PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DAN PEMETAAN POTENSINYA
SITTI NURMIAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Sitti Nurmiah NIM F261080111
RINGKASAN SITTI NURMIAH. Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya dibawah bimbingan RIZAL SYARIEF, SUKARNO, ROSMAWATY PERANGINANGIN dan BUDI NURTAMA. Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae, yang lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Potensi pengembangannya di Indonesia cukup besar dan merupakan rumput laut penghasil karaginan. Karaginan merupakan senyawa polisakarida yang dapat terekstraksi dengan air atau alkali panas untuk membentuk gel. Dalam dunia perdagagangan produk ini diperoleh dalam bentuk karaginan semi murni (semi refined carrageenan) dan karaginan murni (refined carrageenan). Parameter penting dalam proses ekstraksi karaginan secara komersial adalah konsentrasi pelarut, rasio rumput laut dengan pelarut, suhu dan waktu ekstraksi, akan mempengaruhi mutu karaginan yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) memperoleh kondisi proses perlakuan alkali yang optimal dalam memproduksi alkali treated cottonii (ATC) pada skala laboratorium, (2) mendapatkan kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali dalam memproduksi refined carrageenan (RC) pada skala pilot plant, (3) memetakan potensi Kappaphycus alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant. Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang diawali dengan analisis proksimat rumput laut. Kemudian dilakukan optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium dengan kondisi proses: konsentrasi alkali (6-8%), suhu (70-80oC) dan waktu (1-2 jam). Tahap selanjutnya optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali pada pengolahan RC skala pilot plant. Pemilihan kondisi proses ekstraksi yaitu rasio rumput laut dan air (1:201:35), suhu (85-95oC), waktu (2-4 jam). Analisis mutu terhadap produk ATC dilakukan dengan uji rendemen dan kekuatan gel, sedangkan produk RC pengujian mutunya meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Metode analisis statistik yang digunakan adalah Program Design Expert 7.0® rancangan Response Surface Methodology Box-Behnken. Sebagai tahap akhir dari penelitian ini dilakukan pemetaan potensi K. alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant, dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Berdasarkan RSM Box-Behnken Design diketahui bahwa konsentrasi KOH, suhu dan waktu diamati merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai respon ATC. Hubungan antara variabel terhadap respon rendemen ATC dimodelkan Y = -0.7A + 6.59B – 1.79C – 0.045B2, sedangkan nilai kekuatan gel dimodelkan Y = 29030.24A + 1488.61B – 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02A2B. Nilai respon optimal ATC adalah 92.8%, dengan kondisi proses ekstraksi konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67°C dengan waktu 1 jam. Pada kondisi
tersebut diperoleh ATC dengan rendemen 38.72% dan kekuatan gel 1105.31 g/cm2. Sedangkan kondisi proses optimum untuk memproduksi RC pada skala pilot plant adalah pada kondisi proses dengan rasio rumput laut dengan air adalah 1:25.22, suhu 85.80 °C, selama 4 jam. Pada kondisi tersebut diperoleh produk RC dengan rendemen 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.8. Selanjutnya teknologi proses yang dihasilkan dalam proses produksi karaginan, dijadikan acuan dalam memetakan wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Berdasarkan pemetaan dengan metode Principal Component Analysis, diketahui bahwa terdapat 19 kabupaten yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Kabupaten-kabupaten tersebut dipetakan dalam empat kelompok berdasarkan kemiripan karakteristik potensi daya dukung masingmasing kabupaten. Kelompok pertama terdiri atas 14 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas. Kelompok kedua terdiri atas 19 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan. Kelompok ketiga terdiri atas 22 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik, dan kelompok keempat terdiri atas 36 kabupaten yang dicirikan dengan potensi daya dukung rumah tangga perikanan, angkatan kerja, sarana air dan pasar.
Kata kunci: alkali treated cottonii, ekstraksi, optimasi, pilot plant, principal component analysis, refined carrageenan, response surface methodology.
SUMMARY SITTI NURMIAH. Pilot plant scale production process of carageenan from Kappaphycus alvarezii seaweed and its potency mapping. Supervised by RIZAL SYARIEF, SUKARNO, ROSMAWATY PERANGINANGIN and BUDI NURTAMA. Kappaphycus alvarezii is one of the seaweeds from Rhodophyceae class, better known as Eucheuma cottonii. Its potential development in Indonesia is quite large and it is a producer of carrageenan. Carrageenan is a polysaccharide compound that can be extracted with water or high temperature alkali to form a gel. Commercially, this product is obtained in semi refined carrageenan and refined carrageenan forms. Important parameters in commercial process of carrageenan extraction that will affect the quality of the resulted carrageenan are the concentration of solvent, the ratio of seaweed to solvent, temperature and extraction time. The objectives of this research were: (1) to obtain the optimal alkali treatment process condition to produce alkali treated cottonii (ATC) at laboratory scale, (2) to obtain an extraction process condition using water after alkali treatment to produce refined carrageenan (RC) at pilot plant scale (3) to map the potency of Kappaphycus alvarezii in order to develop the production process of carageenan at pilot plant scale. This research was conducted in several steps. First, the proximate content of the seaweed was analysed. Afterwards, the optimation process in ATC processing was conducted, under these conditions; alkali concentration (6-8%), temperature (70-80oC) and time (1-2 hours). Further step was the optimation of extraction process using water after alkali treatment in RC processing at pilot plant scale. The extraction process selected were the ratio between material (seaweed) and solvent (water) (1:20-1:35), temperature (85-95 oC), and time (2-4 hours). The quality parameters of ATC products were analysed using yield test and gel strength, whereas for RC products, the quality parameters were analysed with yield, water content, ash content, acid-insoluble ash content, sulphate content, gel strength, viscosity and whiteness. Statistical method used was DX 7.0 RSM BoxBehnken. As the final step of this research, a mapping of K. alvarezii potency was conducted to develop pilot plant scale production process of carageenan using the Principal Component Analysis method. Based on RSM Box-Behnken Design, it was known that the concentration of KOH, temperature and time, were significantly influenced the ATC response value. The relationship between variables and ATC yield response can be expressed by Y = -0.97A + 6.59B – 1.79C – 0.05B2 equation, while gel strength can be expressed by Y = 29030.24A + 1488.61B – 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02A2B equation. The optimal response of ATC was 92.8%, with process conditions of 6% KOH, temperature at 78.67°C and 1 hour duration. At these conditions, RC yield and gel strength obtained were 38.72% and 1105.31 g/cm2, respectively. The optimum process conditions to
produce RC in pilot plant scale were at seaweed and water ratio of 1:25.22, 85.80°C, and 4 hours. At these conditions, the RC yield was 31.74%, the moisture content was 10.69%, the ash content was 30.52%, the acid insoluble content was 0.21%, the sulphate content was 17.12%, the gel strength was 1833.37 g/cm2, the viscosity was 27 cP and the whiteness was 74.8. Further, process technology of carrageenan production was used as a reference in mapping the potential area in developing carrageenan production process at pilot plant scale. Based on the mapping of the Principal Component Analysis method, it was known 19 districts have the potential to develop carrageenan production process at pilot plant scale. The Districts were mapped into four groups based on similarity of characteristics of potential carrying capacities of each district. The first group consisted of 14 districts were characterized by the carrying capacities of training centers, educational facilities, banking institutions, seaweed processing industry, cooperation with seaweed processing industry, gas stations, airports, ports, and social security. The second group consisted of 19 districts were characterized by the carrying capacities of the relevant institutions, health centers, telecommunications and roads. The third group consists of 22 districts were characterized by the carrying capacities of the land area, land utilized, dried seaweed production, population and electrical, and the fourth group consisted of 36 districts were characterized by the potential carrying capacities of fishing households, labor force, water and the markets. Key words: alkali treated cottonii, extraction, optimization, pilot plant, principal component analysis, refined carrageenan, response surface methodology.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DAN PEMETAAN POTENSINYA
SITTI NURMIAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Singgih Wibowo, MS Dr Ir Yadi Haryadi, MSc Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Bagus Sediadi Bandol Utomo, MAppSc Dr Nugraha Edi Suyatma, STP DEA
Disertasi Nama NIM
Proses Produksi Karagenan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya. Sitti Nurmiah F261080111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS Anggota
Dr Ir Sukamo, MSc Anggota
Budi Nurtama MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr Ir Ratih Dewanti Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian: 2 Juli 2013
Tanggal Lulus:
2 1 AUG 20
'~
Disertasi Nama NIM
: Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya. : Sitti Nurmiah : F261080111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr Ir Sukarno, MSc Anggota
Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS Anggota
Dr Ir Budi Nurtama, MAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr Ir Ratih Dewanti Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian: 2 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahi Robbil Aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi yang berjudul “Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya” dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr Ir Sukarno, MSc, Ibu Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS dan Bapak Dr Ir Budi Nurtama, MAgr sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian, penelitian sampai penulisan disertasi ini. 2. Bapak Dr Ir Singgih Wibowo, MS dan Bapak Dr Ir Yadi Haryadi, MSc yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Dr Bagus Sediadi Bandol Utomo, MAppSc dan Dr Nugraha Edi Suyatma, STP DEA yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga untuk menyempurnakan disertasi ini. 3. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep yang telah mengijinkan penulis serta mendorong untuk segera menyelesaikan studi program Doktor di IPB. 4. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas dukungan beasiswa BPPS periode tahun 2008-2011. 5. Prof Dr Hari Eko Irianto sebagai Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta, yang telah memberikan izin, bantuan sarana dan prasarana selama penelitian. 6. Kepala dan Staf laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta: Bu Ellya, Bu Ida, Pak Indra, Bu Ema, Bu Yanti, Fateha, Pak Taufik, Pak Said, Bu Helena, Ruri, Sepri, Bu Nani, Pak Hadi, Pak Darwin, dan seluruh staf laboratorium yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasama dan rasa kekeluargaannya selama penelitian. 7. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan dan institusi yang terkait yang telah memberi bantuan dalam pelayanan penyediaan data sekunder kepada penulis selama penelitian. 8. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah di IPB. 9. Rekan-rekan tercinta mahasiswa Program Doktor Ilmu Pangan Angkatan 2008, atas kebersamaan dan dukungan yang penuh semangat yang telah
diberikan selama ini. Selain itu teman-teman mahasiswa program Magister dan Program Doktor Ilmu Pangan Angkatan 2006, 2007, 2009, dan 2010 yang selalu memberikan semangat dan berbagi pengalaman dalam penyelesaian pendidikan ini. 10. Ayahanda tercinta H. Abdul Rauf (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Hafsah yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang, semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan kekhilafan mereka. 11. Kakak Baharuddin sekeluarga, Hj Nurhaedah sekeluarga, Muhammad Yunus (Alm), Hj Masdiana sekeluarga, Hj St. Arafah sekeluarga, Adik Wahidah Rauf, Jumiati sekeluarga, Hj Rosmawati sekeluarga dan seluruh Keluarga besar La Sennung yang telah dengan sabar memberikan doa, dukungan moril dan materil, serta semangat selama menjalani pendidikan dan penelitian. 12. Suamiku tercinta La Paturusi La Sennung dan anakku tercinta Aqeela Nuha Rania, atas dukungan moril maupun materil, kesabaran serta doa dan kasih sayang yang tulus, yang merupakan sumber kekuatan bagi penulis. Akhirnya ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, semangat dan dukungannya pada penulis selama menjalani studi, penelitian hingga selesainya disertasi ini. Semoga ALLAH SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, memberikan rahmat dan hidayah-Nya untuk kita semua, Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Sitti Nurmiah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xix
DAFTAR GAMBAR
xx
DAFTAR LAMPIRAN
xxi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 4 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Kappaphycus alvarezii Karaginan dan Sumber Rumput Laut Penghasil Karaginan di Indonesia Struktur dan Komposisi Karaginan Ekstraksi Karaginan Karakteristik Karaginan Standar Mutu Karaginan Produksi Refined Carrageenan Peningkatan Skala Mixture Experiment (ME) Principal Component Analysis (PCA)
7 8 8 11 11 14 15 16 18 19
3 METODE UMUM Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pelaksanaan Penelitian
21 21 21
4 APLIKASI RESPONSE SURFACE METHODOLOGY PADA OPTIMALISASI KONDISI PROSES PENGOLAHAN ALKALI TREATED COTTONII Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
25 25 26 31 48
5 PRODUKSI REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA SKALA PILOT PLANT: (Optimasi Kondisi Proses Ekstraksi dengan Air Setelah Perlakuan Alkali) Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
49 49 50 59 100
DAFTAR ISI (Lanjutan)
6 PEMETAAN POTENSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT Abstract Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
103 103 104 105 118
7 PEMBAHASAN UMUM
119
6 KESIMPULAN UMUM
123
DAFTAR PUSTAKA
125
LAMPIRAN
133
RIWAYAT HIDUP
137
DAFTAR TABEL
2.1 2.2 2.3 2.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 6.1 6.2 6.3
Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut Daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap perubahan pH Karakteristik gel kappa, iota, dan lambda karaginan Spesifikasi mutu karaginan Hasil analisis rumput laut dan syarat mutu rumput laut yang dipersyarat kan sesuai Standar Nasional Indonesia Hasil uji rendemen dan kekuatan gel ATC berdasarkan kondisi proses Rancangan formula dari Program Design Expert 7.0® Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh formula kondisi proses pengolahan ATC Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance pada tahapan optimasi formula Prediksi dari hasil verifikasi nilai respon solusi formula optimum hasil optimasi dengan Program Design Expert 7.0® Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel ATC pada kondisi proses yang berbeda Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel RC perlakuan trial and error pada kondisi proses yang berbeda Kisaran kondisi proses ekstraksi refined carrageenan Rancangan formula dari Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box Behnken Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon rendemen pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon kadar air pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon kadar abu pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon kadar abu tak larut asam pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon kadar sulfat pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon kekuatan gel pada 17 formula proses ekstraksi RC Hasil uji respon viskositas pada 17 formula pada proses ekstraksi RC Hasil uji respon derajat putih pada 17 formula proses ekstraksi RC Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas dan importance pada tahapan optimasi formula Perbandingan prediksi dan nilai respon aktual hasil verifikasi solusi formula optimum dengan Program Design Expert 7.0® Perbandingan mutu sampel produk dengan produk komersial “RC” Jenis dan sumber data yang dikumpulkan Obyek penelitian berdasarkan kabupaten yang produksi rumput laut kering jenis K. alvarezii lebih dari 100 ton/tahun Faktor-faktor pendukung pemetaan potensi K. alvarezii
12 13 14 15 32 34 35 36 45 47 61 63 64 65 66 68 72 76 79 82 86 90 94 97 99 100 105 106 108
DAFTAR TABEL (Lanjutan) 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7.1 7.2
Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) I Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) II Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik pada kuadran (kelompok) III Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) IV Sentra produksi budidaya rumput laut menurut kabupaten/kota utama Lokasi industrialisasi rumput laut Perbandingan kualitas Eucheuma cottonii Filipina dan Indonesia Spesifikasi mutu karaginan
113 114 114 115 116 117 120 121
DAFTAR GAMBAR 2.1
Rumput laut Kappaphycus alvarezii a) Karimun Jawa, b) Madura, (c) Maumere dan (d) Sulawesi Selatan 2.2 Spesies rumput laut penghasil karaginan 2.3 Struktur kimia kappa karaginan 2.4 Struktur kimia iota karaginan 2.5 Struktur kimia lambda karaginan 2.6 Unit-unit ulangan karaginan 2.7 Reaksi pada tahap perlakuan dengan alkali 2.8 Mekanisme pembentukan gel pada karaginan 2.9 Kriteria utama peningkatan skala 3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian 4.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala laboratorium 4.2 Optimasi proses pengolahan alkali treated cottonii skala laboratorium 4.3 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon rendemen 4.4 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen 4.5 Grafik tiga dimensi hasil uji respon rendemen 4.6 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kekuatan gel 4.7 Grafik contour plot hasil uji respon kekuatan gel 4.8 Grafik tiga dimensi hasil uji kekuatan gel 4.9 Grafik contour plot nilai desirability kondisi proses optimum 4.10 Grafik tiga dimensi nilai desirability kondisi proses optimum 5.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala pilot plant 5.2 Aliran proses pengolahan refined carrageenan skala pilot plant 5.3 Optimasi proses produksi refined carrageenan skala pilot plant 5.4 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon rendemen 5.5 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen 5.6 Grafik tiga dimensi hasil uji respon rendemen
7 8 9 9 10 10 11 14 17 23 28 29 39 40 40 43 44 44 46 47 52 54 56 70 71 71
5.7 5.8 5.9
Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar air Grafik contour plot hasil uji respon kadar air Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar air
74 74 75
DAFTAR GAMBAR (Lanjutan) 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18 5.19 5.20 5.21 5.22 5.23 5.24 5.25 5.26 5.27 5.28 5.29 6.1 6.2 6.3
Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar abu Grafik contour plot hasil uji respon kadar abu Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar abu Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar abu tak larut asam Grafik contour plot respon kadar abu tak larut asam Grafik tiga dimensi respon kadar abu tak larut asam Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar sulfat Grafik contour plot respon kadar sulfat Grafik tiga dimensi respon kadar sulfat Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kekuatan gel Grafik contour plot respon kekuatan gel Grafik tiga dimensi respon kekuatan gel Grafik kenormalan internally stundentized residual viskositas Grafik contour plot respon viskositas Grafik tiga dimensi respon viskositas Grafik kenormalan internally stundentized residual derajat putih Grafik contour plot respon derajat putih Grafik tiga dimensi respon derajat putih Grafik contour plot nilai desirability formula optimum Grafik tiga dimensi nilai desirability formula optimum Scree plot (eigenvalue) Score plot dari hubungan antar variabel dengan F1 dan F2 Biplot F1 dan F2 hasil analisis utama atribut kabupaten yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan
77 77 78 80 80 81 84 84 85 88 89 89 92 93 93 95 95 96 98 98 111 111 112
DAFTAR LAMPIRAN 1
Tangki ekstraksi rumput laut skala pilot plant
135
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan hasil perikanan dan dijadikan komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna. Pengembangan budidaya dan industri rumput laut mempunyai peran strategis bagi perekonomian Indonesia, antara lain peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut, teknologi pembudidayaannya sederhana, siklus pembudidayaannya relatif singkat, kebutuhan modal relatif kecil, dan merupakan komoditas yang tak tergantikan serta usaha pembudidayaannya yang padat karya. Berdasarkan data FAO (2008), sejak tahun 2008 Indonesia merupakan salah satu produsen utama rumput laut, dengan volume ekspor hingga 95 588 ton dan meningkat menjadi 123 075 ton pada tahun 2010 (KEMENDAG 2012). Produksi yang sedemikian besarnya didominasi rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang diketahui sebagai rumput laut penghasil karaginan. Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappakaraginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii (Doty 1987). Karaginan secara komersial, dapat diperoleh dalam bentuk karaginan semi murni (semi-refined carrageenan) dan karaginan murni (refined carrageenan). Karaginan semi murni merupakan produk setengah jadi yang dapat diproses lebih lanjut menjadi karaginan murni. Beberapa istilah karaginan semi murni, di antaranya alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte. Selain itu adapula istilah alkali treated cottonii yang merupakan produk karaginan semi murni yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (Mc Hugh 2003). Sejak dicanangkannya rumput laut dalam program revitalisasi, hingga saat ini pemerintah berupaya mengembangkan industri hilir rumput laut melalui pengembangan industri yang bernilai tambah yaitu alkali treated cottonii (ATC) dan refined carrageenan (RC). Upaya tersebut dalam rangka mengurangi devisa negara, dan memfasilitasi masyarakat rumput laut yang umumnya hidup di wilayah pesisir. Namun upaya ini masih perlu ditingkatkan terkait dengan tingginya kebutuhan Indonesia akan karaginan, yang tercermin dari besarnya volume impor yang mencapai 1 320 818 ton pada tahun 2011. ATC merupakan karaginan semi murni hasil olahan rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan karaginan murni (Mc Hugh 2003). Selain itu, proses lebih lanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pembentuk gel, penstabil dan pengatur keseimbangan dalam berbagai industri baik pangan maupun non pangan. Kajian yang terkait dengan pengolahan ATC telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005) dengan berbagai konsentrasi KOH dengan waktu pemasakan 2 jam pada suhu 70-80 oC, dan rendemen yang dihasilkan 29.3% dengan kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2, Santoso et al. (2007) melakukan karakteristik ATC pada berbagai umur panen, dan umur panen 40, 45, 50 dan 55 hari merupakan umur panen yang menghasilkan ATC dengan rendemen yang tinggi dan viskositas yang
2
rendah; Mehta et al. (2008) preparasi SRC dengan pelarut KOH 8%, dengan kondisi optimum proses ekstraksi (suhu 78-82 oC, waktu 2-3 jam). Mustapha et al. (2011), mengekstraksi SRC dengan variasi suhu, jenis dan konsentrasi pelarut yang berbeda, dan menghasilkan kondisi optimum dengan pelarut KOH pada konsentrasi 1.0 M pada suhu 80 oC dengan waktu 1 jam. Meskipun pengolahan ATC telah berhasil dilakukan namun kondisi optimum pengolahannya belum diketahui. Tahapan yang paling penting pada proses pengolahan ATC secara komersial adalah perlakuan alkali. Kondisi proses perlakuan alkali yang bervariasi dalam menghasilkan ATC, menjadi pertimbangan dalam penentuan kuantitas dan kualitasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi proses pengolahan ATC agar dapat dihasilkan kondisi proses yang optimum dalam menghasilkan produk ATC dengan respon yang optimal (rendemen dan kekuatan gel). Kondisi proses yang optimal ini dapat dijadikan data dasar untuk perlakuan alkali dalam proses ekstraksi RC skala pilot plant. RC adalah karaginan murni hasil ekstraksi dari rumput laut atau alga merah yang telah mengalami proses pemurnian. Parameter penting dalam proses pengolahan RC secara komersial setelah perlakuan alkali adalah rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi. Penggunaan jumlah air yang tidak proporsional dalam proses ekstraksi akan bermasalah dalam proses penarikan polisakarida serta mutu produk yang dihasilkan (Rees 1969; Basmal et al. 2005). Demikian pula temperatur dan waktu proses bergabungnya seluruh fraksi karaginan dari rumput laut dengan fraksi air yang digunakan sebagai media pelarut akan mempengaruhi kecepatan dan daya larut karaginan. Penelitian yang berkaitan dengan proses ekstraksi RC dari rumput laut K.alvarezii dan karakteristik karaginan yang dihasilkan, telah dilakukan di antaranya: Suryaningrum et al. (2003), yang mengekstraksi karaginan dengan perlakuan konsentrasi KOH, melaporkan bahwa karakteristik karaginan yang dihasilkan dengan konsentrasi KOH 8% lebih mendekati standar karaginan yang dikeluarkan oleh FAO dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi KOH 6%. Namun karaginan dengan perlakuan KOH 6% menghasilkan rendemen dan kekentalan yang lebih baik jika diekstraksi dengan volume larutan pengekstrak 50-60 kali. Karakteristik karaginan yang diperoleh dari penelitian ini adalah rendemen 57.04% dan kekuatan gel 550 g/cm2; Basmal et al. (2003), mengekstraksi karaginan dengan perlakuan pemasakan rumput laut pada konsentrasi KOH 12% dengan rasio rumput laut dan volume larutan KOH 1:8, menghasilkan karaginan dengan karakteristik kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2, kekentalan 15.0 cP, kadar sulfat 18.1%, kadar abu tak larut asam 0.1%, kadar abu 14.1%, kadar air 9.4% dan rendemen 29.3%; Bawa et al. (2007), mengekstraksi karaginan dengan NaOH pada kondisi pH yang berbeda (7.5-9.0), suhu 80 °C selama 1.5 jam, perolehan rendemen hasil isolasi karaginan yang terbesar didapat pada perlakuan pH 8.5 sebesar 34.65%.; Refilda et al. (2009), menghasilkan karaginan dengan rendemen 64.31%, dari kondisi proses ukuran partikel 425 µm, pH larutan NaOH 8.5, suhu ekstraksi 95 °C dengan lama ekstraksi 18 jam; Distantina et al. (2009), ekstraksi karaginan kertas dengan perlakuan NaOH dan KOH pada suhu 90 °C selama 30 menit, rasio rumput laut dengan air 1:30, presipitasi dengan alkohol 70-90% selama 15-35 menit dan rasio koagulan : filtrat (1:3). Kondisi proses ini dilaporkan bahwa larutan KOH menghasilkan karaginan
3
dengan sifat yang lebih unggul dibandingkan NaOH, dengan karakteristik rendemen 37.02-44.43%; kekuatan gel 69.8-127.3 g/cm2 dihasilkan dari kondisi proses presipitasi dengan koagulan etanol 90%, rasio koagulan : filtrat = 2:5, waktu presipitasi sekitar 30 menit. Namun kajian-kajian tersebut pada umumnya masih terbatas pada skala laboratorium, demikian pula kuantitas dan kualitas RC yang dihasilkan berbedabeda, sehingga aplikasinya di lapangan dalam bentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak dapat langsung diadopsi. Pengembangan kajian selanjutnya lebih diarahkan pada kegiatan uji coba pada skala pilot plant. Pengolahan RC pada skala pilot plant merupakan kunci penghubung pengolahan RC dari skala laboratorium menuju skala industri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kombinasi kondisi proses rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi merupakan bagian dari kondisi proses yang perlu dikontrol, sehingga nantinya dapat diperoleh kondisi optimum pengolahan RC dengan skala pilot plant. Penelitian tentang penentuan kondisi proses optimum dalam proses pengolahan ATC pada skala laboratorium dan dilanjutkan dengan penentuan kondisi proses optimum pada proses ekstraksi RC pada skala pilot plant dengan menggunakan Program Design Expert 7.0® Response Surface Methodology BoxBehnken Design, hingga saat ini belum pernah dilakukan. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang kondisi proses yang optimum pengolahan ATC pada skala laboratorium dan proses ekstraksi RC pada skala pilot plant. Dalam rangka menunjang program pemerintah dalam pengembangan industrialisasi rumput laut di hilir, maka teknologi sederhana dalam memproduksi karaginan yang telah dihasilkan dapat dijadikan acuan untuk diterapkan dan dikembangkan pada skala UKM, dengan harapan dapat menghasilkan karaginan dengan kualitas yang dapat memenuhi standar yang telah dipersyaratkan untuk karaginan. Namun demikian pengembangan suatu industri, tidak hanya terkait dari segi teknologi tetapi juga terkait langsung dengan ketersediaan bahan baku, sebagai salah satu faktor penentu, yang harus tersedia secara kontinyu baik kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu untuk menunjang pengembangan tersebut, diawali dengan mengetahui sentra-sentra produksi rumput laut K. alvarezii, yang diaktualisasikan dalam bentuk pemetaan. Agar pengembangan industri karaginan yang berskala UKM dijamin keberlanjutannya dalam berproduksi. Dalam hal ini ketersediaan bahan baku bukan jadi penghalang suatu UKM tidak berproduksi. Pemetaan potensi K. alvarezii dalam rangka pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant dilakukan dengan menggunakan Program XLSTAT 2013 dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Optimasi kondisi proses produksi karaginan skala pilot plant dengan RSM Box-Behnken Design, dan pemetaan potensinya dengan PCA belum pernah dilakukan. Agar teknologi proses yang telah dihasilkan dalam proses produksi karaginan skala pilot plant dapat diterapkan pada wilayah-wilayah yang berpotensi dalam mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant, maka perlu dilakukan kajian proses produksi karaginan skala pilot plant dan pemetaan potensinya yang meliputi optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium, optimasi kondisi proses ekstraksi karaginan skala pilot
4
plant dan pemetaan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi RC skala pilot plant.
Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian adalah mengoptimasi proses produksi karaginan skala pilot plant dan memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Agar tujuan penelitian dapat tercapai, maka penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan dengan tiga tujuan khusus yaitu: Memperoleh kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang optimum dalam memproduksi ATC pada skala laboratorium dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, dan mengetahui pengaruh kondisi proses terhadap rendemen dan kekuatan gel ATC yang dihasilkan, untuk dijadikan data dasar dalam memproduksi RC pada skala pilot plant. Memperoleh kondisi proses ekstraksi (rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi) yang optimal dalam memproduksi refined carrageenan pada skala pilot plant dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM BoxBehnken. Memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant dengan metode Principal Component Analysis.
Hipotesis Kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang berbeda diduga berpengaruh nyata terhadap perolehan kuantitas dan kualitas ATC yang dihasilkan, dan optimasi kondisi proses perlakuan alkali dalam memproduksi ATC dapat ditentukan dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Kondisi proses (rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi) yang berbeda diduga berpengaruh nyata terhadap perolehan kualitas dan kuantitas RC yang dihasilkan dan kondisi proses yang optimal dalam memproduksi RC skala pilot plant dapat ditentukan dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Wilayah-wilayah yang berpotensi untuk mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant dapat dipetakan dengan metode Principal Component Analysis.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat yaitu : Diperolehnya informasi mengenai optimasi proses produksi ATC dan RC yang efektif. Memberikan informasi bagi pengusaha rumput laut untuk meningkatkan usahanya supaya lebih efisien.
5
Memberikan rekomendasi wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium untuk menghasilkan data dasar perlakuan alkali yang dibutuhkan dalam proses produksi refined carrageenan skala pilot plant. Optimasi kondisi proses dalam memproduksi ATC dilakukan dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken terhadap kondisi proses perlakuan alkali dengan konsentrasi KOH, suhu dan waktu. Kajian karakteristik ATC mencakup pengujian rendemen dan kekuatan gel. Berdasarkan data dasar yang diperoleh dari penelitian ini, dilakukan proses produksi RC pada skala pilot plant dengan optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali. Optimasi kondisi proses esktraksi dengan air dilakukan dengan tools yang sama pada proses ekstraksi dalam memproduksi ATC dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi. Kajian karakteristik RC mencakup pengujian rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Hasil dari penelitian ini dijadikan acuan dalam memetakan potensi rumput laut K.alvarezii dalam rangka aplikasi proses produksi RC skala pilot plant pada beberapa wilayah di Indonesia.
6
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Kappaphycus alvarezii Menurut Doty (1987), Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Perubahan nama E. cottoni menjadi K. alvarezii didasarkan tipe kandungan karaginan yang dihasilkan yaitu kappa karaginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Klasifikasi K. alvarezii menurut Doty (1987) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma Species : Eucheuma alvarezii Doty atau Kappaphycus alvarezii Doty. K. alvarezii mempunyai ciri fisik seperti berthallus silindris, cartilogeneus (lunak seperti tulang rawan), permukaan licin. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama ke luar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Warnanya pun demikian tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan (Gambar 2.1). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998).
a
b
c
d
Gambar 2.1 Rumput laut K. alvarezii: a) Karimun Jawa, b) Madura, c) Maumere, dan d) Sulawesi Selatan
8
Karaginan dan Sumber Rumput Laut Penghasil Karaginan di Indonesia Rumput laut di Indonesia, umumnya hasil budidaya yang banyak dikembangkan di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Maluku (Poncomulyo et al. 2006). Namun jenis rumput laut yang berhasil dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah K.alvarezii karena merupakan penghasil karaginan yang banyak digunakan sebagai bahan baku dan tambahan untuk industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi, cat, tekstil dan lain sebagainya (Suryaningrum 2008). Struktur dan Komposisi Karaginan Karaginan merupakan salah satu metabolit primer yang dihasilkan rumput laut kelas Rhodophyceae. Beberapa spesies rumput laut penghasil karaginan berdasarkan sistematikanya disajikan pada Gambar 2.2. Kelas
Subkelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Furcellariaceae
Hypnaceae
Solieariaceae
Rhodophyceae (Red algae)
Florideophycidae
Gigartinales
Gigartinacea
Carrageenophytes
Petrocelidacea
Hypnea
H. musciformis H. spinella
Eucheuma
E. denticulum E. isiforme
Kappaphycus
K. alvarezii K. striatum
Betaphycus
B. gelatinum
Chondrus
C. crispus C. ocellatus
Iridaea
I. cordata I. undulosa
Gigartina
G. pistillata G. skotsbergii
Chondracanthus
C. teedel C. acicularis C. charmissol C. canaliculatus
Sarcothalia
S. crispata S. radula
Mastocarpus
M. stellatus M. papillatus
Ahnfeltiopsis
A. devoniens is
Gymnogongrus
G. crenulatu s
Phyllophoracea
Gambar 2.2 Spesies rumput laut penghasil karaginan (Van de Velde 2008)
9
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa (Winarno 1996). Karaginan merupakan polisakarida berantai linear dengan berat molekul di atas 100 kDa. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4). Glicksman (1983) mengelompokkan karaginan berdasarkan gugus 3,6anhidro-D-galaktosa dan jumlah serta posisi dari gugus ester sulfatnya. Berdasarkan cara pengelompokan tersebut, karaginan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut K. alvarezii, sedangkan iota karaginan dihasilkan dari rumput laut E. spinosum. Kedua jenis rumput laut tersebut memiliki harga, sifat fungsional, kegunaan dan cara ekstraksi yang berbeda. Kappa Karaginan Kappa karaginan merupakan polimer linier yang disusun oleh residu Dgalaktosa-4-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu 3,6-anhidro-Dgalaktosa dengan ikatan β pada posisi 1,4. Adanya gugus 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugus 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6 anhydro-D-galaktosa, dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996).
D-galaktosa-4-sulphat
3,6-anhidro-D-galaktosa
Gambar 2.3 Struktur kimia kappa karaginan (Bubnis 2000) Iota Karaginan Struktur iota karaginan hampir sama dengan struktur kappa karaginan perbedaannya hanya pada kandungan sulfatnya. Pada i-karaginan terdapat gugus sulfat pada posisi C-2 residu 3,6-anhidro-D-galaktosa. Adanya gugus sulfat tambahan tersebut menyebabkan sifat gel kappa dan iota karaginan berbeda. Menurut Winarno (1996), i-karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D-galaktosa.
D-galaktosa-4-sulphat
3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat
Gambar 2.4 Struktur kimia iota karaginan (Bubnis 2000).
10
Lambda Karaginan Lambda karaginan disusun oleh residu D-galaktosa-2-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu D-galaktosa-2,6-disulfat dengan ikatan β pada posisi 1,4. Beberapa satuan lambda karaginan kadang-kadang tidak mengandung gugus sulfat atau sebagai 3,6-anhydro-D-galaktosa.
D-galaktosa-2-sulphat
D-galactosa-2,6 disulfat
Gambar 2.5 Struktur kimia lambda karaginan (Bubnis 2000). Campo et al. (2009), mengelompokkan karaginan berdasarkan strukturnya, menjadi enam jenis yaitu kappa (k), iota (i),), lambda (λ), Mu (μ), Nu (ν), dan theta (τ) karaginan. Keenam jenis karaginan tersebut mempunyai sifat kimia dan fisika yang berbeda, tergantung jumlah dan letak gugus sulfatnya yang bervariasi. Di samping itu, adanya gugus sulfat yang terikat pada atom C-6 unit D-galaktosa ikatan 1,4 yang dapat dikonversi secara enzimatis di dalam tanaman maupun secara kimia membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa.
