PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (2011-2013)
Skripsi Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh Tisa Lestari 1110113000013
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
1
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul: PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (2011-2013)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Desember 2014
Tisa Lestari
i
ii
iii
ABSTRAK Penelitian ini menjelaskan tentang promosi demokrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy (ENP) selama tahun 2011-2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa cara UE dalam mempromosikan demokrasi di Maroko, setelah terjadinya Revolusi Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2010, serta reformasi konstitusi Maroko pada tahun 2011. Penelitian ini fokus pada tiga aspek dalam reformasi demokrasi Maroko, yaitu dalam aspek pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Penulis menggunakan pemahaman konstruktivisme sebagai landasan pemikiran utama dalam penelitian ini. Pemahaman konstruktivisme ini digunakan untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif. Penulis menggunakan konsep sosialisasi norma yang diungkapkan oleh Thomas Risse dan asumsi identitas kolektif Alexander Wendt. Penulis juga menggunakan konsep promosi demokrasi yang diungkapkan oleh Thomas Risse, bahwa promosi demokrasi dapat dijelaskan secara normatif sebagai bentuk transfer norma. Terakhir, penulis menggunakan konsep strategi promosi demokrasi Trine Flockhart, yaitu strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement), dalam wujud kondisionalitas. Berdasarkan analisis konsep-konsep dan asumsi-asumsi tersebut, penelitian ini menemukan bahwa UE telah melaksanakan konstruksi sosial politik dalam mempromosikan demokrasi di Maroko. Adapun konstruksi tersebut telah menghasilkan capaian penting dalam di tiga aspek reformasi demokrasi Maroko, yaitu adanya komitmen Kerajaan Maroko terhadap pemisahan kekuasaan, penggunaan kerangka kerja UE sebagai kerangka kerja Parlemen Maroko, dan pembangunan Civil Society Facility (CSF) dan Citizen for Dialogue yang menjembatani komunikasi pemerintah dan masyarakat sipil Maroko. Penelitian ini juga menemukan bahwa UE mempromosikan demokrasi di Maroko dengan menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen yang diwujudkan dalam program-program ENP. Adapun promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP ini merupakan bentuk sosialisasi norma demokrasi UE di Maroko untuk membentuk identitas kolektif UE dan Maroko sebagai aktor yang pro demokrasi. Kata Kunci: Uni Eropa, Maroko, ENP, Promosi Demokrasi
iv
ABSTRACT This Research explains European Union’s (EU) democracy promotion in Morocco within the framework of European Neighborhood Policy (ENP) during 2011-2013 period. This Research aims to analyze the way used by EU to promotes democracy in Morocco, after Arab Revolution in Middle East and North Africa in 2010, and also Morocco constitutional reform in 2011. This study focuses on three aspects of Moroccan democratic reform, that are the separation of power, strengthening the role of parliament, and strengthening the role of civil society organizations in the development of democracy . I use constructivism as a basis of main thought in this research. Constructivism is used to explain norm socialization in constructing collective identity. I use norm sosialization concept from Thomas Risse and assumption of collective identity by Alexander Wendt. I also use democracy promotion concept from Thomas Risse, which explain that normatively democracy promotion can be seen as a form of transfer of norms. The Latter, I use democarcy promotion strategy concept by Trine Flockhart, that is social influence or reinforcement strategy, in the form of conditionality. Based on the analysis of concepts and assumptions , this study found that the EU has implemented social and political construction in promoting democracy in Morocco . The construction has resulted in important achievements in three aspects of democratic reform in Morocco, that are the Kingdom of Morocco 's commitment to the separation of powers, the use of the framework of the EU as a framework for the Moroccan parliament, and the development of the Civil Society Facility (CSF) and Citizen for Dialogue as a bridge for the communication of Moroccan government and Moroccan civil society. This study also found that the EU promote democracy in Morroco by using conditionality as an instrument in the form of ENP programmes. EU democracy promotion in Morocco within the framework of ENP is a relization of EU’s democratic norm socialization in Morocco that constructs EU and Morocco’s collective identity as pro-democracy actors. Key Word: European Union, Morocco, ENP, Democracy Promotion
v
KATA PENGANTAR Assalammu‟alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah Rabb al-A’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya yang telah peneliti terima, sholawat serta salam penulis sampaikan
kepada
Rasulullah
Muhammad
SAW
atas
wasilah
serta
pencerahannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka European Neighborhood Policy (2011-2013)” ini dengan baik. Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa kedua orang tua penulis, Bapak Salamun dan Ibu Astuti. Terima kasih kepada keduanya yang tak pernah lelah memberikan dukungan baik moral, material, dan do‟a untuk penulis. Terima kasih untuk Bapak dan Ibu. Juga kepada adik-adik penulis, Ridwan Dwi Hanggoro dan Assidiq Nurrohman, skripsi ini penulis persembahkan untuk mereka berdua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dalam penelitian skripsi ini, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik spiritual, moral dan material. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti dengan segenap hati dan dengan segala hormat mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Debbie Afianty, M.Si, dan sekretaris program studi, Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. 2. Bapak Faisal Nurdin Idris, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendedikasikan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk membimbing penulis. Terima kasih atas begitu banyak arahan, dorongan, motivasi, dan ilmu yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, solusi, dukungan, dan motivasi kepada penulis di awal penulisan skripsi ini.
vi
4. Bapak Budi Satari, M.Sc dan Bapak Irfan Hutagalung, S.H, LLM sebagai dosen penguji sidang DPS; serta Ibu Mutiara Pertiwi, MA dan Bapak Teguh Santosa, MA sebagai dosen penguji sidang skripsi; yang telah memberikan banyak sekali masukan, arahan, dan melatih penulis untuk konsisten berfikir secara ilmiah demi terciptanya sebuah skripsi yang baik. 5. Seluruh jajaran staff dan pengajar di Prodi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Sahabat-sahabat penulis, Rosa Permata Nurani, Peni Intan Palupi, Istiqamah, Detty Oktavina, El Humairoh Wijaya, dan Siti Maunah sebagai suporter utama yang selalu memberi motivasi, masukan, dan do‟a untuk penulis sejak awal penulisan skripsi hingga melewati sidang skripsi dengan baik. 7. Teman-teman seperjuangan di kelas regular A dan kelas regular B Hubungan Internasional UIN Jakarta, Oya, Rere, Putri, Bagus, Yuri, Zakiah, Dienny, Dian, Anggi, Hana, Lilah, Windy, Siska, dan semua teman-teman, terima kasih atas kebersamaan dan kenangan yang diberikan selama empat tahun penulis menimba ilmu di UIN Jakarta. 8. Untuk guru-guru penulis, Emine hocam dan Lale abla, yang telah memberi banyak ilmu dan pengetahuan baru, serta dukungan dan inspirasi kepada penulis. Juga untuk teman-teman White Pearls Fethullah Gulen Chair UIN Jakarta, Asiah, Tati, dan teman-teman Turkce Kursu semua. Cok Tesekkur Ederim.
Akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekuarangan yang menyertai. Untuk itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan, agar nantinya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 16 Desember 2014
Tisa Lestari
vii
DAFTAR SINGKATAN AA
: Association Agreements
AP
: Action Plan
CGEM
: General Confederations of Morocco‟s Enterprises
CSF
: Civil Society Facility
CSO
: Civil Society Organization
EMP
: Euro-Mediterranean Partnership
ENP
: European Neighborhood Policy
ENPI
: European Neighborhood Partnership Instrument
GUMW
: General Union of Moroccan Workers
NIS
: Newly Independent States
NGO
: Non-Governmental Organization
PAM
: Party of Authenticity and Modernity
PCA
: Pre-Accession Assistance
PJD
: Justice and Development Party
RNI
: National Rally of Independents
SPRING
: Support for Partnership, Reforms and Inclusive Growth
SUPF
: Socialist Union of Popular Forces
UE
: Uni Eropa
UfM
: Union for Mediterranean
WDC
: Workers Democratic Confederation
WFD
: Westminster Foundation for Democracy
viii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
Tabel Tabel I.A.1. Morocco‟s National Indicative Programme 2011-2013...................10 Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko..................................................45 Tabel II.B.1. Komponen Utama Action Plan EU-Maroko...................................60 Tabel III.C.1. Rincian Dana Program SPRING....................................................66 Tabel III.C.2. Rincian Dana Untuk Program Tematik..........................................69 Bagan Bagan IV.1. Operasionalisasi Kerangka Pemikiran..............................................86
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI....................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.....................................................iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv ABSTRACT ............................................................................................................v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... viii DAFTAR TABEL DAN BAGAN ....................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A.
Latar Belakang Penelitian ............................................................................1
B.
Pertanyaan Penelitian .................................................................................11
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................12
D.
Tinjauan Pustaka ........................................................................................13
E.
Kerangka Pemikiran ...................................................................................16 1. Konstruktivisme .....................................................................................17 2. Promosi Demokrasi ................................................................................21 3. Kondisionalitas.......................................................................................26
F.
Metode Penelitian.......................................................................................30
G.
Sistematika Penulisan.................................................................................31
BAB II DEMOKRATISASI DI MAROKO ......................................................32 A.
Pemisahan Kekuasaan..............................................................................33 1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........33 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............36
x
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................38 B.
Penguatan Peran Parlemen .......................................................................40 1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........40 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............42 3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................44
C.
Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi ................................................................................................47 1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........47 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............49 3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................51
BAB III EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (KEBIJAKAN EROPA UNTUK NEGARA TETANGGA) DI MAROKO.............................55 A.
Pengertian European Neighborhood Policy (ENP).................................56
B.
Landasan Kerjasama Uni Eropa-Maroko dalam Kerangka ENP.............58
C.
Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP (20112013)........................................................................................................61 1. Bidang Pemisahan Kekuasaan.............................................................63 2. Bidang Penguatan Peran Parlemen......................................................64 3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi.....................................................................66
BAB IV ANALISIS PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (ENP) TAHUN 2011-2013 .....................................................................71 A.
Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas Kolektif ...................................................................................................71
B.
Promosi Demokrasi UE di Maroko Dalam Kerangka ENP Sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi..............................................75
xi
C.
Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di Maroko.....................................................................................................78
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................87 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................90
xii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Uni Eropa (UE) adalah salah satu aktor internasional yang paling aktif mempromosikan demokrasi kepada negara-negara tetangganya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Uni Eropa terus berusaha memperluas nilai-nilai politik dan ekonominya, tidak hanya kepada negara-negara di kawasan Eropa, tetapi juga negara-negara di luar kawasan Eropa. 1 Uni Eropa sendiri relatif masih dikenal sebagai „young promoter of democracy‟ (promotor muda demokrasi) dalam hubungan eksternalnya, 2 karena UE baru benar-benar menjadi lebih aktif dalam mempromosikan demokrasi setelah runtuhnya Uni Soviet, ketika 15 negara tetangganya meraih kemerdekaan dan terjadi perubahan demokratis di negara-negara tersebut.3 Meningkatnya keinginan UE dalam mempromosikan demokrasi kepada negara-negara tetangganya di kawasan Eropa kemudian mendorong UE untuk membentuk beberapa strategi promosi demokrasi kepada negaranegara tetangganya di kawasan ini, salah satunya melalui European
1
Megan Leahy, “A New Tool for Democratization within the European Neighborhood Policy: The “Advanced Status” Program in Morocco”, (Paper Akademik, University of North Carolina, North Carolina, 2011), hlm.1 2 Günther Guggenberger, “Symbolic actions or effective endeavours? The EU‟s activities to promote democracy in Ukraine, Moldova and Belarus.” European Union and its New Neighborhood: Addressing Challenges and Opportunities, ed. Jolanta Grigaliunaité and Sarunas Liekis (Vilnius: Demokratiezentrum Wien, 2006), hlm. 87 3 Maria Vizdoaga, “The effectiveness of the EU policies in promoting democracy in Moldova,” (Tesis, Leiden University, 2013), hlm. 11
1
2
Neighborhood Policy (ENP).4 ENP adalah strategi politik UE yang secara luas bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan, stabilitas, dan keamanan negaranegara tetangga Eropa guna menghindari munculnya garis pembatas antara UE yang diperluas (Enlarged EU) dengan negara-negara tetangga yang berbatasan secara langsung dengan UE.
5
Adapun menurut dokumen
Copenhagen European Council pada Desember 2002, ENP juga bertujuan mempromosikan Nilai-nilai Eropa (European Values), dimana UE harus mempromosikan kerjasama regional dan sub-regional serta integrasi yang dikondisikan untuk stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan penurunan tingkat kemiskinan.6 Sejak tahun 2004, lingkup ENP mencakup 16 negara
7
, dan
keanggotaannya didominasi oleh negara-negara Eropa. 8 ENP dalam jangka pendek dijalankan melalui Perjanjian Asosiasi (Association Agreement) antara UE dengan negara mitra, sedangkan dalam jangka panjang dilaksanakan melalui Rencana Kerja (Action Plan). 9 Adapun dana atau
4
Ibid, hlm. 42 European Neighborhood and Partnership Instrument, http://eeas.europa.eu/enp/index_en.htm, diakses pada 17 Maret 2014. 6 Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de Sciences Po. No. 02 (2006), hlm. 2 7 12 Negara telah menyetujui ENP Action Plans, yaitu Armenia, Azerbaijan, Mesir, Georgia, Israel, Yordania, Lebanon, Moldova, Maroko, Palestina, Tunisia, dan Ukraina; Satu negara dalam proses negosiasi Action Plans, yaitu Aljazair; dan tiga negara berada diluar sebagian besar struktur ENP, yaitu Belarusia, Libya, dan Suriah 8 Richard G. Whitman dan Stefan Wolff, “Much Ado About Nothing? The European Neighborhood Policy in Context,” The European Neighborhood Policy in Perspective: Context, Implementation and Impact, ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff (New York: Palgrave Macmillan, 2010), hlm. 3 9 Simon Rosenkӧtter, “Assessing The Impact of EU Neighborhood Policies on Democratization in Morocco and Egypt,” (Skripsi, Universiteit Twente, 2011) hlm. 5 5
3
insentif yang diberikan kepada negara anggota diatur dalam European Neighborhood and Partnership Instrument (ENPI). Pada dasarnya ENP dibentuk untuk membantu negara-negara tetangga di sebelah Timur (Eastern Neighbours) UE, yang tengah berupaya menuju demokrasi dan berjuang untuk menjadi anggota baru UE. Keberhasilan ENP dalam promosi demokrasi di beberapa negara Eastern Neighbours seperti Moldova dan Ukraina, yang keduanya kemudian masuk menjadi anggota UE, kemudian mendorong UE untuk juga melaksanakan promosi demokrasi ke negara-negara tetangga di sebelah Selatan (Southern Neighbours).10 Salah satu negara Southern Neighbours yang menjadi prioritas UE dalam mempromosikan demokrasi melalui ENP adalah Maroko.11Prioritas UE terhadap Maroko didorong oleh beberapa faktor dan kepentingan, diantaranya bahwa secara tradisional Maroko adalah negara yang memiliki hubungan paling dekat Eropa, terutama dengan dua negara anggota UE, Spanyol dan Perancis.12 Karena kedekatan geografis, dua negara Mediteranian UE tersebut fokus pada kontrol imigran dari Afrika, keamanan regional, perdagangan bebas, dan hak perikanan dengan Maroko.13 Selain itu, Maroko juga menjadi mitra utama UE dalam memerangi terorisme, terutama karena Maroko terkena 10
Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, (Agustus 2011) [jurnal online]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17 Januari 2014. 11 Ibid, hlm. 3 12 Carl Dawson, EU Intergration With North Africa: Trade Negotiations and Democracy Deficits in Morocco (London: IB Tauris & Co. Ltd, 2009), hlm. 51 13 Kristina Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?, ed. Richard Youngs (Spain: FRIDE, 2008), hlm. 13-14
4
imbas kekerasan politik dan terorisme di Aljazair. 14 Adapun dalam bidang energi, UE sangat membutuhkan Maroko sebagai alternatif penyuplai energi ke Eropa Barat, seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia dan memburuknya hubungan UE-Rusia. Maroko juga diharapkan dapat menjadi negara transit gas dari Aljazair ke Eropa.15 Maroko sendiri sejak Raja Mohammed VI berkuasa, memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan demokratisasi. Beberapa reformasi dilaksanakan oleh Raja Mohammed VI diantaranya adalah mendirikan Equity and Reconciliation Commission (IER) sebagai komisi HAM, adopsi hukum status liberal personal (Moudwana), dan National Human Development Initiative (INDH). 16 Reformasi ini yang kemudian mendorong UE untuk memberikan Advanced Status kepada Maroko sebagai negara dengan progres demokratisasi yang baik pada Oktober 2008. Maroko menjadi negara ENP pertama yang mendapatkan status ini.17 Kepentingan UE, serta komitmen dan reformasi demokrasi Maroko tersebut yang kemudian menjadikan Maroko sebagai prioritas promosi demokrasi UE melalui ENP di kawasan Southern Neighbours. Maroko bergabung dalam ENP sejak tahun 2004, dan merupakan salah satu negara yang pertama kali menandatangani Action Plan. Pada masa awal 14
Ian O. Lesser, Geoffrey Kemp, Emiliano Alessandri, dan S. Enders Wimbush, “Morocco‟s New Geopolitics: A Wider Atlantic Perspective,” GMF Wider Atlantic Series (Washington DC: The German Marshall Fund of the United States, 2012), hlm. 13 15 Loc.Cit, hlm. 15 16 Haim Malka dan Jon B. Alterman, “Arab Reform and Foreign Aid: Lessons from Morocco,” CSIS Significant Issues Series, Vol. 28, No. 4 (2006), hlm. 47 17 Kristina Kausch, “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?,” FRIDE Policy Brief, No. 43 (Maret 2010), hlm. 3
5
ENP di Maroko, yakni dari tahun 2006 sampai sebelum Revolusi Arab, Action Plan hanya meliputi bentuk kondisionalitas positif yang lemah dimana Maroko sebagai negara ENP, tergantung pada progres reformasi politik, ekonomi, dan institusionalnya (yang tidak didefinisikan secara jelas), diberikan akses ke pasar tunggal UE dan hubungan yang lebih erat dengan UE.18 Kebijakan promosi demokrasi UE dalam ENP di Maroko pada periode ini juga banyak dikritik karena dianggap tidak serius dan tidak konsisten dalam pelaksanaannya. Karena terlalu fokus pada keamanan dan perdagangan, beberapa kebijakan dalam aspek politik justru menjadi tidak tepat sasaran dalam pelaksanaannya.
19
Pemberian Advanced Status misalnya, hanya
bertujuan ekonomis dimana Maroko dapat masuk ke dalam pasar tunggal UE dengan hanya melaksanakan modernisasi dalam beberapa bidang seperti kebijakan publik, namun tidak melaksanakan reformasi dalam bidang politik, seperti reformasi kekuasaan Raja dan kekuasaan parlemen. 20 Maka, dapat dikatakan bahwa pada awalnya UE tidak serius mempromosikan demokrasi di negara ini, ENP dilaksanakan hanya sebagai alat untuk membangun hubungan baik dengan negara-negara Southern Neighbours, demi menjaga stabilitas kawasan.
18
Anna Khakee, “Assessing Democracy Assistance: Morocco”, Fride Project Report (Mei 2010), hlm. 3 19 Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?”, hlm. 16 20 Kausch, “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?, hlm. 3
6
Adapun pada masa awal bergabung dalam ENP, situasi demokrasi Maroko juga tidak mengalami banyak perubahan, khususnya dalam aspek reformasi politik. Sebagai negara semi otoriter, kehidupan politik Maroko ditandai dengan realitas demokrasi ganda. Secara formal, Maroko memang memiliki struktur dan institusi demokratis, namun secara informal struktur ini dibayangi oleh struktur pemerintahan yang disebut Makhzen, yaitu jaringan kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai penjaga segala bentuk reformasi politik. Sebagai akibatnya, reformasi politik di Maroko berjalan selektif dan superfisial.21 Terkait pembagian kekuasaan misalanya, konsentrasi kekuasaan di tangan Raja sama sekali tidak tersentuh oleh reformasi. Raja Maroko bertindak sebagai penjamin keteraturan politik sebagai dasar legitimasi relijius, kekuasaan absolut dan kekuasaan mempertahankan takhta.
22
Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan, dengan kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan legislatif dan yudikatif.23 Oleh karena tidak ada pembagian kekuasaan yang jelas, maka parlemen tidak memiliki kekuatan dan peran yang signifikan dalam pembangunan demokrasi Maroko. Meskipun memiliki sistem multipartai dan rutin melaksanakan pemilu legislatif, kerajaan mengesampingkan peran
21
Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood? hlm. 10 22 Dawson, hlm. 75 23 Loc. Cit, hlm. 11
7
parlemen. Akibatnya, partai-partai politik menjadi lemah dan parlemen lebih memilih melaksanakan keinginan kerajaan dan Makhzen, daripada keinginan konstituennya. Dalam proses reformasi demokrasi di Maroko, parlemen juga tidak memiliki peran.24 Selain masalah pembagian kekuasaan dan wewenang parlemen, terbatasnya kontrol dan pengaruh masyarakat sipil dalam politik dan pemerintahan Maroko juga menjadi permasalahan lain. Beberapa organisasi masyarakat sipil Maroko yang aktifitasnya terkait dengan isu-isu tabu seperti monarki, pemisahan kekuasaan, atau kemerdekaan Sahara Barat segera dihentikan melalui berbagai langkah hukum oleh pemerintah.25 Kondisi demokrasi Maroko yang demikian, juga tidak didukung dalam prioritas reformasi yang dicanangkan UE dalam program-program ENP pada periode tersebut. Isu-isu reformasi yang secara langsung berkenaan dengan kelemahan-kelemahan demokratis yang spesifik di Maroko, seperti lemahnya parlemen dan pemisahan kekuasaan yang tidak jelas, tidak ada dalam prioritas ENP di Maroko.
