Playlist of Novel!
Prolog
10
The Lady Gaga Concert
12
The Tickets
24
A Boy Named Juna
39
Perjanjian Mematikan
50
First Mission
61
The Effect of The Kiss
81
Seseorang Dari Masa Lalu
105
L.o.v.e?
119
A New Love & Life
132
A Devil Named Dino
149
Jonathan
164
“You Are Died, Dino!”
179
Me, Him And Lady Gaga
194
Prolog “Hi, Little Monsters Indonesia! Get yourself ready! I’m going to rock Sentul International Convention Center Jakarta on 18 December 2012! Prepare youself and got the beat!” Seketika saja aku melongo begitu membaca tweet pada timeline jejaring sosialku tersebut. Aku memang sengaja mem-follow akun Lady Gaga, sehingga begitu ada kabar terbaru dari artis fenomenal favoritku itu, maka info tersebut akan langsung muncul di dinding akun-ku. “WHAAATTTT????? LADY GAGA KONSER DI INDONESIAAAA??????”
MAU
Aku nyaris berteriak sekencang-kencangnya saat menatap layar komputer dikamarku. Ini benar-benar susah dipercaya. Mataku terus memandangi deretan tulisan dalam tweet itu. Ini seriusan? Lady Gaga konser Indo??????Hiahhh… Sungguh susah dipercaya.
di
Aku nggak heran kalau Justin Bieber atau Katy Perry diundang konser disini. Tapi aku masih bener-bener nggak ‘ngeh’ kalau ‘The Mother of Monster’ itu yang bakal diundang. Secara, Lady Gaga kan kontroversial dan berani banget. Lagipula, sekalinya manggung pasti harga 2
tiketnya mahal banget. Makanya, aku belum seratus persen percaya dengan pesan itu. Bisa saja itu cuma pesan hoax yang dibikin orang iseng kan? Maka sekali lagi, ku double-cek notif tersebut. Asli. Benar-benar dikirim oleh akun resmi milik Gaga. Tak lupa aku juga membuka website resminya. Dan aku dapat jawaban yang sama. Lady Gaga memang mau menghelat serangkaian konser di Asia. Dan Indonesia, masuk dalam salah satu destinasi. Maka sontak, aku mendengus gembira. Finally... Penyanyi favorit ku itu bakal menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini. Aku harus dapat tiket dan nonton konsernya. Harus! Aku nggak peduli bagaimanapun caranya.
3
LOKET SATU: The
Lady Gaga Concert “Don’t call my name…. Don’t call my name…. Alejandro… I’m not your babe…… I’m not your babe…… Bye, Fernando………..” (Alejandro-Lady Gaga)
S
uara indah Stefanie Joanne Angelina Germanotta1 tersebut terus terdengar dari earphone Converse yang menyumpal lekat di kedua telingaku. Seirama musik, kakiku melangkah menyusuri koridor sekolah yang dipenuhi siswa sembari mencari-cari kelasku. Beberapa orang yang sedari tadi nyaris menabrakku tak kuhiraukan. Tepatnya, aku tak punya ketertarikan untuk menghiraukan mereka. Aku hanya hidup dalam duniaku. Yep, dunia dimana hanya ada aku, dan penyanyi idolaku—Lady Gaga. Dunia dimana lagu-lagu ciamik Gaga adalah playlist-nya. Dan dunia dimana semua tokoh yang ada meneriakkan nama Gaga, Gaga dan Gaga.
1
Nama asli Lady Gaga. Lady Gaga hanyalah nama panggung yang diberikan oleh produsernya.
4
Dan tak lama, langkahku berhenti di depan sebuah kelas. Sepintas kulirik papan yang ada diatas pintu. Kelas 2 IPA 3. Yup. Inilah kelasku. Kelas dengan tembok yang dicat warna biru toska—dimana aku dan teman-temanku telah menghabiskan seperempat masa kehidupan SMA kami. Kelasnya tidak terlalu besar, sama seperti standar ruang kelas lain disekolah kalian. Ada papan tulis dan sebuah meja guru di depan ruangan, serta sekitar dua puluh bangku berjajar ke belakang. Bangkunya sendiri terdiri dari satu meja dan dua buah kursi kayu yang umurnya tak kuketahui. Lagipula, rasanya sangat kurang kerjaan memikirkan seberapa tua umur sebuah bangku. Sekilas, kusapukan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan kelas. Belum banyak anak-anak yang datang. Hanya terlihat tiga—empat orang yang sudah setia duduk di bangkunya. Ada Rani yang tengah sibuk mengutak-atik jepit rambut didepan sebuah cermin kecil dimejanya. Ada juga Febby yang sedang membolak-balik novel Bergdorf Blondes karangan Plum Sykes. Sepertinya, gadis itu memang maniak novel-novel chicklit. Dan yang terakhir ada Bimo, teman sebangkuku yang lagi sibuk dengan hape-nya. Jelas saja. Ini baru jam setengah tujuh, masih terlalu pagi untuk anak-anak berangkat ke sekolah. Biasanya anak-anak baru datang pukul tujuh kurang lima belas menit. “Woy… Pagi-pagi udah SMS-an nih yeee…” godaku kepada Bimo begitu sampai dibangku kesayanganku yang terletak dipojok sebelah kanan, dimana para setan-setan suka muncul. Ya kamilah setansetan itu.
5
“Ah lo… Tit… Baru aja gue mau SMS elo, eh taunya udah nongol disini. Bener-bener ajaib, tau aja kalo gue lagi kangen sama lo, hehehe.” Cowok berambut keriting dan berkacamata itu nyengir kuda. Menampakkan deretan gigi-gigi putih yang berjajar rapi seperti yang di iklan pasta gigi CLOSE OPEN. Eh, Close Up maksudnya, hehe. Cowok ini sebenarnya ganteng naudzubillah. Ganteng dalam arti yang sebenar-benarnya. Kulitnya putih bersih tanpa setitik jerawat pun. Hidungnya mancung seperti tugu Monas. Dan bibir tipisnya—yang selalu berwarna merah muda selalu nampak menggoda. Badannya juga lumayan terbentuk karena dia juga ikut ekskul basket. Tapi cuma satu yang sayang. Just like me, he is gay. Yepp. Terkadang manusia sempurna pasti punya kelemahan kan. Memang begitulah takdir alam. Sebenarnya banyak banget cewek populer nan cantik yang ngejar-ngejar dia. Cuma ya itu, nggak ada satupun yang nyantol di hatinya. Tau alasannya? Ya karena dia memang nggak punya rasa sedikit pun sama mereka. Oke, tentang persahabatan kami, nggak banyak yang bisa diceritakan. Kami berdua bertemu dan kenalan pada hari pertama Masa Orientasi Siswa. Yah, memang cerita klise seperti yang ada pada sinetron indonesia. Semenjak itu kami lalu akrab, berteman baik, dan tetap sekelas dan sebangku hingga sekarang. Tapi bukan itu yang akan aku ceritakan sekarang. Biar kalian penasaran dulu. Nanti jika tiba saatnya, akan kuceritakan persahabatanku dengannya. Oke. Balik ke cerita. SREK! Tanpa basa-basi, kusodorkan sebuah poster besar di hadapan Bimo. Itu poster konser Lady Gaga yang 6
sempat ku print semalam. Sesaat cowok itu melirik, lalu mendekatkan kepalanya karena matanya yang minus satu setengah itu tak bisa melihat dengan jarak jauh. So, apa gunanya kacamata yang dia pake dong? Sesaat, ia hanya terdiam membaca tiap kalimat dalam poster itu. Kemudian tiba-tiba, dia menoleh kearahku tanpa aba-aba. Spontan aku kaget. Rasanya nyaris copot saja jantungku andai aku hilang kendali. “So? Gimana pendapat lo?” aku nyengir kuda, minta pendapat pada Bimo yang serta merta melemparkan tatapan tajam padaku. “Ryanindra Ardika Bagustito! Sampe kapan sih lo mau terus mengagumi Lady Gaga? Plis deh! Memangnya nggak ada artis lain yang lebih keren buat dikagumi ya selain cewek agresif yang demen bikin kontroversi macam dia?” Bimo langsung nyerocos saja seperti bemo yang remnya blong. Matanya masih menatap sinis kepadaku. “Ardian Ariyo Bimo!” timpalku membalas menyebutkan nama lengkapnya. “Sampai nenek lu bunting dan ngelahirin lagi pun gue nggak bakal berpaling dari Lady Gaga. Gue udah mendedikasikan diri buat jadi Little Monster2 sejati! Dan gue juga udah terlanjur ngefans berat sama dia.Titik.” Bimo mendengus, nafasnya kenceng banget, sampai-sampai aku nyaris terbang olehnya. “Emang apa istimewanya Lady Gaga, sih? Dia cuma seorang cewek biseksual yang ekshibionis!”celos Bimo, membuat aku seketika mendelik kejam.
2
Sebutan untuk fans Lady Gaga.
7
“Menurut gue dia bukan ekshibionis. Tapi kreatif!” “Orang kreatif nggak bakal ada yang pakai baju dari daging atau bra dari pistol kayak dia.” “Justru itu yang namanya kreatif! Memanfaatkan segala sesuatu yang ada untuk mendukung performance. Itu namanya keren!”belaku. Maka pagi itu, perang dunia pun kembali dimulai. Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu saja ribut sama Bimo hanya gara-gara perbedaan pendapat. Entah kenapa, Bimo benar-benar nggak suka sama Lady Gaga. Padahal menurut penelitianku, sembilan puluh sembilan persen cowok gay pasti suka sama Lady Gaga. Tapi tidak bagi Bimo! Menurutnya, nggak ada satupun hal menarik dari Lady Gaga. Yaiyalah! Dia kan nggak bisa menilai sisi menarik dan keindahan seorang cewek. Dia cuma bisa nilai cowok. “Itu namanya Gila!” Bimo masih saja belum puas berkomentar. “Kreatif!” “Gila!” “Ahhh… Lo nyebelin banget sih, Bim…. Kalau lo nggak suka sama Lady Gaga, jangan ngejelek-jelekkin dia dong. Gue sebagai fans beratnya kecewa tau….” “Terus mau lo apa? Ngajakin berantem?” “Okey! Gua nggak takut! Sini lo, gue bikin soto babat lu. Hiaaaa…!!” Aku langsung menerkam buas Bimo yang terduduk di bangkunya. Untuk sesaat, kami bergulat. Nyaris kayak pemain sumo Jepang betulan. Berulang kali
8
Bimo coba melawan, tapi dia sudah terlanjur aku ambrukin. Dan tiba-tiba…. Gubrakkkkkkkkkkkkkk!! Kami berdua jatuh dari bangku dan tersungkur di lantai. Bimo terlentang di ubin kelas, sementara aku ambruk tepat diatas badannya. Wajah kami berdekatan dan nafasnya terasa lembut menerpa wajahku. Hangat, dan mendebarkan jantungku. Aku dan Bimo bertatapan. Dia tersenyum nakal kepadaku. Aku gemetaran. Dan tibatiba... “Ciyyeeeeeeee… Pagi-pagi udah mau ‘belah duren’ aja nihhhh!” Terdengar suara serempak dari arah pintu kelas. Aku berjingkat, mencoba melepaskan diri dari Bimo. Sialan!
9