dengan kedalaman muka airtanah pada musim hujan. Kedalaman muka airtanah dangkal dengan kedalaman kurang dari 1,5 meter tersebar di bagian barat Kota Makassar. Kedalaman muka airtanah dalam terdapat di bagian timur Kota Makassar dengan kedalaman 1,5 meter hingga 4,25 meter. Sebaran kedalaman muka airtanah memiliki kesamaan dengan sebaran litologi dan sebaran indeks kerentanan seismik. Muka airtanah dangkal terdapat pada daerah yang memiliki indeks kerentanan tinggi yang terletak di satuan endapan aluvium dengan material penyusun terdiri atas pasir, lempung, lanau serta kerikil dengan. Pada satuan Formasi Camba yang tersusun dari batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi (lava, breksi, konglomerat dan tufa) memiliki kedalaman muka airtanah dalam dengan nilai indeks kerentanan yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kedalaman muka airtanah dengan indeks kerentanan seismik. Daerah yang terletak di zona muka airtanah dangkal memiliki indeks kerentanan tinggi, sebaliknya indeks kerentanan rendah terdapat di daerah yang memiliki muka airtanah dalam. Indeks kerentanan seismik di bawah 10 banyak dijumpai pada daerah yang memiliki kedalaman muka airtanah dalam (lebih dari 1,5 meter), sedangkan indeks kerentanan di atas 10 terdapat di daerah yang memiliki kedalaman muka airtanah dangkal dengan kedalaman kurang dari 1,5 meter. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa Kedalaman muka airtanah memiliki korelasi dengan indeks kerentanan dengan nilai korelasi mencapai 0,447 (Gambar 8).
Variasi indeks kerentanan seismik juga dipengaruhi oleh kedalaman muka airtanah (Fah, 2006; Daryono, 2011). Fluktuasi muka airtanah di Kota Makassar sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (musim hujan dan kemarau) serta pemanfaatan airtanah oleh masyarakat. Hasil pengukuran kedalaman muka airtanah (MAT) yang dilakukan oleh Syahruddin (2013) menunjukkan variasi kedalaman muka airtanah pada saat musim hujan dan musim kemarau. Hasil pengukuran kedalaman muka
18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
30
Kedalaman Muka Airtanah (meter)
R² = 0.8345
25 20 15 10 5 R² = 0.2006 0
20 40 60 Indeks Kerentanan Seismik Kedalaman Muka Airtanah (meter) Ketebalan Sedimen (meter)
0 80
Gambar 8. Hubungan ketebalan sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap indeks kerentanan seismik.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian analisis pengaruh karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah terhadap indeks kerentanan seismik di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Persebaran daerah lebih rentan secara seismik yang dapat berpotensi terjadi local site effect saat gempabumi terdapat di Kota Makassar bagian barat dan selatan. Persebaran daerah kurang rentan secara seismik terdapat di Kota Makassar bagian timur dan utara. 2. karakteristik sedimen dan kedalaman muka airtanah memengaruhi sebaran nilai indeks kerentanan seismik. Indeks kerentanan seismik tinggi terletak di wilayah dengan karakteristik sedimen tersusun oleh material pasir tebal yang berselingan dengan lanau dan lempung tipis, serta memiliki kedalaman muka airtanah yang dangkal. Sebaliknya, di lapisan sedimen yang tersusun dari material pasir tipis dengan batu tufa yang dangkal dengan kedalaman muka airtanah dalam memiliki indeks kerentanan seismik yang rendah. Pustaka
Motamed, R., Ghalandarzadeh, A., Tawhata, I. and Tabatabei, S.H.. 2007. Journal of Earthquake Engineering, 11:110-123. Nakamura, Y. 1997. World Congress on Railway Research, Florence. Nakamura, Y., Sato, T., and Nishinaga, M.. 2000. Proceeding of the Sixth International Conference on Seismic Zonation EERI, Palm Springs California. Nakamura, Y., 2008. The 14th World Conference on Earthquake Engineering, Beijing, China. Nurwihastuti, D. W., Sartohadi, J., Mardiatno, D.,Nehren, U., and Restu. 2014. World Journal of Engineering and Technology, 2, 61-70 Parolai, S., Bormann, P., and Milkereit, C., 2002. Bulletin of Seismological Society of America, Vol 92, No 6, pp. 2521-2527. Parolai, S., Mucciarelli, M., Gallipoli, R., Richwalski, S.M., Strollo, A., 2007. Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 97, No. 5, pp. 1413–1431. Peck, L., 2008., US Army Corps of Engineer, Engineer Research and Development. Saita, J., Bautista, M.L.P. and Nakamura, Y., 2004. Paper No. 905, 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada. Sato, T., Nakamura, Y., and Saita, J., 2004. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Paper No. 862, Vancouver, B.C., Canada. Sukamto Rab dan Supriatna, S., 1982, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. P3G Bandung. Syahruddin, M.H., 2013. Prosiding Seminar Nasional Fisika, Universitas Hasanuddin, Makassar. Tuladhar, R., Cuong, N.N.H., and Yamasaki, F., 2004. 13 th World Conference on Earthquake Engineering, Paper No. 2539, Vancouver, B.C., Canada. Widodo P., 2012. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Surono dan Hartono, U., 2013. LIPI Press, Jakarta. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan fasilitas sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar.
Bonnefoy, S.C., Cotton, F., dan Bard, P.-Y. 2006. EarthScience Reviews, 79(3-4), 205-227. Daryono. 2011. Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fah, D. 2006. Lecture Notes Engineering Seismology Version 2.1, Swiss Seismological Service, ETH Zürich. Gurler, E.D., Nakamura, Y., Saita, J., and Sato, T. 2000. 6th International Conference on Seismic Zonation, Palm Spring Riviera Resort, California, USA, pp.65.
19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6Agustus 2016
Deliniasi Bidang Gelincir Menggunakan Metode Geolistrik, MASW, dan Data Mekanika Tanah (Studi Kasus: Malausma-Majalengka-Jawa Barat) Zaenudin. A (1), Romosi. M (1), Kristianto (2), Suharno (1),Mulyatno. B.S (1). (1) Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung (2) Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung Sari Telah dilakukan penelitian gerakan tanah di Dusun Cigintung Desa Cimuncang Kec. Malausma Kab. Majalengka menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Wenner-Schlumberger, MASW, dan data mekanika tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil pemodelan bawah permukaan yang terukur. Dari hasil pemodelan geolistrik diperoleh nilai tahanan jenis <25 ohm.m diduga merupakan lapisan lempung, nilai tahanan jenis antara 25-75 ohm.m diduga merupakan lapisan tufa dan nilai tahanan jenis >75 ohm.m diduga merupakan lapisan breksi tak terkonsolidasi. Dari pemodelan MASW diperoleh nilai kecepatan gelombang S sekitar 40-183 m/s diduga merupakan lapisan tanah lunak dan nilai kecepatan gelombang S sekitar 183-366 m/s diduga merupakan lapisan tanah kaku. Dari hasil pemodelan Geoslope diperoleh nilai Faktor Keamanan (FK) lintasan 1 sekitar 1,261 yang berarti lereng tersebut relatif stabil dan lintasan 4 sekitar 0,980 yang berarti lereng tersebut termasuk lereng labil. Kata kunci : gerakan tanah, tahanan jenis, gelombang S Pendahuluan Proses geodinamika Indonesia yang aktif menjadikan kejadian letusan gunungapi, gerakan tanah, gempabumi, dan bahaya geologi lainnya terus terjadi dari waktu ke waktu. Dari waktu ke waktu semakin terasa bahwa frekuensi kejadian gerakan tanah semakin meningkat (Wirakusumah, 2012). Salah satu daerah di Indonesia yang rawan akan bencana gerakan tanah yaitu Provinsi Jawa barat, diantaranya yang terjadi di Dusun Cigintung Desa Cimuncang Kec. Malausma Kab. Majalengka pada tanggal 14 April 2013 yang mengakibatkan pemukiman warga, lahan pertanian, dan jalan di dusun tersebut mengalami kerusakan. Gerakan tanah merupakan gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Gangguan kestabilan tanah diakibatkan oleh terganggunya gaya yang bekerja pada lereng yang disebabkan karena adanya suatu proses yang menaikkan gaya pendorong atau mengurangi gaya penahan pada lereng (Imam, 1998 dalam Indrawati, 2009). Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya gerakan tanah
adalah kondisi geologi, morfologi, keairan dan tata guna lahan. Faktor pemicu umumnya curah hujan dan getaran gempabumi, pemicu lainnya bisa akibat ulah manusia. Pada saat terjadi hujan, air hujan akan meresap dan menembus tanah hingga ke lapisan kedap air. Lapisan inilah yang akan berperan sebagai bidang gelincir, sehingga menyebabkan gerakan tanah atau longsor. Dalam penyelidikan gerakan tanah keberadaaan bidang gelincir ini menjadi salah satu faktor yang menarik untuk dikaji. Untuk mengetahui keadaan bawah permukaan bumi khususnya bidang gelincir, dapat digunakan survei geofifika. Metode geofisika yang digunakan dalam mencari keberadaan bidang gelincir pada daerah penelitian ini yaitu menggunakan metode geolistrik tahanan jenis, MASW (Multichannel Analysis of Surface Wave), dan data mekanika tanah. Metode- metode tersebut digunakan dalam penelitian ini disebabkan dengan metode-metode tersebut dapat menghasilkan gambaran lapisan bawah permukaan secara dua dimensi berdasarkan nilai tahanan jenis batuan penyusun lapisan tersebut. Dan bisa digunakan metode analisis kecepatan untuk mengetahui lapisan yang dianggap bidang lemah berdasarkan analisis nilai kecepatan penjalaran gelombang geser hingga kedalaman 30 meter (Vs 30). Metode geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metode geolistrik yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Metode ini dilakukan dengan mengalirkan arus listrik searah ke dalam bumi melalui elektroda arus , selanjutnya distribusi medan potensial diukur dengan elektroda potensial. Variasi nilai tahanan jenis dihhitung berdasarkan besar arus dan potensial yang terukur (Santoso, 2002). Metode ini diasumsikan bahwa bumi mempunyai sifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini, resistivitas yang terukur merupakan resistivitas sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ yang berbeda-beda sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Maka harga yang terukur bukan merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang lebar. 𝜌a= (1) Dengan 𝜌 a merupakan resistivitas semu yang bergantung pada spasi elektroda.
20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Konfigurasi Wenner-Schlumberger merupakan konfigurasi dengan sistem aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor “n” untuk konfigurasi ini adalah perbandingan jarak antara elektroda C1-P1 atau C2-P2 dengan spasi antara P1P2 seperti pada Gambar 1. Jika jarak antar elektroda potensial (P1 dan P2) adalah a maka jarak antar elektroda arus (C1dan C2) adalah 2na+a. Proses penentuan resistivitas menggunakan empat buah elektroda yang diletakkan dalam sebuah garis lurus (Sakka, 2002).
Dan berikut skema survei lapangan metode MASW aktif seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema survei lapangan metode MASW aktif.
Gambar 1. Pengaturan elektroda konfigurasi WennerSchlumberger. Metode MASW merupakan metode yang memanfaatkan fenomena dispersi gelombang permukaan yang bertujuan untuk mengevaluasi karakter suatu medium solid. Metode ini akan mengukur variasi kecepatan gelombang permukaan seiring denagn bertambahnya kedalaman. Pengukuran metode ini membutuhkan sumber seismik pasif dan atau aktif untuk menghasilkan gelombang permukaan dengan 12 sampai 24 geophone. Metode ini terbagi menjadi dua jenis yaitu metode MASW aktif dan pasif. Perbedaan dari kedua jenis metode ini yaitu terletak pada sumber gelombang yang digunakan. Metode MASW aktif menggunakan sumber gelombang yang memiliki frekuensi tinggi yaitu dapat berupa palu atau weightdrop, sedangkan metode MASW pasif menggunakan sumber dengan frekuensi redah seperti pasang surut air laut, lalu litas kendaraan ataupun kerumunan pejalan kaki (Park, dkk).
Gambar 2. Gambaran umum survei metode MASW.
Kelebihan metode ini dibandingkan metode seismik lainnya, yaitu sebagai berikut: 1. Non eksplosif, sehingga tidak mudah merusak lingkungan. 2. Lebih mudah dikarenakan tidak diperlukan pengeboran. 3. Peralatannya mudah dibawa dengan tenaga manusia. 4. Dapat digunakan survei dangkal maupun mencapai ratusan meter. 5. Mudah dalam menentukan persebaran nilai rata-rata Vs 30 untuk menentukan jenis tanah. Berdasarkan keadaan morfologi daerah penelitian merupakan daerah dengan morfologi dataran tinggi (perbukitan terjal) yang memiliki kemiringan sekitar 2540% dan ketinggiannya sekitar 400-2000 mdpl. Sedangkan berdasarkan keadaan geologi daerah penelitian berada di Formasi Kaliwangu (Tpkw) yang tersusun oleh batuan lempung bersisipan batupasir tufaan, konglomerat, batupasir gampingan dan batu gamping yang umurnya sekitar Pliosen bawah serat berada pada Formasi Qvts (Hasil Gunungapi tua) yang tersusun oleh breksi gunungapi, breksi aliran, tuva, dan lava bersusunan andesit sampai basal dari G. Sawal seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta geologi daerah penelitian (Budhitrisna dkk, 1986).
21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Data dan Metode Penelitian ini dilakukan di Dusun Cigintung desa Cimuncang Kecamatan Malusma Kabupaten Majalengka yang terletak pada koordinat sistem proyeksi UTM WGS84 antara 199737-199882 UTM X dan 9219893-9220507 UTM Y menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Wenner-Schlumberger sebanyak tiga lintasan dengan menggunakan spasi 5 meter dengan jarak bentangan 115 meter, MASW (Multichannel Analysis of Surface Wave) aktif sebanyak dua lintasan menggunakan 24 geophone dengan spasi antar geophone 2 meter dan panjang lintasan 47 meter, dan data mekanika tanah sebanyak dua lintasan. Lintasan pengukuran ditentukan dengan melihat kondisi keadaaan daerah penelitian. Akuisisi dan pengolahan data geolistrik tahanan jenis dilakukan dengan menggunakan alat resisitivitymeter serta software ResDinv dan Rockwock 14 guna mengetahui lapisan bawah permukaan bumi berdasarkan nilai tanahan jenis batuan yang terukur. Akuisisi dan pengolahan data MASW dilakukan dengan menggunakan alat Oyo McSeis serta software Seismager McSeis Pickwin, WaveEq, dan GeoPlot guna mengetahui lapisan tanah yang dianggap lemah berdasarkan penjalaran gelombang geser (Vs). Sedangkan pengolahan data mekanika tanah dilakukan dengan software Geoslope 2004 guna mengetahui nilai faktor keamanan lereng daerah penelitian.
Gambar 6. Diagram alir penelitian. Hasil dan Diskusi Dari pengolahan data geolistrik tahanan jenis dihasilkan model 2D seperti pada Gambar 7 (Lintasan 1), Gambar 8 (Lintasan 2), dan Gambar 9 (Lintasan 3).
Gambar 5. Peta lokasi daerah penelitian di Desa Cimuncang. Gambar 7. Hasil dua dimensi tahanan jenis Lintasan 1. Proses penelitian ini dilakukan berdasarkan diagram alir seperti pada Gambar 6. Pada metode geolistrik dilakukan proses akuisisi data, pengolahan data dan pemodelan 2D. Pada metode MASW dilakukan proses akuisisi data, pengolahan data dan pemodelan 2D, begitu juga dengan metode mekanika tanah. Dari pemodelan 2D tersebut kemudian dilakukan analisis hasilnya yang akan digunakan dalam proses analisis bidang gelincir.
Dari model 2D geolistrik tersebut menunjukan 3 lapisan bawah permukaan yaitu dengan nilai tahanan jenis < 25 ohm.m, 25-75 ohm.m dan >75 ohm.m (Telford, 1990). Gambar 7 menunjukan model 2D dengan nilai tahanan jenis < 25 ohm.m diduga merupakan lapisan lempung, lapisan dengan nilai tahanan jenis antara 25-75 ohm.m diduga merupakan lapisan tufa, dan lapisan dengan nilai
22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
tahanan jenis >75 ohm.m diduga merupakan lapisan breksi tak terkonsolidasi. Ketebalan lapisan lempung sekitar 6-20 m di bawah permukaan. Ketebalan lapisan tufa sekitar 4-6 m di bawah permukaan dan ketebalan lapisan breksi tak terkonsolidasi sekitar 0-4 m di bawah permukaan.
Gambar 8. Hasil dua dimensi tahanan jenis lintasan 2.
Gambar 9. Hasil dua dimensi tahanan jenis lintasan 3. Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukan model perlapisan dengan nilai tahanan jenis < 25 ohm.m diduga merupakan lapisan lempung, lapisan dengan nilai tahanan jenis 25-75 ohm.m diduga merupakan lapisan tufa, dan lapisan dengan nilai tahanan jenis >75 ohm.m diduga merupakan lapisan breksi tak terkonsolidasi. Dengan ketebalan lapisan lempung sekitar 10 m, ketebalan lapisan tufa sekitar 3-6 m dan ketebalan lapisan breksi tak terkonsolidasi sekitar 4-5 m di bawah permukaan.
Gambar 10. Hasil dua dimensi MASW lintasan 2.
Dari pengolahan data MASW dihasilkan model 2D seperti pada Gambar 10 (lintasan 2 berdampingan dengan lintasan 2 geolistrik) dan Gambar 11 (lintasan 3 berdampingan dengan lintasan 3 geolistrik).
Gambar 11. Hasil dua dimensi MASW lintasan 3. Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan kecepatan gelombang S (Vs) dengan nilai 40-183 m/s yang diduga merupakan lapisan tanah lunak, dan nilai 183-366 m/s
23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
merupakan lapisan tanah kaku (Hunter dkk, 2007). Ketebalan lapisan tanah lunak sekitar 0-5 m dan ketebalan lapisan tanah kaku sekitar 5-30 m. Dari model 2D geolistrik dapat diduga bahwa bidang gelincir merupakan kontak antara lapisan lempung dengan lapisan tufa. Bidang gelincir ini teridentifikasi berada pada kedalaman 5 m di bawah permukaan. Bidang gelincir ditunjukan oleh tahanan jenis berwarna hijau (Gambar 7, 8 dan 9). Dan dari model 2D MASW bidang kontak antara lapisan tanah lunak dan lapisan tanah kaku. Kontak lapisan ini berada pada kedalaman sekitar 5 m, seperti ditunjukan ada Gambar 10 dan Gambar 11 yang ditandai oleh arsiran berwarna merah. Metode mekanika tanah dilakukan dengan pengambilan sampel di beberapa titik di permukaan pada kemiringan lereng yang akan diuji. Sampel kemudian diuji sifat kohesi, sudut geser dalam dan berat isi asli di laboratorium. Hasil uji besaran fisika tersebut digunakan untuk pembuatan model keamanan lerengnya. Pengolahan data mekanika tanah menggunakan software Geoslope 2004 metode Morgenstern-Price dihasilkan model 2D seperti pada Gambar 12 (lintasan 1) dan Gambar 13 (lintasan 4).
Gambar
Hasil Geoslope lintasan 1 metode Morgenstern-Price. Model tersebut menggunakan analisis metode entry dan exit sehingga diperoleh radius seperti pada Gambar 12. Dari model tersebut diketahui bahwasannya nilai Faktor Keamanan (FK) pada Lintasan 1 sekitar 1,261 yang berarti lereng tersebut termasuk lereng relatif stabil (Bowles, 1989).
Gambar
13.
Hasil Geoslope lintasan Morgenstern-Price.
4
metode
Kesimpulan Dari analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemodelan geolistrik 2D dapat menunjukkan 3 lapisan dengan nilai tahanan jenis <25 ohm.m diduga merupakan lapisan lempung, nilai tahanan jenis 25-75 ohm.m diduga merupakan lapisan tufa, dan nilai tahanan jenis >75 ohm.m diduga merupakan lapisan breksi tak terkonsolidasi. Bidang gelincir diduga merupakan kontak antara lapisan lempung dengan lapisan tufa pada kedalaman 5 m. 2. Pemodelan MASW menunjukkan nilai kecepatan gelombang S antara nilai 40-183 m/s diduga merupakan lapisan tanah lunak dan nilai kecepatan gelombang S antara nilai 183-366 m/s diduga merupakan lapisan tanah kaku. Bidang kontak antara lapisan tanah lunak berada pada kedalaman 5 m. 3. Pemodelan kestabilan lereng dengan software Geoslope 2004 menunjukkan nilai Faktor Keamanan (FK) lereng sebesar 1,261 pada Tenggara yang berarti lereng tersebut termasuk lereng relatif stabil dan nilai Faktor Keamanan lereng sebesar 0,980 yang berarti lereng tersebut termasuk lereng labil pada bagian Baratlaut. 4. Metode geolistrik dan MASW menunjukkan kesesuaian analisis bidang gelincir dan sangat akurat dalam mitigasi bencana geologi khususnya gerakan tanah.
12.
Gambar 13 menunjukkan model keamanan lereng pada lintasan 4. Dari model tersebut diketahui bahwasannya nilai Faktor Keamanan (FK) lintasan 1 sekitar 0,980 yang berarti lereng tersebut termasuk lereng labil (Bowles, 1989).
Pustaka Bowles, J.E., 1989, Sifat-sifat Fisik dan Geoteknis Tanah, Erlangga, Jakarta, 562 hal. Budhitrisna, T., Supandjono, J.B., Pangabean, H., dan Marino, 1986, Peta Geologi Lembar Tasikmalaya Jawa Barat skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Hunter, J.A., Burns, R.A., Good, R.L., Aylsworth, J.M., Pullan, S.E., Perret, D., dan Douna. M, 2007, Borehole Shear-Wave Velocity Measurments of Champlain Sea Sediments in the Ottawa-Montreal Region, Geological
24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Survey of Canada, Open File 5345, Ottawa, Ontario, Canada. Park, C.B., Miller, R.D., dan Xia, J., 1999, Multichannel Analysis of Surface Wave, Geophysics, Vol. 64, No. 3, P. 800-808. Pujiastuti, D., Edwiza, D., Mustafa, B., dan Indrawati, 2009, Penentuan Kedalaman Bidang Gelincir Daerah Rawan Gerakan Tanah Dengan Metode Tahanan Jenis, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, 42-54. Sakka, 2002, Metode Geolistrik Tahanan Jenis, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Unhas, Makassar.
Santoso, D., 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Telford, W.M. Geldart, L.P., dan Sheriff, R.E. 1990. Applied Geophysics Second Edition. New York: Cambridge University. Wirakusumah, A.D., 2012, Gunungapi Ilmu dan Aplikasinya, Pusat Survei Geologi, Bandung. UcapanTerimaKasih Diucapkan terimakasih kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung atas kerjasama dan bantuannya dan seluruh pihak yang telah membantu dalam makalah ini.
25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisis Respons Spektra Gempa Bumi Lengan Utara Sulawesi Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Guntur Pasau1, Gerald H. Tamuntuan2, Adey Tanauma3 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Jl. Kampus Unsrat, Manado 95115
[email protected],
[email protected],
[email protected] Sari Lengan utara Sulawesi adalah salah satu wilayah Indonesia yang mempuyai tingkat seismisitas sangat tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Sumber gempa di wilayah ini berasal dari aktivitas beberapa lempeng tektonik seperti lempeng laut Filipina, subduksi Sulawesi Utara, tumbukan ganda laut Maluku dan beberapa sesar-sesar aktiv lainnya seperti sesar Gorontalo dan sesar Palu Koro. Hiposenter gempa diwilayah ini bervariasi mulai dari gempa dangkal sampai gempa-gempa dalam. Antisipasi bencana gempabumi dimasa yang akan datang perlu dilakukan sedini mungkin, salah satunya adalah dengan cara menganalisis tingkat resiko gempa di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan menentukan tingkat resiko kegempaan menggunakan metode probabilitas total. Metode probabilitas total merupakan suatu metode yang digunakan dalam analisis tingkat resiko kegempaan yang memperhitungkan dan menggabungkan ketidakpastian dari skala kejadian gempa, lokasi, dan frekuensi kejadiannya untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai tingkat resiko suatu lokasi yang ditinjau. Data yang digunakan adalah data rekaman hypocenter gempa dari berbagai katalog (USGS, ANSS, BMKG dan Engdahl) dari tahun 1900-2015. Pemodelan dilakukan melalui bantuan perangkat lunak PSHA USGS. Hasil analisis hazard probabilistik di batuan dasar pada probabilitas 2% terlampaui dalam 50 tahun atau setara dengan periode ulang gempa 2500 tahun pada kondisi peak ground acceleration (T=0 detik) adalah sebesar 0.142g-2.191g sedangkan respon spektra pada periode T=1 detik sebesar 0.153g-2.352g. Dari kurva resiko yang dihasilkan menunjukkan bahwa sumber gempa yang memberikan kontribusi percepatan yang sangat besar bersumber dari gempa subduksi (megathrust) dan sesar (fault). Kata kunci : seismisitas, gempabumi, resiko, probabilitas, respon spectra, kurva resiko. Pendahuluan Pulau Sulawesi secara geologis diyakini oleh para ahli kebumian terletak pada pertemuan empat lempeng (complex junction) utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan satu lempeng mikro yaitu lempeng Laut Filipina. Akibat tekanan dari pergerakan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan interior lempeng bumi dari kepulauan Sulawesi terpecahpecah menjadi empat lengan yakni lengan selatan, lengan
tenggara, lengan timur dan lengan utara yang menyerupai huruf K. Wilayah lengan utara Sulawesi merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tingkat seismisitas yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (Pasau, 2015). Tingginya aktivitas gempa-gempa tersebut terlihat dari data gempa historik dan rekaman gempa dari berbagai katalog (Gambar 1). Gempa terbesar terakhir di lengan utara ini terjadi pada tahun 1996 dengan magnitudo M7,9.
Gambar 1. Peta Seismicitas Lengan Utara Sulawesi Sumber gempa di wilayah ini berasal dari interaksi beberapa sumber gempa diantaranya: 1). Subduksi Sulawesi Utara (North Sulawesi Trench) yang diinterpretasikan merupakan zona subduksi konvergen antara Laut Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi (Katili, 1978; Silver dkk, 1983). Zona subduksi Sulawesi Utara termasuk kedalam sistim penunjaman yang relatif tua (dying subduction) yang robekannya berkembang ke arah timur sepanjang tepian utara Sulawesi. Penunjaman Sulawesi Utara menyusup dengan sudut kemiringan sekitar 140 dan zone benioff menunjam sampai kedalaman 170-180 km dengan sudut kemiringan sekitar 450. Beberapa gempa bumi merusak yang pernah terjadi di lajur ini antara lain gempa bumi Manado 8 Februari 1845, gempa bumi Tondano 13 Desember 1858 dan gempa bumi Gorontalo 18 April 1990. Sockquet, dkk (2006) menjelaskan bahwa sliprate subduksi Sulawesi utara sebesar 42-50 mm/tahun dengan kedalaman locking 50 km terjadi di daerah megathrust. 2). Tumbukan ganda Laut Maluku. Di sebelah utara busur Banda terdapat zona tumbukan antara busur kepulauan yaitu busur Sangihe di sebelah barat dan busur Halmahera di sebelah timur. Di bawah zona tumbukan Laut Maluku yang memanjang dalam arah utara-selatan ini telah diamati adanya suatu penunjaman slab dari lempeng laut Maluku dengan konfigurasi penunjaman yang sangat unik, dimana
26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
slab dari lempeng yang sama menunjam ke dua arah yaitu barat (Gambar 2) dan timur berbentuk seperti U terbalik (Widyantoro, 2007). Kejadian gempa historik besar tercatat akibat dari tumbukan ganda ini adalah gempa dengan skala Mw 7,9 di lempeng barat Laut Maluku dan skala Mw 8,1 di lempeng Timur Laut Maluku. Dari distribusi hypocenter gempa di Lempeng Sangihe yang menunjam kea rah barat menunjukkan bahwa lempeng ini telah menembus sampai kedalaman 675,1km melewati batas mantel atas (upper mantel) dan mantel bawah (lower mantel).
gempa disuatu wilayah. Metode yang sering digunakan dalam analisis resiko gempa adalah metode probabilistik. Metode Probabilitas Total yang dikembangkan McGuire (1976) berdasarkan konsep probabilitas dari Cornell (1968). Metode PSHA adalah analisis resiko gempa probabilistik yang memperhitungkan dan menggabungkan ketidakpastian dari skala kejadian gempa, lokasi dan frekuensi kejadiannya untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai tingkat resiko gempa (Tim Revisi Gempa, 2010). Resiko gempa adalah kemungkinan terlampauinya (probability of exceedance ) suatu gempa dengan intensitas tertentu selama suatu masa guna bangunan. Saat ini, peraturan bangunan internasional terbaru untuk bangunan tahan gempa menggunakan peta resiko kegempaan dengan resiko terlampaui sebesar 2 % selama masa guna bangunan 50 tahun (2% probability of exceedance in 50 years) atau setara dengan periode ulang gempa 2475 tahun berdasarkan peraturan-peraturan gempa modern. Data dan Metoda
Gambar 2. Penampang melintang Tumbukan Laut Maluku 3). Sesar Gorontalo. Pada bagian utara Pulau Sulawesi, secara morfologi akan terlihat kenampakan empat segmen sesar (Hall dkk, 2000). Bagian tengah dari utara Pulau Sulawesi terbagi kedalam tiga block yang kecil. Pada bagian timur dari lengan utara Pulau Sulawesi diberi nama Block Manado, yang bebas dari pengaruh North Sula Block. Sehingga secara geologi jelas terlihat pemisahan yang diakibatkan adanya Sesar Gorontalo. Sesar Gorontalo yang memanjang dari arah barat laut ke tenggara yaitu mulai laut Sulawesi melewati Gorontalo hingga perairan Teluk Tomini, dan mekanisme sesarnya adalah sesar menganan (right lateral slip). Sequet dkk (2006), memperkirakan bahwa slip rate Sesar Gorontalo sekitar 11-12 mm/tahun dengan kedalaman locking sekitar 10 km. Upaya mitigasi gempa bumi perlu dilakukan untuk memperkecil dampak dari bencana gempa-gempa tersebut. Salah satu upaya mitigasi adalah melakukan analisis resiko
Lokasi Penelitian meliputi Lengan Utara Pulau Sulawesi atau berada pada Bujur 1190BT-1270BT dan Lintang 00LU40LU. Wilayah penelitian dibagi kedalam grid-grid yang setiap gridnya berukuran 0.1o x 0.1o (longitude, latitude) sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 3200 site. Data yang digunakan adalah data hypocenter gempa dari berbagai katalog (USGS, ANSS, BMKG dan Engdahl) dari tahun 1900-2015 atau kurun waktu 115 tahun. Data gempa yang terkumpul dari berbagai katalog tersebut mempunyai skala magnitudo berbeda-beda oleh karena itu maka harus diseragamkan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam analisis. Penyeragaman skala magnitudo gempa dilakukan dengan cara mengkonversi berbagai skala magnitudo kedalam skala magnitudo momen (momen magnitude, Mw). Kanamori (1979) dan Christophersen (1999) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa momen magnitudo merupakan besaran magnitudo gempa yang terbaik dan konsisten dalam menunjukkan besar kekuatan gempa. Selanjutnya sortir gempa yang merupakan proses pemisahan antara gempa utama (mainshock) dari gempagempa rintisan (foreshock) dan gempa-gempa susulan (aftershock) dengan menggunakan kriteria rentang waktu dan rentang jarak menggunakan Metode Gardner & Knopoff (1974). Skala magnitude minimum yang digunakan adalah Mw≥5 dengan kedalaman maksimum 300 km. Selanjutnya pemodelan dilakukan dengan bantuan beberapa perangkat lunak seperti ZMAP (Wiemar, 2001), PSHA-07 USGS (Harmsen, 2007), Microsoft Excel, dan Surfer. Model sumber gempa yang digunakan dalam pemodelan ada tiga yakni, sumber gempa sesar, sumber gempa subduksi (megathrus) dan sumber gempa background. Parameter seismik yang digunakan dalam analisis resiko kegempaan antara lain a-b value, magnitudo
27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
maksimum, slip rate, dan fungsi atenuasi. Parameter seismik tersebut merupakan karakteristik kegempaan dari suatu wilayah. Hasil analisis resiko gempa berupa percepatan puncak di batuan dasar (peak ground acceleration) dan respons spektra pada periode T=1 detik untuk probablitas terlampui 2% dalam 50 tahun atau setara dengan periode ulang gempa 2500 tahun. Selain percepatan juga dihasilkan kurva hazard yang merupakan hubungan antara laju kejadian pertahun (annual rate of exceedance) terhadap besar hazard (dalam percepatan). Kurva hazard juga digunakan untuk mengetahui besar kontribusi (percepatan) dan laju kejadian pertahun dari beberapa sumber gempa dari suatu site yang ditinjau. Hasil dan Diskusi Data yang terkumpul dari berbagai katalog dengan magnitude 3-7.9Mw sebanyak 7563 kejadian gempa, kemudian yang menghasilkan gempa utama (main sock) sebanyak 1311 dengan kedalaman bervariasi mulai dari dangkal 6km sampai kedalaman 675km yang melewati batas diskontinuitas. Analisis respon spektra gempa bumi di lengan utara Sulawesi berupa percepatan puncak di batuan dasar dan respon spektra pada periode T= 1 detik pada probabilitas 2% terlampaui dalam 50 tahun. Hasil analisis pada kondisi puncak (PGA) atau pada periode T=0.0 detik menunjukkan bahwa nilai percepatan maksimum di wilayah lengan utara Sulawesi bervariasi mulai dari 0.142g-2.191g. Wilayah dengan tingkat resiko yang tinggi adalah wilayah yang dilewati sumber gempa dan wilayah yang dekat dengan sumber–sumber gempa. Wilayah yang berisiko akibat dilewati oleh sumber gempa adalah Kota Gorontalo karena dilewati oleh sesar Gorontalo dengan percepatan sekitar 0.8g. Sedangkan wilayah yang paling berisko adalah wilayah berada sekitar pantai timur seperti Bitung dengan nilai 1.2g, Minahasa bagian selatan 1.0g, Minahasa Tenggara bagian selatan sebesar 1.0g dan Bolang Mongdow Timur sebesar 0.9 g. Wilayah bagian utara yang beresiko cukup tinggi yakni sekitar Kabupaten Toli-toli dengan percepatan puncak dibatuuan dasarnya sebesar 0.7g, dan Kabupaten Mongondow Utara juga sebesar 0.7g. Hasil analisis respon spektra pada periode T=1 detik menunjukkan bahwa nilai percepatan gempa di wilayah lengan utara bervariasi mulai dari 0.153g sampai 2.352g dengan wilayah-wiayah yang beresiko juga berada pada wilayah-wilayah yang dilewati atau cukup dekat dengan sumber gempa sesar dan subduksi. Hasil analisis resiko gempa juga disajikan dalam bentuk kurva hazard untuk mengetahui kontribusi masing-masing sumber gempa yang sangat signifikan dapat terjadi dan sangat rentan terhadap suatu site yang ditinjau. Hasil analisis kurva hazard adalah merupakan hubungan antara
laju kejadian pertahun (annual rate of exceedance) terhadap besar hazard (percepatan gerakan tanah) yang terjadi. Dalam makalah ini diambil sampel dua kota pada lengan utara yakni satu kota yang terletak pada bagian utara yakni Lolak Kabupaten Mongondow Utara dan satu Kota yang terletak di selatan yakni Belang merupakan salah satu Kecamatan di Minahasa Tenggara. Kurva resiko pada kondisi peak ground acceleration (PGA) dari salah satu kota yang disebelah utara lengan utara yakni Kota Lolak, Bolang Mongondow (Gambar 3) menunjukkan bahwa sumber gempa yang memberikan percepatan gempa yang paling besar yakni sumber gempa subduksi (megathrust). Sumber gempa ini berasal dari aktifitas megathrust Subduksi Sulawesi Utara, yang berada di kedalaman 050km. Sumber gempa lain yang memberikan kontribusi yang cukup besar yakni sumber gempa shallow background. Sumber gempa ini berada pada kedalaman kurang dari 50 km.
Gambar 3. Kurva Hazard kondisi PGA di Mongondow Utara (Lolak) Hal yang menarik dari tingginya nilai kontribusi dari shallow ini adalah bahwa diduga masih ada sumber-sumber gempa sesar (fault) disekitar Kota Lolak yang tidak termasuk dalam sumber gempa yang digunakan pada pemodelan. Oleh sebab itu maka perlu dilakukan kajian lebih mendetail baik melalui studi geologi maupun geofisika pada wilayah tersebut untuk memetakan kemungkinan adanya sesar baik yang muncul di permukaan ataupun sesar yang terkubur (buried fault) di bawah permukaan bumi. Dari gambar 3 juga ditunjukkan bahwa laju kejadian pertahun dari Kota Lolak didominasi oleh gempa-gempa dalam yang dalam penelitian ini didefenisikan berada pada kedalaman 50-300km. Sedangkan kurva resiko dari salah satu site di Minahasa Tenggara yakni Belang (Gambar 4) menunjukkan bahwa sumber gempa yang memberikan kontribusi terbesar adalah sumber gempa dari aktivitas lempeng Sangihe yang menunjam ke arah barat. Sedangkan laju kejadian pertahunnya dari site ini umumnya didominasi oleh gempagempa dalam.
28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Ucapan Terima Kasih Ucapan terimah kasih kami sampaikan kepada pihak Ristek Dikti (DRPM Ditjen Penguatan Risbang) atas dukungan dana yang diberikan sehingga penelitian ini boleh berjalan. Terima kasih juga disampaikan kepada Panitia Seminar Nasional Geofisika UNHAS atas kepercayaan yang diberikan untuk mempresentasikan penelitian ini, sekaligus mempublikasikannya dalam bentuk prosiding.
Gambar 4. Kurva Hazard kondisi PGA di Minahasa Tenggara (Belang) Kesimpulan Dari hasil analisis respon spektra gempa bumi di batuan dasar lengan utara Sulawesi pada probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Percepatan punck di batuan dasar pada kondisi peak ground acceleration sebesar 0.142g-2.191g sedangkan respon spektra pada periode T=1 detik berkisar 0.153g2.352g. 2. Sumber gempa yang menimbulkan resiko paling besar bersumber dari sumber gempa subduksi (megathrus) dan sesar (fault). 3. Wilayah-wilayah yang dekat atau dilalui sumber gempa merupakan wilayah yang sangat rawan akan resiko gempa bumi. Pustaka
Gardner, J.K. and Knopoff, 1974. Seimological Society of America, 64, p.1363-1367 Hall, R. dan Wilson, M.E.J, 2000, Asian Earth Sciences, 18, 781–808 Harmsen, S. 2007. U.S. Geological Survey. Katili, J. (1978), Tectonophysics, 45, 289-322. Pasau, G., dan Tanauma, A, 2015, Spektra, 16, 6-10. Silver, E.A., McCaffrey, R. dan Smith, R.B. (1983b), Geophysical Research, 88, 9407-9418 Socquet, A., Vigny C. 2006, Geophysical Research, 111, B08409. Tim Revisi Gempa Indonesia., 2010. Peta Hazard Gempa Indonesia Widyantoro, S., 2007, Fisika dan Struktur Interior Bumi, BMKG. Wiemar, S., 2001, Seismological, 72 373-382.
29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisis Data Seismik dengan Menggunakan Metode Spike dan Noise Burst Edit Bambang Hari Mei dan Hasanuddin Laboratorium Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar Email:
[email protected] Abstrak
Metode Spike noise
Telah dilakukan penelitian tentang atenuasi spike noise pada 1 buah lintasan seismik 2D zona darat. Dalam melakukan analisis data menggunakan metode spike and noise burst edit. Aplikasi metode spike and noise burst edit akan melakukan subtraksi dari data seismogram yang mengandung spike noise, sehingga yang tersisa adalah refleksi primer. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa metode spike and noise burst edit cukup efektif untuk mereduksi pengaruh spike noise, khususnya spike noise di darat pada kedalaman 3000-4000 ms .
Spike noise terjadi karena pada saat proses perekaman data seismik di lapangan dengan menggunakan geophone sebagai alat perekam gelombang seismik, geophone tersebut juga merekam gelombang yang biasa disebut noise dan pada kasus muncuknya spike noise pada data seismik yang disebabkan oleh aktifitas kendaraan, manusia serta adanya hewan disekitar lokasi perekaman data.
Kata Kunci : spike noise, Atenuasi, spike and noise burst edit Abstract Research about Spike Noise rediction on 1 line seismic 2D of land zone has been done. In this research using Spike and Noise Burst Edit method. Aplication Spike and Noise Burst Edit method will be do separation between primary reflection with Spike Noise. Spike Noise which done apart by primary reflection and than mute, so it remained is primary reflection. This research show that Spike and Noise Burst Edit method is effective to reduce Spike Noise effect, especially land zone in depth 3000-4000 ms. Keywords : spike noise, Atenuation, spike and noise burst edit Pendahuluan Dalam survei seismik, suatu jejak seismik yang ideal mestinya hanya berisi signal data yaitu sederetan spike two way time yang berkaitan dengan reflektor di dalam bumi. Namun pada kenyataannya dalam jejak seismik tersebut juga terdapat noise. Dan salah satu noise yang ada pada data seismik adalah spike noise yang merupakan salah satu jenis noise yang berasal dari alam yang muncul pada data seismik yang biasa berbentuk paku, sehingga analisis jejak diperlukan untuk mengindentifikasi sinyal dan bising untuk meningkatkan signal to noise ratio. Adapun tujuan dalam melakukan analisis data seismik untuk Analisis data seismik untuk memisahkan sinyal dan bising dan menentukan pengaruh spike noise burst edit terhadap data SEG-Y .
Noise jenis seperti ini akan muncuk dalam data seismik seperti spike (paku) yang memiliki cirri amplitudo tinggi dan frekuensi rendah serta selalu muncul dalam setiap penembakan (shot) di lapangan. spike and noise burst edit adalah merupakan metode yang bertujuan untuk mengedit spike yang muncul pada data seismik, dengan cara menyisipkan jejak seismik yang memiliki spike noise dengan jejak seismik yang berdekatan, dimana spike noise yang dihilangkan akan di gantikan dengan bagian jejak seismik yang berdekatan. Amplitudo jejak seismik yang sebelumnya akan disamakan akan disesuaikan dengan amplitudo jejak seismik yang ada disekelilingnya, dengan metode ini pula akan mempercepat proses dari pengolahan data yang ada. Metodologi Data yang digunakan berasal dari lapangan Unhas, sebagai processing digunakan perangkat lunak Sun Microsystem (Sun Blade 2000) dan software ProMAX 2D version 2003.3.3 TM (Landmark). Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data seismik darat 2D yang terdiri atas 1 lintasan, data tersebut terdiri dari :Observer report adalah laporan yang dibuat pada saat akuisisi data di lapangan digunakan untuk melengkapi raw data data dan segai petunjuk dan acuan untuk proses selanjutnya. Observer report ini memuat parameter-parameter seperti : 1. Daerah lintasan 2. Koordinat arah lintasan 3. Jenis Penembakan yang digunakan di lapangan 4. Posisi antara sumber getar(source) dan penerima (receiver). Data mentah (Raw data) adalah rekaman data seismik pada saat akuisisi data di lapangan yang masih belum dilengkapi dengan geometry penembakan dilapangan dan direkam dalam format SEG-Y.
30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Pemrosesan Data Pemrosesan data seismik untuk tugas akhir ini menggunakan suatu perangkat lunak yang disebut ProMAXTM. 2003.3.3 yang diproduksi oleh Landmark. Software ini merupakan software produksi terbaru dari Landmark dimana memiliki keunggulan tersendiri salah satunya adalah user friendly sehingga penggunanya tidak memiliki kesulitan dalam menjalankan dan mengeksekusi tahapan-tahapan dalam mengolah data seismik dari mulai data mentah hingga penampang seismik.Tahapan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:Masukan Data Perekaman di Lapangan.Input data adalah hal pertama yang dilakukan dalam pengolahan data seismik. Pada tahap ini dilakukan pembacaan data seismik, sudah sesuai dengan standar atau parameter yang ditentukan oleh media penyimpan (tape) data seismik tersebut.
Gambar 1a. Raw Data
Gambar 1c. Display Penembakan 78
Gambar 1d. Penampang Hasil Pengolahan Konvensional
Gambar 1b. Display Penembakan 1
Gambar 1e. Penampang Hasil Pengolahan dengan Aplikasi Spike and Noise burst edit
31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 1f. Brute Stack Dengan Cara Konvensional
Gambar 1g. Brute Stack Dengan Cara Spike and Noise Burst Edit Diskusi dan Pembahasan Penampang 1 Penampang I dapat dilihat pada gambar 1a, 1b dan 1c. Proses awal yang dilakukan dalam pengolahan data secara konvensional yaitu memberikan identitas pada data mentah (raw data) dengan menggunakan laporan pengamatan lapangan (observer report) sebagai masukannya. Data mentah yang telah memiliki identitas kemudian dikoreksi data geometrinya dengan tetap berpedoman pada laporan lapangan. Hasil dari tahapan ini berupa stacking chart yang menunjukkan bentuk pola penembakan yang dilakukan pada saat akuisisi data di lapangan. Setelah tahapan koreksi geometri selesai Kemudian dilakukan proses pengeditan trace dengan menggunakan cara secara sederhana atau biasa disebut basic processing yaitu melakukan melakukan edit trace dalam setiap penembakan dalam data seismik yang ada yang biasa disebut trace muting . Dalam pengolahan data itu sendiri, diaplikasikan beberapa proses diantaranya TAR, koreksi NMO, analisa kecepatan dan penggabungan CDP. Setiap proses yang dijalankan memiliki tujuan yang berbeda namun saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. True Amplitude Recovery atau sering disebut sebagai gain adalah proses penguatan amplitudo sehingga setiap titik pada bidang reflektor seolah-olah datang sejumlah energi yang sama. Adanya pengurangan energi gelombang seismik pada saat menjalar melalui medium bawah permukaan diakibatkan oleh adanya spherical divergence dan absorbsi dari batuan non elastis.
Edit trace dan trace muting adalah proses yang sama-sama bertujuan untuk menghilangkan atau memotong jejak seismik (trace) yang mengandung unsur-unsur yang tidak diinginkan. Proses ini dilakukan secara manual dan terbagi atas tiga jenis yaitu top mute,bottom mute, dan surgical mute dengan memperhatikan bentuk dan kualitas dari trace, apakah ia mengandung unsur yang tidak diinginkan atau tidak. Trace yang ditemukan kurang baik selanjutnya diaplikasikan edit trace atau trace muting. Analisa kecepatan adalah proses pemilihan kecepatan yang sesuai/terbaik yang akan digunakan pada proses selanjutnya, dalam hal ini untuk koreksi NMO dan stack. Data masukan yang digunakan untuk melakukan analisa kecepatan adalah data hasil edit trace . Hasil dari analisa kecepatan yang telah dilakukan yaitu berupa tabel kecepatan yang selanjutnya digunakan sebagai masukan untuk koreksi NMO. Koreksi NMO sendiri dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh jarak antara sumber dan penerima. Proses akhir yang dilakukan adalah stack, yaitu proses dimana terlihat bahwa sinyal yang koheren akan saling menguatkan dan noise yang inkoheren akan saling menghilangkan. Data masukan pada proses ini diurutkan berdasarkan CDP, dimana data dari setiap penembakan pertama hingga terakhir digabungkan menjadi satu bagian setelah melakukan stack maka data seismik yang ada akan memebentuk suatu tampilan awal pada data seismik yang biasa disebut Brutestack dengan adanya Brutestack merupakan acuan untuk melakukan pengolahan data yang lebih lanjut lagi atau sebagai tolak ukur untuk hasil berikutnya pada pengolahan data seismik. Penampang II Proses dasar juga diaplikasikan untuk menghasilkan Penampang II dapat dilihat pada gambar 1d Proses tersebut antara lain adalah TAR dan Koreksi NMO dan stack, hal ini dapat dikatakan pemrosesan secara konvensional. Selain itu kita juga masih tetap menggunakan tabel kecepatan yang sama. Perbedaan mendasar terletak pada pengaplikasian tools Spike and noise burst edit. Gambar 1e mempelihatkan penampang sesimik melalui pemrosesan data dengan metode Spike. pada saat data ditampilkan hasil data yang telah diproses melalui tahapan koreksi geometri selanjuntya dilakukan editing trace yang dilakukan pada setiap penembakan pada data seismik sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya dikarnakan data terbagi atas 3 bagian. Beberapa aplikasi yang kita terapkan untuk metode spike and noise burst edit antara lain : spike detection threshold value, operator length, threshold to trip noise edit. Semua aplikasi tadi diterapkan dengan maksud untuk menghilangkan spike noise yang ada pada data seismik serta untuk meningkatkan signal to noise ratio yang tinggi.
32
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Kesimpulan 1. Pada proses pengolahan data seismik Spike Noise yang ada pada data dapat dihilangkan dengan melakukan editing sehingga antara sinyal dan bising dapat dipisahkan dan akan meningkatkan kualitas dari data seismik itu sendiri 2. Pada proses Spike and noise burst edit cukup dengan memasukkan nilai-nilai pada data dan akan di jalankan secara otomatis pada setiap penembakan pada data seismik yang mengandung Spike Noise, sehingga tidak perlu lagi melakukan edit trace pada data seismik, dan tentunya akan meningkatkan kualitas data (signal to noise ratio) Saran Hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan data yang baik dan benar diantaranya adalah : 1. Pemilihan nilai-nilai yang akan digunakan pada pengisian untuk spike and noise burst edit harus diperhatikan secara seksama agar dapat mencapai hasil yang sempurna pada data seismik. 2. Pada pemrosesan data seismik harus memperhatikan langkah-langkah yang akan digunakan untuk mengolah data sehingga dapat meningkatkan kualitas data seismik (signal to noise) yang tinggi.
Daftar Pustaka Koesoemadinata, R. P., 1978, , ITB, Bandung. Munadi, S. 2000. Universitas Indonesia. Jakarta. Russel, B.H. 1997. Hampson Russel Software Services Ltd. Calgary, Sukmono, S, 1999. ITB, Bandung. Sukmono, S, 2000. ITB, Bandung.
33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
PEMETAAN AKUIFER DI UNSRAT UNTUK INVENTARISASI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR TANAH SECARA BERKELANJUTAN As’ari1), Seni Herlina J Tongkukut1) 1) Program Studi Fisika Universitas Sam Ratulangi, Manado email :
[email protected] Sari Pembangunan gedung-gedung kampus berdampak pada proses penyerapan air ke dalam tanah, dan akan berpengaruh pada siklus hidrologi di bawah permukan. Sementara kebutuhan air tanah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Telah dilakukan pemetaaan sebaran dan potensi cekungan air tanah di Kampus Universitas Sam Ratulangi Manado. Metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Wenner-Schlumberger digunakan untuk memperoleh model sebaran dan potensi cekungan air tanah. Pengukuran dilakukan pada 6 lintasan, 48 elektroda dan spasi elektroda 6 m, menggunakan resistivitymeter MAE X612 EM. Data pengukuran diolah menggunakan software RES2DINV, hasil pengolahan berupa tampang lintang 2 dimensi. Akuifer air tanah dengan resistivitas ≤ 7,5 Ωm, potensi akumulasi akuifer air tanah besar ditemukan pada : lintasan 1 elektroda ke 26 – 30 dengan kedalaman 11 m – 48 m, elektroda ke 35 – 39 dengan kedalaman ≥ 6 m; lintasan 3 elektroda ke 24 – 37 dengan kedalaman 9 m – 45 m. Kata kunci: Wenner-Schlumberger, akuifer, resistivitas Pendahuluan Airtanah merupakan air yang terkandung dalam lapisan batuan berpori di bawah permukaan tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah (PPRI, 2008). Airtanah mengalami siklus, air laut, air sungai dan air danau menguap naik ke atmosfer. Proses kondensasi merubah uap air menjadi titiktitik air, yang Karen massanya kemudian jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan. Air hujan di permukaan tanah sebagian meresap ke dalam lapisan tanah, sebagian ada yang mengalir di permukaan tanah sebagai sungai. Sungai mengantarkan air ke danau atau air mengalir kembali ke laut. Sementara itu, air yang meresap ke bawah permukaan bumi melalui dua sistem, yaitu sistem air tidak jenuh (vadous zone) dan sistem air jenuh. Sistem air jenuh adalah air bawah tanah yang terdapat pada suatu lapisan batuan dan berada pada suatu cekungan air tanah. Sistem ini dipengaruhi oleh kondisi geologi, hidrogeologi, dan gaya tektonik, serta struktur bumi yang membentuk cekungan air tanah tersebut. Air ini dapat tersimpan dan mengalir pada lapisan batuan yang kita kenal dengan akuifer (aquifer)
(Hadian dan Abdurahman, 2006). Akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah cuku dan ekonomis (PPRI, 2008) Air tanah dapat terbentuk di suatu daerah sesuai dengan proses pembentukannya. Pada umumnya air tanah terbentuk karena air permukaan mengalami peresapan ke dalam tanah. Dari segi material batuan penyusun tanah, terdapatnya air tanah dapat dipengaruhi oleh bentuk atau ukuran butiran, susunan butiran, pemadatan dan sementasi. Air permukaan yang telah mengalami peresapan ke dalam tanah akan bergerak bebas mengisi pori-pori dan celahcelah dari butiran batuan tersebut (Supriyadi, 1991). Kebutuhan air bersih yang bersumber dari air bawah tanah di daerah tertentu meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan (Hidayat, 2007). Untuk melayani kebutuhan air bersih yang bersumber dari air tanah tersebut, perlu diketahui potensi air tanah baik secara kuantitas maupun kualitas. Seiring dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan air semakin meningkat baik untuk keperluan kehidupan seharihari manusia, peternakan maupun pertanian. Daerah resapan air digunakan sebagai daerah pemukiman, dan sebagai akibatnya daerah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan air penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Pada musim kemarau, suatu daerah dapat mengalami kekurangan air, sebaliknya pada musim hujan daerah tersebut terkena banjir. Salah satu masalah yang mungkin timbul adalah apakah air yang disimpan tersebut masih berada dalam reservoir yang kita inginkan atau barangkali sudah berpindah (migrasi) ke tempat lain. Migrasi air laut atau daerah pantai yang berpasir juga merupakan masalah yang menggangu penyediaan air layak minum. Untuk itu monitoring intrusi air laut perlu dilakukan untuk mengurangi dampak yang mungkin terjadi seperti kualitas air yang digunakan dan korosi pada fondasi bangunan (Zubaidah dan Kanata, 2008). Air tanah dalam pemanfaatannya harus memperhatikan kelestariannya, antara lain tetap menjaga area serapan air hujan dengan meniadakan halangan pada jalan meresapnya air ke bawah permukaan tanah. Recharge area adalah daerah yang menyediakan sarana utama untuk pengisian air tanah, recharge area alami yang baik adalah daerah dimana
34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
airpermukaan mampu meresap menjadi air tanah. Jika daerah resapan berhenti berfungsi dengan baik, mungkin tidak ada air tanah yang cukup untuk disimpan dan digunakan. Perlindungan daerah resapan memerlukan sejumlah tindakan berdasarkan pada dua tujuan utama. Tujuan tersebut adalah (1) memastikan bahwa lahan yang sesuai untuk recharge area harus terus dipertahankan dan tidak diubah menjadi infrastruktur perkotaan, seperti bangunan dan jalan, dan (2) mencegah polutan memasuki air tanah (Riastika, 2012). Air tanah tersimpan dalam suatu wadah (akuifer), yaitu formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis. Formasi geologi dapat dieksplorasi dengan menggunakan metode geofisika, metode geolistrik tahanan jenis dapat digunakan untuk memetakan perlapisan tanah. As‟ari, 2011 memetakan air tanah di Kabupaten Jeneponto dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger dan diolah dengan menggunakan software IP2Win. Data dan Metoda Penelitian dilakukan dengan menggunakan survei geolistrik tahanan jenis, survei ini merupakan metode eksplorasi geofisika yang ramah lingkungan dan bersifat tidak merusak. Akuisisi data dilaksanakan dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam permukaan tanah melalui dua buah elektroda arus A dan B. Besaran yang terekam berupa beda potensial listrik yang terukur melalui dua buah elektroda potensial M dan N. Eksplorasi lateral atau mapping dalam konfigursi Wenner, spasinya tetap dan keempat elektroda bergerak bersamaan sepanjang lintasan (Telford, dkk., 1990). Eksplorasi dengan konfigurasi Schlumberger ditujukan untuk mengetahui kondisi lapisan tanah bawah permukaan secara vertikal. Data yang yang terekam dari pengukuran ini berupa kuat arus (I), beda potensial (V) dan jarak spasi a. Konsep lebih teknis matematis dipaparkan dalam Parasnis, (1997). Pada penelitian ini akuisisi data dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Wenner-Schlumberger.
Gb. 1 Susunan elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger Lokasi penelitian dilaksanakan di area dalam Kampus Universitas Sam Ratulangi. Pengambilan data dilakukan pada 6 lintasan. Panjang setiap lintasan adalah 480 m, dengan spasi antar elektroda 10 m, digunakan 48 buah elektroda. Lintasan pengukuran terdapat Gambar 2. Faktor
geometri konfigurasi Wenner-Schlumberger yang digunakan untuk menghitung nilai resistivitas adalah ( ) 𝐾
Gb. 2 Lintasan pengukuran di area Kampus Universitas Sam Ratulangi Manado Hasil perhitungan pengukuran adalah nilai tahanan jenis semu dibawah lintasan ukur hingga kedalaman tertentu. Nilai tahanan jenis yang relatif tinggi berasosiasi dengan batuan kering, batuan beku, bedrock ataupun lainnya. Nilai tahanan jenis yang relatif rendah berasosiasi dengan batuan basah, lapisan penutup basah, saluran air/celah/retakan yang mengandung air ataupun logam, sehingga dengan mengetahui jenis batuan/geologi lokal setempat , nilai-nilai tahanan jenis tersebut dapat dikonversikan ke jenis batuan/tanah/struktur bawah permukaan. Data geolistrik diperoleh dengan menggunakan alat Resistivitymeter MAE X612 EM. Hasil pengukuran diolah dengan menggunakan software RES2DINV unruk mendapatkan gambaran tampang lintang tahanan jenis tanah permukaan. Selanjutnya dari model tampang lintang yang dperoleh diinterpretasikan untuk masing-masing lintasan, dan dianalisis kemungkinan keberadaan lapisan batuan dimana air berasosiasi dengan batuan tersebut. Tabel 1. Nilai resistivitas beberapa material dan batuan (Loke, 1999 dalam Sismanto dkk, 2003) Material Resistivitas Sedimentary rocks Sandstone 8-4x103 Shale 20-2x103 Limestone 50-4x102 Soils and waters Clay 1-100 Alluvium 10-800 Groundwater(fresh) 10-100 Sea Water 0.2
35
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Hasil dan Diskusi Data yang diperoleh dari pengukuran diolah menggunakan software RES2DINV, menghasilkan gambar tampang lintang 2 dimensi kontur resistivitas. Diperoleh perkiraan keberadaan lapisan pembawa air yang beragam pada tiap lintasan. Kondisi geologi daerah penelitian terdiri atas tanah liat, tanah pasiran dan batu-batu besar yang terbenam dalam tanah.
tidak terlalu besar, sehingga potensi ketersediaan air tanah kecil. Tampang lintang resistivitas lintasan 2 terlihat pada Gambar 5.
Lintasan 1 memperlihatkan keberadaan akuifer di beberapa tempat, seperti Gambar 3.
Gb. 4 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 2
Gb. 3 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 1
Lapisan tanah pembawa air tanah tampak berupa kantongkantong, akuifer air tanah dengan resistivitas ≤ 7,5 Ωm,. Potensi akumulasi akuifer air tanah besar ditemukan pada : Akuifer 1 elektroda ke 26 – 30 dengan kedalaman 11 m – 48 m, akuifer 2 pada elektroda ke 35 – 39 dengan kedalaman ≥ 6 m. Sedang lapisan tanah dengan resistivitas 7,5 < ρ ≤ 15 Ωm merupakan lapisan penyangga, yang berarti lapisan ini mengandung air tanah tetapi akan mengalami pasang surut. Jika pada musim hujan akan naik dan sebaliknya pada musim kemarau air akan menyusut atau surut. Tampang lintang lintasan 2 pada Gambar 4 memperlihatkan beberapa lokasi akuifer air tanah. Lokasi akuifer terdapat pada elektroda ke 4- 8 (meter ke 40-80) dengan kedalaman 10 m, elektroda ke 29 – 32 dengan kedalaman 11 – 20 m, dan elektroda ke 34 – 36 dengan kedalaman 12 – 22 m. Akuifer pada lintasan 2 ini terlihat
Gb. 5 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 3 Pada lintasan 3 diperoleh 3 akuifer potensial dengan akumulasi air tanah dalam jumlah besar. Akuifer 1 pada
36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
posisi elektroda ke 16 – 19 dengan kedalaman 11 – 39 m, akuifer 2 pada elektroda ke 24 – 29 dengan kedalaman 6 – 44 m, akuifer 3 pada posisi elektroda ke 33 – 37 dengan kedalaman 10 – 33 m. Akuifer 2 dan akuifer 3 mempunyai daerah penyangga air tanah ( 7,5 Ωm – 15,2 Ωm ) yang saling berhubungan, akuifer 2 mempunyai kantong yang lebih dalam dan lebih besar. Sehingga akuifer 2 merupakan akumulasi paling potensial pada lintasan 3 ini.
ke 342 – 370 dengan kedalaman 0,5 – 16 m, dan akuifer 3 pada posisi meter ke 385 – 450 dengan kedalaman 0,5 – 17 m.
Tampang lintang lintasan 4, terlihat pada Gambar 6. Pada lintasan 4 terdapat 3 akuifer, akuifer 1 pada posisi elektroda ke 35-90 dengan kedalaman ≥ 15 m, akuifer 2 pada meter ke 255 – 280 dengan kedalaman dari permukaan sampai 15 m, akuifer 3 pada posisi meter ke 295 – 340 dan kedalamannya 10 – 30 m. Pada lintasan 4, akuifer 1 diduga mempuntai jumlah akumulasi airtanah paling besar dibandingkan kedua akuifer yang lain
Gb. 7 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 5
Gb. 6 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 4
Tampang lintang resistivitas bawah permukaan pada lintasan 5 taerlihat pada Gambar 7. Terlihat pada Gambar 7 kondisi sebaran resistivitas pada lintasan 5. Pada lintasan 5 tidak ditemukan akumulasi air tanah dalam jumlah besar, akuifer kecil terdapat pada posisi meter ke 105 – 130 pada kedalaman 5 – 25 m. Kondisi akuifer air tanah pada lintasan 6 tampak pada Gambar 8. Diperoleh 3 akuifer dalam jumlah yang relatif besar, akuifer 1 di posisi meter ke 40 -90 dengan kedalaman 22 – 39 m, akuifer 2 terletak pada posisi meter
Gb. 8 Tampang lintang resistivitas pada Lintasan 6
37
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Potensi akumulasi air tanah yang potensial terdapat pada lintasan 1: akuifer 1 dan akuifer 2; lintasan 2: akuifer 1, akuifer 2 dan akuifer 3, akuifer 2 dan akuifer 3 mempunyai lapisan penyangga yang sama; lintasan 4 : akuifer 1 dan akuifer 3; lintasan 6 ada pada akuifer 1, akuifer yang tampak sebagian dan diperkirakan dari bentuknya mempunyai akumulasi air tanah yang besar. Kesimpulan Penelitian dengan menggunakan eksplorasi geolistrik resistivitas, akuifer air tanah dengan resistivitas ≤ 7,5 Ωm, diperoleh posisi akumulasi akuifer air tanah potensial pada: 1.Lintasan 1 elektroda ke 26 – 30 dengan kedalaman 11 m – 48 m (akuifer 1), pada elektroda ke 35 – 39 dengan kedalaman ≥ 6 m (akuifer 2). 2.Lintasan 3 pada posisi elektroda ke 16 – 19 dengan kedalaman 11 – 39 m (akuifer 1), pada elektroda ke 24 – 29 dengan kedalaman 6 – 44 m (akuifer 2). Pustaka / References As‟ari, 2011. Jurnal Sainstek Vol. III No. 1:1-7. Hadian, M.S.D., dan Abdurahman, O. 2006. Jurnal Geologi Indonesia. 61: 115-116. Hidayat, R.S. 2007. Jurnal Geologi. Provinsi Kalimantan Barat (Perpustakaan Pusat Lingkungan Geologi). 61: 205-206.
