535
Perbaikan mutu genetika rumput laut Kappaphycus ... (Emma Suryati)
PERBAIKAN MUTU GENETIKA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii MELALUI HIBRIDISASI DAN FUSI PROTOPLAS SECARA IN VITRO Emma Suryati, Siti Fadilah, dan Rosmiati Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Upaya perbaikan mutu genetika rumput laut dilakukan dalam rangka menunjang program pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan produksi rumput laut pada umumnya. Hibridisasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menggabungkan dua varietas rumput laut yang berbeda dapat dilakukan melalui fusi protoplas. Isolasi protoplas dilakukan dengan cara kimia yaitu dengan melisis jaringan rumput laut dengan campuran enzim selulase dan macerozym dengan perbandingan 2:1. Larutan pencuci dan media kultur yang digunakan yaitu media conwy yang diperkaya dengan senyawa kalsium, zat perangsang tumbuh dan sumber karbon yang berbeda. Fusi protoplas dilakukan dengan cara kimia yaitu melalui mediasi dengan PEG 6000 dalton yang dipelihara pada media kultur cair dan semi solid. Fusan yang diperoleh memperlihatkan pertumbuhan yang optimum pada media yang diperkaya dengan IAA dengan konsentrasi 0,4 mg/L, dengan perbandingan penetrasi cahaya L:D = 12:12.
KATA KUNCI:
mutu genetik, Kappaphycus alvarezii, hibridisasi, fusi protoplas
PENDAHULUAN Penyediaan benih rumput laut Kappaphycus alvarezii yang berkualitas tinggi dan berkesinambungan menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan budidaya rumput laut dewasa ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas benih. Salah satu upaya yang telah dilakukan antara lain yaitu melalui teknik kultur jaringan menggunakan eksplan dari talus rumput laut dengan media kultur untuk makro alga telah berhasil dilakukan (Amini, 1995; Suryati et al., 2007). Penelusuran variasi genetik dan karakteristik rumput laut juga telah dilakukan sebagai dasar untuk meningkatkan produksi serta koleksi varitas yang unggul yang nantinya dapat digunakan sebagai bibit dan induk rumput laut (Parenrengi et al., 2006; Zuccarello et al., 2006). Isolasi dan pemeliharaan protoplas menggunakan beberapa macam enzim, media dan penggunaan ZPT telah berhasil dilakukan (Suryati et al., 2006; Cheney et al., 1999). Perbaikan mutu genetik rumput laut dapat dilakukan melalui beberapa cara dan metode antara lain hibridisasi melalui fusi protoplas, penyilangan spora dan yang paling mutakhir adalah melalui rekayasa genetika dan pendekatan molekuler. Hallmann (2007) melakukan perbaikan mutu genetik pada alga melalui transgenik, sedangkan Wang et al. (2010) melakukan perbaikan genetik pada rumput laut K. alvarezii menggunakan alat bombardment dengan promoter SV40 dan gene LacZ. Teknik hibridisasi melalui fusi protoplas sudah dapat dilakukan dengan baik pada tanaman tingkat tinggi misalnya pada tanaman jeruk, terong-terongan, dan beberapa tanaman tingkat tinggi lainnya. Sedangkan pada rumput laut belum banyak informasi terutama pada rumput laut K. alvarezii . Penyilangan melalui fusi protoplas spora dari rumput laut jenis Gracilaria sp. telah dilakukan oleh Cheney (1999), dilanjutkan dengan Salvador (2005), yang telah berhasil mengisolasi protoplas menggunakan enzim dari ekstrak enzim abalon segar dengan kepadatan berkisar antara 2,8 x 103 sampai 8,2 x 103.sel/mL. Isolasi dan pemeliharaan protoplas rumput laut K. alvarezii menggunakan campuran enzim dan enzim yang berasal dari alam seperti keong mas, keong kebun, dan abalon telah berhasil dilakukan dengan media kultur yang diperkaya dengan pupuk Conwy. Hasil isolasi memperlihatkan jumlah protoplas yang paling banyak yaitu pada perbandingan campuran enzim selulase dan pektinase dengan perbandingan 2:1 dengan jumlah protoplas mencapai 125,49 x 106 sel/mL, sedangkan yang paling rendah adalah campuran enzim selulase dan macerozym dengan perbandingan 1:0 diperoleh protoplas 9,55 x 106 sel/mL (Suryati et al., 2007), memberikan harapan untuk melakukan hibridisasi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
536
dan penyilangan melalui fusi protoplas menggunakan cara kimia melalui mediasi dengan PEG 6000 dalton dengan konsentrasi yang berbeda. BAHAN DAN METODE Isolasi dan Kultur Protoplas di Laboratorium Rumput laut yang digunakan untuk percobaan berasal dari Kabupaten Takalar dan yang berasal dari Provinsi Bali, dibawa menggunakan wadah, ditutup dengan kain yang dibasahi dengan air laut untuk menjaga kelembaban dari talus rumput laut. Talus rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan, dibersihkan dan dikeringkan menggunakan tisu. Kemudian dipotong kurang lebih 2 cm, dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi larutan antibiotik mix dengan konsentrasi 30 mg/L dalam air laut steril dan direndam selama 24 jam. Masingmasing talus diiris dengan ketebalan 1 mm menggunakan scapel steril dan dimasukkan ke dalam botol vial steril yang berisi larutan enzim yang telah disiapkan, lalu ditempatkan pada shaker dengan kondisi gelap dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C (Suryati et al., 2007). Protoplas yang diperoleh kemudian disaring dan dicuci dengan washing solution (WS) yang mengandung larutan media conwy, mannitol 0,6 M, dan CaCl2 27,5 mM dalam akuades steril dengan pH larutan 7,6 kemudian disentrifuge, supernatan dipisahkan dengan cara menyaring menggunakan ’Mary clot’ dengan porositas 100 μm, homogenat yang diperoleh dicuci kembali dengan larutan pencuci dan disentrifuge kembali. Pencucian ini diulang hingga tiga kali dan terakhir homogenat dilarutkan dalam culture solution (CS) yang mengandung 60% WS, 40% media conwy, mannitol 0,4 M, CaCl2 12,5 mM dalam akuades steril dengan pH larutan 6 dan diberi zat perangsang IAA, 0,4 mg/ L (Salvador & Serrano, 2005). Untuk mengetahui protoplas yang hidup dan yang mati, dilakukan tes viability dengan penambahan zat warna evan blue dengan konsentrasi 0,05% yang dilarutkan dalam air laut steril. Protoplas hidup dan debris dapat dibedakan dengan warna, di mana protoplas hidup dapat menyerap warna dari evan blue, sedangkan protoplas debris tidak dapat menyerap warna dari evan blue. Protoplas yang hidup dihitung menggunakan Sedgwick Rafter Cell (SRC). Fusi Protoplas Protoplas yang berasal dari dua varietas yang berbeda masing-masing diambil 1 mL dengan kepadatan 104–106 sel/mL dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, kemudian diencerkan dengan larutan hingga kepadatan yang sama . Sebanyak 3–4 tetes (0,25 mL) campuran protoplas dipipet dan ditempatkan ke dalam petridish, Setelah 2–5 menit teteskan larutan PEG 6000 (20%, 40%, dan 60%) melalui dinding cawan dengan hati-hati. Setelah terjadi penggumpalan, larutan PEG diencerkan dengan larutan fusion yang terdiri atas air laut yang mengandung 5–40 mM calcium, pH 8–9 dan merupakan larutan hipotonik pada PEG. Kelebihan larutan pada campuran protoplas dan PEG dikeluarkan menggunakan mikro pipet, diganti dengan larutan fusi yang baru. Setelah 10–20 menit, diamati di bawah mikroskop untuk melihat persentase yang dihasilkan pada fusi, apabila tidak terjadi maka ditambahkan larutan PEG seperti di atas hingga terjadi fusi kemudian larutan fusi diganti dengan media kultur dengan cepat (Hendaryono & Wijayani, 1994). Pemeliharaan Protoplas Hibrida Letakkan 0,5 mL protoplas yang dihasilkan dari fusi protoplas ke dalam tabung kultur dengan media kultur yang diperkaya dengan pupuk Conwy masing-masing sebanyak 10 mL dengan penambahan zat perangsang tumbuh yang berbeda antara lain IAA, IBA, Auksilin, dan Kinetin dengan konsentrasi masing-masing 4 mg/L, dan perbandingan penetrasi gelap : terang = 12:12. Pemeliharaan lanjutan dilakukan pada media semi solid yang diperkaya dengan pupuk Conwy dan penambahan sumber karbon yang berbeda antara lain sukrosa, glukosa, dan manitol dengan konsentrasi masing-masing 0,5 mg/L.
537
Perbaikan mutu genetika rumput laut Kappaphycus ... (Emma Suryati)
HASIL DAN BAHASAN Dua strain rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan antara lain, jenis lokal dari Takalar dan rumput laut yang berasal dari Bali, masing-masing memiliki keunggulan antara lain sumber dari Takalar memiliki ketahanan terhadap penyakit lebih baik dari strain lain yang dipelihara secara bersamaan. Sedangkan sumber yang berasal dari Bali memiliki penampakan talus dan warna yang cerah dan mulus, serta karagenan yang relatif lebih tinggi. Nutrien yang ada pada suatu lokasi berbeda dengan yang lain sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan biota yang hidup di sekitarnya. Demikian juga dengan kemampuan beradaptasi dari rumput laut yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain akan memberikan perkembangan yang berbeda pula baik sel maupun talus rumput laut pada umumnya sehingga jumlah protoplas yang diisolasi memperlihatkan perbedaan (Campbell et al., 2000). Hasil isolasi protoplas menggunakan campuran enzim komersial dengan perbandingan 2:1 diperoleh protoplas masing-masing mencapai 26,49 x 106 sel/mL untuk strain dari Takalar dan 19,24 x 106 sel/mL untuk strain dari Bali (Suryati et al., 2007). Protoplas rumput laut K. alvarezii diisolasi menggunakan enzim selulase dan pektinase yaitu macerozym yang berperan di dalam melisis jaringan dinding sel rumput laut paling luar yang terdiri atas molekul-molekul karbohidrat dalam bentuk selulose yang merupakan dinding pelindung protoplas. Media enzim yang digunakan untuk melisis protoplas adalah media kultur yang diperkaya dengan pupuk Conwy (Suryati et al., 2007). Enzim selulase dapat mendegradasi selulosa pada dinding sel sehingga protoplas dapat keluar, sedangkan enzim macerozym atau pektinase diperlukan pada degradasi pektin yang umumnya berada pada lapisan sekunder yang menghubungkan lapisan dinding sel pada jaringan rumput laut dewasa yang berfungsi sebagai perekat antara kedua lapisan (Juwono & Juniarto, 2000). Protoplas sel totipoten tanpa dinding sel dapat dihasilkan dengan mudah dan dirancang untuk menumbuhkannya menjadi jaringan kalus dan dilanjutkan menjadi tanaman kecil yang dapat dikembangbiakkan secara konvensional. Protoplas dapat dipisahkan dari jaringan organ dan jaringan kalus. Jaringan talus rumput laut dapat digunakan karena hasil protoplas dari sumber ini cukup tinggi dan seragam. Protoplas sering menghasilkan jaringan kalus yang kemudian dari kalus ini diregenerasikan suatu tumbuhan yang lengkap (Khairul, 2001). Untuk menentukan keberhasilan fusi protoplas adalah mendapatkan protoplas dengan densitas yang tinggi. Penghancuran dinding sel dengan menggunakan enzim selulase dikombinasikan dengan macerozim dapat menghasilkan protoplas dengan struktur yang sempurna dan densitas yang tinggi (Mariska & Husni, 2006). Proses fusi protoplas rumput laut yang diisolasi dari K. alvarezii yang berasal dari Takalar dan Bali, fusi dari kedua protoplas tersebut terjadi dengan adanya induksi oleh polietilen glikol (PEG) 6000 dalton dengan konsentrasi yang berbeda. Hasil fusi dapat dilihat pada Gambar 1.
80
Persentase fusi
70 60 50 40 30 20 10 0 A=20%
B=40%
C=60%
D=80%
Konsentrasi PEG (%)
Gambar 1. Beberapa konsentrasi PEG 6000 dalton yang digunakan untuk melakukan fusi protoplas pada rumput laut Kappaphycus alvarezii
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
538
Hibridisasi rumput laut K. alvarezii melalui fusi protoplas dari dua strain rumput laut K. alvarezii memperlihatkan hasil fusi yang paling tinggi adalah penggunaan PEG 6000 dalton dengan konsentrasi 40% dengan keberhasilan fusi hingga 70%. Pada konsentrasi yang lebih rendah, hanya sebagian dari protoplas yang dapat fusi, sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi mempelihatkan protoplas menggumpal dan menyatu. Fusi protoplas pada rumput laut K. alvarezii, diawali dengan penggabungan protoplas dua varietas rumput laut K. alvarezii yang masing-masing memiliki keunggulan dalam pertumbuhan dan kandungan karaginan yang maksimum. Manfaat penting dari protoplasma dalam pemuliaan tanaman termasuk rumput laut terletak pada beberapa sifatnya, yaitu : (1) protoplas dapat dihasilkan dan disaring untuk membentuk banyak variasi. Meskipun protoplas yang terbentuk secara genetik bersifat homogen, tetapi kalus yang merupakan keturunannya dapat menjadi tanaman yang menunjukkan perbedaan sifat-sifat yang cukup besar, (2) tidak adanya dinding sel memudahkan fusi antara protoplas dengan demikian mengawali terjadinya pembastaran. Fakta bahwa fusi dapat terjadi antara sel somatik yang bersifat diploid yang memungkinkan pemulia tanaman merancang suatu teknik dengan baik, (3) tidak adanya dinding sel juga memudahkan penyerapan DNA, sebagai fragmen atau plasmid yang berasal dari bakteri, untuk menghasilkan tanaman dengan sifat-sifat yang baru sama sekali (Khairul, 2001). Pemeliharaan Protoplas Hasil Fusi Fusan hasil hibridisasi merupakan protoplas yang masih riskan untuk berkembang dan sangat membutuhkan bantuan ZPT untuk pembelahan sel dan untuk regenerasi, beberapa ZPT yang dapat digunakan untuk memacu pertumbuhannya. Hormon tumbuhan pada umumnya dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu golongan auksin, giberelin, sitokinin, dan asam absisat yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda pada tanaman tingkat tinggi, sedangkan pada pemeliharaan protoplas rumput laut K. alvarezii memperlihatkan efek yang berbeda pada regenerasi dan pertumbuhan selnya. Golongan auksin dan giberelin (auksilin) baik yang alami seperti Indol Acetic Acid (IAA) maupun yang sintetik seperti iBA memperlihatkan efek terhadap pertumbuhan panjang, sedangkan golongan sitokinin atau kinetin memperlihatkan pengaruh terhadap perbanyakan sel baik tunggal maupun kelompok, kombinasi dari kedua golongan tersebut memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan secara keseluruhan (Campbell et al., 2003). Sintasan protoplas pada media yang diperkaya dengan ZPT memperlihatkan sintasan yang bervariasi, pada konsentrasi 0,4 mg/L memperlihatkan pertumbuhan maksimum untuk IAA dan IBA yaitu ZPT dari golongan auksin sintasannya mencapai 84%,dan yang paling rendah pada media kontrol tanpa penambahan ZPT (Gambar 2). Pada pemeliharaan fusan pada media semisolid yang diperkaya dengan pupuk Conwy dan sumber karbon yang berbeda memperlihatkan sintasan yang berbeda. Sintasan yang paling baik adalah pada media yang diperkaya dengan manitol, sintasannya dapat mencapai 60%. Sedangkan yang paling rendah yaitu media yang diperkaya dengan sukrose (Gambar 2).
Gambar. 2. Sintasan protoplas pada media kultur yang diperkaya dengan beberapa ZPT pada rumput laut Kappaphyus alvarezii
539 Kelangs ungan hidup (% )
Perbaikan mutu genetika rumput laut Kappaphycus ... (Emma Suryati)
70 60 50 40 30 20 10 0 Sukrose
Glukosa
Manitol
Sumber karbon
Gambar 3. Sintasan protoplas dari hasil fusan pada media kultur yang diperkaya dengan pupuk Conwy dan sumber karbon yang berbeda Sintasan protoplas hasil fusi pada media kultur semi solid yang diperkaya dengan sumber karbon berbeda memperlihatkan sintasan yang paling tinggi pada media dengan penambahan manitol 0,5 mg/L, sedangkan media dengan sumber karbon sukrose cenderung mudah terkontaminasi, pertumbuhannya lambat dan banyak ditemukan protoplas yang mati, demikian juga pada media yang ditambahkan glukosa sebagai sumber karbon, hasilnya kurang memuaskan. Perkembangan protoplas pada media kultur sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan penetrasi cahaya, kenaikan suhu hingga kurang lebih 2°C dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Demikian juga dengan penetrasi cahaya yang kurang dari 1.500 lux pada umumnya protoplas tidak dapat berkembang dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Suryati et al., 2007). Fase pertumbuhan protoplas pada media kultur semisolid yang diperkaya dengan manitol dan IAA 0,4 mg/L memperlihatkan regenerasi yang paling maksimum baik perbanyakan sel maupun perpanjangan filamennya. Protoplas setelah fusi mengalami pembentukan dinding sel, kemudian membentuk dua kutub, membelah dan memperbanyak diri melalui pembelahan pada umumnya membentuk filamen secara diferensial membentuk serabut.
Gambar 4. Perkembangan protoplas dari rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil fusi yang dikultur pada media semi solid yang diperkaya dengan IAA 0,4 mg/L KESIMPULAN DAN SARAN 1. Hibridisasi rumput laut Kappaphycus alvarezii dilakukan pada strain lokal Takalar dan strain dari Bali. 2. Hasil fusi yang paling banyak dihasilkan dari larutan fusi PEG 6000 dalton pada konsentrasi 40%. 3. Sintasan protoplas yang paling tinggi pada media yang diperkaya dengan IAA 0,4 mg/L dan media dengan penambahan manitol sebagai sumber karbon.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
540
DAFTAR ACUAN Amini, S., Amin, M., & Parenrengi, A. 1995. Penelitian kultur jaringan rumput laut, Eucheuma sp. secara vegetatif. Laporan hasil penelitian ARMP Balitkandita, Maros, 16 hlm. Campbell, Neil, A,. Reece, J.B., & Lawrence, Mitchell, G. 2000. Biology. Fifth ed Addison Wisly Longman. Inc., 404 pp. Cheney, D.P. 1999. Strain improvement of seaweeds thru genetic manipulation: current status. World Aquaculture, 30: 55–56 & 65. Hallmann, A. 2007. Algal Transgenics and Biotechnology. Transgenic Plant J., 1(1): 81–98. Hendaryono, D.P.S. & Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius. Jakarta, 138 hlm. Juwono & Juniarto, A.Z. 2000. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran EGC., 97 hlm. Khairul. 2001. Peranan Bioteknologi dalam Pembangunan Pertanian. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor. Mariska, I. & Husni, A. 2006. Perbaikan Sifat Genotif melalui Fusi Protoplas pada Tanaman lada, nilam, dan terung. J. Litbang Pertanian, 25(2): 56–59. Parenrengi, A., Sulaeman, Suryati, E., & Tenriulo, A. 2006. Karakterisasi genetik rumput laut Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan. J. Riset Akuakultur, 1(1): 1–11. Salvador, R.C. & Serrano, A.E. 2005. Isolation of Protoplast from Tissue Fragments of Philippine cultivars of Kappaphycus alvarezii (Solierienceae, Rhodophyta). J. Of Applied Phycology, 17: 15–22. Suryati, E., Tenriulo, A., & Mulyaningrum, S.R.H. 2007. Isolasi dan Kultur Protoplas rumput laut Kappaphycus alvarezii di Laboratorium. J. Riset Akuakultur, 2(3): 403–409. Wang, J., Jiang, Cui, Y., Deng, X., Li, F, Liu, J., & Qin, S. 2010. Genetic transformation in Kappaphycus alvarezii using micro-particle bombardment: a potential strategy for germplasm improvement. J. Aquaculture International. Zuccarello, G.C., Alan, T.C., Jennifer, S., & Volker, S. 2006. Systematics and genetic variation in commercial Kappaphycus and Eucheuma (Solieriaceae, Rhodophyta). J. of Applied Phycology (2006) DOI: 10.1007/s10811-006-9066-2.