0
PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN KORBAN ANAK (STUDY KASUS DI PENGADILAN NEGERI WONOGIRI)
Diajukan oleh :
NINIK PRASETYOWATI NIM. 12102106
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015
1
PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN KORBAN ANAK (STUDY KASUS DI PENGADILAN NEGERI WONOGIRI) Oleh : NINIK PRASETYOWATI ABSTRAK
Suatu penilitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penilitian adalah untuk memecahkan masalah agar suatu penilitian dapat lebih terarah dalam menyajikan data akurat dan dapat memberi manfaat. Berdasarkan hal tersebut maka penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut : Tujuan Obyektif dan Tujuan Subyektif. Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencabulan Dengan Korban Anak Di Pengadilan Negeri Wonogiri menurut Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014. Pencabulan merupakan suatu pelanggaran hak anak dan tidak ada suatu alasan yang dapat membenarkan tindak pidana tersebut, baik dari segi moral, susila dan agama, terutama tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap anak dibawah umur. Apalagi perbuatan terdakwa tersebut dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti.
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi anak berperan sangat strategis sebagai penentu suksesnya suatu bangsa. Peran strategis ini disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) pada tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hakhak anak bagi semua anak tanpa kecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hakhak anak yang mengalami kekerasan seksual. Pada tahun 1997 terjadi kasus yang menghebohkan, seorang laki-laki bernama Siswanto atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Robot Gedek’ divonis hukuman mati karena terbukti telah melakukan perbuatan cabul terhadap anak laki-laki di bawah 13 tahun dan kemudian membunuhnya. Kasus serupa di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja pada 2002, hukuman yang dijatuhkan kepada Mario Manara hanya 8 bulan penjara dalam kasus sodomi terhadap puluhan anak di Pantai Lovina, Singaraja. Kasus yang cukup menggemparkan berikutnya terjadi pada Brown William Stuart alias Tony, 52 tahun, terpidana kasus pedofilia (pelecehan seks terhadap anak-anak), pada waktu yang lalu yang kemudian tewas gantung diri kamar LP (Lembaga Pemasyarakatan) setelah divonis 13 tahun oleh majelis PN Amlapura pada tanggal 12 Mei 2004. Kasus Tony adalah kasus pertama pedofilia yang diputus menggunakan UU No 13/2002 tentang Perlindungan Anak.
3
Pencabulan terhadap anak merupakan salah satu bentuk tindak pidana. KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud daripada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan. Sedangkan dalam rencana KUHP yang baruditambahkan kata ”persetubuhan” disamping pencabulan dan persetubuhan dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan (Leden Marpaung, 1996 : 70). Anak-anak harus mendapatkan keadilan dari pihak-pihak yang berwenang. Untuk mendapatkan keadilan tersebut jalan satu-satunya adalah melalui jalan pengadilan agar si pelaku menjadi jera dengan diberikannya sanksi pidana yang setimpal atas perbuatannya, oleh karena itu pemerintah berupaya memberikan perlindungan pada anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun pada kenyataannya, masih banyak anak yang dilanggar haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskrimansi bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat, dan pemerintah. Pengadilan yang seharusnya menjadi cerminan dari suatu keadilan kadangkadang tidak menjadi lembaga yang berfungsi sebagaimana seharusnya. Hakim yang seharusnya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, ternyata dalam mengambil putusan untuk menghukum terdakwa kurang memberikan pertimbangan hukum dengan tepat, sehingga dapat berakibat tidak tercapainya hukum yang dapat
4
berfungsi semaksimal untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat maupun individu. Sebagai salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh undang-undang untu menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Sebagai seorang hakim, dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada dirinya dan sekitarnya karena pengaruhi dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan (Aditya Oemar Seno Aji, 1997 : 12) Suatu putusan dari hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para hakim dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang dicantumkan dalam setiap putusan hakim khususnya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non
5
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Undang-undang
tentang
sistem
peradilan
anak
sangat
penting
keberadaannya karena undang-undang ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi anak. Proses peradilan terhadap anak memang harus didesain sedemikian rupa agar anak terlindungi baik secara hukum maupun secara psikologis. Menurut Sudarto, aktivitas pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lainnya terhadap anak haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.
Pembatasan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
yang
ada,
maka
penulis
mengorientasikan pembatasan permasalahan pada korban tindak pidana terhadap anak, sebagai korban tindak pidana dibawah umur dalam studi kasus tindak pidana kejahatan seksual dalam tindak pidana pencabulan di Pengadilan Negeri Wonogiri.
Perumusan Masalah Dalam penulisan hukum ini, agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan masalah dan untuk mempermudah penulisan dalam membuat penulisan hukum ini, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang dijadikan obyek dalam penulisan skrpsi ini sebagai berikut : 1.