Loke, 1999 dalam Sismanto, Eddy Hartantyo, Sudarmaji. 2003. Geofisika Lingkungan. 86. Parasnis, D.S., 1997, Principles of Geophysics, 5 th ed. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah. Riastika, M. 2012. Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 9, Issue 2:86-97. Sedana, D., As‟ari, Tanauma, A., 2015. Jurnal Ilmiah Sains Vol. 15 No. 2. Supriyadi, H.I. 1991. Jurnal Geologi. Ambon. 61: 52-53 Telford, W M., Geldart, L. P., Sheriff,R. E., 1990, Applied Geophysics, Second Edition. Ucapan Terima Kasih Terimakasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Ditlitabmas) Ditjen Pendidikan Tinggi (DP2M Dikti) yang memberikan dana penelitian dan Dekan FMIPA Universitas Sam Ratulangi sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik..
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Kontrol Struktur Geologi Terhadap Vein Hidrotermal pada Batuan Metamorf Desa Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara Raivel1, La Ode Ngkoimani1, Asri Arifin1 1 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian UHO email:
[email protected]
Sari Secara geografis wilayah penelitian terletak pada koordinat UTM 948330325-9487167,5 S dan 377029,3-379851,3 E Desa Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian ini yaitu; menentukan struktur geologi; menentukan vein dan alterasi hidrotermal lebih lanjut untuk menentukan hubungan struktur geologi dan vein dan alterasi hidrotermal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi dan analisis laboratorium yaitu analisis struktur menggunakan diagram kipas dan streografis pada aplikasi software dips, vein dan petrografi khususnya untuk menentukan alterasi hidrotermal. Struktur geologi daerah penelitian terdiri dari struktur lipatan (mikro fold), kekar (shear joint 1 (N 1900E/500), shear joint 2 (N1440E/580), extension joint (N1130E/480), dan release joint (N140E/830) dengan arah tegasan maksimum (σ1) N3300 E dan tegasan minimum (σ3) N 600 E pada batuan sekis mika dan meta-sandstone. Jenis tekstur vein yang berkembang yaitu tekstur comb, vuggy, dan sacharoidal dengan alterasi hidrotermal berupa silisifikasi dan argilik. Hubungan struktur geologi dan vein hidrotermal yaitu vein laminasi membentuk alterasi silisifikasi yang mengalami deformasi membentuk mikro fold, vein hidrotermal (N2350 E/740) dengan tebal (0,2 cm) mengisi kekar shear joint dengan memotong foliasi (N1020 E/330) membentuk alterasi silisifikasi dan argilik, dan vein hidrotermal mengisi kekar release joint sejajar foliasi (N2970 E/430) dengan tebal 0,5 cm. Kata kunci: struktur geologi, tekstur vein, alterasi hidrotermal, batuan, Bombana Pendahuluan Ilmu geologi memiliki peranan sangat penting sehingga mendorong para ahli geologi untuk melakukan penelitian yang lebih detail guna melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta aspek geologi sehubungan dengan keterdapatan mineral ekonomis pada daerah tertentu dan struktur geologi merupakan salah satu faktor penentu dalam cebakan mineral tersebut dalam bentuk vein. Geologi Wilayah Rumbia Daerah Bombana khususnya daerah desa wumbubangka kecamatan rarowatu utara
secara geologi cukup menarik sebab mempunyai suatu tatanan geologi yang kompleks baik secara stratigrafi, struktur geologi, tektonika, maupun morfogenesa serta kehadiran mineral ekonomis berupa emas. Wilayah desa wumbubangka merupakan daerah aktif akan struktur geologi khususnya sesar yaitu sesar kolaka dengan arah tegasan utama N 3300 E (Surono, 2013) dan terdapat pula vein hidrotermal yang menyebabkan alterasi dan mineralisasi emas yang terdapat pada host urat kuarsa (Arifin Idrus, 2010). Urat kuarsa ini diduga sebagai hasil dari endapan fluida hidrotermal dimasa lampau yang terjebak dalam fractur akibat struktur geologi. Fluida hidrotermal tersebut memiliki suhu dan tekanan tertentu pada saat mengendapkan emas serta memberikan efek alterasi mineral-mineral primer pada batuan samping. Fadlin (2010), menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) tipe alterasi di lokasi penelitian yaitu (1) silisifikasi, (2) argilik (clay± silica), (3) klorit-karbonat dan (4) karbonisasi. Oleh sebab itu, proses pengendapan vein dan alterasi hidrotermal ini sangat berhubungan dengan kontrol struktur geologi yang terdapat pada daerah tersebut. Data dan Metode Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data primer yaitu data permukaan yang diperoleh dari hasil observasi dan pengukuran langsung di Lapangan. Semua data yang dijumpai di lapangan, baik data yang dilihat secara langsung berupa data struktur geologi, sampel vein dan batuan teralterasi maupun data yang diperoleh dengan penelitian Laboratorium. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari peta geologi regional daerah penelitian dan sekitarnya serta data penelitian sebelumnya sebagai referensi dalam penelitian dan bahan perbandingan dalam menjawab tujuan penelitian. Metode penelitian yang digunakan yaitu observasi lapangan (Sugiyono 2012), meliputi pengamatan singkapan, pengukuran kekar, serta pengambilan sampel batuan segar (fresh rock), vein dan batuan teralterasi. Analisis data lapangan untuk menentukan arah tegasan utama yang membentuk struktur geologi dengan menggunakan diagram kipas dan streografis pada aplikasi software dips, dan analisis laboratorium yaitu identifikasi sampel batuan dan vein untuk menntukan jenis tekstur vein yang berkembang
39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
dan analisis petrografi dengan menggunakan mikroskop polarisasi khususnya untuk menentukan alterasi hidrotermal.
shear joint 1 (N1900E/400), shear joint 2 (N1000E/480), extension joint (N1400E/340), dan release joint (N 2380E/820) (Gb 3).
Hasil dan Diskusi 1. Struktur geologi daerah penelitian Kenampakan lapangan, dan analisis data struktur daerah penelitian merupakan daerah dimana dikontrol oleh struktur geologi baik regional maupun secara local seperti lipatan, kekar dan sesar sehingga inilah sebagai agen celah larutan hidrotermal naik kepermukaan melalui batuan samping dan tersingkap membentuk vein dan zona alterasi hidrotermal. Berdasarkan hasil pengukuran dan data akumulasi frekuensi kekar yang diperoleh pada stasiun ini kemudian diolah dengan metoda statistik menggunakan diagram kipas dan streonet pada aplikasi software dips untuk menentukan arah tegasan utamanya. Hasil pengolahan dari data pengukuran kekar 1 dengan menggunakan diagram kipas diperoleh arah tegasan utama maksimum (1) adalah berarah N330oE atau berarah utara barat laut sampai menenggara dan arah tegasan utama minimum (3) adalah berarah N 60oE (Gb 1). Sedangkan, hasil analisis kekar dengan menggunakan metode diagram streonet diperoleh arah tegasan utama maksimum (1) adalah relatif berarah utara barat laut (N3200E) sedangkan arah tegasan minimum (3) adalah yang relatif utara timur laut (N500E) dan orientasi masing-masing jenis kekar adalah sebagai berikut;
Gb. 3. Streografis penentuan arah tegasan utama dan kedudukan masing-masing jenis kekar dari data kekar 1 (1,2) shear joint, (4) ekstension joint, (5) release joint.
Gb. 1. Digram kipas penentuan arah tegasan utama dari data kekar 1.
Gb. 4. Streografis penentuan arah tegasan utama dan kedudukan masing-masing jenis kekar dari data kekar 2 (1,2) shear joint, (4) ekstension joint, (5) release joint. Sedangkan, hasil pengolahan dari data pengukuran kekar 2 dengan menggunakan diagram kipas diperoleh hasil yang relatif sama yaitu arah tegasan utama maksimum (1) Gb. 2. Digram kipas penentuan arah tegasan utama dari data kekar 2.
40
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
berarah N345oE atau berarah utara barat laut sampai menenggara dan arah tegasan utama minimum (3) berarah N75oE atau berarah utara laut hingga selatan barat daya (Gb 3). Sedangkan, hasil analisis kekar dengan menggunakan metode diagram streografis diperoleh arah tegasan utama maksimum (1) relatif berarah utara barat laut sedangkan arah tegasan minimum (3) yang relatif utara timur laut dan orientasi masing-masing jenis kekar adalah sebagai berikut; shear joint 1 (N800E/500), shear joint 2 (N1440E/580), extension joint (N 1130E/480), dan release joint (N140E/830) (Gb 4).
lempung (clay-mineral) seperti mineral illit dengan ciri fisik yaitu memiliki warna abu-abu muda dan ukuran butir lempung (Gb 8).
Arah tegasan utama yang membentuk struktur geologi daerah penelitian seperti kekar dan lipatan (mikro fold) adalah kuadaran empat atau berarah barat laut menenggara, hal ini sejalan dengan penelitian oleh surono 2013. Keberadaan struktur geologi yang terbentuk seperti kekar maka memicu larutan hidrotermal naik kepermukaan dan tercebak membentuk vein hidrotermal yang selanjutnya terbentuk mineralisasi pada singkapan batuan pada daerah penelitian, hal ini sejalan dengan penelitian dengan penelitian oleh Arifin Idrus, 2010 dan alterasi hidrotermal fadlin 2010. 2. Tekstur Vein dan Alterasi hidrotermal daerah penelitian Jenis tekstur vein yang berkembang pada daerah penelitian yaitu primer comb, sacharoidal, vuggy silica, dengan karakteristik vein sejajar dan memotong foliasi (N1900 E/160) dengan jenis vein silica. Hal ini menunjukan bahwa daerah penelitian telah berkembang larutan hidrotermal yang mengisi rongga/kekar yang terbentuk dan mengakibatkan batuan disampingnya teralterasi. Jenis alterasi yang terletak pada vein hidrotermal yaitu alterasi selisifikasi pada batuan meta-sandstone dengan mineral ubahan yaitu silika (100%) dan argilik pada batuan sekis mika dengan mineral ubahan lempung (100%) (Gb 8). Berdasarkan pengamatan dengan mikroskopis pada conto batuan metasandstone sayatan RV/11 memiliki karateristik sifat optik yaitu warna absorbsi rendah dengan warna interferensi putih keabu-abuan, tekstur klastik dengan bentuk butir subangular - subrounded , terdiri atas mineral Kuarsa (SiO2) (85%), Kuarsa Sekunder (SiO2) (5%), Biotit (K(Mg,Fe)3(Al,Fe)Si3O10(OH,F)2) (6%) dan mineral Opak (4%). Batuan ini sudah termalihkan menjadi metasandstone. Pembentukan tipe alterasi selisifikasi ini diinterpretasikan sebagai hasil proses larutan hidrotermal sehingga terjadi penambahan mineral kuarsa dan perubahan mineral kuarsa primer menjadi kuarsa sekunder pada batuan meta-sandstone. Sedangkan pada bagian samping batuan terbentuk mineral ubahan yaitu lempung pada batuan sekis mika membentuk alterasi argilik. Berdasarkan pengamatan secara megaskopis kenampakan alterasi ini berwarna abu-abu kehitaman dan batuan ini didominasi mineral ubahan yaitu
Gb. 5. (a) Tekstur vein comb, (b) sacharoidal, (c) vuggy silica pada meta-sandstone
41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
atau mikro fold dibeberapa tempat penelitian. Lipatan antiklin mikro fold ini tebentuk pada vein laminasi atau parallel vein yang tersingkap pada batuan metasandstone. Arifin Idrus (2010), menyatakan bahwa karakteristik vein seperti ini disebut deformed vein. Keberadaan struktur lipatan antiklin dan mikro fold ini menunjukan bahwa daerah penelitian telah terjadi beberapa fase geologi. Pertama terbentuk rongga yang dilanjutkan terbentuknya vein hidrotermal. Setelah terbentuk vein hidrotermal struktur pada daerah tersebut masih berlanjut yang ditandai dengan terbentuknya mikro fold pada vein hidrotermal dengan tekstur comb, vuggy dan sacharoidal
Gb. 6. Foto mikrofotograf sayatan batuan meta-sandstone teralterasi sayatan RV/12b komposisi mineral tersusun oleh Kuarsa (85%), Kuarsa Sekunder (5%), Biotit (6%) dan mineral Opak (4%). 3. Hubungan struktur geologi dan vein hidrotermal daerah penelitian a. Mikro fold Strutur Lipatan yang terbentuk didaerah penelitian yaitu lipatan antiklin dan mikro fold. Lipatan antiklin terbentuk pada sisipan batuan meta-sandstone yang mengandung tekstur vein hidrotermal, namun lipatan ini telah mengalami erosi sehingga sebagian sisi kiri lipatan telah hilang atau tidak terlihat lagi. Selain itu, terbentuk pula lipatan minor
Gb. 7. (a) Lipatan antiklin, (b) vein hidrotermal membentuk mikro fold pada batuan sisipan meta-sandstone b. Shear joint Strutur kekar yang terbentuk didaerah penelitian yaitu shear joint yang terisi oleh fluida membentuk vein hidrotermal yang memiliki orientasi (N2350 E/740) dengan tebal (0,2 cm) yang memotong foliasi (N1020 E/330) membentuk alterasi silisifikasi pada batuan meta-sandstone dan argilik pada batuan sekis mika. Keberadaan struktur shear joint yang terisi vein hidrotermal ini menunjukan
42
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
bahwa daerah penelitian telah terjadi proses geologi. Kekar (shear joint) terbentuk sebelum larutan hidrotermal naik kepermukaan dan tercebak dalam rekahan yang selanjutnya terbentuk tekstur vein hidrotermal seperti tekstur comb.
Gb. 9. Release joint terisi vein hidrotermal sejajar struktur meta-sandstone.
Gb. 8. Shear joint terisi vein hidrotermal memotong foliasi dengan alterasi silisifikasi dan argilik. c. Release joint Struktur release joint yang tebentuk telah terisi oleh vein hidrotermal sejajar struktur batuan meta-andstone (N2650 E/430) dengan tebal 0,5 cm. Arifin Idrus (2010), menyatakan bahwa karakteristik vein seperti ini disebut parallel vein. Karakter vein seperti ini menunjakan bahwa vein hidrotermal terbentuk setalah tebentuk struktur geologi yang selanjutnya terjadi proses perubahan batuan sedimen menjadi metasedimen sebab vein hidrotermal yang terbentuk mengikuti struktur batuan meta-sandstone. Gb. 10. Peta Struktur Geologi Daerah Penelitian Desa Wumbubangka Kec. Rarowatu Utara Kab. Bombana Pro. Sulawesi Tenggara.
43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
silisifikasi dan argilik, dan vein release joint sejajar foliasi (N2650 E/430) atau parallel vein dengan tebal 0,5 cm. Pustaka Bakosurtanal, 1992, Peta Lembar Taubonto, Bakosurtanal, Bogor. Fadlin, 2010, Karakteristik Endapan Emas Orogenik: Bulaksumur, 55281, Yogyakarta Idrus, Arifudin, et all., 2010, Metamorphic rock-hosted orogenic gold deposit, Yogyakarta: Gadjah Mada University, Department of Geological Engineering. Simandjuntak, dkk, 1993, Peta Lembar Kolaka, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Sugiyono, 2012, Metode Penelitian, Bandung, ALFABETA. Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Direktur, Geologist serta seluruh pihak yang tergabung dalam PT. Panca Logam Makmur yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk melakukan penelitian. Bapak Muh. Chaerul dan Wisnu Astaman yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan penelitian ini, serta kepada teman-teman teknik geologi UHO serta seluruh pihak yang telah mendukung selama melaksanakan penelitian hingga selesai.
Gb. 11. Peta Vein dan Alterasi Hidrotermal Daerah Penelitian Desa Wumbubangka Kec. Rarowatu Utara Kab. Bombana Pro. Sulawesi Tenggara. Kesimpulan 1. Struktur geologi yang mengotrol vein hidrotermal daerah penelitian terdiri dari struktur lipatan antiklin (mikro fold), kekar (shear joint, extension joint dan release joint) pada batuan sekis mika dan metasandstone. 2. Jenis tekstur vein yaitu tekstur comb, vuggy, dan sacharoidal dengan alterasi hidrotermal berupa silisifikasi dan argilik. 3. Hubungan struktur geologi dan vein alterasi hidrotermal yaitu vein laminasi membentuk alterasi silisifikasi yang mengalami defomasi membentuk mikro fold atau deformaed vein, vein hidrotermal (N2350E/740) dengan tebal (0,2 cm) mengisi kekar shear joint dengan memotong foliasi (N1020E/330) membentuk alterasi
44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
INVERSI TOPOGRAFI PERUMAHAN UNHAS ANTANG Muhammad Hamzah Syahruddin1, Asraf1, Akmal1, Fitriani1, Wulan Salle Karurung1, Nur Fauziah1 1 Prodi Geofisika FMIPA Unhas Email:
[email protected] Abstrak Bagaimana bentuk topografi perumahan Unhas Antang? Bagaimana karakteristik opografi perumahan Unhas Antang? Koordinat dan Topografi perumhan Unhas Antang diukur menggunakan GPS map merek GRN 60 CSX. Hasil pengukuran GPS diplot menggunakan surfer sehingga diperoleh gambar peta topografi perumahan Unhas Antang. Data koordinat perumahan Unhas Antang diproses deagan metoda inversi linier untuk mendapatkan parameter fisis topografinya. Parameter fisis topografi perumahan Unhas Antang merupakan karakteristik daerah tersebut. Prumahan Unhas Antang berupa perbukitan dengan ketinggian 8 smpai 26 meter diatas elipsoid bumi. Karakteristik topografi perumahan Unhas Antang adalah 0,001279696, 0,019581741, 2,370417325. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik topografi suatu wilayah dapat diketahui dengan metoda inversi. Kata kunci : tpografi, perummahan Unhas Antang
inversi,
parameter
menggunakan GPS map merek GRN 60 CSX. Titik-titik pengukuran memunyai spasi 100 meter. Lokasi pengukuran berada pada koordinat geodetik 119°28'44''E - 119°29'16,5''E dan 05°10'02''S 05°10'01,9''S. Lokasi penelitian di perumahan Unhas Antang dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1.1. Ada beberapa titik dalam koordianat tersebut yang tidak dapat diukur karena berada di daerah rawah .
fisis,
Pendahuluan Pemodelan inversi adalah pemodelan yang dilakukan untuk mendapatkan parameter fisis secara langsung dari data (Grandis, 2009). Untuk mendapatkan parameter fisis dari data topografi maka digunakan pemodelan inversi. Sebaliknya untuk memperoleh data prediksi hasil pengukuran berdasarkan parameter fisis yang sudah diketahui, maka proses ini disebut proses forward atau forward modelling (Supriyanto, 2007). Setiap daerah mempunyai topografi yang berbeda-beda. Apa yang membedakan topografi suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tentu ada parameter fisis yang membedakannya. Bagaimana memdapatkan parameter fisis topografi suatu wilayah tersebut. Pada penelitian ini penentuan parameter fisis topografi suatu wilayah dilakukan dengan metoda inversi. Parameter fisis yang diperoleh merupakan karakteristik topografi suatu wilayan yang membedakan dengan wilayah lainnya. Data Topografi Perum Unhas Antang Lokasi penelitian ini dilakukan di daerah perumahan Unhas Antang dan sebagian derah perumnas Antang. Luas daerah yang disurvei adalah 1100 meter kali 1100 meter atau 1,21 km2. Di daerah tersebut dilakukan pengukuran topografi,
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian Pengukuran topografi dilakukan pada awal bulan April 2015. Pengukuran topografi Perumahan Unhas Antang menggunakan GPSmap merek GRN 60 CSX. Hasil pengukuran topografi di Perumahan Unhas Antang dapat digambarkan dalam kontur tiga dimensi menggunakan software surfer 10. Kontur tiga dimensi hasil pengukuran topografi Kota Makassar dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Data hasil pengukuran Topografi Perumahan Unhas Antang mempunyai ketinggian rata-rata 12 meter yang berada diantara 8 sampai 26 meter di atas elipsoid Bumi. Topografi daerah perumahan Unhas Antang berupa perbukitan yang miring ke arah barat dan lembah di sebelah timur antara perumnas
45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
dan komplek Unhas. Sedangkan di sebelah barat terdapat danau Balang Tonjong dan di sebelah selatan adalah rawa. Metoda Inversi Data topografi adalah data dua dimensi. Oleh karena itu inversi yang digunakan adalah Inversi model bidang. Inversi model bidang yang diterapkan pada data topografi untuk mencari parameter fisis data topografi yang merupakan karakteristik topografi suatu daerah. Inversi linier model bidang dapat dinyatakan dalam model matematika berikut ini (Meju, 1994): m1 + m2xi + m3yi = hi (1) dimana xi longitude, yi latitude, m1, m2 dan m3 merupakan parameter fisi topografi yang akan dicari. Adapun yang berlaku sebagai data topografi adalah h1, h2, h3, ..., hi. Berdasarkan model matematika tersebut, kita bisa nyatakan GTGm = GTh (2) Dimana G adalah matrik kernel dan T adalah transpos matriks. Untuk mendapatkan nilai parameter fisis m maka diakukan proses inversi pada persamaan berikut, m=inv(GT G).GT h (3) Dengan menerapkan data topografi pada persamaan (3) diperoleh parameter fisis m. Parameter fisi m masingmasing m1 0,001279696, m2 0,019581741, dan m3 2,370417325. Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Unhas Antang adalah, 0,000128 + 0,019582 xi + 2,3704173yi = hi (4) Hasil dan Diskusi Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Unhas Antang dapat digambarkan. Caranya adalah melakukan substitusi koordinat latitude, longitude dan data topografi ke dalam persamaan (4). Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Unhas Antang dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Bila dilakukan pengurangan antara data topografi dengan data topografi hasil inversi maka diperoleh nilai residu topografi. Nilai residu topografi dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Gabar 1.4.Nilai residu topografi perumahan Unhas Antang Nilai residu topografi perumahan Unhas Antang menunjukkan bahwa topografi tinggi hanya karena kompensasi dari topografi yang rendah atau sebaliknya topografi yang rendah merupakan kompensasi dari topografi tinggi. Jadi kalau topografi tinggi digunakan untuk menutup topografi yang rendah maka diperoleh perumahan unhas antang mewnjadi rata dengan ketinggian 17 m. Kesimpulan Prumahan Unhas Antang berupa perbukitan dengan ketinggian 8 smpai 26 meter diatas elipsoid bumi. Karakteristik topografi perumahan Unhas Antang adalah 0,001279696, 0,019581741, 2,370417325. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik topografi suatu wilayah dapat diketahui dengan metoda inversi.. Pustaka Grandis, H. 2009. HAGI Meju, A Max. 1994. Society of Exploration Geophysicists (SEG) Supriyanto. 2007. Universitas Indonesia Ucapan Terima Kasih
Gambar 1.3 Hasil Pemodelan Inversi topografi perumahan unhas Antang Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Unhas Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut berada pada ketinggia 17 meter di atas permukaan elipsoid bumi.
Ucapan terimah kasih saya ucapkan kepada semua mahasiswa saya yang mengambil matakuliah metoda inversi Geofisika semester genap tahun 2014 dengan pembelajaran experiential learning. Mereka mengambil data topografi di lapangan .dan belajar melakukan inversi data lapangan baik inversi satu dimensi maupun inversi dua dimensi. Hasil pembelajaran experential learning metoda inversi geofisika 2014 menjadi karya tulis yang dipublikasikan dalam SNG II 2016.
46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
INVERSI SELF POTENTIAL PERUMAHAN UNHAS ANTANG Muhammad Hamzah Syahruddin1, Citra Fitriani1, Wa Ode Auliah Kahar1,Tri Nurhidayah1, Febriani1, Zulkifli 1 1 Prodi Geofisika FMIPA Unhas Email:
[email protected] Abstrak
Data Self potential Perum Unhas Antang
Bagaimana self potential di perumahan Unhas Antang? Bagaimana karakteristik Self Potential perumahan Unhas Antang? Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pengukuran SP dilakukan menggunakan alat yang sederhna voltmeter digital merek Sanwa PC500 dengan ketelitian 0,01 mV. Sedangkan koordinat titik pengukuran SP menggunakan GPS. Hasil pengukuran SP diplot menggunakan surfer sehingga diperoleh gambar distribusi SP perumahan Unhas Antang. Data SP perumahan Unhas Antang diproses dengan metoda inversi untuk mendapatkan parameter fisis self potentialnya. Parameter fisis SP perumahan Unhas Antang juga merupakan karakteristik daerah tersebut. Prumahan Unhas Antang mempuyai nilai SP 5 smpai 23 mV. Karakteristik SP perumahan Unhas Antang adalah 0,005784292, 0,02499682, -2,710255789. Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut mempuyai potensial 14 mV.
Lokasi penelitian ini dilakukan di daerah perumahan Unhas Antang dan sebagian daerah perumnas Antang. Luas daerah yang disurvei adalah 1100 meter kali 1100 meter atau 1,21 km2. Di daerah tersebut dilakukan pengukuran self potential, menggunakan alat yang sederhna voltmeter digital merek Sanwa PC500 dengan ketelitian 0,01 mV. Titik-titik pengukuran memunyai spasi 100 meter. Lokasi pengukuran berada pada koordinat geodetik 119°28'44''E - 119°29'16,5''E dan 05°10'02''S 05°10'01,9''S. Lokasi penelitian di perumahan Unhas Antang dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1.1. Ada beberapa titik dalam koordianat tersebut yang tidak dapat diukur karena berada di daerah rawah .
Kata kunci : self potential, inversi, parameter fisis, perummahan Unhas Antang Pendahuluan Pemodelan inversi adalah pemodelan yang dilakukan untuk mendapatkan parameter fisis secara langsung dari data (Grandis, 2009). Untuk mendapatkan parameter fisis dari data self potential maka digunakan pemodelan inversi. Sebaliknya untuk memperoleh data prediksi hasil pengukuran berdasarkan parameter fisis yang sudah diketahui, maka proses ini disebut proses forward atau forward modelling (Supriyanto, 2007). Setiap daerah mempunyai self potential yang berbeda-beda. Apa yang membedakan self potential suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tentu ada parameter fisis yang membedakannya. Bagaimana memdapatkan parameter fisis self potential suatu wilayah tersebut. Pada penelitian ini penentuan parameter fisis self potential suatu wilayah dilakukan dengan metoda inversi. Parameter fisis yang diperoleh merupakan karakteristik self potential suatu wilayan yang membedakan dengan wilayah lainnya.
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian Pengukuran self potential dilakukan pada awal bulan April 2015. Pengukuran self potential Perumahan Unhas Antang menggunakan alat yang sederhna voltmeter digital merek Sanwa PC500 dengan ketelitian 0,01 mV. Hasil pengukuran self potential di Perumahan Unhas Antang dapat digambarkan dalam kontur tiga dimensi menggunakan software surfer 10. Kontur tiga dimensi hasil pengukuran self potential Perum Unhas Antang Kota Makassar dapat dilihat pada Gambar 1.2. Self potential Perumahan Unhas Antang mempunyai ketinggian rata-rata 12 meter yang berada diantara 8 sampai 26 meter di atas elipsoid Bumi. Self potential daerah perumahan Unhas Antang berupa perbukitan yang miring
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ke arah barat dan lembah di sebelah timur antara perumnas dan komplek Unhas. Sedangkan di sebelah barat terdapat danau Balang Tonjong dan di sebelah selatan adalah rawa.
Dengan menerapkan data self potential pada persamaan (3) diperoleh parameter fisis m. Parameter fisi m masingmasing m1 0,005784292, m2 0,02499682, dan m3 2,710255789. Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang adalah, 0,0057843 + 0,0249968 xi - 2,71025578yi = hi
(4)
Hasil dan Diskusi Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang dapat digambarkan. Caranya adalah melakukan substitusi koordinat latitude, longitude dan data self potential ke dalam persamaan (4). Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.2 Data hasil pengukuran Metoda Inversi Data self potential adalah data dua dimensi. Oleh karena itu inversi yang digunakan adalah Inversi model bidang. Inversi model bidang yang diterapkan pada data self potential untuk mencari parameter fisis data self potential yang merupakan karakteristik self potential suatu daerah. Inversi linier model bidang dapat dinyatakan dalam model matematika berikut ini (Meju, 1994): m1 + m2xi + m3yi = hi
(1)
dimana xi longitude, yi latitude, m1, m2 dan m3 merupakan parameter fisi self potential yang akan dicari. Adapun yang berlaku sebagai data self potential adalah h1, h2, h3, ..., hi. Berdasarkan model matematika tersebut, kita bisa nyatakan GTGm = GTh
(2)
Dimana G adalah matrik kernel dan T adalah transpos matriks. Untuk mendapatkan nilai parameter fisis m maka diakukan proses inversi pada persamaan berikut, m=inv(GT G).GT h
Gambar 1.3 Hasil Pemodelan Inversi self potential perumahan unhas Antang Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut mempuyai potensial 14 mV. Bila dilakukan pengurangan antara data self potential dengan data self potential hasil inversi maka diperoleh nilai residu self potential. Nilai residu self potential dapat dilihat pada Gambar 1.4.
(3)
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Ucapan Terima Kasih Ucapan terimah kasih saya ucapkan kepada semua mahasiswa saya yang mengambil matakuliah metoda inversi Geofisika semester genap tahun 2014 dengan pembelajaran experiential learning. Mereka mengambil data self potential di lapangan .dan belajar melakukan inversi data lapangan baik inversi satu dimensi maupun inversi dua dimensi. Hasil pembelajaran experential learning metoda inversi geofisika 2014 menjadi karya tulis yang dipublikasikan dalam SNG II 2016
Gambar 1.4.Nilai residu self potential perumahan Unhas Antang Nilai residu self potential perumahan Unhas Antang menunjukkan bahwa self potential yang tinggi dia atas 14 mV hanya karena kompensasi dari self potential yang rendah atau sebaliknya self potential yang rendah merupakan kompensasi dari self potential tinggi. Jadi kalau self potential tinggi digunakan untuk menutup self potential yang rendah maka diperoleh SP perumahan unhas antang rata-rata 14 mV. Kesimpulan Prumahan Unhas Antang mempuyai nilai SP 5 smpai 23 mV. Karakteristik SP perumahan Unhas Antang adalah 0,005784292, 0,02499682, -2,710255789. Hasil pemodelan inversi self potential perumahan Unhas Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut mempuyai potensial 14 mV. Pustaka Grandis, H. (2009): Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, HAGI Meju, A Max. (1994): Geophysical Data Analysis: Understanding Inverse Problem Theory and Practice, Society of Exploration Geophysicists (SEG) Supriyanto, (2007), Memahami Teori Inversi, Universitas Indonesia
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
STUDI VARIASI SPASIAL b VALUE DAN INDEKS SEISMISITAS WILAYAH SESAR MATANO BERDASARKAN HUBUNGAN ANTARA MAGNITUDO DAN FREKUENSI GEMPA BUMI Muh. Karnaen ,1 Ikhsan, 1Marniati, 1R.Jamroni, 1Jeszy Wan Irfandy 1 1 Balai Besar MeteorologiKlimatologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar Email:
[email protected] Abstrak Sesar Matano merupakan daerah aktif gempa bumi di Provinsi Sulawesi Selatan. Aktifitas Seismik di daerah ini cukup tinggi bahkan sering kali dirasakan oleh penduduk di sekitarnya. Dari hasil pengolahan dan analisa data BBMKG Wilayah IV Makassar mulai bulan Januari tahun 2009 hingga Desember tahun 2013 telah diperoleh data, dimana sejumlah 439 kejadian gempa telah terjadi pada lokasi 1,60 LS – 3.46 LS dan 120.22 BT – 122.47 BT. Posisi gempa umumnya berada di kedalaman < 100 km dengan kekuatan antara 2.4 Mb sampai dengan 6.3 Mb. Selanjutnya dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis variasi secara spasial dengan membagi Sesar Matano menjadi tiga bagian yaitu zona A adalah Sesar Matano bagian barat, zona B bagian tengah, dan zona C bagian timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis aktifitas seismik secara kuantitatif dengan metode Least Square dan Likelihood . Dari pengolahan data tersebut diperoleh nilai a dan b dari hubungan antara magnitudo dan frekuensi gempabumi serta nilai indeks seismisitas masing-masing zona. Hasil analisis variasi spatial b-value menunjukkan b-value tertinggi berada di zona B (0,86) dan b-value terendah berada di zona C (0,03). Interpretasi yang dapat diberikan yaitu zona C yang merupakan bagian timur dari Sesar Matano memiliki material dengan heterogenitas rendah dan tingkat stress yang tinggi dibandingkan dengan zona A dan zona B. Tingkat stress yang tinggi ini ada hubungannya dengan gempa-gempa dengan kekuatan besar dimana gempa terbesar di Sesar matano (6.3 Mb) pernah terjadi di zona C. Indeks seismisitas tertinggi juga berada di zona C bagian timur sesar ini. Dimana untuk gempa > 4.0 Mb nilai indeks seismisitasnya adalah 16,143. Artinya aktifitas gempa di atas 4.0 di zona C lebih tinggi dari pada zona A dan B.. Kata kunci : b value, variasi spatial, indeks seismisitas Pendahuluan Pulau Sulawesi merupakan daerah tektonik yang cukup kompleks karena berada pada pertemuan lempeng makro yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Pergerakan dari lempeng-lempeng makro tersebut berpengaruh pada aktivitas sesar-sesar lokal di Pulau Sulawesi. Salah satu sesar di daratan Sulawesi yang
sering menimbulkan bencana gempa bumi adalah Sesar Matano. Sesar ini melewati beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Sejarah telah mencatat beberapa kejadian gempa bumi di sesar ini dimana gempa tersebut menimbulkan guncangan kuat yang mengakibatkan kerusakan beberapa bangunan rumah dan infrastruktur penduduk di sekitarnya (Buletin BMKG, 2011). Gempa bumi mempunyai sifat merusak dalam waktu singkat dan dapat sangat menghancurkan yang bisa menimbulkan banyak korban harta benda dan jiwa. Untuk itu perlu adanya pemahaman mengenai karakteristik gempa bumi yang berpotensi merusak di suatu wilayah, khususnya untuk daerah aktif gempa. Analisa dengan pendekatan secara statistik kegempaan di suatu wilayah dapat dilakukan dengan mendapatkan hubungan antara frekuensi dan magnitudo kegempaan. Hasil analisa statistik dapat memberikan informasi b value yang dapat menggambarkan karekteristik dan kondisi kegempaan setempat. Analisis ini dapat pula menentukan nilai indeks seismisitas yang menunjukkan jumlah aktifitas kegempaan dengan kekuatan tertentu selama satu tahun. Untuk mempermudah tahap analisis maka daerah ini akan dibagi menjadi 3 zona sehingga perbandingannya akan terllihat jelas dalam setiap zona. Data dan Metoda Data gempabumi yang digunakan dalam penelitian ini adalah database gempabumi BBMKG Wilayah IV Makassar tahun 2009-2013. Gempabumi yang diolah dibatasi pada data gempabumi dangkal dengan kedalaman ≤ 100 km dan magnitude body (mb) > 2.0 yang terjadi di Sesar Matano daerah Sulawesi Selatan. Parameter gempabumi berupa posisi episenter (lintang dan bujur), kedalaman, magnitudo, dan waktu kejadian gempabumi dengan cakupan wilayah dalam koordinat 1.60 0 LS-3.460 LS ; 120.220 BT-122.470 BT, dengan periode pengamatan sekitar 5 tahun, diperoleh data sebanyak 546 gempabumi (Gambar 1). Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah mendapatkan analisis b value secara spasial serta indeks seismisitas pada Sesar Matano sehinggga penelitian ini
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
diharapkan dapat memberikan gambaran aktifitas seismik di daerah ini, serta bermanfaat bagi masyarakat luas, dan menambah pengetahuan dalam bidang seismologi.
menunjukkan kemiringan atau gradien dari persamaan linier hubungan magnitude dan frekuensi. Harga ini erat sekali hubungannya dengan tektonik daerah yang sedang diamati dimana terjadi gempa bumi dan tergantung dari sifat batuan setempat maka nilai b dapat menunjukkan tingkat kerapuhan batuan. Makin besar nilai b berarti makin besar pula tingkat kerapuhan batuannya.
LogN
Log N = a1 – b1
a1 a2
Gambar 1. Lokasi Penelitian Metode yang digunakan adalah metode maximum likelihood yang memiliki persamaan (Gutenberg-Richter, 1944): (1) dimana: N = Frekuensi gempa bumi yang terjadi M = Besarnya magnitude gempa bumi A = Suatu tetapan yang besarnya tergantung pada periode, luas daerah dan aktivitas daerah pengamatan. b = Parameter seismotektonik suatu daerah dimana terjadi gempa bumi dan tergantung dari sifat batuan setempat Arti fisis dari konstanta a Nilai a juga merupakan konstanta dari persamaan linier dengan hubungan frekuensi dan magnitude dari GutenbergRichter yaitu LogN = a – bM. Nilai ini menunjukkan keaktifan seismik. Keaktifan seismik juga dipengaruhi oleh tingkat kerapuhan batuan. Menyatakan tingkat seismisitas di suatu daerah yang sedang diamati, dan harga ini tergantung dari : 1. Periode pengamatan 2. Luas daerah pengamatan 3. Seismisitas di daerah tersebut. Makin besar nilai a berarti makin aktif, sebaliknya untuk nilai a yang kecil berarti aktifitas seismiknya juga kecil Arti fisis dari konstanta b Nilai b merupakan konstanta dari persamaan GutenbergRichter mengenai hubungan frekuensi dan magnitude yaitu LogN = a – bM. Dilihat dari bentuk persamaannya, maka b
M
Log N = a2 – b2
M
M Gambar 2. Hasil perbandingan magnitude antara daerah 1 dan daerah 2. Konstanta a (a-value) menyatakan tingkat seismisitas di suatu daerah yang sedang diamati yang bergantung pada periode pengamatan, luas daerah pengamatan dan jumlah gempabumi di daerah tersebut. Semakin besar a-value berarti daerah tersebut semakin aktif, sebaliknya untuk avalue yang kecil. Untuk menentukan b-value di daerah penelitian digunakan metode Maximum Likelihood (Aki, 1965): (2)
̅
Dimana ̅ adalah magnitudo rata-rata dan M0 adalah magnitudo minimum yang digunakan. Indeks Seismisitas Dari waktu pengamatan dan distribusi magnitude gempa, dapat diketahui prakiraan jumlah rata-rata per tahun gempa bumi dengan magnitude lebih besar dari magnitude M pada setiap daerah penelitian. Dianggap jumlah gempabumi dengan M≥0 sebagai indeks seismotektonik. Karena Harga a telah dihitung dari pengamatan gempa dengan M≥0, maka jumlah total gempa yang lebih besar dari suatu magnitude tertentu dapat dihitung langsung dari hubungan magnitude-frekuensi secara kumulatif. Harga rata-rata tahunan a dan a‟ dapat dihitung dengan membagi n(M) dan N(M) dengan periode pengamatan T maka didapat :
a ' aˆ log( bˆ ln 10) .........……(3) a'1 a' logT
................(4)
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dari persamaan diatas dapat dihitung jumlah rata-rata per tahun dempa dengan M≥0 sebagai berikut : N1(M≥0) = 10a‟1 ........……(5) Indeks seismisitas dapat sangat berguna untuk perencanaan jaringan seismologi atau penelitian seismik untuk gempa mikro. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Zmap (Wiemer, 2001). Daerah penelitian dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona A, zona B dan zona C (Gambar 2), sehingga dari ketiga zona tersebut dapat diketahui b-value (variasi spatial), selain itu daerah penelitian di grid 0.010 x 0.010 untuk mengetahui variasi spatial dalam skala yang lebih kecil. HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Persamaan Hubungan Frekuensi Magnitudo Sesar Matano bagian barat
dan
Gempa bumi yang terjadi pada Sesar Matano bagian barat periode tahun 2009-2013 dengan kedalaman di bawah 100 km daerah 2.09 LS – 2.617 LS dan 120.55 – 121.05 BT adalah sebagai berikut: No
Magnitudo
1 2 3 4 5
3.0 – 3.4 3.5 – 3.9 4.0 – 4.4 4.5 - 4.9 5.0 – 5.4
Titik Tengah 3.2 3.7 4.2 4.7 5.2
Frekuensi 47 27 8 0 1
𝟒 𝟓𝟑𝟐𝟒
𝟎 𝟕𝟔𝟗𝟗
b) Persamaan Hubungan Frekuensi Magnitudo Sesar Matano bagian tengah
dan
Gempa bumi yang terjadi pada Sesar Matano bagian barat periode tahun 2009-2013 dengan kedalaman di bawah 100 km daerah 2.08 LS – 2.72 LS dan 121.15 – 121.4 BT adalah sebagai berikut: No
Magnitudo
1 2 3 4 5
3.0 – 3.4 3.5 – 3.9 4.0 – 4.4 4.5 - 4.9 5.0 – 5.4
Titik Tengah 3.2 3.7 4.2 4.7 5.2
Frekuensi 64 34 10 2 1
Log N (Yi) 1.8061 1.5314 1 0.3010 0
Histogram
Log N (Yi) 1.67209 1.43136 0.90308 0
Histogram
Dengan metode likely hood, nilai a dan b didapatkan sebagai berikut: ̅
𝟒 𝟔𝟗𝟒𝟑
Dengan metode likely hood, nilai a dan b didapatkan sebagai berikut. ̅
𝟎 𝟖𝟎𝟔𝟖
c) Persamaan Hubungan Frekuensi Magnitudo Sesar Matano bagian timur
dan
Gempa bumi yang terjadi pada Sesar Matano bagian barat periode tahun 2009-2013 dengan kedalaman di bawah 100 km daerah 2.32 LS – 2.984 LS dan 121.5 – 121.9 BT adalah sebagai berikut:
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
No
Magnitudo
1 2 3 4 5 6 7
3.0 – 3.4 3.5 – 3.9 4.0 – 4.4 4.5 - 4.9 5.0 – 5.4 5.5 - 5.9 6.0 - 6.4
Titik Tengah 3.2 3.7 4.2 4.7 5.2 5.7 6.2
Frekuensi
Log N (Yi)
87 65 21 7 7 1 1
1,93951 1,81291 1,32221 0,84509 0,84509 0 0
Histogram
Dengan metode likely hood, nilai a dan b didapatkan sebagai berikut. ̅
𝟑 𝟐𝟐𝟐𝟔
𝟎 𝟑𝟓𝟏𝟖
Parameter aktivitas
Zona A Zona B Zona C
aˆ
bˆ
4.5324 4.6943 3.2226
0.7699 0.8068 0.3518
Tabel di atas menjelaskan bahwa ȃ zona B > ȃ zona A > ȃ zona B sehingga zona B mempunyai aktifitas seismik paling tinggi. ̂ Zona B > ̂ Zona A > ̂ Zona C sehingga dapat dikatakan tingkat kerapuhan batuan pada Zona B adalah paling tinggi dibandingkan dengan daerah lain dan tanahnya bersifat heterogen. Sedangkan Zona C tingkat kerapuhan batuannya rendah dan tanahnya lebih homogen atau heterogenitasnya kurang. Hal inilah yang menyebabkan Zona C memiliki stress yang besar dan dapat
menimbulkan gempa yang lebih besar dibandingkan dengan zona lain karena terjadi akumulasi energi. Indeks Seismisitas Zona A a^ = ȃ + log b ln 10 a^ = 4,5324 + log 0,7699 ln 10 = 4,3612 a1 = a^ X log T = 4,3612 X log 5 = 3,9322 Indeks seismisitas dalam 1 tahun untuk gempa di atas 4 Mb: ̂) ( N1>4 = = 5,5688 Indeks seismisitas gempa di atas 4 Mb pada Zona A (Matano bagian barat) adalah 5,5688 Zona B a^ = ȃ + log b ln 10 a^ = 4,6943 + log 0,8068 ln 10 = 4,4253 a1 = a^ X log T = 4,4253 X log 5 = 3,7263 Indeks seismisitas dalam 1 tahun untuk gempa di atas 4 Mb pada Zona C (Matano Tengah): ̂) ( N1>4 = = 3,1556 Indeks seismisitas dalam 1 tahun untuk gempa di atas 4 Mb pada Zona B (Matano bagian tengah) adalah 3,1556 Zona C a^ = ȃ + log b ln 10 a^ = 3,2226 + log 0,3518 ln 10 = 3,3141 a1 = a^ X log T = 3,3141 X log 5 = 2,6151 N1>4 =
(
̂)
Indeks seismisitas dalam 1 tahun untuk gempa di atas 4 Mb pada Zona C (Matano bagian timur) adalah 16,1432 Zona A Zona B Zona C
N1(M≥4) 5.5688 3,1556 16,1432 24,8686
N1(M≥4)% 22.39 12.69 64.91 100
Dari tabel diatas maka dapat diketahui bahwa jumlah gempa bumi di atas 4.0 Mb yang terjadi di Sesar Matano terjadi sebanyak 24 kali dalam satu tahun.
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dengan software zmap, seismisitas kegempaan Sesar Matano pada tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut :
Interpretasi
Distribusi frekuensi dan magnitudo pada sesar Matano adalah sebagai berikut:
Berdasarkan pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa zona C bagian timur Sesar Matano memiliki tingkat heterogenitas rendah dan memiliki stress yang tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Interpretasi penulis mengungkapkan bahwa zona ini lebih didominasi batuan yang berasal dari lempeng samudera, yang secara geologi bagian timur ini berasal dari potongan Lempeng Indo Australia yang menyatu membentuk Pulau Sulawesi. Kesimpulan
Dengan demikian peta b value yang telah dianalisis dengan software zmap hasilnya sebagai berikut:
Berdasarkan variasi spatial b-value, b-value tertinggi berada di zona B dan b-value terendah berada di zona C (1.12), interpretasi kami kemungkinan zona C memiliki material dengan heterogenitas rendah dan tingkat stress yang tinggi dibandingkan dengan zona B dan zona A. Indeks seismisitas untuk gempa di atas 4 Mb dengan angka tertinggi berada pada zona C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah ini perlu diwaspadai karena merupakan daerah yang paling rentan dibandingkan zona lainnya di Sesar Matano. Pustaka
Sedangkan peta a value adalah sebagai berikut:
Aki, K., 1965. Bulletin of the Earthquake Research Institute, Tokyo University, 43, pp. 237-239. Gutenberg, B., Richter, C. F. 1944. Bulletin of the Seismological Society of America, 34, 4, pp. 185– 188. Stein, S., Wysession, M., 2003. Blackwell Publishing, Boston. Supendi Pepen, Andri Dian Nugraha, Nanang Puspito, 2012. Wiemer, S., 2001. Seismological Research Letters, 72 (2), 374-383. Wyss, M., 1973. Geophysical Journal International, 31, 4, pp. 341-359
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisis daya dukung tanah dengan mengunakan metode DCP dan CBR (Studi kasus : promenade sungai Mahakam Tenggarong Kabupaten Kutai kartanegara) Bambang Harimei Laboratorium Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar Email:
[email protected] Sari Analisis daya dukung tanah pada promenade sungai Mahakam di Tenggarong kabupaten Kutai kartanegara merupakan faktor yang penting dalam merencanakan bangunan. Dengan menggunakan metode DCP dan CBR daya dukung tanah di tempat penelitian telah ditemukan. nilai tegangan konis (qc) 20 – 200 kg/m2 dan nilai tahanan gesek (fs) bernilai sondir 0,22-20 kg/m2 sedang nilai CBR di ketiga titik adalah 2,09 % - 5,66 % Kata-kata Kunci: California Bearing Ratio, Dynamic Cone Penetrometer Abstract Analysis of soil bearing capacity on the promenade Mahakam river in Tenggarong Kutai Kartanegara is an important factor in planning buildings. By using DCP and CBR soil bearing capacity in a study has found. cone voltage value ( qc ) 20-200 kg / m2 and frictional resistance value ( fs ) worth sondir 0.22 to 20 kg / m2 were CBR value in the third point is 2.09% - 5.66% Keywords: Bearing Capacity, Sondir, Dynamic Cone Penetrometer, California Bearing Ratio Pendahuluan Dalam rangka menentukan struktur bangunan perlu diketahui daya dukung Untuk itu perlu kiranya dilakukan pengujian. Pengujian cara dinamis ini dikembangkan oleh TRLL (Transport and Road Research Laboratory) dan mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun tahun 1985/1986. Penyelidikan tanah untuk konstruksi dengan menggunakan Dyamic Cone Penetrometer (DCP) didalam proyek ini dilakukan berdasarkan survey langsung di lapangan dan kemudian dilakukan pengujian di laboratorium untuk mendapatkan harga CBR. DCP atau Dynamic Cone Penetrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur daya dukung tanah dasar langsung di tempat (in situ). Daya dukung tanah dasar tersebut diperhitungkan berdasarkan pengolahan atas hasil test DCP yang dilakukan dengan cara mengukur berapa dalam (mm) ujung konus masuk ke dalam tanah dasar tersebut setelah mendapat tumbukan palu geser pada landasan batang utamanya.
Korelasi antara banyaknya tumbukan dan penetrasi ujung conus dari alat DCP ke dalam tanah akan memberikan gambaran kekuatan tanah dasar pada titik-titik tertentu. Makin dalam konus yang masuk untuk setiap tumbukan artinya makin lunak tanah dasar tersebut. Pengujian dengan menggunakan alat DCP akan menghasilkan data yang setelah diolah akan menghasilkan CBR lapangan tanah dasar pada titik yang ditinjau. CBR lapangan tanah dasar pada pelebaran jalan. Jika pada tanah dasar dengan kedalaman sampai dengan 1 meter terdapat beberapa lapisan tanah dengan daya dukung (nilai CBR) yang berbeda, maka nilai CBR lapangan pada titik tersebut diperhitungkan berdasarkan nilai CBR yang mewakili nilai-nilai CBR lapisan-lapisan tanah di maksud. Data CBR digunakan sebagai salah satu masukan dalam proses perencanaan jalan, yaitu untuk :Penentuan tebal perkerasan (full depth pavement) untuk bagian jalan yang direncanakan akan mendapatkan penanganan pelebaran jalan. Penentuan tebal lapis ulang (overlay) di atas jalan aspal apabila tidak dapat disediakan/tidak terdapat data Benkelman Beam. Penentuan tebal perkerasan untuk bagian jalan yangharu direkonstruksi (seluruh perkerasan lama dibongkar). Penentuan tebal perkerasan jalan baru.Frekuensi pengujian pada sumbu jalan tsb, harus ditentukan oleh Ahli Teknik di lokasi dan kedalaman maksimum untuk setiap pengujian harus dibatasi sampai 1,0 meter. Sondir Cone Penetration Test (CPT) atau lebih sering disebut sondir adalah salah satu survey lapangan yang berguna untuk memperkirakan letak lapisan tanah keras. Tes ini baik dilakukan pada lapisan tanah lempung. Dari tes ini didapatkan nilai perlawanan penetrasi konus. Perlawanan penetrasi konus adalah perlawanan tanah terhadap ujung konus yang dinyatakan dalam gaya per satuan luas. Sedangkan hambatan lekat adalah perlawanan geser tanah terhadap selubung bikonus dalam gaya per satuan panjang. Nilai perlawanan penetrasi konus dan hambatan lekat dapat diketahui dari bacaan pada manometer. Komponen utama sondir adalah konus yang dimasukkan kedalam tanah dengan cara ditekan. Tekanan pada ujung konus pada saat konus bergerak kebawah karena ditekan, dibaca pada manometer setiap kedalaman 20 cm. Tekanan
55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
dari atas pada konus disalurkan melalui batang baja yang berada didalam pipa sondir (yang dapat bergerak bebas, tidak tertahan pipa sondir). Demikian juga tekanan yang diderita konus saat ditekan kedalam tanah, diteruskan melalui batang baja didalam pipa sondir tersebut ke atas, ke manometer. Persamaan yang digunakan mencari tegangan Konus seperti di bawah ini
Apl Aujungconu s
Dimana :
Apl 10cm 2 1 Acon 10cm 2 persamaan di bawah ini, Nilai Lekatan
Apl Abiconus
3
Lokasi Penelitian
untuk menentukan Nilai Lekatan dapat digunakan
Lekatan =
Untuk mendapatkan digunakan persamaan di bawah ini,
h 3 CBR ... h 3 CBR 1 n n CBRSTA 1 n h i i 1
Tegangan Konus Conus = (Manometer 1) x
Nilai hambatan pelekat (Hp) Hp = lekatan x interval masuknya alat sondir Keterangan : interval = 20 cm Jumlah nilai jumlah hambatan pelekat adalah JHP = HP
x (manometer –manometer)
Lokasi penelitian pada pembangunan pengembangan kawasan promenade di lakukan kawasan tepian kota Tenggarong, di promenade (pinggiran) Sungai Mahakam berada di tengah-tengah kota Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Hasil dan diskusi
dimana : Berdasarkan penyelidikan tanah Kawasan Promenade Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara diperoleh data:
Apl = 10 cmz A biconus = 100 cm2 Sedangkan nilai hambatan dapat pelekat adalah, 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Gambar 1 Diponegoro
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Fraction
Ratio
di
jl.
Gambar 2 Fraction Ratio di jl. Muksin
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Gambar 3 Fraction Ratio di BPD Kaltim
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dari hasil uji tabel diatas dapat disimpulkan bahwa : a. Pada titik sondir-1 yang berlokasi di Taman Jalan diponegoro ditemukan tanah tanah keras pada kedalaman 17,6m b. Pada titik sondir-2 yang berlokasi di jalan Sudirman Samping Gedung Juang ditemukan tanah keras pada kedalaman 18 m c. Pada titik sondir-3 yang berlokasi di jalan A. Muksin parkiran depan primagama ditemukan tanah keras pada kedalaman 11m. Hasil CBR
Kedalaman (m)
GRAFIK DCP 0 200 400 600 800 1000 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Pukulan
Gambar 4a Kedalaman Vs Jumlah Pukulan
Gambar 4b Dcp Vs CBR di Jln Diponegoro
Kedalaman (m)
GRAFIK DCP 0 200 400 600 800 1000 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Pukulan
Gambar 5a Kedalaman Vs Jumlah Pukulan
Gambar 5b Dcp Vs CBR di Jln Muksin
Kedalaman (m)
GRAFIK DCP 0 200 400 600 800 1000 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Pukulan
Gambar 6a Kedalaman Vs Jumlah Pukulan
Gambar 6b Dcp Vs CBR BPD Kaltim
57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dengan nilai konis (qc) dan nilai tahanan gesek (fs) maka akan kita korelasikan dengan Tabel 1 . Penafsiran Hasil Penyelidikan Tanah dengan Alat DCPT (Sondir). Hasil korelasi ini memberikan gambaran mengenai kondisi tanah di Kawasan pinggiran Sungai Tenggarong sebagai data pendukung dalam analisis dan desain nantinya. Tabel 1. Hasil penyelidikan tanah dengan alat DCPT (sondir) H qc fs Klasifikasi (m) (kg/cm2) (kg/cm2) Lempung Lembek, 0–7 <20 0,22 Lempung Kelanauan lembek Lempung agak 7 – 8,8 20 - 40 0,80 -2,00 kenyal Pasir padat, pasir kelanauan atau 9,0 – 16,8 40 - 120 1,00 – 3,00 lempung padat dan kerikil kelempungan Pasir padat, pasir kekerikilan padat, pasir 17 - 17,8 120 - 200 1,00 – 3,00 padat, pasir kelanauan sangat padat. Pasir padat, pasir kekerikilan padat, pasir 18 – 18,2 200 - 250 1,00 – 3,00 padat, pasir kelanauan sangat padat. Dari hasil korelasi kelihatan bahwa karakteristik tanah sampai kedalaman 8,8 m dari permukaan tanah adalah tanah jenis lempung agak kenyal. Pada kedalaman 9,0 m kebawah berupa pasir padat, pasir kelanauan atau lempung padat, kerikil kelempungan, pasir kekerikilan padat, dan pasir kelanau sangat padat. Sehingga dalam perhitungan batas 8,8 m kebawah menjadi bagian yang sangat perlu diperhatikan untuk pemilihan jenis konstruksi. Karena kategori tanah tersebut untuk pemilihan beberapa jenis alternatif desain perlu diperhatikan karena perilaku tanah kohesif.
saturation (Sr) = 128.673 – 131.795%, liquid limit (LL) = 46.50 – 69 %, coefficient of consolidation (Cv) = 2.71 x 101 cm2/dt, compression index (Cc) = 1.481, angka pori awal (eo) = 1,022.Pengujian di lapangan dengan menggunakan SPT menunjukkan nilai N < 4 (sangat lunak), nilai CBR lapangan 0.65 – 1.79%,muka air tanah dangkal 0.5 – 1.0 m. Korelasi Nilai qc dan CBR Lapangan Titik I pada Gambar 4, nilai qc dan nilai CBR bertambah besar setiap perubahan kedalaman. Nilai CBR lapangan pada titik ini adalah 0.20 qc. Titik II pada Gambar 4, nilai qc pada kedalaman 0 – 40 cmadalah 0 kg/cm2, artinya hambatan konus belum bekerja, pada kedalaman 40 – 100 cm nilai qc lebih besar dari nilai CBR. Nilai CBR lapangan pada kedalaman ini = 0.26 qc. Titik III pada Gambar 4, nilai qc pada kedalaman 0 – 40 cm adalah 0 kg/cm2, pada kedalaman 40 – 100 cm nilai qc lebih besar dari nilai CBR. Nilai CBR lapangan pada kedalaman ini adalah 0.21 qc. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis tentang hubungan antara nilai hambatan konus (qc) dan nilai CBR lapangan pada tanah lempung. Desa Imbodu, ada beberapa kesimpulan dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Pada kedalaman sampai dengan 40 – 60 cm nilai hambatan konus (qc) belum bekerja, pada kedalaman 60 – 100 cmhambatan konus baru bekerja secara penuh 2. Korelasi antara nilai CBR pada tanah lempung lunak – sangatlunak adalah 0.14 – 0.27 qc nilai qc. Daftar Pustaka Bowles, J. E. (1984). McGraw-Hill Book Company, U.S.A. Das, B. M. (2005). Thomson U.S.A. Hardiyatmo, H. C. (2007). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Holtz, R. D. and Kovacs, W. D. (1981).. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Hasil pengujian laboratorium menunjukkan jenis tanah berupa lempung pasiran - lanau pasiran, lunak – sangat lunak warna coklat kekuningan – kehitaman, plastisitas rendah - tinggi. Hasil pengujian contoh test pit dengan modified dry density (MDD) = 13.54 – 14.37 kN/m3 dengan optimum moisture content (OMC) =29.016 – 33.129%, water content (w) = 33.65- 38.46%, degree of
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
IDENTIFIKASI POTENSI SUMBER DAYA TIMAH PRIMER DENGAN MENGGUNAKAN INDUKSI POLARISASI DAN RESISTIVITAS DAERAH BUKIT PUYUH KEC TEMPILANG KAB BANGKA BARAT Anoegrah Pratama DM1, Makhrani2, dan Sabrianto Aswad3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA UNHAS Email: Sari Penelitian ini bertujuan melihat prospek timah primer di daerah Bukit Puyuh. Di permukaan daerah tersebut tidak memperlihatkan adanya indikasi urat (vein) maupun uraturat halus (veinlet) yang begitu jelas sebagai pembawah timah primer. Salah satu metode eksplorasi geofisika yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan timah adalah metode geolistrik. metode geolistrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induksi polarsisasi atau polarisasi terinduksi. Prinsip kerja dari metode induksi polarisasi ini adalah mendeteksi terjadinya polarisasi listrik pada permukaan mineral-mineral logam di bawah permukaan bumi. dari hasil pengukuran lapangan didapatkan data berupa resistivitas semu dan chargebilitas. Data penelitian merupakan data primer dengan 5 lintasan yang panjangnya 500 meter dengan menggunakan konfigurasi dipole dipole. hasil pengukuran dan pengolahan data dinterpretasi dengan menganalisis penampang 2D dan 3D hasil pemodelan nilai resistivitas dan cargebilitas dengan dukungan data bor. Hasil interpretasi menyatakan bahwa ada indikasi timah primer yang ditandai dengan nilai resistivitas 700 – 10000 ohm.m. Adanya zona lemah di setiap lintasan yang di indikasikan sebagai patahan,rekahan ataupun kekar yang dianggap sebagai jalur timah primer. Untuk memperkuat dugaan nilai resistivitas digabungkan dengan nilai chargebilitas yang memiliki rentang nilai 325Msec, pada rentang nilai tersebut terdapat batuan ataupun mineral-mineral pembawah timah primer. Sehingga dapat disimpulkan pada daerah penelitian masih terdapat potensi timah primer Kata Kunci: chargebilitas, polarisasi,Timah primer
dipole
dipole,
yang membuktikan adanya endapan timah. Akan tetapi di daerah penyelidikan tidak memperlihatkan adanya indikasi di permukaan yang cukup menarik sepertiurat(vein) maupun urat-urat halus(veinlet) mineralisasi yang begitu jelas. Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan timah di bawah permukaan adalah metode geolistrik. Metode geolistrik sendiri didefinisikan sebagai suatu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi. Metode geolistrik yang baik digunakan untuk eksplorasi mineral logam adalah metode induksi polarisasi atau metode polarisasi terimbas. Prinsip kerja dari metode induksi polarisasi ini adalah mendeteksi terjadinya polarisasi listrik pada permukaan mineralmineral logam di bawah permukaan bumi, dari hasil pengukuran lapangan didapatkan data berupa resistivitas semu. METODOLOGI Metode IP menggunakan konfigurasi dipol-dipol ketika melakukan pengukuran di lapangan, yaitu kedua elektroda arus bergerak menjauhi kedua elektroda tegangan seperti pada gambar di bawah ini.
induksi
Pendahuluan
Gambar 1 Susunan elektroda konfigurasi dipol-dipol (Telford, 1990)
Metode geolistrik adalah suatu metoda eksplorasi geofisika untuk menyelidiki keadaan bawah permukaan dengan menggunakan sifat-sifat kelistrikan batuan. Menurut (Sujoko. 2009) Berdasarkan hasil survei geologi yang telah dilakukan dan pengoprasian pengeboran dan penambangan di dekat lokasi penyelidikan, diprakirakan masih luasnya daerah yang memiliki prospek timah primer di daerah X. Keberadaan endapan tersebut ditunjukkan oleh hasil bor
Dimana : AB : elektroda arus r1 = AM = (n+1)a MN : elektroda potensial r2 = BM = na AB = MN = a (dalam satuan meter) r3 = AN = (n+2)a r4 = BN = (n+1)a
59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Sehingga untuk konfigurasi dipol-dipol, rumus untk menghitung factor geometrinya menjadi: K = π n a (n + 1 ) ( n + 2 )
1
Dengan K merupakan faktor geometri yang nilainya bervariasi bergantung pada jarak dari “a”. kemudian dengan mensubtitusi nilai K dengan persamaan di atas dapat dihitung nilai resistivity tiap kedalaman adalah: 𝜌
(
)(
)
2
Pengukuran IP domain waktu digunakan untuk mengukur beda potensial setelah arus dihentikan. Salah satu parameter pengukuran adalah chargeabilitas M, yang didefinisikan sebagai suatu luasan A dibawah kurva penurunan sepanjang interval waktu tertentu (t1-t2) yang dinormalisasikan oleh beda potensial .Chargeabilitas diukur dari interval waktu tertentu ketika arus dihentikan (Kearey, 2002). ∫
( )
sama terjadi pada saat arus dimatikan pada waktu t3. A menggambarkan daerah di bawah kurva peluruhan pada interval waktu t1-t2 (Kearey, 2002). Hasil dan Diskusi Hasil Analisis IP Data IP yang telah diolah menghasilkan nilai resistivitas dan chargebilitas kemudian di inversi di Res2dinv selanjutnya di buat penampang 2D kemudian nilai reistivitas di overlaykan dengan nilai chargebilitas dan di buat 3D LINTASAN LB
3
M memiliki dimensi waktu dengan satuan second atau millisecond. Ketika aliran arus pada elektroda arus dihentikan, maka nilai beda potensial antara kedua elektroda potensial tidak secara langsung bernilai nol melainkan mengalami penurunan secara perlahan-lahan hingga bernilai nol. Fenomena yang sama terjadi ketika arus listrik dinyalakan. Pada keadaan awal, nilai beda potensial meningkat secara perlahan-lahan selama interval waktu tertentu hingga bernilai konstan. Medium yang mengalami efek tersebut dinamakan medium yang dapat terpolarisasi. Efek IP ditunjukkan selama interval waktu penurunan beda potensial sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 (Kearey, 2002).
