,fi[ruililililil [[lllilll
PROsIDIN6 INTERNASIONAL PR,OGRAAA ,IAAoISTER PENDIDIKAN BAHA5A DAN sAsTRA INDONESIA UNIVER5ITA5 AAUHAAA'IAADIYAH'IAAKASSAR KUAAPULAN AAAKALAH 5EAAINAR
Penanggung Jawab Direkt tn
P asc as
arj ana
universit
as
Muhammadiyah Makas s ar
Ketua program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar Ketua program Strata Satu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar
Pimpinan Redaksi Dr. Andi Sukri SYamsuri, M.Hum. Sekertaris Redaksi Dr. Sitti Aida Azis, M.Pd.
Pelaksana Redaksi AzizThaba, S.Pd. Muhammad Dahlan, S.Pd.
Penyunting Dr. Abd. Rahman Rahim, M'Hum. Dr. Mtnirah, M.Pd.
Alamat Penerbit/Redaksi Jl. Sultan Alauddin No. 259 Telp. 041 I - 8669721085298040152 Fax. 04 1 I - 865 5 8 8 E-mail : azizthabiy ahoo' co' id
PRAKATA Pimpinan Universitas Muhammadiyah Makassar, mengucapkan "Selamat
dan Sukses" atas terselenggaranya Seminar Intemasional Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi Universitas Muhammadiyah Makasar, 23 Oktober 2014,yang mengusung tema'Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Penghela Dunia Pendidikan".
Tulisan dalam prosiding keberadaarurya dalam men)rusun
ini
mengwaikan EYD sangat penting
karya ilmiah Menulis melibatkan faktor
psikologis, linguistik, dan kognitif Pemanfaatan metode
field trip
dalam
meningkatkan kemampuan menulis Pendekat an kontekstual dalam pembelaj aran
menulis. Bahasa Indonesia memiliki kemampuan dalam menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan
kepada nilai-nilai sosiokultural antara latar belakang bahasa etnik Kemandirian bahasa Indonesia. Peranan bahasa indonesia dalam pendidikan dan impbmentasi
kurikulum 2013. Aplikasi problem- bosed learning dalam pembelajaran drama Stelistika salah satu metode bedah sastra.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Disampaikan
bahwa "Bahasa Indonesia perlu lebih dimantapkan. Ilpaya pencendekiaan bahasa Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, terlebih kepada pembaca
Kurikulum 2013 telah menempatkan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan (carrier of lmowledge). Selain itu, peningkatan sikap positif pemilik dan pengguna Bahasa Indonesia perlu dilakukan".
Makassar, 23 Oktober 2014
Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar
Dr. H. kwan Akib, M.Pd.
BAHASA INDONESIA PENGHELA ILMU PENGETAHUAN DAN UPAYA PENCENDEKIAANNYA1 Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.2 Universitas Sebelas Maret Abstrak Bahasa memiliki peran yang sentral dalam kehidupan. Selain sebagai produk kebudayaan, bahasa memiliki peran penting sebagai wadah kebudayaan dan sekaligus sebagai pengembang dan penyebarluasan produk budaya. Peran penting bahasa dalam berbagai segi kehidupan tersebut juga dimiliki Bahasa Indonesia. Eksistensi dan peran BI dalam pelaksanaan dan pemajuan pembangunan terus-menerus diperkuat, yang antara lain dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pemuliaan secara politik dan hukum terhadap Bahasa Indonesia perlu lebih dimantapkan. Upaya pencendekiaan bahasa Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, terlebih Kurikulum 2013 telah menempatkan Bahasa Indonesia sebagai pengehela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge). Selain itu, peningkatan sikap positif pemilik dan pengguna Bahasa Indonesia perlu dilakukan. Kata-kata kunci: bahasa Indonesia, pengela ilmu, kesiapan, pencendekiaan A. Pendahuluan Bahasa memiliki peran yang sentral dalam kehidupan. Selain sebagai produk kebudayaan, bahasa memiliki peran penting sebagai wadah kebudayaan dan sekaligus sebagai pengembang dan penyebarluasan produk budaya. Tanpa bahasa tidak ada kreativitas manusia dan karenanya kebudayaan dan peradaban manusia tidak berkembang dan beroleh kemajuan. Dalam relasi dan transaksi antarmanusia, bahasa memiliki peran penting sebagai wahana untuk menyebarluarkan pengetahuan dari seseorang kepada orangMakalah dipresentasikan pada Seminar Internasional dengan tema “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Penghela di Duni Pendidikan “yang diselenggarakan Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi Universitas Muhammadiyah Makasar, 23 Oktober 2014. 2 Guru Besar pada FKIP dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 1
131
orang lain. Penerima akan memahami dan menyerap pengetahuan yang disebarkan tersebut, bila menguasai bahasa yang dipergunakan dengan baik, dan demikian pula berlaku untuk pengirim. Kekurangpahaman bahasa akan menyebabkan terjadinya distorsi dalam proses pemahaman terhadap pengetahuan. Peran penting bahasa dalam berbagai segi kehidupan tersebut juga dimiliki Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia (BI) telah berhasil mengukuhkan kesejatian identitas Indonesia karena BI tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah pergerakan kebangsaan dan kesadaran nasional Indonesia. Dalam konteks sejarah pergerakan nasional, BI telah berhasil membuktikan dirinya sebagai identitas politik dan sekaligus memiliki peran politik yang sangat besar. BI merupakan wahana pemersatu bangsa, menumbuhkan semangat nasionalisme, dan menjadi media komunikasi utama bagi tokoh pergerakan nasional dan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya, Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, BI terus memainkan peran pentingya. BI mampu berperan sebagai sarana komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, dan sosial-budaya), ekspresi berkesenian, sarana pendidikan dan pengajaran, serta sarana pengembangan ilmu dan teknologi (Suwandi, 2004: 230). Nyata sekali bagi kita bahwa BI sebagai suatu hasil perkembangan perikehidupan berbudaya dan berbangsa Indonesia. Eksistensi dan peran BI dalam pelaksanaan dan pemajuan pembangunan terus-menerus diperkuat. Hal itu terbukti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 1 (2) UU tersebut menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
132
Indonesia. Dalam Bab III tentang Bahasa Negara, undang-undang tersebut mengatur dengan rinci mengenai fungsi dan penggunaan; pengembangan, pembinaan, dan pelindungan; serta upaya menginternasionalisasi BI. Dengan adanya undang-undang tersebut, BI tidak hanya memperoleh pemuliaan secara politik dalam tata negara Indonesia, tetapi juga perlindungan hukum dalam kehidupan berbahasa oleh bangsa Indonesia. Pemuliaan secara politik dan hukum terhadap BI perlu lebih dimantapkan. Ikhtiar sungguh-sungguh harus dilakukan seluruh pemangku kepentingan agar Bahasa Indonesia benar-benar bisa menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri serta mampu menunaikan fungsi dan perannya secara baik dalam kehidupan berbangsa, berbudaya, dan bermasyarakat. Seturut dengan itu, Kurikulum 2013 menempatkan BI sebagai pengehela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge) dan konsekuensinya tentu BI sebagai pengela mata pelajaran lain. Oleh karena itu, BI harus berada di depan semua mata pelajaran lain. Hal yang perlu segera direfleksikan adalah kesanggupan BI dalam mewadahi keberagaman konsep pengetahuan, baik konsep yang berakar pada kearifan lokal di Indonesia maupun konsep peradaban baru yang bersifat global. Pertanyaan yang segera diajukan adalah seberapa jauh kesiapan BI menjadi sarana komunikasi efektif untuk berbagai ranah kehidupan; khususnya dalam upaya menyebarluarkan produk ilmu pengetahuan? Bertalian dengannya, apakah BI kaya istilah sebagai ciri penanda utama imu pengetahuan dan teknologi? Bagaimanakah pencendekiaan Bangsa dan Bahasa Indonesia? Bagaimanakah sikap pemilik dan pemakai BI Indonesia terhadap BI? Makalah ini berupaya menjelaskan beberapa pertanyaan tersebut.
B. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan Dengan mencermati sejarah perkembangan BI, kita bisa menyatakan bahwa BI setakat ini mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat, bukan saja pada aspek kebahasaannya (makin mantapnya kaidah tata bahasa dan luasnya kosa kata),
133
tetapi juga pada aspek kemantapan fungsi yang diembannya. Pemakaian BI sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi antarwarga di seluruh nusantara, (2) pemakaian BI dalam dunia pendidikan, (4) pemakaian BI dalam bidang kesusastraan, dan (4) pemakaiannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan merupakan beberapa contoh kemantapan fungsi bahasa Indonesia. BI sebagai bahasa ilmu pengetahuan (dan tentu teknologi)—yang lazim dengan akronim IPTEK—merupakan suatu keniscayaan. BI telah mampu menjalankan fungsinya dalam membangun wacana keilmuan. Telah banyak karya ilmiah, baik berupa ulasan kritis maupun hasil penelitian, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah yang dipresentasikan dalam berbagai foum ilmiah, dan artikel yang didesiminasikan dalam berbagai jurnal ilmiah ditulis dalam BI. Moeliono (1985: 65) menyatakan bahwa fungsi bahasa keilmuan dan keteknologian mensyaratkan langgam dan kosakata khusus. Ada hubungan timbal balik antara kemajuan ilmu dan kemampuan bahasa yang harus merekam kemajuan itu, menjelaskannya, dan menyampaikannya kepada pihak yang lain. Masyarakat yang tidak mampu merangsang pengembangan ilmu tidak dapat berharap memiliki keilmuan. Ciri bahasa baku yang mendasari bahasa keilmuan beranggapan bahwa ciri yang menonjol ialah kecendekiannya. Pencendekiaan atau pemerasioan bahasa dapat diartikan penyesuaiannya sehingga bahasa itu mampu membentuk pernyataan yang tepat, saksama, dan abstrak. Bentuk kalimatnya mencerminkan ketelitian penalaran (ilmiah) yang objektif sehingga susu-suku kalimatnya mirip dengan proposisi logika. Hubungan logis itu terungkap oleh berjenis kalimat majemuk yang mempernyatakan kesinambungan pikiran yang bersusun-susun. Tata hubungan yang meliputi relasi sebab dan akibat, lantaran dan tujuan, kesejajaran atau paralelisme, kemungkinan (possibility), kementakan (probability), dan keperluan (necessity) dieksplisitkan oleh struktur kalimat yang memiliki hierarki superordinasi dan subordinasi di samping hubungan yang terpadu di dalam koordinasi.
