PROLOG
REA MIYAZAKI Dan menyimpan rasa pada sahabat sendiri adalah siksa besar buat gue. Seperti sekarang saat gue lagi asik baca buku di KopiO Citos, gue baca hampir satu buku tanpa tahu tokoh-tokoh di buku itu lagi ngapain. Karena otak gue sibuk nungguin dia yang janji mau jemput gue dan ngajakin gue makan bubur ayam. Pernah ngalamin kayak gue? Berada sangat dekat dengan seseorang yang gak pernah bisa gue panggil 'Sayang' karena dia sahabat baik gue.
VEAN LAZUARDI * backsound * But behind the scene, she means the world to me, I wanna tell her that she's beautiful and show her that she's loved,, hold her hands when she's scared, tell her how much I care … but that won't win her heart because ... * fill in the blanks with your own words …*
REA MIYAZAKI Dua jam gue menunggu Vean. Sebentar lagi gue bakalan masuk angin. Buku yg gue bawa udah kelar gue baca, dan seperti biasa komen Vean buat novel yang gue baca selalu saja sama -klise-. Oke Vean, gue pulang. Doakan malem ini
gue bisa tidur
nyenyak tanpa teringat ama Big Mac gue, Vean Lazuardi. Sudah jam 21.35 WIB dan gue terlalu gengsi buat menelepon Vean menanyakan apa mungkin dia lupa janjian makan bubur ayam bareng? Gue masuk ke mobil, dengerin The Script, pulang.
VEAN LAZUARDI Damn! Kenapa sih harus meeting dadakan di Alam Sutera yang jaraknya dari kantor gue di jalan Gatot Subroto tuh kayak pindah planet saking macetnya. Kenapa sih gue musti lupa bawa charger handphone? Kenapa gak bisa cari kesempatan buat online dari laptop? Kenapa harus gue yg diminta presentasi malem ini? Gue sibuk merapal segala kutukan buat diri gue sendiri yang gak bisa menghubungi Rea sama sekali.Begitu turun dari taksi di depan Citos, gue segera menuju Kopi-O, celingukan nyari sosok Rea. Jam 21.45 WIB, gue pesan secangkir kopi, melepas lelah sambil dengerin The Script dari laptop milik gue.
2
I'll leave the door on the latch If you ever come back, if you ever come back There'll be a light in the hall and a key under the mat If you ever come back There'll be a smile on my face and the kettle on And it will be just like you were never gone There'll be a light in the hall and a key under the mat If you ever come back, if you ever come back now Oh if you ever come back, if you ever come back By The Script
Same old songs, just one more…
3
MORNING COFFEE ~ There is always time for coffee ~
REA MIYAZAKI Gila ini orang ngapain pagi-pagi muncul di depan pintu apartemen gue, cuman buat nganterin bubur ayam! “Utang gue semalam Re, sorry gue ada meeting dadakan, gak bawa charger pula.” Vean ngomong sambil membuat kopinya sendiri di dapur apartemen gue. Gue berusaha buat nggak lompat-lompat girang waktu melihat Vean datang ke apartemen gue. “Ekh semalem gue ketemu Mala. Gue udah capek ngantuk pengen pulang, ekh dia masih seger cantik gitu, mo dugem katanya. Hahaha…” Vean ngoceh menceritakan Mala, salah satu sahabat kami, sambil tangannya masih sibuk mengaduk secangkir kopi hitam favoritnya. Dan gue hanya tertawa sambil makan bubur ayam dibawain Vean. Menurut gue, ini bubur ayam paling enak yang pernah gue makan! Dear morning, I wish I can stay in this time forever. Only me and him, no matter what our feeling, just wanna stay in this time.
4
“Vean, kalau disuruh milih cewek atau kopi sama rokok. Loe pilih mana?” Iseng gue nanya. “Kopi, rokok, sama Indomie.” Jawab Vean dengan muka datar. “Hahaha, kenapa?” Gue penasaran. “Kopi, rokok, sama Indomie itu selalu ada kapan saja gue butuh mereka, dan mereka gak pernah menuntut gue selalu ada buat mereka. Simpel.” Vean menatap ke arah gue. Dan gue tidak punya keberanian untuk menatapnya balik, lalu bilang kalau gue akan selalu ada kapan saja Vean butuh gue.
VEAN LAZUARDI Shit! Apa yang udah gue lakukan sama Rea? Semoga bukan gue yang bikin matanya sembab kayak habis nangis semaleman. Takjub gue liat Rea dengan mata sembab kayak gitu, tapi nafsu makannya mengalahkan orang buka puasa! Cowok lain bakalan dengan mudahnya memanfaatkan situasi pagi kayak gini buat mendekati cewek yang disukainya. Bayangkan, sepagi ini gue bisa duduk di balkon apertemen Rea, menikmati kopi berteman sebatang rokok. Di depan gue, Rea memakai celana pendek dengan kaos oblong kedodoran tanpa lengan, plus kalung Iron Man yang setahu gue gak pernah lepas dari lehernya, duduk bersila menikmati bubur ayam yang gue 5
bawakan. Lalu apanya yang salah kalau gue lebih suka melihat Rea seperti ini? Apanya yang salah kalau gue tidak memilih untuk bisa duduk berdekatan dan menggenggam tangan Rea? Karena gue nggak pernah mau jadi alasan yang bikin Rea sedih. “Re, Loe jadi ambil beasiswa kursus fotografi ke Paris?” Gue nanya karena kalau diem aja gue tambah grogi berduaan sama Rea kayak gini. “Jadi. Jadwal berangkatnya belum pasti sih, bisa jadi tahun ini atau tahun depan, tergantung D’Magazine kapan mereka sanggup melepas fotografer handal kayak gue ini. Hahaha…” Rea tergelak. “Kenapa? Loe bakal kangen gue ya kalau gue berangkat ke Paris?” Sekali lagi Rea tergelak. Gue tersedak!
6