Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
PROSES KEPENDIDIKAN YANG BERMAKNA SEBAGAI PROSES PEMBUDAYAAN KEMAMPUAN, NILAI DAN SIKAP Risnita1 Abstraksi Sistem pendidikan diharapkan menghasilkan manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, memiliki kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter. Pembentukan karakter, nilai dan sikap ditentukan oleh pendidikan di keluarga (nilai warisan budaya, agama, tradisi dan nilai-nilai moral), pendidikan di sekolah dan pendidikan di masyarakat. Proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Proses kependidikan menjadi bermakna, pemilihan bahan ajar harus dilakukan secara ketat, agar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkatan memahami makna yang dipelajari bagi kehidupan. Kata Kunci :
I.
.
Learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together
Pendahuluan Terwujudnya karakter bangsa merupakan faktor yang penting untuk menilai keberhasilan pendidikan. Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial negara bangsa sangat strategis. Sekolah diharapkan dapat menjadi pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap dari warga masyarakat modern. Karena proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara efisien, dan efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan. (Soedijarto, 2004)2 Sistem pembelajaran yang baik harus memperhatikan empat pilar belajar. Keempat pilar itu menyangkut proses bagaimana peserta didik memperoleh kemampuan belajar; melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir; melatih dan mengembangkan kemampuan 1 2
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Soedijarto, 2004
91
Risnita, Proses Kependidikan …
memecahkan permasalahan; dan pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan. Permasalahannya, Indonesia telah melupakan proses pembelajaran yang bermakna melalui proses pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap tersebut Hal ini terbukti dari sistem evaluasi yang diterapkan tidak pernah melihat bagaimana peserta didik memecahkan masalah, memahami sesuatu ataupun kemampuan berinteraksi dengan sesamanya. Kenyataan semacam ini diyakini akan mempengaruhi perilaku belajar peserta didik. Agar peserta didik memahami perlunya menempuh proses yang benar dengan tekun, ulet, disiplin, dan teliti, maka nilai akhir yang diberikan bukan hanya hasil penilaian terhadap hasil belajar. Oleh karena itu, dalam kaitan ini perlu dilaksanakan penilaian secara terus-menerus terhadap tingkah laku dan kemajuan belajar.3 Pendapat ini sesuai dengan PP 19 tahun 2005, dengan mengkaji defenisi yang tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut, yang menyatakan bahwa penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik. Dan ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan. Dari definisi tersebut jelas tergambar bahwa proses evaluasi atas keberhasilan peserta didik dalam tiap satuan pendidikan tidak hanya melalui uji kemampuan kognitif dan sekali-kali tidak dapat ditentukan oleh satu kali tes, agar ukuran pencapaian kompetensi peserta didik dapat diakui. Dari permasalahan yang dimunculkan, maka tulisan ini akan mengkaji proses kependidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap. II. Proses Kependidikan yang Bermakna Menurut John Dewey, pendidikan diartikan sebagai social continuity of life. Adapun menurut Langeveld, pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing kepada yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Menurut Plato, pendidikan sebagai the process of 3
92
Soedijarto, Kompas 29 mei 2001
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
instruction and training. Adapun menurut Kant, pendidikan bermakna care, dicipline and instruction, the first element of the definition needs no explanation, dicipline is the eradication of wildness, instruction is the cultivation of the volitional and cognitive faculties.4 Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha untuk mengembangkan segala potensi manusia untuk menghadapi masa depannya. Dari pengertian itu, muncul berbagai definisi pendidikan, sesuai dengan "siapa" yang mendefinisikannya. Menurut pespektif humanisme, pendidikan ditekankan pada pengembangan aspek humanitas seseorang. Dalam sudut pandang agama dan etika, pendidikan harus, utamanya, mengembangkan aspek religiusitas dan moralitas peserta didik. Dari pandangan politik dan ekonomi, pendidikan ditekankan pada pengembangan mentalitas politik dan ekonomi. Untuk