134
Bahasa keilmuan dari jurusan leksikon memerlukan satuan leksikal (1) yang tidak mengandung ketaksaan atau ambiguitas, (2) yang dapat menegaskan pemerincian konsep, dan (3) yang dapat melambangkan konsep yang abstrak dan generik. Bahasa keilmuwan mengutamakan informasi dan bukan imajinasi. Sejalan dengan pandangan di atas, bahasa keilmuan, menurut Asmah Haji Omar (dalam Ghani, 2013: 2), dicirikan atas beberapa hal, yakni sistem bahasa, struktur bahasa, gaya dan modus penggunaan, serta kosa kata dan peristilahan. Sistem bahasa merujuk pada ciri kelenturan sebagai alat untuk mengungkap dan mewacanakan berbagai-bagai bidang ilmu. Bahasa keilmuan—yang dalam konteks pembahasan ini dipandang sama dengan bahasa ilmu pengetahuan—merujuk pula pada konsep bahasa cendekia. Bahasa cedekia adalah bahasa yang berkemampuan membentuk pernyataan yang tepat dan saksama sehingga gagasan yang disampaikan dapat diterima secara tepat oleh pendengar atau pembaca. Dinyatakan oleh Zabadi (2013: 2) bahwa bahasa cendekia bukan berarti bahasa yang keluar dari mulut kaum cendekia, tetapi bahasa yang taat pada kaidah dan tidak bias dalam pemaknaannya. Kecendekiaan bahasa bertemali juga dengan keilmiahan bahasa yang digunakan orang itu, misalnya bahasa yang digunakan harus lugas dan jelas serta menghindari kesamaran dan ketaksaan dalam pengungkapan.
C. Kesiapan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan Jika ditilik dari kekayaan kata (kosakata), kaidah bahasa, jumlah penutur, serta ketersediaan pedoman dan regulasi dapatlah dikatakan bahasa Indonesia telah memiliki kesiapan dan “kemantapan” sebagai bahasa ilmu. BI telah terbukti mampu dijadikan wahana mengungkapkan pikiran keilmuan dan mengkonsrruk dan menyebarluarkan hasil-hasil pemikiran ilmiah. Dalam hal kosakata, penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan penyempurnaannya secara berkala sebagai upaya kodifikasi bahasa yang menjadi
135
bagian dari pembakuan bahasa Indonesia dilakukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (yang selanjutnya disebut Pusat Bahasa dan sekarang disebut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). Kamus besar adalah kamus yang memuat kekayaan suatu bahasa sampai pada waktu tertentu, yang disusun dalam bentuk lema atau entri, lengkap dengan segala nuansa maknanya. Nuansa makna kata diuraikan dalam bentuk definisi, contoh, sinonim, atau parafrasa disertai dengan label pemakaian kata dan maknanya. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu dan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangannya diperkaya dari kosakata bahasa daerah dan bahasa asing—menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (KBBI Edisi Keempat) (2008)—telah memiliki 90.000 lema. Pada edisi keempat ini KBBI diperkaya kosakata yang berasal dari kamus istilah. Perkembangan ini begitu pesat jika dibandingkan dengan edisi-edisi sebelumnya. KBBI Edisi Kesatu yang terbit tahun 1988 —yang datanya berasal dari berbagai sumber, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Modern Bahasa Indonesia Sutan Mohamad Zain, Kamus Indonesia E. St. Harahap, kamus bidang ilmu, buku pelajaran, dan berbagai media massa cetak— memuat 62.100 lema, tiga tahun kemudian terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (1991) yang memuat sekitar 72.000 lema, dan sepuluh tahun kemudian baru terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2001) yang memuat sekitar 78.000 lema. Suatu perkembangan yang sangat siginifikan bahwa dalam dua dekade ada penambahan hampir 30.000 lema. Di samping penambahan entri dan subentri baru, sebuah revisi kamus juga terdapat perkembangan makna. Oleh karena itu, sebuah entri yang pada edisi sebelumnya memiliki dua makna, boleh jadi pada edisi revisi entri tersebut mengalami tiga atau bahkan empat makna. Teknik penyusunannya pun dapat berbeda. Dijelaskan oleh Qotratillah (2009) bahwa dalam penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat sublema tidak lagi berdasarkan abjad, tetapi berdasarkan paradigma, misalnya lema tinju pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
136
edisi sebelumnya, sublema bertinju diletakkan setelah lema pokok tinju karena mendapat awalan ber- yang berabjad pada urutan paling atas, kemudian diikuti sublema meninju, tinju-meninju, pertinjuan, petinju, dan peninju. Dengan penyusunan sublema berdasarkan paradigma pembentukan kata, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat ini urutan sublemanya menjadi meninju, peninju, peninjuan, tinjuan, bertinju, dan petinju. Dapat dijelaskan bahwa pelaku yang meninju disebut peninju, proses atau perbuatan meninju disebut peninjuan, dan hasilnya disebut tinjuan. Sementara itu, 387.983 kosakata asing yang sudah ada padanannya dalam BI tersebar dalam berbagai bidang ilmu dan sudah dibakukan dan diterbitkan dalam bentuk senarai dan kamus bidang ilmu. Menurut Zabadi (2013: 6), untuk memudahkan penggunaan bahasa, 184.479 kata dan istilah yang dipadankan itu sudah disusun dalam bentuk glosarium cakram pada (compact disk). Padanan kosakata dan istilah yang paling banyak terdapat di bidang kedokteran, kemudian bidang biologi, fisika, kimia, matematika. Hal itu mengindikasikan bahwa bidang ilmu dasar memiliki padanan kosakata dan istilah yang lebih banyak dibandingkan dengan bidang-bidang imu lain. Bertalian erat dengan upaya pengembangan atau pemerkayaan kosakata dan istilah telah pula disusun Pedoman Pembentukan Istilah atau PUPI (1975). Seiring masuknya kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia karena masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong penyempurnaan PUPI (edisi kedua 1989 dan edisi ketiga 2005). Paradigma yang dianut pada PUPI edisi ketiga adalah bahwa ketiga kelompok bahasa—bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing—yang menjadi sumber pencarian istilah baru memiliki peluang yang sama menjadi kosakata BI. Prinsip dasar yang tidak boleh dilanggar adalah kata yang menjadi sumber itu harus memiliki ketepatan makna, singkat, dan tidak berkonotasi negatif. Berkenaan dengan fenomena makin banyaknya pemakaian kata dan istilah oleh masyarakat untuk menamai tempat, usaha, atau hasil usaha, pemerintah menerbitkan buku Pedoman Pengindonesia Kata atau Ungkapan Asing. Buku
137
Pedoman tersebut bukan saja dijadikan acuan dalam mengindonesikan kata atau ungkapan asing, tetapi juga dapat menjadi sumber untuk mendapatkan istilah asing yang sudah diindonesikan. Namun demikian, harus diakui secara jujur upaya penerbitan Pedoman Pengindonesia Kata atau Ungkapan Asing belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Bahasa Indonesia telah pula memiliki sistem ejaan yang mapan, yakni dengan diberlakukannya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yang terkenal dengan EYD. Buku panduannya pun sudah diterbitkan dengan judul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan demikian, dari segi tata tulis bahasa Indonesia telah memiliki aturan yang baku. Sementara itu, gayut dengan pengembangan BI dari aspek kebahasaan, Pusat Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) tentu harus memiliki garis haluan yang jelas yang memungkinkan upaya pengembangan itu bisa berjalan secara berkesinambungan dan mencapai target yang ditentukan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—sebagai lembaga yang memiliki otoritas paling tinggi dalam menangani segala permasalahan kebahasaan di negeri ini—harus mampu memetakan segala permasalahan kebahasaan yang ada serta mengagendakan pemecahannya Salah satu hasil yang dapat kita lihat adalah tersusunnya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TB3I). Edisi perdana buku itu terbit pada saat bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-60 (28 Oktober 1988) dan pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia ke-5. Dikemukakan secara eksplisit oleh penyunting penyelianya bahwa TB3I ditujukan kepada orang awam yang terpelajar, yang karena pendidikannya ingin menyerasikan taraf pengetahuannya di bidang masing-masing dengan daya ungkapnya dalam BI yang apik dan terpelihara. Sejak diterbitkannya tahun 1988 TTB3I telah mengalami beberapa kali revisi. Untuk lebih memantapkan BI sebagai bahasa ilmu pengetahuan disusunlah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Namun demikian, yang memprihatinkan, alih-alih undang-
138
undang tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam praktik berbahasa Indonesia secara baik, tapi justru banyak ditemukan praktik berbahasa yang cenderung melanggar undang-undang tersebut. Pasal 28 yang menyatakan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato remi Presiden, Wakil Presiden, dan Pejabat Negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri” serta Pasal 32 (1) “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum nasional atau forum internasional di Indonesia” banyak dilanggar. Selain faktor internal bahasa, kesiapan BI sebagai bahasa ilmu juga dapat dulihat pada faktor eksternal bahasa. Seiring dengan makin banyaknya jumlah penduduk Indonesia (250 juta) dan menurut Ethnologue: Languages of the world (2009) bahasa Indonesia menempati peringkat ke-9 dengan jumlah penutur terbanyak dari sekitar 7358 bahasa, bahasa Indonesia dipandang makin memiliki kesiapan sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut Muh. Nuh—yang disampaikan pada saat membuka Kongres Bahasa Indonesia X—BI saat ini termasuk bahasa dengan jumlah penutur keempat terbesar di dunia dan dipelajari di 45 negara. Oleh karena itu, BI tidak hanya sekadar digunakan sebagai bahasa lokal, tetapi mampu berkiprah di dunia internasional dan memberikan masukan serta sinergi positif bagi kemajuan harkat dan martabat umat manusia di dunia. Berdasarkan kemantapan sstem bahasa dan kekayaan kata yang dimiliki, kita yakin BI mampu memerankan diri sebagai bahwa ilmu pengetahuan. Keyakinan bahwa BI dapat menjadi bahasa dunia dan bahasa cendekia juga dikemukakan Danzel Carr. Danzel Carr—sebagaimana dikutip Zabadi (2013: 4)—dalam tulisannya yang berjudul
“Some
Problem
Arising
from
Linguistic
Eleutheromania”
yang
dipublikasikan dala The Journal of Asian Studies Vol. XVII (2) February 1958 berpendapat, “English and the bahasa Indonesia are pre-eminently fitted to be world languages. Englis needs a good spelling system and Indonesia needs a generation or two adequate synonumic stabilization and differentiation. Iam willing to wager that Indonesian will achieve its part of this goal earlier”
139
Dalam pandangan Carr BI cocok menjadi bahasa dunia dan bahasa cendekia seperti halnya bahasa Inggris. Bahasa Inggris memerlukan suatu sistem ejaan yang baik, sedangkan BI membutuhkan satu atau dua generasi bagi pemantapan bentukbentuk sinonimnya.