Bagaimana proses penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak di Pengadilan Negeri Wonogiri?
2.
Kendala-kendala apa yang timbul dalam proses penyelesaian tindak pidana pencabulan dengan korban anak di pengadilan Negeri Wonogiri?
3.
Cara penyelesaian kendala yang ada?
6
Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Obyektif a.
Mengetahui proses penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak di Pengadilan Negeri Wonogiri menurut Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
b.
Mengetahui hambatan proses penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak di Pengadilan Negeri Wonogiri.
c.
Cara penyelesaian proses perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak di Pengadilan Negeri Wonogiri.
2.
Tujuan Subyektif a.
Menambah pemahaman penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana
b.
Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diterima selama menempuh kuliah guna melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori-teori tersebut dalam prakteknya di masyarakat.
c.
Sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis a.
Diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b.
Diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya
c.
Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
7
2.
Manfaat Praktis Penulisan hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan serta sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam masalah yang diteliti dan berguna dalam menyelesaikannya.
LANDASAN TEORI Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.
Tinjauan Tentang Anak Anak
adalah
merupakan
bagian
terpenting
dari
seluruh
proses
pertumbuhan manusia, karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa kanakkanaknya. Dengan kata lain, kondisi seseorang di masa dewasa adalah merupakan hasil dari proses pertumbuhan yang diterima di masa anak-anak.
8
Tinjauan tentang Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya (Arif Gosita, 1985 : 18). Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat yang dengan demikian harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
dan
bermasyarakat.
Perlindungan
anak
merupakan
bidang
pembangunan nasional. Melindungi anak berarti melindungi manusia, yaitu membangun manusia seutuhnya. Hakekat dalam pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional, sehingga akibat dari tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang akan mengganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional, yang berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.
Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan Pencabulan berasal dari kata cabul. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan di dalam kamus hukum berarti : ”Keji dan Kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)” Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksudmaksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (P.A.F. Lamintang, 1997 : 159).
9
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas, maka penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Wonogiri dengan alamat di Jl. R.M. Said No. 12, Wonogiri Jawa Tengah 57652Telp : (0273) 321151, 321099dengan pertimbangan bahwa pernah terjadi tindak pidana pencabulan terhadap anak dan pelakunya telah memperoleh putusan hakim yang tetap.
Jenis Penelitian Dalam usaha penulis memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun skrispsi, penulis menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan
penelitian
yang
mengkaji
studi
dokumen,
yakni
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.
Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yang bersifat deskriptif analitik,
yaitu
penelitian
untuk
menyelesaikan
masalah
dengan
cara
mendeskripsikan masalah melalui pengumpulan, menyusun dan menganalisa data, kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian.
Variabel atau Kejelasan Variabel yang diteliti Variabel atau kejelasan variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai proses penanganan perkara tindak pidana pencabulan dan kendalakendala yang timbul dalam proses penanganannya terhadap terhadap solusi penyelesaian kendala yang ada.
10
Bahan/Materi Penelitian Bahan/Materi Penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : 1.
Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian, dengan mengumpulkan datadata yang berguna dan berhubungan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh langsung di Pengadilan Negeri Wonogiri berupa Putusan Penetapan Pengadilan dengan Nomor 47/Pid Sus/2015/PN Wng.
2.
Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sejumlah keterangan dan fakta yang digunakan oleh seseorang dan secara tidak langsung diperoleh dari bahan-bahan dokumen, literatur, buku-buku, laporan desertasi serta hasil penelitian yang berupa laporan.
Sumber Data Mengenai sumber data diperoleh dari : 1.
Sumber data primer Sumber data primer yang dipergunakan berupa hasil penelitian atau riset di lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Wonogiri. Adapun pengambilan data melalui wawancara di Pengadilan Negeri Wonogiri dengan Kepala Bagian Hukum, secara interview dan tanya jawab di Pengadilan Negeri Wonogiri.
2.
Sumber data sekunder Yaitu data yang dipergunakan sebagai bahan penunjang data primer menurut Soerjono Soekanto. Dalam penelitian ini data sekundernya adalah putusan hakim tentang tindak pidana pencabulan dan Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Cara Pengumpulan Data Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang penulis teliti, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
11
1.
Studi Lapangan Studi lapangan adalah teknik pengumpulan data dengan jalan terjun langsung ke tempat obyek penelitian untuk memperoleh data yang dikehendaki mengenai perilaku pada saat itu juga. (Soerjono Soekanto, 1986 : 66 – 67). Hal tersebut dilakukan dengan wawancara (interview) yaitu pengumpulan data melalui tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian. Dalam wawancara (interview) ini
penulis
menggunakan
wawancara terarah dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan secara garis besar. 2.
Studi Kepustakaan Pengumpulan data dengan mempelajari, mengkaji buku-buku ilmiah, literatur-literatur,
dan
peraturan-peraturan
yang
ada
kaitannya
atau
berhubungan dengan penelitian ini.
Alat Pengumpulan Data Wawancarayaitu dengan memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti atau pewawancara dengan responden yaitu Kepala Bagian Hukum di Pengadilan Negeri Wonogiri. Studi Kepustakaan adalah aktivitas pengumpulan berbagai jenis data sekunder yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengutip berbagai teori dari berbagai buku, mempelajari dan mengutip data dari berbagai dokumen, mempelajari dan mengutip berbagai informasi dari internet dan media cetak. Tujuan studi kepustakaan ini adalah memperoleh rujukan teori-teori yang berguna untuk memahami konstruk variabel-variabel penelitian, memperoleh landasan teoritis untuk menyusun konsep operasional variabel-variabel penelitian, dan memperoleh berbagai data atau informasi yang diperlukan untuk mendeskripsikan obyek atau subyek penelitian.
12
Jalannya Penelitian Di dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan suatu faktor yang penting dan menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan dibahas, dimana metode merupakan cara utama yang akan digunakan untuk mencapai tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang dihadapi akan tetapi dengan mengadakan klarifikasi yang didasarkan pada pengalaman dapat ditentukan jenis metode penelitian (Winarno Surachmad, 1982 : 131). Pengertian metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Kamisa, 1997 : 254). Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur
dan
terpikir
dengan
baik
sebagai
usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Metode Analisis Langkah yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data adalah analisis data, yaitu merupakan faktor penting dalam hal turut menentukan kualitas dan hasil penelitian. Adapun metode yang dipergunakan dalam suatu analisis tidak dapat dipisahkan dengan jenis data yang dipergunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif pula. Analisis data kualitiatif sebagai cara penjabaran data berdasarkan hasil temuan di lapangan dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh tadi dususun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data, menghasilkan sajian data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila kesimpulan dirasakan kurang akurat, maka perlu diadakan verifikasi kembali dan peneliti kembali mengumpulkandata di lapangan. Model ini dinamakanm interactive model analisis (HB Sutopo, 2002 : 96) Untuk lebih jelasnya teknik analisis data yang digunakan dapat digambarkan sebagai berikut :
13
Gambar 3.1. Skema Model Analisis interaktif Dengan penggunaan data kualitatf ini maka akan didapat gambaran yang lengkap dan menyeluruh terhadap keadaan yang nyata sesuai dengan penelitianyang dilakukan
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencabulan Dengan Korban Anak Di Pengadilan Negeri Wonogiri menurut Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 Tindak pidana pencabulan adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri dan kehilangan kesucian. Pencabulan merupakan suatu pelanggaran hak anak dan tidak ada suatu alasan yang dapat membenarkan tindak pidana tersebut, baik dari segi moral, susila dan agama, terutama tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap anak dibawah umur. Apalagi perbuatan terdakwa tersebut dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti. Pada perkembangannya pemerintah memberlakukan Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 mengatur:
14
1.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
2.
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Kendala-Kendala Yang Timbul Dalam Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencabulan Dengan Korban Anak Di Pengadilan Negeri Wonogiri Pentingnya perlindungan korban kejahatan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan. Korban kejahatan dalam penelitian ini yang pada dasarnya merupakan pihak yang menderita dalam suatu tindak pidana karena akibat pencabulan di bawah umur, karena tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti
tidak
dipedulikan
sama
sekali.Padahal,
masalah
keadilan
dan
15
penghormatan hak asasi manusia terlebih terhadap perlindungan anak dibawah umur tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan. Di dalam penanganan perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak di Pengadilan Negeri Wonogiri ini, maka terdapat hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan, seperti yang dijabarkan sebagai berikut : 1.
Korban pencabulan menjadi individu yang menderita tekanan mental dan sosial karena tindakan kejahatan seksual, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku di pengadilan.
2.
Korban (saksi) tidak berani untuk memberikan kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu atau takut aibnya diketahui oleh masyarakat banyak, hal ini dikarenakan korban mengalami tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, seperti perasaan kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan seks di luar nikah.
3.
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang lemah di hadapan hukum sebagai korban tindak pidana.
Cara Penyelesaian Kendala Yang Ada Dari berbagai hambatan tersebut maka dapat dirumuskan mengenai solusi atau penyelesaian dari hambatan tersebut yaitu sebagai berikut : 1.
Korban pencabulan merupakan individu yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan, hal ini dikarenakan korban pencabulan selain menderita secara fisik, juga mengalami tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, Penyelesaian dari adanya hambatan tersebut adalah bahwa korban tindak pidana pencabulan terus diberikan dukungan baik dari keluarga
16
dan masyarakat sehingga dapat menghilangkan trauma atas kejahatan yang telah menimpanya. 2.
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang lemah di hadapan hukum sebagai korban tindak pidana. Korban pencabulanseringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya transportasi dan perawatan rumah sakit dan biaya-biaya lain-lainnya. Penyelesaian hambatan tersebut adalah perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi secara material untuk membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, seiring penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana di jatuhkan.
PENUTUP Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan mengenai proses penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan dengan korban anak dapat diperoleh simpulan sebagai berikut : 1.
Proses penyelesaian perkara tindak pidana
pencabulan dengan korban
anakmenurut Pasal 81 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak terdiri dari dua sisi yaitu dari sisi terdakwa dan dari sisi korban tindak pidana pencabulan itu sendiri. Dari sisi terdakwa maka bentuk perlindungan hukum terhadap tindak pidana pencabulan adalah dengan memberikan hukuman terhadap terdakwa Subardi Bin Samidi dengan menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 6 (enam) tahun atau menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Sedangkan dari sisi perlindungan hukum kepada korban tindak pidana pencabulan maka bentuknya adalah sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang antara lain adalah upaya rehabilitasi, upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan
17
keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. 2.
Hambatan dan solusi di dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan antara lain adalah : a.
Korban pencabulan menjadi individu yang menderita tekanan mental dan sosial karena tindakan kejahatan seksual, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku di pengadilan.
b.
Korban (saksi) tidak berani untuk memberikan kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu atau takut aibnya diketahui oleh masyarakat banyak, hal ini dikarenakan korban mengalami tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, seperti perasaan kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan seks di luar nikah.
c.
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan, sehingga posisi wanita tetap berada pada posisi lemah dihadapan hukum.
3.
Dari berbagai hambatan tersebut maka dapat dirumuskan mengenai solusi atau penyelesaian dari hambatan tersebut yaitu sebagai berikut : a.
Korban pencabulan merupakan individu yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan, hal ini dikarenakan korban pencabulan selain menderita secara fisik, juga mengalami tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, Penyelesaian dari adanya hambatan tersebut adalah bahwa korban tindak pidana pencabulan terus diberikan dukungan
baik
dari
keluarga
dan
masyarakat
sehingga
dapat
menghilangkan trauma atas kejahatan yang telah menimpanya. b.
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, sehingga posisi wanita tetap berada di
18
posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. Korban pencabulanseringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya transportasi dan perawatan rumah sakit. Penyelesaian hambatan tersebut adalah perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi secara material untuk membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban. Saran-saran Bertolak dari kesimpulan di atas maka penulis merumuskan saran-saran yang berhubungan dengan pokok permasalahan, yaitu : 1.
Hakim dalam pengambilan keputusan terhadap tindak pidana pencabulan hendaknya dibuat secara kasuistik yaitu dengan lebih memperhatikan kekhususan yang ada dalam kasus pencabulan terhadap anak-anak yang sehingga hakim dapat mmeberikan putusan yang adil baik dari sisi terdakwa maupun bagi sisi korban, seiring penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana.
2.
Kepada korban tindak pidana pencabulan hendaknya keluarga korban dan masyarakat tetap memberikan dukungan kepada korban untuk menghindari terjadinya trauma atas perbuatan tersebut.
3.
Hendaknya pemerintah terkait melakukan penyuluhan hukum kepada seluruh masyarakat Indonesia terkait hak-hak dan perlindungan anak sehingga masyarakat dapat mengerti pentingnya penanganan hukum terhadap anak, terlebih untuk tujuan menghapuskan wacana/asumsi bahwa korban anak dalam kasus pidana bukan merupakan suatu aib, melainkan suatu kasus serius yang harus diselesaikan secara hukum pidana serta hendaknya pemerintah melalui Komisi HAM lebih dapat mengembangkan keberadaan dan fungsinya sampai ke wilayah desa/terpencil di seluruh wilayah Indonesia.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chawazi. 1994. Azas-azas Hukum Pidana Bagian I. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Andi Hamzah. 1994. azas-azas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta Arif Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademika Pressindo Darwan Prinst, 1987, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung : Citra Aditya HB. Sutopo. 2002. Metedeologi Penilitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam penilitian. Surakarta : Universitas Slamet Riyadi Press. Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika Leden Marpaung, 1996, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta : Sinar Grafika Martiman Prodjohamidjojo, 1997, Komentar Atas KUHAP UndangUndang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Pradnya
:
Kitab
Paramita Mulyana W. Kusumah, 1986, Hukum dan Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman Kritis, Bandung : Alumni Ninik Waskita dan Yulius Waskita, 1989, Kejahatan Dalam Masyarakat, Bandung : Citra Aditya Oemar Seno Adji, 1997, Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Sholeh Soeaidy dan Zulkahair. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : CV. Novindo Pustaka Mandiri. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penilitian Hukum. Jakarta : UI Press. Winarno Surachmad, 1982, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES