ISSN:1978-4120 Volume 4, Nomor 1, Oktober 2016- Maret 2017
REDAKSI Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang Pemimpin Redaksi Miya Savitri, SPd.,M.Hum Dewan Redaksi Prof. Dr. Bambang Satriya, SH.,M.Hum Dr. Suciati, SH.,M.Hum Dr. Susianto, SH.,M.Hum.,CLA Dr. Joice Soraya, SH.,M.Hum Redaksi Pelaksana Ririen Ambarsari, SH.,M.Hum Faniko Andiyansyah, SH.,MKn Pancarini Soedjajat, SH.,MH Anindya Bidasari, SH.,MKn Sulthon Miladiyanto, SH.,MH Mitra Bebestari Prof. Dr. Koesno Adi, SH., MH Dr. Imam Kuswahyono, SH., M.Hum Dr. Jasim Hamidi, SH., MH Tata Usaha Rizal Mochtar Alamat Redaksi Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang Jl. S. Supriyadi 48 Malang Telp. (0341) 801488, Fax. (0341) 831532 e-mail:
[email protected] [email protected]
Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang yang terbit dua kali dalam satu tahun (April dan Oktober). Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement berisi tentang hasil penelitian, kajian dan aplikasi teori serta gagasan konseptual dari para pemerhati hukum dalam mengembangkan ilmu hukum dan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia hukum.
EDITORIAL Mengawali terbitan volume 4 Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement, redaksi mengucapkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas berkah dan rahmatNya. Redaksi juga menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu demi kelancaran terbitnya jurnal ini. Konsep awal Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement berisi tulisan-tulisan dari hasil penelitian, teoritis, review dan hasil pertemuan ilmiah dalam disiplin Ilmu Hukum. Artikel dalam Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement Volume 4 ini, redaksi tidak membatasi para penulis untuk memilih topik tulisannya, dapat berupa tulisan dari hasil penelitian, ulasan maupun kajian teoritis. Artikel dalam Volume 4 nomor 1 ini adalah: hukum untuk perumahsakitan berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia; optimalisasi pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil oleh birokrasi pemerintahan dalam perspektif hukum administrasi negara; implementasi peraturan daerah kota Malang nomor 4 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah kota Malang terhadap pembangunan ruko di atas ruang terbuka hijau; tinjauan aspek hukum pidana teknologi informasi di Indonesia (UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik); tinjauan yuridis terhadap peraturan penyelenggaraan reklame di kota Malang sebagai upaya penegakan hukum; kedudukan presiden: komparasi The Constitution of United States dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; arah pembangunan hukum nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia; kebebasan dalam kekuasaan peradilan pidana, legal policy terhadap yuridiksi cybercrime dalam perspektif hukum internasional; eksistensi Bawaslu dalam penegakkan pemilu Topik-topik yang cukup beragam dalam Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi atau kajian lebih lanjut. Selain itu, redaksi mengundang penulis serta pemerhati hukum untuk mengirimkan artikelnya dalam mengembangkan kemajuan dunia ilmu hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Semoga kehadiran Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement ini dapat berguna bagi kita semua. Redaksi menerima saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan Jurnal Ilmiah Hukum Law Enforcement.
Redaksi
ISSN:1978-4120 Volume 4, Nomor 1, Oktober 2016 - Maret 2017
DAFTAR ISI Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan Yang Berlaku Di Indonesia ......................................................................................................................... Nany Suryawati Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Oleh Birokrasi Pemerintahan Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara ................................. Rokiyah Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Terhadap Pembangunan Ruko Di Atas Ruang Terbuka Hijau ................................................................................................................. Ririen Ambarsari, Faniko Andiyansyah
1 – 10
11 – 22
23 – 30
Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia (UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik) ........................................ Widaningsih
31 – 44
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Penyelenggaraan Reklame Di Kota Malang Sebagai Upaya Penegakan Hukum ............................................................................. Iwan Permadi
45 – 56
Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States Dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ............................................ Riana Susmayanti
57– 66
Arah Pembangunan Hukum Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia .............................................................................................. Lusiana M. Tijow
67– 76
Kebebasan dalam Kekuasaan Peradilan Pidana ......................................................... Ibnu Subarkah
77– 84
Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime dalam Perspektif Hukum Internasional Galuh Kartiko
85 – 94
Eksistensi Bawaslu dalam Penegakan Pemilu ............................................................. M. Iwan Satriawan, Rokiyah
95 – 102
Nany Suryawati, Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan
1
HUKUM UNTUK PERUMAHSAKITAN BERDASARKAN PERATURAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Nany Suryawati1 e-mail:
[email protected] Abstrak Perkembangan dalam bidang pelayanan kesehatan memerlukan suatu wadah yang berbentuk Badan Hukum yang menggali dana secara langsung dari masyarakat, dan rumah sakit sebagai sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat dalam hal ini rumah sakit sebagai “rechtspersoon”, sehingga rumah sakit juga mempunyai hak dan dibebani kewajiban menurut hukum. Permasalahan yang timbul,pertama, bentuk Badan Hukum itu sudah tepat bagi suatu rumah sakit, karena rumah sakit memperkerjakan tenaga kerja bidang medis dan non medis, sehingga pendirian suatu rumah sakit dituangkan dalam bentuk Yayasan yang harus tunduk pada UndangUndang No 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Kebijakan (policy) ditentukan oleh pendiri yayasan yang merupakan organ yang mempunyai kewenangan tertinggi, di samping itu ada pengurus yayasan yang mempunyai kewajiban untuk menentukan kebijakan umum (policy) serta menentukan peran dan fungsi rumah sakit dalam hubungan hukum ke luar (ekstern) yang berkaitan mengenai perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Kedua, mengenai pertanggungjawaban rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, sehingga dengan menggunakan bentuk Badan Hukum Yayasan bagi rumah sakit, menimbulkan permasalahan karena direksi dan staf direksi bertanggungjawab secara langsung kepada pengurus yayasan, padahal direksi dan staf direksi ini terdiri dari tenaga kesehatan yang tergabung dalam ‘medical staff‘ yang secara fungsional menentukan peraturan-peraturan dan deskripsi tugas untuk staf tetap rumah sakit dan harus dipatuhi oleh anggota staf, di samping itu peraturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum dan kepentingan rumah sakit, tetapi sebaliknya justru untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Kata kunci: hukum perumahsakitan, Indonesia.
PENDAHULUAN Adanya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, memberikan peluang bagi pendirian suatu usaha di bidang kesehatan, karena keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya suatu wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan dipandang sebagai suatu benrtuk yang ideal untuk mewujudkan keinginan manusia dan membawa manfaat positif dari sisi kemanusiaan, karena yayasan tidak semata-mata mencari keuntungan (profit), sebagai lembaga nirlaba, berbeda dengan badan usaha atau badan hukum lainnya seperti: perseroan terbatas, perseroan komanditer dan lainnya. Sejarah keberadaan yayasan, di mulai dari negara-negara yang menggunakan sistem hukum 1
Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, Jl. Dr. Ir. H.Soekarno 201 Surabaya
2
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
‘common law’, yayasan dikenal sebagai ‘foundation’, karena sifatnya yang sangat mulia, padahal masyarakat barat yang tereknal individualis, ternyata masih tetap memiliki pemikiran sosial dan kehidupan sosialnya cukup tinggi, bahkan para pengusahanya terlibat secara aktif dalam pendirian dan pensosialisasian yayasan mereka yang bergerak di bidang kesehatan, antara lain: pembearntasan penyakit AIDS, penyakit kanker, dan yang bergerak di bidang sosial lainnya antara lain: pemberian beasiswa pendidikan bagi pelajar dari negara dunia ketiga. Di negara-negara Eropa seperti Jerman, Swiss dan Belgia, yayasan diatur dengan peraturan perundang-undangan juga di Jerman: Burgerliches Gezetsbuch-1896; di Belgia: Van Openbaar Nut-1921; di Swiss: Zivil Gezetsbuch -1970.2 Di Indonesia, keberadaan yayasan dikenal sejak jaman pemerintahan Hindhia Belanda, dengan sebutan; stichting, di Jerman: stiftung3 namun tidak ada suatu aturanpun yang menegaskan bentuk hukum suatu yayasan tersebut, demikian juga tentang tujuan dan kegiatan yang boleh dilakukan oleh yayasan tersebut. Stichting dalam diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 365 dan Pasal 899, demikian juga dalam Pasal 900 dan 1680, sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘stichting’ ini diakui keberadaannya. Setelah bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, dan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, maka Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesai tanggal 27 Juni 1973 No. 124 K/Sip/1973,4 berpendirian bahwa perubahan wakaf menjadi yayasan diperbolehkan karena tujuan dan maksudnya sama/ tetap, sehingga meskipun belum ada undang-undang yang mengatur tentang yayasan, namun keadaan ini tidak mengurangi percepatan pertumbuhan yayasan, dan yang menjadi masalah pada masa itu, apakah yayasan dapat menjadi badan hukum berdasarkan undang-undang atau berdasarkan kebiasaan atau doktrin atau yurisprudensi,5 akan tetapi belum ada doktrin ataupun yurisprudensi yang menjamin kepastian hukum tentang yayasan, sehingga sering terjadi kasus-kasus sengketa antara pendiri yayasan dengan pihak lain. Hal ini terjadi karena ada dugaan atau kecenderungan bahwa yayasan sebagai badan hukum untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendirinya atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum, bahkan sebagai wadah untuk memperkaya diri para pendiri, pembina, pengawas, dan pengurus yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, bahkan yayasan menjalankan usaha-usaha dagang dan komersial dengan segala aspeknya. Sementara itu terjadi perbedaan pendapat yaitu: pendapat yang mengatakan bahwa yayasan pada hakekatnya adalah tidak mencari keuntungan karena bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa tidak ada larangan untuk yayasan dalam melakukan kegiatan dagang/ bisnis dan komersial, karena dengan kegiatan tersebut dapat meningkatan perekonomian dan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat. Pertumbuhan yayasan tidak diimbangi dengan terbitnya peraturan perundang-undangan, bahkan dalam Peraturan Menteri Penerangan RI No.01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Pasal 10, diatur bahwa yayasan sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan/ penerbitan pers.6 Ketentuan tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa secara tidak langsung pemerintah mengakui yayasan dapat mengadakan/ melakukan kegiatan 2 3 4 5 6
Arie Kusumastuti MS, (2002), Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: Abadi, hlm.3 Ibid., Ibid., hlm.5 Ibid., Ibid., hlm.7
Nany Suryawati, Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan
3
dagang/ bisnis (di bidang pers). Hal ini dapat diterima sehingga konsekuensinya adalah yayasan yang melakukan kegiatan dagang/ bisnis dan bertujuan untuk ‘profit oriented’ adalah tidak melanggar hukum, karena belum ada aturan yang mengatur secara tegas tentang yayasan. Pertumbuhan yayasan yang profit oriented ini semakin banyak dan termasuk adanya penyelewengan dalam penyelenggaraan yayasan, sehingga International Monetary Fund (IMF) memberi tekanan pada pemerintah Indonesia untuk memperhatikan praktek kerja sejumlah yayasan di Indonesia, seperti: yayasan keluarga Presiden masa itu (Soeharto), institusi militer dan kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan dasar hukum pembentukan yayaysan demi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa adanya kewajiban membayar pajak. Tekanan ini dituangkan dalam ‘Letter of Intent’ (LoI)7, sebagai antithesis terhadap praktekpraktek kotor rezim Orde Baru dalam mengumpulkan dana dengan cara menggunakan yayasan. Menteri Hukum dan Perundang-undangan Prof. dr.Yusril Mahendra, SH., pada Rapat Paripurna Terbuka Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 26 Juni 2000, mengemukakan bahwa ada kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud berlindung di balik status hukum yayasan, untuk memperkaya diri para pengurus, pembina dan pengawasnya, dengan cara menghindari pajak yang jelas-jelas merugikan negara, bahkan yayasan juga dipergunakan untuk praktek ‘money laundring’8. Selama itu belum ada hukum positif yang mengatur tentang yayasan, oleh karena itu dibuatlah suatu Rancangan Undang Undang tentang Yayasan beserta penjelasannya yang kemudian disahkan menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang diberlakukan pada tanggal 6 Agustus 2002, yang kemudian diubah menjadi Undang Undang Nomor 28 Tahun 2004, dalam Pasal 3 nya diatur sebagai berikut: Ayat (1): yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Ayat (2): yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Hal ini mempertegas bahwa ada perbedaan antara bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dengan bergerak di bidang usaha yang mempunyai tujuan komersial yaitu mencari keuntungan yang dimaksudkan untuk menunjang pencapaian tujuan dan maksud dari yayasan yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, termasuk bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, dengan demikian maka usaha untuk mencapai kepastian dan ketertiban hukum tentang yayasan di Indonesia dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut, dapat diwujudkan termasuk usaha untuk mengembalikan fungsi yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan pendiriannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan serta menambah nilai akan keberadaan dan status hukum yayasan khususnya mengenai kewajiban-kewajiban (liabilities), kedudukan dan tugas yang jelas dari para pendiri, pengawas, pembina dan pengurus, serta memberikan perlindungan hukum bagi asset-asetnya. Undang Undang Yayasan ini sebagai suatu ketentuan yang mengatur tentang persyaratan formil dan materiil merupakan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht), yang harus dipenuhi oleh suatu yayasan, sehingga suatu yayasan untuk dapat diakui sebagai suatu badan hukum memerlukan pengesahan melalui prosedur tertentu. 7 8
Ibid Ibid, hlm. 8
4
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Pendirian suatu yayasan menurut hukum perdata, disyaratkan harus memenuhi 2 (dua) aspek yaitu: a) aspek materiil: harus ada pemisahan kekayaan; mempunyai tujuan yang jelas dan ada organisasi (nama, susunan dan badan pengurus); b) aspek formil: pendirian yayasan dalam wujud akta autentik. Berdasarkan Undang Undang Yayasan, suatu Yayasan harus bersifat sebagai berikut:9 a) sosial (social); b) keagamaan (religious); c) kemanusiaan (humanity). Sifat-sifat ini harus tercermin dalam maksud dan tujuan serta kegiatan yayasan, dan para anggota yayasan yaitu: pembina, pengurus dan pengawas harus bekerja secara sukarela, tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap, serta tidak boleh bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pembina, pengurus dan pengawas yayasan. Maksud dan tujuan yayasan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemsnusiaan (Pasal 1 angka 1); b) Maksud dan tujuan yayasan harus bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan (Penjelasan Pasal 3 ayat (2)); c) Maksud dan tujuan yayasan wajib dicantumkan dalam anggaran dasar yayasan (Pasal 14 ayat (2) huruf b). Sebelum berlakunya Undang Undang Yayasan ini, Yayasan sebagai badan hukum (rechtspersoon), sudah sejak lama diakui dan tidak diragukan, meskipun belum ada undangundang yang mengaturnya, dan dalam kenyataannya yayasan diperlakukan sebagai ‘legal entity’ (badan hukum). Menurut Black’s Law Dictionary adalah: “An entity, other natural person, who has sufficient existence in legal contemplation that it can function legally, be sued or sue and make decision throught agents as in the case of corporation “ 10 Di Indonesia, beberapa pakar hukum antara lain Prof. Subekti menyatakan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum di bawah pimpinan suatu badan pengurus dengan tujuan sosial dan tujuan tertentu yang legal; sedangkan Prof. Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum dan dasar dari suatu yayasan adalah harta kekayaan, yang dengan kemauan pemilik ditetapkan guna mencapai suatu tujuan tertentu; dan meskipun yayasan belum diatur dalam suatu aturan perundang-undangan, yayasan sebagai badan hukum dapat melakukan kegiatan dalam masyarakat seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya dengan mempunyai kekayaan yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang mengurus yayasan tersebut. Hal yang mendasar dan paling sulit dipahami adalah cara dua organisasi tersebut (organisasi profit dan organisasi non profit) mengembangkan misi dan mengevaluasi keberhasilannya, dalam hal organisasi profit untuk meningkatkan nilai kekayaan organisasi adalah tujuan utama dan dianggap universal, dan lebih makro lagi, maka tujuan suatu organisasi profit adalah menghasilkan produk dan jasa dan dijual dengan keuntungan yang maksimum. Di samping itu juga menyangkut tanggung jawab sosial, kualitas produk dan pertumbuhan pelayanan, yang kesemuanya itu merupakan ukuran keberhasilan pada suatu organisasi profit; dalam hal organisasi non profit, ukuran kerja finansiil hanya merupakan salah satu dimensi dari tujuan sosial yang dinyatakan dalam misi organisasi, dan yang terpenting adalah pelayanan khususnya 9 10
Ibid, hlm.15 Ibid, hlm.17
Nany Suryawati, Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan
5
program pelayanan sosial misalnya: pelatihan para calon dokter kepada para mahasiswa universitas negeri di kota kecil, dan pendidikan dokter itu menjadi berkembang serta memberikan arti bagi kesejahteraan masyarakat setempat, dengan demikian suatu pendidikan dokter serta pelayanan kesehatan dalam wujud rumah sakit kecil (poliklinik) menghadapi dilemma antara mengejar kinerja finansial atau kinerja sosial, yang jelas upaya pemenuhan kinerja sosial akan menyebabkan kesulitan finansial. Sementara itu suatu organisasi baik yang profit maupun yang non profit, menginginkan pertumbuhan, kalau organisasi profit berarti peningkatan kekayaan pemegang saham dan direfleksikan dalam perkembangan usahanya, sedangkan organisasi non profit pertumbuhannya lebih mengarah pada peningkatan pelayanan sosial sebagai suatu tujuan yang lebih penting dibanding pertumbuhan yang terkait dengan kekayaan atau aspek finansial yayasan. PEMBAHASAN Hukum Untuk Perumahsakitan Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yayasan sebagai suatu bentuk organisasi yang bergerak di sector public diwajibkan untuk menerapkan pendekatan akuntabilitas seperti yang digunakan dalam perusahaan. Pemberlakuan Undang Undang Yayasan adalah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik, dari sudut pandang akuntabilitas ini ada persamaan dan perbedaan praktek akuntansi antara organisasi yayasan (non for profit organization) dengan perusahaan (for profit organization). Kesamaan yayasan dengan perusahaan adalah: 1) Keduanya diwajibkan untuk membuat pembukuan dengan sistem berpasangan (double entry bookkeeping) dan mengacu pada standar akuntansi; 2) Memiliki siklus akuntansi yang serupa dan membuat laporan keuangan setiap akhir periode akuntansi (bila perlu diaudit oleh akuntan publik); 3) Obyektivitas dan transparansi dalam laporan keuangan; 4) Harus menjalankan kegiatan operasionalnya secara efisien dan efektif karena kelangkaan sumber daya (scarcity of resources), yang dimiliki; 5) Yayasan dan perusahaan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi dan menggunakan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan organisasi; 6) Para manager kedua organisasi tersebut membutuhkan informasi yang handal dan relevan untuk melaksanakan fungsi manajemen (yaitu: perencanaan, koordinasi dan pengendalian); 7) Kedua bentuk organisasi ini terikat pada peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum yang disyaratkan bagi masing-masing organisasi.11 Perbedaan antara yayasan dan perusahaan, yang tekait erat dengan karakteristik spesifik masing-masing organisasi, dapat dilihat dalam tabel berikut:12
11 12
Untung.H.Budi, (2002) Reformasi Yayasan-Perspektif Hukum dan Manajemen, Jogjakarta: Andi Offset, hlm.1 Ibid., hlm. 141
6
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Tabel 1. Perbedaan antara Yayasan dan Perusahaan
Aspek
Yayasan
Perusahaan
Asas Pembukuan
Cash Accounting Basis
Peran Akuntansi
Sebagai Good Public Governance Optimalisasi Pmeberian Pelayanan Publik Lebih mengarah kepada donator, pemerintah dan masyarakat Value for Money
Accrual Accounting Basis Sebagai Good Corporate Governance Memaksimumkan Nilai Pemegang Saham Lebih mengarah kepada pemilik dan kreditur Value of Money
Cenderung bersifat non finansiil
Cenderung bersifat finansiil
Pengawas dan Masyarakat mengawasi kegiatan yayasan
Pemilik mengatur dan mengawasi jalannya perusahaan
Manfaat Akuntansi Pola Pertanggungjawaban Orientasi Penilaian Indikator Kinerja
Pengendalian organisasi
Sumber: Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen
Yayasan yang bergerak di bidang kesehatan pada umumnya adalah yayasan yang bersifat sosial, kemanusiaan bahkan juga mengandung misi keagamaan, sehingga suatu yayasan yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan dan kemanusiaan, dengan mendirikan suatu tempat/ bangunan yang dinamakan rumah sakit, hampir keseluruhan menggunakan bentuk yayasan. Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 14 nya mengatur tentang tanggung jawab pemerintah untuk mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, dan tanggung jawab pemerintah ini dikhususkan pada pelayanan publik. Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 1 menyatakan bahwa: Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, jalan, dan gawat darurat. Pasal ini mengisyaratkan bahwa suatu rumah sakit merupakan institusi atau lembaga pelayanan kesehatan sehingga bentuk badan hukum yang sesuai adalah Yayasan dan mendirikan badan usaha sebagai salah satu kegiatan dari yayasan tersebut, dan karena di masyarakat sudah berkembang suatu pengakuan bahwa suatu rumah sakit adalah suatu badan hukum, khususnya rumah sakit swasta, sedangkan rumah sakit pemerintah dikelola oleh pemerintah sebagai suatu kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada rakyatnya.
Nany Suryawati, Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan
7
Yayasan Rumah Sakit (swasta) sebagai badan hukum atau rechtspersoon, ini bukan berarti orang dalam arti manusia secara alami yang dalam perhubungan dalam masyarakat mempunyai hak dan kewajiban, sehingga manusia sebagai persoon merupakan subyek hukum, oleh karena itu, yayasan sebagai badan hukum dapat bertindak sebagai subyek hukum dalam hubungan hukum dengan subyek hukum yang lain dalam masyarakat. Yayasan yang ada di masyarakat telah bertumbuh dan berkembang secara pesat, dan telah melakukan perhubungan- perhubungan hukum dalam masyarakat, sebagai rechtspersoon terhadap pihak lain yang dapat saja berupa orang atau persoon dan badan hukum atau rechtspersoon juga; sebagai rechtpersoon yayasan juga mempunyai hak untuk dipilih dalam pemilihan umum seperti persoon. Permasalahannya adalah: apakah suatu organisasi itu selalu merupakan badan hukum, perlu dikaji dari beberapa teori hukum, antara lain: 1) Teori Fiksi: hanya mengakui manusia secara alami saja yang dapat menjadi subyek hukum, anggapan badan hukum sebagai subyek hukum merupakan ‘fiksi’ saja, pelopor teori ini Friedrich Carl von Savigny; 2) Teori Organ: mengatakan bahwa pada hakekatnya badan hukum sama dengan manusia dan bukan fiksi, karena badan hukum merupakan realitas, kenyataan, yang dalam tindaknnya menggunakan organ seperti manusia pelopor teori ini adalah Otto von Gierke; 3) Teori Pemilikan Bersama: menganggap hak dan kewajiban badan hukum itu sama dengan hak dan kewajiban anggota secara bersama-sama, pelopor teori ini Rudolf von Jhering; 4) Teori Kekayaan: pada hakikatnya menyatakan bahwa badan hukum merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah dengan adanya hak-hak atas suatu kekayaan tanpa adanya seorangpun manusia yang menjadi pendukung hak tersebut, pelopor teori ini A.Brinz dan Van der Heijden; 5) Teori Kekayaan Jabatan (ambtelijk vermogen): mengatakan bahwa kekayaan yang terpisah dari kekayaan para anggota suatu organisasi itu menitiberatkan pada permodalan. Harta kekayaan yang terpisah itu diperuntukkan tujuan tertentu, pelopor teori ini: Holder dan Binder serta F.J.Oud; 6) Teori Kenyataan Yuridis: menyatakan secara tegas bahwa memberikan status badan hukum (rechtspersoonlijkheid) itu kepada badan hukum yang melihatnya sebagai suatu fakta/ kenyataan yang dilahirkan oleh hukum, pelopor teori ini: E.M.Meijers dan Paul Scholten.13 Dasar konfirmasi bahwa suatu organisasi itu berbentuk yayasan adalah, apakah organisasi itu mendasarkan diri pada doktrin atau ajaran ilmu pengetahuan (hukum) yang ada dalam kepustakaan, atau melihat pada kenyataan yang berkaitan erat denagn sistem hukum yang dianut negara tempat organisasi itu berasal, untuk yayasan yang bersifat idealistis, sosial dan kemanusaiaan, maka dilihat sistem hukum yang dianut oleh suatu negara seperti yang ada dalam kepustakaan, yaitu penentuan status hukum suatu organisasi yang pada hakikatnya ada 2 (dua) sistem yang ada yaitu: 1) sistem terbuka dan 2) sistem tertutup. Hal ini menunjukkkan bahwa yayasan dapat menjadi badan hukum , baik berdasarkan sistem terbuka maupun sistem tertutup, karena berkaitan erat dengan sistem hukum dari negara yang bersangkutan. Setelah masa penjajahan lewat, maka ada pluralisme di dalam dunia hukum perdata di Indonesia, maka dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yayasan di Indonesia oleh masyarakat, hanya berdasarkan atas kebiasaan dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang tersebut di atas, dan di samping itu juga adanya kecenderungan masyarakat untuk mendirikan yayasan dengan maksud berlindung di bawah status yayasan sebagai badan hukum. 13
Hermien Hadiati Koeswadji, (2002), Hukum Untuk Perumahsakitan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 133134
8
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Yayasan sebagai badan hukum merupakan wadah untuk mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan juga memberikan perlindungan hukum bagi kegiatankegiatan sosial yang diadakan demi kepastian hukum dan ketertiban hukum. Selain itu agar yayasan itu dapat berfungsi sesuai denagn maksud dan tujuannya harus berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Hal ini merupakan konsekuensi logis dan obyektif bagi suatu masyarakat yang stelsel hukumnya pluralistik; dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001, tentang Yayasan, telah jelas bahwa di Indonesia menganut sistem tertutup dalam pendirian yayasan sebagai badan hukum yang sah, karena berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan sah. Undang-undang ini menetapkan yayasan sebagai badan hukum dan merupakan subyek hukum yang diciptakan oleh undang-undang (bij wet) atau berdasarkan undang-undang (krachtens wet). Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 16 Tahun 2001 menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan (dari pemiliknya) dan yang diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Yayasan yang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat, sudah merupakan kewajiban untuk menyesuaikan diri dengan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku, karena Undang-Undang ini memberikan waktu yang cukup untuk penyesuaian selama 1 (satu) tahun sejak diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 hingga pada tanggal 6 Agustus 2002. Mengenai Rumah Sakit Swasta yang saat ini sudah merupakan badan hukum yang berstatus yayasan, tidak mengalami kesulitan untuk penyesuaian terhadap undang undang yang diberlakukan, hanya saja perlu dipertegas untuk sistemnya, dilihat dari awal pendiriannya, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) ataukah berdasarkan Pasal 8 ayat (3) yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Kemudian juga harus diperhatikan juga Pasal 7 ayat (1) yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. Kata dapat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa rumah sakit sebagai yayasan tidak semata-mata komersial dan berorientasi pada bisnis, tetapi tetap dalam batas-batas sosial dan kemanusiaan dan/ atau keagamaan, Pasal 7 ayat (2) yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. Menurut Penjelasan Pasal 8: Kegiatan badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dinamika masyarakat yang tercermin dalam kenyataan bidang hukum itulah yang oleh Nonet dan Selznick merupakan cakupan bidang sociological jurisprudence, yang menurut Roscoe Pound dapat menjadi dorongan dan/ atau dukungan untuk mengembangkan model hukum responsif.14
14
Ibid, hlm. 141
Nany Suryawati, Hukum Untuk Perumahsakitan Berdasarkan Peraturan
9
Pendirian suatu Yayasan harus memenuhi persyaratan formil yang sudah diatur secara rinci dalam pasal-pasal berikut: Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13, dan persyaratan materiil dalam Pasal 14 ayat (1) yang mengharuskan adanya Akte Pendirian dan memuat Anggaran Dasar (AD), Yayasan; dan persyaratan materiil untuk pendirian yayasan diatur dalam Pasal 14 ayat (2) mengenai muatan Anggaran Dasar Yayasan. Pasal 37 ayat (2) bahwa Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan dan dalam Penjelasannya: jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/ atau Pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit, dari penjelasan ini tercermin adanya keterbukaan dalam pengelolaan yayasan dengan adanya saling kontrol antara kegiatan yang berupa perbuatan hukum yang dilakukan, baik oleh Pengurus, Pembina, maupun Pengawas, melalui mekanisme persetujuan dari Pembina dan/atau Pengawas dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus. Demikian juga untuk Laporan Tahunan yang merupakan kewajiban Pengurus, diatur dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52. Hak dan kewenangan Pengawas juga dibatasi dan diatur dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48. Penjelasan Pasal 50 ayat (1) Laporan harus ditandatangani oleh semua Pengurus dan Pengawas karena Lapoan tersebut merupakan bentu pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya, apabila di antara Pengurus dan Pengawas ada yang tidak menandatangani, alasan atau penyebab tidak menandatangani laporan tersebut harus dijelaskan secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh rapat Pembina. Laporan tersebut baru dianggap sah apabila disahkan dalam rapat Pembina (ayat 3), sehingga semakin jelaslah bahwa Yayasan sebagai badan hukum menganut asas keterbukaan dan Undang Undang Nomor 16 tahun 2001 ini berfungsi sebagai hukum responsif. Kegiatan yayasan rumah sakit ini juga berkaitan erat dengan pengadaan alat-alat kesehatan (jual-beli), di samping itu juga adanya perjanjian kerja atau kontrak kerja yang diadakan antara yayasan rumah sakit sebagai badan hukum dengan pihak ketiga, sehingga pada hakekatnya untuk pendirian yayasan rumah sakit sebagai suatu badan hukum diperlukan syarat-syarat formil maupun materiil yang tertuang dalam Anggaran Dasarnya, karena Yayasan Rumah sakit sebagai rechtspersoon dibebani pula dengan hak dan kewajiban sebagaimana layaknya hak dan kewajiban yang dibebankan kepada debitur dan kreditur. Oleh karena itulah, maka pengurus yayasan yang terdiri dari orang perorangan itu disyaratkan mampu (bekwaam) melakukan tindakan hukum (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan) seperti halnya keabsahan suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pendirian yayasan rumah sakit sebagai badan hukum (rechtspersoon) yang dalam kegiatannya meliputi pelyanan kesehatan, pendidikan dan penelotian bagi rumah sakit pendidikan itu, mengandung konsekuensi hukum, baik yang berupa hak atau kewenangan maupun kewajiban, akan tetapi dalam era ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Perjanjian General Agreement in Tariff on Trade (GATT), melalui World Trade Organization (WTO) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, akan lebih baik bila tujuan pendirian yayasan rumah sakit tidak hanya bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan saja, mengingat fungsi dan peran rumah sakit pada masa kini untuk kawasan
10
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
global yang dihadapi khususnya dalam pelayanan jasa perumahsakitan. Pergeseran kebutuhan hukum masyarakat sebagai akibat kemajuan tehnologi bidang kesehatan akan besar pengaruhnya terhadap pemasaran jasa pelayanan kesehatan oleh rumah sakit yang berdampak pada kepentingan stakeholders dalam usaha meningkatkan investasinya, dan kesemuanya ini adalah akibat dari pergeseran gaya hidup masyarakat yang menuju pada gaya hidup yang konsumeristik, akan tetapi rumah sakit tetap harus siap memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan rumusan General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam GATT 1991 dalam wujud: Health and Social Related Services. KESIMPULAN Wadah hukum Yayasan bagi Rumah Sakit sudah sejak lama diikuti oleh masyarakat, dengan tetap mempertimbangkan perilaku sosial budaya, khususnya bagi Rumah sakit Swasta, sedangkan untuk rumah sakit pemerintah bentuknya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rumah sakit harus mengikuti perkembangan jaman dan tehnologi, berdasarkan perencanaan strategi kerja, sehingga mampu bersaing dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal bagi orang perorangan dalam masyarakat, karena fokus Rumah Sakit adalah pada pelayanan terhadap pelanggan/ customer. Bagi yayasan yang bergerak di bidang kesehatan, harus segera membenahi organisasinya dengan memiliki anggota dan mendirikan badan usaha yang dapat membiayai Rumah sakit Swasta ini dalam jangka panjang supaya pelayanannya berkelanjutan, serta terjadi penongkatan kualitas sarana dan prasarananya demi kebutuhan stakeholders. DAFTAR PUSTAKA
Koeswadji, Hermien Hadiati, (2002), Hukum Untuk Perumahsakitan, Bandung: Citra Aditya Bakti. Kusumastuti MS, Arie, (2002), Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: Abadi. Untung, Budi, (2002), Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Yogyakarta: Andi. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan juncto Undang Undang Nomor 28 Tahun 2004. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
11
OPTIMALISASI PELAYANAN KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL OLEH BIROKRASI PEMERINTAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Rokiyah1 e-mail:
[email protected] Abstrak Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil oleh birokrasi pemerintahan masih sarat dengan kompleksitas permasalahan yang tidak hanya menyangkut persoalan pola hubungan kekuasaan saja tetapi berbagai stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintahan itu sendiri. Gerakan reformasi menghendaki birokrasi memiliki netralitas politik, transparan, responsif dan akuntabel. Namun harapan publik untuk melihat adanya perbaikan kualitas pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil sering tidak terwujud, sehingga dalam Surat Edaran Menteri PAN Nomor 10/M.PAN/07/2005, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil memperoleh prioritas utama dalam penanganan peningkatan kualitas pelayanan. Permasalahan Yang penulis angkat adalah bagaimanakah optimalisasi dalam peningkatan kualitas pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan. Metode pendekatan yang digunakan sociolegal (socio-legal study). Teori untuk menganalisisnya adalah teori pendekatan sistem Talcott Parsons dan bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidman. Tipe penelitian kualitatif. Lokasi penelitian di Kabupaten Situbondo dengan informan kunci adalah: (1) Kepala Bidang Evaluasi Kinerja Pembina Pelayanan Publik pada Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2) Direktur pada Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Jakarta (3) Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil Kabupaten Situbondo. Data yang terkumpul diolah melalui proses editing dan pengklasifikasian kemudian dianalisis secara induktif. Kata kunci: birokrasi, good governance, pelayanan publik. PENDAHULUAN Ada 3 (tiga) alasan kehadiran birokrasi dirasa semakin diperlukan yaitu:2 Pertama, pluralisme politik. Diferensiasi pola kehidupan masyarakat mengakibatkan terbentuknya pluralisme politik yang belum pernah terjadi pada jaman sebelumnya. Untuk menjawab aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, pemerintah harus melakukan departemenisasi yang sangat luas, dan hanya bisa dilaksanakan melalui birokrasi. Kedua, proses konsentrasi. Ini terjadi karena begitu banyak tugas-tugas finansial yang mesti dilaksanakan oleh birokrat sehingga mau tidak mau harus dapat memelihara gerak langkah birokrasi dengan sistem pertanggungjawaban yang pasti. Ketiga, kompleksitas teknologi. Etzioni mengatakan bahwa: Birokrasi dinilai sebagai alat yang paling efektif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah apapun.3 Yahya Muhaimim dalam Mftha Thoha mengungkapkan bahwa, birokrasi sebagai keseluruhan aparatur 1 2 3
MKU Politeknik Negeri Malang, Jl. Soekarno Hatta 19 Malang Wahyudi Kumorotomo, (1992), Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 71 Amitai Etzioni, (1986), Organisasi-Organisasi Modern, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hlm. 35
12
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
pemerintah yang membantu pemerintah di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan mereka ini menerima gaji dari pemerintah.4 Oleh karena itu, birokrasi berfungsi menghubungkan pemerintah dengan masyarakat. Birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya, dengan demikian birokrasi merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan, tidak dapat dipungkiri bahwa negara memerlukan entitas birokrasi. Dengan demikian, semua sumber kekuasaan yang dimiliki oleh birokrasi itu menjadikan birokrasi sebagai institusi atau lembaga yang dominan dan dibutuhkan oleh semua pihak, bahkan hampir tidak mungkin ada satu orang pun atau kelompok yang hidup di negara modern yang tidak bergantung pada birokrasi. Gerakan reformasi tahun 1998 menghendaki birokrasi memiliki netralisasi politik, transparan, responsif dan akuntabel. Dengan tuntutan ini, otomatis birokrasi harus membangun frame dan karakteristik baru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat yang dikehendaki rakyat. Menurut birokrasi pemerintah setidaknya memiliki 3 (tiga) tugas pokok yaitu:5 1) memberikan pelayanan umum (public service) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan, perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. 2) melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik. 3) menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya. Dari uraian di atas bahwa birokrat sebagai pelaksana penyelenggara negara serta pelayan masyarakat harus dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat agar ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat dapat tercapai. Di samping itu, birokrat juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim dan tata kerja baru bagi aparatnya agar dapat mengatasi tantangan di masa yang akan datang. Pelayanan publik hanyalah merupakan salah satu manifestasi fungsi birokrasi namun yang terpenting adalah bagaimana memberikan pelayanan publik yang berkualitas yang merupakan kunci utama dalam rangka memenuhi hak-hak dasar konstitusional rakyat sehingga pembangunan nasional dapat dilakukan secara berkelanjutan.6 Terkait dengan hal tersebut, menyatakan bahwa membatasi fungsi birokrasi hanya pada pelayanan publik akan menjadikan birokrasi berfungsi pada level teknis rutin dan jangka pendek.7 Birokrasi dibentuk dalam rangka untuk tercapainya tujuan bangsa dan negara, seperti yang tercantum dalam Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, diperlukan berbagai sarana pendukung, dalam hal ini salah satunya adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara. Puncak perkembangan Hukum Administrasi Negara sangat dirasakan pada negara yang bertipe welfare state (negara kesejahteraan). Indonesia termasuk salah satu negara yang bertipe welfare state
4 5
6
7
Miftha Thoha, (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 2 Ryaas Rasyid, (2000), Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, hlm. 11 Mas’ud Said, (2007), Birokrasi Di Negara Birokratis; Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia, Malang: UMM, hlm. 218 Taufiq Effendi, (2008), Reformasi Birokrasi Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Hukum Universitas Diponegoro: Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu.
