APLIKASI KAPPA KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii SEBAGAI EDIBLE COATING PADA UDANG KUPAS REBUS
NURLAILA ERVINA HERLIANY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Aplikasi Kappa Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Coating pada Udang Kupas Rebus” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011 Nurlaila Ervina Herliany NRP C351090081
ABSTRACT
NURLAILA ERVINA HERLIANY. Application of Kappa Carragenan from Kappaphycus alvarezii Seaweed as Edible Film on Peeled Boiled Shrimp. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH. One of the most popular seaweed in Indonesia is Kappaphycus alvarezii that produce carrageenan. Carrageenan is a linear polysaccharide polymer, has a lot of function in industrial used such as viscosifier and gelling agent. Using carrageenan as edible film can improve its economic value. The research was carried out to study: (1) the optimum of KOH concentration (0.5; 1 and 1.5% w/v) and extraction time (1; 2 and 3 hours) to produce carrageenan, (2) the effect of carrageenan concentration (0.5; 1; 1.5 and 2% w/v) on the characteristic of edible film and (3) the effect of application carrageenan on coating of boiling shrimp quality during chill storage. This research consist of three steps as follows, carrageenan extraction, making of edible film and application carrageenan solution on boiling shrimp coating. The research shows that yield and viscosity of carrageenan were influenced by interaction of KOH concentration and extraction time. The best treatment was extraction with 0.5% KOH solution for 1 hour. Using 1.5% carrageenan on making edible film exhibited better properties in compared to others. Carrageenan concentration demonstrated significant effect on tensile strength and elongation percentage, however exhibited insignificant effect on thickness and water vapor transmission rate. SEM analysis shows that addition of carrageenan could improve the internal structure of edible film. Application of carrageenan solution on boiling shrimp coating indicate that coating application could extend its shelf life until 9 days based on value of total microbes for frozen boiling shrimp (SNI 01-3458-2006), while uncoated product could extend only 3 days. Keywords : boiled shrimp, carrageenan, edible film, extraction method
RINGKASAN
NURLAILA ERVINA HERLIANY. Aplikasi Kappa Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Film pada Udang Kupas Rebus. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH. Pengolahan karaginan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai jual rumput laut Indonesia. Pemanfaatan karaginan sebagai bahan baku edible film merupakan salah satu upaya untuk mendorong berkembangnya industri pengolahan karaginan di dalam negeri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan (1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang optimum dalam menghasilkan tepung kappa karaginan, (2) konsentrasi tepung kappa karaginan dalam menghasilkan edible film dengan karakteristik yang optimal dan (3) pengaruh penggunaan edible coating dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus selama penyimpanan dingin. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu optimasi metode ekstraksi karaginan, pembuatan edible film dari karaginan dan aplikasi edible film karaginan untuk mempertahankan mutu udang kupas rebus. Penelitian tahap 1 menggunakan dua faktor, yaitu konsentrasi KOH (0,5; 1 dan 1,5% b/v) dan lama ekstraksi (1,2 dan 3 jam). Penelitian tahap 2 menggunakan empat konsentrasi karaginan, yaitu 0,5; 1; 1,5 dan 2% (b/v). Penelitian tahap terakhir menggunakan dua faktor, yaitu aplikasi edible coating (tanpa coating dan coating) dan lama penyimpanan (0, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen dan viskositas karaginan yang dihasilkan. Metode ekstraksi terbaik adalah menggunakan KOH 0,5% selama 1 jam dengan karakteristik rendemen 45,64%, viskositas 18cP, kadar air 16,26%, kadar abu 35,90%, kadar abu tak larut asam 0,32%, kadar sulfat 5,04%, dan kekuatan gel 385,63 gel force. Variasi konsentrasi karaginan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kekuatan tarik dan persen pemanjangan film, tetapi tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap ketebalan dan laju transmisi uap air. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bahwa penambahan karaginan mampu memperbaiki struktur internal film. Konsentrasi karaginan 1,5% menghasilkan edible film terbaik dengan karakteristik ketebalan 0,070 mm, kuat tarik 5516,67 kgf/cm2, persen pemanjangan 43,05% dan laju transmisi uap air 0,0060 g/m2/hari. Aplikasi coating karaginan pada udang kupas rebus menunjukkan bahwa coating mampu mempertahankan mutu udang kupas rebus yang disimpan dingin. Jika dibandingkan dengan produk tanpa coating, penggunaan coating menghasilkan perubahan nilai TPC, TVBN, pH, kadar air, kadar protein dan sensoris yang lebih lambat. Berdasarkan nilai TPC untuk udang kupas rebus beku (SNI 01-3458-2006), maka aplikasi coating mampu memperpanjang daya simpan produk udang kupas rebus dari 3 hari menjadi 9 hari. Kata kunci : edible film, karaginan, metode ekstraksi, udang kupas rebus.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
APLIKASI KAPPA KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii SEBAGAI EDIBLE COATING PADA UDANG KUPAS REBUS
NURLAILA ERVINA HERLIANY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Bambang Riyanto, S.Pi., M.Si
Judul Tesis : Aplikasi Kappa Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Coating pada Udang Kupas Rebus. Nama : Nurlaila Ervina Herliany NRP : C 351090081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ketua
Dra. Ella Salamah, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
Dan tiada sama antara dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu melihat kapal-kapal membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur (QS Fathir : 12) Dia membiarkan dua lautan yang mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masingmasing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS Ar Rahmaan : 19-21)
Karya kecil ini kupersembahkan untuk Kedua orangtuaku, Papa dan Mama Serta kedua adikku, Afief dan Shifa
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya karya ilmiah ini yang berjudul : “Aplikasi Kappa Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Coating pada Udang Kupas Rebus.” Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Ella Salamah,M.Si sebagai anggota komisi yang telah mencurahkan waktu dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis. 2. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran. 3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi yang tiada henti memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan. 4. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2009, bu Lily, mbak Mut, p Den, p Untung dan Yoyo, untuk kebersamaan yang singkat tetapi sangat bermakna bagi penulis 5. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP, mbak Lilis, mbak Iis, mas Ridho, mbak Erika, mbak Vita, bu Rita, mbak Nikma, bu Jul, mbak Uci, Tyas, Fikri, dan Eka, yang telah membantu penulis selama menyelesaikan studi di THP 6. Segenap karyawan serta staff THP IPB yang telah membantu penyelesaian studi penulis Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengakui bahwasannya karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk penyempurnaan dikemudian hari. Akhir kata, penulis mengharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya.
Bogor, September 2011
Nurlaila Ervina Herliany NRP C351090081
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 3 Januari 1987 dari pasangan Jarot Suharto, M.Pd. dan Uswatun Nurjanah, M.P. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Yogyakarta tahun 2004 kemudian diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Gadjah Mada pada tahun yang sama melalui jalur Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studinya pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xvi
1
PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.5 Hipotesis ................................................................................................
1 3 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2.1 Kappaphycus alvarezii ........................................................................... 2.2 Karaginan .............................................................................................. 2.2.1 Kelarutan....................................................................................... 2.2.2 Viskositas ...................................................................................... 2.2.3 Pembentukan gel ........................................................................... 2.2.4 Stabilitas pH .................................................................................. 2.2.5 Pembuatan karaginan..................................................................... 2.2.6 Aplikasi karaginan ......................................................................... 2.3 Edible Film ............................................................................................ 2.4 Aplikasi Edible Film dalam Bidang Pangan ...........................................
8 8 9 12 12 13 14 15 16 17 22
3 METODE PENELITIAN ................................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 3.2 Bahan dan Alat....................................................................................... 3.3 Tahapan Penelitian ................................................................................. 3.4 Prosedur Analisis ................................................................................... 3.4.1 Rendemen ................................................................................... 3.4.2 Kadar air (Metode Gravimetri, AOAC 1995) ............................... 3.4.3 Kadar abu (Metode Gravimetri, AOAC 1995) ............................. 3.4.4 Kadar abu tak larut asam (FMC 1977) ......................................... 3.4.5 Kadar sulfat (AOAC 1995) .......................................................... 3.4.6 Viskositas (FMC 1977) ............................................................... 3.4.7 Kekuatan gel (FMC 1977) ........................................................... 3.4.8 Ketebalan film (ASTM 1983) ...................................................... 3.4.9 Kuat tarik dan persen pemanjangan (ASTM 1983)....................... 3.4.10 Laju transmisi uap air (ASTM 1967) ........................................... 3.4.11 TPC (Fardiaz 1983) ..................................................................... 3.4.12 Kadar protein (AOAC 1995) ....................................................... 3.4.13 Derajat keasaman (pH) (AOAC 1995) ......................................... 3.4.14 TVBN (AOAC 1995) .................................................................. 3.4.15 Struktur mikroskopis menggunakan SEM (Toya et al. 1986) ....... 3.4.16 Uji organoleptik (SNI 2006) ........................................................
24 24 24 25 29 29 29 30 31 31 32 32 32 32 33 33 34 35 35 35 36
2
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ................................................
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 4.1 Optimasi Ekstraksi Karaginan ................................................................ 4.1.1 Rendemen .................................................................................... 4.1.2 Viskositas ..................................................................................... 4.1.3 Karakteristik tepung karaginan terbaik.......................................... 4.2 Karakteristik Edible Film ....................................................................... 4.2.1 Ketebalan dan laju transmisi uap air film ...................................... 4.2.2 Persentase pemanjangan dan kekuatan tarik film ........................... 4.2.3 Struktur mikroskopis film ............................................................. 4.3 Aplikasi Edible Coating .......................................................................... 4.3.1 TPC (Total Plate Count)............................................................... 4.3.2 TVBN (Total Volatile Bases Nitrogen) ......................................... 4.3.3 Derajat keasaman (pH) ................................................................. 4.3.4 Kadar protein................................................................................ 4.3.5 Kadar air ...................................................................................... 4.3.6 Organoleptik ................................................................................ (1) Lapisan coating ...................................................................... (2) Pengeringan ............................................................................ (3) Perubahan warna .................................................................... (4) Kenampakan........................................................................... (5) Rasa ....................................................................................... (6) Bau ......................................................................................... (7) Tekstur ...................................................................................
39 39 41 43 41 45 46 48 51 52 53 54 54 57 57 58 60 61 62 64 65 66 68
5 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 5.1 Simpulan ................................................................................................ 5.2 Saran......................................................................................................
70 70 70
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
71
LAMPIRAN ........................................................................................................
77
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii ...........................................................
9
2 Spesifikasi mutu semi refined carrageenan dan refined carrageenan ................
10
3 Spesifikasi standar mutu karaginan ...................................................................
10
4
Daya kelarutan kappa, iota dan lamda karaginan ..............................................
13
5
Stabilitas jenis karaginan pada pH alkali dan asam ...........................................
15
6
Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air ......................
17
7
Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar susu ...................
18
8
Fungsi edible film pada produk pangan.............................................................
19
9
Alternatif penggunaan edible film berdasarkan jenis film ..................................
20
10 Karakteristik tepung karaginan terbaik .............................................................
43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kerangka pemikiran penelitian .......................................................................
7
2
Kappaphycus alvarezii ....................................................................................
9
3
Struktur kimia kappa, iota dan lamda karaginan ..............................................
11
4
Mekanisme pembentukan gel karaginan ..........................................................
14
5
Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan .....................................................
26
6
Diagram alir pembuatan edible film ................................................................
27
7
Diagram alir prosedur aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus ..............................................................................................................
29
Histogram rerata rendemen karaginan yang diekstraksi selama 1, 2, dan 3 jam...................................................................................................
40
Histogram rerata viskositas karaginan yang diekstraksi selama 1, 2, dan 3 jam..................................................................................................
41
10 Reaksi eliminasi gugus sulfat polimer karaginan oleh alkali ............................
42
11 Film yang dihasilkan dari karaginan konsentrasi 0,5% (A); 1% (B); 1,5% (C) dan 2% (D).................................................................................... ..............
46
12 Skema penetrasi uap air melalui bahan polimer ...............................................
47
13 Histogram rerata ketebalan ( ) dan laju transmisi uap air film ( ) ................
48
14 Histogram rerata persentase pemanjangan ( ) dan kekuatan tarik film (
) ....
50
15 Struktur mikroskopis film berbagai konsentrasi karaginan (A) 0,5%; (B) 1%; (C) 1,5% dan (D) 2%....................................................... ....
51
16 Histogram nilai log TPC udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating.......................................................................
53
17 Histogram rerata TVBN udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating.....................................................................
55
18 Histogram rerata pH udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating......................................................................
56
19 Histogram rerata kadar protein udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating....................................................................
58
20 Histogram rerata kadar air udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating....................................................................
59
21 Histogram nilai organoleptik lapisan coating udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating ............................................
61
8
9
22 Histogram nilai organoleptik pengeringan udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating .............................................
62
23 Histogram nilai organoleptik perubahan warna udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating .............................................
63
24 Histogram nilai organoleptik kenampakan udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating .............................................
64
25 Histogram nilai organoleptik rasa udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating ...................................................................
66
26 Histogram nilai organoleptik bau udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating ...................................................................
67
27 Histogram nilai organoleptik tekstur udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating..............................................
69
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Lembar penilaian sensori udang kupas rebus beku...........................................
78
2
Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai rendemen karaginan .....
80
3
Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai viskositas karaginan .....
81
4
Analisis ragam (ANOVA) ketebalan dan laju transmisi uap air film ................
82
5
Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai persentase pemanjangan dan kuat tarik film......................................................................
83
6
Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai TPC ..............................
84
7
Analisis ragam (ANOVA) TVBN ...................................................................
85
8
Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai pH ................................
86
9
Analisis ragam (ANOVA) kadar protein .........................................................
87
10 Analisis ragam (ANOVA) kadar air ................................................................
88
11 Analisis Krusskal Wallis lapisan coating .................................................. .....
89
12 Analisis Krusskal Wallis pengeringan .............................................................
90
13 Analisis Krusskal Wallis perubahan warna......................................................
91
14 Analisis Krusskal Wallis kenampakan ............................................................
92
15 Analisis Krusskal Wallis bau ..........................................................................
93
16 Analisis Krusskal Wallis rasa ..........................................................................
94
17 Analisis Krusskal Wallis tekstur .....................................................................
95
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karaginan merupakan polisakarida linier yang tersusun atas molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karaginan dapat diekstraksi dari rumput laut merah (Rhodophyceae) dengan menggunakan air atau larutan alkali. Karaginan terdiri atas garam ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan dibagi atas 3 kelompok utama berdasarkan gugus sulfatnya yaitu kappa, iota dan lamda karaginan (Winarno 1990). Sumber karaginan untuk daerah tropis, khususnya Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil kappa karaginan. Permintaan karaginan di dunia mengalami peningkatan secara eksponensial setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan tingginya permintaan karaginan maupun bahan baku rumput laut penghasil karaginan di dunia. Dampaknya adalah mulai dikembangkan budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii secara massal termasuk di Indonesia. Perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia juga didorong oleh target Kementerian Kelautan Perikanan yaitu ingin mewujudkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan salah satu targetnya adalah mampu memproduksi rumput laut sebesar 14 juta ton pada tahun 2014 (Irsyadi 2010). Budidaya rumput laut secara besar-besaran belum diimbangi dengan teknologi pengolahan yang memadai. Akibatnya Indonesia hanya mampu mengekspor rumput lautnya dalam bentuk kering sehingga nilai jualnya rendah dalam perdagangan dunia. Pengolahan rumput laut menjadi karaginan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai jual rumput laut Indonesia. Selain itu, pengolahan rumput laut menjadi karaginan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan karaginan untuk industri pangan dan nonpangan di dalam negeri. Irianto et al. (2005) menyatakan bahwa karaginan dalam industri pangan dan nonpangan berfungsi sebagai bahan penstabil (stabilisator), pengental (thickener), pembentuk gel dan pengemulsi. Campo et al. (2009) menambahkan bahwa karaginan pada industri pangan juga digunakan untuk memperbaiki tekstur
2
dari keju cottage, untuk mengontrol viskositas dan tekstur pudding serta makanan pencuci mulut berbahan dasar susu, sebagai bahan pengikat dan penstabil pada industri pengolahan daging untuk pembuatan sosis dan hamburger rendah lemak. Salah satu upaya pemanfaatan karaginan yang saat ini sedang dikembangkan adalah sebagai edible film pada produk pangan. Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya, lipida, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan. Terdapat tiga kelompok penyusun edible film, yakni : hidrokoloid, lipida, dan campurannya (komposit) (Donhowe dan Fennema 1994). Edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum diaplikasikan pada bahan dan produk pangan. Edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada bahan dan produk pangan, biasanya dengan cara pencelupan; sedangkan enkapsulasi adalah suatu aplikasi yang ditujukan untuk membawa komponen flavor sehingga diperoleh bentuk flavor yang memiliki sifat seperti tepung (Arpah 1997). Karaginan berpotensi untuk dikembangkan sebagai edible film karena sifatnya yang elastis, dapat dimakan dan dapat diperbarui. Hal ini juga tidak terlepas dari tingginya produksi rumput laut dalam negeri yang dapat diolah menjadi karaginan. Pemanfaatan karaginan menjadi edible film diharapkan mampu mendorong berkembangnya sektor pengolahan karaginan di dalam negeri. Pengembangan metode ekstraksi karaginan terus dilakukan untuk mendapatkan optimasi dalam proses ekstraksinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappa karaginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005). Suryaningrum et al. (2003) juga telah melakukan penelitian mengenai pengaruh volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii. Penelitian mengenai optimasi proses ekstraksi karaginan belum diarahkan sesuai dengan tujuan penggunaan karaginan tersebut. Setiap aplikasi karaginan memiliki tujuan yang berbeda sehingga diperlukan karakteristik karaginan yang
3
berbeda pula. Variasi karakteristik ini dapat diperoleh jika digunakan metode ekstraksi yang berbeda sehingga diperlukan pemilihan metode ekstraksi untuk tiap tujuan penggunaan karaginan. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian ini yang salah satu tahapan penelitiannya adalah menentukan metode ekstraksi karaginan untuk tujuan pembuatan edible film. Faktor lainnya yang mempengaruhi karakteristik edible film yang dihasilkan
adalah
konsentrasi
karaginan
yang
digunakan.
Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1. Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi tepung karaginan terhadap karakteristik
edible film yang
menggunakan gliserol belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik edible film dari berbagai konsentrasi tepung kappa karaginan serta mempelajari pengaruh penggunaan edible film tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. 1.2 Rumusan Masalah Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai barrier atau penghalang terhadap transfer massa (misal kelembaban, oksigen, lipida dan zat terlarut) serta sebagai carrier atau zat pembawa bahan makanan dan aditif untuk meningkatkan penanganan makanan (Donhowe dan Fennema 1994). Permintaan konsumen akan teknik pengemasan yang ramah lingkungan, produk yang lebih alami dan tanpa menggunakan bahan pengawet mengakibatkan permintaan akan edible film terus meningkat khususnya untuk industri pangan. Dampak dari semua itu adalah diperlukannya bahan baku pembuatan edible film dalam jumlah yang melimpah. Karaginan yang diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyta) merupakan salah satu bahan baku yang potensial bagi pembuatan edible film. Sifat karaginan yang dapat membentuk gel dan elastis, dapat dimakan serta dapat diperbarui merupakan alasan yang mendukung penggunaannya sebagai bahan baku edible film. Karaginan juga mengandung serat makanan yang baik untuk
4
pencernaan sehingga penggunaannya sebagai edible film dapat memberikan nilai tambah bagi edible film yang dihasilkan. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipida, dan memiliki sifat mekanis yang diinginkan, serta dapat meningkatkan kesatuan struktural produk (Arpah 1997). Suryaningrum
et
al.
(2005)
telah
melakukan
penelitian
untuk
menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka)
adalah 2:1.
Cha et al. (2002) meneliti pengaruh penambahan bahan antimikroba pada edible film kappa karaginan untuk menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen. Konsentrasi tepung kappa karaginan yang digunakan dalam penelitiannya adalah 1% dengan penambahan gliserol dan polietilen glikol sebagai plasticizer. Pengembangan metode esktraksi karaginan terus dilakukan untuk meningkatkan
karakteristik
karaginan
yang
dihasilkan.
Selain
untuk
meningkatkan karakteristik karaginan, pengembangan metode ekstraksi juga harus disesuaikan dengan tujuan pengaplikasian karaginan. Hingga saat ini, berbagai penelitian mengenai metode ekstraksi karaginan belum dikaitkan dengan tujuan aplikasinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappa karaginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005). Suryaningrum et al. (2003) juga telah melakukan penelitian mengenai pengaruh volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii. Pemanfaatan karaginan sebagai edible film dipengaruhi oleh karakteristik dan konsentrasi karaginan yang digunakan, tetapi penelitian mengenai masalah tersebut belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik karaginan dan edible film yang dihasilkan serta untuk mengetahui pengaruh aplikasi edible film tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. 1.3 Kerangka Pemikiran Plastik merupakan bahan pengemas yang populer saat ini. Permintaannya terus meningkat, baik sebagai bahan pengemas dalam bidang pangan maupun
5
nonpangan. Edible film merupakan salah satu bahan pengemas yang cocok diaplikasikan pada bahan pangan karena sifatnya yang aman dan dapat dimakan. Indonesia memiliki sumber bahan baku edible film yang melimpah, salah satunya adalah karaginan. Penggunaan karaginan sebagai edible film didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti keamanan pangan, mudah didapat, merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui dan biodegradable. Selain itu, karaginan kaya akan serat sehingga penggunaannya sebagai edible film diharapkan dapat memberikan nilai tambah kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan edible film karaginan adalah karakteristik serta konsentrasi karaginan yang digunakan. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik edible film yang dihasilkan. Faktorfaktor yang menentukan karakteristik karaginan antara lain adalah konsentrasi larutan pengekstrak (KOH) dan lama ekstraksi sehingga keduanya perlu diteliti untuk mengetahui karakteristik karaginan yang dihasilkan. Bahan pengemas seperti edible film dan coating berfungsi untuk melindungi produk dari kerusakan, baik kerusakan fisik, kimia maupun mikrobiologi. Aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus perlu diteliti untuk mengetahui perubahan parameter-parameter fisik, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan yang menunjukkan kemampuan edible coating tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari : (1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang optimum dalam menghasilkan tepung kappa karaginan, (2) konsentrasi tepung kappa karaginan dalam menghasilkan edible film dengan karakteristik yang optimal, (3) pengaruh penggunaan edible coating dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus.
6
1.5 Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang berbeda akan menghasilkan karaginan dengan karakteristik yang berbeda, (2) perbedaan konsentrasi tepung karaginan akan menghasilkan karakteristik edible film yang bervariasi, (3) edible coating dari karaginan dapat digunakan untuk mempertahankan mutu udang kupas rebus.
7
Bahan pengemas plastik
Terbuat dari bahan kimia sintetis
Isu kesehatan
Kebutuhan akan alternatif bahan pengemas
Edible film
Karaginan sebagai bahan baku
Optimasi ekstraksi karaginan
Karakteristik karaginan
Optimasi konsentrasi karaginan
Edible film karaginan
Aplikasi pada udang kupas rebus
Dapat mempertahankan mutu udang kupas rebus
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Aman, sumberdaya yang dapat diperbarui, biodegradable , dan kaya serat
8
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii merupakan rumput laut kelas Rhodophyceae penghasil kappa karaginan. Dalam dunia perdagangan, rumput laut jenis ini lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii atau cottonii saja. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieraceae
Genus
: Kappaphycus
Spesies
: Kappaphycus alvarezii
Ciri fisik Kappaphycus alvarezii yaitu mempunyai thallus silindris, permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik, yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan kualitas pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar 2.
9
Gambar 2 Kappaphycus alvarezii (Sumber : koleksi pribadi). Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemaknya sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega 3 dan 6 dalam jumlah yang cukup tinggi (Winarno 1990). Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii Komponen
Persentase (% db)
Karbohidrat
57,52
Protein
3,46
Lemak
0,93
Air
16,05
Serat kasar
7,08
Sumber : Yunizal (2004)
2.2 Karaginan Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan berfungsi sebagai stabilisator, bahan pengental, pembentuk gel atau pengemulsi dalam bidang industri (Winarno 1990). Spesifikasi standar mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Spesifikasi standar mutu karaginan Kriteria
Konsentrasi
Abu total
≤ 35%
Abu tak larut asam
≤ 1%
Sulfat
18-40% (db) o
Viskostas (1,5% pada 75 C )
≥ 5 cPs
Susut pengeringan
Max. 12%
Timah
Max. 10 ppm (0,001%)
As
Max. 3 ppm (0,0003%)
Timbal
Max. 40 ppm (0,004%)
Sumber : FCC (1981), diacu dalam Glicksman (1983)
Kappa
karaginan
terutama
dihasilkan
dari
rumput
laut
Kappaphycus alvarezii. Kappa karaginan tersusun atas (1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan
(1,4)-3,6-anhidro-D-galaktosa.
Kappa
karaginan
juga
mengandung
D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1990). Struktur kimia kappa, iota, dan lamda karaginan dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Kappa karaginan karaginan
Iota karaginan
Lamda karaginan
Gambar 3 Struktur kimia kappa, iota dan lamda karaginan (Viana et al. 2004). Iota karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1990). Lamda karaginan tersusun atas ikatan 1,3-D-galaktosa-2-sulfat dan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat. Lamda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan karena memiliki sebuah residu disulfat α-(1,4)-D galaktosa. Lamda karaginan yang terekstraksi oleh alkali kuat akan menjadi teta karaginan (θ-karaginan) dengan melepas 6-sulfat dari ikatan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat untuk membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Glicksman 1983). 2.2.1 Kelarutan Karakteristik kelarutan karaginan dalam air dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Karaginan
12
jenis iota
bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat yang dapat
menetralkan 3-6 anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis kappa
kurang
hidrofilik
karena
lebih
banyak
memiliki
gugus
3-6 anhidro-D-galaktosa (Towle 1973). Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lamda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (Winarno 1990). Perbedaan kelarutan kappa, iota dan lamda karaginan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Daya kelarutan kappa, iota dan lamda karaginan Medium Air panas
Kappa Larut di atas suhu o
Larut di atas suhu
Lamda Larut
o
60 C*
60 C*
Larut di atas suhu
Larut di atas suhu
70 C
70 oC
Garam natrium larut
Garam natrium larut
Semua garam
Garam K, Ca, dan NH4
Garam Ca memberi
larut
tidak larut
dispersi thixotropic
o
Air dingin
Iota
(mengembang) Susu panas
Larut
Larut
Larut*
Susu dingin
Tidak larut
Tidak larut
Larut*
Larutan gula pekat
Larut panas
Sukar larut
Larut panas
Larutan garam
Tidak larut
Larut panas
Larut panas
pekat Sumber : Glicksman (1983) *Winarno (1990)
13
2.2.2 Viskositas Wicaksono (1999) menyatakan bahwa viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid.
Pada dasarnya pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan
gesekan antar dua lapisan molekul yang berdekatan. Viskositas yanng tinggi dari suatu bahan disebabkan karena gesekan internal yang besar sehingga cairannya mengalir. Pendinginan kappa dan iota karaginan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati suhu pembentukan gel dan adanya kation K+ dan Ca2+ karena mulai terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. (Guiseley et al. 1980). 2.2.3 Pembentukan gel Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala ini kemudian menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis (Fardiaz (1989). Kappa karaginan dan iota karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 4.
14
Pendinginan Pemanasan Pendinginan
Pemanasan
Gambar 4 Mekanisme pembentukan gel karaginan (Glicksman 1983). Ion monovalen yaitu K+, NH4+, Rb+, dan Cs+ membantu pembentukan gel karaginan. Kappa karaginan akan membentuk gel yang paling kuat dengan sifat gel yang keras dan elastis. Iota karaginan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+ (Glicksman 1983). 2.2.4 Stabilitas pH Karaginan akan stabil pada pH 7 atau lebih, tetapi pada pH yang rendah stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu. Penurunan pH akan menyebabkan hidrolisis polimer karaginan mengakibatkan turunnya viskositas dan kemampuan pembentukan gel (Glicksman 1983). Stabilitas jenis karaginan yang disebabkan oleh perubahan pH disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Stabilitas jenis karaginan pada pH alkali dan asam Stabilitas
Kappa
Iota
Lamda
Pada pH netral dan
Stabil
Stabil
Stabil
Terhidrolisis dalam
Terhidrolisis dalam
Terhidrolisis
larutan ketika dipanaskan.
larutan. Stabil
Stabil dalam bentuk gel
dalam bentuk gel
alkali Pada pH asam (3,5)
Sumber : Glicksman (1983)
15
2.2.5 Pembuatan karaginan Proses pembuatan karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan
bahan pengekstrak,
pemurnian, pengeringan dan penepungan. 1.