26
Pada periode 2007-2010 misalnya, dalam National
Indicative Programme ENP in Morocco 2007-2010 disebutkan bahwa prioritas ENP di Maroko hanyalah prioritas sosial, seperti dukungan kepada INDH dan kebijakan pendidikan; prioritas HAM, seperti mendukung Ministry of Justice dan impelementasi IER; prioritas ekonomi, seperti promosi investasi 24
Haim Malka dan Jon B. Alterman, hlm. 55 Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research Paper, Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3 26 Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 62 25
8
dan ekspor industri Maroko, pertanian, dan pembangunan infrastruktur; serta prioritas lingkungan, seperti memberikan dana bantuan untuk menanggulangi depolusi. Adapun demokrasi tidak ada dalam proritas program tersebut.27 Pergeseran prioritas UE dalam program-program ENP untuk secara „serius‟ mempromosikan demokrasi baru terjadi setelah Revolusi Arab (Arab Spring) yang melanda negara-negara ENP di Selatan seperti Mesir dan Tunisia pada tahun 2010. UE kemudian merespon Revolusi Arab salah satunya dengan menggeser fokus ENP dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan demokrasi. 28 Revolusi Arab menjadi momentum bagi UE untuk memulai promosi demokrasi dalam aspek politik di Southern Neighbours melalui ENP. Di Maroko sendiri, respon masyarakat dan oposisi Maroko terhadap gelombang protes anti-rezim ini berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang terdampak Revolusi Arab. Gerakan 20 Februari, muncul sebagai reaksi terhadap gelombang revolusi ini. Gerakan ini memobilisasi masyarakat Maroko secara nasional untuk menuntut perubahan sosial ekonomi, dan juga secara eksplisit menuntut perubahan politik, yaitu: “The realization of profound and radical constitutional and political changes to consolidate a democratic state built on strong institutions; the construction of a state based on the rule of law and a free and independent legal system with the aim of endowing the country with a political system of parliamentary monarchy.” “Realisasi perubahan konstitusional dan politik yang mendalam dan mendalam untuk mengkonsolidasikan sebuah negara demokratis yang dibangun dengan institusi yang 27
European Commission, ENPI Morocco: 2007-2010 National Indicative Programme. Maâti Monjib, “The “Democratization” Process in Morocco: Progress, Obstacles, and the Impact of the Islamist-Secularist Divide”, Working Paper, The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings Institution, No. 5, Agustus 2011, hlm. 5 28
9
kat; konstruksi negara didasarkan pada penegakan hukum serta sistem legal yang bebas dan independen dengan tujuan terbentuknya negara dengan sistem politik 29 monarki parlementer.”
Pemerintah Maroko kemudian merespon Gerakan 20 Februari dengan melaksanakan referendum publik untuk menetapkan konstitusi baru pada September 2011 yang memuat beberapa poin reformasi demokrasi dalam aspek politik, seperti pemberian kekuasaan dan independensi yang lebih luas kepada Perdana Menteri, badan legislatif, dan lembaga peradilan Maroko, serta pengakuan kesetaraan hak-hak wanita.30 Situasi Maroko yang „aman‟ dari Revolusi Arab dan kesadaran pemerintah
Maroko
untuk
memulai
perwujudan
demokrasi
dengan
melaksanakan reformasi keonstitusi 2011, mendorong UE untuk „melindungi‟ Maroko dengan mendukung reformasi demokrasi yang sudah dimulai di Maroko melalui kerjasama di bidang demokrasi yang lebih aktif dalam ENP.31 Dalam dokumen National Indicative Programme untuk tahun 20112013, terlihat jelas peningkatan dukungan UE untuk reformasi demokrasi Maroko, sebagaimana dirinci dalam tabel berikut:
29
Irene Fernandez Molina, “The Monarchy vs The 20 February Movement: Who Holds the Reins of Political Change in Morocco?” Mediterranean Politicsi, Vol. 16, No. 3 (Oktober 2011), hal. 436-437 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2011.614120; internet; diakses pada 16 Agustus 2014 30 Alexis Arieff, “Morocco: Current Issues” CRS Report for Congress, Congressional Research Service (20 Juni 2012) hlm. 1 31 Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 2
10
Tabel I.A.1. Morocco’s National Indicative Programme 2011-2013
Strategic axes
2007-2010 (updated) M€ %
2011-2013 (indicative) M€ %
296 45.3 116.1 20 Development of social policies 235 35.9 58.05 10 Economic modernization 65 9.9 232.2 40 Institutional support Good governance and human rights 8 1.2 87.07 15 50 7.6 87.07 15 Environment protection Total 654* 580.5 Sumber: http://ec.europa.eu/europeaid/where/neighbourhood/countrycooperation/morocco/morocco_e n.htm, di akses pada 17 Maret 2014
Dalam poin-poin prioritas di atas, bantuan untuk demokratisasi Maroko masuk kedalam poin good governance and human rights. Dalam tabel di atas, bantuan dalam poin tersebut meningkat dari 1,2 persen dana ENP menjadi 15 persen dana ENP. Secara spesifik, UE juga sudah melaksanakan program-program untuk proses demokratisasi Maroko melalui ENP, diantaranya dengan mengalokasikan dana sebesar tiga juta Euro untuk mendukung parlemen Maroko melalui program SPRING. 32 Penelitian ini berupaya menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko melalui ENP pada tahun 2011-2013. Penelitian ini juga lebih fokus pada strategi yang digunakan UE daripada motivasi UE dalam melaksanakan promosi demokrasi di Maroko. Proses promosi ini akan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme, dengan melihat promosi demokrasi sebagai bentuk transfer norma-norma demokrasi
32
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex (27 Maret 2014), hlm. 65
11
Uni
Eropa
ke
Maroko. Penulis juga
akan menggunakan konsep
kondisionalitas sebagai instrumen UE dalam melaksanakan transfer norma demokrasi ini. Penulis melihat bahwa bantuan dana (funding) dan bantuan teknis yang diberikan UE dalam program ENP di bidang demokrasi untuk Maroko sebagai bentuk kondisionalitas UE. B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Uni Eropa Mempromosikan Demokrasi di Maroko dalam Kerangka European Neighborhood Policy tahun 2011-2013?” Penelitian ini akan fokus pada proses promosi demokrasi UE di tiga area dalam level politik Maroko, yaitu reformasi bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko dalam pembangunan demokrasi. Dalam tiga area ini, aktor domestik yang akan diteliti adalah aktor negara (kerajaan dan parlemen Maroko) dan aktor non negara (organisasi masyarakat sipil Maroko). Adapun aktor internasional yang menjadi objek penelitian penulis adalah Komisi Eropa (European Commission) sebagai pelaksana dan pembuat ENP, organisasi internasional lain di Eropa yang bekerjasama dalam ENP, yaitu Council of Europe, dan perwakilan UE untuk negara-negara ENP di kawasan Mediterania, Union for the Mediterranean (UfM).
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko pada tahun 2011-2013. 2. Mengetahui bentuk kerjasama UE-Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy (ENP). 3. Mengetahui dinamika dan progres demokratisasi Maroko pada tahun 2011-2013 4. Mengaplikasikan teori konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan konsep kondisionalitas untuk menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013. Dengan adanya penelitian ini, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Menguji teori terkait tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013. 2. Menambah wawasan tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013. 3. Dapat dijadikan bahan informasi bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP.
13
D. Tinjauan Pustaka Telah terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan promosi demokrasi UE melalui kerangka ENP. Seperti dalam studi yang dikemukakan oleh Parmentier (2006), dalam artikel jurnal yang berjudul The European Neighbourhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can the EU Act Beyond Conditionality?. Dalam penelitian tersebut, Parmentier berusaha menjelaskan bagaimana proses difusi norma UE ke Ukraina melalui ENP dan menggunakan kondisonalitas sebagai alat UE dalam melaksanakan difusi norma demokrasi ini. Penelitian Parmentier ini juga melihat proses difusi norma demokrasi tersebut dalam perspektif perluasan UE di Eastern Neighbours. Adapun penelitian ini kemudian menemukan bahwa promosi demokrasi UE di Ukraina mendorong Revolusi Oranye (Orange Revolution) yang memulai reformasi demokrasi di Ukraina pada tahun 2004. Namun, penelitian ini menemukan bahwa bukan hanya kondisionalitas yang dterapkan oleh UE yang mendorong difusi norma dan terjadinya revolusi ini, akan tetapi ada faktor lain, yaitu dukungan UE kepada masyarakat sipil Ukraina dan keinginan masyarakat Ukraina sendiri untuk melaksanakan reformasi demokrasi. 33 Dari penelitian Parmentier, penulis juga menjelaskan proses transfer norma
demokrasi
UE
melalui
ENP
dengan
menggunakan
konsep
kondisionalitas. Namun penulis melihat proses ini di Southern Neighbours, dengan memfokuskan penelitian di Maroko pada tahun 2011-2013. Karena 33
Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de Sciences Po. (no. 02/2006)
14
fokus pada transfer norma demokrasi UE di Maroko yang termasuk dalam Southern Neighbours, maka proses ini tidak dilihat dari perspektif perluasan EU, melainkan dlihat dengan perspektif konstruktivisme. Dalam penelitian ini, penulis juga menjelaskan bahwa reformasi demokrasi di Maroko yang mendorong UE untuk melaksanakan promosi demokrasi di bidang politik Maroko, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, dalam studi yang dikemukakan oleh Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel (2011) dalam artikel jurnal yang berjudul Democracy promotion through functional cooperation? The case of the European Neighbourhood Policy. Studi tersebut membahas tentang sejauh mana dan dalam kondisi apa UE efektif dalam mentransfer norma-norma
pemerintahan
demokratis
kepada
negara-negara
ENP.
Penelitian ini melihat relevansi variabel-variabel negara dengan sektor kebijakan publik untuk efektifitas promosi pemerintahan demokratis UE di empat negara ENP, yaitu Moldova, Ukraina, Yordania, dan Maroko selama tahun 2004-2011. Penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel ini berusaha menjelaskan demokrasi di level sektoral seperti sektor kebijakan publik, dan bukan di level politik. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa transfer demokrasi lebih efektif di negara dengan aspirasi anggota dan liberalisasi politik yang lebih besar. Disebutkan juga bahwa negara-negara ENP Timur lebih efektif dalam transfer norma dibandingkan negara-negara
15
ENP Selatan sebab negara ENP Timur memiliki aspirasi anggota dan liberalisasi politik yang lebih tinggi.34 Sama seperti penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel tersebut, penulis juga menjelaskan kondisi yang mendorong UE untuk melaksanakan proses reformasi demokrasi melalui ENP di Maroko, yaitu adanya Revolusi Arab dan Reformasi Konstitusi 2011. Adapun analisis penelitian ini difokuskan dalam aspek politik (pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil). Selain dua penelitian di atas, ada beberapa tesis yang berkaitan dengan penelitian ini, di antaranya tesis yang ditulis oleh Eike Meyer, dari Potsdam University, Jerman, tahun 2007 dengan judul Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy. Dalam penelitian ini, Meyer membandingkan promosi demokrasi UE melalui EMP (Euro-Meditterranean Partnership) dan ENP (European Neighborhood Policy) dengan menganalisa berbagai instrumen untuk promosi demokrasi seperti kondisionalitas, dialog politik (diplomasi), dan instrumen positif. Tesis Meyer tersebut menggunakan perbandingan pendekatan struktural (structural approach) dengan pendekatan aktor-sentris (actor-centric approach), yang digunakan EU dalam ENP, dengan tahun penelitian dari 2004-2007.
34
Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, Agustus 2011 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17 Januari 2014.
16
Adapun penelitian Meyer tersebut menemukan bahwa promosi demokrasi UE dalam ENP, menggunakan pendekatan yang lebih aktif, dibandingkan dengan pendekatan promosi demokrasi UE dalam EMP. Meskipun perubahan yang dihasilkan tidak signifikan dan tidak beorientasi secara aktif untuk mereformasi kebebasan politis dan kekuasaan rezim kerajaan Maroko, akan tetapi di dalam ENP hubungan UE-Maroko lebih baik daripada di dalam EMP karena berhasil mendorong beberapa modernisasi di Maroko.35 Berdasarkan tesis di atas, penelitian ini juga akan menjelaskan promosi demokrasi UE di Maroko melalui ENP. Namun, penelitian akan difokuskan pada penjelasan proses dan strategi promosi demokrasi UE secara normatif yang dilihat melalui perspektif konstruktivisme dan hanya menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE. Adapun penelitian ini melihat bahwa promosi demokrasi yang dilaksanakan UE di Maroko berhasil menciptakan beberapa capaian penting dalam proses demokratisasi Maroko, yaitu reformasi di bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi Masyarakat Sipil dalam pembangunan demokrasi. E. Kerangka Pemikiran Berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013, studi ini mengacu pada 35
Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007)
17
pemahaman konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan konsep kondisionalitas. Penulis akan mengaplikasikan teori konstruktivisme sebagai perspektif dalam menjelaskan proses transfer norma demokrasi dari UE ke Maroko melalui ENP. Adapun konsep promosi demokrasi digunakan untuk menjelaskan proses promosi demokrasi di Maroko. Kemudian, konsep kondisionalitas digunakan sebagai instrumen strategi promosi demokrasi UE ke Maroko. a. Konstruktivisme Pemahaman konstruktivisme dalam penelitian ini penulis gunakan untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif. Penjelasan mengenai hal ini diawali dengan pemaparan konsep identitas dan norma dalam konstruktivisme yang menjadi landasan terbentuknya konsep sosialisasi norma. Konstruktivisme secara umum menekankan pada struktur normatif atau ideasional dalam mendefinisikan identitas setiap orang. 36 Menurut konstruktivisme, keyakinan atau norma bersama membentuk identitas yang bersifat relatif dan relasional. 37 Oleh sebab itu, menurut Wendt negara
36
sangat
mungkin untuk menciptakan identitas baru dan
Alexander Wendt, “Anarchy is what states make of it”, The MIT Press, Vol. 46, No. 2, (Spring 1992), hlm. 380. 37 Nilüfer Karacasulu dan Elif Uzgören, “Explaining Social Constructivist Contributions To Security Studies,” Perceptions Journal, (Summer-Autumn 2007) hlm. 29
18
mentransformasi peran internasional mereka, melalui interaksi yang terjadi dengan aktor lain.38 Terkait identitas, Wendt menyatakan bahwa kepentingan dan preferensi ditentukan oleh identitas aktor, karena pada dasarnya seorang aktor tidak bisa mengetahui keinginan aktor lain tanpa mengetahui siapa aktor tersebut. Pada bentuk yang paling sederhana, identitas berkaitan dengan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sebagai seseorang, bagaimana kita berpikir tentang orang lain di sekitar kita, dan bagaimana mereka berpikir tentang kita.39 Dengan demikian, menurut Wendt identitas pada dasarnya berakar dari pemahaman diri seorang individu dengan kualifikasi bahwa identitas tersebut harus dipahami orang lain dengan cara yang sama. 40 Wendt juga menyatakan bahwa tindakan seseorang terhadap suatu objek atau aktor lain didasarkan pada nilai dan norma yang dianut objek tersebut.41 Oleh karena itu, identitas menurut Wendt dapat dilihat secara kolektif bergantung pada bagaimana kepentingan aktor didefinisikan. Dalam bukunya, Social Theory, Wendt menjelaskan identitas kolektif sebagai identifikasi hubungan diri (self) dengan orang lain (others), dimana perbedaan antara diri dan orang lain menjadi kabur dan melewati seluruh
38
Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 40 39 Trine Flockhart, “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm.12-13 40 Ibid, hlm. 13 41 Ganjar Nugroho, “Constructivism and International Relations,” Global & Strategis, Th. II, No. 1, ( Januari-Juni 2008), hlm. 89
19
batas yang ada antara keduanya. Diri kemudian „dikategorikan‟ sebagai orang lain.42 Selain identitas, konstruktivisme juga berpegang pada konsep norma. Menurut Farrell, norma dilihat sebagai kepercayaan intersubjektif tentang dunia sosial, yang memiliki konsekuensi behavioral. Norma mendefinisikan standar kolektif atas apa yang menyusun perilaku (behaviour) aktor yang tepat dengan identitas yang dimilikinya. 43 Namun, meskipun norma membedakan benar dan salah, tetapi tidak menetapkan klaim perilaku individu. Norma juga berbeda dengan rule of law, karena norma dipatuhi bukan karena dipaksakan, tetapi karena norma dilihat sebagai apa yang menyusun perilaku dengan tepat.44 Terkait dengan konstruktivisme sebagai perspektif dalam melihat transfer norma demokrasi, Risse berpendapat bahwa peran sosialisasi norma-norma spesifik, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan frekuensi perubahan identitas individu sehingga identitas kolektif yang terbentuk dapat didasarkan pada norma tertentu.45 Hal ini diperkuat oleh pendapat Sedelmeier, bahwa norma-norma yang menjadi karakter identitas UE seringkali berdifusi dan tersosialisasi ke aktor lain, sehingga terbentuk identitas kolektif antara UE dan aktor tersebut.46
42
Zehfuss, hlm. 56 Flockhart, hlm. 13-14 44 Ibid, hlm. 14 45 Ibid, hlm. 13 46 Ulrich Sedelmeier, “Collective Identity,” Contemporary European Foreign Policy, ed. Walter Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White (London: SAGE Publication Ltd, 2004), hlm. 124 43
20
Selain untuk membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada norma tertentu, konstruktivisme juga melihat bahwa sosialisasi norma spesifik
dapat
mengasumsikan
karakter
struktur
dalam
institusi
internasional, dimana kemudian norma yang disosialisasikan dapat membentuk perilaku negara dan bahkan membentuk identitas dan kepentingan aktor. 47 Lebih lanjut, Risse juga menyatakan bahwa salah satu cara terpenting dalam mengenalkan norma baru adalah tekanan eksternal yang secara perlahan membentuk reformasi negara dan diperkuat oleh perubahan kepercayaan aktor domestik yang mendukung dan berusaha mengatur transformasi negara.48 Asumsi bahwa sosialisasi norma spesifik oleh aktor internasional dapat merubah perilaku norma aktor domestik juga sesuai dengan pendapat Koslowski dan Kratochwil, bahwa perubahan praktik-praktik politik aktor domestik terjadi karena aktor eksternal merubah aturan dan norma yang membangun interaksi internasional. Perubahan tersebut terjadi ketika kepercayaan dan identitas aktor domestik berubah, sehingga kemudian merubah perilaku aktor domestik tersebut.49 Dalam penelitian ini, norma spesifik yang disosialisasikan adalah norma demokrasi. Oleh karena itu, penjelasan mengenai sosialisasi norma ini penulis kaitkan dengan konsep promosi demokrasi, yang dilihat baik
47
Ibid Jean Grugel, “The „International‟ in Democratization: Norms and the Middle Ground,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 3 49 Ibid 48
21
secara umum maupun melalui perspektif konstruktivisme sebagai landasan kerangka pemikiran dalam penelitian ini. b. Promosi Demokrasi Pada sub bab ini penulis memaparkan tentang demokrasi, proses demokratisasi, dan konsep promosi demokrasi. Konsepsi dan definisi demokrasi digunakan untuk memahami terjadinya proses demokratisasi yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam menjelaskan konsep promosi demokrasi. Sejak lama, definisi demokrasi telah banyak didiskusikan, dan definisi demokrasi yang paling berkembang selalu merujuk pada konsep demokrasi liberal. Seperti definisi demokrasi yang diungkapkan oleh Robert Dahl: “Seluruh rezim politik yang menjamin partisipasi nyata dari populasi pria dan wanita secara luas, serta adanya kemungkinan untuk bertentangan dengan 50 pemerintah, dapat diakui sebagai demokrasi”.
Adapun
secara
umum
dan
paling
sederhana,
demokrasi
didefinisikan oleh Lavenex dan Schimmelfennig sebagai akuntabilitas otoritas publik kepada rakyat. Mekanisme akuntabilitas terdiri atas akuntabilitas pejabat negara terhadap pemilih melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, akuntabilitas pemerintah terhadap parlemen, atau akuntabilitas lembaga negara terhadap pengamatan publik.51
50
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 5-6 51 Sandra Lavenex dan Frank Schimmelfennig, “EU democracy promotion in the neighbourhood: from leverage to governance?,” Democratization, Vol. 18, No. 4 (2011), hlm. 888 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584730; internet; diakses pada 7 Oktober 2014
22
Adapun demokratisasi, sebagaimana diungkapakan oleh Morlino, adalah proses terbuka dan merupakan hasil interaksi faktor internal dan eksternal. Proses ini dapat diartikan sebagai transisi dari rezim politik non-demokratis yang otoriter menjadi rezim demokratis, dimana rezim telah kehilangan beberapa aspek fundamental sebagai rezim otoriter dan belum memiliki karakter baru akan rezim yang hendak dibangun. Kemudian negara secara perlahan munuju proses pembangunan (perluasan
dan
pemahaman
standar
demokrasi),
konsolidasi
(pendefinisian dan adaptasi struktur norma dari rezim demokratis yang berbeda), krisis, atau peningkatan kualitas yang demokratis..52 Sementara itu, menurut Schmitz dan Sell, demokratisasi dipahami sebagai proses perubahan rezim yang memiliki tujuan spesifik yaitu pembentukan dan stabilisasi demokrasi substantif53. Oleh karena itu, hasil akhir demokratisasi adalah perluasan hak-hak yang penting bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, demokratisasi adalah proses yang terus menerus terjadi.54 Demokratisasi, menurut Kamp, yang mengutip pernyataan beberapa peneliti seperti Grugel dan Nielinger, merupakan hasil dari
52
Leonardo Morlino, Democracy and Democratization (Bologna: Il Mulino, 2003), hlm. 12 Demokrasi substantif adalah bentuk demokrasi yang menggabungkan konotasi idealistik, termasuk kontrol rakyat terhadap kebijakan, pemerintah yang bertanggung jawab, pertimbangan rasional, dan kebajikan warga negara lainnya. Demokrasi substantif merupakan pembangunan budaya demokrasi dari aspek-aspek teknis yang telah terbangun. 54 Hans Peter Schmitz dan Katrin Sell, International Factors in Processes of Political Democratization: Towards a Theoretical Integration, (2000); Jean Grugel, Democracy without Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies (London/New York, 2000) hlm 23-41, dalam Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm. 9 53
23
berbagai faktor internal dan eksternal. Proses demokratisasi utamanya adalah hasil dari tekanan dan pembangunan internal yang kompleks. Namun, faktor eksternal atau internasional juga memiliki dampak terhadap proses demokratisasi. Faktor-faktor eksternal ini diantaranya tren internasional, kekuatan milter, diplomasi atau bantuan luar negeri.55 Berdasarkan definisi demokratisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa demokratisasi terjadi salah satunya karena ada promosi demokrasi dari aktor eksternal. Menurut Sandschneider, promosi demokrasi oleh aktor eksternal adalah seluruh usaha aktor eksternal dalam merubah pola keteraturan politik dan pembuatan kebijakan dalam negara yang menjadi target, sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan demokratis. 56 Adapun bila merujuk kembali pada definisi demokrasi menurut Lavenex dan Schimmelfennig, promosi demokrasi juga dapat diartikan sebagai segala aktifitas yang dibentuk untuk memperkuat akuntabilitas dan pemahaman pemerintah terhadap masyarakat.57 Sementara
itu
dalam
perspektif
konstruktivisme,
promosi
demokrasi menurut Risse dapat dijelaskan secara normatif atau dilihat sebagai bentuk transfer norma. Transfer norma ini terjadi karena negaranegara yang sudah demokratis menginginkan penyebaran norma-norma demokrasi kepada negara-negara yang belum demokratis. Sebab, semakin 55
Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm. 9 56 Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of International Affairs, Vol. 4 (3) (Summer 2010), hlm. 198 57 Lavenex dan Schimmelfennig, hlm. 888
24
demokratis negara mitra, maka negara yang telah demokratis akan lebih mudah menghidupkan situasi demokrasi dengan membangun hubungan internasional
yang
didasarkan
pada
kerjasama
dan
saling
percaya. 58 Menurut Risse-Kappen, norma tidak dapat berpindah secara bebas kepada satu aktor atau agen sosial, tetapi harus dipromosikan oleh seseorang dan kondisi yang demikian lebih kondusif dalam promosi dan penerimaan norma dibandingkan cara yang lain.59 Dalam konstruktivisme, proses promosi demokrasi adalah bentuk sosialisasi norma internasional. Adapun Barnes menyebutkan definisi sosialisasi norma sebagai induksi anggota baru ke dalam cara berperilaku yang diharapkan dalam masyarakat. Tujuan dari proses sosialisasi menurut Risse adalah agar mereka yang tersosialisasi dapat mengadopsi dan menginternalisasi seperangkat norma sehingga tekanan eksternal tidak lagi dibutuhkan.60 Trine Flockhart kemudian membedakan strategi sosialisasi norma menjadi dua: 1.
Melalui strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement)
58
Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion? Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010), hlm. 7 59 Ibid 60 Flockhart, hlm. 15
25
Dalam
strategi
ini,
pembentukan
perilaku
pro-norma
dilaksanakan melalui distribusi imbalan dan hukuman (rewards and punishments) sosial. Strategi ini menggunakan berbagai imbalan, mulai dari imbalan psikologis seperti menaikkan status kemitraan hingga imbalan materi. Strategi ini mengasumsikan bahwa aktor-aktor yang menjadi target diharapkan mampu mencapai tujuan tertentu dalam proses perubahan norma.61 Menurut Schimmelfennig, strategi ini dapat dilaksanakan melalui kondisionalitas dengan imbalan-imbalan yang didistribusikan ketika kondisi-kondisi yang disyaratkan dapat terpenuhi. Namun demikian, secara negatif strategi ini juga dapat menggunakan hukuman seperti penghinaan di hadapan publik, dikeluarkan dari keanggotaan organisasi, atau pengangguhan imbalan materi yang dijanjikan.62 2. Melalui strategi persuasi Stretegi ini berusaha mendorong perilaku yang konsisten terhadap norma, dan dilaksanakan melalui proses interaksi sosial yang meliputi perubahan perilaku tanpa menggunakan tekanan materi atau mental.63 Proses persuasi lebih mendalam daripada strategi pengaruh sosial, dan memiliki efek yang lebih baik dalam merubah perilaku dan keyakinan aktor yang menjadi target dalam kondisi tertentu.
61
Trine Flockhart, “Complex Socialization and the Transfer of Democratic Norms,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 48 62 Ibid 63 Ibid
26
Berbeda dengan pengaruh sosial yang hanya dijalankan di area publik, persuasi dapat dijalankan di area privat, seperti forum dialog atau diplomasi, dimana persuasi merupakan proses debat dan mempertahankan argumen. Jeffrey Checkel menyatakan bahwa efektifitas persuasi terjadi bila negara target secara kognitif termotivasi untuk menganalisa informasi baru yang dipersuasikan. Oleh karena itu, persuasi lebih cocok digunakan untuk mempengaruhi level elit atau negara daripada level nasional atau rakyat.64 Adapun dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan strategi sosialisasi berupa pengaruh sosial atau reinforcement yang diwujudkan dalam konsep kondisionalitas. c. Kondisionalitas Secara umum, kondisionalitas dilihat sebagai metode yang menjelaskan hubungan logis antara dua aktor atau lebih. Kondisionalitas juga dapat didefinisikan sebagai persetujuan antara dua aktor, dimana aktor pertama menawarkan imbalan kepada aktor kedua, bila aktor kedua memenuhi kondisi tertentu. 65 Kondisionalitas juga dipahami sebagai norma dalam persetujuan internasional. Menurut Killick, kondisionalitas adalah, “seperangkat peraturan yang saling mengatur, yang diambil oleh satu pemerintahan, baik melalui janji-janji maupun kebijakan yang nyata,
64 65
Ibid, hlm. 49 Reinhard, hlm. 200
27
dalam rangka mendukung institusi keuangan internasional atau agensi lain yang menyediakan bantuan keuangan dalam jumlah tertentu”.66 Kondisionalitas didasarkan pada asumsi bahwa bantuan akan menghasilkan progres dan pertumbuhan kumulatif yang dapat mendorong terwujudnya reformsi dan menciptakan dukungan politik. Adapun dukungan politik akan memudahkan pelaksanaan reformasi.67 Sebagai
sebuah
konsep,
kondisionalitas
dapat
dibedakan
berdasarkan tiga aspek utama: 1. Berdasarkan waktu pemenuhan kondisi yang disyaratkan Kondisionalitas dibedakan menjadi dua, yatiu Ex Post Conditionality dan Ex Ante Conditionality. Ex Post Conditionality memiliki bentuk seperti hukum internasional, dimana kondisi yang diharapkan dalam perjanjian dapat terwujud setelah ratifikasi perjanjian. Sedangkan Ex Ante Conditionality mengharuskan kondisi yang diinginkan dalam perjanjian dapat dipenuhi atau sedang dalam proses perwujudan sebelum perjanjian ditandatangani.68 2. Berdasarkan jumlah negara yang melaksanakan kondisionalitas Kondisionalitas dapat bersifat unilateral, yaitu dilakukan oleh satu negara, seperti AS dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin di negara-negara sekutunya masing-masing, maupun multilateral, seperti 66
Viljar Veebel, “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre-accession Process”, TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3 (2009), hlm. 208 67 Ibid, hlm. 208-209 68 Ibid, hlm. 209
28
yang dilaksanakan oleh UE, NATO, atau OSCE, sebagai satu komunitas atau organisasi multinegara di negara-negara anggotanya maupun negara-negara tetangganya.69 3. Berdasarkan sifatnya Kondionalitas pada hakikatnya dapat bersifat negatif maupun positif. Kondisionalitas negatif bertujuan mempengaruhi situasi yang ada (rezim perdagangan, ekonomi, politik), yang dijanjikan atau ditekan untuk dirubah, bila negara target tidak memenuhi persyaratan atu kriteria tertentu. Kondisionalitas negatif meliputi sanksi berupa pengurangan, penundaan, atau pemberhentian imbalan jika negara target tidak memenuhi kondisi yang disyaratkan.70 Sebaliknya, kondisionalitas positif memiliki sifat ex ante. Oleh sebab itu, kondisionalitas positif tidak hanya memuaskan satu pihak saja (penekan) tetapi juga memotivasi pihak lain untuk merubah situasi yang ada. Pengaruh yang diberikan biasanya didasarkan pada janji aktor penekan untuk memberikan insentif tertentu, ketika negara target mampu memenuhi kondisi yang diinginkan. Menurut Fierro, Kondisionalitas positif dapat efektif apabila keuntungan yang
69
Ibid Karen E. Smith, “Engagement and conditionality: incompatible or mutually reinforcing?,” Global Europe Report 2: New Terms of Engagement, ed. Richard Youngs (London: The Foreign Policy Centre and The British Council, 2005) hlm. 23
70
29
dijanjikan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan negara target untuk memenuhi kondisi yang disyaratkan. 71 Sementara itu, dalam perspektif konstruktivisme kondisionalitas yang dilakukan oleh UE dapat dipahami sebagai bentuk norma UE sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Karen Smith bahwa cara UE melaksanakan kondisionalitas membuktikan signifikansi norma atau keyakinan bersama dalam kebijakan luar negeri. Kondisionalitas itu sendiri adalah norma, sikap standar, yang „berkompetisi‟ dengan kepentingan yang lain. 72 Adapun dalam perspektif konstruktivisme, kondisionalitas merupakan instrumen promosi demokrasi yang merupakan perwujudan dari strategi pengaruh
sosial
(social
influence)
atau
penguatan
dukungan
(reinforcement). Dalam mengaplikasikan kondisionalitas, aktor sosial mengunakan mekanisme pengaruh sosial atau penguatan dukungan untuk merubah perilaku aktor lain.73 Pengaruh sosial atau penguatan dukungan adalah bentuk dari kontrol sosial dimana aktor yang pro perilaku sosial akan diberi imbalan dan yang anti-perilaku sosial akan dihukum. Diharapkan setelah masa tertentu, aktor yang ditargetkan oleh strategi tersebut akan tunduk pada perilaku sosial yang sesuai sehingga tidak akan dihukum dan akan terus
71
Ibid Karen E. Smith, “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third Countries: How Effective?”,(ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) hlm. 3 73 Frank Schimmelfennig, “The EU: Promoting Liberal-Democracy through Membership Conditionality,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 107 72
30
diberi imbalan. Pada akhirnya, pengaruh sosial atau penguatan dukungan yang sukses akan menjadikan negara target terus mengikuti norma.74 F. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Dalam menyusun penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research) atau dokumentasi, dimana penulis melakukan penelaahan literatur dan referensi dari berbagai data sekunder yang bersumber dari buku-buku dan jurnal yang penulis dapatkan dari beberapa lokasi, yaitu: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Utama Universitas Indonesia. Selain dari perpustakaan, penulis juga mengakses buku-buku dan jurnal elektronik dari beberapa website, seperti Taylor and Francis, Jstor, dan Pro Quest. Penulis juga menelaah dokumen dan laporan ENP yang diakses dari website resmi European Commission, EU External Action Service serta website Kementerian Luar Negeri dan Parlemen Maroko. Setelah melakukan penelaahan
literatur,
penulis
melakukan
analisa
penelitian
dengan
mengklasifikasi data dan referensi yang didapat untuk kemudian difokuskan pada proses promosi demokrasi ENP di Maroko, dengan menganalisa tiga aspek politik di Maroko yaitu pembagian kekuasaan, penguatan peran parlemen dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko.
74
Ibid
31
G. Sistematika Penulisan BAB I
Pendahuluan A. B. C. D. E. F. G.
BAB II
Latar Belakang Penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka Kerangka Teori Metode Penelitian Sistematika Penulisan
Demokratisasi di Maroko A. Pemisahan Kekuasaan B. Penguatan Peran Parlemen C. Penguatan Peran Organisasi Pembangunan Demokrasi
Masyarakat
sipil
Dalam
BAB III European Neighborhood Policy (Kebijakan Eropa Untuk Negara Tetangga) Di Maroko A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP) B. Landasan Kerjasama UE-Maroko Dalam Kerangka ENP 2011-2013 C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP (2011-2013) 1. Bidang Pemisahan Kekuasaan 2. Bidang Penguatan Peran Parlemen 3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan Demokrasi BAB IV
Analisis Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka European Neighborhood Policy Tahun 2011-2013 A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas Kolektif UE B. Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di Maroko
BAB V
Kesimpulan
BAB II DEMOKRATISASI DI MAROKO Sebagai negara monarki di kawasan Timur Tengah dengan kultur otoritarian yang sangat kuat, proses demokratisasi di Maroko mengalami pasang surut sejak negara ini merdeka pada tahun 1956. Sejak meraih kemerdekaan Maroko sesungguhnya telah mengadopsi sistem pemerintahan demokratis dengan bentuk negara monarki konstitusional, sistem multipartai, dan pemilu parlemen yang rutin dilaksanakan. Akan tetapi, perebutan kekuasaan politik antara partaipartai politik dengan kerajaan kemudian menghambat keterbukaan sistem politik di Maroko. Tercatat Maroko telah melaksanakan amandemen konstitusi sebanyak enam kali sejak tahun 1956.
75
Namun demikian, faktor eksternal seperti
penyebaran norma demokrasi oleh aktor internasional seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat, serta faktor internal seperti tuntutan masyarakat sipil Maroko akan proses demokratisasi dalam pemerintahan Maroko, kemudian mendorong Maroko untuk memulai proses demokratisasi yang lebih nyata dalam aspek politik. Dalam bab ini penulis akan memaparkan proses demokratisasi di Maroko dalam aspek-aspek politik yang penting bagi demokrasi Maroko, yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pemisahan kekuasaan yang jelas, dengan tidak adanya dominasi kekuasaan oleh eksekutif, legislatif, atau 75
Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elites and Struggles for Power in The Post-Independence State (New York: Routledge, 2007), hlm. 34
32
33
yudikatif akan memudahkan berjalannya reformasi demokrasi. Hal ini kemudian akan mendorong penguatan peran parlemen, dimana reformasi demokrasi yang dijalankan bisa mendapatkan kontrol yang jelas dari legislatif. Sementara itu, bila negara menginginkan proses reformasi demokrasi yang transparan dan inklusif harus juga memberdayakan rakyatnya. Masyarakat sipil menjadi forum bagi rakyat yang memiliki kepentingan bersama, serta dapat menjadi pemicu demokratisasi yang potensial. Sebab, pergerakan masyarakat sipil dapat membentuk kebijakan pemerintah dan perilaku sosial, sehingga dapat bermuara pada demokrasi.76 Demokratisasi adalah landasan bagi promosi demokrasi. Oleh karena itu, dengan melihat proses demokratisasi dalam tiga aspek politik dalam demokrasi Maroko tersebut, proses promosi demokrasi yang dianalisa dalam penelitian ini akan memiliki landasan yang jelas. Adapun dalam penjelasan mengenai reformasi dan proses demoratisasi di tiga aspek tersebut, penulis akan membagi uraian dalam tiga periode, yaitu periode awal transisi demokrasi – reformasi konstitusi 1996, pasca reformasi konstitusi 1996- reformasi konstitusi 2011, dan periode pasca reformasi konstitusi 2011-Desember 2013. A. Pemisahan Kekuasaan 1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996 Proses demokratisasi secara nyata di Maroko baru dilaksanakan pada awal tahun 1990-an, yang disebut sebagai „periode transisi 76
Tasniem Anwar, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork, “The State and Capacity of Civil Society,” Zeytun Research Paper, Morocco Program 2012-2013, University of Amsterdam (2013), hlm. 43
34
demokrasi‟, dimana rezim Maroko melaksanakan reformasi politik untuk pertama kali sejak tahun 1960-an.77 Periode transisi demokrasi di tahun 1990-an kemudian menjadi periode perubahan politik yang paling besar dalam sejarah Maroko pasca kemerdekaan. Periode ini ditandai dengan adanya dua perubahan konstitusional dan referendum rakyat pada tahun 1992 dan 1996, juga dua pemilihan legislatif pada tahun 1993 dan 1997.78 Perubahan ini pada akhirnya mempengaruhi kerangka politik Maroko menjadi lebih demokratis sekaligus lebih otoriter di saat yang bersamaan. 79 Raja Hasan II yang berkuasa pada periode ini, berusaha melakukan rekonsiliasi dengan oposisi tradisionalnya, sekaligus tetap mempertahankan dominasi kerajaan. Hal ini dipicu oleh situasi yang tidak menguntungkan kerajaan, dimana terjadi protes besar-besara karena keterlbatan Maroko dalam Perang Teluk, sekaligus meningkatnya kekuataan oposisi utama, Partai Istiqlal dan USFP. Akibatnya, beberapa reformasi yang dilakukan pemerintah Maroko sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 1990-an, nyatanya tidak pernah menyentuh kekuasaan penuh yang dipegang Kerajaan.80 Sebenarnya, reformasi konstitusi 1992 memberi dasar bagi pemerintahan Maroko yang lebih akuntabel, diantaranya dengan memberi hak bagi Perdana Menteri untuk memilih menteri dan membentuk 77
Maati Monjib, “The „Democratization‟ Process in Morocco: Progress, Obstacles, and The Impact of The Islamist-Secularist Divide,” Working Paper The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings Institution, No. 5 (Agustus 2011), hlm. 4 78 James Nadim Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (New York: Routledge, 2007) hlm. 84 79 Ibid 80 Storm, hlm. 54-55
35
kabinet, yang sebelumnya menjadi hak penuh Raja. 81 Reformasi ini sesungguhnya hanya memberi kekuasaan semu bagi Perdana Menteri dan Partai Politik, karena di saat yang sama Raja memperkuat posisi Kerajaan dengan mempengaruhi partai politik agar tunduk kepada jaringan kerajaan (Makhzen), sehingga secara keseluruhan, pemerintahan tetap berada dalam kontrol Kerajaan. Salah satu capaian penting di awal periode transisi demokrasi ini adalah Raja Hassan II berupaya membentuk sistem perwakilan (alternance)
dalam
pemerintahan
Maroko
guna
memulai
proses
demokratisasi. Salah satu caranya adalah dengan mempersatukan oposisi tradisional, yaitu blok demokratis Koutla ke dalam pemerintahannya. Pada awalnya reformasi ini diharapkan mampu mewujudkan pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, karena selama ini hubungan Kerajaan dengan Koutla tidak berjalan dengan baik.82 Namun demikian, hubungan baik yang berusaha dijalin ini berakhir pada Januari 1995, ketika Raja Hassan II dianggap tidak konsisten untuk mempertahankan sistem perwakilan ini dengan menunjuk seorang teknokrat tanpa afiliasi politik sebagai Perdana Menteri. Kerajaan berusaha melanjutkan negosiasi dengan Koutla sebagai usaha agar oposisi tetap mendukung suksesi takhta Kerajaan dari Raja Hassan II kepada putranya, 81
Martina Warning, “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the Democratization Impact of the European Union in Morocco and Turkey,” CIRES Working Paper Series, WP4 (2006), hlm. 18 82 Sami Zemni dan Koenraad Bogaert, “Morocco and the Mirages of Democracy and Good Governance,” UNISCI Discussion Papers, No. 12 (Oktober 2006), hlm. 105
36
Mohammed VI. Negosiasi ini berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan referendum konstitusi pada 13 September 1996. Koutla pun menerima konstitusi baru 1996, dengan harapan suasana politis yang terlegitimasi dan berdasarkan konsensus dapat terwujud.83 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011 Konstitusi
1996
memang
mendefinisikan
Maroko
sebagai
„Kerajaan demokratis, sosial dan konstitusional‟, namun karakteristik kekuataan eksekutif yang dipegang oleh Kerajaan menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Struktur dan institusi demokrasi formal Maroko sebenarnya dibayangi oleh struktur pemerintahan informal yang disebut Makhzen, yaitu jaringan Kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai penjaga segala bentuk reformasi politik.84 Menurut aturan konstitusi 1996, Raja Maroko memiliki supremasi secara politik dan religius sehingga ia memiliki kekuasaan eksekutif yang luas dengan justufikasi religius yang tidak terbantahkan. Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan
83
Ibid, hlm. 106 Kristina Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?,” ECFR/FRIDE Working Paper, No.01 (Mei 2008), hlm. 2 84
37
Kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan legislatif dan yudikatif.85 Pada masa Raja Hassan II, Kerajaan sempat memperbolehkan pemerintahan oposisi berkuasa pada Maret 1998, dengan menunjuk Abdurrahman Youseffi, dari partai oposisi sosialis, merujuk pada aturan baru konstitusi 1996. 86 Namun, hal ini tidak terlalu berpengaruh sebab seluruh menteri dalam pemerintahan oposisi adalah elit pendukung kerajaan. 87 Adapun di bawah pemerintahan Mohammed VI berdasarkan aturan Konstitusi 1996, kerajaan tetap menjadi pemegang kontrol sistem politik Maroko, serta berusaha mengendalikan kekuasaan legislatif. Selain itu, sistem pemilu nasional Maroko, yang didasarkan pada perwakilan tertentu, selalu menghasilkan parlemen yang terfragmentasi, sehingga dengan mudah dapat diatur oleh Kerajaan.88 Menurunnya tingkat kepercayaan rakyat serta dinamika politik di Maroko yang berubah pasca Revolusi Arab tahun 2010, menjadi momentum dimulainya proses demokratisasi di bidang politik Maroko. Komitmen menuju reformasi politik dimulai ketika Raja Mohammed VI melalui pidatonya pada tanggal 9 Maret 2011 mengumumkan rencana
85
Ibid Marvine Howe, “Morocco's Democratic Experience,” World Policy Journal, Vol. 17, No. 1 (Spring, 2000), hlm. 66, [jurnal on-line], tersedia di http://www.jstor.org/stable/40209678 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 87 Tom Pierre Najem, “State power and democratization in North Africa: Developments in Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” Democratization in the Middle East: Experiences, struggles,challenges, ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel (New York: United Nation University Press, 2003), hlm. 188 88 Warning, hlm. 20 86
38
reformasi konstitusi, yang kemudian ditetapkan berdasarkan referendum pada tanggal 1 Juli 2011.89 3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011- Desember 2013 Reformasi Konstitusi 2011 menekankan pada sejumlah perubahan penting dalam sistem politik Maroko, seperti meningkatkan demokratisasi, dengan memperkuat prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dan membawa seluruh pemangku kepentingan ke dalam proses politik.90 Terkait dengan pemisahan kekuasaan dalam politik Maroko, ketentuan umum konstitusi 2011 pasal 1, menjelaskan bahwa: “The constitutional regime of the Kingdom is founded on the separation, the balance and the collaboration of the powers, as well as on participative democracy of [the] citizen, and the principles of good governance... The territorial organization of the Kingdom is decentralized, founded on an advanced regionalization.” “Maroko adalah monarki konstitusional, demokratis, parlementer dan sosial. Rezim konstitusional Kerajaan didasarkan atas pemisahan, keseimbangan, dan kolaborasi kekuasaan, serta mengakui demokrasi partisipatif dari seluruh rakyat, prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance)... organisasi teritorial kerajaan juga didasarkan pada desntralisasi, dan regionalisasi lanjutan.” 91
Secara keseluruhan, konstitusi 2011 berhasil mendemonstrasikan „pembagian kekuasaan politik yang seimbang dan setara‟ yang selama ini menjadi tuntutan utama rakyat Maroko. Keseimbangan kekuasaan antara Kerajaan dan Parlemen memang hanya terbatas pada kekuasaan eksekutif dan legislatif saja. Untuk kekuasaan militer dan keamanan, tetap berada di
89
John P. Entelis, “Morocco‟s “New” Political Face: Plus ça change, plus c‟est la même chose,” Policy Brief Project on Middle East Democracy (5 Desember 2011), hlm. 2 90 “Morocco‟s 2011 Parliamentary Elections,” diakses dari http://moroccoonthemove.wordpress.com/faq-moroccos-2011-parliamentary-elections/ pada 5 Agustus 2014 91 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 4
39
tangan Raja. Namun, secara keseluruhan dengan adanya reformasi konstitusi ini, untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, terjadi pergeseran kekuasaan Raja, dari kekuasaan eksklusif ke kekuasaan bersama dengan parlemen dan Perdana Menteri, serta terciptanya kekuasaan independen di institusi eksekutif dan legislatif.92 Kekuasaan eksklusif Raja terkait dengan isu-isu takhta Kerajaan, seperti penunjukkan Raja. Hal ini dijelaskan pada pasal 41, 44, 47, 51, 57, 59, 130, dan 174 konstitusi 2011. Adapun kekuasaan bersama antara Raja, Pemerintah, dan Parlemen, diwujudkan dengan pemberian kekuasaan kepada Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dalam semua isu, kecuali isu yang berkaitan dengan takhta Kerajaan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 49, 54, 104, dan 130 konstitusi 2011.93 Penjelasan tentang pemisahan kekuasaan dalam konstitusi 2011 kemudian menjadi langkah awal yang positif dalam reformasi politik di Maroko. Adapun kemudian, dunia internasional khususnya negara-negara sahabat Maroko seperti AS, Uni Eropa, Perancis, maupun Inggris merespon positif dan mendukung reformasi ini.94 UE misalnya, memberi pernyataan resmi terkait reformasi pemisahan kekuasaan ini pada bulan Maret 2011, melalui perwakilannya Catherine Ashton dan Stefan Füle yang menyatakan bahwa: 92
Abdelilah Belkaziz, “Morocco and democratic transition: a reading of the constitutional amendments – their context and results”, Contemporary Arab Affairs, Vol. 5:1 (2012), hlm. 41-42 93 Ibid, hlm. 42 94 “Morocco Is Irrevisibly Comitted To Democratic Reform and Good Governance,” diakses dari http://moroccoonthemove.wordpress.com/press‐releases‐morocco‐delivers/ pada 22 April 2014
40
“The reforms include important commitments to enhancing democracy and respect for human rights; strengthening separation of powers notably by increasing the role of parliament and the independence of the judiciary; advancing regionalisation and enhancing gender equality.”
“Reformasi ini mengandung beberapa komitmen penting dalam mendorong demokrasi dan penghormatan terhadap HAM; memperkuat pemisahan kekuasaan utamanya dengan meningkatkan peran parlemen dan independensi peradilan; 95 meningkatkan regionalisasi, dan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Dukungan aktor internasional terhadap reformasi di bidang pemisahaan kekuasaan Maroko pasca reformasi konstitusi 2011 menjadi penting mengingat beberapa perubahan dan reformasi di bidang ini pada periode-periode sebelumnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak adanya tekanan terhadap Kerajaan untuk berkomitmen terhadap perubahan yang tertulis dalam konstitusi menyebabkan tersendatnya reformasi tersebut. Dalam hal ini, aktor internasional seperti Uni Eropa berperan penting untuk memberi tekanan dan memastikan komitmen Maroko terhadap reformasi yang dilaksanakan. B. Penguatan Peran Parlemen 1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996 Selain menciptakan kekuasaan mutlak Kerajaan dalam politik dan pemerintahan Maroko, perubahan politik pada periode ini pada akhirnya juga melemahkan kekuasaan legislatif dan parlemen Maroko. Dalam
95
European Commission, “Joint statement by High Representative Catherine Ashton and Commissioner Stefan Fule on the referendum on the new Constitution in Morocco”, MEMO/11/478 (2 Juli 2011).
41
kondisi yang demikian, Parlemen Maroko tidak dapat menjalankan kebijakan yang tidak disetujui oleh Raja.96 Hal ini ditegaskan oleh Raja Hassan II dalam salah satu pidatonya : “The fact that I am delegating certain powers to the government and Parliament does not mean that I am devolving or relinquishing these powers to them” “Fakta bahwa saya mendelegasikan sejumlah kekuasaan kepada pemerintah dan parlemen tidak berarti bahwa saya memindahkan atau melepaskan kekuasaan ini kepada mereka...”. 97
Lemahnya peran parlemen ini juga disebabkan tidak adanya celah bagi partai-partai oposisi untuk menentang Makhzen. Sebelum Pemilu legislatif 1997, partai-partai oposisi selalu berada di luar perundingan Makhzen dengan Kerajaan. Hal ini terbukti ketika Konstitusi 1996, yang memberi Raja kekuasaan eksekutif yang luas dan justifikasi relijius yang tidak terbantahkan, disetujui oleh 99,97 persen anggota parlemen meskipun partai-partai oposisi menyerukan boikot terhadap keputusan ini.98 Selain itu, dalam konstitusi 1996 ini Raja juga memiliki beberapa hak prerogatif yang melemahkan kekuatan legislatif, seperti menyetujui dan mengadopsi keputusan parlemen, sekaligus dapat memveto keputusan tersebut.99 Dengan kekuatan Kerajaan yang demikian besar, pemerintah dan parlemen lebih memilih melaksanakan keinginan Makhzen, daripada melaksanakan
96
keinginan
rakyat.
Dengan
Makhzen
sebagai
Sater, Civil Society and Political Change in Morocco, hlm. 85 Ibid, hlm. 86 98 Ibid 99 Kristina Kausch, “The European Union and Political Reform in Morocco,” Mediterranean Politics, Vol. 14, No. 2 (July 2009), hlm. 168 97
elit
42
pemerintahan yang memegang kekuasaan dan memegang kontrol terhadap pengambilan kebijakan, maka reformasi politik akan sulit dilaksanakan.100 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011 Meskipun dianggap melemahkan peran parlemen, konstitusi 1996 sebenarnya membawa perubahan yang lebih signifikan terhadap politik Maroko. Konstitusi ini menetapkan Maroko kembali menggunakan sistem bikameral dalam parlemen Maroko, yang terdiri atas Majelis Rendah dan Majelis Tinggi, setelah sebelumnya sistem ini pernah digunakan pada tahun 1962-1970. Anggota Majelis Rendah dipilih melalui pemilihan langsung, sedangkan anggota Majelis Tinggi dipilih melalui pemilihan tak langsung. Lebih lanjut, Konstitusi 1996 menetapkan Majelis Rendah sebagai parlemen yang lebih kuat karena dipilih secara langsung, dan partai pemenang pemilu berhak membentuk pemerintahan.101 Penetapan sistem bikameral ini merupakan salah satu capaian positif dalam proses demokratisasi Maroko. Namun, hal ini juga menimbulkan masalah utama sebagaimana terjadi di negara-negara yang menetapkan sistem bikameral, yaitu: partai-partai oposisi selalu mendesak amandemen konstitusi karena tidak puas dengan pemerintahan yang dibentuk oleh partai pemenang pemilu. Adapun di Maroko, partai-partai oposisi ini kemudian mendukung legitimasi dan peran Kerajaan dalam 100
Loc. Cit, hlm. 3 Gregory White, “The Advent of Electoral Democracy in Morocco? The Referendum of 1996,” Middle East Journal, Vol. 51, No. 3 (Summer, 1997), hlm. 393 [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/4329087 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 101
43
proses politik.102 Oleh karena itu, pada dasarnya reformasi konstitusi yang terjadi semakin memperkuat posisi Kerajaan. Selain itu, hak prerogatif yang dimiliki oleh Majelis Tinggi, seperti hak untuk memastikan bahwa pemerintahan sesuai dengan kondisi politik terkini, sejalan dengan hak prerogatif Kerajaan. Sehingga, majelis tinggi sering dipandang sebagai „pembela kerajaan‟.103 Meskipun kemajuan yang dicapai cukup signifikan, Kerajaan kembali berhasil melemahkan kekuatan parlemen pada Pemilu legislatif tahun 2002, namun dilakukan dengan cara yang berbeda. Pada saat itu, tidak ada koalisi formal yang benar-benar dominan dalam pemilu 2002. Maka, Raja Mohammed VI kemudian menunjuk Perdana Menteri bukan dari partai pemenang pemilu, yaitu Driss Jettou, mantan Menteri Dalam Negeri Maroko sebagai Perdana Menteri.104 Kondisi
politik
Maroko
pasca
pemilu
2002
kemudian
meningkatkan keinginan parlemen untuk mengadakan reformasi politik. Hal ini kemudian diwujudkan dengan merubah kode pemilu baru pada tahun 2006. Parlemen akhirnya menyetujui sistem baru dimana partaipartai politik yang berpartisipasi dalam pemilu akan dibedakan menjadi dua atau tiga blok yang berbeda untuk pemilu pada tahun 2007. Namun, sistem pemilu seperti ini justru mengurangi jumlah partai politik dalam 102
Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elite and Struggles for Power in The Post Independence State, (New York: Routledge, 2007), hlm. 114 103 Ibid, hlm. 130 104 James N. Sater, “Parliamentary Elections and Authoritarian Rule in Morocco,” Middle East Journal, Vol. 63, No. 3 (Summer, 2009), hlm. 386; [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/20622927 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
44
parlemen, dan justru semakin melemahkan posisi parlemen dalam pemerintahan.105 Kegagalan
dua
reformasi
Konstitusi
di
Maroko
dalam
meningkatkan peran Parlemen pada akhirnya mendorong pemerintah Maroko untuk melaksanakan reformasi konstitusi untuk yang ketiga kali sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 2011. 3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013 Konstitusi 2011 menetapkan bahwa Kepala Pemerintahan akan ditunjuk dari Partai Politk yang memenangkan Pemilu Parlemen, serta perluasan kekuasaan Kepala Pemerintahan dan Parlemen, dengan memberi mereka kekuasaan legislatif. Hal ini ditegaskan dalam pasal 47 Konstitusi 2011, yang berbunyi:106 “The King appoints the Head of Government from within the political party arriving ahead in the elections of the members of the Chamber of Representatives.... On proposal of the Head of Government, He appoints the members of the government” “Raja menunjuk Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dari partai politik yang memenangkan pemilihan legislatif. ...atas proposal Kepala Pemerintahan, Raja akan menentukan anggota kabinet...”
Pasca penetapan konstitusi ini, Maroko mengadakan pemilu legislatif pada tahun 2011. Hasilnya, koalisi yang dipimpin partai oposisi Islam, Justice and Development Party (PJD), memenangkan pemilu 2011. Pemimpin PJD, Abdelillah Benkirane kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri. PJD adalah partai oposisi utama terhadap koalisi partai loyalis
105
Ibid, hlm. 133 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 15 106
45
kerajaan, yang dipimpin oleh National Rally of Independents (RNI) dan Party of Authenticity and Modernity (PAM) di parlemen.107 Sejak tahun 1992, kerajaan dan RNI selalu berusaha melemahkan kekuatan PJD di parlemen dan pemilu legislatif karena popularitas PJD dan komitmen PJD terhadap demokrasi. Usaha ini, kemudian berlanjut ketika koalisi loyalis kerajaan mengusulkan mengadakan pemilu pada 2012. Adapun pada pemilu legislatif 2012 ini, Independence Party (Istiqlal) meninggalkan koalisi PJD dan bergabung dengan koalisi loyalis kerajaan. Namun, pemilu legislatif 2012 kemudian tetap menghasilkan PJD sebagai pemenang.108 Berikut adalah distribusi kursi dalam parlemen Maroko pasca pemilu 2012: Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko Koalisi Partai di Parlemen
Jumlah Kursi
Party of Justice and Development
105
Party of istiqlali of unity and egalitarianism
60
Party of the National Rally of Independents
54
Party of authenticity and modernity
47 + 1
Party of the Socialist Union of Popular Forces
42
Party of movement
33
Party of Constitutional Union
23
Party of Democratic Progress
21
Sumber: Website resmi Parlemen Maroko, http://www.parlement.ma/en/_organo3.php?filename=201202011459500 pada 21 November 2014 107
Matt Buehler, “Safety-Valve Elections and the Arab Spring: The Weakening (and Resurgence) of Morocco‟s Islamist Opposition Party,” Terrorism and Political Violence Journal, No. 24 (2013), hlm. 140 108 Mohamed Daadaoui, “Party Politics and Elections in Morocco,” The Middle East Institute Policy Brief, No.29 (May 2013), hlm. 6
46
Berkuasanya PJD sebagai partai yang berkomitmen terhadap demokrasi berpengaruh terhadap usaha-usaha pemerintah Maroko dalam meningkatkan peran parlemen. Salah satu capaian parlemen Maroko adalah mengadakan konferensi dalam mereformasi aturan prosedur pemerintahan (Conference on Reforming Rules of Procedures) pada tanggal 21 Maret 2012. Konferensi ini menghasilkan berbagai temuan dan rekomendasi yang menjadi inisiatif untuk pembentukan rencana strategis (strategic plan) untuk meningkatkan kerja parlemen.109 Dalam rencana strategis ini ada lima fokus utama yang ingin diperbaiki oleh parlemen Maroko: (1) peningkatan kerangka institusional dan manajemen parlemen, (2) pembangunan peran legislatif, (3) penguatan pemerintahan, (4) peningkatan peran diplomatik, dan (5) strategi komunikasi dan pembangunan komunitas. Adapun, lima fokus utama ini berasal dari kerangka kerja yang ditawarkan oleh UE terhadap parlemen Maroko sebagai bagian dari program kawasan Selatan ENP.110 Sama seperti reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan, Penguatan peran Parlemen yang ditunjukkan melalui Konstitusi 2011 kemudian juga diikuti dengan dukungan dari dunia internasional. Pada tanggal 23-25 Maret 2012, Maroko untuk pertama kali menggelar pertemuan parlemen negara-negara kawasan Selatan ENP yang diadakan
109
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “Strategic Plan for Upgrading and Enhancing The Work of The House of Representatives,” (25 Desember 2012), hlm. 2, diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014 110 Ibid, hal. 3
47
oleh delegasi UE di kawasan Mediterania Selatan,
Union for
Mediterranian (UfM). Hal ini merupakan salah satu program ENP di kawasan Mediterania Selatan.111 Selain dengan UE, Maroko juga bekerjasama dengan aktor internasional lain dalam reformasi peran parlemen ini. Inggris misalnya, memberikan program dukungan terhadap reformasi di Maroko melalui Westminster
Foundation
for
Democracy
(WFD),
yaitu
badan
pembangunan demokrasi yang didanai oleh Kementerian Luar Negeri Inggris. Pada bulan Januari 2013, WFD dan Pemerintah Maroko menandatangani MoU untuk program „Increasing political participation and
transparency
in
the Moroccan parliament‟ yang dilaksanakan
selama periode 2012-2015.112 C. Penguatan Peran Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat sipil) Maroko dalam Pembangunan Demokrasi 1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996 Meskipun masyarakat sipil Maroko telah tumbuh sejak masa dinasti Idrissiyyah di Maroko, seperti kelompok Ulama dan komunitas Berber, konsep masyarakat sipil baru memasuki ranah politik Maroko sejak „periode transisi demokrasi‟. Hal ini utamanya disebabkan oleh berbagai reformasi dan perubahan yang terjadi di bidang politik dan 111
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “The Parliamentary Assembly of the Union for the Mediterranean,” diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014 112 Westminster Foundation For Democracy, “Increasing Political Participation and Transparency in The Moroccan Parliament 2012-2015,” (2014), hlm. 25
48
ekonomi Maroko, seperti modernisasi dan liberalisasi ekonomi. Adapun Civil Society Organization (CSO) atau Organisasi Masyarakat sipil kemudian muncul di Maroko sebagai akibat dari berbagai perubahan yang terjadi, dimana mereka yang merasa termarjinalkan dalam proses modernisasi dan liberalisasi ini kemudian membentuk berbagai asosiasi, seperti pejuang HAM, pembela hak sipil dan wanita, komunitas suku Berber, atau komunitas anti korupsi.113 Peran CSO di Maroko secara umum sangat terkait dengan masyarakat politik. Masyarakat sipil Maroko sendiri dikenal bebas dalam mengembangkan aktifitasnya. Namun, beberapa CSO yang aktifitasnya terkait dengan isu-isu tabu seperti monarki, pemisahan kekuasaan, atau kemerdekaan Sahara Barat segera dihentikan melalui berbagai langkah hukum oleh pemerintah. Sementara itu, media penyiaran sebagai satusatunya media dengan cakupan nasional, dikontrol secara efektif oleh negara.114 Kontrol pemerintah terhadap CSO di Maroko sangat jelas terlihat, terutama untuk CSO yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan. Elit pemerintah menganggap bahwa segala bentuk asosiasi yang tujuannya berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan dianggap sebagai kompetitor
113
dalam
politik
Maroko.
Oleh
karena
itu,
Makhzen
Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research Paper, Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3 114 Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?”, hlm. 3
49
mengupayakan
kerjasama
dengan
CSO-CSO
seperti
ini
dengan
menempatkan anggotanya sebagai ketua CSO tersebut. Dengan demikian tujuan politis CSO yang tidak sesuai dengan keinginan Makhzen dapat diredam.115 2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011 Pelemahan terhadap organisasi masyarakat sipil tetap terjadi pasca reformasi konstitusi 1996. Salah satunya, pada November 1996 pemerintah Maroko membekukan segala aktivitas Konfederasi Umum Pengusaha Maroko atau General Confederations of Morocco’s Enterprises (CGEM), di bidang politik, seperti keterlibatan dalam pembuatan hukum yang yang mengatur hubungan bisnis dan pemerintah dan kampanye anti korupsi.116 Namun demikian, ketika Raja Mohammed VI berkuasa, dibentuk beberapa kebijakan yang mendukung masyarakat sipil Maroko, seperti pembebasan tahanan politik, pers yang lebih bebas, pengurangan pelanggaran HAM, dan beberapa reformasi politik yang mendorong negara agar lebih akuntabel terhadap rakyatnya. Perubahan ini berdampak positif
115 116
Ibid, hlm. 4 Ben Ali, hlm. 6
terhadap masyarakat sipil Maroko secara keseluruhan yang
50
menggunakan kebebasan ini untuk membentuk berbagai asosiasi dan organisasi dalam berbagai isu.117 Pada delapan tahun awal sejak periode transisi demokrasi, CSO di Maroko dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu asosiasi pengusaha, persatuan buruh, dan Partai Politik. Sementara itu, sejak awal 2000-an, pertumbuhan CSO di Maroko berkembang sangat pesat. Berdasarkan survei CIVICUS index, ada sekitar 30.000 hingga 50.000 CSO yang berkembang sejak tahun 2000-2011.118 Berkembangnya
jumlah
CSO
di
Maroko
juga
semakin
mengembangkan jenis-jenis CSO di Maroko. Menurut CIVICUS index, segala organisasi yang tidak terkait dengan negara atau sektor privat, dan dikembangkan untuk kepentingan bersama masuk dalam lingkup CSO. Maka, tidak hanya organisasi non-pemerintah atau non-governmental organization (NGO) yang masuk dalam definisi CSO. Adapun menurut CIVICUS index, CSO di Maroko berkembang menjadi organisasi perjuangan
HAM,
organisasi
jasa
dan
pembangunan,
organisasi
pendidikan dan budaya, organisasi keagamaan, gerakan sosial, Zawayat (persaudaraan keagamaan), media privat, asosiasi profesional, dan badan amal.119
117
Francesco Cavatorta, “Civil Society, Islamism and Democratisation: The Case of Morocco,” The Journal of Modern African Studies, Vol. 44, No. 2 (Juni 2006), hlm. 211; [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/3876155 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 118 Azeddine Akesbi, “Civil Society Index for Morocco,” CIVICUS Civil Scoety Index Anlytical Country Report: International Version (2011), hlm. 20 119 Ibid
51
Beragamnya kategori CSO di Maroko menyebabkan pengaruh mereka dalam kaitannya dengan pemerintahan dan pembentukan kebijakan sulit diukur. CIVICUS index melakukan survei terhadap masyarakat sipil Maroko pada tahun 2010-2011 untuk mengukur pengaruh CSO dalam kehidupan sosial dan politik Maroko. Hasilnya, hanya asosiasi pengusaha, Partai Politik, dan persatuan buruh yang dianggap memiliki pengaruh, dan posisi ketiganya hanya berada di urutan ketiga setelah institusi Kerajaan dan Perdana Menteri serta Parlemen.120 Pelemahan Partai Politik dan CSO-CSO yang mengusung isu politik oleh negara menjadi salah satu penyebab rendahnya pengaruh mereka dalam kehidupan sosial dan politik Maroko. Selain itu, pemerintah Maroko dengan pengaruh Makhzen yang sangat kuat juga membatasi pergerakan beberapa persatuan buruh yang memiliki afiliasi khusus dengan Partai Politik, seperti General Union of Moroccan Workers (GUMW) yang berafiliasi dengan Partai Istiqlal, dan Workers Democratic Confederation (WDC) yang berafiliasi dengan Partai Socialist Union of Popular Forces (SUPF). Persatuan buruh ini memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam parlemen, khususnya di Majelis Tinggi. 121 3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013 Kondisi masyarakat sipil dan CSO Maroko mulai mengalami perubahan sejak Revolusi Arab berlangsung. Di Maroko, Gerakan 20 120 121
Ibid, hlm. 21 Ibid, hlm. 10
52
Februari 2011 yang merupakan pengaruh dari Revolusi Arab menunjukkan dinamisme masyarakat sipil Maroko dan keinginan mereka untuk reformasi politik di Maroko. Gerakan ini diantaranya menyerukan perlawanan rakyat terhadap korupsi di kalangan birokrat dan anggota parlemen. Selain itu, gerakan ini juga menunjukkan beragamnya masyarakat sipil di Maroko dan isu yang diserukan, mulai dari feminis, aktivis HAM, pemuda, maupun kelompok Islamis. Dinamisme ini, menurut Rachid Tohtou dapat membangun jembatan penghubung antara cara formal dan informal dalam politik Maroko.122 Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Raja Maroko kemudian merespon gerakan ini dengan melakukan reformasi konstitusi dan menetapkan Konstitusi 2011 sebagai Konstitusi baru. Adapun terkait peran dan kedudukan CSO dijelaskan dalam pasal 12 konstitusi, yaitu: “The associations of civil society and the non-governmental organizations are constituted and exercise their activities in all freedom, within respect for the Constitution and for the law... The associations interested in public matters and the non-governmental organizations, contribute, within the framework of participative democracy, in the enactment, the implementation and the evaluation of the decisions and the initiatives [projets] of the elected institutions and of the public powers..., The organization and functioning of the associations and the non-governmental organizations must conform to democratic principles.of a decision of justice.” “Asosiasi masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah diakui dan melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kebebasan, dengan tetap mematuhi konstitusi dan hukum... Asosiasi yang berkaitan dengan masalah publik dan organisasi non pemerintah, berkontribusi dalam kerangka demokrasi partisipatif, dalam penetapan, implementasi dan evaluasi keputusan dan inisiatif yang diambil oleh pemerintah dan pemimpin publik..., pengelolaan dan fungsionalisasi asosiasi dan organisasi non pemerintah harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip 123 demokratis.” 122
Anwar, Van Groningen, Hendriks Awuy, dan Stork, hlm. 46 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 8 123
53
Selain pasal 12, Pasal 13, 14, dan 15 juga memperbolehkan masyarakat sipil Maroko untuk berpartisipasi dalam pembuatan draf kebijakan
parlemen,
serta
berperan
aktif
dalam
membentuk,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan publik. Sementara itu, pasal 139 memperbolehkan pendirian mekanisme partisipatif di level daerah, sehingga masyarakat sipil Maroko dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan di level daerah. Kejelasan status CSO dan posisi masyarakat sipil dalam kehidupan sosial dan politik Maroko di dalam konstitusi 2011 pada akhirnya dapat meredakan Gerakan 20 Februari. Namun demikian, keterlibatan aktor internasional dalam promosi demokrasi di Maroko seperti Uni Eropa dan AS justru semakin membentuk potensi CSO dan masyarakat sipil di Maroko. 124 Pasca penetapan konstitusi 2011, kesempatan CSO lokal Maroko untuk bekerjasama dengan institusi internasional semakin terbuka. Uni Eropa misalnya, membangun Civil Society Facility (CSF) di negaranegara European Neighborhood Policy (ENP), termasuk di Maroko. Uni Eropa juga mengalokasikan dana sebesar 34 Juta Euro pada periode tahun 2011-2013 untuk mendanai fasilitas ini. CSF sendiri bertujuan untuk
124
Karima Rhanem, “Morocco turns Arab spring into a summer of Reform,” Pidato dalam EuroArab Seminar on Empowerment of Youth Organization and Led Civil Society Initiatives (22-24 Maret 2012)
54
memperkuat dan mempromosikan peran organisasi masyarakat sipil dalam reformasi dan perubahan demokrasi.125 Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya proses demokratisasi di Maroko telah berjalan sejak awal kemerdekaan, namun secara nyata baru dilaksanakan pada awal tahun 1990-an. Pada praktiknya, proses demokratisasi di Maroko lebih banyak mengalami hambatan karena tidak ada komitmen dari Kerajaan maupun pemerintah Maroko terhadap reformasi demokrasi yang ingin dilaksanakan. Oleh karena itu, aktor internasional seperti UE memiliki peran yang penting untuk memberi tekanan kepada pemerintah Maroko untuk benar-benar melaksanakan reformasi demokrasi.
125
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean Partners,” (27 Maret 2014) hlm. 10
BAB III EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (KEBIJAKAN EROPA UNTUK NEGARA TETANGGA) DI MAROKO Sejak Uni Eropa (UE) melaksanakan proses perluasan keanggotaan, yang ditandai dengan bergabungnya sepuluh negara Eropa dengan UE pada tahun 2004, dan dua negara Eropa pada tahun 2007, sedikit banyak telah merubah perbatasan UE dengan negara-negara Eropa non-anggota UE, terutama di kawasan Eropa Timur (Eastern Neighbours), menjadi kurang stabil dan lemah. 126 Oleh karena alasan di atas, UE merasa perlu untuk membentuk pendekatan strategis terhadap situasi di atas, dengan membentuk kembali perbatasan antara „orang dalam‟ dan „orang luar‟ dalam perbatasan-perbatasan UE. Selain itu, UE juga menginginkan pendekatan baru ini dapat mencakup definisi „tetangga‟ yang lebih luas, yaitu meliputi negara-negara Newly Independent States (NIS), negara-negara Kaukasus, serta negara-negara Mediteranian Timur dan Selatan, termasuk di Maroko. 127 Untuk mewujudkan hal ini, maka dibentuklah European Neighborhood Policy (ENP) sebagai kerangka kebijakan luar negeri UE di negara-negara tetangganya.
126
Stefan Gänzle, “The European Neighbourhood Policy (ENP): a Strategy for Security in Europe?” The Changing Politics of European Security, ed. Stefan Gänzle dan Allen. G. Sens (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hlm. 110. 127 Richard G. Whitman dan Stefan Wolff, “Much Ado About Nothing? The European Neighborhood Policy in Context,” The European Neighborhood Policy in Perspective: Context, Implementation and Impact, ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff (New York: Palgrave Macmillan, 2010), hlm. 3
55
56
A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP) European Neighborhood Policy (ENP) atau Kebijakan Eropa Untuk Negara Tetangga, adalah Kerangka kebijakan Uni Eropa (UE) yang bertujuan untuk menghindari terbentuknya garis pemisah antara UE yang diperluas dengan negara-negara tetangga UE, sekaligus memperkuat kesejahteraan, stabilitas, dan keamanan kedua pihak. ENP didasarkan pada nilai-nilai demokrasi, penegakkan hukum, dan Hak Asasi Manusia. 128 Kerangka ENP diusulkan kepada 16 negara tetangga terdekat UE, yaitu Aljazair, Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Mesir, Georgia, Israel, Yordania, Lebanon, Libya, Moldova, Maroko, Palestina, Suriah, Tunisia and Ukraina.129 Pada dasarnya, ENP adalah strategi yang dibentuk oleh UE untuk berbagi keuntungan perluasan dengan negara-negara tetangganya, dan secara bersama-sama mengatasi tantangan yang muncul dari situasi pasca perluasan keanggotaan UE. Di satu sisi, ENP adalah kebijakan untuk meningkatkan stabilitas, keamanan, dan kesejahteraan diluar perbatasan UE, yang dilaksanakan melalui kerjasama regional. Namun di sisi lain, ENP juga menawarkan kemitraan khusus untuk negara-negara tetangganya, berdasarkan komitmen terhadap nilai bersama (shared values).130
128
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “What is the European Neighborhood Policy,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/about-us/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 129 Ibid 130 Sevilay Kahraman, “The European Neighborhood Policy: The European Union‟s New Engagement Towards Wider Europe”, Perceptions (Winter 2005), hlm. 3
57
ENP dibentuk pada tahun 2004, ketika terjadi perluasan keanggotaan besar-besaran di Uni Eropa. Proses pembentukan ENP dimulai pada bulan Maret 2003 ketika Komisi Eropa, atas prakarsa Romano Prodi yang merupakan Presiden Komisi Eropa saat itu, meluncurkan komunike yang berjudul: The Wider Europe Neighbourhood, A New Framework for Relations with our Eastern and Southern Neighbours.131 Komunike ini menyerukan pembentukan sebuah proposal untuk menyatukan kebijakan UE yang luas terhadap negara-negara tetangganya, yang bertujuan untuk menciptakan lingkaran negara UE yang lebih bersahabat, stabil, dan sejahtera, sehingga dapat menjamin stabilitas hubungan dengan negara-negara tetangga UE. Kebijakan baru ini diharapkan dapat mempromosikan kerjasama politik dan integrasi ekonomi yang lebih erat, dengan memberikan akses penuh kepada pasar bersama UE, sebagai imbalan atas prasyarat yang diberikan UE untuk mereformasi regulasi ekonomi dan kemajuan di bidang keamanan perbatasan, HAM, dan demokrasi.132 Dewan Eropa (The European Council) kemudian menyetujui proposal Komisi Eropa dan diputuskan bahwa kebijakan baru ini disebut European Neighborhood Policy (ENP). Kebijakan ini akan diberlakukan tidak hanya di negara-negara tetangga sebelah Timur UE (Eastern Neighbours) tetapi juga di
131
Ibid, hlm. 3 Edzard Wesselink dan Ron Boschma, “Overview of the European Neighbourhood Policy: Its History, Structure, and Implemented Policy Measures,” SEARCH Working Paper, WP1/04 (Januari 2012), hlm. 6 132
58
negara-negara tetangga sebelah Selatan UE (Southern Neghbours), termasuk di Maroko. Lebih jauh, diputuskan juga bahwa kebijakan ini akan dibangun berdasarkan kebijakan lama, bukan menggantinya. Oleh karena itu, UE tetap menggunakan kerangka kebijakan lama hingga akhir kerangka multi-tahunan pada tahun 2006 dan baru menyatukan kebijakan lama dengan kerangka ENP pada tahun 2007-2013.133 ENP dibentuk sebagai satu kerangka kebijakan yang terintegrasi secara luas, dan mencakup seluruh tema dimana negara-negara ENP dapat berkolaborasi dengan UE. ENP menggabungkan beberapa program lama UE di negara-negara tetangganya dengan kebijakan baru berdasarkan tema yang menjadi prioritas. Hal ini dilakukan karena beberapa kebijakan UE terdahulu terkesan tumpang tindih dan tidak tepat sasaran. 134 B. Landasan Kerjasama Uni Eropa-Maroko dalam Kerangka ENP Sebagaimana telah dipaparkan pada bab 1, bahwa Maroko adalah negara yang menjadi prioritas UE dalam ENP. Dalam kerangka ENP, UE dan Maroko memiliki dua landasan kerjasama utama, yaitu Association Agreements (AA) atau Persetujuan Asosiasi, dan Action Plan (AP) atau Rencana Kerja.135 AA adalah perjanjian dasar yang dibentuk sebelum UE dan negara ENP menyusun rencana kerja. Adapun perjanjian asosiasi UE-Maroko ditandatangani di Brussels, pada tanggal 26 Februari 1996, dan kemudian 133
Ibid Ibid, hlm. 7 135 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it Work?,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 134
59
diratifikasi oleh Parlemen negara-negara anggota UE, Parlemen Eropa, dan Parlemen Maroko pada 1 Maret 2000. Inti dari AA UE-Maroko merujuk pada dialog politik rutin di tingkat menteri atau level pejabat senior dan di level parlemen, melalui kontak institusi parlemen Maroko dan UE. 136 Selain itu, AA ini juga menekankan pada perdamaian, keamanan, dan kerjasama regional, serta kontribusi terhadap stabilitas dan kesejahteraan kawasan Mediterania guna mempromosikan saling pengertian dan toleransi. AA ini juga memperkuat liberalisasi ekonomi, kerjasama sosial dam kebudayaan. 137 Setelah AA ditandatangani, maka UE dan Maroko menandatangani perjanjian bilateral yang disebut Action Plan (AP) atau Rencana Kerja. AP berisi agenda reformasi politik dan ekonomi dengan prioritas jangka pendek dan jangka menengah antara 3 sampai 5 tahun. AP merefleksikan keinginan Maroko sebagai negara partner ENP, juga kepentingan UE sebagai pelaksanan ENP.138 Rencana kerja ENP untuk Maroko yang pertama, ditandatangani pada tahun 2005 dan mulai aktif dilaksanakan pada tahun 2006. 139 Dalam AP tersebut, Maroko dan UE secara umum ingin memperkuat hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta kerjasama keamanan. Untuk Maroko
136
EU External Action Services, European Neighborhood Policy“The Association Agreement EUMorocco,” diakses dari http://eeas.europa.eu/morocco/association_agreement/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 137 Wesselink and Boschma, hlm. 7 138 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it Work?,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 139 Loc.Cit, hlm. 9
60
sendiri, pendekatan kembali dengan UE melalui ENP menunjukkan pilihan kebijakan luar negeri yang fundamental.140 Adapun komponan utama dalam Action Plan UE-Maroko dapat dikategorikan menjadi enam komponen, yaitu: Tabel II.B.1. Komponen Utama Action Plan EU-Maroko NO 1
2
Aksi Reformasi dan Dialog Politik
Tujuan Memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law
Reformasi Ekonomi dan Sosial
Modernisasi dan peningkatan ekonomi, guna mempersiapkan Maroko menuju pasar bebas
-
-
3
Reformai perdagangan, pasar, dan peraturan
Liberalisasi saham dan investasi, serta standardisasi aturan terkait gerakan pekerja
4
Kerjasama di bidang peradilan
-
5
Transportasi, energi, lingkungan, TI, sains, teknologi, riset dan pengembangan
Standardisasi aturan imigrasi - Konsolidasi kerjasama keamanan lintas batas Modernisasi dan konsolidasi infrastruktur energi dan transportasi, serta bantuan pengembangan teknologi
6
Kontak antar orang
Pendekatan budaya
-
-
-
-
Komponen Demokrasi HAM Hak sosial dan standar buruh Reformasi struktural dan transisi menuju ekonomi pasar Reformasi sektor pertanian Pembangunan lokal dan regional Liberalisasi perdagangan Hak untuk membangun perusahaan dan jasa Arus investasi Manajemen arus migrasi Manajemen perbatasan Pemberantasan organisasi criminal Konsolidasi kebijakan Maroko dan kebijakan regional Maroko di bidang energi Edukasi, training, kepemudaan dan olahraga Kerjasama budaya, masyarakat sipil, dan kesehatan
Sumber: Departemen Ekonomi dan Keuangan Maroko, “Morocco- EU Relations : Towards an Advanced Status Partnership” (November 2007), hlm. 6
Dalam komponen utama AP di atas, terlihat bahwa demokrasi telah menjadi salah satu komponen utama sejak awal pelaksanaan program ENP di 140
European Commission, EU-Morocco Action Plan (2006)
61
Maroko. Akan tetapi, sasaran reformasi demokrasi dalam AP UE-Maroko hanyalah di bidang modernisasi kebijakan publik, HAM, serta peningkatan hak sosial dan standar buruh. Adapun dana yang dikeluarkan UE untuk kerjasama UE dan Maroko dalam kerangka ENP selama tahun 2011-2013, semua terintegrasi dalam instrumen
pendanaan
terpusat,
yaitu
European
Neighbourhood
and
Partnership Instrument (ENPI). ENPI di Maroko mendanai program-program utama UE di Maroko, yaitu program bilateral, program untuk kawasan Selatan, dan program tematik.141 C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP Tahun 2011-2013 Promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013 difokuskan pada tiga aspek, yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, serta penguatan peran organisasi Masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pada program ENP di Maroko sebelum tahun 2011-2013, reformasi demokrasi di tiga aspek ini belum menjadi prioritas UE. Adapun kepentingan ekonomi, keamanan dan stabilitas kawasan masih menjadi prioritas UE pada periode tersebut. Pada periode 2007-2010 misalnya, dalam National Indicative Programme ENP in Morocco 2007-2010 disebutkan bahwa prioritas ENP di Maroko hanyalah
141
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Is It Financed?”, diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/how-is-it-financed/index_en.htm pada 7 Oktober 2014
62
prioritas sosial, seperti dukungan kepada INDH dan kebijakan pendidikan; prioritas HAM, seperti mendukung Ministry of Justice dan impelementasi IER; prioritas ekonomi, seperti promosi investasi dan ekspor industri Maroko, pertanian, dan pembangunan infrastruktur; serta prioritas lingkungan, seperti memberikan dana bantuan untuk menanggulangi depolusi. Adapun demokrasi tidak ada dalam proritas program tersebut.142 Keinginan UE untuk mempromosikan reformasi dalam tiga bidang tersebut didorong oleh kepentingan baru UE pasca Revolusi Arab. Negaranegara anggota UE menyadari bahwa kepentingan mereka akan keamanan kawasan sudah tidak dapat dijamin oleh rezim-rezim di negara-negara ENP yang terdampak revolusi Arab. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas kembali di kawasan, mendukung transisi demokrasi yang telah berjalan menjadi kepentingan baru UE. Di Maroko, UE merasa berkepentingan untuk menjamin berjalannya reformasi demokrasi di tiga bidang tersebut yang telah dijalankan oleh Maroko.143 Adapun promosi demokrasi UE dalam tiga aspek ini dilaksanakan melalui tiga kerangka program utama ENP di Maroko, yaitu program bilateral (Bilateral Programme), program untuk kawasan Selatan (Southern Regional Programme), dan program tematik (Thematic Programme).
142
European Commission, ENPI Morocco: 2007-2010 National Indicative Programme. Timo Behr, “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab Spring: Can the Leopard Change its Spots?,” Amsterdam Law Forum, Vol. 4, No. 2 (Spring 2012), hlm. 82 143
65
1. Bidang Pemisahan Kekuasaan Dalam aspek pemisahan kekuasaan, UE melalui program kawasan ENP untuk negara tetangga Selatan (Southern Regional Programme), meluncurkan program kerjasama „Partnership for Democracy and Shared Proseperity’. 144 Melalui program ini, UE memberikan status „mitra demokrasi‟ (Partner of Democracy Status) kepada Maroko pada bulan Juni 2011, 145 tidak lama setelah Raja Mohammed VI mengumumkan rencana reformasi konstitusi Maroko pada bulan Maret 2011, dimana pemisahan kekuasaan menjadi aspek utama yang direformasi. 146 Dengan status ini, UE menjanjikan Maroko kerjasama yang lebih luas untuk reformasi di bidang demokrasi yang lain, seperti HAM, pemberantasan korupsi, peningkatan peran media, peningkatan peran parlemen, dan peningkatan peran wanita dalam kehidupan politik untuk periode 20122014.147 Selain mendapat status mitra demokrasi, UE juga meningkatkan „advanced status‟ kepada Maroko yang sebelumnya telah diberikan pada tahun 2008. Sebagai kelanjutan program ini, UE memberi „advanced status II‟ kepada Maroko pada tahun 2013. 148 Dengan peningkatan advanced status ini, Maroko akan menyesuaikan legislasinya sesuai 144
Council of Europe, Parliamentary Project Support Division: South Programme Council of Europe, Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco 2012-2014, hlm. 14 146 Ibid 147 Ibid, hlm. 14-15 148 ENPI-Info, “Morocco: new EU support for the implementation of the Advanced Status and educational strategy,” diakses dari http://www.enpiinfo.eu/mainmed.php?id=35218&id_type=1&lang_id=450, pada 12 Oktober 2014 145
64
dengan legislasi UE. Melalui advanced status II ini, UE juga menjanjikan integrasi ekonomi Maroko ke dalam pasar tunggal Eropa.149 Adapun program ini merupakan hasil kerjasama antara European Commission dan Council of Europe. Dalam program ini, selain memberi status kemitraan, UE menggunakan pendekatan incentive based approach atau more for more, dimana UE akan memberi dukungan dana yang lebih besar untuk negara-negara ENP yang lebih cepat dan lebih jauh dalam melaksanakan reformasi demokrasi. Dukungan akan diberikan untuk negara-negara yang setuju dengan rencana reformasi yang diajukan oleh UE.150 2. Bidang Penguatan Peran Parlemen Sebagai kelanjutan pemberian status mitra demokrasi ini, UE mendukung reformasi pemisahan kekuasaan yang telah diinisiasi oleh pemerintah Maroko dengan membantu Parlemen Maroko. Masih melalui Southern Regional Programme, pada tahun 2012, UE meluncurkan program
„Strengthening
Democratic
Reform
in
the
Southern
Mediterranean‟. Dana sebesar 4,8 Juta Euro diberikan kepada Parlemen
149
Ibid European Commission, Joint Communication to the European Council, the European Parliament, the Council, the European Economic and Social Committee and the Committee of the regions: A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean (8 Maret 2011), hlm. 5 150
65
Maroko untuk mendanai program ini, dan dialokasikan untuk tahun 20122014.151 Program tersebut diantaranya menyediakan kerangka kerja yang relevan untuk memperkuat Parlemen Maroko di area reformasi yang telah dilaksanakan oleh Maroko pada tahun 2011, khususnya untuk memperkuat demokrasi, rule of law, serta HAM dan kebebasan fundamental. Ada empat tema yang ditawarkan dalam kerangka kerja ini yaitu, (1) memperkuat mekanisme parlemen, seperti kontrol terhadap pemerintahan, (2) penguatan parlemen di bidang hukum (3) penguatan parlemen di bidang perlindungan hak wanita dan anak-anak, serta partisipasi masyarakat sipil, (4) kapasitas pembangunan komunikasi dan komunitas manajemen dan staf Parlemen Maroko.152 Program ini kemudian didukung oleh program Support for partnership, reforms and inclusive growth (SPRING). Dalam program SPRING, UE mengalokasikan dana sebesar 3 Juta Euro untuk mendukung parlemen Maroko, dan mulai dialokasikan pada tahun 2013. Berikut adalah rincian dana untuk program SPRING di Maroko:
151
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean Partners (27 Maret 2014), hlm. 9 152 Ibid
66
Tabel III.C.1. Rincian Dana Program SPRING Programme Support to National Council and Inter-Ministerial Delegation of Human Rights Support to SMEs and job creation Agricultural Strategy Council Literacy programme Top up of Support to Health sector reform programme Top-up Hakama Support to the Moroccan Parliament Support to the implementation of the Mobility Partnership
Amount 2,9 40 16,1 35 12 9 3 10
(Juta Euro) Sumber: European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 65
3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat sipil Dalam Pembangunan Demokrasi Sebelum Revolusi Arab, kerangka ENP banyak dikritik karena lebih banyak bekerjasama dengan pemerintah dan hanya sedikit bekerjasama dengan masyarakat sipil. Oleh karena itu, bagi masyarakat sipil Maroko, ENP sesungguhnya hanyalah bentuk dari bantuan pembangunan dari UE untuk promosi transisi ekonomi di Maroko. CSO di Maroko lebih banyak didorong untuk menjadi agen dan penjaga hagemoni ekonomi UE.153 Namun demikian, gerakan 20 Februari membuka mata UE bahwa masyarakat sipil di Maroko telah berevolusi dan mampu berkembang
153
Bohdana, Dimitrovova, “Reshaping Civil Society in Morocco Boundary Setting, Integration and Consolidation,” CEPS Working Document, No. 323 (Desember 2009), hlm. 13
67
tanpa bantuan dana dari UE. Selain itu, UE juga menyadari bahwa tujuannya sebagai promotor demokrasi yang kredibel di Maroko tidak hanya membutuhkan dialog dengan masyarakat sipil di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik. Oleh karena itu, dalam kerangka kerja ENP tahun 2011-2013, kerjasama dengan masyarakat sipil menjadi salah satu prioritas utama UE di Maroko.154 Adapun dalam aspek penguatan peran oranisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi, beberapa program telah dibentuk UE untuk mendukung reformasi di bidang ini selama tahun 2011-2013. Pada tanggal 22 Oktober 2011 misalnya, Parlemen Maroko dan Parlemen UE melalui program bilateral ENP menandatangani A New Institutional Act yang berisi penetapan standar untuk kriteria dan peran Partai Politik.155 Sebagai kelanjutan dari kerjasama ini, melalui Southern Regional Programme, UE melalui Union for the Mediterranian (UfM) mendirikan „School of Political Studies‟ pada November 2011. Sekolah ini bekerjasama dengan organisasi non pemerintah lokal, partai-partai politik, dan Parlemen Maroko. Sekolah ini merupakan gabungan dari 16 sekolah ilmu politik di Maroko dan mengadakan pertemuan tahunan. Program ini memberi pelatihan kepada partai politik dan organisasi masyarakat sipil tentang kontrol terhadap pemerintahan.156
154
Ibid Council of Europe, Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco 2012-2014, hlm. 17 156 Ibid 155
68
UE melalui UfM juga mendirikan Civil Society Forum National Platforms di negara-negara ENP, termasuk di Maroko. Forum ini memberikan kesempatan kepada organisasi masyarakat sipil untuk berdiskusi tentang prioritas-prioritas ENP, serta membantu organisasi masyarakat sipil di Maroko untuk melakukan evaluasi terhadap reformasi di bidang demokrasi, good governance, dan pembangunan ekonomi.157 Dalam program bilateral ENP dengan Maroko, delegasi UE membentuk pemetaan organisasi masyarakat sipil Maroko untuk memberdayakan mereka. Sebagai contoh, UE mendukung Anna Lindh Foundation yang berupaya memperkuat dialog masyarakat sipil dengan pemerintah. Anna Lindh Foundation membawahi 3500 anggota dan menjalankan program kerjasama dengan UE selama tahun 2012-2014, dengan alokasi dana 15,35 Juta Euro dari UE. Sebagai bagian dari program ini, UE menyelenggarakan dialog antara organisasi masyarakat sipil dengan pemerintah Maroko, yaitu Citizen for Dialogue sejak tahun 2012, dimana dialog ini menjembatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sipil Maroko.158 Dalam program tematik ENP, UE membangun Civil Society Facility (CSF) di Maroko pada tahun 2011, dan UE mengalokasikan dana
157
European Commission, “Joint Communication To The European Parliament, The Council, The European Economic and Social Committee and The Committee of The Region: Neighbourhood at the Crossroads: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 (27 Maret 2014), hlm. 9 158 European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2012 Regional Report: A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean,” (27 Maret 2014), hlm. 8
69
sebesar 34 Juta Euro pada periode tahun 2011-2013 untuk mendanai fasilitas ini. CSF bertujuan untuk memperkuat dan mempromosikan peran organisasi masyarakat sipil dalam reformasi dan perubahan demokrasi.159 Khusus di Maroko, UE mengalokasikan dana sebesar 1,4 Juta Euro pada tahun 2011, 200.000 Euro pada tahun 2012, dan 200.000 Euro pada tahun 2013 untuk CSF, serta mengalokasikan masing-masing 750.000 Euro di tahun 2011 dan 2012 untuk mendukung aktor-aktor non-pemerintah dan pemerintah lokal di Maroko. Berikut rincian dana untuk program tematik: Tabel III.C.2. Rincian Dana Untuk Program Tematik
Civil Society Facility Instrument for Nuclear Safety Cooperation European Instrument for Democracy and Human Rights Neighbourhood Investment Facility Migration and asylum Non-state Actors and Local Authorities (NSA/LA)
2011 1.400.000
2012 200.000
2013 200.000
n/a
n/a
n/a
1.200.000
1.000.000
1.200.000
37.000.000
15.000.000
15.000.000
873.300
1.594.264
5.000.000
750.000
750.000
0
(Dalam Euro) Sumber: European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 6
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa promosi demokrasi UE dalam tiga aspek yang menjadi fokus penelitian ini yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil, baru dilaksanakan pasca Revolusi Arab. Promosi demokrasi 159
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean Partners,” (27 Maret 2014) hlm. 10
70
dalam tiga bidang ini didorong oleh berubahnya kepentingan UE pasca Revolusi Arab, dimana UE ingin terlibat dalam proses transisi demokrasi di Maroko. Adapun di Maroko, yang telah melaksanakan reformasi konstitusi 2011, UE berusaha untuk menjaga agar Maroko menjaga komitmennya terhadap reformasi tersebut. Adapun promosi demokrasi UE dilaksanakan dalam bentuk pemberian bantuan dana, bantuan teknis, dan peningkatan status kemitraan.
BAB IV ANALISIS PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (ENP) TAHUN 2011-2013 Dalam bab ini, penulis memaparkan hasil penelitian berupa analisis promosi demokrasi Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy (ENP) tahun 2011-2013. Penulis akan menganalisa caracara promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP yang telah penulis paparkan pada bab II dan bab III. Deskripsi mengenai cara-cara promosi demokrasi UE tersebut penulis kaitkan dengan asumsi awal penulis serta dianalisa menggunakan teori dan konsep yang telah penulis paparkan pada bab I, yaitu pemahaman
konstruktivisme,
konsep
promosi
demokrasi
dan
konsep
kondisionalitas. A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas Kolektif UE Berdasarkan pemaparan fakta-fakta yang ditemukan dalam bab II dan bab III penulis melihat bahwa Uni Eropa (UE) berupaya membangun kembali identitasnya sebagai promotor demokrasi di negara-negara tetangganya di kawasan Mediterania Selatan setelah Revolusi Arab, termasuk di Maroko. Adapun komitmen UE terhadap identitasnya tersebut ditunjukkan dengan mendukung proses demokratisasi yang berlangsung di Maroko, setelah
71
72
pelaksanaan reformasi konstitusi 2011 di Maroko. Adapun yang penulis maksud dengan mendukung demokratisasi di sini adalah UE mengetahui progres reformasi demokrasi secara jelas, serta berusaha mempromosikan demokrasi, bukan sekedar mendukung demokratisasi Maroko dan negaranegara tetangganya yang lain, semata untuk membangun hubungan baik dan mempertahankan stabilitas kawasan, sebagaimana pernah dilakukan oleh UE sebelum Revolusi Arab. Upaya pembangunan kembali identitas UE sebagai promotor demokrasi ini ditegaskan oleh pernyataan Presiden Komisi Eropa periode 2009-2014, José Manuel Barroso, pada bulan Maret 2012: “I think it is our duty to say to the Arab peoples that we are on their side! From Brussels, I want to specifically say this to the young Arabs that are now fighting for freedom and democracy: We are on your side.” “Saya rasa ini adalah tugas kami untuk menyatakan kepada masyarakat Arab bahwa kami ada di pihak mereka! Dari Brussels, saya secara khusus ingin menyatakan hal ini kepada para pemuda Arab yang sekarang tengah berjuang untuk kebebasan dan demokrasi: Kami ada di pihak mereka.” 160
Pernyataan ini menunjukkan bahwa UE telah mengakhiri dilemanya antara mendukung demokratisasi atau stabilisasi di kawasan Mediterania Selatan, serta membentuk kembali nilai-nilai dan kepentingan UE. 161 Di Maroko, pergeseran identitas UE ini ditegaskan salah satunya dalam dokumen UE untuk program Partnership for Democracy and Shared Prosperity with
160
Timo Behr, “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab Spring: Can the Leopard Change its Spots?,” Amsterdam Law Forum, Vol. 4, No. 2 (Spring 2012), hlm. 82 161 Ibid
73
the Southern Mediterranean, yang juga berisi beberapa langkah yang diambil UE untuk mendukung transisi demokrasi di Maroko. Di Maroko, UE memiliki agenda
untuk mendukung proses
demokratisasi di tiga bidang politik Maroko yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Agenda ini didorong oleh kepentingan baru UE pasca Revolusi Arab di negara-negara Mediterania Selatan, yaitu mendorong transisi demokrasi di negara-negara tersebut. Adapun kepentingan ini terbentuk dari identitas yang ingin dibentuk kembali oleh UE, yaitu sebagai promotor demokrasi. Hal ini sesuai dengan asumsi Wendt
162
bahwa
kepentingan satu aktor (UE) terhadap aktor lain (Maroko) selalu ditentukan oleh identitas aktor (UE). Identitas UE sebagai promotor demokrasi sendiri didasarkan pada norma demokrasi yang dianut oleh UE. Merujuk pada asumsi Farrell 163 , penulis melihat bahwa norma demokrasi yang dianut oleh UE menyusun perilaku UE terhadap Maroko sehingga perilaku UE tersebut sesuai dengan identitasnya sebagai aktor yang pro demokrasi. Adapun kemudian, Maroko melaksanakan program-program ENP yang mendorong demokratisasi di tiga bidang yang menjadi fokus penelitian ini. Sesuai dengan asumsi Wendt mengenai identitas164, Maroko melaksanakan program-program ENP tersebut 162
Trine Flockhart, “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm.12-13 163 Ibid, hlm. 13-14 164 Ibid, hlm. 14
74
karena Maroko memahami identitas UE sebagai aktor yang pro demokrasi di Maroko. Dilaksanakannya program-program ENP di atas oleh Maroko juga menunjukkan bahwa Maroko telah mengidentifikasi dirinya sesuai dengan identitas UE, yaitu sebagai aktor yang pro-demokrasi. Dengan demikian, telah terbentuk identitas kolektif antara UE dan Maroko sebagai aktor yang demokratis. Interaksi dan komunikasi UE dan Maroko dalam programprogram ENP tersebut telah mengkonstruksi identitas kolektif antara keduanya. Oleh karena identitas UE didasari oleh norma demokrasi, dan UE menginginkan Maroko untuk memahami identitas baru tersebut (agar terbentuk identitas kolektif antara UE dan Maroko), maka UE perlu melakukan transfer norma demokrasi tersebut ke Maroko. Agar transfer norma demokrasi terlaksana, maka perlu dilakukan sosialisasi norma demokrasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Risse, bahwa sosialisasi norma spesifik dilakukan agar identitas kolektif yang didasarkan pada norma tertentu dapat terbentuk. 165 Merujuk juga pada pendapat Sedelmeier 166 , menurut penulis, norma-norma demokrasi UE telah berdifusi dan tersosialisasi kepada Maroko, sehingga terbentuk identitas kolektif antara keduanya. Lebih lanjut menurut penulis, bentuk sosialisasi norma yang dilakukan oleh UE adalah seperti yang diasumsikan oleh Risse, yaitu dengan tekanan
165
Ibid, hlm. 13 Ulrich Sedelmeier, “Collective Identity,” Contemporary European Foreign Policy, ed. Walter Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White (London: SAGE Publication Ltd, 2004), hlm. 124 166
75
eksternal, 167 dimana dalam penelitian ini berupa program kerjasama UEMaroko dalam ENP yang kemudian membentuk reformasi demokrasi Maroko dalam bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Adapun hal ini juga diperkuat dengan perubahan kepercayaan dari aktor domestik di Maroko, yaitu pemerintah dan organisasi masyarakat sipil Maroko, kepada UE sehingga pada akhirnya mau mendukung dan berusaha mengatur reformasi ini. B. Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi Oleh karena norma spesifik yang ingin disosialisasikan oleh UE adalah norma demokrasi, maka sosialisasi norma dapat diwujudkan melalui promosi demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Risse.
168
Adapun promosi
demokrasi biasanya dilakukan seiring dengan adanya proses demokratisasi yang terjadi dalam suatu negara. Sesuai dengan asumsi Grugel dan Nielinger, bahwa demokratisasi merupakan hasil dari berbagai faktor internal dan eksternal.169 Proses demokratisasi di Maroko pada tahun 2011-2013 didorong
167
Jean Grugel, “The “International” in Democratization: Norms and the Middle Ground,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 3 168 Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion? Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010), hlm. 7 169 Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm. 9
76
oleh beberapa faktor internal, yakni terjadinya gerakan 20 Februari dan reformasi konstitusi 2011. Adapun promosi demokrasi dari UE dalam program ENP penulis lihat sebagai faktor eksternal yang mendorong proses demokratisasi di Maroko pada tahun 2011-2013. Demokrasi yang ingin dipromosikan oleh UE sendiri adalah demokrasi substantif dalam tiga bidang reformasi demokrasi Maroko tersebut. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab II bahwa Maroko sesungguhnya telah memiliki standar demokrasi prosedural sejak awal kemerdekaannya, seperti telah adanya pemisahan kekuasaan secara institusional, parlemen, dan organisasi masyarakat sipil. Namun, semua standar demokrasi tersebut hanya tertulis
dalam
konstitusi.
Adapun
pada
praktiknya
Kerajaan
tetap
mendominasi kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, parlemen tidak memiliki kekuatan untuk membuat perubahan, dan tidak ada kontrol rakyat terhadap kebijakan. Maka peran UE di Maroko setelah adanya reformasi konstitusi 2011 adalah memastikan berjalannya reformasi demokrasi yang telah dimulai Maroko, agar demokrasi substantif yang menjadi tujuan demokratisasi dapat terwujud. Sesuai juga dengan asumsi Morlino170, penulis melihat bahwa Maroko tengah mengalami transisi dari rezim politik non-demokratis menjadi rezim yang demokratis, setelah Maroko melaksanakan reformasi konstitusi 2011. Penulis melihat bahwa dalam proses transisi ini, UE sebagai aktor sosial berusaha mensosialisasikan norma-norma demokrasi sebagai landasan bagi 170
Leonardo Morlino, Democracy and Democratization (Bologna: Il Mulino, 2003), hlm. 12
77
karakter pemerintahan baru yang hendak dibangun oleh Maroko. Proses sosialisasi norma-norma demokrasi tersebut menurut penulis adalah bentuk dari promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE sebagai aktor eksternal. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sandschneider,171 bahwa promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE adalah keseluruhan usaha UE sebagai aktor eksternal dalam merubah pola keteraturan politik dan pembuatan kebijakan Maroko, sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan demokratis, di mana dalam penelitian ini adalah adanya pemisahan kekuasaan dan peran parlemen yang jelas, serta partisipasi masyarakat sipil. Bila dikaitkan kembali dengan perspektif konstruktivisme, promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE dilihat sebagai bentuk sosialisasi norma. Merujuk pada pendapat Risse-Kappen, 172 penulis melihat bahwa norma demokrasi yang diharapkan UE dapat dipahami oleh Maroko harus dipromosikan oleh UE sendiri sebagai aktor atau agen sosial. Sebab cara yang demikian menurut Risse-Kappen lebih kondusif dibandingkan dengan cara yang lain. Sementara itu, bila merujuk pada asumsi Barnes, maka promosi demokrasi UE di Maroko ini adalah sebuah proses induksi Maroko ke dalam cara berperilaku yang diharapkan oleh UE, yaitu yang sesuai dengan norma demokrasi UE.
171
Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of International Affairs, Vol. 4 (3) (Summer 2010), hlm. 198 172 Loc.Cit
78
Adapun kemudian, sosialisasi norma dalam wujud promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE dilaksanakan melalui strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement) yang diungkapkan oleh Flockhart. Hal ini terlihat dengan pemberian imbalan materi berupa bantuan dana, bantuan teknis, dan imbalan psikologis dengan menaikkan status kemitraan, yang diberikan UE kepada Maroko. Hal ini dilaksanakan melalui program-program kerjasama ENP sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang merupakan ciri dari strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement). C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di Maroko Merujuk pada asumsi konstruktivisme sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini, instrumen yang dapat digunakan untuk menjalankan strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan (reinforcement) tersebut adalah kondisionalitas. Maka, sesuai dengan definisi umum kondisionalitas yang diungkapkan oleh Killick,173 ENP adalah bentuk dari seperangkat peraturan yang saling mengatur, yang diambil oleh UE, melalui janji-janji dan kebijakan nyata yang diwujudkan melalui programprogram ENP di Maroko. Sesuai juga dengan asumsi dasar kondisionalitas, penulis melihat bahwa program-program yang mendukung demokrasi di Maroko dalam kerangka ENP menghasilkan progres yang dapat mendorong terwujudnya 173
Viljar Veebel, “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre-accession Process”, TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3 (2009), hlm. 208
79
reformasi, yang dalam penelitian ini dilaksanakan dalam tiga aspek, yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, serta penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko dalam pembangunan demokrasi di Maroko. Dalam hal ini, komitmen pemerintah Maroko terhadap pemisahan kekuasaan dan menguatnya peran parlemen telah menciptakan dukungan dari pemerintah Maroko terhadap program-program ENP, sehingga reformasireformasi tersebut semakin mudah dilaksanakan. Asumsi utama dalam konsep kondisionalitas adalah adanya kondisi yang disyaratkan oleh negara yang membuat peraturan dan imbalan yang dijanjikan kepada negara target. Sebagaimana telah dideskripsikan pada bab III, UE selalu mensyaratkan kondisi tertentu pada setiap program kerjasama dengan Maroko dalam kerangka ENP. Dalam program Partnership for Democracy and Shared Proseperity misalnya, UE mensyaratkan adanya progres yang jelas dalam penerapan nilai dan norma demokrasi yang diharapkan UE kepada Maroko. Progres ini kemudian ditunjukkan oleh Maroko dengan melakukan reformasi di bidang pemisahan kekuasaan. Sebagai imbalannya, UE memberikan status „partner for democracy‟ dan meningkatkan „advanced status’ untuk Maroko. Kemudian, penulis melihat bahwa program Strengthening democratic reform in the Southern Mediterranean yang merupakan kelanjutan program Partnership for Democracy and Shared Proseperity adalah bentuk imbalan lain dari UE karena Maroko berhasil melaksanakan reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan. Adapun imbalan yang diberikan UE berupa dana
80
bantuan sebesar 4,8 Juta Euro untuk mendanai program ini 174, dan bantuan teknis untuk mendukung reformasi Maroko di bidang lain, yaitu penguatan peran parlemen. Dalam program ini, UE juga memberi bantuan teknis dengan menyediakan contoh kerangka kerja untuk parlemen Maroko. sebagian kerangka kerja ini kemudian diadopsi sebagai kerangka kerja baru bagi parlemen Maroko sejak tahun 2012. Selain itu, bantuan dana sebesar 3 Juta Euro untuk mendukung Parlemen Maroko dari program SPRING 175 , yang merupakan penunjang program-program kawasan untuk demokrasi Maroko di atas, menurut penulis juga merupakan bentuk imbalan atas kondisi yang disyaratkan oleh UE dalam program SPRING tersebut, yaitu adanya progres individual dari masingmasing negara Mediterania Selatan. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan dan penguatan peran parlemen adalah progres yang dipenuhi Maroko sebagai pra-syarat untuk mendapatkan bantuan dana tersebut. Selain dalam program-program di atas, dalam bidang penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi, UE juga mensyaratkan kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh Maroko dalam beberapa programnya. Secara garis besar kondisi yang disyaratkan oleh UE adalah adanya progres atau reformasi demokrasi di Maroko. Maroko sendiri 174
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean Partners (27 Maret 2014), hlm. 9 175 European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 65
81
berhasil melaksanakan beberapa perubahan terkait peran masyarakat sipil, seperti melaksanakan reformasi konstitusi 2011 sebagai respon gerakan 20 Februari, dan membuka kesempatan bagi CSO Maroko untuk berafiliasi dengan aktor internasional. Penandatangan A New Institutional Act yang mendukung penguatan peran partai politik pada 22 Oktober 2011 misalnya, menurut penulis dilakukan karena Maroko telah berhasil memulai reformasi yang lebih mendasar dalam pemerintahan yaitu reformasi di bidang pemisahan kekuasaan dan penguatan peran parlemen. Menurut penulis, UE melihat bahwa dukungan kepada Partai Politik, sebagai bagian dari masyarakat sipil Maroko, melalui penandatanganan perjanjian ini perlu dilakukan agar reformasi dalam dua bidang sebelumnya yang telah berjalan mendapat keseimbangan dan semakin kuat dengan adanya peran dari organisasi masyarakat sipil Maroko yang mampu mendukung reformasi tersebut. Sementara itu, penulis melihat bahwa program-program ENP lainnya seperti pendirian School of Political Studies dan Civil Society Forum National Platforms oleh UE di Maroko, merupakan bentuk imbalan dari UE atas progres demokratisasi yang ditunjukkan oleh Maroko dengan memulai reformasi demokrasi. Meskipun bukan berupa materi atau dana bantuan, pendirian sekolah politik dan forum diskusi ini merupakan imbalan atas terpenuhinya kondisi yang diinginkan oleh UE yaitu adanya progres demokratisasi yang nyata. Sebagaimana diterangkan oleh Flockhart, kondisionalitas adalah bentuk dari pengaruh sosial (social influence) atau
82
penguatan dukungan (reinforcement), yang dapat berupa materi maupun bukan.176 Meskipun demikian, dalam program ENP lain terkait penguatan peran organisasi masyarakat sipil, penulis melihat bahwa imbalan berupa dana bantuan masih tetap dilakukan oleh UE. Seperti dalam program pembangunan Civil Society Facility di Maroko, dimana UE memberikan dana bantuan setiap tahun selama tahun 2011-2013 untuk mendukung aktor-aktor non-pemerintah dan pemerintah lokal di Maroko. Adapun
kemudian,
merujuk
pada
klasifikasi
kondisionalitas
berdasarkan sifat-sifatnya sebagai sebuah konsep, penulis melihat bahwa kondisionalitas dalam kerangka ENP yang dilaksanakan oleh UE di Maroko terkait reformasi dalam tiga aspek yang telah disebutkan sebelumnya, bersifat Ex Ante Conditionality. Seperti telah dipaparkan dalam penjelasan sebelumnya, bahwa program-program ENP terkait tiga aspek tersebut mensyaratkan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh Maroko, namun pemenuhan kondisi tersebut telah dilaksanakan atau masih berlangsung sebelum perjanjian atau kesepakatan kerjasama untuk program-program tersebut ditandatangani atau disetujui. Sebagai contoh, UE dan Maroko sepakat melaksanakan program Strengthening Democratic Reform in the Southern Mediterranean dan program SPRING terkait penguatan peran parlemen setelah Maroko berhasil
176
Flockhart, hlm. 15
83
melaksanakan reformasi demokrasi, yang merupakan kondisi yang diinginkan oleh UE sebelum program-program tersebut dilaksanakan. Demikian pula program-program terkait penguatan peran organisasi Masyarakat sipil di atas, semuanya dibentuk ketika Maroko menunjukkan progres demokratisasi yang nyata, yang ditunjukkan dengan reformasi di bidang pemisahan kekuasaan dan penguatan peran parlemen. Selain bersifat Ex Ante Conditionality, menurut penulis kondisionalitas dalam kerangka ENP ini bersifat multilateral, karena program-program promosi demokrasi UE di Maroko tersebut dibentuk dan dilaksanakan dalam kerangka ENP yang terdiri atas banyak negara anggota. Penulis juga melihat bahwa kondisionalitas dalam kerangka ENP juga bersifat positif. Sifat ex ante yang dimiliki oleh kondisionalitas ENP menunjukkan bahwa kondisionalitas ENP juga bersifat positif. Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa inisiatif Maroko untuk melakukan reformasi demokrasi dalam tiga bidang tersebut adalah bentuk dari pemenuhan kondisi yang disyaratkan oleh UE sehingga janji UE untuk memberikan insentif tertentu dapat dipenuhi. Merujuk pada asumsi lain dari kondisionalitas positif, penulis melihat bahwa Maroko bersedia memenuhi kondisi yang disyaratkan oleh UE, adalah karena keuntungan atau imbalan yang dijanjikan oleh UE jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan oleh Maroko untuk memenuhi kondisi-kondisi tersebut. Pada pemaparan sebelumnya di bab 1, penulis menjelaskan bahwa UE telah menggunakan kondisionalitas positif sebagai instrumennya dalam
84
mendorong reformasi politik di Maroko sejak awal bergabungnya Maroko dalam ENP.177 Namun, pada periode sebelum Revolusi Arab, kondisionalitas positif UE tidak tepat sasaran karena hanya bergantung pada progres reformasi selain reformasi politik, dan imbalan yang diberikan UE selalu bersifat ekonomis, sehingga tidak mendorong terciptanya reformasi politik di Maroko. Adapun kondisionalitas positif yang terapkan UE di Maroko pada periode 2011-2013, didasarkan pada progres reformasi politik yang jelas, dan tidak hanya menggunakan imbalan ekonomis melainkan juga bantuan teknis yang mendorong reformasi politik di Maroko. Pada akhirnya, beberapa perubahan penting dalam tiga bidang politik yang direformasi oleh Maroko dapat tercapai, seperti penggunaan kerangka kerja parlemen UE oleh Maroko. Adapun promosi demokrasi UE dalam bentuk kondisionalitas yang dijalankan oleh UE di Maroko seperti yang dipaparkan di atas, bila dikaitkan kembali dengan perspektif konstruktivisme yang menjadi landasan penulis dalam menganalisa penelitian ini, merupakan bentuk dari norma UE sendiri yang ingin dipromosikan kepada Maroko. Merujuk pada asumsi Karen Smith 178 , kondisionalitas UE yang penulis lihat dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa ada signifikansi norma atau keyakinan bersama dalam kebijakan luar negeri UE dan Maroko, yaitu norma demokrasi. Selain itu, kondisionalitas UE tersebut juga dapat dilihat sebagai instrumen untuk menjalankan strategi pengaruh sosial (social influence) atau 177
Lihat bab 1, hlm. 4 Karen E. Smith, “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third Countries: How Effective?”,(ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) hlm. 3 178
85
penguatan dukungan (reinforcement). Jadi, kondisionalitas dalam kerangka ENP dijalankan oleh UE, sebagai aktor sosial, untuk merubah perilaku Maroko. Kondisionalitas tersebut juga digunakan sebagai instrumen kontrol sosial UE terhadap Maroko, sehingga bila Maroko pro terhadap perilaku sosial yang diharapkan oleh UE, yang dalam penelitian ini adalah menerapkan norma demokrasi, maka Maroko akan terus diberi imbalan. Dengan demikian, UE berharap pada waktu tertentu (bila masa operasionalisasi programprogram kerjasama di tiga bidang habis), Maroko akan dapat terus menerapkan norma demokrasi tanpa harus mendapat imbalan dari UE. Penggunaan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE juga tertuang dalam tujuan utama ENP. Sebagaimana disebutkan dalam dokumen Copenhagen European Council pada tahun 2002, bahwa ENP bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai Eropa, yaitu demokrasi, melalui kerjasama regional dan sub regional serta integrasi yang dikondisikan untuk kestabilan politik, pembangunan ekonomi, dan pengurangan tingkat kemiskinan. Tujuan ini menunjukkan bahwa kondisionalitas adalah cara UE dalam mempromosikan demokrasi melalui ENP. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa promosi demokrasi yang UE di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013 sesuai dengan landasan pemikiran utama dalam penelitian ini, yaitu konstruktivisme dan dua konsep pendukungnya, yaitu promosi demokrasi dan kondisionalitas, serta sesuai juga dengan asumsi awal penulis yang telah dipaparkan di bab 1. Dapat disimpulkan juga bahwa UE mempromosikan demokrasi dengan menggunakan instrumen
86
kondisionalitas yang diwujudkan dalam ENP dan promosi demokrasi UE melalui ENP ini adalah bentuk sosialisasi norma demokrasi UE di Maroko untuk membentuk identitas kolektif UE dan Maroko. Berikut adalah keseluruhan analisis kerangka pemikiran dan fakta-fakta dalam bab 4: Bagan IV.1. Operasionalisasi Kerangka Pemikiran 179 Konstruktivisme Konstruktivisme
Sosialisasi Norma Sosialisasi Norma
Identitas Kolektif KolektifUEUE-Maroko Maroko Agar identitas kolektif UE dan Maroko terbentuk, Maka norma demokrasi UE harus disosialisasikan melalui promosi demokrasi
Norma
Identitas
Norma UE=Norma UE=Norma Demokrasi Identitas UE= Promotor UE= Promotor Demokrasi
Kepentingan di Maroko: Maroko: Kepentingan UE UE di Mendorong reformasi Mendorong reformasi demokrasi di di Maroko Maroko tahun tahun demokrasi 2011-2013 2011-2013
Promosi Promosi Demokrasi Demokrasi
Strategi Promosi Strategi Promosi Demokrasi Pengaruh Sosial Pengaruh Sosial Kondisionalitas UE Kondisionalitas UE
Bersifat Ex Bersifat Ex Ante, Ante, Multilateral, dan Multilateral, dan Positif Positif 179
Pendapat Penulis
Kondisionalitas UE dilaksanakan melalui program-program ENP di Maroko dalam bentuk bantuan teknis, bantuan dana, dan peningkatan status kemitraan
Kondisionalitas UE=bentuk norma UE yang ingin disosialisasikan di maroko
BAB V KESIMPULAN Promosi demokrasi Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy (ENP) selama tahun 2011-2013 menunjukkan adanya proses konstruksi sosial politik yang dilakukan oleh Uni Eropa di Maroko. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dijalankan melalui beberapa cara, yaitu dengan memberi bantuan dana, bantuan teknis, dan menaikkan status kemitraan Maroko dalam program ENP guna mendorong proses reformasi demokrasi yang tengah berjalan di Maroko selama tahun 2011-2013. Hal ini menunjukkan bahwa Uni Eropa berkomitmen terhadap identitasnya sebagai promotor demokrasi, dengan berusaha mensosialisasikan norma demokrasinya melalui cara-cara tersebut di Maroko. Adapun penelitian ini kemudian menemukan bahwa tujuan utama UE dalam melakukan promosi demokrasi di Maroko melalui program-program ENP selama tahun 2011-2013 adalah terbentuknya identitas kolektif antara UE dan Maroko sebagai aktor yang pro demokrasi. Lebih lanjut, penelitian ini juga menemukan bahwa cara-cara yang digunakan oleh Uni Eropa dalam mempromosikan demokrasi di Maroko melalui program-program ENP tersebut adalah bentuk dari kondisionalitas yang diterapkan oleh UE di Maroko. Penerapan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE juga merupakan cara yang ditempuh oleh UE dalam tujuan utama ENP untuk mempromosikan nilainilai Eropa, yang salah satunya adalah demokrasi. Selain itu, dalam pemahaman
87
88
konstruktivisme kondisionalitas UE juga dapat dilihat sebagai bentuk dari norma UE sendiri yang ingin dipromosikan kepada Maroko. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa kondisionalitas yang diterapkan oleh UE sebagai instrumennya dalam mempromosikan demokrasi di Maroko dilaksanakan secara positif. Cara-cara UE dalam mempromosikan demokrasi di Maroko adalah bentuk imbalan atas kondisi yang disyaratkan oleh UE untuk dipenuhi oleh Maroko. Pemberian imbalan dilakukan UE karena Maroko telah berinisiatif memulai reformasi demokrasi, yang dalam penelitian ini difokuskan pada aspek pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi di Maroko. Dengan kata lain, imbalan tersebut diberikan oleh UE sebagai bentuk motivasi agar proses demokratisasi yang telah dimulai sejak reformasi konstitusi 2011 dapat terus berjalan. Hal ini dilakukan mengingat reformasi yang dilaksanakan Maroko dalam tiga bidang tersebut selalu mengalami hambatan pada periode-periode sebelum tahun 2011, maka peran UE dibutuhkan sebagai pemberi tekanan agar Maroko berkomitmen terhadap reformasi yang dijalankan. Imbalan yang diberikan UE dalam bentuk bantuan dana, bantuan teknis, dan peningkatan status kemitraan pada akhirnya mendorong beberapa capaian penting dalam proses reformasi demokrasi di Maroko. Dalam bidang pemisahan kekuasaan, status mitra demokrasi dan peningkatan advanced status yang diberikan UE semakin menguatkan komitmen Maroko dalam reformasi kekuasaan Kerajaan dan Oposisi. Peningkatan status ini kemudian juga memperkuat reformasi lain di Maroko, yaitu di bidang penguatan peran parlemen. Capaian
89
positif Maroko dalam reformasi di bidang ini adalah penggunaan kerangka kerja yang ditawarkan UE untuk parlemen Maroko sebagai kerangka kerja baru parlemen Maroko sejak tahun 2012. Selain membantu kerajaan dan parlemen Maroko, UE juga mendorong keterlibatan masyarakat sipil Maroko dalam proses reformasi demokrasi, sebagai pengawal reformasi demokrasi yang dilakukan pemerintah Maroko. Berbagai kerjasama dengan Civil Society Organization (CSO) lokal Maroko dibentuk oleh UE sejak tahun 2011, seperti pembangunan Civil Society Facility (CSF) dan pengadaan dialog tahunan, Citizen for Dialogue. Seluruh kerjasama ini bertujuan agar CSO lokal tersebut mampu membantu UE menjadi aktor yang kredibel dalam promosi demokrasi di Maroko. Sebaliknya, CSO lokal Maroko juga membutuhkan dukungan UE untuk mengawal proses reformasi demokrasi yang sedang berjalan di Maroko. Secara keseluruhan, pemahaman konstruktivisme sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini menunjukkan bahwa UE mempromosikan demokrasi melalui kondisionalitas sebagai bentuk pengaruh sosialnya di Maroko. Pengaruh sosial ini kemudian mengkonstruksi pemahaman Maroko terhadap identitas Uni Eropa sebagai promotor demokrasi dan negara yang demokratis. Pada akhirnya pemahaman ini mendorong Maroko untuk terus berkomitmen dan melaksanakan
reformasi
demokrasi
dan
melaksanakan
program-program
kerjasama dalam ENP yang mendorong proses demokratisasi di Maroko.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Dawson, Carl. 2009. EU Intergration With North Africa: Trade Negotiations and Democracy Deficits in Morocco. London: IB Tauris & Co. Ltd. Flockhart, Trine. 2005. “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,” h. 12 di Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe. ed. Trine Flockhart. New York: Palgrave Macmillan. Gänzle, Stefan. 2007. “The European Neighbourhood Policy (ENP): a Strategy for Security in Europe?” h. 110 di The Changing Politics of European Security. ed. Stefan Gänzle dan Allen. G. Sens. New York: Palgrave Macmillan. Grugel, Jean. 2005. “The „International‟ in Democratization: Norms and the Middle Ground,” h. 3 di Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe. ed. Trine Flockhart. New York: Palgrave Macmillan. Guggenberger, Günther. 2006. “Symbolic actions or effective endeavours? The EU‟s activities to promote democracy in Ukraine, Moldova and Belarus.” h. 87 di European Union and its New Neighborhood: Addressing Challenges and Opportunities. ed. Jolanta Grigaliunaité and Sarunas Liekis.Vilnius: Demokratiezentrum Wien. Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Kausch, Kristina. 2008. “Morocco,” h. 10 di Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?. ed. Richard Youngs. Spain: FRIDE. Morlino, Leonardo. 2003. Democracy and Democratization. Bologna: Il Mulino Najem, Tom Pierre. 2003. “State power and democratization in North Africa: Developments in Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” h. 188 di Democratization in the Middle East: Experiences, Struggles, Challenges. ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel. New York: United Nation University Press, 2003 Ruchti, Jeffry J. 2011. Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011. New York: William S. Hein & Co., Inc.
91
Sater, James Nadim. 2007. Civil Society and Political Change in Morocco. New York: Routledge. Schimmelfennig, Frank. 2005. “The EU: Promoting Liberal-Democracy through Membership Conditionality,” h. 107 di Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe. ed. Trine Flockhart. New York: Palgrave Macmillan. Sedelmeier, Ulrich. 2004. “Collective Identity,” h. 124 di Contemporary European Foreign Policy. ed. Walter Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White. London: SAGE Publication Ltd. Smith, Karen E. 2005. “Engagement and conditionality: incompatible or mutually reinforcing?”. h. 23 di Global Europe Report 2: New Terms of Engagement, ed. Richard Youngs. London: The Foreign Policy Centre and The British Council Storm, Lise. 2007. Democratization in Morocco: The Political Elite and Struggles for Power in The Post Independence State. New York: Routledge. Whitman, Richard G. dan Stefan Wolff. 2010. “Much Ado About Nothing? The European Neighborhood Policy in Context,” h. 3 di The European Neighborhood Policy in Perspective: Context, Implementation and Impact. ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff. New York: Palgrave Macmillan. Zehfuss, Maja. 2004. Constructivism in International Relations: The Politics of Reality. Cambridge: Cambridge University Press. Jurnal dan Artikel Jurnal : Behr, Timo. 2012. “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab Spring: Can the Leopard Change its Spots?”. Amsterdam Law Forum, Vol. 4, No. 2: 76-88 Belkaziz, Abdelillah. 2012. “Morocco and democratic transition: a reading of the constitutional amendments – their context and results”, Contemporary Arab Affairs, Vol. 5(1): 27-53. Diunduh 28 Oktober 2014 (http://dx.doi.org/10.1080/17550912.2012.645665) Buehler, Matt. 2013. “Safety-Valve Elections and the Arab Spring: The
92
Weakening (and Resurgence) of Morocco‟s Islamist Opposition Party,” Terrorism and Political Violence Journal, No. 24: 137-156 Cavatorta, Francesco. 2006. “Civil Society, Islamism and Democratisation: The Case of Morocco,” The Journal of Modern African Studies, Vol. 44, No. 2. Diunduh pada 9 Oktober 2014 (http://www.jstor.org/stable/3876155): 203222 Freyburg, Tina et.al. 2011. “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”. Democratization, Vol. 18, No. 4. Diunduh pada 17 Januari 2014 ( http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738) Howe, Marvine. 2000. “Morocco's Democratic Experience,” World Policy Journal, Vol. 17, No. 1. Diunduh pada 9 Oktober (http://www.jstor.org/stable/40209678): 65-70
2014
Kahraman, Sevilay. 2005. “The European Neighborhood Policy: The European Union‟s New Engagement Towards Wider Europe”. Perceptions: 1-28 Karacasulu, Nilüfer dan Elif Uzgören. 2007. “Explaining Social Constructivist Contributions To Security Studies,” Perceptions Journal: 27-48 Kausch, Kristina. 2009. “The European Union and Political Reform in Morocco,” Mediterranean Politics, Vol. 14, No. 2: 165-179 Lavenex, Sandra dan Frank Schimmelfennig. 2011. “EU democracy promotion in the neighbourhood: from leverage to governance?,” Democratization, Vol. 18, No. 4. Diunduh Pada 7 Oktober 2014 (http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584730) Malka, Haim dan Jon B. Alterman. 2006. “Arab Reform and Foreign Aid: Lessons from Morocco,” CSIS Significant Issues Series, Vol. 28, No. 4: 197 Molina, Irene Fernandez. 2011.“The Monarchy vs The 20 February Movement: Who Holds the Reins of Political Change in Morocco?” Mediterranean Politicsi, Vol. 16, No. 3. Diunduh pada 16 Agustus 2014 (http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2011.614120):435-441 Nugroho, Ganjar. 2008. “Constructivism and International Relations,” Global & Strategis, Th. II, No. 1: 89-110 Parmentier, Florent. 2006. “The European Neighborhood Policy as a Process of
93
Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”. Les Cahiers europeens de Sciences Po. No. 02 (2006): 2-23. Reinhard, Janine. 2010. “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of International Affairs, Vol. 4 (3): 196213 Sater, James N. 2009. “Parliamentary Elections and Authoritarian Rule in Morocco,” Middle East Journal, Vol. 63, No. 3. Diunduh pada 9 Oktober 2014 (http://www.jstor.org/stable/20622927): 381-400 Wendt, Alexander. 1992. “Anarchy is what states make of it”. The MIT Press, Vol. 46, No. 2: 391-425 White, Gregory. 1997. “The Advent of Electoral Democracy in Morocco? The Referendum of 1996,” Middle East Journal, Vol. 51, No. 3. Diunduh pada 9 Oktober 2014(http://www.jstor.org/stable/4329087): 388-404 Veebel, Viljar. 2009. “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre accession Process”, TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3: 207-231 Skripsi dan Tesis : Kamp, Mathias. 2007. “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures”. Skripsi: Universities of Münster and Twente Meyer, Eike. 2007. “Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework of The European Neighborhood Policy”. Tesis: Universitat Potsdam. Rosenkӧtter, Simon. 2011. “Assessing The Impact of EU Neighborhood Policies on Democratization in Morocco and Egypt”. Skripsi: Universiteit Twente. Vizdoaga, Maria. 2013. “The effectiveness of the EU policies in promoting democracy in Moldova”. Tesis: Leiden University.
Dokumen Khusus : Akesbi, Azeddinne. 2011. “Civil Society Index for Morocco”. CIVICUS Civil
94
Society Index Anlytical Country Report: International Version. Anwar, Tasniem, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork. 2013. “The State and Capacity of Civil Society”. Zeytun Research Paper, Morocco Program 2012-2013, University of Amsterdam Arieff, Alexis. 2012. “Morocco: Current Issues”. CRS Report for Congress, Congressional Research Service Ben Ali, Driss. 2005. “Civil Society and Economic Reform in Morocco”. ZEF Project Research Paper, Universitat Bonn. Council of Europe. 2011. Parliamentary Project Support Division: South Programme Council of Europe. 2012. Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco 2012-2014 Daadaoui, Mohamed. 2013. “Party Politics and Elections in Morocco”. The Middle East Institute Policy Brief, No.29. Departemen Ekonomi dan Keuangan Maroko, “Morocco- EU Relations : Towards an Advanced Status Partnership” (November 2007) Dimitrovova, Bohdana. 2009. “Reshaping Civil Society in Morocco Boundary Setting, Integration and Consolidation”. CEPS Working Document, No. 323. Entelis, John P. 2011. “Morocco‟s “New” Political Face: Plus ça change, plus c‟est la même chose”. Policy Brief Project on Middle East Democracy European Commission. 2006. EU-Morocco Action Plan. European Commission, Joint Communication to the European Council, the European Parliament, the Council, the European Economic and Social Committee and the Committee of the regions: A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean (8 Maret 2011) European Commission, “Joint statement by High Representative Catherine Ashton and Commissioner Stefan Fule on the referendum on the new Constitution in Morocco”, MEMO/11/478 (2 Juli 2011). European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the
95
European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean Partners (27 Maret 2014) European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret 2014) European Commission, “Joint Communication To The European Parliament, The Council, The European Economic and Social Committee and The Committee of The Region: Neighbourhood at the Crossroads: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 (27 Maret 2014) Khakee, Anna. “Assessing Democracy Assistance: Morocco”, Fride Project Report. Mei 2010. Kausch, Kristina. 2008. “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?”. ECFR/FRIDE Working Paper, No.01. Kausch, Kristina. 2010. “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?,” FRIDE Policy Brief, No. 43. Leahy, Megan. 2011. “A New Tool for Democratization within the European Neighborhood Policy: The “Advanced Status” Program in Morocco”. Paper Akademik, North Carolina: University of North Carolina. Lesser, Ian O, Geoffrey Kemp, Emiliano Alessandri, dan S. Enders Wimbush. “Morocco‟s New Geopolitics: A Wider Atlantic Perspective,” GMF Wider Atlantic Series. Washington DC: The German Marshall Fund of the United States, 2012. Monjib, Maâti. 2011. “The “Democratization” Process in Morocco: Progress, Obstacles, and the Impact of the Islamist-Secularist Divide”. Working Paper, The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings Institution, No. 5. Rhanem, Karima. “Morocco turns Arab spring into a summer of Reform”. Pidato dalam Euro-Arab Seminar on Empowerment of Youth Organization and Led Civil Society Initiatives (22-24 Maret 2012) Smith, Karen E. “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third Countries: How Effective?”, (ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) Warning, Martina. 2006. “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the
96
Democratization Impact of the European Union in Morocco and Turkey”. CIRES Working Paper Series, WP4. Wesselink, Edzard dan Ron Boschma. 2012. “Overview of the European Neighbourhood Policy: Its History, Structure, and Implemented Policy Measures,” SEARCH Working Paper, WP1/04. Westminster Foundation For Democracy. 2014. “Increasing Political Participation and Transparency in The Moroccan Parliament 2012-2015,” Wolff Jonas dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion?Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010) Zemni Sami dan Koenraad Bogaert. 2006. “Morocco and the Mirages of Democracy and Good Governance”. UNISCI Discussion Papers, No. 12. Artikel dari Website Internet : ENPI Info, “Morocco: new EU support for the implementation of the Advanced Status and educational strategy,” diakses dari http://www.enpiinfo.eu/mainmed.php?id=35218&id_type=1&lang_id=450, pada 12 Oktober 2014 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “Morocco,” diakses dari http://ec.europa.eu/europeaid/where/neighbourhood/countrycooperation/m orocco/morocco_en.htm pada 17 Maret 2014 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “What is the European Neighborhood Policy,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/about-us/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it Work?,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “The Association Agreement EU-Morocco,” diakses dari http://eeas.europa.eu/morocco/association_agreement/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 EU External Action Services, “How Is It Financed?”, diakses dari
97
http://eeas.europa.eu/enp/how-is-it-financed/index_en.htm pada 7 Oktober 2014 Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “Strategic Plan for Upgrading and Enhancing The Work of The House of Representatives,” (25 Desember 2012), diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014 Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “The Parliamentary Assembly of the Union for the Mediterranean,” diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014 Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representatives, “The Board Members”, diakses dari http://www.parlement.ma/en/_organo3.php?filename=201202011459500 pada 21 November 2014 Morocco on The Move, “Morocco 2011 Parliamentary Elections,” diakses dari http://moroccoonthemove.wordpress.com/faq-moroccos-2011parliamentary-elections/,diakses pada 5 Agustus 2014 Morocco on The Move, “Morocco Is Irrevisibly Comitted To Democratic Reform and Good Governance,” diakses dari http://moroccoonthemove.wordpress.com/press‐releases‐morocco‐delivers/ pada 22 April 2014
97
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pernyataan Štefan Füle, European Commissioner for Enlargement and European Neighborhood Policy periode 2009-2014, terkait reformasi demokrasi Maroko
EUROPEAN COMMISSION MEMO
MEMO/12/24 Brussels, 20 January 2012
Š. Füle in Morocco: We stand behind your reform efforts Rabat (20th January) – “Morocco is doing well in the reform process and the European Union appreciates this progress,” Commissioner for Enlargement and European Neighbourhood Policy Štefan Füle said during his visit to Rabat. “I came here with a clear message that the Commission stands firmly behind your reform efforts and expect these efforts to be continued,” he stressed when meeting the Head of the Government Abdelilah Benkirane and several members of the cabinet, as well as the leaders of both Chambers of the Parliament. Commissioner Füle held talks with the Moroccan counterparts on the same day as the Government presented its program to the Parliament. Commissioner Füle was the first high-ranking EU official visiting the country after the November legislative elections and after the appointment of the new Government headed by Mr Benkirane.
“I can express my satisfaction, that barely one year after my last visit to Rabat, several important changes occured: a new constitution was approved in the July referendum, free and fair elections took place and now the new government is taking the reform agenda forward,“ Mr Füle said and added that the EU was keen to see this reform agenda to succeed, while continuing to provide its support based on the principles of new neighbourhood policy. “The extent of our support and increased cooperation should reflect the needs and ambitions of our partners. For more progress in democratic and economic reforms there will be more EU assistance,” the Commissioner said, acknowledging that much has been achieved in Morocco so far but that there are still important reforms to be implemented to ensure lasting stability and a stronger and more inclusive economic development so that the legitimate aspirations of the people could be met. He was reassured by the determination of his interlocutors to continue and to strengthen the transformation of their country with a “new generation of reforms”. The partners on the Moroccan side expressed willingness to increase bilateral cooperation and dialogue on a wide range of issues, underlining that Morocco would be a strong and reliable partner for the EU. In addition to the Head of Government Mr Füle held talks with the speaker of the Chamber of Representatives Karim Ghellab, speaker of the Chamber of Councillors Mohamed Cheikh Biadillah, Minister of Foreign Affairs Saâdeddine El Othmanim, Minister of Economy and Finance Nizar Baraka and Minister of Agriculture and Fisheries Aziz Akhannouch. Commissioner Füle and Minister Baraka launched two projects financed from the EU Neighbourhood Investment Facility to help Morocco to reduce its energy dependency and increase efficiency in water delivery : “Both projects amount to 37 millions € in EU grants but they have a much higher value as they are leveraging large loans from EU development banks, for a total amount of more than 600 million euros. These are just small examples of the advantages stemming from our support to the transformation of Morocco,” Mr Füle said. The first project is for the Ouarzazate Solar Power Plant (€ 30 mil) and the other one for Drinking Water Efficiency Programme (€7 mil). During his visit to Rabat Commissioner Füle also met representatives of civil society and discussed with them the extent and the results of the reforms undertaken in Morocco so far, in order to gain a better understanding of citizens' aspirations. The Commissioner explained that, under the new European Neighbourhood Policy, there is now much a greater focus on the EU´s support for and partnership with civil society, which has a key role in the sustainability of the democratisation process.
Lampiran 2
Press Release resmi dari European Commission untuk program-program ENP di Southern Neighbours pasca Revolusi Arab
Catatan: data ini hanyalah bagian pembukaan dan bagian khusus Maroko dari keseluruhan dokumen yang berjumlah 12 halaman.
EUROPEAN COMMISSION MEMO MEMO/11/918 Brussels, 16 December 2011
The EU's response to the 'Arab Spring' Since the first demonstrations in Tunisia in December 2010, a wave of popular discontent has shaken the Arab world, with people calling for dignity, democracy, and social justice. Despite the unexpected magnitude of these uprisings, the EU has been quick to recognise the challenges of the political and economic transition faced by the region as a whole. It has also recognised the need to adopt a new approach to relations with its Southern neighbours. The EU has engaged politically with a wide range of government, opposition, parliamentary and civil society interlocutors in the region through visits from the President of the Commission, the President of Parliament, the HR/VP and several Commissioners. The EU's strategic response to the Arab Spring came as early as 8 March 2011, with the joint communication of the High Representative/Vice President (HR/VP) Catherine Ashton and the Commission proposing "A partnership for democracy and shared prosperity with the Southern Mediterranean". This communication stresses
the need for the EU to support wholeheartedly the demand for political participation, dignity, freedom and employment opportunities, and sets out an approach based on the respect of universal values and shared interests. It also proposes the "more for more" principle, under which increased support in terms of financial assistance, enhanced mobility, and access to the EU Single Market is to be made available, on the basis of mutual accountability, to those partner countries most advanced in the consolidation of reforms. This approach was further elaborated in another joint communication on 25 May which initiated the launch of "a new response to a changing Neighbourhood". The EU is committed both in the short and long term to help its partners address in particular two main challenges: - First, to build “deep democracy”, i.e. not only writing democratic constitutions and conducting free and fair elections, but creating and sustaining an independent judiciary, a thriving free press, a dynamic civil society and all other characteristics of a mature functioning democracy. - Second, to ensure inclusive and sustainable economic growth and development, without which democracy will not take root. A particular challenge is to ensure strong job creation. The EU's response in Morocco On 2 July 2011, HR/VP Catherine Ashton and Commissioner for the ENP Stefan Füle welcomed the positive outcome of the referendum on the new Constitution which endorsed the reforms proposed by King Mohammed VI. They also reiterated the EU's support for Morocco's efforts to implement these far-reaching reforms. The EU sent an expert mission to assess the parliamentary elections of 25 November. The setting up of the Mobility Partnership with Morocco was launched in Rabat in October and the EU gave a new impetus to the negotiations for the new Action Plan of the Advanced Status, which resumed in December. Moreover, the preparatory process for the future negotiations for a Deep and Comprehensive Free Trade Area (DCFTA) with Morocco will be launched in early 2012. As regards financial support, the five priority areas for cooperation remain the same: development of social policies, economic modernisation, institutional support, good governance and human rights, and environmental protection. The indicative budget for 2011-2013 is €580.5 million, which represents a 20% increase in comparison with the budget of 2007-2010. Morocco also benefits from other thematic and regional programmes and will get further support under the Civil Society Facility and Erasmus Mundus.
Lampiran 3 Press Release resmi dari European Commission untuk program SPRING
EUROPEAN COMMISSION
MEMO MEMO/11/636 Brussels, 27 September 2011
EU response to the Arab Spring: the SPRING Programme
The Support to Partnership, Reform and Inclusive Growth – the SPRING Programme, adopted today - directly responds to the events of the Arab Spring. Initiatives supported by SPRING will focus specifically on two of the renewed EU policies in the region. 180. Aims The main aim is to respond to the pressing socio-economic challenges that partner countries of the southern Mediterranean region are facing and to support them in their transition to democracy. Support provided through the SPRING programme will be tailored to the needs of each country, based on an assessment of the country's progress in building democracy and applying the 'more for more' principle. 'More for more' means that the more a country progresses in its democratic reforms and institutional building, the more support it can expect from the SPRING programme.
180
COM(2011)303.
Implementation Initiatives supported through the SPRING programme will complement alreadyongoing activities in partner countries, supported at EU level or bilaterally by EU Member States, as well as by other donors. Initiatives will be identified by EU Delegations working closely with partner governments, EU Member States and international stakeholders. All Southern Neighbourhood partners' countries will benefit from the programme. Depending on conditions in each individual country, it is expected that initial support in 2011 may go to Tunisia, Egypt, Jordan and Morocco. Expected results Democratic Transition Depending on the rhythm of reform in each country, concrete results are expected in the field of human rights and fundamental freedoms, democratic governance, freedom of association, expression and assembly and free press and media. Improvements in public administration, rule of law and fight against corruption –– are also anticipated. Sustainable and inclusive growth and economic development Results are expected in a number of areas including a better regulatory framework for business, increased numbers of Small and Medium Enterprises (SMEs); as well as a reduction in internal social and economic disparities. Funds Amount : €350 million - €65 million will be committed in 2011 - €285 million will be committed in 2012 (subject to the approval of the Budgetary Authority) Budget Source: European Neighbourhood and Partnership Instrument (ENPI) Duration: 2011 - 2012
Lampiran 4 Press Release resmi dari European Commission untuk program Civil Society Facility
EUROPEAN COMMISSION MEMO
MEMO/11/638 Brussels, 27 September 2011
EU response to the Arab Spring: the Civil Society Facility
The Communication on “A new response to a changing Neighbourhood” - the culmination of a comprehensive review of the European Neighbourhood Policy launched in 2010, outlines a new approach towards the EU‟s neighbours to the East and South, based on mutual accountability and a shared commitment to respecting universal values, international human rights standards, democracy and the rule of law. Acknowledging civil society‟s role to contribute to policy-making and hold governments to account, the Communication commits to supporting a greater role for them through a partnership with societies, helping non-state actors develop their advocacy capacity the ability to monitor reform and their role in implementing, monitoring and evaluating EU programmes. It also paves the way for more intensive engagement with all those stakeholders who are already involved in the implementation of the Eastern Partnership. Most importantly, it proposes the establishment of a Civil Society Facility to provide funding for non-state actors.
The Facility is also referenced in the Communication on “A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean” 181, outlining the EU‟s response to recent events in the Neighbourhood South. The Components of the Civil Society Facility 2011-2013 The Neighbourhood Civil Society Facility is made up of three components, to be funded over 2011-2013: Component 1: Strengthening capacity of civil society, through exchanges of good practice and training, to promote national reform and increase public accountability, to enable them to become stronger actors in driving reform at national level and stronger partners in the implementation of ENP objectives. Component 2: Strengthening non-state actors through support to regional and country projects, by supplementing the funding available through thematic programmes and instruments. Component 3: Promoting an inclusive approach to reforms by increasing the involvement of non-state actors in national policy dialogue and in the implementation of bilateral programmes. Funds Amount: €22M Budget Source: European neighbourhood and partnership instrument (ENPI) Duration: 2011-2013
181
COM(2011)200