Gambar 2. Fenomena induksi polarisasi. Pada waktu t0 arus dihentikan dan diukur beda potensialnya, kemudian terjadi penurunan nilai beda potensial dari keadaan konstan (∆Vc) menuju nol secara perlahan-lahan. Tahapan yang
Gambar 3 a. penampang resistivitas. b penampang chargebilitas lintasan LB
Untuk lintasan LB dilengkapi dengan hasil data bor yang berada pada titik 375 meter yang mempunyai data litologi serta kandungan timah Hasil data bor ini kemudian di overlapkan dengan penampang resistivitas dan chargebilitas. Berdasarkan data bor yang peroleh dinterpretasikan bahwa : 1. Pada rentang nilai resistivitas <500 ohm.m (low resistivity) merupakan material lepas berupa alluvial dengan litologi berupa pasir kerakal dan kerikil kerakal. 2. Rentang antara 500 ohm – 5000 ohm (medium resistivity) merupakan soil yang terdiri atas lempung pasiran. 3. Nilai resistivitas >10000 (high resistivity) ohm.m merupakan batupasir keras. 4. Nilai resistivitas yang rendah dekat dengan permukaan dengan geometri berbentuk cekungan sedimentasi diinterpretasikan sebagai alluvial sedangkan apabila nilai resistivitas rendah yang
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
jauh dari permukaan dengan geometri di interpretasikan sebagai zona struktur. 5. Lapisan batuan yang mengandung mineral sulfida berada pada nilai chargebility > 25 msec yang diinterpretasikan sebagai zona mineral sekunder. 6. Dugaan potensi vein yang mengandung timah berada pada nilai resistivitas 500 Ωm – 5000 Ωm dan nilai chargebilitas<25 msec. Diskusi Interpretasi dilakukan dengan menggabungkan penampang Resistivitas dan Chargebilitas. Hal ini untuk memperkuat dugaan dari hasil analisis IP dalam menentukan nilai chargebilitas yang mengandung timah dari semua lintasan pengukuruan. diperoleh pengelompokan estimasi nilai chargebilitas batuan dan mineral yang mengandung timah berdasarkan hasil data bor dan hasil analisis IP lintasan LB yang memiliki data bor pada Gambar 3 yaitu;
Hasil Overlay Resistivitas dan Chargebilitas dapat dilihat pada Gambar 7 pada tersebut terdapat zona resistivitas yang lemah di titik 100 – 150, 250 dan 440.Dengan nilai resitivitas adalah 0-20000 ohm.m. zona lemah yang di tandai dengan kotak putih berupa patahan batu lempung dan batu pasir. Diperkuat dengan nilai chargebilitas pada kelompok 4 dan 5 (20 - >25 msec). pada nilai chargebilitas kelompok 4 yaitu 20-25 msecdi indikasi sebagai lempung mengandung unsur kasiterit. Untuk kelompok 5 diatas 25 msec yaitu granit tipe s yang memiliki kandungan kasiterit sebagai unsur pembawah timah. 3D Resistivitas dan chargebilitas
Tabel 1 Nilai chargebilitas dan mineral yang mengandung timah Nilai Chargebilitas
Kelompok
1
<3 msec
2
3-12 msec
3
12-20 msec
4
20-25 msec
5
>25 msec
LINTASAN LA
Mineral dan Batuan Tanah Galena dan kasiterit Batu pasir,pirit,kuarsa Lempung dan granit Granit
Gambar 4 Gabungan nilai resistivitas dan chargebilitas semua lintasan Model 3-D untuk melihat nilai yang telah di indikasi sebagai batuan maupun mineral pembawah atau yang berasosiasi dengan timah primer, dimana pada gambar 8 warna putih dengan nilai resistivitas 1800 ohm.m. Kemudian di timpah dengan nilai chargebilitasyang berwarna merah 24 Msec sehingga pada gambar tersebut terlihat nilai yang resistivitas sebagai House Rock dan nilai chargebilitassebagai isi dari House rockberupa sesar,patahan dan mineral serta batuan yang berasosiasi dengan timah. Maka dapat diperhatikan yang telah ditandai dengan kotak hitam merupakankandungan timah primer di daerah penilitan sesuai nilai resistivitas dan chargebility yang telah di tentukan. Adanya data bor pada lintasan LB yang berada pada titik 375, dapat di perhatikan bahwa pada titik bor tersebut berada pada nilai resistivitas 1800 ohm
Gambar 3 Overlay lintasan LA
61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : 1. Dari penampang 2-D data reistivitas dan chargebilitas dapat diindikasikan bahwa pada setiap lintasan memiliki daerah prospek timah primer yang mengalami proses pelapukan dalam hal ini batu granit. 2. Berdasarkan pemodelan 3-D data resistivitas dan chargebilitas terlihat bahwa daerah penyebaran timah primer berada pada semua lintasan yang merupakan kontak berupa batu lempung dan batu pasir dengan mineral pembawah timah (Casiterite)
Pustaka Harjoko, Mulyadi. 1982. Laporan. PT. TIMAH. Dinas Eksplorasi Hendrajaya, L. dan Arif, I. 1998. Panduan Kuliah, Laboratorium Fisika Bumi. ITB. Bandung Kearey, 2002. Oxford University, USA Sukandarrumidi, 2007. Diktar,Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Sutedjo, Sujoko. 2009. Laporan.PT Timah. Pangkalpinang. Sumner, 2009.Thesis. Washington Telford, W.M., Geldart, L.P., Sheriff, R.E., 1990, second edition, Cambridge University Press, USA.
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
MASERAL BATUBARA LESONGBATU DAN SEKITARNYA KECAMATAN RENGAT BARAT KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROPINSI RIAU - INDONESIA Budi Prayitno Prodi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Email:
[email protected] Sari Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan anorganik pembentuk batubara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui type, karakteristik, fasies pengendapan serta tahap genesis batubara di daerah penelitian. Pengamatan mikroskopis dari sayatan tipis batubara menggunakan Carl Zeiss Microscope dan Point Counter Model F, dari ke-4 sampel diketahui presentase komponen maseral vitrinite 79.30%, inertinit 10%, liptinit 3.4%, dan non-organic 7.3%. Sedimentasi bahan klastika berukuran butir lempung – pasir halus sebagai formasi pembawa batubara daerah penelitian diendapkan pada mekanisme upper flow regime yang membentuk upper plane bad horizontal lamination yang umum dijumpai disetiap data permukaan . Berdasarkan interprestasi stratigrafi dan pola sedimentasi, pengendapan terjadi pada daerah limpahan banjir berasosiasi dengan ekosistem rawa. Sedikitnya ditemukan 2 seam lapisan batubara dengan ketebalan sangat tipis – tipis <0.5 m (Jerminic, 1985,dalam B.Kuncoro 2000). Sedangkan metode pendekatan menggunakan diagram Diessel, 1986, Calder et al., 1991dari perhitugan nilai TPI (< 1.0) versus GI (>1.0) ekosistim rawa didominasi dari tumbuhan perdu (herbaceous) pada kondisi limnic yang terpengaruh suplai air laut (rheotrophic mire). Analisis mineral matter dari kehadiran pyrite tergolong tinggi 1.0–1.6% (Casagrande, 1987). Sedangkan hasil perhitungan GWI (<0.5) versus VI (<3.0) menunjukkan kondisi hidrologi ekosistem rawa yang tidak mengandalkan sistima air tanah atau tadah hujan (ombrothropic mire). Terdapat kontradikti antara fasies pengendapan dan rezim hidrologi yang menyebabkan genesa batubara tidak berjalan dengan baik atau pada tahap immature. Keywords : petrografis, maceral, depositional, genesis, immature. PENDAHULUAN Posisi astronomis Indonesia dilihat dari garis lintang menempati lintang bagian Utara dan lintang bagian Selatan yang dipisahkan oleh garis khatulistiwa. Secara astronomis kawasan Indonesia memiliki iklim tropis dan berada dibagian Timur belahan bumi. Dalam setiap tahunnya Indonesia hanya berganti dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Pada umumnya intensitas akumulasi gambut dipengaruhi oleh iklim tropis (Dehmer, 1993;. Grady et al, 1993; Esterle dan Ferm,1994; Hawke et al., 1999). Kondisi iklim, geologi, variasi jenis tumbuhan dan rezim hidrologi merupakan parameter yang menentukan intensitas akumulasi gambut serta komposisi maceral pembentuk batubara. Hubungan aspek sedimentasi, stratigrafi, dan karakteristik batubara dipakai untuk merekontruksi paleogeografi dan paleosedimentasi bahan gambut dan komposisi maceral batubara. Asosiasi maceral batubara dalam hal ini berhubungan dengan paleogeografi lingkungan pengendapan, bahan gambut, suplai air dan nutrisi. Selanjutnya vegetasi, supali air dan oksigen (Kondisi Eh) adalah faktor yang berhubungan dengan generasi fasies batubara, nilai Ph dan penurunan dasar cekungan (e.g., Cohen and Bailey, 1997; Cohen and Stack, 1996; Esterle and Ferm 1994; Hawkeet al., 1999; Petersen and Nielsen, 1995; Roberts and McCabe, 1992;Sebag et al., 2006b; Staub, 1991; Wüst and Bustin, 2001). Penelitian ini secara implisit membahas permasalahan hubungan sedimentasi, stratigrafi, faises pengendapan serta genesa batubara menggunakan data geologi permukaan dan meceral batubara daerah penilitian pada Formasi Airbenakat berumur Miosen Tengah – Akhir , Formasi Muaraenim berumur Mio – Pliosen. Geologi Regional Suwarna drr.,(1994) membagi runtunan batuan sedimen Tersier dalam Cekungan Sumatera Tengah bagian Timur menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok Rengat (Formasi Kelesa, Lakat, Tualang, dan Gumai) dan kelompok Japura (Formasi Airbenakat, Muaraenim, dan Kasai) seperti yang terlihat pada Gambar 1. Formasi Kelesa berumur EosenOligosen terdiri atas konglomerat polimik dan batupasir konglomeratan, bersisipan batulempung, batulanau, dan batubara. Formasi ini ditindih oleh Formasi Lakat berumur Oligosen - Miosen Awal, terdiri atas konglomerat, batupasir kuarsa dan sisipan batulempung, batulanau dan tuf dengan lensa batubara di bagian bawah; dan perselingan batupasir kuarsa dan batulanau gampingan dengan nodul siderit di bagian atas. Formasi Tualang berumur Miosen Awal sampai Tengah, yang tersusun atas batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa mikaan dan glaukonitan. Selanjutnya Formasi Gumai yang dialasi oleh Formasi Tualang berumur Miosen Tengah, terdiri atas serpih,
63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
batulempung dan batulumpur gampingan dan karbonan, berwarna kelabu muda sampai gelap dengan sisipan batupasir dan nodul lanauan. Formasi Airbenakat yang berumur Miosen Tengah – Akhir dan menindih selaras Formasi Gumai, tersusun oleh perselingan batulempung, batupasir, serpih dan batulanau, dengan sisipan batuan tufan dan lensa batubara. Secara selaras diendapkan Formasi Muaraenim berumur Mio - Pliosen yang terdiri
atas perselingan batupasir tufan berbutir halus sampai sedang dengan batulempung tufan dan lensa lignit. Satuan paling muda, yakni Formasi Kasai berumur Plio-Pleistosen, terdiri atas batupasir tufan berbutir halus sampai sedang, batulempung tufan dan tuf, setempat lempung tufan pasiran kerakalan menindih secara tidak selaras Formasi Muaraenim.
Gambar 1. Korelasi stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah bagian Timur (Suwarna drr., 1994) dengan Sub-cekungan Jambi (Modifikasi dari Pertamina, 1992)
METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan pendekatan model (Diessel, 1986, Calder et al., 1991). Metode observasi dilakukan berdasarkan hasil pengamatan megaskopis dan mikroskopis dalam bentuk data kualitatif -kuantitatif terhadap objek penelitian serta sayatan poles batubara. Pengamatan mikroskopis berupa sayatan poles batubara menggunakan mikroskop sinar pantul Carl Zeiss Microscope dan Point Counter Model F dengan pembesaran 400 kali. Persiapan perparasi sampel untuk pengamatan mikroskopis dilakukan pada sampel yang dipilih secara “channel sampling” pada tubuh batubara ideal. Selanjutnya contoh yang akan dianalisis digerus sampai lolos saringan 1 mm dan dilakukan
pembagian sehingga diperoleh 15 grm contoh yang mewakili untuk anlisis petrografis. Contoh yang berukuran 1 mm dicampur dengan resin epoxy/transsoptik powder, dicetak dengan cetakan segiempat atau bulat. Setelah keras kemudian permukaannya digosok dengan kertas ampelas nomor 600, 800 dan 1200, selanjutnya dipoles sehingga diperoleh permukaan batubara yang halus untuk analisis petrografi. Analisis maseral dilakukan dibawah mikroskop dengan menggunakan minyak imersi dipermukaan contoh. Analisis ini menggunakan lensa-lensa 25x, 32x, 50x atau bahkan 60x dan mesin penghitung otomatik yang bergerak secara melintang 0,4 mm dan secara vertikal 0,5 mm. Lebih kurang 500 titik diamati tidak termasuk resin dan mineral yang terlihat. Maseral dapat diamati atau dihitung sebagai grup maseral atau sebagai sub-maseral. Dalam melakukan
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
analisis duplikat perbedaan 3% untuk masing-masing maseral dapat diterima. Pengukuran refleksi dilakukan pada permukaan partikel-partikel vitrinit, dalam sinar hijau monochromatik, panjang gelombang 546 mm. Semua peralatan harus dinyalakan paling sedikit setengah jam sebelum dikalibrasi. Untuk mengukur refleksi maksimum, polarizzer diatur dalam posisi 45O. Selanjutnya putarkan mikroskop 360O dan dilakukan pembacaan. Untuk mengukur refleksi ini lensa yang digunakan adalah pembesaran yang tinggi (50 atau 60x) dan harus ditempatkan tepat ditengah. Pembacaan diulangi dari 50 sampai 100 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN Geologi Daerah Penelitian Stasiun pengamatan 1 berada di bagian tepi jalur tubuh sungai dalam kondisi kurang ideal dibawah muka air, kedudukan lapisan tidak diketahui. Pengamatan megaskopis pada lapisan bagian bawah berwarna coklat keabu-abuan (warna lapuk) dan abu-abu kehijauan (warna segar), sangat halus-halus (1/8 – ¼ mm); membundarmembundar baik, perarian sangat tipis-perarian tipis (3 -10 mm), terpilah baik, tidak kompak - dapat diremas, komposisi; mineral kuarsa dan mineral-mineral plagioklas. Pada lapisan bagian tengah berwarna coklat kehitaman (warna lapuk) dan abu-abu kehitaman (warna segar), besar butir lempung (1/256 mm), kemas tertutup, massif, lunakdapat diremas, komposisi mineral lempung mengandung unsur karbon. Lapisan bagian atas memiliki warna coklat kekuningan (warna lapuk) dan abu-abu (warna segar), ukuran butir; sangat halus – halus (1/8- ¼mm), membundar-membundar baik, kemas tertutup, perarian sangat tipis-perarian tipis (3 -10mm), terpilah baik, lunak dapat diremas, komposisi mineral kuarsa dan plagioklas.
Foto 1. Carl Zeiss Microscope dan Point Counter Model F dengan pembesaran 400 kali
Foto 2. Contoh hasil perparasi sampel petrografis batubara.
Nama batuan; Batupasir sisipan lempung karbonan. Stasiun pengamatan 2 berada pada bagian tepi tubuh sungai dalam kondisi ideal, kedudukan lapisan N 350° E/15°. Singkapan ST 2 ditemukan tidak begitu jauh dari singkapan ST 1. Pengamatan megaskopis; coklat kemerahan (warna lapuk) dan abu-abu (warna segar), sangat halus-halus (1/8 ¼mm), membundar-membundar baik, kemas tertutup, perarian sangat tipis-perarian tipis (3-10 mm), terpilah baik, agak keras-dapat diremas, komposisi meineral kuarsa dan mineral plagioklas. Nama batuan: Batupasir. Stasiun pengamatan 3 masih berada pada bagian tepi tubuh sungai. Kemungkinan besar ST 1, ST 2 dan ST 3 merupakan jalur sungai musiman yang sama dengan perbedaan jarak tidak begitu jauh. Kedudukan lapisan tidak diketahui. Pengamatan megaskopis; coklat kehitaman (warna lapuk) dan hitam kusam (warna segar), kilap kusam, gores coklat kehitaman, keras, pecahan even-cubical/ kubus beraturan, pengotor resinit dan mineral lempung menempel pada bagian permukaan batuan, lapisan penutup berupa soil hasil pelapukan, bagian tubuh batuan masih memperlihatkan struktur kayu. Nama batuan: Batubara (*871/2015). Singkapan ST 4 berada pada bagian tebing sungai musiman dalam kondisi ideal, kedudukan lapisan N 160° E/15°. Lokasi ST 4 berjarak cukup jauh dengan lokasi ST 1, 2, dan 3. Ketebalan lapisan kurang lebih 1.30 m ditutupi lapisan penutup berupa soil setabal kurang lebih 2 - 3 m. Pengamatan megaskopis; kuning kemerahan (warna lapuk) dan abu-abu (warna segar), sangat halus – halus (1/8 – ¼mm), membundar – membundar baik, kemas tetutup,
65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
perarian sangat tipis – perarian tipis (3 -10 mm), terpilah baik, lunak-dapat diremas, kontak perlapisan tidak diketahui, komposisi mineral; kuarsa, felspartoid, dan plagioklas. Nama batuan; Batupasir. Singkapan ST 5 berada pada bagian tengah tubuh jalur sungai dalam kondisi sangat ideal, kedudukan lapisan N160°E/15° (refrensi ST 4). Lokasi ST 5 dan ST 4 tidak begitu jauh, sehingga di asumsikan sebagai batas kontak antara lapisan batuan. Pengamatan megaskopis; pada lapisan bagian bawah; putih kream (warna lapuk) abu –abu (warna segar), ukuran butir lempung (1/256 mm), membundar baik, kemas tetutup,massif, terpilah baik, lunak, kontak tajam dibawah lapisan batubara, komposisi;mineral lempung. Nama batuan: Batulempung. Lapisan bagian atas; coklat kehitaman (warna lapuk) hitam kusam (warna segar), kilap kusam, gores coklat kehitaman, keras, pecahan evencubical/ kubus beraturan, pengotor resinit dan mineral lempung menempel pada bagian permukaan batuan, ketebalan kurang lebih 30-45 cm , lapisan penutup berupa soil, bagian tubuh batuan memperlihatkan struktur kayu. Nama batuan: Batubara (*872/2015). Singkapan ST 6 berada pada bagian tengah tubuh jalur sungai dalam kondisi ideal dengan pelamparan cukup baik, kedudukan lapisan masih terbatas diperkirakan N 025°E/10°. Jarak ST 5 dan ST 6 cukup jauh, sehingga masih diasumsikan sebagai lapisan batuan yang berbeda. Pengamatan megaskopis; coklat kehitaman (warna lapuk) hitam kusam (warna segar), kilap kusam, gores coklat, keras, pecahan even – cubical/ kubus beraturan, pengotor resinit dan mineral lempung menempel pada bagian permukaan batuan, lapisan penutup berupa soil, bagian tubuh batuan memperlihatkan struktur kayu. Nama batuan; Batubara (*873/2015). Singkapan ST 7 berada pada bagian tengah tubuh jalur sungai dalam kondisi ideal, dengan pelamparan cukup baik. Kedudukan lapisan tidak diketahui. Pengamatan megaskopis; abu-abu kemerahan – hijau kemerahan (warna lapuk) abu-abu (warna segar), ukuran butir lempung (1/256mm), membundar baik, kemas tertutup, massif, terpilah baik, lunak, komposisi mineral lempung. Nama batuan; Batulempung. Singkapan ST 8 berada pada bagian tengah tubuh sungai dalam kondisi kurang ideal dibawah permukaan air. Jarak antara ST 7 dan ST 8 cukup jauh dengan perbedaan beda tinggi cukup signifikan. Kedudukan lapisan ST 8 tidak diketahui dengan pasti. Pengamatan megaskopis; coklat kehitaman (warna lapuk) hitam kusam (warna segar), kilp kusam, gores coklat, pecahan kubus beraturan, pengotor resinit dan mineral lempung menempel pada bagian tubuh batuan, lapisan penutup berupa soil.
Nama batuan; Batubara (*874/2015). Singkapan ST 9 berada pada bagian tebing sisi jalur transportasi umum Paya Rumbai dalam kondisi ideal. Lokasi ini dijadikan oleh penduduk sebagai tempat memproduksi batubata. Kedudukan lapisan batuan N160°E/20°. Pengamatan megaskopis; kuning kecoklatan-kuning kemerahan (warna lapuk) abu-abu (warna segar), ukuran butir lempung-lanau (1/256 – 1/16mm), membundar-membundar baik, kemas tertutup, perarian sangat tipis-perarian tipis (3 – 10mm), terpilah baik, lunak-agak keras, komposisi mineral mineral lempung dan feldspatoid, dan kuarsa. ketebalan lapisan kurang lebih 3.30 m, bagian atas ditutupi lapisan soil. Nama batuan; Batulanau. Formasi pembawa batubara daerah penelitian berdasarkan observasi singkapan secara umum menempati bagian Tengah Formasi Lakat (Heryanto dan Suwarna (2001), Heryanto (2005). Berdasarkan stratigrafi yang menyusun daerah penelitian secara umum didominasi oleh sedimen klastika berpartikel lempung – pasir sangat halus – pasir halus sisipan batulempung mengandung karbon dan beberapa lapisan batubara. Perarian sejajar juga disebut sebagai flat bedding merupakan struktur sedimen yang umum dijumpai pada setiap data fisik singkapan. Struktur ini terbentuk oleh beberapa parameter yaitu perubahan ukuran butir, susunan mineral, atau perubahan warna. Flat bedding/Perarian sejajar daerah penelitian lebih disebabkan oleh mekanisme pengendapan dibawah air tau upper flow regime, sebagai data pendukung yang memperkuat mekanisme upper flow regime membentuk upper plane bad horizontal lamination adalah hadirnya parting lineation yang juga disebut primery current lineation pada permukaan ari (lamina). Sedangkan parting lineation ditunjukkan oleh parting batulempung karbonan dan beberapa lapisan batubara
Gambar 2. Peta Geologi Daerah Rengat (Suwarna drr., 1994 dan Simanjuntak drr.,1991) dan Lokasi pengambilan sampel batubara.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 3. Analisis Stratigrafi Daerah Penelitian. Sedikitnya terdapat dua lapisan batubara sangat tipis – tipis, sebagai sisipan paket sedimen klastika berpartikel lempung – pasir halus.
Foto. 3. Kontak lapisan bottom batubara dengan lapisan batulempung abu-abu segar Pengamatan Mikroskopis Maceral Batubara Pengamatan mikroskopis dari ke empat sampel masingmasing mendominasi maseral group vitrinite berupa Desmocollinite (Tabel 1). Desmocollinite berasal dari jaringan tumbuhan tingkat rendah seperti rumput dan alang-alang membentuk fragmen-fragmen attrital. Sedangkan pada Tellocolinite cenderung miskin, berasal dari akar besar, kulit kayu dan batang tumbuhan. Pengerusakan struktur sel oleh organisme akan sangat
mudah terjadi pada tanaman yang banyak mengandung selulosa (tumbuhan perdu danangiospermae), tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sukar dihancurkan. Pada pengamatan megaskopis struktur kayu tertanam pada bagian tubuh batubara.Mineral lempung dan pyrite merupakan mineral utama yang banyak ikut terendapkan bersamaan dengan proses pembatubaraan (syngenetic; batubara dalam bentuk gely). Mineral lempung dapat berbentuk kaolinite, illite, dan monmorillonite sesuai dengan kondisi kimia rawa (Bustin, 1989). Sedangkan pirit merupakan kelompok mineral sulfida yang terbentuk baik secara syngenetic maupun epigenetic (Diesel, 1992). Berdasarkan analisa dan pengukuran pada mineral matter didapat perbedaan akumulasi yang cukup signifikan (lihat tabel 2) mineral utama seperti clay/lempung dengan kadar >10% tergolong berat (Ranton, 1982). Sedangkan hasil analisis mineral matter dari unsur lempung tertinggi mencapai 7.4 - 10.6% (sedang – berat) dan 2.6 – 3.4% (ringan), pengisian mineral lempung yang bersifat post depositional mengisi bidang patahan membentuk urat lempung. Sedangkan pengisian mineral lempung yang bersifat syn depositional dikontrol melalui mekanisme perubahan kimiawi lingkungan pengendapan. Mineral matter dari unsur pyrite (kubik) dan markasit (orthorombik). Kedua spesies mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (Fe2S). Pyrit terdapat sebagai inklusi vitrinit dan semifusinit pada saat pengendapan berlangsung (syngenetic depositional). Sedangkan pyrite yang mengisi rekahan
67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
bidang patahan termasuk dalam epigenetic depositional. Berdasarkan analisis mineral matter kehadiran pyrite dari ke empat sampel tergolong tinggi 1.0–1.6%, Casagrande (1987). Fasies Pengendapan Batubara Perbedaan ketebalan batubara menurut Horne (1978), pada lingkungan back barrier dan lower delta plain memiliki ketebalan batubara cenderung lebih tipis dibanding lingkungan transtional lower delta plain dan upper delta plain-fluvial. Sedangkan ketebalan batubara yang dapat diukur di daerah penelitian sangat tipis kurang dari 0.5 m (<0.5 ; Jerminic, 1985, dalam B.Kuncoro (2000). Lambersonet al., (1991) menyatakan bahwa variasi komposisi batubara tergantung pada kondisi lingkungan pengendapannya. Variasi ini berhubungan dengan type vegetasi, tinggi muka air tanah, tingkat penghancuran, dan tingkat kecepatan akumulasi. Hasil plotting diagram Diessel, 1986 dari ke-4 sampel menunjukan stadium limnic. Stadium limnic adalah stadium dimana lapisan batubara terendapkan pada lingkungan di bawah permukaan air tanah dari suplai air hujan (Rheotrophic mire; fen, swamp,marsh). Secara genesanya lingkungan ini bersifat eutrophic yaitu kaya akan bahan makanan/nutrisi, ion serta kandungan mineral. Sedangkan lingkungan yang hanya mengandalkan suplai air hujan (ombrothropic mire; bogs) miskin nutrisi, secara genesanya lingkungan ini bersifat oligotrophic (Moore, 1987 dalam Calder et al., 1991. Ground water indeks merupakan rasio perbandingan antara jaringan tumbuhan yang tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Kondisi ini dapat menggambarkan proses gelifikasi yang menyimpulkan tentang keadaan suplai air dan Ph dari suatu lahan gambut. Sedangkan hasil plotting diagram Calder et al., 1991menunjukan kondisi ombrotrhopic mire. Lihat gambar 4a.b.
Foto 5. Sclerotinite and funginite associated with desmocolinite and mineral matter in coal, reflectant white light, 500x. Sample 872/15
mineral matter
Foto 6. Mineral matter in coal, reflectant white light, 500x. Sample 873/15.
fusinite
desmocolinite
fusinite
Foto 7. Fusinite associated with desmocolinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 872/15 Foto 4. Bagian tubuh batubara memperlihatkan struktur kayu dan mineral lempung menempel pada bagian permukaan batubara.
68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
gambar 4.a. ke-4 sampel menunjukkan fasies pengendapan berada pada type limnic yang terpengaruh influx air laut (wet swamp). Dengan demikian sistim rawa ini memiliki kelembaban tinggi yang dibuktikan oleh kehadiran funginite/jamur dan level permukaan air berada tepat diatas lapisan gambut. Perubahan terhadap garis permukaan air dapat saja terjadi sebagai siklus pada saat kering dan basah (wet and dry season) tergantung situasi hydrologi pada saat proses penggambutan. Sebaliknya pada gambar 4.b. ke4 sampel menunjukkan kondisi paleomire yang kontradikti dengan type faises pengendapan. Tingkat gelifikasi yang lemah menandakan suplai hidrologi dan akumulasi yang tidak berkembang dengan baik. Kondisi tersebut dapat terjadi jika level permukaan air mengalami penurunan akibat suplai air yang minim sehingga permukaan air berada dibawah lapisan gambut. Untuk dapat menjelaskan kondisi tersebut perubahan fasies pengendapan dapat saja mengalami perkembangan menjadi limno-telmatic. Pada kondisi limno-telmatic influx suplai air tanah semakin berkurang sehingga hanya mengandalkan supali dari air hujan. Pada siklus basah level permukaan air tanah masih memberikan kontribusi tepat pada bagian atas lapisan gambut, pada siklus kering air permukaan tanah jauh berada di atas lapisan penutup gambut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil data dan analisa diatas maka dapat disimpulkan tahap genesa batubara daerah penelitian masuk tahap immature. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 4a.b. Hasil plotting fasies dan kondisi lingkungan pengendapan batuara (Diessel, 1986, Calder et al., 1991). GENESA BATUBARA Karakteristik batubara secara umum berwarna hitamkusam, kilap kusam, gores coklat – coklat kehitaman, keras, pecahan kubus beraturan, pengotor resinit dan mineral lempung, dibeberapa bagian tubuh batubara memperlihatkan struktur kayu (foto 4). Hasil pengukuran maksimum Reflectansi Vitrinite didapat rank batubara type lignit/low rank (lihat tabel 3) dengan komposisi lebih dari 80% didominasi group maceral vitrinite berikut kandungan mineral matter yang cukup tinggi dari mineral lempung 10.6% dan pyrite 1.6% (Tabel 1 dan 2). Paket pengendapan bahan sedimen klastik memiliki ciri umum berupa sedimen fraksi halus dengan perarian sejajar membentuk upper plane bad horizontal lamination yang dapat diendapkan pada upper flow regime (Cheel 1990a). Berdsarkan
Calder, J.H., Gibling, M.R. and Mukhopadhyay, P.K. (1991) . Bulletin de la Société Géologique de France 162, 283-298. Dahlan Ibrahim (2012). Subdit Batubara, DIM. Diessel, C.F.K. (1986). Proc. 20th Symp. Dept. Geol., University of Newcastle, NSW, pp. 19-22. ICCP (2001). (ICCP System 1994). Fuel, v.80, pp.459-471 Isabel Suárez-Ruiz a,⁎, Deolinda Flores b, João Graciano Mendonça Filho c, Paul C. Hackley d. International Journal of Coal Geology 99 (2012) 54–112 Komang Anggayana1, Basuki Rahmad2, H. H. Arie Naftali1 and Agus Haris Widayat1. Journal Geological Society Of India Vol.83, May 2014, pp.555-562 Rachmat Heryanto (2006), Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 4 Desember 2006: 173-184. Sri Widodo & Rini Antika (2009), Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Styan, W.,B., & Bustin, R.M., (1983), International Journal of Coal Geology, 2, 321-370.
69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel.1. Hasil Analisis Maseral Standar Australia ( AS 2856, 1986 dan ASTM, 2009) ∑ Komposisi Maseral Group Dan Mineral No
No Sampel
Vitrinite (% V)
Liptinite (% V)
Inertinite (% V)
Mineral (% V)
1
871/2015
81.0
1.4
6.0
11.6
2
872/2015 873/2015
78.6
7.0
9.4
5.0
3
82.0
3.0
6.6
8.4
4
874/2015
75.6
2.2
18.0
4.2
Tabel 2. Hasil analisis Komposisi Maseral Komposisi Maseral Maseral Group
Nama Maseral Telocolinite
Vitrinite (Huminite)
871/2015 5.4
Inertinite
Mineral Matter
873/2015
874/2015
4.6
6.4
Densinite
4.4
3.0
1.0
2.6
Desmocollinite
66.8
62.8
75.0
65.0
Corpogelinite
4.4
2.4
1.4
1.6
0.8
0.4
Sporinite Liptinite (Exinite)
872/2015 10.4
Cuntinite
0.4
1.6
0.6
Resinite
1.0
3.6
0.6
Fusinite
0.6
4.4
Sclerotinite
4.0
2.6
6.0
7.6
Introdetrinite
1.4
2.4
0.6
4.0
Pyrite
1.0
1.6
1.0
1.6
Clay
10.6
3.4
7.4
2.6
2.2 5.2
Tabel 3 Analisis Reflectansi Vitrini Hasil Pengukuran Reflectansi Vitrinite
No
No Sampel
Standar Deviation (%)
Max Reflectane (%)
Min Reflectane (%)
1
871/2015
0.02
0.28
0.20
Mean Reflectane (%) 0.24
2
872/2015
0.03
0.29
0.21
0.24
Lignite
3
873/2015
0.02
0.27
0.20
0.23
Lignite
4
874/2015
0.02
0.27
0.20
0.25
Lignite
Rank Batubara Lignite
70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Penentuan Volume Lapisan Saprolit Daerah X Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis 3D M. Khaerul As’ad1, Makhrani, S.Si, M.Si2, Sabrianto Aswad, S.Si, MT3 Sari Daerah X merupakan daerah yang memiliki singkapan endapan nikel yang terbentuk karena proses pelapukan batuan ultramafik, endapan nikel yang memiliki kadar nikel tertinggi terdapat pada lapisan saprolit. Penentuan volume lapisan saprolit dari profil nikel laterit daerah penelitian X menggunakan metode Geolistrik Tahanan Jenis 3D dengan konfigurasi gradient. Metode Geolistrik Tahanan Jenis 3D merupakan metode geolistrik modifikasi dari Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2D yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi dan mendeteksinya di permukaan bumi berdasarkan nlai resistivitas (resistivity) batuan. Batas lapisan limonit dan saprolit sebagai batas ata, saprolit dan bedrock sebagai batas bawah diperoleh dari analisis gambar penampang resistivitas (3D) berdasarkan nilai resistivitas lapisan limonit, saprolit dan bedrock. Penentuan volume lapisan saprolit menggunakan metode Trapezoidal dengan mengolah batas atas dan batas bawah lapisan saprolit. Penentuan volume berdasarkan data bor dilakukan sebagai pembanding. Volume lapisan saprolit dari data bor yaitu 552524.61 m3 Sedangkan volume dari penampang resistivitas (3D) yaitu 387354.95 m3 atau 29% lebih kecil dari data bor. Kata kunci : Metode Geolistrik Tahanan Jenis, Konfigurasi Gradien, Saprolit, Metode Trapezoidal
Konfigurasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah konfigurasi gradient. Konfigurasi ini digunakan karena memiliki resolusi vertikal yang sangat baik dan perhitungan akusisi yang cepat, sehingga banyak jumlah data yang diperoleh dalam waktu yang singkat. Konfigurasi ini hanya dapat digunakan pada investigasi kedalaman yang dangkal.
Gb. 1 Sketsa dari konfigurasi gradien dengan memperlihatkan titik elektroda dengan jarak antar elektroda arus dan elektroda potensial (Dahlin & Zhou, 2006) Dari gambar, dapat diperoleh besarnya Faktor Geometri untuk Konfigurasi Gradien, sehingga pada konfigurasi ini berlaku: 𝟐 𝜌 , dengan 𝒌 𝟏 𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
𝟐
𝟑
𝟒
Keterangan : r1 =na r2 =(n+1)a r3 =(s+2-n)a r4 =(s+1-n)a
Pendahuluan Endapan nikel laterit merupakan bijih yang diperoleh dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi. Nikel merupakan mineral yang sangat banyak dicari karena memiliki nilai yang sangat mahal, selain bersifat tahan karat, logam ini juga berfungsi sebagai bahan paduan logam lain untuk membentuk baja. Nikel laterit merupakan sumber bahan tambang yang sangat penting. Keberadaannya yang terbatas karena merupakan bahan yang tidak dapat diperbaharui membutuhkan sebuah metode eksplorasi geofisika yang mampu meningkatkan penemuan cadangan nikel laterit secara efektif dan efisien. Metode Geolistrik Tahanan Jenis merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi dan mendeteksinya di permukaan bumi berdasarkan sifat tahanan jenis batuan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan merupakan data akumulasi kondisi bawah permukaan. (Sumartono, 2013).
Survei multi-elektroda gradient dilakukan oleh penginjeksian arus dengan pemisahan (s + 2) (Gambar II.10) dan secara bersamaan atau berurutan mengambil semua perbedaan potensial antara elektroda potensial dengan spasi a. Sketsa susunan gradient menunjukkan posisi elektroda untuk pengukuran dengan pemisahan arus elektroda (s + 2), di mana faktor pemisahan s = 7, n-faktor = 2 dan titik tengah faktor m = -2. Di sini, n-faktor didefinisikan sebagai jarak relatif terkecil antara elektroda arus dan elektroda potensial (Dahlin & Zhou, 2006). Data dan Metoda Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Data primer yang diambil dari hasil pengukuran Geolistrik tahanan jenis di Daerah X. Data tersebut meliputi koordinat, elevasi/kedalaman dan nilai resistivitas. Nilai Koordinat yang digunakan dalam data
71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ini berbentuk UTM Koordinat lokal, sedangkan nilai elevasinya dalam meter, Peta geologi daerah tambang beserta peta perencanaan Data bor sebagai data pembanding Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Penelitian ini diawali dengan inversi data sintetik sebagai model geologi awal menggunakan Res3DInv untuk mengetahui respon software dan mendapatkan format data sebelum mengolah data akuisisi dari lapangan. Proses inversi 3D dimulai dengan membuat sketsa koordinat 2D semu XY yang akan digunakan untuk mengetahu posisi semu, arah, jarak dan panjang lintasan rancangan akuisisi. Koordinat ini akan menjadi acuan dalam penginputan data. Setelah menginput data dengan format yang didapat dari proses forward modeling, data kemudian diinversi secara 3D. Dari proses ini akan didapatkan variasi dari pola distribusi nikel laterit dilihat dari variasi resistivitas yang dihasilkan. Data inversi 2D dan 3D disimpan dalam format XYZ kemudian dibagi menjadi beberapa penampang (dalam hal ini penampang X-Z) dengan jumlah dan jarak yang diinginkan sesuai kebutuhan. Tebal lapisan diperoleh dengan menentukan batas antara limonit-saprolit serta batas antara saprolit-bedrock pada setiap penampang. Data bor dari lapangan sudah mempunyai informasi batas antara limonit-saprolit serta batas antara saprolitbedrock pada kedalaman tertentu. Tebal lapisan saprolit didapat dengan menghitung selisih kedalaman antara batas anatar limonit-saprolit dengan batas saprolit-bedrock dari data bor dan data resistivitas. Volume dihitung dengan mengkonturkan kedua batas tersebut sehingga mendapatkan dua kontur yaitu kontur batas atas dan kontur batas bawah. Kedua kontur ini kemudian diolah pada Surfer dengan menggunakan aturan Trapezoidal untuk mendapatkan volume lapisan saprolit. Hasil dan Diskusi Fordward Modeling Proses forward modeling merupakan proses menginversi model geologi yang dibuat sendiri melalui software pembuat model sebagai data sintetik yang menggambarkan variasi resistivitas mewakili jenis batuan atau lapisan tertentu dalam bentuk penampang resistivitas 3D semu. Data dimodelkan dengan grid 32x40 elektroda, jarak antar elektroda adalah 7 meter serta 12 lapisan dengan jarak antar lapisan ke bawah yang secara otomatis akan dikalkulasikan oleh software setelah pemilihan konfigurasi elektroda. Kemudian untuk menampilkan model geologi dalam bentuk 3D, data kemudian diolah dalam software
tertentu dengan perameter yang sama sehingga hasil seperti berikut :
Gb. 2 Penampang 3D Model Sintetik Nilai resistivitas yang dipilih adalah 200, 400 dan 800 Ohm.m dengan kombinasi posisi dan intensitas resistivitas dibuat tidak beraturan.
Inversi Model Sintetik Model sintetik sebagai fordward modeling diinversi untuk mengetahui respon software Res3Dinv terhadap parameter fisis lapisan batuan yang ada di bawah permukaan bumi. Hasil inversi memperlihatkan variasi resistivitas yang secara garis besar sesuai dengan model sintetik yang dibuat dengan error 0.19% setelah 6 kali iterasi. Model sintetik dengan resistivitas kontras sengaja dipilih untuk memudahkan pengamatan terhadap respon antara hasil inversi dengan model yang dibuat. Analisa Hasil Inversi dengan Model Sintetik Analisa dilakukan dengan membandingkan tiga penampang yaitu penampang model sintetik, penampang observasi dan penampang hasil inversi. Hasil analisa yang diharapkan yaitu kesamaan variasi resistivitas antar ketiga penampang yang mengindikasikan bahwa Res3Dinv dapat menginversi dengan baik. Dengan membandingkan penampang hasil inversi terhadap model sintetik yang dibuat, data observasinya ketiganya memperlihatkan model dan variasi yang memiliki kemiripan namun hanya pada penampangyang ditimpa datum point. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Res3Dinv dapat digunakan untuk mengolah data resistivitas 3D dengan memperhatikan bentuk datum pointnya sebagai acuan untuk interpretasi. Hasil dari forward modeling ini dapat dijadikan acuan terhadap tingkat confidence untuk proses interpretasi bahkan akuisisi selanjutnya.
72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gb. 3 Perbandingan antara Penampang Model Geologi (a.), Penampang Model Observasi (b.) dan Penampang Inversi (c.) Ketiga penampang tersebut berasal dari data 3D yang kemudian diekstrak menjadi penampang 2D pada sumbu XZ (penampang profiling) pada titik Y yang sama dalam hal ini adalah 0 sehingga analisa dapat dilakukan. Inversi 3D Data merupakan hasil pengukuran yang dilakukan dengan 64 elektroda dengan jarak antara elekroda 7 meter. Lintasan berjumlah 14 dengan arah north-south sebanyak 4 Lintasan dan arah west-east sebanyak 10 lintasan dengan variasi jarak antara lintasan yaitu 25 meter dan 50 meter disesuaikan dengan kebutuhan. luas daerah penelitian yaitu (550 x 450) meter persegi. Skema dari semua lintasan dapat dilihat pada gambar 4. Format data dari hasil inversi data sintetik menjadi acuan penginputan data hasil akuisisi lapangan. Proses inversi akan menginterpolasi (menyisipkan data) secara vertikal dan horizontal, proses inilah yang disebut dengan Inversi 3D. Berbeda dengan Inversi Pseudo 3D yang hanya menggabungkan hasil dari inversi 2D dengan menginterpolasi data hanya secara vertikal. Pada program, nilai resistivitas minimum yang ditampilkan yaitu 21,28 Ohm.m; nilai resistivitas maximum adalah 2.138,1 Ohm.m dan nilai resistivitas yang sering muncul adalah 200 Ohm.m dengan iterasi dan error sebesar 7,69%. Variasi resistivitas dari setiap penampang ditampilkan dengan skala warna kontur dimana setiap warna mewakili interval nilai resistivitas batuan. Warna tersebut digunakan untuk menginterpretasi bawah permukaan zona-zona laterit daerah penelitian, tentunya dengan data geologi sebagai pembanding.
Gb. 4 Sketsa Lintasan Pengukuran yang juga Dijadikan Koordinat Semu Area Lintasan Akuisisi Geolistrik (untuk keperluan input data) Penentuan Batas Lapisan Saprolit Penampang XZ memberikan informasi tebal lapisan saprolit, dengan penentuan batas lapisan antara limonitsaprolit dan saprolit-bedrock masing-masing menggunakan data resistivitas dan data bor pada daerah yang telah dibatasi. Penampang XZ yang dihitung tebalnya sepanjang sumbu Y pada rentang 100 meter sampai 450 meter dengan jarak 7 meter. Menentukan batas atas dan batas bawah lapisan saprolit pada penampang hasil inversi 3D memerlukan data pembanding dari hasil inversi 2D setiap lintasan yang juga diikat dengan data bor. Dalam hal ini hasil inversi penampang 3D yang diambil yaitu penampang XY jarak X yang memiliki posisi yang sama dengan penampang 2D dan ditimpa dengan datum point dari data 2D. Gambar 5 menampilkan perbandingan antara hasil penentuan tebal lapisan saprolit pada penampang hasil inversi 2D dengan penampang inversi 3D. Kemudian kalkulasi volume dilakukan pada penampang inversi 2D untuk membandungkan hasil perhitungan keduanya. Penampang N22 W pada Gambar IV.10.a merupakan hasil inversi 2D dengan error 4,35% iterasi ke 5 memiliki nilai resistivitas terendah yaitu 88,6 Ωm dan nilai resistivitas tinggi yaitu 1.403 Ωm. Penampang 2D menunjukkan lapisan saprolit berada pada kedalaman 13 meter dari permukaan dengan rentang nilai resistivitas yang panjang
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
yaitu dari 150 Ωm sampai 850 Ωm. Resistivitas 150 Ωm sampai 300 Ωm menunjukkan lapisan saprolit dengan lebih dari 10% kadar air sedangkan lapisan saprolit dengan resistivitas 400 Ωm sampai 800 Ωm menunjukkan lapisan saprolit yang memiliki kadar air kurang dari 10%. Penampang X-Z 101,5 pada Gambar IV.10.b merupakan hasil inversi 3D yang menunjukkan variasi resistivitas pada lapisan saprolit yang serupa dengan penampang N22 W, perbedaan kecil hanya terlihat pada jarak lintasan 150 meter sampai 170 meter yang menunjukkaan penurunan nilai resistivitas.
masing batas limonit-saprolit (batas atas) dan batas saprolit-badrock (batas bawah) yang telah dikonturkan sebelumnya. Volume dihitung menggunakan aturan Trapezoid yaitu penghitungan volume dengan menghubungkan antara kontur batas atas dan kontur batas bawah secara matematis melalui software (Gambar 6). Volume lapisan saprolit daerah penelitian X pada batas daerah yang telah ditentukan dan didapatkan menggunakan aturan trapezoid adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Hasil Kalkulasi Volume Lapisan Saprolit Tanda minus pada selisih data bor menunjukkan bahwa estimasi volume yang dihitung dari data resistivitas 2D dan resistivitas 3D lebih kecil dibandingkan volume yang dihitung dari data bor. Kesimpulan Gb. 5 Tebal Lapisan Saprolit pada Lintasan N22 W (2D) (a) dan Penampang X-Z 101.5 (3D) (b) masing-masing dengan data bor
Kalkulasi Volume Lapisan Saprolit
Pola distribusi nikel laterit dari data resistivitas 3D dapat dilihat dari nilai resistivitas lapisan Saprolit pada penampang XZ yang dilalui oleh Lintasan Geolistrik Tahanan Jenis, dengan nilai resistivitas terkecil pada lapisan saprolit adalah 75 Ωm dan nilai resistivitas terbesar adalah 850 Ωm. Volume dihitung pada batas area dengan luas 350 meter x 150 meter. Volume lapisan saprolit daerah penelitian X yang dihitung dari data bor adalah sekitar 552.524,61meter3. Sedangkan volume lapisan saprolit yang dihitung dari data resistivitas 3D adalah sekitar 387.354,95 meter3 atau 29% lebih kecil dari volume data bor. Pustaka Adi
Gb. 6 Kontur Batas Atas dan Batas Bawah pada Penampang Resistivitas 2D(a.) Penampang Resistivitas 3D (b.) dan Data Bor (c.)
Tonggiroh, Suharto, Muhardi Mustafa., 2012, Prosiding, Universitas Hasanuddin : Makassar Ahmad, Waheed., 2005, PT. Vale Inco : Sorowako Ahmad, Waheed., 2009, PT. Vale Inco : Sorowako Claerbout, J.F. and Muir, F., 1973, European Association of Geoscientists & Engineers (EAGE). Ellis, R.G. and Oldenburg, D.W., 1994, Geophysical Journal International
Volume lapisan saprolit dihitung berdasarkan data resistivitas 2D, resistivitas 3D dan data bor dengan masing-
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Elias, M, 2002, CODES Special Publication 4, 205-220., Pusat Penelitian Bijih Endapan, Universitas Tasmania : Hobart Evans, A.M., 1993. Blackwell Scientific Publications, Oxford Johannes, 2006, Skripsi, Universitas Sebelas Maret: Surakarta Lines L.R and Treitel S., 1984Geophysical Prospecting Loke, Dr. M.H., 2004, Tutorial : 2-D and 3-D Electrical Imaging Serveis Copyright(1996-2004) Loke, Dr. M.H., 2011, Geotama software Res3Dinv Copyright(2000-2014) Prameswari, Fransiskha W, A Syaeful Bahri, Wahyudi Parnadi, Jurnal Sains dan Seni ITS, Vol. 2, Institut Teknologi Sepuluh November : Surabaya Ridhwan, Desa D. W., Widya U., 2011, Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember : Surabaya Schuster dan Simon., 1988, Fireside Book : New York Silvester P.P and Ferrari R.L., 1990, Cambridge University Press Simanjuntak, T., O., 1981, PPPG: Bandung Sumartono Widodo, Arman Yudha, Putra Yoga., 2013, Prisma Fisika, Vol.1 No.1, 14-21 Sundari, Woro., 2012, Periode III, 252-260 Supriyanto, 2007, Departemen Fisika-FMIPA Universitas Indonesia : Bogor Taufiq, Muhammad, 2012, Tesis, Universitas Padjadjaran : Bandung Taufik D.P., Muhammad, 2015, Skripsi, Universitas Hasanuddin : Makassar Wolke, R. and Schwetlick, H., 1988SIAM Journal of Scientific and Statistical Computations
Ucapan Terima Kasih Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Wani, Bapak Ammar Hakim, Bapak Irpan dan Ibu Selfi selaku pembimbing di lapangan: Bapak Sabriaanto Aswad S.Si, M.T,dan Ibu Makhrani S.Si, M.Si selaku pembimbing dan partner kerja yang memberikan saran dan masukan dalam proses penelitian ini dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini sampai selesai yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan karya tulis ini dan tentunya juga buat kebaikan penulis.
75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Interprestasi Prospek Mineralisasi Menggunakan Metode Fault and Fracture Density (FFD) Studi Kasus Zona Buton Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara Deniyatno1, Jeni Rahmat2, Erwin Anshari3 1 Teknik Geofisika Universitas Halu Oleo, Universitas Halu Oleo Email:
[email protected]
2
Teknik Geologi Universitas Halu Oleo, 3Teknik Pertambangan
Sari / Abstract Interprestasi dilakukan pada pulau buton bagian utara yang berdasarkan geomorfologinya termaksud dalam Zona Buton Utara Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prospek mineralisasi berdasarkan struktur permukaan. Struktur permukaan dianalisis melalui kerapatan lineasi menggunakan metode Fault and Fracture Density (FFD) yang memanfaatkan fusi citra Landsat 7 ETMRGB547+DEM-SRTM dan menggunakan Rosed Diagram untuk penentuan arah tegasan utama lineasi. Fault and fracture berdasarkan hasil interperstasi diasumsikan sebagai zona lemah yang menjadi jalur pergerkana fluida hidrotermal yang berpotensi sebagai sumber terjadinya mineralisasi. Hasil dari interprestasi menggunakan metode FFD densitas lineasi tertinggi rata-rata berada pada utara Zona Buton utara, serta densitas lineasi rata-rata yang sedang pada bagian barat dan selatan Zona Buton Utara sedangkan pada bagian timur Zona Buton Utara densitas lineasi terbilang rendah. lineasi-lineasi tersebut dikontrol oleh gaya utama berarah utara barat laut - selatan menenggara.
Wheeler dan Dickson (1980) berusaha untuk mengevaluasi apakah perubahan sistematis dalam densitas gabungan dapat mengungkapkan lokasi dari sesar yang tersembunyi. Mereka menyiapkan peta kontur yang menunjukkan variasi densitas gabungan di bagian Appalachian Tengah, dan membandingkan peta ini dengan distribusi sesar yang diketahui pada peta geologi dari daerah yang sama (Davis, et al., 2012).
Kata Kunci: Struktur, lineasi, Mineralisasi Pendahuluan Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke dalam batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue) sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk., 1972). Struktur merupakan salah satu faktor penting dalam mineralisasi yaitu sebagai tempat terbentuknya endapan mineral bijih yang sangat ekonomis. Larutan hidrotermal akan mengisi rekahan-rekahan batuan membentuk suatu system struktur tertentu tergantung dari gaya yang menyebabkannya. Gaya utama yang mengakibatkan terjadinya rekahan batuan sangat dipengaruhi oleh interaksi lempeng (Corbett & Leach,1998, dalam Hastuti, 2010). Haynes dan Titley (1980) membandingkan perbedaan kuantitatif densitas rekahan pada vein, batuan yang termineralisasi pada deposit tembaga porfiri Sierra bagian selatan Tucson. Tujuan mereka adalah untuk mengeksplorasi pusat intrusi dan/atau mineralisasi, menggunakan variasi densitas kekar sebagai panduan.
Gb. 1 Lokasi penelitian dan distribusi kepingan benua di bagian timur Sulawesi (Surono, 2013) serta pembagian zona fisiografi Pulau Buton (Davidson, 1991) Berdasarkan gemorfologi regional daerah penelitian termasuk dalam Zona Buton Utara yang drainasenya mengalir kearah selatan yaitu menuju rawa bakau pada Cekungan Lambele (Davidson., 1991)(Gambar 1).
76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Stratigrafi regional Zona Buton Utara terdiri dari retas basalt yang berumur paleosen, Komplek Ultrabasa Kanpatoreh berumur Eosin-Oligoesen dan batuan sedimen klastik dan non klastik yang berumur Miosen-Plistosen (Sikumbang dkk, 1995).
tampak akan lebih jelas. Selanjutnya interpretasi lineasi lebih muda di tentukan melihat kenampakan morfologi pada fusi citra Landsat 7 ETM-RGB547+DEM-SRTM untuk interpretasi fault and fracture. Distribusi lineasi diasumsikan sebagai fault and fracture yang dapat terisi fluida hidrotermal sebagai sumber mineralisasi dan daerah high fault and fracture density diasumsikan sebagai daerah prospek mineralisasi. Hasil dan Diskusi Data lineasi yang diperoleh berdasarkan interpretasi yaitu berjumlah 2.597 data yang merupakan gambaran topografi dan refleksi dari keberadaan sturktur geologi di daerah penenelitian yang berupa sesar atau rekahan (Gambar 3). Trend lineasi dominan berarah sama dengan struktur regional berdasarkan peta geologi regional yang ada yaitu berarah barat laut - tenggara dan utara - selatan (Gambar 3). Interpretasi arah tegasan utama struktur yang berkembang berdasarkan pada interpertasi lineasi pada daerah peneilitan diketahui berarah utara barat laut - selatan menenggara (Gambar 3). Distribusi lineasi yang diasumsikan sebagai fault and fracture akan memperlihatkan kerapatan yang bervariasi dimana kerapatan tersebut disebut sebagai fault and fracture density. Data fault and fracture density memperlihatkan densitas yang bervariasi di zona Buton Utara (Gambar 4). Pada bagian utara Zona Buton Utara memperlihatkan densitas rata-rata lineasi yang cukup tinggi dengan variasi densitas lineasi sedang-tinggi dan kenampakan densitas lineasi rendah pada daerah pesisir yang diperkirakan daerah rawa dan pantai. Bagian barat dan selatan Zona Buton Utara memperlihatkan densitas rata-rata dengan kategori sedang dengan varisi densitas lineasi yang memperlihatkan sebagian tempat memiliki densitas lineasi rendah yaitu pada daerah pesisir barat Zona Buton Utara tapi juga tampak bagian dengan densitas lineasi yang tinggi khususnya pada selatan Zona Buton Utara.
Gb. 2. Peta Geologi Zona Buton Utara modifikasi dari Sikumbang dkk,1995 Data dan Metoda Metode yang digunakan adalah analisis lineasi pada fusi citra Landsat 7 ETM-RGB547+DEM-SRTM. Dengan mengabungkan citra Landsat 7 Band (4,5,7) dengan data DEM-SRTM maka relief permukakaan yang di
Bagian timur Zona Buton Utara terlihat berbeda dengan bagian utara, barat, dan selatan Zona Buton Utara karena kenampakan didominasi oleh densitas lineasi rendah dengan variasi densitas lineasi yang tidak beragam. Densitas lineasi rendah ini tak hanya pada daerah pesisir seperti bagian lainnya tetapi dari daerah pesisir hingga wilayah yang jauh dari daerah pesisir memiliki densitas lineasi yang rendah. Densitas lineasi yang tinggi pada sebalah utara Zona Buton Utara memperlihatkan proses perkembangan struktur geologi yang tinggi dilihat dari morfologi pegunungan yang berdasarkan geologi regional didominasi oleh batuan
77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
sedimen non-klastik dan klastik yang telah mengalami pengangkatan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa banyaknya ruang bukaan atau fault and fracture yang berpotensi menjadi tempat srikulasi fluida hidrotermal sebagai sumber terjadinya proses mineralisasi.
Gb 4. Peta densitas lineasi (fault and fracture Density) Zona Buton Utara
Kesimpulan Gb 3. Peta lineasi Zona Buton Utara, rosed diagram arah lineasi dan perkiraan arah gaya tegasan utama lineasi
Bagian utara Zona Buton Utara dan sebagian sebelah selatan Zona Buton Utara merupakan daerah prospek akan proses mineralisasi karena densitas lineasi yang tinggi dengan trend lineasi mengikuti arah sesar-sesar regional pada daerah tersebut yaitu barat laut - tenggara dan utaraselatan, sedangkan arah tegasan utama dari lineasi-lineasi tersebut berdasarkan rosed diagram adalah utara barat laut - selatan menenggara.
78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Ucapan Terima Kasih Terimkasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini khususnya Bandan Pusat Survei Geologi (PSG) yang telah memberikan kursus singkat pengolahan citra satelit hingga penelitian ini bisa terselesaikan dengan baik.
Daftar Pustaka Davidson, J.. 1991. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, v. 20, p. 209-233. Davis, G.H., Reynolds, S.J., dan Kluth, C.F. 2012. John Wiley & Sons.inc, USA. Gary, M., McAfee, R., dan Wolf, C.L., 1972, American Geological Institute, Washington DC. Hastuti, E.W.D., 2010, Jurnal Rekayasa Sriwijaya No.2 Vol. 19, Juli 2010, 10, 49. Sikumbang, N, dkk, 1995, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Surono. 2013. Badan Geologi Kementrian ESDM, Bandung.
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Estimasi Ground Shear Strain Kota Padang Sumatera Barat Berdasarkan Respon Mikrotremor Saaduddin1, Sismanto2, dan Marjiyono3 1 Prodi Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin 2 Prodi Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada 3 Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Bandung E-mail:
[email protected]
Penelitian ini mengestimasi nilai Ground Shear Strain ( ) Kota Padang, Sumatera Barat yang diperoleh berdasarkan hasil analisis data pengukuran mikrotremor pada 103 titik oleh Tim Pusat Survei Geologi, Badan Geologi pada 26-30 November 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan nilai dan menentukan kondisi dinamika tanah serta fenomena yang mungkin terjadi di Kota Padang sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempabumi berdasarkan nilai Nilai diperoleh dari hubungan antara nilai frekuensi dominan fo dan faktor amplifikasi Ao hasil analisis data mikrotremor dengan menggunakan metode Nakamura atau metode HVSR sedangkan percepatan gerakan tanah pada batuan dasar dianalisis dengan menggunakan persamaan Fukushima dan Tanaka. Hasil perhitungan di daerah penelitian menunjukkan bahwa kota Padang memiliki nilai yang berkisar antara sampai . Nilai daerah penelitian yang berkisar antara dapat diklasifikasikan skala menengah yang tersebar pada 47 titik pengukuran dan nilai daerah penelitian yang berkisar antara dapat diklasifikasikan skala tinggi yang tersebar pada 56 titik pengukuran yang dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor dan liquifaksi. Kata kunci : Ground Shear Strain, Mikrotremor, Padang Pendahuluan Indonesia berada di daerah pertemuan antara tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik sehingga Indonesia sering juga disebut berada di wilayah ring of fire. Akibatnya, intensitas kejadian gempabumi dan letusan gunungapi tergolong tinggi. Kota Padang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang paling sering merasakan kejadian gempabumi. Hal ini disebabkan daerah tersebut berada di pulau Sumatera yang tepat berada di zona subduksi antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia.