Gambar 2.6 Unit-unit ulangan karaginan (Imeson 2000; Campo et al. 2009) μ dan v-karaginan merupakan prekursor dari kappa dan iota karaginan, sedangkan τ-karaginan adalah prekursor dari lambda karaginan. Perbedaan fraksi satu sama lain didasarkan pada jumlah 3,6 anhidro-D-galaktosa yang terkandung serta posisi dari gugus ester sulfat. Selain itu Doty (1987) membedakan kappa dan iota karaginan didasarkan pada kandungan sulfatnya. Kappa karaginan mengandung sulfat < 28% sedangkan iota karaginan > 30%.
11
Ekstraksi Karaginan Rahman (2009), ekstraksi karaginan merupakan proses pelepasan karaginan melalui proses pemanasan pada medium air. Waktu kontak yang lama dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, menyebabkan jumlah karaginan yang terlepas dari dalam dinding sel semakin tinggi. Minghou (2010) ekstraksi karaginan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut alkali. Fungsi alkali pada proses ekstraksi bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, dan memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989). Reaksi yang terjadi dengan alkali dijelaskan pada Gambar 2.7, sebagai berikut : 1 Transformasi gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ atau K+ dengan membentuk garam Na2SO4 atau K2SO4 di larutan.
2
Dehidrasi membentuk polimer anhidros galaktosa, dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk kappa karaginan dan air.
Gambar 2.7 Reaksi pada tahap perlakuan dengan alkali (Patent EP0964876 1998;Uy et al. 2005)
Karakteristik Karaginan Kelarutan Air merupakan pelarut utama karaginan yang karakteristik kelarutannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhydro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lambda karaginan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6 anhydro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karaginan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6 anhydro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6 anhydro-D-galaktosa (Towle 1973).
12
Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (CP Kelco ApS 2004). Kehadiran zat lain dalam larutan akan mempengaruhi sifat kelarutan karaginan, hal ini terjadi karena adanya persaingan penggunaan air dalam mengubah keadaan polihidrasi. Garam-garam organik lebih efektif dalam mengubah hidrasi karaginan, khususnya jika kationnya garam potasium. Sifatsifat kelarutan karaginan pada berbagai medium pelarut disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut Medium Air panas Air dingin
Susu panas Susu dingin
Kappa o
Larut diatas 60 C Larut diatas 70 oC* Larut dalam garam sodium, potasium dan kalsium tidak larut
Iota
Lambda o
Larut diatas 60 C Larut diatas 70 oC* Larut dalam garam sodium, garam kalsium menghasilkan disperse thixotropic Larut
Larut Tidak larut dalam garam sodium, potasium dan Tidak larut kalsium tetapi mengembang dengan baik
Larutan konsentrat Larut pada panas gula Larutan konsentrat garam pekat Tidak larut
Larut
Larut
Larut Larut
Tidak mudah larut
Larut pada panas
Larut pada panas
Larut
Sumber: * Glicksman 1983
Stabilitas pH Karaginan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3.5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan karaginan dapat mempertahankan kondisi proses produksi karaginan (CP Kelco ApS 2004). Hidrolisis asam akan terjadi jika karaginan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan karaginan akan menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4.3 (Imeson 2000). Kappa dan iota karaginan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah, tetapi mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah (Moirano 1977). Menurut Winarno (1996), daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap pH, disajikan pada Tabel 2.2.
13
Tabel 2.2 Daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap perubahan pH Stabilitas Kappa Iota Lambda Pada keadaan pH Stabil Stabil Stabil netral dan alkali Terhidrolisa bila Terhidrolisa Terhidrolisa dipanaskan Stabil dalam bentuk gel Stabil dalam bentuk gel Sumber: Moraino (1977)
Viskositas Viskositas merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Nilai viskositas karaginan ditentukan oleh konsentrasi karaginan, suhu, jenis karaginan, berat molekulnya dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karaginan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu. Pada konsentrasi 1.5% dan suhu 75 oC nilai viskositas karaginan berkisar antara 5-800 cP (FAO 1990). Viskositas larutan karaginan terutama disebabkan oleh sifat karaginan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekulmolekul air yang termobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karaginan bersifat kental (Guiseley et al. 1980). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Pembentukan gel Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan. Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan (40-60 oC) dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan (5-20 oC) (Glicksman 1983; Imeson 2000). Mekanisme pembentukan gel thermoreversible karaginan disajikan pada Gambar 2.8. Struktur polimer karaginan pada suhu di atas titik cairnya berbentuk gulungan-gulungan yang menyebar secara acak. Pada saat pendinginan, suatu matrik polimer tiga dimensi terbentuk dengan pilinan (double helix) dari setiap ujung rantai polimernya (Gel I). Tahap pendinginan berikutnya menyebabkan berkumpulnya pilinan polimer tiga dimensi tersebut (Gel II) (Glicksman 1983; FAO 1990).
14
Gambar 2.8 Mekanisme pembentukan gel pada karaginan (Smidsrod dan Grasdalen 1982). Adanya ion monovalen K+, NH4+, Rb+, dan Cs+ dapat membantu pembentukan gel. Kappa karaginan dapat membentuk gel yang paling kuat. Iota akan membentuk gel yang kuat dan stabil jika terdapat ion Ca2+, sedangkan ion Na+ dapat menghambat pembentukan gel karaginan jenis kappa dan lambda (Glicksman 1983). Karakteristik gel beberapa karaginan disajikan pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Karakteristik gel kappa, iota dan lambda karaginan Keterangan Kappa Efek kation Gel lebih kuat dengan ion potasium Tipe gel Kuat dan rapuh dengan sineresis Efek sinergis Tinggi dengan locus gum Stabilitas Freezing Tidak thawing
Iota Gel lebih kuat dengan ion kalsium
Lambda Tidak membentuk gel
Elastis dan kohesif tanpa sineresis Tinggi
Tidak membentuk gel Tidak
Stabil
Tidak
Standar Mutu Karaginan Di Indonesia belum ada standar mutu karaginan, tetapi secara internasional Food Agriculture Oganization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), European Economic Community (EEC) telah mengeluarkan spesifikasi mutu karaginan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan, baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut. Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.4.
15
Tabel 2.4 Spesifikasi mutu karaginan Spesifikasi Zat Volatile (%) Sulfat (%) Viskositas (cP) Kadar abu (%) Kadar abu tak larut asam (%) Logam berat Pb (ppm) As (ppm) Cu + Zn (ppm) Zn (ppm) Kehilangan karena pengeringan (%)
FAO Maks 12 15 – 40 Min 5 15 – 40 -
FCC Maks 12 18 – 40 Min 5 Maks 35 Maks 1
EEC Maks 12 15 – 40 Min 5 15 – 40 Maks 2
Maks 10 Maks 3 -
Maks 10 Maks 3 Maks 12
Maks 10 Maks 3 Maks 50 Maks 25 -
Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik (1978)
Menurut Winarno (1996), standar mutu karaginan dalam bentuk tepung adalah 99% lolos saringan 60 mesh, dan memiliki tepung densitas (yang diendapkan oleh alkohol) adalah 0.7 dengan kadar air 15% pada RH 50 dan 25% pada RH 70. Penggunaan ini biasanya dilakukan pada konsentrasi terendah 0.005% sampai tertinggi 3% tergantung produk yang ingin diproduksi, sedangkan suhu gelasi dari karaginan berbanding lurus dengan konsentrasi kation yang terdapat dalam sistem. Produksi Refined Carrageenan Proses produksi refined carrageenan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan. Penyiapan bahan baku Penyiapan bahan baku meliputi proses pencucian rumput laut untuk menghilangkan pasir, garam mineral, dan benda asing yang melekat pada rumput laut. Rumput laut dibersihkan dari kotoran dan karang yang melekat dengan menggunakan air. Proses ekstraksi Ekstraksi karaginan dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali panas sehingga tercipta kondisi alkalis terhadap bahan baku rumput laut. Kondisi alkalis dapat diperoleh dengan penambahan larutan basa seperti larutan NaOH, Ca(OH)2 atau KOH sehingga pH larutan mencapai 8-10. Perlakuan alkali bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6 sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), selain itu perlakuan alkali bertujuan untuk meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, sekaligus memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989). Selanjutnya Zulfriady dan
16
Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa ekstraksi karaginan menggunakan KOH berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan mutu karaginan yang dihasilkan. Ekstraksi rumput laut jenis K. alvarezii dilakukan dengan cara perebusan dengan air pada suhu 80-95 °C selama 2 jam. Proses ini dilakukan setelah perlakuan alkali menggunakan larutan KOH konsentrasi 6% atau 8% pada pH 8-9. Volume larutan perebus 50 kali bobot rumput laut kering (Yunizal et al. 2000; Suryaningrum et al. 2003). Filtrasi Filtrasi dilakukan untuk memisahkan residu (selulosa dan kotoran yang berukuran besar). Pemisahan karaginan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan. Penyaringan ekstrak karaginan dilakukan dengan menggunakan kain saring atau filter press dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel (Chapman dan Chapman 1980). Selanjutnya Yunizal et al. (2000), menyatakan bahwa pengendapan karaginan dapat dilakukan antara lain dengan metode gel press, KCl freezing, KCl press, dan pengendapan dengan alkohol. Pengeringan dan penepungan Pengeringan karaginan basah dapat dilakukan dengan oven atau penjemuran). Pengeringan menggunakan oven (cabinet dryer) dilakukan pada suhu 60 ºC sekitar 16 jam dengan kadar air < 10% (Rahman 2009). Refined carrageenan kering tersebut kemudian ditepungkan, diayak, distandarisasi kemudian dikemas dalam wadah yang tertutup rapat (Guiseley et al. 1980).
Peningkatan Skala Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan memindahkan data hasil percobaan laboratorium atau dari percobaan skala pilot plant untuk merancang proses alat atau mesin ke dalam skala yang lebih besar (Aiba et al. 1973). Sedangkan menurut Valentas et al. (1991) adalah sebuah usaha memproduksi sesuatu yang sama jika memungkinkan hasil prosesnya pada tingkat produksi yang lebih besar dibanding yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut Wirakartakusumah et al. (1991), untuk peningkatan skala dengan benar harus dapat: Mendefinisikan hasil proses yang diinginkan. Mendefinisikan kriteria utama peningkatan skala dalam parameter (atau sekumpulan parameter) yang menjamin hasil proses tidak tergantung pada skala. Hal ini pada umumnya perlu eksperimen skala ganda. Mendefinisikan kriteria sekunder peningkatan skala. Menurut Hulbert (1998), peningkatan skala merupakan tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant. Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi, pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan untuk dapat melakukan peningkatan skala. Proses peningkatan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan, di antaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan proses optimum.
17
Pada dasarnya apapun yang terdapat dalam proses dapat dijadikan parameter ataupun hasil proses, tergantung jenis dan tujuan proses. Dalam proses peningkatan skala ini memang diusahakan untuk menghindari parameterparameter dan hasil proses yang tidak terukur secara efektif, namun sebenarnya tidak ada alasan untuk menyingkirkan parameter hasil subyektif, kecuali jika penilaiannya tidak dijamin ketepatannya (Valentas et al. 1991). Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses. Di dalam kriteria ini secara implisit tersirat pengertian bahwa eksprimen untuk peningkatan skala yang pantas sekurang-sekurangnya melibatkan lebih dari satu skala proses (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Kriteria utama peningkatan skala. Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu:1) skala laboratorium, 2) skala pilot plant, 3) skala industri. Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Skala pilot plant merupakan skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al. 1991). Biasanya tahap pilot plant digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi, dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi produk, dan panel sensori (Anonim 2007). Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah dan kesulitan dalam proses dapat diujicobakan sebelum membangun pabrik skala besar. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan data-data yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonim 2007).
18
Wang et al. 1979, pada peningkatan skala, kondisi lingkungan yang optimum harus diutamakan. Faktor-faktor kimiawi dalam lingkungan umumnya dapat dijaga konstan sedangkan faktor-faktor fisik sangat tergantung pada ukuran atau skala produksinya. Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya, terutama karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan secara visual. Menurut Scott et al. (2007), proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya.
Mixture Experiment (ME) ME merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisis masalah suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut. Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula (Cornell 1990). Rancangan ME terdapat di dalam peranti lunak (software) Program Design Expert (DX) 7.0® dan dinamakan dengan mixture design. Program DX 7.0® menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk dan proses (Anonim 2006). Program DX 7.0® ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, response surface methodology (RSM), mixture design techniques, dan combined designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada suatu penelitian. RSM yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menentukan rancangan proses yang ideal. Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat Box-Behnken design yaitu suatu metode pada Program DX 7® yang bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabelvariabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal (Anonim 2005). ME terdiri dari beberapa tahap, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME seringkali digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut dapat ditampilkan secara grafik sebagai respon yang dapat digunakan dalam menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon (Cornell 1990), Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara lain mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo linear dan quadratic. Model ordo linear dengan dua variabel uji dapat dilihat pada
19
persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (2). Y = b0 + b1X1 + b2X2 (1) 2 2 Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X1 + b22X2 + b12X1X2 (2) Persamaan tersebut dapat ditampilkan dalam sebuah contour plot berupa grafik dua dimensi (2-D) dan tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon. Persamaan model polinomial dengan orde linear seringkali memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan orde quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell 1990).
Principal Component Analysis (PCA) PCA adalah merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk mentransformasikan variabel-variabel asal yang kurang berkorelasi ke dalam variabel-variabel baru yang dimensinya lebih kecil, saling bebas, dan orthogonal antara variabel yang satu dengan variabel yang lain, dinamakan komponen utama (principal component, PC). Hasil analisis tipe ini tidak berasal dari variabelvariabel awal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel-variabel awal (Esbensen et al. 1994). Tujuan PCA adalah menentukan komponen-komponen utama untuk menerangkan keragaman data semaksimal mungkin. Komponen utama yang diperoleh diurutkan berdasarkan penurunan keragamannya. Komponen utama pertama (PC1) adalah komponen utama dengan keragaman terbesar yang paling informatif dan paling berpengaruh. Bila informasi dari variabel yang diinput dianalisis kembali akan muncul komponen utama pelengkap dengan keragaman kedua terbesar setelah PC1, disebut PC2, dan demikian seterusnya (Afifi dan Clark 1996). Setiap komponen dalam model PCA mempunyai tiga set karakteristik atribut yaitu keragaman (variances), loading dan scores (Esbensen et al. 1994). Keragaman memberikan beberapa banyak informasi yang dapat digunakan pada komponen utama yang dapat dinyatakan dengan residual variance dan explaned variance. Loadings menyatakan gambaran hubungan antara variabel sedangkan scores menggambarkan sampel. Gabungan plot loadings dan scores merupakan hasil analisis berbentuk grafik biplot. Grafik tersebut menggambarkan secara keseluruhan hubungan antar variabel dan sampel. Jarak antar titik variabel menunjukkan hubungan di antara variabel. Interpretasi titik-titik pada sampel sama dengan interpretasi pada variabel. Hubungan di antara dua titik sampel dapat dilihat dengan membandingkan jaraknya dengan titik-titik dari variabel. Titik-titik sampel berdekatan menunjukkan bahwa sampel tersebut sama, sedangkan titik-titik sampel yang berjauhan menunjukkan hal yang sebaliknya. Titik-titik sampel yang terdapat dalam satu kelompok adalah satu sama lain dan berbeda dengan titik-titik sampel yang terdapat dalam kelompok lain (Esbensen et al. 1994). Pada analisis deskripsi, sampel yang berada pada lokasi yang berlawanan mempunyai deskripsi yang sangat berbeda. Namun lokasi sampel yang berdekatan mempunyai deskripsi yang sama (Schonkopf dan Midjo 1998).
20
21
3 METODE UMUM Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 hingga bulan Januari 2013. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Pengolahan, dan Laboratorium Kimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik serta institusi yang terkait dengan pengambilan data sekunder untuk pemetaan potensi wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut kering jenis K.alvarezii yang diperoleh dari perairan Bali. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), celite, kalium klorida (KCl) serta bahan-bahan kimia pro analysis (p.a) untuk uji mutu, diperoleh dari Toko Harum Kimia di Jakarta. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain waterbath, timbangan analitik, timbangan, gelas ukur, pengaduk, pH meter digital (Merk ATC tipe pH108), hot plate, magnetic stirrer, TA-XT Texture Analyzer (Stable Micro Systems), oven, chopper, grinder, saringan 60 dan 80 mesh, alat pencucian rumput laut (mollen), hydraulic press, filter press, alat pengering rumput laut (try dryer), wadah fiber, wadah plastik, keranjang plastik, kain blacu, panci double jacket, stopwatch, thermocouple, tangki ekstraksi dengan kapasitas 200 L, tangki ekstraksi dengan kapasitas 1000 L (skala pilot plant), dan peralatan gelas untuk uji mutu. Tangki ekstraksi yang digunakan pada skala pilot plant merupakan alat yang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta (Lampiran 1). Tangki ini terbuat dari bahan plat stainless steel, berbentuk silinder double jacket vertikal dengan pemanas air yang diletakkan di antara silinder pembentuk. Pemasukan bahan rumput laut yang diekstrak dilakukan dari bagian atas. Tangki pengekstrak diletakkan pada penyangga dari besi untuk mempermudah pengoperasiannya.
Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, sebelum tahap pertama dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji mutu rumput laut kering yang meliputi, kadar air, kadar Clean Anhydrous Weed (CAW), kadar logam berat Pb dan Hg. Tahap pertama adalah optimasi kondisi proses perlakuan alkali pada pengolahan ATC skala laboratorium. Tahap kedua, optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali pada proses produksi RC skala pilot plant. Tahap ketiga
22
pemetaan potensi K. alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant. Optimasi kondisi proses perlakuan alkali yang diterapkan pada penelitian tahap pertama adalah konsentrasi KOH (6-8%), suhu 70-80 °C, waktu 1-2 jam. Penentuan kondisi proses ini diperoleh dari hasil kajian penelitian Suryaningrum et al. (2003), Basmal et al. (2003), Mehta et al. (2008), dan Mustapha et al. (2011). Rumput laut kering sebanyak 200 gr dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml yang berisi larutan alkali sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, dan dipanaskan dalam waterbath sesuai kondisi proses yang telah dirancang oleh Program DX 7.0®, dan dilanjutkan ke proses netralisasi, chopper, pengeringan dan penepungan. Kondisi proses yang dilakukan pada tahap ini sebanyak 15 formula. Uji mutu ATC yang dihasilkan meliputi rendemen dan kekuatan gel. Kondisi proses perlakuan alkali pada tahap ini dijadikan data dasar untuk melakukan optimasi proses produksi RC skala pilot plant. Optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air yang diterapkan pada penelitian tahap kedua ini adalah rasio rumput laut dengan air (1:20-1:35), suhu, suhu 85-95 °C, waktu 2-4 jam. Penentuan kondisi proses ini diperoleh dari hasil kajian penelitian Tuvikene et al. (2006) Montolulu et al. (2008), Basmal et al. (2009) dan Hakim et al. (2011). Rumput laut kering sebanyak 20 kg dimasukkan ke dalam tangki ekstraktor 200 liter yang berisi larutan alkali sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, dan dipanaskan pada suhu 85 °C selama 2 jam dan dinetralisasi, kemudian dilanjutkan ke proses ekstraksi dengan air sesuai kondisi proses yang telah ditentukan (17 formula), presipitasi, pengepresan, pengeringan dan penepungan. Uji mutu RC yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Teknologi proses yang dihasilkan dari tahap pertama dan kedua dijadikan acuan dalam memetakan potensi rumput laut K.alvarezii dalam rangka aplikasi proses produksi karaginan skala pilot plant. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder terhadap wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki potensi rumput laut K. alvarezii. Pengumpulan data sekunder dikaitkan dengan teknologi proses produksi karaginan yang telah dihasilkan. Kemudian data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Program XLSTAT 2013 metode Principal Component Analysis, untuk memperoleh peta wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Diagram alir pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 3.1.
23
Rumput Laut (K. alvarezii) kering ( KOH, suhu dan waktu
Optimasi proses perlakuan alkali skala laboratorium
Alkali treated cottonii (ATC )
Data untuk scale up Scale up
Kondisi proses perlakuan alkali skala pilot plant Rasio RL:Air, suhu dan waktu
Optimasi
Produk karaginan optimal (Refined carrageenan) (RC Optimal) Acuan untuk pengembangan industri karaginan di Indonesia
Analisis PCA
Daya dukung wilayah: rumput laut, infrastruktur dst.
Peta potensi wilayah Indonesia
Rekomendasi pengembangan industri karaginan di Indonesia
Gambar 3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian
24
25
4 APLIKASI RESPONSE SURFACE METHODOLOGY PADA OPTIMALISASI KONDISI PROSES PENGOLAHAN ALKALI TREATED COTTONII Abstract Alkali Treated Cottonii (ATC) is processed from red algae (Eucheuma cottonii) with alkali treatment. Process condition e.q. KOH concentration, temperature and process time will effect the yield and quality of the resulted ATC. The purpose of this study were to identify the relationship between input variables and process response and to develop predictive models that can be used in optimizing the processing conditions of the ATC. Program Design Expert (DX) 7.0® with Response Surface Methodology (RSM) Box-Behnken Design was used to investigate and select the combination of factor levels that produced the optimal response. Based on the RSM-Box-Behnken design, it was known that the main effects of KOH concentration, temperature and time were observed to be the most significant factors to the value of ATC response. The relationship between the response variable was modeled of ATC yield as Y = -0.97A + 6.59B – 1.79C – 0.045B2 while the gel strength values was modeled as Y = 29030.24 A + 1488.61B – 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02 A2B. ATC optimal response value was 92.8%, and the optimum processing conditions were: 6% of KOH concentration, 78.67℃ of temperature and 1 h of time. Key words: alkali treated cottonii, extraction, optimization, response surface methodology, semi-refined carrageenan
Pendahuluan Di Indonesia, sejak dicanangkan rumput laut sebagai salah satu komoditas yang direvitalisasi, orientasi pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material sudah mulai bergeser menjadi produk yang bernilai tambah, terutama dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC). ATC merupakan produk karaginan semi murni hasil olahan rumput laut Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) dengan perlakuan alkali. Di samping dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karaginan murni (refined carrageenan), produk ATC diminati industri-industri pengolah di Eropa, Amerika dan Asia Pasifik, karena dapat diproses lebih lanjut sebagai pembentuk gel, penstabil dan pengatur keseimbangan dalam industri non pangan terutama makanan ternak (Mc Hugh 2003). Perlakuan alkali pada pengolahan ATC, merupakan proses perlakuan basa yang bertujuan mengubah residu prekursor dengan menghilangkan beberapa kelompok sulfat dari molekul dan meningkatkan kekuatan gel (Mc Hugh 2003). Perlakuan alkali yang efektif akan menghasilkan ATC dengan kekuatan gel yang maksimal. Variabel yang mempengaruhi perlakuan alkali, di antaranya konsentrasi alkali, suhu dan waktu.
26
Penelitian yang terkait dengan proses pengolahan ATC, telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005) dengan berbagai konsentrasi KOH dengan waktu pemasakan 2 jam pada suhu 70-80 oC, dan rendemen yang dihasilkan 29.3% dengan kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2; Mehta et al. (2008) preparasi SRC dengan pelarut KOH 8%, dengan kondisi optimum proses pengolahan (suhu 78-82 oC, waktu 2-3 jam). Mustapha et al. (2011), kondisi proses dalam pengolahan SRC dengan variasi suhu, jenis dan konsentrasi pelarut yang berbeda, dan menghasilkan kondisi optimum dengan pelarut KOH pada konsentrasi 1.0 M pada suhu 80 oC dengan waktu 1 jam. Kondisi proses pengolahan yang bervariasi dalam menghasilkan ATC, menjadi pertimbangan dalam penentuan kuantitas dan kualitasnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan Program DX 7.0® rancangan RSM-BoxBehnken untuk memperoleh kondisi proses dari kombinasi konsentrasi KOH, suhu dan waktu terhadap rendemen dan kekuatan gel. Kelebihan dari program ini dapat digunakan untuk analisis dan pemodelan dari suatu permasalahan dengan satu atau lebih perlakuan dalam penelitian (Montgomery 2001; Bas dan Boyaci 2007; Raissi dan Farsani 2009). Menurut Radojkovic et al. (2012), RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna untuk mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, dimana respon dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). RSM tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel independen, tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan proses kimia atau biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variabel bebas dan respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Di samping itu, keunggulan metode RSM ini di antaranya tidak memerlukan data-data percobaan dalam jumlah yang besar dan tidak membutuhkan waktu lama (Iriawan dan Astuti 2006). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang optimal pada pengolahan ATC dengan menggunakan Response Surface Methodologi (RSM). Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi sebagai data dasar dalam proses peningkatan skala untuk pengolahan RC.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 hingga bulan Mei 2012. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Pengolahan, dan Laboratorium Kimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut jenis K. alvarezii yang diperoleh dari Bali. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), serta bahan-bahan kimia pro analysis (p.a) untuk uji mutu, diperoleh dari Toko Harum Kimia di Jakarta.
27
Peralatan utama yang digunakan adalah waterbath, timbangan analitik, gelas ukur, pengaduk, pH meter digital (Merk ATC tipe pH108), hot plate, magnetic stirrer, TA-XT Texture Analyzer (Stable Micro Systems), oven, chopper, grinder, saringan 60 mesh dan peralatan gelas untuk uji mutu ATC. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan penelitian, yaitu: uji mutu bahan baku rumput laut kering, penentuan kisaran minimum dan maksimum kondisi proses pengolahan ATC, dan optimasi proses pengolahan ATC. Uji mutu bahan baku rumput laut kering Pada tahap ini akan dilakukan pengujian mutu bahan baku rumput laut kering berdasarkan Standar Nasional Indonesia No.2690.1:2009. Uji mutu yang dianalisis mencakup kadar air, Clean Anhydrous Weed (CAW), logam berat Pb dan Hg. Prosedur analisis rumput laut kering secara lengkap disajikan pada bagian prosedur analisis. Penentuan kisaran minimum dan maksimum kondisi proses perlakuan alkali pada pengolahan ATC Tahap penentuan kisaran minimum dan maksimum kondisi proses pengolahan ATC, dilakukan untuk memperoleh batas minimum dan maksimum kondisi proses perlakuan alkali sehingga dapat menghasilkan ATC dengan rendemen dan kekuatan gel yang tinggi. Penetapan kisaran kondisi proses yang digunakan adalah konsentrasi KOH 6-8%, suhu 70–80 °C, waktu 1–2 jam, didasarkan kajian hasil penelitian Basmal et al. (2003), Mehta et al. (2007), dan Mustapha et al. (2011). Dari kisaran kondisi proses tersebut dilakukan pengujian secara trial and error dengan mengelompokkan kondisi proses A dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 70 °C dan waktu 1 jam, dan B dengan konsentrasi KOH 8%, suhu 80 °C dan waktu 2 jam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat ulangan, sehingga diperlukan 8 sampel percobaan. Setiap sampel, rumput laut kering yang digunakan sebanyak 200 gram. Proses pengolahan ATC, diawali dengan proses pencucian untuk menghilangkan kotoran, pasir dan garam yang melekat pada rumput laut. Selanjutnya dilakukan proses perebusan dengan larutan alkali (KOH) sesuai kondisi proses yang telah ditentukan, dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur 1000 ml, yang telah berisi larutan KOH, kemudian dimasukkan ke dalam waterbath. Setelah proses pengolahan selesai, rumput laut dinetralisasi hingga pH 8.5 (Bawa et al. 2007), kemudian dipotong-potong sepanjang 3 cm. Potongan rumput laut kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu pengeringan 60 °C selama 18 jam (Hoffmann et al. 1995). ATC yang telah kering ditepungkan dengan saringan 60 mesh. Aliran proses pengolahan ATC dapat dilihat pada Gambar 4.1.
28
Rumput laut K. alvarezii kering
Pencucian Perlakuan dengan alkali (KOH, suhu dan waktu)
Netralisasi Pemotongan Pengeringan
Uji mutu: - Rendemen - Kekuatan gel
Alkali treated cottonii(ATC)
Gambar 4.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala laboratorium Produk ATC dari kedua kondisi proses tersebut dilakukan uji mutu dengan menghitung rendemen dan kekuatan gel. Rendemen diukur berdasarkan metode Neish (1989), sedangkan kekuatan gel diukur berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp (1977). Prosedur uji mutu tersebut secara lengkap dapat dilihat pada bagian prosedur analisis. Setiap analisis dilakukan dengan minimal dua ulangan. Untuk membedakan produk ATC kedua kondisi proses tersebut, dilakukan uji T sampel independen dengan program SPSS V.17 (Pidekso 2009). Penentuan kisaran minimum dan maksimum dari kondisi proses tersebut ditentukan, jika hasil uji T, dinyatakan berbeda nyata. Optimasi kondisi proses pengolahan alkali treated cottonii dengan Program Design Expert 7.0® Tahap ini dilakukan untuk memperoleh kondisi optimum proses pengolahan ATC pada skala laboratorium, dengan menggunakan piranti lunak komputer yaitu Program DX 7.0® rancangan RSM-Box-Benhken. Tahap ini diawali dengan pembuatan rancangan, formulasi, analisis respon, dan optimasi (Montgomery 2001). Kemudian dilanjutkan ke tahap verifikasi sebagai pembuktian terhadap prediksi dari nilai respon solusi kondisi proses optimum. Tahap perancangan formula, dilakukan dengan menentukan variabel dan rentang nilainya. Variabel adalah komponen dari formula yang mempengaruhi respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel yang digunakan pada proses pengolahan ATC adalah konsentrasi KOH, suhu dan waktu. Respon merupakan
29
sifat-sifat yang dipengaruhi oleh kedua variabel tersebut. Respon yang diukur dan dioptimasi adalah rendemen (%) dan kekuatan gel (g/cm2). Tahap awal dari perancangan dengan Program DX7.0® rancangan RSM Box-Behnken telah dilakukan dengan formula atau kondisi proses dari pengujian tahap sebelumnya yang meliputi hasil dari pengujian trial and error, terhadap konsentrasi KOH, suhu dan waktu. Tahap formulasi merupakan tahapan pembuatan produk (ATC). Pembuatan produk dilakukan dengan proses yang disajikan pada Gambar 4.1. Tahap analisis respon, meliputi penentuan model polinomial dan analisis ragam (ANOVA) untuk setiap respon. Tahap selanjutnya adalah optimasi, masing-masing respon ditentukan tujuan optimasinya dalam Program DX7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Program ini akan melakukan optimasi sesuai data variabel dan data pengukuran respon yang dimasukkan. Keluaran dari tahap optimasi adalah rekomendasi beberapa formula baru yang optimal menurut program. Formula paling optimal adalah formula dengan nilai desirability paling tinggi, kemudian akan dilanjutkan ke tahapan verifikasi untuk memastikan kebenaran proses dan persamaan yang didapatkan. Solusi proses optimum yang diberikan juga dilengkapi dengan prediksi nilai setiap respon sehingga dapat dilihat kesesuaiannya pada tahapan verifikasi. Secara garis besar penelitian ini dapat digambarkan pada skema di bawah ini (Gambar 4.2).
Pengolahan ATC secara trial and error
Uji mutu : - Rendemen - Kekuatan gel
-
Penentuan kisaran minimum dan maksimum kondisi proses pengolahan
Pembuatan rancangan kondisi proses pengolahan menggunakan Program DX 7.0® RSM Box-Behnken Design Design
Optimasi proses pengolahan ATC
Proses pengolahan ATC sesuai dengan model rancangan dan analisis respon
ATC dengan kondisi proses yang optimal (optimasiproses)
Uji mutu : - Rendemen - Kekuatan gel
Verifikasi Gambar 4.2 Optimasi proses pengolahan alkali treated cottonii (ATC) skala laboratorium
-
30
Prosedur Analisis Penentuan kadar air rumput laut K. alvarezii kering (BSN 2009). Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan SNI No.2690.1:2009. Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam sampel dengan cara pemanasan. Kemudian menimbang contoh uji sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Contoh uji ditimbang ±2 g ke dalam cawan (B g). Cawan yang telah diisi dengan contoh dimasukkan ke dalam oven tidak vakum pada suhu 105°C selama 16–24 jam. Cawan dipindahkan dengan menggunakan alat penjepit ke dalam desikator selama ±30 menit, kemudian ditimbang (C g). Kadar air dihitung dengan rumus: Keterangan : A adalah berat cawan kosong (g), B adalah berat cawan + contoh awal (g), C adalah berat cawan + contoh kering (g). Penentuan kadar Clean Anhydrous Weed (CAW) (Marine Colloids FMC Corp 1977). Penentuan kadar CAW rumput laut K. alvarezii, dilakukan berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp (1977). Rumput laut ditimbang sebanyak 20 gram, kemudian dicuci dalam gelas ukur 2 liter dengan air sambil diaduk-aduk selama 7 menit dan dihilangkan kotoran yang menempel seperti garam, pasir dan karang. Setelah itu ditiriskan dengan kain saring 100 mesh dan dicuci kembali sebanyak 2 kali atau rumput laut sampai bersih. Rumput laut yang telah bersih kemudian ditempatkan dalam wadah aluminium foil yang telah dikeringkan. Rumput laut kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 18-20 jam.
Penentuan logam berat timbal (Pb) dan merkuri (Hg) (BSN 2006, 2011) Penentuan kadar logam berat timbal Pb dilakukan berdasarkan metode Standar Nasional Indonesia SNI 2354.5-2011 (BSN 2011) dan Hg SNI 01-2354.62006. Contoh uji ditimbang 1 g, dimasukkan ke dalam labu destruksi 100 ml, ditambahkan 15 ml HNO3 pekat dan 5 ml HClO4. Kemudian dibiarkan semalam. Selanjutnya didestruksi sampel jernih, didinginkan dan ditambahkan 10-20 ml air bebas ion. Pemanasan dilanjutkan ±10 menit, diangkat dan didinginkan. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml (labu destruksi dibilas dengan air bebas ion dan dimasukkan ke dalam labu takar). Larutan ditambah air sampai tanda tera, kemudian dikocok dan disaring dengan kertas Whatman no 41. Sampel siap untuk dianalisis kandungan logam beratnya dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Pembacaan logam berat timbal dilakukan dengan nyala asetilen pada panjang gelombang 228.8 nm, merkuri ditentukan dengan spektrofotometer penyerapan atom tanpa nyala pada panjang gelombang 253.7 nm. Kadar logam berat dalam sampel dihitung dengan memasukkan nilai
31
absorban contoh ke dalam persamaan garis standar. Y = a + bx, dimana nilai absorban sebagai Y sedang a dan b dari persamaan garis standar, maka diperoleh harga x yang merupakan konsentrasi contoh. Hasil perhitungan dinyatakan dengan ppm. ( ) ( ) Keterangan: Ac adalah absorban contoh, Ab adalah absorban blanko, Fp adalah faktor pengenceran. Penentuan rendemen (Neish 1989) Penentuan rendemen ATC dilakukan berdasarkan metode Neish (1989). Rendemen dihitung sebagai persentase berat berdasarkan rasio berat antara berat ATC dengan berat rumput laut kering. Persentase rendemen dihitung dengan menggunakan rumus :
Penentuan kekuatan gel (Marine Colloids FMC Corp 1977) Penentuan kekuatan gel dilakukan berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp 1977. Larutan karaginan dengan konsentrasi 1.5% (b/b) dipanaskan di atas hot plate sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 80 ºC selama 15 menit. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 ºC selama 12-16 jam. Gel dalam cetakan dimasukkan ke dalam alat ukur (curd tension meter) sehingga plunger yang akan bersentuhan dengan gel berada di tengahnya. Plunger diaktifkan dan dilakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan saat pegas membalik.
Hasil dan Pembahasan Uji Mutu Bahan Baku Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii Kering Rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini diuji mutunya sebelum dilakukan proses pengolahan. Uji mutu terhadap bahan baku ini dilakukan untuk mengetahui kadar air, Clean Anhydrous Weed (CAW), logam berat timbal (Pb) dan merkuri (Hg). Kadar air rumput laut kering adalah persentase kadar kekeringan rumput laut atau biasa disebut moisture content (MC). Nilai kadar air dari rumput laut dapat dipengaruhi oleh proses pengeringannya (Winarno 1996). Rumput laut kering yang memiliki kadar air yang tinggi akan mengalami kerusakan lebih cepat, jika dibandingkan dengan rumput laut berkadar air rendah. Selain itu rumput laut bersifat higroskopis sehingga penyimpanan di tempat yang lembab akan mempercepat proses kerusakannya. Kadar air merupakan komponen penting yang berhubungan dengan mutu karaginan. Keberadaan air dalam jumlah banyak dalam jaringan rumput laut dapat menghalangi masuknya larutan alkali ke dalam jaringan rumput laut
32
tersebut, sehingga tidak dapat mengekstrak karaginan yang ada di dalamnya. Kadar air yang terlalu rendah (rumput laut terlalu kering) kemungkinan dapat menyebabkan jaringan rumput laut keras, sehingga sulit ditembus oleh larutan alkali, akibatnya karaginan sulit terekstrak (Oviantari dan Parwata 2007). CAW merupakan gambaran secara keseluruhan mengenai kualitas kebersihan dan kekeringan rumput laut kering. Kadar CAW dihitung dari berat rumput laut kering yang telah dicuci dan dibersihkan, dibandingkan dengan berat rumput laut kering sebelum dibersihkan. Semakin tinggi nilai CAW maka akan semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Kandungan logam berat yang dianalisis pada penelitian ini adalah timbal (Pb) dan merkuri (Hg). Logam berat Pb merupakan salah satu logam berat yang banyak mencemari perairan. Tercemarnya perairan oleh limbah pabrik yang mengandung Pb menyebabkan tanaman yang tumbuh di sekitar perairan menjadi tercemar oleh Pb (Kohar et al. 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya. Logam merkuri (Hg) adalah salah satu trace element yang mempunyai sifat cair (Budiono 2003). Hg pada fase cair berwarna putih perak, sedangkan pada fase padat berwarna abu-abu. Logam ini merupakan satu-satunya unsur logam berat yang berbentuk cair pada suhu kamar (25 oC) (Hutagalung 1985). Merkuri digolongkan sebagai pencemar paling berbahaya diantara berbagai macam logam berat. Di samping itu, ternyata produksinya cukup besar dan penggunaannya di berbagai bidang cukup luas (Budiono 2003). Kadar merkuri yang tinggi pada perairan umumnya diakibatkan oleh buangan industri (industrial wastes) dan akibat sampingan dari penggunaan senyawa-senyawa merkuri di bidang pertanian. Secara umum hasil analisis rumput laut K. alvarezii kering dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil analisis rumput laut dan syarat mutu rumput laut yang dipersyaratkan sesuai Standar Nasional Indonesia SNI. No. 2690.1:2009 Hasil analisis contoh Parameter analisis SNI No.2690.1:2009 K. alvarezii Kadar air (%) 36.47 Maksimal 35 CAW (%) 40.18 Minimal 30 Timbal (Pb) (ppm) 8.83 Merkuri (Hg) (ppm) 0.08 Berdasarkan Tabel 4.1, diketahui bahwa kadar air rumput laut kering sekitar 36.47%, nilainya sedikit lebih tinggi dari yang telah ditetapkan dalam SNI No.2690.1:2009 (maksimal 35%), namun nilai tersebut masih memenuhi persyaratan permintaan industri-industri karaginan terhadap bahan baku rumput laut kering yang mensyaratkan kadar air maksimal 37% (Dakay 2008). Sedangkan nilai CAW rumput laut adalah 40.18%, yang berarti rumput laut yang diuji telah memenuhi standar kualitas yang mensyaratkan CAW minimal 30% (BSN 2009). Logam berat Pb dan Hg, yang terdapat dalam rumput laut kering pada sampel uji adalah masing-masing 8.83 ppm dan 0.08 ppm. Acuan standar logam berat pada rumput laut kering belum diatur dalam SNI. Namun demikian
33
kalau mengacu pada standar FAO, FCC dan EEC sebagai tepung karaginan yang mensyaratkan Pb maksimal 10 ppm dan Hg maksimal 0.1 ppm, maka rumput laut kering yang akan digunakan sebagai sampel uji telah memenuhi syarat mutu. Pengolahan Rumput Laut Menjadi ATC ATC merupakan salah satu bentuk karaginan semi murni yang dihasilkan dari jenis E. cottonii (K. alvarezii) dengan perlakuan alkali panas. Perlakuan alkali bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6 sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987; Towle 1973; Minghou 2010). Alkali yang umum digunakan dalam proses ekstraksi karaginan adalah NaOH, Ca(OH)2 atau KOH. Jenis dan konsentrasi alkali yang berbeda akan mempengaruhi mutu karaginan yang dihasilkan. Distantina et al. (2009), melakukan penelitian dengan jenis pelarut yang berbeda, bahwa pelarut dengan KOH, sifat karaginan yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan pelarut lain. Hal yang sama dilaporkan Mustapha et al. (2011), bahwa proses pembentukan gel terjadi pada saat ekstraksi panas dengan KOH (60–80 °C), sedangkan dengan Ca(OH)2 tidak terjadi pembentukan gel pada semua kondisi yang diujikan. Pada penelitian ini proses pengolahan ATC dilakukan dengan pelarut KOH, karena efek kation terhadap kappa karaginan menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan alkali lain seperti NaOH dan Ca(OH)2 (Tuvikene et al. 2005; Mishra et al. 2006; Distantina et al. 2009; Mustapha et al. 2011). Istini et al. (1991), penggunaan konsentrasi larutan KOH dari 2% hingga 8% pada suhu pemanasan 75 oC dapat meningkatkan kekuatan gel karaginan dari 69.6 g/cm2 menjadi 243.6 g/cm2. Namun demikian hasil penelitian tersebut belum mencapai maksimum. Suryaningrum et al. (2003), pengolahan dilakukan dengan konsentrasi yang berbeda, rendemen dan kekuatan gel maksimum diperoleh dari konsentrasi KOH 6%. Selain itu lama proses pengolahan juga mempengaruhi karaginan yang dihasilkan. Menurut Mustapha et al. (2011), perlakuan dengan KOH pada konsentrasi yang sama, kekuatan gel maksimum dihasilkan dengan suhu 80 °C selama 1 jam. Proses pengolahan rumput laut K. alvarezii menjadi ATC, diawali dengan penimbangan rumput laut kering sebanyak 200 g. Kemudian dilakukan proses pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan benda asing seperti karang, kayu ranting, tali rafiah, pasir serta garam yang masih menempel pada rumput laut. Proses pencucian sebaiknya tidak terlalu lama, karena akan menyebabkan lisis pada dinding sel, sehingga karaginan ke luar dari rumput laut. Selanjutnya dilakukan proses perebusan dengan menggunakan larutan alkali panas. Tahapan berikutnya adalah proses netralisasi, kemudian dilakukan pemotongan dan pengeringan pada suhu 60 ºC selama 18 jam. Penentuan Kondisi Proses Pengolahan Alkali Treated Cottonii Tahap ini dilakukan untuk menentukan kondisi perlakuan alkali yang akan dijadikan kisaran minimum dan maksimum dalam perancangan dengan menggunakan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Hasil pengujian trial and error kondisi perlakuan alkali disajikan pada Tabel 4.2.
34
Tabel 4.2 Hasil uji rendemen dan kekuatan gel ATC berdasarkan kondisi proses Kondisi proses Parameter Rendemen (%) Kekuatan gel (g/cm2) A 38.20 760.74 B 34.77 900.89 Keterangan : (A) adalah KOH 6%, suhu 70 °C, waktu 1 jam; (B) adalah KOH 8%, suhu 80°C, waktu 2 jam.
Berdasarkan hasil pengujian dengan uji T sampel independen, diketahui bahwa perbedaan kondisi proses akan menghasilkan rendemen dan kekuatan gel yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 4.2. Rendemen ATC yang tinggi dihasilkan dari kondisi proses A (38.20%) dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 70 °C, dan waktu 1 jam, namun nilai kekuatan gel yang dihasilkan lebih rendah yaitu 760.74 g/cm2. Sebaliknya pada kondisi proses B dengan konsentrasi KOH 8%, suhu 80 °C, dan waktu 2 jam menghasilkan ATC dengan kekuatan gel yang tinggi (900.89 g/cm2), tapi rendemen yang lebih sedikit 34.77%. Tingginya rendemen yang dihasilkan pada konsentrasi KOH 6%, suhu 70 °C dan waktu 1 jam, diduga pada kondisi proses tersebut larutan alkali sudah terpenetrasi ke dalam dinding sel rumput laut sehingga berpengaruh pada jumlah rendemen yang dihasilkan, namun karena suhu yang masih rendah kemungkinan proses penetrasinya belum optimal menyebabkan kekuatan gelnya belum maksimal. Dalam hal ini fungsi alkali yang membantu proses transeliminasi gugus 6-sulfat untuk menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa belum sempurna. Menurut Glicksman (1983), kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin sehingga dibutuhkan panas untuk dapat melarutkannya (>70°C). Hasil penelitian Mustapha et al. (2011) yang melaporkan bahwa proses pembentukan gel dengan alkali terjadi pada suhu 80 °C, dengan waktu 1 jam. Hal sebaliknya pada kondisi proses B dengan konsentrasi KOH 8%, suhu 80 °C dan waktu 2 jam, rendemen karaginan yang dihasilkan lebih sedikit, namun kekuatan gelnya lebih tinggi. Suhu yang tinggi dengan waktu yang lama, diduga terjadi degradasi, sehingga pada saat proses netralisasi banyak karaginan yang larut ke dalam air dan terbuang, tingginya nilai kekuatan gel karena konsentrasi KOH yang tinggi. Menurut Stanley (1987) dan Neish (1989), semakin tinggi konsentrasi KOH yang diberikan menyebabkan dinding sel lebih cepat menggembung, akibatnya lebih banyak karaginan yang ke luar. Ekstraksi akan berlangsung cepat pada suhu yang tinggi, tetapi dapat mengakibatkan karaginan terdegradasi. Fenomena proses pengolahan pada tahap pengujian menunjukkan bahwa perlakuan alkali, konsentrasi KOH, suhu dan waktu merupakan parameter yang saling berinteraksi dalam menentukan mutu karaginan yang dihasilkan. Perlakuan alkali akan meningkatkan kekuatan gel, tetapi tidak menunjukkan kecenderungan meningkatkan rendemen. Mengacu dari hasil uji T, interpretasi sampel ATC dari kondisi proses A berbeda sangat nyata dengan ATC dari kondisi proses B. Dengan demikian kondisi proses A dan B ditentukan sebagai kisaran minimum dan maksimum yang akan digunakan pada proses perancangan dengan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken.
35
Optimasi Kondisi Proses Pengolahan ATC Skala Laboratorium Tahap optimasi kondisi proses pengolahan ATC dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Optimasi kondisi proses terdiri dari tahap-tahap perancangan formula dan respon, formulasi, analisis respon, optimasi dan verifikasi. Tahap perancangan formula dan respon Rancangan formulasi proses, dimulai dengan penetapan komponen bahan baku yang digunakan sebagai variabel tetap dan faktor-faktor kondisi proses sebagai variabel berubah, selanjutnya diikuti dengan penentuan kisaran minimum dan maksimum yang penentuannya telah ditentukan berdasarkan pengujian trial and error tahap sebelumnya. Faktor-faktor kondisi proses tersebut yaitu konsentrasi KOH (6–8%), suhu (70–80 °C), dan waktu (1–2 jam). Batasan minimum dan maksimum yang telah ditentukan, kemudian dijadikan sebagai input dalam tahap perancangan formula dengan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Kemudian program menentukan rancangan formula dari komponen-komponen yang diformulasikan. Total rancangan formula yang dihasilkan oleh Program DX7.0® rancangan RSM Box-Behnken yang akan diukur variabel responnya yaitu sebanyak lima belas formula (Tabel 4.3). Langkah selanjutnya dalam perancangan adalah penentuan respon yang akan diukur. Tabel 4.3 Rancangan formula dari Program Design Expert 7.0® Formula A : Kons. KOH (%) B : Suhu (°C) C : Waktu (jam) 1 6 70 1.5 2 8 70 1.5 3 6 80 1.5 4 8 80 1.5 5 6 75 1 6 8 75 1 7 6 75 2 8 8 75 2 9 7 70 1 10 7 80 1 11 7 70 2 12 7 80 2 13 7 75 1.5 14 7 75 1.5 15 7 75 1.5 Tahap formulasi Berdasarkan tahap perancangan formula, dihasilkan 15 formula. Pada tahap ini dilakukan pembuatan ke 15 formula kondisi proses pengolahan ATC dan pengukuran variabel-variabel respon yaitu rendemen dan kekuatan gel. Kedua respon tersebut merupakan respon obyektif yang akan diuji mutunya, dan diharapkan dapat memberikan formula kondisi proses dengan kuantitas dan kualitas yang optimum. Hasil pengukuran variabel respon terhadap 15 formula kondisi proses dapat dilihat pada Tabel 4.4.
36
Tabel 4.4 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh formula kondisi proses pengolahan ATC Suhu Waktu Rendemen Kekuatan gel Formula Konsentrasi KOH (%) (°C) (jam) (%) (g/cm2) 1 6 70 1.5 38.77 611.18 2 8 70 1.5 36.62 895.41 3 6 80 1.5 35.39 1 171.18 4 8 80 1.5 33.05 1 163.98 5 6 75 1 38.68 935.82 6 8 75 1 37.23 1 076.21 7 6 75 2 37.82 1 076.20 8 8 75 2 35.97 1 087.60 9 7 70 1 38.77 827.92 10 7 80 1 37.63 988.31 11 7 70 2 35.73 896.92 12 7 80 2 35.64 1 004.61 13 7 75 1.5 37.80 867.95 14 7 75 1.5 37.22 817.59 15 7 75 1.5 38.36 835.76 Tahap analisis respon Hasil dari setiap variabel respon tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken sebagai data masukan. Kemudian program akan menganalisis data masukan tersebut untuk mengetahui kecenderungan dari model persamaan polinomial dengan ordo yang sesuai dengan hasil yang didapatkan pada masing-masing respon. Beberapa model persamaan polinomial yang berbeda-beda yakni mean, linear, 2FI, quadratic, dan cubic. Persamaan polinomial untuk masing-masing respon dilakukan dengan tiga cara yaitu berdasarkan Sequential Model Sum of Squares [Type I], Lack of Fit Tests, dan Model Summary Statistics. Sequential model sum of squares [Type I] yaitu proses pemilihan model dengan membandingkan nilai “prob>f”. Model persamaan matematika yang dianggap cocok adalah yang memiliki nilai ”prob>f” lebih kecil dari 0.05. Lack of Fit Tests yaitu proses pemilihan model yang juga berdasarkan nilai ”prob>f”. Model persamaan matematika yang dianggap cocok adalah yang memiliki nilai ”prob>f” lebih besar dari 0.05. Sedangkan Summary Statistics yakni proses pemilihan yang mengacu pada nilai ”Adjusted R-Squared” dan ”Predicted R-Squared”. Model persamaan yang dipilih adalah yang memiliki nilai ”Adjusted R-Squared” dan ”Predicted R-Squared” tertinggi (Anonim 2005). Ketiga proses tersebut, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken akan memberikan saran model persamaan matematika yang tepat untuk masing-masing variabel respon. Pemilihan model yang cocok dari tiap respon akan ditampilkan dalam Fit Summary. Selain itu, Program DX 7.0® memberikan fasilitas analisis ragam (ANOVA) untuk menunjukkan signifikansi dari model yang direkomendasikan. Selanjutnya, model yang direkomendasikan tersebut ditampilkan di dalam suatu contour plot, yang berupa gambar dan grafik dua dimensi (2-D) atau tiga dimensi (3-D). Identifikasi model yang baik jika memiliki signifikansi terhadap respon, nilai Lack of Fit yang tidak signifikan, nilai Prediction R-Squared dan Adjusted R-Squared yang saling mendukung, serta nilai
37
Adequate Precision lebih dari 4. Di samping itu pada tahap ini, Program DX 7.0® juga memberikan fasilitas plot kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih antara respon aktual dengan nilai respon yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan titik-titik data yang menyebar normal yang berarti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan oleh Program DX 7.0® (Kumari et al. 2008). Pada plot kenormalan residual terdapat nilai internally studentized residual pada sumbu x, yaitu besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan dan nilai normal % probability, yaitu persentase kemungkinan data hasil respon menyebar normal (Cornell 1999). Analisis respon rendemen Rendemen produk dari suatu pengolahan merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam suatu proses industri dan pengembangan produk selanjutnya. Jumlah rendemen ATC yang optimal akan menentukan efisiensi perlakuan dalam proses pengolahan. Rendemen ATC yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berat ATC yang terkandung dalam rumput laut kering dibagi dengan berat bahan baku rumput laut kering dan dinyatakan dengan persen. Semakin tinggi rendemen semakin besar output yang dihasilkan. Penentuan rendemen ATC dilakukan berdasarkan metode Neish (1989). Hasil uji respon rendemen ATC berkisar antara 33.05% hingga 38.77%. Nilai rendemen terendah yaitu 33.05% berasal dari formula 4 dengan model formula kondisi proses yaitu konsentrasi KOH 8%, suhu 80 °C, waktu 1.5 jam. Sedangkan nilai rendemen tertinggi berasal dari formula 1 dengan model formula kondisi proses yaitu konsentrasi KOH 6%, suhu 70 °C, waktu 1.5 jam dan formula 9 dengan model formula kondisi proses yaitu konsentrasi KOH 7%, suhu 70 °C, dengan waktu 1 jam. Nilai rata-rata (mean) dari respon rendemen adalah 36.98% dengan nilai standar deviasi sebesar 0.92%. Secara keseluruhan kisaran nilai rendemen ATC yang telah dihasilkan dalam penelitian ini sudah memenuhi standar minimum rendemen karaginan dalam bentuk SRC yang telah ditetapkan sebagai standar kualitas yang digunakan untuk membandingkan kualitas SRC antara Filipina dengan Indonesia yaitu minimal 28%, dan bahkan lebih tinggi dari rendemen SRC yang ditetapkan oleh Indonesia E. cottonii (aktual) yang kisarannya 17–23% (Dakay 2008). Tabel 4.4, terlihat bahwa nilai rendemen ATC berbeda-beda dari setiap formula kondisi proses. Konsentrasi KOH dapat mempengaruhi rendemen yang dihasilkan, dimana perlakuan alkali membantu ekstraksi polisakarida menjadi sempurna, juga mempercepat terbentuknya 3,6-anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi berlangsung. Rendemen karaginan juga dipengaruhi suhu dan lama kondisi proses pengolahan. Semakin lama proses pengolahan akan meningkatkan rendemen karaginan. Hal ini disebabkan karena semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan pelarut, maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari dinding sel dan menyebabkan rendemen karaginan semakin tinggi. Dengan demikian bahwa kuantitas dan kualitas ATC dapat dipengaruhi oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas bahan baku antara lain kadar air dan kadar pengotor (Oviantari dan Parwata 2007).
38
Hasil analisis pada respon rendemen, model yang direkomendasikan oleh Program DX 7.0® adalah model linear, karena memiliki nilai p "prob>f" lebih kecil dari pada 0.05 (model linear <0.0102). Namun model ini menunjukkan nilai Adjusted R-Squared dan Predicted R-Squared yang lebih kecil, sehingga proses analisis dilanjutkan dan ditetapkan reduced quadratic model, karena model ini yang memiliki Adjusted R-Squared dan Predicted R-Squared yang lebih besar dibandingkan dengan model yang lain. Selain itu, apabila terdapat lebih dari satu model yang direkomendasikan, maka yang dipilih adalah model dengan polinomial yang lebih tinggi (Anonim 2006). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p "prob>f" lebih kecil dari 0.05 (0.0037). Hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa masing-masing komponen yaitu konsentrasi KOH, suhu, waktu dan interaksi antar suhu, berpengaruh nyata (signifikan) terhadap respon rendemen. Lack of Fit F-Value sebesar 3.01 dengan nilai p "prob>f" lebih besar dari 0.05 (0.2733) menunjukkan Lack of Fit yang tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan merupakan syarat untuk model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon rendemen dengan model (Keshani et al. 2010). Besarnya nilai Pred R-Squared dan Adj R-Squared untuk respon rendemen secara berturut-turut adalah 0.4139 dan 0.6668 yang menunjukkan bahwa datadata yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon rendemen tercakup ke dalam model sebesar 41.39% dan 66.68%. Adeq Precision untuk respon rendemen adalah 9.402, lebih besar dari 4 yang mengindikasikan model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik sehingga diharapkan dapat memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon rendemen adalah sebagai berikut: Rendemen = - 0.97A + 6.59B – 1.79C – 0.05B2 Keterangan: A adalah konsentrasi KOH (%), B adalah suhu (°C), C adalah waktu (jam). Persamaan tersebut menunjukkan bahwa besarnya pengaruh masing-masing variabel terhadap respon rendemen. Peningkatan respon rendemen berbanding lurus dengan peningkatan komponen suhu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif, dan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi KOH, waktu dan interaksi antar suhu. Suhu yang semakin tinggi akan memperlebar jarak antar molekul dalam suatu padatan, termasuk rumput laut (Foust 1959). Renggangnya molekul dalam padatan rumput laut, menyebabkan alkali akan lebih mudah masuk sehingga karaginan yang terekstrak akan lebih banyak. Akan tetapi pada suhu 80 °C rendemen karaginan semakin menurun, karena terjadi degradasi yang semakin cepat yang pada akhirnya akan merusak material yang akan diproses dalam hal ini karaginan. Ekstraksi akan berlangsung cepat pada suhu yang tinggi, tetapi dapat mengakibatkan beberapa komponen dalam karaginan akan rusak (Stanley 1987; Neish 1989). Menurunnya rendemen dengan meningkatnya konsentrasi KOH, waktu dan interaksi antar suhu diduga berkaitan dengan jaringan selulosa pada rumput laut
39
yang menjadi lunak dengan konsentrasi KOH yang semakin tinggi, karena KOH selain sebagai agen demineralisasi, juga berfungsi sebagai agen hidrolisis (Griffin 1970). Sehingga pada penambahan KOH 8% diduga terjadi kondisi proses yang tidak diharapkan karena karaginan ke luar (larut) sebelum waktunya dan mengurangi rendemen yang diperoleh. Hal ini sejalan dengan penelitian Basmal et al. (2003) rendemen karaginan menurun pada konsentrasi KOH yang lebih tinggi, karena pada saat pembentukan kappa karaginan, kation K+ terperangkap dalam koagulan karaginan sehingga menyebabkan kation K+ sulit untuk membentuk kappa karaginan, selain itu dengan konsentrasi KOH yang tinggi memungkinkan terjadi hidrolisis. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 4.3 menunjukkan data-data untuk respon rendemen yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon rendemen (Kumari et al. 2008). Design-Expert® Software Rendemen
Norm al Plot of Res iduals
Color points by value of Rendemen: 38.77 99
33.05
Normal % Probability
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.93
-1.00
-0.07
0.87
1.80
I nt ernally St udent ized R es iduals
Gambar 4.3 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon rendemen Grafik contour plot pada Gambar 4.4, memperlihatkan bagaimana kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon rendemen. Warnawarna yang berbeda pada grafik contour plot menunjukkan nilai rendemen. Warna biru menunjukkan nilai respon rendemen terendah, yaitu 33.05%. Warna merah menunjukkan respon rendemen tertinggi, yaitu 38.77%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon rendemen yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 4.5. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antar komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon rendemen yang rendah sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon rendemen yang tinggi.
40
Design-Expert® Software
Rendem en
Rendemen Design Points 38.77
80.00
35.176 35.8983
33.05
36.6205 X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu
77.50
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 1.50
37.3428
3
75.00
38.0651
72.50
36.6205
70.00 6.00
6.50
7.00
7.50
8.00
A: Kons . KOH
Gambar 4.4 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen Design-Expert® Software Rendemen 38.77 33.05 X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu
38.8 Actual Factor C: Waktu = 1.50
Rendemen
37.35
35.9
34.45
33
80.00
8.00 77.50
7.50 75.00
B: Suhu
7.00 72.50
6.50 70.00
6.00
A : Kons. KOH
Gambar 4.5 Grafik tiga dimensi hasil uji respon rendemen Analisis respon kekuatan gel Kekuatan gel dinyatakan sebagai breaking force yang didefinisikan sebagai beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan matrik polimer pada daerah yang dibebani (Whyte dan Englar 1992). Semakin berat beban yang diperlukan maka kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kekuatan
41
gel sangat penting untuk menentukan perlakuan yang terbaik dalam proses ekstraksi karaginan. Kemampuan membentuk gel merupakan salah satu sifat karaginan yang menjadi dasar penggunaannya pada berbagai industri. Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain tergantung pada jenisnya. Gel memiliki sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan. Hasil pengukuran respon kekuatan gel yang telah dilakukan, berkisar antara 611.18 g/cm2 – 1 171.18 g/cm2. Nilai kekuatan gel terendah yaitu 611.18 g/cm2 berasal dari formula 1 dengan model formula kondisi proses yaitu konsentrasi KOH 6%, suhu 70 °C, dan waktu 1.5 jam. Sedangkan nilai kekuatan gel tertinggi yaitu 1 171.18 g/cm2 berasal dari formula 3 dengan model formula kondisi proses yaitu konsentrasi KOH 6%, suhu 80 °C, dan waktu 1.5 jam. Nilai rata-rata (mean) dari respon kekuatan gel adalah 950.44 g/cm2 dengan standar deviasi sebesar 27.49. Jika dilihat dari besarnya nilai kekuatan gel yang diperoleh maka secara umum nilai kekuatan gel dalam penelitian ini lebih tinggi bila dibanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehta et al. (2007) dengan kekuatan gel sebesar 450 – 630 g/cm2 dan bahkan lebih tinggi dari KCl gel strength (in SRC) yang dijadikan standar perbandingan kualitas E. cottonii Phillipina dengan Indonesia yang mensyaratkan minimum 750 g/cm2, serta yang dipersyaratkan oleh Indonesia E. cottonii (aktual) yang kisarannya 500 – 780 g/cm2. Tingginya nilai kekuatan gel, disebabkan karena pada saat proses ekstraksi terjadi transformasi gugus sulfat oleh ion K+ dari larutan KOH dan membentuk kalium sulfat di larutan. Sifat sulfat yang mengikat molekul air mudah menguap, sehingga ikut teruapkan dengan adanya panas (eliminasi sulfat). Eliminasi sulfat menyebabkan kekuatan gel meningkat karena pembentukan 3,6 anhidrogalaktosa menjadi sempurna, hasil akhir dari reaksi tersebut, terjadi pembentukan kappa karaginan dan air (Mustapha et al. 2011). Kemampuan alkali yang digunakan dalam proses pengolahan, berkaitan dengan keberadaan gugus sulfat yang dapat mempengaruhi pembentukan gel karaginan. Towle (1973) menyatakan tingginya kekuatan gel dipengaruhi oleh adanya kation K+, serta berbagai jenis pelarut yang menghambat terbentuknya hidrokoloid. Demikian pula pernyataan Chapman dan Chapman (1980) dan Glicksman (1983), bahwa kemampuan pembentukan gel pada kappa karaginan terjadi pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible, artinya gel akan mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan maka akan membentuk gel kembali. Berdasarkan analisis yang dilakukan, model polinomial dari respon kekuatan gel adalah reduced cubic. Model polinomial yang direkomendasikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken adalah linear, tetapi model ini memberikan nilai Lack of Fit yang signifikan yang menunjukkan bahwa kemungkinan model yang dihasilkan tidak dapat memberikan prediksi yang baik dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu dilakukan reduksi model dengan cara backward elimination. Reduksi model yang dilakukan menghilangkan interaksi
42
antar suhu, interaksi antar komponen A2C (konsentrasi KOH dan waktu), interaksi komponen BC (suhu dan waktu) dan interaksi komponen AB2 (konsentrasi KOH dengan interaksi antar komponen suhu), karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced cubic) signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (<0.0001). Hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa konsentrasi KOH, suhu, waktu, interaksi antara konsentrasi KOH dan suhu, interaksi antar konsentrasi KOH, interaksi antar waktu dan interaksi antar konsentrasi KOH dan suhu, berpengaruh secara nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap respon kekuatan gel karena memiliki nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05. Namun interaksi antara konsentrasi KOH dan waktu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel karena memiliki nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 yaitu 0.0574. Nilai Lack of Fit F-Value sebesar 1.24 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.4913) menunjukkan Lack of Fit yang tidak signifikan. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena terdapat kesesuaian data respon kekuatan gel dengan model. Selanjutnya dilihat nilai Pred R-Squared dan Adj R-Squared secara berturut-turut adalah 0.8442 dan 0.9672, artinya data-data yang diprediksikan dan data-data aktual respon kekuatan gel tercakup dalam model sebesar 84.42% dan 96.72%. Demikian pula nilai Pred R-Squared yang dihasilkan mendukung nilai Adj R-Squared karena selisih keduanya lebih kecil dari 0.2. Adequate Precision untuk respon kekuatan gel adalah 26.294 lebih besar dari 4, mengindikasikan model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik sehingga diharapkan memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon kekuatan gel adalah sebagai berikut: Kekuatan gel = 29030.24A + 1488.61B – 521.89C – 406.91AB – 64.49AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02A2B Keterangan: A adalah konsentrasi KOH (%), B adalah suhu (°C), C adalah waktu (jam). Persamaan tersebut menunjukkan bahwa respon kekuatan gel akan meningkat berbanding lurus dengan konsentrasi KOH, suhu, interaksi antar waktu dan interaksi antar konsentrasi KOH dan suhu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif. Kekuatan gel akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya waktu, interaksi antara konsentrasi KOH dengan suhu, interaksi antara konsentrasi KOH dengan waktu dan interaksi antar konsentrasi KOH. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 4.6 menunjukkan data-data untuk respon kekuatan gel yang menyebar normal, diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kekuatan gel.
43
Design-Expert® Software Kekuatan gel
Norm al Plot of Res iduals
Color points by value of Kekuatan gel: 1171.18 99
611.18
Normal % Probability
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.65
-0.87
-0.08
0.70
1.49
Internally Studentized R es iduals
Gambar 4.6 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kekuatan gel Grafik contour plot pada Gambar 4.7, memperlihatkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kekuatan gel, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon kekuatan gel terendah yaitu 611.18 g/cm2, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon kekuatan gel tertinggi yaitu 1 171.18 g/cm2. Garis-garis yang terdiri atas titiktitik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga komponen formula proses ekstraksi dengan proporsi berbeda yang menghasilkan nilai respon kekuatan gel yang sama. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 4.8 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen formula kondisi proses. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kekuatan gel yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kekuatan gel yang tinggi.
44
Design-Expert® Software
Kekuatan gel
Kekuatan gel Design Points 1171.18
80.00
1092.24
611.18
905.569
998.902
X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu
77.50
998.902
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 1.50
3
75.00
812.236
72.50
718.902
70.00 6.00
6.50
7.00
7.50
8.00
A: Kons . KOH
Gambar 4.7 Grafik contour plot hasil uji respon kekuatan gel Design-Expert® Software Kekuatan gel 1171.18 611.18 X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu
1190 Actual Factor C: Waktu = 1.50
Kekuatan gel
1045
900
755
610
80.00
8.00 77.50
7.50 75.00
B: Suhu
7.00 72.50
6.50 70.00
6.00
A : Kons. KOH
Gambar 4.8 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kekuatan gel Tahap optimasi formula Proses optimasi dilakukan berdasarkan kriteria yang diinginkan. Nilai variabel respon yang didapat dari setiap kondisi proses dimasukkan ke dalam Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Program ini kemudian akan mengolah semua variabel respon, dan memberikan beberapa solusi sebagai formula terpilih sesuai dengan target optimasi yang diinginkan. Target optimasi dimaksudkan untuk meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya
45
operasional dan memaksimumkan yang diinginkan. Proses pengolahan ATC diharapkan menekan sedikit mungkin penggunaan konsentrasi KOH, namun respon rendemen dan kekuatan gel ATC diharapkan maksimum. Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken telah menyediakan tingkat kepentingan variabel respon yang dapat ditingkatkan dengan memberikan pembobotan yang disebut importance. Pembobotannya dipilih mulai dari 1 (+) hingga 5 (+++++) tergantung tingkat kepentingan yang diinginkan. Semakin banyak tanda positif menunjukkan tingkat kepentingan terhadap variabel respon yang semakin tinggi. Berikut adalah Tabel 4.5, yang menunjukkan komponenkomponen dan respon yang dioptimasi, targetnya, batas minimum dan maksimumnya, serta importance pada tahap optimasi formula dengan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Pada penelitian ini, ditetapkan konsentrasi KOH dengan kisaran 6–8% merupakan komponen yang dioptimalkan dengan goal minimize dengan Berkaitan dengan aplikasi di lapangan sebaiknya importance 3 (+++). penggunaan KOH diminimalisasi, tanpa mengurangi fungsinya terhadap mutu ATC yang dihasilkan. Selain dari segi efisiensi, juga akan berdampak pada lingkungan. Suhu dan waktu proses pengolahan dioptimalkan in range dengan importance 3 (+++). Suhu dan lamannya waktu proses pengolahan akan mempengaruhi kualitas karaginan yang dihasilkan. Tabel 4.5 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan pada tahapan optimasi formula Komponen/ respon Goal Batas bawah Batas atas Konsentrasi KOH Minimize 6 8 Suhu In range 70 80 Waktu In range 1 2 Rendemen Maximize 33.05 8.77 Kekuatan gel Maximize 611.20 1 171.18
importance Importance 3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 5 (+++++) 5 (+++++)
Rendemen dengan kisaran 33.05%–38.77% merupakan respon yang dioptimalkan dengan goal maximize pada importance 5 (+++++). Respon kekuatan gel dengan range 611.2 g/cm2–1 171.18 g/cm2 dioptimalkan dengan target respon goal maximize dengan importance 5 (+++++). Rendemen merupakan respon yang sangat menentukan efisiensi proses suatu usaha, demikian pula kekuatan gel, erat kaitannya dengan sifat fungsionalnya yang dibutuhkan oleh industri. Respon-respon ini diukur untuk memperkirakan kondisi proses pengolahan yang digunakan tidak menyimpang dari karakteristik produk yang diinginkan. Dari tahap optimasi yang dilakukan, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, akan memberikan solusi formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi, yang kemudian akan direkomendasikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken sebagai solusi kondisi proses optimum. Nilai desirability merupakan nilai target optimasi yang ingin dicapai, ditunjukkan dengan nilai 0–1 (Raissi dan Farzani 2009). Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan semakin tingginya kesesuaian formula kondisi proses untuk mencapai formula optimal dengan variabel respon yang dikehendaki.