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
13
yang dapat dilihat melalui pencerminan sila kelima dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari para warganya. Sebagai salah satu negara yang bertipe welfare state, campur tangan Negara dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari lagi, termasuk dalam hal tugas penyelenggaraan pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil. Untuk mewujudkan good governance perlu didukung dengan pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang layak agar aparatur negara dapat lebih optimal dalam meningkatkan pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil kepada masyarakat, sehingga dapat terwujud suatu administrasi kependudukan yang baik pula. Weber dalam Hariyoso menjelaskan tentang implikasi model kelembagaan birokrasi, antara lain sebagai berikut:8 1) birokrasi tradisional, yang berorientasi kosmologi belum berstatus birokrasi kesejahteraan dan pendidikan, bermental priyayi dan feodalistik; 2) birokrasi yang tidak bertanggung jawab, dalam hubungannya dengan ketidak becusan mengurus mandat legislatif dalam eksekusi ketetapan-ketetapan yang telah digariskan; 3) birokrasi disfungsional, yang berada di bawah standar mengacu pada prevalensi-prevalensi dari sisi ketidaklayakan-kelayakan fungsi distributif dalam konteks efektivitas kinerja instrument pemerintahan demokratis dan partisipatif; 4) birokrasi patrimonial dan korporatis, yang dibentuk oleh sejarah dan realita kepolitikan yang bekerja dalam langgam otoritarian yang sangat aktif dalam mengambil peran inisiatif dan paling tahu dalam penyusunan kebijakan publik dengan orientasi vertikal melalui jaringan korporatis yang menggantung ke atas dan kompleks; 5) birokrasi nan pongah, yang dikaitkan dengan kinerja kurang menanggapi dan memfasilitasi isu dan praktek demokratisasi pemerintahan untuk menanggapi kepentingan rakyat. Dari beberapa implikasi model kelembagaan birokrasi tersebut, maka tipe ideal birokrasi yang rasional itu menurut Max Weber dalam Robert K Merton dapat dilakukan dalam caracara sebagai berikut:9 1) they are personally free and subject to authority only with respect to their impersonal official obligation; 2) they are organized in a clearly defined hierarchy of offices; 3) teach office has a clearly defined sphere of competence in the legal sense; 4) the office is filled by a free contractual relationship; 5) candidates are selected on the basis of technical qualification; 6) they are renumerated by fixed salaries in money, for the most part with a right to pensions; 7) the office is treated as the sole, or at least the primary, occupations of the incumbent; 8) it constitutes a career. There is a system of promotion according to seniority or to achievement or both. Promotion is dependent on the judgement of superiors; 9) the official works entirely separated from ownership of the means of administration and without appropriation of his positions; 10) he is subject to strict and systematic discipline and control in the conduct of the office. Sehubungan dengan hal di atas, maka tuntutan akan pelayanan administrasi kependudukan yang tertib dan tidak diskriminiatif menjadi sangat dibutuhkan, oleh karena peraturan perundang-undangan mengenai administrasi kependudukan yang ada sudah tidak sesuai lagi sehingga pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memuat pengaturan dan pembentukan sistem administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, dimana dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006, BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa: 8 9
Hariyoso, (2002), Pembaruan Birokrasi dan Kebijakan Publik, Jakarta: Peradaban, hlm. 55 Max Weber, The Essentials of Bureaucratic Organization; An Ideal-type Construction dalam Robert K. Merton, et al (ed), Reader in Bureaucracy, Columbia University, The Free Press Glencoe, Illionis, t.t, (Translate), hlm. 21-22
14
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Dalam rangka penataan dan ketertiban Administrasi Kependudukan, diperlukan suatu sistem registrasi penduduk dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dimana data penduduk terekam dalam database yang dimutakhirkan secara terus menerus manakala ada perubahan yang diakibatkan oleh peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami penduduk. Catatan dibuat bagi setiap individu dan perubahanperubahan yang dilakukan selama masa hidupnya. catatan yang dibuat untuk pencatatan sipil, peristiwa kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian, serta pengakuan anak.10 Data penduduk dicatat dalam register akta dan diterbitkan kutipan akta, sedangkan untuk peristiwa penting lainnya seperti pengangkatan anak, pengesahan anak, perubahan nama, perubahan status kewarganegaraan, dan perubahan peristiwa penting lainnya (jenis kelamin), cara pencatatan berupa catatan pinggir pada akta-akta yang dimiliki oleh penduduk, dengan demikian secara spesifik konsep kependudukan dan pencatatan sipil yang dimaksudkan dalam studi ini adalah suatu sistem registrasi yang menghasilkan dokumen kependudukan antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta Kelahiran. Pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang tertib dan valid selain berguna bagi pengesahan secara hukum atas peristiwa penting dan peristiwa kependudukan perorangan, juga sangat bermanfaat bagi pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah untuk perencanaan program-program pembangunan sebagai dasar peningkatan dan pengembangan kualitas penduduk sendiri. Permasalahan kependudukan merupakan salah satu titik sentral dalam pembangunan.11 Oleh karena itu, masalah kependudukan merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, karena: 1) kependudukan merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Penduduk adalah subjek dan objek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan, dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan. Sebaliknya, pembangunan baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang lebih luas lagi; 2) keadaan atau kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai; 3) dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka waktu yang panjang, oleh sebab itu persoalan kependudukan dan pembangunan nasional harus ditangani secara cermat, sungguhsungguh dan hati-hati. Kesalahan dalam penanganan akan berdampak buruk pada generasi mendatang dan bukan mustahil akan berdampak pada kehancuran bangsa. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 Ayat (1) Perubahan Kedua dan Pasal 34 Ayat (3) Perubahan Keempat telah mengamanatkan negara wajib melayani setiap warga
10 11
Said Rusli, (1996), Ilmu Kependudukan, LP3ES, Jakarta: Djambatan, hlm. 38 Muhajir Darwin, (2007), Abaikan Kependudukan, Negara Terancam Gagal, Kompas, hlm. 9
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
15
negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur negara dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat, wajib dilaksanakan sesuai dengan amanat UUD 1945 tersebut. Di samping itu, dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil memperoleh prioritas pertama dalam penanganan peningkatan kualitas pelayanan yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah: bagaimanakah optimalisasi dalam peningkatan kualitas pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan. PEMBAHASAN Peraturan perundang-undangan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang sekarang berlaku pada awalnya diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan atas penggolongan penduduk (Pasal 163 Ayat (1) Indische Staatsregeling) dan bersifat pluraldiskriminatif. Plural karena ada dua kelompok peraturan perundang-undangan yaitu: pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Untuk peristiwa kependudukan yang dialami penduduk pribumi diberlakukan pendaftaran penduduk berdasarkan sistem triplikat, dan diselenggarakan di Kantor Desa/ Kelurahan. Adapun golongan penduduk Eropa, Timur Asing/ Tionghoa dan golongan penduduk beragama Kristen, semua peristiwa penting yang terjadi dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan pencatatan sipil dengan sistem akta. Berlakunya sistem pluralisme dan diskriminasi peraturan perundang-undangan dan pencatatan sipil berlangsung terus sampai dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1996 yang menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman bahwa kantor catatan sipil terbuka bagi seluruh penduduk. Upaya memberlakukan satu hukum untuk pencatatan sipil antara lain dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dalam hal pencatatan perkawinan dan alat bukti keturunan berupa akta kelahiran. Namun untuk pengaturan pencatatan administrasi kependudukan lainnya sifat pluralisme belum berakhir karena masih berdasarkan pada keanekaragaman peraturan perundang-undangan lama (Hindia Belanda). Selanjutnya pada tahun 1977, penyelenggaraan pendaftaran penduduk dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Pendaftararan Penduduk yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1977 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk. Pada tahun 1995 diberlakukan ketentuan tentang Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor IA Tahun 1995. Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1977. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor I A Tahun 1995 ditindaklanjuti dengan: 1) keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor I A Tahun 1995 tentang Spesifikasi Blanko/ Formulir/ Buku dan Sarana Penunjang lainnya dalam rangka Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk; 2) keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 A Tahun 1995 tentang Prosedur dan Tata Cara Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka SIMDUK.
16
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Terkait dengan tema kajian, dalam perspektif normatif-positivistik, konsep birokrasi pemerintahan dalam pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil hanya dipahami sebatas apa yang secara normatif diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai kependudukan dan pencatatan sipil. Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka dalam studi ini digunakan teori atau pendekatan sosiologis terhadap hukum sebagai pisau analisis yang berlandaskan pada teori pendekatan sistem Talcott Parson dan teori bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidman. KONSEP-KONSEP PELAYANAN PUBLIK Pada bagian ini mengetengahkan pokok bahasan tentang konsep birokrasi pemerintah, pelayanan publik, dan kualitas pelayanan publik. Konsep Tentang Birokrasi Pemerintah Dalam terminologi birokrasi pemerintah terdapat dua suku kata birokrasi dan pemerintah, yang masing-masing mempunyai arti yang hampir sama, di sisi lain, birokrasi itu juga bisa berupa institusi pemerintah maupun swasta. Secara epistemologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani bureau yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat, dan cratie berarti aturan. Istilah birokrasi itu sendiri mulai diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de Grimm dan Vincent de Gournay dimana kajian terhadap birokrasi mulai dilakukan sekitar masa Revolusi Perancis pada abad 18 (tahun 1760-an). Istilah-istilah bureaucratie (bahasa Perancis), burocratie (bahasa Jerman), burocrazia (bahasa Italia), dan bureaucracy (bahasa Inggris), yang kemudian dipakai untuk menunjukkan pengertian suatu organ/ institusi pelaksana kegiatan pemerintahan dalam sebuah negara, sebagaimana didefinisikan oleh Haque Harrop 12 bahwa birokrasi adalah organisasi yang terdiri dari aparat bergaji melaksanakan detail tugas pemerintah, memberikan nasihat dan melaksanakan keputusan kebijakan. Senada dengan ini Kriekn juga mengungkapkan bahwa birokrasi merupakan organisasi dengan sebuah hierarki penggajian, pejabat tetap/ penuh waktu yang menyusun rantai komando.13 Secara theoritical pengertian birokrasi dapat dipahami secara simpel sebagai aparatur negara. Konsep seperti ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 3 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa: Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Dari pengertian tersebut, birokrasi dimaksudkan untuk melaksanakan penyelenggaraan bernegara, pemerintahan, termasuk didalamnya pelayanan umum dan pembangunan. Terkait dengan hal ini, Abdul Kholiq Azhari sebagaimana dikutip mengemukakan bahwa, terdapat 2 istilah yang digunakan untuk menyebut birokrasi pemerintah secara resmi yaitu: aparatur negara dan penyelenggara negara.14 Istilah aparatur negara misalnya digunakan pada jabatan menteri negara pendayagunaan aparatur negara. Penyelenggaraan negara pada tataran supra 12
13 14
R. Haque Harrop, M, dan S, Breslin, (1998),Camparative Government and Politics, London: Mac Millan Press, hlm. 219 R.V. Krieken, (2000), Sociology: Themes and Perspectives, French Forest: 2nd edition Longman, hlm. 283 Mas’ud Said dalam Moeljarto Tjokrowinoto, (2004), Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan Pusat Studi Kewilayahan Universitas Muhammadiyah Malang, Yogyakarta, hlm. 6
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
17
struktur yaitu lembaga-lembaga negara yang secara enumeratif disebut dalam UUD 1945 sebagai kewenangan dan fungsinya ditugasi melaksanakan tugas pokok negara. Secara pratikal, birokrasi sering disebut sebagai badan/ sektor pemerintah (public sector/ public service). Konsep ini mencakup setiap orang yang penghasilannya berasal secara langsung atau tidak langsung dari uang negara atau rakyat yang biasanya tercantum dalam mata anggaran pada budget negara semacam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Akan tetapi, di banyak Negara ada beberapa kelompok bidang profesi seperti guru, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), angkatan bersenjata, dan pegawai pemerintahan desa, yang walaupun penghasilannya berasal dari uang negara, tetapi tidak dimasukkan sebagai bagian dari badan pemerintahan atau public sector. Namun memberikan pengertian yang agak berbeda, dimana birokrasi dalam arti luas adalah merupakan bagian dari suatu kebijaksanaan, partisipasi dalam menjalankan suatu kekuatan dari partisipan senior dalam melaksanakan politik.15 Dalam konsep sosial, istilah birokrasi digunakan untuk menggambarkan pengaturan/ pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak dipilih, mesin administrasi kerja pemerintahan, dan bentuk organisasi rasional, sedangkan untuk memahami konsep birokrasi dalam hukum administrasi negara, tentu tidak terlepas dari konteks pemaparan mengenai pengertian hukum administrasi negara, dimana menurut Prajudi Atmosudirdjo16 bahwa hukum administrasi negara (pemerintah) dan birokrasi berada dalam satu misi politik yang sama yaitu memberikan perlindungan warga, kemerdekaan, dan kebebasan dari dominasi mayoritas, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik (UGM Vol 2 No.2 November 1998: 50) disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai administrasi negara dan hukum hasil ciptaan administrasi negara. Administrasi negara itu sendiri meliputi tiga hal yaitu: 1) sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau sebagai institusi politik (kenegaraan); 2) sebagai fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional. 3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang. Konsep Tentang Pelayanan Publik Secara umum terminologi publik atau public mempunyai arti masyarakat atau umum (diperlawankan dengan privat). Istilah public maupun privat berasal dari bahasa latin, dimana public berarti “of the people” (menyangkut rakyat atau masyarakat sebagai bangsa berhadapan dengan negara), sedangkan privat berarti “set a part” (bagian terpisah dari rakyat atau masyarakat), dengan demikian, istilah public dapat disimpulkan sebagai kumpulan orang atau manusia dalam hubungannya dengan dan atau kapasitasnya selaku penyandang kepentingan komunal dari kewarganegaraan suatu Negara.17 Hal ini juga menjadi kajian dalam perspektif ilmu hukum yang membagi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik berarti hukum yang mengatur hubungan orang atau manusia dengan negara, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu. Dapat dikatakan bahwa makna denotasi dari publik adalah dimensi-dimensi kehidupan kolektif dan menciptakan suatu model hubungan-hubungan publik dan privat pada suatu kontinum. Istilah service sering diidentikkan dengan istilah pelayanan. 15 16 17
Sampara Lukman,( 2004), Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta: STIA-LAN Press, hlm. 138 Prajudi Atmosudirdjo, (1995), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 43 Sugiyanto,(2004), Mengukur Kinerja Kebijakan Publik (Pertanyaan Korelasional Terhadap Aktualisasi Good Governance), dalam Jurnal Good Governance, Vol 3, No.1, Mei 2004, hlm. 63
18
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Adapun dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pelayanan diartikan sebagai suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain, sedangkan Ivancevich, Lorenzi, memberikan definisi pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan, dan definisi yang lebih rinci diberikan oleh Gronroos sebagai berikut:18 Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/ pelanggan. Dari uraian di atas jelas bahwa, kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, dan hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan dengan lebih menekankan kepada kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik, sedangkan tugas melekat pada posisi jabatan birokrasi. Dalam perspektif hukum administrasi negara, konsep tentang pelayanan publik tidaklah semata-mata dimaknai sebagai seperangkat norma (aturan) yang berkaitan dengan pelayanan publik saja, namun lebih dari itu ditujukan untuk perlindungan hukum bagi masyarakat atas tindakan pemerintah, seperti dikemukakan Van Wijk Konijnentbelt sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon bahwa hukum administrasi negara meliputi:191) mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat; 2) mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut; 3) perlindungan hukum (Rechtsbescherming); 4) menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur / abbb). Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah yang meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, serta instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Dalam hubungan tersebut, Serdamayanti mengetengahkan konsep dan dimensi penting pelayanan publik yang antara lain sebagai berikut:20 1) pelayanan tanpa diskriminasi dari lembaga-lembaga publik/ kedinasan; 2) penerapan prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian, 18
19
20
C. Gronroos, (1990), Service Management and Marketing; Managing the Moment of Truth in Service Competition, Lexington, Massachusetts, hlm. 27 Philipus M. Hadjon, (2005), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajahmada University Press, hlm. 28 Sedarmayanti, (1994), Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi, Jakarta: Mandar Maju, hlm. 94
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
19
keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan yang merata dan ketepatan waktu; 3) berkualitas dalam arti kesesuaian dengan tuntutan, kecocokan dengan pemakaian kebebasan dari cacat; 4) terjamah, handal, akuntabilitas, mutu pelayanan, jaminan dan empati; 5)berorientasi pada kualitas modern yang dicirikan oleh partisipasi aktif dan empati serta kepuasan yang dilayani. Munir dalam bukunya Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia mengartikan pelayanan umum adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materil melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.21 Di samping itu Munir juga telah mengidentifikasikan adanya enam faktor yang dianggap mempunyai bobot pengaruh relatif yang sama besar untuk mendukung pelayanan umum organisasi-organisasi kedinasan yaitu: 1) faktor kesadaran yang menjiwai perilaku yang memandu kehendak dalam lingkungan organisasi kerja yang tidak menganggap sepele yang dilayani dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin; 2) faktor aturan dalam arti ketaatan dan penggunaan kewenangan bagi penuaian hak dan kewajiban serta tanggung jawab. Adanya pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta kemampuan berbahasa yang baik dengan pemahaman pelaksanaan tugas yang cukup; 3) faktor organisasi dalam arti adanya organisasi pelayanan yang bersistem simbiotik yang mengalir kesemua komponen sibernetik, metodik, dan prosedural sesuai dengan uraian, metodik dan prosedural; 4) faktor pendapatan yang merupakan imbalan bagi para fungsionaris yang diukur layak dan patut; 5) faktor sarana pelayanan yang menyangkut segala peralatan, perlengkapan kerja, fasilias utama, dan pembantu pelaksanaan kerja. Fungsi sarana pelayanan ini meliputi antara lain: mempercepat proses pelaksanaan kerja (hemat waktu), meningkatkan produktivitas barang dan jasa, ketepatan ukuran/ kualitas produk terjamin, lebih mudah/ sederhana dalam gerak para pelakunya, menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan, menimbulkan perasaan puas dan mengurangi sifat emosional pelanggan. Di samping itu kemampuan dalam melaksanakan tugas/ pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Menurut Ismail Mochammad pelayanan lembaga-lembaga publik/ kedinasan saat ini perlu lebih diorientasikan kepada patokan akuntabilitas publik secara langsung (directly accountable to public) dengan cara penyajian manajemen kualitas pelayanan yang terintegrasi (integrated quality management).22 Menurut Penulis esensi pelayanan publik seyogyanya perlu mangacu pada proporsi yang dengan arif menyatakan bahwa produk pemerintahan dapat dipasarkan pada publik (being marketed to public) kiranya perlu diorientasikan pada budaya pelayanan (service culture) melalui cara penciptaan layanan kepada pelanggan dengan memuaskan (creating service through customer satisfaction). Untuk itulah, maka diperlukan kualitas layanan prima (high quality services) dan pengadaan pusat-pusat layanan (service centre) yang memenuhi standar-standar performa dan disain detail dengan melalui akuisisi perangkat keras dan lunak (hardware dan software) yang memadai. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa, pembicaraan tentang konsep pelayanan publik (publik service ), maka ada dua pihak yang terlibat didalamnya yaitu pelayanan (servant) dan pelanggan (customer). Dalam hal ini servant merupakan pihak yang menyediakan layanan bagi kebutuhan customer. Konsep ini lebih identik dengan organisasi 21 22
Moenir, H.A.S., (2001), Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 26-27 Ismail Mochamad, (2000), Kualitas Pelayanan Masyarakat : Konsep dan Implementasi, dalam Miftah Thoha, Administrasi Negara, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Jakarta: LAN, hlm. 13
20
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
privat, karena dalam organisasi publik pengertian customer belum sepenuhnya digunakan sebagai pengganti istilah masyarakat dalam hubungan dengan pelayanan. Oleh sebab itu pembicaraan tentang pelayanan kepada masyarakat akan melibatkan empat unsur yang terkait yaitu: Pertama, adalah pihak pemerintah atau birokrasi yang melayani, Kedua, adalah pihak masyarakat yang dilayani, Ketiga, terjalin hubungan antara yang melayani dan yang dilayani. Hubungan ini sangat menentukan tingkatan pelayanan pemerintah dan pemanfaatan pelayanan tersebut oleh masyarakat. Keempat, adanya pengaruh lingkungan di luar birokrasi dan masyarakat seperti politik, sosial, budaya dan sebagainya. Konsep Tentang Kualitas Pelayanan Publik Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: kinerja, keandalan, mudah dalam penggunaan, dan estetika. Adapun dalam definisi strategis dinyatakan bahwa, kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer), sedangkan pengertian kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih strategis oleh Gasperz dinyatakan bahwa, pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok:23 1) kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk; dan 2) kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Dalam kaitannya dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur negara, mengemukakan manfaat yang diperoleh dari optimalisasi pelayanan yang efisien dan adil yaitu secara langsung dapat merangsang lahirnya respek masyarakat atas sikap profesional para birokrat sebagai abdi masyarakat (servant leader).24 Pada tingkat tertentu, kehadiran birokrat yang melayani masyarakat secara tulus akan mendorong terpeliharanya iklim kerja keras, disiplin dan kompetitif. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pelayanan, namun yang paling signifikan untuk diterapkan dalam lembaga pemerintah adalah: 1) function: kinerja primer yang dituntut; 2) confirmance: kepuasan yang didasarkan pada pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan; 3) reliability: kepercayaan terhadap jasa dalam kaitannya dengan waktu; 4) serviceability: kemampuan untuk melakukan perbaikan apabila terjadi kekeliruan; 5) adanya assurance yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan melalui pelayanan yang baik akan dapat bermanfaat terhadap citra birokrasi pemerintah itu sendiri dan masyarakat, dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka pemberdayaan terhadap para birokrat ke arah penciptaan profesionalisme pegawai juga menjadi sangat menentukan, seperti yang dikatakan Pamudji bahwa, profesionalisme aparatur bukan satusatunya jalan untuk meningkatkan pelayanan publik,25 karena masih ada alternatif lain,
23
24
25
Vincent Gasperz, (1997), Indonesia Manajemen Kualitas: Penerapan Konsep-Konsep Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total (terjemahan Sudarsono), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 34 Ryaas Rasyid, (2000), Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, hlm. 3-4 Pamudji, (1994) “Profesionalisme Aparatur Negara Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik” dalam Widyapraja, Jakarta: Majalah Institut Ilmu Pemerintahan No. 19 Tahun II/1994, hlm. 20
Rokiyah, Optimalisasi Pelayanan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
21
misalnya dengan menciptakan sistem dan prosedur kerja yang efisien tetapi adanya aparatur yang profesional tidak dapat dihindari oleh pemerintah yang bertanggung jawab. KESIMPULAN Berkaitan dengan optimalisasai kualitas pelayanan hal-hal yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut: 1) akurasi pelayanan. Ini berkaitan dengan realitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan; 2) kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; 3) tanggung jawab. Berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan; 4) kemudahan mendapatkan pelayanan. Berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan; 5) variasi model pelayanan. Berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru dalam pelayanan, features dari pelayanan dan lain-lain; 6) pelayanan pribadi. Berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus, dan lainlain; 7) kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. Berkaitan dengan lokasi, ruang dan tempat pelayanan, kemudahan menjangkau, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk dan bentukbentuk lain; 8) atribut pendukung pelayanan lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu dan fasilitas lainnya; 9) birokrasi pemerintah sebagai salah satu organisasi pelayanan, sudah sewajarnya untuk mencoba menerapkan konsep kepuasan masyarakat dalam kehidupan organisasinya, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perlunya menerapkan konsep kepuasan masyarakat tersebut semakin penting artinya dalam era Reformasi saat ini dimana masyarakat sudah semakin kritis dalam menilai kinerja birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA Atmosudirdjo, Prajudi, (1995), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia. C. Gronroos, (1990), Service Management and Marketing; Managing the Moment of Truth in Service Competition, Lexington, Massachusetts. Effendi, Taufiq, (2008), Reformasi Birokrasi Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Hukum Universitas Diponegoro: Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu. Etzioni, Amitai, (1986), Organisasi-Organisasi Modern, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gasperz, Vincent, (1997), Indonesia Manajemen Kualitas: Penerapan Konsep-Konsep Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total (terjemahan Sudarsono), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hadjon, Philipus M. (2005), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajahmada University Press. Hariyoso, (2002), Pembaruan Birokrasi dan Kebijakan Publik, Jakarta: Peradaban. Harrop, M, R. Haque dan S, Breslin, (1998), Camparative Government and Politics, London: Mac Millan Press. Kumorotomo, Wahyudi, (1992), Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers.