D. Pencendekiaan Bangsa dan Bahasa Indonesia Kehendak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa internasional menuntut ikhtiar yang sungguh-sunguh agar masyakat dan bangsa Indonesia terlebih dahulu berilmu. Perlu ada upaya yang sistematis untuk mencendekiakan masyarakat dan bangsa Indonesia, menjadikan bangsa Indonesia yang bermartabat karena kamajuan ilmunya. Untuk itu, diperlukan perencanaan dan implementasi pendidikan secara baik. Upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas bertalian erat dengan pengembangan kurikulum. Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Richard (2001: 2), “curriculum development is more bcomprehensive than syllabus design. It includes the processes that are used to determine the needs of a group of learners, to develop aim and objectives for a program to address those needs, to determine an appropriate syllabus, course structure, teachings methods, and materials, and to carry out an evaluation of the language program that results from the processes. Selain pendidikan, strategi yang dipandang jitu untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa berilmu adalah memajukan kegiatan penelitian. Melalui penelitianlah akan banyak diproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi baru, pemikiran-pemikiran baru, model-model baru, dan produk-produk inovatif dalam bidang kebudayaan dan seni. Strategi lain yang penting untuk dijalankan adalah peningkatan minat dan budaya baca masyarakat Indonesia. Itu artinya bahwa perlu ditingkatkan budaya literasi. Menurut Suwandi (2014: 10), budaya literasi (tulis) sering dikontraskan
140
dengan budaya lisan (oral). Kedua budaya yang bersangkut paut dengan aktivitas berbahasa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan budaya lisan, adalah kemampuannya dalam mengomunikasikan aspek emotif dan sering hal-hal
abstrak yang sulit diungkapkan melalui
budaya literasi bisa
diungkapkan dengan lebih baik. Sementara itu, budaya literasi harus diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan karena bahasa ilmu lebih menekankan pada fungsi simbolik serta menekankan aspek presisi. Seturut dengan peningkatan budaya literasi tersebut, pembelajaran BI harus menekankan pada kemampuan siswa dalam mengekspresikan fungsi-fungsi bahasa. Menurut Richards, Platt, dan Waber (1985: 115-116), bahasa memiliki tiga fungsi utama, yaitu (1) fungsi deskriptif, fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi faktual, (2) fungsi ekspresif, fungsi bahasa untuk memberi informasi mengenai pembicara itu sendiri, mengenai perasaan-perasaannya, kesenangannya, dan pengalaman-pengalamannya yang telah lewat, dan (3) fungsi sosial, fungsi bahasa untuk melestarikan hubungan-hubungan sosial antarmanusia. Tatkala bangsa Indonesia telah maju, yang ditunjukkan kemampuannya dalam menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa-bangsa lain akan tertarik untuk mempelajari dan berupaya memperoleh ilmu dan teknologi tersebut. Dalam hal kemajuan ilmu dan teknologi itu dikemas dan disajikan dalam bahasa Indonesia, maka orang dan bangsa lain sudah tentu akan berusaha mempelajari bahasa Indonesia. Sementara itu, hal penting yang perlu dilakukan agar BI mampu menjadi wahana komunikasi yang efektif—khususnya sebagai wahana ilmu pengetahuan— adalah pencendekiaan dan pemerkayaan bahasa tersebut. Untuk itu, upaya peningkatan mutu rancang bangunnya atau tingkat kebakuan kaidahnya serta pemekaran kosakatanya perlu terus dilaksanakan. Sedyawati (1993: 45) berpendapat bahwa sebagai salah satu sarana pembinaan jati diri bangsa, BI senantiasa perlu dirawat (dikembangkan). Pengembangan itu meliputi dua aspek yang perlu berjalan seimbang. Aspek pertama adalah kebahasaan
141
yang meliputi ketatabahasaan maupun kosa kata. Perwujudan nyata dari penanganan sisi kebahasaan ini adalah kajian-kajian linguistik beserta penggunaannya. Bahasa adalah suatu sistem tanda. Di dalam penggunaan sistem itu bisa terdapat perbedaan antara modus yang tepat dan salah. Di antara keduanya terdapat modus yang menyimpang, yang apabila menjadi kebiasaan dapat menjadi suatu penanda ragam bahasa yang khusus. Aspek kedua adalah kesusastraan. Pada sisi ini, pokok pandang yang dipentingkan adalah bagaimana sistem tanda itu dimanipulasi dan dipergunakan sebagai media ekspresi. Pencendekian—yang oleh Moeliono (1985: 114) juga pemodernan—bahasa mencakup usaha menjadikan bahasa itu bertaraf sederajat secara fungsional dengan bahasa-bahasa lain yang lazim disebut sebagai bahasa terkembang yang sudah mantap. Pencendekiaan juga dapat dianggap proses penyertaan jadi warga keluarga bahasa di dunia yang memungkinkan penerjemahan timbal balik (keantarterjemahan) di dalam beragam jenis wacana. Pencedikaan juga dapat diartikan pemutakhiran bahasa sehingga serasi dengan keperluan komunikasi dewasa ini di berbagai bidang kehidupan seperti industri, perniagaan, teknologi, dan pendidikan lanjut. Ilmu dan teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Untuk itu, upaya pendekiaan (yang oleh Alisyahbana disebut engineering) bahasa tidak dapat mengabaikan aspek pengembangan itu. Pencendekiaan bahasa menyangkut dua aspek, yakni pemekaran kosakatanya dan (2) pengembangan jumlah laras (register)-nya dan bentuk-bentuk wacananya. Pemekaran kosakata diperlukan untuk memungkinkan pelambangan kosep dan kehidupan modern. Cakrawala sosial budaya yang meluas melampaui batas-batas perikehidupan yang tertutup menimbulkan keperluan adanya kata, istilah. Pemekaran kosakata bertalian dengan dua usaha, yaitu (1) masalah sumber bagi unsur leksikal yang baru dan (2) bertaliaan dengan cara membentuk unsur yang baru itu dan memadukannya dengan kata yang sudah ada. Menurut Moeliono (1985: 116-118), sumber pemerkayaan kosakata mencakupi (1) bahasa itu sendiri, (2) bahasa serumpun, dan (3) bahasa asing.
142
Sumber pemekaran pertama adalah bahasa sendiri. Pemekaran dapat dilakukan dengan cara memilih kata dalam bahasa itu dan memberinya makna yang baru lewat proses perluasan atau penyempitan makna asalnya. Dapat pula dipertimbangkan penghidupan kembali unsur leksikal lama yang dapat diaktifkan lagi dengan maknanya yang sama, atau dengan makna baru lewat proses perluasan atau penyempitan tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: pemerhati, tolok, dan pelanggan (customor). Pemekaran kosakata dapat melalui proses pemajemukan yang mengambil unsur-unsurnya dari leksikon yang sudah ada. Misalnya, angkatan bersenjata, mesin hitung tangan. Selain itu, pemekaran kosakata dapat dilakukan melalui penciptaan bentu baru lewat proses penamaan baru atau lewat proses pengakroniman. Contohnya ialah sinambung, nirakasara, dan berdikari. Sumber
pemekaran
kosakata
kedua
ialah
bahasa
serumpun
yang
pemakaiannya berdampingan dengan bahasa yang bersangkutan. Pemungutan unsur leksikal dari dari bahasa serumpun memiliki maslahat kemiripan dalam struktur fonologi dan morfologi. Keuntungan yang lain ialah kemiripan yang terdapat di dalam struktur semantiknya sehingga medan makna unsur leksikal yang dipungut itu mudah diserasikan. Bahasa serumpun dengan jumlah penutur yang tergolong besar merupakan sumber yang kaya. Berikut contoh pemungutan dari bahasa serumpun: godok, gembleng, dan wejangan. Sumber ketiga perluasan kosakata adalah bahasa asing. Menurut Moeilono (1985: 118), dua bahasa Eropa barat yang berfungsi sebagai sumber pungutan, dan yang mengubah corak kosakata bahasa Indonesia secara nyata dewasa ini ialah Bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Jika ditinjau dari taraf penyerapannya ke dalam tubuh BI, bentuk pungutan itu ada yang dijadikan unsur kosakata asing yang terdapat di dalam kosakata umum dan ada yang dimasukkan langsung sebagai unsur baru kosakata umum. Golongan yang pertama ini meliputi bentuk yang melambangkan barang atau paham yang sangat baru bagi masyarakat dan penulisannya dengan cetak miring. Golongan pungutan kedua dapat dipernci menjadi tiga kelompok, yaitu (1) unsur pungutan yang mengalami
143
penyesuaian bentuk fonologi atau ejaannya (missal, kata sistem dan analisis); (2) unsur pungutan yang mengalami proses penghibridan atau pungutan yang sebagiannya terdiri atas unsur asing dan sebagiannya lagi berupa unsur Indonesia (misal, swalayan dari self-service dan praanggapan dari presupposition); dan (3) unsur
pengutan
yang
merupakan
hasil
penerjemahan
(missal,
menggarisbawahi/onderstrepen dan suku cadang/spare part). Sementara itu, agar BI dapat digunakan untuk menuangkan pikiran cendekia perlu dilakukan pemberdayaan kosakata yang sudah ada dan mengindonesikan kosakata asing yang belum ada dalam BI (Zabadi, 2013: 8),. Kecendekian kosakata BI, misalnya dalam dilihat pada kosakata dalam ranah makna kemarahan, yaitu marah, dongkol, jengkel, kesal, sebal, kalap, keki, pitam, mangkel, gondok. Berdasarkan analisis komponen, kesepuluh kata itu dapat dikelompokkan menjadi (a) marah I yang mencakup kata dongkol, sebal, kesal, gondok, jengkel, dan mangkel (berhubungan dengan perasaan amarah yang ditahan dalam hati) dan (b) marah II yang mencakup kata kalap, berang, dan bengis (berkaitan dengan perasaan marah yang biasanya diikuti perbuatan). Contoh kecendekiaan kosa kata BI juga tampak pada kata membawa, memanggul, menjinjing, menggendong, menyandang, menenteng, dsb. Pemberdayaan kosakata BI antara lain juga tampak pada pemakaian kata uji lyak-patut untuk menggantikan fit and proper test, pemangku kepentingan untuk mengantikan stakeholder, taklimat untuk menggantikan breafing, gelar wicara untuk menggantikan talk show, sulih suara untuk dubbing, laman untuk home page, unduh untuk download, daring (dalam jarring) untuk online, pos-el untuk e-mail, memindai untuk scan, pemindaian untuk scaning, canggih untuk sophisticated, dan perusahaan induk untuk holding company. Sebagai bahasa yang dinamis, BI membutuhkan kata atau istilah untuk mengungkapkan konsep-konsep yang belum ada di dalam BI. Pemadanan kata atau istilah asing ke dalam BI dapat dilakukan melalui penerjemahan, penyerapan, atau gabungan dari keduanya. Berikut ini adalah contoh-contoh penerjemahan: kawasan
144
berikat untuk bonded zone, swalayan untuk supermarket (penerjemahan); sintas untuk survive, jasa boga untuk chatering (penerjemahan dengan perekaan atau invention). Penyerapan kata atau istilah asing ke dalam Bi dapat dilakukan melalui (1) penyesuaian ejaan dan lafal (misalnya, camera dan microfon menjadi kamera dan mikrofon), (2) dengan penyesuaian ejaan, tanpa penyesuaian lafal (misalnya, fail); (3) tanpa penyesuaian ejaan, tapi lafal disesuaikan (misalnya, bias); dan (4) dengan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal atau penyerapan utuh (misalnya, devide et imper, dulce et utile, dan daesprit de corps, yang ditulis miring dalam BI). Pentingnya keterbukaan BI menerima pengaruh bahasa asing (khususnya dalam pemerkayaan kosakata) bahkan telah lama disadari oleh para tokoh pejuang kita. Sebelum pelaksanaan Kongres bahasa I tahun 1938 di Solo dilaksanakan, tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara telah menegaskan, “Janganlah terlampau menganjur-anjurkan kemurnian bahasa (purisme) karena tak ada bahasa yang dapat maju, bila senantiasa berdiri tersendiri (geisoleerd), dan tak ada bahasa yang terus murni. Ingatlah bahwa Bahasa Jawa itu sudah penuh dengan bahasa-bahasa lain (Arab, Sansekerta), bahkan itulah yang menimbulkan kemajuan (Dewantara, 2013: 525). Ditegaskan pula oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa semua bahasa asing yang perlu untuk memperkaya atau mengembangkan kebudayaan kita harus mendapat tempat yang tepat dan pasti di dalam susunan pengajaran kita, baik kelak untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang tertulis dalam bahasa asing maupun untuk meneruskan pelajaran-pelajaran di negeri-negeri asing itu (Dewantara, 2013: 531).
E. Peningkatan Sikap Positif Masyarakat terhadap Bahasa Indonesia Sungguh pun secara politik BI telah memperoleh pemuliaan, penggunaan BI oleh masyarakat masih memprihatinkan. Penggunaan BI berkembang ke arah yang kurang diharapkan—terutama dalam posisinya sebagai bahasa nasional. Penggunaan
145
BI secara baik dan benar makin kurang diperhatikan bahkan cenderung diremehkan. Bahasa-bahasa asing—khususnya bahasa Inggris—dan bahasa gaul justru lebih diminati. Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan upaya para pemuka bahasa dan cerdik pandai untuk mengusulkan diterimanya BI sebagai bahasa internasional. Untuk dapat mendukung BI sebagai penghela ilmu pengetahuan dan menjadi bahasa internasional, tentu saja perlu diciptakan sikap yang positif dari penutur BI. Sikap positif penutur terhadap BI tersebut ditandai dengan kesenangan orang Indonesia untuk menggunakan BI secara baik dan benar. Apabila penutur tersebut telah senang menggunakan BI secara baik dan benar, tentu saja mereka akan setia menggunakannya. Kesetiaan penutur menggunakan BI ini akan membangkitkan kebanggaan terhadap BI. Itulah yang disebut sebagai penutur yang memiliki sikap positif terhadap BI: kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggan bahasa (language pride) dan kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm). Upaya peningkatan sikap positif masyarakat terhadap BI sudah lama dikumandangkan para ahli dan pecinta BI. Hal itu sangat beralasan karena sebagian masyarakat—sebagaimana dikemukakan Moeliono (1993: 1)—bangga terhadap BI berdasarkan ciri ekstrinsiknya, tetapi tidak begitu bangga jika harus menilai ciri instrinsiknya. Kebanggaan orang terhadap BI bukan karena mutunya sebagai sistem komunikasi atau karena luas kosakatanya, ataupun karena keluwesannya dalam tata kalimat; kebanggaan orang terhadap BI lebih karena pertimbangan politik, demografi, dan ekonomi. Sikap sebagian masyarakat terhadap BI tersebut diduga disebabkan oleh persepsi yang mereka miliki bahwa BI tidak mampu menjadi bahasa modern. Jika dugaan itu benar, maka upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap BI perrlu dilakukan. Persepsi keliru tersebut perlu diluruskan. Sikap positif terhadap BI tentu tidak hanya bertalian dengan persepsi. Sikap— menurut pandangan kaum mentalis—tidak bersifat tunggal. Sikap memiliki beberapa komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif (Gagne, 1977: 234-237). Komponen pertama berhubungan dengan proses berpikir
146
atau komponen yang berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek sehingga melahirkan suatu kepercayaan atau keyakinan (belief); komponen kedua menyangkut masalah yang berhubungan dengan perasaan dan nilai rasa (misalnya rasa senang dan tidak senang, baik buruk, suka tidak suka, dan sebagainya) atau komponen yang berhubungan dengan keadaan emosional seseorang; dan komponen ketiga mengacu pada pada perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan reaktif terhadap sesuatu keadaan atau kecenderungan bertindak. Mengacu pada konsep sikap menurut teori mentalistik, Holmes (1992: 344) memandang sikap bahasa sebagai sikap yang merefleksikan penilaian terhadap bahasa, penutur bahasa, dan penggunaan bahasa. Jadi, sikap terhadap suatu bahasa atau terhadap ciri suatu bahasa atau terhadap bahasa sebagai penanda kelompok adalah contoh sikap bahasa. Pendidikan dipandang sebagai jalur penting penanaman sikap positif masyarakat—khususnya peserta didik—agar mereka memiliki rasa hormat, bangga, dan kesetiaan terhadap Bahasa Indonesia. Sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat menyemai dan menumbuhkembangkan sikap positif dan warga masyarakat terhadap bahasa Indonesia melalui penyelenggaraan pembelajaran bahasa yang efektif, pembelajaran yang menekankan pada sikap positif dan kemahiran berbahasa serta kemampuan apresiasi sastra. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang sangat strategis. Guru hendaknya mampu menjadi teladan dalam pemakaian bahasa, baik lisan maupun dalam bentuk tulisan. Untuk mewujudkan itu sudah tentu guru dituntut memiliki penguasaan bahasa yang luas dan mendalam. Penanaman sikap positif berkaitan erat dengan penegakan disiplin berbahasa. Kedisiplinan berkaitan dengan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Berkenaan dengan makin maraknya pemakaian bahasa asing di berbagai sector usaha yang cenderung melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, pemerintah (dan juga pemerintah daerah) perlu secara proaktif mengatasinya.
147
F. Penutup Bahasa Indonesia secara politik dan hokum telah memperoleh pemuliaan dengan titetapkannya bahasa Indonesia sebagai nasional dan bahasa resmi kenegaraan serta diundangkannya Undang-Undang No. No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Namun demikian, ikhtiar pencendekian BI agar mampu menjalankan fungsinya, khususnya sebagai penghela ilmu pengetahuan perlu terus-menerus dilakukan.
Pencendekiaan itu dilakukan
melalui pemekaran kosakatanya dan (2) pengembangan jumlah larasnya dan bentukbentuk wacananya. Sumber pemerkayaan kosakata mencakupi (1) BI sendiri, (2) bahasa serumpun, dan (3) bahasa asing. Selain pencendekiaan bahasa, penting pula dilakukan pencendekiaan bangsa melalui upaya mengefektifkan pelaksanaan pendidikan maupun melalui berbagai strategi budaya. Peningkatan budaya literasi masyarakat Indonesia merupakan pilihan yang sangat strategis. Penting pula disadari untuk dirancang dan dilaksanakan strategi yang efektif untuk meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap Bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1996. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Jakarta: Pusat Perbukuan. _________. 1989. Kamus Besar Bahasa Indinesia Edisi Pertama. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dewantara, Ki Hadjar. 2013. Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdekan I (Pendidikan). Cetakanke-5. Yogyakarta: Penerbiat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST-Press) bekerja sama dengan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Gagne, Robert M. 1977. The Condition of Learning. New York: Renehart and Winston Inc.
148
Ghani, Rusli Abdul. 2013. “Penguatan Bahasa melalui Pemerkayaan Bangsa Ilmu”, makalah dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X, Jakarta 28 - 31 Oktober 2013. Holmes, Jannet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Balitbang. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Penerbit Djambatan. _________. 1993. “Pengembangan Laras Bahasa dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern”. makalah dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta 28 Oktober – 2 November 1993. Qudrotillah, Meity Taqdir. 2009. “Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,” makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bedah KBBI IV, Salatiga 4-5 Juni 2009. Richards, Jack, John Platt, dan Heidi Waber. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. England: Longman. Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Suwandi, Sarwiji. 2003. “Pemantapan Peran Bahasa Kebangsaan sebagai Alat Kohesi Nasional”, dalam Khatarina Endriati Sukamto (ed.) Menabur Benih Menuai Kasih, Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. _________. 2014. “Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks dengan Pendekatan Saintifik dan Upaya Membangun Budaya Literasi,” makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia, IKIP PGRI Bojonegoro, 7 Juni 2014. Sedyawati, Edi. 1993. “Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Kebudayaan Nasional,” makalah dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VI, Jakarta, 28 Oktober-2 November 1993. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
149