46
Solusi formula terpilih, yaitu formula dengan kondisi proses konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67 oC dengan lama proses 1 jam. Formula ini diprediksi akan memiliki rendemen sebesar 38.09%, kekuatan gel sebesar 1 135.50 g/cm2 dengan nilai desirability sebesar 0.928. Hal ini berarti formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 92.8%. Gambar 4.9 dan Gambar 4.10 menjelaskan hasil optimasi dalam bentuk contour plot (2D) dan grafik tiga dimensi (3D). Contour plot merupakan gambaran dua dimensi dari respon yang disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon rendemen dan kekuatan gel. Garis-garis yang terdiri dari titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama. Titik prediksi pada gambar tersebut menunjukkan kombinasi antara konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67 °C dan waktu 1 jam yang menghasilkan nilai desirability sebesar 0.928. Grafik tiga dimensi (3D) menunjukkan proyeksi dari grafik contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai desirability yang tinggi. Design-Expert® Software
Desirability
Desirability Design Points 1
80.00
Prediction
0.928
0
X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu
77.50
0.774
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 1.00
0.464 75.00
0.619
72.50
0.464 70.00 6.00
6.50
7.00
7.50
8.00
A: Kons. KOH
Gambar 4.9 Grafik contour plot nilai desirability kondisi proses optimum
47
Design-Expert® Software Desirability 1 0 X1 = A: Kons. KOH X2 = B: Suhu Actual Factor C: Waktu = 1.000
0.9600
Desirability
0.7200 0.4800 0.2400 0.0000
80.00
8.000 77.50
7.500 75.00
B: Suhu
7.000 72.50
6.500 70.00
6.000
A: Kons. KOH
Gambar 4.10 Grafik tiga dimensi nilai desirability kondisi proses optimum Tahap verifikasi Tahap verifikasi bertujuan untuk melakukan pembuktian terhadap prediksi dari nilai respon solusi kondisi proses optimum yang diberikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Pada tahapan verifikasi, nilai respon aktual yang diperoleh dibandingkan dengan nilai respon prediksi yang dihasilkan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Di samping itu nilai respon dari setiap solusi formula optimum yang diberikan, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken juga memberikan Confident Interval dan Prediction Interval untuk setiap nilai respon prediksi pada taraf signifikansi 5%. Confident Interval adalah rentang yang menunjukkan ekspektasi rata-rata hasil pengukuran berikutnya pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini 5%. Prediction Interval adalah rentang yang menunjukkan ekspektasi hasil pengukuran respon berikutnya dengan kondisi sama pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini 5%. Berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan, diperoleh ATC dengan respon rendemen sebesar 38.72% dan kekuatan gel 1 105.31 g/cm2. Tabel 4.6 Prediksi dan hasil verifikasi nilai respon solusi formula optimum hasil optimasi dengan Program DX 7.0® Formula Respon Prediksi Hasil 95%CI 95%CI 95%PI 95% PI verifikasi Low High Low High Rendemen(%) 38.09 38.72 36.82 39.36 35.67 40.50 Kekuatan gel (g/cm2) 1 135.50 1 105.31 1 069.5 1 201.50 1 041.30 1 229.75
48
Tabel 4.6, diketahui bahwa uji mutu hasil verifikasi solusi formula optimum yang direkomendasikan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, berada di kisaran antara 95% CI low–95% CI high dan 95% PI low–95% PI high. Dengan demikian solusi formula yang diprediksikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, sesuai dengan hasil uji respon aktual yang diperoleh (Noordin et al. 2004).
Simpulan Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas yang baik bila dilihat dari uji mutu kadar air, CAW dan logam beratnya, karena telah sesuai dengan standar persyaratan permintaan industri-industri karaginan terhadap bahan baku rumput laut kering. Berdasarkan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, diperoleh solusi formula optimum yang diprediksi dapat menghasilkan ATC dengan mutu rendemen dan kekuatan gel yang optimal. Kondisi proses pengolahan ATC dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67 °C selama 1 jam, direkomendasikan sebagai kondisi proses yang optimal, karena memiliki nilai desirability yang tinggi yaitu 0.92. Hasil verifikasi kondisi proses optimum untuk pengolahan ATC pada skala laboratorium, dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67 °C selama 1 jam, menghasilkan ATC dengan rendemen sebesar 38.72% dan kekuatan gel 1 105.31 g/cm2. Hasil uji mutu ATC yang diperoleh telah memenuhi persyaratan standar mutu karaginan yang dipersyaratkan dalam perbandingan kualitas E. cottonii Filipina dan Indonesia.
49
5 PRODUKSI REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA SKALA PILOT PLANT: (Optimasi Kondisi Proses Ekstraksi dengan Air Setelah Perlakuan Alkali) Abstract Refined carrageenan is extracted from the red alga and has undergone purification process. Its process can be conducted in several stages. The first phase is the hot alkali treatment, and the second stage is extraction with water. Important factors affecting the commercial production of carrageenan after the alkali treatment were the ratio of seaweed to water, temperature, and extraction time. Variation in extraction conditions will effect the characteristics of the carrageenan. The optimum conditions for the extraction were the ratio of seaweed to water, temperature, and extraction time from Kappaphycus alvarezii were determined using Response Surface Methodology Box-Behnken Design. Based on the RSM approach, it was known that ratio of the seaweed to water, temperature and extraction time have a significant influence on the seaweed extraction to carrageenan. Optimum extraction conditions were obtained from seaweed to water ratio of 1:25.22, extraction temperature of 85.80 °C and extraction time of 4 h. Under the optimal conditions, the RC yield was 31.74%, the moisture content was 10.69%, the ash content was 30.52%, the acid insoluble content was 0.21%, the sulphate content was 17.12%, the gel strength was 1 833.37 g.cm-2, the viscosity was 27 cP and the whiteness was 74.8. Key words: extraction, optimization, pilot plant, refined carrageenan, response surface methodology
Pendahuluan Dewasa ini, aplikasi refined carrageenan (RC) terhadap produk pangan dan non pangan semakin meluas, menyebabkan kebutuhan industri akan polimer ini semakin tinggi. Dalam aplikasinya, RC digunakan sebagai stabilizer (pengatur keseimbangan), thickener (pengental), gelling agent (pembentuk gel), emulsifier (pengemulsi) dan lain-lain (Van de Velde et al. 2002; Campo et al. 2009). Menurut Bixler dan Porse (2010) saat ini kebutuhan akan RC di berbagai produk industri paling banyak ditemukan pada industri daging dengan kisaran mencapai 37%, kemudian industri minuman 28%, industri makanan water gels 17%, industri pakan 10% dan industri pasta gigi 4%. Karena itu, Indonesia sebagai produsen utama rumput laut penghasil karaginan, mempunyai peluang yang cukup besar dalam hal pengembangan industri RC. RC merupakan hasil ekstraksi dari rumput laut merah yang telah mengalami proses pemurnian. Proses pengolahannya dapat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan dengan perlakuan alkali panas yang ditujukan untuk mereduksi gugus sulfat yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan (Neish 1989; Pelegrin dan Robledo 2008), kemudian
50
dilanjutkan dengan proses ekstraksi dengan air sebagai tahap kedua. Ekstraksi dengan air pada proses produksi RC, bertujuan melarutkan atau menarik polisakarida dari thallus rumput laut ke dalam bentuk bubur, memudahkan dalam proses filtrasi dan meningkatkan rendemen RC (Montolulu et al. 2008; Distantina et al. 2009). Faktor penting yang mempengaruhi proses produksinya secara komersial antara lain, rasio rumput laut terhadap air, suhu dan lamanya proses ekstraksi. Penggunaan jumlah air yang tidak proporsional dalam proses ekstraksi akan bermasalah dalam proses penarikan polisakarida serta mutu produk yang dihasilkan (Rees 1969; Basmal et al. 2005). Lagi pula temperatur dan waktu proses bergabungnya seluruh fraksi karaginan dari rumput laut dengan fraksi air yang digunakan sebagai media pelarut akan mempengaruhi kecepatan dan daya larut karaginan. Beberapa penelitian yang mengkaji proses ekstraksi RC telah dilakukan, antara lain Tuvikene et al. (2006) melakukan ekstraksi dengan berbagai jenis pelarut (Air, KOH dan NaOH). Hal yang sama dilakukan pula Distantina et al. (2009) dengan kajian yang berbeda. Bawa et al. (2007), mengekstraksi karaginan melalui pemucatan dengan NaOH, kemudian dipanaskan pada suhu tinggi. Montolulu et al. (2008), ekstraksi dengan air pada suhu 50–70 °C memungkinkan untuk menghasilkan rendemen yang tinggi dan berat molekul yang tinggi. Basmal et al. (2009), melakukan ekstraksi dengan proses ATC terlebih dahulu. Hakim et al. (2011), mengekstraksi karaginan dengan memodifikasi metode Basmal et al. (2009). Akan tetapi, penelitian tersebut masih dalam skala laboratorium, demikian pula kuantitas dan kualitas RC yang dihasilkan berbeda-beda, sehingga aplikasinya di lapangan dalam bentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak dapat langsung diadopsi. Pengembangan kajian selanjutnya lebih diarahkan pada kegiatan uji coba pada skala pilot plant. Pengolahan RC pada skala pilot plant merupakan kunci penghubung pengolahan RC dari skala laboratorium menuju skala industri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kombinasi kondisi proses rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi merupakan bagian dari kondisi proses yang perlu dikontrol, sehingga nantinya dapat diperoleh kondisi optimum pengolahan RC dengan skala pilot plant. Optimalisasi kondisi proses dalam memproduksi RC pada skala pilot plant, merupakan upaya untuk mengaplikasikan proses produksi karaginan dalam skala industri kecil. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi proses optimal dalam memproduksi RC pada skala pilot plant sehingga dapat dijadikan acuan untuk dibangunnya industri dalam bentuk UKM guna memenuhi kebutuhan RC di Indonesia.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 hingga bulan September 2012. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Pengolahan, dan Laboratorium Kimia, Balai Besar Penelitian dan
51
Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut jenis K. alvarezii yang diperoleh dari perairan Bali. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), celite, kalium klorida (KCl) serta bahan-bahan kimia pro analysis (p.a) untuk uji mutu, diperoleh dari Toko Harum Kimia di Jakarta. Peralatan utama yang digunakan adalah timbangan, alat pencucian rumput laut (mollen), hydraulic press, filter press, alat pengering rumput laut (try dryer), wadah fiber, wadah plastik, keranjang plastik, kain blacu, panci double jacket, stopwatch, thermocouple, pH meter digital (Merk ATC tipe pH108), tangki ekstraksi dengan kapasitas 200 L, tangki ekstraksi dengan kapasitas 1000 L (skala pilot plant), peralatan untuk analisis seperti hot plate, magnetic stirrer, TA-XT Texture Analyzer (Stable Micro Systems), oven, chopper, grinder, dan peralatan gelas. Tangki ekstraksi yang digunakan pada skala pilot plant merupakan alat yang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Tangki ini terbuat dari bahan plat stainless steel, berbentuk silinder double jacket vertikal dengan pemanas air yang diletakkan di antara silinder pembentuk. Pemasukan bahan rumput laut yang diekstrak dilakukan dari bagian atas. Tangki pengekstrak diletakkan pada penyangga dari besi untuk mempermudah pengoperasiannya. Metode Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian adalah untuk memperoleh kondisi proses optimal dalam memproduksi RC skala pilot plant (20 kg) dengan reaktor berkapasitas 1000 liter. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Penentuan kondisi proses ekstraksi dalam memproduksi refined carrageenan Proses produksi RC dilakukan secara bertahap, tahap pertama dilakukan dengan perlakuan alkali, dan tahap kedua ekstraksi dengan air. Tahap perlakuan alkali, telah dihasilkan kondisi proses yang optimum sebagai data dasar untuk perlakuan alkali. Akan tetapi penentuan kondisi prosesnya pada skala pilot plant, diperlukan pengujian secara trial and error. Setelah kondisi perlakuan alkali ditentukan, dilanjutkan ekstraksi dengan air. Ekstraksi tahap kedua ini, merupakan bagian yang akan dioptimasi dalam memproduksi RC skala pilot plant. Tahapan selengkapnya sebagai berikut : Uji coba perlakuan alkali dari skala laboratorium ke skala pilot plant Pada tahap ini dilakukan perlakuan alkali berdasarkan kondisi optimum yang diperoleh dari hasil penelitian tahap pertama, dengan menggunakan reaktor berkapasitas 200 kg. Rumput laut kering yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 kg. Pengujian dilakukan secara trial and error untuk menentukan kondisi proses pengolahan yang dapat menghasilkan produk ATC terbaik. Kriteria ATC terbaik adalah produk dari proses yang memiliki rendemen dan kekuatan gel yang tinggi. Kondisi proses yang diuji yaitu: A) KOH 6%, suhu 78
52
°C, 1 jam; B) KOH 6%, suhu 75 °C, 1 jam; C) KOH 6%, suhu 85 °C, 2 jam; dan D) KOH 8%, suhu 70°C, 2 jam. Perlakuan diulang sebanyak dua ulangan sehingga diperlukan 8 sampel percobaan. Selanjutnya ATC yang dihasilkan dari setiap kondisi proses tersebut, dilakukan uji mutu rendemen dan kekuatan gel. Aliran proses pengolahan ATC skala pilot plant dapat dilihat pada Gambar 5.1. Rumput laut K. alvarezii kering
Pencucian Perlakuan dengan alkali (Konsentrasi KOH, suhu dan waktu) (A, B, C, dan D) Netralisasi Chopper Pengeringan Alkali treated cottonii
Uji mutu: - Rendemen - Kekuatan gel
Gambar 5.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala pilot plant Uji coba kondisi proses ekstraksi dengan air skala laboratorium ke skala pilot plant Pada tahap ini dilakukan pengujian proses ekstraksi dengan air, dengan kondisi ekstraksi optimum skala laboratorium berdasarkan hasil penelitian Hakim et al. (2011). Kondisi proses optimum dari hasil penelitian Hakim et al. (2011), adalah rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 90-95 °C dan waktu 2 jam. Penentuan kisaran yang akan dijadikan pengujian trial and error, diperoleh dari sintesis terhadap beberapa kajian peneliti sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, di antaranya: Suryaningrum et al. (2003), mengekstraksi RC dari ATC dengan rasio rumput laut terhadap air 1:60 pada suhu 90±5 °C, dengan waktu 3 jam. Pada kondisi tersebut rendemen yang dihasilkan 27.55–49.03%, dengan kekuatan gel 550 g/cm2. Tuvikene et al. (2006), mengekstraksi karaginan dengan jenis pelarut berbeda (air, NAOH dan KOH) dengan rasio rumput laut terhadap air 1:20 dan 1:27, rendemen dan kekuatan gel yang tinggi dihasilkan dari pelarut KOH dengan waktu 3-4 jam. Hal yang sama dilakukan oleh Distantina et al. (2009), namun rasio rumput laut terhadap air yang berbeda yaitu 1:30, dengan suhu 90 °C. Kondisi proses tersebut menghasilkan karaginan dengan rendemen tertinggi dari ekstraksi dengan air, namun kekuatan gel yang rendah, sebaliknya dengan pelarut KOH dan NaOH dihasilkan kekuatan gel yang tinggi, tapi rendemen yang rendah. Mappiratu (2009), mengekstraksi RC dengan NaOH
53
dengan rasio rumput laut terhadap air 1:55, menghasilkan karaginan dengan rendemen 33.01% dan kekuatan gel 522 g/cm2. Hakim et al. (2011), mengekstraksi RC dengan rasio rumput laut terhadap air 1:20, pada suhu 90±5 °C, waktu 2 jam menghasilkan rendemen 31.77%, kekuatan gel 1 897.14 g/cm2. Berdasarkan acuan tersebut, dan disesuaikan dengan kapasitas alat yang digunakan, ditentukan kisaran kondisi proses ekstraksi dengan air yaitu rasio rumput laut terhadap air 1:20 sampai 1:35, suhu 85 sampai 95 °C dan waktu 2 sampai 4 jam. Selanjutnya kisaran tersebut dikelompokkan kondisi prosesnya yaitu A dengan rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 85 ºC, waktu 2 jam dan B dengan rasio rumput laut terhadap air 1:35, suhu 95 ºC, waktu 4 jam. Kondisi proses yang telah dikelompokkan tersebut diuji secara trial and error, dan setiap analisis dilakukan minimal 2 ulangan. Aliran proses ekstraksi RC dapat dilihat pada Gambar 5.2. Produk RC dari kedua kondisi proses tersebut dilakukan uji mutu dengan menghitung rendemen dan kekuatan gel. Rendemen diukur berdasarkan metode Neish (1989), sedangkan kekuatan gel diukur berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp (1977). Prosedur uji mutu secara lengkap dapat dilihat pada bagian prosedur analisis. Untuk membedakan kedua kondisi proses tersebut, dilakukan uji T sampel independen dengan Program SPSS V.17. Penentuan kisaran minimum dan maksimum, jika hasil uji T dinyatakan berbeda nyata. Hasil yang diperoleh pada tahap ini ditentukan sebagai kisaran minimum dan maksimum pada Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken untuk merancang formula dalam memproduksi RC skala pilot plant.
54
Rumput laut K. alvarezii kering
Pencucian Perlakuan dengan alkali Netralisasi Celite 2%
Ekstraksi (dengan air)
Filtrasi dengan filter press
Filtrat Presipitasi
Serat karaginan
Pengepresan Pengeringan Penepungan
Refined carrageenan
Uji mutu : Rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas, dan derajat putih
Gambar 5.2 Aliran proses pengolahan refined carrageenan skala pilot plant Optimasi proses produksi refined carrageenan skala pilot plant dengan Program Design Expert 7.0® Tahap ini dilakukan untuk memperoleh kondisi proses ekstraksi dalam memproduksi RC skala pilot plant. Tahap ini diawali dengan tahap perancangan formula, formulasi, analisis respon, optimasi dan tahap verifikasi. Tahap-tahap tersebut dilakukan dengan bantuan Program DX 7.0® rancangan RSM BoxBehnken untuk memperoleh kondisi proses yang dikombinasikan sehingga dihasilkan respon yang optimal.
55
Pada tahap perancangan formula, ditentukan variabel dan rentang nilainya. Variabel adalah komponen dari formula yang mempengaruhi respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel yang digunakan pada proses ekstraksi RC adalah rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi. Respon yang diukur dan dioptimasi adalah rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Tahap formulasi merupakan tahap pembuatan produk RC. Tahap selanjutnya adalah analisis respon yang meliputi penentuan model respon yang tepat. Setelah itu tahap optimasi, yang masing-masing respon (rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih) ditentukan tujuan optimasinya dalam Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Program ini akan melakukan optimasi sesuai data variabel dan data pengukuran respon yang dimasukkan. Keluaran dari tahap optimasi adalah rekomendasi beberapa formula baru yang optimal menurut program. Formula paling optimal adalah formula dengan nilai desirability maksimum. Nilai desirability merupakan nilai fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Kisaran nilainya dari 0 sampai 1.0, nilai desirability yang semakin mendekati nilai 1.0 menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang dikehendaki semakin sempurna. Meskipun tujuan optimasi bukan untuk memperoleh nilai desirability 1.0, namun untuk mencari kondisi terbaik yang mempertemukan semua fungsi tujuan (Raissi dan Farzani 2009). Setelah diperoleh kondisi proses optimum, dilanjutkan ke tahapan verifikasi untuk memastikan kebenaran formula dan persamaan yang didapatkan. Solusi formula optimum yang diberikan juga dilengkapi dengan prediksi nilai setiap respon sehingga dapat dilihat kesesuaiannya pada tahapan verifikasi. Diagram alir penelitian optimasi proses produksi RC skala pilot plant, disajikan pada Gambar 5.3.
56
Trial and error perlakuan alkali pada pengolahan ATC skala pilot plant Uji mutu : - Rendemen - Kekuatan gel
ATC Kondisi perlakuan alkali terbaik
Trial and error proses ekstraksi dengan air, pada proses produksi RC skala pilot plant
A Rasio RL:Air = 1:20 Suhu = 85ºc Waktu = 2 jam
B Rasio RL:Air = 1:35 Suhu = 95ºC Waktu = 4 jam
Refined carrageenan
Uji mutu : - Rendemen - Kekuatan gel
Penentuan kisaran minimum dan maksimum
Pembuatan rancangan proses ekstraksi RC menggunakan Program Design Expert 7.0® RSM
Proses ekstraksi RC sesuai dengan model rancangan dan analisis respon Optimasi proses Verifikasi RC dengan formula optimal
Uji mutu: Rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih
RC dengan formula optimal
Verifikasi Gambar 5.3 Optimasi proses produksi refined carrageenan skala pilot plant.
57
Prosedur analisis Penentuan rendemen (Neish 1989) Penentuan rendemen ATC/RC dilakukan berdasarkan metode Neish (1989). Rendemen dihitung sebagai persentase berat berdasarkan rasio berat antara berat ATC/RC dengan berat rumput laut kering. Persentase rendemen dihitung dengan menggunakan rumus : ( ) Penentuan kadar air (BSN 2006) Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan SNI-01-2354.2-2006. Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam contoh uji dengan cara pemanasan. Kemudian contoh uji ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Oven dikondisikan pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil. Selanjutnya cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 2 jam dan didinginkan dalam desikator sekitar 30 menit, kemudian ditimbang (A g). Contoh uji ditimbang sebanyak ±2 gram ke dalam cawan (B g), kemudian dimasukkan ke dalam oven vakum pada suhu 95-100 °C, dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam. Cawan dipindahkan ke desikator selama ±30 menit. Setelah dingin ditimbang kembali (C g). Kadar air dihitung dengan rumus: ( ) Keterangan : A adalah berat cawan kosong (g), B adalah berat cawan + contoh awal (g), C adalah berat cawan + contoh kering (g). Penentuan kadar abu (BSN 2010) Penentuan kadar abu dilakukan berdasarkan SNI-01-2354.1-2010. Prinsipnya adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2). Zat anorganik yang tidak ikut terbakar disebut abu. Cawan porselin kosong yang akan digunakan untuk pengabuan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100 °C, kemudian cawan tersebut didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Cawan yang telah dingin dan uap airnya telah hilang, ditimbang (A g). Ke dalamnya dimasukkan contoh uji sebanyak 2 g. Kemudian dioven pada suhu 100 oC selama 16-24 jam. Lalu dipindahkan ke tungku pengabuan, suhu dinaikkan secara bertahap mencapai suhu 550±5 oC dipertahankan selama 16-24 jam sampai diperoleh abu berwarna putih. Cawan porselin di keluarkan setelah suhu sekitar 40 oC dan dimasukkan ke dalam desikator ±30 menit sampai mencapai suhu ruang. Selanjutnya ditimbang beratnya segera setelah dingin sampai diperoleh berat konstan (B g). Kadar abu dihitung dengan rumus :
58
(
( )
) ( )
Keterangan : A adalah berat cawan porselin kosong (g), B adalah berat cawan dengan abu (g). Penentuan kadar abu tak larut asam (BSN 2010) Penentuan kadar abu tak larut asam dilakukan berdasarkan SNI-01-2354.12010 (BSN 2010). Hasil pengujian kadar abu dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ke dalamnya dilarutkan dengan penambahan 25 ml HCl 10% dan didihkan selama 5 menit. Larutan disaring dengan kertas saring tak berabu (Whatman 41) dan dicuci dengan air suling sampai bebas klorida/bebas asam. Tetesan buangan diteteskan pada kertas pH. Jika nilai pH 7 berarti sudah bebas asam. Selanjutnya kertas saring yang berisi abu tak larut asam dikeringkan dalam oven 100±2 oC. Cawan porselin kosong ditimbang sampai konstan (A g) dan dimasukkan kertas saring kering yang berisi abu tak larut asam. Cawan abu porselin dipindahkan ke tungku pengabuan, temperatur dinaikkan secara bertahap sampai suhu 550 oC, dan dipertahankan selama 16-24 jam. Setelah selesai, suhu tungku pengabuan diturunkan mencapai sekitar 40 oC, cawan porselin di keluarkan dan dimasukkan ke dalam desikator sekitar 30 menit. Beratnya ditimbang (C g) segera setelah dingin sampai diperoleh berat konstan. Kadar abu tak larut asam dihitung dengan rumus: ( )
( )
Keterangan : A adalah berat cawan porselin kosong (g), C adalah berat cawan dengan abu tak larut dalam asam (g). Penentuan kadar sulfat (Marine Colloids FMC Corp 1977) Penentuan kadar sulfat dilakukan berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp 1977. Contoh uji ditimbang sebanyak 1 g (A), dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, ke dalamnya ditambahkan 100 ml HCl 0,2 N kemudian direfluks sampai mendidih selama 6 jam sampai larutan jernih. Larutan diambil sebanyak 50 ml dan dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih. Selanjutnya ditambahkan 50 ml larutan BaCl2 2% (rasio 1:1) di atas penangas air selama 2 jam. Endapan yang terbentuk (BaSO4 = putih) disaring dengan kertas saring tak berabu (B g) dan dicuci dengan aquades mendidih hingga bebas klorida (HCl). Kertas saring dikeringkan ke dalam oven pengering kemudian diabukan pada suhu 1000 oC sampai diperoleh abu berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C g). Kadar sulfat dihitung dengan rumus : ( ) Keterangan: P adalah bobot endapan BaSO4 = C – B (g), A adalah bobot sampel (g), 0,4116 adalah Mr SO4/Mr BaSO4 (96.066/233.426).
59
Penentuan kekuatan gel (Marine Colloids FMC Corp 1977) Penentuan kekuatan gel dilakukan berdasarkan metode Marine Colloids FMC Corp 1977. Larutan karaginan dengan konsentrasi 1.5% (b/b) dan KCl 0.6 g, dipanaskan di atas hot plate sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 80 °C selama 15 menit. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 ºC selama 12-16 jam. Gel dalam cetakan dimasukkan ke dalam alat ukur (curd tension meter) sehingga plunger yang akan bersentuhan dengan gel berada di tengahnya. Plunger diaktifkan dan dilakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan saat pegas membalik. Penentuan viskositas (Marine Colloids FMC Corp 1977) Viskositas adalah pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Satuan dari viskositas adalah poise (1 poise = 100 cP). Makin tinggi viskositas menandakan makin besarnya tahanan cairan yang bersangkutan. Pengukuran viskositas dengan menggunakan alat Viscometer Brookfield. Larutan karaginan dengan konsentrasi 1.5% (b/b) dipanaskan di atas hot plate sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 80 ºC selama 15 menit. Viskometer dihidupkan dan suhu larutan diukur. Ketika suhu larutan mencapai 75 ºC, dan nilai viskositas diketahui dengan pembacaan viskometer pada skala 1–100. Pembacaan dilakukan setelah putaran penuh 8 kali untuk spindle no. 2 dengan rpm 60. Hasil pembacaan digandakan 5 kali untuk spindle no. 2 bila dijadikan centipoises. Penentuan derajat putih (Food Chemical Codex 1981) Penentuan derajat putih RC dilakukan dengan menggunakan alat Whiteness Meter KeTT Digital Model C-100. Contoh uji dalam bentuk tepung dimasukkan ke dalam wadah pengukuran sampai penuh lalu ditutup. Sebelumnya alat sudah disiapkan dan dihidupkan. Standar petunjuk harus berada dalam posisi nol. Selanjutnya contoh uji dalam wadah diukur derajat putihnya dengan dimasukkan ke dalam alat pengukur. Nilai yang terbaca pada alat menunjukkan nilai derajat putih dalam persen (warna standar alat 85.4%).
Hasil dan Pembahasan Kajian Proses Produksi Refined Carrageenan Proses produksi RC merupakan proses ekstraksi karaginan dari rumput laut jenis K. alvarezii. Prosesnya diawali dengan persiapan bahan baku yang meliputi penimbangan rumput laut kering sebanyak 20 kg. Rumput laut yang telah ditimbang dicuci pada bak penampungan agar benda asing termasuk pasir, karang, dan garam dapat terlepas dan mengendap di dasar bak penampungan. Selanjutnya dilakukan proses ekstraksi. Tahap ekstraksi merupakan tahap yang paling penting dalam proses produksi karaginan karena akan menentukan kualitas karaginan. Kualitas polisakarida rumput laut sangat bergantung pada parameter ekstraksi seperti suhu, konsentrasi bahan kimia, rasio rumput laut dan media pengekstrak, waktu ekstraksi dan teknik pemisahan polisakarida rumput laut dari bahan lain seperti selulosa, dan garam-garam lain. Semua parameter tersebut akan berpengaruh terhadap nilai viskositas, daya larut, stabilitas produk, dan kekuatan gel serta nilai kekakuan (rigidity) (Towle 1973; Gueseley et al. 1980; Glicksman 1983).
60
Perlakuan tahap pertama dilakukan dengan menggunakan alkali (KOH). Penggunaan alkali dalam proses pengolahan berperan dalam membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhydro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Towle 1973; Mc Hugh 2003; Basmal 2005; Hayashi et al. 2007). Di samping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis karaginan (Guiseley et al. 1980). KOH dipilih karena efek kation terhadap kappa karaginan yang menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan alkali lain seperti NaOH dan Ca(OH)2 (Tuvikene et al. 2006; Distantina et al. 2009; Mustapha et al. 2011). Konsentrasi KOH, suhu dan lamanya proses pengolahan akan menentukan kualitas RC yang dihasilkan. Kondisi proses perlakuan alkali yang dilakukan pada tahap ini ditentukan berdasarkan pengujian trial and error. Setelah perlakuan alkali selesai, dilanjutkan ke proses netralisasi dengan air, menggunakan mollen. Tahap selanjutnya, ekstraksi dengan pelarut air yang bertujuan melarutkan polisakarida dari thallus rumput laut ke dalam bentuk bubur, memudahkan dalam proses filtrasi dan meningkatkan kualitas RC. Proses ini termasuk bagian yang akan menentukan efisiensi proses produksi RC skala besar. Proses ekstraksi dilakukan dengan pengaturan sesuai kondisi proses. Selama proses ekstraksi, pengadukan terus berlangsung menggunakan agitator internal dengan kecepatan 60 rpm. Pada tahap ini, dilakukan penambahan filter aid (celite). Fungsi filter aid di samping untuk menjernihkan filtrat, juga memudahkan dalam proses penyaringan (Dawes 1977; Glicksman 1983). Setelah proses ekstraksi dengan pelarut air selesai, bubur karaginan langsung disaring dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel (Chapman dan Chapman 1980). Pada kondisi suhu ruang, karaginan sangat mudah membentuk gel (penjendalan), sehingga proses penyaringan sebaiknya dilakukan dalam kondisi panas (≥ 60 ºC). Penyaringan adalah suatu unit proses ketika komponen padatan tidak larut dalam suspensi padat-cair, dipisahkan dari komponen cairannya, dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran. Membran ini yang menahan padatan di permukaannya atau dalam struktur di dalamnya atau keduanya. Suspensi padat-cair dikenal sebagai bubur, sedangkan cairan yang melewati mambran saringan disebut filtrat. Padatan yang sudah dipisahkan dari komponen tersebut disebut ampas (Wirakartakusumah et al. 1992). Penyaringan bertujuan untuk menjernihkan campuran larutan dengan cara membuang sejumlah partikel padat atau untuk memisahkan cairan dari bagian padat bahan pangan dengan cara menggunakan saringan (Fellows 1992). Dalam penelitian ini proses penyaringan dilakukan dengan filter press dengan membran filter berukuran >200 mesh. Filtrat yang terbentuk dari proses penyaringan diendapkan dengan menggunakan KCl 1%. KCl merupakan garam yang tidak beracun dan banyak digunakan untuk membantu proses pembentukan gel karaginan. Penambahan garam KCl sampai batas tertentu dapat meningkatkan kekuatan gel kappa karaginan, namun demikian pemakaiannya harus dibatasi karena akan menimbulkan rasa pahit pada produk yang dihasilkan, juga berefek pada tingkat kemurnian karaginan (Basmal et al. 2005). Penelitian lanjutan Basmal et al. (2009), semakin tinggi konsentrasi KCl yang digunakan dalam proses pengendapan karaginan semakin tinggi kekuatan gelnya tetapi akan mempengaruhi tingkat kemurnian dari karaginan, karena nilai kadar abu juga
61
meningkat. Penggunaan KCl dalam penelitian ini adalah konsentrasi 1% (Hakim et al. 2011). Proses pengendapan KCl dalam penelitian ini dilakukan dengan melarutkan KCl terlebih dahulu dengan air. Jumlah air yang digunakan dua kali volume filtrat. Filtrat diendapkan setelah larutan KCl homogen, sambil diaduk-aduk, sehingga terbentuk serat karaginan. Penambahan KCl ke dalam filtrat dapat mengendapkan karaginan dalam bentuk serat (Moirano 1977). Serat karaginan yang terbentuk, disaring dan dibungkus dengan kain blacu. Pembungkusan berfungsi untuk menahan gel agar tidak ikut ke luar bersama air selama proses pengepresan berlangsung. Kemudian dilakukan pengepresan dengan menggunakan hydraulic press. Proses ini dapat mengurangi beban kerja mesin pengering (tray dryer) sekaligus mengurangi waktu pengeringan. Setelah pengepresan, dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan alat pengering rumput laut dengan suhu 50 ºC selama 18 jam. Serat karaginan kering tersebut kemudian ditepungkan dengan grinder dengan saringan 80 mesh. Selanjutnya karaginan dikemas dalam wadah tertutup rapat (Guiseley et al. 1980), untuk melindungi kondisi tepung karaginan dari kerusakan selama penyimpanan berlangsung. Penentuan Kondisi Proses Perlakuan Alkali Skala Laboratorium ke Skala Pilot Plant Pada tahap ini dilakukan pengujian kondisi proses perlakuan alkali optimum hasil penelitian skala laboratorium (tahap pertama). Konsentrasi KOH yang digunakan 6% dengan suhu 78 °C selama 1 jam. Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan trial and error pada skala pilot plant. Pada tahap ini kondisi proses yang digunakan ditingkatkan atau diturunkan, hingga diperoleh empat kondisi proses yang diharapkan dapat menghasilkan ATC dengan rendemen dan kekuatan gel yang tinggi. Tabel 5.1 Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel ATC perlakuan trial and error pada skala pilot plant. Parameter Kondisi proses Rendemen (%) Kekuatan gel (g/cm2) A B C D
35.24 35.08 37.79 36.56
963.77 914.56 1 114.69 939.12
Keterangan : (A) konsentrasi KOH 6%, suhu 78 °C, 1 jam; (B) konsentrasi KOH 6%, suhu 75 °C, 1 jam; (C) konsentrasi KOH 6%, suhu 85 °C, 2 jam; (D) konsentrasi KOH 8%, suhu 70 °C, 2 jam.
Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa kondisi perlakuan alkali dengan variasi konsentrasi KOH, suhu dan waktu proses, memberikan nilai rendemen dan kekuatan gel yang berbeda-beda. Hasil uji Duncan untuk rendemen menunjukkan bahwa perlakuan kondisi proses A dan B, memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (berada pada subset yang sama), tetapi dengan C dan D, memberikan pengaruh yang berbeda nyata (berada pada subset yang berbeda). Nilai rendemen tertinggi diperoleh dari kondisi proses C dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 85 ºC dan lama proses 2 jam yaitu 37.79%, sedangkan uji Duncan untuk
62
kekuatan gel menunjukkan bahwa perlakuan kondisi proses B, D dan A memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (berada pada subset yang sama), akan tetapi antara A dan B, memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Seperti halnya kondisi proses C dengan A, B dan D memberikan pengaruh yang nyata (berada pada subset yang berbeda). Nilai kekuatan gel tertinggi diperoleh dari perlakuan C dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 85 ºC dan lama proses 2 jam yaitu 1 114.69 g/cm2. Perlakuan alkali dengan konsentrasi KOH 6%, menunjukkan semakin tinggi suhu, nilai rendemen dan kekuatan gel yang dihasilkan semakin besar. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Mustapha et al. (2011), yang menunjukkan bahwa perlakuan alkali pada pengolahan rumput laut dengan KOH dapat menghasilkan SRC yang optimal jika dipanaskan pada suhu tinggi (>80 oC). Demikian halnya waktu proses yang semakin lama, rendemen karaginan akan semakin besar, karena semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari dinding sel yang menyebabkan karaginan semakin tinggi. Pada penggunaan KOH 8% dengan suhu 70 °C, nilai rendemen dan kekuatan gel yang dihasilkan cenderung lebih sedikit. Kondisi ini, diduga larutan pengekstrak belum mampu melunakkan jaringan rumput laut sehingga proses pembentukan gel belum optimal. Menurut Basmal et al. (2003), konsentrasi larutan KOH yang tinggi pada saat pembentukan kappa karaginan, dapat menyebabkan kation K+ terperangkap dalam koagulan karaginan sehingga kation K+ sulit untuk membentuk kappa karaginan. Kemungkinan lain terjadinya proses hidrolisis pada perlakuan tersebut lebih besar dibandingkan perlakuan larutan KOH 6% (Stanley 1987; Neish 1989). Hasil pengujian tahap ini, menunjukkan bahwa kondisi proses perlakuan alkali terbaik adalah kondisi proses dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 85 °C dengan waktu 2 jam (C). Pada kondisi tersebut rendemen ATC mencapai 37.79% dengan kekuatan gel sebesar 1 114.69 g/cm2. Kisaran nilai rendemen dan kekuatan gel dari perlakuan C hampir sama dengan kisaran nilai hasil optimasi kondisi proses perlakuan alkali pada pengolahan ATC skala laboratorium (Tahap I). Hal ini sesuai dengan pendapat Scott et al. (2007), proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, akan tetapi menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Proses Ekstraksi dengan Air dalam Memproduksi RC Skala Pilot Plant Tahap ini dilakukan proses ekstraksi RC dengan kondisi optimum yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian Hakim et al. (2011). Penentuan kisaran kondisi proses ekstraksinya ditentukan berdasarkan kajian sintesis hasil penelitian Suryaningrum et al. (2003), Tuvikene et al. (2006), Distantina et al. (2009), Mappiratu (2009). Perlakuan tahap ini dilakukan secara trial and error terhadap 2 kondisi proses ekstraksi yang akan dibandingkan yaitu: A (rasio rumput laut terhadap air 1:20; suhu 85 °C dan waktu 2 jam), B (rasio rumput laut terhadap air 1:35; suhu 95 °C dan waktu 4 jam). Setelah diamati pada kondisi proses yang dijadikan perlakuan trial and error pada tahap ini, dengan menggunakan tangki ekstraksi yang dikembangkan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi
63
Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ekstraksi dengan kondisi proses A, menunjukkan proses ekstraksi belum maksimal, karena masih ditemukan potongan-potongan rumput laut, sebaliknya dengan kondisi proses B, filtrat yang dihasilkan cenderung lebih encer dan menyulitkan dalam proses presipitasi. Hasil dari kedua kondisi proses tersebut dilakukan uji mutu terhadap rendemen dan kekuatan gel. Berikut Tabel 5.2 nilai rata-rata rendemen dan kekuatan gel RC pada kondisi proses yang berbeda. Tabel 5.2 Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel RC perlakuan trial and error pada skala pilot plant Parameter Kondisi proses Rendemen (%) Kekuatan gel (g/cm2) A 25.27 1 633.22 B 27.48 1 452.70 Keterangan : (A) rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 85 °C, waktu 2 jam; (B) rasio rumput laut terhadap air 1:35, suhu 95 °C, waktu 4 jam.
Tabel 5.2 diketahui bahwa RC yang dihasilkan dari kondisi proses A menghasilkan rendemen yang lebih sedikit tetapi kekuatan gel yang lebih tinggi. Sebaliknya RC yang dihasilkan dari kondisi proses B, mempunyai rendemen yang lebih banyak tetapi kekuatan gel yang rendah. Untuk mengetahui perbedaan dari kedua kondisi proses tersebut dilakukan uji T yang analisisnya dengan Program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) V.17. Hasil uji T sampel independen (Independent-samples T test) antara kondisi proses A dan B terhadap uji mutu RC terdapat perbedaan yang nyata pada P<0.05. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa kondisi proses memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen dan kekuatan gel RC. Rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu proses ekstraksi yang berbeda menghasilkan nilai rendemen dan kekuatan gel RC yang berbeda pula. Kondisi proses A yang diasumsikan dengan jumlah pelarut yang relatif sedikit (1:20), suhu yang rendah serta waktu ekstraksi yang relatif singkat, memungkinkan pelarut belum cukup untuk berpenetrasi ke dalam bahan akibatnya tidak semua karaginan dapat dilarutkan oleh pelarut. Demikian halnya kondisi proses B dengan jumlah pelarut yang terlalu banyak, suhu tinggi dengan waktu ekstraksi yang lebih lama, berakibat semakin banyak impuritas yang ikut terlarut, sehingga kedua hal tersebut dapat menyebabkan rendemen dan kekuatan gel yang dihasilkan belum maksimal. Hal ini berhubungan dengan pendapat Rees (1969) dan Basmal et al. (2005), yang menyatakan bahwa media air yang digunakan dalam proses ekstraksi bertujuan untuk melarutkan atau menarik polisakarida dari thallus rumput laut. Penggunaan jumlah air yang tidak proporsional dalam proses ekstraksi akan bermasalah dalam proses penarikan polisakarida serta mutu produk yang dihasilkan. Pada tahapan ekstraksi, kecepatan dan daya larut karaginan dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan waktu proses bergabungnya seluruh fraksi karaginan dari rumput laut dengan fraksi air yang digunakan sebagai media pelarut. Suhu yang optimal dalam proses ekstraksi dapat melepaskan atau memisahkan karaginan dari struktur sel rumput laut dengan sempurna. Demikian pula waktu ekstraksi, semakin lama proses ekstraksi, karaginan terekstrak juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi yang semakin lama,
64
maka kontak antara solvent dengan solute akan semakin lama sehingga proses pelarutan karaginan oleh solvent akan terus terjadi sampai solvent jenuh terhadap solute. Berdasarkan pengujian tersebut maka kondisi proses ekstraksi A dengan rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 85 ºC, dan waktu 2 jam ditetapkan sebagai batas minimum, sedangkan kondisi proses B dengan rasio rumput laut terhadap air 1:35, suhu 95 ºC, dan waktu 4 jam ditetapkan sebagai batas maksimum. Penentuan batas minimun dan maksimum ini, akan dimasukkan ke dalam perancangan proses optimasi produksi RC skala pilot plant. Optimasi Proses Produksi Refined Carrageenan Skala Pilot Plant dengan Program Design Expert 7.0® RSM Box-Behnken Design Optimasi proses produksi RC dilakukan dengan Program DX 7.0®, dengan model rancangan RSM-Box-Behnken sebagai tools. Penggunaan rancangan RSM Box-Behnken dikarenakan rancangan ini sesuai dengan faktor perlakuan pada penelitian ini, yaitu perlakuan kondisi proses yang berubah-ubah untuk memperoleh respon yang optimal. RSM digunakan untuk menemukan setting proses yang ideal untuk mencapai hasil yang optimal (Anonim 2005). Tahap perancangan Tahapan dalam proses optimasi diawali dengan tahap perancangan dengan memasukkan kisaran minimum dan maksimum kondisi proses berdasarkan pengujian trial and error (tahap sebelumnya) ke dalam Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken (Tabel 5.3). Tabel 5.3 Kisaran kondisi proses ekstraksi refined carrageenan Kondisi Proses Minimum Maksimum Rasio rumput laut : air (b:v) 1:20 1:35 Suhu (°C) 85 95 Waktu (jam) 2 4 Kisaran kondisi proses esktraksi RC tersebut, akan dirancang oleh program, dan ditentukan pula respon yang akan diukur. Penentuan respon didasarkan pada karakteristik yang akan berubah akibat perubahan kondisi proses ekstraksi. Respon-respon yang ditentukan pada penelitian ini adalah rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Selanjutnya program akan memberikan total rancangan formula yang akan diukur variabel responnya yaitu sebanyak tujuh belas formula. Rancangan formula dari Program DX 7.0® RSM Box-Behnken disajikan pada Tabel 5.4.
65
Tabel 5.4 Rancangan formula dari Program DX 7.0® rancangan RSM-BoxBehnken A B C Formula Rasio Rl : Air (b:v) Suhu (°C) Waktu (jam) 1 1:20 85 3 2 1:35 85 3 3 1:20 95 3 4 1:35 95 3 5 1:20 90 2 6 1:35 90 2 7 1:20 90 4 8 1:35 90 4 9 1:27.5 85 2 10 1:27.5 95 2 11 1:27.5 85 4 12 1:27.5 95 4 13 1:27.5 90 3 14 1:27.5 90 3 15 1:27.5 90 3 16 1:27.5 90 3 17 1:27.5 90 3
Tahap formulasi Pada tahap ini dilakukan pembuatan ke 17 formula kondisi proses ekstraksi RC. Selanjutnya dilakukan pengukuran variabel respon yang diharapkan dapat memberikan formula kondisi proses ekstraksi dengan kuantitas dan kualitas yang optimum. Hasil pengukuran keseluruhan variabel respon terhadap 17 formula kondisi proses ekstraksi disajikan pada Tabel 5.5.
66
Tabel 5.5 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh formula kondisi proses produksi RC For Rasio Kadar Kadar abu tak Kadar Kekuatan Viskositas Suhu Waktu Rendemen Kadar Mula Rl:Air air abu larut asam sulfat gel (b:v) (°C) (jam) (%) (%) (%) (%) (%) (g/cm2) (cP) 1 1:20 85 3 27.96 11.67 26.89 0.41 17.36 1 291.45 31.0 2 1:35 85 3 26.81 9.95 26.26 0.85 18.57 1 136.10 11.5 3 1:20 95 3 25.68 9.59 26.52 0.19 18.53 1 261.95 11.5 4 1:35 95 3 25.49 12.48 28.34 0.52 17.89 1 220.85 17.0 5 1:20 90 2 25.69 9.49 28.66 0.20 17.48 1 326.40 25.5 6 1:35 90 2 26.49 12.19 26.83 0.13 18.12 1 497.25 15.5 7 1:20 90 4 25.99 11.12 24.02 0.13 18.55 2 062.60 37.0 8 1:35 90 4 26.77 10.88 33.06 0.54 16.63 1 281.95 13.5 9 1:27.5 85 2 27.29 11.15 23.50 0.22 18.85 1 502.40 17.0 10 1:27.5 95 2 28.22 11.51 29.84 0.17 17.18 1 259.30 14.5 11 1:27.5 85 4 30.36 11.42 26.04 0.08 16.91 1 785.75 16.5 12 1:27.5 95 4 25.38 12.64 25.46 0.48 18.56 1 790.35 16.0 13 1:27.5 90 3 29.49 10.79 24.82 0.18 18.64 1 490.60 22.5 14 1:27.5 90 3 30.86 10.47 31.35 0.18 17.10 1 434.85 15.0 15 1:27.5 90 3 30.88 10.64 27.52 0.08 18.13 1 405.75 20.5 16 1:27.5 90 3 30.51 9.59 30.19 0.68 18.05 1 357.40 13.0 17 1:27.5 90 3 28.42 11.92 26.14 0.17 18.29 1 553.60 13.5
Derajat putih 75.85 72.00 73.65 75.25 74.70 71.20 74.70 73.00 68.50 72.45 78.55 74.45 73.70 72.90 80.35 79.65 72.50
67
Tahap analisis respon Hasil dari setiap variabel respon, dimasukkan ke dalam Program DX 7.0® rancangan RSM-Box-Behnken sebagai data masukan. Kemudian program akan menganalisis data masukan tersebut untuk mengetahui kecenderungan dari model persamaan polinomial (mean, linear, 2FI, quadratic, dan cubic) dan disesuaikan dengan hasil yang didapatkan pada masing-masing respon. Proses untuk mendapatkan persamaan polinomial dari masing-masing respon terdiri atas tiga, yaitu Sequential Model Sum of Squares [Type I], Lack of Fit Tests, dan Model Summary Statistics. Sequential model sum of squares [Type I] yakni proses pemilihan model dengan membandingkan nilai “prob>f”. Model yang sesuai adalah yang memiliki nilai ”prob>f” lebih kecil dari 0.05. Hal yang sama dengan Lack of Fit Tests yaitu proses pemilihan modelnya juga berdasarkan nilai ”prob>f”. Model dianggap sesuai adalah model yang nilai ”prob>f” lebih besar dari 0.05. Sedangkan Summary Statistics yakni proses pemilihan yang mengacu pada nilai ”Adjusted R-Squared” dan ”Predicted R-Squared”. Model persamaan yang dipilih adalah yang memiliki nilai ”Adjusted R-Squared” dan ”Predicted R-Squared” tertinggi (Anonim 2005). Berdasarkan ketiga proses tersebut, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken akan menyarankan model persamaan yang tepat untuk masing-masing variabel respon, dan ditampilkan dalam Fit Summary. Penentuan signifikansi dari model yang direkomendasikan, Program DX ® 7.0 rancangan RSM-Box-Behnken memberikan fasilitas analisis ragam (ANOVA). Selanjutnya, model yang direkomendasikan tersebut ditampilkan di dalam suatu contour plot, berupa gambar dan grafik dua dimensi (2-D) atau tiga dimensi (3-D). Identifikasi model yang baik jika memiliki signifikansi terhadap respon, nilai Lack of Fit yang tidak signifikan, nilai Prediction R-Squared dan Adjusted R-Squared yang saling mendukung, serta nilai Adequate Precision lebih dari 4. Pada tahap yang sama, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken juga memberikan fasilitas plot kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih antara respon aktual dengan nilai respon yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan titik-titik data yang menyebar normal yang berarti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Pada plot kenormalan residual terdapat nilai internally studentized residual pada sumbu x, yaitu besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan dan nilai normal % probability, yaitu persentase kemungkinan data hasil respon menyebar normal (Cornell 1999). Analisis respon rendemen Rendemen merupakan salah satu parameter yang menilai efektif atau tidaknya suatu proses produksi. Rendemen suatu bahan pangan berhubungan dengan nilai ekonomis bahan tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk, maka nilai ekonomisnya juga semakin tinggi. Nilai respon rendemen RC dinyatakan dalam persen berdasarkan berat RC yang terkandung dalam rumput laut kering dibagi dengan berat bahan baku rumput laut kering. Penentuan rendemen RC dilakukan berdasarkan metode Neish (1989). Hasil uji respon rendemen pada 17 formula proses ekstraksi RC, dapat dilihat pada Tabel 5.6.
68 Tabel 5.6 Hasil uji respon rendemen pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Rendemen Formula (b:v) (°C) (Jam) (%) 1 1:20 85 3 27.96 2 1:35 85 3 26.81 3 1:20 95 3 25.68 4 1:35 95 3 25.49 5 1:20 90 2 25.69 6 1:35 90 2 26.49 7 1:20 90 4 25.99 8 1:35 90 4 26.77 9 1:27.5 85 2 27.29 10 1:27.5 95 2 28.22 11 1:27.5 85 4 30.36 12 1:27.5 95 4 25.38 13 1:27.5 90 3 29.49 14 1:27.5 90 3 30.86 15 1:27.5 90 3 30.88 16 1:27.5 90 3 30.51 17 1:27.5 90 3 28.42 Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa kisaran hasil uji respon rendemen adalah 25.38% sampai 30.88%. Nilai rendemen tertinggi pada penelitian ini diperoleh dari formula 15 dengan kondisi proses ekstraksi yaitu rasio rumput laut dengan air adalah 1:27.5, suhu 90 °C, dengan lama ekstraksi 3 jam. Nilai rata-rata (mean) dari hasil uji respon rendemen 27.78%, dengan standar deviasi 0.81. Bila dibandingkan dengan penelitian Paula dan Pereira (2003), dengan mengekstraksi K. alvarezii dari strain yang berbeda, diperoleh rendemen dengan kisaran 25-35% dari strain coklat. Pengujian yang sama dilakukan oleh Munoz et al. (2004) menghasilkan data rendemen tertinggi pula dari strain coklat dengan kisaran 36.8-38.8%. Tuvikene et al. (2006), ekstraksi dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 60 °C, selama 8 jam, rendemen yang dihasilkan 27-31%, yang masih sesuai dengan kisaran data penelitian ini. Perolehan rendemen yang berbeda ini disebabkan oleh strain K. alvarezii, lokasi tumbuh dan kondisi proses ekstraksi, yang berbeda (Hilliou et al. 2006; Montolulu et al. 2008). Kisaran rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini, memenuhi standar persyaratan minimum rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan (1989), yaitu sebesar 25%. Hasil analisis yang dilakukan, menunjukkan bahwa model polinomial dari respon rendemen adalah reduced quadratic model. Sebenarnya model yang direkomendasikan adalah model quadratic. Namun, model ini memiliki nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared yang lebih kecil, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan interaksi komponen AC (rasio rumput laut terhadap air dan waktu), komponen A (rasio rumput laut terhadap air), komponen
C (waktu) dan komponen AB (rasio rumput laut terhadap air dan suhu), karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) memperlihatkan bahwa model yang dipilih reduced quadratic model signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (0.0005216). ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen B (suhu), komponen BC (interaksi antara suhu dengan waktu), komponen A2 (interaksi antar rasio rumput laut terhadap air), komponen B2(interaksi antar suhu), dan komponen C2 (interaksi antar waktu), memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon rendemen. Sedangkan komponen A (rasio rumput laut terhadap air) dan komponen C (suhu) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon rendemen. Uji Lack of Fit model adalah sebesar 0.24 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.9272), menunjukkan Lack of Fit yang tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon rendemen dengan model. Besarnya nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared untuk respon rendemen secara berturut-turut adalah 0.8010 dan 0.8362. Hal ini menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon rendemen tercakup dalam model sebesar 80.10% dan 83.62% Adequate Precision untuk respon rendemen adalah 8.792 yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai Adequate Precision yang lebih besar dari 4 (8.792) mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman design space. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik sehingga diharapkan dapat memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon rendemen adalah sebagai berikut: Rendemen = 2.51A + 7.79B + 34.10C – 0.29BC – 0.05A2 – 0.04B2 – 1.24C2 Keterangan: A adalah rasio rumput laut terhadap air (b:v), B adalah suhu (ºC), C adalah waktu (jam). Berdasarkan persamaan tersebut, diketahui bahwa respon rendemen dipengaruhi oleh komponen rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi. Respon rendemen akan meningkat seiring dengan peningkatan rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi, hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif. Namun peningkatan ini hanya dipengaruhi secara nyata oleh suhu, sedangkan rasio rumput laut terhadap air dan waktu tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Respon rendemen akan menurun seiring dengan peningkatan interaksi komponen suhu dan waktu, interaksi antar komponen rasio rumput laut terhadap air, interaksi antar komponen suhu dan interaksi antar komponen waktu, hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif. Respon rendemen yang meningkat dengan semakin tingginya suhu, diduga disebabkan oleh suhu yang tinggi akan mempengaruhi mobilitas zat pelarut menjadi lebih besar dan proses pelarutan akan berlangsung menjadi lebih cepat. Namun perlu dicermati bahwa suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
70 degradasi yang semakin cepat sehingga akan merusak material yang akan diproses, dalam hal ini karaginan. Hal ini sejalan dengan penelitian Refilda et al. (2009), suhu yang tinggi dan waktu ekstraksi terlalu lama menyebabkan kerusakan karaginan, akibatnya konsentrasi larutan semakin tinggi dan menyulitkan dalam proses pemisahan antara filtrat dan residu. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 5.4 menunjukkan data-data untuk respon rendemen yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon rendemen. Design-Expert® Software rendemen
Normal Plot of Residuals
Color points by value of rendemen: 30.88
99.00
25.38
Normal % Probability
95.00 90.00 80.00 70.00 50.00 30.00 20.00 10.00 5.000 1.000
-2.233
-1.381
-0.5292
0.3228
1.175
Internall y Studentized Resi dual s
Gambar 5.4 Grafik kenormalan internally studentized residuals respon rendemen Grafik contour plot pada Gambar 5.5, memperlihatkan bagaimana kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon rendemen. Warnawarna yang berbeda pada grafik contour plot menunjukkan nilai rendemen. Warna biru menunjukkan nilai respon rendemen terendah, yaitu 25.38%. Warna merah menunjukkan respon rendemen tertinggi, yaitu 30.88%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon rendemen yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi yang disajikan pada Gambar 5.6. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antar komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon rendemen yang rendah sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon rendemen yang tinggi.
rendem en
Design-Expert® Software 4.00
26.3184
rendemen Design Points 30.88
27.1567 27.9951
25.38
3.50
C: Waktu
X1 = B: Suhu X2 = C: Waktu Actual Factor A: Rasio RL:Air = 27.50
5
3.00
29.6718
2.50
28.8334
27.9951 2.00 85.00
87.50
90.00
92.50
95.00
B: Suhu
Gambar 5.5 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen Design-Expert® Software rendemen 30.88 25.38 30.9
X1 = B: Suhu X2 = C: Waktu
rendemen
29.5
Actual Factor A: Rasio RL:Air = 27.50
28.1
26.7
25.3
4.00
95.00 3.50
92.50 3.00
C: Waktu
90.00 2.50
87.50 2.00
85.00
B: Suhu
Gambar 5.6 Grafik tiga dimensi hasil uji respon rendemen Analisis respon kadar air Penentuan kadar air merupakan hal penting yang harus dilakukan. Kandungan air dalam suatu bahan (produk) sangat berpengaruh terhadap sifat dan daya simpan produk tersebut. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan tersebut harus dihilangkan. Kadar air adalah salah satu peubah syarat mutu yang perlu diperhatikan, karena umumnya produk tepung
72 harus aman untuk disimpan dalam kurun waktu yang cukup lama. Syarat tersebut menuntut produk pada kondisi kadar air rendah (Warkoyo 2007). Nilai respon kadar air berkisar antara 9.49% hingga 12.64%. Rata-rata kadar air RC adalah sebesar 11.03% dengan standar deviasi sebesar 0.80. Nilai respon kadar air terendah yaitu 9.49% berasal dari formula 5 dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 90 °C dengan waktu 2 jam, sedangkan nilai kadar air tertinggi sebesar 12.64% berasal dari formula 12 dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air 1:27.5, suhu 95 °C dengan waktu 4 jam. Hasil uji respon kadar air disajikan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Hasil uji respon kadar air pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Kadar air Formula (b:v) (°C) (Jam) (%) 1 1:20 85 3 11.67 2 1:35 85 3 9.95 3 1:20 95 3 9.59 4 1:35 95 3 12.48 5 1:20 90 2 9.49 6 1:35 90 2 12.19 7 1:20 90 4 11.12 8 1:35 90 4 10.88 9 1:27.5 85 2 11.15 10 1:27.5 95 2 11.51 11 1:27.5 85 4 11.42 12 1:27.5 95 4 12.64 13 1:27.5 90 3 10.79 14 1:27.5 90 3 10.47 15 1:27.5 90 3 10.64 16 1:27.5 90 3 9.59 17 1:27.5 90 3 11.92 Hasil pengujian kadar air menunjukkan nilai yang cukup rendah dan RC tersebut secara umum sudah memenuhi batas kadar air (kecuali formula 4, 6 dan 12) yang dipersyaratkan oleh FAO, FCC dan EEC yaitu maksimum 12% (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978). Hasil analisis yang dilakukan, menunjukkan bahwa model polinomial dari respon kadar air adalah reduced two factorial interaction (2FI). Model polinomial yang direkomendasikan oleh Program DX 7.0® adalah two factorial interaction tetapi model ini menunjukkan nilai Predicted R-Squared yang sangat kecil, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan interaksi komponen suhu dan waktu, komponen waktu dan komponen suhu, karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced two factiorial interaction) signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (0.0316). ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen rasio rumput laut terhadap air, komponen suhu, dan komponen waktu,
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap respon kadar air. Namun interaksi komponen rasio rumput laut terhadap air dan suhu dan interaksi komponen rasio rumput laut terhadap air dan waktu berpengaruh nyata terhadap respon kadar air. Lack of Fit F-value sebesar 0.719 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.63) menunjukkan Lack of Fit yang tidak signifikan, dan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar air dengan model. Nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared secara berturut-turut adalah 0.3445 dan 0.4621 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon kadar air tercakup ke dalam model sebesar 34.45% dan 46.21%. Nilai Predicted R-Squared yang dihasilkan mendukung nilai Adjusted R-Squared yang dihasilkan karena selisih keduanya lebih kecil dari 0.2. Adequate Precision untuk respon kadar air adalah 7.519 yang lebih besar dari 4, mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman design space. Persamaan polinomial untuk respon kadar air adalah sebagai berikut: Kadar air = – 2.41A – 0.79B + 2.91C + 0.03AB – 0.09AC Keterangan: A adalah rasio rumput laut terhadap air (b:v), B adalah suhu (ºC), C adalah waktu (jam). Persamaan tersebut, diketahui bahwa respon kadar air akan meningkat seiring peningkatan komponen waktu dan interaksi antara komponen rasio rumput laut terhadap air dengan suhu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif, namun peningkatannya tidak signifikan dari komponen waktu. Respon kadar air akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan komponen rasio rumput laut terhadap air, komponen suhu dan komponen antara rasio rumput laut terhadap air dan waktu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif, tapi penurunannya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selama proses ekstraksi filtrat yang terbentuk secara maksimal dapat mengikat air bebas. Oleh karena itu semua air bebas dalam filtrat karaginan dapat diuapkan atau dikeringkan pada saat proses pengeringan. Waktu ekstraksi dan interaksi rasio rumput laut terhadap air dengan suhu cenderung mempengaruhi peningkatan kadar air karaginan. Semakin lama ekstraksi menyebabkan makin lunaknya dinding sel rumput laut dan sebagian air terperangkap dalam matriks karaginan yang dikeringkan. Grafik kenormalan internally studentized residuals, contour plot, dan tiga dimensi untuk respon kadar air dapat dilihat pada Gambar 5.7, 5.8 dan 5.9. Berdasarkan Gambar 5.7 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, yang menunjukkan bahwa data-data untuk respon kadar air menyebar normal. Penyebaran data yang menyebar menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar air.
74 Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Software Kadar air Color points by value of Kadar air: 12.64
99
95
Normal % Probability
9.49
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.03
-1.05
-0.08
0.90
1.88
Internally Studentized R es iduals
Gambar 5.7 Grafik kenormalan internally studentized residuals respon kadar air Grafik contour plot pada Gambar 5.8, memperlihatkan kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon kadar air. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar air terendah, yaitu 9.49%. Warna merah menunjukkan respon kadar air tertinggi, yaitu 12.64%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon kadar air yang sama. Design-Expert® Software
Kadar air
95.00
Kadar air Design Points 12.64
12.35 10.21
9.49
11.82 X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
92.50
10.75
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 3.000
11.28
5
90.00
87.50
10.75 11.28
10.21
85.00 20.00
23.75
27.50
31.25
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.8 Grafik contour plot hasil uji respon kadar air
35.00
Gambar 5.9, grafik tiga dimensi yang memperlihatkan bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antar komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar air yang rendah sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kadar air yang tinggi.
Design-Expert® Software Kadar air 12.64 9.49 12.9
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
Kadar air
12.05
Actual Factor C: Waktu = 3.00
11.2
10.35
9.5
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.9 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar air Analisis respon kadar abu Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al. 1989). Semakin banyak kandungan mineralnya maka kadar abu menjadi tinggi begitu juga sebaliknya apabila kandungan mineral sedikit maka kadar abu bahan juga sedikit. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian karaginan. Kadar abu RC dapat dilihat pada Tabel 5.8. Hasil pengukuran respon kadar abu berkisar dari 23.50% hingga 33.06%. Nilai kadar abu terendah yaitu 23.50% berasal dari formula 9, sedangkan nilai kadar abu tertinggi sebesar 33.06% berasal dari formula 8. Kisaran nilai kadar abu dari semua formula ekstraksi menghasilkan karaginan yang masih memenuhi standar spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO dan EEC dengan kisaran 15–40%, sedangkan FCC maksimum 35% (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978). Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, model polinomial dari respon kadar abu adalah mean. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa Lack of
76 Fit dari model yang dihasilkan (mean) tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Lack of Fit lebih besar dari 0.05 (0.6236) dan F-value sebesar 0.86. Lack of Fit dari respon kadar abu tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan adalah syarat untuk model yang baik, karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar abu dengan model. Tabel 5.8 Hasil uji respon kadar abu pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Kadar abu Formula (b:v) (°C) (Jam) (%) 1 1:20 85 3 26.89 2 1:35 85 3 26.26 3 1:20 95 3 26.52 4 1:35 95 3 28.34 5 1:20 90 2 28.66 6 1:35 90 2 26.83 7 1:20 90 4 24.02 8 1:35 90 4 33.06 9 1:27.5 85 2 23.50 10 1:27.5 95 2 29.84 11 1:27.5 85 4 26.04 12 1:27.5 95 4 25.46 13 1:27.5 90 3 24.82 14 1:27.5 90 3 31.35 15 1:27.5 90 3 27.52 16 1:27.5 90 3 30.19 17 1:27.5 90 3 26.14 Nilai Predicted R-Squared yang dihasilkan bernilai negatif, yaitu -0.1289, menunjukkan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon kadar abu. Model yang dihasilkan untuk respon kadar abu hanya dibuat berdasarkan nilai mean sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Kadar abu = 27.39 Grafik kenormalan internally studentized residual untuk respon kadar abu dapat dilihat pada Gambar 5.10. Grafik contour plot dapat dilihat pada Gambar 5.11, sedangkan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 5.12.
Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Software K abu Color points by value of K abu: 33.06
99
95
Normal % Probability
23.5
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.55
-0.59
0.36
1.31
2.26
Internally Studentized R esiduals
Gambar 5.10 Grafik kenormalan internally studentized residuals respon kadar abu Gambar 5.10 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon kadar abu menyebar normal. Data-data respon kadar abu yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar abu. Design-Expert® Software
K abu
95.00
K abu Design Points 33.06 23.5 X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
92.50
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 3.000
5
90.00
87.50
85.00 20.00
23.75
27.50
31.25
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.11 Grafik contour plot hasil uji respon kadar abu
35.00
78 Grafik contour plot pada Gambar 5.11 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar abu. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon kadar abu terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen formula yang diukur. Gambar 5.12. Bentuk grafik tiga dimensi untuk respon kadar abu juga terlihat nilai respon yang datar, pada setiap kombinasi antar komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) yang menyebabkan nilai respon kadar abu dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antar komponen.
Design-Expert® Software K abu 33.06 23.5 33.1
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
30.7
K abu
Actual Factor C: Waktu = 3.00 28.3
25.9
23.5
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.12 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar abu Analisis respon kadar abu tak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika (Basmal et al. 2003). Hasil uji respon kadar abu tak larut asam (Tabel 5.9) berkisar antara 0.08% sampai 0.85%. Nilai respon kadar abu tak larut asam terendah berasal dari formula 11 dan 15. Sedangkan nilai respon kadar abu tak larut asam tertinggi yaitu 0.85% berasal dari formula 2. Nilai rata-rata (mean) dari respon kadar abu tak larut asam adalah 0.31% dengan nilai standar deviasi sebesar 0.23. Kisaran nilai kadar abu tak larut asam dalam penelitian ini, berkisar dibawah standar tepung karaginan yang dikeluarkan oleh FCC yaitu 1% dan EEC maksimum 2% (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978). Kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan. Menurut Basmal et al. (2005), kadar abu tak larut asam yang
tinggi di dalam suatu produk, ditandai dengan adanya kontaminasi dari luar baik dalam proses pengolahan maupun dalam proses lainnya. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, model polinomial dari respon kadar abu tak larut asam adalah mean. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa Lack of Fit dari model yang dihasilkan (mean) tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Lack of Fit lebih besar dari 0.05 (0.6097) dan F-value sebesar 0.89. Lack of Fit dari respon kadar abu tak larut asam yang tidak signifikan adalah syarat untuk model yang baik, dan menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar abu tak larut asam dengan model. Tabel 5.9 Hasil uji respon kadar abu tak larut asam pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Kadar abu tak larut Formula (b:v) (°C) (Jam) asam (%) 1 1:20 85 3 0.41 2 1:35 85 3 0.85 3 1:20 95 3 0.19 4 1:35 95 3 0.52 5 1:20 90 2 0.20 6 1:35 90 2 0.13 7 1:20 90 4 0.13 8 1:35 90 4 0.54 9 1:27.5 85 2 0.22 10 1:27.5 95 2 0.17 11 1:27.5 85 4 0.08 12 1:27.5 95 4 0.48 13 1:27.5 90 3 0.18 14 1:27.5 90 3 0.18 15 1:27.5 90 3 0.08 16 1:27.5 90 3 0.68 17 1:27.5 90 3 0.17 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon kadar abu tak larut asam juga menunjukkan nilai Predicted R-Squared negatif yaitu -0.1289. Nilai tersebut menunjukkan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon kadar abu tak larut asam. Model yang dihasilkan juga hanya dibuat berdasarkan nilai mean sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Kadar abu tak larut asam = 0.31 Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 5.13 menunjukkan data-data untuk respon kadar abu tak larut asam yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar abu tak larut asam.
80 Design-Expert® Software Abu tak larut asam
Normal Plot of Residuals
Color points by value of Abu tak larut asam: 0.8500
99.00
0.08000
Normal % Probability
95.00 90.00 80.00 70.00 50.00 30.00 20.00 10.00 5.000 1.000
-1.017
-0.1526
0.7122
1.577
2.442
Internal l y Studenti zed Resi dual s
Gambar 5.13 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kadar abu tak larut asam Grafik contour plot pada Gambar 5.14, memperlihatkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar abu tak larut asam. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon kadar abu tak larut asam terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen formula yang diukur. Design-Expert® Software
4.000
Abu tak larut asam Design Points 0.85
Abu tak larut asam
0.08 X1 = B: Suhu X2 = C: Waktu
3.500
C: Waktu
Actual Factor A: Rasio RL:Air = 27.50
5
3.000
2.500
2.000 85.00
87.50
90.00
92.50
95.00
B: Suhu
Gambar 5.14 Grafik kenormalan contour plot respon kadar abu tak larut asam.
Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 5.15 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen formula proses produksi terhadap respon kadar abu tak larut asam. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai respon kadar abu tak larut asam yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antara komponen formula. Design-Expert® Software Abu tak larut asam 0.85 0.08 X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
0.8500
Abu tak larut asam
Actual Factor C: Waktu = 3.000
0.6575 0.4650 0.2725
0.08000
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.15 Grafik tiga dimensi respon kadar abu tak larut asam. Analisis respon sulfat Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Polisakarida ini merupakan galaktan yang mengandung ester asam sulfat antara 20 sampai 30% dan saling berikatan dengan ikatan (1,3) : β (1,4) D glikosidik, dengan bentuk susunan berselang-seling. Nilai kadar sulfat berkisar antara 16.63% hingga 18.85% (Tabel 5.10). Ratarata kadar sulfat produk adalah 17.93% dengan standar deviasi 0.47. Nilai respon kadar sulfat terendah dihasilkan dari formula 8 dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air adalah 1:35, suhu 90 °C dan lama ekstraksi 4 jam. Sedangkan nilai sulfat tertinggi dihasilkan dari formula 9 dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air 1:27.5, suhu 85 °C dan lama ekstraksi 2 jam. Bila dibandingkan dengan data Hayashi et al. (2007) yang menggunakan sampel karaginan dari berbagai jenis strain K. alvarezii, di sepanjang pantai Sao Paolo Brazil, kisaran kadar sulfat yang dihasilkan lebih tinggi yaitu 23.08– 33.48%. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat karaginan yang bervariasi, dipengaruhi oleh waktu panen, lokasi, kondisi dan waktu pertumbuhan (Munoz et al. 2004) serta parameter dan proses ekstraksinya (Hilliou et al. 2006; Montolulu et al. 2008).
82 Tabel 5.10 Hasil uji respon kadar sulfat pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Kadar sulfat Formula (b:v) (°C) (Jam) (%) 1 1:20 85 3 17.36 2 1:35 85 3 18.57 3 1:20 95 3 18.53 4 1:35 95 3 17.89 5 1:20 90 2 17.48 6 1:35 90 2 18.12 7 1:20 90 4 18.55 8 1:35 90 4 16.63 9 1:27.5 85 2 18.85 10 1:27.5 95 2 17.18 11 1:27.5 85 4 16.91 12 1:27.5 95 4 18.56 13 1:27.5 90 3 18.64 14 1:27.5 90 3 17.10 15 1:27.5 90 3 18.13 16 1:27.5 90 3 18.05 17 1:27.5 90 3 18.29 Kisaran kandungan sulfat yang dihasilkan dari semua formula, memenuhi standar yang telah dipersyaratkan oleh EEC dan FAO yaitu 15–40% (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978). Di samping itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini, mampu mengeliminasi sulfat sekitar ±40%. Ekstraksi dengan perlakuan alkali akan menurunkan kadar sulfat karaginan yang dihasilkan. Kadar sulfat akan mempengaruhi kekuatan gel dari karaginan. Semakin tinggi kandungan ester sulfat, maka kekuatan gel yang terbentuk akan semakin rendah (Chapman dan Chapman 1980). Hal yang sama dikemukakan oleh Moirano (1977) bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Kandungan sulfat yang tinggi menyebabkan gaya tolak-menolak antar gugus sulfat semakin banyak, sehingga rantai polimer kaku dan viskositas meningkat. Korelasi antara viskositas dengan kadar sulfat berbanding lurus. Bila kandungan sulfat tinggi, maka rantai polimer akan semakin kaku dan nilai viskositas juga semakin tinggi. Glicksman (1982) menyatakan bahwa efek adanya sulfat terhadap kekuatan gel berhubungan dengan pembentukan heliks ganda. Sulfat pada C-6 dalam ikatan residu 1,4 membuat rantai menjadi kaku dan menghambat pembentukan heliks ganda, akibatnya kemampuan pembentukan gel menurun. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, model polinomial dari respon kadar sulfat adalah two factors interaction (2FI). Model yang direkomendasikan (2FI) signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (0.0229). ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen rasio rumput laut terhadap air, komponen suhu, komponen waktu dan interaksi komponen rasio rumput laut terhadap air dan suhu, memberikan
pengaruh yang tidak signifikan, namun interaksi komponen rasio rumput laut terhadap air dan waktu, dan interaksi komponen suhu dan waktu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon kadar sulfat. Lack of Fit F-value sebesar 0.4351 dengan nilai p “prob>f” sebesar 0.8266 (lebih besar dari 0.05) menunjukkan Lack of Fit yang tidak signifikan dan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar sulfat dengan model. Nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared secara berturut-turut untuk respon kadar sulfat adalah 0.2602 dan 0.5447 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon kadar sulfat mencakup dalam model sebesar 26.02% dan 54.47%. Nilai Adequate Precision untuk respon kadar sulfat adalah lebih besar dari 4 (6.370) mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Persamaan polinomial untuk respon kadar sulfat adalah sebagai berikut: Kadar sulfat = 1.35A – 0.15B – 12.73C – 0.01AB – 0.09AC + 0.17BC Keterangan : A adalah rasio rumput laut terhadap air (b:v), B adalah suhu (ºC), C adalah waktu (jam). Berdasarkan persamaan tersebut, diketahui bahwa peningkatan respon kadar sulfat seiring dengan peningkatan rasio rumput laut terhadap air dan interaksi antara komponen suhu dan waktu ekstraksi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif. Namun pengaruh dari rasio rumput laut terhadap air tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Respon kadar sulfat akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan komponen suhu, waktu, interaksi antara komponen rasio rumput laut terhadap air dengan suhu, dan interaksi antara komponen rasio rumput laut terhadap air dengan waktu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif. Namun hanya interaksi rasio rumput laut terhadap air dengan waktu yang memberikan pengaruh yang signifikan. Grafik kenormalan internally stundentized residual, grafik contour plot dan tiga dimensi untuk respon kadar sulfat dapat dilihat pada Gambar 5.16, 5.17 dan 5.18.
84 Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Software sulfat Color points by value of sulfat: 18.85
99
95
Normal % Probability
16.63
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.84
-0.99
-0.14
0.71
1.57
Internally Studentized R esiduals
Gambar 5.16 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kadar sulfat Gambar 5.16 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon kadar sulfat menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar sulfat. sulfat
Design-Expert® Software 95.00
sulfat Design Points 18.85
18.358
17.623 18.1743
16.63
92.50
17.8068
Actual Factor C: Waktu = 3.00
17.9905
B: Suhu
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
5
90.00
87.50
17.9905
17.8068
17.623
18.1743
85.00 20.00
23.75
27.50
31.25
A: R asio R L:Air
Gambar 5.17 Grafik contour plot hasil uji respon kadar sulfat
35.00
Grafik contour plot pada Gambar 5.17, memperlihatkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar sulfat, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar sulfat terendah yaitu 16.63%, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon kadar sulfat tertinggi yaitu 18.85%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga komponen formula kondisi proses ekstraksi dengan proporsi berbeda yang menghasilkan nilai respon kadar sulfat yang sama. Design-Expert® Software sulfat 18.85 16.63 18.7
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
18.3
sulfat
Actual Factor C: Waktu = 3.00 17.9
17.5
17.1
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A : Rasio RL:Air
Gambar 5.18 Grafik tiga dimensi respon kadar sulfat Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 5.18 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen formula ekstraksi. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar sulfat yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kadar sulfat yang tinggi. Analisis respon kekuatan gel Salah satu sifat penting karaginan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan karaginan sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non-pangan. Hasil uji respon kekuatan gel berkisar dari 1 136.11 g/cm2 sampai 2 062.60 2 g/cm . Nilai kekuatan gel terendah yaitu 1 136.11 g/cm2 berasal dari formula 2 dengan model formula ekstraksi yaitu rasio rumput laut terhadap air 1:35, suhu 85 o C, waktu 3 jam. Sedangkan nilai kekuatan gel tertinggi yaitu 2 062.60 g/cm2 dari formula 7 dengan model formula ekstraksi rasio rumput laut terhadap air 1:20, suhu 90 oC, waktu 4 jam. Respon kekuatan gel RC disajikan pada Tabel 5.11.
86 Tabel 5.11 Hasil uji respon kekuatan gel pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio RL:Air Suhu Waktu Kekuatan gel Formula (b:v) (°C) (Jam) (g/cm2) 1 1:20 85 3 1 291.45 2 1:35 85 3 1 136.11 3 1:20 95 3 1 261.95 4 1:35 95 3 1 220.85 5 1:20 90 2 1 326.40 6 1:35 90 2 1 497.25 7 1:20 90 4 2 062.60 8 1:35 90 4 1 281.95 9 1:27.5 85 2 1 502.40 10 1:27.5 95 2 1 259.30 11 1:27.5 85 4 1 785.75 12 1:27.5 95 4 1 790.35 13 1:27.5 90 3 1 490.60 14 1:27.5 90 3 1 434.85 15 1:27.5 90 3 1 405.75 16 1:27.5 90 3 1 357.40 17 1:27.5 90 3 1 553.60 Bila dibandingkan hasil penelitian Tuvikene et al. (2006), melakukan ekstraksi dengan perlakuan alkali selama 3 – 4 jam, kekuatan gel yang diperoleh jauh lebih sedikit yaitu 350 g/cm2. Hasil analisis yang dilakukan, menunjukkan bahwa model polinomial dari respon kekuatan gel adalah reduced quadratic model. Model polinomial yang direkomendasikan oleh Program DX 7.0® RSM rancangan Box-Behnken adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai Predicted R-Squared yang relatif kecil, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan interaksi komponen rasio rumput laut terhadap air dengan suhu, komponen suhu, dan interaksi komponen suhu dan waktu, karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA), menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (0.0005). ANOVA juga menunjukkan bahwa rasio rumput laut : air, waktu, interaksi rasio rumput laut : air dan waktu, interaksi antar rasio rumput laut : air, dan interaksi antar waktu memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon kekuatan gel sedangkan suhu dan interaksi antar suhu tidak berpengaruh nyata. Lack of Fit F-value sebesar 2.13 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.2019) menunjukkan tidak signifikan. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon kekuatan gel dengan model. Nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared secara berturut-turut adalah 0.4856 dan 0.8072 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan
dan data-data aktual untuk respon kekuatan gel mencakup dalam model sebesar 48.56% dan 80.72%. Nilai Adequate Precision untuk respon kekuatan gel adalah lebih besar dari 4 (14.185). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik dan juga diharapkan memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon kekuatan gel adalah sebagai berikut: Kekuatan gel = 210.41A + 637.85B – 312.29C – 31.72AC – 2.34A2 – 3.57B2 + 225.24C2 Keterangan: A adalah rasio rumput laut terhadap air (b:v), B adalah suhu (ºC), C adalah waktu (jam). Dari persamaan tersebut diketahui bahwa respon kekuatan gel akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan rasio rumput laut terhadap air, suhu dan interaksi antar komponen waktu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif. Respon kekuatan gel akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan waktu, interaksi antar rasio rumput laut terhadap air dengan waktu, interaksi antar komponen rasio rumput laut terhadap air, serta interaksi antar komponen suhu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang negatif. Kappa karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Glicksman 1983). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Secara garis besar proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celah-celahnya (Rees 1969). Pembentukan kerangka tiga dimensi oleh double helicks ini akan mempengaruhi pembentukan gel. Kerangka tiga dimensi dapat mengembang karena menyerap air secara osmosis sehingga berubah menjadi zat padat karena dapat mempertahankan bentuknya dan memiliki respon yang elastis bila diberi tekanan (Rees 1969; Suryaningrum et al, 1991; Basmal et al. 2003). Konsentrasi karaginan, jenis ion serta keberadaan senyawa lain yang akan berpengaruh terhadap proses pembentukan gel, merupakan faktor yang dapat menentukan tekstur karaginan (Towle 1973). Menurut Suryaningrum et al. (2003), ketidakmurnian filtrat hasil ekstraksi dapat menyebabkan pembentukan jaringan tiga dimensi menjadi tidak teratur, yang akan mempengaruhi rendahnya kekuatan gel karaginan. Kemurnian filtrat melibatkan proses penyaringan yang optimal. Penyaringan dalam skala besar, merupakan titik kritis yang dapat menentukan mutu karaginan yang dihasilkan. Industri karaginan pada umumnya menggunakan filter press dengan ukuran filter
88 250–400 mesh, serta dibantu filter aid berupa tanah diatomae sehingga filtrat yang diperoleh lebih jernih. Dengan demikian tingginya kekuatan gel yang dihasilkan pada penelitian ini, diduga disebabkan dari kondisi proses yang maksimal dalam menghasilkan filtrat. Dalam penelitian ini, proses penyaringan dilakukan dengan filter press yang membran filternya berukuran >200 mesh, serta dibantu dengan penggunaan celite (filter aid), sehingga filtrat yang dihasilkan lebih jernih. Hal yang sama dikemukakan oleh Suryaningrum et al. (2003), ekstraksi rumput laut dengan alkali 6-8% dapat meningkatkan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan sampai lebih dari 1000 g/cm2. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 5.19 menunjukkan data-data untuk respon kekuatan gel yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kekuatan gel. Design-Expert® Software K gel
Normal Plot of Residuals
Color points by value of K gel: 2063.
99.00
1136.
Normal % Probability
95.00 90.00 80.00 70.00 50.00 30.00 20.00 10.00 5.000 1.000
-2.341
-1.185
-0.02887
1.127
2.283
Internal l y Studenti zed Resi dual s
Gambar 5.19 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kekuatan gel. Grafik contour plot pada Gambar 5.20, menggambarkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kekuatan gel melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon kekuatan gel terendah yaitu 1 220.85 g/cm2, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon kekuatan gel tertinggi yaitu 2 062.60 g/cm2. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga komponen formula ekstraksi dengan proporsi berbeda yang menghasilkan nilai respon kekuatan gel yang sama.
Design-Expert® Software
K gel
4.000
K gel Design Points 2062.6
1862. 1723.
1136.1
1584. X1 = A: Rasio RL:Air X2 = C: Waktu
3.500
1446.
C: Waktu
Actual Factor B: Suhu = 90.00
1307.
5
3.000
1307.
2.500
1446. 2.000 20.00
23.75
27.50
31.25
35.00
A: Rasi o RL:Ai r
Gambar 5.20 Grafik contour plot hasil uji respon kekuatan gel Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 5.21 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen formula ekstraksi. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kekuatan gel yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kekuatan gel yang tinggi. Design-Expert® Software K gel 2062.6 1136.1 2070
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = C: Waktu
1855
K gel
Actual Factor B: Suhu = 90.00 1640
1425
1210
4.00
35.00 3.50
31.25 3.00
C: Waktu
27.50 2.50
23.75 2.00
20.00
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.21 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kekuatan gel
90 Analisis respon viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas merupakan salah satu sifat fisik karaginan yang cukup penting. Pengujian viskositas dilakukan untuk menentukan nilai kekentalan suatu larutan yang dinyatakan dalam centipoise (cP). Menurut Guiseley et al. (1980) kekentalan pada karaginan disebabkan adanya daya tolak-menolak antar grup sulfat yang bermuatan negatif, yang terdapat di sepanjang rantai polimernya sehingga rantai polimer tersebut kaku dan tertarik kencang. Selain itu adanya sifat hidrofilik menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak bergerak. Hal tersebut akan menentukan kekentalan karaginan. Makin tinggi nilai viskositas suatu larutan maka makin tinggi pula tingkat kekentalannya. Hasil uji respon viskositas berkisar dari 11.5 cP hingga 37.0 cP (Tabel 5.12). Nilai rata-rata (mean) dari respon viskositas adalah 18.29 cP dengan nilai standar deviasi sebesar 4.98. Nilai respon viskositas hasil penelitian ini relatif sedikit bila dibandingkan dengan hasil penelitian Munoz et al. (2004), yang kisaran viskositasnya mencapai 122.2–147.2 cP. Rendahnya viskositas hasil penelitian ini berkorelasi positif dengan kadar sulfatnya, dan erat kaitannya dengan kekuatan gel yang tinggi. Sedangkan Munoz et al. (2004) data kekuatan gel tidak dilaporkan. Tabel 5.12 Hasil uji respon viskositas pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Viskositas Formula (b:v) (°C) (Jam) (%) 1 1:20 85 3 31.0 2 1:35 85 3 11.5 3 1:20 95 3 11.5 4 1:35 95 3 17.0 5 1:20 90 2 25.5 6 1:35 90 2 15.5 7 1:20 90 4 37.0 8 1:35 90 4 13.5 9 1:27.5 85 2 17.0 10 1:27.5 95 2 14.5 11 1:27.5 85 4 16.5 12 1:27.5 95 4 16.0 13 1:27.5 90 3 22.5 14 1:27.5 90 3 15.0 15 1:27.5 90 3 20.5 16 1:27.5 90 3 13.0 17 1:27.5 90 3 13.5 Secara keseluruhan nilai viskositas yang dihasilkan dari penelitian ini sudah memenuhi standar viskositas yang telah ditentukan FAO yaitu minimal 5 cP. Nilai viskositas selain dipengaruhi oleh teknik dan jumlah bahan kimia yang diberikan selama proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh temperatur, jenis
karaginan, berat molekul dan logam berat yang terkandung di dalam karaginan tersebut (Towel 1973). Berdasarkan analisis yang dilakukan, model polinomial dari viskositas adalah reduced two factors interaction (2FI). Model polinomial yang direkomendasikan oleh Program DX 7.0® adalah linear, tetapi model ini memberikan nilai Predicted R-Squared yang negatif, sehingga dilakukan reduksi model dengan cara backward elimination. Reduksi model yang dilakukan menghilangkan interaksi suhu dan waktu, waktu, suhu, interaksi antara rasio rumput laut terhadap air dengan waktu, tidak diikutkan dalam model karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout=0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi, signifikan dengan nilai p “prob>f” lebih kecil dari 0.05 (0.0068). ANOVA juga menunjukkan bahwa rasio rumput laut terhadap air, dan interaksi rasio rumput laut terhadap air dengan suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon viskositas, namun suhu tidak berpengaruh nyata. Nilai Lack of Fit F-value 1.48 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.3758) adalah tidak signifikan. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon viskositas dengan model. Besarnya nilai Predicted R-Squared dan Adjusted R-Squared untuk respon viskositas secara berturut-turut adalah 0.2834 dan 0.5018 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon viskositas tercakup ke dalam model sebesar 28.34% dan 50.18%. Nilai Adequate Precision untuk respon viskositas adalah 10.097, lebih besar dari 4, mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman design space. Persamaan polinomial untuk respon viskositas adalah sebagai berikut: Keterangan: A adalah rasio rumput laut terhadap air (b:v), B adalah suhu (ºC). Berdasarkan persamaan tersebut diketahui bahwa viskositas dipengaruhi rasio rumput laut terhadap air, suhu dan interaksi antara komponen rasio rumput laut terhadap air dengan suhu. Respon viskositas akan meningkat seiring peningkatan interaksi antara rasio rumput laut terhadap air dengan suhu ekstraksi. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif. Respon viskositas akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan komponen rasio rumput laut terhadap air dan suhu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif. Namun pengaruh yang berbeda nyata hanya diberikan dari komponen suhu. Respon viskositas akan meningkat seiring peningkatan interaksi antara rasio rumput laut terhadap air dengan suhu ekstraksi. Interaksi rasio rumput laut terhadap air dengan suhu pada saat ekstraksi dapat menyebabkan jumlah interaksi molekul air dengan ion-ion pada karaginan semakin sedikit, dalam hal ini terjadi gaya tolak menolak dari grup-grup ester sulfat yang bermuatan sama yaitu negatif, di sepanjang rantai polimer, menyebabkan molekul ini kaku dan tertarik kencang, yang menjadikan larutan menjadi kental (Guiseley et al. 1980; Campo et al. 2009). Sebaliknya viskositas akan turun apabila rasio rumput laut terhadap air meningkat, karena akan melarutkan garam-garam yang ada dalam karaginan.
92 Keberadaan garam-garam yang terlarut dalam karaginan akan menurunkan muatan bersih di sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Towle (1973), viskositas larutan karaginan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karaginan. Marine Colloids FMC Corp (1977), viskositas hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, teknik perlakuan, keberadaan hidrofilik koloid, tipe dan berat molekul karaginan serta keberadaan elektrolit dan non elektrolit. Grafik kenormalan internally stundentized residual, grafik contour plot dan tiga dimensi untuk respon viskositas dapat dilihat pada Gambar 5.22, 5.23 dan 5.24. Norm al Plot of Res iduals
Design-Expert® Software viscositas Color points by value of viscositas: 37
99
95
Normal % Probability
11.5
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.32
-0.28
0.76
1.80
2.84
Internally Studentized R es iduals
Gambar 5.22 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon viskositas Berdasarkan Gambar 5.22 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon viskositas menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon viskositas. Grafik contour plot pada Gambar 5.23, menunjukkan kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon viskositas. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot menunjukkan nilai respon viskositas. Warna biru menunjukkan nilai respon viskositas terendah, yaitu 11.5 cP. Warna merah menunjukkan respon viskositas tertinggi, yaitu 37.0 cP. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon viskositas yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 5.24.
Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antar komponen formula. Area yang rendah menunjukkan nilai respon viskositas yang rendah sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon viskositas yang tinggi. vis cos itas
Design-Expert® Software 95.00
viscositas Design Points 37
16.3566
11.5
92.50
B: Suhu
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu Actual Factor C: Waktu = 3.00
90.00
20.4191
5
24.4816
12.2941
87.50
28.5441
85.00 20.00
23.75
27.50
31.25
35.00
A: R as io R L:Air
Gambar 5.23 Grafik contour plot hasil uji respon viskositas Design-Expert® Software viscositas 37 11.5 33
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
viscositas
26.75
Actual Factor C: Waktu = 3.00
20.5
14.25
8
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A : Rasio RL:A ir
Gambar 5.24 Grafik tiga dimensi respon viskositas Analisis respon derajat putih Derajat putih (warna) merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam produk tepung karaginan. Derajat putih didefinisikan sebagai kemampuan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaan suatu bahan. Produk pangan yang cerah penampakannya yaitu produk pangan yang memiliki derajat putih tinggi.
94 Hasil uji respon derajat putih berkisar antara 68.50 sampai 80.35 (Tabel 5.13). Nilai derajat putih terendah yaitu 68.50 berasal dari formula 9 dengan model formula ekstraksi yaitu rasio rumput laut terhadap air 1:27.5, suhu 85 °C, dengan waktu 2 jam. Sedangkan nilai derajat putih tertinggi yaitu 80.35 dari formula 15 dengan model formula ekstraksi yaitu rasio rumput laut terhadap air 1:27.5, suhu 90 °C, dengan waktu 3 jam. Nilai rata-rata (mean) dari respon derajat putih adalah 74.32 dengan nilai standar deviasi sebesar 3.027. Tabel 5.13 Hasil uji respon derajat putih pada 17 formula proses ekstraksi refined carrageenan Rasio Rl:Air Suhu Waktu Formula Derajat putih (b:v) (°C) (Jam) 75.85 1:20 85 3 1 72.00 1:35 85 3 2 73.65 1:20 95 3 3 75.25 1:35 95 3 4 74.70 1:20 90 2 5 71.20 1:35 90 2 6 74.70 1:20 90 4 7 73.00 1:35 90 4 8 68.50 1:27.5 85 2 9 72.45 1:27.5 95 2 10 78.55 1:27.5 85 4 11 74.45 1:27.5 95 4 12 73.70 1:27.5 90 3 13 72.90 1:27.5 90 3 14 80.35 1:27.5 90 3 15 79.65 1:27.5 90 3 16 72.50 1:27.5 90 3 17 Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, model polinomial dari respon derajat putih adalah mean. Hasil analisis ragam (ANOVA), menunjukkan nilai Lack of Fit F-value sebesar 0.49 dengan nilai p “prob>f” lebih besar dari 0.05 (0.8467) adalah tidak signifikan terhadap pure error. Lack of Fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon derajat putih dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon derajat putih juga menunjukkan nilai Predicted R-Squared negatif yaitu -0.1289. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon derajat putih. Model yang dihasilkan juga hanya dibuat berdasarkan nilai mean sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Derajat putih = 74.32 Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 5.25 menunjukkan data-data untuk respon derajat putih yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat di sepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada derajat putih.
Norm al Plot of Res iduals
Design-Expert® Software derajat putih Color points by value of derajat putih: 80.35
99
95
Normal % Probability
68.5
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.98
-0.97
0.04
1.05
2.05
I nternally St udentized R es iduals
Gambar 5.25 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon derajat putih Gambar 5.26 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai derajat putih. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai derajat putih terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen formula proses ekstraksi yang diukur. derajat putih
Design-Expert® Software 4.00
derajat putih Design Points 80.35 68.5 X1 = B: Suhu X2 = C: Waktu Actual Factor A: Rasio RL:Air = 27.50
C: Waktu
3.50
5
3.00
2.50
2.00 85.00
87.50
90.00
92.50
95.00
B: Suhu
Gambar 5.26 Grafik contour plot hasil uji respon derajat putih Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 5.27 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen formula ekstraksi terhadap respon derajat putih. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai respon derajat putih yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antara komponen formula.
96
Design-Expert® Software derajat putih 80.35 68.5 81
X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
derajat putih
77.75
Actual Factor C: Waktu = 3.00
74.5
71.25
68
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A: Rasio RL:Air
Gambar 5.27 Grafik tiga dimensi hasil uji respon derajat putih Tahap Optimasi Optimasi dilakukan untuk menentukan formula dengan respon yang optimal. Optimalnya suatu respon dilihat dari nilai desirability yang mendekati 1. Pada penelitian ini komponen yang dioptimasi adalah rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi. Dari ketiga variabel tersebut, akan ditentukan tingkat kepentingannya masing-masing dalam menghasilkan produk yang optimal. Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken telah menyediakan sistem pembobotan dengan nama importance, yaitu : target (titik atau target yang hendak dicapai), in range (dalam batasan atau limit tertentu), maximize (maksimal atau batas atas dari limit), minimize (minimum atau batas bawah dari limit). Selain pengaturan kriteria dari tiap komponen penyusun dan respon, juga ditentukan tinggi rendahnya nilai kepentingan atau prioritas (importance) dari tiap respon yang akan ditentukan kriterianya. Nilai kepentingan berkisar antara 1(+) hingga 5 (+++++), yang berarti semakin tinggi nilai kepentingan dari suatu respon berarti semakin tinggi prioritas respon tersebut dalam pemenuhan kriteria yang akan dicapai (Anonim 2005). Berikut Tabel 5.14 yang menunjukkan komponenkomponen/respon yang dioptimasi, nilai targetnya, batas minimum dan maksimumnya, serta importance pada tahap optimasi formula dengan Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Komponen kondisi proses rasio rumput laut terhadap air dengan kisaran 1:20 hingga 1:35, suhu dengan kisaran 85–95 °C dan waktu dengan kisaran 2–4 jam, masing-masing dioptimalkan dengan target in range dan importance 3 (+++). Rasio perbandingan air yang tidak proporsional, serta suhu dan waktu ekstraksi yang tidak tepat dapat mempengaruhi kualitas mutu RC yang dihasilkan. Respon rendemen dan kekuatan gel masing-masing dioptimalkan dengan target maximize dan importance 5 (+++++). Hal ini dikarenakan rendemen
merupakan indikator efisisensi suatu proses produksi. Semakin tinggi rendemen suatu produk, maka nilai ekonomisnya juga semakin tinggi, demikian pula kekuatan gel. Kekuatan gel merupakan parameter penting karaginan yang menjadi dasar penggunaannya pada berbagai industri. Tabel 5.14 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan pada tahapan optimasi formula Komponen/ respon Goal Batas bawah Batas atas - Rasio rumput laut:air In range 20 35 - Suhu (°C) In range 85 95 - Waktu (jam) In range 2 4 - Rendemen (%) Maximize 25.38 30.88 - Kadar air (%) In range 9.49 12 - Kadar abu (%) In range 23.50 33.06 - Kadar abu tak larut asam (%) In range 0.08 0.85 - Kadar sulfat (%) In range 16.63 18.85 - Kekuatan gel (g/cm2) Maximize 1 136.10 2 062.60 - Viskositas (cP) In range 11.50 37.00 - Derajat putih In range 68.50 80.35
importance Importance 3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 5 (+++++) 3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 5 (+++++) 3 (+++) 3 (+++)
Respon lainnya yaitu kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, viskositas masing-masing ditargetkan in range dengan importance 3 (+++). Respon-respon yang diujikan tersebut berada pada kisaran yang dipersyaratkan FAO, FCC dan EEC, yaitu kadar air dengan kisaran maksimal 12%, kadar abu dengan kisaran 15–40% yang dipersyaratkan FAO dan EEC sedangkan FCC mensyaratkan maksimal 35%. Kadar abu tak larut asam dipersyaratkan FCC maksimal 1% dan EEC mensyaratkan maksimal 2%. Kadar sulfat dipersyaratkan FAO dan EEC dengan kisaran 15–40% dan FCC dengan kisaran 18–40%. Viskositas dipersyaratkan FAO, FCC dan EEC dengan minimal 5 cP. Respon derajat putih dengan kisaran 68.50–80.35 ditargetkan in range dan importance 3 (+++), karena pengukurannya dilakukan secara obyektif menggunakan instrument. Dari tahap optimasi yang dilakukan, Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken akan merekomendasikan formula proses ekstraksi dengan nilai desirability tertinggi yaitu kondisi proses dengan rasio rumput laut terhadap air 1:25.22, suhu 85.80 °C, selama 4 jam. Kondisi proses ini diprediksikan akan menghasilkan RC dengan rendemen 30.00%, kadar air 11.41%, kadar abu 27.38%, kadar abu tak larut asam 0.31%, kadar sulfat 17.17%, kekuatan gel 1 887.92 g/cm2, viskositas 23.49 cP dan derajat putih 74.32. Nilai desirability kondisi proses ini sebesar 0.826 yang artinya kondisi proses tersebut akan menghasilkan produk dengan karakteristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 82.6%. Grafik contour plot dan grafik tiga dimensi untuk desirability formula optimum dapat dilihat pada Gambar 5.28 dan 5.29. Contour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan
98 kombinasi dari ketiga komponen dengan kondisi yang berbeda menghasilkan nilai desirability yang sama, yaitu kombinasi antara rasio rumput laut terhadap air 1:25.2, suhu 85.80 °C, dan waktu 4 jam menghasilkan nilai desirability 0.826.
Design-Expert® Software
Desirability
Desirability Design Points 1
95.00
0.138 0.275
0
0.413 X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
92.50
0.550
B: Suhu
Actual Factor C: Waktu = 4.00
0.688 90.00
87.50
0.138
0.275 0.138 Prediction
0.826
0.413 0.550 85.00 20.00
23.75
27.50
31.25
35.00
A: R asio R L:Air
Gambar 5.28 Grafik contour plot nilai desirability formula optimum Gambar 5.29, merupakan bentuk tiga dimensi dari contour plot yang menunjukkan nilai desirability tertinggi terletak pada area yang tinggi dan nilai desirability terendah terletak pada area yang rendah. Design-Expert® Software Desirability 1 0 X1 = A: Rasio RL:Air X2 = B: Suhu
0.830 Actual Factor C: Waktu = 4.00
Desirability
0.623
0.415
0.208
0.000
95.00
35.00 92.50
31.25 90.00
B: Suhu
27.50 87.50
23.75 85.00
20.00
A : Rasio RL:Air
Gambar 5.29 Grafik tiga dimensi nilai desirability formula optimum
Tahap verifikasi Proses verifikasi dilakukan untuk memperoleh nilai aktual setiap respon dari formula yang direkomendasikan. Verifikasi formula (kondisi proses) dilakukan dengan dua kali ulangan. Uji mutu yang dilakukan dalam tahapan verifikasi sama dengan uji mutu RC yang digunakan untuk menghasilkan variabel respon aktual. Berdasarkan kondisi proses tersebut diperoleh RC dengan respon rendemen sebesar 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1 833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.80. Penentuan sesuai tidaknya nilai respon hasil verifikasi dengan yang diprediksikan, dapat diketahui dengan melihat nilai confident interval dan prediction interval yang telah disediakan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken. Confident interval adalah kisaran yang menunjukkan ekspektasi rata-rata hasil pengukuran berikutnya pada taraf signifikansi 5%. Prediction interval adalah kisaran yang menunjukkan ekspektasi hasil pengukuran respon berikutnya dengan kondisi sama pada taraf signifikansi 5%. Perbandingan prediksi nilai respon yang direkomendasikan oleh program dengan nilai respon aktual hasil verifikasi dapat dilihat pada Tabel 5.15. Tabel 5.15 Perbandingan prediksi dan nilai respon aktual hasil verifikasi solusi formula optimum dengan Program Design Expert 7.0® Formula
Respon -
Rendemen (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar abu tak larut asam (%) Kadar sulfat (%) Kekuatan gel (g/cm2) Viskositas (cP) Derajat putih
Prediksi 30.00 11.41 27.38
Hasil verifikasi 31.74 10.69 30.52
95%CI Low 28.61 10.50 26.05
95%CI High 31.39 12.33 28.71
95%PI Low 27.71 9.56 21.74
95%PI High 32.29 13.26 33.02
0.31 17.17 1 887.92 23.49 74.32
0.21 17.12 1 833.37 27.00 74.80
0.19 16.43 1 757.00 19.12 72.76
0.42 17.90 2 030.87 27.99 75.87
-0.19 15.89 1 626.09 11.83 67.72
0.81 18.44 2 149.76 35.16 80.92
Tabel 5.15 memperlihatkan bahwa hasil verifikasi solusi formula optimum yang direkomendasikan oleh program tidak persis sama, namun kisaran nilainya berada di antara 95% PI low dan 95% PI high. 95% PI (Prediction Interval) low adalah nilai terendah dari kisaran yang diprediksikan, dimana memiliki nilai kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95%, sedangkan 95% PI (Prediction Interval) high adalah nilai tertinggi dari kisaran yang diprediksikan, dimana memiliki nilai kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95%. Dengan demikian solusi formula yang diprediksikan oleh Program DX 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, sesuai dengan hasil uji yang diperoleh (Noordin et al. 2004). Berdasarkan hasil verifikasi, diperoleh RC dengan rendemen sebesar 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1 833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.80. Hasil uji mutu RC yang diperoleh telah memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan oleh FAO, FCC dan EEC untuk tepung karaginan.
100 Perbandingan Sampel Produk dengan Produk Komersial Perbandingan sampel produk dengan produk komersial dilakukan dengan tujuan melihat mutu sampel produk berdasarkan paramater uji terhadap mutu produk komersial. Hasil perbadingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.16. Tabel 5.16 Perbandingan mutu sampel produk dengan produk komersial “RC” Uji Mutu Sampel produk “RC” Komersial Rendemen (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar abu tak larut asam (%) Kadar sulfat (%) Kekuatan gel (g/cm2) Viskositas (cP) Derajat putih
31.74 10.69 30.52 0.21 17.12 1 833.37 27.00 74.80
≤ 12 ≤ 35 <1 1 300 >5 -
Tabel 5.16, memperlihatkan bahwa secara keseluruhan uji mutu sampel produk yang dihasilkan dengan teknologi yang sederhana, tidak berbeda jauh dengan mutu produk komersial. Dengan demikian produksi RC pada skala pilot plant dengan kondisi alat yang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, dapat dijadikan percontohan untuk memproduksi RC dalam bentuk industri kecil atau UKM.