22
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Lukman, Sampara, ( 2004), Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta: STIA-LAN Press. Mas’ud, Said dalam Moeljarto Tjokrowinoto, (2004), Birokrasi dalam Polemik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan Pusat Studi Kewilayahan Universitas Muhammadiyah Malang. _____________, (2007), Birokrasi Di Negara Birokratis; Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia, Malang: UMM. Miftha, Thoha, (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mochamad, Ismail, (2000), Kualitas Pelayanan Masyarakat : Konsep dan Implementasi, dalam Miftah Thoha, Administrasi Negara, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Jakarta: LAN. Moenir, H.A.S., (2001), Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Muhajir, Darwin, (2007), Abaikan Kependudukan, Negara Terancam Gagal, Kompas. Pamudji, (1994) “Profesionalisme Aparatur Negara Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik”dalam Widyapraja, Jakarta: Majalah Institut Ilmu Pemerintahan No. 19 Tahun II/1994. Rasyid,Ryaas (2000), Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya. R.V. Krieken, (2000), Sociology: Themes and Perspectives, French Forest: 2nd edition Longman. Rusli, Said, (1996), Ilmu Kependudukan LP3ES, Jakarta: Djambatan. Sedarmayanti, (1994), Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi, Jakarta: Mandar Maju. Sugiyanto,(2004), Mengukur Kinerja Kebijakan Publik (Pertanyaan Korelasional Terhadap Aktualisasi Good Governance), dalam Jurnal Good Governance, Vol 3, No.1, Mei 2004. Weber, Max, The Essentials of Bureaucratic Organization; An Ideal-type Construction dalam Robert K. Merton, et al (ed), Reader in Bureaucracy, Columbia University, The Free Press Glencoe, Illionis, t.t, (Translate).
Ririen A., Faniko A., Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011
23
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MALANG TERHADAP PEMBANGUNAN RUKO DI ATAS RUANG TERBUKA HIJAU Ririen Ambarsari, Faniko Andiyansyah 1 e-mail:
[email protected] Abstrak Pemerintah kota Malang memiliki Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030 yang mengatur bahwa diatas ruang terbuka dilarang mendirikan bangunan dalam bentuk apapun. Namun dalam kenyatannya pada saat ini ruko di Kota Malang semakin menjamur baik di tengah kota, di pinggir dan di sudut kota. Hal tersebut menjadi alasan penelitian mengenai Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Terhadap Pembangunan Ruko di Atas Ruang Terbuka Hijau.Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan melakukan wawancara ke BP2T, DPU (Dinas Pekerjaan Umum), BLH (Badan Lingkungan Hidup), BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Malang, Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Malang, Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Kesehatan, dan Planologi, serta observasi yang dilakukan di Ruko sepanjang Danau Toba Sawojajar, Ruko Jalan Danau Kerinci, Ruko Pasar Sawojajar, Ruko Jalan Danau Sentani Sawojajar, Ruko Rampal Malang dan Ruko Dinoyo Malang. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011, yaitu: pendirian ruko di atas lahan Ruang Terbuka Hijau yang tidak melalui proses Advice Planning. Kata kunci: pembangunan ruko, peraturan daerah kota Malang, ruang terbuka hijau
PENDAHULUAN Dewasa ini banyak dijumpai ruko di Kota Malang yang dibangun pada lahan kosong kota yang sebagian besar merupakan ruang terbuka hijau. Padahal lahan hijau ini sangat bermanfaat bagi penduduk di sekitar kota Malang untuk keamanan, kenyamanan, keindahan, serta kesejukan. Ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) disuatu wilayah perkotaan yang diisi oleh berbagai macam tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) yang berguna untuk meningkatkan oksigen, mengurangi polusi, serta sebagai paru-paru kota dalam suatu kota. Selain itu, ruang terbuka hijau juga dapat berfungsi sebagai keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan dalam suatu wilayah kota. Jika delapan puluh persen ruang terbuka hijau ini digunakan sebagai pembangunan fisik seperti
1
Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S.Supriyadi 48 Malang
24
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
halnya ruko di kota Malang, maka permukaan tanah di kota Malang ini akan tertutup oleh beton atau aspal yang begitu padat dan keras. Apabila hal tersebut terjadi, sirkulasi air di kota Malang menjadi tidak lancar, karena fungsi tanah sebagai penyerap air yang akan digunakan tumbuhan untuk membantu proses fotosintesis tidak berfungsi dengan baik. Di satu sisi kota Malang memiliki Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangTahun 2010-2030, yang mengatur bahwa diatas ruang terbuka dilarang mendirikan bangunan dalam bentuk apapun. Secara umum, kota merupakan tempat bermukim warga kota, tempat bekerja tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan, secara istilah Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial, ekonomi, budaya. Perkotaan mengacu pada areal yang memiliki suasana penghidupan dan kehidupan modern dan menjadi wewenang pemerintah kota. Ruko adalah salah satu jenis bangunan yang berasal dari kata rumah dan toko. Rumah yang berarti tempat berpenghuni dan toko berarti ruang untuk kegiatan usaha, jadi ruko dapat dikatakan sebagai sebuah bangunan yang menggabungkan fungsi hunian dan kerja dalam satu tempat. Dengan demikian Ruko merupakan rumah toko (shophouse) yang bangunannya di desain minimalis dan biasanya memiliki dua lantai atau lebih. Bangunan ini digunakan sebagai lahan usaha di lantai bawah, sedangkan di lantai atasnya digunakan untuk hunian. Namun, tidak jarang ditemukan bahwa diatas lantai satu juga digunakan sebagai tempat untuk berdagang sebagai terusan atau sambungan dari lantai satu. Ruko merupakan bangunan yang terbuat dari batu bata, semen, besi, dan seperangkat bahan bangunan lainnya yang dapat menutup permukaan tanah dengan keras dan padat. Dengan titik tolak yang sederhana ini, menyebabkan ruko dapat berkembang dengan sangat pesat. Disamping praktis dan murah, fungsi ruko mampung menampung kegiatan dalam sekala ekonomi kecil. Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota hutan dan sebagainya. Dengan kata lain, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/ RDTR Kota/ RTR Kawasan Strategis Kota/ RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis; kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; area pengembangan keanekaragaman hayati; area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan; tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; tempat pemakaman umum; pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis; penyediaan ruang terbuka hijau yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya, area mitigasi/ evakuasi bencana; dan ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama ruang terbuka hijau tersebut. Melihat fenomena terdegradasinya ruang terbuka hijau di kota Malang sedangkan sebenarnya kota Malang telah memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota tersebut diatas, maka rumusan masalah diatas adalah: 1) Implementasi
Ririen A., Faniko A., Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011
25
dari Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang dalam kaitannya dengan pembangunan ruko di atas ruang terbuka hijau; 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya hal tersebut; dan (3) Dampak yang timbul akibat pembangunan ruko terhadap ruang terbuka hijau. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yuridis empiris, dengan pendekatan kualitatif yang akan dilakukan dengan observasi atau melihat langsung pada objek sasaran yang kemudian akan dilakukan pencatatan hasil. Penelitian ini berlokasi di kota Malang. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber data primer dan sekunder, Sumber data Primer didapatkan dari penelitian langsung ke lapangan (field research), dengan menggunakan observasi dan wawancara. Sumber Data Sekunder diperoleh dari buku literatur hukum, internet, dan surat kabar. Dalam melakukan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: Wawancara terhadap narasumber antara lain: BP2T, DPU (Dinas Pekerjaan Umum), BLH (Badan Lingkungan Hidup), BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Malang, SATPOL PP (Satuan Polisi Pamong Praja), Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Malang, Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Kesehatan, dan Planologi. Selain wawancara, juga melaluiObservasi, yangdilakukan di ruko-ruko antara lain: Ruko sepanjang danau Toba Sawojajar, Ruko Jalan Danau Kerinci, Ruko Pasar Sawojajar, Ruko Jalan Danau Sentani Sawojajar, Ruko Rampal Malang dan Ruko Dinoyo Malang.Selain itu juga melalui dokumentasi yang dilakukan dengan cara mengambil contoh gambar Ruko mengguanakan kamera digital. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan langkah terakhir adalah dengan membuat kesimpulan agar mudah dipahami.2 HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Malang merupakan sebuah Kota di Jawa Timur yang terletak di dataran tinggi pada ketinggian 440 sampai 667 meter, serta 112,06 Bujur Timur dan 7,06-8,02 Lintang Selatan. Selain itu Kota Malang juga dikelilingi oleh pegunungan antara lain: Gunung Arjuno di sebelah Utara; Gunung Tengger di sebelah Timur; Gunung Kawi di sebelah Barat; dan Gunung Kelud di sebelah Selatan. Kota Malang memiliki lima kecamatan dengan pembagian administrasinya adalah sebagai berikut: Kecamatan Klojen (11 Kelurahan; 89 Rukun Warga (RW); 675 Rukun Tetangga (RT), Kecamatan Blimbing (11 Kelurahan; 127 RW; 923 RT), Kecamatan Kedungkandang (12 Kelurahan; 114 RW; 870 RT), Kecamatan Sukun (11 Kelurahan; 94 RW; 869 RT), Kecamatan Lowokwaru (12 Kelurahan; 120 RW; 774 RT). Masing-masing kecamatan tersebut memiliki tingkat kepadatan penduduk yang berbeda-beda. Tingkat kepadatan penduduk Kota Malang, dapat dilihat pada tebel dibawah ini.
2
Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, hlm. 27
26
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Tabel 1: Luas Lahan dan Jumlah Penduduk Kota Malang
Kecamatan
Luas (Ha)
Jumlah Penduduk
Kepadatan Jiwa/ Ha
Klojen
883.00
118.804
134,5
Blimbing
1.117,65
187.364
105,5
Sukun
2.096,57
193.689
92,4
Lowokwaru
2.260,00
220.365
97,5
Kedungkandang
3.989,44
202.663
50,8
Jumlah
11.005,66
992.885
83,8
Sumber: Bapekko Kota Malang
Jika melihat tabel diatas, maka kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Kedungkandang. Berdasarkan hasil penelitian, maka hasil yang didapatkan adalah di kota Malang banyak didirikan ruko di setiap sudut Kota, hal ini dilakukan pemerintah guna mengurangi angka kemiskinan serta pengangguran di Kota Malang.3 Namun terkadang ada yang mendirikan ruko di lahan ruang terbuka hijau Kota Malang. Hal ini dapat merusak ekosistem di Kota Malang. Kota Malang pada dasarnya dibagi menjadi lima bagian wilayah menurut tim Advice Planing sesuai dengan porsinya. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: lahan permukiman, lahan industry, lahan perkantoran atau sosial, lahan perdagangan dan jasa dan ruang terbuka hijau4. Dari kelima pembagian tersebut, terdapat pula pembagian porsi antara pembangunan dengan ruang terbuka hijau. Kondisi ideal dari ruang terbuka hijau adalah tiga puluh persen sedangkan sisanya akan dipergunakan sebagai pembangunan.5 Namun menurut data per 2015, ruang terbuka hijau mengalami penyusutan, yaitu hanya didapatkan 18,7%.6 Ruang terbuka hijau di Kota Malang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Dalam ruang terbuka hijau publik prosentase ruang terbuka hijau yang seharusnya adalah tiga puluh persen, sedangkan untuk ruang terbuka hijau privat prosentase yang seharusnya adalah sepuluh persen. Berdasarkan kondisi lapangan saat ini, ruang terbuka hijau publik, yaitu ruang terbuka hijau yang mengacu pada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011, yang tersedia hanyalah 18,7% sedangkan Ruang Terbuka Hijau Privat saat ini prosentasenya sudah mencapai 40% (empat puluh persen).
3
4 5 6
Hasil wawancara dengan Humas Sekretariat Daerah Kota Malang Divisi Hukum Kota Malang pada tanggal 11 Februari 2015. Hasil wawancara dengan Dinas Perijinan Kota Malang pada tanggal 15 Februari 2015 Hasil wawancara dengan Bagian Hukum Kota Malang pada tanggal 15 Februari 2015 Hasil wawancara dengan Humas Sekretariat Daerah Kota Malang Divisi Hukum Kota Malang pada tanggal 11 Februari 2015
Ririen A., Faniko A., Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011
27
Tabel 2. Kawasan Terbangun Kota Malang
Kecamatan
Luas (Ha)
Luas Kawasan (Ha) Terbangun
Belum Terbangun
883.00
754,250
128.750
Blimbing
1.117,65
1.445,800
330.850
Sukun
2.096,57
1.267,859
828.650
Lowokwaru
2.260,00
1.597,547
662.453
Kedungkandang
3.989,44
1.869.731
2.119.709
Jumlah
11.005,66
6.935,187
4.070.473
Klojen
Sumber: Bapekko Kota Malang
Berdasarkan tabel diatas, mayoritas ruko-ruko yang berdiri di atas ruang terbuka hijau tidak memiliki izin dari dinas perizinan dan tidak melalui proses di Advice Planning7. Pada awalnya investor tersebut melapor pada Dinas Pekerjaan Umum untuk mendapatkan izin dari instansi yang bersangkutan. Akan tetapi, investor tersebut melapor kepada Dinas Pekerjaan Umum untuk mendirikan Rukan (Rumah kantor), sedangkan untuk implementasinya para investor tersebut tidak mendirikan Rukan (Rumah Kantor), melainkan mereka membangun membanguan Ruko (Rumah Toko). Sedangkan tim Advice Planning tidak ada alasan untuk menolak untuk mengizinkan mendirikan bangunan tersebut, jika para investor tersebut sudah mengantongi izin untuk mendirikan bangunan dari Dinas Perizinan. Mengenai analisa dampak lingkungannya, dalam hal ini yang berwenang adalah Badan Lingkungan Hidup.8 Dalam menganalisa dampak yang akan ditimbulkan dari suatu bangunan, Badan Lingkungan Hidup akan melakukan uji mutu. Dalam hal pembangunan ruko yang didirikan di atas ruang terbuka hijau, dampak yang akan ditimbulkan berdasarkan analisa dari Badan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut: 1) akan semakin pesatnya angka kriminalitas; 2) banjir; 3) limbah padat seperti halnya kertas, plastik, dan sebagainya. Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Berdasarkan Pasal 16 ayat 2 huruf d butir 2 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam rangka mendukung penyedian ruang terbuka hijau kota minimal tiga puluh persen maka diupayakan untuk tidak mengalihfungsikan ruang terbuka hijau. Jika melihat rumusan pasal tersebut, adanya kata-kata “diupayakan” memiliki makna ganda yaitu antara “ya atau tidak”. Akan tetapi, pada regulasi ini makna “diupayakan” berarti berusaha dengan keras untuk selalu menjaga ruang terbuka hijau agar tidak terjadi pengalih fungsian lahan. Seharusnya ruang terbuka hijau yang ada di Kota Malang ini bertambah dan tidak berkurang. ruang terbuka hijau yang sudah ada dan tersedia di Kota Malang harus tetap dipertahankan dan tidak didirikan bangunan dalam bentuk apapun di ruang terbuka hijau yang telah tersedia di Kota Malang ini, termasuk salah satunya adalah bangunan ruko. 7 8
Hasil wawancara dengan Dinas Pekerjaan Umum Kota Malang pada tanggal 18 Februari 2015 Ibid.,
28
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Seperti yang telah dijelaskan diatas, seharusnya ruang terbuka hijau yang telah ada di Kota Malang tetap dipertahankan agar daerah hijau dan resapan air di Kota Malang ini terus bertambah. Akan tetapi, kenyataan di lapangan ruang terbuka hijau di Kota Malang makin hari terus berkurang sehingga tidak dapat memenuhi target ruang terbuka hijau sebagaimana mestinya, yaitu 30% (tiga puluh persen). Banyak bangunan termasuk ruko yang didirikan di atas ruang terbuka hijau kota malang. Hal ini ditandai dengan dibangunnya ruko di kawasan Sawojajar. Fakta di lapangan berdasarkan observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata ruang terbuka hijau yang terdapat di sawojajar tepatnya di daerah Jalan Danau Toba dan di sepanjang Jalan Sawojajar Kampung tidak dipertahankan dan tidak dihindari adanya peralihan fungsi. Ruang terbuka hijau di Sawojajar tersebut sekarang dialihfungsikan keberadaannya menjadi ruko. Pembangunan ruko tersebut tentu saja bertentangan dengan pasal sebagaimana dimaksud diatas, yang menginginkan ruang terbuka hijau keberadaannya dipertahankan dan dihindari peralihan fungsinya. Dampak Pembangunan Ruko terhadap Ruang Terbuka Hijau Dengan dialihfungsikannya ruang terbuka hijau menjadi ruko maka fungsi-fungsi dari ruang terbuka hijau tidak akan tercapai, padahal ruang terbuka hijau memiliki fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu:sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem penyangga kehidupan,sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan, sebagai sarana rekreasi,sebagai pengamanan lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik darat, perairan maupun udara. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan,sebagai tempat perlindungan plasma nutfah, sebagai sarana dan mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, dan sebagai pengatur tata air. Adapun fungsi ruang terbuka hijau dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan; 2) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah; 3) Tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; 4).Pengendali tata air; dan 5).Sarana estetika kota. Dengan dialihfungsikan ruang terbuka hijau menjadi rumah toko (ruko) maka fungsifungsi ruang terbuka hijau tersebut akan hilang. Dampaknya adalah tidak adanya areal perlindungan fungsi ekosistem penyangga kehidupan, keindahan lingkingan akan berkurang, sarana rekreasi masyarakat minim, ancaman banjir serta tempat penyerapan air menjadi berkurang. Adapun ancaman yang terjadi adalah pencemaran tanah, kerusakan tanah, hewanhewan kecil dalam tanah akan mati serta tata air kota yang tidak teratur. Dikatakan tata air kota tidak teratur karena dengan dilaihfungsikannya ruang terbuka hijau menjadi ruko berarti mengurangi pula daerah resapan air sehingga air hujan tidak akan bisa diresap dengan maksimal. Selain fungsi yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat 2 huruf d butir 2 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tersebut, terdapat beberapa fungsi lain yang dimiliki oleh ruang terbuka hijau, yaitu:
Ririen A., Faniko A., Implementasi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011
29
Tabel 3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Fungsi Fungsi Ekologis
Fungsi Sosial
Manfaat Langsung a. Menurunkan tingkat pencemaran udara b. Meningkatkan kandungan air tanah. a. Menurunkan tingkat stres masyarakat b. Konservasi situs alami sejarah
Tolak ukur
Tidak langsung
Tolak ukur
a. Kadar pencemaran (CO, Pb, debu, dll) b. Jumlah dan kualitas air tanah a. Jumlah penderita penyakit kejiwaan
a. Konservasi keanekaragama n hayati b. Menurunnya penyakit ISPA masyarakat
a. Keberadaan nya b. Jumlah penderita ISPA
a. Menurunkan konflik sosial b. Meeningkatka n keamanan kota
a. Jumlah konflik sosial b. Jumlah kejadian kriminal
Sumber: http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/051130-rth.pdf.
Berdasarkan tabel fungsi ruang terbuka hijau diatas fungsi ruang terbuka hijau terbagi menjadi dua yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial. Fungsi ekologis terkait dengan keseimbangan lingkungan sedangkan fungsi sosial lebih berorientasi terhadap pengaruhnya kepada masyarakat. Kota Malang terdiri dari lima Kecamatan, yaitu Kecamatan Klojen, Kedungkandang, Lowokwaru, Blimbing, dan Sukun. Di setiap kecamatan tersebut memiliki tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau yang berbeda-beda. Adapun penelitian ini difokuskan pada dinamika ruang terbuka hijau yang berada di Kedungkandang. Kebutuhan ruang terbuka hijau di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang Berdasarkan Penghitungan Luas wilayah kecamatan Kedungkandang seluas 3989.44 Ha, penduduk kecamatan Kedungkandang sejumlah 172.663 Jiwa, maka kebutuhan ruang terbuka hijau sejumlah 3.070.639 m2.9 Tabel 4. Perencanaan RTH Kecamatan Kedungkandang
Jenis RTH Taman dan Makam Jalur Hijau Taman Lingkungan Resapan Air Hutan Kota/Kebon Bibit Jumlah Sumber: Bapekko Kota Malang 9
Bappeko Kota Malang
Kebutuhan RTH (m 2)
RTH yang Ada (m 2)
Pengembangan RTH (m 2 )
100.403 217.194 202.016 40.000 2.511.026 3.070.639
77.925 8.900 27.733 16.670 131.228
22.47 208.294 374.283 40.000 2.494.355 2.939.411
30
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Jika melihat tabel perencanaan RTH diatas, maka dapat diketahui terdapat kekurangan lahan ruang terbuka hijau, sebesar 2.939.411 m2. Kekurangan lahan tersebut, diakibatkan karena adanya pembangunan ruko yang tidak sesuai dengan prosedur perijinan dari dinas perizinan dan tidak melalui proses Advice Planning serta menyalahi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4Tahun 2011. Salah satu bentuk pelanggaran terhadap peraturan daerah tersebut adalah penyalahgunaan izin pembangunan ruko yang didirikan di kawasan ruang terbuka hijau. Berdasarkan data yang di dapatkan dari Dinas Pekerjaan Umum, ruko yang didirikan di sepanjang jalan Sawojajar kampung tersebut, memang tidak memiliki izin dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pelanggaran mengenai pembangunan ruko tersebut. Hal inilah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pengurangan ruang terbuka hijau di Kota Malang. Penyalahgunaan ijin tersebut menyebabkan ruang terbuka hijau menjadi hilang dan berpotensi menyebabkan fungsi atau tujuan didirikannya ruang terbuka hijau tidak tercapai. Akibatnya berdasarkan observasi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa di daerah sawojajar sebagai objek kajian dari peneltian ini sering mengalami banjir. Salah satu penyebabnya adalah dibangunnya ruko diatas lahan ruang terbuka hijau yang mengakibatkan daya serap tanah terhadap air hujan berkurang. Fungsi ekologis yang kemudian tidak bisa dilakukan akibat tidak adanya ruang terbuka hijau akan menyebabkan benyak permasalahan terutama yang berhubungan dengan kualitas udara serta kesehatan masyarakat. Pohon–pohon berfungsi sebagai penghasil oksigen serta menurunkan tingkat pencemaran udara. Akibat yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah masyarakat akan menjadi terganggu pernapasannya karena kualitas udara yang kurang. Selain hal tersebut, salah satu penyebab dari pemanasan global (global warming) adalah semakin berkurangnya pepohonan. Dengan semakin minimnya pohon yang ditandai dengan bertambah berkurangnya ruang terbuka hijau maka dapat dipastikan bahwa global warming semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya suhu rata-rata Kota Malang setiap tahunnya. PENUTUP Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah telah disimpangi dengan banyak dibangunnya ruko di atas ruang terbuka hijau di kota Malang. Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan ketentuan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011, yaitu pendirian ruko di atas lahan ruang terbuka hijau yang tidak melalui proses Advice Planing, terjadi karena adanya permainan dari investor, pengusaha, dan pemborong pembangunan pada proses perijinan pembangunan ruko. Sedangkan dampak yang timbul akibat pembangunan ruko yang menyimpang dari Peraturan Daerah Kota Malang nomor 4 tahun 2011 terhadap ruang terbuka hijau adalah semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di Kota Malang, Malang akan berpotensi menjadi daerah yang rawan banjir, suhu di Kota Malang akan semakin meningkat setiap tahunnya dan semakin bertambahnya penderita ISPA setiap tahunnya. DAFTAR PUSTAKA Ismail, Bachtiar. (2005). Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Malang: Bappeko. Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. _________, (2008). Penataan Ruang Wilayah Nasional. Bandung: Nuansa Aulia. http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/051130-rth.pdf.