memperoleh definisi proses kependidikan yang bermakna mungkin dapat dikutip pendapat Philip Phenix (1964) yang mengidentifikasikan enam wilayah yang bermakna untuk menjadikan peserta didik memahami makna dunia dimana mereka hidup dan mengembangkan dirinya. Dalam terminologi Phenix keenam wilayah makna tersebut disitilahkan sebagai realms of meaning, yangterdiri dari : Symbolics, Empirics, Esthetics, Synnoetics, Ethics, dan Synoptics, yang penjelasannya diuraikan sebagai berikut: "The first realm, Symbolics, comprises ordinary language, Mathematics, and various types of nondiscursive symbolic forms such as gesture, ritu-als, rhythmic patterns, and the like. These meaning are contained in arbitrary symbolic structures, with socially accepted rules of formation and transformation created as instrument for the expression and communication of any meaning whatsoever. The second realm, Empirics, includes the science of the physical world of living things, and of man. These science provide factual descriptions, generalizations, and theoretical formulation and experimentation in the world of the matter, life, mind, and society. The third realm, Esthetics, contains the various arts, such as music, the visual arts, the arts of the movement, and literature. Meaning in this realm are concerned with the contemplative per-ception of particular significant things as unique objectifications of ideated subjectivities. The fourth realm, Synnoetics, embraces what Michael Polanyi calls "personel knowledge" and Martin Buber the "I-Thou" relation. The novel term "synnoetics", which was devised because no existing concept appeared adequate to the type of understanding intended, derives from the Greek synnoesis, meaning "meditative thought", and this in turn is 4
Mansur, 2005
93
Risnita, Proses Kependidikan …
compounded of syn, meaning "with" or "together" and noesis, meaning "cognition". Thus synnoetics signifies “relational insight” or “direct awareness”. The fifth realm, Ethics, includes moral meaning that express obligation rather than fact , perceptual form, or awareness of relation. In contrast to the sciences, which are concerned with abstract cognitive understanding, to the arts, which express idealized esthetic perception, and to personel knowledge, which reflect intersubjective understanding, morality ha to do with personal conduct that is based on free, responsible, deliberate decision. The sixth realm, Synoptics, refers to meaning that are comprehensively integrative. It include history, religion, and philosophy. Theses discipline combine empirical, esthetic, and synnoetic meanings into coherent whole. Jadi apabila mengacu pada pendapat Phenix jelas bahwa agar proses kependidikan menjadi bermakna , maka pemilihan bahan pelajaran harus dilakukan secara ketat, agar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkatan memahami makna yang dipelajari bagi kehidupan. Oleh karena itu bahan pelajaran yang dipelajari harus harus diambil dari “disciplined of inquiry” dan dari konsep-konsep utama suatu disiplin ilmu yang mewakili hakekat disiplin ilmu tersebut seakan mengutamakan “method of inquiry”, sehingga mendorong peserta didik berpikir secara imajinatif dan kreatif. Pertanyaan selanjutnya adalah model pembelajaran seperti apa yang dapat bermakna sebagai proses pembudayaan ?” Proses pembelajaran tersebut mestinya mengutip terminology Whitehead sampai pada tingkat joy of discovery proses pembelajaran yang dapat merangsang, menantang dan menyenangkan (joyful learning). Dengan demikian proses pembelajaran itu akan bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini UNESCO melalui International Commision on Education for Twenty First Century (Delors, 1996) yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically united world where night technology is privilege of the few to technologically united worl” mengusulkan empat pilar belajar yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, larning to live together”. Menetapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru 94
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup. Selain proses belajar dan pembelajaran serta pemilihan bahan ajar yang selektif dan disesuaikan dengan karakteristik materi ajarnya, diperlukan sistem evaluasi yang tepat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan adalah agar dapat dihasilkan manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan, sehingga berdampak kepada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter. Oleh karena itu sistem evaluasi yang diterapkan akan menentukan keberhasilan kita mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian sistem evaluasi yang dilakukan akan berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Mengacu pada hasil penelitian Benyamin S. Bloom bahwa tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Oleh karena itu materi uji haruslah tidak mengkutub pada satu ranah saja, misalkan ranah kognitif yang lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan mengabaikan pada dengan mengabaikan hasil dari berbagai kegiatan belajar seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya. Agar peserta didik sejak memasuki suatu jenjang pendidikan secara terus menerus dan intensif melakukan proses pembelajaran yang bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terusmenerus dan obyektif. Evaluasi yang demikian hanya dapat dilakukan oleh seorang guru yang profesional yang mampu merencanakan, mengelola, memotivasi, dan menilai proses pembelajaran yang berlangsung dari hari ke hari. Evaluasi semacam ini hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan "reinforcement strategy" atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujud dari "hidden curriculum"(Soedijarto, 2004). Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan "classroom as social system (Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap (Inkoles). Model evaluasi yang merupakan bagian dari strategi pembelajaran ini dari sudut pandang teori belajar sosial (social learning theory) akan dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara terus menerus. Untuk itu evaluasi periodik yang diadakan untuk tingkat nasional atau national asessment 95
Risnita, Proses Kependidikan …
harus diarahkan pada fungsi utamanya sebagai sebagai bagian dari manajemen pendidikan secara nasional untuk memperoleh gambaran tentang peta mutu pendidikan nasional sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis faktor-faktor penyebab dari keberhasilan dan ketidakberhasilan suatu sekolah atau daerah dalam membantu peserta didik dalam mencapai tingkatan hasil belajar yang diharapkan, bukan sebagai penentu kelulusan. Dengan demikian kegiatan semacam ini sangat penting dan bermakna bila dimanfaatkan untuk melakukan tindak lanjut berupa upaya perbaikan, pembaharuan, dan berbagai kegiatan untuk meratakan mutu pendidikan nasional sesuai dengan standar yang ditetapkan (Soedijarto, 2004). III. Proses Pembudayaan Kemampuan, Nilai dan Sikap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kultur sebagai nomina memiliki dua arti, yaitu (1) kebudayaan dan (2) cara pemeliharaan; pembudidayaan. Arti (1) lebih banyak diketahui oleh penutur bahasa Indonesia seperti dalam frase kultur Timur versus kultur Barat. Derivasinya, kultural sebagai ajektiva cocok dengan arti (1). Demikian pula dengan akulturasi, yang berasal dari acculturation, yaitu proses pembudayaan atau adaptasi dengan suatu budaya. Misalnya orang Sumatra yang hiijrah ke Jawa Barat akan mengalami akulturasi, yakni pemahaman lewat pengalaman berbudaya Sunda secara langsung, sehingga semakin terbiasa dan betah tinggal di sana. Masih terkait dengan kultur, dalam bahasa Inggris ada kata cultured, sebagai ajektiva yang berarti berbudaya atau berpendidikan. Melalui analisis semantik historis sebagai argumen untuk menarik simpulan, dapat dikaji arti (2), yaitu pembudidayaan seperti dalam frase pembudidayaan tanaman. Dalam bahasa Inggris ada kata agriculture yang berarti pertanian. Lalu apa hubungan antara agriculture dan cultured? Dalam konsep Barat, liberal education adalah pendidikan dalam atau menuju budaya. Orang berpendidikan disebut educated atau cultured, yakni berbudaya. Tanpa pendidikan tidak ada kebudayaan. Kebudayaan identik dengan pendidikan. Artinya mendidik itu bagai bercocok tanam. Diawali dengan menanam benih, diberi pupuk, setelah bertunas terus disiangi dan disiram air, dan kadang diperlukan turus, yakni sebuah kayu kecil tinggi untuk memungkinkan tumbuhan merambat. Mendidik adalah menyengaja agar nalar (mind) tumbuh. Bila tanah menunggu petani sebagai pemelihara, maka nalar pun menunggu sang pendidik sebagai pengembang. Jadi petani dan pendidik sama-sama sebagai pelaku pembudayaan. Kebudayaan berasal dari kata budaya, yaitu pikiran, akal budi. Budi adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Ada ungkapan budidaya udang, yang kurang 96
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
.
lebih sejajar dengan konsep bertanam tumbuhan. Jadi baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, ada kesamaan ihwal culture dan budaya. Kiranya dapat kita sepakati eratnya jalinan antara ikhtiar pendidikan dengan usaha pelestarian dan pengembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Tiap ikhtiar pendidikan bermakna sebagai proses pembudayaan dan seiring bersama itu berkembanglah sejarah peradaban manusia. Seluruh spektrum kebudayaan -sistem kepercayaan, bahasa, seni, sejarah dan ilmu-dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya hanya bisa dialihkan dari satu generasi ke lainnya melalui pendidikan dalam arti luas. Demikianlah halnya kalau kita mengartikan ikhtiar pendidikan sebagai prakarsa yang meliputi N proses pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and / skills) serentak dengan proses pengalihan nilai-nilai budaya (transmission of cultural values). Proses tersebut sekaligus menjamin terpeliharanya jalinan antargenerasi dalam sesuatu masyarakat. Orientasi pada nilai-nilai budaya pada gilirannya menjelmakan perilaku manusia sebagai anggota masyarakat dengan peradabannya yang khas. Sejauhmana masyarakat itu berorientasi pada nilai-nilai budayanya menentukan tangguh-rapuhnya ketahanan budaya (cultural resilience) masyarakat yang bersangkutan, yang terutama terukur dalam berbagai pertemuan antar-budaya atau cultural encounters (Fuad Hasan, 2003). Dalam sejarah terkenal proses sirnanya berbagai peradaban, yang pada umumnya terjadi seiring dengan punahnya masyarakat pendukung budayanya. Oleh proses kepunahan itu sesuatu kebudayaan membeku sebagai peninggalan sejarah, dan apa yang tinggal sebagai sejarah itu hanya mengisyaratkan pernah hadirnya kebudayaan yang bersangkutan. Sejarah juga menunjukkan bahwa kepunahan itu terjadi manakala ketahanan budaya sesuatu masyarakat mengalami kerapuhan, sehingga dalam pertemuan antarbudaya mudah menyerah pada dominasi nilai-nilai budaya asing yang menerpanya. Bahkan tidak mustahil suatu masyarakat dengan ketahanan budaya yang rapuh mudah sekali terhanyut oleh kecenderungan glorifikasi terhadap budaya asing; perwujudan yang eksesif dalam hal ini bisa menggejala sebagai xenomania. Kecenderungan memandang sesuatu gayahidup asing sebagai model biasanya merupakan pembuka jaian menuju glorifikasi budaya asing ybs. Kecenderungan demikian itu semakin mudah berkembang dalam proses globalisasi dengan persebaran pehgaruh media informasi yang terjadi secara searah (unidirectional), yaitu dari masyarakat yang menguasai teknologi maju menerpa masyarakat yang relatif tertinggal. Mencuatnya globalisme niscaya jelas berdampak terhadap manifestasi kebudayaan bangsa-bangsa sebagai kelanjutan dari makin 97
Risnita, Proses Kependidikan …
meningkatnya pertemuan antarbudaya sejagad. Namun demikian salingpengaruh yang terjadi dalam pertemuan antarbudaya tidak berlangsung secara timbal-balik, melainkan tetap cenderung bersifat satu-arah. Keunggulan dalam penguasaan teknologi itu berarti juga meningkatnya kemampuan untuk memperkenalkan berbagai gagasan serta meragakan beraneka gaya hidup secara massal dan global yang disajikan oleh media massa, sehingga menjangkau kalangan luas dalam masyarakat yang diterpanya. Ini berarti bahwa dalam pertemuan antarbudaya terjadi perkenalan dengan nilai budaya lain, yang pada gilirannya memperkenalkan norma-norma perilaku dan gaya hidup baru -atau asingpada masyarakat yang diterpanya. Proses termaksud terjadi secara serentak dan bersamaan (simultaneous) dari berbagai sumber maupun secara segar dan segera (instantaneous) sebagai aktualitas, sehingga mudah berpengaruh sebagai pengarah perkembangan kecenderungan (trend-setting) pada masyarakat yang diterpanya. Dalam pertemuan antarbudaya global jelaslah bahwa fihak yang didukung teknologi canggih lebih berfungsi sebagai pengalih (transmitter) nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma kemasyarakatan, sedangkan fihak yang terbelakang dalam penguasaan teknologi cenderung menjadi penerima (receiver). Dalam pengalihan nilai dan norma itu fihak penerima seringkali kurang disertai sikap kritis, bahkan cenderung menerimanya sebagai model gayahidup masyarakat yang dianggap lebih maju dan modern. Ini berarti bahwa dalam pertemuan antarbudaya itu mudah terjadi hubungan yang berpola superior vs inferior, disertai sikap pemujaan fihak yang 'inferior' terhadap fihak yang 'superior'. Penyanjungan nilai dan norma asing sedemikian itu indikatif bagi lemahnya ketahanan budaya masyarakat ybs. Gejala demikian itu biasanya ditandai oleh munculnya berbagai budaya sandingan (sub-culture) dan budaya tandingan (counterculture). Dalam masyarakat yang bersikap permisif terhadap kecenderungan termaksud bahkan mudah terjadi keterasingan dari budaya sendiri (cultural alienation) pada sebagian warganya khususnya kaum mudanya yang lebih cenderung bergerak maju bersama suasana dan kecenderungan zamannya. Pertemuan antar budaya bisa mengakibatkan timbulnya heteronomi dalam masyarakat ada yang menyebutnya anomi dan sebagai konsekuensinya kian melonggar pula konformisme perilaku seiring dengan terjadinya reorientasi pada nilai kebudayaan dan norma kemasyarakatan umumnya. Masyarakat makin sulit mempertahankan konformisme perilaku warganya, karena mereka makin diterpa oleh derasnya informasi mengenai berbagai ragam gayahidup asing yang diragakan melalui media massa. Heteronomi adalah konsekuensi logis dari terjadinya exposure tersebut, apalagi tanpa adanya daya penangkal dari dalam masyarakat 98
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
yang bersangkutan {built-in resistance). Tetapi prakarsa yang sengaja dirancang sebagai usaha penangkalan niscaya akan dimasalahkan sebagai pendekatan yang non-demokratis -terutama oleh kalangan berbagai media informasi-, seperti misalnya dilakukannya penyaringan melalui sensor. Maka yang diperlukan adalah berlakunya kaidah susila profesional (professional code of ethics) yang dijadikan pedoman kerja bagi dunia media massa umumnya, termasuk dalam kaitan dengan ikhtiar pelestarian budaya bangsa. Fungsi setiap kaidah susila profesional ialah untuk menciptakan pengawasan sendiri dari dalam (internal control) sebagai pengatur perilaku kalangan profesional untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, dan hal itu berkenaan dengan prakarsa pelestarian budaya bangsa. Ernst Cassirer dalam sebuah karya utamanya yang telah berkalikali dicetak ulang menguraikan, bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua daya yang bertentangan arahnya; di satu fihak daya preservatif yang cenderung melestarikan berbagai manifestasi budaya (mis: sistem kepercayaan, bahasa, seni dan sejarah) dan daya progresif (mis: bahasa, seni, ilmu). Kedua daya tersebut juga tampil melalui berbagai lembaga dan pranata dalam masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan (Fuad Hasan, 2003). Dalam kelangsungan proses globalisasi dewasa ini, hasil tarik-menarik antara kedua daya itu -preservatif vs progresif- turut ditentukan oieh ikhtiar kita mengembangkan kebudayaan Indonesia yang beranjak dari kesejarahan (historicity) dan jatidiri kita sebagai bangsa. Selain itu, proses tarik-menarik antara kedua daya tersebut juga mengakibatkan terjadinya reevaluasi nilai-nilai kebudayaan dan normanorma kemasyarakatan, dengan konsekuensi terjadinya pula reorientasi terhadap asas-asas moral sebagai acuan perilaku warga masyarakat,umumnya. Perkembangan ilmu cenderung menggerakkan daya progresif, dan kemajuan ilmu banyak menyumbang pada meningkatnya kenyamanan dan kesejahteraan dalam peri kehidupan. Namun perkembangan ilmu pun adakalanya juga menuntut reorientasi moral yangtidak selalu mudah diatasi melalui tercapainya kesepakatan, baik antara sesama ilmuwan maupun dalam berbagai kalangan masyarakat. Euthanasia, assisted suicide, cloning adalah beberapa contoh tindakan yang bisa dilakukan oleh teknologi sebagaimana dihasilkan oleh penelitan ilmiah; namun perdebatan mengenai dimensi moral yang berkenaan dengan tindakan tersebut hingga kini belum berakhir. Ilmu dan teknologi juga telah menghasilkan sistem persenjataan pemusna massal (weapons of massdestruction) dengan kemampuan yang jauh melebihi bom atom yang pertama dijatuhkan di Hiroshima. Jauh sebelumnya, Alfred Nobel menyesali temuannya yang kemudian ternyata bisa digunakan sebagai 99
Risnita, Proses Kependidikan …
penghancur dan pemusna berskala besar, Pendeknya, kemajuan ilmu dan perkembangan teknologi juga menampilkan segi-seginya yang berkaitan dengan asas-asas moral. Perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi juga menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat, yaitu antara mereka yang menguasainya dan mereka yang tertinggal dalam penguasaannya. Menarik untuk dikaji ialah perkiraan Forum Fairmont (September 1995). Forum diskusi yang diketuai oleh Michael Gorbachev dan diikuti oleh tokoh-tokoh internasional dari berbagai bidang kegiatan (mantan kepala negara/pemerintahan, politisi, filsuf, wartawan, usahawan, dsb) antara lain membahas tentang kemungkinan akan munculnya tatanan masyarakat dunia dalam abad ke-21 yang digambarkan sebagai 'the 20:80 society' dengan segala permasalahan yang timbul sebagai konsekuensinya. Apa yang secara ringkas dirumuskan sebagai 'the 20:80 society' ini menggambarkan, bahwa dalam memasuki abad ke-21 masyarakat dunia akan terbagi populasinya dalam dua kelompok besar, yaitu sekitar 20% yang sanggup terus menggerakkan perekonomian (dan berprestasi produktif), sedang 80% sisanya akan tertinggal sebagai kelompok produktif (dan tersisa sebagai kelompok konsumtif). Pada tingkat nasional pun tidak tertutup kemungkinan munculnya masyarakat dengan konfigurasi serupa itu, karena masyarakat dalam proses modernisasinya juga tidak mungkin terhindar dari pemilahan warganya berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Bayangkan bagaimana kalau masyarakat kita akan terbelah dalam perbandingan sedemikian itu, apalagi mengingat masih besarnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan masih tingginya jumlah anak putus-sekolah atau yang tidak berhasil menyelesaikan pendidikan bahkan pada jenjang wajib belajar 9 tahun saja. Kiranya tidak dapat disangkal kenyataannya bahwa perkembangan masyarakat yang didasarkan pada penguasaan ilmu (science-based) dan dipacu oleh penerapan teknologi (technology-driven) lebih laju ,kemajuannya ketimbang yang diandalkan sekedar pada tingkat pengetahuan warga masyarakat yang bersangkutan. Kalau teknokrasi makin membudaya, maka penguasaan ilmu dan teknologi niscaya turut menentukan posisi dan peran warga masyarakat dalam konfigurasi sebagaimana secara ringkas dirumuskan sebagai ’the 20:80 society' itu. Dalam hubungan ini Neil Postman menunjuk pada kenyataanya betapa ..."those who developed competence in the use of technology become an elite group that are granted undeserved authority and prestige by those who have no such competence." ) Dengan perkiraan tersebut ada baiknya kita mempelajari juga sejauhmana masyarakat kita pun cenderung berkembang menuju terwujudnya tatanan serupa itu, dan apa saja permasalahan yang akan muncul sebagai konsekuensinya. Sejauhmana 100
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
tatanan baru itu bisa diandalkan sebagai matriks sosial yang menjamin terwujudnya demokrasi; atau sebaliknya, yaitu menjadi kondisi yangsubur bagi berseminya elitisme. Ilmu dan teknologi merupakan daya yang paling progresif dalam suatu lingkungan budaya. Maka penguasaan ilmu dan teknologi semerata mungkin dalam suatu masyarakat bisa menghindarkan munculnya elitisme seperti digambarkan oleh Forum Fairmont dan Neil Postman itu Dalam kaitan ini pendidikan sangat berperan sebagai pembangkit hasrat untuk belajar secara berkelanjutan dan usaha pembelajaran demikian itu sekaligus berarti pemberdayaan kebudayaan. Tanpa penguasaan ilmu sebagai daya progresif yang mendorong gerak-majunya sesuatu masyarakat, maka kebudayaan makin terpasung dalam masa lalunya, dan dengan demikian tidak atau kurang berorientasi ke masa depan. Padahal sesuatu masyarakat hanya mungkin berkembang maju jika warganya memiliki orientasi ke masadepan (future oriented). Bisa saja suatu masyarakat menyanjung kebudayaannya sebagai kehadiran di masa lalu belaka sambil berpuas-diri dengan menunjuk pada berbagai peninggalan sejarahnya; namun sanjungan ke masa lalu belaka adalah ibarat pengejawantahan nostalgia saja. Lain halnya kalau masa lalu disadari sebagai sejarah yang melatari perkembangan kebudayaan yang bersangkutan di masa kini sambil membuat projeksi ke masa depan. Mustahil kita berbicara tentang perkembangan kebudayaan tanpa orientasi ke masadepan. Inilah bedanya antara kebudayaan yang dipahami sekedar sebagai penjelmaan sejarah (history) dan sebagai evolusi suatu kesejarahan (historicity); yang pertama menunjuk pada keberadaan di masa lalu belaka, sedang yang kedua megaitkan keberadaan sesuatu masyarakat sebagai pengemban budaya (culture bearers) dalam rentangan masa lalu-masa kini-masa depan sekaligus. Dengan demikian masyarakat ybs dapat membuat projeksinya ke masa depan tanpa terasing dari masalalunya; dengan kata lain, dinamika budaya masyarakat ybs bergerak dalam rentangan antara daya preservatif dan daya progresif. Selama sesuatu kebudayaan masih ada masyarakat pengembannya, maka setiap tahap dalam perkembangan kebudayaan tidak lain adalah suatu status quo yang menjadi pijakan bagi perkembangan menuju tahap-tahap selanjutnya. Sebagaimana diuraikan di bawah ini, tiap kebudayaan yang hidup memiliki dua daya yang saling berlawanan. yaitu daya preservatif dan daya progresif. Dalam rentangan antara dua daya inilah kebudayaan menampilkan sifatnya yang dinamis. Maka kebudayaan yang hidup tidak mungkin dialihkan ibarat cetak-biru yang itu-itu juga dari satu generasi ke lainnya. Setiap kebudayaan menjadi matriks bag! berkembangnya perilaku masyarakat pengembannya, dan 101
Risnita, Proses Kependidikan …
dengan demikian berkembang pula sejarah peradaban masyarakat itu. Di sinilah letak perlunya kita membedakan antara pengertian kebudayaan dan peradaban; yang pertama menunjuk pada sumber nilai-nilai yang berfungsi bagi suatu masyarakat sebagai acuan perilaku, sedang yang kedua berkenaan dengan konsekuensinya sebagai pola perilaku (patterns of conduct) dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana setiap kebudayaan, maka manifestasi kebudayaan Indonesia juga punya ciri khasnya. Sebagai bangsa yang pluri-etnik, pluralisme budaya adalah salah satu ciri khasnya, dan cita-cita untuk mengembangkan kebudayaan nasional sebagai jati diri kebangsaan Indonesia tidak mungkin diasingkan dari kenyataan tersebut. Di lain fihak, pluralisme tersebut tidak menjadikan kita sebagai pengemban budaya yang terpasung tanpa mungkin mengalami perubahan. Justru sebaliknya, kebudayaan yang hidup selalu ditandai oleh terjadinya perubahan dari zaman-ke-zaman. Setiap kebudayaan yang hidup bersifat dinamis karena menggejala dalam rentangan antara pelestarian dan perubahan. Setiap masyarakat pengemban kebudayaan tertentu selalu memiliki kecenderungan untuk melestarikannya akan tetapi serentak bersama itu juga berhasrat untuk bergerak maju. Tanpa adanya kecenderungan untuk melestarikan berbagai manifestasi kebudayaannya masyarakat ybs akan terancam oleh keterasingan dari kebudayaannya sendiri (cultural alienation), sedangkan tanpa hasrat untuk terus bergerak maju masyarakat yang bersangkutan terjerat dalam kondisi stagnan. Kalau tadi dikatakan bahwa survival sesuatu ranah budaya sangat tergantung terutama pada masyarakat pendukungnya, dan bahwasanya dinamika kebudayaan tergantung dari bekerjanya dua daya yang berlawanan arahnya -preservatif dan progresif- maka jelaslah bahwa pada masyarakat pendukungnyalah letak tanggungjawab pertama bagi pelestariannya maupun kemajuan kebudayaannya. Tanpa terjadinya proses pengalihan nilai-nilai budaya antargenerasi, maka niscaya daya preservatif akan dikalahkan oleh daya progresif yang menguat seiring dengan terjadinya perkenalan dengan nilai-nilai budaya baru sezamannya. Daya preservatif itu makin melemah manakala para pendukung budaya ybs memandang lebih unggul nilai-nilai yang baru dikenalnya dalam pertemuan dengan budaya asing. Pertemuan antar budaya yang ditandai oleh sikap superior satu fihak terhadap lainnya niscaya memperlemah ketahanan budaya pada fihak yang merasa inferior. Mengingat catatan di atas ini, maka pelestarian budaya pertamatama terpulang pada masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan, yakni sejauhmana warganya masih menyertakan perkenalan dengan nilai-nilai budayanya sendiri dalam ke tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat umumnya. Ikhtiar pendidikan pada 102
Edu – Physic Vol. 3, Tahun 2012
hakikatnya berupa proses bermatra ganda, yaitu personalisasi dan sosialisasi sekaligus; matra personal tidak boleh menghasilkan alienasi sosial pada individu yang bersangkutan, sedangkan matra sosial tidak boleh berkesudahan dengan terjadinya depersonalisasi individual. Dengan demikian maka ikhtiar pendidikan tidak terlepas dari matriks kemasyarakatannya, dan karena setiap masyarakat merupakan pendukung kebudayaannya, maka pendidikan merupakan proses pembudayaan juga. Seperti telah ditegaskan di atas, pendidikan dalam arti yang komprehensif bukan saja meliputi upaya pengalihan pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga pengalihan nilai-nilai budaya yang berkelanjutan antargenerasi. V. Kesimpulan Mendidik adalah menyengaja agar nalar {mind) tumbuh, oleh karena itu sistem pembelajaran yang baik harus memperhatikan empat pilar belajar. Keempat pilar itu menyangkut proses bagaimana peserta didik memperoleh kemampuan belajar; melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir; melatih dan mengembangkan kemampuan memecahkan permasalahan; dan pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan, dengan demikian apabila mengacu pada pendapat Phenix jelas bahwa agar proses kependidikan menjadi bermakna, maka pemilihan bahan pelajaran harus dilakukan secara ketat, agar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkatan memahai makna yang dipelajari bagi kehidupan. Oleh karena itu bahan pelajaran yang dipelajari harus diambil dari "disciplined of inquiry" dan dari konsep-konsep utama suatu disiplin ilmu yang mewakili hakekat disiplin ilmu tersebut, serta mengutamakan "method of inquiry", sehingga mendorong peserta didik berpikirsecara imajinatif dan kreatif. Pembentukan karakter, nilai dan sikap ditentukan oleh pendidikan di keluarga (nilai warisan budaya, agama, tradisi dan nilai-nilai moral), pendidikan di sekolah (kreatifitas, sikap ilmiah, kerja keras, disiplin, motivasi berprestasi, sikap kompetitif), pendidikan di masyarakat (adaptive skill, cross functional skill, dst.) Pendidikan harus mampu disajikan dengan kemasan akhlaqui karimah, tentu akan melahirkan masyarakat Indonesia yang bermutu dan dihormati dalam panggung sejarah dunia. Bangsa Indonesia mampu tampil secara bermakna karena berperan dalam melahirkan the most civilized and progressive nation in the world. Kebudayaan menunjuk pada sumber nilai-nilai yang berfungsi bagi suatu masyarakat sebagai acuan perilaku, sehingga pembudayaan merupakan proses penanaman nilai-nilai yang berfungsi sebagai acuan perilaku. Pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap haruslah mengacu 103
Risnita, Proses Kependidikan …
pada acuan tertentu yang bersumber dari nilai-nilai yang berfungsi bagi suatu masyarakat.
Daftar Pustaka Delors, Jacques, Et. Al.,1996, Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of The International Commision on The Twenty First Century, Paris, UNESCO Fuad Hassan, 2003, Catatan Perihal Dinamika Keudayaan Dalam Pertemuan Antar Budaya Global, Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi Sumantra Barat Bukittinggi, 19-23 Oktober 2003 Mansur, 2005 , Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Phenix, Philip, 1964, Realms of Meaning a Philosophy of The Curriculum For General Education, New York, Me. Graw Hill Book Co. Soedijarto, 1998, Pendidiakn Sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa, Jakarta, Balai Pustaka. _________ ,2001, Ebtanas Hanya Ukur Kemampuan Kognitif, Wawancara Soedijarto dengan Kompas pada tanggal 29 Mei 2001. _________, 2004, Kurikuium, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan Sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran nasional, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 03/Th.lli/Desember 2004. Whitehead, A.N.,1957, The Aims of Education and Other Essays. New York, the New American Library.
104