Kejadian gempabumi dari tahun 1900 sampai 2014 di kota Padang dan sekitarnya sangat sering terjadi. Tercatat sejumlah 246 kejadian gempabumi yang tergolong dalam kategori gempa merusak sampai golongan gempabumi besar; dengan magnitude antara 5 SR sampai 8 SR). Frekuensi kejadian gempabumi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Grafik Frekuensi Kejadian Gempabumi Kota Padang tahun 1900 - 2014 50 45 40 Frekuensi Kejadian
Sari
35 30 25 20 15 10 5 0 5.0
5.2
5.4
5.6
5.8
6.0
6.2
6.4
6.6
6.8
7.0
7.2
7.4
7.6
7.8
Magnitudo (SR)
Gambar 1. Grafik frekuensi kejadian gempabumi Kota Padang tahun 1900 – 2014 (USGS, 2014) Kejadian gempabumi terakhir yang mengakibatkan tingkat kerusakan infrastruktur dan korban jiwa yang sangat tinggi terjadi pada 30 September 2009. Berdasarkan pemberitaan media pada saat kejadian tercatat 1.117 korban tewas dan 135.448 unit bangunan yang rusak berat. Selain itu, getaran gempabumi tersebut bahkan dirasakan oleh penduduk di Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Selain itu, berdasarkan informasi geologi (Kastowo, dkk., 1996; Budiono, dkk.,2010), Kota Padang berada di atas endapan alluvium. Secara umum, endapan ini akan banyak ditemui di dataran pantai, termasuk endapan rawa di sebelah utara Tiku, sebelah baratdaya Lubukalung dan sebelah timur Padang. Endapan seperti ini sangat berpengaruh terhadap kerusakan akibat gempabumi atau yang dikenal dengan local site effect. Kondisi geologi kota Padang dapat dilihat pada gambar 2. Salah satu contoh kejadian yang memperlihatkan pengaruh kondisi geologi atau local site effect dengan tingkat kerusakan akibat gempabumi adalah kejadian gempabumi pada 19 September 1985 yang berpusat di Michoachan yang
80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
menimbulkan kerusakan berat di Kota Meksiko padahal jarak antara kedua daerah tersebut sekitar 350 km.
tanah, likuifaksi dan longsoran. Oleh karena itu, dianggap perlu untuk mengestimasi dan memetakan nilai ground shear strain Kota Padang dan menganalisis bentuk deformasi yang dapat terjadi di daerah tersebut. Data dan Metoda Penelitian ini menggunakan data mikrotremor Kota Padang Sumatera Barat yang diukur oleh Tim Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Bandung pada 26 – 30 November 2009. Jumlah titik pengukuran sebanyak 103 titik ukur dengan durasi pengukuran 10 – 15 menit dengan frekuensi sampling 100 Hz. Data tersebut diukur dengan menggunakan sensor seismometer tipe Mark L4-3D.
Gambar 2. Peta geologi Kota Padang Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa Kota Padang merupakan daerah yang sangat rawan akan kejadian gempabumi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang berkesinambungan prihal upaya-upaya mitigasi untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Salah satu metode yang efisien dan efektif yang dapat digunakan untuk mengkaji indikator-indikator tersebut adalah implementasi pengukuran mikrotremor. Mikrotremor merupakan getaran tanah yang sumbernya bukan berasal dari getaran dengan periode singkat seperti gempabumi atau ledakan melainkan bersumber dari alam dan aktivitas manusia. Hasil analisis data mikrotremor dapat menggambarkan nilai kerentanan seismik (Kg) suatu daerah. Nilai Kg Kota Padang bervariasi yang tergantung pada nilai frekuensi dominan tanah (fo) dan faktor amplifikasi (Ao). Nilai Kg tertinggi berada pada Kota Padang bagian barat di mana mayoritas daerah tersebut berada di atas endapan alluvium. Pemetaan nilai Kg tersebut pun berkesesuain dengan titiktitik kerusakan akibat gempabumi pada 30 September 2009 (Saaduddin, 2015). Menurut Farid (2014), kajian kerentanan seismik suatu daerah juga perlu mempertimbangkan nilai ground shear strain. Nilai ground shear strain menunjukkan tingkat deformasi lapisan tanah. Kerusakan akibat gempabumi biasanya terjadi akibat batas nilai ground shear strain terlampaui. Lapisan tanah akan mudah mengalami deformasi jika nilai ground shear strain berada dalam kategori tinggi dan sebaliknya, lapisan atanah akan cenderung stabil jika ground shear strain kecil. Bentuk deformasi yang terjadi dapat berupa terjadinya rekahan
Data pengukuran mikrotremor yang diperoleh dalam format .saf yang terdiri dari dua komponen horizontal dan satu komponen vertical, yaitu arah utara-selatan, barat-timur, dan vertikal. Data tersebut dapat langsung diolah dengan menggunakan perangkat lunak Geopsy dengan metode Nakamura atau HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ration). Pengolahan data mikrotremor di perangkat lunak Geopsy menggunakan proses Fast Fourier Transform (FFT) yang mengubah data dari kawasan waktu menjadi kawasan frekuensi. Output hasil pengolahan berupa spectrum yang menunjukkan nilai frekuensi alami atau dominan dan faktor amplifikasi 𝐴 Analisis data mikrotremor dengan metode HVSR diawali dengan proses windowing secara manual dengan mempertimbangkan sinyal data pada kawasan waktu yang stasioner. Selanjutnya, hasil windowing tersebut ditransfromasi ke kawasan frekuensi dengan proses FFT untuk memperoleh spectrum sinyal frekuensi alami dan faktor amplifikasi 𝐴 . Penghalusan data diperlukan untuk memperjelas spectrum yang diperoleh dalam hal ini menggunakan metode Kono-Omachi. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa data seismisitas atau historis kegempaan Kota Padang yang bersumber dari USGS (United State Geological Survey), ISC (International Seismic Center) dan BMKG Stasiun Geofisika Padang Panjang. Data tersebut dianalisis untuk memperoleh nilai percepatan gerakan tanah atau peak ground acceleration di batuan dasar . Data pendukung lainnya adalah data titik kerusakan akibat gempabumi pada tanggal 30 September 2009 dari Pusat Survei Geologi Bandung yang dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan prihal validitas pengolahan data. Penentuan nilai PGA pada batuan dasar menggunakan persamaan Fukushima dan Tanaka. Persamaan empiris ini menyatakan hubungan linear antara logaritmik percepatan gerakan tanah maksimum di batuan dasar dengan jarak
81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
hiposenter yang secara matematis dituliskan sebagai berikut: (
)
(1)
dengan adalah percepatan gerakan tanah di batuan dasar (gal), adalah magnitude momen dan adalah jarak hiposenter ke stasiun (km) (Saaduddin, 2014). Nilai ground shear strain ( ) dianalisis secara matematis dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 𝐾
(2)
dengan adalah nilai ground shear strain, 𝐾 adalah indeks kerentanan seismik, dan adalah percepatan gerakan tanah pada batuan dasar (Nakamura, 1996). Nilai Kg diperoleh dari perbandingan antara kuadrat frekuensi dominan fo faktor amplifikas. Hasil perhitungan ini selanjutnya dianalisis secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak pemetaan untuk mengetahui distribusi nilai di Kota Padang. Sebagai bahan justifikasi terhadap data yang telah diperoleh, digunakan distribusi titik-titik kerusakan akibat gempabumi pada 30 September 2009. Hasil dan Diskusi Data yang diolah dengan menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) berupa data mikrotremor 3 komponen (komponen horizontal utaraselatan, komponen horizontal barat-timur dan komponen vertikal) yang tersebar pada sepuluh kecamatan di Kota Padang. Pengolahan data tersebut menggunakan perangkat lunak Geopsy 2.9.0 yang menghasilkan spektrum-spektrum dengan frekuensi dominan pada sumbu-x dan faktor amplifikasi pada sumbu-y. Spektrum HVSR yang diperoleh menunjukkan karakteristik dinamika tanah berupa besarnya frekuensi dominan dan faktor amplifikasi 𝐴 . Kedua parameter tersebut selanjutnya akan menjadi parameter masukan dalam perhitungan nilai indeks kerentanan seismik 𝐾 . Hasil perhitungan indeks kerentanan seismik 𝐾 di daerah penelitian berkisar antara 0,58 sampai 170,61. Secara umum nilai indeks kerentanan seismik 𝐾 yang relatif tinggi berada pada daerah dengan kondisi geologi yang mayoritas ditutupi oleh endapan aluvium. Berdasarkan parameter masukannya, nilai indeks kerentanan seismik 𝐾 yang tinggi akan dijumpai pada daerah yang memiliki nilai frekuensi dominan yang relatif lebih rendah dan nilai faktor amplifikasi 𝐴 yang relatif lebih tinggi.
Percepatan gerakan tanah di batuan dasar dianalisis dengan menggunakan persamaan empiris yang dirumuskan oleh Fukushima dan Tanaka seperti pada persamaan (1). Nilai PGA yang diperoleh berkisar antara 76.51 – 85,76 gal. Nilai PGA pada daerah yang semakin dekat titik hiposenter akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang jauh dengan titik hiposenter kejadian gempabumi. Hal ini disebabkan karena dalam perumusannya, hubungan atenuasi ini hanya mempertimbangkan jarak hiposenter dan magnitudo gempa sebagai parameter masukan. Hasil analisis nilai indeks kerentanan seismik 𝐾 dan nilai PGA batuan dasar selanjutnya dianalisis dengan persamaan (2) untuk memperoleh nilai gound shear strain yang menghitung tingkat kemampuan deformasi suatu material penyusun. Analisis nilai ground shear strain ( ) menggambarkan kemampuan meregang atau bergeser dari suatu material lapisan tanah ketika gempabumi terjadi. Secara matematis, nilai merupakan fungsi linear dari nilai Kg dan . Gelombang seismik akibat terjadinya gempabumi merupakan gelombang mekanik yang membutuhkan perantara ketika merambat. Dalam perambatannya, gelombang seismik akan mengakibatkan partikel-partikel lapisan bawah permukaan berosilasi yang didefiniskan sebagai suatu pergeseran dari keadaan normalnya atau shear. Ketika osilasi yang terjadi melampaui batas ambang pergeseran (shear) maksimum dari suatu lapisan, maka akan terjadi deformasi. Sehingga, semakin tinggi nilai dari suatu material lapisan tanah maka semakin mudah material lapisan tersebut untuk terdeformasi dan sebaliknya semakin rendah nilai dari suatu material lapisan tanah maka semakin massif dan sulit untuk terdeformasi. Isihara (1982) menyatakan adanya hubungan anatar sifat dinamika tanah dan nilai ground shear strain ( ) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil perhitungan ground shear strain di daerah penelitian menunjukkan bahwa, kota Padang memiliki nilai yang berkisar antara sampai . Nilai ground shear strain minimum sebesar diperoleh di titik pengukuran P068 yang berlokasi di kecamatan Kuranji sedangkan nilai ground shear strain maksimum sebesar diperoleh di titik pengukuran P039 yang berlokasi di kecamatan Nanggalo. Hasil perhitungan tersebut kemudian dipetakan untuk mengetahui distribusi nilai ground shear strain di Kota Padang seperti yang terlihat pada Gambar 3.
82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel 1. Nilai strain dan dinamika tanah (Ishihara,1982) Ukuran Regangan
10-6
Fenomena
Gelombang, Getaran
Dinamika Bahan
Elastis
10-5 retak, Diff Settlement
10-4
Elastis- Plastis
10-3
Efek pengulangan
10-2 Tanah longsong, pemadatan tanah Pelulukan KecepatanEfek pengulangan
10-1 Tanah longsor, Rekahan tanah Pelulukan KecepatanEfek pengulangan
Gambar 3. Peta Sebaran Nilai Ground Shear Strain Kota Padang Berdasarkan klasifikasi tingkat deformasi berdasarkan nilai ground shear strain (Isihara, 1982), suatu lapisan tanah permukaaan akan bersifat plastis jika nilai ground shear strain sebesar . Jika nilai ground shear strain suatu lapisan tanah permukaan melebihi maka lapisan tanah permukaan tersebut akan mengalami deformasi dan jika nilai ground shear strain suatu lapisan tanah permukaan melebihi maka akan dapat menyebabkan kerusakan ketika terjadi gempabumi bahkan dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor dan liquifaksi. Dari kajian tersebut, maka nilai ground shear strain daerah penelitian yang berkisar antara dapat diklasifikasikan menjadi nilai ground shear strain skala menengah yang
tersebar pada 47 titik pengukuran dan nilai ground shear strain daerah penelitian yang berkisar antara dapat diklasifikasikan menjadi nilai ground shear strain skala tinggi yang tersebar pada 56 titik pengukuran. Sebaran nilai ground shear strain berkesesuaian dengan data kerusakan akibat gempabumi 2009. Sebaran nilai ground shear strain menyerupai dengan sebaran indeks kerentanan seismik 𝐾 dan ketebalan lapisan sedimen Distribusi nilai ground shear strain tinggi terpusat di daerah penelitian sebelah barat di mana pada daerah tersebut memilki titik kerusakan terbanyak akibat gempabumi 2009.
83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Kesimpulan / Conclusions Pemetaan tingkat bahaya di Kota Padang akibat kejadian gempabumi sebagai bahan pertimbangan dalam mitigasi bencana dan perencanaan pembangunan dapat ditentukan melalui nilai ground shear strain. Nilai kota Padang berkisar antara sampai . Nilai daerah penelitian yang berkisar antara diklasifikasikan skala menengah yang dapat mengakibatkan terjadinya retak dan Diff Settlement sedangkan nilai yang berkisar antara diklasifikasikan skala tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor, pemadatan tanah hingga rekahan tanah. Pustaka Kastowo, Leo, G.W., Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1996, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Badan Geologi; Bandung. Budiono, K., Bambang, Saiful, dan Rimbanan, 2010, Proceeding PIT IAGI Lombok Farid, Muhammad, 2014, Disertasi, Universitas Gadjah Mada Isihara, K., 1982, Proc. Int. Symp. On Numerical Model in Geomech, 237-259. Saaduddin, Sismato, Marjiyono, 2015, Proceeding Seminar nasional Kebumian UGM Yogyakarta Nakamura, Y., 1996, Quarterly report of Railway Technical Research Inst. (RTRI) 37, 112–127. Nakamura, Y ., 2000, Proc XII World Conf. Earthquake Engineering, New Zealand,2656. USGS. http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/search/ . Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Bandung atas kesediaanya memberikan data mikrotremor Kota Padang untuk dilakukan analisis lanjutan.
84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Mapping of Volcanic Features in Atambua, NTT Area Based on Magnetic Method: Horizontal/Vertical Derivative, Euler Deconvolution and Pseudogravity Methods Edy Wijanarko1) and Eko Budi Lelolo1) 1)
Research and Development Center For Oil & Gas Technology “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama South Jakarta 12230, Telp.021 7222583 Fac.021 7226011 Email:
[email protected] Abstract. Exploration in Atambua, NTT was performed to understand subsurface geology which was aimed to evaluate its hydrocarbon potential. The subsurface mapping is based on geomagnetic method to provide images of advanced exploration methods. In geomagnetic method, there are several methods to interpret geological structures particularly related with volcanic features. It can be done using Horizontal/Vertical Derivative, Euler Deconvolution and Pseudogravity. Regional and residual anomalies separation use upward continuation method. According residual magnetic anomaly, it can be mapped the highs and grabens which occur in the study area. The highs appear as closure in the study area caused by anticline and intrusive rocks. Analyses of Horizontal/Vertical Derivative, Euler Deconvolution and Pseudogravity help to identify faults and volcanic features more accurately. Based on Euler Deconvolution, they can be divided into three distinct parts of volcanic features including west northwestern with intensive volcanic features, west southwestern part with intermediate features and middle to east part with the fewest volcanic features. After all, it can be interpreted that the study area shows hydrocarbon potential as indicated by the occurrence of thick sediment in the grabens which has opportunity the generate hydrocarbon. Keyword: Horizontal/Vertical Derivative, Euler Deconvolution, Pseudogravity, Magnetic, Atambua-NTT. Pendahuluan Tren peningkatan kebutuhan energi migas dari tahun ketahun terus terjadi sedangkan jumlah cadangan migas Indonesia semakin berkurang, sehingga perlu dilakukan suatu usaha guna mendapatkan sumberdaya hidrokarbon yang terdapat di cekungan-cekungan sedimen, baik cekungan mature maupun frontier, khususnya cekungan di kawasan timur Indonesia seperti di Atambua, NTT. Indonesia mempunyai 46 cekunagn sedimen tersier di kawasan timur Indonesia (BPMIGAS – LAPI ITB, 2008), yang terdiri dari 5 cekungan dengan status produksi, 17 cekungan dengan status ada indikasi hidrokarbon, 2 cekungan dengan status penemuan hidrokarbon, 20
cekungan belum ada penemuan dan 2 cekungan belum dieksplorasi. Penelitian ini secara umum digunakan sebagai data pendahuluan untuk mengetahui struktur bawah permukaan sehingga memudahkan dalam mengetahui potensi kandungan hidrokarbon. Oleh karena itu diperlukan akuisisi data geomagnetik yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penyebaran batuan vulkanik, membedakan penyebaran tinggian dan rendahan dalam cekungan sedimen antara proses tektonik terhadap instrusi batuan beku yang nantinya sebagai dasar penentuan lokasi survei geofisika lanjutan. Geologi Regional Tektonik Regional Tahap awal dari rifting Gondwana menghasilkan cekungan intracratonic. Cekungan dengan arah baratlaut-tenggara ini diisi oleh endapan Permian – Jura berupa silisiklastik, karbonat, dan sebagian batuan vulkanik yang disebut dengan sikuen Gondwana. Tahap awal dari intracratonic rifting kemudian disusul oleh breakup-related extention yang menghasilkan bukaan basin timur timurlaut- barat baratdaya yang hampir tegak lurus dengan rifting sebelumnya. Cekungan-cekungan dari rifting tersebut berada diatas ketidakselarasan dari break up pada umur Jura yang memisahkan sikuen pre-break up Gondwana dari sikuen post-break up kontinen Australia. Hal tersebut mempengaruhi perkembangan pulau Timor, Sumba, Savu dan Rote. Pada 6 juta tahun yang lalu, Timor masih merupakan pematang akresi yang di subduksi oleh sebagian besar basement Australia bagian distal. Pada saaat ini banda volcanic arc masih aktif. Kemudian pada 4 juta tahun yang lalu Proto-timor muncul ke permukaan dari hasil pemendekan unit yang menutupi pematang akresi dari kontinen Australia. Terjadi pengangkatan dan erosi banda terrane. Pada saat ini Sumba masih berupa cekungan fore arc sedalam 3-4 km dan Savu masih berupa cekungan fore arc sedalam 3 km. Banda volcanic arc terkontaminasi oleh
85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
kerak kontinen dari Australia. Pada 2 juta tahun yang lalu Timor mengalami pemendekan, pengangkatan dan ekspansi lateral dari kemunculan pulau Timor ke permukaan. Pulau Sumba mengalami pengangkatan teras koral secara cepat dikarenakan collision bagian ujung scott plateu terhadap busur kepulauan banda. Pulau Savu mengalami pengangkatan secara cepat dari kedalaman 2-3 km sampai ke permukaan. Pulau Rote mulai mengalami pengangkatan tahap awal. Pada bagian banda arc mengalami perkembangan back arc thrust. Kontaminasi kerak kontinen Ausralia pada bagian depan Timor semakin menyebar ke bagian timur dan barat. Sekarang yang terjadi pada pulau Timor adalah collision antara paparan Australia dengan busur kepulauan Banda dan terjadi pengangkatan cepat (1-10 mm/akre). Menutupnya bagian yang dahulunya adalah fore arc. Pulau Sumba mengalami pengangkatan cepat pada baian utara (0.5 mm/akre). Pulau Savu mengalami pengangkatan pada bagian utara (>0.3 mm/akre) karena perkembangan savu thrust yang mengarah ke utara dan subsiden pada bagian selatan. Pulau Rote terangkat dengan nilai pengangkatan tertinggi (1.5 mm/akre) sepanjang pantai selatan dekat dengan palung Timor. Sedangkan busur gunung api banda terjadi akresi menuju lempeng yang lebih rendah, pengangkatan dan vulkanisme bergeser ke arah utara. Stratigrafi Regional Secara umum tatanan stratigrafi regional di Timor Barat dapat dibagi menjadi tiga sekuen yaitu Sekuen Kekneno, Sekuen Kolbano, dan Sekuen Viqueque. Berdasarkan atas seluruh referensi regional tentang daerah penelitian menyebutkan bahwa Pulau Timor merupakan bagian distal dari Lempeng Kontinen Australia yang terdiri dari batuan sedimen dengan lingkungan pengendapan laut dangkal-laut dalam. Proses pembentukan cekungan dimulai pada umur Permian yang merupakan fasa syn-rift. Pada umur Permian mekanisme struktur yang berkembang adalah fasa ekstensional. Batuan sedimen yang diendapkan adalah pada lingkungan pengendapan laut dangkal dan laut dalam. Pada akhir umur Jura kontinen Australia mengalami break-up dengan Gondwana sehingga memunculkan ketidakselarasan dengan ditandai vulkanik laut dalam. Pada umur Kapur hingga Miosen Awal merupakan fasa post rift yang ditandai dengan batuan sedimen pada lingkungan passive margin. Pada umur Miosen Akhir terjadi collision antara lempeng Busur Kepulauan Banda dengan Lempeng Kontinen Australia. Pada Pliosen akhir tektonik cenderung relatif lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Evolusi tektonik yang berkembang pada Pulau Timor tersebut yang menyebabkan pola sedimentasi dari setiap umur selalu berubah. Pola sedimentasi pada pengendapan
syn-rift yang dimulai pada umur Permian hingga Jura memiliki pola sedimentasi mendalam keatas, hal ini terlihat dari batuan sedimen yang ditemukan pada Permian Awal adalah batuan sedimen danau hingga pada umur Jura terdiri dari batuan sedimen laut dalam. Pola sedimentasi pada fasa post-rift yang dimulai pada umur Kapur hingga Miosen awal memiliki pola sedimentasi mendangkal keatas, hal ini terlihat dari pengendapan Formasi Nakfunu yang muncul rijang dan kalsilutit, dan diatasnya adalah Formasi Ofu yang terdiri dari kalkarenit (Gambar 1).
Gambar 1 Lithostratigrafi Pulau Timor berdasarkan referensi regional. (A) kolom stratigrafi daerah penelitian berdasarkan Charlton (2001). (B) Kolom stratigrafi daerah penelitian berdasarkan Harris (2011). (C) Tektonostratigrafi berdasarkan referensi regional. Geomagnetik Metode geomagnetik merupakan salah satu metode geofisika yang sering digunakan untuk survei pendahuluan pada eksplorasi minyak bumi, panas bumi, batuan mineral, maupun untuk keperluan pemantauan gunungapi. Metode ini mempunyai akurasi pengukuran yang relatif tinggi, instrumentasi dan pengoperasian di lapangan relatif sederhana, mudah dan cepat jika dibandingkan dengan metode geofisika lainnya. Bumi berlaku seperti sebuah magnet sferis yang sangat besar dengan suatu medan magnet yang mengelilinginya. Medan itu dihasilkan oleh suatu dipole magnet yang terletak pada pusat bumi. Medan magnet bumi terkarakterisasi oleh parameter fisis yang dapat diukur. Parameter yang menggambarkan arah medan magnetik adalah deklinasi D (sudut antara utara magnetik dan utara geografis) dan inklinasi I (sudut antara bidang horisontal dan vektor medan total), yang diukur dalam derajat. Intensitas medan magnetik total F digambarkan dengan komponen horisontal H, komponen vertikal Z dan komponen horisontal ke arah utara X dan ke arah timur Y. Intensitas medan magnetik bumi secara kasar antara 25.000 – 65.000 nT. Untuk Indonesia, wilayah yang terletak di utara ekuator mempunyai intensitas 40.000 nT,
86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
sedangkan yang di selatan ekuator 45.000 nT (Telford dkk, 1990). Horizontal Gradient/Derivative (HG) HG merupakan perubahan nilai magnetik antara satu titik amat ke titik amat lainnya secara horizontal. Metoda HG telah digunakan secara ekstensif untuk mencari batas kontras suseptibilitas dari data magnetik. Gradien horizontal dari anomali magnetik yang disebabkan oleh suatu bodi cenderung untuk menunjukkan tepian dari bodinya tersebut. Sehingga metode ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi batas kontak kontras suseptibilitas horizontal dari data magnetik (Cordell, 1979).
Gambar 2 Nilai gradien horizontal pada suatu model tabular (Blakely, 1996). Metode Horizontal Gradient memiliki suatu keunggulan daripada metode lainnya, yaitu tidak rentan terhadap noise. Hal ini dikarenakan bahwa metode ini hanya memerlukan perhitungan turunan Horizontal pertama yang dikuadratkan dari suatu data (Salem, 2005). Metode ini juga baik untuk mendelineasi sumber anomali dangkal dan dalam, jika dibandingkan dengan metode gradien vertikal yang biasanya hanya mengidentifikasi struktur yang dangkal. Amplitudo dari Horizontal Gradient dapat ditunjukan dari persamaan berikut (1) (Cordell dan Grauch, 1985): √( )
Dengan
( )
ED. Secara teoritis metode SVD diturunkan dari persamaan Laplace untuk anomali gravitasi di permukaan, yang dituliskan dalam persamaan (2): (2). sehingga persamaan gradien vertikal dapat dirumuskan seperti pada permasamaan (3):
-
-
(3).
Nilai Second Vertical Derivative (SVD) dari suatu anomali magnetik sama dengan negative dari nilai Second Horizontal Derivative (SHD). Anomali yang disebabkan oleh struktur patahan naik mempunyai nilai harga mutlak minimal SVD yang selalu lebih besar daripada harga maksimal. Sedangkan anomali yang disebabkan struktur patahan turun akan mempunyai nilai harga maksimal lebih besar dibandingkan dengan harga mutlak minimal. Euler Deconvolution (ED) Euler Deconvolution adalah suatu metode untuk menghasilkan suatu peta yang menampilkan lokasi dan kedalaman sumber anomali dari sebuah medan potensial. Prinsip dari pengolahan data ini berdasarkan persamaan (4) sebagai berikut (Reid et al., 1990): G ( x xo) x
y
G G yo z zo N B G z y
(4).
Sumber Anomali xo, yo, zo dan B dapat dihitung dengan menyelesaikan persamaan linier yang dihasilkan. Dengan (xo,yo,zo) merupakan posisi sumber medan magnetik yang terdeteksi pada posisi (x,y,z), N struktur indeks (SI), B nilai anomali medan potensial dan G merupakan nilai magnetik observasi. Persamaan (4) dibuat dalam matrik (persamaan (5)) untuk memudahkan perhitungan.
(1). * +
nilai Horizontal Gradient, ( ) ialah turunan
nilai magnetik terhadap sumbu x, dan ( ) merupakan
[
]
(5). [
]
turunan nilai magnetik terhadap sumbu y. Second Vertical Derivative (SVD) Metode SVD dapat diterapkan pada anomali magnetik yang bebas noise untuk menentukan jenis patahan. Dalam menggunakan SVD, langkah awal yang dilakukan adalah dengan menarik garis lurus yang tegak lurus terhadap garis patahan yang telah diinterpretasikan oleh metode HG dan
Persamaan (5) disederhanakan menjadi: (6) ( dengan
)-
(7)
87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
,
dan
Pertama harus diperhatikan struktur apa yang akan dicari. Hal ini terkait dengan jenis sumber dan indeks struktural yang akan digunakan dalam perhitungan. Tabel 1 merangkum indeks struktural untuk model sederhana di medan magnet dan medan gravitasi. Tabel 1 Indeks struktur untuk model magnetik dan model gravitasi (Whitehead., 2005) SI 0.0 0.5 1.0 2.0 3.0
Magnetik Field Contact Thick Step Sill/Dyke Pipe Sphere
Gravity Field Sill/Dyke/Step Ribbon Pipe Sphere
Transformasi Pseudogravity Data pseudogravity merupakan gambaran anologis data gravitasi untuk benda dengan densitas yang memiliki kesebandingan dengan magnetisasi. Nilai kesebandingan yang dipakai adalah l00 kg/m3 per A/m (Blakely, 1995). Potensial skalar magnetik suatu elemen material magnetik dan gaya gravitasi suatu elemen massa mempunyai kesamaan, keduanya mempunyai besar yang berbanding terbalik dengan jarak sumbernya. Hal ini bisa digunakan untuk menurunkan hubungan antara medan gravitasi dan magnetik (persamaan (8)).
H (r) dengan
H (r)
adalah
intensitas magnetisasi,
F (r)
M F (r) G
medan
G
magnetik,
(8)
M
adalah
konstanta gravitasi umum,
gaya gravitasi. Gambar 3 mengilustrasikan hubungan antara anomali magnetik, pseudogravity dan horizontal gradient.
Gambar 3 Anomali magnetik, anomali pseudogravitasi dan besar gradien horisontal diatas bidang horisontal (Blakely, 1995) Data dan Metoda Akuisisi Data Pengambilan data lapangan magnetik dimulai dengan pengecekan alat terlebih dahulu. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan alat dan selisih relatif antar alat. Kemudian seluruh alat melakukan pengukuran awal di Base yang telah ditentukan, kemudian 1 alat tetap melakukan pengukuran di Base dan alat yang lainnya melakukan pengukuran di titik-titik yang telah ditentukan. Kegiatan mengukur variasi harian secara bersamaan dilakukan setiap harinya. Sebagai informasi tambahan, bahwa alat magnetik yang digunakan dilapangan ada 5 unit, 1 unit sebagai Base dan 4 unit lainnya yang melakukan pengukuran di titik-titik yang telah dilakukan. Saat melakukan pengukuran atau pengambilan data di lapangan, Operator selalu melakukan minimal 9 kali pengukuran dalam 1 titik pengukuran yang telah ditentukan. Hal ini dengan maksud mencari kestabilan pembacaan guna meminimalisir data yang terkena gangguan. Setelah selesai melakukan pengukuran dibeberapa titik yang telah ditentukan akan kembali ke Base untuk melakukan pengukuran akhir pada hari itu juga. Setelah selesai kemudian alat sebagai Base dimatikan. Pemrosesan Data Lapangan Hasil dari pengukuran data magnetik dilapangan akan didapat data dengan format file *.pmg. File tersebut memberikan informasi bacaan dilapangan disertai dengan waktu pengukuran dan label atau nama titik pengukuran. Dari data Base kita mendapatkan data yang nantinya akan digunakan untuk koreksi harian pada data titik stasiun lapangan. Untuk memperoleh data anomali magnetik total maka dilakukan koreksi yang meliputi koreksi harian dan koreksi IGRF. Koreksi harian bertujuan untuk menghilangkan efek
88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
magnetik harian, adapun koreksi IGRF bertujuan untuk menghilangkan pengaruh medan magnetik utama bumi. Berdasarkan referensi nilai IGRF daerah penelitian 45091.80 nT. Jumlah data medan magnetik total yang berhasil diukur di lapangan adalah 1200 buah yang membentang dari kabupaten Timor Tengah Selatan sampai ke Kabupaten Atambua. Hasil pengukuran kuat medan magnetik total tersebut memiliki nilai berkisar 43634.61 – 47326.16 nT. Hasil dan Diskusi Hasil yang didapat dalam penelitian ini berupa anomali magetik total. Kemudian diproses lebih lanjut sehingga didapakan anomali magnetik di kutub (900), anomali magnetik regional, anomali magnetik residual, anomali pseudogravity, anomali berdasarkan horizontal derivative atau horizontal gradient, anomali hasil SVD dan prediksi lokasi sumber anomali berdasarkan peritungan ED. Gambar 4 merupakan peta anomali magnetik total. Peta tersebut masih terdapat klosur-klosur dipole sehingga sulit diinterpretasikan secara lansung. Untuk itu diperlukan transformasi ke kutub (RTP/Reduce to Pole) sehingga benda penyebab anomali tepat terletak dibawah profile magetik. Titik-titik putih merupakan lokasi pengambilan data magetik sebanyak 1200.
memperlihatkan klosure anomali magnetik relatif dangkal, tersebar secara massif dibagian tengah hingga utara. Kontur pseudogravity yang ditumpang-tindih dengan anomali magnetik residual atau lokal juga berkorelasi dengan baik. Keduanya menggambarkan anomali tinggi dengan pola yang mirip, yaitu pada skala warna oranye-merah pada peta residual sementara berimpit pada klosur anomali tinggi pada peta pseudogravity. Peta pada Gambar 6 yaitu Peta Overlay Second Vertical Derivative, Horizontal Gradient dan Euler Deconvolution. Peta tersebut menggambarkan batas kotak antar batuan (HG), jenis sesar (SVD), kedalaman sumber anomali (ED). Peta pada Gambar 4, 5 dan 6 selanjutnya akan digunakan untuk analisis struktur geologi terutama berkaitan fitur vulkanik. Secara teknonik pulau Timor merupakan pulau terbesar dan paling selatan diantara pulau-pulau lain di sekitarnya seperti Tanimbar, Kai dan Seram yang membentuk Busur Banda. Busur Banda sendiri dipisahkan dari paparan benua Australia oleh Terusan dengan kedalaman 3 km (Barber, 1978).
Gambar 5 Peta Overlay Pseudogravity dan Anomali Magnetik Residual Gambar 4. Peta Anomali Magnetik Total Peta anomali magnetik total supaya lebih mudah diinterpretasi maka dilakukan transformasi ke kutub. Hal ini bertujuan agar arah medan magnetik dan magnetisasinya sama-sama ke bawah. Dengan demikian benda penyebab anomali magnetik berada di bawah profile magnetik yang dikaji. Gambar 5 menunjukkan peta anomali residual magetik yang sudah ditransformasikan ke kutub serta dipisahkan dari efek regionalnya (meggunakan metode Upward Continuation). Peta tersebut
Kemunculan pulau Timor erat kaitannya dengan busur banda yang merupakan busur kepulauan ganda berbentuk tapal kuda yang merupakan pertemuan antara 3 lempeng utama yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia (Hamilton, 1979). Busur Banda sering juga disebut Banda Suture karena merupakan zona pertemuan dari tiga lempeng yang berbeda (Hall & Wilson, 2000). Dengan demikian struktur di daerah ini cukup kompleks. Beberapa model tektonik menjelaskan tektonika Pulau Timor. Model pertama adalah model Overthrust yang dikemukan Audley - Charles (1986). Model kedua adalah model rebound dikemukan oleh Chamalaun & Grady
89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
(1978). Model ketiga adalah model imbrikasi dikemukan oleh Hamilton (1979). Model keempat adalah Model Duplex dikemukan oleh Harris (1991); Charlton dkk. (1991). Model kelima adalah model Overthrusted Margin dikemukan oleh Sawyer dkk.(1993). Model keenam adalah model Basement-involved thrust/inversi dikemukan oleh Charlton & Gandara (2012).
periode syn-rift, sementara sesar naik terkait dengan struktur lebih dangkal selama periode post-rift (Gambar 6).
Gambar 6 Analisis sebuah sayatan pada Second Vertical Derivative, Horizontal Gradient dan Anomali Magnetik Residual Kesimpulan
Gambar 6 Peta Overlay Second Vertical Derivative, Horizontal Gradient dan Euler Deconvolution Berdasarkan analisis ED didapatkan fitur vulkanik dalam dengan nilai cut-off 4000 meter, terdapat di bagian barat laut sampai utara. Struktur tersebut berasosiasi dengan nilai anomali magnetik residual antara 208 – 500 nT. Fitur vulkanik ini diprediksi berupa dyke/sill hasil penunjaman lempeng Australia terhadap lempeng Banda. Sementara fitur vulkanik yang terletak di kedalaman 1500-4000 meter tersebar hampir sepanjang northen block (bagian tengah ke barat sepanjang utara sampai selatan). Fitur vulkanik ini mempunyai nilai anomali magnetik residual 23 – 208 nT, diprediksi sebagai batuan intrusive yang ikut berperan dalam proses inversi basement saat post-rift. Hal ini mengakibatkan struktur sesar naik pada periode tersebut sehingga ketebalan sediment relatif berkurang. Fitur vulkanik yang lebih dangkal di atas 1500 meter dengan nilai anomali magnetik residual sekitar 0 – 23 nT. Fitur ini tersebar dibanyak tempat kecuali bagian central basin (bagian tengah NTT) relatif lebih sedikit. Analisis SVD dan Horizontal Gradient menunjukkan korelasi yang baik terhadap keberadaan anomali magnetik dari peta anomali magnetik residual. SVD memprediksi jenis sesar yang ada di daerah penelitian yaitu sesar naik yang intens serta sesar normal di bagian tengah-utara. Sesar normal terkait dengan struktur yang lebih dalam selama
Kesimpulan penelitian adalah terdapat beberapa fitur vulkanik yang terdapat di daerah penelitian. Daerah yang paling banyak fitur vulkanik ada di bagian utara sementara bagian central basin paling sedikit terkait fitur vulkanik. Dengan demikian untuk penelitian geofisika lanjutan bisa dilakukan di central basin karena memiliki ketebalan sedimen yang cukup tebal, diharapkan berpotensi menghasilkan hidrokabon dalam jumlah yang signifikan. Pustaka Audley-Charles, M. G. (1986). Journal of the Geological Society, 143(1), 161-175. Barber, A. J. (1978). Structural interpretations of the island of Timor eastern Indonesia. Blakely, R. J., 1995. Cambridge: Cambridge University Press. Blakely, R. J., 1996. Cambridge: Cambridge University Press. BPMIGAS – LAPI ITB, 2008 Charlton, T. R. (2001). Journal of Asian Earth Sciences, 19(5), 595-617. Charlton, T. R., Barber, A. J., & Barkham, S. T. (1991). Journal of Structural Geology, 13(5), 489-500. Cordell, L. (1979). Economic Geology, 74(6), 1383-1394. Cordell, L., & Grauch, V. J. S. (1985). The utility of regional gravity and magnetic anomaly maps, 181. FH Chamalaun, A. Grady; J. Aust. Petrol. Explor. Ass., 18 (1978), pp. 102–108 Hall, R., & Wilson, M. E. J. (2000). Journal of Asian Earth Sciences, 18(6), 781-808. Hamilton, W. B. (1979). US Govt. Print. Off.
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Harris, R. A. (1991). Journal of Southeast Asian Earth Sciences,6(3-4), 373-386. Harris, R. (2011). In Arc-Continent Collision (pp. 163-211). Springer Berlin Heidelberg. Reid, A. B., Allsop, J. M., Granser, H., Millett, A. T., & Somerton, I. W. (1990). Geophysics, 55(1), 80-91. Salem, A., 2005. Proceedings World Geothermal Congress, Turkey. Sawyer, R. K., Sani, K., & Brown, S. (1993). The stratigraphy and sedimentology of West Timor, Indonesia. Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sheriff, R. E. (1990). Cambridge university press. Whitehead, N., 2005, Geosoft Incorporate. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan rekan kerja di PPPTMGB “LEMIGAS” yang memberikan dukungan dalam penelitian ini.
91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ESTIMASI CADANGAN BATUBARA MEGGUNAKAN METODE DRILLING DAN SOFTWARE SURPAC
Curnia Sri Weny Bumbungan1,Andi Tenri Awali Wildana1, Reski Ayu Magfira1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Unhas Sari Indonesia merupakan Negara dengan kekayaan alam yang melimpah, dimana salah satunya adalah batubara. Batubara merupakan salah satu bahan galian yang bernilai ekonomis dan merupakan sektor andalan pengganti migas. Sebelum kegiatan eksplorasi, diperlukan penyelidikan untuk menentukan lokasi sebaran, kualitas dan jumlah cadangan. Metode drilling digunakan untuk mendapatkan data bawah permukaan sehingga menjadi data geologi dan contoh sampel untuk penentuan kualitas batubara. Data hasil pengukuran diolah menggunakan software surpac untuk menghitung perkiraan volume cadangan hipotetis dan overbourden tiap seam sehingga diketahui nilai stripping ratio (SR). Volume cadangan batubara untuk seam A_1 adalah 9.400,76 ton dan volume overburdennya adalah 56.840 ton sehinga nilai SR untuk seam A_1 adalah 1:6. Volume cadangan batubaranya 10.177,69 ton dan volume overburdennya sebesar 37.260 ton sehingga nilai SR untuk seam A_2 adalah 1:4. Dilihat dari nilai SR kedua seam maka dapat disimpulkan bahwa daerah ini prospek untuk dieksploitasi.
Tahap pertama dalam eksplorasi adalah penentuan singkapan dengan melihat strike-dip batuan. Pada umumnya sample batubara diambil pada setiap singkapan yang diteliti dengan mengambil sampel batuan pada kedalaman tertentu, dimana sample diambil sesuai dengan kedalam masing-masing singkapan. Pada beberapa singkapan yang mempunyai beberapa perlapisan batubara (seam), pengambilan sample tidak dilakukan pada setiap seam yang ada apabila sebagian sample yang diambil dianggap sudah mewakili berdasarkan profil kenampakan morfologisnya. Sample yang diambil adalah termasuk parting dan interburden yang ada di dalam setiap seam. Geologi Daerah Penelitian
Kata kunci: Batubara, metode drilling, stripping ratio Pendahuluan Batubara merupakan salah satu bahan galian yang bernilai ekonomis dan merupakan sektor andalan pengganti migas. Endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan). Kegiatan eksplorasi sangat penting dilakukan sebelum pengusahaan bahan tambang dilaksanakan, mengingat keberadaan bahan galian yang penyebarannya tidak merata dan sifatnya sementara yang suatu saat akan habis tergali. Sehingga untuk menentukan lokasi sebaran, kualitas dan jumlah cadangan serta pengambilannya diperlukan penyelidikan yang teliti agar tidak membuang tenaga dan modal. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini agar mampu mengetahui bagaimana sebaran dan cadangan batubara. Eksplorasi batubara merupakan suatu proses kegiatan untuk menentukan lokasi endapan batubara yang prospek untuk dikembangkan. Eksplorasi batubara bertujuan untuk menginventarisir serta melokalisir data endapan batubara yang ada di daerah studi guna mencari lokasi-lokasi singkapan batubara dan melaporkan daerah prospeksi hasil temuan di lapangan.
Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian Daerah penelitian tersusun atas Formasi Bebulu (Tmbl), Formasi Pulubalang (Tmpb), Formasi Balikpapan (Tmbp) dan Endapan Aluvium (Qa), (Hidayat.S dan Umar.L, 1994) a. Formasi Bebulu (Tmbl) terdiri dari batugamping dengan sisipan batulempung lanauan dan sedikit napal. Fosil yang dijumpai antara lain: Lepydociclina epiphioides JONES & CHAPMAN, Lepydociclina sp, Operculina sp, Operculinella, Myogypsinoides, Cycloclypcus. yang menunjukkan umur Miosen Awal. Terendapkan di lingkungan laut dangkal. Ketebalannya mencapai 1900 m. Lokasi tipe di daerah bebulu Kalimantan Timur, Formasi ini menindih selaras Formasi Pamaluan (Tomp). b. Fomasi Pulaubalang (Tmpb) tediri dari perselingan batu pasir kuarsa, batupasir dan batulempung, dengan sisipan batubara mengandung fosil Cycloclypeus sp,
92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
lepydocyclina sp, Miogypsina miogypsimoides dan Elusculinella bontangensis, yang menunjukkan umur meosen tengah. Terendapkan di lingkungan sublitoral dangkal. Tebal fomasi ini sekitar 900 m, Formasi Pulaubalang (Tmpb) menindih selaras Fomasi Pemalauan (Tomp) dan ditindih secara selaras Formasi Balikpapan (Tmbp). Lokasi tipe terdapat di Pulaubalang, Teluk Balikpapan c. Formasi Balikpapan (Tmbp) terdiri dari perselingan batupasir, batulempung lanauan, dan serpih dengan sisipan napal, batugamping, dan batubara. Batugamping mengandung fosil Elusculinea borneonsis Tan, Myogipsina lepidocyclina sp, Cycloclypeus annulatus yang menunjukkan umur miosen tengah bagian atas. Lingkungan pengendapannya litoral-laut dangkal. Ketebalan 800 m, lokasi tipe di Teluk Balikpapan, Pantai Kalimantan Timur. d. Endapan Aluvium (Qa) terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lempung, dan lumpur sebagai endapan sungai, rawa, pantai, dan delta. Tesebar disepanjang pantai timur tanah Grogot, Teluk Adang, dan Teluk Balikpapan. Data dan Metoda Data yang digunakan merupakan data primer. Sebelum melakukan survey lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi referensi antara lain mencakup pengeplotan koordinat wilayah ke dalam peta geologi regional dan peta rupa bumi untuk mengetahui formasi geologi daerah yang akan disurvey dan informasi geologi lainnya yang terkait dengan perkiraan sebaran batubara dan potensi geologinya. Selanjutnya peninjauan lapangan yang bertujuan untuk penelitian dan survey geologi atas singkapan batubara yang telah diketahui. Dalam peninjauan lapangan, juga dilakukan pengambilan sample batubara dari sejumlah lapisan (seam) yang diketemukan untuk dianalisa lebih lanjut tentang kualitas batubaranya. Analisa yang dilakukan adalah mencakup standard Proximate Analysis dan HGI. Tahap berikutnya adalah pengolahan data lapangan dengan memplot data hasil survey geologi ke dalam peta Rupa Bumi, termasuk pekerjaan digitasi peta Rupa Bumi atas wilayah penyelidikan di mana dijumpai singkapan batubara. Dari plotting data lapangan tersebut kemudian dilakukan rekonstruksi dan interpretasi atas sebaran dan kemenerusan lapisan batubaranya. Apabila hasil rekonstruksi sebaran batubara digabungkan dengan hasil analisa sample-nya maka akan dapat diidentifikasi dan dipetakan area yang secara geologis memiliki potensi cadangan batubara dan kualitasnya yang dipertimbangkan layak untuk ditindaklanjuti. Jika uji lab menunjukkan bahwa batubara tersebut layak untuk dieksplorasi maka akan dilakukan pemboran (drilling). Langkah terakhir yaitu mengolah data tersebut
menggunakan software Surpac untuk menghitung estimasi cadangan batubara yang tersingkap di bawah permukaan. Tabel 1 merupakan data hasil drilling yang menunjukkan keberadan batubara yang tersingkap di bawah permukaan. Hole_id DH 01 DH 02 DH 03 DH 04 DH 05 DH 06 DH 07
Depth from 14.25 11.1
Depth to 16.4 12.87
12 2.1 8.7
14.25 3.6 10.15
Max Depth 25 14 30 15 15 3.6 11
Seam A A
A A A
Hasil dan Diskusi Pada tahap survei awal, pertama dilakukan survei formasi cool-bearing yang terbuka secara alami dan beberapa pengeboran untuk mengetahui kedalaman dari lapisan batubara kearah kemiringan dengan maksud memastikan deposit batubara yang potensial. Kemudian akan berlanjut kepada teknik eksplorasi yang lebih tinggi menggunakan mesin dan peralatan yang spesifik. Kegiatan drilling diawali dengan planning pemboran yang mencakup penentuan titik, mengenai berapa jarak interval, kedalaman yang harus dilakukan proses pemboran serta luasan wilayah yang akan dilakukan pemboran. Setelah dilakukan planning dan telah ditentukan titik yang akan dibor pada skema model maka dilakukan proses penentuan titik bor dilapangan, kemudian melakukan survey layout dan ploting dilokasi pemboran yaitu melakukan preparasi pemboran dimana proses ini mencakup proses dilakukannya persiapan lokasi, yaitu dengan pembuatan mud pit (tempat sirkulasi air). Apabila daerah pemboran berada di daerah lereng dan bergelombang, maka dilakukan perataan tanah sehingga daerah titik pemboran rata dan tidak mengganggu jalannya proses pemboran dan juga termasuk keamanan/safety pada daerah tersebut diperhatikan. Setelah semua persiapan selesai, maka sesuai dengan planning awal apakah pemboran akan dilakukan dengan metode full core/coring maupun open hole dan apakah pemboran dilakukan dengan model miring atau vertical. Metode yang digunakan ini adalah drilling open hole. Selama proses pengeboran berlangsung, diperoleh data cutting yang merupakan material hasil gerusan mata bor (bit) yang mengalir keluar ke permukaan bersama fluid.
93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Cutting tersebut diambil setiap interval kedalaman tertentu yang menjadi representasi jenis litologi yang sedang dibor pada kedalaman interval tersebut. Data hasil bor kemudian diolah untuk penentuan cadangan.
Pustaka Hidayat,s dan Umar,L. 1994. Peta Geologi Lembar Balikpapan, Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada karyawan PT. Alpha Solaris International yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian dengan menggunakan data sekunder dari perusahaan. Terima kasih kepada Bapak Ruslin yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penelitian ini.
Gambar 2. Cadangan batubara dan overburden. Cadangan batubara yang prospek di suatu wilayah dapat diketahui dengan menghitung nilai Stripping Ratio (SR), dimana nilai SR merupakan perbandingan antara cadangan batubara dengan overburdennya. Terdapat 7 titik bor, dimana 5 diantaranya terdapat batubara sedangkan 3 lainnya blank. Ketebalan batubara untuk DH 01, DH 02, DH 05, DH 06, dan DH 07 masingmasing adalah 2,15 m, 1,77 m, 2,25 m, dan 1,5 m dan 1,45 m. Terdapat 2 singkapan batubara pada lokasi ini. DH 01, DH 02, dan DH 05 merupakan satu singkapan (seam A_1) sedangkan DH 06 dan DH 07 merupakan satu singkapan (seam A_2). Setelah diolah di software Surpac, volume cadangan batubara untuk seam A_1 adalah 9.400,76 ton dan volume overburdennya adalah 56.840 ton sehinga nilai SR untuk seam A_1 adalah 1:6. Untuk seam A_2, volume cadangan batubaranya 10.177,69 ton dan volume overburdennya sebesar 37.260 ton sehingga nilai SR untuk seam A_2 adalah 1:4. Dilihat dari nilai SR kedua seam maka dapat disimpulkan bahwa daerah ini prospek untuk dieksploitasi. Suatu daerah dikatakan prospek untuk diekploitasiberdasarkan kalkulasi perhitungan biaya eksplorasi terhadap nilai jual dari batubara tersebut. Kesimpulan Volume cadangan batubara untuk untuk seam A_1 9.400,76 ton dan volume overburdennya adalah 56.840 ton sehinga nilai SR untuk seam A_1 adalah 1:6. Untuk seam A_2, volume cadangan batubaranya 10.177,69 ton dan volume overburdennya sebesar 37.260 ton sehingga nilai SR untuk seam A_2 adalah 1:4. Volume cadangan batubara di daerah ini sebesar 19.578,45 ton. Dilihat dari nilai SR kedua seam maka dapat disimpulkan bahwa daerah ini prospek untuk dieksploitasi.
94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Penentuan Derajat Kualitas Air Limbah Melalui Spektrum Ultraviolet Sri Suryani Jurusan Fisika – FMIPA – Universitas Hasanuddin. Kampus UNHAS Tamalanrea. Jln. Perintis Kemerdekaan – Tamalanrea – Makassar 90245. Sari Air adalah medium yang kompleks, terutama air limbah yang terdiri dari berbagai komponen dengan sifat yang berkaitan dengan proses pengolahan air limbah, dan juga sumber air limbah. Dengan meningkatnya masalah lingkungan, maka kontrol terhadap kualitas air limbah menjadi lebih ketat. Parameter kualitas air limbah umumnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu senyawa organik (karbon organik total, karbon organik terlarut, nitrogen organik, dan lain sebagainya), dan senyawa spesifik (minyak, logam berat, dan lain sebagainya). Salah satu sifat senyawa organik adalah mempunyai serapan dalam daerah spektrum ultraviolet. Dengan menghitung kontribusi spektra ultraviolet beberapa unsur yang ada dalam senyawa tersuspensi, fraksi koloid, senyawa terlarut, dan residu pada spektrum air limbah, maka dapat diketahui derajat kualitas air limbah tersebut.
Gambar 1: Spektra UV beberapa senyawa organik yang terkandung dalam air limbah domestik.
Kata kunci : Kualitas air limbah, spektrum ultraviolet Pendahuluan / Introduction Perkembangan teknologi yang disertai dengan semakin kompleksnya industri manufaktur membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman dan mudah. Walaupun demikian di sisi lain, perkembangan industri manufaktur menghasilkan limbah yang lebih kompleks, sehingga menimbulkan permasalahan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air. Oleh sebab itu, pemerintah yang sangat prihatin dengan masalah pencemaran air ini, melalui Kementrian Lingkungan Hidup menetapkan nilai batas kualitas air dan air limbah. Penentuan derajat kualitas air, maupun air limbah umumnya menggunakan proses kimia yang meliputi beberapa tahapan, seperti pengukuran pH, kandungan beberapa unsur kimia, COD, BOD, oksigen terlarut, dan masih banyak lagi. Salah satu, instrumen yang sering digunakan dalam penentuan keberadaan dan konsentrasi suatu unsur organik adalah spektrofotometer UV-Vis. Spektrum ultraviolet umumnya menunjukkan puncakpuncak penyerapan antara panjang gelombang 200 hingga 350 nm. Puncak-puncak ini menunjukkan adanya molekul organik yang mempunyai kromofor dengan ikatan tidak jenuh (seperti C=C atau C=O).
Untuk air limbah yang berasal dari kegiatan masyarakat pemukiman biasanya didominasi oleh senyawa organik, dan sedikit mengandung senyawa spesifik (minyak, logam berat, ...). Sebaliknya, air limbah industri lebih didominasi senyawa spesifik dibandingkan dengan senyawa organik. Oleh karena, komponen senyawa organik dalam air limbah tidak hanya satu, tetapi sangat banyak, sehingga sangat sulit dan bahkan tidak mungkin mengetahui keseluruhan senyawa organik yang dikandungnya. Tabel 1 : Letak puncak beberapa senyawa organik. Letak puncak pada panjang Senyawa pH gelombang (nm) Fenol 5,15 216 dan 274 Asam maleat 2,53 210 Asam oksalat 6,02 200 Hingga saat ini, penggunaan spektrofotometer UV-Vis tersebut hanya terbatas untuk mendeteksi keberadaan dan konsentrasi unsur organik saja, tetapi dengan menggabungkan dengan program Microsoft Excell, ternyata spektrum ultraviolet yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi karbon organik dan COD. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka makalah ini akan menjelaskan pemanfaatan spektrum ultraviolet dalam menentukan derajat kualitas air limbah untuk senyawa organik.
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Data dan Metoda Air limbah diambil dari sungai yang merupakan tempat pembuangan limbah domestik organik, dan air sungai yang merupakan hulu. Selanjutnya diambil spektrumnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Beberapa sampel diberi perlakuan secara fisika-kimia. Empat spektrum ultraviolet dari air dipilih dan digunakan sebagai spektrum referensi. Spektrum tersebut adalah - Referensi 1 : spektrum UV dari air yang mengandung senyawa tersuspensi - Referensi 2 : spektrum UV dari air yang mengandung fraksi koloid - Referensi 3 : spektrum UV dari air yang mengandung senyawa terlarut - Referensi 4 : spektrum UV air yang mengandung senyawa akhir penguraian senyawa organik.
penjumlahan koefisien restitusi, maka akan semakin buruk kualitas air tersebut. Air limbah yang belum diolah mempunyai nilai tiga koefisien pertama sangat tinggi, yang merupakan spektrum ultraviolet yang mengandung senyawa tersuspensi, koloid, dan juga senyawa organik terlarut. Oleh karena, air limbah masih baru, maka tidak terdeteksi adanya senyawa residu, yang ditandai dengan nilai koefisien spektrum referensi nomor empat yang nilainya sama dengan nol.
Kemudian dilakukan restitusi spektrum UV air limbah dengan spektrum referensi dengan menggunakan persamaan least squares dan dimasukan dalam program Excell. S
q
i 1
a .R r i i
dengan a adalah koefisien spektrum referensi R, dan r adalah deviasi. Hasil dan Diskusi Hasil restitusi spektrum UV air limbah dengan spektrum referensi dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 : Hasil restitusi spektrum UV air limbah Nilai koefisien Jumlah Jenis sampel koefisien a1 a2 a3 a4 Air limbah belum 4,60 6,00 4,20 0 14,80 diolah Air limbah diolah dengan cara 0,05 8,44 3,36 0 11,85 fisika-kimia Air sungai mengandung 0,28 0,80 0,24 0,34 1,66 limbah domestik Air sungai tidak mengandung 0,02 0,03 0,02 0 0,07 limbah domestik Kualitas air limbah dapat diketahui melalui penjumlahan keempat koefisien spektrum referensi. Semakin tinggi nilai
Gambar 2 : Spektrum UV air limbah yang belum diolah Untuk air limbah yang sudah diolah secara fisika-kimia, nilai koefisien spektrum referensi nomor dua dan tiga tinggi, yang menggambarkan tingginya konsentrasi senyawa koloid dan senyawa terlarut. Keadaan ini menunjukkan bahwa proses pengolahan secara fisika-kimia berfungsi menaikan senyawa koloid. Untuk air sungai yang menerima limbah organik yang berasal dari pemukiman, tetapi mempunyai aliran yang baik, maka mempunyai empat nilai koefisien spektrum referensi. Jumlah koefisien mempunyai nilai lebih rendah dari spektrum UV air limbah yang belum diolah maupun yang telah diolah secara fisika-kimia. Adanya nilai koefisien dari setiap spektrum referensi menunjukkan adanya beberapa tahapan penguraian limbah yang telah terjadi. Penguraian tersebut dapat terjadi karena paparan radiasi matahari yang mengandung radiasi ultraviolet, karena sungai dalam keadaan terbuka. Untuk sungai yang berada di sekitar hulu atau sekitar daerah ketinggian, umumnya keadaan sungai relatif bersih, karena belum ada pencemaran yang berasal dari daerah pemukiman. Pencemaran yang mungkin terjadi, hanya berupa daun, tanaman, atau binatang kecil. Oleh sebab itu,
96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
nilai koefisien dari keempat spektrum referensi sangat rendah. Pustaka / References Besar deviasi (nilai r) pada pengukuran restitusi terjadi pada rentang daerah 0,0100 – 0,0158 atau berkisar 1 % hingga 1,5 %. Oleh sebab itu, metode ini dapat dikatakan cukup tepat. Kesimpulan Spektroskopi UV-Vis yang biasanya hanya digunakan untuk mendeteksi keberadaan unsur organik, ternyata dapat digunakan untuk menentukan kualitas air limbah. Kelebihan dari metode ini adalah tidak memerlukan reagen ataupun perlakuan pada sampel. Hasil yang diperoleh cukup akurat dan dalam waktu yang singkat.
Thomas O., and S. Gallot, 1990, Fresenius J. Anal. Chem. 338 : 234 – 237. SURYANI S., THERAULAZ, F, THOMAS, O, 1995, Trends in Analytical Chemistry (TRAC), 14/9. SURYANI, S, 2001, Prosiding “SEAWPIT98 & SEAWPIT2000, vol. 1. SURYANI, S. dan ARSYAD SUMAH, 2006, Prosiding 5th Biennial Conference on Marine Technology– Makassar, 4th- 5th Septembre 2006.
97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Sensor Salinitas Berbasis Serat Optik Plastik Konfigurasi Melengkung Salinity Sensor Based on Plastic Optical Fiber Bending Configuration Mustina dan Arifin Jurusan Fisika FMIPA UNHAS, Makassar Email:
[email protected] Sari Penelitian ini membahas tentang sensor salinitas yang digunakan untuk menentukan kadar garam suatu larutan. Sensor yang digunakan adalah serat optik plastik dengan konfigurasi melengkung pada bagian tengah. Sensor salinitas berbasis serat optik plastik terdiri dua jenis yaitu dibuat dari inti dan selubung dan sensor yang dibuat dari inti tanpa selubung dengan panjang bervariasi. Cahaya dari LED infra merah ditransmisikan ke dalam serat optik dan diteruskan ke detektor cahaya yang terhubung dengan voltmeter. Pengukuran dilakukan pada persentase kadar garam yang bervariasi mulai 0% sampai 50% dengan rentang 5%. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perubahan persentase kadar garam pada sensor menyebabkan perubahan intensitas cahaya pada serat optik plastik dan mengakibatkan perubahan pada tegangan keluaran. Semakin tinggi persentase kadar garam suatu larutan, maka semakin kecil tegangan keluaran pada alat ukur. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas dan resolusi sensor serat optik plastik dengan inti dan selubung lebih baik dibandingkan dengan sensor serat optik dengan inti tanpa selubung. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin pendek sensor yang digunakan, maka sensivitas dan resolusi sensor salinitas berbasis serat optik semakin baik. Kata Kunci: Sensor salinitas, serat optik plastik, konfigurasi melengkung Abstract This study discusses the salinity sensors are used to determine the salt content of a solution. The sensor used is a plastic optical fiber with a bending configuration at the center. Salinity sensor based on plastic optical fiber consists of two types, which are made from the core and cladding and sensors are made from core without cladding with varying length. Light from the infrared LED is transmitted into the optical fiber and passed to the light detector connected to a voltmeter. Measurement were taken at the percentage salinity varied from 0% to 50% for 5% range. The measurement results show that the percentage change in the salinity on the sensor causing changes in light intensity in the optical fiber and resultuting change in the output voltage. The higher the percentage of salinity solution, the smaller the output voltage on the measuring instrument. Of the result showed that the sensitivity and resolution of the sensor with a plastic optical fiber core and
cladding better than the optical fiber sensor with core without cladding. The results also indicate that the shorter the sensor is used, the sensitivity and resolution salinity sensor based optical fiber, the better. Keywords: Salinity sensor, plastic optical fiber, bending configuration Pendahuluan / Introduction Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi informasi secara global berkembang sangat pesat dengan hadirnya teknologi serat optik sebagai penggerak utama dibalik revolusi telekomunikasi. Teknologi serat optik secara luas diterapkan sebagai media transmisi tunggal yang paling cocok untuk suara, video, dan pengiriman data [1]. Serat optik adalah sebuah kaca murni yang panjang, tipis dan memiliki diameter yang berukuran mikro. Serat optik pada umumnya digunakan sebagai transimisi data digital berupa cahaya pada jarak jauh [2]. Penggunaan serat optik sebagai sensor menawarkan banyak keuntungan, di antaranya adalah sensor serat optik dapat dirancang dan digunakan pada sistem pengukuran jarak jauh [3]. Pada perkembangannya, serat optik plastik telah banyak dilakukan penelitian dalam berbagai bidang. Antara lain pada bidang medis yang telah dikembangkan oleh Wayan dalam pembuatan sensor pernapasan berbasis serat optik plastik dengan selubung (cladding) terkelupas [4]. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhiruddin yang menggunakan polianilin nano struktur sebagai sensor pengganti selubung yang digunakan untuk mendeteksi uap HCl [5]. Selanjutnya penelitian tentang sensor kelembaban yang dilakukan oleh Akhiruddin menggunakan lapisan gelatin sebagai pengganti selubung pada serat optik. Pengujian respon dilakukan dengan pengukuran intensitas cahaya yang dipancarkan pada probe serat optik dengan beberapa variasi perlakuan kelembaban berbeda [6]. Penelitian yang dilakukan oleh Rudi menggunakan sensor serat optik moda-jamak berbentuk W dengan selubung dikupas untuk menentukan konsentrasi larutan NaCL. Hasil yang diperoleh bahwa perubahan rugi daya pada sensor sebanding dengan perubahan konsetrasi NaCL. Semakin besar konsentrasi larutan yang terukur, maka semakin besar pula rugi daya yang dialami sensor serat optik [7].
98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Upaya-upaya dalam meningkatkan sensitivitas sensor telah banyak dilakukan berbagai cara, salah satunya dengan pengelupasan selubung seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya [4, 5, 6]. Sensor dengan selubung terkelupas telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti pada bidang lingkungan yang telah diteliti oleh El-Sherip dengan mengganti selubung dengan bahan kimia yang lebih sensitif terhadap pestisida [8]. Penelitian tentang sensor pH yang dilakukan oleh Matiin dengan menggunakan serat optik plastik untuk mengetahui pengaruh variasi kelengkungan sensor pH. Sensor ini menggunakan Sol Gel sebagai pengganti selubung untuk mendeteksi pH [9]. Penelitian yang dilakukan ini adalah merancang dan membuat suatu sensor menggunakan serat optik plastik untuk mengukur kadar garam (salinitas). Sensor yang digunakan terdiri dari dua konfigurasi yaitu sensor serat optik plastik dengan inti dan selubung serta tanpa selubung. Sensor salinitas diharapkan dapat mendeteksi perubahan indeks bias oleh variasi persentase kadar garam suatu
larutan. Keunggulan sensor salinitas ini adalah memiliki teknik pengukuran yang sederhana, fabrikasi mudah dengan biaya murah dan dapat digunakan untuk pengukuran secara kontinu. Metodologi Penelitian Perancangan sensor salinitas berbasis serat optik plastik konfigurasi melengkung untuk mendeteksi kadar garam suatu larutan dengan skema rangkaian secara lengkap ditampilkan seperti pada Gambar 1. Sensor salinitas menggunakan konfigurasi melengkung pada serat optik yang dibuat dengan inti dan selubung serta inti tanpa selubung. Sumber cahaya yang digunakan yaitu LED infra merah jenis IF-E91A yang mentrasmisikan cahaya pada panjang gelombang 950 nm. Jenis serat optik plastik adalah serat moda-jamak indeks tangga (multi-mode step index) dengan diameter 1000 µm dengan indeks bias inti 1,492 dan indeks bias selubung 1,402 serta nilai celah numerik NA = 0.5. Detektor cahaya yang digunakan adalah fototransistor jenis IF-D92 sebagai detektor cahaya.
Gambar. 1. Skema sensor salinitas berbasis serat optik plastik konfigurasi melengkung Pengujian sensor salinitas berbasis serat optik plastik dilakukan dengan variasi panjang sensor yang terdiri dari 2 cm, 3 cm, 4 cm, dan 5 cm. Prinsip kerja sensor salinitas berbasis serat optik plastik yaitu cahaya LED ditransmisikan melalui serat optik plastik dan diterima oleh fototransistor, kemudian diteruskan ke penguat dan akan terbaca pada voltmeter. Perubahan kadar garam pada larutan mengakibatkan perubahan indeks bias larutan di sekitar sensor. Hal ini akan menyebabkan perubahan rugi daya pada sensor dan menimbulkan perubahan intensitas yang diterima oleh fototransistror. Atenuasi cahaya pada
sensor oleh akibat rugi daya pada sensor menyebabkan perubahan tegangan keluaran pada alat ukur. Hasil dan Diskusi Sensor salinitas berbasis serat optik plastik diuji dengan menggunakan larutan dengan kadar garam yang bervariasi yaitu 0% sampai dengan 50% dengan rentang 5%. Sensor diuji dengan konsentrasi larutan yang sama untuk setiap panjang sensor yang bervariasi. Hasil pengukuran perubahan tegangan keluaran terhadap persentasi kadar garam larutan ditampilkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 2. Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap salinitas menggunakan sensor serat optik plastik dengan inti dan selubung
Gambar 3. Grafik Perubahan Tegangan Keluaran Terhadap Salinitas Menggunakan Sensor Serat Optik Dengan Inti Tanpa Selubung Dari grafik hasil pengukuran sensor salinitas berbasis serat optik menunjukkan bahwa perubahan tegangan keluaran sebanding dengan perubahan konsentrasi kadar garam larutan. Semakin tinggi persentasi kadar garam pada larutan yang terukur, maka semakin berkurang tegangan keluaran pada alat ukur tersebut. Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa semakin panjang ukuran sensor maka tegangan keluaran semakin kecil. Hal ini disebabkan karena semakin panjang sensor yang digunakan, maka rugi daya pada sensor semakin besar yang menyebabkan tegangan keluaran pada sensor semakin kecil.
Data hasil pengukuran di atas selanjutnya dianalisis untuk mengetahui range, sensitivitas dan resolusi sensor yang dibuat. Berikut ini persamaan yang digunakan untuk mengetahui range tegangan keluaran sensor. (1) dimana Vmax merupakan tegangan keluaran maksimum, dan Vmin merupakan tegangan keluaran minimum. Sensitvitas sensor dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
(2) dengan Kmax sebagai konsentrasi maksimum dan Kmin sebagai konsentrasi minimum. Selanjutnya resolusi sensor dihitung dengan persamaan berikut ini: (3)
dengan N merupakan skala terkecil dari multimeter yang digunakan yaitu 0.001Volt dan S adalah sensitivitas dari sensor pergeseran. Data dari hasil pengukuran menggunakan sensor salinitas berbasis serat optik plastik dianalisis menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) di atas. Hasil perhitungan yang diperoleh adalah nilai range tegangan keluaran, sensitivitas dan resolusi sensor, seperti yang ditampilkan padaTabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Sensor Salinitas Berbasis Serat Optik Plastik Jenis Sensor
Inti dan Selubung
Inti tanpa Selubung
Panjang Sensor (cm)
Range (Volt)
Sensitivitas (mV/%)
Resolusi (%)
2 cm
0,514
10,280
0,097
3 cm
0,472
9,440
0,106
4 cm
0,401
8,020
0,125
5 cm
0,328
6,560
0,152
2 cm
0,203
4,060
0,246
3 cm
0,187
3,740
0,267
4 cm
0,133
2,660
0,376
5 cm
0,122
2,440
0,410
Data pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sensor salinitas berbasis serat optik plastik yang menggunakan konfigurasi sensor yang terdiri dari inti dan selubung memiliki range, sensitivitas, dan resolusi yang lebih baik dibanding dengan konfigurasi sensor yang menggunakan inti tanpa selubung. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan bertambahnya panjang sensor serat optik plastik, maka tegangan keluaran sensor semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh rugi daya pada sensor yang dikupas selubungnya akan bertambah besar sebanding dengan bertambahnya panjang sensor yang digunakan. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tegangan keluaran sebanding dengan salinitas suatu larutan. Semakin tinggi salinitas suatu larutan, maka semakin kecil tegangan keluaran sensor. Sensitivitas dan resolusi sensor berbasis serat optik plastik dengan inti dan selubung lebih baik dibandingkan dengan sensor serat optik dengan inti tanpa selubung. Sensitivitas dan resolusi terbaik diperoleh pada konfigurasi sensor pada inti dan selubung dengan pangjang 2 cm yaitu 10,280 mV/% dan 0,097 %. Semakin panjang sensor serat optik plastik yang digunakan, maka semakin kecil pula tegangan keluaran yang dihasilkan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semakin pendek sensor yang digunakan, maka karakteristik sensor yaitu range, sensitivitas, dan resolusinya semakin baik.
Daftar Pustaka 1. Pal, B. P. 2010. ISBN: 978-953-7619-82-4, pp. 674692. 2. Setiono, A., Widiyatmoko, B. 2012. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Vol. 30, no. 2, pp. 33-36. ISSN: 0125-9121 3. Arifin, A., Hatta, A. M., Muntini, M. S., Rubiyanto, A. 2014. Indian Journal Of Pure & Applied Physics, vol. 52 (Agustus), pp. 520-524. 4. Suana, W. 2012. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, vol. 8. no. 2, pp. 1-2. 5. Maddu, A., Sardy, S., Zain, H. 2008. Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia, vol. 8, no. 1. ISSN no. 0854-3046, pp. 1-11. 6. Maddu, A., Modjahidin, K., Sardy, S., Zain, H. 2006. Makara, Teknologi, vol. 10, no. 1, pp. 45-50. 7. Wibowo, R., Rubiyanto, A. 2012. Jurnal Sains dan Seni ITS, vo. 1, no. 1. ISSN: 2301-928X, pp. 70-72. 8. El-Sherip, M., Bansal, L., Yuan, J. 2007. Sensor, vol. 7, pp. 3100-3118. ISSN 1424-8220, pp. 3100-3118. 9. Matiin, N., Hatta, A. M., Sekartedjo. 2012. urnal Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, pp. 1-6.
Tegang 101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Studi Pemetaan Kerentanan Air Tanah Terhadap Pencemaran Polutan Nitrat dengan Menggunakan Metode Drastic di Kota Kendari Wa Ode Suwardi1 Suriyaidulman Rianse1, Sevtho Linggi Allo 1 , Rifkha Zulfaaini Rifai2 Deniyatno2, Rezky Dwi Fitriani3 1 Teknik Geologi Unive rs itas Halu Oleo, 2Teknik Geofis ika Unive rs itas Halu Oleo, 3 Farmasi Unive rsitas Halu Oleo Email: waodes
[email protected] Sari Wilayah Kota Kendari terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah daratannya sebagian besar terdapat di daratan Pulau Sulawesi mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat 1 Pulau yaitu Pulau Bungkutoko. Luas wilayah 2
daratan Kota Kendari 295,89 Km atau 0,70% dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi hidrogelogi yang bersifat kualitatif, untuk mengetahui tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran polutan nitrat. Penelitian ini menggunakan metode DRASTIC. Metode DRASTIC dikembangkan untuk menduga kerentanan air tanah terhadap pencemaran yang meliputi kedalaman air tanah, pengisian kembali, jenis akuifer, jenis tanah, kemiringan lereng, dampak zona tak jenuh dan konduktifitas hidrolik. Hasil dari perhitungan DRASTIC kerentanan air tanah dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu rendah sedang dan tinggi. Potensi pencemaran rendah meliputi 66,68395 atau seluas 17770,717135 Ha sedangkan potensi pencemaran sedang menempati sekitar 31,55533 % atau seluas 8409,130617 Ha sedangkan potensi pencemaran yang tinggi meliputi 1,760717 % atau seluas 469,242438 Ha wilayah kota kendari. Dari hasil analisis laboratorium kadar nitrat daerah penelitian termasuk dalam golongan rendah yaitu 0,85-1,35.
meningkatnya pemukiman, karena pada dasarnya pemukiman atau tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, sehingga menyebabkan pemukiman akan semakin padat. Dengan semakin padatnya pemukiman pada suatu wilayah maka akan semakin banyak pula limbah yang dihasilkan, baik itu limbah organik maupun limbah anorganik. Kandungan nitrat dalam air sumur dapat berasal dari berbagai sumber. Apabila sumur berada pada lokasi yang tidak terbuka maka satu-satunya jalan masuknya kedalam air sumur melewati tanah terbawa oleh air dan merembes masuk kedalam sumur. Kadar nitrat dalam air bersih yang tinggi menyebabkan gangguan kesehatan terutama sangat berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Kandungan nitrat lebih dari 10 mg/l dapat menyebabkan penyakit Methemolobinemia pada bayi. Bila kandungan nitrat dalam air minum pada tingkat 100-200 mg/l menyebabkan penyakit kanker. Untuk itu diperlukan suatu penelitian guna mengetahui seberapa besar kandungan nitrat terutama pada air tanah, dengan melakukan pengambilan conto air dari sumur penduduk. Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaitkan jumlah pendudu dan geologi setempat dengan besaran kandungan nitrat di kota Kendari sehingga dapat diketahui sejauh mana kegiatan manusia telah mempengaruhi kondisi kualitas air tanah.
Kata Kunci : air tanah, nitrat, polutan, DRASTIC Pendahuluan Kerentanan air tanah terhadap pencemaran terdiri dari dua macam yaitu kerentanan intrinsik dan kerentanan spesifik. Kerentanan air tanah secara intrinsik dipengaruhi oleh kondisi fisik daerahnya saja, sedangkan kerentanan air tanah secara spesifik dipengaruhi oleh kondisi non fisik seperti aktivitas manusia sebagai sumber pencemaran. Berbagai macam aktivitas dari manusia yang dapat menyebabkan pencemaran misalnya penggunaan lahan seperti permukiman, pertanian, bangunan, dan sebagainya. Pertambahan jumlah penduduk akhir-akhir ini kian pesat terjadi di Indonesia termasuk di wilayah Kota Kendari. Bertambahnya jumlah penduduk akan diiringi dengan
Rumusan Masalah dari penelitian ini adalah terkait dengan bagaimana kondisi hidrogelogi ini bersifat kualitatif, bagaimana tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran polutan nitrat. Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui kondisi hidrogelogi yang bersifat kualitatif, Untuk mengetahui tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran polutan nitrat.
Data dan Metoda Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan adalah: 1. Analisis spasial berdasarkan metode DRASTIC. 2. Analisis laboratorium berupa analisis kualitas air.
102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisi spasial data sekunder dengan tahapan identifikasi parameter meteorologi dan hidro geologi yang di butuhkan untuk perhitungan metode DRASTIC, antara lain: kedalaman air tanah, curah hujan, tekstur tanah, jenis media akuifer, topo grafi, jenis material penyusunan zona fadose dan konduktifitas hidrolik Indeks DRASTIC untuk suatu area dihitung dengan persamaan berikut: DI = Dr Dw + Rr Rw + Ar Aw + Sr Sw + Tr Tw + Ir Iw + Cr Cw. Subskrip R dalam persamaan di atas menunjukkan peringkat nilai untuk masing-masing faktor dalam area yang ditinjau sedangkan subskrip W menunjukkan peringkat nilai kepentingan untuk masing-masing faktor. Analisa laboratorium digunakan untuk menganalisis sampel air yang mengandung nitrat dari hasil perhitungan metode DRASTIC.
Tabel 3. Media akuifer No
Media Akuifer
1
Mass ive Shalle
2
2
Batuan Metamorf
3
3
Batuan Metamorf yg mengala mi pelapukan
4
4
Glac ia l T ill
6
5
6
6
Bedded Sands tone,lapis an batukapur dan shale saling bergantian Batu Pas ir Mass ive
7
Pas ir dan Ke rikil
8
8
Bas alt
9
9
Kars t batu Kapur
1 0
Nilai pembobotan atau rating untuk masing- masing faktor berkisar 1-10 disajikan dalam Tabel 1.1.
5
La ju pengis ian ke mbali (curah hujan)
4
Media akuifer
3
Media tanah
2
Ke miringan
1
Da mpak terhadap zon a fadose (impac of the vados e zone) Konduktifitas hidrolik a kuifer (hidro lic conductifity)
aran Curah
3,0-9 9,0-15 15-22 22-30 >30
0– 1500 – 2000 – 2500 – > Tabel 5. Media Tanah
Soil Media
No
Rating
1
Tipis atau tidak ada/ top s oil
1
5
2
Kerikil
0
3
3
Pas ir
10
4
Tanah liat yang mengembang
9
5
Le mpung berpas ir (Sand low)
7
6
Le mpung (Loa m)
5
7
le mpung berdebu (Silly loa m)
4
8
Le mpung berurat (Clay loa m)
3
9
Tanah liat yang tidak menyusut (mengembangkan materia l zona tak jenuh)
1
Kisaran Nilai Pe mbobotan Para meter Kerentanan (Aller, et. Al, 1987 in ros en 1993 and Widyastuti, 2003) Tabel 2. Kedala la man air tanah No Kisaran Kedalaman Rating 1 0-1,5 10 2 1,5-3 9 3 4 5 6 7
6
Tabel 4. La ju pengis ian ke mba li curah hujan
Tabel 1.Nilai Kepentingan untuk masing-masing faktor Drastic (Alle r et al., 1987 dalam Widyastuti, 2003) Nilai atau bobot Faktor Kepentingan Kedalala man air tanah
Rating
7 5 3 2 1
103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel 6. Kemiringan Lereng No
Kis aran Topografi
Rating
1
0– 2
10
2
2.0 – 6
9
3
6.0 – 12
5
4
12.0 – 18
3
5
> 18
1
Tabel 7. Da mpak terhadap zone fadose (impac of the vados e zone) No
Meterial Zona tak Jenuh
Rating
1
Lanau dan le mpung
1
2
Shale
3
3
Batugamping
6
4
Batupasir
6
5
Bedded limes tone, batupasir, shale
6
Tabel 8. Konduktifitas hidrolik a kuifer (hidro lic conductifity) No
konduktifitas hidrolik
Rating
1
1-100
1
2
100-300
2
3
300-700
4
4
700-1000
6
5
1000-2000
8
6
>2000
10
Hasil dan Diskusi Kota Kendari terletak di 3º54‟30” – 4º3‟11” LS dan 122º23‟ – 122º39‟ BT dengan luas sekitar 295,89 km². Wilayah Kota Kendari berbatasan dengan: Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe di sebelah Utara, Laut Kendari, di sebelah Timur, Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan di sebelah Selatan, serta Kecamatan Ranomeeto (Kabupaten Konawe Selatan) dan Kecamatan Sampara (Kabupaten Konawe) di sebelah Barat.
Gb. 1 „peta daerah peneelitian
104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Pengaruh masing-masing parameter DRASTIC tingkat kerentanan pencemaran dapat dilihat sebagai berikut:
perhitungan DRASTIC jenis akuifer diberikan rating 6 (peta geologi kota Kendari tahun 2012).
1. Kedalaman air tanah Kedalaman air tanah akan berpengaruh terhadap lama waktu yang dibutuhkan oleh kontamian untuk mencapai muka air tanah. Semakin dalam muka air tanah maka potensi kontaminasi air tanah akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya bila muka air tanah semakin dangkal maka potensi kontaminasi air tanah akan semakin besar.
4. Media tanah Tanah mempunyai dampak yang langsung dan sangat signifikan dari jumlah recharge air yang meresap kedalam tanah hingga mencapai muka air tanah dan juga mempengaruhi pergerakan kontaminan. Kemampuan dari material tanah dengan tekstur yang halus, seperti lanau dan lempung, dapat menambah permeabilitas tanah sehingga akan membatasi pergerakan kontaminan.
Kedalaman air tanah pada daerah penelitian terbagi atas, air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal terdiri dari daerah rawan pasang surut yaitu daerah dengan kedalaman air tanah < 3 meter dengan potensi aquife sedang Q=5ltr/dtk, pada kedalaman ini diberi rating 9. Daerah dengan kedalaman air tanah 3-10 m dengan potensi aquifer sedang Q=3-5 ltr/dtk diberi rating 7. Air tanah dalam berkisar >10 m dengan potensi aquifer sedang rendah Q=1 ltr/dtk, diberi rating 5, potensi aquifer rendah setempat Q=1 ltr/dtk diberi rating 2, dan potensi aquifer rendah sampai sedang Q=1-3 ltr/dtk diberi rating 1 (peta hidrologi kota Kendari tahun 2012). 2. Laju pengisian air kembali / Curah hujan Jumlah curah hujan menggambarkan jumlah dari air yang meresap ke dalam tanah dan mencapai muka air tanah. Curah hujan tersebut mengontrol volume air yang mengandung kontaminan tertransport pada daerah atau jenuh maupun tak jenuh air. Secara umum, bila jumlah curah hujan semakin besar maka potensi kontaminasi air tanah akan semakin besar, begitu juga sebaliknya jika jumlah curah hujan semakin sedikit maka potensi kontaminasi air tanah akan semakin kecil. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Maritim kota Kendari, rata-rata curah hujan kota Kendari dari tahun 2013-2015 adalah 1.106 mm yang termasuk dalam kategori rendah. Dalam DRASTIC diberi rating 2. 3. Media penyusun akuifer Media akuifer mempengaruhi jumlah dari material permukaan yang terkontaminasi dalam menembus lapisan akuifer. Rute dimana kontaminan akan mengalir tergantung dari sifat fisik dari media akuifer, yaitu retakan, porositas atau permeabilitas. Semakin besar kemampuan akuifer untuk menahan kontaminan maka waktu tempuh pergerakan kontaminan akan semakin lama sehingga potensi kontaminasi air tanah akan semakin kecil. Media penyusun akuifer terdiri dari batupasir, lempung, batugamping, konglomerat dan endapan alluvium serta sisipan serpih dan kuarsit. Batupasir membentuk akuifer utama pada daerah penelitian, dan endapan aluvium terdapat pada sepanjang aliran sungai Wanggu. Dalam
Berdasarkan peta jenis tanah kota Kendari tahun 2007 material tanah pada daerah penelitian terdiri dari 6 jenis tanah yaitu aluvial, gleisol, kambisol, litosol, dan mediteran. Dalam DRASTIC jenis tanah aluvial diberi rating 7, jenis tanah gleysol diberi rating 6, jenis tanah kambisol diberi rating 7, jenis tanah mediteran diberi rating 3 dan jenis tanah podsolik diberi rating 5 (peta jenis tanah kota Kendari tahun 2012). 5. Kemiringan Topografi Topografi tergantung pada kelerengan. Setiap permukaan tanah mempunyai kelerengan yang bervariasi. Topografi membantu dalam mengontrol kontaminan mengalir atau ditahan di permukaan. Kelerengan yang mempunyai potensi besar bagi kontaminan untuk meresap akan berasosiasi dengan potensi pencemaran air tanah yang lebih besar. Semakin curam kelerengan maka jumlah run off akan semakin besar sehingga air terkontaminasi yang meresap kedalam tanah dan mencapai muka air tanah atau lapisan akuifer juga akan berkurang. Suatu daerah dengan kelerengan yang landai akan menyebabkan air tertahan di permukaan sehingga air terkontaminasi akan lebih berpotensi untuk meresap dan mencemari air tanah. Kemiringan topografi daerah penelitian berkisar antara 0-3 % diberi rating 10, kemiringan lereng 3-8 diberi rating 9, kemiringan lereng 8-15 diberi rating 5 dan > 15 diberi rating 1 (peta lereng kota Kendari tahun 2012). 6. Media fadose zone Jenis dari zona tidak jenuh air (fadose zone) ditentukan berdasarkan karakteristik dari material, termasuk jenis dan batas tanah serta batuan dibawah muka air tanah. Material tersebut nantinya akan menjadi media yang mengontrol arah maupun panjang lintasan yang menyebabkan waktu dapat berkurang dan kuantitas dari material juga akan semakin kecil. Arah lintasan sangat tergantung dari banyaknya retakan yang ada, selain itu juga adanya pengaruh dari faktor permeabilitas tanah dan juga kedalaman dari muka air tanah. Dalam DRASTIC media zona tidak jenuh diberikan rating 1-6.
105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
7. Daya konduktifitas hidrolik Daya konduktifitas hidrolik bergantung pada tipe batuan pada daerah penelitian (putrantoTT dkk 2008). Batupasir kuarsa memiliki rentan antara 50-100, batu gamping 3001000, dan Batulempung 2-20, batupasir berkwarsa 3001000 ( Astier 1971). Dalam DRASTIC daya konduktifitas hidrolik diberi rating 1-6. 8. Jumlah penduduk Jumlah penduduk tidak termasuk dalam perhitungan DRASTIC, namun sangat mempengaruhi dalam kondisi pencemaran air tanah. Semakin tinggi jumlah penduduk suatu tepat maka semakin tinggi potensi pencemran, dan semakin rendah jumlah penduduk maka semakin kecil pula potensi pencmaran. Jumlah penduduk kota Kendari 9. Tata guna lahan Tataguna lahan juga tidak termasuk dalam perhitungan DRASTIC, namun parameter ini juga sangat mempengaruhi dalam resiko pencemaran. Tingkat resiko pencemaran dapat dilihat dari tataguan lahan suatu daerah. Tataguna lahan pemukiman memilki potensi pencemaran yang tinggi, sedngkan tataguna lahan hutan memiliki potens yang rendah bahkan berpotensi untuk tidak tercemar (peta tataguna lahan kota Kendari tahun 2012). Dari hasil analisis spasial parameter DRASTIC dapat damasukan dalam pengkelasan kriteria tingkat pencemaran kerentanan air tanah sebagai berikut: Tingkat Kerentanan Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Indeks DRASTIC 1-100 100-140 140-200 >200
Dari perhitungan seluruh indeks DRASTIC memiliki nilai indeks 84-160 maka tingkat pencemaran daerah penelitian terbagi atas tiga golongan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kerentanan yang tinggi menempati wilayah 1,760717 % dari daerah penelitian yang meliputi sebagian kecil kecamatan mandonga kambu dan poasia. Tingkat kerentanan yang tinggi selain dari DRASTIC juga di pengaruhi oleh kepadatan penduduk dan tataguna lahan. Tingkat kerentanan yang sedang menempati sekitar 31,55533 % dari daerah wpenelitian yang tersebar di hampir seluruh kcamatan kota Kendari sedangkan tingkat kerentanan rendah menempati 66,68395 % dari daerah penelitian juga tersebar di seluruh kecamatan kota Kendari.
Gb 2. Gambar 1.2 Peta kerentanan air tanah kota Kendari
106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dalan peta kerentanah air tanah daerah penelitian memperlihatkan kontaminasi air tanah tepi dangkal lebih besar bila dibandingkan dengan air tanah tepi dalam. Selain itu semakin bertambahnya jumlah penduduk yang padat dan tata guna lahan yang pemukiman memiliki potensi pencemaran yang sedang sampai tinggi. Untuk mengetahui adanya polutan nitrat dalam daerah penelitian dilakukan uji laboratoium sampel air pada daerah-daerah yang tercemar.
2.
sedang (101-140) rentan tinggi (>100). Kualitas hidrologi dari hasil uji sampel air sumur memperlihatkan kandungan nitrat pada air sumur daerah penelitian 0,85-1,35 mg/l, masih tergolong batas normal atau dapat di komsumsi Metode DRAS TIC dapat digunakan untuk mengenali daerah yang rentan terhadap pencemaran, mesk ipun tidak dapat menunjukk an karakteristik masing- masing zat pencemar.
Pustaka Tabel 1 hasil analisis laboratorium
Dari hasil uji sampel diatas dapat di ketahui bahwa kandungan nitrat yang terkandung dalam 15 sampel air yang diteliti yaitu 0,85-1,35 mg/l dikategorikan pada batas normal atau dapat di komsumsi. Hal ini berdasarkan pada peraturan mentri kesehatan R.I No :416/MENKES/PER/IX/1990 bahwa persyaratan kualitas air bersih dan kualitas air minum, kadar Nitrat maksimum yang diperbolehkan yaitu 10 mg/l.
Alfiyan, M. (TT). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Fakultas Teknik Universitas S ultan Ageng Tirtayasa. SSN 14106086. SSN 1410-6086 Astier, J.L. 1971. Masson & Cie, Editeur paris Kuswoyo, B., Putranto T.T, 2008. Vol. 29 No. 2 Tahun 2008, ISSN 0852-1697 Manampiring, A.E. 2009. Karya Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi Manado. Min, J-H., Seong, T. Y., Kangjoo, K., Hyoung, S. K dan Dong, J. K., 2003. Hydrological Processes. 17. 1197-1211. John Wiley & Sons, Ltd. Notodarmojo, S., 2005. Penerbit ITB. Bandung. Suherman D.,S udaryanto. 2008. Riset Geologi dan Pertambangan. Vo l. 18 No 2, 61-68 Umezawa, Y., Hosono, T., Onodera, S., Siringan, F., Delino m, M. R., dan Taniguchi. 2007. LIPI Press Widyastuti, dkk. 2006. Majalah Geografi UGM. Yogyakarta. Ucapan Terima
Kesimpulan 1. Tingkat kerentanan pencemaran airtanah pada daerah penelitian mempunyai indeks DRAS TIC= 84-144 dengan pembagian tingkat kerentanan yaitu rentan rendah (0-100) rentan
Ucapan terimakasih kepada yang sebesar-besarnya kepada tim kelompok atas kerja samanya. Kepada bapak Erwin Anshari Ssi, M.Eng atas bimbinganya dalam terselesaikanya tulisan ini. Kepada anggota Ekstension Joint yang tidak saya sebutkan nama-namanya terimakasih atas dukungan dan bantuanya.
107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
MENGANALISIS HUBUNGAN DATA EQUATORIAL SOUTHERN OSCILLATION INDEX (SOI) DENGAN DATA TEKANAN PERMUKAAN LAUT DI INDONESIA, DARWIN, TAHITI, DAN EQUATORIAL TIMUR PASIFIK (STUDI KASUS: DATA SEA LEVEL PRESSURE (SLP) DAN SOUTHERN OSCILLATION INDEX (SOI) MILIK NOAA) Johanes Gedo Sea(1), Yawan Baso Pata(2), Muhammad Arif(3), Muhammad Faizal Addi(4) (1),(2),(3),(4) Geophysics of Hasanuddin University (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected], (4)
[email protected] Sari Telah dilakukan penelitian yang menghubungkan antara Equatorial Southern Oscillation Index (SOI) dengan tekanan permukaan laut (Sea Level Pressure (SLP)) di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik dari data milik NOAA. Data tersebut dianalisis menggunakan analisis statistik Correlation, Regresi Linear, dan model estimasi parameter secara linear dan kuadratik. Hasil yang diperoleh pada analisis Correlation dan Regresi Linear menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara data tekanan permukaan laut di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap data Equatorial Southern Oscillation Index (SOI). Model estimasi parameter secara linear dan kuadratik dilakukan pada masing-masing data tekanan permukaan laut di keempat stasiun tersebut terhadap data Equatorial SOI. Hasil yang diperoleh adalah model secara linear lebih baik menunjukkan kecenderungan data SLP terhadap data Equatorial SOI. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh SLP terhadap SOI lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh lainnya. Kata kunci : Tekanan Permukaan Laut (Sea Level Pressure (SLP)), Indonesia, Darwin, Tahiti, Equatorial Timur Pasifik
memberikan nama Southern Oscillation (SO). Beberapa komponen dari Southern Oscillation adalah tekanan permukaan laut (Sea Level Pressure (SLP)) dan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature (SST)). Suhu permukaan laut yang tinggi di bagian timur ekuator Pasifik sering terjadi bersama-sama dengan tekanan permukaan laut yang rendah, dan sebaliknya (Zelle, 2005). Istilah El Nino sekarang digunakan untuk menunjukkan fase osilasi dimana SST di bagian timur ekuator Pasifik tinggi, dan SLP rendah. La Nina digunakan untuk menunjukkan fase yang berlawanan, dengan lebih dingin dari rata-rata SST dan lebih tinggi dari rata-rata SLP di bagian timur ekuator Pasifik (Zelle, 2005). Pola perubahan SLP dari ekuator Pasifik ini akan mempengaruhi tekanan permukaan laut di Darwin dan Tahiti serta anomali tekanan permukaan laut di Indonesia. Xin Li (1997) mengatakan bahwa simulasi anomali tekanan permukaan laut baik pada Tahiti dan Darwin realistis dibandingkan dengan pengamatan. Hal ini terungkap, bagaimanapun, bahwa respon aktivitas konveksi simulasi untuk periode hangat dari El Nino terlalu lemah di bagian atas Timur Pasifik tropis. Variasi tekanan permukaan laut Tahiti kemudian berkorelasi kurang baik dengan anomali Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature) dan Pulau Paskah, yang terletak di sebelah timur Tahiti, harus memberikan hasil yang lebih baik.
Pendahuluan Tekanan Permukaan Laut (Sea Level Pressure) Salah satu sumber yang paling menonjol dari variasi tahunan pada cuaca dan iklim di seluruh dunia adalah ENSO (El Nino Southern Oscillation) (Trenberth dan Caron, 2000). Keberadaan tak menentu tekanan permukaan pada skala global pertama kali diisyaratkan pada tahun 1800-an, tetapi Walker dan Bliss (dalam Trenberth dan Caron, 2000) yang medokumentasikan karakteristik dan tingkat tekanan permukaan laut serta perubahan terkait dalam suhu dan curah hujan, kemudian
Gambar 1 Wilayah ENSO (NOAA, 2016) Xin Li (1997) menerangkan lebih jauh bahwa anomali tekanan permukaan laut (SLP) di Darwin berkorelasi
108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
positif dengan indeks SST (Sea Surface Temperature) Nino-3 dan di Tahiti berkorelasi negatif dengan indeks SST (Sea Surface Temperature) Nino-3. Koefisien Korelasi rata-rata masing-masing adalah 0,71 untuk Tahiti dan 0,75 untuk Darwin. Zelle juga menambahkan bahwa pola anomali SLP terkait dengan El Nino dapat divisualisasikan dengan menghitung korelasi antara SLP dan indeks Nino 3.4. Perbedaan tekanan antara Pasifik khatulistiwa barat dan timur terlihat jelas. Untuk mendapatkan indeks SLP yang mirip dengan indeks Nino 3.4, perbedaan normalisasi antara tekanan permukaan laut normal di Darwin dan Tahiti dihitung. Kedua stasiun tersebut dipilih karena panjang timeseries homogen pada SLP yang tersedia. Timeseries yang dihasilkan disebut dengan Southern Oscillation Indeks (SOI). Ausloos dan Ivanova (2013) melaporkan bahwa jarak korelasi ada di antara fluktuasi dari SOI (Southern Oscillation Index), misalnya Tekanan permukaan laut. Skala besar variasi frekuensi rendah dari wilayah tekanan permukaan laut global yang bertanggung jawab untuk memprediksi tekanan permukaan laut mengharuskan model statistik. Ausloos dan Ivanova menyatakan bahwa model statistik diperlukan untuk menjawab variasi perubahan tekanan permukaan laut. Dengan mengetahui perubahan tekanan permukaan laut maka dapat diketahui juga perubahan Southern Oscillation.
dan Regresi Linear menggunakan SPSS. Analisis Correlations dan Regresi Linear bertujuan untuk mengetahui pengaruh signifikan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap data Equatorial SOI. Selain itu juga, analisis Regresi bertujuan untuk memprediksi data Equatorial SOI berdasarkan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik. Pada analisis statistik ini, hipotesis yang dilakukan menggunakan asumsi H0. H0 adalah terdapat hubungan yang signifikan antara data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap data Equatorial SOI. Pengambilan keputusan analisis adalah sebagai berikut. Jika nilai Signifikan (Sig.) > 0.05 maka H0 ditolak Jika nilai Signifinan (Sig.) < 0.05 maka H0 diterima Gambaran umum dari data yang akan dianalisis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Gambaran umum data
Pengambilan dan Analisis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Equatorial SOI dan Data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik diperoleh dari situs resmi NOAA yaitu http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/. Data SLP dan SOI yang diperoleh dan dianalisis adalah data harian selama 64 tahun dari tahun 1951 sampai dengan tahun 2015. Data Equatorial SOI akan dianalisis hubungannya dengan data SLP pada keempat wilayah yaitu Indonesia, Tahiti, Darwin, dan Equatorial Timur Pasifik. Hasil dan Pembahasan
Gambar 2 Lokasi stasiun pengamatan NOAA (NOAA, 2016) Untuk menganalisis data, dilakukan analisis Correlations
Hasil korelasi antara data Equatorial SOI dengan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti dan Equatorial Timur pasifik dapat dilihat pada Tabel 2. Pearson Correlation antara data Equatorial SOI dan SLP di Indonesia adalah -0.726 dengan nilai signifikan 0.00 < 0.05. Data Equatorial SOI dan SLP di Indonesia berkorelasi negatif dengan tingkat korelasi yang signifikan berada pada level 0.01. Perarson Correlation antara data Equatorial SOI dan SLP di Darwin adalah -0.587dengan nilai signifikan 0.00 < 0.05. Data Equatorial SOI dan SLP di Darwin berkorelasi negatif dengan tingkat korelasi yang signifikan berada pada level
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
0.01. Pearson Correlation antara data Equatorial SOI dan SLP di Tahiti adalah 0.650 dengan nilai signifikan 0.00 < 0.05. Terdapat korelasi positif antara data Equatorial SOI dan data SLP di Darwin dengan tingkat korelasi yang signifikan berada pada level 0.01. Pearson Correlation antara data Equatorial SOI dan SLP di Equatorial Timur Pasifik adalah 0.743 dengan nilai signifikan 0.00 < 0.05. Terdapat korelasi positif antara data Equatorial SOI dan SLP di Equatorial Timur Pasifik dengan tingkat korelasi yang signifikan berada pada level 0.01. Hasil korelasi data SLP ini membuktikan bahwa terdapat korelasi antara perubahan SLP terhadap SOI di wilayah Pasifik.
Gambar 6 Variance data Equatorial SOI dan SLP di Equatorial Eastern Pacific tahun 1951 -2015 Gambar 3, 4, 5, dan 6 masing-masing memperlihatkan variance data antara data Equatorial SOI dengan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik Tabel 2. Hasil Korelasi Data Equatorial SOI, SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik.
Gambar 3 Variance data Equatorial SOI dan SLP di Indonesia tahun 1951 – 2015
Gambar 4 Variance data Equatorial SOI dan SLP di Darwin tahun 1951 - 2015
Gambar 5 Variance data Equatorial SOI dan SLP di Tahiti tahun 1951 -2015
Hasil dari regresi linear dari data Equatorial SOI dan SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik dapat dilihat pada Tabel 3. Data Equatorial SOI merupakan variabel dependen dan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik merupakan variabel independen. Nilai korelasi (R) antara data Equatorial SOI dan SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik adalah 0.999. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0.998. Nilai determinasi ini secara tidak langsung mengatakan bahwa pengaruh SLP di wilayah Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap SOI di Equatorial Pasifik adalah sebesar 99.8% dan 0.02% dipengaruhi oleh hal lain. Nilai Signifikan (Sig) dari tabel ANOVA adalah 0.000 < 0.05 yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara data Equatorial SOI dengan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik. Pada Tabel Coefficient, nilai konstanta yang diperoleh adalah 0.002 dengan standarisasi error 0.002. Koefisien dari data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik masing-masing adalah -0.610, 0,003, 0.002, dan 0.614. Standarisasi error pada keempat
110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
data SLP tersebut adalah 0.002. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut. ( ) Dimana y adalah data Equatorial SOI, a adalah data SLP di Indonesia, b adalah data SLP di Equatorial Timur Pasifik, c adalah data SLP di Darwin, d adalah data SLP di Tahiti, dan t adalah waktu dalam hari. Persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi SOI di wilayah Equator Pasifik berdasarkan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik. Tabel 3. Hasil Korelasi Data Equatorial SOI, SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik.
Gambar 7 Histogram Hasil analisis regresi linear Gambar 8 Probabilitas Normal data SLP di dimana Equatorial SOI sebagai variabel dependen Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap Data Equatorial SOI Setelah dilakukan analisis regresi linear, dapat terlihat adanya hubungan yang signifikan antara data Equatorial SOI dengan data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik secara keseluruhan. Tahap berikutnya adalah menganalisis estimasi data Equatorial SOI berdasarkan masing-masing data SLP dari keempat lokasi tersebut. Estimasi dan pemodelan ini dilakukan secara linear dan kuadratik untuk membandingkan hasil secara linear dan secara kuadratik. Hasil estimasi dan pemodelan pada masing- masing data SLP terhadap Equatorial SOI adalah sebagai berikut. Tabel 4 menunjukkan model dan parameter estimasi data SLP di Indonesia terhadap data Equatorial SOI secara linear dan kuadratik. Hasil pemodelan secara linear adalah: ( ) Hasil pemodelan secara kuadratik adalah: ( ) Gambar 9 menunjukkan kurva estimasi dari pemodelan data Equatorial SOI dari data SLP di Indonesia. Dari kurva tersebut terlihat bahwa model secara linear lebih baik menunjukkan kecenderungan data daripada model kuadratik.
111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel 4. Ringkasan Model dan Parameter Estimasi Linear dan Kuadratik data Equatorial SOI dari data SLP di Indonesia
Tabel 5. Ringkasan Model dan Parameter Estimasi Linear dan Kuadratik data Equatorial SOI dari data SLP di Darwin
Gambar 9. Kurva estimasi data Equatorial SOI dari data SLP di Indonesia (garis putus-putus adalah model kuadratik)
Gambar 10. Kurva estimasi data Equatorial SOI dari data SLP di Darwin(garis putus-putus adalah model kuadratik)
Tabel 5 menunjukkan model dan parameter estimasi data SLP di Darwin terhadap data Equatorial SOI secara linear dan kuadratik. Hasil pemodelan secara linear adalah:
Tabel 6 menunjukkan model dan parameter estimasi data SLP di Tahiti terhadap data Equatorial SOI secara linear dan kuadratik. Hasil pemodelan secara linear adalah:
( )
( )
Hasil pemodelan secara kuadratik adalah: Hasil pemodelan secara kuadratik adalah: ( ) Gambar 10 menunjukkan kurva estimasi dari pemodelan data Equatorial SOI dari data SLP di Darwin. Dari kurva tersebut terlihat bahwa model secara linear lebih baik menunjukkan kecenderungan data daripada model kuadratik
( ) Gambar 11 menunjukkan kurva estimasi dari pemodelan data Equatorial SOI dari data SLP di Tahiti. Dari kurva tersebut terlihat bahwa model secara linear lebih baik menunjukkan kecenderungan data daripada model kuadratik
112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel 6. Ringkasan Model dan Parameter Estimasi Linear dan Kuadratik data Equatorial SOI dari data SLP di Tahiti
Gambar 11. Kurva estimasi data Equatorial SOI dari data SLP di Tahiti(garis putus-putus adalah model kuadratik) Tabel 7 menunjukkan model dan parameter estimasi data SLP di Tahiti terhadap data Equatorial SOI secara linear dan kuadratik. Hasil pemodelan secara linear adalah: ( ) Hasil pemodelan secara kuadratik adalah: ( ) Gambar 12 menunjukkan kurva estimasi dari pemodelan data Equatorial SOI dari data SLP di Tahiti. Dari kurva tersebut terlihat bahwa model secara linear dan kuadratik sama-sama menunjukkan kecenderungan data.
Tabel 7. Ringkasan Model dan Parameter Estimasi Linear dan Kuadratik data Equatorial SOI dari data SLP di Equatorial Timur Pasifik
Gambar 12. Kurva estimasi data Equatorial SOI dari data SLP di Equatorial Timur Pasifik(garis putus-putus adalah model kuadratik)
Kesimpulan Dari hasil analisis correlation, regresi linear, dan penentuan parameter estimasi data, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara data SLP di Indonesia, Darwin, Tahiti, dan Equatorial Timur Pasifik terhadap Data Equatorial SOI. Dari hasil regresi linear juga menunjukkan bahwa pengaruh SLP terhadap SOI di Equatorial lebih tinggi dibandingkan pengaruh lainnya. Tetapi hal ini harus dibuktikan lebih lanjut berdasarkan data SST (Sea Surface Temperature), yang menjadi salah satu unsur SOI, atau data-data lainnya pada keempat stasiun tersebut. Pustaka Ausloos, M. dan K. Ivanova. 2013. Power Law Correlations in the Southern Oscillation Index Fluctuations Characterizing El Nino. Pennsylvania State University: USA National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
(http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/). Diakses pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 10.00 WIB. Trenberth, Kevin E dan Julie M. Caron. 2000. The Southern Oscillation Revisited: Sea Level Pressure, Surface Temperature, and Precipitation. National Center for Atmospheric Research, Boulder: Colorado. Xin Li, Zhao. 1998. Ensemble Atmospheric GCM Simulation of Climate Interannual Variability from 1979 to 1994. Laboratoire de Meteorologie Dynamique, Centre National de la Recherche Scientifique, Ecole Normale Superiqure, Paris: France. Zelle, Hein Dani ̈ l. 1975. On The Evolution of Sea Surface Temperature in the tropical Pacific.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Institusi NOAA yang telah mempublikasikan data SLP secara online serta memberi izin penggunaan data yang dapat digunakan untuk penelitian, kepada teman-teman Himafi FMIPA Unhas Angkatan 2012 yang telah meendukung penulis, Dosen Geofisika FMIPA Unhas yang telah membekali Penulis, dan Panitia Seminar Nasional Geofisika 2016 yang telah memfasilitasi Penulis dalam penerbitan makalah.
114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Analisis Sinyal dari Gempa Tornilo di Gunung Papandayan Periode Bulan April-Mei 2013 Muhammad Alfauzi1, Muh. Hamzah2, Bambang Hari Mei2, Hetty Triastuty3 1 Mahasiswa Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin 2 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin, 3 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung Sari Gunung Papandayan merupakan salah satu gunungapi aktif di pulau Jawa yang memiliki bentuk strato-campuran. Aktifitas gunungapi yang berpotensi menimbulkan ancaman berupa erupsi freatik. Erupsi ini disebabkan oleh adanya fluida yang berhubungan langsung dengan magma. Perkiraan massa jenis fluida yang terkandung dalam sistem hidrothermal Gunungapi Papandayan dilakukan dengan menggunakan estimasi spektral. Penelitian dilakukan pada periode April-Mei 2013 untuk menganalisis gempa Tornillo/monokromatik. Berdasarkan data rekaman seismik gunung Papandayan yang telah diseleksi menggunakan LS7 WVE, terdapat 25 kejadian gempa Tornillo/monokromatik yang tercatat pada 2 stasiun. Nilai frekuensi dominan gempa Tornillo/monokromatik berkisar antara 1.3-4.9 Hz untuk stasiun 010h dan 1.3-9.8 Hz untuk stasiun 011h. Adapun nilai massa jenis fluida gempa Tornillo/ monokromatik untuk stasiun 010h adalah 0.054 x 10 3-0.22 x 103 kg/m3 dan untuk stasiun 011h adalah 0.057 x 1030.327 x 103 kg/m3. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa pengaruh Gempa Tornillo/ monokromatik pada periode April-Mei 2013 disebabkan adanya fluida berupa Gas-Uap Air. Kata Kunci: Gunungapi Papandayan, Gempa Tornillo/monokromatik, Massa jenis fluida Abstract Papandayan Volcano is one of the active volcanos in Java island that has strato-mix form. Vulcanic activity of Papandayan can occur Phreatic eruption. The eruption is caused by presence fluid which directly related to magma. Density estimate of the fluid contained in Papandayan hydrothermal system Papandayan has done by using spectral estimation. The research has conducted since April-May 2013 to analize Tornillo/monochromatic earthquake. Based on seismic recording data that have been selected using LS7 WVE, There are 25 event recorded at 2 station. Dominant frequency of tornillo earthquake around 1.3-4.9 Hz in station 010h and 1.3-9.8 Hz in station 011h. The density of the Tornillo Earthquake fluid for the station 010h is 0.054 x 103-0.22 x 103 kg/m3 and for the station 011h is 0.057 x 103-0.327 x 103 kg/m3. Result of the research concluded that Tornillo earthquake in April-May 2013 is caused by fluid as Gas-Steam. Keyword : Papandayan Volcano, Tornillo/Monochromatic Earthquake, Fluid Density
Pendahuluan Gunung Papandayan adalah salah satu gunungapi yang memiliki bentuk strato-campuran dengan ketinggian 2665 mdpl yang berada di kabupaten Garut provinsi Jawa Barat. Gunungapi ini termasuk dalam kategori tipe A yaitu Gunungapi yang pernah meletus pada tahun 1600. Erupsi yang pernah terjadi di Gunungapi Papandayan tercatat pada tahun 1772 yang mengakibatkan korban jiwa sekitar dua ribu jiwa dan melenyapkan banyak perkampungan di sekitar wilayah gunung Papandayan. Jenis erupsi yang terdapat pada gunungapi ini yaitu erupsi freatik, dimana erupsi freatik terjadi karena adanya air tanah, air danau (kawah), atau air hujan yang menyentuh magma di dalam bumi, sehingga membentuk uap panas bertekanan tinggi yang akhirnya menjebol penghalang di atasnya. Salah satu gempa yang memungkinkan terjadinya erupsi freatik yaitu tercatat sebuah gempa Tornillo/monokromatik. Gempa Tornillo/Monokromatik Gempa Tornillo/monokromatik pada umunya terjadi pada gunung api yang berada pada wilayah sesar tepatnya pada zona rekahan dangkal (shallow fracture Zone) sebagaimana yang diilustrasikan pada gambar 1 dimana lokasi hiposenter dari Gempa ini ditandai dengan garis putus-putus yang menunjukkan zona rekahan (fracture zone), dan garis lurus adalah sesar normal (Normal fault). Gempa Tornillo/monokromatik terjadi karena adanya rekahan pada sesar normal (Gambar 1) dimana rekahan tersebut mengalami getaran karena terisi oleh fluida yang pada akhirnya merupakan bagian coda (coda part) dari Gempa ini (Leovina dkk, 2014).
(a) (b) Gambar 1 Ilustrasi Penyebab Gempa Tornillo/Monokromatik (Triastuty dalam Leovina dkk, 2014)
115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Metode Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekaman gelombang Gempa pada dua stasiun di Gunungapi Papandayan dalam kurun waktu April-Mei 2013. Analisis Waveform dan Analisis Spektral Analisis Waveform bertujuan untuk mengetahui durasi gempa yang selanjutnya akan dilakukan pemotongan data sesuai dengan panjang gelombang atau sepanjang durasi gempa tornillo/monokromatik, hal ini dilakukan dengan menggunakan LS7 WVE. Adapun analisis spektral dilakukan untuk mengetahui lebar dari setengah frekuensi tertinggi dan frekuensi dominan untuk setiap gempa yang telah diidentifikasi. Properti Akustik dari Model Rekahan Properti dari fluida dan padat dapat diketahui dari perbandingan dimensi antara /a, dan f/s. Perbandingan ini disebut dengan perbedaan impedansi (Impedance contrast) antara fluida dan padat (Solid) yang sesuai dengan persamaan (1). (1) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Surono, dkk (1998) pada Gunungapi Papandayan diperoleh nilai ɑ = 2.0 x 103 m/s (Murase dan Birney, 1973), ρs = 2.5 x 103 kg/m3, dan α = 2.2 x 103 m/s, dimana batuan membentuk ruang fluida (rongga resonator). Model dari fluid-filled-spherical-resonator dengan sebuah getaran, dapat memperoleh hubungan sederhana antara Q faktor dengan Impedance contrast Z fluida dan batuan (Aki dkk, 1977). (2) Q faktor merupakan simulasi dasar dari pergerakan fluida dalam model rekahan untuk menggambarkan resonansi hasil sumber getaran dari sebuah gempa. Faktor kualitas (Q Faktor) dapat dirumuskan dengan: (3)
Gambar 2 Frekuensi Dominan Gempa Tornillo/monokromatik periode April-Mei 2013 Grafik pada gambar 2 menunjukkan rentang nilai frekuensi pada stasiun 010h adalah 1.3-4.9 Hz dan pada stasiun 011h berkisar 1.3-9.8 Hz. Pada grafik juga menunjukkan enam titik yang memiliki nilai frekuensi dominan sama untuk kedua stasiun, terjadi pada waktu 04: 01 April 2013, 13: 01 April 2013, 02: 04 April 2013, 17: 04 April 2013, 07: 28 April 2013, dan 03: 29 April 2013. Enam titik yang memiliki nilai frekuensi dominan dijadikan dasar untuk perhitungan nilai Q faktor dan Impedansi (Z). Estimasi Massa Jenis Fluida Dari hasil analisis spektral terhadap gempa tornillo/monokromatik, dilakukan perhitungan terhadap properti akustik model rekahan untuk mengetahui massa jenis fluida faktor terjadinya gempa tornillo/ monokromatik.
Kejadian Gempa pada 02: 04 April 2013
Dimana: f0 yaitu frekuensi yang menjadi puncak pada sebuah spektral, dan f yaitu lebar luas bidang dari puncak frekuensi pengukuran pada setengah amplitudo (Aki dan Richards, 1980). Hasil dan Pembahasan Data gempa Tornillo yang terbaca pada software LS 7WVE kemudian dikonversi dalam domain frekuensi, dan nilai frekuensinya ditunjukkan pada grafik berikut:
(a)
116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
(b) Gambar 3 (a) Analisis Waveform dan (b) Analisis Spektral dari Gempa Tornillo/Monokromatik pada waktu 02: 04 April 2013
(b) Gambar 4 (a) Analisis Waveform dan (b) Analisis Spektral dari Gempa Tornillo/Monokromatik pada waktu 03: 29 April 2013
Pada gambar 3 menunjukkan nilai frekuensi dominan untuk kedua stasiun yaitu sebesar 4.27 Hz dan nilai massa jenis fluida (ρf) untuk kedua stasiun yaitu = 0.057 x 103 kg/m3 0.066 x 103 kg/m3.
Kesimpulan
Nilai frekuensi dominan pada kedua stasiun yaitu 1.36 Hz, dan nilai massa jenis fluida (ρf) untuk kedua stasiun yaitu 0.12 x 103 kg/m3 - 0.16 x 103 kg/m3 dimana nilai ɑ = 2.0 x 103 m/s (Murase dan Birney, 1973), ρs = 2.5 x 103 kg/m3, dan α = 2.2 x 103 m/s.
Kejadian Gempa pada 03: 29 April 2013
(a)
Adapun kesimpulan pada penelitian ini yaitu: 1. Berdasarkan data rekaman seismik Gunungapi Papandayan pada periode April-Mei 2013 terdapat 25 kejadian gempa tornillo/ monokromatik yang memiliki rentang nilai frekuensi dominan 1,3 – 4,9 Hz untuk stasiun 010h dan 1,3 – 9,8 Hz untuk stasiun 011h. Namun hanya terdapat 6 kejadian gempa tornillo/ monokromatik yang memiliki nilai frekuensi dominan sama pada kedua stasiun. Frekuensi dominan dari keenam gempa tersebut mempunyai rentang nilai yaitu 1.36 - 4.27 Hz. 2. Hasil perhitungan Q faktor dan Impedansi (Z) gempa tornillo/ monokromatik dari nilai frekuensi dominan adalah 19,6 – 79,3 dan 12,5 – 50,5 untuk stasiun 010h, sedangkan untuk stasiun 011h adalah 13,2 – 75,5 dan 8,3 – 48,1. Dari nilai Q faktor dan Impedansi (Z) diperoleh massa jenis fluida untuk stasiun 010h adalah 0,054 x 103 – 0,22 x 103 kg/m3 dan untuk stasiun 011h adalah 0,057 x 103 – 0,32 x 103 kg/m3. Berdasarkan hasil dari nilai massa jenis fluida tersebut, dapat diketahui bahwa jenis fluida yang menyebabkan gempa tornillo/monokromatik pada periode April-Mei 2013 adalah Uap Air dengan kandungan prensentase berkisar 6 - 42 %.
117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Daftar Pustaka Aki K, dan Richards, P.G. 1980. W II Freeman. San Francisco Aki, K., Fehler. M., dan S, Das. 1977. J.Volcanol. Geotherm, Res., 2, 259-287. Asmoro, P., Wachyudin, D., dan Mulyadi, E. 1989. Peta Geologi Gunungapi Papandayan, Garut, Jawa Barat. Baptiste, T.J., Mikro, V.B., Bruce, S., dan David, W.E. 2014. AGU Publications, Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 8207-8222, doi: 10.1002/2014JB011263 Farmana, P.R. 2012. Skripsi. Program Studi Fisika. ITB. Bandung. Ferrazini, V., Chouet, B. dan Aki, K. 1990. Jour. Geophys. Res., No 95, pp. 21,871-21,884 Kumagai, H., dan Chouet, B.A. 2000. Journal of Geophysical Research, Vol. 105, No. B11, Pages 25,493-25,512. Levoina, P.P., Suharno., Mulyatno, B.S., dan Kristiato. 2014. Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik. Universitas Lampung, PVMBG. Lourdes, N. M., A, Roberto., C, Torres., M, Diego., M, Gómez., Patricia Cortés J, Gloria., Cepeda V, Héctor., Stix, John. 1996. Journal of Vulcanology and Geothermal Research 77 (1997) 159-171 PVMBG, 2011. Data Dasar Gunungapi Indonesia (Edisi II). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung. Sheriff, R.E dan Geldart, L.P. 1995. Cambridge University Press. America. Suprapto, B.M. 2009. Universitas Hasanuddin. Makassar. Surono, Triastuty, H.S., Hadayani, G., dan Kurnia, P.N. 1998. Symposium on Japan-Indonesia IDNDR Project. Hal 137-145. Bandung. Susilawati. 2008. Jurusan Fisika. Universitas Sumatera Utara. Medan.
118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya Kelengkungan pada Serat Optik Plastik untuk Deteksi Longsor Dwi Nurfatimah & Arifin* Jurusan Fisika FMIPA UNHAS *Correspondence author:
[email protected] Abstrak Penelitian ini merupakan studi awal perancangan sensor deteksi longsor dengan memanfaatkan serat optik plastik sebagai basis penginderaan. Serat optik dirancang sebagai sensor yang peka terhadap pergeseran dengan metode rugirugi daya kelengkungan untuk mendeteksi longsor.Sensor serat optik plastik diletakkan di antara dua buah plat yang dipasang pada pipa silinder dan dihubungkan dengan pegas sebagai penyangga. Metode pengukuran menggunakan prinsip perubahan intensitas cahaya oleh perubahan kelengkungan pada sensor serat optik dengan model kelengkungan ganda. Kepekaan sensor pergeseran dianalisis berdasarkan pergeseran dan jumlah kelengkungan ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran pada kelengkungan ganda mengakibatkan terjadinya kelengkungan pada sensor serat optik. Semakin besar pergeseran yang diterapkan pada sensor, maka rugi daya pada serat optik plastik semakin meningkat dan tegangan keluaran sensor semakin kecil. Hasil pengukuran yang diperoleh adalah sensitivitas semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah rol atau kelengkungan ganda. Sensor pergeseran ini menawarkan desain yang sangat sederhana, fabrikasi yang mudah, biaya murah dengan sensitifitas yang tinggi. Kata Kunci: Sensor pergeseran; serat optik plastik, longsor. Pendahuluan Longsor merupakan istilah umum yang menggambarkan pergerakan tanah, batu, dan bahan organik di bawah pengaruh garavitasi. Hal ini dapat dipicu oleh proses bertahap seperti pelapukan atau karena mekanisme eksternal. Longsor merupakan salah satu bencana paling mahal yang memberikan dampak kerusakan infrastruktur bagi kehidupan manusia. Upaya-upaya penanggulangan bencana longsor terus dilakukan, salah satunya dengan membuat instrumen yang dapat mendeteksi longsor secara dini [1]. Antisipasi bencana melalui monitoring daerah rawan dengan pengembangan sistem instrumentasi kebencanaan menjadi sangat perlu untuk dilakukan [2]. Khusus untuk bencana longsor, sistem pendeteksian yang dikembangkan juga bermacam-macam, salah satunya dengan memanfaatkan serat optik. Penggunaan serat optik yang memiliki kinerja khusus sebagai media transmisi cahaya secara luas digunakan
dalam sistem komunikasi. Berbagai keunggulan yang dimiliki oleh serat optik seperti atenuasi yang rendah, kecepatan transmisi data yang tinggi dan tidak terpengaruh oleh gelombang elektromagnetik membuat pemanfaatannya semakin meluas [3]. Salah satu yang menjadi perhatian peneliti adalah memanfaatkan serat optik sebagai media penginderaan yang juga didorong oleh perkembangan teknologi opto-elektronik saat ini [4]. Sensor yang memanfaatkan serat optik sebagai basis penginderaannya semakin berkembang dan menawarkan sensor fisik dengan teknik yang berbeda-beda untuk berbagai parameter. Penelitian dan pengembangannya pun telah meluas untuk aplikasi pada bidang yang beragam, salah satunya adalah untuk pemantauan perubahan lingkungan seperti mendeteksi pergeseran (displacement), suhu (temperature), tegangan (stress) hingga penggunaannya dalam bidang industri, pemantauan kondisi struktur bangunan dan medis [5-11]. Sensor serat optik telah dikembangkan untuk sensor pergeseran berbasis modulasi intensitas dengan berbagai desain dan konfigurasi. Dalam perkembangannya telah dikembangkan pula sensor serat optik yang berbasis pada sensor pergeseran untuk aplikasi biomedis, industri, dan pendeteksi kekasaran permukaan logam [12-15]. Dalam hal ini, sensor pergeseran serat optik dapat menjadi dasar dari pengembangan sensor untuk mendeteksi parameterparameter fisis yang lain di berbagai bidang. Berdasarkan material bahannya, serat optik terdiri dari dua jenis yaitu serat optik gelas (Glass Optical Fiber = GOF) dan serat optik plastik (Plastic Optical Fiber = POF). Dibandingkan dengan serat optik gelas, serat optik plastik lebih cocok untuk digunakan pada perangkat penginderaan. POF memiliki keuntungan lebih di antaranya adalah, numerical aperture lebih tinggi, konektivitas mudah, lebih murah dan fleksibilitasnya tinggi [16]. Berdasarkan lokasi penginderaan, sensor serat optik dapat diklasifikasikan sebagai sensor intrinsik dan sensor ekstrinsik [4]. Sensor serat optik intrinsik memiliki stabilitas sinyal yang lebih tinggi karena daya keluarannya berubah sesuai dengan variasi parameter yang diukur. Untuk meningkatkan sensitivitas sensor pergeseran berbasis serat optik plastik, maka pada penelitian ini dilakukan metode kajian rugi-rugi daya berdasarkan
119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
lekukan besar (macrobending). Sensor pergeseran yang dibuat memiliki keunggulan yaitu sistem pengukuran yang sederhana, mudah dibuat, biaya murah dan memberikan stabilitas sinyal yang tinggi serta jangkauan pengukuran yang lebih luas. Sensor pergeseran ini menggunakan serat optik plastik sebagai media penginderaan dengan konfigurasi sebagai sensor intrinsik yang menggunakan model kelengkungan ganda (cycling bending).
Catu Daya
LED
Sensor PergeseranModel Cycling Bending
Metode Penelitian Konfigurasi sistem pengukuran sensor pergeseran berbasis serat optik plastik ditampilkan seperti pada Gambar1. Prinsip dasar sensor pergeseran ini adalah terjadinya lekukan pada serat optik yang mengakibatkan terjadinya rugi-rugi daya yang menimbulkan perubahan intensitas cahaya pada alat ukur.
Fotodetektor
Penguat
Voltmeter
(a)
(b) Gambar 1. Sensor pergeseran berbasis kelengkungan pada serat optik plastik (a) Blok diagram sistem sensor pergeseran (b) Skema sensor pergeseran berbasis serat optik plastik Sensor pergeseran berbasis serat optik plastik disambungkan dengan sumber cahaya LED dan fotodetektor. Sumber cahaya yang digunakan adalah LED infra merah jenis IF-E91A dengan karakteristik panjang gelombang 950 nm. Sedangkan fotodetektor menggunakan fototransistor jenis IF-D92. Serat optik plastik terbuat dari bahan polymethyl metacrylate (PMMA) dengan diameter lapisan jaket, selubung, dan inti masing-masing adalah 2,2 mm, 1 mm, dan 0,98 mm. Indeks bias inti dan selubung serat optik plastik masing-masing adalah nco = 1,492 dan ncl = 1,402 dengan nilai celah numerik NA = 0.5. Cahaya dari LED melewati dan dimodulasi oleh sensor serat optik. Intensitas cahaya dari LED kemudian dideteksi oleh fototransistor. Adanya faktor lekukan besar (macrobending) akan menyebabkan terjadinya rugi daya
dan perubahan intensitas cahaya pada serat optik yang merupakan representasi dari penginderaan pergeseran pada sensor. Sinyal dari fototransistor dihubungkan dengan rangkaian penguat selisih (differensial), sehingga tegangan keluaran dari fototransistor dapat diperbesar. Untuk meningkatkan sensitivitas sensor pergeseran berbasis serat optik plastik, maka dilakukan variasi jumlah pelekukan (cycling bending) berupa rol/pipa silinder dan variasi jenis penyangga dinamis berupa pegas atau bantalan karet. Pengambilan data dilakukan dengan variasi jumlah cycling bending yang dibuat empat macam yaitu tiga, lima, tujuh dan sembilan rol. Pengukuran daya keluaran dilakukan pada setiap pergeseran 0,5 mm mulai dari 0 sampai dengan 10 mm. Pada jarak pergeseran yang sama dilakukan pengukuran daya keluaran untuk 3 jenis
120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
penyangga dinamis yaitu 2 jenis pegas dengan konstanta yang berbeda dan satu jenis bantalan karet.
Penurunan intensitas cahaya pada serat berbanding lurus dengan rugi daya dan tegangan keluaran sensor seiring dengan perubahan pergeseran yang diterapkan. Respon perubahan tegangan keluaran terhadap perubahan pergeseran pada sensor yang menggunakan pegas dengan variasi jumlah cycling bending ditampilkan seperti pada Gambar 2. Sedangkan untuk penggunaan bantalan karet sebagai pengganti pegas, respon tegangan keluaran ditampilkan seperti pada Gambar 3.
Hasil dan Diskusi Setup eksperimental pada alat dilakukan untuk pengukuran pergeseran dalam kisaran dari 0 mm sampai 10 mm dengan perubahan 0.5 mm. Intensitas cahaya dari LED yang merambat ke dalam serat optik plastik yang mengalami gangguan berupa lekukan yang akan menyebabkan terjadinya rugi-rugi daya pada serat optik plastik.
(a)
(b) Gambar 2. Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap pergeseran pada: (a) Pegas 1 dan (b) Pegas 2
121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 3. Grafik perubahan tegangan keluaran terhadap pergeseranmenggunakan bantalan karet
Data hasil pengukuran pengaruh pergeseran dan jumlah bending terhadap tegangan keluaran sensor pergeseran berbasis serat optik plastik, dianalisi untuk menentukan nilai range tegangan keluaran, sensitivitas, dan resolusinya. Untuk menentukan nilai range tegangan keluaran sensor pergeseran dapat menggunakan persamaan: ∆ = Vmax - Vmin
(1)
dengan Vmax sebagai tegangan keluaran maksimum dan Vmin sebagai tegangan keluaran minimum. Sensitivitas sensor pergeseran dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: 𝒊 𝒊
(2)
dengan L max sebagai pergeseran maksimum dan Lmin sebagai pergaseran minimum. Selanjutnya resolusi sensor pergeseran dapat dihitung dengan persamaan berikut: (3) dengan N adalah skala terkecil dari voltmeter yaitu 0,01 Volt dan S adalah sensitivitas dari sensor pergeseran. Data dari hasil pengukuran menggunakan sensor pergeseran berbasis serat optik plastik dianalisis dengan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) di atas. Hasil
yang diperoleh adalah nilai range tegangan keluaran, sensitivitas dan resolusi sensor pergeseran berbasis serat optik plastik, seperti ditampilkan pada Tabel 1. Hasil analisa data pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah rol atau cycling bending yang digunakan, maka semakin tinggi range tegangan keluaran dan sensitivitas sensor serta semakin kecil resolusi sensor. Sehingga sensor pergeseran berbasis serat optik plastik memiliki sensitivitas dan resolusi yang baik jika menggunakan cycling bending semakin banyak. Begitupula dengan jenis pegas yang digunakan, jika semakin kecil konstanta pegas, maka sensitivitas dan resolusi sensor pergeseran juga semakin baik. Hasil pengukuran menggunakan sensor pergeseran berbasis serat optik plastik yang terbaik diperoleh pada pegas jenis kedua dan jumlah rol adalah 9. Pada kondisi tersebut nilai karakteristik sensor pergeseran terbaik yang diperoleh adalah range tegangan keluaran 2,83 volt, sensitivitas 0,283 volt/mm dan resolusi 0,0353 mm. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasan S. E. dkk. [17] yang menyatakan bahwa selain gaya yang diberikan pada sensor, terdapat beberapa parameter geometris yang mempengaruhi intensitas cahaya keluaran sensor di antaranya priodisitas mekanik, luas penampang deformer, jarak deformasi, dan jumlah lipatan.
122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Tabel 1. Karakteristik sensor pergeseran berbasis serat optik plastik Range Tegangan Sensitivitas Jenis Penyangga Jumlah Rol Keluaran (Volt) (Volt/mm) 3 0,67 0,067 Pegas 1 (k = 500 N/m)
Pegas 2 (k = 11,1 N/m)
Bantalan Karet
Resolusi (mm) 0,1492
5
1,43
0,143
0,0699
7
2,21
0,221
0,0452
9
2,34
0,234
0,0427
3
0,61
0,061
0,1639
5
1,60
0,160
0,0625
7
2,19
0,219
0,0456
9
2,83
0,283
0,0353
3
0,65
0,065
0,1538
5
1,74
0,174
0,0574
7
2,28
0,228
0,0438
9
2,59
0,259
0,0386
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat optik plastik dapat digunakan untuk mendeteksi pergeseran yang terjadi. Perubahan tegangan keluaran sebanding dengan perubahan pergeseran yang diterapkan pada sensor. Semakin besar pergeseran yang terjadi, maka tegangan keluaran sensor semakin kecil. Jumlah kelengkungan ganda dan pemasangan pegas atau bantalan karet pada sensor berpengaruh terhadap sensitivitas dan resolusi sensor. Semakin banyak jumlah kelengkungan ganda dan semakin kecil konstanta pegas yang digunakan, maka sensitivitas dan resolusi sensor pergeseran semakin baik. Pustaka 1. Zhi, Y. D., Yong, L., Li, X. Z., Zhong, H. O., Ce, Z., dan Yong, Z. L. 2008. Journal of Electronic Science and Technology of China, vol. 6, no. 4, December 2008, pp. 416-419. 2. Widiatmoko, B., Hantono, D., dan Puranto, P., 2010. Berkala Fisika, vol. 13, No. 2, pp. B15-B24. 3. Fidanboylu, K. dan Efendioglu, H. S. 2009. 5th International Advanced Technologies Symposium (IATS‟09). Kaburuk, Turkey. 4. Connely, M. J. 2015. Detection, Elsevier, Ireland. 5. Arifin, A., Hatta, A.M., Muntini,M.S.,and Rubiyanto, A. 2014, Indian Journal of Pure & Applied Physics (IJPAP), NISCAIR Publication, vol. 52 (Agustus), pp. 520-524. 6. Arifin, A., Hatta, A. M., Sekartedjo, Muntini, M. S., dan Rubiyanto. A. 2015. Photonic Sensors, vol.5, no.2, pp. 166-171.
7. Hoffmann, L., Muller, M. S., Kramer, S., Giebel, M., Schwotzer, G., dan Wieduwilt, T. 2007. Proc. Estonian Acad. Sci. Eng., vol. 13, no. 4, pp. 363–378. 8. Kim, H. J., Sampath, U. dan Song, M. H., 2015 Sensors, vol. 15, pp. 18579-18586; DOI: 10.3390/s150818579. 9. Xiangyang, L., Yang, C., Yang, S., dan ouzheng, L. 2012. Sensors 2012, vol. 12, pp. 12519-12544; DOI: 10.3390/ s120912519. 10. Arifin, Hatta, A. M., Muntini, M. S.,dan Rubiyanto, A. 2012, rosiding Seminar Nasional Fisika (SNF), FMIPA UNNES, Semarang, pp. FI102-1-6. 11. Taffoni, F., Formica, D., Saccomandi, P., Dipino, dan Schena, E. 2013. Sensors, vol. 13, pp. 14105-14120, DOI: 10.3390/ s131014105. 12. Yasin, M., Harun, S. W., Apsari, R., Suharningsih, Kusminarto, Karyono, dan Ahmad, H., 2010. Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials, vol. 1, no. 1, pp. 1-4. 13. Yasin, M., Harun, S. W., Yang, H. Z., dan Ahmad. H., 2010. Optoelectronics and Advanced Materials-Rapid Communications, vol. 4, no. 8, pp. 10. 14. Munap, D. H. A., Bidin, N., Islam, S., Abdullah, M., Marsin, F. M., dan Yasin, M. 2015. Sensors journal, IEEE, vol. 15, no. 9, pp. 4882-4887, DOI: 10.1109/JSEN.2015.2430326. 15. Harun, S. W., Yasin, M., Yang, H. Z., Kusminarto, Karyono, Ahmad, H., 010. Laser Physics, ISSN 10541660x, vol. 20 no. 4, pp. 904-909. 16. Azadeh, M. 2009. Springer Dordrecht Heidelberg. London, New York. 17. Efendioglu, H. S., Yildirim, T., Fidanboylu, K. 2009. Sensor 2009, vol. 9, pp. 7167-7176; DOI: 10.3390/ s90907167.
123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ANALISIS SPEKTRAL DAN DISTRIBUSI HIPOSENTER GUNUNG KELUD Wa Ode Isra Mirani1, Muh. Altin Massinai1, Makhrani1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Unhas
Sari Gunung Kelud adalah salah satu gunungapi aktif di Pulau Jawa. Pergerakan magma gunungapi ini perlu diwaspadai. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kedalaman hiposenter dan pergerakan magma. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berupa rekaman gempa. Berdasarkan data rekaman gempa vulkanik yang telah diseleksi menggunakan LS7 WVE, diketahui Gunung Kelud mengalami gempa yang tercatat oleh 5 stasiun berjumlah 203 VA dan 223 VB. Sebaran hiposenter saat berstatus normal tersebar pada kedalaman 36 hingga 13000 meter di bawah permukaan air laut dan saat berstatus waspada sebaran hiposenter tersebar pada kedalaman 0 hingga17000 meter di bawah permukaan air laut. Gempa vulkanik tersebar pada arah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara sesuai dengan struktur geologi yang berada di sekitarnya. Kandungan frekuensi dominan VA berkisar antara 3,27 hingga 13,88 Hz dan VB memiliki kandungan frekuensi dominan berkisar antara 4,06 hingga 14,52 Hz. Kata kunci : Gunungapi Kelud, Gempa Vulkanik Dalam (VA), Gempa Vulkanik Dangkal (VB), Hiposenter, Frekuensi Dominan Pendahuluan Indonesia berada diantara tiga lempeng tektonik yang saling bertumbukan yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Suhu yang sangat tinggi melelehkan pinggiran lempengan sehingga menghasilkan magma, kemudian magma muncul melalui retakan di permukaan bumi dan membentuk gugusan gunungapi (Massinai, 2011). Pada pertengahan Januari 2014, aktivitas vulkanik Gunung Kelud mengalami peningkatan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah Gempa Vulkanik Dalam (VA) dan Gempa Vulkanik Dangkal (VB) sehingga pada tanggal 2 Februari 2014 status Gunung Kelud dinaikkan dari Level I/Normal menjadi Level II/Waspada. Aktivitas kegempaan semakin meningkat sehingga pada tanggal 10 Februari 2014 status kegiatan menjadi Level III/Siaga. Peningkatan kegempaan diikuti pula dengan peningkatan suhu danau kawah dan data deformasi yang menunjukkan adanya inflasi. Pada tanggal 13 Februari 2014 pukul 21:15 WIB status Gunung Kelud ditingkatkan ke Level IV/Awas
setelah munculnya rekaman ―volcanic-tremor like‖ dengan amplituda overscale. Berselang 1 jam 35 menit peningkatan status Level IV, erupsi Gunung Kelud dimulai pada pukul 22:50 WIB (Triastuty, Mulyana, Adi, 2014). Mengingat aktivitas kegempaan Gunung Kelud yang meningkat, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui sebaran hiposenter yang dapat menggambarkan pergerakan magma saat Level I/Normal hingga Level II/Waspada dan analisis spektral untuk mengetahui karakteristik gempa vulkanik Gunung Kelud. Gempa vulkanik telah dikelompokkan oleh Minakami menjadi empat tipe(Setiani, 2013), yaitu gempa tipe A yang merupakan gempa yang berada pada kedalaman sekitar 1 sampai 20 km di bawah gunungapi, gempa tipe B merupakan gempa yang hiposenternya berada pada kedalaman kurang dari 1 km di bawah kawah aktif, gempa letusan dan tremor. LANDASAN TEORI Gunung Kelud Tumbukan antara lempeng IndoAustralia yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia tepatnya di sebelah selatan Jawa merupakan awal terjadinya Gunung Kelud. Perkembangan Gunung Kelud sangat terbatas yang terlihat dari kerucut gunungapi yang rendah, puncak tidak teratur, tajam dan terjal. Keadaan puncak– puncak tersebut disebabkan oleh sifat letusannya yang sangat merusak (eksplosif) yang disertai dengan pertumbuhan sumbat-sumbat lava seperti puncak Sumbing, Gajahmungkur dan puncak Kelud (Pusat Vulkaologi Dan Mitigasi Bencana Geologi, 2011). Struktur geologi yang diperkirakan terdapat di sekitar Gunung Kelud adalah berupa sesar geser, sesar normal, dan struktur kawah. Struktur tersebut yaitu (Mawardi dkk, 2004) : 1. Sesar Sumber, terdapat di daerah lereng baratlaut pada ketinggian 640 m di atas muka laut merupakan sesar normal dengan arah hampir U 145° T dengan bagian timur relatif naik terhadap bagian baratnya. Kemunculan Gunung Pisang diduga merupakan akibat dari sesar ini. 2. Sesar Gunung Lirang, terdapat di sekitar puncak yaitu Gunung Lirang dan daerah kawah bagian utara, yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya sampai ke Gunung Pegot. Struktur ini berupa sesar
124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
geser yang membentuk jalur sesar ke arah baratdaya-timurlaut. 3. Selain struktur sesar, juga terdapat struktur kawah, yaitu kawah Gunung Gupit dan kawah Gunung Kelud dimana struktur ini membentuk setengah lingkaran yang terbuka ke arah utara, sedangkan kawah Gunung Kelud terletak di puncak Gunung Kelud berupa dinding kawah yang melingkar berdiameter 1,5 – 2 km. Pada bagian tepinya terdapat kubah-kubah lava, antara lain Gunung Kombang, Gunung Kelud, Gunung Lirang, dan Gunung Sumbing. Pada kawah ini dijumpai danau kawah yang berair sepanjang tahun.
3.
4.
km di bawah kawah aktif. Magnitudo gempa vulkanik tipe B biasanya sangatlah kecil dan memiliki gerakan awal yang cukup jelas tetapi waktu tiba gelombang S tidak dapat dilihat dengan jelas. Selisih waktu tiba gelombang P dan gelombang S kurang dari 1 detik. Gempa Letusan Gempa letusan merupakan gempa vulkanik yang diakibatkan oleh letusan eksplosif. Gerakan pertama dari gempa letusan adalah push atau up atau gerakan ke atas. Dengan kata lain gempa letusan ditimbulkan oleh mekanisme sebuah sumber tunggal yang positif . Hiposenternya terletak di bawah kawah aktif. Tremor Tremor merupakan getaran terus menerus di sekitar gunungapi. Bagian utama dari getaran terdiri dari gelombang permukaan. Tremor vulkanik 13 memiliki bentuk sinusoidal yang tidak teratur serta memiliki durasi yang panjang. Tremor vulkanik dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu tremor harmonik dan tremor yang terbentuk karena gempa vulkanik yang saling bertumpuk (tremor spasmodik) (Sabry, 1993).
Metode Geiger dalam Menentukan Posisi Sumber Gempa bumi
Gambar 1 Peta Geologi Gunung Kelud (Zaenuddin, Dana, Wahyudin, 1992) Kegempaan Gunungapi Klasifikasi gempa vulkanik dikelompokkan oleh Minakami menjadi empat tipe berdasarkan kedalaman sumber gempa, letusan, dan sifat gerakan gempanya. Keempat gempa itu antara lain (Setiani, 2013): 1. Gempa tipe A (VA / Vulkanik Dalam) Gempa ini berada pada kedalaman sekitar 1 sampai 20 km di bawah gunungapi yang merupakan tahap awal dari suatu aktivitas letusan. Gelombang tipe A memiliki fase gelombang P dan S yang jelas. Berdasarkan asal gempanya, gempa 12 gunungapi tipe A terbagi atas dua macam, yang petama yaitu gempa yang disebabkan oleh tekanan dari bawah ke atas pada saat sebelum terjadi letusan dan kedua adalah gempa yang terjadi karena adanya penurunan tekanan sesudah letusan terjadi. Ciri utama dari gempa tipe A ini adalah selisih waktu tiba gelombang Primer (P) dan gelombang Sekunder (S) sampai 5 detik dan berdasarkan sifat fisisnya, gempa ini bentuknya mirip dengan gempa tektonik. 2. Gempa tipe B (VB / Vulkanik Dangkal) Hiposenter gempa ini lebih dangkal dari gempa vulkanik tipe A, yakni pada kedalaman kurang dari 1
Metode Geiger adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan posisi sumber gempa ( ) dan waktu terjadinya gempa . Prinsip metode Geiger dalam hal penentuan hiposenter ialah suatu langkah linearisasi hubungan antara lokasi dan waktu tempuh dengan berasumsi bahwa residual dari waktu tempuh linear dengan gangguan yang terjadi pada saat penjalaran, yaitu jarak lokasi hiposenter awal dengan stasiun. Nilai residual tersebut diperoleh dari selisih atau beda waktu tempuh hasil pengamatan ( ) dengan waktu hasil perhitungan atau secara teoritis ( ), yang secara sistematis dituliskan sebagai berikut (Yuliantono,2014): (
)
(
)
(
)
Masing-masing stasiun memiliki residual, jadi stasiun ke-i merupakan banyaknya stasiun yang ada (i = 1, 2, 3, …, n), sedangkan merupakan waktu penjalaran gelombang dari sumber ke tiap-tiap stasiun. Persamaan di atas berlaku ketika lapisan di bawahnya dianggap homogen, sedangkan jika lapisan di bawahnya dianggap heterogen, maka persamaan yang berlaku sebagai berikut ( ) ( ) ( ) ∑ ( ) ∑ dengan merupakan travel time dan ( ) merupakan kecepatan pada lapisan ke-z (z= 1,2,3, …, n).
125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Perhitungan di atas merupakan pemodelan ke depan dan bukanlah persamaan linier, sehingga tidak dapat diperoleh solusi kuadrat terkecil linier. Prosedur standar dalam pemecahan masalah linier adalah dengan cara perhitungan m secara iterasi dengan cara ekspansi Taylor (Afnimar, 2009). Persamaan least square untuk memecahkan masalah inverse dapat ditunjukkan sebagai berikut (Yuliantono,2014):
Dari persamaan di atas diperoleh parameter model (m) yang merupakan parameter yang dicari yaitu dx, dy, dz, dt. Perbaikan hiposenter akan selalu dilakukan secara iteratif sampai sangat kecil
maka data gempa domain waktu harus diubah ke dalam domain frekuensi. Untuk mengubah rekaman dari kawasan waktu ke dalam kawasan frekuensi digunakan Transformasi Fourier. Dengan transformasi fourier, analisis dalam kawasan frekuensi hanyalah penyusunan kembali sinyal dalam bentuk amplitude pada sumbu y dan frekuensi pada sumbu x dengan tidak mengubah informasi yang terkandung. Jika terdapat sebuah sinyal x(t) maka pasangan transformasi fouriernya adalah ( ) dengan ( )
Apabila X(t) adalah gelombang yang terpisah menjadi beberapa gelombang sinus dan ( ) adalah transformasi fourier dari x(t) dan √ , maka persamaan 2.6 dapat dituliskan kembali sebagai berikut : ( )
Menurut Madrinovella, 2012 dalam Garini, Madlazim, dan Endah (2014), hasil penentuan lokasi hiposenter menggunakan metode GAD lebih banyak yang sesuai dengan data keadaan geologi (lebih dekat dengan sumber, yaitu sesar dan gunung api) dibandingkan dengan menggunakan metode tiga lingkaran. Namun, perhitungan dengan menggunakan metode tersebut umumnya masih mengandung kesalahan dari struktur kecepatan gelombang seismik yang tidak termodelkan. Oleh karena itu, kelemahan metode tersebut membutuhkan pembaharuan model struktur kecepatan gelombang 1-D. Pergerakan Magma Proses di dalam gunungapi terkait dengan seismisitasnya merupakan proses migrasi magma yang disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas magma. Magma dan gas gunung api terus mendorong ke permukaan melalui rekahan-rekahan dan lorong-lorong. Ketika magma dan gas vulkanik berpindah akan menyebabkan retakan hingga pecahnya batuan. Retakan atau pecahnya batuan ini akan menjadi sumber getaran. Ketika batu pecah dengan frekuensi tinggi, akan menimbulkan gempa vulkanik. Jika retakan bergetar dengan frekuensi rendah secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya tremor vulkanik. Sehingga aktivitas magma tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah aktivitas gempa vulkanik (tipe-A dan tipe-B) dan tremor vulkanik (Ayu dan Akhmad, 2014). Analisis Spektral Data rekaman gempa vulkanik merupakan data yang berada pada domain waktu, sehingga untuk mempermudah analisis
( )
∫
∫
( )
(
)
∫
( )
(
)
Analisis dengan menggunakan prinsip metode transformasi Fourier ini dikenal dengan analisis spectral. Pada analisis spectral ini menggunakan seluruh bentuk sinyal sehingga jika terjadi kesalahan informasi akan mudah dihindari dengan pengukuran titiktitik dalam domain waktu (Rosmiyatin dan Abdul, 2012). DATA dan METODE Data Data yang digunakan merupakan data rekaman digital gempa vulkanik Gunung Kelud hasil rekaman 5 stasiun seismik (Kelud, Sumbing, Lirang, Kawah, dan Umbuk) yang diperoleh dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan ditampilkan dengan menggunakan software LS7 WVE .
Gambar 2 Peta Lokasi Objek Penelitian Metode Pengolahan data untuk mendapatkan sebaran hiposenter menggunakan metode Geiger dan untuk menentukan frekuensi dominan gempa vulkanik, data gempa yang berdomain waktu diubah menggunakan tranformasi fourier.
126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Hasil dan Diskusi
Gempa Vulkanik 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Gambar 3 Hasil Persebaran Episenter Gempa Vulkanik yang Terekam oleh Stasiun Pemantau
VA
VB
Grafik 2 Grafik Jumlah Gempa Vulkanik Gunung Kelud Aktivitas kegempaan Gunung Kelud mengalami peningkatan setiap minggunya. Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa pada minggu kedua aktivitas Gunung Kelud mengalami sedikit peningkatan yang ditandai dengan mulai munculnya gempa vulkanik dangkal pada minggu tersebut. Aktivitas terus meningkat pada minggu ketiga dengan mulai bertambahnya jumlah gempa vulkanik dangkal yang terjadi. Pada minggu keempat, jumlah gempa vulkanik dangkal yang terjadi tidak mengalami peningkatan namun pada minggu tersebut jumlah gempa vulkanik dalam mulai meningkat jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Pada minggu kelima, jumlah gempa vulkanik dangkal dan gempa vulkanik dalam yang terjadi meningkat secara drastis jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pergerakan magma di bawah tubuh Gunung Kelud yang mengakibatkan munculnya banyak gempa vulkanik di sekitar Gunung Kelud. Tidak berhenti pada minggu kelima, pada minggu keenam pergerakan di bawah tubuh Gunung Kelud semakin kuat sehingga menyebabkan munculnya ratusan gempa vulkanik baik gempa vulkanik dangkal maupun gempa vulkanik dalam yang terjadi pada minggu tersebut. Peningkatan jumlah gempa vulkanik yang terjadi pada minggu keenam sesuai dengan keputusan Pusat Vulkanologi yang menaikkan status dari level 1/Normal menjadi level II/Waspada pada tanggal 2 Februari 2014.
Gambar di atas memperlihatkan bahwa persebaran episenter gempa vulkanik Gunung Kelud dari minggu ke minggu terus bertambah jumlahnya. Berdasarkan sebaran episenternya, posisi gempa vulkanik Gunung Kelud cenderung datang dari arah Baratlaut-Tenggara dan arah Baratdaya-Timurlaut. Kecenderungan sebaran gempa vulkanik pada arah tersebut sesuai dengan peta geologi Gunung Kelud bahwa pada arah tersebut terdapat Sesar Sumber dan Sesar Lirang.
Gambar 4 Distribusi Hiposenter Gempa Vulkanik Gunung Kelud pada Minggu Pertama hingga Keenam Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin banyaknya gempa vulkanik dalam yang muncul dari minggu ke minggu yang disertai dengan gempa vulkanik dangkal yang terus bermunculan menuju ke kubah lava dengan jumlah yang banyak.Gempa vulkanik Gunung Kelud saat berstatus Normal tersebar pada kedalaman 36 – 13000 mdpl, namun gempa vulkanik dalam pada saat status Normal cederung berada pada kedalaman 1000 hingga 9000 mdpl dan gempa vulkanik dangkal cenderung berada pada kedalaman 100 hingga 900 mdpl. Sedangkan lokasi gempa vulkanik saat berstatus Waspada tersebar pada kedalaman 0 hingga 17000 mdpl, dimana gempa vulkanik dalamnya cenderung berada pada kedalaman 1000 sampai 8000 mdpl dan gempa vulkanik dangkal cenderung berada pada kedalaman 0 sampai 900 mdpl. Berdasarkan kecenderungan gempa vulkanik dalam Gunung Kelud saat berstatus Normal yang berada pada kedalaman 1000-9000 mdpl dan saat berstatus Waspada berada pada kedalaman 1000 hingga 8000 mdpl
127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
menandakan bahwa kemungkinan telah terjadi pergerakan magma yang menyebabkan gempa vulkanik dalam bertambah banyak namun mengalami pendangkalan. Gempa vulkanik dangkal yang semakin menuju ke stasiun Lirang juga mengindikasikan bahwa telah terjadi pergerakan magma di bawah Gunung Kelud.
Gambar 5 Hasil Olah Data Spektral Gempa Vulkanik Dalam pada tanggal 6 Februari 2014 pukul 18:16 WIB. (a) spektral event pada stasiun Sumbing (frekuensi dominan = 11,53 Hz). (b) spektral pada stasiun Lirang (frekuensi dominan = 6,15 Hz). (c) spektral pada stasiun Kawah (frekuensi dominan = 6,78 Hz).
sedangkan saat berstatus Waspada cenderung tersebar pada kedalaman 0 hingga 8000 mdpl mengindikasikan adanya migrasi atau pergerakan magma menuju permukaan. Selain itu, sebaran episenter gempa vulkanik Gunung Kelud cenderung tersebar pada arah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara dan semakin menuju ke kubah lava yang berdekatan dengan stasiun Lirang 3. Berdasarkan analisis spektral gempa vulkanik Gunung Kelud diperoleh bahwa gempa vulkanik A memiliki frekuensi dominan berkisar antara 3,72 hingga 13,88 Hz dan gempa vulkanik B diperoleh kandungan frekuensi dominan berkisar antara 4,06 hingga 14,52 Hz Saran Diharapkan adanya penelitian yang dapat mengestimasi kecepatan struktur di bawah tubuh Gunung Kelud untuk memperoleh posisi hiponsenter yang kebih akurat. Pustaka
Gambar 6 Hasil olah data spektral gempa vulkanik dangkal pada tanggal 27 Januari 2014 pukul 12:57 WIB. (a) spektral event pada stasiun Sumbing (frekuensi dominan = 7,86 Hz). (b) spektral pada stasiun Lirang (frekuensi dominan = 4,25 Hz). (c) spektral pada stasiun Kawah (frekuensi dominan = 5,01 Hz). Berdasarkan hasil pengolahan data frekuensi dominan gempa vulkanik Gunung Kelud diketahui bahwa kandungan frekuensi dominan gempa vulkanik dalam (VA) berbeda dengan kandungan frekuensi gempa vulkanik dangkal (VB). Data yang telah diolah dalam domain frekuensi memberikan informasi tentang karakteristik gempa vulkanik Gunung Kelud berdasarkan frekuensi dominannya. Gempa vulkanik dalam (VA) Gunung Kelud pada penelitian ini memiliki kandungan frekuensi dominan berkisar antara 3,72-13,88 Hz dan gempa vulkanik dangkal (VB) Gunung Kelud diperoleh kandungan frekuensi dominan berkisar antara 4,06-14,52 Hz. Perbedaan nilai frekuensi dominan setiap gempa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jarak sumber gempa ke stasiun dan medium yang dilewati. Kesimpulan 1. Berdasarkan identifikasi gempa yang telah dilakukan, Gempa Vulkanik Dalam (VA) Gunung Kelud pada periode 1 Januari hingga 8 Februari 2014 berjumlah 203 kejadian dan Gempa Vulkanik Dangkal (VB) berjumlah 223 kejadian. 2. Berdasarkan perbandingan posisi hiposenter gempa vulkanik Gunung Kelud saat berstatus Normal yang cenderung tersebar pada kedalaman 100-9000 mdpl
Afnimar. 2009. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Ayu, Hena Dian, dan Akhmad Jufriadi. 2014. Jurnal Neutrino (Vol.6 No.2). Garini, Sherly Ardhya, Madlazim, dan Endah Rahmawati. 2014. Jurnal Fisika (Volume 03 Nomor 02 Tahun 2014, hal 107 – 112). Massinai, Muhammad Altin. 2011. Disertasi. Bandung: Universitas Padjajaran. Mawardi R, dkk. 2004Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. 2011. Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. Rosmiyatin, dan Abdul Basid. 2012. Jurnal Neutrino (Vol.4, No.2). Sabry M. 1993. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Setiani, Nani. 2013. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Triastuty, Hetty., I. Mulyana, S. Adi, Surip, 2014. usat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. Yuliantono. 2014. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Zaenuddin A., I.N. Dana, D. Wahyudin. 1992. Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. Ucapan Terima Kasih Tak lupa mengucapkan alhamdulillah atas selesainya penelitian ini. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
LAJU PENETRASI KLORIDA PADA BETON MENGGUNAKAN METODE RAPID MIGRATION TEST Riski 1, Bidayatul Armynah2 Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Hasanuddin1,2 Email:
[email protected] Emai :
[email protected] 1 Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang laju penetrasi klorida dengan metode Rapid Migration Test menggunakan semen tipe PPC dengan proporsi campuran K450 berdiameter 8,5 cm dengan ketebalan 5cm dan 8cm. Pada penelitian ini digunakan metode Rapid Migration Test untuk mengetahui laju penetrasi klorida serta penentuan komposisi klorida yang terkandung dalam beton menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence). Hasil yang diperoleh yaitu terdapat 3 sampel yang menunjukkan laju penetrasi yang cenderung menurun seiring meningkatnya waktu, serta terdapat kandungan klorida sebanyak 1,76% dalam beton setelah dialiri klorida selama 24 jam. Kata kunci : Beton, Rapid Migration Test, XRF. Abstract The rate of chloride penetration using Rapid Migration Test on samples of concrete has been studied using cement type PPC with a mix design K450 in 8.5 cm diameter with a thickness of 5cm and 8cm. In this research, Rapid Migration Test method was used to determine the rate of chloride penetration and the determination of chloride in the concrete composition using XRF (X-Ray Fluorescence). The results showed that three samples was penetration rates experience to decrease with increasing time, and there is as much as 1.76% chloride content in the concrete after chloride flowed for 24 hours. Keywords: Concrete, Rapid Migration Test, XRF. Pendahuluan Saat ini dapat dilihat bahwa perkembangan onkstruksi bangunan menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, utamanya dalam konstruksi beton. Dalam skala dunia, penggunaan beton saat ini telah mencapai kurang lebih 8,8 Milyar Ton per tahun.[1] Fokus studi ini yaitu penggunaan beton di daerah laut misalnya dermaga, anjungan, pelabuhan laut, fondasi gedung pinggir pantai, bahkan bangunan maritim serta perumahan warga yang dalam pengerjaannya menggunakan material beton sebagai struktur dasarnya. Dimana dalam proses pembuatannya kontak dengan air laut terkadang tidak dapat terhindarkan. Struktur yang dibangun pada
lingkungan agresif seperti laut perlu diperhatikan dengan baik. Seperti yang diketahui bahwa air laut itu sendiri memiliki kandungan garam yang tinggi yang dapat menurunkan kekuatan dan keawetan beton. Hal ini disebabkan karena ion klorida yang terdapat dalan air laut merupakan garam yang bersifat agresif terhadap bahan lain, termasuk beton. Kerusakan dapat terjadi pada beton akibat reaksi antara air laut yang terpenetrasi ke dalam beton dengan senyawa-senyawa di dalam beton yang menyebabkan beton kehilangan sebagian massa, kekuatan, kekakuannya serta mempercepat proses pelapukan.[1] Beton yang dibuat tentunya harus memiliki kemampuan untuk bertahan pada kondisi dimana beton tersebut ditempatkan tanpa mengalami kerusakan selama jangka waktu yang telah direncakan. Beton yang demikian dinamakan beton yang memiliki ketahanan yang tinggi ( durable ). Secara umum, ketahanan beton terhadap kerusakan akan bertambah seiring dengan berkurangnya permeabilitas beton. Penyebab kerusakan yang berasal dari dalam beton itu sendiri diantaranya adalah reaksi alkali-agregat, perubahan volume akibat adanya perbedaan besar sifat termal dari agregat terhadap pasta semen, dan juga permeabilitas dari beton. Kerusakan yang terjadi pada beton jarang disebabkan oleh penyebab tunggal. Pada umumnya beton tahan terhadap serangan, namun apabila ada tambahan faktor buruk lainnya maka beton tersebut pada akhirnya akan mengalami kerusakan juga. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan pada beton yaitu reaksi korosi.[2] Didalam beton, tulangan baja terlindung dari korosi oleh suatu seliput tipis yang menyelimuti permukaan baja tulangan, yang biasa disebut “oxide film” (selaput pasif protektif). Selaput pasif ini terbentuk oleh karena kondisi kandungan alkali yang tinggi dalam larutan pori pasta semen. Semakin tinggi kandungan alkali maka akan semakin baik perlindungan yang bisa diberikan oleh oxide film, dan sebaliknya. Adanya klorida di dalam beton akan rusak bahkan dapat menghancurkan oxide film secara setempat. Di samping itu, adanya klorida juga akan menimbulkan terjadinya larutan elektrolit yang agresif di dalam beton.[2] Akibat kedua kondisi ini, rusaknya oxide film dan timbulnya larutan elektrolit yang agresif pada baja
129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
tulangan. Korosi ini akan menghasilkan karat (rust) yang volumenya dua kali bahkan tiga kali volume biasanya. Akibatnya akan timbul tekanan tarik di dalam beton, yang suatu saat akan melebihi kekuatan tarik beton sehingga terjadi retak-retak pada selimut beton. Akhir dari proses ini adalah hancurnya selimut beton (spalling).[2]
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan arus keluaran yang dilakukan secara berkala setiap 10 menit selama 24 jam untuk masing-masing sampel yang diuji. Setelah pengujian tersebut, kemudian diambil serbuk beton pada kedalaman 1cm dan 2cm dari dasar beton untuk melihat seberapa banyak kandungan klorida yang menyerap ke dalam beton tersebut.
Metode Penelitian Untuk mengetahui laju penetrasi klorida pada beton digunakan metode Rapid Migration Test sesuai standar Nordtest Method 492 seperti pada gambar 1 dengan menggunakan larutan NaOH yang berperan sebagai anolit dan larutan NaCl yang berperan sebagai katolit serta pengaliran arus listrik DC untuk mempercepat proses migrasi klorida ke dalam beton. Penentuan laju penetrasi klorida pada penelitian ini menggunakan sampel beton berdiameter 8,5 cm ketebalan 5 cm dan 8 cm dengan mix design K450 menggunakan semen tipe PPC. Penelitian ini menggunakan metode Rapid Migration Test (RMT) seperti pada Gambar 1 dengan tegangan 25 Volt yang disambungkan secara seri dengan amperemeter.
Gambar 1. Rangkaian uji migrasi klorida (NT BUILD – 492).[3]
Hasil dan Diskusi Hubungan arus dan waktu untuk menentukan penetrasi klorida pada beton menggunakan metode Rapid MigrationTeast
Arus (mA)
1.
34 32 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 0
120
240
360
480
Sampel 1
600 720 840 Waktu (menit)
sampel 2
960 1080 1200 1320 1440
Sampel 3
Gambar 2. Grafik hubungan arus dan waktu pada sampel ketebalan 5 cm
130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 2 memperlihatkan grafik yang menunjukkan hubungan antara arus dengan waktu pada 3 sampel yang berbeda dengan ketebalan masing-masing 5 cm. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa arus yang dihasilkan dari ketiga sampel tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring meningkatnya waktu, meskipun terdapat beberapa titik yang mengalami penurunan arus. Terlihat pada menit ke 0 hingga menit ke 500 ketiga sampel tersebut menunjukkan arus yang cenderung meningkat. Kemudian pada menit ke 510 hingga menit ke 1000 menunjukkan arus yang tetap meningkat namun tidak terlalu signifikan. Dari menit ke 1010 hingga menit ke 1440 menunjukkan fluktuasi arus dimana terjadi peningkatan serta penurunan arus pada ketiga sampel tersebut. Dari grafik yang ditunjukkan pada gambar 2, garis yang diperoleh membentuk garis polinomial dengan koefisien regresi rata-rata sebesar 0,95. Adapun laju penetrasi klorida yang diperoleh cenderung menurun, yaitu pada sampel 1 dan sampel 3. Sampel 1 diperoleh laju penetrasi sebesar 0,00138 mA/detik pada menit ke 0 yang kemudian menurun menjadi -0,0062 mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Kemudian untuk sampel 2 diperoleh laju penetrasi sebesar 6,83 x 10-4 mA/detik pada menit ke 0 yang juga menurun menjadi 3,88 x 10-3 mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Penurunan laju penetrasi klorida kemungkinan disebabkan oleh proses
Namun sampel 2 menunjukkan laju penetrasi klorida yang meningkat seiring meningkatnya waktu. Terlihat pada menit ke 0 laju penetrasinya sebesar 0,041 mA/menit atau 6,83 x 10-4 mA/detik yang meningkat hingga 0,233 mA/menit atau 3,88 x 10-3 mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Laju penetrasi klorida yang terus meningkat dikarenakan beton sampel 2 memiliki material kerikil yang cukup banyak pada dasar beton hingga kedalaman tertentu yang diserap klorida tersebut sehingga laju penetrasi klorida terus meningkat hingga pengukuran 24 jam.
Hubungan arus dan waktu untuk menentukan laju penetrasi klorida menggunakan metode Rapid Migration Test dengan ketebalan sampel 8cm
16 14 Arus (mA)
2.
naiknya komponen halus beton selama proses pencetakan benda uji. Semen sebagai komponen paling halus cenderung naik ke permukaan saat beton masih dalam keadaan segar. Naiknya komponen halus ini mempengaruhi kepadatan campuran, bagian bawah cenderung berongga karena ditempati lebih banyak oleh komponen yang kasar sementara pada bagian atas cenderung lebih rapat karena ruang-ruang kosong antar agregat terisi oleh komponen halus yang lebih banyak. Perbedaan kepadatan ini otomatis mempengaruhi kecepatan transportasi ion-ion klorida ke dalam beton. Pada bagian bawah silinder yang memiliki rongga lebih besar, klorida lebih cepat menyerap sehingga saat mulai naik dan mendapatkan pori yang lebih rapat maka penyerapan klorida mulai lambat atau bahkan menurun.[4]
12 10 8 6 4 0
120 240 360 480 600 720 840 960 1080 1200 1320 1440 t (menit) sampel 1
sampel 2
sampel 3
Gambar 3 Grafik hubungan arus dan waktu pada sampel ketebalan 8 cm
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 3 memperlihatkan grafik yang menunjukkan hubungan antara arus dengan waktu pada 3 sampel yang berbeda dengan ketebalan masing-masing 8 cm. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa arus yang dihasilkan dari ketiga sampel tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring meningkatnya waktu, meskipun dibeberapa titik terjadi penurunan arus. Terlihat pada menit ke 0 hingga menit ke 1440 ketiga sampel tersebut menunjukkan arus yang cenderung meningkat. Namun terlihat pula ada beberapa titik yang mengalami penurunan arus, yaitu pada sampel 1 dimenit ke 720 hingga menit ke 830 terlihat menurun, kemudian sempat naik dimenit 840 hingga menit 1250 dan kembali turun pada menit 1260 hingga menit 1320. Untuk sampel 2 terlihat arus menurun dari menit 470 hingga 520, kemudian arus kembali naik dari menit ke 530 hingga menit ke 1440. Pada sampel 3 juga terjadi penurunan dari menit 940 hingga menit 960, yang kemudian meningkat dari menit ke 970 hingga menit 1440. Dari grafik yang ditunjukkan pada gambar 3, garis yang diperoleh membentuk garis polinomial dengan koefisien regresi rata-rata sebesar 0,96. Adapun laju penetrasi klorida yang diperoleh cenderung meningkat, yaitu pada sampel 2 dan sampel 3. Sampel 1 diperoleh laju penetrasi sebesar 1,13 x 10-4mA/detik pada menit ke 0 yang kemudian menurun menjadi 3,6 x 10-5 mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Kemudian untuk sampel 2 diperoleh laju penetrasi sebesar 3 x 104 mA/detik pada menit ke 0 yang meningkat menjadi 5,5 x 10-4 mA mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Sampel 3 juga menunjukkan peningkatan yaitu 5 x 10-4 mA/detik pada menit ke 0 yang kemudian meningkat menjadi 0,033 mA/detik pada menit ke 1440 (24 jam). Laju penetrasi klorida yang terus meningkat kemungkinan disebabkan oleh struktur beton yang tidak teratur sehingga penyebaran kerikil yang tidak merata dari dasar beton hingga bagian atas beton, menyebabkan klorida terus mengalir dengan laju yang terus meningkat. 3.
Pengujian Kandungan Klorida menggunakan XRF
Sampel beton yang diuji XRF yaitu sampel beton normal yang sebelumnya diambil serbuknya untuk diuji komposisi yang terkandung di dalamnya, kemudian dengan sampel yang sama dialiri klorida selama 24 jam. Setelah dialiri klorida sampel kemudian diambil serbuknya dengan kedalaman tertentu untuk diuji komposisinya menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence). Hasil pengujian komposisi beton sebelum dan setelah dialiri klorida dapat dilihat pada Tabel 1. Pada beton
yang belum dialiri klorida memperlihatkan Ca dominan dengan kandungan sebanyak 51,78% dari kandungan total, komposisi Si, Fe, Al dan K secara berturut-turut memiliki kandungan sebanyak 29,37%, 12,21%,3,98%, dan 1,77%. Selain itu juga terdapat komponen seperti Ti, Zr, Nb, Mo, Sn, Sb, In, dan Ru dalam jumlah yang relatif kecil. Setelasetelah dialiri klorida, kemudian di ambil serbuk pada kedalaman 1 cm dan 2 cm dari dasar beton. Dari tabel 1 diatas menunjukkan pada sampel dengan kedalaman 1 cm muncul beberapa unsur seperti Cl sebanyak 1,76%, Cr sebanyak 0.161 0,161%, Ba sebanyak 0,108%, dan Ag sebanyak 0,0431%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan alat uji migrasi klorida maka terlihat adanya perpindahan klorida dalam beton meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar yaitu hanya 1,76%, hal ini disebabkan karena waktu yang digunakan juga tidak terlalu lama. Selain itu, sampel pada kedalaman 2 cm menunjukkan adanya unsur yang hilang yaitu Cl, Cr, Ba, dan Ag yang sebelumnya terdapat pada beton kedalaman 1 cm. Hal ini disebabkan karena penyerapan klorida tidak sampai pada kedalaman 2 cm sehingga unsur-unsur tersebut hanya menyerap hingga kedalaman 1 cm saja. Tabel 1 Hasil XRF beton sebelum dialiri klorida dan setelah dialiri klorida pada kedalaman 1 cm dan 2 cm dari dasar beton. Kadar (%) Berat Dialiri Dialiri Sebelum No Komp. Klorida Klorida dialiri (1 cm dari (2 cm dari Klorida dasar beton) dasar beton) 1 Ca 51,78 45,02 50,75 2 Si 29,37 31,59 30,55 3 Fe 12,21 15,45 15,73 4 Al 3,98 2,82 5 K 1,77 2,02 1,81 6 Cl 1,76 7 Ti 0,73 0,85 0,95 8 Cr 0,161 9 Ba 0,108 10 Zr 0,057 0,064 0,076 11 Ag 0,0431 12 Nb 0,0393 0,0399 0,048 13 Mo 0,0244 0,0253 0,0319 14 Sn 0,0116 0,0161 0,0124 15 Sb 0,0116 0,0121 0,0149 16 In 0,0127 0,0114 0,0141 17 Ru 0,0097 0,0085 0,0106
132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Kesimpulan
Pustaka
Berdasarkan hasil penelitian terhadap laju penetrasi klorida menggunakan metode Rapid Migration Test, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dari pengujian penetrasi klorida yang telah dilakukan, terdapat 2 sampel yang cukup baik yaitu sampel 3 untuk beton ketebalan 5cm dan sampel 1 untuk beton ketebalan 8cm, dengan laju penetrasi klorida yang semakin menurun. Dengan menurunnya laju pentrasi klorida menyebabkan semakin sedikitnya klorida yang menyerap ke dalam beton, sehingga semakin sedikit klorida maka semakin baik kualitas beton tersebut. 2. Hasil pengujian XRF menunjukkan adanya klorida yang menyerap pada beton sebanyak 1,76%. Jumlah klorida yang menyerap relatif kecil karena tegangan yang diterapkan tidak terlalu besar serta waktu pengujian yang tidak terlalu lama.
[1] Metha, P.K. 1998. Proceedings Second int.Conf.on Concrete in Marine Environment, St.Andrews by the sea. Canada, SP – 109. [2] Budianto. 2010. Tesis, Bandung : Departemen teknik Sipil Institut teknologi Bandung (ITB). [3] NT BUILD 492. 1999. Finland: Nordtest, Espoo. [4] Kristiawan, A. Stevanus, dkk. 2013. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 ( koNTekS 7). Universitas Sebelas Maret (UNS). Surakarta, 24-26 Oktober 2013
133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 06 Agustus 2016
Pengaruh Konduktifitas Hidrolik Tanah Berpori terhadap Potensial Elektrokinetik Aswar M1, Syamsuddin2, dan Muhammad Hamzah2 1) PT Dharma Satya Nusantara Group, Tbk 2) Program Studi Geofisika, Universitas Hasanuddin Sari / Abstract Dalam studi ini telah dilakukan percobaan laboratorium untuk menganalisis pengaruh permeabilitas media berpori terhadap potensial elektrokinetik. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rangkaian alat sederhana, dan bahan berupa tanah berpori dengan berbagai ukuran butir dan tempat pengambilan sampel, serta dengan mengalirkan air atau fluida melalui media sampel yang diujikan. Percobaan dilakukan dengan menghitung nilai permeabilitas atau konduktifitas hidrolik (K) sampel uji, dan mengukur potensial elektrokinetik (PE) sampel yang diujikan. Terdapat hubungan yang linear antara permeabilitas dengan ukuran butir, sehingga makin besar ukuran butir maka permeabilitas akan semakin besar pula. Serta terdapat pula hubungan yang linear antara potensial elektrokinetik dengan permeabilitas suatu sampel itu sendiri, sehingga dapat dianalisis bahwa semakin besar permeabilitas maka potensial elektrokinetik suatu bahan akan semakin besar. Kata kunci: Alat sederhana, Tanah berpori, Permeabilitas, Potensial elektrokinetik. Abstract In this study has been tested to analyze the influence of porous media permeability of electrokinetic potential. This experiment was conducted with the simple circuit tools, and materials such as porous soil with various grain sizes and sampling area, as well as by flowing water or fluid through the media examined samples. Experiments carried out by calculating the permeability or hydraulic conductivity (K) test samples, and measure the electrokinetic potential (PE) samples tested. There is a linear correlation between permeability and the measure grain, so the bigger the grain size the greater the permeability. And there is also a linear correlation between the electrokinetic potential with the permeability of a sample itself, so that we can analyze that the larger the permeability of the electrokinetic potential of a material will be even greater. Keywords: simple tools, electrokinetic potential
porous
soil,
permeability,
Pendahuluan / Introduction Potensial elektrokinetik (PE) dapat ditimbulkan oleh berbagai proses di alam. Ada tiga mekanisme yang dapat menimbulkan potensial elektrokinetik. Pertama, steaming potential yang berkaitan dengan aliran fluida. Kedua, potensial elektrokimia yang muncul karena perbedaan
konsentrasi elektrolitik. Ketiga, potensial termoelektrik dari gradient termal. Mekanisme timbulnya PE yang belum sepenuhnya dipahami tetapi tidak menghalangi penerapan dan kesuksesan PE sebagai sumber anomaly self-potensial (SP) untuk eksplorasi mineral dan geothermal. Namun demikian, selama ini metoda SP lebih banyak berperan melengkapai metoda geofisika lainnya yang dianggap lebih memadai. Mekanisme kerja terbangkitnya potensial PE yang berhubungan dengan air tanah adalah sebagai elektrolitik. Air tanah yang bergerak dalam medium berpori membangkitkan potensial elektrokinetik atau dikenal pula sebagai elektrofiltrasi dan streaming potensial. Demikian pula air tanah yang mengandung konsentrasi larutan yang bervariasi dapat menimbulkan potansial difusi, nearst potensial dan shale potensial (Telford, 1990). Selanjutnya, air tanah sebagai pelarut yang bereaksi dengan mineral dapat terjadi potensial mineral. Sebagai tambahan, bahwa pergerakan air tanah yang terjadi akibat vegetasi dapat menyebabkan potensial bioelektrik. Dari penelitian ini dapat memberikan gambaran sumber potensial yang terukur di permukaan tanah. Potensial alam yang terukur di permukaan tanah dikenal dengan SP. Anomali SP yang terukur di permukaan adalah merupakan potensial yang bersumber dari PE. Anomali SP tersebut dapat memberikan informasi aliran air bawah permukaan. Anomali negatif terjadi bila rembesan masuk ke dalam struktur dan terjadi anomali positif bila mengalir secara horizontal (Fagerlund, 2003). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikembangkan investigasi atau penelitian tentang potensial elektrokinetik dalam media tanah (media berpori), serta pengaruh permeabilitas tanah (media berpori) atau kemampuan tanah untuk meloloskan air terhadap PE. Sehingga dapat memberikan gambaran sumber potensial yang terukur di permukaan tanah. Potensial alam yang terukur di permukaan tanah dikenal dengan SP. Anomali SP yang terukur di permukaan adalah merupakan potensial yang bersumber dari PE. Anomali SP tersebut dapat memberikan informasi aliran air bawah permukaan. Data dan Metoda / Data and Method Penelitian skala laboratorim ini dilakukan untuk menentukan permeabilitas atau konduktifitas hidrolik (K) dan potensial elektokinetik (PE) dari tiap sampel dengan
134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
berbagai ukuran butir. Adapun sketsa alat percobaan untuk mengetahui nilai K dan PE dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1 Sketsa alat percobaan potensial elektrokinetik (PE).
yang keluar dari sampel tanah. Konduktifitas hidrolik tersebut dihasilkan dari linearisasi grafik q = (Q/A) terhadap i = (dh/dl), dengan dibantu program Microsoft Office Excel. Pengukuran Potensial Elektrokinetik (PE) Sketsa gambar percobaan untuk mengetahui potensial elektrokinetik dapat dilihat pada Gambar III.3. Geometri dari tempat sampel tanah berbentuk silinder. Silinder tempat sampel tanah ini terbuat dari pipa paralon. Ukuran dari pipa paralon adalah panjang 50 cm dan jari-jari pipa 1.3 cm. Serta sebagai tambahan, posisi dan jarak antara dua elektroda negatif dan elektroda positif adalah 30 cm. Posisi elektroda dan geometri tempat sampel tanah dapat pula dilihat seperti Gambar 3.
Adapun cara atau metodologi dalam melakukan pengambilan data dari tiap sampel tanah yang diujikan, untuk menentukan permeabilitas atau konduktifitas hidrolik dan pengukuran potensial elektrokinetik adalah sebagai berikut: Penantuan Permeabilitas (K) Penentuan nilai konduktifitas hidrolik (K) dilakukan melalui percobaan di laboratorium. Prosedur percobaan adalah mengalirkan air (fluida) melalui beberapa sampel tanah (kerikil, pasir, dan tanah), yang dimasukkan dalam pipa silinder. Air dapat mengalir malalui sampel tanah karena adanya gradient haed hidrolik (dh/dl), untuk setiap dh/dl diperoleh kecepatan aliran fluida dalam silinder (q). Percobaan dilakukan tiga sampai empat kali berdasarkan variasi head hidrolik. 𝐾
𝐴
𝐾 𝐴 ----------------- 1
Geometri dari tempat sampel tanah berbentuk silinder. Silinder tempat sampel tanah ini terbuat dari pipa paralon. Ukuran dari pipa paralon adalah panjang 50 cm dan jari-jari pipa 1.3 cm (Gambar 2)
Gambar 3 Ektroda di tempat sampel tanah. Aliran air malalui sampel tanah terjadi karena perbedaan head hidrolik (Δh). Head hidrolik di sisi sebelah kanan dikondisikan sehingga bernilai nol, sedangkan head hidrolik di sisi sebelah kiri divariasikan untuk mengalirkan air ke dalam sampel tanah. Variasi head hidrolik yang diberikan adalah 46 cm, 66 cm, dan 86 cm, variasi head hidrolik ini sama dengan saat pegambilan data untuk nilai konduktifitas (K). Dengan dibantu oleh alat digital multimeter yang disambungkan dari elektroda-elektroda ke perangkat komputer yang telah diinstalkan software dari alat tersebut. Potensial elekrokinetik (PE) tersebut langsung terekam dan terlihat di perangkat komputer. Hasil dan Diskusi / Result and Discussion Hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di atas yaitu hasil dari Nilai Permeabilitas (K), dan Nilai Potensial Elektrokinetik (PE) adalah sebagai berikut: Nilai Permeabilitas (K) Untuk sampel tanah I (kerikil), hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 hasil pengukuran sampel 1 (kerikil)
Gambar 2 Ukuran silinder tempat sampel tanah. Konduktifitas hidrolik sampel tanah (K) percobaan adalah konduktifitas hidrolik sebenarnya atau konduktifitas hidrolik yang mewakili sampel tanah percobaan. Adapun variabel yang diukur adalah waktu (s) dan volume (cm3) air
135
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
Konduktifitas Hidrolik pada sampel I dengan linearisasi (q) terhadap (i), akan dihasilkan grafik seperti pada Gambar 4. Nilai K yang dipeoleh sekitar 0.223 (cm/s).
Nilai Potensial Elektrokinetik (PE) Data hasil rekaman perubahan potensial elektrokinetik (PE) penelitian laboratorium masing-masing sampel, dari sampel I sampai sampel III dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 4. Grafik permeabilitas (K) sampel I (kerikil) Gambar 6. Rekaman potensial elektrokinetik. Dengan metode pengukuran dan pengolahan yang sama untuk sampel II (pasir) dan III (tanah), maka nilai Permeabilitas (K) yang diperoleh dari kedua sampel tersebut dituangkan dalam tabel 2.
Rekaman potensial elektrokinetik pada Gambar 6 menunjukkan perbedaan head untuk masing-masing sampel.
Tabel 2. Nilai konduktifitas hidrolik (K).
Tabel 3. Head potensial elektrokinetik tiap sampel.
Hubungan empiris antara K dengan ukuran butir dapat dilihat pada grafik dalam Gambar 5. Hubungan antara K dan ukuran butir mendekati linier sehingga dapat dilakukan linearisasi garfik antara K dan ukuran butir, dengan demikian dapat disimpulakan bahwa semakin besar ukuran butiran sampel tanah maka K semakin besar mendekati linier. Tabel 3 menunjukkan nilai potensial elektrokinetik (PE) pada perbedaan head hidrolik (∆h) 86 cm masing-masing sampel, untuk Sampel I = 40 mV, Sampel II = 26 mV, dan Sampel III = 5 mV. Analisis Setelah memperoleh hasil dari nilai permeabilitas dan potensial elektrokinetik maka akan dilakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut. Hasil rekaman potensial elektrokinetik (PE) dan hubunganya dengan hasil perhitungan permeabilitas atau konduktifitas hidrolik (K) pada tiap-tiap sampel, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Gambar 5. Grafik ukuran butir dengan konduktifitas hidrolik
136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
Tabel 4 Nilai K dan PE setiap sampel.
Terdapat hubungan empiris antara PE dengan K dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 7. Hubungan PE dan K mendekati linier sehingga dapat dilakukan linearisasi grafik antara PE dan K, dengan demikian dapat dianalisis bahwa semakin besar permeabilitas atau konduktifitas hidrolik (K) maka semakin besar pula potensial elektrokinetik (PE).
perbedaan potensial elektrokinetik, data PE tiap head pada sampel berbeda di Tabel IV.2 merupakan hasil rata-rata dari rekaman bayak data PE tiap head. Setelah memperoleh hasil permeabilitas dan potensial elektrokinetik tiap-tiap sampel yang diujikan, selanjutnya hasil potensial elektrokinetik dan permeabilitas tiap sampel dianalisis dengan melihat hubungan antara keduanya. Dapat dilihat pada Tabel 4, dari hasil data yang dihasilkan terdapat hubungan linier antara permeabilitas dengan potensial elektrokinetik, dapat dilihat pada Gambar 7. Sehingga diperoleh hasil kesimpulan analisis antara hasil PE dengan K penelitian ini bahwa, semakin besar permeabilitas suatu sampel tanah maka semakin besar pula potensial elektrokinetik sampel tanah tersebut. Kesimpulan / Conclusions
Gambar 7. Grafik PE terhadap K Nilai Permeabilitas (K): Dalam melakukan penelitian mencari permeabilitas atau konduktifitas hidrolik (K) tiap sampel yang diujikan, data-data yang dibutuhkanatau akan dicari dalam percobaan ini yaitu waktu (t) dan volume (V), sehingga kita akan memperoleh kecepatan aliran fluida (q). Dan adanya perbedaan head, maka diperoleh head hidrolik (i), sehingga tedapat hubungan yang linear antara kecepatan aliran fluida (q) dengan head hidrolik (i). Maka diperoleh hasil permeabilitas (K) untuk sampel I 0.223 cm/s, sampel II 0.022 cm/s, dan sampel III 0.017 cm/s. Terdapat pula hubungan yang linear antara konduktifitas hidrolik (K) dengan ukuran butiran sampel yang diujikan, karena ukuran butiran tiap sampel berbeda maka hasil dari permeabilitas berbeda pula (dapat dilihat pada Tabel 1), sehingga terdapat hubungan linearisasi antara konduktifitas hidrolik dengan ikuran butiran (dapat dilihat pada Gambar 4). Nilai Potensial Elektrokinetik (PE): Dalam melakukan penelitian mencari potersial elektrokinetik (PE) tiap sampel yang diujikan, diperoleh data hasil rekaman potensial elektrokinetik tiap-tiap sampel dengan head berbeda (Gambar IV.2). Dari hasil rekaman tersebut menunjukkan bahwa perbedaan head hidrolik dapat menyebabkan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Perubahan konduktifitas hidrolik terhadap head hidrolik dan ukuran butir menunjukkan hubungan yang linier. Secara spesifik dapat diartikan bahwa semakin besar head hidrolik dan ukuran butiran maka kecepatan aliran fluida didalam media tersebut akan semakin besar dan konduktifitas hidrolik (K) akan semakin besar. 2. Berdasarkan hasil rekaman perubahan potensial elektrokinetik terhadap perubahan permeabilitas, yang telah dianalisis sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai permeabilitas media berpori maka nilai potensial alektrokinetiknya semakin besar. Pustaka / References Fagerlund,
F., dan Heinson, G., 2003, Detecting Subsurface Groundwater Flow in Fractured Rock Using Self-Potential (SP) Methods, Environmental Geology.
Kadoatie, R. J., 1996, Pengantar Hidrogeologi, ANDI, Yokyakarta. Reynold, J. M., 1997, An Introduction to Applied and Environmental Geophysics, John Wiley & Sons Inc: New York. Overbeek, J.T.G., 1952, Electrochemistry of Double Layer. Colloid Science 1. Soedarmono G. D & Purnomo S. J., 1997, Mekanika Tanah 1, Kanisius: Yogyakarta. Susilo, B.K., 2008, Geologi Dinamik – Air Tanah, http: //www.lablink.or.id.
137
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
Syamsuddin., 2007, Penentuan Struktur Bawah Permukaan Bumi Dangkal Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2D (Studi Kasus Potensi Tanah Longsor di Panawangan, Ciamis), ITB: Bandung. Telford, W.M. and Sheriff, 1990. Applied Geophysicst. Cambridge University Press.
a. Panitia pelaksana Seminar Nasional Geofisika Unhas atas diterimanya tulisan ini b. Pimpinan Universitas Hasanuddin, Dekan MIPA, dan Ketua Jurusan Fisika yang telah mengizinkan penulis mengikuti Seminar Nasional Geofisika Unhas 2014 c. Keluarga yang rela melepaskan penulis untuk mengikuti Seminar Nasional Geofisika Unhas 2014 d. Dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut satu persatu
Ucapan Terima Kasih Tulisan ini dapat dipublikasikan tidak lepas dari support dari berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini diucapkan banyak terima kasih kepada
138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ANALISIS DATA GEOLISTRIK UNTUK EKSPLORASI AIR TANAH ZONE ALUVIUM DI DISTRIK KURIK MERAUKE Virman1), dan Muhammad Altin Massinai2) 1) Program Studi Pendidikan Fisika, PMIPA Uncen, Jalan Raya Sentani-Abepura 2) Program Studi Geofisika FMIPA Unhas, Jl. Perintis Kemerdekaan Email: 1)
[email protected], 2)
[email protected] Sari Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting khususnya bagi kehidupan umat manusia. Hampir semua kegiatan yang dilakukan manusia membutuhkan air, mulai dari membersihkan diri (mandi), membersihkan ruang tempat tinggal menyiapkan makanan sampai dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Oleh karena itu kehidupan ini tidak mungkin dipertahankan tanpa air. Berdasarkan pentingnya air tersebut bagi manusia maka telah dilakukan eksplorasi air tanah dengan tujuan mencari kemungkinan ditemukannya air tawar pada lapisan akuifer. Eksplorasi air tanah dilakukan di Daerah Distrik Kurik Merauke menggunakan metode geolistrik tahanan jenis. Metode ini menggunakan sistem induksi arus listrik untuk mengetahui resistivitas batuan bawah permukaan. Variasi resistivitas dapat menunjukkan perbedaan komposisi, ketebalan atau tingkat kontaminasi. Hasil pemrosesan data menunjukkan bahwa lapisan batuan yang diduga potensi mempunyai air tanah yang baik berada pada lapisan lima dengan kedalaman diatas 50.41 m dan antara 0.329 - 68.3 ohm m. Katakunci: air tanah, geolistrik dan eksplorasi Pendahuluan / Introduction Sekitar 71 persen bumi mengandung air dan tubuh kita sendiri juga mengandung air sekitar 80 persen. Maka dari itu, air adalah barang yang sangat berharga karena air memiliki kegunaan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air bersih untuk komsumsi menurut departemen kesehatan memenuhi syarat-syarat yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna dan tidak mengandung logam berat, (Love, J and Luchsingerm V., 2015). Hidup kita membutuhkan air bersih untuk keperluan sehari-hari seperti minum, memasak, mandi, mencuci, kakus dan sebagainya. Karena itu, penyediaan air bersih menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji karena berpengaruh besar pada kelancaran aktivitas masyarakat tersebut. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air khususnya pasal 5 juga menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal setiap hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif. Undangundang tersebut menekankan bahwa negara wajib menyelenggarakan berbagai upaya untuk menjamin
ketersediaan air bagi setiap orang yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Fitri, A., 2014). Data Bappenas 2015, menyimpulkan bahwa akses masyarakat Indonesia terhadap air bersih masih rendah yakni masih berkisar 51,02 %, Angka ini masih jauh dibawah target yang ditetapkan oleh MDGs (Millenium Development Golds) yaitu 68,87%. Kedepan penyediaan air bersih semakin dihadapkan tantangannya yang semakin besar karena beberapa hal diantaranya jumlah penduduk yang terus bertambah, mendorong pertumbuhan dan perkembangan pemukiman yang cepat pula, peningkatan kegiatan ekonomi dan sebagainya. Ini semua akan berdampak pada pencemaran air, kerusakan hutan, kerusakan waduk sebagai sumber air baku menjadi sulit, (Qodriyatun S.N., 2014) Di Kabupaten Merauke tidak kecuali, krisis air bersih juga dirasakan oleh masyarakat. Akses air bersih dari PDAM yang belum maksimal di kota Merauke ini ditunjukkan oleh jumlah rumah tangga yang menikmati air bersih sekitar 3000 dari total rumah tangga ada 18.048, (Kompas, 2010). Disamping PDAM di Kota Merauke ada sekitar 300 orang penjual air keliling, mereka setiap hari menimba air dari sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang ada dipinggir jalan Mandala. Pada musim kemarau mereka antre ambil air karena banyak yang pesan. Hal ini terutama disebabkan oleh air tanah yang ada di Merauke 87,7% berair payau dan hanya 18,3% yang berair tawar. Krisis air bersih tidak hanya di Kota Merauke tetapi juga di Distrik Kurik. Masyarakat yang umumnya anggota TNI membeli air seharga Rp. 8000 per galon untuk keperluan air minum. Sedangkan untuk mandi dan cuci menggunakan air hujan atau air tanah yang mengandung belerang panas yang tersedia cukup banyak. Krisis air bersih tersebut dampaknya tidak hanya menimbulkan biaya ekstra tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat. Menururt penelitian oleh WHO, krisis air bersih menimbulkan penyakit antara lain kolera, hepatitis, polymearitis, tipus, disentrin, trachoma, scabies, malaria, dan penyakit cacingan, ( Iwan, N., 2013). Untuk mengatasi krisis air bersih tersebut maka diperlukan sumber air lain berupa air tanah. Air tanah bawah
139
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
permukaan keberadaannya tidak pasti baik kedalaman maupun penyebaran secara lateral. Demikian juga kualitas air tanah bawah permukaan yang sangat tergantung pada banyak hal diantaranya intrusi air laut, pencemaran akibat leachete (lindi) dari timbunan sampah, pertanian (penggunaan pupuk) dsbnya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan eksplorasi air tanah menggunakan metode geolistrik. Geolisitrik merupakan salah satu metode geofisika yang banyak digunakan untuk memprediksi keberadaan air bawah permukaan, (Rosid, S. 2008). Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal lebih murah, dan cepat namun sifatnya prediksi. Berdasarkan data-data geolistrik ini maka akan didapatkan posisi maupun kedalaman air tanah dengan demikian biaya untuk bor air tanah dapat diprediksi. Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi melibatkan pengukuran diatas permukaan bumi dari parameter-parameter fisika yang dimiliki oleh batuan di dalam bumi. Dari pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi dibawah permukaan bumi baik itu secara vertikal maupun lateral (Telford, 1990). Metode ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini tahanan jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu harga tahanan jenis yang diukur bukan merupakan nilai tahanan jenis untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang lebar. Harga tahanan jenis yang terukur tersebut disebut nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (Telford, 1990): 𝜌
𝐾
.........(1)
Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara kedua elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan. Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki beberapa konfigurasi yang dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll. Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Schlumberger.
Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih lebar dari spasi elektroda potensial seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Konfigurasi Schlumberger (Telford, 1990)) dari persamaan (1) apabila diturunkan maka diperoleh tahanan jenis semu untuk konfigurasi Schlumberger sbb: 𝜌
*(
)
(
)+
Dimana: r1 = jarak dari titik P1 ke sumber arus positif (L - l) r2 = jarak dari titik P1 ke sumber arus negative (L + l) r3 = jarak dari titik P2 ke sumber arus positif (L + l r4 = jarak dari titik P2 ke sumber arus negatif (L - l) Hal ini menghasilkan faktor geometri (K) dan tahanan jenis semu untuk elektroda Schlumberger adalah (Telford, 1990): 𝜌
𝐾
, dengan Ks
(
)
...... (2)
Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali atau lebih jarak elektroda potensial (P1 P2) Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan konfigurasi elektroda, faktor lain adalah jenis struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada. Hasil pengukuran geolistrik tidak dapat digunakan secara pasti untuk menentukan jenis batuan, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tahanan jenis batuan. Namun demikian metode geolistrik dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan adanya formasi batuan yang mengandung air (akuifer) dalam eksplorasi air tanah, adanya formasi batuan yang berasosiasi dengan zone mineralisasi dalam eksplorasi mineral. Dalam studi rekayasa dan lingkungan metode geolistrik juga berperan untuk memperkirakan kebocoran bendungan, dispersi fluida polutan dan sebagainya.
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Data dan Metoda 1 Desain Penelitian Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 titik, panjang bentangan antara AB/2 adalah 100 m, menggunakan konfigurasi Schlumberger. Daerah penelitian (Lampiran 1) memiliki topografi yang relatif rata serta terdapat beberapa bangunan disekelilingnya, sehingga bentangan maksimum sulit dicapai. Pengukuran lapangan dilakukan dengan mengukur beda potensial dan kuat arus yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan MN. Untuk resistivitas sounding, jarak spasi elektroda diubah-ubah secara graduil untuk titik amat. Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih besar dari spasi elektroda potensial. 2 Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan: Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama Noniura NRD 328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial (Volt). Output pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang diperlukan adalah: a. Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF. b. Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara alat dengan permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial. c. Kabel penghubung antara alat dengan elektroda d. Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap titik ukur. e. Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda. 3 Tahapan pengukuran Adapun urutan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang dibawah dalam kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu memenuhi syarat yaitu 12 volt. sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu. b. Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar diperoleh kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan pendukung untuk kelancaran di lapangan.
c. Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus mendapat arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang dipercayakan (setting peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran). d. Data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup arus listrik (Amper) dan beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik melalui dua elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi yang memiliki nilai hambatan (ohm m). 4 Pengolahan Data Data yang diperoleh berupa beda potensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut kemudian disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis semunya. Tahanan jenis semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan true resistivity menggunakan IPI2win hasilnya seperti pada Lampiran 2. Gambar tersebut merepresentasikan jenis litologi, kedalaman dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga tahanan jenisnya. Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-dasar sebagai berikut: a. Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama. b. Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama. c. Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang lebih besar. Hasil dan Diskusi Data yang diperoleh melalui pengukuran berupa beda potensial dan arus kemudian dihitung tahanan jenis semunya. Selanjutnya nilai tersebut diolah menggunakan IPI2win untuk mendapatkan tahanan jenis sebenarnya. Tahanan jenis sebenarnya merupakan model yang menggambarkan ketebalan perlapisan dan jenis batuan pada tiap-tiap pengukuran. Untuk mengetahui jenis – jenis batuan yang ada pada masing-masing titik disesuaikan dengan besar kecilnya nilai tahanan jenis yang dimiliki serta data geologi pada daerah penelitian. Data tahanan jenis yang sudah melalui tahap pengolahan dapat berupa model yang menggambarkan jumlah perlapisan dan kedalaman (Lampiran 2). Selanjutnya model tersebut
141
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
dianalisis berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh Telford, 1990. Adapun hasil analisis terhadap model yang diperoleh berupa struktur bawah permukaan adalah sebagai berikut: No. Pengukuran 001: Titik pengukuran pertama dilakukan dengan bentangan 200 meter atau AB/2 adalah 100 meter, arah bentangan utara – selatan. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunkan software IPI2win, lintasan ini terdiri atas lima lapisan (Lampiran 2). Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis batuannya setiap lapisan adalah sebagai berikut: 1. Lapisan pertama, memiliki ketebalan 2.57 m, harga tahanan jenis 137 ohm m merupakan tanah penutup. 2. Lapisan kedua memiliki ketebalan 2.7 m dengan nilai tahanan jenis 84.5 ohm m. Dari permukaan, lapisan ini berada pada kedalaman hingga 5.28 m. Berdasarkan nilai tahanan jenis maka lapisan kedua strukturnya berupa batu pasir. 3. Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 8.01 ohm m, dengan ketebalan 9.54 m berada hingga kedalaman 14,82 m. Lapisan ini strukturnya berupa lempung pasiran. 4. Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanan jenisnya 243 ohm m dengan ketebalan 28.5 meter, dari permukaan sekitar 43.3 meter. Lapisan ini strukturnya berupa batu berpasir. Berdasarkan nilai tahanan jenis maka pada lapisan ini kondisi air tanahnya/strukturnya berupa batu pasir. Kemungkinan lain yang menyebabkan tingginya nilai tahanan jenis ini adalah kandung gas-gas pada lapisan ini. 5. Lapisan kelima, merupakan lapisan yang berada pada kedalaman > 43.3 m. Lapisan ini memiliki tahanan jenis paling rendah yaitu 0.329 ohm m, sifat konduktif ini menunjukkan bahwa air tanahnya mengandung banyak unsur atau mineral terlarut termasuk gas akibat reaksi kimia pada lapisan ini, biasanya dikategorikan sebagai akifer tercemar. No. Pengukuran 002 Untuk titik pengukuran kedua yang berarah utara-selatant, panjang bentangan 400 m atau AB/2 adalah 100 meter. Berdasarkan hasil pengolahan data maka titik pengukuran ini terdiri atas lima lapisan dengan struktur bawah permukaan sebagai berikut:
1. Lapisan pertama, ketebalan 0.75 m, harga tahanan jenis 1295 ohm m. merupakan lapisan penutup. Nilai tahanan jenis yang lebih tinggi disamping akibat posisi yang lebih tinggi yaitu 14 m dpal. 2. Lapisan kedua, ketebalan 3.18 m berada pada kedalaman 3.93 m dari permukaan. Tahanan jenis pada lapisan ini adalah 331 ohm m berdasarkan nilai tahanan jenis strukturnya berupa batu pasir. 3. Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 63 ohm m, jenis batuannya berupa pasir berlempung, merupakan lapisan akifer berada pada kedalaman 9.63 m dari permukaan. 4. Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanannya jenisnya 9267 ohm m, berada pada kedalaman 50.4 meter dengan ketebalan lapisan 40.8 meter. Lapisan ini termasuk lapisan yang kedap air dapat berfubgsi sebagai lapisan impermeable. Apabila hal ini terbukti maka diharapkan lapisan bawahnya bisa menjadi akifer yang baik. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah lapisan ini mengandung banyak gas-gas akibat terjadinya reaksi kimia. 5. Lapisan kelima adalah lapisan dengan tahanan jenis 68.3 ohm m, berada pada kedalaman > 68.3 m, merupakan lapisan akifer baik. Berdasarkan nilai tahanan jenis di lapisan empat maka pada lapisan ini jenis akifer yang ada berupa akifer tertekan. Kesimpulan Hasil penelitian pendugaan keberadaan air tanah daerah penelitian menggunkan metode geolistrik tahanan jenis dapat disimpulkan: Lapisan Akifer berada pada lapisan 5 yakni pada kedalaman > 50.41 m, berdasarkan nilai tahanan jenis maka tergolong akifer baik berada pada titik pengukuran 002 tahanan jenisnya 68.3. Sedangkan pada pengukuran 001, tahanan jenis 0.329 ohm m jenis akifernya tergolong akifer tercemar dan model air tanah berupa air tanah tertekan. Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis pada pengukuran 001 dan 002 maka disarankan untuk pemboran air tanah dilakukan pada kedalaman > 50 m. Pustaka Fitri, A., dan Atik, R., 2014. Program penyediaan air minum berbasisi masyarakat di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo. Artikel Ilmiah.
142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Iwan, N., 2013. Strategi sektor pengembangan sektor air bersih. Disertasi Program Pascasarja IPB Bogor. Kompas. 2010. Air Sumur kami terasa asin. Love, J. And Luchsinger, V., 2014. Suistainability and water resources. Journal Suistainability and Green Business. P. 1-12. Qodriyatun S.N., 2014. Kebijakan sosial untuk mengatasi krisis air bersih. Rosid, S., dan Johan, M., 2008. Pemetaan hidrologi dengan
menggunakan metode geolistrik. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung. Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge University Press, New York.
143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Lampiran 1
144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Lampiran 2
HASIL PENGOLAHAN DATA GEOLISTRIK Lokasi No. Pengukuran Hari/Tanggal Arah Lintasan Ketinggian
: Distrik Kurik, Merauke : 001 : 1 Juli 2016 : Timur Barat : 14 m dpal
HASIL PENGOLAHAN DATA GEOLISTRIK Lokasi No. Pengukuran Hari/Tanggal Arah Lintasan Ketinggian
: : : : :
Distrik Kurik, Merauke 002 1 Juli 2016 Timur Barat 14 m dpal
145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Pengaruh Aktivitas Tektonik Pada Gunung Gamalama Muhammad Altin Massinai, Suciati, Lantu Program Studi Geofisika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNHAS Makassar Email:
[email protected]
Sari Gunung Gamalama merupakan salah satu gunungapi aktif di indonesia yang terletak di Pulau Ternate. Gunungapi Gamalama yang tumbuh di dalam zona penunjaman antara zona Sangir – Halmahera yang selalu menunjukkan aktivitas tektonik yang tinggi. Perkiraan hubungan aktivitas tektonik dengan aktivitas vulkanik Gunungapi Gamalama dilakukan dengan menggunakan uji korelasi. Data gempa yang digunakan yaitu data sekunder pada periode 2006 – 2014 (Januari – Desember). Hasil uji korelasi pada periode 2006 – 2014 antara aktivitas tektonik sangat kuat mempengaruhi vulkanik Dalam Gunung Gamalama (VA). Tektonik Lokal mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan Vulkanik Dalam (VA) dengan koefisien korelasi sebesar 0,82. Sementara Tektonik Jauh (TJ) dengan VA mempunyai hubungan yang kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0,78. Kata kunci : Gempa tektonik, Gempa vulkanik, Gunungapi Gamalama Pendahuluan Wilayah Indonesia memiliki tingkat kerawanan gempa yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya (Massinai, 2015). Hal tersebut disebabkan posisi Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng besar yang terus menerus bergerak. Ketiga lempeng tektonik besar tersebut yaitu lempeng tektonik Eurasia, lempeng tektonik Indo-Australia, dan lempeng tektonik Pasifik. Selain lempeng-lempeng tersebut masih ada lempeng-lempeng tektonik kecil lainnya yaitu: Filipina, Laut Maluku, Halmahera, dan Sangihe. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut menjadi penyebab utama terjadinya gempabumi tektonik di Indonesia (Ismullah, at al.,2015). Kepulauan Maluku berpotensi terjadi gempa karena menjadi daerah pertemuan tiga lempeng penyusun kulit bumi, Ketiga lempengan ini relatif bergerak satu terhadap yang lain sehingga kepulauan Maluku mengalami aktivitas kegempaan yang tinggi (Simanjuntak, 2004). Sumbersumber kegempaan tersebut terdiri dari subduksi di laut Maluku antara Pulau Halmahera dengan Sulawesi Utara, sesar yang menyebar (diffuse). Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau vulkanik
dan pulau-pulau non vulkanik. Pulau vulkanik menempati bagian barat termasuk diantaranya adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore dan lain-lainnya. Sedangkan pulau non vulkanik antara lain pulau bacan, pulau obi dan lain-lainnya (Massinai, 2015). Hubungan gempa tektonik dan vulkanik di daerah penelitian dapat diketahui dengan melakukan uji korelasi. Software OASIS digunakan untuk mengetahui zona-zona rawan bencana di daerah Maluku Utara tepatnya di Gunung Gamalama. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting dan perlu dilakukan untuk mitigasi bencana di Daerah Maluku Utara. Peran tektonik tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan vulkanik, terutama gunugapi yang berada dekat dengan zona penunjaman (Massinai, at al., 2016). Gunung Gamalama yang tumbuh di dalam zona penunjaman di Celah Sangir – Halmahera selalu terusik dengan aktivitas tektonik yang ramai di dalam celah tersebut. Tidak selalu harus meletus, tetapi paling tidak dapat mengusik stabilitas kantong fluida di bawah kerucut gunungapi. Beberapa catatan yang menunjukkan letusan Gunung Gamalama yang terkait dengan naiknya aktivitas tektonik sebelumnya, antara lain letusan 1980 didahului oleh gempa tektonik terasa beberapa hari sebelumnya. Letusan 1983 juga diawali rentetan gempabumi tektonik kemudan disusul dengan meningkatnya gempa vulkanik. (Rahman, dkk., 2010). Penelitian ini menggunakan analisis uji korelasi, Uji korelasi ini dilakukan untuk mengetahui korelasi hubungan antar variabel sesuai dengan populasi data yang ada. Secara statistik melalui uji korelasi regresi simetris antar aneka variabel (Sugiyono, 1999). Persamaan sederhana korelasi regresi linier antar aneka variabel yang digunakan untuk mengetahui bentuk dan besaran hubungan antar dua variabel adalah : ........................................1 Dengan : ∑
∑
∑
∑
∑
∑ (∑
∑
∑
)
(∑
.................2 ∑ )
146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Nilai koefisien korelasi hubungan antar aneka variabel dilakukan untuk mengetahui besaran dan bentuk hubungan antara dua variabel tertentu, apakah positif, negatif, atau tidak berhubungan. Hal ini mencerminkan karakteristik variabel dari masing – masing populasi. Penentuan nilai koefisien korelasi hubungan antar aneka variabel ditentukan dengan rumus pearson product moment : ∑ √( ∑
∑ (∑
∑ (∑
.............3 ) )
Keterangan : r = koefisien korelasi hubungan pearson n = jumlah sampel x dan y = varian dan kovarian Tingkat hubungan yang terjadi di antara dua atau lebih variabel dapat diinterpretasi dari koefisien korelasi (Tabel 1) berikut,
2.
Data sekunder dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana di Bandung. Data tersebut berupa data Gunungapi Gamalama dari tahun 2006 – 2014
Metode Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan memfilter data vulkanik dan data tektonik. Hasil pemfilteran berupa menyamaan data kejadian gempa harian. Pembuatan grafik untuk melihat pola hubungan dari data kegempaan tahun 2006 2014 tersebut. Dari data magnitudo gempa tahun 2006 – 2014 menjadi dasar pembuatan peta zona yang dipengaruhi oleh gempa tektonik.
Hasil dan Diskusi Hubungan Gempa Tektonik dan Vulkanik Gunung Gamalama Pulau Halmahera dapat dilihat pada Gambar 1, berikut.
Tabel 1 interpretasi tingkat hubungan koefisien korelasi (Sugiyono, 1999) Interval koefisien korelasi 0,00 – 0,199 0,20 – 0,399 0,40 – 0,599 0,60 – 0,799 0,80 – 1,000
Tingkat hubungan Sangat rendah Rendah Sedang Kuat Sangat kuat
Data dan Metoda Lokasi Penelitian Daerah yang dijadikan lokasi penelitian adalah wilayah Pulau Ternate dan pulau-pulau sekitarnya. Pulau Ternate terletak dalam ruang lingkup pergerakan antara kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa serta lengkungan Sulawesi Utara dan Tengah (Ismullah, dkk., 2015). Data Penelitian 1. Data Gempa tektonik yang berupa data sekunder pada tahun 2006 - 2014. Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika Klas II Gowa Makasar . 2. Data gempabumi Gunung Gamalama yang berupa data sekunder pada tahun 2006 – 2014, sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Gowa. Pengambilan Data Data yang digunakan yaitu: 1. Data sekunder yang tercatat di Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Gowa, data tersebut berupa data gempa bumi dari tahun 2006 – 2014. Terdiri dari tanggal, waktu, kejadian, lintang, bujur, kedalaman, magnitude ( 4 – 6,7 SR).
Gambar 1 korelasi event VA dengan TL, VB dengan TJ, VA dengan TJ, VB dengan TL tahun 2006 Untuk korelasi event vulkanik dan tektonik VA, VB, TJ, dan TL pada tahun 2006 terlihat grafik yang memiliki tingkat hubungan tertinggi yaitu event VA dengan TJ dengan nilai 76,74%, 77,23%, 81,29%. Event VA dengan TJ dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan tingkat hubungan yang sangat tinggi. Pada tahun 2006, 2007 dan
147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
2012 menimbulkan kenaikan aktivitas Vulkanik Gunung Gamalama yang signifikan. Aktivitas berupa terjadinya gempa vulkanik dalam yang disebabkan oleh tektonik jauh. Aktivitas ektonik ini berada pada zona subduksi ganda di Laut Maluku.
Dari hasil pemetaan zona – zona daerah rawan bencana Gambar 2 menunjukkan bahwa dengan magnitude 4,0 – 4,5 SR masuk dalam zona aman, sedangkan untuk zona rawan bencana dengan magnitude 5,0 – 6,5 SR. Kesimpulan
Data gempa tektonik dan vulkanik Gunung Gamalama Tahun 2006 sampai 2014 menunjukkan tingkat hubungan yang terjadi antara event VA dengan TL, mempunyai nilai 75,53% dan 90,45%. Korelasi ini terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Selain dipengaruhi tektonik jalur subduksi ganda Laut Maluku, aktivitas Gunungapi Gamalama juga dipengaruhi tektonik lokal Pulau Halmahera dan sekitarnya. Tektonik lokal merupakan penjalaran energi (Kanamori, 1997) hasil subduksi ganda Laut Maluku ke Pulau Halmahera. Sehingga pada dari data gempa tektonik dan vulkanik tahun 2006 dan 2009 terlihat hubungan yang sangat kuat satu sama lain. Pada tahun-tahun lainnya relatif tidak menimbulkan bahaya karena aktivitas tektonik pada tahun-tahun tersebut sangat lemah. Terbukti tektonik jauh maupun tektonik local tidak terlalu mempengaruhi vulkanik dangkal secara langsung. Terjadinya vulkanik dangkal disebabkan oleh runtuhan kawah Gunung Gamalama. Runtuhan ini merupakan bekasbekas erupsi Gunung Gamalama yang cukup besar. Pemetaan zona – zona daerah bencana Gunungapi Gamalama dilakukan dengan cara menggambarkan sebaran magnitude gempa Gunung Gamalama. Perangkat lunak yang digunakan untuk menggambarkan sebaran magnitude gempa tektonik Gunung Gamalama adalah oasis. Zona – zona daerah bencana Gunungapi Gamalama dapat dilihat pada Gambar 2.
Aktivitas tektonik di zona subduksi ganda Laut Maluku sangat kuat mempengaruhi vulkanik dalam Gunung Gamalama pada tahun 2006, 2009 dan 2012. Sementara tektonil lokal Pulau Halmahera mempengaruhi vulkanik dalam Gunung Gamalama pada tahun 2006 dan 2009 Daerah dengan zona rawan bencana terletak dari sebelah barat ke selatan dengan magnitudo 5,0 - 6,5 SR. Sedangkan zona aman terletak dari timur ke utara dengan magnitudo 4,0 – 4,5 SR. Pustaka Baharudin, A. Martono, A. Djuhara, 1996, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Gamalama, Ternate, Maluku, Direktorat Vulkanologi. Ismullah, Muh. Fawzy., Lantu., Aswad, Sabrianto., Massinai, Muh. Altin. 2015. Tectonics earthquake distribution pattern analysis based focal mechanisms (Case study Sulawesi Island, 1993–2012) AIP Conference Proceedings 1658. Kanamori, H. 1977. The energy release in great earthquake. j. geophys. Res, 82,2981-2987. Massinai, Muhammad Altin, Ismullah, Muh. Fawsy, Aswad, Sabrianto. 2016. Morphostucture Analysis of Sapaya Ancient Volcanic Area Based Lineament Data, AIP conference proceeding 1730. P.050003-1-0500032. Massinai, Muhammad Altin. 2015. Geomorfologi Tektonik. Pustaka Ilmu.Yogyakarta. 356p Rahman R.A., Firmansyah dan Oktariadi O., 2010, Penentuan Tingkat Risiko Bencana Letusan Gunung Gamalama Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Buletin Geologi Tata Lingkungan. Pusat Lingkungan Geologi. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Vol. 20 No. 3. Desember 2010. Simandjuntak, T. O. 2004. Tektonika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Sugiono. 1999. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alphabeta.
Ucapan Terima Kasih / Acknowledgements (Optional)
Gambar 2 Peta Gempa Tektonik Wilayah Maluku Utara (dimodifikasi dari Baharuddin, dkk., 1996)
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada teman-teman dalam menyusun paper ini. Ucapan terimakasih juga dihaturkan kepada staf di Direktorat Vulkanologi Badan Geologi Bandung, Staf pemantau Gunungapi Gamalama serta staf di laboratorium Geofisika padat Unhas.
148
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 06 Agustus 2016
Identifikasi Posisi Aquifer Menggunakan Metoda Resistivitas Konfigurasi Wenner Alpha dan Wenner Beta (Studi Kasus: Kebun Percobaan Pertanian UNHAS) Syamsuddin1, Hasanuddin1, dan Yuanita Omega Lolon2 3) Program Studi Geofisika, Universitas Hasanuddin 4) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Sari / Abstract Telah dilakukan eksplorasi geofisika menggunakan metoda Resistivitas untuk mengetahui posisi air tanah di Kebun Percobaan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengukuran ini menggunakan Konfigurasi Wenner Alpha dan Wenner Beta dengan 6 lintasan pengukuran. Panjang bentangan tiap lintasan adalah 100 meter. Analisis data menggunakan software Res2Dinv. Hasil yang diperoleh untuk setiap lapisan diperkirakan posisi air tanah terdapat pada lapisan batuan lempung pasiran dengan kedalaman berkisar antara 5 - 8 meter (ρsemu = 92,9 – 195,4 Ωm). Kata kunci: Resistivitas, Wenner Alpha, Wenner Beta, Air Tanah, Lempung pasiran. Abstract The geophysical exploration by utilize of geoelectrical Resistivity method to know the aquifer position at Experimental Farming of Agriculture Faculty, Hasanuddin University, Makassar. The measurement is done by utilize the Wenner Alpha and Wenner Beta configuration with six layers. Each line is 100 meter. The data analyses by utilization Res2Dinv software. The result of each layer that there are aquifer position estimated inside the clay stone in the 5 – 8 meter of deep (ρ = 92,9 – 195,4 Ωm). Keywords: Resistivity, Wenner Alpha, Wenner Beta, Aquifer, Sandy clay
hidrogeologi, dan gaya tektonik, serta struktur bumi yang membentuk cekungan air tanah tersebut. Air ini dapat tersimpan dan mengalir pada lapisan batuan yang dikenal dengan akuifer (aquifer). Dari penelitian sebelumnya, telah digunakan juga metoda Resistivitas Konfigurasi Wenner dengan tujuan ingin mengetahui secara akurat keberadaan dan kualitas air bawah permukaan, dalam hal ini berupa air tanah pada daerah Wisata Pantai Kota Pare-Pare. Sedangkan pada penelitian kali ini yang masih dalam tahap pembelajaran, juga menggunakan metoda Resistivitas dengan dua konfigurasi yaitu Konfigurasi Wenner Alpha dan Wenner Beta dengan tujuan ingin mengetahui posisi air tanah pada Kebun Percobaan Pertanian. Melihat dari lokasi penelitian yang berupa kebun maka tentu air sangat dibutuhkan untuk pertanian. Salah satu metoda Geofisika yang biasa digunakan dan cukup baik untuk memetakan kondisi air permukaan yaitu metoda Geolistrik Tahanan Jenis yang dikenal juga dengan sebutan metoda Resistivitas. Metoda ini merupakan metoda yang bersifat dinamik (aktif), karena menggunakan gangguan aktif berupa injeksi arus yang dipancarkan ke bawah permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial, arus dan medan elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus listrik kedalam bumi. Data dan Metoda / Data and Method
Pendahuluan / Introduction Air yang digunakan sehari-hari telah melalui siklus meteorik, yaitu proses penguapan dari laut, danau, maupun sungai kemudian mengalami kondensasi di atmosfer, dan selanjutnya menjadi hujan yang turun ke permukaan bumi. Air hujan yang turun ke permukaan bumi tersebut ada yang langsung mengalir di permukaan bumi dan ada yang meresap ke bawah permukaan bumi. Air yang langsung mengalir di permukaan bumi tersebut sebagian ada yang mengalir ke sungai, dan sebagian lagi mengalir ke danau, dan akhirnya sampai kembali ke laut. Sementara itu, air yang meresap ke bawah permukaan bumi melalui dua sistem, yaitu sistem air tidak jenuh dan sistem air jenuh. Sistem air jenuh adalah air bawah tanah yang terdapat pada suatu lapisan batuan dan berada pada suatu cekungan air tanah. Sistem ini dipengaruhi oleh kondisi geologi,
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan (Kebun Percobaan Pertanian, Unhas) menggunakan sistem pengukuran profiling dengan konfigurasi Wenner Alpha (Gb.1) dan Wenner Beta (Gb.2).
Gambar 1. Konfigurasi Wenner Alpha
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
Sebelum melakukan pengukuran terlebih dahulu disurvei lokasi pengukuran untuk menentukan arah bentangan dan panjang lintasan. Pengukuran dilakukan pada tiga lintasan untuk masing-masing konfigurasi. Dua lintasan arah Timur – Barat dan satu lintasan arah Utara – Selatan dengan panjang lintasan masing-masing 100 m dan spasi terkecil 5 m.
Hasil dan Diskusi / Result and Discussion Data lapangan yang sudak diolah menjadi nilai resistivitas semu telah diproses dalam software Res2DInv dengan metoda inversi untuk setiap lintasan dan konfigurasi. Lintasan 1 (Orientasi Timur – Barat) Dari hasil inversi tahanan jenis 2D diperoleh penampang bawah permukaan untuk lintasan 1 konfigurasi Wenner Alpha. Berdasarkan penampang bawah permukaan yang dihasilkan (Gb.3), nilai resistivitas yang berkisar antara 92,9 – 195,4 Ωm pada kedalaman sekitar 2 – 7 meter (warna kontur hijau - kuning) dapat diasumsikan sebagai batuan yang dapat menyimpan air tanah. Jarak dari patok awal ada yang berada pada 30 – 40 meter, 45 – 52,5 meter, dan 65 – 72,5 meter. Berdasarkan nilai resistivitasnya maka batuannya tersebut dapat ditafsirkan berupa batu lempung pasiran.
Gambar 2. Konfigurasi Wenner Beta Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan berupa besarnya arus listrik (I) yang diinjeksikan ke bumi melalui elektroda arus (C) dan harga beda potensial (∆V) antara kedua elektroda potensial (P). Data yang diperoleh dari lapangan diolah untuk menentukan nilai resistivitas semu a menggunakan rumus seperti pers 1 berikut. 𝜌
-------------------------------- 1
Nilai ∆V dan I dapat diperoleh dari data lapangan sementara nilai k dihitung berdasarkan harga spasi (a) untuk masing-masing konfigurasi elektroda. Untuk konfigurasi Wenner Alpha digunakan rumus (pers 2) sementara untuk konfigurasi Wenner Beta digunakan rumus seperti pers 3.
Gambar 3. Penampang Resistivitas Bawah Permukaan Lintasan 1 Alpha
--------------------------------- 2 --------------------------------- 3 Harga resistivitas semu digunakan untuk menentukan penampang harga resistivitas semu terhadap kedalaman semu untuk setiap lintasan pengukuran. resistivitas semu yang diperoleh kemudian dijadikan input untuk melakukan penggambaran lapisan tahanan jenis bawah permukaan dalam bentuk penampang 2D dengan bantuan komputer menggunakan software Res2Dinv. Penampang 2D akan memperlihatkan variasi resistivitas yang nantinya dijadikan dasar untuk interpretasi kondisi bawah permukaan.
Gambar 4. Penampang Resistivitas Bawah Permukaan Lintasan 1 Beta Sementara pada konfigurasi Wenner Beta (Gb. 4), nilai resistivitas yang berkisar antara 92,9 – 195,4 Ωm berada
150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
pada kedalaman sekitar 2 – 6 meter (warna kontur hijau kuning) dapat diasumsikan sebagai batuan yang hanya dapat menyimpan air tanah. Jarak dari patok awal berada disekitar 20 – 65 meter. Berdasarkan nilai resistivitasnya maka batuan ini dapat ditafsirkan berupa batu lempung pasiran. Melihat penampang pada lintasan 1 ini (Gb. 3 dan Gb. 4), batulempung pasiran yang dianggap dapat menyimpan air tanah terperangkap pada kedalaman sekitar 2 – 6 meter. Posisinya berada pada jarak 25 – 40 meter dari patok awal. Apabila diperhatikan posisi air tanah tersebut dengan melihat kedalamannya, maka patut diduga hanya sebagai air tanah dangkal.
Gambar 6. Penampang Resistivitas pada lintasan 2 Alpha Nilai resistivitas yang berkisar antara 92,9 – 195,4 Ωm pada konfigurasi Wenner Beta (Gb. 7) berada pada kedalaman sekitar 4 – 9 meter (warna kontur hijau kuning) dan berjarak 35 – 55 meter dari patok pertama.
(a)
(b)
Gambar 5. Estimasi posisi air tanah pada lintasan 1 Lintasan 2 (Orientasi Utara – Selatan) Hasil inversi tahanan jenis 2D untuk lintasan 2 konfigurasi Wenner Alpha memperlihatkan penampang bawah permukaan (Gb. 6) dengan variasi resistivitas yang tinggi. Nilai resistivitas yang berkisar antara 92,9 – 195,4 Ωm pada kedalaman sekitar 6 - 14 meter (warna kontur hijau kuning) dan dapat diasumsikan sebagai batulempung pasiran yang dapat menyimpan air tanah. Jarak dari patok awal berada di sekitar 15 - 50 meter.
Gambar 7. Penampang Resistivitas pada lintasan 2 Beta Apabila kedua penampang resistivitas di atas digabungkan, maka dapat diperkirakan posisi aquifer sebagaimana ditunjukkan pada Gb. 8. Estimasi batuan yang dianggap sebagai aquifer dengan tingkat kepercayaan kurang dari 80% berada pada kedalaman sekitar 6 - 9 meter. Posisinya berada pada jarak 25 – 40 meter dari patok awal. Pada lintasan ini estimasi aquifer masih kurang meyakinkan karena kedua konfigurasi tidak saling menguatkan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari anomali berupa beton yang berasal dari safety tank.
Di sekitar permukaan merupakan lapisan dengan resistivitas sekitar ±1816 Ωm (warna kontur merah - ungu). Lapisan ini memiliki resistivitas yang tinggi mungkin disebabkan karena selain sebagai tanah atas (top soil) yang diindikasikan berupa tanah berpasir kering (dry sand soil) juga karena adanya pengaruh dari beton yang berasal dari safety tank.
151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
memiliki nilai resistivitas antara 92,9 – 195,4 Ωm berada pada kedalaman sekitar 2 - 4 meter (warna kontur hijau kuning) dan berada di sekitar 20 – 40 meter dari patok awal.
(a)
(b)
Gambar 8. Estimasi posisi aquifer pada lintasan 2 Lintasan 3 (Orientasi Timur – Barat) Hasil inversi tahanan jenis 2D diperoleh penampang bawah permukaan untuk lintasan 3 konfigurasi Wenner Alpha dengan variasi resistivitas yang tinggi (Gb. 9). Pada penampang tersebut terlihat nilai resistivitas yang berkisar antara 92,9 – 195,4 Ωm berada pada kedalaman sekitar 2 – 7 meter (warna kontur hijau - kuning) dapat diasumsikan sebagai batulempung pasiran yang dapat menyimpan air tanah. Batuan tersebut berada pada jarak sekitar 20 – 40 meter dari patok awal.
Gambar 10. Penampang Resistivitas Bawah Permukaan Lintasan 3 Beta Pada lintasan 3 (Gb. 11) air tanah (aquifer) diperkirakan tersimpan dalam batulempung pasiran pada kedalaman sekitar 2 – 4 meter dan pada jarak 20 - 40 meter dari patok awal. Seperti halnya dengan lintasan 1 yang arahnya juga Timur – Barat, pada lintasan ini diidentifikasi aquifer berdasarkan kedalamannya hanya air tanah dangkal.
(a)
(b)
Gambar 9. Penampang Resistivitas Bawah Permukaan Lintasan 3 Alpha
Gambar 11 Estimasi posisi pada lintasan 3
Sementara hasil inversi dari lintasan 3 untuk konfigurasi Wenner Beta (Gb. 10) menunjukkan posisi batuan yang
Berdasarkan hasil inversi semua konfigurasi dan semua lintasan, air yang terperangkap dalam batulempung pasiran merupakan air tanah dangkal.
152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains dalam Era MEA Makassar, 08 Agustus 2016
Kesimpulan / Conclusions Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari dua konfigurasi yang digunakan, secara umum didapatkan air yang ditafsirkan terperangkap pada batulempung pasiran (resistivitas 92,9 – 195,4 Ωm) merupakan air tanah dangkal. Pada dua lintas yang berarah Timur – Barat, air tanah diperkirakan berada pada posisi 20 – 40 meter dari patok awal dengan kedalaman sekitar 2 – 8 meter di bawah permukaan bumi. Sementara pada lintasan yang berarah Utara – Selatan posisi air tanah yang diperoleh berada pada 25 – 40 meter dari patok awal dengan kedalaman 6 – 9 meter di bawah permukaan. Pustaka / References Anas, L.A., 2008, Geologi Daerah Tamalanrea Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan, Unhas: Makassar. Hendrajaya, L. & Arif, I.,1990, Geolistrik Tahanan Jenis, ITB: Bandung.
Syamsuddin., 2007, Penentuan Struktur Bawah Permukaan Bumi Dangkal Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2D (Studi Kasus Potensi Tanah Longsor di Panawangan, Ciamis), ITB: Bandung. Syamsuddin, S. Aswad, dan A. Pratama, 2013, Pemodelan Sebaran Air Asam Tambang Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis Konfigurasi Wenner Alpha, Prosiding, SNF MKS 2013, Makassar Syamsuddin, Lantu, dan A. Syam, 2014, Investigasi Lapisan Batuan Dasar dengan Menggunakan Metoda Geolistrik, Prosiding, SNG 2014, Makassar Taufik M.D.P., Syamsuddin, dan S. Aswad, 2015, Analisis Data Inversi 2-Dimensi dan 3-Dimensi untuk Karakteristik Nilai Resistivitas Bawah Permukaan, Prosiding, SNF MKS 2015, Makassar
Kurniawan, R., 2004, Eksplorasi Air Tanah Menggunakan Metoda Geolistrik Tahanan Jenis / Resistivity, Universitas Hasanuddin: Makassar.
Telford, W.M., 1990. Applied Geophysicst. Cambridge University Press.
Lange, O., 1991, Geologi Umum, Gaya Media Pratama: Jakarta.
Ucapan Terima Kasih / Acknowledgements (Optional)
Loke, M.H., 2004, 2-D and 3-D Electrical Imaging Surveys, Tutorial, email:
[email protected]. Reynold, J. M., 1997, An Introduction to Applied and Environmental Geophysics, John Wiley & Sons Inc: New York. Soedarmono G. D & Purnomo S. J., 1997, Mekanika Tanah 1, Kanisius: Yogyakarta. Susilo, B.K., 2008, Geologi Dinamik – Air Tanah, http: //www.lablink.or.id.
Tulisan ini dapat dipublikasikan tidak lepas dari support dari berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini diucapkan banyak terima kasih kepada e. Panitia pelaksana Seminar Nasional Geofisika Unhas atas diterimanya tulisan ini f. Pimpinan Universitas Hasanuddin, Dekan MIPA, dan Ketua Jurusan Fisika yang telah mengizinkan penulis mengikuti Seminar Nasional Geofisika Unhas 2014 g. Keluarga yang rela melepaskan penulis untuk mengikuti Seminar Nasional Geofisika Unhas 2014 h. Dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut satu persatu
153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
IDENTIFIKASI ZONA SEAM BATUBARA DENGAN MENGGUNAKAN METODE GROUND PENETRATION RADAR (GPR) Lantu1, Nurhikmah Jufri1, Altin Massinai1 1 Program studi Geofisika FMIPA Univ.Hasanuddin Email:
[email protected] Abstract
Pendahuluan
This research has been conducted using Ground Penetrating Radar (GPR) method for determined coal seam existense based radargram profile obtained from recording process around Sungai Keruh area. The principle of this method based on electromagnetic waves propagation theory. The obtained result is raw data resolution which showed subsurface vertical profile. The next step is data processing using ReflexW software to improving signal to noise ratio. The processing result is interpreted for identified coal layered zone base on velocity contrast wich different for each layers as contact plane between top soil zone (v=7x107 m/s), sandstone layer zone (v=5x107 m/s), coal layer zone (15x107 m/s), and claystone layer zone (v=8x107 m/s). GPR data analysis showed the lateral profile on plane with velocity contrast as potensial rock plane for coal seam which distributed on 20 meters which thick it‟s layer about 13 meters
Batubara merupakan bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan organik, utamanya sisa-sisa tumbuhan purba yang terbentuk akibat proses fisika dan kimia berlangsung selama jutaan tahun. Dewasa ini, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri. Mengingat sumber daya batubara Indonesia masih melimpah, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara, (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006).
Keyword: GPR , Coal Seam, and Exploration Sari Telah dilakukan penelitian menggunakan metode Ground Penetrating Radar (GPR) untuk mendeteksi keberadaan seam batubara berdasarkan profil radargram yang dihasilkan dari proses perekaman di sekitar blok Sungai Keruh. Metode GPR bekerja berdasarkan prinsip penjalaran gelombang elektromagnetik. Hasil dari metode ini berupa resolusi data mentah (raw data) yang menggambarkan profil vertikal bawah permukaan. Selanjutnya dilakukan pengolahan data GPR menggunakan Software ReflexW untuk meningkatkan signal to noise ratio.Hasil pengolahan data diinterpretasi untuk menentukan zona-zona perlapisan batubara berdasarkan kontras kecepatan yang berbeda pada masing-masing lapisan sebagai bidang kontak antara zona top soil (v=7x107 m/s), zona lapisan batupasir (v=5x107 m/s), zona lapisan batubara (v=15x107 m/s), dan zona lapisan lempung (v=8x107 m/s). Analisis data GPR menunjukkan kemenerusan pada bidang dengan kontras kecepatan sebagai kontak batuan yang potensial sebagai seam batubara yang tersebar pada kedalaman 20 meter dengan ketebalan lapisannya berkisar 13 meter. Kata Kunci : GPR, Seam batubara, explorasi
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisan batubara (coal seam). Persoalan yang sering dihadapi dalam eksplorasi batubara yaitu bagaimana menentukan orientasi dan kontinuitas seam batubara apabila telah diketahui singkapan tersebut di permukaan bumi. Selama ini untuk menentukan kedua kondisi tersebut dilakukan korelasi antar lubang bor. Semakin rapat jarak antar 2. lubang bor maka semakin baik dan teliti. Tetapi penggunaan metoda tersebut sangat tidak ekonomis. Untuk hal tersebut perlu dicari metoda yang paling tepat, baik ditinjau dari aspek teknik maupun ekonomis, (Prabu, dkk., 2011). Perkembangan teknologi eletronika dalam beberapa tahun ini, telah melahirkan suatu metode yang sangat baik untuk pendeteksian bawah tanah karena memiliki cakupan spesialisasi dan pengaplikasian yang sangat luas, yaitu Ground Penentrating Radar (GPR). Metode GPR menggunakan gelombang eletromagnetik untuk mencitrakan kondisi bawah permukaan bumi, bersifat tidak merusak (non-destruktive), mempunyai resolusi yang tinggi dan dapat memberikan gambaran bawah permukaan secara kontinyu dan cepat, khususnya untuk ekplorasi dangkal (near surface investigation). Dalam penerapannya, GPR telah dilakukan untuk banyak pengkajian eksplorasi, penelitian arkeologi dan studi lingkungan. Salah satu penerapan yang masih jarang dilakukan dengan metode ini
154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
adalah untuk mengidentifikasi keberadaan batubara. Metode ini cukup efektif untuk memetakan profil vertikal bawah permukaan. Dari profil GPR dapat diketahui zonazona perlapisan yang berasosiasi dengan pembentukan batubara dengan menganalisa kecepatan gelombang radar dan spektrum yang terdapat pada profil GPR. Dari analisa kecepatan yang telah dilakukan, dapat juga diketahui ketebalan masing-masing zona perlapisan dengan menggabungkan data kecepatan dengan data travel time (waktu tempuh) dari penjalaran gelombang radar. Sehingga dapat di perkirakan posisi keberadaan dan kedalaman dari batubara tersebut. Terdapatnya beberapa singkapan batubara di sekitar blok Sungai Keruh menjadikan metode ini digunakan untuk mencitrakan kondisi bawah permukaan tanah untuk mengetahui perlapisan batubara dibawah permukan dari singkapan yang muncul di permukaan.
Gambar.1 proses propagasi gelombang radar
Data dan Metoda Perkembangan teknologi pengolah informasi dan sensor informasi memberi dampak yang spektakuler untuk eksplorasi sumber daya alam yang secara kasat mata tidak dapat terpantau visual. Gelombang elektromagnetik sebagai pembawa energy dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi keadan dan struktur batuan bawah permukaan tanpa merusak daerah yang disurvey. Dan salah satu metode tersebut adalah metode elektromagneti GPR. Prinsip kerja metode GPR sama dengan metode seismik refleksi saluran btunggal yang membedakan adalah kecepatan yang dipakai kecepatan electromagnet dalam orde kecepatan cahaya. Prinsip dasar metode GPR sama dengan elektromagnetik lainnya adalah hokum Maxwell: ⃗ ⃗ ⃗ ⃗
⃗
⃗ x⃗
,
o, ⃗ ⃗ =
⃗
(1) (2)
Dari keempat persamaan diatas kemudian melakukan operasi curl, diperoleh ersamaan gelombang EM sebagai : ⃗
⃗
⃗
⃗
(3) (4)
Solusi persaman 3 dan 4 mengahasilkan gelombang medan listrik dam gelombang medan magnetic sebagai berikut : ( (
) )
frequence rangin) biasanya antara 10 MHz – 1 GHz (Heteren et al 1998). Keutamaan dari metode GPR adalah bersifat tidak merusak sehingga dapat digunakan dimana saja. Prinsip kerjanya identic metode seismik, sehingga rumusan yang digunakan pada metode seismik refleksi akan berlaku juga pada metode GPR.
(
)
(
)
(5) (6)
Metode GPR merupakan salah satu metode geofisika yang umum digunakan untuk eksplorasi pada lapisan dangkal dengan menggunakan pada daerah frekuensi radar (radio
Pada dasarnya GPR bekerja dengan memanfaatkan pemantulan sinyal. Semua sistem GPR pasti memiliki rangkaian pemancar (transmitter), yaitu sistem antenna yang terhubung ke sumber pulsa, dan rangkaian penerima (receiver), yaitu system antena yang terhubung ke unit pengolahan sinyal. Kedalaman objek dapat diketahui dengan mengukur selang waktu antara pemancaran dan penerimaan pulsa. Dalam selang waktu ini, pulsa akan bolak balik dari antena ke objek dan kembali lagi ke antena. Jika selang waktu dinyatakan dalam t, dan kecepatan propagasi gelombang elektromagnetik dalam tanah v, maka kedalaman objek yang dinyatakan dalam z adalah vt
(7)
Seperti halnya pada metode seismik refleksi rumusan untuk mendapatkan parameter dapat diperoleh sebagai berkut.= (8) Teknik penggunaan metode GPR adalah sistem Electromagnetic Subsurface Profiling (ESP), dengan cara memanfaatkan pengembalian gelombang elektromagnetik yang dipancarkan melalui permukaan tanah dengan perantara antena (Heteren, dkk., 1998). Rangkaian pemancar akan menghasilkan pulsa listrik dengan bentuk prf (pulse repetition frequency), energi dan durasi tertentu. Pulse repetition frequency merupakan nilai yang menyatakan seberapa seringnya pulsa radar diradiasikan ke dalam tanah. Penentuan prf dilandasi dengan kedalaman maksimum yang ingin dicapai. Semakin dalam objek, maka prf juga semakin kecil karena waktu tunggu semakin lama, (Bahri, dkk., 2012).
155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Penelitian ini menggunakan data GPR (sekunder) milik PT. Antam (Persero) Tbk Unit Geomin yang merupakan hasil pengukuran di daerah Sungai Keruh, Kabupaten Muara Tebo, Provinsi Jambi. Berikut adalah peta lokasi penelitian dan sketsa lintasan pengukuran.
Gambar.2 proses akuisisi data dengan metode GPR
Gambar. 3 peta lokasi penelitian
Pengukuran GPR dilakukan menggunakan peralatan GSSI SIR 3000 dengan transducer 80 MHz. Metode pengukuran yang digunakan adalah metode Fixed T/R Offset Mode Continuous, dimana metode ini melakukan pengumpulan profil radar. (scanning) secara terus-menerus pada lintasan yang memotong singkapan batubara yang terdapat di blok Sungai Keruh. Hasil pencitraan GPR menghasilkan resolusi data mentah (raw data) yang kemudian dilakukan pengolahan lanjutan untuk menyaring dan meminimalkan pengaruh dari adanya gelombang langsung dan kesalahan yang diakibatkan oleh alat saat pengukuran dilapangan. Ada beberapa langkah dilakukan dalam proses analisis data untuk mendapatkan data yang lebih baik yakni: normalisasi
jarak, Koreksi Statis (Static Correction ), Substrack-mean (Dewow), Penguatan Amplitudo (Gaining), Filtering Data, Horizontal Scaling , Picking Perlapisan Batuan, Analisis Kecepatan (Velocity Adaptation). Hasil dan Diskusi Berdasarkan profil GPR seluruh lintasan pengukuran, diperoleh zona perlapisan batuan yang sama dengan memperhatikan pola refleksi yang menerus di sepanjang lintasan pengukuran. Sumbu vertikal pada profil GPR dinyatakan dengan waktu dan kedalaman. Sedangkan pada sumbu horizontal merupakan jarak tempuh antena transmitter dan receiver. Secara berurutan dari profil GPR
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
diperoleh gambaran perlapisan batuan dari zona lapisan top soil (lapisan penutup) dengan ketebalan bervariasi. Di bawah lapisan penutup adalah zona lapisan batupasir yang memiliki ketebalan cukup bervariasi dan berasosiasi dengan lapisan batubara. Kemudian lapisan paling bawah
yang dapat dijangkau gelombang radar adalah zona lapisan lempung yang juga memiliki ketebalan bervariasi. Berikut ini ditampilkan beberapa profil dan posisi batu bara dari 4 lintasan pengukuran.
1 Lintasan 1
Gambar 4. Perlapisan Batuan Lintasan 1 Pengukuran Georadar pada lintasan 1 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 59,9 meter. Dari hasil pengukuran diperoleh data rekaman bawah permukaan hasil scanning GPR. Dari hasil Pemodelan lapisan batuan diperoleh kedalaman dan ketebalan dari masing-masing lapisan. Lapisan top soil (lapisan penutup) berada pada kedalaman berkisar 4 meter, lapisan batupasir (sand)
berada pada kedalaman 5-19 meter, lapisan batubara (coal) pada kedalaman 18-38 meter 37 yang menyatu dengan lapisan batupasir dan lapisan lempung (clay) berada pada kedalaman 38 meter dengan tebal lapisan sekitar 8 meter. Profil GPR untuk lintasan 1 diperoleh seperti pada gambar 4.
2.Lintasan 2
Gambar 5 Perlapisan Batuan lintasan 2 Pengukuran Georadar pada lintasan 2 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 150 meter. Perlapisan batuan di lintasan ini terdiri dari zona lapisan top soil (lapisan penutup) pada kedalaman 6 meter, lapisan batupasir (sand) pada kedalaman 4-22 meter, lapisan batubara (coal) pada kedalaman 18-40 meter dan lapisan lempung (clay) berada pada kedalaman 38
meter dengan tebal lapisan sekitar 8 meter. Berdasarkan hasil scanning GPR yang ditampilkan di layar radargram lintasan 2, memperlihatkan pola refleksi yang tegas berbentuk antiklin yang mencirikan adanya kontak litologi batuan dan diindikasikan pada lintasan ini
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
3. Lintasan 6
Gambar 6 Perlapisan Batuan lintasan 6 Pengukuran Georadar pada lintasan 6 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 43,5 meter. Perlapisan batuan lintasan ini diperoleh keberadaan dari lapisan top soil (tanah penutup) pada kedalaman 6 meter, lapisan batupasir (sands) pada kedalaman 4-20 meter, lapisan batubara (coal) berada pada kedalaman 19-42 meter. Profil GPR lintasan ini juga menunjukkan
persebaran batubara yang tidak merata di sepanjang lintasan pengukuran. Lapisan lempung (clay) pada kedalaman 36 meter dengan tebal lapisan sekitar 7 meter. Profil GPR untuk lintasan 6 diperoleh seperti pada gambar 6 di atas.
4. Lintasan 9
Gambar 7 Perlapisan Batuan lintasan 9
Pengukuran GPR pada lintasan 9 dilakukan dengan mengambil lintasan sepanjang 32,7 meter. Zona lapisan top soil (lapisan penutup) berada pada kedalaman hingga 4 meter, lapisan batupasir (sand) pada kedalaman 4-40 meter, di bawah lapisan batupasir terdapat lapisan batubara (coal) yang berada pada kedalaman 18 meter dengan ketebalan lapisannya sekitar 12 meter. Batubara pada lintasan ini juga terdapat di dalam lapisan batupasir dan lapisan lempung (clay) berada pada kedalaman 41 meter dengan tebal lapisan sekitar 5 meter. Profil GPR untuk lintasan 9 diperoleh seperti pada gambar 7.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan, interpretasi dan analisis data menggunakan data pendukung, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada penelitian ini, metode GPR berhasil mendeteksi kemenerusan pola reflektor yang terefleksikan dari hasil scanning dan merupakan kontak batuan yang potensial sebagai seam batubara. 2. Berdasarkan hasil interpretasi data diperoleh zona-zona perlapisan batubara pada kedalaman yang bervariasi. Zona-zona tersebut adalah top soil pada kedalaman
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
hingga 5 meter, batupasir (sand) pada kedalaman sekitar 8-16 meter, batubara (coal) pada kedalaman 2040 meter dan lempung (clay) pada kedalaman 40 meter. 3. Keberadaan batubara pada formasi batuan yang terefleksikan dari jejak reflektor didasarkan pada korelasi profil GPR lintasan hasil pengukuran dengan model GPR singkapan Batanghari. Ketebalan lapisan batubara dengan seam yang sama, memiliki ketebalan rata-rata sekitar 13 meter. Daftar Pustaka Annan, A.P. 2001. Ontario, Canada. Bahri, Ayi Syaeful., Supriyanto., dan Sentosa, Bagus Jaya. 2010. Geofisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Fisher, Steven C., and Stewart, Robert R. 1992. Crewes
Research Report, Volume 4. Pp. 4-14. Heteren, V.S., Fitzgerald, D.M., McKinlay, P.A., and Buynevich, I.V. 1998.. Coastal New England, USA. Sedimentology. Knight, R. 2001. Annu. Rev. Earth Planet. Sci, Vol. 29, pp. 229-55. Lantu. 2014. Program Studi Geofisika, FMIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar. Oktafiani, Folin., Sulistyaningsih., dan Wijayanto, Yusuf Nur. 2009. P2 Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI. Sandmeier, K.J. 1998. Karisruhe, Germany. Sianturi, Kalam Henri. 2008. Skripsi, Universitas indonesia, Depok.
159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
PEMODELAN ATRIBUT POISSON IMPEDANCE (PI) MENGGUNAKANINVERSI AVO SIMULTAN UNTUK ESTIMASI PENYEBARAN GAS DILAPANGAN ‘WA’ CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Wahidah1, Lantu1, Sabrianto Aswad1 1) Program Studi Geofisika Universitas Hasanuddin Sari Proses pemisahan litologi dan fluida sebagai bagian dari karakterisasi reservoir digunakan untuk memetakan potensi hidrokarbon yang ekonomis. Namun, hal ini sulit dilakukan jika hanya menggunakan atribut seismik konvensional. Untuk itu, pengenalan terminologi Poisson Impedance (PI) merupakan cara efektif untuk mengatasi masalah ini. Atribut PI yang digunakan sebagai indikator, membutuhkan input berupa Impedansi Akustik (AI) dan Impedansi Shear (SI) serta nilai c (faktor optimalisasi rotasi). Nilai c optimum dihitung melalui metode TCCA (Target Correlation Coeficient Analysis). Dalam penelitian ini, telah dilakukan uji sensitivitas untuk pemisahan litologi dan fluida pada 3 sumur di Lapangan WA, Cekungan Sumatera Selatan. Selanjutnya, dilakukan pemodelan atribut PI dengan menggunakan inversi AVO Simultan untuk mengekstrak AI dan SI. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa reservoir pasir tersaturasi gas akan terpisah dari reservoir pasir tersaturasi air pada nilai FI rendah yaitu dibawah -1000 ft/s*g/cc (-3.05*105 kg/m2s). Anomali nilai FI rendah pada semua sumur pemodelan membuktikan bahwa semua sumur merupakan sumur gas dan arah penyebarannya ke south east (tenggara). Di sisi lain, analisis AVO dilakukan untuk mengetahui sensitifitas data seismik terhadap adanya anomali. Kata Kunci: Poisson Impedance, Fluid Impedance, TCCA, Inversi AVO Simultan Pendahuluan / Introduction Karakterisasi reservoir merupakan suatu proses untuk menjabarkan secara kualitatif dan atau kuantitatif karakter reservoir menggunakan semua data yang ada (Sukmono, 2002). Karakterisasi reservoir memerlukan suatu metode untuk mencitrakan parameter fisika batuan yang memberikan efek yang diakibatkan oleh perbedaan litologi
maupun fluida. Salah satu parameter yang sangat penting dalam membedakan jenis fluida yang terkandung di dalam medium adalah poisson ratio. Parameter ini merupakan konstanta elastik yang merepresentasikan sifat fisis batuan yang merupakan ukuran dari kompressibilitas material yang tegak lurus terhadap stress yang dikenakan, atau rasio dari regangan transversal terhadap regangan longitudinal. Selain itu, poisson ratio (σ) dapat dinyatakan sebagai fungsi kecepatan gelombang P (VP) dan kecepatan gelombang S (VS)sebagai berikut (Wibisono, 2009): σ=
(
)
γ , dimana γ =( )
σ = poisson ratio VP = kecepatan gelombang P VS = kecepatan gelombang S Poisson ratio dan densitas yang rendah pada reservoir batupasir biasanya mengindikasikan adanya anomaly (hidrokarbon). Sehingga kedua parameter ini bisa digabungkan menjadi single atribut yaitu atribut Poisson Impedance. Atribut ini merupakan salah satu parameter fisika batuan yang dapat diaplikasikan secara praktis untuk memprediksi reservoir dan mendeteksi keberadaan hidrokarbon (Quakenbush,2006). Poisson Impedance merupakan solusi untuk menjawab kesulitan dalam memisahkan distribusi litologi-fluida pada sumbu x dan y pada crossplot antara Impedansi Akustik (AI) dan Impedansi Shear (SI). Agar pemisahan distribusinya terlihat jelas, kedua sumbu tersebut diputar/dirotasi mengikuti tren litologi-fluida (Gerlitz, 2006). Atribut dari hasil rotasi inilah yang disebut Poisson Impedance. Poisson Impedance membutuhkan input berupa AI dan SI, hal ini sesuai dengan formula berikut: PI = AI – cSI dimana, c = faktor pengoptimal rotasi, AI = Akustik Impedance (Vp x ρ), SI = Shear Impedance (Vs x ρ), dan PI = Poisson Impedance.
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 1 Gambaran Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Ginger dan Fielding, 2005) Data dan Metoda Dalam penelitian ini digunakan data sumur dan data seismik. Data sumur yang menjadi fokus penelitian ada 3 yaitu data sumur WA1, WA3 dan WA6. Sedangkan data seismik yang digunakan adalah data seismik 3D dengan volume full stack serta data partial angle stack. Data full stack hanya digunakan dalam proses well seismic tie sedangkan data partial angle stack digunakan sebagai input proses inversi. Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu pengolahan data sumur dan pengolahan data seismik. Pengolahan data sumur terdiri atas loading/check data sumur, koreksi checkshot, pembuatan log PI dan analisis crossplot. Sedangkan tahapan pengolahan data seismik terdiri atas loading data sismik, well seismic tie, analisis AVO, konversi data
anglestack ke angle gather, inversi transformasi PI (PoissonImpedance).
simultan
dan
Hasil dan Diskusi / Result and Discussion Pembuatan Log Poisson Impedance Log Poisson Impedance (PI) terdiri atas dua atribut yaitu Impedansi Litologi (LI) dan Impedansi Fluida (FI). Untuk membuat log PI, terlebih dahulu dilakukan metode TCCA (Target Correlation Coefficient Analysis). Metode ini dilakukan untuk menentukan nilai c yang cocok untuk mengoptimalkan pembuatan log LI dan FI. Nilai c ini ditentukan oleh nilai korelasi optimum dari log LI atau log FI dengan log target. Log LI dikorelasikan dengan GR (Gamma Ray) sedangkan log FI dikorelasikan dengan log PR (Poisson Ratio).
161
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 2 Kurva Korelasi LI-GR dan FIPRpada sumur WA6, WA3, dan WA1
Gambar 2 menunjukkan kurva korelasi optimum antara LI (Impedansi Litologi) dengan GR (Gamma Ray) dan FI (Impedansi Fluida) dengan PR (Poisson Ratio) pada tiga sumur pemodelan. LI dan GR berkorelasi optimum (negatif) pada nilai c = -1 sedangkan FI dan PR berkorelasi optimum (positif) pada nilai c = 1.88. Sehingga dalam pembuatan log LI menggunakan nilai c = -1 sedangkan pada FI menggunakan nilai c = 1.88.
Analisis Crossplot untuk Pemisahan Litologi Data yang digunakan sebagai masukan dalam analisis crossplot ini adalah data log berupa log LI (Lithology Impedance) dan log target. Log target yang dimaksud adalah log yang sensitive terhadap pemisahan litologi, yaitu log GR (Gamma Ray). Gambar 3 menunjukkan crossplot antara LI dan GR. Bagian kiri dari gambar menunjukkan hasil crossplot sedangkan bagian kanan menunjukkan cross section. Skala warna yang digunakan untuk crossplot litologi yaitu log GR.
Gambar 3 Crossplot LI-GR sumur WA6
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Berdasarkan Gambar 4 ditunjukkan bahwa pemisahan yang cukup jelas antara pasir (zona berwarna kuning) dengan serpih (zona berwarna abu-abu) pada sumbu LI. Hal ini juga ditunjukkan pada sumur pemodelan lainnya. Gambar 2 Kurva Korelasi LI-GR dan FIPR pada sumur WA6, WA3, dan WA1 Gambar 4 Crossplot LI-GR sumur WA6. Akan tetapi, pada ketiga sumur penelitian terlihat banyak data yang scatter (menyebar) dan tidak masuk ke dalam zona litologi pasir atau serpih sehingga menimbulkan ambiguitas
dalam pemisahan litologi. Oleh karena itu LI tidak dapat diproses lebih lanjut. Analisis Crossplot untuk Pemisahan Fluida Log input untuk crossplot pemisahan fluida adalah atribut PI (Impedansi Poisson) berupa FI (Fluid Impedance) dan log target berupa log Poisson Ratio. Log target yang dipilih adalah log yang sensitif terhadap fluida.
Gambar 4 Crossplot FI-PR (brine-gas)pada sumur WA6
Pada Gambar 5, ditunjukkan bahwa zona berwarna merah menunjukkan zona pasir yang tersaturasi gas (gas sands), zona berwarna biru menunjukkan zona pasir yang tersaturasi air (brine sands). Sedangkan skala warna menunjukkan nilai Poisson Ratio. Nilai cut off (garis pemisah) untuk log FI adalah - 1000 ft/s*g/cc (-3.05 x 105 kg/m2s). Nilai yang lebih besar dari cut off adalah brine, sedangkan yang sama atau lebih kecil dari cut off adalah gas.
sedangkan nilai di atas 1000 ft/s*g/cc (3.05 x 105 kg/m2s)mengindikasikan serpih.
Inversi Simultan dan Transformasi Poisson Impedance (PI) Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan data seismik hasil inversi simultan berupa penampang AI dan SI. Kedua penampang tersebut merupakan masukan dalam pembuatan penampang Fluid Impedance (FI). Nilai cut off pada hasil inversi sama dengan nilai cut off pada data sumur yaitu 1000 ft/s*g/cc (-3.05 x 105 kg/m2s). Nilai di bawah -1000 ft/s*g/cc (-3.05 x 105 kg/m2s) mengindikasikan gas sand, nilai -1000 ft/s*g/cc (3.05 x 105 kg/m2s) sampai 1000 ft/s*g/cc (3.05 x 105 kg/m2s) mengindikasikan brine sand,
Gambar 5 Penampang Seismik AI
163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Berdasarkan Gambar 8, ditunjukkan bahwa jalur migrasi hidrokarbon (gas) mengikuti kemenerusan warna hijau. Pada gambar tersebut juga ditunjukkan dengan jelas perselingan antara batupasir (sand) dan batuserpih (shale) yang membuktikan bahwa pada formasi tersebut pernah mengalami proses transgresi. Hal ini juga ditunjukkan pada hasil slicing setiap 5 ms dari horizon UTAF. Penyebaran Gas di Lapangan WA
Gambar 6 Penampang Seismik SI Gambar 7 menunjukkan volume Fluid Impedance merupakan hasil transformasi dari AI dan SI dengan menggunakan persamaan FI = AI – 1.88*SI. Penampang FI memberikan degradasi warna yang lebih jelas. Warna hijau hingga kuning menunjukkan nilai FI rendah yang mengindikasikan anomaly (gas sand) sedangkan warna merah menindikasikan brine sand. Batuan impermeable (serpih ditunjukkan oleh warna biru hingga ungu yang mengindikasikan nilai FI tinggi. Nilai cut off pada hasil inversi sama dengan nilai cut off pada data sumur.
Gambar 7 Penampang Seismik Fluid Impedance (FI) pada sumur WA6
Gambar 8 Penampang Arbitrary line sumur WA1, WA 3 dan WA6
Dalam penelitian ini, nilai-nilai FI negatif dianggap sebagai anomali. Oleh karena itu, dilakukan slicing dengan menggunakan Average Negative agar nilai negatif yang mengindikasikan hidrokarbon dapat terlihat. Pada Gambar 8 berupa hasil slicing Average Negative, ditunjukkan tiga kriteria reservoir, yaitu reservoir bagus, sedang hingga buruk. Reservoir yang paling bagus adalah reservoir yang memiliki kandungan gas dengan nilai FI Impedance (FI) yang rendah yang ditunjukkan dengan warna hijau kekuningan hingga merah. Reservoir sedang ditunjukkan oleh warna biru. Sedangkan warna ungu menunjukkan reservoir yang buruk.
Gambar 8 Hasil slicing Average Negative di Lapangan WA
Gambar 9 Peta Penyebaran Gas di lapangan WA
164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gambar 9 menggambarkan peta penyebaran hidrokarbon (gas) di Lapangan WA. Nilai FI rendah pada peta tersebut menunjukkan pola penyebaran gas mengarah ke south east (tenggara) Lapangan WA. Hal ini sesuai dengan analisa data sumur (crossover densitasneutron) serta didukung dengan adanya antiklin dan sesar yang dapat menjadi perangkap hidrokarbon. Kesimpulan 1.
2.
Parameter yang paling sensitif untuk pemisahan litologi dan fluida adalah atribut Poisson Impedance (PI) berupa Fluid Impedance (FI) dan Lithology Impedance (LI). Pemisahan fluida optimum ditunjukkan pada atribut FI (Impedansi Fluida) dengan nilai c = 1.88. Sedangkan pemisahan litologi optimum ditunjukkan pada atribut LI (Impedansi Litologi) dengan nilai c = - 1. LI tidak dapat diproses lebih lanjut karena banyak data yang scatter (tersebar) dan tidak konsisten untuk semua sumur pemodelan. Berdasarkan hasil slicing (pemotongan) dan peta penyebaran gas, dapat dilihat bahwa nilai FI rendah yaitu sama atau kurang dari - 1000 ft/s*g/cc (3.05*105 kg/m2s) mengindikasikan adanya anomali gas yang tersebar pada semua sumurpemodelan dan penyebarannya ke arahtenggara (south east).
Pustaka Fitrianto, Teguh, 2001. Thesis. Universitas Indonesia: Depok. Gerlitz, Kevin., 2006. Deriving the Poisson Impedance in Hampson Russel Software. VHR Jakarta. Ginger David dan Fielding Kevin, 2005. The Petroleum Systems and Future Potential of The South Sumatera Basin. Proceddings, Indonesian Petroleum Association. Hampson Dun dan Russel Brian, 2010. AVO Guide. CGG Veritas Humpson Russel Software. Quakenbush Mark, Shang Bruce, dan Tuttle Chris, 2006. Poisson Impedance. SEG The Leading Edge. Sukmono, Sigit., 2009. Jurusan Teknik Geofisika. Institut Teknologi Bandung. Wibisono, Erlangga., 2009. Skripsi. Universitas Indonesia: Jakarta.
165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Perkembangan Tektonik Sulawesi dan Implikasinya Terhadap Sesar Regional serta Potensi Gempa Bumi di Gorontalo Muhammad Faiza Addi1 Program Studi Geofisika, FMIPA Universitas Hasauddin 1 Sari Pertemuan tiga lempeng besar yang terjadi di Pulau Sulawesi antara lempeng pasifik, lempeng Hindia-Australia dan Lempeng Asia sangat berpengaruh terhadap proses pembentukanya. Lempeng pasifik bergerak dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun dari arah timur, lempeng Hindia-Australia bergerak dengan kecepatan rata-rata 7 cm/tahun dari arah selatan dan lempeng Asia yang bergerak relative pasif dengan kecepatan kurang lebih 3 cm/tahun ke arah tenggara. Pulau Sulawesi yang merupakan kawasan microplate sangat rawan terhadap gerakan dan benturan ketiga lempeng bumi tersebut yang menimbulkan fenomena geologi seperti gempa bumi. Ditinjau dari tektonik dan sejarah perkembangannya Sulawesi dibagi dibagi kedalam empat mintakat geologi yaitu, kontinental kerak BanggaiSula, oseanik kerak Sulawesi Timur, kompleks metomorf Sulawesi Tengah dan busur volkanik Sulawesi Barat (Lengan Selatan dan Lengan Utara). Lengan Utara Busur volkanik Sulawesi barat diapit oleh dua zona subduksi kerak samudra yang mulai terjadi sejak periode Neogen. Subduksi tersebut berdampak pada permbentuka. sesar regional dan gunung api. Gorontalo sebagai salah satu daerah yang terletak di Lengan Utara Sulawesi, memiliki beberapa sesar regional aktif yang menjadi sumber gempa di daerah tersebut. Seperti Sesar Perantanaan, Sesar Gorontalo, Sesar Palele, Sesar Randangan dan Sesar Kwandang. Dari fenomena geologi dan tektonik tersebut, maka Gorontalo termasuk ke dalam daerah yang rawan aktifitas gempa. Daerah yan perlu mendapat perhatian dan harus diwaspadi adalah daerah perpotongan atau persinggungan di antara sesar karena di daerah ini gempa cenderung memiliki magnitude yang besar. Sebagai contoh gempa yang terjadi pada 28 maret 2015 memiliki magnitudo 6 SR dengan kedalaman 111 km. Kata kunci : Tektonik, Sesar, Gempa bumi Pendahuluan Pertemuan tiga lempeng besar yang terjadi di Pulau Sulawesi, yaitu lempeng pasifik, lempeng Hindia-Australia dan Lempeng Asia sangat berpengaruh terhadap proses pembentukanya. Lempeng pasifik bergerak dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun dari arah timur, lempeng Hindia-Australia bergerak dengan kecepatan rata-rata 7 cm/tahun dari arah selatan dan lempeng Asia yang bergerak relative pasif dengan kecepatan kurang lebih 3 cm/tahun ke arah tenggara.
Pulau Sulawesi yang merupakan kawasan microplate sangat rawan terhadap gerakan dan benturan ketiga lempeng bumi tersebut yang menimbulkan fenomena geologi seperti gempa bumi. Proses tumbukan ketiga lempeng tersebut juga menyebabkan Pulau Sulawesi memiliki empat buah lengan dengan proses tektonik yang berbeda-beda. Lengan utara dan lengan selatan Sulawesi yang dibatasi oleh sesar palu-koro serta lengan tenggara dan lengan timur yang dibatasi oleh sesar matano. Lengan Utara Sulawesi memiliki posisi yang cukup unik karena diapit oleh dua buah subduksi kerak samudra. Di bagian utara dari lengan utara Sulawesi, kerak samudra Laut Sulawesi menghujam di bawah Lengan Utara Sulawesi. Di bagian timur terdapat tunjaman antara kerak samudra Laut Maluku yang mengarah ke Barat. Hal ini mempengaruhi struktur regional dari Lengan Utara Sulawesi di mana kedua tunjaman tersebut menghasilkan manifestasi tektonik berupa gunung api dan sesar regional yang menjadi sumber gempa bumi di daerah tersebut. Gorontalo secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu satuan dataran pantai, satuan morfologi vulkanik G. pinogoe-balangga yang menempati bagian selatan, tenggara dan barat daya, serta satuan morfologi vulkanik G. Mogi dan Lompotoo terletak di bagian utara yang memanjang dari barat ke timur. Bentuk morfologi yang beranekaragam ini (dataran sampai pegunungan) menunjukkan bahwa gorontalo sangat dipengaruhi oleh proses tektonik. Perkembangan Tektonik Sulawesi Dalam tektonik global seperti pada Gambar 1, Sulawesi tidak terlepas dari pengaruh tatanan tektonik Indonesia yang berada pada zona pertemuan tiga lempeng bumi yang berinteraksi satu dan yang lainnya. Hal inilah yang mempengaruhi terjadinya sesar regional dan munculnya potensi gempa di Sulawesi. Berdasarkan sejarahnya, pertemuan dari ketiga lempeng bumi tersebut menghasilkan beberapa tahapan tektonik di Sulawesi yang berpengaruh pada kondisi tektonik dan geologi di pulau tersebut. Syaiful Bachri dan Sidarto (2013) secara regional membagi peristiwa tektonik tersebut ke dalam lima periode, yaitu tektonik ekstensional
166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Mesozoikum, tunjaman Kapur, tunjaman Paleogen, tumbukan Neogen, dan tunjaman ganda Kuarter.
4. Tumbukan Neogen Tektonik ini merupakan tumbukan antara kepingankepingan benua yang bergerak ke arah barat-barat laut sepanjang system Sesar Sorong dengan Jalur Batuan Malihan Sulawesi Tengah dan Jalur Ofiolit Sulawesi Timur pada Neogen. Sistem Tumbukan ini tidak membentuk busur gunungapi dan tanpa diikuti munculnya cekungan busur muka dan belakang. 5. Tunjaman ganda Kuarter Tunjaman ini ditunjukkan dengan adanya tunjaman ganda yang saling berlawanan di bagian timur Lengan Utara Sulawesi. Tumbukan ini terdiri atas pergerakan ke selatantenggara batuan kerak samudera Laut Sulawesi menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi, dan tunjaman kerak samudra Laut Maluku yang bergerak ke arah barat. Gempa Bumi
Gambar 1. Tektonik global Pulau Sulawesi (Coffield, et al 1993) 1. Tektonik ekstensional mesozoikum Berdasarkan hasil analisis paleomagnet, tektonik Sulawesi diawali dari Benua Australia, yakni pada Permo-Trias terjadi thermal doming dan diikuti adanya pemekaran yang disebabkan oleh tektonik ekstensional. Fragmen benua terpisahkan kemudian terpindahkan ke arah utara-barat laut. Fragmen tersebut kemudian membentuk kepingan benua di Laut Banda dan di bagian timur Sulawesi. Selama perjalanannya, kepingan benua terpecah menjadi beberapa kepingan, di antaranya Kepingan Benua Banggai-Sula, Kepingan Benua Tukangbesi, Kepingan Banua Buton, dan Kepingan Benua Sulawesi Tenggara.
Gempa bumi adalah suatu getaran yang disebabkan oleh pelepasan energy yang bersumber dari dalam bumi, kemudian merambat ke permukaan. Getaran gempa dapat dirasakan langsung oleh manusia ataupun melalui pencatat gempa (seismograf). Gempa bumi dapat disebabkan oleh beberapa factor, antara lain, pergerakan lempeng bumi yang menimbulkan gempa tektonik, letusan gunungapi yang menghasilkan gempa vulkanik, dan gempa runtuhan lapisan batuan atau disebut dengan gempa runtuhan. Tabel 1. Skala Richter ( US Geological Survey)
2. Tunjaman Kapur Tumbukan ini ditandai dengan adanya zona subduksi miring ke barat di sepanjang Sulawesi bagian barat, yakni batua kerak samudra proto Laut Banda menunjam di bawah bagian tepi selatan tenggara Kraton Sunda. Tumbukan pertama terjadi pada Kapur Awal dengan zona subduksi di kompleks Melange Bantimala. 3. Tunjaman Paleogen Gerakan kepingan benua ke barat-barat laut mulai menumbuk kompleks tunjaman di bagian timur Sulawesi dan zona akrasi Kapur Awal benua Eurasi pada Paleogen. Tumbukan ini merupakan penunjaman yang kedua di Sulawesi
Berdasarkan kedalaman focus gempanya, gempa bumi dibagi menjadi tiga jenis yaitu gempa dangkal dengan kedalaman focus 0-60 km, gempa menengah dengan focus gempa 60-300 km dan gempa dalam dengan focus gempa lebih dari 300 km. Skala Richter merupakan salah satu pengukur kekuatan gempa yang sering digunakan. Skala ini didasarkan pada perhitungan energy gempa yang dilepaskan.
167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Data dan Metoda Lokasi penelitian ini difokuskan di Provinsi Gorontalo yang merupakan bagian dari Lengan Utara Sulawesi dengan letak geografis berada pada 0 19‟ – 1 15‟ LU dan 121 23‟ – 123 43‟ BT. Studi ini diwalai dengan melihat pengaruh perkembangan tektonik Sulawesi terhadap tektonik tiap-tiap lengan Sulawesi terutama Lengan Utara Sulawesi, yang selanjutnya dihubungkan dengan kondisi Sesar regional yang ada di Provinsi Gorontalo serta potensi gempa yang terjadi. Sumber data yang digunakan berasal dari data sekunder yang didapatkan dari hasil studi literature jurnal ilmiah, buku, artikel, dan materi-materi yang berhubungan dengan pembahasan dari penelitian ini. Selain itu, data gempa bumi yang terjadi sepanjang tahun 2015 bersumber dari katalog gempa bumi BMKG yang diambil melalui website resmi BMKG http://repogempa.bmkg.go.id/proses_query2.php . Data tersebut selanjutnya diplot dengan menggunakan Arc GIS 10.1. Hasil dan Diskusi Peristiwa tektonik di Lengan Utara Sulawesi mulai terjadi pada periode Neogen, ketika kepingan benua Banggai-Sula, Buton dan Tukan besi menumbuk jalur batuan Malihan Sulawesi Tengah dan Jalur Ofiolit Sulawesi Timur. Tumbukan ini menyebabkan Lengan Utara yang awalnya menyatu dengan Lengan Selatan, mengalami rotasi searah jarum jam dan mengakibatkan bentuk seperti saat ini. Selain itu, tumbukan ini juga menjadi awal mulanya terjadinya tunjaman kerak samudera laut Sulawesi Utara yang bergerak ke arah Selatan-Tenggara dan menyusup di bawah Lengan Utara Sulawesi Dibagian timur Lengan Utara Sulawesi terjadi Tumbukan Kerak Samudera laut Maluku yang bergerak ke arah barat, sehingga kerak Samudera tersebut menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi . Tunjaman ini mengakibatkan munculnya Busur Gunungapi Minahasa-Sangihe.
Gambar 2. Struktur bagian tengah Lengan Utara Sulawesi pada Pliosen Akhir-Plistosen, dimodifikasi dari Bachri dkk. (1994) dan Apandi & Bachri (1997). 1. Kelompok sesar perantanan Kelompok sesar ini memiliki arah rata-rata N95oE atau N75oE yang terdiri atas Sesar Perantanan, Sesar Telongkabila, dan Sesar Tetembu 2. Kelompok Sesar Gorontalo Kelompk ini memliki arah rata-rata N125oE atau N305oE. Representasi dari kelompok sesar ini adalah Sesar Gorontalo yang melalui Teluk Gorontalo dan Sesar BodiUtilemba. 3. Kelompok Sesar Paleleh Kelompok sesar ini memiliki kisaran arah rata-rata N155oE atau N335oE dengan representasi yang paling menonjol adalah Sesar Paleleh dan Sesar Bulokidoka. 4. Kelompok sesar Randangan Kelomok sesar ini memiliki arah rata-rata N25oE atau N205oE. Sesar Randangan adalah representasi dari kelompok ini. 5. Kelompok Sesar Kwandang Sesar Kwandang dan Sesar Olie merupakan representasi dari kelompok ini dengan arah rata-rata N55oE atau N235oE.
Kedua tunjaman tersebut mempengaruhi kondisi struktur regional di Lengan Utara Sulawesi dan memunculkan manifestasi tektonik berupa Sesar dan gunung api yang berpotensi menimbulkan gempa bumi. Sesar regional yang terdapat di Gorontalo di kelompokkan menjadui 5 kelompok sesar yang didasarkan pada arah kelurusannya.
Gambar 3. Peta sebaran gempa bumi Gorontalo tahun 2015.
168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Gempa bumi yang terjadi di Gorontalo kebanyakan termasuk ke jenis gempa tektonik. Subduksi kerak samudra Laut Sulawesi dan aktifitas sesar Gorontalo diperkirakan menjadi penyebab utama potensi Gempa bumi di Gorontalo (Guntur Pasau, 2015). Subduksi kerak samudra laut Sulawesi yang berada di sebelah utara berada pada kedalaman dangkal 0-50km sedangkan sesar Gorontalo memotong kota Gorontalo hingga ke teluk Gorontalo. Berdasarkan peta sebaran gempa bumi, gempa yang terjadi sepanjang tahun 2015 memiliki magnitude yang berkisar antara skala 1-7 SR. sebagian besar gempa tersebut berlokasi di daratan yang diperkirakan sebagai akibat dari pergerakan sesar regional dan subduksi Laut Sulawesi. total gempa yang terjadi sepanjang tahun 2015 sebanyak 172 kejadian. ini menandakan bahwa Gorontalo menjadi salah satu wilayah yang rawan akan gempa. Gempa paling besar terjadi pada tanggal 28 Maret 2015 dengan magnitudo 6 SR. Kesimpulan
Pustaka Amstrong F. Sompotan, 2012, Struktur Geologi Sulawesi, Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung Kaharuddin, M.S., dkk, 2011, Perkembangan Tektonik dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau Sulawesi, HAGI-IAGI Annual Convention and Exhibition. Surono, M, Sc., 2013, Geologi Sulawesi, LIPI. Guntur Pasau, 2015, Analisis Resiko Gempa Bumi Wilayah Lengan Utara Sulawesi Menggunakan Data Hiposenter Resolusi Tinggi Sebaga Upaya Mitigasi Bencana, Jurnal Fisika dan Aplikasinya 16, 6-10. Ucapan Terima Kasih Terimakasih disampaikan kepada Program Studi Geofisika Unhas selaku pelaksana SNGF 2016. Ucapan Terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman Geofisika Unhas angkatan 2012 terkhusus Aryani Agustiawati yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Dari hasil studi yang dilakukan, tektonik Lengan Utara Sulawesi mulai berlangsung sejak terjadinya subduksi kerak Laut Sulawesi di bagian utara dan Laut Maluku di bagian timur Lengan Utara Sulawesi pada periode Neogen dan Kuarter. Subduksi tersebut menghasilkan sesar-sesar regional Gorontalo yang kemudian dibagi kedalam 5 kelompok, yaitu sesar Perantanan, sesar Gorontalo, sesar Randangan, sesar Paleleh, dan sesar Kwandang. Potensi gempa bumi Gorontalo sangat dipengaruhi oleh subduksi Laut Sulawesi serta aktifitas sesar Gorontalo.
169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
ANALISIS KURVA HVSR UNTUK DISTRIBUSI INDEKS KERENTANAN SEISMIK KAWASAN RAWAN GEMPABUMI Andi Tenri Awali Wildana1, Lantu1, Sabrianto Aswad1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Unhas
Sari Indonesia merupakan zona dari interaksi antar empat lempeng aktif di dunia: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Laut Philiphina. Dari kegiatan tektonik tersebut, terdapat beberapa daerah yang termasuk dalam kawasan rawan gempabumi sehingga diperlukan suatu upaya mitigasi untuk meminimalisir resiko akibat gempabumi seperti pengukuran indeks kerentanan seismik menggunakan mikrotremor. Pengukuran mikrotremor dilakukan di daerah daerah Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. Di bagian utara daerah penelitian terdapat patahan belakang busur kepulauan yang memanjang dari Laut Bali, utara Lombok, Flores hingga ke laut Banda. Hasil pengukuran berupa kurva HVSR yang akan dianalisis untuk mengetahui nilai frekuensi dominan (f0) dan nilai amplifikasi (A) yang nantinya digunakan untuk penentuan indeks kerentanan seismik (IKS). Hasil analisis menunjukkan kontur penyebaran nilai IKS di daerah Singaraja berkisar 1.087 yang menandakan bahwa daerah tersebut termasuk wilayah yang memiliki kerawanan tinggi terutama pada bagian barat daya daerah penelitian. Kata Kunci : Amplifikasi, frekuensi dominan, indeks kerentanan seismik, mikrotremor
kerusakan akibat gempabumi dengan menggunakan survey mikrotremor. Dengan melakukan survey mikrotremor, maka dapat diketahui hubungan nilai frekuensi dominan dan amplifikasi terhadap kondisi geologi daerah penelitian sehingga dapat menjelaskan nilai indeks kerentanan seismik yang nantinya akan berguna untuk perencanaan pembangunan suatu daerah. Mikrotremor adalah getaran (vibrasi) yang sangat kecil amplitudonya dan kontinyu dari tanah atau struktur yang disebabkan oleh adanya aktifitas buatan manusia sepert lalu lintas, orang berjalan, mesin pabrik, dan lain-lain. Amplitudonya sangat kecil berkisar antara 0.1 – 1.0 μm dan periodenya antara 0.1 detik sampai 1.0 detik, Ishiyama dan Hasanuddin (2006). Metede mikrotremor bertujuan untuk mengamati karakteristik dinamika tanah ditinjau dari kecepatan gelombang seismik dengan menitikberatkan pada variasi amplitude dan perioda serta frekuensi terhadap waktu. Hasil penyelidikan Kanai telah membuktikan bahwa periode perdominan dari mikrotremor sesuai dengan perioda perdominan dari gempa bumi. Dewasa ini, untuk melakukan study mengenai kelakuan struktur untuk merancang bangunan tahan gempa telah digunakan perioda perdominan dari hasil pencatatan mikrotremor, (Parwatiningtyas, 2010).
Pendahuluan Secara geotektonik, Indonesia merupakan tempat pertemuan empat lempeng aktif dunia. Pada derah pertemuan lempeng, terdapat akumulasi energi yang sewaktu-waktu lapisan bumi tidak dapat lagi menahan tumpukan energi tersebut sehingga terjadilah gempabumi. Menurut McCaffrey dan Nabelek (1987), Bali Utara memiliki satu zona seismik yang merupakan sumber terjadinya gempabumi, yaitu Flores Back Arc Crust Thrust Fault. Dari tabel katalog gempabumi merusak Provinsi Bali yang diterbitkan oleh PVMBG (2014), terdapat beberapa kejadian gempabumi besar di sekitar daerah penelitian di antaranya gempa Buleleng dengan nilai MMI sebesar VII serta gempa Seririt pada tahun dengan nilai VIII-IX MMI. Tingkat kondisi resiko mitigasi
kerusakan akibat gempabumi bergantung pada geologi suatu daerah. Untuk meminimalisir akibat gempabumi maka diperlukan upaya yakni mikrozonasi untuk memetakan daerah rawan
Secara umum, perekaman mikrotremor tidak berbeda dengan perekaman gelombang seismik pada seismometer. Untuk metode Nakamura, diperlukan seismometer yang memiliki tiga komponen yaitu horizontal (east-west) dan (north-south) serta komponen vertical (up-down). Pada perekaman mikrotremor, pengukuran langsung dilakukan karena yang direkam merupakan gelombang yang timbul dari alam. Geologi Lokal Daerah Penelitian Kondisi geologi Regional Bali dimulai dengan adanya kegiatan tektonik di lautan selama kala Miosen Bawah yang menghasilkan batuan lava bantal dan breksi yang disisipi oleh batu gamping. Stratigrafi regional Bali tergolong masih muda. Batuan tertua kemungkinan berumur Miosen Tengah, (Dena, 2012). Pada daerah penelitian, terdapat dua satuan formasi:
170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
1. Formasi Asah (Tpva) Kelompok batuan ini berumur Pliosen menyebar dari baratdaya Seririt ke timur hingga di baratdaya Tejakula. Pada lapisan bawah umurnya terdiri dari breksi yang berkomponen kepingan batuan bersifat basal, lava, obsidian. Di bagian atas terdapat lava yang kerapkali menunjukkan rongga, kadang-kadang memperlihatkan lempengan dan umumnya berbutir halus.
Metode
2. Formasi batuan gunungapi kwarter Kegiatan vulkanis pada kwarter menghasilkan terbentuknya sejumlah kerucut yang umumnya kini telah tidak aktif lagi. Gunung api tersebut menghasilkan batuan tufa dan endapan lahar BuyanBeratan dan Batur.
Gambar 1. Peta Geologi daerah Penelitian. Berdasarkan peta geologi lembar Bali, struktur yang terdapat di sekitar daerah penelitian berupa sesar dan kelurusan dan umumnya berarah baratlaut-timur tenggara, dengan beberapa timur laut-barat daya. Adapun satuan morfologinya adalah perbukitan menggelombang, (Hadiwidjojo dkk, 1998). DATA dan METODE Data Data pengukuran yang digunakan merupakan data sekunder dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gelogi sejumlah 82 titik. Lama pengukuran untuk setiap titik berkisar 20-30 menit. Adapun jarak setiap titik pengukuran sekitar 500 meter.
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian Hasil dan Diskusi Data hasil pengukuran mikrotremor berupa data RAW dan masih dalam domain waktu sehingga dilakukan konversi data menjadi ekstensi (*.saf*) agar dapat terbaca di software Geopsy. Data hasil perekaman mikrotremor yang terdiri atas 3 komponen yaitu Z (vertical) serta North-South dan East-West (horizontal) dan merupakan data dalam domain waktu sehingga perlu dilakukan proses Fast Fourier Transform (FFT) agar data berada pada domain frekuensi. Data tersebut kemudian diolah menggunakan software Geopsy untuk mendapatkan spektrum HVSR. Terlebih dahulu dilakukan windowing secara manual dengan panjang window 5s dan 10s untuk semua data. Kemudian dilakukan proses smoothing type Konno dan Ohmachi sesuai dengan ketentuan di SESAME. Adapun batas frekuensi yang untuk output kurva HVSR yaitu rentang 1-10 Hz.
171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dari hasil pengolahan data mikrotremor, didapatkan nilai frekuensi dominan untuk semua titik pengukuran berada pada rentang nilai 1.06-9.06 Hz. Nilai frekuensi dominan menunjukkan keberadaan bedrock, jika nilai frekuensi dominan rendah maka bedrocknya lebih dalam. Nilai frekuensi dominan yang tergolong rendah berada pada bagian barat laut daerah penelitian, sedangkan nilai frekuensi dominan yang tergolong tinggi berada pada bagian timur laut sampai tenggara serta barat daya daerah penelitian. Secara keseluruhan, nilai frekuensi di daerah penelitian tergolong rendah karena <10 Hz.
kerawanannya rendah merupakan daerah pemukiman yang artinya batuan pada daerah tersebut lebih terkompaksi dibandingkan dengan daerah persawahan ataupun daerah yang dekat dengan pantai.
Untuk mitigasi bencana gempabumi, nilai frekuensi dominan sangat penting untuk perencanaan bangunan tahan gempabumi. Jika bangunan memiliki nilai frekuensi dominan yang sama dengan nilai frekuensi dominan tanah, maka akan mengalami resonansi jika terjadi gempabumi. Efek resonansi akan memperkuat getaran sehingga bangunan akan mengalami kerusakan. Adapun nilai amplifikasi daerah penelitian berada pada rentang nilai 1.55-5.72. Amplifikasi dapat pula dikatakan sebagai faktor penguat gempa. Pada daerah yang memiliki amplifikasi tinggi, maka jika terjadi gempabumi akan mengalami kerusakan yang lebih parah akibat amplifikasi gelombang gempa. Setelah didapatkan nilai frekuensi dominan dan nilai amplifikasi, maka dilakukan perhitungan nilai Indeks Kerentanan Seismik (IKS) untuk melihat tingkat kerentanan suatu lapisan mengalami deformasi. Nilai IKS berada pada interval 1,08-7 seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Kontur Penyebaran Nilai IKS Daerah dengan tingkat kerawanan rendah didominasi oleh batuan gunung api yaitu breksi tufa di mana batuan tersebut tidak kompak. Pada formasi tersebut, terdapat juga bagian yang termasuk dalam tingkat kerawanan sedang. Hal tersebut dapat terjadi karena penggunaan lahan daerahnya berbeda. Untuk kawasan yang tingkat
Gambar 4. Peta Citra Lokasi Penelitian Setelah didapatkan peta IKS, maka dilakukan overlay antar data IKS dan data citra dari lokasi penenlitian(Gambar 4) untuk melihat tutupan lahan. Hasil overlay (Gambar 6) menunjukkan bahwa daerah yang memiliki nilai IKS tinggi berada pada wilayah yang penggunaan lahannya merupakan daerah pemukiman penduduk dan dekat dari tepi laut sehingga sangat rentan mengalamai kerusakan jika terjadi gempabumi.
Gambar 6. Overlay Peta Indeks Kerentanan Seismik Kesimpulan 1. Nilai Frekuensi dominan untuk daerah penelitian berada pada rentang 1.06-9.06 Hz. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah penenlitian memiliki nilai frekuensi dominan yang rendah.
172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
2. Nilai amplifikasi yaitu antara 1.55-5.72 kali yang berarti bahwa jika daerah tersebut terjadi gempabumi maka gelombang gempanya akan mengalami perbesaran sebanyak 1.55 sampai 5.72 kali. 3. Berdasarkan peta Indeks Kererntanan Seismik, nilai IKS daerah penelitian berada pada interval 1.08. Daerah dengan tingkat kerawanan tinggi terletak pada bagian barat laut daerah penelitian (sekitaran laut). Daftar Pustaka Dena, K. 2012. Kondisi Geologi dan Topografi Pulau Bali. Geografi USB. Singaraja. Hadiwidjojo, M.M.P, Samodra, H. dan Amin, T.C. 1998. Peta Geologi Lembar Bali, Nusatenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Ishiyama, Y dan Hasanuddin. 2006. Mikrotremor. Antologi Paper Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung McCaffrey, R. dan Nabelek, J. 1987. The Geometry of Back Arc Thrusting Along The Eastern Sunda Arc, Indonesia. Jurnal of Geophysical Research: Solid Earth Vol. 92. Parwatiningtyas, D. 2010. Menganalisa Struktur Permukaan Bumi Serta Kandungan Sumber Daya Alam di dalamnya Menggunakan Metoda Geofisika. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Becana Geologi. 2014. Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun 1612-2014. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Ibu Sri Hidayati selaku Kepala sub-bidang Gempabumi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas akhir. Dan juga kepada Bapak Imam Catur Priambodo selaku pembimbing penulis di PVMBG yang dengan tulus memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis di selasela kesibukan beliau..
173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Implikasi Penerapan Geospasial Sistem Penunjang Keputusan Terhadap Pengembangan Lahan
Samsu Arif1, Sumbangan Baja2, D. A. Suriamihardja 3 1 Department of Physics, Hasanuddin University, Makassar, South Sulawesi, Indonesia Phone +62-411 586016, Fax +62-411 586588, email:
[email protected] 2 Department of Soil Science, Hasanuddin University Makassar; ph (+fax) +62-411587076 (corresponding author, email:
[email protected]),
[email protected]; 3 Department of Physics, Hasanuddin University, Makassar, South Sulawesi, Indonesia Phone +62-411 586016, Fax +62-411 586588 E-mail:
[email protected] Abstrak Tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaannya. Perkembangan penduduk dan aktivitas ekonomi yang pesat menimbulkan masalah lahan dan tata ruang yang berakibat terjadinya degradasi, alih fungsi lahan, dan fragmentasi lahan yang mengancam daya dukung lahan dalam pembangunan berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji implikasi penerapan model sistem penunjang keputusan berbasis geospasial terhadap pengembangan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 20 tahun kedepan pada wilayah Kabupaten Gowa. Metode Penelitian menggunakan citra satelit Landsat 8 dengan klasifikasi multispektral maximum likelihood untuk menghasilkan penggunaan lahan. Data biofisik lahan dan non biofisik terintergrasi melalui analisis Multicriteria Decision Making (MCDM) menggunakan fuzzy logic, Analitical Hierarchy Process dan Compromise Programming berbasis Sistem Informasi Geografis untuk menghasilkan indeks kesesuaian lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Gowa memiliki lahan pertanian seluas 72,35% dari luas total 179.631 Ha, indeks kesesuiaian lahan lebih besar dari 0,6 (sesuai untuk pertanian pangan) terdapat 44.032 Ha. Penerapan model sistem penunjang keputusan secara dinamis dapat menghitung indeks kesesuaian lahan pada setiap lokasi yang dipilih, serta mampu menunjukkan faktor pembatas yang mendegradasi lahan dan jenis perbaikan yang diperlukan agar pengelolaan lahan lebih optimal. Jika perencanaan pemanfaatan ruang 20 tahun kedepan seperti yang tertuang dalam RTRW diproyeksikan 33.726 Ha lahan pangan, masih terdapat 10.306 Ha lahan potensial yang bisa dikembangkan jika bertumpu pada data biofisik, sedangkan jika melibatkan data non biofisik maka masih terdapat 4.829 Ha lahan potensial. Model ini cukup konsisten dan terpercaya untuk digunakan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terhadap penggunaan lahan di Kabupaten Gowa. Kata Kunci: Geospasial, Sismtem Penunjang Keputusan, MCDM, RTRW
1.
Pendahuluan
Model pengelolaan lahan pangan diperlukan untuk mengarahkan para pengambil keputusan dalam usaha untuk mempertahankan dan mengelola lahan pangan yang berkualitas tinggi sehingga memberikan hasil yang optimal (Arif et. al., 2015). Untuk merealisasikan hal tersebut perlu dilakukan suatu evaluasi lahan yang merupakan proses pendugaan potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan yang dapat dilakukan secara dinamis dan fleksibel oleh berbagai pihak yang terlibat dalam bidang Pertanian (Johnson, 1991). Malczewski (1999) menunjukkan bahwa SIG pada umumnya, tidak menyediakan alat untuk menyajikan pilihan dan prioritas dalam hal mengevaluasi kriteria dan tujuan yang saling bertentangan. Kekurangan ini membatasi efektifitas SIG dalam memecahkan masalah yang tidak terstruktur maupun semi terstruktur dalam pengambilan keputusan spasial (Densham, 1991). Untuk itu, dibutuhkan suatu model yang dapat menangani persoalan pengelolaan lahan pangan berbasis spasial. Penggunaan MCDM dengan mengintegrasi Analytical Hierarchy Process (AHP), Fuzzy Set ke dalam Compromise Programming berbasis SIG dalam evaluasi lahan pangan akan menghasilkan sistem pakar berbasis spasial sebagai sebuah model yang dapat mensimulasikan manajemen lahan secara optimal (Wang et. al., 2010; Burrough, 1992; Nurmiaty and Baja, 2014; Tang and Van Ranst, 1992; Wang, 1990). Ketersediaan SIG dan metode pengambilan keputusan berkriteria majemuk (MCDM) memungkinkan menggabungkan pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber yang berbeda untuk mendukung manajemen dan perencanaan penggunaan lahan (Malczewski, 1999). Metode MCDM – Fuzzy dan AHP telah digunakan dengan sukses untuk teknik evaluasi lahan (Parkash 2003). Keberadaan sistem pakar yang berbasis spasial (Spatial Decision Support System, SDSS) dalam bidang pertanian pangan dapat membantu berbagai pihak yang terkait dengan pertanian pangan untuk membuat keputusan melalui perencanaan yang baik sebelum mulai melakukan apapun terhadap lahan mereka (Wai, 2005). Decision Suppport System merupakan teknologi berbasis komputer yang dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan yang kompleks dan berbasis pada masalah (de la Rosa, 2011; Shim, 2002).
174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Perangkat ini merupakan alat analitik yang handal dan mampu menangani masalah dan fenomena yang kompleks, dengan jumlah data yang besar, tingkat kerumitan yang tinggi dengan penyajian hasil yang cepat dan akurat (Arif et. al., 2015). 2.
Metode
2.1 Wilayah Studi Penelitian dilakukan di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak pada 5o 35‟ 10.8” sampai 5o 5‟ 26.2” LS dan 119o 21‟ 54” sampai 120o 1‟ 54.5” BT. Pemilihan Kabupaten Gowa didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut: (a) Kabupaten Gowa salah satu penghasil pangan di Sulawesi Selatan. (b) Variabilitas lahan cukup kompleks, terdiri dari dataran pesisir, dataran rendah, sampai dataran tinggi. (c) Berbatasan dengan kota Makassar, sehingga tekanan penduduk yang mengakibatkan perubahan fungsi lahan lebih besar.
dipetakan dan mempertimbangkan kinerja sistem aplikasi seperti yang ditunjukkna pada Tabel 1.
No 1 2
3 4 5
6
7
8 9
Tabel 1 Jenis, bentuk dan sumber data Jenis Data Bentuk Sumber Data Citra Aster 3 Raster LAPAN dimensi Parepare Citra Landsat 8 Raster http://earthex plorer.usgs.g ov/ Digital Peta Vektor Bakosurtanal Rupa Bumi Peta Rupa Bumi Lembaran Bakosurtanal 1998 Peta Tanah Semi Lembaran Jurusan Detail Tanah Fak. Pertanian Unhas Peta Landsystem Vektor Bakosurtanal skala 1:250.000 tahun 1989 Kabupaten Statistik BPS Prov. dalam Angka Sulawesi Tahun 2001 s/d Selatan 2014 Data Iklim Data Globaweathe tabular r Peta RTRW Vektor BAPPEDA Kab. Gowa Kab. Gowa
2.3 Metode Analisis Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: klasifikasi multispektral, analisis indeks kesesuaian lahan, aplikasi sistem penunjang keputusan berbasis geospasial dalam pengelolaan dan pengembangan lahan pangan.
Gambar 1. Lokasi wilayah studi, dalam kotak adalah Kabupaten Gowa 2.2 Basis Data Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial berbentuk raster. Data raster dipilih karena dapat merepresentasikan nilai kriteria evaluasi lahan dan ruang yang bersifat kontinyu. Setiap lokasi 100x100 meter persegi daerah penelitian direpresentasikan sebagai satu piksel (sel) disebut sebagai resolusi spasial. Pemilihan ukuran piksel mengacu pada skala yang sepadan untuk
a. Klasifikasi multispektral Klasifikasi ini menggunakan algoritma maximum likelihood melalui data training dengan cara memperkirakan sarana dan varians dari kelas, yang digunakan untuk menghitung probabilitas dan juga mempertimbangkan variabilitas nilai kecerahan di setiap kelas. Algoritma ini berdasarkan teori probabilitas Bayesian dan salah satu metode klasifikasi yang paling kuat dan akurat (Liu et al., 2002; Prumal et al., 2010). Menurut Jensen (2004), algoritma maximum likelihood bekerja dengan cara menandai setiap piksel yang mempunyai hasil pengukuran pola kenampakan X ke dalam i yang paling memungkinkan untuk dikelompokkan sebagai vector X. Sedangkan menurut Shrestha (1991), untuk memutuskan sebuah piksel diklasifikasi pada kelompok yang mana, dibutuhkan informasi statistik berupa rerata dan simpangan baku tiap sampel, serta variansi dan kovariansi. Penilaian akurasi hasil klasifikasi untuk dapat diterima dalam berbagai aplikasi adalah
175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
minimal 85% (Eastman, et al., 1993; Mather, 1999). Pengambilan sampel secara stratified random sampling menggunakan persamaan ((Eastman, et al., 1993): N = Z2pq/E2 ……………………………………….(1) Dimana N = jumlah sampel Z = nilai standar untuk kepercayaan tertentu p = akurasi yang diharapkan q = 1-p E = interval kepercayaan b. Analisis indeks kesesuaian lahan Konsep evaluasi lahan telah diperkenalkan sejak lama, mulai dari metode klasik yang diperkenalkan oleh Christian pada tahun 1958 (Baja, 2012). FAO (FAO, 1976) membuat kerangka evaluasi lahan yang banyak dijadikan rujukan dalam studi evaluasi lahan saat ini. Dengan kemajuan teknologi komputer, seiring dengan kemajuan Sistem Informasi Geografis (SIG), maka isu-isu tentang analisis spasial dan representasi dari variable biofisik yang kontinyu, yang tidak dipertimbangkan sebelumnya, kini bisa ditangani dengan baik (Baja, 2012). Metode evaluasi lahan dengan pendekatan parametrik kuantitatif dikembangkan menjadi pemodelan simulasi dengan menekankan penggunaan sistem analisis berbasis komputer seperti sistem pakar (Johnson, 1991). Evaluasi kesesuaian lahan dengan metodologi fuzzy set (Burrough, 1992; Tang and Van Ranst, 1992; Wang, 1990), Multi Criteria Decision Making, MCDM dan Analytic Hierarchy Process. Penggunaan MCDM dengan mengintegrasi Analytical Hierarchy Process (AHP), Fuzzy Set ke dalam Compromise Programming berbasis SIG dalam evaluasi lahan pangan akan menghasilkan sistem pakar berbasis spasial sebagai sebuah model yang dapat mensimulasikan manajemen lahan secara optimal. Menurut Baja (2012) modul yang terintegrasi antara AHP dengan SIG yang dikenal dengan „tight coupling integration‟ merupakan pengembangan SIG dan MCDM pada masa-masa mendatang. Keberadaan sistem pakar yang berbasis spasial (Spatial Decision Support System, SDSS) dalam bidang pertanian pangan dapat membantu berbagai pihak yang terkait dengan pertanian pangan untuk membuat keputusan melalui perencanaan yang baik sebelum mulai melakukan apapun terhadap lahan mereka (Wai, 2005). Decision Suppport System merupakan teknologi berbasis komputer yang dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan yang kompleks dan berbasis pada masalah. Pengambilan keputusan secara spasial (Spasial Decision Support System) bersifat kompleks, multidisiplin, pada umumnya melibatkan banyak pemangku kepentingan. SDSS membutuhkan informasi dari berbagai sumber untuk diterjemahkan kedalam berbagai keputusan kaitannya dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Kompleksitas SDSS terletak pada model yang bersifat semi
terstruktur, multidimensi, memiliki tujuan dan sasaran yang tidak sepenuhnya didefenisikan, dan memiliki sejumlah besar solusi alternatif. Dalam keputusan yang kompleks, proses pengambilan keputusan sering berulang, interaktif, dan patisipatif (Goel, 1999). Berulang karena adanya berbagai analisis alternatif dengan informasi yang beragam, interaktif dan partisipatif karena informasi yang digunakan berasal dari berbagai pemangku kepentingan yang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Keenan (2006), sebuah SDSS harus memenuhi representasi masalah secara keseluruhan, yang akan memungkinkan pengguna untuk tidak hanya menggabungkan data geografis, tetapi juga mencakup struktur dan fungsi untuk mengatasi pandangan logis dari masalah. Sistem aplikasi SDSS memerlukan fungsi pemodelan analitis untuk mengintegrasikan SIG dan pemodelan yang sebelumnya terpisah. Perangkat lunak SIG yang ada saat ini telah memiliki manajemen data spasial dan kemampuan analitik yang handal, namun secara umum tidak dapat dianggap sebagai SDSS. Kekurangan utama dalam SIG adalah kurangnya kemampuan pemodelan analitis dan ketidakmampuan menyajikan teknik evaluasi dari berbagai skenario. Malczewski (1999) menunjukkan bahwa SIG pada umumnya, tidak menyediakan alat untuk menyajikan pilihan dan prioritas dalam hal mengevaluasi kriteria dan tujuan yang saling bertentangan. Kekurangan ini membatasi efektifitas SIG dalam memecahkan masalah yang tidak terstruktur maupun semi terstruktur dalam pengambilan keputusan spasial. Dalam evaluasi kesesuaian lahan, terdapat tiga pendekatan atau model yang berbeda namun saling melengkapi untuk pengelompokan individu karakteristik lahan ke dalam bentuk kelas atau representasi fuzzy, yaitu (Baja, 2012): Model kesamaan hubungan atau Similarity Import Model (SRM). Model impor semantic atau Semantic Import Model (SIM) Model eksperimental (EXM) Model kesamaan hubungan (SRM) didasarkan pada fuzzy c-means, di mana setiap atribut lahan untuk masing-masing sampel di lapangan dipartisi berdasarkan kelaster tertentu secara kontinyu. Hasil akhir kesesuaian merupakan integrasi kelaster yang berbeda dan disajikan dalam bentuk kontinyu. (Malczewski, 2000). Metode impor semantik (SIM) menggunakan fungsi keanggotaan yang ditentukan sebelumnya (apriori) untuk klasifikasi variable individu yang dipertimbangkan, sehingga relatif mudah digunakan. Melalui pendekatan ini , nilai atribut yang dipertimbangkan dikonversi ke dalam nilai keanggotaan (dari 0 sampai 1.0), menurut batas yang telah ditentukan oleh analis, berdasarkan pengalaman, hasil percobaan, atau standar konvensional yang dibangun.
176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Dengan pendekatan SIM, fungsi keanggotaan atribut parameter dhitung dengan menggunakan fungsi persamaan sebagai berikut (Baja, 2012; Arif et. al., 2015): MF(xi) = [1/(1 + {(xi – bj)/d}2)] ……………………...…(2) MF(xi) = 1 jika (b1+d1) ≤ xi ≤ (b2 – d2) …………...……(3) MF(xi) = [1/(1 + {(xi - b1 - d1)/d1} 2)] if xi < (b1 + d1) … (4) MF(xi) = [1/(1 + {(xi - b2 + d2) / d2} 2)] if xi > (b2 - d2)…(5) Dimana: MF(xi) = Nilai keanggotaan parameter x. xi = nilai atribut parameter ke i
Malczewski, et al., (1999), dan Chakround, et. al. (2005). Inteligensi adalah proses yang menganalisis cara berpikir GDSS dalam menghasilkan pengambilan keputusan, yang terdiri dari identifikasi masalah dan pemodelan masalah (Gao, et. al. 2004). Desain adalah proses merancang: (i) model standarisasi data, (ii) model skenario, dan (iii) integrasi model. Pengambil keputusan adalah proses menentukan pilihan-pilihan terbaik dari sejumlah skenario. Kelompok ini terdiri dari: (i) eksekusi skenario, (ii) analisis validasi dan sensitivitas, dan (iii) menentukan pilihan keputusan terbaik (Arif et al., 2015). Algoritma GDSS dibangun berdasarkan bagan alir kerangka konseptual alur pengolahan data kemudian menghasilkan algoritma GDSS yang bekerja berdasarkan kebutuhan sistem (Gambar 2).
Tipe data dan model fuzzy mengacu pada kriteria kesesuaian lahan tanaman padi menurut FAO (1976), kemudian dengan mencocokkan model kurva S. c. Geospatial Decision Support System (GDSS) Secara garis besar pengembangan GDSS dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu: (i) inteligensi, (ii) desain, dan (iii) pengambil keputusan. Pengelompokan ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Gao, et. al. (2004),
INPUT PARAMETER FISIK LAHAN
INPUT KOMODITI
Algoritma GDSS menjadi dasar dalam mendesain system aplikasi yang dapat mengotomatisasi model yang dikembangkan terhadap pengembangan dan pengelolaan lahan Pertanian.
INPUT PARAMETER NON BIOFISIK
OPTIMAL ?
INPUT MODEL FUZZY dan JMF
CoPro
No
Tabel Master Parameteri
Tabel Komoditi
Pilih Jumlah Kelompok
Tabel Fuzzy Set
Bobot
Tabel CoPro
Bobot
IKL
HITUNG BOBOT
Tabel IKL
Kelompokkan Parameter Tabel Parameter
Fuzzyfikasi Parameter Model Pembobotan Pengelompokan Parameter
Yes
AHP
Langsung
EQU
KESESUAIAN LAHAN OPTIMAL
No
yes
2FD
yes
No
yes
3FD
Gambar 2. Bagan alir algoritma GDSS (Arif et al., 2015)
177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
3. Hasil dan Pembahasan Kabupaten Gowa memiliki kompleksitas lahan yang cukup variatif, terdapat 17 (tujuh belas) jenis tipe lahan (Sistem Lahan) dengan bentuk topografi yang beragam, terdiri dari 13 (tiga belas) jenis penutupan lahan dengan luas lahan pertanian sebesar 55.400 Ha, khusus untuk lahan sawah sebesar 37.463 Ha (Citra Landsat 2014), secara tabulasi dapat dilihat pada Tabel 2, secara spasial ditunjukkan pada Gambar 2. Tabel 2 Jenis dan luas penutupan lahan Kabupaten Gowa Penutupan Lahan Luas (Ha) Danau
2,175.48
Hutan Lahan Kering Primer
1,168.20
Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman
25,259.51 4,708.40
Perkebunan
173.93
Permukiman
1,098.15
Pertanian Lahan Kering
2,483.30
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak Savana
89,175.26
Sawah
37,463.00
Semak/Belukar
14,438.63
Tambak Tanah Terbuka Grand Total
44.032 Ha (Gambar 4.50) sedangkan lebih kecil atau sama dengan 0,6 sebesar 135.574 Ha.
301.71 Gambar 2 Peta Penutupan Lahan Tahun 2014
7.72 507.53 179,631.00 Sumber: Citral Landsat 8 Tahun 2015
Dari Tabel 2 terlihat bahwa Kabupaten Gowa merupakan wilayah dengan lahan pertanian yang cukup besar. Jumlah lahan pertanian termasuk 72,35% dari luas total Kabupaten. Sedangkan lahan Sawah sebesar 21,23%, dan hutan hanya terdiri dari 14,71%. Potensi pertanian sangat besar sehingga wajar sektor pertanian menjadi tumpuan utama dalam meningkatkan ekonomi di wilayah ini. Penerapan GDSS terhadap pengembangan lahan di Kabupaten Gowa memberikan gambaran sebaran potensi lahan optimal berdasarkan hasil perhitungan indeks kesesuaian lahan berbasis fuzzy set dan MCDM. Sebaran IKL dikategorisasi menjadi dua kelas yaitu: kelas dengan nilai IKL di atas 0,6 dan kelas di bawah atau sama dengan 0,6. Menurut Baja (2002), jika nilai IKL lebih besar dari 0,6 akan setara dengan kelas kesesuaian lahan FAO : S (S1,S2, dan S3), sedangkan jika lebih kecil atau sama dengan 0,6 setara dengan lahan yang tidak sesuai (N). Dari aplikasi GDSS diperoleh luas niai IKL di atas 0,6 sebesar
Gambar 3 Kategorisasi nilai IKL Padi Sawah irigasi
178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Jika dibandingkan luas lahan pertanian secara umum, IKL dengan nilai lebih besar 0,6 memiliki luas lebih kecil 11.369 Ha dari luas lahan pertanian secara umum yang merupakan lahan suboptimal untuk pertanian Padi sawah dan perlu mendapatkan manajemen secara khusus. Disinilah peran GDSS, selain dapat menghitung nilai indeks kesesuaian lahan juga mampu menampilkan faktor pembatas yang mendegradasi lahan-lahan tersebut terhadap optimalisasi produksi tanaman Padi sawah, selain itu GDSS mampu menampilkan jenis perbaikan lahan yang diperlukan. Gambar 4.51 menunjukkan bahwa lahan terpilih (785.869 mU, 9.421.342 mT) memiliki nilai IKL lebih kecil dari 0,6 karena faktor pembatas: KTK (0,038),
dan Kemiringan lereng (0,027). Sedangkan jenis perbaikan yang disarankan terkait KTK adalah: pengapuran atau penambahan bahan organik, sedangkan kemiringan lereng tidak dapat dilakukan perbaikan. Penggunaan lahan sawah memiliki luas yang lebih kecil dari luas lahan dengan nilai IKL di atas 0,6, terdapat selisih sebesar 6.569 Ha yang merupakan potensi lahan optimal untuk tanaman Padi sawah. Lahan-lahan tersebut menyebar hampir di seluruh kecamatan bagian barat Kabupaten Gowa, namun daerah yang paling dominan adalah Kecamatan Parangloe dan Kecamatan Bajeng. Analisis yang dikembangkan belum mempehatikan lahan-lahan permukiman.
Faktor Pembatas
Jenis Perbaikan
Gambar 4 Faktor pembatas dan jenis perbaikan
Evaluasi lahan sebaiknya dapat diintegrasikan dengan variabel lain yang diperlukan dalam pemodelan pemanfaatan lahan. Pemodelan GDSS terhadap pemanfaatan lahan seperti yang dilakukan pada sub bahasan 4 mengintegrasikan variabel non biofisik menggunakan metode Compromise Programming kompensasi penuh (p=1) salah satu contoh, dengan parameternya: RTRW, aksesibilitas, RC Ratio, dan Preferensi masyarakat, menghasilkan luas lahan dengan nilai skor kesesuaian di atas 0,6 sebesar 38.555 Ha, masih ada sekitar 2% (1.092 Ha) lahan optimal yang belum menjadi sawah, kategorisasi hasil CoPro ditunjukkan pada Gambar 5.
Implikasi penggunaan GDSS memberikan gambaran bagaimana model ini secara konsisten mampu menyajikan berbagai alternatif pengembangan penggunaan lahan secara optimal, mulai dari penggunaan lahan pertanian secara umum, penggunaan lahan sawah eksisting secara khusus, dan integrasi data non biofisik dalam pengembangan penggunaan lahan. Dari sudut pandang perencanaan penggunaan lahan dapat diketahui tentang apa yang harus dilakukan dan dimana harus direalisasikan. GDSS dapat diterapkan secara fleksibel dengan model yang memungkinkan sejumlah metode dan prosedur yang dikembangkan (Baja, 2012).
179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
nilai di atas 0,6 masih tersisa lahan seluas 10.306 Ha dari yang telah dialokasikan untuk pertanian lahan basah. Pengembangan pertanian lahan pangan selayaknya diarahkan pada lahan-lahan dengan nilai IKL yang tinggi yang ada dalam kawasan yang ditentukan dalam RTRW untuk menekan biaya manajemen lahan pangan dan menjaga keberlanjutan pertanian lahan pangan. Tabel 3 Pola ruang Kabupaten Gowa Luas (Ha)
Pola Ruang
Hutan Konservasi Hutan Lindung
30,497.88
Hutan Produksi Terbatas
20,274.51
Hutan Produksi Tetap
23,115.01
Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi
Kabupaten Gowa merupakan salah satu kabupaten yang berfungsi sebagai penyanggah Kota Makassar, dengan demikian akan mengalami dinamikan perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sehingga perlu menata secara ketat pemanfaatan penggunaan lahan untuk mencegah terjadinya degradasi, alih fungsi lahan dan fragmentasi lahan pertanian yang dapat mengancam daya dukung lahan pada masa yang akan datang. Perencanaan pemanfaatan ruang dalam jangka waktu 20 tahun kedepan dituangkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diatur dalam UU. No. 26 Tahun 2007 pasal 26 ayat 4. Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gowa Tahun 2012-2031 dimana wajah dan potret Gowa dalam 20 tahun ke depan dapat dilihat dan tergambarkan dari apa yang tercermin dari Perda RTRW. Tabel 4.18 menunjukkan gambaran kelas pola ruang Kabupaten Gowa. Pola ruang untuk lahan pertanian secara umum (Agroforestry, Hortikultura, Perkebunan, Pertanian lahan kering, dan Pertanian lahan basah) luasnya sebesar 84.737 Ha. Khusus untuk alokasi Pertanian lahan basah sebesar 33.726 Ha. Jika poryeksi ke depan selama 20 tahun alokasi pemanfaatan lahan untuk tanaman pangan padi sawah merujuk pada alokasi pertanian lahan basah, maka ke depan Kabupaten Gowa memiliki lahan potensial yang mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini tercermin dari luas IKL dengan
309.76
Kawasan Budidaya Agroforestry
8,996.61
Kawasan Budidaya Hortikultura
12,073.11
Kawasan Budidaya Perikanan Gambar 5 Kategorisasi nilai Compromise Programming (p=1)
4,155.39
3.77
Kawasan Budidaya Perkebunan
13,073.15
Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Basah Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering Kawasan Industri
33,725.86
Kawasan Pendidikan Kawasan Perairan Kawasan Permukiman TPA
16,867.98 44.79 158.61 4,002.15 12,606.14 169.89
Grand Total
180,074.61
Sumber: RTRW Kabupaten Gowa Tahun 2012 Gambar 6 memberikan ilustrasi bagaimana pola penyebaran IKL dengan pola ruang di overlay dengan peruntukan pertanian lahan basah. Garis berwarna hijau merupakan kawasan dengan IKL tinggi untuk pertanian padi sawah dan merupakan kawasan yang direncanakan sebagai peruntukan pertanian lahan basah, sedangkan garis berwarna biru adalah kawasan peruntukan pertanian lahan basah dengan nilai IKL rendah, meskipun terdapat beberapa spot-spot yang memiliki nilai IKL tinggi. Dengan demikian prioritas utama dalam pengembangan pertanian padi sawah diarahkan pada kawasan yang berada dalam garis hijau, yaitu: Kecamatan Bontonompo, Bontonompo Selatan, Bajeng, Bajeng Barat, Bonto Marannu, Pallangga, Barombong, Somba Opu, dan Patalassang.
180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
Daftar Pustaka
Gambar 6 Overlay Pola ruang dengan IKL Gambar 6 menggunakan data IKL hasil perhitungan GDSS kemudian proses overlay dengan data vektor pola ruang dilakukan menggunakan software ArcGIS. Pada penelitian ini, GDSS yang dihasilkan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan overlay antara data raster dengan dengan data vektor. 4.
Kesimpulan
Implikasi GDSS terhadap pengembangan lahan di Kabupaten Gowa memberikan gambaran sebaran potensi lahan Sawah yang belum digarap sebesar 6.569 Ha, dan jika melibatkan parameter non biofisik masih terdapat 1.092 Ha lahan potensil. Sedangkan untuk perencanaan 20 tahun kedepan berdasarkan RTRW, GDSS menunjukkan bahwa masih terdapat 10.306 Ha lahan potensil, dan jika melibatkan data non biofisik masih terdapat 4.829 Ha lahan potensil. Acknowledgements Cikal bakal pengembangan SDSS ini adalah otomatisasi evaluasi kesesuaian lahan berbasis vector yang mulai dibangun sejak 9 tahun yang lalu. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam mengembangkan SDSS ini. Terimakasih kepada DP2M DIKTI (melalui penelitian HIBAH KOMPETENSI), Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan (melalui kerjasama pengembangan SIMTARU), Pusat Pengembangan Regional dan Informasi Spasial (WITARIS), Universitas Hasanuddin, dalam menyediakan data, dana, dan fasilitas lain yang mendukung penelitian ini.
Arif, S., Suriamihardja, D. A., Baja, S., Zubair, H., 2015. A Spatial Decision Support System of Land Management in Maros, The Journal of Information Enggineering and Applications, IISTE, Vol.5, No.7: 45-51. Baja, S., 2012. Metode Analitik Evaluasi Sumber Daya Lahan - Aplikasi GIS, Fuzzy Set, dan MCDM. Makassar: Identitas Universitas Hasanuddin. Baja, S., 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Wilayah Pengembangan Wilayah, Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Makassar: ANDI Yogyakarta. Burrough, P. A., MacMillan, R. A., and van Deursen, W., 1992. Fuzzy classification methods for determining land suitability from soil profile observations and topography. Journal of Soil Science, 43:193-210. Chakroun, H., 2005. Improving Spatial Decision Support Systems Methodological Developments For Natural Resources And Land Management. Applied Gis, Volume 1, Number 1, Monash University Express. FAO., 1976. A Framework for land evaluation. Rome: Food and Agriculture Organitation of th United Nations. FAO., 2012. FAO Statistical Year Book 2012. Rome: Food and Agriculrure Organization of The United Nations. Gao, S. Sundaram, D., and Paynter. J., 2004. Flexible Support for Spatial Decision-Making. Proceedings of the 37th Hawaii International Conference on System Sciences. Goel, R.K., 1999. Suggested framework (along with prototype) for realizing spatial decision support system (SDSS). Paper presented at Map India1999 Natural Resources Information System Conference, New Delhi, India. Johnson, A. A., 1991. Development of a simulation based land evaluation system using crop modeling, expert system and risk analysis. Soil Use and Management, 7:239-246. Keenan, P.B., 2006. Spatial decision support system: a coming of age. Control and Cybermatics 35(1): 9-27. Liu, X.H., Skidmore, A.K., Oosten, H.V., 2002. Integration of classification methods for improvement of land-cover map accuracy. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 56 (2002) 257 – 268. Malczewski, J., 1999. GIS and Multicriteria Decision Analysis..New York: John Wiley & Sons. Malczewski, J., and Jackson, M., 2000. Multicriteria spatial allocation of educational resources: An
181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
overview, Socio-Economic Planning Sciences 34(3):219-235. Mather, P. M., 1999. Computer Processing of RemotelySensed Images: An Introduction, Second Edition, John Wiley & Sons, Chichester. Parkash T., 2003. Land suitability analysis for agricultural crops: A fuzzy Multicriteria Decision Making Approach. Published Msc thesis. Pertanian, D., 2008. Pusat Basis Data Pertanian Departeman Pertanian Republik Indonesia. http://www.deptan.go.id/ tampil.php?page= inf_ basisdata. Prumal, K., Bhaskaran, R., 2010. Supervised Classification Performance of Multispectral Images. Journal of Computing 2:124-129. Wai, K. S., 2005. Expert System in Real World Applications. Retrieved April 15, 2012, from Generation 5: http://www.generation5.com/ Wang, Y.M., Chin, K.S., 2010. Fuzzy analytic hierarchy process: A logarithmic fuzzy preference programming methodology. International Journal of Approximate Reasoning 52 (2011) 541–553
182
PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOFISIKA 2016 Optimalisasi Geosains Dalam Era MEA Makassar, 6 Agustus 2016
183