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
31
TINJAUAN ASPEK HUKUM PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DI INDONESIA (UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK) Widaningsih1 e-mail:
[email protected] Abstrak Hukum pidana pada teknologi informasi dapat kita sebut dengan cyberlaw, cyberlaw tersebut berisikan tentang peraturan dan perundang-undangan yg diperuntukkan kepada penjahat di dunia maya. Cybercrime potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang yaitu: politik,ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya. Di masa mendatang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan). Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang berhubungan dengan hukum teknologi informasi (law of information technology) setelah diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyberspace) atau mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Kata kunci: cybercrime, cyberlaw, UU ITE
PENDAHULUAN Teknologi informasi sangat berkembang pesat dari tahun ke tahunnya. Tidak hanya memberikan dampak positif saja terhadap masyarakat, namun juga memberikan dampak negatif dan dapat mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Teknologi informasi saat ini selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.2 Kehidupan pola dapat dipengaruhi oleh teknologi dalam berbagai bidang, sehingga secara langsung telah mempengaruhi munculnya perbuatan hukum baru di masyarakat. Bentukbentuk perbuatan hukum itu perlu mendapat penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundang-undangan yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan hukum baru.3 Salah satu dampak yang paling besar di dalam perubahan global adalah munculnya kejahatan yang dapat melintasi batas-batas yurisdiksi dari tiap negara, yang dapat disebut
1 2
3
Politeknik Negeri Malang, Jl. Soekarno Hatta 9 Malang Ahmad M. Ramli, (2004), Cyber Law dan Haki Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, hlm. 1 Syamsul Muarif, Menunggu Lahirnya Cyber Law, dalam http://cybernews.cbn.id, diakses tanggal 22 Juni 2016
32
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
oleh kejahatan dalam dunia maya yaitu cybercrime. Cybercrime merupakan kejahatan yang berada dalam bidang teknologi informasi dan tentunya sangat berbahaya bagi masyarakat. Kejahatan dalam dunia teknologi informasi (cybercrime) merupakan kejahatan masa kini yang mendapat perhatian yang sangat luas dari dunia internasional. Munculnya cybercrime merupakan suatu fenomena yang memerlukan penanggulanagn secara cepat dan akurat. Penanganan dengan hukum pidana merupakan salah satu cara yang tepat dipergunakan untuk mengatasi jenis kejahatan ini terutama dengan kebijakan kriminalisasi yang tepat dengan memperhatikan segala aspek mulai dari pertanggung jawaban pidana, aspek yurisdiksi, pemindanaan sampai dengan perbaikan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, dan penyusunan undang-undang khusus mengenai tindak pidana. Hukum yang mengatur kejahatan dunia maya dapat juga disebut dengan cyberlaw. Adapun masalah yang berkaitan dengan hukum pidana di bidang teknologi informasi adalah: bagaimana aspek hukum pidana teknologi informasi dan perbandingan dengan negara lain. PEMBAHASAN Hukum pidana pada teknologi informasi dapat kita sebut dengan cyberlaw, cyberlaw tersebut berisikan tentang peraturan dan perundang-undangan yg diperuntukkan kepada penjahat di dunia maya. Cybercrime potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang yaitu politik,ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya. Di masa mendatang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan). Maka dari itu perlunya hukum pidana di Indonesia sangat penting. Sebelum itu kita akan membahas pembaruan hukum terlebih dahulu di bidang teknologi informasi. Pertama, perlu diperhatikan upaya internasional dalam menanggulangi cyber crime sehingga terjadi sinergi antara kiat-kiat yang dilakukan untuk menanggulanginya baik secara nasional, regional maupun internasional. Dalam resolusi kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negaranegara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana; 2) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; 3) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer. Kedua, dalam rangka mengejawantahkan seruan internasional dalam menanggulangi cyber crime tersebut, hal-hal menyangkut pidana substantif yang perlu diubah aadalah konsep pertanggung jawaban pidana. Seperti yang diutarakan di atas bahwa pada prinsipnya pertangggung jawaban dalam hukum pidana adalah pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability base on fault). Akan tetapi dalam kaitannya dengan penanggulangan cyber crime, khusus perlindungan terhadap sistem keamanan komputer oleh lembaga penyedia jasa internet atau pejabat/petugas yang diembani tugas tersebut, selain liability base on fault terhadap para pelaku, perlu dipikirkan kemungkinan pertanggung jawaban ketat (strict liability). Pertanggung jawaban ini artinya seorang pelaku dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut. Dalam konteks cyber crime ini, artinya pemilik lembaga
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
33
penyedia jasa internet atau pejabat/ petugas atau orang yang bertanggung jawab dalam bidang information technology bertanggung jawab atas keamanan dari sistem komputernya. Konsekuensi lebih lanjut apabila kejahatan internet dilakukan melalui komputer yang berada di bawah tanggung jawabnya, maka pemilik atau orang yang bertanggung jawab dalam bidang information technology dapat dipidana. Ketiga, masih dalam kaitannya dengan pidana subtantif, sambil menunggu cyber law yang lebih komprehensif, kiranya perlu dilakukan penambahan beberapa ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan, pemalsuan maupun perusakan untuk menanggulangi cyber crime yang modus operandinya tiap kali berkembang. Banyak negara telam menempuh hal ang demikian, antara lain: Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Italia, Jerman, Perancis dan Yunani. Namun ada beberapa negara yang membuat undang-undang khusus berkaitan dengan kompute, seperti Israel dan Inggris. Selain itu pula ada yang memasukkan cyber crime ke dalam undang-undang telekomunikasi, seperti Cina. Keempat, dalam menyusun cyber law yang berkaitan dengan penanggulanagan cyber crime, kiranya dapat membandingkan dengan draft Konvensi Cyber Crime yang dihasilkan oleh European Committe on Crime Problems.4 Peraturan terhadap teknologi informasi agar diterima masyarakat harus mempertimbangkan semua aspirasi dan berbagai kepentingan harus diselaraskan dan diserasikan. Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber pun, berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyber law akan bersifat mengikat bagi tiap-tiap individu-individu untuk tunduk dan mengikuti segala kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus tentang pemanfaatan teknologi informasi, sebenarnya Indonesia dalam persoalan cybercrime tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang. Metode penafsiran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi hal yang logis untuk menghindari kekosongan hukum terhadap tindak pidana teknologi informasi. Penerapan ketentuan-ketentuan hukum positif sebelum adanya UU ITE tidaklah sederhana karena karateristik cybercrime yang bersifat khas dari kejahatan konvensional/ di dunia biasa. Sebelum disahkannya UU ITE terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menanggulangi tindak pidana di dunia maya. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan kitab undang-undang hukum pidana. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP yang mengkriminalisasi terhadap kejahatan dunia maya, sebagaimana dikatakan oleh Petrus Reinhard Golose di antaranya adalah:5 a) Pasal 362 KUHP untuk kasus Carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukantransaksi di E-Commerce; b) Pasal 378 KUHP untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan 4
5
http://jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2010/10/Presentasi-Klp-II-Urgensi-Cybercrime-Law.pdf diakses pada 22 Juni 2016 Petrus Reinhard Golose, “Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia Oleh Polri”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 2, Jakarta, Agustus 2006, hlm. 38-39
34
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan; c) Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail; d) Pasal 331 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan e-mail kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mai lsecara berantai melalui mailling list (millis) tentang berita yang tidak benar; e) Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara on-line di internet dengan penyelenggara dari Indonesia; f) Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet; Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet; g) Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengankartu kredit yang nomor kartu kreditnya merupakan hasil curian; h) Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface suatu website, karena pelaku setelah berhasil memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara mengganti tampilan asli dari website tersebut. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kebijakan hukum yang terkait dengan masalah kriminalisasi yang terkait dengan tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Telekomunikasi adalah sebagai berikut: Pasal 21: Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Pasal 50 juncto Pasal 22: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah). Pasal 55 juncto Pasal 38: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 56 juncto Pasal 40: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Kriminalisasi perbuatan yang berhubungan dengan tindak pidana teknologi informasi dalam UU Hak Cipta berhubungan dengan perbuatan pembajakan dan peredaran program komputer sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) , (2) dan (3) Undang-Undang Hak Cipta yaitu:
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
35
Pasal 72: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait.sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata “setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggung jawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang ketentuan pidana, dalam Pasal 52 ayat (4) yang mengatur tentang pertanggung jawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut UU ITE dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi mengenai ketentuan terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungj awabkan tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE, tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang dilakukan oleh korporasi dan/ atau oleh pengurus dan/ atau staf korporasi. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
36
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau me ntransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/ atau pengancaman. Pasal 28 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik. 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dalam suat Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/ atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. 3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang undang. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer. Pasal 32 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
2)
3)
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerjasebagaimana mestinya Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 33 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda Rp10 miliar rupiah. (Pasal 49 UU ITE). Pasal 34 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. 2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Pasal ini disebut kejahatan penyalahgunaan alat Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 34 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda Rp 10 miliar (Pasal 50 UU ITE). Pasal 35 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah olah data yang otentik Pasal ini merupakan kejahatan perbuatan memanipulasi data sehingga menjadi data otentik. Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 35 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda hingga Rp 12 miliar (Pasal 51 UU ITE). Pasal 36 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
37
38
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Sanksi pidana dalam UU ITE dirumuskan secara kumulatif, dimana pidana penjara dikumulasikan dengan pidana denda. Ketentuan pidana dalam UU ITE tertulis dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan Pasal 52, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 46 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 47 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 48 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
39
Pasal 49 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 50 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 51 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 52 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Kompute dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, permufakatan jahat, perbarengan, pengulangan dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE, Karena tidak diaturnya penyertaan, percobaan dan peringanan tindak pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab I sampai dengan Bab.VIII dalam KUHP. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana UU ITE, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Menurut Barda Nawai Arief apabila korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam suatu undang-undang ini berarti, harus ada ketentuan khusus mengenai:6 a) kapan dikatakan korporasi melakukan 6
Barda Nawawi Arief, (2007). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.151
40
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
tindak pidana; b) siapa yang dapat dipertanggungjawabkan; c) dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; d) jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi. Redaksi pasal-pasal dalam UU ITE (Pasal 1 sampai dengan Pasal 54) tidak mengatur kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, tetapi dalam penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan/ kapasitas terhadap korporasi dan/atau oleh pengurus dan/atau staf melakukan tindak pidana, yaitu: a) mewakili korporasi; b) mengambil keputusan dalam korporasi; c) melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi; d) melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi. Penjelasan Pasal 52 ayat (4) di atas merupakan norma kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, seharusnya norma-norma tersebut tidak berada dalam “penjelasan”, tetapi dirumuskan dalam perumusan pasal tersendiri, yaitu: dalam aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Dari pernyataan-pernyataan diatas adalah kebijakan hukum pidana di Indonesia mengenai teknologi informasi. Berikut ini adalah perbedaan Indonesia dengan negara lainnya (Singapura dan Amerika). Tabel 1. Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana ITE di 3 (tiga) negara
Kebijakan Peraturan Cyber Law
Penegakan Hukum
Indonesia
Singapore
UU ITE (UndangThe Electronic Undang Informasi dan Transaction Act (ETA) Transaksi Elektronik) 1. Kontrak - Pasal 27: Asusila, Elektronik, perjudian, didasarkan pada penghinaan, hukum dagang pemerasan online yang - Pasal 28 : berita dilakukan secara bohong dan wajar dan cepat menyesatkan, berita serta untuk kebencian dan memastikan bahwa permusuhan kontrak elektronik - Pasal 29: ancaman memiliki kepastian kekerasan dan hukum. menakut nakuti 2. Kewajiban - Pasal 30: akses komputer pihak lain tanpa izin, cracking - Pasal 31: penyadapan, perubahan, penghilangan informasi
Amerika Serikat Uniform Electronic Transaction Act (UETA)
- Pasal 5: Mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik - Pasal 7: Memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik. Penyedia Jasa - Pasal 8: Mengatur Jaringan, Mengatur informasi dan dokumen yang mengenai potensi / disajikan untuk kesempatan yang semua pihak. dimiliki oleh - Pasal 9: Membahas network service atribusi dan provider untuk
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
- Pasal 32 : pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia - Pasal 33 : virus, membuat sistem tidak bekerja (DOS) - Pasal 35 :
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa perlu untuk mewaspadai hal tersebut. 3. Tandatangan dan
-
-
Arsip elektronik, Bagaimanapun hukum memerlukan arsip/bukti arsip
menjadikan seolah
elektronik untuk
dokumen otentik
menangani kasus-
(Phising)
kasus elektronik,
-
karena itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum, namun tidak semua hal/bukti dapat berupa arsip elektronik sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Singapore.
-
41
pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik. Pasal 10: Menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi. Pasal 11: Memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/ segel. Pasal 12: Menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik. Pasal 13: Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik
42
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
- Pasal 14: mengatur mengenai transaksi otomatis - Pasal 15: mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik - Pasal 16: mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan - Undang-undang No
- penggunaan secara
19 Tahun 2002
dengan sengaja
hukum dari sistem
tentang hak cipta :
menyebabkan
komunikasi
pidana penjara
komputer untuk
komputerisasi;
paling lama 5 tahun
melakukan fungsi
Kelas B
dan/atau denda
apapun untuk
pelanggaran; denda
paling banyak Rp.
tujuan
hingga $1.000, atau
500.000.000,-
mengamankan
penjara sampai 90
akses tanpa
hari, atau keduanya
36 Tahun 1999
kewenangan untuk
untuk mengirimkan
tentang
setiap program atau
ancaman elektronik
Telekomunikasi
data dalam
atau menggunakan
komputer manapun
cabul atau bahasa
pidana penjara
akan bersalah
profan dalam
paling lama 6 tahun
karena melakukan
komunikasi
dan/atau denda
kejahatan dan harus
elektronik.
paling banyak Rp.
bertanggung jawab
600.000.000,-
atas keyakinan
menipu, mengakses
untuk denda tidak
komputer yang
pidana penjara
melebihi $ 5,000
dilindungi tanpa
paling lama 15
atau penjara untuk
izin, atau melebihi
tahun
jangka waktu tidak
akses yang
melebihi 2 tahun
berwenang, dan
- Undang-undang No
Sanksi
- setiap orang yang
1. Illegal access :
2. Illegal interception:
- maksud untuk
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
atau keduanya dan, dalam kasus keyakinan kedua atau berikutnya, denda tidak melebihi $10.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 3 tahun atau keduanya. - setiap orang yang tidak setiap perbuatan yang ia tahu akan - Undang-undang
menyebabkan
nomor 11 tahun
modifikasi yang tidak
2008 tenteng ITE
sah dari isi komputer
pasal 45 ayat 2 :
manapun akan
dipidana penjara
bersalah karena
paling lama 6
melakukan kejahatan
tahun dan/atau
dan harus
denda paling
bertanggung jawab
banyak Rp.
atas keyakinan untuk
1.000.000.000,-
denda tidak melebihi $10.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 3 tahun atau baik dan, dalam kasus keyakinan kedua atau berikutnya, denda tidak melebihi $20,000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 5 tahun atau keduanya
43
dengan cara perilaku tersebut furthers penipuan dimaksud dan memperoleh sesuatu yang berharga, kecuali obyek penipuan dan hal yang diperoleh hanya terdiri dari penggunaan dari komputer dan nilai penggunaan tersebut tidak lebih dari $5.000 dalam jangka waktu 1 tahun dipidana - Memperoleh informasi dengan akses yang tidak sah : (1) (a) berkomitmen untuk keuntungan komersial atau keuangan, (b) berkomitmen sebagai kelanjutan dari tindak pidana atau perbuatan salah, atau (c) nilai informasi yang melebihi $5,000 5 tahun
44
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Tidak hanya singapura dan Amerika saja, tetapi negara lain juga memiliki banyak potensi terjadinya kejahatan dunia maya. KESIMPULAN Aspek hukum pidana di Indonesia terkait dengan teknologi informasi sudah diatur oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku. Aspek hukum pidana teknologi informasi sendiri dapat disebut dengan cyberlaw, sedangkan tindak pidana dapat disebut dengan cybercrime. Untuk undang-undang dan peraturan telah dicantumkan dalam UU ITE. Untuk negara lain mempunyai undang-undang dan kebijakan hukum pidana tersendiri atas kasus cybercrime. Dalam resolusi kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana; 2) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; 3) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer. SARAN Pengenaan sanksi yang tegas pada pelaku kejahatan cybercrime dengan system perundangundangan yang tepat dan didukung oleh penegak hukum. Masyarakat diharapkan bisa mendukung pemerintah dalam menanggulangi kejahatan cybercrime. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, (2007), Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Golose, Petrus Reinhard, “Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanggulangannya Di Indonesia Oleh Polri”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 2, Jakarta, Agustus 2006. Muarif, Syamsul, “Menunggu Lahirnya Cyber Law”, dalam http://cybernews.cbn.id, akses tanggal 22 Juni 2016 Ramli, Ahmad M., (2004), Cyber Law dan Haki Dalam Sistem Hukum di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. http://jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2010/10/Presentasi-Klp-II-Urgensi-CybercrimeLaw.pdf diakses pada 22 Juni 2016
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
45
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERATURAN PENYELENGGARAAN REKLAME DI KOTA MALANG SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM Iwan Permadi1 e-Mail:
[email protected] Abstrak Peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang diawali oleh Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1998 tentang Pajak Reklame dan Peraturan Walikota Malang Nomor 4 tahun 2008 tentang Tata Cara Penghitungan Pajak Reklame serta Peraturan Walikota Malang Nomor 22 tahun 2008 tentang Tata Cara Perijinan Pemasangan dan Pencabutan Reklame. Kemudian seiring dengan perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan konsekuensi logis bahwa pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Demikian pula peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Pengaturan terhadap penyelenggaraan reklame ini terdapat kekurangan/ kelemahan dalam substansinya. Pelanggaran penyelenggaraan reklame adalah tata cara pemasangan reklame di Kota Malang yang tidak sesuai estetika kota dan membahayakan pengguna jalan, dan pelanggaran dalam tata cara pemasangan reklame serta masih adanya pemasangan reklame liar/ tanpa izin. Sanksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan reklame ini didalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame tidak dijelaskan secara tegas sehingga upaya penegakan hukumnya kurang maksimal. Kata kunci: penegakan hukum, penyelenggaraan reklame, tinjauan yuridis PENDAHULUAN Pengaturan hukum/ norma hukum terhadap penyelenggaraan reklame di Kota Malang diawali dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1998 tentang Pajak Reklame. Peraturan tentang pajak reklame ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah maka setiap daerah diberikan kesempatan untuk menggali potensi daerahnya masing-masing guna meningkatkan PAD. Oleh karena itu Kota Malang melakukan upaya optimalisasi pada pajak reklame dengan cara mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1998 tentang Pajak Reklame dan Peraturan Walikota Malang Nomor 4 1
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Jl. MT. Haryono 167 Malang
46
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
tahun 2008 tentang Tata Cara Penghitungan Pajak Reklame serta Peraturan Walikota Malang Nomor 22 tahun 2008 tentang Tata Cara Perijinan Pemasangan dan Pencabutan Reklame.2 Peraturan terhadap kewenangan pemerintah daerah pada tahun 2014 telah berganti menjadi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memberikan hak pengelolaan pemerintahan, sumber daya alam, sumber daya manusia hingga ke daerah kota/ kabupaten secara langsung dengan harapan dapat lebih memahami dan lebih memenuhi aspirasi masyarakat serta melaksanakan pelayanan yang lebih baik. Kota Malang merupakan salah satu kota di Indonesia sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan melaksanakan Undang-Undang tersebut maka Kota Malang berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menggali berbagai potensi daerah guna terpenuhinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pembelanjaan daerah yang tujuan utama otonomi daerah adalah bisa mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia, Kota Malang melakukan upaya penyelenggaraan reklame dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Literatur terhadap pajak itu sendiri membedakan antara Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara periodik (berulang-ulang) yang mempunyai kohir dan pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, sedangkan Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang dikenakan secara insidental, yaitu pada saat dipenuhi tatbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam undang-undang pajak, tidak mempunyai kohir atau daftar dan jumlahnya dapat dilimpahkan kepada orang lain (Bea Materai, Bea Lelang, Pajak Pertambahan Nilai, Bea Balik Nama, Cukai Tembakau dan lain sebagainya). Pada dasarnya Pajak tidak Langsung, dimasukkan dalam harga barang, sehingga konsumen tidak menyadari bahwa ia juga membayar pajak (contoh: cukai tembakau). Pajak ada yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, yang hasilnya masuk dalam kas negara, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Ada juga pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah yang disebut Pajak Daerah. Pajak-pajak yang dipungut oleh daerah harus didasarkan pada Peraturan Daerah (setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan diumumkan). 3 Pajak Daerah tidak boleh bertentangan dengan Pajak Pemerintah Pusat, dan pula tidak boleh bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Maka oleh sebab itu sebelum Pajak Daerah diumumkan harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Pemerintah. Pajak Daerah tidak boleh memasuki lapangan yang sudah atau akan dikenakan pajak oleh Pemerintah Pusat. Pajak daerah banyak sekali ragamnya, yakni: pajak rokok, pajak BBM, pajak hotel, pajak restoran, pajak tempat hiburan, pajak reklame, pajak parkir, pajak kendaraan 2
3
Sri Wahyuni, (2011), “Implementasi Kebijakan Pajak Reklame Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Volume 1 Nomor 1 Lutfi Effendi, (2010), Pokok-pokok Hukum Pajak, Malang: Bayu Media Publishing, hlm. 13
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
47
bermotor, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan, pajak air bawah tanah, pajak galian, dan lain-lain.4 Di samping pajak ada juga retribusi. Retribusi yang dipungut oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Retribusi merupakan juga pungutan pemerintah seperti pajak, tetapi pada retribusi dapat ditunjuk adanya imbalan yang diperoleh secara langsung dari pemerintah. Adapula terdapat pembedaan dalam pajak yang dipungut atas pendapatan/ penghasilan (income), dan ada juga yang dipungut atas kekayaan (Pajak Kekayaan, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor), ada juga pajak yang dipungut atas lalu lintas barang (Pajak Pertambahan Nilai, Bea Materai, Bea Balik Nama dan sebagainya). Guna mewujudkan hal tersebut, maka pajak daerah adalah salah satu sumber pendapatan daerah dan merupakan sumber potensi pembangunan daerah khususnya kota Malang guna menghasilkan masukan dana kas daerah. Ada beberapa sektor pajak yang bisa menjadi obyek pendapatan dan dijadikan pemasukan oleh pemerintah daerah, salah satunya adalah pajak reklame.5 Diketahui bahwa dalam bidang penjualan adanya keinginan dari para pengusaha/ produsen untuk membuat barang/ hasil produsi cepat laku. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan media untuk mempercepat barang produksinya laku dipasaran atau memancing emosi dari konsumen untuk membeli suatu produk. Media tersebut dapat berupa reklame yang dapat menarik semua orang, hal ini dikarenakan dari sifat reklame adalah memberikan informasi, membujuk, mempengaruhi dan meyakinkan para konsumen untuk membeli barang tersebut. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi yang lain reklame merupakan suatu komunikasi yang digunakan dalam dunia perdagangan oleh produsen terhadap konsumen untuk meraih lebih banyak calon pembeli dengan biaya lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat, sedangkan pengaruhnya akan melekat lebih lama.6 Praktek dilapangan mengenai kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak dengan mengabaikan kewajiban sebagaimana mestinya, ada pula yang melakukan pemasangan reklame secara liar tanpa seijin pihak yang berwenang. Pemasangan reklame-reklame yang terpampang dibanyak tempat, seperti dipinggir jalan, di mall, didepan toko maupun dipasarpasar dengan terpampang jelas, ternyata setelah diteliti reklame yang dipasang tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Permasalahan dan kecurangan yang terjadi dilapangan banyak menjadi sorotan fiskus/ petugas pajak untuk bertindak tegas dalam menangani problematika yang marak terjadi. Guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dilapangan pada saat itu, pemerintah daerah menyusun tim gabungan yang kegiatannya dinamakan dengan “Operasi Khusus”, diantaranya: Dinas Perijinan, Dinas Pendapatan dan Satpol PP yang khusus ditugaskan turun langsung kelapangan untuk survei ditempat-tempat pemasangan reklame, apakah reklamereklame tersebut sudah memenuhi unsur dalam pemasangannya, dan apakah sudah dilaksanakan kewajiban pemasang reklame sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintah daerah. 4 5
6
Ibid., hlm. 14 Dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pajak Reklame memberikan definisi bahwa: “Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan”. Ibid.,
48
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan tujuan keberhasilan penegakan hukum terhadap peraturan/ kebijakan yang telah dibuat. Upaya penegakan hukum tersebut dipengaruhi pula oleh budaya hukum masyarakat. Budaya hukum tersebut terbentuk dari proses interaksi yang panjang antara berbagai praktik yang terjadi di lapangan dengan respons dari masyarakat. Budaya hukum masyarakat menentukan bagaimana masyarakat memandang sesuatu penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh subyek atau badan hukum. Dalam upaya penegakan hukum tidak semudah yang dibayangkan, perlu adanya komponen-komponen dalam sistem penegakan hukum yang mendukung dan berjalan secara konsisten berdasarkan norma-norma yang berlaku. Demikian pula harus memenuhi persyaratan normatif dalam penegakan hukum terhadap sebuah peraturan/ kebijakan dengan tidak meninggalkan asas-asas hukum. Dari pemaparan latar belakang tersebut adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah tinjauan yuridis terhadap peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang sebagai upaya penegakan hukum. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Yuridis terhadap Peraturan Penyelenggaraan Reklame di Kota Malang sebagai Upaya Penegakan Hukum Peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang sebelum diberlakukannya UndangUndang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pajak Reklame dalam pelaksanaannya mengakibatkan dibentuknya operasi khusus. Operasi khusus dengan tujuan menertibankan penyelenggaraan reklame dan meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) yang dilakukan dengan cara pemungutan pajak ditempat terhadap pajak reklame insidentil yang berbentuk spanduk, umbul-umbul, poster, baliho, selebaran didalam wilayah kota Malang. Pembentukan Tim Gabungan antara Dinas Perijinan (sebagai instansi yang berwenang memproses ijin pemasangan reklame), Dinas Pendapatan (sebagai instansi yang berwenang dalam menetapkan dan memungut pajak reklame) serta Satpol PP (sebagai instansi yang berwenang pada penegakan pelanggaran Peraturan Daerah). Dengan dasar dan fungsinya masing-masing tersebut melakukan operasi bersama dilapangan. Setiap pelanggaran dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku (denda pajak atau pelepasan atau pencopotan reklame) oleh petugas dari instansi yang memiliki kewenangan masing-masing diatas. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan pajak reklame secara implisit terdapat pada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah.7 Pajak reklame diatur dalam peraturan tersebut pada point 15. Pasal I point 15: “Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame”.
7
Lihat Pasal I point 7 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah: “Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
49
Yang disebut reklame juga disebutkan dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah pada point selanjutnya. Yaitu pada point 16. Point 16: “Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk, dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/ atau dinikmati oleh umum. Pengaturan terhadap penyelenggaraan reklame setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Pada Pasal 1 Ketentuan Umum peraturan ini dijabarkan mengenai macam-macam reklame.8 Dalam hal penataan reklame di wilayah Kota Malang, pengaturan terdapat pada Pasal 2 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Pasal 2 (1) Penataan reklame diatur menurut: a. tempat; b. jenis; c. sifat; d. ukuran; e. konstruksi; dan f. kawasan. (2) Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sebagai berikut: a. pada sarana dan prasarana kota, meliputi: 1. batas tepi luar trotoar; 2. median jalan; 3. bus shelter/ halte bus; 4. jembatan penyeberangan orang; 5. pos jaga polisi/pos pengawas; 6. jam kota; 7. telepon umum; 8. bus surat; 9. tempat hiburan dan rekreasi; 10. gelanggang olah raga; 11. terminal; 12. pasar; 13. wc umum;dan 14. gapura. b. di luar sarana dan prasarana kota, meliputi: 1. di atas tanah; 2. bangunan. 8
Baca Pasal 1 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame.
50
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
(3) Jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sebagai berikut: a. reklame bersinar; b. reklame papan; c. reklame tembok; d. reklame berjalan; e. reklame peragaan; f. reklame rombong/ mini kios; g. reklame kain; h. reklame selebaran/ leaflet; i. reklame melekat stiker; j. reklame teks berjalan; k. reklame film/ slide; l. reklame udara; dan m. reklame apung. (4) Sifat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu: a. reklame tetap; dan b. reklame insidentil. (5) Ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, sebagai berikut: a. reklame kecil dengan ukuran kurang dari 4m² (empat meter persegi); b. reklame sedang dengan ukuran 4m² (empat meter persegi) sampai dengan 12m² (dua belas meter persegi); dan c. reklame besar dengan ukuran lebih dari 12m² (dua belas meter persegi). (6) Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, ditetapkan sebagai berikut: a. kaki tunggal yaitu sarana reklame yang konstruksinya hanya satu tiang; b. kaki ganda yaitu sarana reklame yang konstruksinya terdiri atas dua tiang atau lebih; c. rangka yaitu sarana reklame yang konstruksinya berbentuk rangka; dan d. menempel yaitu sarana reklame yang konstruksinya menyatu pada bangunan. (7) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, terdiri dari: a. kawasan bebas, yaitu merupakan kawasan yang sama sekali tidak diperbolehkan diselenggarakan kegiatan reklame yang meliputi: 1. kawasan Ijen Boulevard; 2. kawasan bundaran Jalan Tugu, kecuali di dalam Lokasi Persil; 3. kawasan Jalan Kertanegara, kecuali di dalam Lokasi Persil; 4. kawasan Jalan Veteran, kecuali di dalam Lokasi Persil; 5. kawasan pendidikan; 6. kawasan kantor pemerintahan; dan 7. kawasan tempat ibadah. b. kawasan khusus, yaitu merupakan kawasan dengan karakter/ ciri tertentu yang memiliki kualitas lingkungan dan arsitektur bangunan yang baik, diperbolehkan diselenggarakan kegiatan reklame dengan menempel di bagian depan bangunan; c. kawasan selektif, yaitu merupakan kawasan yang diperbolehkan dipasang reklame dengan jenis reklame terpilih dan merupakan titik reklame terpilih, yaitu pada:
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
51
1. kawasan Alun-Alun Merdeka; 2. kawasan Taman Merjosari; dan 3. kawasan taman/ hutan kota di Jalan Malabar. d. kawasan umum, yaitu merupakan kawasan yang diperbolehkan diselenggarakan kegiatan dan titik reklame selain yang tercantum pada huruf b. (8) Kawasan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 8 dan huruf c diperbolehkan dipasang reklame insidentil secara terbatas jumlah dan hari pemasangannya yang menyatu dengan even insidentil tertentu berdasarkan rekomendasi dari Tim Teknis. Penataan reklame seperti dalam Peraturan Walikota Malang diatas telah diatur menurut tempat, jenis, sifat, ukuran, konstruksi, dan kawasan dengan harapan dan tujuan untuk penertiban, estetika kota, kemudahan dalam mengidentifikasi pajaknya demikian pula dalam upaya penegakan hukum terhadap peraturan/ kebijakan yang telah dibuat. Seperti yang telah dipaparkan dalam pendahuluan diatas bahwa budaya hukum merupakan salah satu peran penting dalam upaya keberhasilan penegakan hukum Budaya hukum tersebut terbentuk dari proses interaksi yang panjang antara berbagai praktik yang terjadi di lapangan dengan respons dari masyarakat. Budaya hukum masyarakat menentukan bagaimana masyarakat memandang sesuatu penyimpangan atau pelanggaran terhadap peraturan/ kebijakan yang telah dibuat. Dimana faktor budaya yang selalu bersatu padu dengan faktor masyarakat, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai. Sebagai suatu system, maka hukum mencakup struktur, substansi, dan budaya.9. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya.10 Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.11 Substansi norma hukum terhadap penyelenggaraan reklame di Kota Malang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame.12 Mengenai penyelenggaraan reklame dari jenis-jenis reklame dapat diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 8 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Pasal 6 (1) Penyelenggaraan reklame bersinar jenis reklame megatron/ videotron/ Light Emitting Diode (LED) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, dengan ketentuan: 9 10
11 12
Dalam Lawrence M. Friedman. Soerjono Soekanto, (2013), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 59. Ibid., hlm. 60 Lihat Pasal 5 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame: “Penyelenggaraan reklame harus memenuhi persyaratan keindahan, kepribadian dan budaya bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan norma keagamaan, kesopanan, ketertiban, keamanan, keselamatan, kesusilaan, kesehatan serta harus sesuai dengan rencana tata ruang”.
52
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
a. b.
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
(7)
(8)
menempatkan media reklame pada bidang atau konstruksi reklame; kontruksi reklame harus kuat menahan beban sendiri dan beban-beban lain yang berpengaruh; c. struktur reklame harus diperhitungkan kekuatannya; d. kontruksi reklame tidak boleh menganggu pengguna jalan maupun lalu lintas darat dan udara; dan e. utilitas disesuaikan dengan lokasi setempat. Penyelenggaraan reklame papan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, dengan ketentuan: a. menempatkan media reklame pada bidang atau konstruksi reklame; b. kontruksi reklame harus kuat menahan beban sendiri dan beban-beban lain yang berpengaruh; c. konstruksi ditanam pada tanah atau menempel pada bangunan dengan memperhitungkan kekuatannya; dan d. kontruksi reklame tidak boleh menganggu pengguna jalan maupun lalu lintas darat dan udara. Penyelenggaraan reklame berjalan untuk kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, harus: a. sesuai dengan desain dan konstruksi pada kendaraan bermotor; b. dilarang untuk reklame jenis megatron. Penyelenggaraan reklame teks berjalan (running text)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, diperbolehkan menempel pada bangunan gedung. Penyelenggaraan reklame kain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf h, harus memenuhi ketentuan: a. tidak menempatkan pada bidang atau konstruksi reklame jenis megatron dan jenis papan; b. tidak melintang di atas jalan; c. materi reklame bersifat jangka pendek atau mempromosikan suatu kegiatan yang bersifat insidentil; dan d. setelah jangka waktu pemasangan reklame kain berakhir, media reklame beserta konstruksinya harus dibongkar. Penyelenggaraan reklame baliho sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a angka 1, harus memenuhi ketentuan: a. ukuran reklame paling besar 24 m2 (dua puluh empat meter persegi); b. materi reklame bertujuan untuk mempromosikan suatu kegiatan yang bersifat insidentil. Penyelenggaraan reklame selebaran/ leaflet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, diperbolehkan dengan syarat tidak mengganggu lalu lintas maupun kebersihan lingkungan. Penyelenggaraan reklame melekat/ stiker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, tidak diperbolehkan dipasang menempel/melekat pada pohon, Sarana dan Prasarana Kota, dan apabila menempel/ melekat pada rumah tinggal harus didasarkan pada izin Pemilik rumah tinggal.
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
53
(9) Penyelenggaraan reklame slide atau reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, diperbolehkan di dalam maupun di luar ruangan. (10) Penyelenggaraan reklame udara (jenis balon udara) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, harus memenuhi ketentuan: a. tali pengikat balon dan penempatan tabung gas tidak diikatkan pada pohon penghijauan; b. ketinggian balon udara bergerak harus lebih tinggi dari bangunan pada kawasan yang akan dilintasi. Pasal 7 (1) Penyelenggara reklame dapat mengubah materi reklame, kecuali reklame yang bersifat tetap. (2) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam masa pajak berjalan. (3) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berukuran sama dan sebangun dengan materi sebelumnya. (4) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada BP2T dan Dinas Pendapatan Daerah. Pasal 8 (1) Penyelenggaraan reklame pada tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), yang merupakan barang/ aset milik Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa: a. kerjasama pemanfaatan; b. perjanjian sewa-menyewa; c. bangun serah guna atau bangun guna serah; d. bentuk-bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan perizinan reklame Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame.13 Tatacara pemasangan reklame terdapat pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.14. Kewajiban pemegang izin penyelenggara reklame pada Pasal 29 sampai dengan Pasal 31.15 Peraturan terhadap sanksi pelanggaraan diatur pada Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 yang memuat peraturan tentang pencabutan izin dan penutup dan pemblokiran reklame. 16 Larangan bagi orang atau badan hukum terhadap penyelenggaraan reklame diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame.17 Dari ketentuan-ketentuan Pasal-pasal pada Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame jika dicermati representatif dengan penyelenggaraan reklame di Kota Malang. Akan tetapi kenyataannya keberadaan reklame di wilayah administratif Kota 13 14 15 16 17
Baca lengkap Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame Ibid., Ibid., Ibid., Ibid.,
54
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
Malang sebagai sarana memperkenalkan produk-produk dagangannya, seringkali berjalan tidak sesuai dengan harapan. Peraturan ini terdapat kekurangan/ kelemahan dalam kenyataannya. Pelanggaran penyelenggaraan reklame dilihat dari tata cara pemasangan reklame di Kota Malang yang tidak sesuai, antara lain: spot (titik pandang/ view) pada pemasangan reklame di tempat atau lokasi yang kurang strategis sehingga kurangnya estetika kota dan membahayakan pengguna jalan. Contoh pelanggaran adalah pelanggaran yang ditemukan dalam pemasangan reklame. Tim khusus harus lebih melakukan pengawasan dan penertiban terhadap pelanggaran pemasangan reklame. Banyak sekali tempat yang dianggap strategis bagi para pemasang reklame, baik yang terdapat pada jalan protokol maupun di dalam kawasan pemukiman penduduk yang justru membahayakan dan tidak kondusif. Sanksi dan penindakan yang tegas diperlukan terhadap kegiatan yang dapat merugikan Pemerintah Kota Malang atas pelanggaran pemasangan reklame tersebut. Adapula banyaknya reklame liar tanpa izin. Reklame-reklame liar atau tanpa izin yang terpasang di wilayah Kota Malang dapat dikatakan banyak jumlahnya. Terutama pada reklame yang bersifat insidentil atau reklame kecil yang berupa pamflet, spanduk, umbul-umbul dan stiker. Dengan jumlah yang banyak dan beragam serta tersebar secara acak di wilayah Kota Malang. Sanksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan reklame ini didalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame tidak dijelaskan secara tegas sehingga upaya penegakan hukumnya kurang maksimal. Penegakan hukum pada sisi substansi dalam Peraturan Daerah berpijak pada pengaturan perundang-undangan secara normatif. Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, paling tidak 4 (empat) syarat bagi pengaturan perundang-undangan (termasuk perda) yang baik, yaitu: prasyarat secara filosofis, sosiologis, yuridis dan teknik perancangan peraturan perundangundangan yang baik. Adapun teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketetapan struktur, ketetapan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan bahasa (peristilahan), ketepatan huruf dan tanda baca dan tanda baca. Selain keempat syarat tersebut, pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas-asas formal dan material sebagaimana dikemukakan oleh Van der Vlies yaitu asas-asas formal yang meliputi: asas tujuan yang, jelas, asas organ/ lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dilaksanakan, asas konsensus. Sedangkan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi: asas tentang terminologi dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum dan asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.18 Oleh karena itu ketika suatu Perda dalam pelaksanaannya terdapat kekurangan misalnya kurang tegas, kurang lengkap, terdapat kekosongan norma maka konsekuensi logisnya perda tersebut harus direvisi sehingga sesuai dengan asas dan tujuan hukum. Sebagaimana asas kepastian hukum dan tujuan hukum dibuat untuk kemslahatan umum. KESIMPULAN Peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang diawali oleh Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1998 tentang Pajak Reklame dan Peraturan Walikota Malang Nomor 4 tahun 2008 tentang Tata Cara Penghitungan Pajak Reklame serta Peraturan Walikota Malang Nomor 22 tahun 2008 tentang Tata Cara Perijinan Pemasangan dan Pencabutan Reklame. Seiring dengan 18
Jazim Hamidi, dkk., (2012), Teori dan Hukum Perancangan Perda, Malang: UB Press, hlm. 55-56.
Iwan Permadi, Efektifitas Pelaksanaan Operasi Khusus Sebagai Upaya Penegakan Hukum
55
perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengganti bahwa pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Demikian pula peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. 7Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan pajak reklame secara implisit terdapat pada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah. Pengaturan terhadap penyelenggaraan reklame setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Pada Pasal 1 ketentuan umum peraturan ini dijabarkan mengenai macam-macam reklame. Pasal 2 memuat penataan reklame, Pasal 5 memuat penyelenggaraan reklame, jenis-jenis reklame dapat diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 8. Perizinan reklame pada Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 Tatacara pemasangan reklame terdapat pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Kewajiban pemegang izin penyelenggara reklame pada Pasal 29 sampai dengan Pasal 31. Peraturan terhadap sanksi pelanggaraan diatur pada Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 yang memuat peraturan tentang pencabutan izin dan penutup dan pemblokiran reklame. Larangan bagi orang atau badan hukum terhadap penyelenggaraan reklame diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 38. Keberadaan reklame di wilayah administratif Kota Malang sebagai sarana memperkenalkan produk-produk dagangannya, terdapat kekurangan/ kelemahan dalam kenyataannya. Pelanggaran penyelenggaraan reklame dilihat dari tata cara pemasangan reklame di Kota Malang yang tidak sesuai, antara lain: spot (titik pandang/ view) pada pemasangan reklame di tempat atau lokasi yang kurang strategis sehingga kurangnya estetika kota dan membahayakan pengguna jalan, dan pelanggaran yang ditemukan dalam pemasangan reklame serta masih adanya pemasangan reklame liar/ tanpa izin. Sanksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan reklame ini didalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame tidak dijelaskan secara tegas sehingga upaya penegakan hukumnya kurang maksimal. SARAN Peraturan penyelenggaraan reklame di Kota Malang dituangkan dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame. Peraturan ini terdapat kekurangan/ kelemahan dalam kenyataannya. Pelanggaran penyelenggaraan reklame dilihat dari tata cara pemasangan reklame di Kota Malang yang tidak sesuai dengan peraturannya. Serta sanksi terhadap pelanggaraan penyelenggaraan reklame ini tidak dijelaskan secara tegas sehingga upaya penegakan hukumnya kurang maksimal. Peraturan Walikota ini tidak mengatur secara detail sanksi hukum terhadap pelanggar penyelenggaraan reklame terutama tata cara pemasangan reklame sehingga menyulitkan aparat penegak hukum dalam hal ini Tim Teknis pemerintah kota itu sendiri dalam memberikan sanksi yang membuat jera bagi pelanggarnya.
56
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 100
Kelemahan dalam Perda ini upaya yang harus dilakukan adalah harus ada revisi terhadap Perda yang dikonstruksikan dalam Pasal sanksi pelanggaran yang tegas. DAFTAR PUSTAKA Effendi, Lutfi. (2010), Pokok-pokok Hukum Pajak, Malang: Bayu Media Publishing. Hamidi, Jazim, dkk., (2012), Teori dan Hukum Perancangan Perda, Malang: UB Press. Soekanto, Soerjono, (2013), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. Wahyuni, Sri (2011), “Implementasi Kebijakan Pajak Reklame Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Volume 1 Nomor 1. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah. Peraturan Walikota Malang Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Penataan Reklame.
Riana Susmayanti, Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States
57
KEDUDUKAN PRESIDEN: KOMPARASI THE CONSTITUTION OF UNITED STATES DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Riana Susmayanti1 email:
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan memberikan penjelasan mengenai perbedaan yang signifikan antara Presiden di AS dan Indonesia berdasarkan pengaturan oleh The Constitution Of United States Dan UUDNRI Tahun 1945. Sebagai hasil penelitian yuridis normatif, penulis menggunakan pendekatan komparasi konstitusi (UUD) sebagai bahan hukum primernya, yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan atau studi pustaka (library research). Dalam artikel ini dianalisis kedudukan AS dan Indonesia sebagai negara republik konstitusional, dengan membandingkan kedua negara tersebut dalam hal sistem Pemilu Presiden, wewenang, mekanisme pengisian jabatan jika Presiden berhalangan, serta mekanisme pemberhentian Presiden. Kata kunci: Amerika Serikat dan Indonesia, kedudukan Presiden, pemilihan umum presiden
PENDAHULUAN Amerika Serikat (AS) berasal dari 13 (tigabelas) koloni dari Kerajaan Britania Raya yang memproklamirkan kemerdekaannya, setelah berhasil mengalahkan Inggris dalam Perang Revolusi.2 Kemerdekaan tersebut ditandai dengan disahkannya Deklarasi Kemerdekaan oleh Kongres Kontinental Kedua pada 4 Juli 1776.3 Konstitusi AS (The Constitution Of United States)4 dirumuskan pada 17 September 1787, berlaku hingga saat ini dengan beberapa amandemen berupa modifikasi pasal-pasalnya, namun tidak mengubah isi teks aslinya. Sepuluh amandemen pertama secara kolektif dikenal sebagai Bill Of Rights yang disahkan tahun 1791 dan mengatur jaminan hak-hak sipil dan kebebasan.5 Tidak dapat dipungkiri, AS menjadi barometer demokasi maupun parameter penyelenggaraan ketatanegaraan, sehingga menjadi contoh bagi negara-negara lain. Sistem demokrasi dan penyelenggaraan ketatanegaraan AS diadopsi oleh banyak negara di dunia, salah satunya Indonesia. Kekuasaan legislatif AS berada pada dua kamar kongres, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.6 Bentuk senat berusaha diadopsi di Indonesia sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 1 2
3
4
5 6
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jalan MT. Haryono No. 169 Malang 65145 Wikipedia, Amerika Serikat (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/Amerika_Serikat, diakses 18 Nopember 2016, Pk. 15.55 WIB Wikipedia, Hari Kemerdekaan (AmerikaSerikat) (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/HariK Kemerdekaan_(Amerika_Serikat), diakses 18 Nopember 2016, Pk. 16.00 WIB The Constitution Of United States dalam artikel ini berdasarkan terjemahan pada Anonim, Konstitusi Amerika Serikat dan Terjemahan (online), http://malasyadzalie.blogspot.co.id/2011/08/konstitusi-amerika-serikatdan.html diakses 15 Nopember 2016 Pk 10.20 WIB Wikipedia, Amerika Serikat(online), Loc.cit. Wikipedia, Politik Amerika Serikat (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik_Amerika_Serikat, diakses 18 Nopember 2016 Pk 16.19 WIB
58
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Mengingat bentuk negara yang berbeda, dimana AS merupakan negara serikat/ federal dan Indonesia adalah negara Kesatuan, maka Senat AS merupakan perwakilan negara bagian, sedangkan DPD adalah perwakilan propinsi yang merupakan daerah di Indonesia. METODE PENELITIAN Sebagai republik konstitusional, AS dan Indonesia menempatkan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedudukan Presiden sebagai lembaga eksekutif di AS dan Indonesia menjadi sangat menarik untuk dianalisis. Terutama jika dikaitkan dengan sistem demokrasi dan ideologinyatentangkedudukan Presiden menurut The Constitution Of United States dan UUDNRI Tahun 1945 maka tulisan ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif karena menganalisis kedudukan Presiden berdasarkan Hukum Tata Negara (constitutional law) dengan pendekatan komparasi, yaitu membandingkan The Constitution Of United States dan UUDNRI Tahun 1945 sebagai bahan hukum primernya, dimana bahan hukum primer tersebut diperoleh melalui penelusuran kepustakaan atau studi pustaka (library research) di pusat dokumentasi dan informasi hukum, perpustakaan pada instansi terkait, maupun internet. Seluruh bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diinventarisasi, diklasifikasi secara sistematis, dan dianalisis berdasar kerangka konseptual untuk menyimpulkan kedudukan Presiden. HASIL DAN PEMBAHASAN Republik Konstitusional Adagium7 Voxpopulivoxdei diartikan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan,8 sehingga kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah di tanganrakyat.Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948) menyatakan: “The will of the people shall be the basis of the authority of government.” Kehendak rakyat seharusnya menjadi dasar kewenangan pemerintah, sehingga rakyatlah yang membentuk pemerintahan yang sah. Kedaulatan rakyat atau rakyat yang berdaulat disebut juga sebagai demokrasi. Istilah demokrasi yang berasal dari kata kratos (kekuasaan) dan demos (rakyat) menyiratkan arti kekuasaan (politik atau pemerintahan) dari, oleh, dan untuk rakyat (warga negara).9 Dalam perkembangannya, terdapat beberapa perspektif dalam mengkaji demokrasi.10 Demokrasi ditinjau dari penyaluran kehendak rakyat, akan melahirkan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung/ demokrasi perwakilan. Sedangkan demokrasi berdasarkan hubungan antar alat perlengkapan negara akan menghasilkan demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer dan presidensiil. Demikian pula demokrasi dilihat dari paham atau idiologi akan mewujudkan demokrasi liberal, demokrasi sosialis, maupun demokrasi Pancasila. Demokrasi langsung dipraktekkan oleh negara kota (polis atau city state) di Athena pada jaman Yunani Kuno, melibatkan rakyat secara langsung dalam pemerintahan karena penduduk masih sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Demokrasi langsung mustahil diterapkan di
7
8 9 10
Adagium adalah pepatah; peribahasa, Baca :Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, (2008), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm. 9 IPM Ranuhandoko BA, (2008), Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 536 Majalah Konstitusi No. 58 Nopember 2011, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 73 Abdullah Mahmud dan Y. Suyoto Arief, (1992), Tata Negara,Ponorogo: PMDG, hlm. 58-65
Riana Susmayanti, Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States
59
jaman modern karena masalah tempat dan jumlah penduduk yang besar, kompleksitas masalah serta kendala-kendala lainnya. Sebaliknya demokrasi tidak langsung (Demokrasi Perwakilan) rakyat memilih wakil-wakil pada parlemen untuk menyalurkan kehendaknya. Amerika Serikat (AS) dan Indonesia merupakan contoh negara yang berkedaulatan rakyat. Paragraf Kedua Deklarasi Kemerdekaan AS menyatakan bahwa: “Kami memegang kebenaran ini sebagai bukti, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka diberkati oleh Pencipta mereka dengan hak asasi yang tidak dapat direnggut, diantaranya adalah hak atas kehidupan, kemerdekaan dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Bahwa untuk melindungi hak-hak ini, Pemerintah sebagai lembaga diantara manusia, yang memiliki kekuasaan berdasarkan persetujuan rakyat. Bilamana pemerintahan menjadi destruktif, adalah hak rakyat untuk mengubah atau mengakhirinya, kemudian membentuk pemerintahan baru, meletakkan dasar dan prinsip bernegara dan mengorganisir kekuasaan dalam bentuk pemerintahan baru demi keselamatan dan kebahagiaan mereka.” Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945), kata kedaulatan digunakan dalam Pembukaan (Nilai Dasar) dan Pasal (Instrumen).11 Pada bagian Pembukaan UUDNRI Tahun 1945, Alinea 2 dinyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Pada Pembukaan UUDNRI Tahun 1945 Alinea 4 disebutkan: “...susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada...”Selanjutnya pada perubahan ketiga tahun 2001, Pasal 1 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Meskipun kedaulatan berada di tangan rakyat, proses demokrasi di Indonesia menuntut adanya sistemperwakilan. Hal ini tercermin pada Alinea Keempat Pembukaan UUDNRI Tahun 1945, khususnya pada Sila Keempat Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. “Sehingga jelas Indonesia menggunakan demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Selain memiliki persamaan sebagai negara yang berdemokrasi, Amerika Serikat dan Indonesia memiliki persamaan lain dan perbedaan yang signifikan. Persamaan kedua negara tersebut adalah dalam bentuk pemerintahan, sedangkan perbedaannya terletak pada bentuk negara. Berdasarkan Ilmu Negara, bentuk pemerintahan ditentukan dari cara memilih kepala negara dan atau kepala pemerintahan. Jika kepala negara dan atau kepala pemerintahan ditunjuk berdasarkan garis keturunan, maka bentuk pemerintahannya adalah kerajaan (monarchy). Sedangkan jika kepala negara dan atau kepala pemerintahan dipilih atau melalui pemilihan umum, maka bentuk pemerintahannya adalah republik. AS menggunakan bentuk pemerintahan republik didasarkan pada Pasal IV Ayat (4) The Constitution Of United States yang menyatakan: “Amerika Serikat akan menjamin bagi setiap Negara Bagian dalam Perserikatan ini suatu Bentuk Pemerintahan Republik, dan akan melindungi masing-masing Negara Bagian
11
Ibnu Tricahyo, (2009), Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Malang: In-TRANS Publishing, hlm. 3
60
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
itu terhadap Serbuan; dan, atas Permintaan Badan Legislatifnya, atau Eksekutifnya (jika Badan Legislatifnya tidak dapat bersidang), terhadap Kekerasan di dalam negeri.” Jika disimak, Pasal 1 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 tidak hanya menegaskan bahwa Indonesia memiliki bentuk pemerintahan republik, namun juga bentuk negara kesatuan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.” Pengklasifikasian bentuk negara ditentukan dari mana asal kedaulatan. Jika kedaulatan itu berasal dari pemerintah pusat kemudian dibagikan atau disebar pada pemerintahan daerah, maka bentuk negara tersebut adalah kesatuan, sebagaimana Indonesia berdasar Pasal 1 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 diatas. Sehingga Indonesia terdiri dari daerah-daerah, bukan negaranegara bagian. Sedangkan jika kedaulatan berasal dari negara-negara bagian dan untuk hal-hal tertentu kedaulatan itu diserahkan pada pemerintah pusat, maka negara tersebut berbentuk serikat/ federal, misalkan AS. Mukadimah The Constitution Of United States menyatakan: “Kami Rakyat Amerika Serikat, agar dapat membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna, membangun Keadilan, menjamin Ketentraman domestik, menetapkan pertahanan bersama, memajukan Kesejahteraan umum, dan mengamankan Berkah Kemerdekaan bagi diri kita dan Keturunan, mengesahkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat.” AS dan Indonesia keduanya merupakan negara republik yang menggunakan konstitusi (Undang-Undang Dasar atau UUD) sebagai dasar hukum tertinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa AS dan Indonesia adalah republik konstitusional. Selain sebagai puncak dari peraturan perundangan, Konstitusi (UUD) berisi tentang ideologi, tujuan negara, pembagian maupun pemisahan kekuasaan, bentuk negara, bentuk pemerintahan, bahkan jaminan terhadap hak asasi warga negara. Dengan demikian AS dan Indonesia menggunakan bentuk pemerintahan republik yang berdasarkan konstitusi (UUD). Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden Salah satu ciri negara demokrasi, adalah pelaksanaan pemilu, termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Artikel ini akan memandu pembaca untuk memberikan penilaian terhadap pemilu Presiden mana yang lebih demokratis diantara Amerika Serikat dan Indonesia. Pada Pasal II ayat (I) The Constitution Of United States diatur syarat menjadi Presiden AS: “Tak seorang pun kecuali yang terlahir sebagai warga negara, atau seorang warga negara Amerika Serikat pada saat konstitusi ini disahkan, akan berhak atas jabatan Presiden, juga tak seorang pun berhak atas jabatan tersebut bila ia belum mencapai umur tiga puluh lima tahun, dan belum empat belas tahun menjadi penduduk di wilayah Amerika Serikat.” Sedangkan syarat bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia ditegaskan pada Pasal 6 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Riana Susmayanti, Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States
61
Selanjutnya Pada Pasal II ayat (I) The Constitution Of United States diatur bahwa Presiden AS bersama-sama dengan Wakil Presiden dipilih dengan cara berikut: 1) Masing-masing Negara Bagian, dengan cara yang ditentukan oleh Badan Legislatifnya, akan menunjuk sejumlah pemilih (electors), yang sama dengan seluruh jumlah Senator dan Wakil Rakyat yang menjadi hak Negara Bagian itu dalam Kongres, tetapi tak seorang pun Senator atau Wakil Rakyat, atau orang yang memegang jabatan kepercayaan atau yang memberi untung dibawah pemerintahan Amerika Serikat, akan diangkat sebagai Pemilih; 2) Para pemilih (electors), akan bertemu di Negara Bagian masing-masing, dan dengan Kartu Suara memilih dua orang, paling sedikit satu diantaranya bukan penduduk Negara Bagian yang sama dengan mereka; 3) Mereka akan membuat daftar semua orang yang dipilih, dan daftar jumlah suara yang diperoleh masing-masing. Daftar ini akan mereka tanda tangani dan sahkan, dan mereka sampaikan dalam keadaan disegel ke tempat kedudukan Pemerintah AS, dialamatkan pada Ketua Senat; 4) Ketua Senat, di hadapan Senat dan DPR, akan membuka semua surat yang sudah disahkan itu, dan jumlah suara akan dihitung. Orang yang mendapat jumlah suara terbanyak akan menjadi Presiden, bila jumlah tersebut merupakan mayoritas dari seluruh jumlah pemilih yang ditunjuk, dan bila ada lebih dari seorang yang memperoleh mayoritas demikian, dan mendapat jumlah suara yang sama, maka DPR akan segera dengan Pemungutan Suara memilih salah seorang menjadi Presiden, dan bila tidak seorang pun memperoleh suara mayoritas, maka dari lima orang yang tercantum paling tinggi dalam daftar dewan ini akan memilih Presiden dengan cara yang sama; 5) Tetapi dalam memilih Presiden, pemungutan suara akan dilakukan per negara bagian, dengan perwakilan dari masing-masing negara bagian memiliki satu suara, kuorum untuk tujuan ini akan terdiri dari satu anggota atau anggota-anggota dari dua pertiga jumlah negara bagian, dan suatu mayoritas dari seluruh negara bagian akan dibutuhkan untuk menentukan pilihan; 6) Dalam kasus manapun, setelah terpilihnya Presiden, orang yang mendapat jumlah terbesar suara pemilih akan menjadi Wakil Presiden. Akan tetapi bila masih ada dua orang atau lebih suara mendapat suara yang sama, maka senat akan memilih dengan pemungutan suara salah seorang diantara mereka untuk menjadi Wakil Presiden; dan 7) Kongres dapat menentukan waktu untuk memilih para pemilih (electors), dan hari kapan mereka akan memberikan suara, hari tersebut harus sama di seluruh AS. Sistem pemilu AS nampak rumit karena rakyat tidak memilih langsung Presiden, melainkan memilih electors sebagai perwakilan rakyat yang memilih Presiden pilihannya. Sistem pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia nampak lebih sederhana dibandingkan dengan sistem AS, berdasarkan Pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (4) UUDNRI Tahun 1945: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangann secara langsung oleh rakyat.12 (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
12
Dipilih dalam satu pasangan calon maka Presiden dan Wakil Presiden adalah satu kesatuan jabatan. Baca: Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 111-112
62
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
puluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sebelum mulai menjalankan jabatannya, Presiden terpilih di AS mengucapkan sumpah sebagai berikut:13 “Dengan khidmat saya bersumpah (atau berjanji) bahwa saya akan melaksanakan dengan setia Jabatan Presiden AS, dan akan, sejauh kemampuan saya, memelihara, melindungi, dan mempertahankan The Constitution Of United States.” Sedangkan di Indonesia dibedakan antara bersumpah menurut agama dan berjanji dengan sungguh-sungguh. Dalam praktek ketatanegaraan sumpah diucapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang beragama Islam, sedangkan yang non muslim mengucapkan janji. Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUDNRI Tahun 1945: “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Alloh, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.” Janji Presiden (Wakil Presiden): “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.” Perbedaan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden AS dan Indonesia terpaut 1 (satu) tahun. Pasal II ayat (I) The Constitution Of United States : “Kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden Amerika Serikat. Ia akan memangku jabatannya dalam jangka waktu empat tahun, dan bersama-sama dengan Wakil Presiden, yang dipilih untuk jangka waktu yang sama...” Sedangkan Pasal 7 UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
13
Pasal II ayat (I) The Constitution Of United States
Riana Susmayanti, Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States
63
Wewenang Presiden Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) The Constitution Of United States kedudukan Presiden AS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut AS dan milisi beberapa negara bagian, jika sedang dipanggil untuk tugas nyata AS, ia dapat meminta pendapat, secara tertulis, dari pejabat utama dalam masing-masing departemen pemerintah, mengenai masalah apapun yang berhubungan dengan kantor mereka masing-masing, dan ia akan mempunyai wewenang untuk memberikan penangguhan hukuman dan pengampunan untuk kejahatan di AS, kecuali dalam kasus pendakwaan pertanggungjawaban (impeachment). Ia kan mempunyai wewenang, atas dan dengan nasehat dan persetujuan senat, untuk membuat perjanjian, asal dua pertiga anggota senat yang hadir setuju, dan ia akan mencalonkan, dan atas dan dengan nasehat dan persetujuan senat, mengangkat duta besar, duta-duta lain dan konsul, hakim Mahkamah Agung, dan semua pejabat lain AS, yang pengangkatannya belum disebut dalam konstitusi, dan yang akan ditentukan dengan undang-undang, tetapi kongres dengan undang-undang dapat menyerahkan pengangkatan pejabat-pejabat yang lebih rendah, yang mereka anggap pantas, kepada Presiden sendiri, kepada pengadilan, atau kepada kepala-kepala departemen. Presiden akan mempunyai wewenang untuk mengisi semua lowongan yang mungkin terjadi selama reses senat dengan cara memberikan penugasan yang akan berakhir pada akhir masa sidang berikutnya. Selanjutnya wewenang Presiden AS berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 The Constitution Of United States adalah Presiden dari waktu ke waktu akan memberikan kepada kongres informasi tentang keadaan negara, dan menganjurkan untuk pertimbangan mereka tindakan-tindakan yang dinilainya perlu dan bijaksana, ia dalam keadaan luar biasa, dapat mengumpulkan dua kamar, atau salah satunya dan dalam hal ketidaksepakatan di kedua kamar mengenai waktu penundaan sidang, ia dapat menundanya sampai waktu yang dianggapnya pantas, ia akan menerima para Duta Besar dan duta-duta lain, ia akan menjaga agar hukum dilaksanakan dengan patuh dan akan mengangkat semua pejabat AS. Hampir sama dengan kedudukan Presiden di AS, maka wewenang Presiden di Indonesia berkaitan dengan jenis-jenis kekuasaan yang dilekatkan pada Presiden oleh peraturan perundangundangan14 antara lain: 1. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUDNRI 194515 2. Dalam melakukan kewajibannya, dibantu oleh seorang Wakil Presiden16 3. Berhak mengajukan rancangan undang-undang (UU) pada DPR17 4. Menetapkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya18 5. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara19 6. Dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain20
14
15
16 17 18 19 20
Bagir Manan dalam Sumali, (2003), Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu),Malang: UMM Pres, hlm. 41 Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. Bagaimana Presiden melaksanakan pemerintahan yang stabil baca Bagir Manan, (2006), Lembaga Kepresidenan,Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 117 Pasal 4 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 5 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 5 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 10 UUDNRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
64
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Dengan persetujuan DPR membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU21 Menyatakan keadaan bahaya22 Mengangkat konsul23 Mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain dengan pertimbangan DPR24 Memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA)25 Memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR26 Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain27
Berhalangan dan Pemberhentian Berdasarkan Pasal II ayat 1The Constitution Of United States dinyatakan dalam hal Presiden AS dibebaskan dari jabatannya, atau meninggal, atau mengundurkan diri, atau tidak mampu melaksanakan wewenang dan tugas jabatan tersebut, maka jabatan itu akan berpindah ke Wakil Presiden, dan Kongres dengan Undang-undang dapat mengadakan pengaturan dalam hal pembebasan, kematian, pengunduran diri, atau ketidakmampuan, baik Presiden maupun Wakil Presiden, dengan menentukan pejabat mana yang kemudian akan bertindak sebagai Presiden, dan pejabat demikian akan bertugas sebagaimana mestinya sampai ketidakmampuan itu dihilangkan atau seorang Pesiden baru terpilih. Pada Pasal II Ayat 4 The Constitution Of United States diatur mengenai pemberhentian Presiden, Wakil Presiden, dan Pegawai Negeri Sipil AS, yang akan diberhentikan dari jabatan apabila terkena dakwaan pertanggungjawaban (impeachment), dan dinyatakan bersalah dalam hal pengkhianatan, suap, atau kejahatan-kejahatan besar dan pelanggaran-pelanggaran lain. Mekanisme yang ditempuh bila Presiden berhalangan menunaikan tugas maupun diberhentikan di Indonesia sangat berbeda dengan praktek AS. Di Indonesia, jika Presiden meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.28 Jika terjadi kekosongan Wakil Presiden, maksimal dalam waktu 60 (enam puluh) hari MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan Presiden.29 Namun jika Presiden dan Wakil Presiden meninggal, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama menjadi pelaksana tugas kepresidenan. Maksimal 30 (tiga puluh) hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon 21 22
23 24 25 26 27 28 29
Pasal 11 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 12 UUDNRI Tahun 1945. Mengenai keadaan darurat baca juga Sumali, (2003), Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu),Malang: UMM Pres, hlm. 39 Pasal 13 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 13 ayat (2) dan (3) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 14 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 15 UUDNRI Tahun 1945 Pasal 8 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 8 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945
Riana Susmayanti, Kedudukan Presiden: Komparasi The Constitution Of United States
65
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya.30 Sedangkan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan oleh MPR atas usul DPR, jika terbukti telah melakukan pelanggaran hukum (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya) atau perbuatan tercela, maupun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.31 Sebelum mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada MPR, DPR harus mengajukan permintaan pada Mahkamah Konstitusi (MK) agar MK memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya), atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presidan dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memebuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.32 Pendapat DPR tersebut merupakan implementasi fungsi pengawasannya.33 Permintaan DPR pada MK harus didukung minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sudang paripurna yang dihadiri minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR.34 MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut maksimal 90 (sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima MK.35 Jika MK memutuskan bahwa pendapat DPR tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada MPR. 36 MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR tersebut maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.37Keputusan MPR tersebut harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri minimal 3/4 jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasannya dalam rapat paripurna MPR.38 KESIMPULAN AS dan Indonesia merupakan negara republik konstitusional karena kepala negara dan kepala pemerintahannya dipilih melalui pemilu, dan penyelenggaraan kehidupan bernegara dilakukan berdasarkan konstitusi (UUD) sebagai dasar hukum tertinggi. Sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif, Presiden di AS dan Indonesia memiliki persamaan dalam hal kedudukan dan wewenang. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilu Presiden yang dilaksanakan secara langsung di AS dan Indonesia. Di Indonesia, rakyat langsung memilih Presiden secara langsung. Sedangkan di AS, rakyat secara langsung memilih electors yang nantinya bertugas memilih Presiden yang dikehendaki rakyat. Selanjutnya yang juga berbeda adalah mekanisme pengisian jabatan bilamana Presiden berhalangan, dan juga proses pemberhentian Presiden karena di Indonesia melibatkan MK, sedangkan AS tidak memiliki lembaga MK. 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Pasal 8 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7A UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (5) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 Pasal 7B ayat (7) UUDNRI Tahun 1945
66
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, (2012), Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Jakarta: Sinar Grafika Mahmud,Abdullah dan Y. Suyoto Arief, (1992), Tata Negara,Ponorogo: PMDG Manan, Bagir, (2006), Lembaga Kepresidenan,Yogyakarta: FH UII Press Majalah Konstitusi No. 58 Nopember 2011, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Ranuhandoko BA, IPM, (2008), Terminologi Hukum Inggris-Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika Sumali, (2003), Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu),Malang, UMM Pres The Constitution Of United States Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, (2008), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Tricahyo, Ibnu, (2009), Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal,Malang: In-TRANS Publishing UUDNRI Tahun 1945. UUD 1945, (2007), Visimedia, Jakarta Anonim, Konstitusi Amerika Serikat dan Terjemahan (online), http://malasyadzalie.blogspot.co.id/ 2011/08/konstitusi-amerika-serikat-dan.html diakses 15 Nopember 2016 Pk 10.20 WIB Wikipedia, Amerika Serikat (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/Amerika_Serikat, diakses 18 Nopember 2016, Pk. 15.55 WIB Wikipedia, Hari Kemerdekaan (Amerika Serikat) (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/ Hari_Kemerdekaan_(Amerika_Serikat), diakses 18 Nopember 2016, Pk. 16.00 WIB Wikipedia, Politik Amerika Serikat (online), http://id.m.wikipedia.org/wiki/ Politik_Amerika_Serikat, diakses 18 Nopember 2016 Pk 16.19 WIB
Lusiana M Tijow, Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan
67
ARAH PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DALAM RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (RPJP) INDONESIA Lusiana M Tijow1 e-mail:
[email protected] Abstrak Arah pembangunan hukum bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD NRI Tahun 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan. Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undangundang sebanyak-banyaknya, tidak berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukan negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukan tatanan normatif semata.Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas.Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. Kata Kunci: Pembangunan Hukum, RPJP
PENDAHULUAN Didunia ini manusialah yang berkuasa. Manusialah yang merupakan pusat kegiatan dan perhatian, oleh karena itu manusia menjadi subjek hukum, pelaku hukum, dan objek hukum. Tidak mengherankan kalau ada perbedaan pendapat, tetapi perbedaan itu wajar bahkan diperlukan dalam kehidupan demokrasi. Akan tetapi perbedaan pendapat tidak jarang menjurus pada pertentangan atau konflik kepentingan manusia (conflict of human interest). Hukum atau produk hukum adalah ungkapan pikiran manusia yang berisi nilai-nilai yang bersifat abstrak yang diungkapkan menjadi kenyataan yang konkret atau di kristalisasi dalam bentuk bahasa agar supaya dapat dimengerti oleh sesamanya baik tertulis maupun lisan. Tujuan dari Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana diatur dalam pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1
Universitas Negeri Gorontalo, Jl. Jenderal Sudirman 06 Dulalowo Timur, Kota Tengah, Kota Gorontalo, Gorontalo.
68
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Arah pembangunan hukum bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD NRI Tahun 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan. Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikkan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidak berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukan negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukan tatanan normatif semata.Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas. Apabila dilihat dari aspek norma hukum, hal tersebut hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Norma hukum merupakan aspek subtansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondaryrules yang dikonsepkan oleh H.A.L Hart.2 Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif model Hart, memainkan peranan yang amat menentukan bagi kapasitas hukum positif. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, membawa implikasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga-lembaga tinggi Negara baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah) serta menghapus Dewan Pertimbangan Agung.Perubahan UUD 1945 juga memangkas kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, untuk selanjutnya disebut MPR.Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan untuk Menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pembangunan substansi hukum, khususnya hukum tertulis, dilakukan melalui mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sebagai terobosan hukum, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005-2025. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan 2
HLA Hart, (2001), The Concept of Law, Edisi kedua, Oxford: Oxford University Press, hlm.77
Lusiana M Tijow, Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan
69
Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. Dalam UU RPJPN 2005-2025 terdapat beberapa bidang pembangunan, yaitu: 1) Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama; 2) Ekonomi; 3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 4) Sarana dan Prasarana; 5) Politik; 6) Pertahanan dan Keamanan; 7) Hukum dan Aparatur; 8) Wilayah dan Tata Ruang; dan 9) Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Program Pembangunan Nasional bidang hukum, dinyatakan bahwa dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal: 1) Pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan; 2) Penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien; dan 3) Pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan. Program pembangunan nasional di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN 2005-2025 merupakan kebijakan dalam melaksaanakan pembangunan di bidang hukum. PEMBAHASAN Pembangunan hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan dengan memasukkan aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut. Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30 (tiga puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan, dan bahkan belum pernah diuji
70
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu tugas utama yang mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah terlebih dengan cepatnya perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi. Konsep pembangunan hukum nasional, ide hukum pembangunan. Hukum bukan sebagai alat, melainkan sarana untuk pembaharuan hukum. Tepatnya pembangunan hukum nasional sulit dilepaskan dari tulisan Kusumaatmadja.Hampir semua Penulis yang mengkaji teori hukum pembangunan mengutip pendapat Kusumaatmadja. Hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Kusumaatmaadja3 bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena: 1) Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting; 2) Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu; dan 3) Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional. Lebih detail lagi, Kusumaatmadjamengemukakan bahwa4: “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja.Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.” Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas kedaerahan yang sangat majemuk. Sehingga oleh Nurcholis Madjid, kondisi bangsa Indonesia yang dianggap pluralis tersebut, maka pokok pangkal kebenaran yang universal adalah Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhid (secara harfia berarti me-Maha esakan Tuhan). Kondisi kemajemukan, dan masyarakat yang pluralis (beraneka ragam) tersubtitusi dalam ideology kenegaraan, atau filsafat 3
4
Mochtar Kusumaatmadja, (1995), Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Lemlit.Hukum dan Kriminologi FH Unpad, hlm. 35 Ibid.,
Lusiana M Tijow, Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan
71
hukum bangsa Indonesia yakni pancasila. Sementara teori hukummya berada pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama pada 5 program pokok pembangunan nasionalnya. Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Kusumaatmadja adalah memperkenalkan tujuan hukum bukan hanya pada kepastian dan keadilannya.Melainkan pada keberdayagunaan dari hukum itu sebagai sarana pembaru hukum (predictability) di tengah masyarakat yang majemuk. Pembangunan hukum nasional diusahakan mengakomodasi segala kepentingan dari masyarakat yang multi-etnik. Dengan demikian dimensi filsafat hukum yang hendak dicapai dalam teori hukum pembangunan menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunanyang diciptakan oleh Kusumaatmadja, yaitu: 1) Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; dan 2) Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Dalam pembangunan hukum nasional (tidak dikaitkan dengan filsafat hukum) juga dapat ditemukan beberapa dimensi diantaranya dimensi pemeliharaan, dimensi pembaharuan, dimensi penciptaan dan dimensi pelaksanaan. Dimensi pemeliharaan merupakan upaya untuk memelihara tatanan hukum yang ada, walaupun sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dimensi ini bertujuan untuk mencegah kekosongan hukum yang sesungguhnya sebagai konsekuensi logis dari Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan situasi dan keadaan dengan tetap berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Berdasarkan ulasan diatas, pembanguan hukum nasional dan dimensi yang juga terdapat dalam pembangunan hukum nasional sebagai salah satu bentuk kebijaksanaan bersifat nasional, maka hukum tetap memilki kekuatan yang perskriptif, tanpa mengabaikan dimensi sosiologi.Hukum yang senantiasa diciptakan dalam ruang-ruang institusi hukum dengan pengutamaan keadilan, maka dituntut “asas trasparansi” yang melibatkan publik dalam setiap pembentukan dan penerapan hukum. Konsep negara hukumnomokrasi, telah menjamin prinsip kesamaan hak (equity) di hadapan hukum (before the law), maka konsep hukum pembangunan yang mengutamakan keterbukaan (transparansi) sepadan dengan tawaran pembentukan hukum sebagai consensus yang melibatkan ruang publik (public sphere) “komunikasi yang partisipatoris atau konsepsi negara hukum yang mengutamakan demokrasi deliberatif . Pola Pembangunan Bidang Hukum Pola Pembangunan bidang Hukum harus dilandaskan pada Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuhnya agar dapat menjamin tercapainya tujuan negara yaitu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah ide dasar yang tertuang dalam Hukum Dasar. Jadi Pola Pembangunan bidang Hukum diarahkan untuk mengembalikan landasan-landasan yang tepat yang bersumber pada recht idee, ide dasar yang lahir dari Proklamasi yang tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
72
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Pola Pembangunan bidang Hukum ditujukan untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesiadengan memperkuat faktor eksistensial negara yang berupa rakyat, wilayah, pemerintahan dan hubungan internasional. Mengenai rakyat, pembangunan hukum wajib memberikan jaminan bagi rakyat yang berbhinneka tunggal ika untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendidikan. Mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdasar atas Hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka dan menjamin kesamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan tanpa kecuali. Mengenai faktor wilayah, pembangunan hukum harus mampu menjamin keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan dan sebagai Negara Nusantara menjadi Negara Maritim yang besar dan kuat, serta mempunyai daerah-daerah perbatasan dengan negara tetangga yang harus diberi pagar yuridis. Pembangunan Hukum Nasional harus berorientasi kepada Negara Kepulauan dan Negara Nusantara disamping memberikan pagar yuridis terhadap batas luar tanah air, membangun hukum nasional yang dapat menjadi dasar hukum pelaksanaan 4 (empat) fungsi vital laut bagi eksistensi NKRI. Mengenai pemerintahan, Pola Pembangunan bidang Hukum harus mampu mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, konstitusional dan Presidensial serta pelaksanaan otonomi daerah yang harmonis antara Pusat dan Daerah berdasarkan kepada kesadaran bahwa otonomi daerah adalah upaya untuk lebih menyejahterakan rakyat di daerah untuk tetap berada dalam wadah NKRI. Tujuan internasional Pola Pembangunan Hukum harus ditujukan untuk tetap membela dan melindungi kepentingan nasional dengan melakukan harmonisasi kepada hukum internasional sesuai dengan tuntutan kerjasama internasional dalam era globalisasi. Program pembangunan nasional di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN 2005-2025 kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum. Konsiderans menimbang Undang-undang RPJPN 2005-2025 menyatakan bahwa terdapat tiga argumentasi mengapa perlu diundangkan5: 1) Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; 2) Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945; dan 3) Sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan Undang-undang. Dalam UU RPJPN 2005-2025, pembangunan bidang hukum bukanlah mendapat prioritas utama, hal ini disebabkan oleh dua hal: 1) Pembangunan bidang hukum ada pada urutan ketujuh, setelah bidang pertahanan kemanan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah panglima dalam pembangunan nasional; Padahal secara hirarkis Bangunan tata hukum Indonesia yang dicita-citakan adalah hukum nasional yang tersusun dan tertuang dalam RPJP untuk itu seharusnya RPJP secara hirarkhis berintikan cita hukum Pancasila dan yang dioprasionalkan kedalam kenyataan melalui asas-asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui perundang-undangan dan yurisprudensi. Asas-asas hukum juga harus merupakan penjabaran dan mengacu pada cita hukum nasional ini harus berintikkan 5
Vide Konsiderans Menimbang UU RPJPN 2005-2025
Lusiana M Tijow, Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan
73
keadilan, keberhasilgunaan, kemanfaatan dan kepastian.Cita Hukum yang merupakan hasil refleksi dari cita dan dokumentasi sebuah bangsa yang juga merupakan hasil pemikiran yang ingin diimplementasikan untuk kemaslahatan umat/masyarakat indonesia. Dengan penempatan pembangunan Hukum menjadi prioritas utama maka nilai tujuan dan nilai dasar dari RPJP itu sendiri akan terefleksi dan menduduki peranan penting yang sistematik dan responsif untuk kemaslahatan dan kemanfaatan masyarakat Indonesia; dan 2) Pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat. Pembangunan bidang hukum lebih luas daripada pembangunan bidang aparatur. Pembangunan bidang hukum tidak hanya meliputi aparatur penegak hukum, tetapi meliputi juga hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan keasadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum.Pembangunan bidang hukum akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum. Dengan adanya pembangunan dibidang hukum adalah merancang kehidupan rakyat yang sejahtera dan bahagia dengan proses transformasi dari wujud Undang-undang yang dibuat logis dan rasional dan berlaku efektif.Penegakan supremasi hukum harus diikuti dengan keteladanan dimana pemerintah yang dianggap sebagai pemimpin dapat memelihara kepatuhan masyarakat dengan memberikan teladan yang baik dalam mengemban tugas Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sedangkan pembangunan bidang aparatur lebih dititikberatkan pada aparatur negara. Pengertian Aparatur adalah sumber daya manusia yang bekerja sesuai dengan kemampuannya, dibidang masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ada. Berkewajiban dalam melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Dengan demikian bidang aparatur ini menitikberatkan pada bagaimana kinerja dan hasil kinerja perseorangan dalam suatu organisasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerwono Handayaningrat yang mengatakan bahwa6: “Aparatur ialah aspek-aspek administrasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Aspek-aspek administrasi itu ialah kelembagaan, organisasi, dan kepegawaian.Aparatur pemerintahan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan atau negara, maka diperlukan aspek-aspek administrasi terutama kelembagaan atau organisasi dan kelembagaan. Maka pembangunan aparatur disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi yang harus dikelola dengan baik dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan untuk mewujudkan profesional pegawai dalam melakukan pekerjaan. Jadi penggabungan antara pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat.” Pembentuk UU RPJPN 2005-2025 beranggapan bahwa antara pembangunan bidang hukum dengan penerapan hukum adalah sama. Hal ini tampak dari bidang garapan pembangunan hukum, meliputi7: 1) Pembangunan substansi hukum, yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Diharapkan dengan diundangkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan 6 7
Soewarno Handayaningrat, (1985), Sistem Birokrasi Pemerintah, Jakarta: CV Mas Agung, hlm.20 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
74
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan; 2) Pembangunan struktur hukum, yang meliputi pembangunan aparatur pelaksana kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga Negara yang disebut adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, sedangkan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan; dan 3) Pembangunan budaya hukum, dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan. Dalam kajian teoritis, bidang pembangunan hukum di atas memandang hukum sebagai suatu sistem (legal system) yang memiliki komponen substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. I Nyoman Nurjaya mempertajam pendapat Lawrence M Friedman8bahwa hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu:1) Struktur hukum (structure of legal system) yang meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan); 2) Substansi hukum (substance of legal system) yang semua produk hukum berupa peraturan perundang-undangan; dan3) Budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide, persepsi, pendapat, sikap keyakinan, dan perilaku, termasuk harapan-harapan masyarakat terhadap hukum. Apa yang tertuang dalam Undang-Undang RPJPN 2005-2025 bidang pembangunan hukum di atas, lebih mengarah pada penerapan hukum9. Penerapan hukum dan pembangunan hukum adalah berbeda. Berbeda dengan pekerjaan penerapan atau pelaksanaan hukum dimana penerapan hukum di tuntut partisipasi aktifnya dalam menghidupkan cahaya hukum, agar hukum tetap memberikan pencerahan dalam realita kehidupan masyarakat dan memberikan arah bagi perjalanan peradapan bangsa.Masyarakat dituntut untuk selalu menyediakan keadilan yaitu kejujuran dan keberanian agar perjalanan masyarakat dan negara tidak menyimpang dari tujuan bersama.praktek penerapan hukum karena legitimasi hukum dapat muncul dari praktek dan proses aktualisasi nilai norma yang tidak pernah final karena mindset yang berimpati terhadap nilai kemanusiaan dan komitmen rekatnya kohesi(keserasian hubungan) sosial, maka pembangunan hukum ini menghadapkan kita kepada pemilihanpemilihan. Hal ini disebabkan oleh struktur kehidupan sosial kita sendiri yang tidak lagi didasarkan pada tata nilai yang padu.Hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat bergantung pada kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang bersangkutan.Oleh karena itu, pembangunan bidang hukum haruslah memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, pembangunan bidang hukum akan menjadi sia-sia. 8
9
I Nyoman Nurjaya, (2002), Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi ke-2 Membangun Kembali Indonesia Yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali, hlm.107. Satjipto Rahardjo, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung: Genta Publishing, hlm. 203.
Lusiana M Tijow, Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan
75
Hal ini sejalan dengan kesimpulan akhir dari Sidharta dalam disertasi Krakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Indonesia bahwa “penalaran hukum yang ideal dalam pembangunan hukum nasional adalah aspek ontologisnya tetap mengartikan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan; aspek epistemologisnya memfokuskan tidak saja pada penerapan norma-norma positif terhadap kasus konkret, melainkan juga pada proses pembentukannya; aspek aksiologisnya adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum. Salah satu tawaran yang menarik dari Sidharta adalah akuntabilitas, dan transparansi penegakan hukum.Terbukti dengan tawarannya dalam penalaran hukum untuk konteks keindonesiaan yakni hakim harus dikondisikan untuk siap mempertanggungjawabkan setiap argumentasi yang diutamakannya. Pembangunan dan pembaharuan hukum dapat berbentuk rekonstruksi, intensifikasi fungsi atau pengembangan fungsi. Rekonstruksi itu itu dapat berbentuk penggantian, penataan, pengelolaan, dan pengembangan hukum. Penggantian hukum dilakukan terhadap hukum yang telah kekurangan atau kehabisan daya dukungnya misalnya Indonesia memerlukan Undang-Undang khusus yang mengatur tatakelola Kelautan dan harus memiliki perhatian besar terhadap hal ini karena masa depan indonesia juga salah satunya ada dilaut. Sebagian besar pembangunan unsur operasional (kelembagaan hukum) sudah dilaksanakan yaitu dengan diberlakukannya berbagai Undang-Undang. Adapun pembangunan hukum yang harus dilakukan adalah melengkapi kekurangannya serta mengkaji ulang yang sudah terlaksana untuk menyempurkan, baik segi kualitas, substansi maupun konsistensinya. Sistem hukum nasional harus bersumber dari sosio-budaya, sistem filsafat atau ideologi bangsa, yang mencerminkan jiwa atau semangat rakyatnya dan cita hukum bangsa, sebagai penjabaran dari filsafat negara yaitu pancasila dan UUD 1945. Masih banyak peraturan perudang-undangan yang dibuat sebagai penjabaran dari RPJP tidak mengedepankan esensi cita hukum baik reaktualisasi sitem hukum yang bersifat netral yang berasal dari hukum adat dan hukum islam, penataan kelembagaan aparatur hukum,masalah pemberdayaan masyarakat baik akses masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN harus benar-benar diberantas untuk keberhasilan pembangunan hukum itu sendiri. Dalam pembangunan hukum diperlukan secara sadar dan terarah menurut orientasi ideoogis yang kesemuanya harus bersumber dari Pancasila begitupun juga dengan RPJP. Dengan bersumber pada Pancasila memberi kesatuan yang mendasar sebagai berikut: 1) Sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila; 2) Hukum bertujuan mewujudkan keadilan demi kepentingan orang banyak sesuai dengan nilai-nilai keadiulan yang hidup dalam masyarakat; 3) Sistem hukum berfungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa dapat memberikan respektif kedepan; dan 4) Faktor adat dan tradisi dapat memberikan sumbangan positif dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional. KESIMPULAN Uraian pada bagian-bagian terdahulu memperlihatkan bahwa pembangunan bidang hukum yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 menyamakan antara penerapan hukum dengan pembangunan hukum yang seharusnya berbeda. Sebagai akibatnya, pembangunan bidang hukum terbatas pada apa yang disebut oleh Lawrence M Friedman sebagai komponen atau elemen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
76
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Agar pembangunan hukum berlaku efektif di masyarakat, pembentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, pembangunan bidang hukum yang kita laksanakan akan dapat menuju cita-cita hukum nasional yang diidamidamkan. Pada akhirnya, tujuan pendirian negara Indonesia dapat terwujud, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur sejahtera. DAFTAR PUSTAKA Handayaningrat, Soewarno, (1985), Sistem Birokrasi Pemerintah, Jakarta: CV Mas Agung. Hart, HLA, (2001), The Concept of Law, Edisi kedua, Oxford: Oxford University Press. Kusumaatmadja, Mochtar, (1995), Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Lemlit.Hukum dan Kriminologi FH Unpad. Nurjaya, I Nyoman, (2002), Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi ke-2 Membangun Kembali Indonesia Yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali. Rahardjo, Satjipto, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalamanpengalaman di Indonesia, Bandung: Genta Publishing. Sidharta, Bernard Arief, (1999), Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju. Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung: Genta Publishing, hlm. 203.
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
77
KEBEBASAN DALAM KEKUASAAN PERADILAN PIDANA Ibnu Subarkah1 e-mail:
[email protected] Abstrak Persoalan kekuasaan peradilan pidana, didasarkan pada analisis teori keadilan, yang menekankan pada satu sisi pembatasan kekuasaan, dan pada sisi lain menekankan pada penggunaan kekuasaan. Kekuasaan yang ada selama ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan baik Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 24 ayat 1, dan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undangDasar Tahun 1945. Permasalahan yang muncul apakah sesuatu yang berlebihan penggunaan kekuasaan ataukah telah terjadi kebebasan dalam kekuasaan itu sendiri dengan mengutip beberapa kasus Jessica, penistaan agama. Oleh karena itu sebagai solusi dilakukan analisis, perubahan perundang-undangan kiranya perlu dilakukan, mengingat masih ada keterbatasan karena perkembangan nilai-nilai, asas-asas hukum dan perlu disusun suatu norma-norma untuk mengatasi ketidaklengkapan norma yang ada. Bila hal ini tidak sampai bisa diatasi, maka dimungkinkan akan terus terjadi abuse of freedom by criminal justice. Perundang-undangan yang disusun didasarkan pada kegiatan suatu analisis sistemik, karena sistem peradilan pidana berjalan sistemik dari mulai tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kata kunci: kebebasan,kekuasaan, peradilan pidana,sistem peradilan pidana.
PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara Hukum,2yang memiliki ciri-ciri antara lain: adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam segala bentuk aktivitas kehidupan. Oleh karena itu hal tersebut telah menjadi perilaku bangsa dan negara Indonesia. Perilaku bangsa dan negara Indonesia, mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu cepat dari masa kolonial hingga masa orde reformasi. Nilai-nilai yang ada dan terjadi serta perubahan dan perkembangannyapun layak untuk menyesuaikan dengan iklim serta keadaan sosiologis, budaya bangsa yang akan mempengaruhi keadaan negara. Nilai-nilai yang berubah diharapkan sesuai dengan bentuk kristalisasi keadaan substansial di Indonesia, tentunya berimbas pada penghormatan asas-asas dan penyusunan norma yang inheren dengan suasana kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini disebabkan bahwa masalah perilaku bangsa dan negara Indonesia, memiliki perbedaan dengan suasana perilaku bangsa dan negara lain di dunia ini. Berdasarkan kenyataan (conditio sine quanon), kekuatan perilaku bangsa dan negara Indonesia, persoalan dengan kekuatan dan ketahanannya lebih rendah dan lemah dibanding dengan negara lain, yang dalam kalimat lain bahwa telah terkooptasi oleh suasana perilaku bangsa dan negara lain. 1 2
Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Jl. Borobudur 35 Malang Lihat Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (2010), Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Bab I, Bentuk dan Kedaulatan, Mahkamah Konstitusi, hlm. 5
78
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Berdasar hal tersebut di atas, pengaruhnya pada bidang hukum, seperti sesuatu yang diterima begitu saja tanpa disesuaikan dengan perilaku bangsa dan negara Indonesia yang memiliki suasana kebatinan sebagai variabel pembeda. Oleh karena itu, teori keadilan3 perlu dicanangkan sebagai pisau analisis bekerjanya sistem peradilan pidana. Menurut Romli Atmasasmita,4 dikatakan bahwa: “penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.” Sebaliknya menurut Rusli Muhammad,5dikemukakanbahwa, “sorotan dan keresahahan dalam proses peradilan pidana nampaknya perlu mendapat perhatian dan dipecahkan oleh ilmu hukum pidana, sebab bila diabaikan berakibat masyarakat tidak sekedar ragu-ragu lagi terhadap lembaga peradilan melainkan timbul kebencian dan penolakan, sehingga pada gilirannya timbul tindakan main hakim sendiri yang berarti pula memperbanyak barisan penjahat dan kejahatan yang justru sangat bertentangan dengan tujuan penegakan hukum pidana yang mengurangi tingkat kejahatan.” Berikutnya adalah persoalan penggunaan kekuasaan dalam sistem peradilan pidanamenekankan bahwa “setiap orang yang terlibat (tersangka atau tertuduh) dalam criminal justice system ada kemungkinan bersalah, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus semaksimal mungkin.6 Penggunaan kekuasaan merupakan refleksi dari asas kemandirian peradilan. Bilamana penerapan kemandirian yang berlebihan, dimungkinkan akan terjadi penerapan kekuasaan yang berlebihan pula. Penegakan hukum yang mengedepankan hukum positip atau peraturan perundang-undangan, pada satu sisi yang dilihat pada kelemahan dalam hukum positip, sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak diatur sah/ tidaknya penyelidikan, karena imbas dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, hak tersangka untuk melakukan praperadilan(penetapan tersangka); dan dalam Penuntutan terjadi bolak-balik proses pra penuntutan, dan pada tingkat pengadilan, hakim karena keyakinan memutus karena hukum positip yang ada kurang akomodatif, yang kesemuanya berimplikasi pada masalah pembuktian.Hukum dibuat, melalui proses pentahapan dan perencanaan yang matang. Hukum adalah keadilan, begitu konsep yang dikembangkan oleh hukum alam, maka hukum dibuat untuk masyarakat yang didalam atau isinya mengandung nilai-nilai keadilan, dan kesejahteraannya serta mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat dengan daya berlakunya secara yuridis, sosilogis dan filosofis. Dalam suasana pelaksanaan hukum positip dengan terjadinya penggunaan kekuasaan sebagai implikasi dari kurang lengkapnya pengaturan (incompletely norm), pengaruh media, masyarakat dalam bekerjanya pengadilan, maka pengkajian kekuasaan kehakiman masih 3
4 5 6
Romli Atmasasmita, (1996), Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme,Jakarta: Putra Bardin, hlm. 109, dijelaskan Herbert L. Packer telah mengetengahkan dua teori keadilan dalam lingkup “the criminal justice system”, pertama “crime control model” dan kedua “due process model” Ibid, hlm. 39 Rusli Muhammad, (2009), Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 144-145 Rusli, Loc.cit.,
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
79
tetap diharapkan terjaga. Sebagai suatu sistem, masing-masing kelembagaan penegak hukum saling mempengaruhi, tidak hanya horizontal, namun juga vertikal.Oleh karena itu kesempatan dan peluang untuk terjadinya kekuasaan yang disalahgunakan akan menciptakan sistem peradilan pidana memproteksi dirinya semakin besar, dan semakin besar pula dalam mengekspresikan kekuasaan, dengan kata lain kebebasan menggunakan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan yang terlibat dalam peradilan pidana merupakan wujud dari asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Asas ini diabstraksikan dalam suatu norma Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang disebutkan: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.7 Dalam pelaksanaannya ujian dan daya berlakunya dari asas ini bilamana diperhatikan dalam prakteknya penuh dengan ketidaktaatan. Suatu kasus yang sulit pembuktian peluang untuk itu sungguh besar,teringat ketika persidangan Kasus Racun Sianida Jessica, berikut kasus Penistaan Agama. Peranan media dan masyarakat, turut menentukan dalam penggiringan isu yang akhirnya mengkristal dan mempengaruhi dalam hal putusan hakim dan penetapan tersangka. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah ini sebagai dampak hukum ketidakharmonisan antara asas praduga tak bersalah dengan asas kemandirian peradilan. PEMBAHASAN Masalah yang muncul ketika dijalankan pemeriksaan dalam lingkup berjalannya sistem peradilan pidana, adalah implementasi norma yang berlaku, berikut konsistensi pada asasasas hukum, yang diserasikan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas hukum, sama seperti hukum positip lainnya, dapat kehilangan keberlakuannya, yang disebabkan: “ukuran nilai yang terkandung dalam asas hukum mengalami perubahan-perubahan, yang dicontohkan asas hukum yang ditiadakan pada tahun 1956, yakni asas bahwa wanita yang menikah wajib patuh pada suaminya, yang sebelum tahun itu tercantum dalam Pasal 161 BW. Asas hukum bila dijelaskan merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.”8 Kekuasaan kehakiman yang ditopang oleh asas hukum, yakni asas kemandirian, sebagaimana telah diaktualisasikan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa: “dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan” 7 8
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman JJ.H. Bruggink. (2011), Refleksi tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Suatu terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung: PT Citra Adtya Bakti, hlm.119-120.
80
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
merupakan tindak lanjut Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Pasal 24 ayat (1) Bab IX “Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”9 Sedangkan Pasal 28 D Bab X tentang Hak Asasi Manusia,menjelaskanbahwa: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam bekerjanya mengikuti dan melaksanakan suatu mekanisme pengendali yang dapat berupa peraturan perundang-undangan. Batasan pemeriksaan di pengadilan negeri dalam hal menerapkan pembuktian Pasal 184 KUHAP, dimana normanya mengatur Alat Bukti, tidak ada batasan begitu pula pada tingkat Kejaksaan dan Kepolisian khususnya tindakan penahanan dilakukan bagi pelaku kejahatan. Akan tetapi dalam upaya menghargai asas pemeriksaan yang cepat, dan pembatasan penahanan secara normatif diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kiranya terdapat sesuatu yang opponen atau a contrario, yang dipertegas bahwa antara pemeriksaan dengan model untuk menemukan hukum yang benar dan adil dengan upaya yang dimungkinkan dilakukan penggunaan kekuasaan. Keadaan ini tentunya dapat dimaklumi, bagian dari sistem yang telah rusak harus diperbaiki, bilamana hal tersebut menunjuk pada mechanisme control, maka perundang-undanganyalah yang dirubah, sebagaimana menarik yang disampaikan Satjipto Rahardjo10: “suatu kenyataan untuk berburu kebenaran walaupun dalam masa tertentu harus mengakui kegagalan dan keterbatasannya karena kebenaran hasil karya manusia adalah relatif.” Meskipun demikian negara hukum yang dicita-citakan selayaknya ditegakkan, dengan memperhatikan suatu konsep sebagaimana yang dijelaskanolehJimly Asshiddiqie,11bahwa: “sebagai suatu negara hukum, maka hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari elemen kelembagaan (institutional), kaidah aturan (instrumental), dan perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural), dimana elemen-elemen tersebut mencakup kegiatan pembuatan hukum (law making),; kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating) 9 10
11
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 Satjipto Rahardjo, dikutip oleh Ahmad Mujahidin, (2007), Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm.1, dikutip oleh Ibnu Subarkah, (2011), “Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan dalam Frame Desentralisasi Pemerintahan”,Jurnal Konstitusi, Malang: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV, No. 1 Juni 2011, ISSN 1829-7706), hlm. 134 Jimly Asshiddiqie, dkk, (2007)Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biography Institute, hlm. 14. (Lihat pula Marc Galanter, Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, (1988), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks, Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm. 147-149, yang menjelaskan karakteristik sistem hukum modern memiliki ciri kas hukum uniform, hukum transaksional, hukum universial, hirarkis, birokrasi, rasionalitas, profesionalisme, perantara, dapat diralat, pengawasan politik, pembedaan
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
81
kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement); pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law aducation); pengelolaan informasi hukum (law information management). Lebih lanjut, beliau mengatakan, keseluruhan elemen, komponen, herarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.” Maka sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, pada peradilan pidana perlu juga dilakukan pendekatan “analisis sistemik: “yang dapatmengungkapkan kebijakan umum dan prinsip-prinsip yang berlaku pada tingkat atau tahapan proses yang sangat berbeda. Analisis sistem berguna untuk mengenali nilai-nilai berguna untuk mengenali nilai-nilai bersama yang mendasari aturan hukum, hukum pidana dan hukum acara pidana yang diterapkan.”12 Telah dijelaskan di atas meskipun dikatakan kebenaran manusia adalah relatif, faktor kehatihatian dan kecermatan, yang menyangkut asas-asas dalam penyusunan produk hukum yang baik, yang menyangkut juga keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis, sudah sepantasnya diperhatikan, termasuk pentingnya partisipasi masyarakat. Saratnya penggunaan kekuasaan dengan ditopang oleh asas-asas serta norma yang ada, pada dasarnya untuk merealisasikan koridor amanah konstitusi Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, suatu peradilan yang merdeka. Nampaknya dalam suasana praktek hukum, mengalami situasi deregulasi yang dibatasi pada ketidaktaatan pada peraturan yang diembannya yakni Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Reformasi hukum pun diharapkan perlu dilakukan. Keadilan substansial, diantara keadilan dengan bentuk lain belum dapat ditemukan, bilamana penegak hukum tidak melakukan upaya-upaya berdasarkan keyakinan dan kebebasannya yang selama ini menurut hemat penulis telah nyata-senyatanya. Bisa jadi dapat dikatakan dengan abuse of freedom by criminal justice atau penyalahgunaan kebebasan oleh peradilan pidana.Sebagai suatu contoh Pemikiran Upaya Reformasi Hukum dengan Menerapkan Restorative Justice merupakan konsep pemikiran dari Kementerian Menpolhukam.
12
Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, (2015), Sosiologi Peradilan Pidana, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI bekerjasama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
82
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Dari paparan diatas dapatlah dibagankan dibawah ini.
Maka kebebasan di atas mempunyai arti berbeda dengan kebebasan yang mengandung arti kemandirian atau merdeka.13 Alternatif atau pilihan tindakan merupakan suatu bentuk kebebasan, diluar keyakinan yang telah didasarkan pada undang-undang. “Hukum disini merupakan sistem jalinan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.”14 Nilai dianggap sebagai idee directive atau donne ideal yang merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia kearah pemenuhan hasrat hidupnya. Di dalam hukum biasanya nilai-nilai dapatlah digambarkan sebagai berpasangan (dua-dua) tetapi selalu bertegangan. Suatu contoh konsepsi kebebasan, sebagaimana halnya dengan kepentingan umum, dikenal pula versi-versi fungsional, seperti antara lain “kebebasan politik, kebebasan pers, dan kebebasan akademis, dan kebebasan dapat dipadatkan menjadi kebebasan rohaniah, kebebasan menyatakan pendapat (lisan atau tertulis) dan kebebasan berperikelakuan atau bersikap tindak.15 “Kekuasaan dengan asas-asasnya serta norma-normanya telah diterapkan oleh Hakim, suatu misal kasus Jessica. Akan tetapi sampai menjelang putusan, terdakwa Jessica tidak/ belum mengakui-pada waktu itu hakim majelis, berupaya dengan pertanyaan-pertanyaannya setelah serangkaian pembuktian, mengharapkan Jessica untuk menyampaikan pengakuan-dan akhirnya diputus dengan ancaman pidana 20 (duapuluh) tahun: “Sanksi yang dievaluasi untuk keadilan dan ketidakadilan dievaluasi dalam hal konsekuensi untuk nilai-nilai lain, seperti kebebasan, ketertiban, kebahagiaan, kekayaan, atau kesejahteraan tetapi mereka adalah wujud keprihatinan terpisah.16” 13
14
15 16
Rusli Muhammad, (2004), “Strategi dalam Membangun Kembali Kemandirian Pengadilan di Indonesia”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No. 26 Vol 11, Perkembangan Lembaga Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: FH UIIhlm. 20, kebebasan disini mempunyai makna yang sama dengan kemandirian “ ..hilangnya kebebasan kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum tidak semata-mata bersumber dari pelaku-pelaku dari para penyelenggara negara atau para penegak hukum tetapi kemungkinan besar justru berasal dari ketidakberesan UUD 1945 itu sendiri” Purnadi Purbacaraka, Sorjono Soekanto, (1978), Renungan tentang Filsafat Hukum, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 14. Hukum juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, disiplin, kaedah, tata hukum, petugas (hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Ibid, hlm. 15 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op.cit., hlm. 242
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
83
KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Bekerjanya sistem peradilan pidana, mengandung arti penggunaan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan. Kekuasaan yang telah dinormatifkan dalam perundang-undangan yang ada, di luar hal tersebut peradilan pidana sebagai sistem dalam bertindak menerapkan kebebasan (abuse of freedom by criminal justice); dan 2) Pelaksanaan kebebasan tersebut berakibat pada pentingnya perubahan perundang-undangan, dimana nilai-nilai, asas-asas hukum dan normanya kurang sejalan dengan kondisi penerapan hukum pidana, maka dalam hal merubah menggunakan analisis sistemik bukan parsial, meskipun komponen-komponen atau subsistem bersifat otonom dalam pelaksanaanya. SARAN Rekomendasi dari paparan di atas sebagai berikut: 1) Harapan agar dilakukan perubahan perundang-undangan sistem peradilan pidana, dengan mengingat semakin krusial persoalan peradilan pidana;dan 2) Harapan agar kekuasaan yang telah dilakukan, yang sejalan nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk dipertahankan dengan menyusun asas hukum baru dan mengkonkretkan dalam norma yang abstraksinya lebih rendah. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly dkk, (2007), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biography Institute. Atmasasmita, Romli, (1996), Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Jakarta: Putra Bardin. Bruggink, JJ.H, (2011), Refleksi tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Suatu terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Dermawan, Mohammad Kemal dan Mohammad Irvan Oli’i, (2015), Sosiologi Peradilan Pidana, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI bekerjasama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Muhammad, Rusli, (2004), “Strategi dalam Membangun Kembali Kemandirian Pengadilan di Indonesia”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No. 26 Vol 11, Perkembangan Lembaga Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: FH UII. ____________(2009), Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press. Mujahidin, Ahmad, (2007), Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Peters, AAG dan Koesriani Siswosoebroto, (1988), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks, Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Purbacaraka, Purnadi, Sorjono Soekanto, (1978), Renungan tentang Filsafat Hukum, Jakarta: CV Rajawali.
84
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (2010), Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Bab I, Bentuk dan Kedaulatan, Mahkamah Konstitusi, Jakarta: MK. Subarkah, Ibnu, (2011), “Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan dalam Frame Desentralisasi Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Volume IV, No. 1 Juni 2011, ISSN 18297706, Malang: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang kerjasama dengan MK. Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Galuh Kartiko, Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime
85
LEGAL POLICY TERHADAP YURIDIKSI CYBERCRIME DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Galuh Kartiko1 E-mail:
[email protected] Abstrak Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet juga mengundang terjadinya kejahatan. Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime.Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalammenyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya sertamemperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) ataupihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputerKriminalitas yang menggunakan internet sebagai media atau kerap disebut sebagai cyber crime telah melonjak drastis. Hal ini sesuai dengan adagium yang mengatakan bahwa “crime is product of society itself”, di mana kejahatan dengan modus teknologi informasi ini akan semakin berkembang di dalam masyarakat yang semakin terbiasa dengan dunia maya. Secara sederhana International Telecommunciation Union (ITU) mengemukakan bahwa definisi dari cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer baik sebagai alat, target ataupun perantara untuk melakukan kejahatan konvensionalMaraknya cyber crime disebabkan karena kemunculan internet kini diibaratkan seperti sebuah daerah perbatasan baru (new frontier) pada zaman wild west. Wilayah baru ini bebas untuk di eksploitasi dan dieksplorasi tanpa ada hukum yang mengaturnyaSalah satu kesulitan besar dalam menangani masalah cybercrimeadalah sifatnya yang sangat Transboundary(lintas batas).Ia hampir tidak mengenal batas-batas negara. Kejahatan cyber di satu negara dapat dilakukan dari dan melalui negara lain manapun di dunia, dapat menentukan korbannya di belahan dunia manapun, dapat menyembunyikan identitas pelaku melalui sistem komputer yang berlokasi di Negara manapun, dan menyimpan bukti-bukti di negara lain yang jauh. Kata kunci: cybercrime, yurisdiksi, hukum internasional
PENDAHULUAN Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalammenyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya sertamemperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.2 Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet juga mengundang terjadinya kejahatan. Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime. Rene L. Pattiradjawane 1 2
Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S.Supriyadi 48 Malang Andi Hamzah, (2000), Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.23.
86
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
menyebutkan bahwa konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan cyberline yang dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60 juta), yang melibatkan 160 negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi hukum untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap milik pribadi.3 John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime memiliki sifat efisien dan cepat serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap pelakunya.4Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime. Kriminalitas yang menggunakan internet sebagai media atau kerap disebut sebagai cyber crime telah melonjak drastis. Hal ini sesuai dengan adagium yang mengatakan bahwa “crime is product of society itself”, di mana kejahatan dengan modus teknologi informasi ini akan semakin berkembang di dalam masyarakat yang semakin terbiasa dengan dunia maya. Secara sederhana International Telecommunciation Union (ITU) mengemukakan bahwa definisi dari cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer baik sebagai alat, target ataupun perantara untuk melakukan kejahatan konvensional.5 Salah satu kesulitan besar dalam menangani masalahcybercrime adalah sifatnya yang sangat Transboundary(lintas batas).Ia hampir tidakmengenal batas-batas negara. Kejahatan cyber di satu negara dapat dilakukan dari danmelalui negara lain manapun di dunia, dapat menentukan korbannya di belahan duniamanapun, dapat menyembunyikan identitas pelaku melalui sistem komputer yangberlokasi di Negara manapun, dan menyimpan bukti-bukti di negara lain yang jauh. PEMBAHASAN Penerapan Hukum di Cyberspacetentang Kebebasan Kontra Pengaturan Kemunculan teknologi komputer yang diikuti dengan lahirnya internet telahmembawa sejumlah konsekuensi, salah satunya adalah berupa terbentuknya suatu komunitas atau kelompok sosial baru. Sementara itu seiring dengan perkembangan teknologi komputer (internet) yang begitu pesat, jumlah komunitas tersebut semakin hari semakin bertambah. Akibatnya aktifitas yang terjadi di cyberspace yang melibatkan individu-individu yang biasa di sebut Netizen6pun semakin meningkat, baik itu aktifitas yang bersifat positif maupun aktifitas yang bersifat negatif Berangkat dari fenomena ini, maka sejumlah kalangan menganggap perlu segera diadakannya pengaturan terhadap cyberspace beserta aktifitas-aktifitas yang terjadi disana. Dasar pemikirannya adalah hukum, sebagaimana kodratnya diperlukandi cyberspace agar aktifitas-aktifitas yang terjadi diatasnya dapat teratur danterkontrol7, sehingga tidak terjadi radikalisme di cyberspace. Kekhawatiran tersebutmemang cukup beralasan mengingat akan konsep kebebasan (free access) yangberlaku di cyberspace.8
3 4 5 6 7 8
Rene L. Pattiradjawane, (2000), Media Konverjensi dan Tantangan Masa Depan”, Kompas, 21 Juli. Jhon Sipropoulus, (1999), Cyber Crime Fighting, The Law Enforcement Officer’s Guide to Online ITU, (2009), Understanding cybercrime guide, ICT Appliccation dan Cybersecurity Division, hlm.17 Vivek Sood, Cyber Law Simplified, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Co.Ltd, 2001), hlm. 38. UNESCO. (2000), The International Demension of Cyberspace Law. England. Ashgate Publishing Ltd,hlm. 19. http://www.cyberjurisdiction.net, diakses pada 16 Mei 2015
Galuh Kartiko, Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime
87
Konsep kebebasan di cyberspace memungkinkan penggunanya dapatmengakses, menyimpan andakan, mengirim informasi atau aktifitas lainnya secarabebas di internet.9 Pandangan ini berlawanan dengan pendapat sebelumnya yangmenganggap cyberspace “hanyalah” media biasa yang digunakan oleh manusiauntuk berkomunikasi, berinteraksi dan berbisinis. Kondisi Empiris Walaupun tidak ada kesepakatan yang secara jelas mengakhiri perseteruanantara dua pendapat diatas, namun kondisi empiris yang ada sekarang setidaknyatelah menggambarkan kearah mana masyarakat hukum internasional berpihak.Sebagian besar cenderung menyetujui gagasan yang mengehendaki adanyapengaturan atau penerapan hukum terhadap cyberspace beserta aktifitas-aktifitasyang berlangsung disana. Keberpihakan ini antara lain ditandai dengan kemunculansejumlah ketentuan hukum mengenai cyberspace, baik itu yang berlaku secarainternasional maupun nasional. Ketentuan hukum mengenai cyberspace atau yangbiasa disebut cyberlaw diterbitkan oleh sejumlah negara sebagai reaksi dan antisipasi terhadap ancaman keamanan yang muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi yang begitu pesat. Secara umum, negara-negara yang telah memiliki cyberlaw dapat diklasifikasikan menjadi dua, Kelompok pertama adalah negara-negara yang memutuskan untuk membuat cyberlaw khusus. Beberapa negara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Amerika Serikat (Computer Fraud and Abuse Act), Inggris (Theft/Forgery and Counterfeiting Act), dan Singapura (Computer Misuse Act).10 Sementara kelompok kedua adalah negara-negara yang hanya menyisipkan ketentuan mengenai cyberspace atau merevisi undang-undang pidana biasa yang ada. Belanda dan Prancis adalah contoh negara yang termasuk dalam kelompok negara kedua ini.164 Keberpihakan ini semakin diperkuat dengan adanya sejumlah ketentuan yang dikeluarkan beberapa organisiasi internasional seperti PBB, Council of Europe, dan OECD (Organization for Economic Co-Operation Development). Konsep Yurisdiksi di Cyberspace Salah satu masalah paling krusial yang dimunculkan oleh cybercrime adalahmasalah yurisdiksi yang berkaitan dengan sejauh mana suatu negara dapatmenerapkan kedaulatan hukumnya atau dengan kata lain sejauh mana kemampuansuatu negara menyidangkan suatu perkara bernuansa internasional.Permasalahan yurisdiksi di suatu negara dapat menerapkan kedaulatan hukumnya atau dengan kata lain sejauh mana kemampuan suatu negara menyidangkan suatu perkara bernuansa internasional. Permasalahan yurisdiksi di cybercrime ini selajutnya memunculkan perbedaan pendapat antara dua kubu, perdebatan tersebut pada pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya cyberspace diatur termasuk juga konsep yurisdiksi yang seharusnya berlaku di cyberspace. Kubu pertama menganggap bahwa cyberspace cukup diatur dengan hukum serta konsep yang selama ini ada dan digunakan dalam dunia nyata (kubu ini selanjutnya disebut dengan Cyberpaternalist). Sementara kubu kedua mempunyai pandangan bahwa cyberspace itu dunia yang 9 10
Vivek Sood, Cyber Law Simplified, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Co.Ltd, 2001), hlm. 278. Wisnubroto, A.L. (2001), Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer. Yogjakarta. Penerbitan Universitas Atmajaya,.hlm.26.
88
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
khas, unutuk itu perlu ada hukum serta konsep tersendiri yang diberlakukan di cyberspace. Pandangan ini mencoba memisahkan cyberspace dengan dunia nyata (kubu ini selajutnya disebut dengan cyber-libertarian).11 Ditengah perdebatan yang alot mengenai hal ini, David R. Johnson mencoba menawarkan empat model yang patut dipertimbangkan sebagai solusi, keempat model tersebut antara lain:121) Pelaksanaan kontrol dilakukan oleh badan-badan peraadilan yang saat ini ada; dan 2) Mengadakan kesepakatan internasional mengenai pengaturan cyberspace tentang Membentuk organisasi internasional yang khusus mengatur cyberspace dan Pengaturan sendiri oleh pengguna internet (self-governance). Alasan yang mendasari gagasan ini adalah bahwa dengan adanya organisasi internasional ini semua negara dapat menyesuaikan atau menyeragamkan peraturan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan cyberspace. Namun UNESCO dalam hal ini mengingatkan bahwa pembentukan organisasi internasional baru juga memiliki permasalahan-permasalahan yang harus dijawab. Beberapa permasalahan yang dimaksud antara lain berkaitan dengan dasar kewenangan. Yurisdiksi Negara Dalam Menangani Kasus Cybercrime Permasalahan yurisdiksi dalam Convention on Cybercrime yang dibuat olehDewan Eropa, secara khusus ditempatkan pada pasal tersendiri yakni pada pasal 22.Pasal yang terdiri dari lima ayat tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut13: 1. Each Party shall adopt such legislative and other measures as may benecessary to establish jurisdiction over any offence established in accordancewith Articles through 11 of this Convention, when the offence is committed: a. in its territory; or b. on board a ship flying the flag of that Party; or c. on board an aircraft registered under the laws of that Party; or d. by one of its nationals, if the offence is punishable under criminal lawwhere it was committed or if the offence is committed outside theterritorial jurisdiction of any State. 2. Each Party may reserve the right not to apply or to apply only in specificcases or conditions the jurisdiction rules laid down in paragraphs 1.b through1.d of this article or any part thereof. 3. Each Party shall adopt such measures as may be necessary to establishjurisdiction over the offences referred to in Article 24, paragraph 1, of thisConvention, in cases where an alleged offender is present in its territory andit does not extradite him or her to another Party, solely on the basis of his orher nationality, after a request for extradition. 4. This Convention does not exclude any criminal jurisdiction exercised by aParty in accordance with its domestic law.
11
12
13
Andrew D. Murray, The Regulation in Cyberspace :Control in the Online Environment, 2007, Routelage & Cavendish, hlm.55 David R. Johnson and David G. Post, “And How Should The Internet Be Governed?”, The American Lawyer, 1996 European Committee on Crime Problems (CDPC), Final Draft Convention on Cybercrime, Strasbourg, 25 Mei 2001
Galuh Kartiko, Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime
5.
89
When more than one Party claims jurisdiction over an alleged offenceestablished in accordance with this Convention, the Parties involved shall,where appropriate, consult with a view to determining the most appropriatejurisdiction for prosecution.
Terjemahan bebas dari pasal 22 ini adalah : 1. Setiap Negara yang menjadi peserta dalam konvensi ini sebaiknya mengambil langkahlangkahdi bidang legislasi dan bidang lainnya yang dianggap perlu untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 2-11 konvensi ini, dalam hal kejahatan tersebut berlangsung di :a).Di wilayah negara tersebut, b) Diatas kapal berbendera negara tersebut, c) Diatas pesawat yang terdaftar menurut hukum negara tersebut, dan d) Kejahatan yang dilakukan oleh warganegaranya, dalam hal perbuatan yang dilakuakan tersebut dikategorikan sebagai tindak kejahatan menurut hukum pidana dimana perbuatan itu terjadi atau jika perbuatan tersebut berlangsung di luar wilayahyurisdiksi negara. 2. Setiap negara berhak untuk memilih apakah akan menerapkan atau tidak ketentuan yurisdiksi dalam bagian 1b-1ds diatas dengan mempertimbangkan kondisi serta kasus tersebut. 3. Setiap peserta dalam konvensi ini sebaiknya mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan berdasarkan pasal 24bagian pertama konvensi ini, dalam hal tersangka berada di wilayahnya dan tidak dilakukan ekstradisi atas dirinya dengan pertimbangan status kewarganegarannya.Dewan Eropa melalui Commitee of Experts on Crime in Cyberspace (PC-CY)sebagai panitia perumus konvensi ini menerbitkan penjelasan resmi mengenai pasal-pasaldalam konvensi tersebut. Penjelasan tersebut dimuat dalam suatu dokumenyang dinamakan Expalanatoty Report of The Draft Convention on Cybercrime yangtelah disetujui pada bulan November 2001. Pasal 22 ini memuat sejumlah kriteriayang mewajibkan setiap pihak dalam konvensi ini untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang disebutkan mulai dari pasal 2 hingga pasal 11dalam konvensi ini. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain: 1) Penyadapan secara tidak sah (illegal interception),2)Memasuki suatu sistem komputer secara tidak sah (illegal access),3 ) Intervensi terhadap data (data intervention), 4) Intervensi terhadap sistem (system interference), 5) Penyalahgunaan alat (misuse of device), 6) Pemalsuan melalui komputer (computer related forgery), 7) Penipuan melalui komputer (computer realted fraud),8) Kejahatan pornografi anak (offences related to child pornography),9) Pelanggaran hak cipta dan hak-hak lainnya yang terkait (offencesrelated to infringements of copyright and related rights), dan 10) Segala bentuk percobaan, pembantuan, dan persekongkolan yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan tersebut diatas.14Ayat pertama dalam pasal ini menganut prinsip teritorial, artinya setiap negarayang menjadi pihak dalam konvensi ini berhak mengadili terhadap kejahatan-kejahatanyang tercantum dalam konvensi ini yang dilakukan di wilayahnya. 4. Keberadaan konvensi ini tidak mengesampingkan penerapan yurisdiksi kriminal berdasarkan hukum nasional suatu negara. 5. Apabila lebih dari satu pihak mengklaim yurisdiksi atas suatu kejahatan yang terdapat dalamkonvensi ini, maka para pihak yang terlibat sebaiknya mengadakan konsultasi dalammenentukan yurisdiksi yang tepat. 14
(<www.coe.net>, diakses pada tanggal 4 April 2016).
90
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Contoh misalnya suatu negara dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya jika baik pelaku maupun sistem komputer yang diserang berada di wilayahnya atau jika sistem komputer yang diserang berada di wilayahnya, tetapi pelakunya tidak berada di wilayahnya.15Pada awal perumusannya, dalam pasal ini juga dipertimbangkan untuk memasukkan klausul yang memungkinkan suatu negara perserta konvensi menerapkan yurisdiksinya berdasarkan jenis kejahatan dalam konvensi ini yang melibatkan satelit yang terdaftar pada negara tersebut. Namun tim perumus konvensi pada akhirnya menganggap hal ini tidak perlu mengingat kejahatan yang melibatkan satelit bagaimanapun juga selalu berasal dari bumi dan tertuju ke bumi. Pasal Ayat (1) butir (d) berisi prinsip nasionalitas yang banyak oleh negara-negara penganut sistem civil law. Prinsip ini memungkinkan seorang warganegara diproses menurut hukum negaranya atas suatu perbuatan yang dilakukan diluar wilayah yurisdiksi negara yang bersangkutan.Ayat (2) memuat ketentuan yang memungkinkan negara peserta konvensi untuk melakukan pengecualian (persyaratan) terhadap ayat (1) butir (b), (c), dan (d). Sementara pengecualian tersebut tidak diperkenankan terhadap pemberlakuan yurisdiksi teritorial seperti yang tercantum dalam butir a, atau terhadap penerapan yurisdiksi berdasarkan prinsip aut dedere aut judicare (pengekstradisian atau penuntutan) seperti yang tercantum dalam ayat 3 yakni dalam hal suatu negara menolak untuk mengekstardisi seorang pelaku kejahatan karena status kewarganegaraannya serta pelaku berada di wilayah negara tersebut. Ketentuan ayat 3 tersebut perlu untuk menjamin bahwa negara peserta konvensi yang menolak mengekstradisi tetap mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan prosedur hukum lainnya terhadap warganegaranya, jika ekstradisi tersebut diminta oleh negara peserta konvensi lainnya berdasarkan syarat-syarat dalam Pasal 24 ayat (6), yang berbunyi bahwa jika permintaan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan dalam konvensi ini ditolak dengan alasan status kewarganegaraanya atau pihak yang diminta menganggap mereka mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut, maka negara yang menolak tersebut harus menyampaikan kepada pihak yang meminta serta memberikan laporan hasil proses yang dilakukan. Dasar penerapan yurisdiksi yang tercantum dalam ayat 1 tidak bersifat baku, karena dalam ayat (4) disebutkan bahwa negara peserta konvensi diperkenankan untuk mempergunakan jenis yurisdiksi lainnya yang didasarkan pada hukum nasionalnya masing-masing. Dalam hal kasus kejahatan yang melibatkan sistem komputer, terdapat kemungkinan dimana lebih dari satu negara peserta yang mengklaim mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut. Misalnya, banyak kejahatan seperti serangan virus, penipuan, atau pelanggaran hak cipta yang dilakukan lewat internet dengan korban lebih dari satu negara. Oleh karena itu untuk menghindari persaingan antar negara dalam hal penegakan hukum, maka negara peserta yang terlibat dalam situasi tersebut dapat mengadakan perundingan untuk menentukan yurisdiksi yang tepat terhadap kejahatan yang dimaksud. Perundingan yang dimaksud tidak bersifat wajib, melainkan hanya dilakukan jika dianggap perlu. Sebagai contoh misalnya salah satu pihak yang memiliki kepentingan atas suatu kejahatan yang melibatkan lebih dari suatu negara telah mendapat pemberitahuan bahwa pihak lain yang juga memiliki kepentingan tidak akan mengajukan tuntutan apa-apa. Berdasarkan uraian mengenai Pasal 22 beserta penjelasannya diatas, dapat dilihat bahwa Convention on Cybercrime ciptaan Dewan Eropa ternyata masih menggunakan konsep yurisdiksi 15
(<www.coe.net>, diakses pada tanggal 4 April 2016)
Galuh Kartiko, Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime
91
yang selama ini dikenal dan dipergunakan secara internasional. Selain itu, meskipun tidak secara tegas menyatakan dukungan terhadap konsep analogi, konvensi ini cenderung ‘melepaskan’ diri dari konsep pemisahan. Sikap ini dimaklumi, mengingat desakan untuk menciptakan hukum tersendiri terhadap cyberspace selama ini masih sebatas wacana yang terus berkembang dan praktis belum ada konsep yang jelas mengenai hal ini. Sementara disisi lain, intensitas kejahatan komputer yang merupakan dampak negatif dari kecanggihan komputer terus meningkat. Kondisi ini akan berbahaya dan dapat menimbulkan ‘anarkisme’ di cyberspace jika tidak segera dibuat suatu produk legislasi yang nantinyaberfungsi menertibkan segala aktivitas di cyberspace.16Lebih jauh lagi, denganadanya ketentuan mengenai yurisdiksi yang tercantum dalam Pasal 22, maka negarapeserta konvensi mempunyai ‘sandaran’ hukum yang pasti dalam menerapkanyurisdiksinya terhadap cybercrime sehingga konflik yang potensial terjadi karenaperebutan penerapan yurisdiksi dapat dihindari. Potensi konflik yurisdiksi dapatterjadi jika: (Convention on Transfer of Proceedings Explanatory Report, Poin 16)a)Beberapa Negara mengklaim yurisdiksi terhadap suatu kasus berdasarkanprinsip tempat dimana kejahatan tersebut dilakukan, b)Beberapa Negara mengklaim yurisdiksi berdasarkan prinsip yang berbedabeda (Negara A berdasarkan prinsip Nasionalitas Aktif, Negara B Berdasarkan Nasionalitas Pasif, Negara C berdasarkan teritorialitas) Dalam Convention on Cybercrime tidak diatur mengenai solusi akan hal ini, para Pihak hanya di minta untuk berunding dalam menentukan siapa yang lebih berhak mengklaim yurisdiksi. Namun solusi atas hal ini sudah diatur jauh sebelum pembentukan Convention on Cybercrime, yakini pada tahun 1972 pada saat pembentukan European Convention on Transfer of Proceedings, dalam explanatory report konvensi tersebut di sebutkan bahwa Negara yang mengklaim harus membuat sebuah daftar prioritas penentuan yurisdiksi dari prinsip tempat kejahatan dilakukan. ((Convention on Transfer of Proceedings Explanatory Report, Poin 18) Kerjasama Internasional Dalam Mengatasi Konflik Yurisdiksi Berbagai cara dilakukan oleh negara-negara untuk menyelesaikan permasalahan yurisdiksi, namun apabila pelaku cybercrime berada di luar wilayah negara yang terkena dampak paling besar, maka harus dipikirkan bagaimana cara membawa pelaku tersebut ke negara tersebut. Cara yang biasa ditempuh oleh Negara-negara adalah melalui jalur kerjasama internasional. Berikut adalah bentuk kerjasama internasional yang di tempuh negara-negara untuk membawa pelaku cybercrime agar dapat diadili di negaranya:1) Ekstradisi dan Deportasi, 2) Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance), dan 3) Pengalihan Perkara (Transfer of Proceedings) Pengaturan Mengenai Cybercrime Di Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara umum Undang-Undang ini mengatur tentang segala sesuatu mengenaidata elektronik dan pemanfaatannya untuk kepentingan umum. Pada awal pembentukkannya undang-undang ini menuai banyak kontroversi karena dianggapakan mematikan kebebasan untuk mengekspresikan diri di cyberspace. Dalam undang-undang ini secara rinci dijelaskan mengenai segala perbuatan yang digolongkan sebagai cybercrime, jenis-jenis perbuatan ini di atur dalam Pasal 27sampai Pasal 37.
16
Mark D Rasch, (1996), Criminal Law and The Internet, Computer Law Association,hlm.15
92
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Transfer of Proceeding dalam kasus Transboundary Cybercrime Transfer ofproceeding merupakan hal yang baru dalam dunia hukum pidana dan karena konvensiinternasional yang mengatur mengenai transfer of proceeding hanya satu yaituEuropean Convention on Transfer of Proceeding. Menurut konvensi tersebut kejahatan yang bisa dimintakantransfer of proceeding adalah kejahatan yang termasuk kedalam ranah hukumpidana. (Transfer of proceedings Convention Pasal 1 huruf a) Untuk melihat apakah cybercrime termasuk kedalam ranah hukum pidana,maka kita harus melihat pengaturan dari beberapa negara Eropa: Belanda Peraturan mengenai cybercrime di Belanda dimulai tahun 1993 dimanadibentuk satu undang-undang baru yang di sebut Computer Crime Act (wetcomputercriminaliteit) yang lalu diamandeman pada tahun 2006 untuk menyesuaikandenganconvention on cybercrime.17Undang undang ini merupakan bagian dari KitabUndang-Undang Hukum Pidana (wetboek van strafrecht) Denmark Di Denmark cybercrime diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(strafloven) dan Undang-Undang Khusus.Bentuk cybercrime yang pertama kalidiatur dalam KUHP Denmark adalah kejahatan yang berhubungan dengan data (datacrime/data kriminalitet).18 Jerman Di Jerman cybercrime di atur dalam strafgesetzbuch (KUHP) yangpengaturannya pertama kali muncul di tahun 1986, adapun jenis cybercrime yangdiatur adalah hacking, pengubahan data, computer sabotage, computer fraud danpenipuan.19Dari beberapa peraturan mengenai cybercrime diatas, maka dapatdisimpulkan bahwa cybercrime termasuk kedalam ranah hukum pidana sehinggatransfer of proceeding dapat di lakukan untuk pelaku transboundary cybercrimeadapun alasan dan prosedur transfer of proceeding adalah sebagai berikut: 1) Permintaan Transfer of Proceeding. Apabila seseorang diduga telah melakukan kejahatan menurut hukum negarapeserta, maka sesuai dengan kondisi yang di syaratkan oleh konvensi ini bisa memintanegara peserta lainnya untuk memproses orang tersebut. Adapun kondisi yangmemungkinkan seseorang dimintakan untuk diproses di negara peserta lainnya adalah:a)Apabila terduga tinggal di negara yang dimintakan (Requested State);b)Apabila terduga merupakan warganegara negara yang dimintakan atau berasal dari negara yang dimintakan;c)Apabila terduga sedang menjalani hukuman berupa pencabutan kebebasan (kurungan atau penjara);d) Apabila terduga sedang menjalani proses peradilan atas kejahatan yang sama di negara yang dimintakan;e)Apabila transfer of proceeding ditujukan untuk lebih memperjelas permasalahan atau bukti yang paling jelas ada di negara yang dimintakan; f)Apabila penegakan hukum di negara yang dimintakan di rasa mampu untuk merehabilitasi yang bersangkutan;g)Apabila terduga/terdakwa di pastikan tidak mampu untuk menghadiri persidangan di negara yang meminta; dan h)Apabila cara yang lain (ekstradisi) dirasa tidak
17
18 19
Bert-Jaap Koops, (2008), Cybercrime Legislation in Netherlands,Netherland Comparative Law Association Convention on Transfer of Proceedings Explanatory Report, Poin 16 Crime”, The National Cybercrime Training Partnership, Introduction. Henrik-Spang Hansen, (2008), IT Law Series, hlm. 159 Ulrich Siebe, (2008), hlm. 183.
Galuh Kartiko, Legal Policy Terhadap Yuridiksi Cybercrime
93
mampu untuk menghadirkan terduga/tersangka.; 2) Prosedur Transfer of Proceeding, meliputi: a) Permintaan diajukan oleh negara peminta melalui Kementrian Kehakiman ke Kementrian negara yang diminta, diatur dalam Pasal 13 ayat (1); b) Apabila permintaan tersebut terkait dengan kasus yang memerlukan aksi cepat, maka permintaan dapat di ajukan melalui Interpol, diatur dalam Pasal 12 ayat (2); c) Apabila negara yang diminta merasa dokumen permintaan yang di lampirkan belum cukup, maka mereka bisa meminta negara peminta untuk melengkapi dokumen tersebut dalam jangka waktu tertentu, diatur dalam Pasal 14; dan d) Setiap permintaan harus disertai dengan dokumen-dokumen hukum yang sah baik berupa dokumen asli maupun salinan yang telah dilegalisir, namun apabila tersangka sudah terlebih dahulu ditangkap, maka dokumen tersebut dapat dikirimkan menyusul. Di Indonesia sendiri memang belum di kenal Transfer of Proceedings meskipun katakata ini sudah muncul di beberapa Undang-Undang salah satunyaadalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal-Balik (Mutual Legal Asssitance) dimana dalam pasal 4 menyebutkan bahwa Undang-Undang initidak berlaku untuk transfer of proceedings. Hal tersebut diatur dalam pasal 4Undang-Undang Tentang Bantuan Timbal Balik Nomor 1 Tahun 2006.Hal ini sangat disayangkan karena sesuai dengan definisi yang di berikan oleh European Convention on Transfer of Proceedings, transfer of proceedings itu sendiri adalah bentuk kerjasama yang berbentuk mutual legal assistance sehingga dengan pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang ini menutup kemungkinan dilakukannya transfer of proceedings di Indonesia. Penulis sendiri berpendapat bahwa transfer of proceedings seharusnya dapat di lakukan di Indonesia khususnya dalam penanganan kasus cybercrime, hal ini didasari atas pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dimana dalam pasal 43 ayat 8 berbunyi”: “Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.” Dari rumusan pasal diatas kata-kata “berbagi informasi dan alat bukti” dengan penyidik negara lain dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan transfer of proceedings terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana cybercrime yang merugikan Indonesia, hasil dari transfer of proceedings tersebut nantinya akan di kirimkan ke Indonesia sebagai acuan untuk penanganan kasus cybercrime di masa yang akan datang. KESIMPULAN Meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah mengikuti ketentuan dalam Convention on Cybercrime secara substantif, namun ada baiknya Indonesia ikut meratifikasi Convention on Cybercrime. Keuntungan dari meratifikasi konvensi ini adalah Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan peserta apabila terjadi kasus cybercrime yang merugikan Indonesia terutama jika si pelaku melakukan cybercrime tersebut di luar wilayah Indonesia, posisi Indonesia dalam mengajukan permohonan untuk mengekstradisi pelaku akan menjadi lebih kuat. Keuntungan lain adalah Indonesia dapat menjalin kerjasama di bidang teknologi informasi agar Indonesia tidak ketinggalan dalam penanganan kasus cybercrime. Harus ada perubahan peraturan perundang-undangan (amandemen) yang memungkinkan dilakukannya transfer of proceedings di Indonesia, salah satunya adalah dengan mengamandemen Undang-Undang Tentang Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance)
94
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
terutama pasal 4 yang memberikan pembatasan bagi dilakukannya transfer of proceedings di Indonesia. Setelah pengamandemenan UU tersebut pemerintah bisa mulai membahas prosedur transfer of proceedings di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA “Cyber-Crime: Issues, Data Sources, and Feasibility of Collecting Police Reported Statistics”, Canadian Centre for Justice Statistics: Catalogue no. 85-558-XIE. European Committee on Crime Problems (CDPC), “Final Draft Convention on Cybercrime”, Strasbourg, 25 Mei 2001 “Expalantory Report of Convention on Cybercrime”, Adopted November 2001. Hamzah, Andi, (2000), Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,. Henrik-Spang Hansen, (2008), IT Law Series, ITU, (2009), Understanding cybercrime guide, ICT Appliccation dan Cybersecurity Division. Johnson, David R. and David G. Post, (1996), “And How Should The Internet Be Governed?”, The American Lawyer. Koops, Bert-Jaap, (2008), Cybercrime Legislation in Netherlands,Netherland Comparative Law Association Convention on Transfer of Proceedings Explanatory Report, Poin 16 Crime”, The Nati0nal Cybercrime Training Partnership, Introduction. Murray,Andrew D, (2007), The Regulation in Cyberspace :Control in the Online Environment, Routelage & Cavendish Pattiradjawane, Rene L, (2000), Media Konverjensi dan Tantangan Masa Depan”, Kompas, 21 Juli 2000. Rasch, Mark D, (1996), Criminal Law and The Internet, Computer Law Association. Sipropoulus, Jhon, (1999), “Cyber Crime Fighting, The Law Enforcement Officer’s Guide to Online Sood,Vivek, (2001), Cyber Law Simplified, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Co.Ltd. UNESCO, (2000), The International Demension of Cyberspace Law. England: Ashgate Publishing Ltd. www.coe.net, diakses pada tanggal 4 April 2013. www.cyberjurisdiction.net , diakses pada 16 Mei 2013.
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
95
EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENEGAKAN PEMILU M. Iwan Satriawan1 e-mail:
[email protected] Rokiyah2 e-mail:
[email protected] Abstrak Keberadaan pemilu telah menjadi salah satu kunci terwujudnya masyarakat yang demokratis. Dalam sejarah pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 11 (sebelas) kali dimulai dari tahun 1955 hingga terkahir pada tahun 2014. Selain KPU sebagai penyelenggara pemilu juga ada Bawaslu yang bertugas mengawasi jalannya pemilu. Keberadaan Bawaslu sebagai lembaga permanen pengawas pemilu sudah ada semenjak tahun 2009, sedangkan sebelumnya adalah berupa ad hoc. Sebagai lembaga yang bertugas khusus mengawasi jalannya pemilu Bawaslu mempunyai fungsi strategis dalam ikut mengawal tumbuhnya iklim demokrasi di Indonesia. Kata kunci: bawaslu, demokrasi, pemilu,
PENDAHULUAN Adanya suatu pemerintahan yang berkuasa dalam suatu wilayah terhadap seluruh wilayah dan rakyatnya merupakan syarat mutlak bagi adanya sebuah negara. Pemerintah lain, negara lain, tidak berkuasa di wilayah dan terhadap rakyat negara itu. Kekuasaan yang demikian disebut dengan kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh rakyat negara itu3. Pasca amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan yang fundamental terkait makna kedaulatan (sovereignty). Di dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menurut Affan Gaffar,4 rumusan ini harus diubah karena dua alasan. Pertama, kedaulatan merupakan sesuatu yang tidak dapat didelegasikan atau diserahkan.Kedua, pada prakteknya MPR pernah membuat keputusan yang bertentangan dengan kehendak rakyat.5Berangkat dari realitas ini, maka rumusan mengenai kedaulatan diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Ada 5 teori yang minimal bisa diperdebatkan mengenai soal kedaulatan ini yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara. Semenjak Indonesia merdeka, para pemimpin bangsa ini telah memilih republik sebagai bentuk 1
2 3 4
5
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jl. Prof. Sumantri Brodjonegoro Nomor 01, Gedong Meneng, Rajabasa, Kota Bandar Lampung MKU Politeknik Negeri Malang, Jl. Soekarno Hatta 19 Malang Soetomo,(1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional, hlm 27 Affan Gaffar dalam Kacung Marijan, (2010), Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta: Prenada Media Grup, hlm.26 Salah satu keputusan MPR yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat adalah terpilihnya Gus Dur menjadi presiden pada tahun 1999, padahal pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP yang mengusung Megawati sebagai calon presidennya.
96
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
negara dan meninggalkan bentuk monarkhi atau kerajaan yang telah ada sejak puluhan tahun lamanya6. Demikian juga mengenai konsep kedaulatan negara yang bisa dipahami dalam konteks hubungan internasional. Sehingga yang paling penting adalah konsep kedaulatan Tuhan, hukum dan rakyat yang layak menjadi perdebatan dan kunci dalam sistem pemikiran mengenai kekuasaan dalam keseluruhan konsep bernegara bangsa Indonesia. Menurut Jimly konsep kedaulatan Tuhan, hukum dan rakyat berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia yaitu tentang kekuasaan bahwa kekuasaan kenegaraan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivate dari kesadaran kolektif mengenai kemahakuasaan Tuhan YME. Kemudian keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-dasar berpikir sistemik dalam kontruksi UUD negara kita7. Oleh sebab itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum (law enforcement) dan berfungsinya demokrasi. Dari sisi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Konsep pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti pemisahan kekuasaan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dalam saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Yang seiring dengan bergulirnya reformasi, sistem pembagian kekuasaan di Indonesia berubah dari bersifat vertikal menjadi bersifat horizontal yang terwujud dengan banyaknya berdiri komisi-komisi negara atau lembaga-lembaga negara baru. Setelah reformasi 1998, sistem kelembagaan negara Indonesia menampilkan wajah baru. Fase transisi dari orde otoritarian menuju orde demokrasi substansial diawali dengan amandemen UUD RI tahun 1945 sebanyak empat kali secara bertahap yang berakibat lahirnya lembagalembaga dan komisi-komisi baru yang tidak mungkin diabaikan dalam masa transisi ini. Istilah komisi negara di beberapa negara disebutkan dalam berbagai istilah yang berbeda. Misalnya di Amerika istilah komisi negara ini ialah Administratif Agency.8 Dari sekian banyaknya komisi independen yang terlahir akibat amandemen UUD 1945 munculnya KPU (Komisi Pemilihan Umum)9 dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedua lembaga ini adalah penyelenggara pemilu di Indonesia sebagai amanaty Pasal 1 ayat (5) Undang-undang no 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang berbunyi: Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi 6
7
8
9
Dalam sejarah Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan jauh sebelum republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta berdiri. Kerajaan-kerajaan besar itu antara lain: di Aceh ada Samudera Pasai, di Sumatera selatan ada kerajaan Sriwijaya, di Jawa Tengah ada kerajaan Mataram Hindu dan Mataram Islam, di Jawa timur ada Majapahit dan Singhasari dll Jimly Asshiddiqie, (2005), Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press,hlm 10 Denny Indrayana dalam Supriyadi dan Indriaswati, (2007), “Catatan Umum Atas Keberadaan Komisi Negara Di Indonesia” dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 4 Nomor 3 September 2007 Dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
97
penyelenggaran pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis. Sedangkan untuk Bawaslu sendiri sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (16) UU No 15 Tahun 2011 adalah Lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya Bawaslu berpegang pada asas: (a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) kepastian hukum; (e) tertib; (f) kepentingan umum; (g) keterbukaan; (h) proporsionalitas; (i) profesionalitas; (j) akuntabilitas; (k) efisiensi dan; (l) efektifitas. Bawaslu bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya pemilu yang demokratis. Agar penelitian ini bisa terfokus dan sesuai dengan harapan, maka hal-hal yang akan diteliti akan kami batasi pada: (1) bentuk lembaga negara baru pasca reformasi 1998; (2) bentuk eksistensi Bawaslu dalam menegakkan pemilu yang jurdil di Indonesia. TRIAS POLITICA LEMBAGA NEGARA Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau NonGovernmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal tersebut identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai: (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha; (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.10 Dalam kamus hukum bahasa Belanda-Indonesia,11 kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan12. Oleh karena itu istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya, penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara.
10
11 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S Natabaya, dalam Jimly Asshidiqie dkk.(editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (2004), Jakarta: Konstitusi Press, hlm 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar-Lembaga Negara, Sekertariat Jenderal MKRI dan Jakarta KRHN, (2005), hlm 29-30. Marjanne Termorshuizen, (2002), Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet-2, Jakarta: Djambatan, hlm 390. H.A.S Natabaya, Op.cit., hlm, 61-62.
98
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Untuk maksud yang sama, konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum reformasi dengan tidak konsisten menggunakan istilah lembaga negara, organ negara, dan badan negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara tersebut dapat berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, baik ditingkat nasional atau pusat, maupun ditingkat daerah, bentuk-bentuk organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Doktrin trias politica yang diidealkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1785) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam. Konsepsi trias politica yang diiedealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah saru dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antara cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. Disamping lembaga tinggi negara dan lembaga konstitusional lainnya, adapula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan pemerintah, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa diantaranya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Komisi Banding Paten, Komisi Banding Merek, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Dewan Pertanahan Nasional, BP Migas dan BPH Migas, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan sebagainya. Terkadang lembaga-lembaga negara yang dimaksud dibentuk berdasarkan atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atau bahkan hanya didasarkan atas beleid Presiden (Presidential Policy) saja. Lembaga-lembaga tersebut misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Nasional Lanjut Usia, Lemhamnas, LPND (Perpres No. 11/2005) dan lain sebagainya. PEMILU DAN PENEGAKKAN DEMOKRASI DI INDONESIA Dalam diskursus ilmu sosial dan politik, pemilu telah dijadikan cara atau metode yang sah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai ujian bagi mereka yang sedang berkuasa (incumbent) terhadap hasil kerja selama 5 (lima) tahun berkuasa, apakah sebagian besar rakyat pemilih masih menginginkan untuk berkuasa atau tidak. Keberhasilan penyelenggaran Pemilu juga telah menjadi paramater baik atau tidaknya praktik demokrasi dalam suatu negara. Hal ini terkait dengan demokrasi sendiri telah dijadikan salah satu parameter kesejahteraan rakyat meskipun disatu sisi beberapa kalangan tetap menganggap bahwa sistem demokrasi merupakan sistem terburuk dalam suatu negara sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato beberapa abad yang silam.
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
99
Selama pemerintahan orde baru telah dilaksanakan pemilu yaitu dari tahun 1971-1997 . Namun pemilu yang telah dilaksanakan selama 6(enam) kali tersebut bukanlah pemilu dalam arti yang sesungguhnya yaitu sesuai dengan asasnya langsung umum bebas rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) melainkan hanya berupa pseudeo pemilu (pemilu semu). Hal ini disebabkan pemilu tersebut penuh dengan intimidasi dan manipulasi, sehingga berakibat jauh sebelum pemilu dilaksanakan, pemenangnya sudah dapat dipastikan. Berdasarkan semangat pembaharuan sistem pemilu yang ada di indonesia, maka dibutuhkan pengawasan pada kinerja penyelenggara pemilu (KPU beserta jajaran dibawahnya). Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul ketidak percayaan (distrust) terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatar belakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Selanjutnya pada tahun 1997 juga telah diusahakan untuk mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang diinisiasi tokoh-tokoh nasional diantaranya Nurcholis Madjid, Arbi Sanit, Goenawan Muhammad dan Mulyana W Kusumah, namun semua lembaga ini tidak berjalan maksimal akibat tindakan pemerintah orde baru yang sangat represif. Seiring dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, telah membawa perubahan yang sangat signifikan bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia khususnya mengenai perubahan sistem pemilihan umum (baca pemilu). Salah satunya adalah keberadaan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang pada pelaksanaan pemilu tahun 2004 masih bersifat ad hoc, namun sejak tahun 2009 bersifat permanen di tingkat pusat, sementara di tingkat daerah masih sama dengan pemilu tahun 2004. Keberadaan Bawaslu sendiri berakar dari dibutuhkannya mekanisme check and balances antar penyelenggara negara khususnya dalam pelaksanaan pemilu. Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “the power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”. Hal ini terkait dengan KPU sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu yang keberadaannya dilindungi dan diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya pasal 22E ayat (5). Maka dari itu kinerjanya harus diawasi agar penyelenggaran pemilu tetap pada jalurnya (baca:luber dan jurdil) Berangkat dari prespektif tersebut, maka menempatkan pengawasan pemilu sebagai “kebutuhan dasar” (basic an objektive needs) dari setiap pemilu yang digelar, baik secara nasional maupun lokal (baca:pemilukada). Keberadaan BAWASLU akan tetap sangat penting jika selama indeks demokrasi di Indonesia (IDI) masih rendah. Hal ini mengacu rilis indikator demokrasi oleh badan internasional bekerja sama dengan BPS yang menyatakan bahwa indikator tinggi atau rendahnya indeks demokrasi dalam suatu negara rendah dapat dilihat dari 5 (lima ) komponen yaitu pluralisme dan pelaksanaan pemilu, fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik masyarakat serta budaya politik. Harapannya kedepan, dengan semakin tingginya tingkat melek huruf rakyat Indonesia, maka tingkat kedewasaan dan pemahaman dalam berdemokrasi menjadi lebih baik. Tidak adalagi tipu muslihat dalam hal penggelembungan suara, money politik, manipulasi data dan intimidasi antar kelompok-kelompok pendukung sehingga berujung pada sengketa pemilu.
100
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Maka pengawasan pemilu dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak lagi diwakilkan kepada lembaga negara baik itu bersifat ad hoc maupun permanen. Untuk menuju kepada kedewasaan pemilu setidaknya dibutuhkan pembenahan dalam 3 (tiga) hal sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman dalam teorinya efektifitas hukum yang terdiri dari (1) substansi hukumnya (legal substance). Yaitu bagaimana produk hukum yang sudah dibuat dalam praktiknya tidak multi tafsir dan benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat (2) aparatur hukumnya (legal structure). Dalam artian aparat sebagai penegak dari aturan tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan dan yang ke (3) adalah budaya hukumnya (legal culture). Dimana masyarakat menyadari pentingnya pemilu yang baik sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang baik bagi mereka. Dengan begitu pengawasan pemilu cukup dilakukan oleh rakyat, tidak lagi melalui pengawas pemilu ditingkat desa hingga kecamatan cukup di tingkat kota dan provinsi saja. EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENEGAKKAN PEMILU DI INDONESIA Lembaga pengawas pemilu semacam Bawaslu yang berdiri sendiri, terpisah dari pemerintah dan ditunjang fasilitas dan staf memadai hanya terdapat di Indonesia. Kehadirannya merupakan jawaban atas anggapan yang mengatakan bahwa lembaga pengawas pemilu kurang bergigi dalam melakukan kerja-kerja pengawasan13. Salah satu bentuk penegakkan hukum adalah pada perbaikan legal struktur yang dalam hal ini dibentuknya Bawaslu sebagai lembaga negara independen yang mempunyai tugas khusus mengawasi pemilu baik ditingkat nasional maupun daerah. Bawaslu ditingkat pusat terdiri dari 5 (lima) orang komisioner,sedangkan untuk di tingkat provinsi terdiri dari 3 (tiga) komisioner. Antara Bawaslu pusat dan Provinsi bersifat tetap, sedangkan untuk ditingkat kabupaten atau kota bersifat ad hoc yang juga terdiri dari 3 (tiga) komisioner. Berdasarkan komposisi dan tugas juga kewenangan14 Bawaslu dalam mengawasi pelaksanaan pemilu terjadi perbedaan dengan KPU baik untuk tingkat pusat maupun daerah. Hal ini berpengaruh juga pada keberhasilan kedua lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Berdasarkan pengalaman pileg 2014 tersaji data sebagai berikut: penanganan pelanggaran pileg 2014, tercatat bahwa ada 74% pelanggaran ditindaklanjuti sedangkan 26% tidak ditindaklanjuti15. Sedangkan untuk jenis pelanggaran pidana pada pileg 2014 terjadi 660, dan pelanggaran administrasi sebanyak 772016. Dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan penguatan secara kelembagaan kepada Bawaslu untuk dapat menekan tingkat pelanggaran yang selalu terjadi dalam setiap pemilu baik dipusat maupun di daerah. Baik itu pemilu presiden maupun legislatif. Bentuk penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan cara menambah personil Bawaslu khususnya ditingkat provinsi jumlahnya disamakan dengan dipusat yaitu 5 (lima) orang, mempermanenkan panwaslu ditingkat kabupaten atau kota tida lagi ad hoc, dan yang ketiga adalah pada perubahan model pemilihan anggota Bawaslu baik dipusat maupun di daerah.
13 14 15 16
Gunawan Suswantoro, (2015), Pengawasan Pemilu Partisipatif, Jakarta: Erlangga, hlm.67-77 Lihat Pasal 73 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu “Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu”, Buletin Bawaslu, Edisi 2, Februari 2015 Ibid.,
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
101
Hal ini disebabkan perbaiakan kelembagaan tanpa diiringi dengan peningkatan kapasiatas personil yang didapatkan dari proses rekrutmen yang tepat akan sia-sia. Model prekrutan selama ini yang terjadi adalah selalu melibatkan lembaga politik yaitu pada tingkatan fit and proper test bagi Bawaslu pusat oleh DPR RI. Seharusnya proses rekrutmen anggota Bawaslu cukup hanya sampai pada tim seleksi, tidak lagi melibatkan lembaga politik yang notebene dalam pelaksanaan pemilu akan selalu diawasi oleh Bawaslu. Demikian juga dengan model pemilihan tim seleksinya, harus terbuka dan transparan. Karena selama ini yang terjadi pemilihan tim seleksi terkesan tertutup dan menjadi domain eksekutif untuk ditingkat pusat, dan menjadi domain Bawaslu pusat untuk memilih timsel yang bertugas di provinsi dan menjadi kewenangan bawaslu provinsi untuk memilih timsel panwaslu kota atau kabupaten. PENUTUP Keberadaan Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu mempunyai peran yang sangat unik dan berbeda dengan lembaga-lembaga independen lainnya. Tugas Bawaslu adalah mengawasi jalannya pemilu, memproses jika terjadi pelanggaran dan ikut serta mensosialisasikan pemilu. Penguatan kelembagaan Bawaslu dapat diwujudkan dengan penambahan kewenangan dan jumlah personil khususnya ditingkat provinsi, kota atau kabupaten. Hal ini tidak terlepas dari beban berat pengawasan khususnya jika sudah berhubungan dengan bentuk medan yang berat dan kompleksitas pelanggaran yang harus ditangani atau juga dilakukan pencegahan. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Firmansyah dkk., (2005), Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar-Lembaga Negara, Sekertariat Jenderal MKRI dan Jakarta KRHN. Asshiddiqie, Jimly, (2005), Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press. _____________., (2004), editor Refly Harun dkk., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press. Marijan, Kacung, (2010), Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta: Prenada Media Grup. Mochtar, Zainal Arifin, (2016), Lembaga Negara Independen, Jakarta: Rajawali Press. Soetomo, (1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional. Supriyadi dan Indriaswati, (2007), “Catatan Umum Atas Keberadaan Komisi Negara Di Indonesia” dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 4 Nomor 3 September 2007. Soetomo, (1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional. Termorshuizen, Marjanne, (2002), Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet-2, Jakarta: Djambatan. Suswantoro, Gunawan, (2015), Pengawasan Pemilu Partisipatif, Jakarta: Erlangga.
102
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buletin Bawaslu, Edisi 2, Februari 2015 “Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu”.
PETUNJUK BAGI PENULIS
Jurnal Ilmiah Law Enforcement berisi tulisan-tulisan dari hasil penelitian, teoritis, ulasan, review dan hasil pertemuan ilmiah dalam disiplin Ilmu Hukum yang belum pernah dipublikasikan di majalah ilmiah/ jurnal lainnya. Semua artikel yang dikirimkan akan di-review oleh redaksi pelaksana dengan melibatkan mitra bebestari. Redaksi berhak atas copyright materi yang telah diterima. Naskah yang masuk akan diseleksi dan diedit tanpa mengubah isi. Pernyataan-pernyataan isi dan gaya materi adalah tanggungjawab penulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada penulis. Penulis yang artikelnya dimuat wajib memberi konstribusi biaya cetak sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk semua jenis artikel. Untuk memperlancar proses penyuntingan dan publikasi, penulis disarankan untuk secara konsisten mengikuti petunjuk-petunjuk dibawah ini. 1. Naskah diketik di kertas A4 menggunakan jenis huruf Arial dengan ukuran 11pt, spasi 1,5 dengan margin atas, kanan dan bawah 3 cm, margin kiri 4 cm, panjang naskah 12-15 halaman. 2. Menggunakan program Microsoft Word. 3. Penulisan kutipan menggunakan catatan kaki (footnote) a. Urutan penulisan: nama, (tahun), judul, kota penerbit: nama penerbit, hlm. b. Penggunaan Ibid: disebut dengan ibidem (sama) artinya menggunakan kutipan yang sama dengan sebelumnya; contoh: Ibid., atau Ibid., hlm. c. Penggunaan Op.cit,: disebut dengan opere citato (karya) artinya karya/ kutipan yang telah disebutkan sebelumnya yang telah diselangi oleh kutipan sumber lain dengan halaman berbeda; contoh: Rahardjo, Op.cit.,160 d. Penggunaan Loc.cit: disebut loco citato (tempat) artinya kutipan yang telah disebutkan yang telah diselangi oleh kutipan sumber lain dengan halaman yang sama: contoh: Rahardjo, Loc.cit., e. Penulisan footnote dapat bervariasi, contoh: Lihat, Baca, Cermati. 4. Sistematika naskah a. Hasil penelitian: 1) Judul, nama penulis, instansi, alamat korespodensi. 2) Abstrak (dalam bahasa Indonesia); Kata kunci 3) Pendahuluan, berisi: latar belakang dan rumusan masalah, metode penelitian diuraikan dalam bentuk deskripsi, 4) Hasil dan pembahasan berupa bagian, sub bagian yang didalamnya bisa terdapat tabel maupun gambar serta analisis (persyaratan tabel: hanya menggunakan garis horizontal, terdapat nama dan keterangan tabel; persyaratan gambar: terdapat nama dan keterangan gambar). 5) Kesimpulan berisi sintesis dari hasil dan pembahasan dan tidak sama dengan abstrak. b. Artikel non penelitian: 1) Judul, nama penulis, instansi, alamat korespodensi.
2) 3)
5.
6. 7.
Abstrak (dalam bahasa Indonesia); Kata kunci Pendahuluan berisi: latar belakang dan rumusan masalah diuraikan dalam bentuk deskripsi, 4) Pembahasan berupa bagian, sub bagian yang didalamnya bisa terdapat tabel maupun gambar serta analisis (persyaratan tabel: hanya menggunakan garis horizontal, terdapat nama dan keterangan tabel; persyaratan gambar: terdapat nama dan keterangan gambar). 5) Kesimpulan berisi sintesis dari hasil dan pembahasan, tidak sama dengan abstrak. Penulisan daftar pustaka di susun sesuai abjad dengan ketentuan sebagai berikut: Rujukan dari buku: nama pengarang (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul buku (dicetak miring), kota penerbitan, nama penerbit. Rujukan dari makalah: nama pengarang (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (dicetak miring), nama seminar/ forum, tempat tanggal dan tahun. Rujukan dari kumpulan makalah: kumpulan makalah, judul makalah (dicetak miring), nama seminar/ forum, tempat tanggal dan tahun. Rujukan dari artikel jurnal: nama pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tahun, judul artikel (diberi tanda petik), nama jurnal (dicetak miring), volume, nomor, bulan dan tahun. Rujukan dari artikel dalam majalah atau koran: nama pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tahun, tanggal dan bulan, judul artikel, nama majalah atau koran (dicetak miring). Rujukan dari artikel dalam majalah atau koran tanpa pengarang: nama majalah atau koran (dicetak miring), tahun, tanggal dan bulan, judul artikel (dicetak miring). Rujukan dari karya terjemahan: nama penulis (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tahun asli penerbitan, judul terjemahan (dicetak miring), nama penerjemah (tanpa gelar), tahun terjemahan, kota penerbitan, nama penerbit. Rujukan dari skripsi, tesis, atau disertasi: nama penulis (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tahun, judul (dicetak miring) disertai pernyataan skripsi, tesis atau disertasi tidak diterbitkan, kota perguruan tinggi, fakultas serta nama perguruan tinggi. Rujukan dari internet: nama penulis (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tanggal, bulan dan tahun, judul tulisan (dicetak miring dan ditulis online), alamat website sumber tulisan, tanggal, bulan dan tahun sumber akses. Sitasi pada daftar pustaka harus sesuai footnote dengan kemutakhiran 5 tahun terakhir, jika ada terdapat sitasi dari jurnal terdahulu atau jurnal lain. Pengiriman naskah melalui email:
[email protected] demikian pula dengan surat menyurat dari dewan redaksi. Alamat Redaksi Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. Sudanco Supriyadi No. 48 Malang 65148. Telp (0341) 801488, ext. 330, Fax. (0341) 831532.