Penyiapan bahan baku Rumput laut hasil panen dicuci dengan menggunakan air bersih untuk
menghilangkan lumpur, karang, pasir, kerang, serta benda asing lainnya. Rumput laut yang telah bersih kemudian direndam agar proses ekstraksi mudah dilakukan karena perendaman dapat membengkakkan sel-sel dinding rumput laut. 2. Ekstraksi Ekstraksi karaginan dilakukan pada suhu didih air, yaitu 90-95 oC selama 1-5 jam. Volume air yang digunakan untuk ekstraksi berkisar antara 20-40 kali berat rumput laut. Larutan alkali yang digunakan dapat menghasilkan rumput laut yang bersih dengan kadar air yang rendah sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi kimia dan biologi serta dapat meningkatkan rendemen karaginan yang dihasilkan (Asmorowati 2001). 3. Penyaringan Penyaringan adalah salah satu unit proses dimana komponen solid tidak terlarut dalam suspensi solid-likuid, dipisahkan dari komponen likuidnya dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran yang dapat menahan solid di permukaannya (Rozi 2007). 4. Pemurnian Proses pemurnian dilakukan dengan cara pengendapan (presipitasi). Pada proses ini karaginan akan mengendap dan memisah dari komponen lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan cara menambahkan KCl, alkohol atau pembekuan. Penambahan alkohol pada filtrat dapat menyebabkan terbentuknya serat-serat koagulan yang selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan sentrifus atau penyaring halus (McHugh 2003). 5. Pengeringan dan penepungan Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan dengan memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan oleh media pengering yang biasanya berupa
16
udara. Ada dua cara pengeringan, yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering (Rozi 2007). Pengeringan menggunakan oven dilakukan pada suhu 60 oC (Istini dan Zatnika 1991). Penepungan dilakukan dengan cara menghaluskan karaginan kering yang dihasilkan. Nasution (2007) menjelaskan bahwa penepungan bertujuan untuk memperluas permukaan karaginan sehingga akan mempermudah proses pelarutan karaginan. 2.2.6 Aplikasi karaginan Karaginan sangat penting peranannya sebagai
stabilizer (penstabil),
thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1990). Penggunaan karaginan dalam pengolahan pangan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk produk-produk berbahan dasar air dan produk-produk berbahan dasar susu. Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air dan susu dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
17
Tabel 5 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air Produk Dessert Gel
Fungsi Gelasi
Jenis Karaginan
Konsentrasi (%)
Kappa + iota Kappa + iota + locus bean 0,5-1,0 gum (LBG)
Jeli rendah kalori
Gelasi
Kappa + iota
0,5-1,0
Kappa + galaktomanan Pakan hewan
Stabilisasi lemak,
Kappa + LBG
0,2-1,0
kalengan
pengental
Sirup
Suspensi, bodying
Kappa + lamda
0,3-0,5
Minuman serbuk
Bodying
Sodium kappa, lamda
0,3-0,5
Pizza, saus barbecue
Bodying
Kappa
0,2-0,5
Susu imitasi
Bodying
Iota, lamda
0,03-0,06
Puding (non dairy)
Pemantap emulsi
Kappa
0,1-0,3
Pasta gigi
Pengikat
Sodium kappa, iota, lamda
0,8-1,2
Lotions
Bodying
Sodium kappa, iota, lamda
0,2-1,0
Cat air
Suspensi
Kappa
bercitarasa buah
+
galaktomanan, 0,15-0,5
iota Sumber : McHugh (1987)
2.3 Edible Film Edible film adalah lapisan tipis dan kontinu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan atau diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa (misalnya oksigen, kelembaban, lipida, zat terlarut), sebagai agen pembawa bahan tambahan pangan, dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Donhowe dan Fennema 1994).
18
Pada awalnya, fungsi edible film adalah untuk mencegah kehilangan kelembaban pada buah segar atau untuk mengurangi absorbsi oksigen pada buah yang pada akhirnya dapat menekan laju respirasi. Film kemudian digunakan untuk menstabilkan gradien aktivitas air dan mempertahankan berbagai sifat tekstural yang
dimiliki
oleh
komponen
bahan
pangan
yang
berbeda-beda
(Donhowe dan Fennema 1994). Tabel 6 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar susu Produk
Fungsi
Jenis Karaginan
Konsentrasi (%)
Frozen dessert : Es krim/es susu
Mencegah pembentukan
Kappa
0,01-0,03
whey, mengontrol pencairan Produk susu pasteurisasi : Coklat, citarasa
Suspensi, bodying
Kappa
0,025-0,035
Susu skim
Bodying
Kappa, Iota
0,025-0,035
Campuran krim
Daya lekat
Kappa
0,02-0,035
buah
untuk keju ’cottage’ Produk susu sterilisasi : Coklat
Suspensi, bodying
Kappa
0,01-0,035
Formula susu bayi
Stabilisasi lemak dan protein
Kappa
0,02-0,04
Milk Gels : Puding
Gelasi
Kappa, kappa + iota
0,2-0,3
Puding dingin
Pengental, gelasi
Kappa, iota, lamda
0,2-0,5
Ready to eat
Mengendalikan sineresis
Iota
0,1-0,2
desserts Cold prepared milks : Susu instan
Suspensi, bodying
Lamda
0,1-0,2
Shakes
Suspensi, bodying
Lamda
0,1-0,2
Susu asam : Yoghurt
Bodying
Kappa + locus bean gum
0,2-0,5
Sumber : McHugh (1987)
Komponen edible film dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu hidrokoloid, lipida dan campurannya (komposit). Hidrokoloid yang cocok di
19
antaranya adalah protein, derivat selulosa, pati, alginat, pektin dan polisakarida lainnya. Lipida yang cocok adalah lilin, asil gliserol dan asam lemak. Film campuran atau komposit dapat berbentuk bilayer, dimana lapisan yang satu adalah hidrokoloid dan lapisan lainnya adalah lipida (Donhowe dan Fennema 1994). Edible film dari hidrokoloid mempunyai kelebihan yaitu dapat mencegah reaksi deteriorasi pada produk pangan dengan jalan menghambat gas-gas reaktif, terutama oksigen dan karbondioksida (Arpah 1997Film hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga sangat menguntungkan dalam penggunaannya, terutama pada produk pangan yang memerlukan perebusan atau pemasakan terlebih dahulu (Arpah 1997). Polimer hidrokoloid yang digunakan sebagai edible film dapat berupa protein, karbohidrat atau turunan dari keduanya. Salah satu bahan edible film dari karbohidrat adalah karaginan. Suryaningrum et al. (2005) menyatakan bahwa sifat karaginan yang dapat membentuk gel dan elastis, dapat dimakan
serta
dapat
diperbarui
merupakan
alasan
yang
mendukung
penggunaannya sebagai bahan baku edible film. Karaginan juga mengandung serat makanan yang baik untuk pencernaan sehingga penggunaannya sebagai edible film dapat memberikan nilai tambah bagi edible film yang dihasilkan. Suryaningrum
et
al.
(2005)
telah
melakukan
penelitian
untuk
menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka)
adalah 2:1.
Cha et al. (2002) meneliti pengaruh penambahan bahan antimikroba pada edible film kappa karaginan untuk menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen. Konsentrasi tepung kappa karaginan yang digunakan dalam penelitiannya adalah 1% dengan penambahan gliserol dan polietilen glikol sebagai plasticizer. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa edible film kappa karaginan yang ditambah dengan agen antimikroba memiliki nilai tensile strength (kuat tarik) dan persen pemanjangan yang lebih rendah dibandingkan kontrol (tanpa penambahan agen antimikroba). Larotonda (2007) juga telah meneliti pengaruh penambahan tepung karaginan berbagai konsentrasi pada edible film dari tepung Quercus suber. Penelitiannya memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung
20
karaginan yang ditambahkan, maka nilai tensile strength (kuat tarik) dan persen pemanjangan edible film tersebut juga semakin tinggi. Peningkatan konsentrasi tepung karaginan juga menyebabkan meningkatnya transparansi film yang dihasilkan. Komponen penyusun edible film yang cukup besar adalah plasticizer. Plasticizer secara umum dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap gas, uap air dan zat terlarut. Penambahan plasticizer juga dapat meningkatkan elastisitas dan daya kohesi film. Larotonda (2007) menyebutkan bahwa plasticizer yang umumnya ditambahkan pada edible film adalah poliol (gliserol, sorbitol, polietilen glikol 400), mono-, di-, atau oligosakarida, lipida dan turunannya. Pengaruh berbagai plasticizer pada edible film tepung Quercus suber dengan penambahan tepung kappa karaginan telah diteliti oleh Larotonda (2007). Plasticizer yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu plasticizer hidrofilik dan hidrofobik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plasticizer hidrofilik memiliki nilai tensile strength (kuat tarik), persen pemanjangan dan transparansi yang lebih tinggi dibandingkan plasticizer hidrofobik. Larotonda (2007) menyatakan bahwa gliserol merupakan plasticizer hidrofilik yang paling cocok diaplikasikan pada edible film tepung Quercus suber dengan penambahan tepung kappa karaginan. 2.4 Aplikasi Edible Film dalam Bidang Pangan Aplikasi edible film pada produk pangan didasarkan pada sifat-sifat proteksi dari pengemas tersebut, dalam hal ini adalah memperpanjang umur simpan melalui pencegahan reaksi-reaksi deteriorasi produk pangan (Arpah 1997). Bahan yang sering ditambahkan pada
edible film
antara lain antimikroba,
antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Edible film telah lama digunakan sebagai bahan pengemas pada produk pangan seperti daging, ayam, dan hasil perikanan. Edible film juga mampu menghambat kehilangan senyawa-senyawa volatil dan mencegah kontaminasi bau dari luar pada produk daging, ayam atau perikanan. Ismudiyati (2003) telah melakukan penelitian mengenai kemampuan edible coating kappa karaginan semi refined pada fillet ikan patin. Penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian edible coating dapat menghambat pertumbuhan
21
mikroba pada fillet ikan patin. Fillet ikan patin yang diberi coating mengandung total mikroba sebanyak 1,5 x 106 kol/g sedangkan fillet ikan patin tanpa coating mengandung total bakteri sebanyak 2 x 107 kol/g pada hari penyimpanan ke-10. Edible film juga mampu menghambat pertumbuhan kapang pada produk pangan. Penelitian Honesty (2003) menunjukkan bahwa aplikasi edible film kitosan pada dodol rumput laut dapat mencegah pertumbuhan kapang sampai hari ke-15 (tidak ditemukan kapang). Pada produk dodol rumput laut yang dikemas menggunakan kertas ditemukan kapang sebanyak 6 x 102 kol/g pada hari ke-15.
22
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanan pada bulan November 2010 hingga April 2011. Bahan baku rumput laut Kappaphycus alvarezii berasal dari petani rumput laut di Pulau Panjang Kabupaten Serang. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium antara lain laboratorium program studi THP (Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik serta Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan), laboratorium program studi Ilmu Pangan (Laboratorium Pengolahan dan Biokimia Pangan dan Gizi), Laboratorium Balai Pengujian Ekspor Impor Jakarta dan Laboratorium Geologi Kuarter PPGL. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu bahan untuk ekstraksi karaginan, pembuatan edible film karaginan dan bahan untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus. Bahan baku untuk ekstraksi karaginan adalah rumput laut Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil kappa karaginan. Kappa karaginan yang dihasilkan dengan spesifikasi terbaik akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Bahan pendukung yang digunakan untuk ekstraksi karaginan meliputi KOH teknis dan isopropil alkohol teknis, sedangkan bahan yang digunakan untuk karakterisasi karaginan adalah BaCl2, H2O2, dan KCl. Pada tahap pembuatan edible film, bahan yang digunakan adalah tepung karaginan dan gliserol. Bahan yang digunakan untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus adalah score sheet, larutan TCA 7%, larutan asam borat 4%, larutan K2 CO3 jenuh, larutan HCl 1/70 N, larutan H2SO4 pekat, akuades, NaOH, larutan asam borat 4%, indikator BCG-MR, larutan HCl 0,01 N dan nutrien agar. Alat yang digunakan dalam penelitian ini juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu alat yang digunakan untuk ekstraksi karaginan, pembuatan edible film karaginan dan alat untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus. Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstraksi karaginan adalah timbangan,
23
wadah kaca, ember/baskom, kain saring, termometer, oven, dan kompor listrik; sedangkan alat untuk karakterisasi karaginan adalah seperangkat alat uji kadar air dan abu, rheoner, refluks, hot plate, magnetic stirer, erlenmeyer, timbangan, cetakan silinder, dan termometer. Pembuatan edible film menggunakan alat-alat antara lain adalah hot plate, magnetic stirer, cetakan kaca, dan oven; sedangkan untuk karakterisasi edible film alat yang digunakan adalah jangka sorong. Alat yang digunakan untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus adalah lemari pendingin, cawan petri, seperangkat alat uji protein, pHmeter, timbangan, autoklaf dan kompor listrik. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap optimasi ekstraksi kappa karaginan serta karakterisasi tepung karaginan yang dihasilkan. Tahap kedua adalah pembuatan edible film dari tepung karaginan terbaik yang dihasilkan pada tahap pertama, sedangkan tahap ketiga adalah aplikasi edible coating karaginan untuk mempertahankan mutu udang kupas rebus. Tahap 1. Optimasi ekstraksi karaginan Ekstraksi karaginan dilakukan berdasarkan metode Sinurat et al. (2006) yang telah dimodifikasi. Perlakuan yang diberikan untuk menentukan metode ekstraksi karaginan adalah konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Parameter yang digunakan untuk menentukan metode ekstraksi yang optimal adalah rendemen dan viskositasnya. Pada tahap 1 akan diperoleh konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang akan digunakan dalam proses ekstraksi karaginan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Sebelum digunakan dalam pembuatan edible film, tepung karaginan dikarakterisasi terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya meliputi rendemen, kekuatan gel (FMC 1977), viskositas (FMC 1977), kadar air (AOAC 1995), kadar abu (AOAC 1995), kadar abu tak larut asam (FMC 1977), dan kadar sulfat (AOAC 1995). Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan dapat dilihat pada Gambar 5.
24
Rumput laut kering
Pencucian
Perendaman dalam air 24 jam Pengecilan ukuran
Ekstraksi dengan variasi konsentrasi KOH 0,5%; 1%* dan 1,5% (faktor A) dan variasi lama ekstraksi 1; 2* dan 3 jam (faktor B), perbandingan rumput laut dan larutan KOH 1:40 pada suhu 90-95 oC Penyaringan
Residu
Filtrat
Pengendapan dengan IPA 1,5 x volume filtrat
Pengeringan
Penepungan
Tepung karaginan
Uji: rendemen, viskositas
Tepung karaginan terbaik
Karakterisasi : kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kekuatan gel, kadar sulfat
Gambar 5 Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan (Sinurat et al.* 2006 yang telah dimodifikasi).
25
Tahap 2. Pembuatan edible film Edible film yang dihasilkan dari tepung karaginan dengan konsentrasi berbeda kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristiknya. Pada tahap ini akan didapatkan edible film dengan karakteristik terbaik untuk konsentrasi tepung karaginan yang digunakan. Parameter yang diuji meliputi ketebalan menggunakan alat jangka sorong, kuat tarik dan persen pemanjangan dengan testing machine MPY (ASTM 1983), laju transmisi uap air dengan metode cawan (ASTM 1967) dan struktur mikroskopis menggunakan scanning electron microscope (SEM). Diagram alir pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 6.
Tepung karaginan (0,5%; 1%*; 1,5%; 2%)
Larutkan dalam air suhu 80 oC dan dihomogenkan selama 30 menit
Penambahan plasticizer (gliserol) 0,75% dihomogenkan
Larutan homogen Penuangan pada plate Pengeringan suhu 50 oC selama 8 jam
Edible film
Uji : Ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, WVTR, SEM
Gambar 6 Diagram alir pembuatan edible film (Cha et al.* 2002 yang telah
dimodifikasi).
26
Tahap 3. Aplikasi edible coating pada udang kupas rebus Udang kupas rebus akan diaplikasikan menggunakan larutan karaginan konsentrasi terbaik pada tahap 2 dengan cara pencelupan untuk melihat pengaruh penggunaan larutan karaginan terhadap mutu udang kupas rebus yang disimpan pada suhu dingin (2 oC). Sebelum dilakukan penelitian utama untuk melihat pengaruh penggunaan coating karaginan terhadap mutu udang kupas rebus, dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan daya simpan udang kupas rebus tanpa coating pada suhu dingin (2 oC). Udang kupas rebus tanpa coating disimpan dalam lemari pendingin suhu 2 oC kemudian dilakukan pengamatan TPC setiap 2 hari sekali untuk mengetahui jumlah bakteri udang selama penyimpanan. Udang kupas rebus dikatakan busuk atau tidak dapat diterima lagi jika jumlah bakterinya melebihi 5,0x104 kol/g (SNI 01-3458.1-2006). Lama pengamatan dan selang pengamatan untuk penelitian utama ditentukan berdasarkan daya simpan udang hingga mengalami kebusukan yang merupakan hasil dari penelitian pendahuluan. Diagram alir prosedur aplikasi edible coating pada udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 7.
Udang kupas rebus
Pencelupan dalam larutan karaginan 40 oC selama 5 detik
Penirisan hingga kering Penyimpanan pada suhu dingin (4-6oC)
Pengamatan tiap 3 hari meliputi TPC, kadar air, pH, kadar protein, TVBN, organoleptik Gambar 7 Diagram alir prosedur aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus (Riyanto 2006 yang telah dimodifikasi).
27
3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kimia, fisika dan mikrobiologi. Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari kadar air, kadar abu, viskositas, pH, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, kadar protein dan TVBN. Analisis fisika yang dilakukan meliputi rendemen, ketebalan film, persentase pemanjangan dan kuat tarik film serta laju transmisi uap air film; sedangkan analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah TPC. 3.4.1 Rendemen Analisis rendemen dilakukan dengan cara membandingkan berat tepung karaginan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Rendemen dihitung berdasarkan rumus :
Rendemen (%) =
Berat karaginan kering x 100% Berat rumput laut kering
3.4.2 Kadar air (Metode Gravimetri, AOAC 1995) Sampel karaginan yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1-2 gram dalam botol timbangan yang telah bersih dan kering dan diketahui beratnya. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama waktu tertentu tergantung jenis bahannya. Untuk bahanbahan yang relatif kering seperti biji-bijian, kedelai, kacang-kacangan memerlukan waktu 3-5 jam, sedangkan bahan-bahan basah memerlukan waktu 24 jam. Makin besar kandungan air dalam suatu bahan pangan makin lama waktu pemanasan yang diperlukan. Pengeringan dilakukan selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang; perlakuan ini diulangi sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan yang dihitung dengan rumus :
Kadar air(%) =
Berat awal − akhir X 100% Berat sampel (g)
28
3.4.3 Kadar abu (Metode Gravimetri, AOAC 1995) Analisis kadar abu dilakukan dengan cara memanaskan sampel hingga menjadi abu menggunakan muffle furnace. Pertama-tama, krus porselen dengan tutupnya dipijarkan dalam muffle furnace kemudian didinginkan dalam oven dan dimasukkan ke dalam eksikator sampai dingin. Krus yang telah dingin ditimbang untuk mengetahui berat krus kosong. Sampel karaginan kering ditimbang dalam krus porselen yang telah diketahui beratnya (kira-kira 2 gram), selanjutnya dipanaskan di atas kompor listrik sehingga bahan menjadi arang. Kemudian dipijarkan dalam muffle suhu 600 oC selama 6 jam sampai menjadi abu berwarna keputih-putihan, biarkan muffle sampai menunjukkan suhu kamar, kemudian baru dibuka tutupnya. Krus didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven suhu 105 oC selalam 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam eksikator hingga dingin. Krus yang telah dingin selanjutnya ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus : Kadar abu (% db)=
Berat abu (g) x 100% Berat sampel kering (g)
3.4.4 Kadar abu tak larut asam (FMC 1977) Karaginan yang telah diabukan kemudian didihkan dengan 25 ml HCl 10% selama 5 menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring dengan kertas saring tidak berabu (kertas saring Whatman 42). Kertas saring diabukan seperti prosedur di atas lalu didinginkan dalam oven suhu 105 oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam esikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar abu tak larut asam dihitung dengan rumus :
Kadar abu tak larut asam (%) =
Berat abu x 100% Berat sampel
29
3.4.5 Kadar sulfat (AOAC 1995) Karaginan sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N dan direfluks sampai mendidih selama 1 jam. Sebanyak 25 ml larutan H2O2 (1:10) ditambahkan dan direfluks selama 5 jam sampai larutan menjadi jernih.
Larutan yang diperoleh dipindahkan kedalam
gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih, kemudian ditambahkan 10 mL larutan BaCl2 (tetes demi tetes sambil diaduk) diatas penangas air selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berabu dan dicuci dengan aquades mendidih hingga bebas klorida. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut : BM SO4 P x BM BaSO 4 Kadar Sulfat (%) = x 100% Berat sampel P = berat endapan BaSO4 (garam) 3.4.6 Viskositas (FMC 1977) Larutan karaginan konsentrasi 1,5% dipanaskan dalam bak air mendidih sambil diaduk secara teratur hingga mencapai suhu 75 oC. Viskositas diukur menggunakan alat viscometer pada saat suhu larutan mencapai 75 oC. Pembacaan dilakukan setelah 1 menit putaran penuh untuk spindel no 1. Viskositas yang terukur mempunyai satuan poise (1 poise = 100 centipoise). 3.4.7 Kekuatan gel (FMC 1977) Larutan panas dimasukkan kedalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 oC selama 2 jam. Gel dalam cetakan dimasukkan kedalam alat ukur (Rheoner RE-3305) sehingga plunger yang akan bersentuhan dengan gel berada ditengahnya. Plunger diaktifkan dan dilakukan pengamatan.
30
3.4.8 Ketebalan film (ASTM 1983) Ketebalan film diukur dengan jangka sorong yang mampu mengukur ketebalan dengan ketelitian 0,001 mm. Ketebalan sebuah film diukur pada lima tempat yang berbeda. Dari lima tempat tersebut kemudian di rata-rata. 3.4.9 Kuat tarik dan persen pemanjangan (ASTM 1983) Daya rentang dan persen pemanjangan diukur dengan Testing Machine MPY (tipe : PA-104-30, Ltd. Tokyo, Jepang). Daya rentang ditentukan berdasarkan beban maksimum dan persen pemanjangan dihitung pada saat film pecah atau sobek.
Kuat tarik kgf/cm2 =
Gaya Luas
3.4.10 Laju transmisi uap air (ASTM 1967) Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor transmition rate tester bargerlahr metode cawan. Tutup cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian yang beralur menghadap ke atas. Film diletakkan ke dalam tutup cawan, lalu cincin karet diletakkan untuk sealing ke dalam, ditutup hingga cincin tersebut menekan film. Cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001 g kemudian diletakkan dalam humidity chamber, ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan pertambahan berat cawan. Nilai laju transmisi uap air ditentukan dengan rumus :
WVTR g/m2 /hari =
g x 24 txa
3.4.11 TPC (Fardiaz 1993) Uji mikrobiologis dilakukan dengan perhitungan jumlah mikroba yang ada dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Campuran diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Kemudian dilakukan prosedur serupa untuk pengenceran 10-3 dan seterusnya hingga
31
pengenceran 10-5.
Agar steril dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan
dibiarkan membeku. Sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Contoh diratakan di atas permukaan medium agar menggunakan batang gelas steril dan diinkubasi pada suhu 10 oC selama 5 hari. Jumlah koloni dihitung berdasarkan rumus : Jumlah Koloni (kol/g) =Koloni yang terhitung x
1 Faktor Pengenceran
3.4.12 Kadar protein (AOAC 1995) Pengujian kadar protein dilakukan dalam tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Tahapan pengujian kadar protein adalah sebagai berikut : a. Destruksi Labu diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 400 oC di dalam ruang asam. Destruksi dilakukan hingga larutan menjadi bening (1-1,5 jam). Hasil destruksi kemudian didinginkan dan diencerkan dengan akuades secara perlahan hingga mencapai 100 ml. b. Destilasi Sebanyak 10 ml hasil dekstruksi dipipet dan dimasukkan ke dalam labu destilasi. Ujung kondensor harus terendam di bawah larutan asam borat. Tambahkan sampel hasil destruksi dengan 8-10 ml larutan NaOH kemudian lakukan destilasi sampai berwarna hijau kebiruan. c. Titrasi Titrasi hasil destilasi menggunakan larutan HCl 0,01 N hingga larutan berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus :
Kadar protein (%) = Kadar N x 6,25 3.4.13 Derajat keasaman (pH) (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan menggunakan pHmeter digital. Sebelum digunakan, alat pHmeter dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 lalu dicelupkan pada buffer pH 7 dan dibiarkan sesaat hingga stabil.
32
3.4.14 TVBN (AOAC 1995) Analisis TVBN dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 100 gram dan ditambah dengan 300 ml larutan TCA 7% kemudian dihaluskan. Larutan disaring dengan kertas saring hingga didapat filtrat jernih. Lakukan destilasi, destilat ditampung dengan 15 ml HCl 0,01 M. Tambahkan beberapa tetes indikator merah fenol ke dalam destilat kemudian dititrasi dengan NaOH 0,01 M hingga berwarna merah muda.
3.4.15 Struktur mikroskopis menggunakan SEM (Toya et al. 1986) Scanning electron microscope (SEM) merupakan mikroskop yang bekerja dengan prinsip pancaran elektron diradiasi terhadap specimen. Sampel yang akan diuji menggunakan SEM harus dalam keadaan kering, bisa ditempel pada specimen holder dengan ukuran 8 mm, bebas dari kotoran dan tidak berminyak. Specimen holder dibersihkan dengan hand blower untuk menghilangkan debudebu pengotor kemudian sampel ditempelkan. Spesimen selanjutnya diberi lapisan tipis (coating) dari emas-paladium (Au : 80% dan Pd : 20%) dengan menggunakan mesin ion sputter JFC-1100. Pemberian coating bertujuan agar sampel atau
spesimen
yang
akan
dipotret
menggunakan
SEM
dapat
menghantarkan listrik. Ketebalan coating adalah 400 Å. Spesimen yang telah dicoating dimasukkan ke dalam specimen chamber pada mesin SEM untuk dilakukan pemotretan. 3.4.16 Uji organoleptik (SNI 2006) Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji skoring menggunakan 30 orang panelis non standar. Pengujian dilakukan pada ruangan khusus organoleptik yaitu Laboratorium Organoleptik program studi THP IPB. Sampel yang akan diamati diberi kode sesuai dengan tabel kode contoh. Lembar pengujian skoring mengacu pada lembar penilaian sensori udang kupas rebus beku. Tiap panelis diminta untuk mengisi skor sampel yang diamati pada lembar yang tersedia. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan diurutkan dari besar ke kecil untuk selanjutnya diuji menggunakan uji Krusskal Wallis.
33
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian tahap 1 dan 3 menggunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Pada tahap 1, faktor A adalah konsentrasi KOH 0,5%; 1% dan 1,5%, sedangkan faktor B adalah lama ekstraksi 1; 2 dan 3 jam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pada tahap 3, faktor A adalah aplikasi coating dan tanpa coating, sedangkan faktor B adalah lama penyimpanan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Model matematika rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yijk = µ+ A1 + B1 + (AB)ij + Єijk
Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
= Nilai tengah umum
Ai
= Pengaruh utama faktor A pada taraf ke-i
Bj
= Pengaruh utama faktor B pada taraf ke-j
Penelitian tahap 2 menggunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Rancangan acak lengkap (RAL) dapat ditulis dalam model matematika sebagai berikut:
Yij = µ + τi + Єij
Keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i Єij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
34
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam untuk mengetahui adanya pengaruh atau tidak dari masing-masing perlakuan pada tingkat signifikansi 95%. Apabila ada pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (DMRT) untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan (Sastrosupadi 2004). Data organoleptik diolah menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah :
H=
12 + n+(n+1)
H1 =
Pembagi=1-
R2i
ni - 3 (n+1)
H pembagi
∑T dengan T=(t-1)(t+1) ( n-1)( n+1)
Keterangan : n
= jumlah data total
ni
= banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i
Ri2
= jumlah peringkat dari perlakuan ke-i
T
= banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H
= simpangan baku
35
H1
= H terkoreksi
t
= banyaknya pengamatan seri Apabila data hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan beda nyata, maka
dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan berganda (multiple comparison) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda (multiple comparison) dapat dirumuskan sebagai berikut :
| R − R > Zα
Keterangan : R
= rata-rata ranking perlakuan ke-i
Rj
= rata-rata ranking perlakuan ke-j
k
= banyaknya ulangan
n
= jumlah data total
k (n + 1)
6
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap 1 adalah optimasi ekstraksi karaginan dan karakterisasi tepung karaginan terbaik yang dihasilkan. Tahap 2 merupakan tahap pembuatan edible film dari tepung karaginan terbaik dan tahap 3 adalah tahap aplikasi coating karaginan dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus yang disimpan dingin. 4.1 Optimasi Ekstraksi Karaginan Optimasi metode ekstraksi perlu dilakukan untuk menghasilkan karaginan yang sesuai dengan arah pemanfaatannya, yaitu sebagai bahan baku pembuatan edible film. Metode ekstraksi yang dapat menghasilkan karaginan dengan nilai rendemen dan viskositas tertinggi adalah metode ekstraksi yang optimal. 4.1.1 Rendemen Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen karaginan yang dihasilkan berkisar antara 12,11 - 45,64%. Rendemen terendah dihasilkan oleh perlakuan konsentrasi KOH 1,5% dengan lama ekstraksi 3 jam sedangkan rendemen tertinggi merupakan hasil ekstraksi menggunakan konsentrasi KOH 0,5% dengan lama ekstraksi 1 jam. Berdasarkan hasil analisis ragam, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95%, interaksi antara kedua faktor tersebut juga berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan KOH 0,5% selama 1 jam menghasilkan rendemen tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan KOH 1,5% selama 1 jam, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Histogram rerata rendemen karaginan dapat dilihat pada Gambar 8.