Simpulan Pada proses peningkatan skala, kondisi proses ekstraksi yang optimum pada skala laboratorium tidak dapat diterapkan langsung pada skala pilot plant, karena adanya perbedaan geometris antara skala laboratorium dengan skala pilot plant memungkinkan terjadinya perbedaan kondisi proses dalam menghasilkan karaginan. Namun, kondisi ekstraksi yang optimum pada skala laboratorium dapat dijadikan standar dalam kajian peningkatan skala, dan diperlukan proses uji coba untuk penerapannya pada skala pilot plant. Hasil optimasi skala laboratorium rendemen dan kekuatan gel ATC optimal dihasilkan dari kondisi proses konsentrasi KOH 6%, suhu 78 oC dengan waktu ekstraksi 1 jam dengan rendemen 38.72% dan kekuatan gel sebesar 1 105.31 g/cm2. Setelah proses uji coba skala pilot plant karakteristik produk yang identik dihasilkan dari kondisi proses konsentrasi KOH 6%, suhu 85 oC dengan waktu ekstraksi 2 jam. Nilai rendemennya adalah 37.79% dan kekuatan gelnya 1 114.69 g/cm2. Formulasi proses produksi RC pada berbagai kondisi proses menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap respon rendemen, kadar air, kadar sulfat, kekuatan gel dan viskositas dari RC, tapi terhadap respon kadar abu, kadar abu tak larut asam serta derajat putih dianggap sama pada semua kondisi proses. Kondisi proses optimum untuk memproduksi RC pada skala pilot plant adalah pada kondisi proses dengan rasio rumput laut terhadap air 1:25.22, suhu 85.80 °C, selama 4 jam. Pada kondisi tersebut diperoleh produk RC dengan rendemen 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam
0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1 833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.80. RC hasil ekstraksi skala pilot plant, dilihat dari segi proses sudah cukup optimal, kualitas karaginan yang dihasilkan memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh Food Agricultural Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC) dan European Economic Community (EEC).
102
6 PEMETAAN POTENSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT
Abstract In order to support the government's program to develop downstream seaweed industrialization, a simple application of technology in producing carrageenan becomes an alternative to produce carrageenan in ATC and RC forms. However, the development of an industry is not only related to technology but also directly related to the availability of raw materials. Therefore, to support the development, it could be started with spotting the centers of seaweed production carrying out the mapping process, thus the development of carrageenan industry at Small Medium Enterprise scale can be guaranteed with its sustainability in production. This study aimed to map the area potency in order to develop production process of carrageenan at pilot plant scale using Principal Component Analysis. Based on PCA, it was known that 91 districts in Indonesia, which were potential to develop pilot plant scale carrageenan industries, and mapped into 4 groups based on the similarity of its carrying capacities. The first group consists of 14 districts with 9 potential carrying capacities, the second group consists of 19 districts with 4 potential carrying capacities, the third group consists of 22 districts with 5 potential carrying capacities, and the fourth group consists of 36 districts with 4 potential carrying capacities. Key words: ATC, mapping, pilot plant scale, principal component analysis, RC, SME (Small Medium Enterprise)
Pendahuluan Upaya pemerintah dalam mengembangkan industri hilir rumput laut melalui pengembangan industri yang bernilai tambah yaitu alkali treated cottonii (ATC) dan refined carrageenan (RC), dimulai sejak dicanangkannya rumput laut sebagai komoditas yang direvitalisasi, namun upaya tersebut masih perlu ditingkatkan, mengingat keberadaan industri yang menghasilkan karaginan tersebut, masih tergolong minim (sekitar 11 industri dan dua diantaranya industri RC) dan pada umumnya terpusat di kota-kota besar (KKP 2012). Di lain sisi kebutuhan karaginan dalam negeri masih mengandalkan impor. Kondisi ini merupakan suatu peluang dan tantangan untuk pengolahan rumput laut. Dalam rangka menunjang program pemerintah dalam peningkatan pengembangan industrialisasi rumput laut di hilir, penerapan teknologi yang sederhana dalam memproduksi karaginan merupakan alternatif yang dapat diterapkan agar dapat menghasilkan karaginan dalam bentuk ATC maupun RC yang lebih efisien dan menguntungkan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan optimalisasi dalam memproduksi karaginan, untuk dapat dikembangkan di skala UKM, dengan harapan dapat
104 menghasilkan karaginan dengan kualitas yang dapat memenuhi standar yang telah dipersyaratkan untuk karaginan tapi dihasilkan dari teknologi yang sederhana. Namun demikian pengembangan suatu industri, tidak hanya terkait dari segi teknologi tetapi juga terkait langsung dengan ketersediaan bahan baku, sebagai salah satu faktor penentu, yang harus tersedia secara kontinyu baik kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu untuk menunjang pengembangan tersebut, diawali dengan mengetahui sentra-sentra produksi rumput laut, yang diaktualisasikan dalam bentuk pemetaan, agar pengembangan industri karaginan yang berskala UKM dijamin keberlanjutannya dalam berproduksi. Dalam hal ini ketersediaan bahan baku bukan jadi penghalang suatu UKM tidak berproduksi. Salah satu tools yang dapat digunakan untuk memetakan potensi daerah wilayah pengembangan industri karaginan adalah Principal Component Analysis (PCA). Tools ini merupakan metode statistik yang digunakan untuk mengurangi dimensi yang menggantikan peubah dalam data peubah ganda dengan sejumlah peubah turunan yang lebih sedikit (Al-Kandari dan Jolliffe 2005). Penelitian ini bertujuan mengetahui wilayah Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan lokasi pengembangan industri ATC dan RC, mengidentifikasi dan memetakan potensi pengembangan industri karaginan pada wilayah tingkat kabupaten di Indonesia. Implikasi hasil penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi dalam meningkatkan pengembangan industri karaginan di hilir.
Metode Penelitian Pada bagian ini dijelaskan jenis dan sumber data, objek dan peubah yang digunakan dalam penelitian serta tahapan analisis yang akan dilakukan pada pembahasan. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan-laporan, literatur, publikasi dan dokumen-dokumen dari lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang terkait dengan potensi pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) masing-masing provinsi dan beberapa instansi lainnya yang terkait dengan topik penelitian yang mendukung ketersediaan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Peubah dan Objek Penelitian Data yang dikumpulkan merupakan peubah dalam penelitian ini, dan disajikan pada Tabel 6.1, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten di Indonesia yang produksi rumput laut keringnya jenis K. alvarezii lebih dari 100 ton/tahun.
Tabel 6.1 Jenis dan sumber data yang dikumpulkan No
Metode Pengumpulan Data
Nama Data
Tahun 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2010/2011 2012 2011
Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur
2011/2012
Studi literatur
2011/2012
Studi literatur
15 16
Potensi lahan Luas lahan yang termanfaatkan Produksi rumput laut kering Rumah Tangga Petani (RTP) Jumlah penduduk Angkatan kerja Balai Latihan Kerja (BLK) Institusi terkait Sarana pendidikan Lembaga perbankan Industri olahan rumput laut Kerjasama dengan industri rumput laut Sarana kesehatan - Puskesmas Sarana telekomunikasi - Plaza Telkom - Air - SPBU
2010/2011 2011
Studi literatur Studi literatur
17 18 19 20 21
-
2011/2012 2010/2011 2011 2011 2011
Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur Studi literatur
2011
Studi literatur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jalan Listrik Bandara Pelabuhan Pasar
22 - Jamsostek/Jamkesmas
Sumber Data KKP BPS,KKP KKP BPS, KKP BPS, KKP BPS, KKP BPS, KKP BPS, KKP BPS, KKPP Kantor Bank KKP KKP, BKPM Kementerian Kesehatan RI PT.Telkom PDAM, BPS BPS, Pertamina BPS, PDAM BPS, PT.PLN BPS BPS, Pelindo Kabupaten dalam angka Kantor Jamsostek
Analisis Data Analisis data yang dilakukan untuk memetakan wilayah-wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant, dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Software XLSTAT 2013 dengan Program Principal Component Analysis. Hasil olahan data tersebut berupa informasi yang dipetakan dalam bentuk kuadran. Hasil dan Pembahasan Hasil analisis data terhadap seluruh wilayah Indonesia yang membudidayakan rumput laut K. alvarezii, diperoleh 91 kabupaten dari 17 provinsi yang memiliki produksi rumput laut kering di atas 100 ton per tahun. Kabupaten-kabupaten yang terpilih tersebut menjadi obyek dalam penelitian ini, dan disajikan pada Tabel 6.2.
106 Tabel 6.2 Obyek penelitian berdasarkan kabupaten yang produksi rumput laut kering jenis K. alvarezii lebih dari 100 ton/tahun Produksi rumput laut No Provinsi Kabupaten kering jenis K. alvarezii (ton) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Bali
Banten Gorontalo
Jawa Timur
Kalimantan Timur
Kep. Bangka Belitung
19 20 Lampung 21 22 Maluku 23 24 25 26 27 28 29 Maluku Utara 30 31 Nusa Tenggara Barat 32 33 34 35 36 37 38 39 Nusa Tenggara Timur 40 41 42 43
Denpasar Badung Klungkung Serang Boalemo Pohuwato Gorontalo Utara Pamekasan Situbondo Sumenep Banyuwangi Nunukan Tarakan Kutai Timur Bontang Balikpapan Pasir Belitung Bangka Selatan Lampung Selatan Pesawaran Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Kepulauan Aru Maluku Barat Daya Kota Tual Halmahera Barat Halmahera Selatan Kepulauan Sula Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Sumba Timur Manggarai Ngada Sikka Flores Timur
126.38 2 121.25 9 517.00 5 222.50 3 274.13 2 458.00 2 189.75 153.89 553.63 46 947.60 421.88 14 591.38 157.45 201.59 686.94 445.91 1 127.38 433.63 295.02 173.38 231.00 2 553.78 1 108.38 7 947.40 16 593.88 7 236.00 4 936.00 49 754.76 264.38 1 507.59 8 870.29 2 966.25 2 686.72 8 725.25 4 293.38 1 397.96 658.25 5 723.75 503.63 3 330.09 1 536.65 4 231.58 845.43
No Provinsi 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
Papua Barat
Sulawesi Barat Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Kabupaten Alor Kupang Timor Tengah Utara Lembata Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Manggarai Timur Sabu Raijua Kaimana Sorong Raja Ampat Polewali Mandar Mamuju Luwu Luwu Utara Wajo Bone Sinjai Bulukumba Selayar Bantaeng Jeneponto Takalar Pangkep Pinrang Luwu Timur Palopo Banggai Banggai Kepulauan Morowali Donggala Parigi Moutong Toli-Toli Tojo Una-Una Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Buton Utara Konawe Utara Minahasa Selatan Minahasa Minahasa Utara
Produksi rumput laut kering jenis K. alvarezii (ton) 17 001.00 8 365.50 150.10 7 153.50 1 129.00 231.15 3 057.75 304.94 448.38 8 228.13 625.00 423.75 3 104.50 1 514.01 2 067.38 46 941.00 772.50 1 556.50 6 987.38 683.75 8 924.00 1 300.50 8 622.00 18 740.00 56 152.60 8 391.50 271.50 3 296.25 1 391.88 15 600.00 37 886.30 27 251.00 625.00 218.75 623.80 719.75 1 298.00 9 585.76 546.88 14 548.40 25 128.40 11 329.50 424.07 732.66 402.00 2 746.44 117.25 13 475.70
108 Faktor-Faktor Pendukung dalam Memetakan Potensi Rumput Laut K. alvarezii di Beberapa Wilayah di Indonesia Dari hasil analisis diperoleh 22 faktor pendukung yang digunakan dalam memetakan potensi rumput laut K. alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant, dan disajikan pada Tabel 6.3. Tabel 6.3 Faktor-faktor pendukung pemetaan potensi K. alvarezii No Aspek potensi Definisi operasional sumberdaya 1 Potensi lahan 2 Luas lahan yang termanfaatkan 3 Produksi rumput laut kering 4 Rumah Tangga Perikanan (RTP)
5 Jumlah penduduk
6 Angkatan kerja
7 Balai Latihan Kerja (BLK)
8 Institusi terkait 9 Sarana pendidikan 10 Lembaga perbankan
Luas lahan yang tersedia untuk pembibitan rumput laut, dinyatakan dalam satuan hektar. Luas seluruh areal produktif atau panen rumput laut di wilayah kabupaten yang dinyatakan dalam satuan hektar. Produksi rumput laut kering adalah jumlah total produksi rumput laut kering yang dihasilkan dari seluruh wilayah kabupaten yang dinyatakan dalam satuan ton. Jumlah rumah tangga perikanan yang ada di kabupaten. Keberadaan RTP yang terdapat di kabupaten, dapat menunjang dalam perolehan bahan baku. Hampir di seluruh kabupaten yang terpilih terdapat masyarakat yang berprofesi sebagai RTP dengan jumlah cukup memadai, sehingga dapat menunjang dalam perolehan bahan baku. Semua orang yang berdomisili di wilayah kabupaten selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap (BPS 2011), dinyatakan dalam satuan jiwa. Jumlah tenaga kerja yang ada di kabupaten dapat dilihat dari jumlah angkatan kerjanya. Jumlah SDM yang banyak, tidak perlu khawatir kekurangan tenaga kerja dalam pengembangan industri pengolahan perikanan. Upaya pengembangan industri pengolahan perikanan diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan wilayahnya. Jumlah wadah yang menampung kegiatan pelatihan untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori. Jumlah institusi yang membantu petani dalam mengembangkan usahanya. Keberadaan sarana pendidikan suatu kabupaten, sebagai indikator tingkat pendidikan suatu kabupaten. Pengembangan perbankan diarahkan untuk lebih memperlancar arus barang dan jasa, sehingga terciptanya keadaan dan perkembangan harga yang layak dan bersaing dalam rangka menunjang usaha peningkatan produksi perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan serta pemanfaatan stabilitas ekonomi daerah.
No
Aspek potensi sumberdaya
11 Industri olahan rumput laut 12 Kerjasama dengan industri rumput laut 13 Sarana Kesehatan Puskesmas 14 Sarana Telekomunikasi - Plaza Telkom 15 Air
16 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
17 Jalan
18 Listrik
19 Bandara
20 Pelabuhan
21 Pasar
22 Jamsostek/ Jamkesmas
Definisi operasional Jumlah industri olahan rumput laut dalam suatu kabupaten Kabupaten yang bekerjasama dengan suatu industri rumput laut. Keberadaan sejumlah sarana kesehatan dalam menunjang kesehatan para petani, dan tenaga kerja suatu industri. Keberadaan jaringan telekomunikasi, sebagai indikator yang dapat menunjang kegiatan proses produksi. Tersedianya air bersih setiap kabupaten yang sudah menggunakan layanan PDAM. Jaringan air bersih dibutuhkan untuk pengembangan industri pengolahan dalam proses produksi dan memenuhi kebutuhan para pekerja. Merupakan prasarana umum yang disediakan oleh PT. Pertamina untuk masyarakat luas guna memenuhi kebutuhan bahan bakar. Ketersediaan SPBU untuk menunjang kebutuhan bahan bakar dalam menjalankan proses pengolahan. Ketersediaan jaringan jalan untuk menunjang pengembangan suatu industri, untuk memperlancar distribusi bahan baku dan hasil produksi. Besarnya daya listrik yang disediakan berdasarkan jumlah pengguna di tiap kabupaten. Jaringan listrik sangat diperlukan untuk menunjang proses produksi suatu industri. Jumlah pelabuhan udara yang merupakan fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Keberadaan suatu bandara sebagai bentuk layanan masyarakat yang mempermudah dalam bertransportasi. Jumlah pelabuhan yang merupakan fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Jumlah pasar tiap kabupaten yang dapat memasarkan produk agroindustri yang memadai sehingga dapat mendukung pengembangan agroindustri. Jumlah bentuk badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. Jamsostek pada umumnya terpusat di tingkat provinsi, sedangkan Jamkesmas dialokasikan di tingkat kabupaten.
110 Pemetaan Potensi K. Alvarezii dan Daya Dukung Wilayah dengan Principal Component Analysis (PCA) Pemetaan potensi K. alvarezii berdasarkan daya dukung suatu wilayah (kabupaten) yang terdiri dari 22 (Tabel 6.3), dilakukan dengan menggunakan piranti lunak software XLSTAT 2013 dengan Program Principal Component Analysis (PCA). PCA pada umumnya merupakan salah satu metode statistik yang sering dipakai apabila seorang peneliti dihadapkan pada kasus yang melibatkan lebih dari satu variabel dan antar variabel tersebut berkorelasi. Penggunaan PCA sebagai satu alat analisis, akan memudahkan peneliti untuk dapat memberikan interpretasi atas suatu permasalahan yang melibatkan lebih dari satu variabel. Menurut Chew et al. (2004), PCA dapat memudahkan visualisasi pengelompokan data, evaluasi kesamaan antar kelompok atau kelas, dan menemukan faktor atau alasan dibalik pola yang teramati melalui korelasi berdasarkan pencirian contoh. Penyederhanaan peubah dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi di antara peubah bebas melalui transformasi peubah bebas asal ke peubah baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component (PC). Pemilihan PC dilakukan sehingga PC pertama memiliki variasi terbesar dalam set data, sedangkan PC kedua tegak lurus terhadap PC pertama dan memiliki variasi terbesar selanjutnya. Dua PC pertama pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi untuk inspeksi visual dari data. Setiap peubah baru (skor atau PC) yang dihasilkan PCA merupakan kombinasi linier peubah asli pengukuran (Miller dan Miller 2000). Dari bobot hasil analisis dijadikan input data untuk melakukan analisis komponen utama dengan PCA selanjutnya, yaitu multikriteria analisis yang digunakan untuk mengetahui pemetaan wilayah pengembangan produksi karaginan skala pilot plant dan dijadikan sebagai variabel. PCA dapat menjelaskan jumlah keragaman dari yang terbesar sampai jumlah keragaman terkecil yang tersembunyi dan PCA dapat mengurangi informasi yang terdiri dari banyak variabel menjadi dua atau tiga komponen utama. Analisis PCA menggunakan software XLSTAT 2013 menghasilkan data eigenvalue dan data korelasi serta grafik scree plot, score plot, loading plot, dan biplot. Suatu eigenvalue menunjukkan besarnya sumbangan dari faktor terhadap varian seluruh variabel asli (Gambar 6.1). Eigenvalue merupakan hasil reduksi dan seluruh matriks data pada setiap variabel. Score plot menampilkan jumlah komponen utama (F). Penentuan jumlah komponen utama (F) yang digunakan berdasarkan eigenvalue yang menerangkan keragaman komponen utama. Nilai eigenvalue menunjukkan nilai yang semakin menurun, hal ini menunjukkan keragaman data yang dijelaskan akan semakin kecil pada komponen utama yang terakhir. Persen keragaman menunjukkan besarnya keragaman data yang dapat dijelaskan pada tiap komponen utama, sedangkan persen kumulatif merupakan penjumlahan persentase keragaman data (% variance) pada komponen utama. Komponen utama (F1) ditunjukkan oleh garis yang horizontal, komponen utama (F2) ditunjukkan oleh garis yang vertikal. Komponen F1 dapat menjelaskan sebesar 17.15% dari total keragaman, sedangkan komponen F2 dapat menjelaskan sebesar 9.76% keragaman data. Adapun total keragaman F1 dan F2 adalah sebesar 26.91% (Gambar 6.2).
Scree plot 4
100
3.5 80
2.5
Cumulative variability (%)
Eigenvalue
3 60
2 40
1.5 1
20 0.5 0
0 F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21 F22
axis
Gambar 6.1 Scree plot (eigenvalue) Variables (axes F1 and F2: 26.91 %) 1 12
III
0.75
I
0.5 3
1912
F2 (9.76 %)
0.25 5
18
0
17
4
-0.25
7 20 11
6 15 21
9
22 10 16 14
8
-0.5
13
-0.75
II
IV
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
F1 (17.15 %)
Gambar 6.2 Score plot dari hubungan antar variabel dengan F1 dan F2 Berdasarkan Gambar 6.2, diketahui bahwa dua komponen utama yaitu PC1 (F1) dan PC2 (F2) dan dari nilai eigenvector dapat ditentukan hubungan secara positif atau negatif. Variabel-variabel atau atribut yang dapat dijelaskan oleh kelompok pertama terdiri atas variabel daya dukung dengan simbol 7 (Balai Latihan Kerja), 9 (sarana pendidikan), 10 (Bank), 11 (industri olahan rumput laut, 12 (kerjasama dengan industri olahan rumput laut), 16 (SPBU), 19 (bandara), 20 (pelabuhan) dan 22 (jamsostek/jamkesmas); kelompok kedua variabel daya dukung dengan simbol 8 (institusi terkait), 13 (puskesmas), 14 (telekomunikasi), dan 17 (jalan); kelompok ketiga variabel daya dukung dengan simbol 1 (potensi lahan), 2 (lahan yang termanfaatkan), 3 (produksi rumput laut kering), 5 (jumlah penduduk)
112 dan 18 (listrik), dan kelompok keempat variabel daya dukung dengan simbol 4 (rumah tangga perikanan), 6 (angkatan kerja), 15 (Air) dan 21 (pasar). Gabungan antara loading plot dan score plot dinamakan dengan biplot (Gambar 6.3). Biplot adalah salah satu upaya menggambarkan data-data yang ada pada tabel ringkasan dalam grafik berdimensi dua. Kata bi menunjukkan dua jenis informasi yang terdapat dalam matriks. Baris menunjukkan sampel atau unit sampel, sedangkan kolom menunjukkan variabel. Grafik biplot berfungsi untuk menginterpretasikan hubungan antara dua atribut. Hal penting yang dapat dilihat dari analisis biplot yaitu: 1) hubungan (korelasi) antar peubah akan digambar sebagai garis berarah. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama, atau membentuk sudut yang sempit. Apabila dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang arahnya berlawanan, atau membentuk sudut yang lebar. Sedangkan dua buah peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang mendekati 90°. 2) keragaman peubah, informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada peubah tertentu yang nilainya hampir sama setiap objek ada yang sama besar dan ada juga yang sangat kecil. Dalam biplot, peubah dengan keragaman kecil, digambarkan dengan vektor yang pendek, sedangkan peubah yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang, 3) kedekatan antar objek, informasi ini bisa dijadikan panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek tertentu (Rencher 2002). Dalam biplot, dua objek dengan karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan, 4) Nilai peubah pada suatu objek, informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari setiap objek. Objek yang terletak searah dengan arah dari suatu peubah dikatakan bahwa pada objek tersebut nilainya di atas rata-rata. Sebaliknya jika objek lain terletak berlawanan dengan arah dan peubah tersebut maka objek tersebut memiliki nilai dekat dengan rata-rata (Mattjik et al. 2004). 6
Halmahera Barat
Biplot (axes F1 and F2: 26.91 %) Kota Tual Belitung
III
I
Bangka Selatan
4
F2 (9.76 %)
Minahasa Utara 2
0
-2
IV
12
Banggai TojoMaluku Una-Una Bangkep Tenggara Barat Luwu Kepulauan Aru Sabu Raijua 3 Maluku Barat DayaToli-Toli Buton Utara Boalemo Kepulauan Sula Maluku Tenggara Lembata Ngada Bulukumba Pohuwato518
Kupang Donggala Balikpapan Lampung Selatan 12 Jeneponto Takalar Mamuju 19 Sumenep Palopo Tarakan 720 229Gorontalo Utara 10 16 11 Bontang
Kutai Timur Morowali Barat Seram Bagian Pangkep Timur Alor 4 Flores Timur Bombana Sumba Timur Sumba Tengah Sumba Pesawaran Barat Daya Bantaeng 6 Raja Ampat Pasir Manggarai Halmahera Selatan 15 Manggarai Barat Muna Kaimana Sikka Selayar Sumbawa Barat 21 Klungkung Luwu Utara Luwu Timur Polewali Mandar Manggarai WakatobiTimur Konawe Selatan Buton Dompu Kolaka Konawe UtaraRote Ndao Konawe
Timor Tengah Utara 17 14 sorong Parigi Moutong Nunukan Sumbawa 8Badung Bone Sinjai Pinrang Wajo 13 Minahasa Selatan Banyuwangi Lombok Barat Pamekasan Bima Lombok Timur Minahasa Situbondo Lombok Tengah
Denpasar Serang
II
-4 -10
-8
-6
-4
-2
0
2
F1 (17.15 %)
4
6
8
10
12
Gambar 6.3 Biplot F1 dan F2 hasil analisis utama atribut kabupaten yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan
Berdasarkan Gambar 6.3, memberikan informasi hasil olahan data dalam bentuk peta posisi berbentuk kuadran yang merupakan pemetaan wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant berdasarkan potensi daya dukungnya. Dari hasil pemetaan tersebut diperoleh empat kelompok wilayah kabupaten berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukungnya. Ringkasan hasil pemetaan pada keempat kelompok wilayah tersebut di atas disajikan pada Tabel 6.4, 6.5, 6.6, dan 6.7. Hasil pemetaan pada kuadran (kelompok) pertama Hasil pemetaan pada kelompok pertama diperoleh 14 kabupaten (Tabel 6.4), dengan kemiripan daya dukungnya yang meliputi Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas. Kabupaten-kabupaten pada kelompok pertama ini terdapat di Provinsi Bali, Banten, Gorontalo, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Tabel 6.4
Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) I Faktor Pendukung
Kabupaten/ Kota Balikpapan Bontang Denpasar Donggala Gorontalo Utara Jeneponto Kupang Lampung Selatan Mamuju Palopo Serang Sumenep Takalar Tarakan
BLK
Sarana pendidik an
Bank
Ind. olahan RL
Kerjasama Ind. Olhn RL
SPBU
Bandara
Pelabuh an
Jamsostek/jamkesmas
1 1 2 2
9 3 25 1
45 9 61 2
0 0 1 0
0 0 1 0
6 2 4 3
1 0 1 1
4 1 2 5
3 3 4 1
1
10
16
0
1
2
0
1
3
2 1
6 19
6 51
1 2
1 1
3 4
0 1
2 2
1 2
1
5
7
0
0
11
1
1
3
1 1 1 1 1 1
8 13 15 4 2 5
24 5 40 14 43 12
0 4 0 0 0 0
0 2 0 0 0 0
4 4 14 3 3 4
1 0 1 1 0 1
4 1 11 2 1 1
1 3 3 1 1 2
Hasil pemetaan pada kuadran (kelompok) kedua Pemetaan pada kelompok kedua diperoleh 19 kabupaten (Tabel 6.5), dengan kemiripan daya dukungnya yang meliputi institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan. Kabupaten-kabupaten pada kelompok kedua ini terdapat di Provinsi Bali, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
114 Tabel 6.5 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) II Kabupaten/Kota Badung Banyuwangi Bima Bone Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Minahasa Minahasa Selatan Nunukan Pamekasan Parigi Moutong Pinrang Sinjai Situbondo Sorong Sumbawa Timor Tengah Utara Wajo
Institusi terkait 3 1 2 1 3 4 3 3 3 3 1 2 1 3 3 1 1
Faktor Pendukung Puskesmas Telekomunikasi 82 2 201 4 104 5 150 4 72 2 115 3 114 2 69 4 112 2 67 3 92 2 18 3 82 4 14 3 101 4 61 4 117 2
Jalan 50.20 72.00 67.54 41.70 0.00 0.00 51.50 97.00 60.00 48.70 72.00 35.00 24.90 48.90 72.00 18.00 40.73
1
83
2
100.00
1
98
6
51.90
Hasil pemetaan pada kuadran (kelompok) ketiga Pemetaan pada kelompok ketiga diperoleh 22 kabupaten (Tabel 6.6), dengan kemiripan daya dukungnya yang meliputi luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik. Kabupaten-kabupaten pada kelompok ketiga ini terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara Tabel 6.6 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) III Faktor Pendukung Luas Lahan yg Produksi Jumlah Listrik Kabupaten/ lahan termanfaRL Penduduk (Kwh) Kota Banggai Banggai Kepulauan Bangka Selatan Belitung Boalemo Bulukumba Buton Utara Halmahera Barat Kepulauan Aru Kepulauan Sula Kota Tual
(ha) 20 212.0 10 451.0 37 167.0 39 490.0 15 838.2 7 860.0 5 100.0 43 067.0 1 330.4 5 678.0 30 518.5
atkan 4 102.1 7 132.6 18 126.0 20 203.0 140.5 1 784.8 1 200.0 26 983.0 1 587.0 1 342.0 15 259.4
(ton) 15 475.0 37 886.3 295.0 433.6 2 458.0 8 924.0 73 265.9 264.4 7 236.0 8 870.3 49 754.8
329.61 174.80 177.95 160.87 129.25 398.53 55.83 100 424.00 86.47 132 254.00 59.69
69 796 049.00 10 880 823.00 8835.00 35 189.00 11 442 873.00 74637429.00 1 977 429.00 77.21 97 225 859.00 46.69 57 109 251.00
Kabupaten/ Kota Lembata Luwu Maluku Barat Daya Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Minahasa Utara Ngada Pohuwato Sabu Raijua Tojo Una-Una Toli-Toli
Luas lahan (ha) 5 784.0 24 212.0 7 639.6 7 950.6 15 487.2
Lahan yg termanfaatkan 2 568.0 4 580.1 3 814.9 1 090.1 3 0 41.0
44 000.0 6 789.0 6 600.0 16 580.0 8 704.0 7 592.0
2 500.0 3 125.0 403.5 1 101.8 5 758.0 499.0
Faktor Pendukung Produksi Jumlah RL Penduduk (ton) 7 153.5 121.01 46 941.0 4 485.00 4 936.0 72.67 7 947.4 99.11 16 593.9 108.26 13 475.7 1 536.7 3 274.1 8 228.1 71 975.0 6 238.0
191.04 148.46 128.75 74.40 140.36 215.20
Listrik (Kwh) 11 030 940.00 48 960 028.00 116 262 276.00 116 262 276.00 108 026.00 64 000.00 16 464 600.00 23 956 276.00 5 900 528.00 13 875 504.00 34 839 476.00
Hasil pemetaan pada kuadran (kelompok) keempat Pemetaan pada kelompok keempat diperoleh 22 kabupaten (Tabel 6.7), dengan kemiripan daya dukungnya yang meliputi rumah tangga perikanan, angkatan kerja, air dan pasar. Kabupaten-kabupaten pada kelompok keempat ini terdapat di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Tabel 6.7 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya dukung pada kuadran (kelompok) IV Kabupaten/ Kota Alor Bantaeng Bombana Buton Dompu Flores Timur Halmahera Selatan Kaimana Klungkung Kolaka Konawe Konawe Selatan Konawe Utara Kutai Timur Luwu Timur Luwu Utara Manggarai Manggarai Barat Manggarai Timur Morowali Muna Pangkep Pasir
RTP 4 155 3 822 1 410 4 245 231 16 425 337 250.1 3 053 7 038 443 3 397 402 163 864 221 309 1 963 215 2 245 2 872 2 690 123
Faktor Pendukung Angkatan kerja (%) Air (m3) 73.87 994 000 77.92 1 334 387 72.46 3 601 843 70.67 376 416 253 64.21 2 448 250 69.73 1 971 934 70.25 6 708 72.35 900 83.31 5 628 699 73.25 376 414 387 63.00 49 865 932 75.73 377 975 808 78.89 430 336 280 68.66 2 238 324 75.85 41 853 69.11 403 404 80.93 2 758 268 79.16 665 270 79.44 46 662 71.36 834 349 70.88 57 732 134 61.02 1 646 321 61.97 4 472 356
Pasar 53 90 70 68 90 73 87 87 3 72 83 86 83 7 88 37 41 52 43 77 70 99 3
116 Kabuaten/ Kota Pesawaran Polewali Mandar Raja Ampat Rote Ndao Selayar Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Sikka Sumbawa Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Sumba Timur Wakatobi
RTP 445 1 402 360.1 19 099 806 531 168 4 435 673 943 130 1 622 4 436
Faktor Pendukung Angkatan kerja (%) Air (m3) Pasar 63.97 376 604 91 68.85 72 721 82 62.29 1 817 060 61 68.40 453 600 50 67.72 594 275 91 72.54 19 188 79 72.37 19 188 79 74.37 2 458 330 60 66.44 203 600 97 76.41 48 247 20 72.77 10 558 23 71.57 4 534 477 46 68.39 349 456 550 81
Berdasarkan uraian pengelompokan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan potensi daya dukung masing-masing setiap kelompok berbeda-beda. Hasil pemetaan ini memberikan informasi bahwa dalam mengembangkan sentra produksi karaginan skala pilot plant untuk kepentingan pengembangan industri karaginan nasional dapat dijadikan acuan dalam merumuskan suatu metode yang sesuai dengan karakteristik wilayah penyebaran dan potensi daya dukung wilayah tersebut. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Rumput Laut Di Hilir Kementerian Kelautan dan Perikanan berkerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten, mencanangkan gerakan peningkatan produksi perikanan melalui program minapolitan. Program minapolitan adalah program yang menggerakkan perekonomian dari sektor perikanan dan kelautan yang menjadi unggulan di tiap-tiap daerah. Kebijakan pemerintah ini merupakan peluang yang sangat besar bagi pengembangan usaha budi daya rumput laut. Dukungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat banyak, antara lain: pemberian bantuan modal, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui bimbingan teknis, penyediaan bibit dan sarana produksi, pendampingan teknologi, penanganan penyakit, pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Tahun 2011 pemerintah telah mengalokasikan sentra produksi rumput laut seperti yang disajikan pada Tabel 6.8. Tabel 6.8 Sentra produksi budidaya rumput laut menurut kabupaten/ kota utama No Provinsi Kabupaten Keterangan 1
Sulawesi Selatan
2
Sulawesi Tengah
3
Jawa Timur
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Takalar (449 221 ton) Luwu (375 528 ton) Jeneponto (149 920 ton) Banggai Kepulauan (303 090 ton) Morowali (218 008 ton) Banggai (124 800 ton) Sumenep (375 581 ton) Situbondo (4 429 ton) Banyuwangi (3 375 ton)
Total produksi 1 245 771 ton Total produksi 728 279 ton Total produksi 388 952 ton
No
Provinsi
4
Sulawesi Tenggara
5
Nusa Tenggara Timur
6
Maluku
7
Nusa Tenggara Barat
8
Bali
9
Gorontalo
10
Banten
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Kabupaten
Keterangan
Konawe Selatan (201 027 ton) Kolaka (116 387 ton) Buton (10 384 ton) Alor (136 008 ton) Kupang (66 924 ton) Sabu Raijua (65 825 ton) Maluku Tenggara Barat (132 751 ton) Kepulauan Aru (57 888 ton) Maluku Barat Daya (39 492 ton) Lombok Timur (69 802 ton) Sumbawa (34 347 ton) Lombok Barat (23 730 ton) Klungkung (76 136 ton) Badung (21 770 ton) Denpasar (1 011 ton) Pohuwato (26 193 ton) Boalemo (19 664 ton) Gorontalo Utara (17 518 ton) Serang (41 780 ton) Pandeglang (426 ton) Tangerang (83 ton)
Total produksi 348 981 ton Total produksi 347 726 ton Total produksi 260 155 ton Total produksi 162 411 ton Total produksi 99 481 ton Total produksi 64 435 ton Total produksi 52 426 ton
Sumber: KKP 2011
Jika dikaitkan dengan arah kebijakan pengembangan kelautan dan perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011 dalam menentukan 10 sentra produksi rumput laut di Indonesia. Maka hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan produksi rumput laut sejalan dengan program pemerintah. Namun bila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam hal penentuan lokasi industrialisasi rumput laut dengan analisis PCA dalam memetakan wilayahwilayah pengembangan industri, agak berbeda, dimana lokasi industrialisasi rumput laut yang telah dicanangkan adalah seperti yang terlihat pada Tabel 6.9. Tabel 6.9 Lokasi industrialisasi rumput laut No Provinsi Kabupaten 1 Sulawesi Selatan Takalar dan Jeneponto 2 Sulawesi Utara Minahasa 3 Sulawesi Tengah Parigi Moutong 4 Nusa Tenggara Barat Sumbawa Sumber : KKP 2011
Dari Tabel 6.9, terlihat bahwa penentuan wilayah industrialisasi rumput laut oleh pemerintah masih sangat minim, dan penentuan lokasinya hanya terdapat lima kabupaten dari empat provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dialokasikan di Kabupaten Takalar dan Jeneponto, Provinsi Sulawesi Utara di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Tengah dengan Kabupaten Parigi Moutong dan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan alokasi industri di Kabupaten Sumbawa. Sedangkan hasil pemetaan dengan metode PCA berdasarkan potensi daya dukung yang dimiliki suatu wilayah diketahui bahwa kabupaten yang memiliki potensi pengembangan industri karaginan di Indonesia sekitar 91 kabupaten, dan
118 kabupaten-kabupaten tersebut terdapat di 17 provinsi di Indonesia. Perbedaan jumlah lokasi dalam menentukan wilayah pengembangan industri karaginan ini diduga disebabkan oleh pendekatan analisis yang digunakan berbeda. Dengan demikian untuk pengembangan industri karaginan nasional, hasil kajian ini dapat dijadikan acuan dalam merumuskan metode yang sesuai dengan karakteristik wilayah penyebaran dan potensi ketersediaan daya dukung suatu wilayah. Simpulan Pemetaan wilayah pengembangan proses produksi karaginan, dapat ditentukan dengan metode Principal Component Analysis. Berdasarkan hasil analisis PCA yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 91 kabupaten di Indonesia yang berpotensi mengembangkan industri karaginan skala pilot plant. Pemetaan wilayah kabupaten yang berpotensi mengembangkan industri karaginan skala pilot plant tersebut terbagi dalam empat kelompok berdasarkan kemiripan karakteristik potensi daya dukungnya, yaitu kelompok pertama terdiri atas 14 kabupaten dengan potensi daya dukung Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas; kelompok kedua terdiri atas 19 kabupaten dengan daya dukung institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan; kelompok ketiga terdiri atas 22 kabupaten dengan potensi daya dukung yang meliputi luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik; dan kelompok keempat terdiri atas 36 kabupaten dengan daya dukung yang meliputi rumah tangga perikanan, angkatan kerja, air dan pasar. Jumlah wilayah pengembangan lokasi industri karaginan hasil pemetaan dengan metode PCA, jauh lebih banyak bila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya menentukan lima lokasi industrialisasi rumput laut.
7 PEMBAHASAN UMUM Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah) seperti Eucheuma cotonii, Chondrus, Eucheuma denticulum dan lain-lain (Van de Velde et al. 2002. Kebutuhan karaginan dalam dunia industri semakin meluas dan permintaan terhadapnya semakin tinggi. Hal ini berhubungan dengan sifat fungsionalnya sebagai pengental, pengemulsi, dan penstabil. Secara komersial karaginan diperoleh dalam bentuk karaginan murni (refined carrageenan) dan karaginan semi murni (semi-refined carrageenan). Karaginan semi murni merupakan produk setengah jadi yang dapat diproses lebih lanjut menjadi karaginan murni. Beberapa istilah karaginan semi murni, di antaranya semi-refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte. Selain itu adapula istilah alkali treated cottonii (ATC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (Mc Hugh 2003). Selama ini, kajian proses produksi karaginan telah banyak dilakukan, namun kajian tersebut umumnya masih terbatas pada skala laboratorium. Oleh karena itu, pengembangan selanjutnya lebih diarahkan pada kegiatan uji coba pada skala pilot plant. Adanya perbedaan geometris antara skala laboratorium dengan skala pilot plant memungkinkan terjadinya perbedaan kondisi proses dalam menghasilkan karaginan yang diharapkan. Dengan demikian beberapa parameter yang menentukan kemiripan karakteristik produk antara skala labolatorium dan skala pilot plant perlu dikontrol, sehingga nantinya dapat diperoleh kondisi optimum pengolahan karaginan dengan skala pilot plant. Untuk itu di dalam penelitian ini telah dipelajari optimasi kondisi proses dalam menghasilkan ATC pada skala laboratorium, untuk dijadikan data dasar dalam proses produksi RC skala pilot plant. Upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant dalam bentuk ATC atau RC, dilakukan agar dapat digunakan untuk berbagai proses industri yang selama ini masih banyak diekspor dan dijual kering tanpa pengolahan, di samping itu agar penerapannya dalam bentuk UKM dapat diterapkan langsung. Tahapan yang perlu diperhatikan dalam proses produksi karaginan secara komersial adalah proses ekstraksi yang meliputi metode ekstraksi, lama dan suhu ekstraksi. Kondisi proses yang berbeda akan mempengaruhi mutu karaginan yang dihasilkan. Penelitian tahap pertama, dilakukan percobaan dalam skala laboratorium (200 g), untuk memproduksi ATC. Pada tahap ini dilakukan pengujian mutu 15 sampel ATC yang secara umum menunjukkan adanya variasi mutu ATC yang dihasilkan dari berbagai kondisi proses perlakuan alkali. Variasi mutu rendemen dan kekuatan gel ATC yang relatif berbeda pada setiap kondisi proses ini, dengan menggunakan RSM Box-Behnken Design dapat diperoleh kondisi proses yang optimal dalam menghasilkan ATC, sehingga dapat dijadikan data dasar dalam meningkatkan skalanya ke skala pilot plant. Kondisi proses optimal untuk menghasilkan ATC pada skala laboratorium diperoleh dengan konsentrasi KOH 6%, suhu 78ºC dengan waktu 1 jam. Pada kondisi tersebut dihasilkan ATC
120 dengan rendemen 38.32% dan kekuatan gel 1 105.31 g/cm2. Kualitas ATC yang dihasilkan umumnya telah memenuhi spesifikasi standar mutu karaginan dalam standar Departemen Perdagangan (1989) yang mensyaratkan rendemen minimum 25%. Demikian pula rendemen dan kekuatan gel ATC hasil optimasi pada penelitian ini telah memenuhi syarat mutu yang dijadikan standar parameter mutu karaginan untuk membandingkan kualitas mutu E. cottonii dari Filipina dan Indonesia (Tabel 7.1). Tabel 7.1 Perbandingan kualitas E. cottonii Filipina dan Indonesia Parameter
Standard
Moisture content Impurities (sand and salt) Yield (as is, in SRC powder) Clean Anhydrous Weed Water gel strength KCl gel strength (in SRC) Seaweed color (visual)
37% maximum 3% maximum 28% minimum 50% minimum 250 g/cm2 minimum 750 g/cm2 minimum Lighter color
Filipina E. cottonii (Aktual) 42%–55% 3%–0% 22%–26% 35%–50% 250–450 g/cm2 700–1000 g/cm2 Light color
Indonesia E. cottonii (Aktual) 42%–55% 5%–14% 17%–23% 30%–45% 150–300 g/cm2 500–780 g/cm2 Mostly dark brown/black
Sumber: Dakay (2008)
Hasil optimasi skala laboratorium rendemen dan kekuatan gel ATC optimal dihasilkan dari kondisi proses konsentrasi KOH 6%, suhu 78 oC dengan waktu proses 1 jam dengan rendemen 38.72% dan kekuatan gel sebesar 1 105.31 g/cm2. Setelah proses uji coba skala pilot plant karakteristik produk yang identik dihasilkan dari kondisi proses konsentrasi KOH 6%, suhu 85 oC dengan waktu proses 2 jam. Nilai rendemennya adalah 37.79% dan kekuatan gelnya 1 114.69 g/cm2. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi proses ekstraksi yang optimum pada skala laboratorium tidak dapat diterapkan langsung pada skala pilot plant, karena adanya perbedaan geometris antara skala laboratorium dengan skala pilot plant memungkinkan terjadinya perbedaan kondisi proses dalam menghasilkan ATC. Namun, kondisi proses yang optimum pada skala laboratorium dapat dijadikan standar dalam kajian peningkatan skala, dan diperlukan proses uji coba untuk penerapannya pada skala pilot plant. Untuk menghasilkan karaginan murni (refined carrageenan/RC) dengan rendemen dan kekuatan gel yang tinggi, maka data dasar hasil optimasi perlakuan alkali dalam pengolahan ATC, dijadikan acuan dalam melanjutkan proses ekstraksi berikutnya dengan air. Kajian lebih lanjut pada penelitian tahap kedua ini, dilakukan proses produksi RC skala pilot plant dengan mengoptimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali. Optimasi kondisi proses dengan air dalam memproduksi RC pada tahap ini digunakan tools yang sama yaitu RSM Box-Behnken Design. Kondisi proses yang dioptimasi adalah rasio rumput laut dengan air (1:20-1:35 b:v), suhu (85-95 ºC), dan waktu ekstraksi (2-4 jam). Media air yang digunakan dalam proses ekstraksi bertujuan untuk melarutkan atau menarik polisakarida dari thallus rumput laut. Penggunaan jumlah air yang tidak proporsional dalam proses ekstraksi akan bermasalah dalam
proses penarikan polisakarida serta mutu produk yang dihasilkan (Rees 1969; Basmal et al. 2005). Hasil penelitian tahap kedua telah diperoleh kualitas RC yang berbeda-beda dari kondisi proses ekstraksi yang berbeda. Namun dengan penggunaan metode RSM Box-Behnken Design dapat ditentukan kondisi proses optimal dalam memproduksi RC pada skala pilot plant yaitu rasio rumput laut dengan air 1:25.22, suhu 85.80 ºC dengan waktu 4 jam. Kondisi proses optimal tersebut menghasilkan RC dengan rendemen 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1 833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.80. Mutu karaginan yang dihasilkan dengan perlakuan optimasi pada penelitian ini, memiliki mutu yang lebih optimal bila dibandingkan hasil penelitian Basmal et al. 2009 dan Hakim et al. 2011 yang tanpa optimasi. Walaupun penentuan kondisi prosesnya merupakan sintesis hasil penelitian dari peneliti tersebut. Di samping itu kualitas RC hasil ekstraksi skala pilot plant ini, telah memenuhi standar mutu karaginan yang dipersyaratkan oleh Food Agricultural Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC) dan European Economic Community (EEC) (Tabel 7.2). Tabel 7.2 Spesifikasi mutu karaginan Spesifikasi Zat Volatile (%) Sulfat (%) Viskositas (cPs) Kadar abu (%) Kadar abu tak larut asam (%) Kehilangan karena pengeringan (%)
FAO
FCC
EEC
Maks 12 15–40 Min 5 15–40 -
Maks 12 18 – 40 Min 5 Maks 35 Maks 1 Maks 12
Maks 12 15 – 40 Min 5 15–40 Maks 2 -
Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik (1978)
Hasil yang diperoleh dari teknologi proses ini, selanjutnya dapat dijadikan acuan untuk diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Sebelum tahap implementasi ini, perlu dilakukan pemetaan wilayah kabupaten di seluruh Indonesia. Penentuan wilayah tersebut berdasarkan daya dukung yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten. Berdasarkan Bappenas (2004), bahwa ada dua hal yang berkaitan dengan prospek pengembangan suatu industri di suatu daerah yaitu potensi dan peluang. Potensi sangat terkait dengan faktor internal daerah lokasi usaha yang meliputi antara lain: 1) kondisi sumber daya alam, 2) lingkungan bisnis, 3) industri terkait dan pendukung, 4) permintaan domestik, dan 5) faktor tenaga kerja, sedangkan peluang terkait dengan faktor di luar faktor internal atau yang dikenal sebagai faktor eksternal yang umumnya meliputi harga dan permintaan di pasar dunia atau di luar daerah tersebut. Selanjutnya menurut Gittinger (1986), faktor internal daerah pengembangan atau lokasi usaha merupakan faktor dominan yang menentukan berhasil tidaknya suatu pengembangan usaha. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi usaha adalah faktor-faktor yang dimiliki (faktor internal) lokasi tersebut, antara lain: keadaan geografis, iklim, ketersediaan input dan pasar output, kegiatan industri terkait atau pendukung, infrastruktur dan aspek sosial
122 budaya masyarakat setempat. Tarigan (2005) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi usaha adalah ketersediaan bahan baku, upah tenaga kerja, jaminan keamanan, infrastruktur, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas pasar yang dituju, dan kebijakan pemerintah setempat. Faktor-faktor pendukung yang berkaitan dalam pengembangan industri yang diuraikan oleh Gittinger (1986), Bappenas (2004) dan Tarigan (2005) tersebut, merupakan bagian dari daya dukung wilayah yang dijadikan peubah pada penelitian ini, untuk memetakan wilayah kabupaten yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Jumlah daya dukung pada penelitian ini terdiri atas 22, yaitu: potensi lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, RTP, jumlah penduduk, angkatan kerja, BLK, institusi terkait, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri rumput laut, sarana kesehatan (puskesmas), sarana telekomunikasi, air, SPBU, jalan, listrik, bandara, pelabuhan, pasar dan jamsostek/jamkesmas. Hasil analisis data, diketahui bahwa terdapat 91 wilayah kabupaten dari 17 provinsi yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Jumlah kabupaten yang dihasilkan ini, cukup besar bila dibandingkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya menentukan 5 kabupaten dari 4 provinsi industrialisasi rumput laut. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh pendekatan analisis yang digunakan berbeda. Berdasarkan analisis PCA, dari 91 kabupaten tersebut dapat dipetakan berdasarkan kemiripan karakteristik potensi daya dukung masing-masing kabupaten. Pemetaan wilayah kabupaten tersebut terbagi dalam empat kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 14 kabupaten dengan potensi daya dukung Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas; kelompok kedua terdiri atas 19 kabupaten dengan daya dukung institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan; kelompok ketiga terdiri atas 22 kabupaten dengan potensi daya dukung yang meliputi luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik; dan kelompok keempat terdiri atas 36 kabupaten dengan daya dukung yang meliputi rumah tangga perikanan, angkatan kerja, air dan pasar. Pemetaan dengan metode PCA ini, memberikan informasi ketersediaan daya dukung masing-masing wilayah kabupaten yang berpotensi mengembangkan industri karaginan. Dengan demikian hasil analisis ini dapat dijadikan rekomendasi dalam menentukan kebijakan bagi pengembangan industri karaginan nasional.
8 KESIMPULAN UMUM Penelitian tahap pertama dilakukan dengan menggunakan response surface methodology dalam mengoptimasi kondisi proses perlakuan alkali pada pengolahan ATC, dan telah berhasil memperoleh kondisi proses yang optimal sehingga menghasilkan kualitas dan kuantitas ATC sesuai yang diinginkan. Kondisi proses yang optimal dalam pengolahan ATC diperoleh pada konsentrasi KOH 6%, suhu 78 ºC dengan waktu 1 jam, produk ATC yang dihasilkan memiliki rendemen 38% dan kekuatan gel 1 105.31 g/cm2. Rendemen dan kekuatan gel ATC hasil optimasi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan tanpa optimasi. Di samping itu, rendemen dan kekuatan gel ATC hasil optimasi ini telah memenuhi syarat mutu karaginan yang telah ditetapkan sebagai standar kualitas karaginan semi murni (semi-refined carrageenan). Aplikasi response surface methodology dalam menentukan kondisi proses ekstraksi dengan air pada proses pengolahan RC dipelajari lebih lanjut pada penelitian tahap kedua, yaitu menentukan kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali pada pengolahan RC, dan berhasil memperoleh kondisi proses yang optimal dengan kualitas RC yang memenuhi standar Food Agricultural Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC) dan European Economic Community (EEC). Kondisi proses optimalnya adalah rasio rumput laut dengan air 1:25.22, suhu 85.80 oC dengan waktu 4 jam. Kondisi proses tersebut dihasilkan RC dengan kualitas yang lebih tinggi dari beberapa kajian sebelumnya yang dilakukan dengan tanpa optimasi. Produk RC yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki rendemen 31.70%, kadar air 10.70%, kadar abu 30.50%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.10%, kekuatan gel 1 833.37 g/cm2, viskositas 27 cP, dan derajat putih 74.8. Hasil penelitian tahap kedua ini, dilakukan dalam skala pilot plant sehingga teknologi proses yang dihasilkan dapat langsung diterapkan dalam bentuk UKM. Oleh karena itu penelitian tahap selanjutnya dilakukan pemetaan potensi rumput laut K. alvarezii, untuk menentukan wilayah-wilayah yang dapat dijadikan lokasi penerapan teknologi proses yang dihasilkan. Pemetaan potensi pada penelitian tahap ketiga ini, digunakan metode Principal Component Analysis, dan telah berhasil memetakan wilayah (kabupaten) yang berpotensi untuk mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant ke dalam empat kelompok berdasarkan kemiripan karakteristik potensi daya dukung masing-masing kabupaten. Kelompok pertama terdiri atas 14 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas. Kelompok kedua terdiri atas 19 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan. Kelompok ketiga terdiri atas 22 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik, dan kelompok keempat terdiri atas 36 kabupaten yang dicirikan dengan potensi daya dukung rumah tangga perikanan, angkatan kerja, sarana air dan pasar.
124 Hasil pemetaan dengan metode PCA ini, memberikan informasi wilayah kabupaten yang berpotensi mengembangkan industri karaginan, dengan ketersediaan daya dukung masing-masing wilayah, sehingga dapat dijadikan rekomendasi dalam penentuan kebijakan bagi pengembangan industri karaginan nasional.
DAFTAR PUSTAKA Afifi A, Clark V. 1996. Computer-Aided Multivariate Analysis. New York: Chapman & Hall. Aiba S, Humphrey AE, Millis NF. 1973. Biochemical Engineering. New York: Academic Pr. Al-Kandari NM, Jolliffe IT. 2005. Variable selection and interpretation in correlation principal component. Environmetrics 16: 659-672. Anggadiredja JT. 2011. Kajian Strategi Pengembangan Industri Rumput Laut dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan. Jakarta: BPPT Pr. Anonim. 2005. Design Expert 7.0.3. Minneapolis: Stat Ease Inc. Anonim. 2006. Design Expert 7. http : // www.statease.com [21 Agustus 2011]. Anonim. 2007. Expert in Food Product Development. http:/ www. intota. com/viewbio.asp?bioID=603568&perID=108041&strQuery=pilpot+plant+s cale%2Dup. [10 September 2010]. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: PAU-IPB. A/S Kobenhvns Pektifabrik. 1978. Carrageenan. Denmark: Lille Skensved. hlm 156-157. Aslan. 1998. Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Kanisius. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseonalogi LIPI. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Kajian Strategi Pengembangan Kawasan dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah. Jakarta: Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas. Bas D, Boyaci IH. 2007. Modelling and optimization I: usability of response surface methodology. J Food Eng 78:836-845. Basmal J, Syarifudin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. J Pen Perikanan Indones 9(5):95-103. Basmal J, Suryaningrum TD, Yennie Y. 2005. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap karaginan kertas. J Pen Perikanan Indones 11(8):1-9. Basmal J, Sedayu BB, Utomo BSB. 2009. Effect of KCl on the precipitation of carrageenan from Eucheuma cottonii extract. J Mar Fish Postharvest Biotechnol 4:73-80. Bawa A, Putra B, Laila IR. 2007. Penentuan pH optimum isolasi karaginan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii. J Kimia 1(1):15-20.
126 Bixler HJ, Porse H. 2010. A Decade of change in the seaweed hydrocolloids industry. J Appl Phycol. doi 10.1007/s10811-010-9529-3. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Cara Uji Kimia-Bagian 2: Penentuan Kadar Air pada Produk Perikanan. SNI 01-2354.2-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Cara Uji Merkuri (Hg) Secara Uap Dingin (Cold Vapour) dengan Mercury Analyzer. SNI 01- 2354.6-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Rumput Laut Kering. SNI No.2690.1:2009. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional 2010. Cara Uji Kimia-Bagian 1: Penentuan Kadar Abu dan Abu Tak Larut Asam pada Produk Perikanan. SNI 2354.12010. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Cara Uji Kadar Timbal (Pb) dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Secara Ekstraksi. SNI 2354.5-2011. Jakarta: BSN. Bubnis WA. 2000. Carrageenan. http://www. fmcbiopolymer. com/ portals/ bio/content/DOCS/pharmaceuticals/problem%20solver/section%2013%20c arrageenan.pdf. [18 September 2010]. Budiono A. 2003. Pengaruh pencemaran merkuri terhadap biota air [makalah]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Campo VL, Kawano DF, Braz da Silva DJr, Cavarlho I. 2009. Carrageenans: Biological properties, chemical modifications and structural analysis. J Carbohydr Polymers 77:167-180. Chew OS, Hamdan MR, Ismail Z, Ahmad MN. 2004. Assessment of herbal medicine by chemometrics: assisted interpretation of FTIR spectra. Malaysia: Univ Sains Malaysia. Chapman VJ, Chapman DJ. 1980. Seaweed and Their Uses. Ed ke-3. London: Metheun Co Ltd. hlm 194-217. Cornell JA. 1990. Experiments with mixtures: Designs, Models, and The Analysis of Mixture Data. Ed ke-2. New York: J Wiley & Sons. CP Kelco ApS. 2004. GENU® Carragenan. Denmark: Lille Skensved. http://www.cpkelco.com. [15 Februari 2010]. Dakay B. 2008. Developing partnership between the Phillipines and Indonesia in the seaweed industry. Di dalam: Anggadiredja, editor. Kajian Strategi Pengembangan Industri Rumput Laut dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan. Jakarta: BPPT, ASPPERLI, ISS. Dawes CJ, Stanley NF, Stancioff DJ. 1977. Seasonal and reproductive aspect of plant chemistry, and I-carrageenan from floridean Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales). Bot Mar 20:137. Departemen Perdagangan. 1989. Ekspor Rumput Laut Indonesia. Departemen Perdagangan. hlm 57.
Jakarta:
Distantina S, Fadilah, Danarto YC. Wiratni, Fahrurrozi M. 2009. Pengaruh kondisi proses pada pengolahan Eucheuma cottonii terhadap rendemen dan sifat gel karaginan. Ekuilibrium 8(1):35-40. Doty MS. 1987. Eucheuma alvarezii sp (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia. Di dalam: Doty MS, Caddy JF, Abbot BIA, Noris JN, editor. Taxonomy of Economic Seaweeds. California: California Sea Grant College Program, Univ of California, La Jolla. hlm 37–45. [EEC] European Economic Community. 1978. Di dalam: A.S Kobenhvns Pektifabrik, editor. Carrageenan. Denmark: Lille Skensved. hlm 156-157. Esbensen K, Schonkopf S. Midgaard T. 1994. Multivariate Analysis in Practice. Wennbergs Trykkeri, AS, Trondheim. [FAO] Food Agricultural Organization. 1990. Training manual on Gracillaria culture and seaweed processing in China. Rome: FAO. [FAO] Food Agricultural Organization. 2008. Carrageenan. Prepared at the 68th JECFA and Published in FAO JECFA Monographs 4. hlm 1-6. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. hlm 13-175. [FCC] Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. Washington: National Academy Pr. hlm 74-75. Fellows PJ. 1992. Food Processing Technology : Principles and Practice. England: Ellis Horwood. Foust AS. 1959. Principles of Unit Operations. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Gittinger JP. 1986. Economic analysis of agriculture project. Di dalam: Sutomo S dan Mangiri K, editor. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Pr. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Florida: CRC Pr. 207 hlm. Griffin RW. 1970. Modern Organic Chemistry. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Guiseley KB, Stanley NF, Whitehouse PA. 1980. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL, editor. Handbook of Water Soluble Gums and Resins. New York: Mc Graw-Hill Book Co. hlm 1–29. Hakim AR, Singgih W, Arfini F, Peranginangin R. 2011. Pengaruh perbandingan air pengekstrak, suhu presipitasi dan konsentrasi kalium klorida (KCl) terhadap mutu karaginan. JPB Perikanan 6(1):1-11. Hayashi L, Oliveira EC, Lhonneur GB, Boulenguer P, Pereira RTL, Von Seckendorff R, Shimoda VT, Leflamand A, Vallée P, Critchley AT. 2007. The effects of selected cultivation conditions on the carrageenan characteristic of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) in Ubatuba Bay, São Paulo, Brazil. J Appl Phycol 19:505–511. Hilliou L, Wilhelm M, Yamanoi M, Goncalves MP. 2009. Structural and mechanical characterization of k/i-hybrid carrageenan gels in potassium salt using fourir transform rheology. Food Hydrocolloids 23:2322-2330.
128 Hoffmann RA, Gidley MJ, Cooke D, Frith WJ. 1995. Effect of isolation procedures on the molecular composition and physical properties of Eucheuma cottonii carrageenan. Food Hydrocolloids 9(4):281-289. Hulbert G. 1998. Design and Construction of Food Processing perations. http://cpa.utk.edu/pdffiles/adc18.pdf. [5 Maret 2010]. Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Pewarta Oseana 9(1):12-19. Imeson A. 2000. Carrageenan. Di dalam: Phililps GO dan Williams PA, editor. Handbook of Hydrocolloids. England:Wood Head Publishing. hlm 87-102. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Istini S. Zatnika A. 1991. Optimasi proses semi-refined carrageenan dari rumput laut Euchema cottonii. Jakarta : Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pascapanen Rumput Laut. hlm 87–100. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Eucheuma spp. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010. Jakarta : KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2010. Jakarta : KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta : KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. Indonesia. Jakarta: KKP.
2012.
Statistik Perikanan
[KEMENDAG] Kementerian Perdagangan. 2012. Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan. Jakarta: Ditjen Perdagangan Luar Negeri, KEMENDAG. [KEMENKES] Kementerian Kesehatan 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: KEMENKES. Keshani S, Chuah AL, Nourouzi MM, Russly AR, Jamilah B. 2010. Optimization of concentration process on pomelo fruit juice using response surface methodology (RSM). IFRJ 17:733-742. Kohar I, Hardjo PH, Jonatan M, Agustanti O. 2004. Studi kandungan logam Pb dalam batang dan daun kangkung (Ipomoea reptans) yang direbus dengan penambahan NaCl. Makara Sains 8(3): 85-88. Kumari KS, Babu IS, Rao GH. 2008. Process optimization for citric acid production from raw glycerol using response surface methodology. Indian J Biotechnol 7:496-501. Mappiratu 2009. Kajian teknologi pengolahan karaginan dari rumput laut Eucheuma cottoni skala rumah tangga. Media Litbang Sulteng 2(1):01–06.
Marine Colloids FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine colloid monograph number one. USA: Marine Colloid Division FMC Co. Springfield, New Jersey. Mattjik AA, Sumertajaya M, Wijayanto H, Indahwati, Kurnia A, Sartono. 2004. Modul Teori Pelatihan Analisis Multivariat. Bogor: Departemen Statistika FMIPA IPB. Mc Hugh DJ. 2003. A Guide to The Seaweed Industry. FAO Fisheries Technical Paper. Rome: FAO. Mehta AS, Mody KH, Iyer A, Ghosh PK. 2008. Preparation of semi-refined kcarrageenan: Recycling of alkali solution and recovery of alkali from spent liquor. Indian J Chem Tech 15:45-52. Miller JN, Miller JC. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry. Ed ke-5. Harlow: Pearson Education. Minghou TT. 2010. Processing and extraction of phycocolloids. China : Institute of Oceoanology, Academia Sinica Qingdao. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB728E/AB728E09. htm. [30 Agustus 2010]. Mishra PC, Jayasankar R, Seema C. 2006. Yield and quality of carrageenan from Kappaphycus alvarezii subjected to different physical and chemical treatments. Seaweed Res Utiln 28(1):113–117. Moirano AL. 1977. Sulphated seaweed polysaccharides in food colloids. Di dalam: Graham HD editor. Food Colloids. The AVI Oublishing Company Inc. Westport, Connecticute. 381 hlm. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experimental. New York: J Wiley & Sons. Montolulu RI, Tasyiro Y, Matsukawa S. Ogawa H. 2008. Effects extraction parameters on gel properties of carrageenan from K. alvarezii (Rhodophyta). J Appl Phycol 20:521-526. Munoz J, Pelegrin YF, Robledo D. 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) color strains in tropical waters of Yucatan, Mexico. Aquaculture 239:161–177. Mustapha S, Chandar H, Abidin ZZ, Saghravani R, Harun MY. 2011. Production of semi-refined carrageenan from Eucheuma cottonii. JSIR 70:865-870. Neish IC. 1989. Alkali treatment of carrageenan bearing seaweeds past, present and future. FMC Corporation, Marine Colloid Div. 11 hlm. Noordin MY, Venkatesh VC, Sharif S, Elting S, Abdullah A. 2004. Application of response surface methodology in describing the performance of coated carbide tools when turning AISI 1045 steel. J Mater Process Tech 145:46– 58. Oviantari MV, Parwata IP. 2007. Optimalisasi produksi semi-refined carrageenan dari rumput laut Eucheuma cottonii dengan variasi teknik pengeringan dan kadar air bahan baku. JPPSH 1(1):62-71.
130 Patent EP0964876. 1998. Method for extracting semi-refined carrageenan from seaweed. [3 November 2010]. Paula EJ, Pereira RTL. 2003. Factors affecting growth rates of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva (Rhodophyta, Solieraceae) in subtropical waters of Sao Paulo, Brazil. Proc. Int. Seaweed Symp 17:381–388. Pelegrin YF, Robledo. 2008. Carrageenan of Eucheuma isiforma (Solieriaceae, Rhodophyta) from Nicaragua. J Appl Phycol 20:537-541. Pidekso A. 2009. Panduan Praktis SPSS 17 untuk Pengolahan Data Statistik. Jakarta: Wahana Komputer. Poncomulyo T, Herti M, Lusi K. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Surabaya: Agro Media Pustaka. Radojkovic M, Zekovic Z, Jokic S, Vidovic S. 2012. Determination of optimal extraction parameters of mulberry leaves using response surface methodology (RSM). Romanian Biotechnological Letters 17(3):7295-7308. Rahman FA. 2009. Perancangan klaster aquabisnis rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Lombok Timur [tesis]. Malang: Universitas Brawijaya. Raissi S, Farzani RE. 2009. Statistical process optimization through multiresponse surface methodology. World Ac of Sci Eng and Tech 267-271. Rees DA. 1969. Structure, conformation, and mechanism in the formation of polysaccharide gels and networks. Adv Carbohydr Chem Biochem 24:267332. Refilda, Munaf E, Zein R, Dharma A, Indrawati, Lim LW, Takeuchi T. 2009. Optimation study of carrageenan extraction from red algae (Eucheuma cottonii). J Ris Kim 2(2):120-126. Rencher AR. 2002. Methods of Multivariate Analysis Second Edition. New York: J Wiley & Sons. Santoso J, Sukri N, Uju. 2007. Karakteristik alkaline treated cottonii pada berbagai umur panen. ICHTHYOS J Pen Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan 6(2):85-90. Schonkopf S, Midjo A. 1998. Rose marie pangborn symposium davis sensometric workshop contribution. Food Qual and Prefer 9(3):99-101. Scott DD, Bowser TJ, McGlynn WG. 2007. Scaling up your food process. http://www.fapc.okstate.edu/factsheets/fapc141.pdf. [12 September 2010]. Smidsrod O, Grasdalen H. 1982. Some physical properties of carrageenan insolution and gel state. Carbohydr Polymers 2:270-272. Stanley NF. 1987. Production, properties and uses of carrageenan. Di dalam: Mc Hugh DJ, editor. Production and Utilization of Products from Commercial Seaweeds. FAO Fish Tech Paper 288:116-146. Suryaningrum TD, Soekarto ST, Manulang M. 1991. Identifikasi dan sifat fisika kimia karaginan. Kajian mutu komoditas rumput laut budidaya jenis
Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. J Pen Pascapanen Perikanan 69:35-46. Suryaningrum TD, Murdinah, Erlina MD. 2003. Pengaruh perlakuan alkali dan volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan yang dihasilkan. J Pen Perikanan Indones 9(5):65–76. Suryaningrum TD. 2008. Teknologi Penanganan http://www.bbrp2b.dkp.go.id. [21 September 2010].
Rumput
Laut.
Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Towle GA. 1973. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL, editor. Industrial Gums. New York: Academic Pr. hlm 83-114. Tuvikene R, Truus K, Vaher M, Kailas T, Martin G, Kersen P. 2006. Extraction and quantification of hybrid carrageenans from the biomass of the red algae Furcellaria lumbricalis and Coccotylus truncatus. Proc Est Acad Sci Chem 55(1):40–53. Uy FS, Easteal AJ, Farid MM, Keam RB, Conner GT. 2005. Seaweed processing using industrial single-mode cavity microwave heating : A preliminary investigation. Carbohydr Res 340:1357-1364. Valentas JK, Levine L, Clark JP. 1991. Food Processing Operation and ScaleUp. New York: Marcel Deker Inc. Madison. Van de Velde F, Knutsen SH, Usov AI, Romella HS, Cerezo AS. 2002. 1H and 13 C high resolution NMR Spectoscopy of carrageenans: Aplication in research and industry. Trends in Food Sci Tech 13:73-92. Wang DI, Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humphrey AE, Lilly MD. 1979. Fermentation and Enzime Technology. New York: J Wiley & Sons. Warkoyo. 2007. Studi ekstraksi karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii (Kajian jenis larutan perendam dan lama perendaman). J Protein 14(1):4956. Whyte JNC, Englar JR. 1992. Carrageenan. Di dalam: Imeson A, editor. Thickening and Gelling Agents for Food. Marryland: Aspen Publishers Inc. Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wirakartakusumah A, Subarna, Anwar M, Syah D, Budiwati SI. 1992. Petunjuk Laboratorium Peralatan dan Unit Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB. Yunizal, Murtini JT, Utomo BS, Suryaningrum TD 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Jakarta: Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan. hlm 1-11. Zulfriady D, Sudjatmiko W. 1995. Pengaruh kalsium hidroksida dan sodium hidroksida terhadap mutu karaginan rumput laut Eucheuma spinosum. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bidang Pascapanen, Sosial Ekonomi Penangkapan. hlm 137-146.
132
.
LAMPIRAN
134
Lampiran 1. Tangki ekstraksi rumput laut skala pilot plant
Tangki Ekstrakstor Spesifikasi ekstraktor - Tangki pemanas air (tangki luar): - Kapasitas : 1000 L - Dimensi : diameter 2000 mm, tinggi 1000 mm - Insulasi : aluminium dan rockwool - Pengaduk : mekanis, 60 rpm - Cerobong asap : pipa 8 inc. Panjang 250 mm - Tangki ekstraksi (tangki dalam) : - Kapasitas : 1000 L - Dimensi : diameter 1100 mm, tinggi 1000 mm - Aksesoris - Control panel : MCB, thermal overload, thermo-control, control system. - Burner : riello 40 G20S, 0.33 kW - Pompa air : grundfos, 0.37 kW, 5.7 m3/jam
136
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bone Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 1967 sebagai anak kesepuluh dari pasangan H. Abdul Rauf (almarhum) dan Hj. Hafsah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian Universitas 45 Makassar, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan Magister Lingkungan di Program Studi Managemen Lingkungan Universitas Hasanuddin dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai pengajar tetap pada Fakultas Pertanian Universitas 45 Makassar sejak tahun 1991 sampai 2003. Dan sejak tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Sebuah Karya ilmiah yang telah diterima dan akan diterbitkan dengan judul Aplikasi Response Surface Methodology pada Optimalisasi Kondisi Proses Pengolahan Alkali Treated Cottonii pada jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Sedangkan artikel dengan judul Production of carrageenan from Kappaphycus alvarezii on pilot plant scale: Optimization of extraction conditions with water after the alkaline treatment using response surface methodology, telah di Submit di Journal of Applied Phycology. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.