37
60
50
45,64d
Rerata rendemen (%)
40,83d 40 33,53c 29,22c
30
23,95b 20,00b
22,52b
20 15,07a 12,11a
10
0 0,5
1 Konsentrasi KOH (%)
Gambar 8 Histogram rerata rendemen karaginan.
1 jam,
1,5
2 jam dan
3 jam.
Gambar 8 menunjukkan bahwa interaksi antara peningkatan konsentrasi KOH sejalan dengan semakin lamanya ekstraksi mengakibatkan rendemen karaginan yang dihasilkan semakin menurun. Penurunan ini terjadi karena peningkatan konsentrasi KOH dan lama ekstraksi menyebabkan larutan karaginan yang dihasilkan semakin kental sehingga susah untuk disaring. Suryaningrum et al. (2003) juga mengemukakan bahwa rendahnya rendemen karaginan akibat waktu ekstraksi yang terlalu lama disebabkan oleh semakin banyaknya penguapan yang menyebabkan larutan karaginan semakin kental dan cepat membentuk gel sehingga sulit untuk disaring. Penurunan rendemen juga dapat disebabkan oleh fragmentasi polimer karaginan akibat terlalu lama kontak dengan larutan KOH dan suhu tinggi. 4.1.2 Viskositas Nilai viskositas karaginan tertinggi diperoleh dari ektraksi menggunakan KOH konsentrasi 0,5% dengan waktu ekstraksi 1 jam yaitu 18,00 cP. Nilai
38
viskositas karaginan terendah adalah 5,17 cP yang merupakan hasil ekstraksi menggunakan KOH konsentrasi 1,5% dengan waktu ekstraksi 3 jam. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa interaksi antara variasi konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh (p<0,05) terhadap viskositas karaginan yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan KOH 0,5% selama 1 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan KOH 0,5% selama 3 jam tetapi berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya. Histogram rerata viskositas dapat dilihat pada Gambar 9.
24 22
Rerata viskositas (cP)
20
18,00d
18 16
13,92cd
14 12
10,75bc
10
8,25ab 7,25ab 6,08ab
8
6,67a 5,67a
6
5,17a
4 2 0 0,5
1 Konsentrasi KOH (%)
Gambar 9 Histogram rerata viskositas karaginan.
1 jam,
1,5
2 jam dan
3 jam.
Gambar 9 menunjukkan bahwa viskositas karaginan akan semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Menurut Suryaningrum et al. (2003), konsentrasi KOH yang tinggi diikuti dengan semakin lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan terjadinya fragmentasi polimer karaginan yang dapat menurunkan berat molekul polimer karaginan. Nilai viskositas erat kaitannya dengan berat molekul polimer karaginan, dimana semakin tinggi berat molekul polimer maka nilai viskositas juga semakin tinggi.
39
Penggunaan larutan KOH dalam proses ekstraksi karaginan bertujuan untuk meningkatkan daya gelasi larutan karaginan. Kappa karaginan mengandung dua gugus sufat, yaitu
gugus 6-sulfat dan
gugus 4-sulfat. Semakin tinggi
konsentrasi KOH yang digunakan maka grup 6-sulfat yang tereliminasi juga semakin banyak sehingga kandungan sulfat dalam polimer karaginan menurun dan menyebabkan penurunan nilai viskositas larutan karaginan. Reaksi eliminasi gugus sulfat oleh alkali dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Reaksi eliminasi gugus sulfat polimer karaginan oleh alkali. (Campo et al. 2009)
4.1.3 Karakteristik tepung karaginan terbaik Tepung karaginan terbaik adalah tepung karaginan yang memiliki nilai rendemen dan viskositas tertinggi. Nilai rendemen yang tinggi menunjukkan bahwa metode ekstraksi karaginan yang digunakan dapat menghasilkan karaginan dalam jumlah tinggi, yang berdampak pada keuntungan secara ekonomi. Viskositas juga merupakan parameter penting yang berkaitan erat dengan kemampuan tepung karaginan untuk diaplikasikan sebagai edible film. Larutan karaginan yang terlalu encer sebagai akibat rendahnya nilai viskositas menyebabkan larutan karaginan sukar dicetak menjadi edible film. Berdasarkan kedua parameter tersebut, maka metode ekstraksi yang dapat menghasilkan karaginan dengan spesifikasi terbaik adalah ekstraksi menggunakan konsentrasi
40
KOH 0,5% dengan lama ekstraksi 1 jam. Karakteristik tepung karaginan terbaik dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik tepung karaginan terbaik Spesifikasi
Tepung
FCC
karaginan terbaik
Basmal et al.
Basmal et al.
Suryaningrum et al.
(2003)
(2005)
(2003)
Rendemen (%)
45,64
-
16,56
29,33
49,03
Viskositas (cP)
18
≥5
14,9
15
112
Kadar air (%)
16,26
-
10
9,4
27,59
Kadar abu (%)
35,9
≤ 35
24,55
14,1
14,4
Kadar abu tak
0,33
≤1
0,9
0,23
0,3
5,04
18 - 40
18,25
18,1
14,19
385,63
-
-
-
-
larut asam (%) Kadar sulfat (%) Kekuatan gel (gf)
Rendemen tepung karaginan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Basmal et al. (2003) dan Basmal et al. (2005) yaitu berturut-turut 16,56% dan 29,33Penelitian Basmal et al. (2003) menggunakan konsentrasi KOH 3,5% dengan lama ekstraksi 2 jam untuk menghasilkan tepung karaginan sedangkan Basmal et al. (2005) menggunakan konsentrasi KOH 12% dengan waktu ekstraksi 2 jam. Penggunaan konsentrasi KOH yang tinggi dan proses ekstraksi yang lebih lama menyebabkan rendemen yang didapatkan semakin rendah karena larutan karaginan semakin kental sehingga sulit untuk disaring. Nilai viskositas tepung karaginan hasil penelitian telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh FCC yaitu ≥ 5 cP. Apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, viskositas karaginan hasil penelitan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Basmal et al. (2003) dan Basmal et al. (2005) yaitu berturut-turut
41
14,9 cP dan 15 cP. Perbedaan ini juga disebabkan oleh berbedanya metode ekstraksi yang digunakan. Kadar air karaginan hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh FAO yaitu 12%. Tingginya kadar air karaginan hasil penelitian disebabkan oleh penggunaan konsentrasi KOH yang rendah yaitu hanya 0,5%. Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang akan menentukan daya simpan suatu produk. Produk dengan kadar air yang tinggi merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba sehingga produk akan mudah mengalami kerusakan dan berdampak pada singkatnya umur simpan produk. Kadar abu hasil penelitian sedikit lebih tinggi dibandingkan standar FCC yaitu ≤ 35%. Kadar abu hasil penelitian juga lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Suryaningrum et al. (2003) dan Basmal et al. (2003), yaitu 14,4% dan 24,55%. Kadar abu dipengaruhi oleh larutan pengekstrak yang digunakan. Kadar abu tak larut asam tepung karaginan yang dihasilkan telah memenuhi standar FCC yaitu ≤ 1%. Nilai kadar abu ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Suryaningrum et al. (2003) yaitu 0,3%, tetapi jauh lebih rendah dibanding penelitian Basmal et al. (2005) yaitu 0,9%. Kadar abu tak larut asam menunjukkan kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam di dalam suatu produk. Kadar sulfat tepung karaginan hasil penelitian lebih rendah dibandingkan standar FCC, yaitu 18-40%. Keberadaan gugus sulfat dalam polimer karaginan erat kaitannya dengan konsentrasi larutan pengesktrak yang digunakan. Kekuatan gel tepung karaginan ditentukan oleh kadar sulfat polimer karaginan. Semakin tinggi kandungan sulfat polimer karaginan maka kekuatan gel akan semakin rendah tetapi nilai viskositasnya akan semakin tinggi. 4.2 Karakteristik Edible Film Tepung karaginan terbaik yang dihasilkan pada tahap 1 digunakan untuk membuat edible film dengan berbagai konsentrasi tepung karaginan. Sifat-sifat edible film yang diteliti meliputi ketebalan, laju transmisi uap air, persentase pemanjangan, kuat tarik dan struktur mikroskopis film.
42
4.2.1 Ketebalan dan laju transmisi uap air film Edible film diharapkan memiliki ketebalan yang tidak terlalu tinggi tetapi tetap memiliki sifat-sifat mekanis yang diinginkan untuk mendukung fungsinya sebagai bahan pengemas primer. Transmisi uap air berbeda dengan transport melewati pori-pori bahan. Transmisi terdiri dari proses pelarutan dan difusi aktif dimana uap air larut pada salah satu sisi film dan kemudian berdifusi melewati sisi lain. Kecepatan ketahanan terhadap laju transmisi uap air ditentukan dalam kondisi ketebalan, suhu dan tekanan gradient parsial uap air diketahui. Transmisi uap air terjadi melalui bagian film yang bersifat hidrofilik (McHugh dan Krochta 1994). Kondisi lingkungan saat pembuatan film dapat mempengaruhi sifat penghalang atau barrier film yang dihasilkan. Suhu yang terlalu tinggi saat pengeringan film dapat menyebabkan molekul polimer terimobilisasi sebelum molekul sempat bergabung membentuk film yang kontinu dan koheren, memungkinkan cacat pada film seperti lubang atau ketebalan film yang tidak rata. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan laju tranmisi uap air film (Rhim dan Shellhammer 2005). Ketebalan
film hasil penelitian berkisar antara 0,034 – 0,064 mm
sedangkan laju transmisi uap air film yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0,0055 – 0,006 g/m2/hari. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa ketebalan dan laju transmisi uap air film yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh variasi konsentrasi karaginan (p>0,05). Histogram rerata ketebalan dan laju transmisi uap air film dapat dilihat pada Gambar 12.
43
0,007
0,08 0,006a 0,0055a
0,0055a
0,07a
0,06
0,0055a
0,006
0,064a
0,005
0,05 0,004 0,04 0,03
0,003
0,038a 0,034a
0,002
0,02
0,001
0,01 0
Rerata Laju Transmisi Uap Air (g/m2/hari)
Rerata Ketebalan Film (mm)
0,07
0 0,5
1
1,5
2
Konsentrasi Karaginan (%)
Gambar 12 Histogram rerata ketebalan (○) dan laju transmisi uap air (■) film.
Ketebalan film yang diperoleh dari hasil penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Irianto et al. (2006) yaitu 0,079 mm. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi serta jumlah bahan penyusun edible film yang digunakan. Laju transmisi uap air juga dipengaruhi oleh ketebalan film. Menurut McHugh et al. (1994), film hidrofilik menunjukkan hubungan positif antara ketebalan dan laju transmisi uap air. Jika ketebalan film meningkat, maka film memberikan peningkatan ketahanan terhadap perpindahan massa sehingga mengakibatkan penurunan laju transmisi uap air.
44
4.2.2 Persentase pemanjangan dan kekuatan tarik film Persentase pemanjangan berhubungan erat dengan konsentrasi plasticizer yang digunakan, semakin tinggi konsentrasi plasticizer yang digunakan maka persentase pemanjangan film yang dihasilkan juga semakin tinggi. Edible film dengan kekuatan tarik yang tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik. Kriteria bahan pengemas yang baik adalah mempunyai kekuatan tarik dan persentase pemanjangan yang tinggi karena hal ini akan mempengaruhi kekuatan film terhadap kontak fisik dengan benda lain sehingga film tidak mudah sobek dan bahan yang dilapis tidak mudah rusak. Analisis ragam (ANOVA) memperlihatkan bahwa variasi konsentrasi karaginan berpengaruh nyata terhadap persentase pemanjangan dan kekuatan tarik film (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, seluruh konsentrasi karaginan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai persentase pemanjangan film. Hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai kekuatan tarik menunjukkan bahwa konsentrasi karaginan 0,5% dan 1% tidak berbeda nyata, begitu pula dengan konsentrasi 1,5% dan 2% yang tidak berbeda nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase pemanjangan
film berkisar antara 25,95 – 43,05%, sedangkan
kekuatan tarik film berkisar antara 1115,58 – 5516,67 kgf/cm2. Histogram rerata persentase pemanjangan dan kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 13.
45
50
6000 5516,67b
45
5000
40 4228,7b
35
4000
30
28,32c
27,1b
25,95a
25
3000
20
2264,98a 2000
15 10
1155,58a
Rerata Kuat Tarik (kgf/cm2)
Rerata Persentase Pemanjangan (%)
43,05d
1000
5 0
0 0,5
1
1,5
2
Konsentrasi Karaginan (%)
Gambar 13 Histogram rerata persentase pemanjangan (○) dan kuat tarik (■) film. Gambar 13 menunjukkan peningkatan konsentrasi karaginan hingga 1,5% menyebabkan peningkatan persentase pemanjangan dan kekuatan tarik film. Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai persentase pemanjangan adalah jenis plasticizer yang digunakan. Penambahan plasticizer pada edible film bertujuan untuk menghindarkan film dari keretakan, meningkatkan daya rentang, serta menghaluskan dan mempertipis film (Donhowe dan Fennema 1994). Laratonda (2009) menyatakan bahwa gliserol merupakan plasticizer terbaik pada edible film dari karaginan karena dapat meningkatkan kuat tarik, persentase pemanjangan serta transparansi film yang dihasilkan dibandingkan jika menggunakan plasticizer hidrofobik seperti tributil sitrat dan tributil asetil sitrat.
46
Apabila dibandingkan dengan penelitian Irianto et al. (2006), maka edible film hasil penelitian memiliki presentase pemanjangan yang lebih tinggi. Penelitian Irianto et al. (2006) menghasilkan edible film karaginan dengan persentase pemanjangan hanya 4%. 4.2.3 Struktur mikroskopis film Struktur mikroskopis edible film diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM) untuk mengetahui perbedaan struktur internal edible film dari konsentrasi karaginan yang berbeda. SEM merupakan mikroskop yang menggunakan prinsip pancaran elektron yang ditembakkan pada sampel. Struktur mikroskopis edible film yang diamati menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 14.
A
C
B
D
Gambar 14 Struktur mikroskopis film berbagai konsentrasi karaginan. (A) 0,5%; (B) 1%; (C) 1,5% dan (D) 2%
47
Edible film yang dihasilkan dari karaginan dengan konsentrasi 0,5% (Gambar 14 A) memperlihatkan struktur internal film yang berbeda dibandingkan dengan film yang dihasilkan dari karaginan konsentrasi 1%; 1,5% dan 2% (Gambar 14 B, C, dan D). Edible film yang dihasilkan dari karaginan konsentrasi 0,5% memperlihatkan struktur polimer film yang mengandung banyak zona putusputus (discontinuous zone) yang digambarkan sebagai garis patah-patah yang terdistribusi secara acak sepanjang jaringan polimer film. Gambar 14 B, C dan D menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi karaginan mampu memperbaiki struktur internal film yang ditandai dengan berkurangnya zona putus-putus sehingga strukturnya menjadi lebih kompak dan padat. Gambaran struktur internal film akan memberikan pengetahuan mengenai pengaruh penambahan karaginan terhadap perbaikan struktur internal film. Penentuan konsentrasi karaginan terbaik dalam menghasilkan edible film tidak hanya dilihat dari struktur internalnya saja tetapi perlu ditunjang dengan parameter-parameter lainnya seperti ketebalan, laju transmisi uap air, persentase pemanjangan dan kuat tarik film. 4.3 Aplikasi Edible Coating Edible coating atau film telah lama digunakan sebagai bahan pengemas pada produk pangan seperti daging, ayam dan hasil perikanan. Aplikasi edible coating atau film pada produk pangan didasarkan pada sifat-sifat proteksi dari pengemas tersebut, dalam hal ini adalah memperpanjang umur simpan melalui pencegahan reaksi-reaksi deteriorasi produk pangan (Arpah 1997). Beberapa parameter dapat dijadikan acuan untuk menentukan kemunduran suatu produk, seperti TPC, TVBN, pH, kadar air, kadar protein maupun organoleptik. 4.3.1 TPC (Total Plate Count) Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim dan perubahan kimia. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba dapat menyebabkan makanan dan minuman tidak layak dikonsumsi akibat penurunan mutu atau karena makanan tersebut beracun. TPC (total plate count)
48
merupakan suatu cara menentukan tingkat kemunduran mutu suatu produk dengan cara menghitung jumlah total koloni mikroba pada produk tersebut. Nilai log TPC pada hasil penelitian berkisar antara 1,4 hingga 9,1 log koloni/gram. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa nilai log TPC dipengaruhi (p<0,05) oleh variasi interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dan lama penyimpanan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara produk udang kupas rebus tanpa dilapisi coating dengan produk udang kupas rebus dengan lapisan coating selama penyimpanan. Histogram nilai log TPC produk udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 15.
11 10 Total mikroba (log koloni/g)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 15 Histogram nilai log TPC udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Berdasarkan SNI 01-3458-2006 mengenai produk udang kupas rebus beku, nilai TPC yang diperbolehkan maksimal 5 x 104 koloni/gram atau maksimal sebesar 4,7 log koloni/gram. Aplikasi coating pada produk udang terbukti dapat memperpanjang masa simpan udang kupas rebus pada suhu dingin (4-6o) dari 3 hari menjadi 9 hari.
49
Udang kupas rebus tanpa pemberian coating akan dengan mudah mengalami kontaminasi mikrobiologi dari lingkungannya sehingga kandungan bakteri pada produk tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang dicoating. Menurut Gram et al. (2002), mikroba pembusuk pada udang antara lain adalah
Pseudomonas
spp.,
Aeromonas
spp.,
Shewanella
putrefaciens,
Carnobacterium, Photobacterium phosporeum, Enterobacteriaceae dan Bacillus. 4.3.2 TVBN (Total Volatile Bases Nitrogen) Pengujian nilai TVBN dilakukan dengan menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein (amin, mono-, di-, dan trimetilamin) secara enzimatik maupun secara mikrobiologi. Berdasarakan analisis ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa antara produk udang kupas rebus yang diberi coating dan tanpa coating tidak berbeda nyata selama penyimpanan (p>0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai TVBN produk udang kupas rebus bervariasi antara 52,725 – 346,62 mg N/ 100 g daging udang. Nilai TVBN pada produk udang kupas rebus mengalami peningkatan seiring dengan semakin lamanya penyimpanan, baik pada produk yang dicoating maupun yang tidak dicoating. Histogram rerata TVBN pada produk udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 16. Menurut Lu (2009), daging udang mengandung kadar nitrogen terlarut dan asam amino bebas yang tinggi sehingga proses awal kemunduran mutu produk udang selalu diikuti dengan pembentukan senyawa-senyawa volatil bebas dalam jumlah tinggi. Pada hasil penelitian, kandungan TVBN pada awal penyimpanan telah melebihi ambang batas yang diperbolehkan untuk produk perikanan segar menurut Montgomery et al. (1970) yaitu 30mg N/100g dan juga telah melebihi ambang batas produk udang segar menurut Cobbs dan Vanderzant (1971) yaitu 5mg N/100g. Tingginya kadar TVBN pada awal penyimpanan mengindikasikan tingginya tingkat degradasi produk udang.
50
400
Kadar TVBN (mg N/100 g)
350 300 250 200 150 100 50 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 16 Histogram rerata TVBN udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Anacleto et al. (2011) pada kepiting kupas rebus. Penelitannya menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan, kadar TVBN produk telah melebihi ambang batas yang diperbolehkan dan nilainya terus meningkat sejalan dengan semakin lamanya penyimpanan. Anacleto et al. (2011) menambahkan bahwa nilai TVBN bukan merupakan parameter utama dalam menentukan kemunduran mutu pada kepiting kupas rebus, begitu juga dengan golongan krustasea segar (Huidobro et al. 2002) dan spesies cephalopoda segar (Vaz-pires et al. 2008). 4.3.3 Derajat keasaman (pH) Secara umum perubahan kimiawi pertama kali dalam produk perikanan adalah perubahan pH. Nilai pH atau derajat keasaman berkaitan erat dengan pertumbuhan mikroba pada produk perikanan. Perubahan pH bahan pangan dapat berpengaruh terhadap flavor, tekstur dan stabilitas bahan pangan selama proses pengolahan.
51
Nilai pH pada produk udang yang diteliti berkisar antara 6,57 – 7,49. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antara produk yang diberi coating dan tanpa coating selama penyimpanan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap nilai pH pada produk yang dicoating dan tanpa coating selama penyimpanan. Histogram rerata pH pada produk udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 17.
8 7 6
Nilai pH
5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 17 Histogram rerata pH udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Nilai pH pada awal penyimpanan adalah 7,27 yang masih termasuk dalam kisaran pH netral. Pada akhir penyimpanan, pH udang mengalami peningkatan mendekati pH netral. Peningkatan nilai pH disebabkan oleh munculnya senyawasenyawa volatil bebas akibat perombakan protein oleh mikroba dan enzim.
52
Nilai pH akhir penyimpanan pada produk udang coating maupun tanpa coating masih dalam batas penerimaan untuk produk udang-udangan. Menurut Chung dan Lain (1979), ambang batas penerimaan nilai pH untuk produk udang-udangan adalah 7,8 – 7,95. 4.3.4 Kadar protein Golongan krustasea merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki kandungan protein relatif tinggi. Niammnuy et al. (2008) membagi protein pada daging udang dapat menjadi tiga jenis, yaitu protein miofibril (protein utama pada serat otot), protein sarkoplasma (terletak pada daerah interstitial antara serat-serat otot yang terpisah) dan protein stroma (jaringan pengikat endomisium, perimisium dan epimisum). Selama proses kemunduran mutu terjadi, kandungan protein pada udang akan mengalami penurunan akibat perombakan oleh enzim maupun mikroba menjadi beberapa senyawa volatil bebas. Berdasarkan hal tersebut, maka kandungan protein dapat dijadikan salah satu parameter pendukung untuk menentukan tingkat kemunduran mutu produk perikanan, salah satunya adalah udang. Kandungan protein pada udang kupas rebus dalam penelitian ini berkisar antara 92,55 - 67,2 % (db). Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), interaksi antara penggunaan coating dan tanpa coating selama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar protein udang kupas rebus. Penggunaan coating memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein udang kupas rebus berdasarkan analisis ragam (ANOVA) (p<0,05). Histogram rerata kadar protein pada produk udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 18.
53
100 90 80 Kadar Protein (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
3
6
9 12 15 Lama penyimpanan (hari)
18
21
Gambar 18 Histogram rerata kadar protein udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Produk udang kupas rebus tanpa coating mengalami penurunan kandungan protein yang lebih cepat dan signifikan dibandingkan dengan produk udang yang dicoating seperti ditunjukkan oleh Gambar 18. Tingginya kandungan mikroba pembusuk pada udang tanpa coating merupakan salah satu pemicu turunnya kandungan protein akibat kemampuan mikroba tersebut untuk mendegradasi protein menjadi basa-basa volatil. 4.3.5 Kadar air Jumlah kandungan air pada suatu produk akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba (Adawiyah 2007). Produk dengan kadar air tinggi rentan terhadap serangan mikroba sehingga lebih cepat mengalami kemunduran mutu. Berdasarkan hasil penelitian, kadar air produk udang kupas rebus selama penyimpanan sebesar 72,75-67,62%. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan
54
bahwa interaksi antara penggunaan coating dan tanpa coating dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air udang kupas rebus (p>0,05). Berdasarkan analisis ragam pula, dapat disimpulkan bahwa aplikasi coating pada udang kupas rebus memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar air. Histogram rerata kadar air pada produk udang kupas rebus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 19.
80 70
Kadar Air (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 19 Histogram rerata kadar air udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Aplikasi coating terbukti mampu melindungi produk udang dari kehilangan air secara cepat. Pada produk udang kupas rebus tanpa coating, air hilang dengan cepat dan signifikan terutama pada awal-awal penyimpanan. Berbeda halnya dengan produk udang kupas rebus yang dilapisi coating, penurunan kadar air pada produk tersebut berlangsung lambat.
55
4.3.6 Organoleptik Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui penilaian konsumen atau panelis terhadap produk yang diamati dan akan berpengaruh terhadap nilai ekonomis produk yang diamati. Uji organoleptik yang dilakukan terhadap produk udang kupas rebus meliputi lapisan coating, pengeringan, perubahan warna, kenampakan, rasa, bau dan tekstur. (1) Lapisan coating Pengamatan terhadap lapisan coating pada udang kupas rebus dilakukan untuk mengetahui keutuhan lapisan coating selama penyimpanan dingin. Kerusakan pada lapisan coating dapat mengakibatkan fungsi coating sebagai pengemas untuk melindungi bahan pangan akan terganggu, sehingga bahan pangan yang dikemas cepat mengalami kemunduran mutu. Uji
Kruskal
Wallis
menunjukkan
bahwa
lama
penyimpanan
mempengaruhi (p<0,05) lapisan coating pada udang kupas rebus. Semakin lama penyimpanan, nilai organoleptik lapisan coating yang diamati semakin menurun. Pada awal penyimpanan, nilai lapisan coating yang diamati adalah 9 dengan spesifikasi lapisan coating rata dan menutupi seluruh permukaan produk. Pada akhir penyimpanan, nilainya menurun menjadi 6 dengan spesifikasi lapisan coating tidak rata dan permukaan produk terbuka sebanyak 40-50%. Histogram nilai organoleptik lapisan coating dapat dilihat pada Gambar 20.
56
10 9 8 7 Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 20 Histogram nilai organoleptik lapisan coating udang kupas rebus selama penyimpanan.
(2) Pengeringan Nilai pengeringan produk udang kupas rebus yang diamati berkisar antara 9 - 5. Nilai 5 menyatakan bahwa udang kupas rebus mengalami pengeringan pada permukaan produk sebesar 60-70% sedangkan nilai 9 menyatakan bahwa tidak ada pengeringan pada permukaan produk. Berdasarkan uji Kruskal Wallis dapat disimpulkan bahwa nilai pengeringan berbeda nyata (p<0,05) antara udang kupas rebus tanpa coating dan udang kupas rebus dengan coating selama penyimpanan. Histogram nilai pengeringan udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 21.
57
10 9 8 7 Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 21 Histogram nilai organoleptik pengeringan udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Udang kupas rebus yang dicoating memiliki nilai organoleptik pengeringan sebesar 6 pada hari ke-21 sedangkan tanpa coating memiliki nilai yang lebih rendah, yaitu 5 pada hari ke-12. Berdasarkan ketentuan SNI tahun 2006 mengenai udang kupas rebus beku yang menyatakan bahwa nilai organoleptik udang kupas beku minimal 7, maka udang kupas rebus yang dicoating dapat diterima hingga hari ke-18 sedangkan tanpa coating hanya dapat diterima sampai hari ke-6. (3) Perubahan warna Perubahan warna pada bahan pangan merupakan salah satu parameter kemunduran mutu bahan tersebut. Selama penyimpanan, udang akan mengalami perubahan warna dari merah menjadi kusam. Niamnuy et al. (2008) menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena terjadinya oksidasi astaxanthin (pigmen merah) sehingga warna merah yang merupakan ciri astaxanthin menghilang. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, udang kupas rebus tanpa coating dan yang
58
dicoating menunjukkan perbedaan nilai perubahan warna yang nyata (p<0,05) selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan, nilai perubahan warna untuk kedua perlakuan adalah 9, yaitu belum mengalami perubahan warna pada permukaan produk. Nilai tersebut terus menurun seiring dengan semakin lamanya penyimpanan. Nilai 5 dengan spesifikasi perubahan warna hampir menyeluruh pada permukaan produk sebesar 60-70%, dicapai pada akhir penyimpanan yaitu pada hari ke-12 untuk produk tanpa coating dan hari ke-21 untuk produk yang dicoating. Histogram nilai perubahan warna dapat dilihat pada Gambar 22.
10 9 8 7
Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 22 Histogram nilai organoleptik perubahan warna udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Persyaratan nilai organoleptik udang kupas rebus beku menurut SNI tahun 2006 adalah minimal 7. Jika dibandingkan dengan standar SNI tersebut, udang kupas rebus tanpa coating hanya dapat diterima hingga hari ke-9 sedangkan produk yang di coating dapat diterima lebih lama, yaitu hingga hari ke-12. Hal ini
59
menunjukkan bahwa lapisan coating mampu mempertahankan warna produk udang kupas rebus selama penyimpanan dingin. Larotonda (2009) dalam penelitiannya menggunakan buah cherry juga membuktikan bahwa lapisan coating karaginan mampu mempertahankan warna merah mengkilap pada buah cherry selama penyimpanan dingin. (4) Kenampakan Nilai kenampakan udang kupas rebus ditentukan oleh warna daging udang dan ada tidaknya cacat fisik pada udang tersebut. Udang dengan kondisi telah mengalami kemunduran mutu, akan mengalami perubahan warna pada daging yaitu menjadi lebih kusam. Tekstur daging udang yang telah mengalami kemunduran mutu akan berubah dari padat dan kompak menjadi lunak sehingga mudah hancur dan cacat (tidak utuh). Nilai kenampakan hasil penelitian berkisar antara 9 - 5. Nilai terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa coating hari ke-12 dan coating hari ke-21, dengan spesifikasi daging berwarna merah muda pucat dan kusam serta daging sedikit cacat. Nilai tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa coating dan coating hari ke-0 dengan spesifikasi daging berwarna merah muda cerah dan utuh. Nilai kenampakan berbeda nyata (p<0,05) pada perlakuan tanpa coating dan coating selama penyimpanan
berdasarkan uji
Kruskal Wallis. Histogram nilai
kenampakan udang kupas rebus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 23.
60
10 9 8 7
Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 23 Histogram nilai organoleptik kenampakan udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan coating memberikan nilai kenampakan yang lebih baik dibandingkan tanpa coating selama penyimpanan. Berdasarkan nilai kenampakan sesuai SNI tahun 2006, yaitu minimal 7, maka udang kupas rebus tanpa coating hanya mampu bertahan hingga hari ke-3 sedangkan udang kupas rebus yang dicoating mampu bertahan hingga hari ke-6. (5) Rasa Rasa adalah parameter sensori yang penting untuk menentukan apakah suatu produk diterima atau tidak oleh konsumen. Setiap produk memiliki rasa spesifik yang berbeda-beda tergantung dari bahan penyusunnya. Produk perikananan seperti udang, dalam keadaan segar memiliki rasa manis dan rasa tersebut akan berubah ketika udang mengalami kemunduran mutu.
61
Uji organoleptik rasa untuk produk udang kupas rebus hanya dilakukan hingga hari ke-6 untuk produk tanpa coating dan hari ke-12 untuk produk coating. Hal ini dilakukan karena tingginya nilai total mikroba pada produk udang kupas rebus dengan semakin lamanya penyimpanan sehingga dikhawatirkan akan membahayakan kesehatan jika pengujian rasa dilakukan hingga hari penyimpanan terakhir. Nilai rasa produk udang kupas rebus yang diamati berkisar antara 9 – 3, yaitu memiliki rasa manis dan segar hingga hambar. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, nilai rasa yang diamati dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh perlakuan tanpa coating dan coating selama penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, maka nilai rasa yang diamati semakin rendah menandakan bahwa udang kupas rebus makin mengalami kemunduran mutu. Histogram nilai rasa udang kupas rebus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 24. Pada awal penyimpanan, udang kupas rebus memiliki rasa manis dan segar. Rasa manis pada udang berkaitan erat dengan komposisi asam amino bebas. Sriket et al. (2007) menambahkan bahwa udang vannamei mengandung asam amino arginin sebesar 3494 mg/100 g daging, glisin 871 mg/100 g daging, alanin 1601 mg/100 g daging, serin 1027 mg/100 g daging, dan treonin 1129 mg/100 g daging.
62
10 9 8 7
Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 24 Histogram nilai organoleptik rasa udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Rasa pahit pada akhir penyimpanan merupakan hasil dari perombakan protein oleh mikroba pembusuk. Sriket et al. (2007) melaporkan bahwa asam amino leusin, valin, metionin, fenilalanin, histidin dan isoleusin berkontribusi terhadap munculnya rasa pahit pada udang-udangan. (6) Bau Kemunduran mutu pada produk perikanan dapat ditandai dengan timbulnya bau tidak sedap (off odor) akibat perombakan protein menjadi senyawa-senyawa volatil bebas oleh mikroba pembusuk. Pada awal penyimpanan, udang kupas rebus memiliki bau yang segar ditandai dengan nilai bau yang berkisar antara 9 – 7. Semakin lama penyimpanan, nilai bau udang kupas rebus semakin menurun dan mencapai nilai 5 – 3 pada akhir penyimpanan akibat munculnya bau busuk disertai bau amoniak dan sedikit bau H2S. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, nilai bau udang kupas rebus berbeda nyata (p<0,05) antara perlakuan tanpa coating dan coating selama penyimpanan. Lapisan coating terbukti mampu menunda timbulnya bau busuk yang diakibatkan
63
oleh timbulnya senyawa-senyawa hasil perombakan protein oleh mikroba pembusuk. Apabila disesuaikan dengan standar SNI yaitu nilai organoleptik udang kupas rebus beku minimal 7, maka perlakuan tanpa coating tidak dapat diterima pada hari ke-3 sedangkan perlakuan coating masih dapat diterima hingga hari ke-6. Histogram nilai bau udang kupas rebus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 25. Menurut Jaffres et al. (2011), mikroba pembusuk yang dapat ditemukan pada udang antara lain adalah spesies Carnobacterium (C. divergen, maltaromaticum dan strain yang menyerupai C. alterfunditum),
C.
Brochotrhix
thermosphacta dan Serratia liquefaciens. C. divergen merupakan bakteri pembusuk yang menghasilkan off odor yang lemah dideskripsikan sebagai bau susu mendidih, bau fermentasi maupun bau keju basi.
9 8 7
Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 25 Histogram nilai organoleptik bau udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
64
Menurut Jaffres et al. (2011), C. maltaromaticum pada udang menghasilkan senyawa 3-metil-1-butanal, 2-metil-1-butanal, 2-metil-1-butanol, etil asetat, 2-metil-1-propanal, 2,3-butanedione, asetaldehid, 3-metil-2-butanon, 3metil-1-butena, tiokarbamid dan siklopentanol. Jaffres et al. (2011) menambahkan bahwa Brochotrhix thermosphacta dapat menghasilkan bau keju dan bau asam atau bau fermentasi. Deskripsi ini juga didukung oleh Laursen et al. (2006) yang menghasilkan senyawa 2,3-butanadion dan 3-metil-1-butanal oleh Brochotrhix thermosphacta dari udang kupas dan udang masak, dimana senyawa-senyawa ini bertanggungjawab terhadap pembentukan bau mentega kuat, bau menyerupai susu mentega, bau asam dan bau tidak sedap yang menimbulkan reaksi mual. Berdasarkan penelitian Jaffres et al. (2011), Serratia liquefaciens menunjukkan gejala kemunduran mutu dengan memproduksi bau menyerupai cabai/gas/bawang dan bau amina atau urin. Bau ini berhubungan dengan hadirnya beberapa senyawa volatil yang diproduksi oleh bakteri ini, etil asetat dan 2butanol yang berhubungan dengan bau pelarut yang tajam dan bau seperti lem. (7) Tekstur Perombakan daging udang oleh enzim maupun mikroba pembusuk dapat menyebabkan perubahan tekstur daging udang. Udang dengan mutu yang baik memiliki tekstur yang elastis, padat dan kompak. Ketika telah mengalami kemunduran mutu, teksturnya menjadi lunak dan hancur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan, nilai tekstur udang kupas rebus berkisar antara 9 - 7, dengan deskripsi elastis, kompak, padat hingga kurang padat. Pada akhir penyimpanan, nilai tekstur daging udang menurun hingga berkisar antara 5 – 3, dengan deskripsi elastis dan agak hancur hingga lunak dan sedikit hancur. Uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan tanpa coating dan coating selama penyimpanan mempengaruhi (p<0,05) nilai tekstur yang diamati. Histogram nilai tekstur udang kupas rebus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 26.
65
10 9 8 7 Nilai
6 5 4 3 2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 26 Histogram nilai organoleptik tekstur udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan ■ coating
Udang tanpa coating lebih cepat mengalami kemunduran mutu sehingga nilai teksturnya menurun dengan cepat dibandingkan udang yang dicoating. Berdasarkan ketentuan SNI mengenai nilai organoleptik udang kupas rebus, umur simpan udang tanpa coating adalah 9 hari sedangkan masa simpan udang yang dicoating adalah 12 hari.
66
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Kappa karaginan diekstraksi dari rumput laut Kappaphycus alvarezii menggunakan perlakuan variasi konsentrasi KOH dan lama ektraksi. Berdasarkan nilai rendemen dan viskositas, karaginan yang diekstraksi menggunakan KOH 0,5% selama 1 jam memberikan hasil terbaik dengan karakteristik rendemen 45,64%, viskositas 18 cP, kadar air 16,26%, kadar abu 35,90%, kadar abu tak larut asam 0,32%, kadar sulfat 5,04%, dan kekuatan gel 385,63 gel force. Pembuatan edible film dengan berbagai konsentrasi karaginan (0,5%; 1%; 1,5%; dan 2% b/v) menunjukkan bahwa variasi konsentrasi karaginan mempengaruhi nilai kuat tarik dan persen pemanjangan yang diamati. Struktur mikroskopik film memperlihatkan peningkatan konsentrasi karaginan dapat memperbaiki struktur internal polimer film sehingga menghasilkan film yang lebih kompak dan padat. Konsentrasi karaginan 1,5% menghasilkan edible film terbaik dengan karakteristik ketebalan 0,070 mm, kuat tarik 5516,67 kgf/cm2, persen pemanjangan 43,05% dan laju transmisi uap air 0,0060 g/m2/hari. Aplikasi coating karaginan pada udang kupas rebus yang disimpan dingin menunjukkan bahwa lapisan coating mampu mempertahankan mutu udang kupas rebus lebih lama dibandingkan tanpa coating. Berdasarkan nilai TPC, udang kupas rebus yang dicoating dapat bertahan dari 3 hari menjadi 9 hari. 5.2 Saran Perlu dikaji lebih lanjut mengenai sifat transisi gelas larutan karaginan sebagai bahan baku pembuatan edible film atau coating.
67
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC. Arpah. 1997. Edible packaging. Paper Metode Penelitian Ilmu Pangan. Bogor : Program Ilmu Pangan Pascasarjana, IPB. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 1983. Annual Book of ASTM Standard. American Society for Testing and Material. Philadelphia. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rahmaniar S. 1996. Pengenalam Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI. Basmal J, Syarifudin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap mutu kappa karaginan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurn. Pen. Perik. Ind. 9 (5) : 95-103. Basmal J, Suryaningrum ThD, Yenia Y. 2005. Pengaruh konsentrasi dan rasio larutan potasium hidroksida dan rumput laut terhadap mutu karaginan kertas. Jurn. Pen. Perik. Ind. 11 (8) : 29-38. Campo VL, Kawano DF, Silva DB, Ivone C. 2009. Carragenans : Biological properties, chemical modifications and structural analysis - A review. Carbohydrate Polymer 77: 167-180. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/carbpol [29 September 2010]. Cha DS, Jin HC, Manjeet SC, Hyun JP. 2002. Antimicrobial films Based on Naalginat and k-carragenan. Lebensm,-wiss.u.-Technol 35: 715-719. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/phytochem [29 September 2010]. Chung CY, Lain JL. 1979. Studies on the decomposition of frozen shrimp II. Deterioration during iced and refrigerated storage. Natural Sciences Council Monthly (7) : 1136-1141. Cobb BF, Vanderzant C. 1971. Biochemical changes in shrimp inoculated with Pseudomonas, Bacillus and Coryneform bacterium. J. of Milk Food Tech (34) : 533-540. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/jmfoodtech [25 Mei 2011]
68
Donhowe E, Fennema O. 1994. Edible films and coatings : characteristic, formation, definition and testing methods. Di dalam : Krochta JM, Elizabeth EA, Myrna ON, editor. Edibel Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, Inc. Lancaster : Pennsylvania. Hlm 1-21. Doty MS. 1987. Studies of Seven Commercial Seaweeds Resources. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome. 123-161. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Fadiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid monograph number one. Marine colloid Division FMC Corporation. New Jersey, USA : Springfield. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloid. Vol II. Boca Ratton Florida : CRS Press Inc. Gram L et al. 2002. Food spoilage — interactions between food spoilage bacteria. Intern J of Food Micro (78) : 79–97. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/ijfoodmicro [25 Mei 2011]. Honesty. 2003. Perubahan karakteristik mutu dodol rumput laut yang dikemas dalam edible film dari khitosan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Huidobro A, LopeCaballero ME, Mendes R. 2002. Onboard processing of deepwater pink shrimp (Parapenaeus longirostris) with liquid ice : effect on quality. European Food Research and Tech (214) : 469-475. http://www.elsevier.com [25 Mei 2011]. Indriani H, Sumiarsih E. 1997. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya. Irianto HE, Susianti A, Darmawan M, Syamdidi. 2005. Penggunaan Kappa karaginan sebagai bahan penstabil saus tomat. Jurn Pen. Perik. Ind. 11 (4) : 25-32. Irsyadi. 2010. RI yakin jadi produsen rumput laut terbesar. [terhubung berkala]. http://www.jasuda.net [29 September 2010].
69
Istini S, Zatnika A. 1991. Optimasi Proses Semi Refined Carragenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Prosiding Temu Karya Ilmiah. Jakarta : 11-12 Maret 1991. Jakarta : Departeman Pertanian. Jaffres E, Lalanne V, Mace S, Cornet J, Cardinal M, Dousset X, Joffraoud JJ, Serot T. 2011. Sensory characteristics of spoilage and volatile compounds associated with bacteria isolated from cooked and peeled tropical shrimps using SPME–GC–MS analysis. Intern J off Food Micro Article in Press. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/ijfoodmicro [25 Mei 2011]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. Jakarta : KKP. Larotonda FDS. 2007. Biodegradable films and coatings obtained from carrageenan from Mastocarpus stellatus and starch from Quercus suber [tesis]. Departement of Chemical Engineering, University of Porto. Laursen BG, Leisner JJ, Dalgaard P. 2006. Carnobacterium spesies : effect of metabolic activity and interaction with Brochothrix thermospacta on sensory characteristics of modified atmosphere packed shrimp. J of Agri and Food Chem (54) : 3604-3611. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/jagrfoodchem [25 Mei 2011]. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor : IPB Press. McHugh DJ. 1987. Production and Utilization of Products from Commercial Seaweeds. Rome : FAO Fisheries Tech. Paper 288. McHugh DJ. 2003. A Guide the Seaweed Industry. Rome : FAO. Nasution DA. 2007. Efektivitas Pencucian Eucheuma cottonii dalam Larutan NaOCl, CaO, dan Na2CO3 terhadap Kualitas Rumput Laut Kering dan Karaginan [Skripsi]. Yogyakarta : Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, UGM. Niamnuy C, Devahastin S, Soponronnarit S. 2008. Changes in protein compositions and their effects on physical changes of shrimp during boiling in salt solution. Food Chem (108) : 165-175. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/foodchem [1 Mei 2011].
70
Rozi FA 2007. Pembuatan Agar-Agar Kertas dari Rumput Laut Gellidium sp [Laporan Seminar 1 Sks]. Yogyakarta : Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, UGM. Sastrosupadi A. 2004. Rancangan Percobaan Bidang Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Sinurat E, Murdinah, Bagus SBU. 2006. Sifat fungsional formula kappa dan iota karaginan dengan gum. Jurn. Pasca Panen dan Biotek. Kelautan dan Perikanan 1 (1) : 1-8. [SNI] Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2346-2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3458.1-2006. Udang Kupas Rebus Beku-Bagian 1 : Spesifikasi. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kongkarn K. 2007. Comparative studies on chemical composition and thermal properties of black tiger shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats. Food Chem (103) : 1199-1207. [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/foodchem [1 Mei 2011]. Suryaningrum ThD, Murdinah, Mei DE. 2003. Pengaruh perlakuan alkali dan volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii. Jurn. Pen. Perik. Ind. 9 (5) : 65-103. Toya T, Jotaki R, Kato A. 1986. Specimen Preparation in EPMA and SEM. JEOL Training Center EP Section. Uju. 2005. Kajian pemurnian dan pengkonsentrasian karaginan dengan membran mikrofiltrasi [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Vaz-Pires P, Seixas P, Mota M, Lapa-Guimaraes J, Pickova J, Lindo A, Silva T. 2008.Sensory, microbiology, physical and chemical properties of cuttlefish (Sepia officinalis) and broadtail shortfin squid (Illex coindetii) stored in ice. LWT-Food Sci and Tech (41) : 1655-1664. . [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/lwt [25 Mei 2011].
71
Viana AG, Miguel DN, Maria ERD, Alberto SC. 2004. Alkali modification of carrageenans. Part V.The iota-nu hybrid carrageenan from Eucheuma denticulatum and its cyclization to iota-carrageenan. Carbohydrate Polymer 58 : 455-460 [terhubung berkala]. http://www.elsevier.com/locate/carbpol [29 September 2010]. Wicaksono B. 1999. Formulasi gel pengharum ruangan dari karaginan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Yunizal. 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Jakarta : Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 2 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai rendemen karaginan Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) rendemen karaginan Sumber Keragaman Lama ekstraksi Konsentrasi KOH Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 2379,45 260,70 446,46 119,24 3205,85
Derajat bebas 2 2 4 18 26
Kuadrat Tengah 1189,73 130,35 111,62 6,62
F
Nilai p
179,60 19,68 16,85
1,28E-12 2,95E-05 6,65E-06
Kesimpulan : Lama ekstraksi berbeda nyata (p < 0,05) Konsentrasi KOH berbeda nyata (p < 0,05) Interaksi berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan KOH 1,5% * 3jam KOH 1,5% * 2jam KOH 0,5% * 3jam KOH 1% * 3jam KOH 0,5% * 2jam KOH 1% * 2jam KOH 1% * 1jam KOH 1,5% * 1jam KOH 0,5% * 1jam
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Subset A 12,11 15,07
B
C
D
20,00 22,52 23,95 29,22 33,53 40,83 45,64
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara kosentrasi KOH dan lama ekstraksi) tidak berbeda nyata
74
Lampiran 3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai viskositas karaginan Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) viskositas karaginan Sumber Keragaman Lama ekstraksi Konsentrasi KOH Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 9,60 364,85 80,22 102,96 557,63
Derajat bebas 2 2 4 18 26
Kuadrat Tengah 4,80 182,42 20,06 5,72
F
Nilai p
0,84 31,90 3,51
0,448385 1,21E-06 0,027663
Kesimpulan : Lama ekstraksi tidak berbeda nyata (p > 0,05) Konsentrasi KOH berbeda nyata (p < 0,05) Interaksi berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan KOH 1,5% * 3jam KOH 1,5% * 1jam KOH 1% * 1jam KOH 1,5% * 2jam KOH 1% *3jam KOH 1% * 2jam KOH 0,5% * 2jam KOH 0,5% * 3jam KOH 0,5% * 1jam
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Subset A 5,17 5,67 6,08 6,67 7,25 8,2500
B
7,25 8,25 10,75
C
10,75 13,92
D
13,92 18,00
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara kosentrasi KOH dan lama ekstraksi) tidak berbeda nyata
75
Lampiran 4 Analisis ragam (ANOVA) ketebalan dan laju transmisi uap air film
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) ketebalan film Sumber Keragaman Konsentrasi karaginan Galat Total
Jumlah Kuadrat 0,002 0,004 0,006
Derajat bebas 3 4 7
Kuadrat Tengah 0,0007 0,001
F
Nilai p
0,707 0,59624
Kesimpulan : konsentrasi karaginan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap ketebalan film
Tabel 2 Analisis ragam (ANOVA) laju transmisi uap air film Sumber Keragaman Konsentrasi karaginan Galat Total
Jumlah Kuadrat 3,75E-07 1,35E-05 1,39E-05
Derajat bebas 3 4 7
Kuadrat Tengah 1,25E-07 3,38E-06
F
Nilai p
0,037037
0,989072
Kesimpulan : konsentrasi karaginan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap laju transmisi uap air film
76
Lampiran 5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai persentase pemanjangan dan kuat tarik film Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) persentase pemanjangan film Sumber Keragaman Konsentrasi karaginan Galat Total
Jumlah Kuadrat 386,14 39,36 425,50
Derajat bebas 3 4 7
Kuadrat Tengah 128,71 9,83
F
Nilai p
13,08
0,0155
Kesimpulan : konsentrasi karaginan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap persentase pemanjangan film Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan persentase pemanjangan film Perlakuan
N
Karaginan 0,5% Karaginan 2% Karaginan 1% Karaginan 1,5%
2 2 2 2
Subset A 25,95
B
C
D
27,1 28,32 43,05
Tabel 3 Analisis ragam (ANOVA) kuat tarik film Sumber Keragaman Konsentrasi karaginan Galat Total
Jumlah Kuadrat 22891256 978768,2 23870024
Derajat bebas 3 4 7
Kuadrat Tengah 7630418,7 244692,06
F 31,18
Nilai p 0,0031
Kesimpulan : konsentrasi karaginan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kuat tarik film
Tabel 4 Hasil uji lanjut Duncan kuat tarik film Perlakuan Karaginan 0,5% Karaginan 1% Karaginan 2% Karaginan 1,5%
N 2 2 2 2
Subset A 1155,58 2264,98
B
4228,70 5516,67
77
Lampiran 6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai TPC
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) TPC Sumber Keragaman Aplikasi Lama penyimpanan Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 25,40 152,87 11,55 0,34 190,16
Derajat bebas 1 7 4 13 26
Kuadrat Tengah 25,40 21,84 2,89 0,03
F
Nilai p
986,07 847,72 112,05
0,000 0,000 0,000
Kesimpulan : Aplikasi (coating dan tanpa coating) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC Lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC Interaksi antara faktor aplikasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan coating hari ke-0 kontrol hari ke-0 coating hari ke-3 coating hari ke-6 coating hari ke-9 coating hari ke-12 kontrol hari ke-3 coating hari ke-15 kontrol hari ke-6 kontrol hari ke-9 coating hari ke-18 kontrol hari ke-12 coating hari ke-21
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
A 1,41 1,41
B
C
D
Subset E
F
G
H
2,6 2,87 3,76 4,23 4,26 5,26 5,27 6,26 8,23 8,94 9,01
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
78
Lampiran 7 Analisis ragam (ANOVA) TVBN
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) TVBN Sumber Keragaman Aplikasi Lama penyimpanan Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 164,22 193726,26 442,75 945,80 195279,02
Derajat bebas 1 7 4 13 26
Kuadrat Tengah 164,22 27675,18 110,69 72,75
F 2,26 380,40 1,52
Nilai p 0,157 0,000 0,253
Kesimpulan : Aplikasi (coating dan tanpa coating) tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai TVBN Lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai TVBN Interaksi antara faktor aplikasi dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai TVBN
79
Lampiran 8 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai pH
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) pH Sumber Keragaman Aplikasi Lama penyimpanan Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 0,56 0,9 0,85 0,13 2,43
Derajat bebas 1 7 4 13 26
Kuadrat Tengah 0,56 0,13 0,21 0,01
F
Nilai p
53,35 12,62 20,93
0,000 0,000 0,000
Kesimpulan : Aplikasi (coating dan tanpa coating) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai pH Lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai pH Interaksi antara faktor aplikasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai pH Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan kontrol hari ke-6 coating hari ke-18 kontrol hari ke-3 coating hari ke-15 coating hari ke-12 kontrol hari ke-9 coating hari ke-21 kontrol hari ke-12 coating hari ke-0 kontrol hari ke-0 coating hari ke-9 coating hari ke-6 coating hari ke-3
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Subset A 6,57 6,79 6,80
B 6,79 6,80 6,81 6,96
C
6,96 7,07 7,15 7,19
D
7,07 7,15 7,19 7,27 7,27
E
7,15 7,19 7,27 7,27 7,34
F
7,27 7,27 7,34 7,45 7,49
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
80
Lampiran 9 Analisis ragam (ANOVA) kadar protein
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) Sumber Keragaman Aplikasi Lama penyimpanan Interaksi Galat Total
Jumlah Kuadrat 196,06 1206,37 144,78 148,79 1696
Derajat bebas 1 7 4 13 26
Kuadrat Tengah 196,06 172,34 36,2 11,45
F
Nilai p
17,13 15,06 3,16
0,001 0,000 0,051
Kesimpulan : Aplikasi (coating dan tanpa coating) tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar protein Lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar protein Interaksi antara faktor aplikasi dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar protein
81
Lampiran 10 Analisis ragam (ANOVA) kadar air
Tabel 1 Analisis ragam (ANOVA) Sumber Keragaman Aplikasi Lama penyimpanan Interaksi Galat Total
Kesimpulan :
Jumlah Kuadrat 34,9 65,02 31,15 35,16 166,21
Derajat bebas 1 7 4 13 26
Kuadrat Tengah 34,9 9,29 7,79 2,7
F
Nilai p
12,91 3,44 2,88
0,003 0,026 0,066
Aplikasi (coating dan tanpa coating) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar air Lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar air Interaksi antara faktor aplikasi dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar air
82
Lampiran 11 Analisis Krusskal Wallis lapisan coating Tabel 1 Kruskall Wallis lapisan coating coating Chi-Square
97,703
df
7
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, lama penyimpanan mempengaruhi lapisan coating yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Coating hari ke-21 Coating hari ke-15 Coating hari ke-18 Coating hari ke-9 Coating hari ke-12 Coating hari ke-6 Coating hari ke-3 Coating hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30
A 6,1333
Subset for alpha = 0,05 B C D 7,2333 7,3667 7,6333
E
7,3667 7,6333 7,8000 8,3000 8,4333
8,4333 8,8333
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
83
Lampiran 12 Analisis Krusskal Wallis pengeringan Tabel 1 Kruskall Wallis pengeringan Pengeringan Chi-Square
217,052
df
12
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai pengeringan yang diamati Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Kontrol hari ke-12 Kontrol hari ke-9 Coating hari ke-21 Coating hari ke-15 Coating hari ke-18 Kontrol hari ke-6 Coating hari ke-9 Coating hari ke-12 Coating hari ke-6 Kontrol hari ke-3 Coating hari ke-3 Kontrol hari ke-0 Coating hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A 5,5000 6,0000
B
6,7667 7,0333 7,2333 7,2333
Subset for alpha = 0,05 C D
7,2333 7,2333 7,7667 7,8000
7,7667 7,8000 8,2333
E
8,2333 8,5333
F
8,5333 8,8333 8,9333 8,9667
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
84
Lampiran 13 Analisis Krusskal Wallis perubahan warna
Tabel 1 Kruskall Wallis perubahan warna Diskolorasi Chi-Square
259,883
df
12
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai perubahan warna yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Kontrol hari ke-12 Coating hari ke-21 Coating hari ke-18 Coating hari ke-15 Kontrol hari ke-9 Kontrol hari ke-6 Coating hari ke-12 Coating hari ke-9 Coating hari ke-6 Kontrol hari ke-3 Coating hari ke-3 Coating hari ke-0 Kontrol hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A 5,4000 5,4333
B
Subset for alpha = 0,05 C D
E
F
6,3667 6,5333 7,0000 7,1333 7,2000 7,2667 7,8667 8,0333
8,0333 8,4667 9,0000 9,0000
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
85
Lampiran 14 Analisis Krusskal Wallis kenampakan
Tabel 1 Kruskall Wallis kenampakan Kenampakan Chi-Square
162,170
df
12
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai kenampakan yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Kontrol hari ke-12 Coating hari ke-21 Coating hari ke-15 Coating hari ke-18 Kontrol hari ke-9 Coating hari ke-12 Kontrol hari ke-6 Kontrol hari ke-3 Coating hari ke-9 Coating hari ke-6 Coating hari ke-3 Coating hari ke-0 Kontrol hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A 5,6000 5,6667 6,0667
B
6,0667 6,2667 6,4000 6,4667 6,6000
Subset for alpha = 0,05 C D E
6,2667 6,4000 6,4667 6,6000 6,8000
6,4000 6,4667 6,6000 6,8000 6,9333
6,6000 6,8000 6,9333 7,2000
F
G
7,2000 7,7333
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
8,5333 8,6667
86
Lampiran 15 Analisis Krusskal Wallis bau
Tabel 1 Kruskall Wallis bau Bau Chi-Square
184,268
df
12
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai bau yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Coating hari ke-21 Kontrol hari ke-12 Coating hari ke-18 Coating hari ke-15 Kontrol hari ke-9 Kontrol hari ke-6 Coating hari ke-12 Coating hari ke-9 Kontrol hari ke-3 Coating hari ke-3 Coating hari ke-6 Coating hari ke-0 Kontrol hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A 4,3333 4,3333
B
5,4000 5,7333 5,8667
Subset for alpha = 0,05 C D
5,7333 5,8667 6,2000 6,3333
5,8667 6,2000 6,3333 6,4667
E
F
6,2000 6,3333 6,4667 6,7333 7,6000 7,6000 7,9333 8,0000
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
87
Lampiran 16 Analisis Krusskal Wallis rasa Tabel 1 Kruskall Wallis rasa Rasa Chi-Square
171,898
df
7
Asymp, Sig,
,000
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai rasa yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan
N
Coating hari ke-12 Coating hari ke-9 Kontrol hari ke-3 Kontrol hari ke-6 Coating hari ke-6 Coating hari ke-3 Coating hari ke-0 Kontrol hari ke-0
30 30 30 30 30 30 30 30
A 4,3333
Subset for alpha = 0,05 B C D
E
5,2000 5,6000 5,6000 6,4000 8,2000 8,8000 8,8667
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata
88
Lampiran 17 Analisis Krusskal Wallis tekstur Tabel 1 Kruskall Wallis tekstur Tekstur Chi-Square
169,686
df
12
Asymp, Sig,
Kesimpulan :
,000
Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi nilai tekstur yang diamati
Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison Perlakuan Coating hari ke-21 Kontrol hari ke-12 Coating hari ke-15 Coating hari ke-18 Coating hari ke-12 Kontrol hari ke-9 Kontrol hari ke-6 Coating hari ke-9 Kontrol hari ke-3 Coating hari ke-6 Coating hari ke-3 Kontrol hari ke-0 Coating hari ke-0
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A 5,4000 6,0000
B
Subset for alpha = 0,05 C D
E
F
6,0000 6,4000 6,4667 7,2000 7,5333 7,6667 7,8000
7,5333 7,6667 7,8000 8,1333
7,6667 7,8000 8,1333 8,2667
8,1333 8,2667 8,6000 8,6667 8,8000
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata,