Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler MODUL SKILL LABORATORIUM IKMT Ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi PENYAKIT TIDAK MENULAR (Program REGULER)
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2014 Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler MODUL SKILL LABORATORIUM IKMT Ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi PENYAKIT TIDAK MENULAR (Program REGULER) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM
TIM PENYUSUN
Rudi Fakhriadi, SKM, M. Kes (Epid) Frieda Ani Noor, SKM, M. Kes
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler DAFTAR ISI
HALAMAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI I.
PENDAHULUAN………………………………………………………………
1
II.
TUJUAN…………………………………………………………………………..
2
III.
SKRINING HIPERTENSI...…………………………………………………..
3
IV.
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB………………………………….
4
LAMPIRAN
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1.
Contoh Laporan Skrining
Lampiran
2.
Contoh Kuesioner Skrining
Lampiran
3.
Contoh Laporan Penyelidikan Epidemiologi KLB
Lampiran
4.
Contoh Kuesioner KLB
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB I PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG Perkembangan tuntutan terhadap peningkatan kompetensi lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat menuntut perlunya berbagai upaya peningkatan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh perguruan tinggi khususnya Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) sebagai lembaga Pendidikan yang berperan
menghasilkan
lulusan
yang
berkualitas
dan
terampil
dalam
menganalisis permasalahan Kesehatan masyarakat yang berkembang saat ini. Salah satu strategi yang dilakukan untuk mengakomodasi tuntutan tersebut dengan penerapan kurikulum berbasis kompetensi yaitu adanya mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasasi (IKMT) pada proses pembelajaran di PSKM FK Unlam. Kegiatan IKMT – Epidemiologi Penyakit Tidak Menular pada Program Reguler dilaksanakan pada semester IV (empat) dengan beban 3 (tiga ) SKS. Pada IKMT ini mahasiswa akan belajar tentang konsep epidemiologi, promosi kesehatan, administrasi dan kebijakan kesehatan (AKK) dan agent penyakit. Pada
IKMT
–
epidemiologi
penyakit
tidak
menular,
mahasiswa
mempelajari pengetahuan tentang konsep epidemiologi penyakit tidak menular, jenis jenis penyakit tidak menular, kaitan lingkungan dengan penyakit tidak menular, kaitan gizi dengan penyakit tidak menular, kaitan prilaku dengan penyakit tidak menular,merencanakan dan menyusun program pemberantasan dengan
penyakit
tidak
menular,
monitoring
dan
evaluasi
program
pemberantasan dengan penyakit tidak menular, manajemen data untuk
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler program pemantauan penyakit tidak menular serta promosi kesehatan untuk program pemberantasan dengan penyakit tidak menular.
2. TUJUAN Setelah menyelesaikan Skill IKMT ini, mahasiswa diharap mampu : 1. Melakukan skrining penyakit tidak Penyakit Tidak Menular 2. Membuat laporan skrining Penyakit Tidak Menular 3. Melakukan Penyelidikan Epidemiologi KLB (PE-KLB) Penyakit Tidak Menular 4. Membuat Laporan Penyelidikan KLB Penyakit Tidak Menular
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB II SKRINING DAN KLB
A. Skrining Hipertensi 1. Pengertian Skrining Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas
dengan
menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi sesunguhnya menderita suatu kelainan. Test skrining dapat dilakukan dengan : · Pertanyaan (anamnesa) · Pemeriksaan fisik · Pemeriksaan laboratorium 2. Tujuan skrining dan deteksi dini Skrining bertujuan untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit yang tidak menular seperti kanker, diabetes mellitus, glaucoma, hipertensi, jantung dan lain-lain. 3. Persyaratan skrining Menurut Wilson and Jungner (1986) persyaratan skrining antara lain : · Masalah kesehatan atau penyakit yang diskrining harus merupakan masalah kesehatan yang penting. · Harus tersedia pengobatan bagi pasien yang terdiagnosa setelah proses skrining. · Tersedia fasilitas diagnosa dan pengobatan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler TEKNIK MENGGUNAKAN/MEMERIKSA/MENGUKUR TEKANAN DARAH
Memeriksa tekanan darah (tensi) sebenarnya sangat mudah. Selama ini ketrampilan memeriksa tekanan darah seolah menjadi monopoli beberapa kelompok tertentu saja. Coba saja bila anda datang ke suatu klinik unutk minta tolong memeriksakan tekanan darah anda, maka pada umumnya (kebanyakan) pihak klinik akan meminta imbalan jasa. Bila anda dapat memeriksa tekanan darah anda, tentu anda dapat menghemat dan lebih dari itu anda juga dapat menolong memeriksakan tensi bagi seluruh anggota keluarga dan teman-teman anda. Sebelum memulai pengukran tekanan darah (tensi) harus menyiapkan alat nya dahulu. Alat yang digunakan adalah Manset Tensimeter (sphygmomanometer) dan Stetoskop. Manset Tensimeter (sphygmomanometer) ada yang model air raksa dan bukan air raksa (model jarum dan digital). Berikut ini cara mengukur tekanan darah (dengan menggunakan Tensimeter model air raksa) : 1.
Lilitkan manset tensimeter pada lengan atas (kiri atau kanan) diatas siku. Manset dililitkan pada bagian ini karena disana terdapat pembuluh darah arteri yang berasal langsung dari jantung. Pembuluh darah ini terletak dekat dibawah kulit, disebut juga Arteri Brachialis.
2. Upayakan tensimeter diletakkan setinggi/sejajar jantung baik dalam posisi tidur maupun duduk/berdiri. Tangan yang diperiksa dalam keadaan rileks. 3.
Tutuplah katup pengatur udara pada pompa karet manset tensimeter dengan cara memutar kekanan sampai habis.
4. Pompalah udara kedalam manset dengan cara meremas pompa karet berulangulang sampai tekanan menunjukkan/mencapai 140 mmHg ini atas dasar 20 mmHg diatas tekanan systole yang diperkirakan pada orang dewasa normal (tidak menderita Hipertensi) yaitu 120 mmHg. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 5. Manset yang dipompa menyebabkan tekanannya meningkat dan menekan Arteri Brachialis sehingga pada Arteri Brachialis terhenti. Dengarkan stetoskop
yang
telah
dipasang
pada
telinga,
bila
masih
ada
suara
duk..duk..duk..duk, berarti anda perlu menaikkan lagi tekanan pada manset dengan cara memompa pompa karet sedikit demi sedikit sampai suara tersebut tidak terdengar lagi. Apabila yang diperiksa adalah penderita hipertensi, tentu suara duk..duk.. itu masih terdengar setelah tekanan mencapai 140 mmHg, maka naikkan lagi 20 mmHg dst secara bertahap hingga suaranya hilang. 6. Buka tutup pengatur udara dengan cara memutar ke kiri sedikit dengan penuh perasaan agar udara dari manset keluar sedikit demi sedikit sehingga aliran darah arteri Brachialis mengalir kembali, akan terdengar suara duk..duk..duk. 7. Suara duk..duk..duk.. yang pertama kali anda dengar disebut juga suara Korotkow (Korotkoff). Teruskan pengeluaran udara dari manset secara perlahan maka tekanan manset turun bertahap, suara duk..duk..duk.. terdengar semakin meredup dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Bagamana menetukan tekanan darah systole dan diastole ?? a) Fase I Perhatikan ketika anda memompa manset sampai suatu nilai tekanan (missal 140 mmHg) atau sampai tidak terdengar suara duk..duk..duk.., maka kegiatan memompa dihentikan. Ketika katup pengatur udara dibuka sedikit, udara akan dikeluarkan sedikit demi sedikit, maka tekanan manset berkurang secara bertahap. Mendadak akan terdengar suara yang jelas, pendek-pendek, bersifat ketukan (tapping) yang semakin lama semakin keras, suara ini
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler dinamakan suara Korokoff. Suara ini terdengar selama tekanan manset diturunkan 10 – 14 mmHg. b) Fase II Suara berubah menjadi bising (murmur) dan kerasnya berkurang selama penurunan tekanan 15 – 20 mmHg. c) Fase III Suara menjadi jelas kembali dan lebih keras selama penurunan 5 – 7 mmHg berikutnya. d) Fase IV Suara menjadi redup dan lemah dengan cepat selama penurunan 5 – 6 mmHg berikutnya. e) Fase V Suara mulai menghilang. Catatan : Ingat dan catat suara yang pertama kali terdengar (fase I) terjadi pada tekanan berapa? Itulah yang disebut dengan tekanan systole. Suara menghilang (faseV) berkorelasi dengan tekanan diastole pada orang dewasa. Tekanan diastole pada anak-anak terjadi pada fase IV. Juga pada waktu kerja fisik pada orang dewasa, tekanan diastole terjadi pada awal fase IV. Lakukan pemeriksaan ini dua sapai tiga kali. Penulisan (pencatatan) hasil pemeriksaan tekanan darah hasil pemeriksaan tekanan darah ditulis sebagai berikut : Tekanan darah diastole/Tekanan darah systole, dalam satuan air raksa (mmHg). Contoh : bila hasil pengukuran didapatkan tekanan diastole 120 dan tekanan systole 80, maka penulisannya adalah 120/80 mmHg. Hasil pengukuran tekanan darah sebaiknya dicatat pada buku catatan. Halhal yang perlu dicatat antara lain nama yang diperiksa, nama pemeriksa, waktu pemeriksaan dan hasil pemeriksaan. Anda dapat memeriksa dan mencatat tekanan Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler darah secara regular misalnya setiap 15 menit sekali bila memang diperlukan seperti pada kasus-kasus gawat darurat, atau setiap 1 jam, 6 jam, 24 jam dan 1 minggu sekali. Catatan ini bermanfaat unutk melihat perbandingan (perkembangan) tekanan darah seseorang dari waktu ke waktu. Contoh-contoh Tensimeter : 1. Tensimeter air raksa
2. Tensi meter digital
3. Tensimeter dengan jarum
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
4. Stetoskop
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler FORMAT LAPORAN SKRINING COVER DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. EPIDEMIOLOGI B. PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT C. POPULASI BERISIKO D. DAMPAK E. SKRINING BAB III. METODE SKRINING A. SASARAN DAN LOKASI B. UJI DIAGNOSTIK DAN BAKU EMAS C. ALAT UKUR BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL SKRINING B. PEMBAHASAN BAB V. PENUTUP A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler B. Pengantar Kejadian Luar Biasa (KLB) 1. Pengertian KLB Wabah adalah kejadian yang melebihi keadaan biasa pada satu/sekelompok masyarakat tertentu, atau lebih sederhana peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama (Last, 1983) Untuk penyakit-penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka KLB didefinisikan sebagai : suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Pada penyakit yang lama tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah (non-endemis), adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB. Untuk keadaan tersebut definisi KLB adalah : suatu episode penyakit dan timbulnya penyakit pada dua atau lebih penderita yang berhubungan satu sama lain. Hubungan ini mungkin pada faktor saat timbulnya gejala (onset of illness), faktor tempat (tempat tinggal, tempat makan bersama, sumber makanan), faktor orang (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lainnya). Uraian tentang batasan Wabah atau KLB tersebut di atas terkandung arti adanya kesamaan pada ciri-ciri orang yang terkena, tempat dan waktunya. Untuk itu dalam mendefinisikan KLB selalu dikaitkan dengan waktu, tempat dan orang. Selain itu terlihat bahwa definisi KLB ini sangat tergantung pada kejadian (insidensi) penyakit tersebut sebelumnya (Barker, 1979; Kelsey, et al., 1986). Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang Wabah sebagai berikut : Wabah : adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan malapetaka. Kejadian
Luar
Biasa
(KLB)
:
adalah
timbulnya
suatu
kejadian
kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undang-undang Wabah, 1984). Terlihat adanya perbedaan definisi antara Wabah dan KLB. Wabah harus mencakup jumlah kasus yang besar, daerah yang luas dan waktu yang lebih lama, dengan dampak yang timbulkan lebih berat. Di Indonesia dengan tujuan mempermudah petugas lapangan dalam mengenali adanya KLB telah disusun petunjuk penetapan KLB, sebagai berikut : 1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan kenaikan 3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih. 2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut itu. 3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit menular di suatu kecamatan, menjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di kecamatan yang sama pula. 4. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di suatu kecamatan, menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang sama dalam bulan yang lalu di kecamatan tersebut. 5. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan, dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama selama periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih. 6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS : Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas, di suatu daerah endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas. Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut di atas. Di suatu kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas selama 4 minggu berturut-turut. 7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat. 8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 2. Metodologi Penyelidikan KLB Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi : a. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik atau keduanya. b. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif), c. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit, klinik, laboratorium dan lapangan). Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian), dengan tujuan khusus : a. b. c. d. e.
Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB (CDC, 1981; Bres, 1986).
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Metodologi atau langkah-langkah yang harus dilalui pada pada penyelidikan KLB, seperti berikut : Tabel 1 : langkah-langkah Penyelidikan KLB NO
Langkah-langkah Penyelidikan KLB
1
Persiapan penelitian lapangan
2
Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
3
Memastikan Diagnose Etiologis
4
Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5
Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
6
Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
7
Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8
Mengidentikasi keadaan penyebab KLB
9
Merencanakan penelitian lain yang sistematis
10
Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan
11
Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi
12
Melaporkan
hasil
penyelidikan
kepada
Instansi
kesehatan
setempat dan kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi Sumber : CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990.
Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus dikerjakan secara berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan secara serentak. Pemastian diagnose dan penetapan KLB merupakan langkah awal yang harus dikerjakan (Mausner and Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989). Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 3. Persiapan Penelitian Lapangan Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan rencana kerja. Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah adanya informasi (Kelsey., 1986), Greg (1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan meliputi : 1. Pemantapan (konfirmasi) informasi. Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga diperlukan pemantapan informasi untuk melengkapi informasi awal, yang dilakukan dengan kontak dengan daerah setempat. Informasi awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja (plan of action), yang meliputi informasi sebagai berikut : a. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya KLB dapat berasal dari fasilitas kesehatan primer (laporan W1), analisis sistem kewaspadaan dini di daerah tersebut (laporan W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS) atau masyarakat (Laporan S-0). b. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi gejala klinis, pemeriksaan yang telah dilakukan untuk menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya, komplikasi yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan lainnya). c. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di daerah/lokasi KLB. 2. Pembuatan rencana kerja Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal), yang minimal berisi : a. Tujuan penyelidikan KLB b. Definisi kasus awal c. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan sumber penularan d. Macam dan sumber data yang diperlukan e. Strategi penemuan kasus f. Sarana dan tenaga yang diperlukan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada pencarian kasus nantinya. Mengingat informasi yang didapat mungkin hanya merupakan persangkaan penyakit tertentu atau gejala klinis yang ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan dilakukan setelah pemastian diagnose, pada langkah identifikasi kasus dan paparan. Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada waktu penyelidikan (Bres, 1986). Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan penanggulangan dan pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di antaranya : a. b. c. d.
Memastikan diagnosis penyakit Menetapkan KLB Menentukan sumber dan cara penularan Mengetahui keadaan penyebab KLB Pada
penyelidikan
KLB
diperlukan
beberapa
tujuan
tambahan
yang
berhubungan dengan penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk mengetahui pelaksanaan program imunisasi, mengetahui kemampuan sistem surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat digunakan (Goodman et al., 1990). Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting kaitannya dengan pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan KLB pertimbangan penetapan strategi yang tepat tidak hanya didasarkan pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi juga harus dipertimbangkan beberapa hal yaitu : a. b. c. d.
Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga) Luas wilayah KLB Asal KLB diketahui Sifat penyakitnya.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada penyelidikan KLB dengan beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres, 1986) : Tabel 2. Strategi pencarian kasus No 1
Strategi Penggunaan data fasilitas
Keuntungan Cepat
kesehatan 2
Kerugian Terjadi bias seleksi kasus
Kunjungan ke RS atau
Lebih mudah
Hanya kasus-kasus
fasilitas kesehatan
untuk mengetahui
yang berat
kasus dan kontak 3
Penyebaran kuesioner
Cepat, tidak ada
Kesalahan interpretasi
pada daerah yang terkena
bias menaksir
pertanyaan
populasi 4
Kunjungan ke tempat
Mudah untuk
Terjadi bias seleksi dan
yang diduga sebagai
menge-tahui
keadaan sudah spesifik
sumber penularan
hubungan kasus dan kontak
5
Survai masyarakat (survai
Dapat dilihat
Memerlukan waktu
rumah tanggal, total
keadaan yang
lama, memerlukan
survai)
sebenarnya
organisasi tim dengan baik
6
Survai pada penderita
Jika diketahui
Memerlukan waktu
kasus dengan pasti
lama, hasil hanya terbatas pada kasus yang diketahui
7
Survai agent dengan
Kepastian tinggi,
Mahal, hanya
isolasi atau serologi
di-gunakan pada
dilakukan jika pemerik
penya-kit dengan
saan lab dapat
carrier
dikerjakan
Sumber : Bres, 1986.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 3. Pertemuan dengan pejabat setempat. Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh izin dan pengamanan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 4. Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB A. Pemastian diagnosis penyakit Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya. Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang ada pada kasus adalah sebagai berikut : 1. Buat daftar gejala yang ada pada kasus 2. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut 3. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya Contoh : KLB dengan jumlah kasus 50 orang, diketahui kasus dengan gejala panas 50 orang, nyeri sendi 48 orang, diare 45 orang. Distribusi gejala klinis adalah sebagai berikut : No.
Gejala klinis
Jumlah kasus
Frekuensi (%)
1
Panas
50
100
2
Nyeri sendi
48
96
3
Diare
45
90
B. Penetapan KLB Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979). Kriteria kerja untuk penetapan KLB yang digunakan adalah sebagai berikut : 9. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan kenaikan 3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih. 10. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut itu. 11. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit menular di suatu kecamatan, menjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di kecamatan yang sama pula. 12. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di suatu kecamatan, menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang sama dalam bulan yang lalu di kecamatan tersebut. 13. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan, dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama selama periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih. 14. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS : Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas, di suatu daerah endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas. Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut di atas. Di suatu kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas selama 4 minggu berturut-turut. 15. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat. 16. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal. KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. Sebagai contoh adalah suatu KLB penyakit Fog di London. Kejadian penyakit tersebut telah dimulai pada tahun 1952, tetapi tidak mendapat perhatian karena dampak penyakit tersebut belum diketahui. Perhatian terhadap penyakit ini baru Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler dimulai
setelah
adanya
informasi
peningkatan
jumlah
kematian
di
suatu
masyarakat. Hasil penyelidikan KLB mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut karena penyakit Fog (Mausner and Kramer, 1985). KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
Perubahan cara mendiagnosis penyakit Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau Perubahan organisasi pelayanan kesehatan, Perhatian yang berlebihan. Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah
disusun oleh Depkes. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola Maksimum-Minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 5. Identifikasi kasus atau paparan Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan
teliti.
Hasil
perhitungan
kasus
ini
digunakan
selanjutnya
untuk
mendeskripsikan KLB berdasarkan waktu, tempat dan orang dengan lebih teliti. Ketelitian dalam mengidentifikasikan
kasus sangat diperlukan untuk dasar
deskripsi KLB berdasarkan waktu, tempat dan orang (Mac Mahon and Pugh, 1970; Kelsey at al., 1986). Dasar yang dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit. Jika diagnosis pasti belum dapat ditentukan maka dapat digunakan frekuensi gejala klinis, kemudian dibuat definisi operasional kasus yang sesuai dengan frekuensi gejala klinis yang ditemukan. Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber penularan. Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan mempelajari teori cara penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama pada penyakit yang cara penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan makanan identifikasi paparan ini secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara dengan segera (CDC, 1979). Menurut Greg (1985) pada KLB penyakit dengan carrier identifikasi kaus awal perlu dilakukan untuk membantu pencarian orang yang diduga (kontak) sebagai sumber pemularan (carrier). Identifikasi paparan ini selanjutnya dapat dipakai sebagai arahan untuk identifikasi sumber penularan yang lebih spesifik (tingkat resiko penularan) atau untuk membantu penegakan diagnosis penyakit.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 6. Deskripsi KLB 1. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu. Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung), yang digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of illness) selama periode wabah. Kurva ini digambarkan dengan axs horizontal adalah saat mulainya sakit dan sebagai axis vertikal adalah jumlah kasus. Kurva epidemik dapat digunakan untuk tujuan : a. Menentukan / memprakirakan sumber atau cara penularan penyakit dengan melihat tipe kurva epidemik tersebut (common source atau propagated). b. Mengidentifikasikan waktu paparan atau pencarian kasus awal (index case). Dengan cara menghitung berdasarkan masa inkubasi rata-rata atau masa inkubasi maksimum dan minimum. Kesalahan yang sering terjadi pada pembuatan kurva epidemik adalah penetapan interval waktu. Pemilihan interval waktu yang terlalu panjang akan menyembunyikan
perbedaan-perbedaan
kecil
pada
distribusi
temporal
(menyembunyikan puncak-puncak kasus). Pemilihan interval yang terlalu pendek akan menimbulkan puncak-puncak palsu. Suatu pedoman yang berguna untuk memilih interval waktu ialah memilih sebesar seperdelapan atau seperempat inkubasi penyakit. Ada baiknya membuat kurva epidemik dengan interval yang berbeda, sehingga dapat diperoleh grafik yang paling baik untuk menyajikan data (Fiedman, 1974; Kelsey., 1986; CDC, 1979). Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara penularan penyakit : salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada suatu KLB yaitu dengan melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut :
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Gambar 1 : Kasus-kasus keracunan stapilokok menurut masa inkubasi, Tennesse, 25 Mei 1969 (dikutip dari CDC, 1979)
Jumlah kasus
25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Jam mulai sakit
(1) Gambar 1 di atas menampilkan kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar dalam waktu yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan (misalnya : kolera, typoid). (2) Gambar 2 di bawah ini menampilkan kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak sistematis, Kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata penyakit tersebut. Gambar 2 : Distribusi kasus Campak menurut tanggal mulai mulai sakit di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen, Juli 2002
Jumlah kasus
12 10 8 6 4 2 0 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanggal mulai sakit
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler (3) Tipe kurva epidemik campuran antara common source dan propagated (gambar 3). Tipe kurva ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh paparan suatu sumber secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari orang ke orang (kasus sekunder). Gambar 3. Distibusi kasus Salmonelosis menurut hari mulai sakit, Clarkville, Tennese, 4-15 Juli 1970 (dikutip dari CDC, 1979) Primer
Sekunder
Jumlah kasus
35 30 25 20 15 10 5 0
Hari mulai sakit
Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan periode paparan yang paling mungkin (pada KLB tipe common source), yaitu dengan menggunakan : Masa inkubasi rata-rata, dan Masa inkubasi maksimum-minimum Metode masa inkubasi rata-rata lebih sering digunakan, karena hasilnya lebih sering mendekati kebenaran.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Metode masa inkubasi rata-rata : Pertama, identifikasi puncak KLB (25 Juni). Kedua, dari puncak KLB dihitung ke belakang selama masa inkubasi rata-rata rubella 18 hari (minimum 14 hari – maksimum 21 hari). Diperoleh waktu paparan yang paling mungkin 7 Juni (gambar 4). Gambar 4. Distribusi kasus Rubella menurut hari mulai sakit di Sun City 21-29 Juni
Jumlah kasus
(dikutip dari CDC, 1979) 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
18 hari (masa inkubasi rata-rata)
1
2
3
4
5
6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Tanggal mulai sakit
2. Deskripsi kasus berdasarkan tempat Tujuan
menyusun
distribusi
kasus
berdasarkan
tempat
adalah
untuk
mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal,
tempat
pekerjaan).
Hasil
analisis
ini
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979; Friedman, 1980). Kesalahan yang sering terjadi adalah pemikiran bahwa pengelompokan kasus berdasarkan tempat adalah berdasarkan tempat tinggal, sehingga sering tidak didapatkan hasil yang nyata. Sebagai contoh suatu KLB Brucellosis pada manusia, jika dilakukan pengelompokan kasus berdasarkan tempat tinggal tak akan mendapatkan sesuatu, tetapi pengelompokan berdasarkan tempat pekerjaan mungkin akan memberikan petunjuk tentang sumber penularan (CDC, 1979). Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Penilaian variasi geografik dari suatu paparan infeksi harus memperhitungkan distribusi populasi (area specific attack rate), maka kesimpulan mengenai perbedaan risiko daerah harus dinyatakan dalam rate bukan jumlah kasus. Pada tabel 1 ditampilkan suatu contoh analisis kasus-kasus menurut tempat yang dikunjungi atau dilalui. Terlihat bahwa attack rate pada daerah A jauh lebih besar dari daerah B. Tetapi setelah kasus-kasus di daerah B ditabulasikan menurut orang yang mengunjungi dan minum air di daerah A terlihat bahwa attack rate-nya hampir sama. Analisis KLB berdasarkan tempat dianggap telah dilakukan dengan baik apabila angka insidens daerah yang diduga sebagai sumber infeksi, berbeda secara bermakna dengan angka rata-rata (CDC, 1979).
Tabel 1. Angka serangan diare menurut Sumber Air Minum pada Masyarakat A dan B, Agustus 1985 Pelayanan Air Masyarakat A Masyarakat B Masyarakat B Yang tidak terpapar air masy.A Yang terpapar air masy.A Masyarakat B yang terpapar air masy.A : Yg minum air A Yg tidak minum air A
Sakit 98 31
Jumlah orang Sehat 57 158
Attack Rate Total 155 187
63,23 16,58
9
132
141
6,38
22
24
46
47,83
22 0
18 6
40 6
55 0
Pertanyaan : Informasi apa yang dapat dijelaskan dari kasus tersebut ??
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 3. Deskripsi KLB berdasarkan orang Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau etiologi penyakit. Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai kunci yang digunakan untuk menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986). Penyusunan
distribusi
kasus
berdasarkan
umur
dilakukan
dengan
mengelompokan kasus pada interval umur, yang disesuaikan dengan kemungkinan pembuatan kesimpulan yang lebih baik. Pengelompokan dapat menggunakan interval yang sistematis (5, 10 tahun) atau interval kelompok tertentu (balita, usia sekolah, usia dewasa). Kesalahan yang sering terjadi adalah interval umur yang terlalu lebar, sehingga menyembunyikan perbedaan risiko sakit yang mungkin berharga untuk mengetahui sumber penularan. Sebagai contoh : apabila penyediaan susu di sekolah tercemar dan menjadi sumber infeksi, maka penggunaan interval umur 5 tahun akan memungkinkan perhatian diberikan pada anak usia sekolah (berisiko sakit), populasi belum sekolah dan pasca sekolah (tidak mempunyai risiko sakit). Dengan demikian dapat dibuat kesimpulan bahwa yang terpapar adalah anak sekolah. Seandainya digunakan interval 10 tahun atau lebih, maka kesimpulan tersebut aakan sulit dibuat (CDC, 1979). Distribusi penyakit berdasarkan sifat-sifat lain yang dapat dikerjakan jika sifatsifat tersebut ditemukan berulang-ulang di antara kasus. Misalnya kategori kasus berdasarkan pekerjaan dilakukan jika di antara kasus jenis pekerjaan tertentu ditemukan berulang-ulang.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Seperti pada analisis berdasarkan tempat, kesimpulan mengenai perbedaan risiko sifat-sifat orang harus dinyatakan dalam rate bukan jumlah kasus.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 7. Penanggulangan sementara Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat dilakukan atau diperlukan, sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui. Cara penanggulangan ini dapat lebih spesifik atau berubah sesudah semua langkah penyelidikan KLB dilaksanakan. Kecepatan
keputusan
cara
penanggulangan
sangat
tergantung
dari
diketahuinya etiologi penyakit, sumber dan cara penularannya (Goodman et al., 1990), sebagai berikut :
E T I O L O G I
T A H U T I D A K
Sumber dan cara penularan Tahu Tidak Penyelidikan + Penanggulangan +++
Penyelidikan +++ Penanggulangan +
Penyelidikan +++ Penanggulangan +++
Penyelidikan +++ Penanggulangan +
Keterangan : Penyelidikan : Luasnya penyelidikan yang dilakukan Penanggulangan : Dasar dari penerapan secara penanggulangan Tanda + : Tingkat indikasi response + : Rendah ++ : Sedang +++ : Tinggi
cepat
cara-cara
1. Jika etiologi telah diketahui sumber dan cara penularannya dapat dipastikan maka penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas. Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di Rumah sakit, segera dapat dilakukan penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak, sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan penderita (MMWR, 1985). Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 2. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas untuk mencari sumber dan cara penularannya. Sebagai contoh : KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah
diketahui
etiologinya
(Salmonella).
Walaupun
demikian
cara
penanggulangan tidap segera ditetapkan sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan ditemukan. Cara penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber penularan (penggunaan mariyuana di rumah tangga) dengan suatu penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982). 3. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang luas tentang etiologinya. Sebagai contoh : suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai penyebabnya (Etzel et al., 1987). 4. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah penyelidikan. Sebagai contoh : Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan penyakit tersebut (Frase et al., 1977).
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 9. Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB A. Identifikasi sumber penularan Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan :
Membuktikan adanya agent pada sumber penularan secara laboratoris atau adanya hubungan secara statistik antara kasus dan pemaparan (Mac Mahon and Pugh, 1970; CDC, 1979). Hubungan secara statistik ialah jika proporsi orang-orang dengan kedua sifat (sebab-akibat) mempunyai perbedaan (lebih tinggi/rendah) yang bermakna secara statistik. Atau perubahan variabel yang satu diikuti oleh variabel yang lain. Biasanya pada penyelidikan KLB untuk menguji atau membuktikan adanya hubungan ini dilakukan : dengan penelitian kasus-pembanding (Kelsey et al., 1986). Menurut MacMahon and Pugh (1970), CDC (1979), dan Kelsey et al (1986),
penentuan dugaan sumber dan cara penularan penyakit dianggap telah baik jika : 1. Ditemukan agent yang sama antara sumber infeksi dan penderita. 2. terdapat perbedaan angka serangan (attack rate) yang bermakna antara orangorang yang terpapar dan yang tidak terhadap sumber penularan. 3. Tidak ada cara lain pada semua kasus, atau cara penularan lain tidak dapat menerangkan distribusi umur waktu dan geografis pada semua kasus. B. Identifikasi keadaan penyebab KLB Secara umum keadaan penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari agent, penjamu, dan lingkungan yang dapat terjadi oleh karena : 1. 2. 3. 4. 5.
Kenaikan jumlah atau virulensi dari agent Adanya agent penyebab baru atau yang sebelumnya tidak ada Keadaan yang mempermudah penularan penyakit perubahan imunitas penduduk terhadap agent yang pathogen, lingkungan dan kebiasaan penduduk yang berpeluang untuk terjadinya pemaparan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Perencanaan penelitian lain Yang sistematis
Goodman et al (1990) mengatakan bahwa KLB merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian. Misalnya penelitian tentang hubungan yang berat antara ilmu epidemiologi dan penggunaannya di lapangan, mengevaluasi program-program kesehatan (cara diagnosis, pengobatan, imunisasi, pencegahan penyakit, penyuluhan kesehatan, kesehatan
lingkungan,
kesehatan
perorangan
dan
lainnya),
mengevaluasi
kemampuan sistem surveilans yang ada, mengetahui partisipasi masyarakat, mengetahui sumber yang tepat untuk perencanaan program, kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan peraturan atau dapat digunakan sebagai sarana pelatihan epidemiologi pada petugas kesehatan. Di Indonesia, setiap penyelidikan epidemiologi KLB, sebaiknya digunakan sebagai sarana mendapatkan informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan sistem surveilans pada khususnya. Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan : 1. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistem surveilans. 2. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit (KLB) yang sedang berlangsung 3. Evaluasi terhadap program kesehatan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 10. Penyusunan rekomendasi A. Penanggulangan KLB Menurut Goodman et al (1990), tujuan utama penyelidikan epidemiologi KLB adalah merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada situasi yang dihadapi (penanggulangan)
dan
mencegah
terulangnya
KLB
di
masa
(pengendalian). Tindakan penanggulangan KLB didasari oleh diketahuinya : 1. etiologis, 2. sumber dan cara penularan. Secara garis besar cara penanggulangan KLB ditampilkan pada tabel 1. Tabel 1. Beberapa cara dalam penanggulangan KLB TINDAKAN 1. Menghilangkan penularan
CONTOH sumber
2. Memutus rantai penularan
3. Mengubah respons terhadap penyakit
orang
Menjauhkan sumber penularan dari orang Membunuh bakteri pada sumber penularan Melakukan isolasi atau pengobatan pada orang yang diduga sebagai sumber penularan Strategi sumber pencemaran Mengendalikan vektor Peningkatan perorangan Melakukan imunisasi
higiene
Mengadakan pengobatan
Sumber : Kelsey et al., 1986
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
mendatang
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler B. Pengendalian Tindakan pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko (Bres, 1986). Dengan demikian untuk pengendalian KLB selain diketahuinya etiologi, sumber dan cara penularan penyakit masih diperlukan informasi lain. Informasi tersebut meliputi : 1. 2. 3. 4.
Keadaan penyebab KLB, kecenderungan jangka panjang penyakit daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat) dan populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas).
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 11. Sistem surveilans Agar dapat mengevaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan dan mencegah timbulnya komplikasi atau kematian, maka diperlukan sistim penemuan kasus dan kasus komplikasi secara dini. Sistim berlaku selama periode KLB atau periode yang diduga komplikasi akan terjadi. Sistim surveilans penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga masyarakat, kader) biasanya lebih dapat dipergunakan untuk memantau kasus baru dan komplikasinya (Bres, 1986).
12. Penyusunan laporan KLB Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi
kesehatan
pengendalian
KLB
setempat yang
berguna
disarankan
agar
dapat
tindakan
penanggulangan
dilaksanakan.
Laporan
dan
tertulis
diperlukan diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan mereapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB. Menurut Bres (1986) agar hasil penyelidikan epidemiologi KLB dapat digunakan sesuai dengan tujuannya maka laporan hasil penyelidikan epidemiologi KLB hendaknya berisi : 1. Latar belakang, yang meliputi analisis keadaan geografis, kondisi alam, kependudukan, status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan, sistem kewaspadaan dini yang berlaku, insidens penyakit dalam keadaan biasa. 2. Riwayat kejadian KLB pada penyakit yang sama di daerah setempat atau di daerah yang lain. 3. Metoda penyelidikan epidemiologi KLB, yang meliputi definisi kasus, alat yang digunakan (kuestioner), perjalanan penyakit, cara survai (pelayanan kesehatan, Rumah sakit, survai rumah tangga), rancangan penelitian, cara pengumpulan specimen, teknik pemeriksaan laboratorium, kuantitas dan kualitas tenaga yang dipakai. 4. Analisis data, meliputi : Data klinis (frekuensi gejala/tanda), perjalanan penyakit, diagnosis banding, komplikasi penyakit, case fatality rate, frekuensi komplikasi yang terjadi) Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Data epidemiologi, deskripsi kejadian menurut waktu, tempat dan orang. Analisis cara dan sumber penularan (sumber infeksi, tempat dan cara masuknya agent penyebab ke penjamu, faktor-faktor yang mempengaruhi penularan) Data laboratorium (pemeriksaan agent penyebab, konfirmasi serologis, reliabilitas dan validitas hasil pemeriksaan). 5. Pembahasan, yaitu interpretasi dari analisis data, perumusan hipotesis mengenai penyebab, sumber dan cara penularan, analisis statistik dari uji hipotesis. 6. Kesimpulan, mengenai diagnosis penyakit, keadaan KLB, sumber dan cara penularan, keadaan penyebab KLB. 7. Rekomendasi cara penanggulangan dan penyelidikan epidemiologi KLB, meliputi dasar-dasar pengambilan keputusan dan deskripsi cara penanggulangan dan pengendalian KLB.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 13. Berbagai kendala yang khas pada penyelidikan epidemiologi KLB Menurut Goodman (1990) ada beberapa kendala yang sering dihadapi pada penyelidikan epidemiologi KLB, meliputi : 1. Variasi sumber, macam dan keakuratan data Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering diperlukan beberapa data misalnya data rumah sakit, Puskesmas, sekolah. Berbagai data tersebut kadang bervariasi dalam macam informasi yang dicatat dan tenaga yang mencatat. Dengan demikian dapat menimbulkan perbedaan pada reliabilitas dan validitas datanya. Untuk itu pada penyelidikan epidemiologi KLB kadang diperlukan pencatatan ulang agar data yang digunakan valid dan reliabel. 2. Validitas dan reliabilitas pengumpulan data. Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering tak cukup waktu untuk mengadakan pelatihan kepada petugas pengumpul data maupun uji coba kuestioner. 3. Kekuatan penelitian. Jumlah sampel kadang hanya sedikit sehingga tidak dapat diperoleh kekuatan penelitian seperti yang diharapkan. 4. Pengumpulan specimen. Penyelidikan epidemiologi KLB kadang baru dilaksanakan beberapa hari sesuadah kejadian sehingga sering specimen (bahan makanan atau makanan) yang diperlukan sudah tidak didapat.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
LAMPIRAN
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
LAPORAN SKILL LAB IKMT-PTM SKRINING HIV/AIDS DI DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012 Dosen Pembimbing : ......................................................
oleh : Kelompok .... Imas Masturoh Rudi Fakhriadi Nazarwin Saputra Oktovianus Willem
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT SEMARANG 2012 Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah global merupakan salah satu penyakit menular pembunuh terbanyak di dunia, diperkirakan lebih dari 25 juta jiwa selama tiga dekade terakhir terinfeksi HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan sistem pertahanan terhadap infeksi. Virus tersebut menghancurkan dan merusak fungsi sel-sel kekebalan tubuh, orang yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi. Immunodeficiensi akan meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi, tahap selanjutnya dari infeksi HIV menyebabkan AIDS dalam kurun waktu 10-15 tahun (WHO, 2011). Di seluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV. Sejak awal epidemi HIV pada tahun 1981, 25 juta orang meninggal akibat AIDS. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV, 96% dari jumlah tersebut berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan daerah dengan prevalens HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan HIV dan 75% dari jumlah total kematian akibat AIDS. Daerah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Asia Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India. Di negara-negara ini, prevalensi HIV tinggi di kelompok pekerja seks dan pasangannya, laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesama laki-laki, dan pengguna obat suntik. Angka epidemi HIV di Indonesia cenderung meningkat dengan cepat sementara di negara lain justru stabil atau menurun (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Hingga saat ini, ini pandemi telah menewaskan hampir 30 juta orang. Lebih dari 40 juta adalah hidup dengan HIV, dan diperkirakan 14.000 kasus setiap hari. Jika tidak diobati, 3 juta orang akan meninggal setiap tahun HIV/AIDS. Diperkirakan bahwa dari jutaan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di negara berkembang, 6 juta orang membutuhkan ARV terapi (ART). Sebagian besar adalah di 34 negara beban tinggi yaitu di benua Afrika dan Asia (WHO, 2005). Program penanggulangan IMS, HIV dan AIDS telah berjalan di Indonesia kurang lebih selama 20 tahun sejak ditemukannya kasus AIDS yang pertama pada 1987. Hingga kini program Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler penanggulangan telah berkembang pesat meliputi pencegahan hingga pengobatan, perawatan dan dukungan. Perkembangan program ini menunjukkan pula pemahaman yang lebih baik para penyelenggara dan pelaksana program terhadap persoalan IMS, HIV dan AIDS. Secara garis besar hingga saat ini, terdapat dua tipe intervensi dalam program penanggulangan IMS, HIV dan AIDS yakni intervensi perubahan perilaku dan intervensi biomedis. Keduanya merupakan komponen penting dalam upaya penanggulangan dan saling melengkapi. Pemahaman mengenai program penanggulangan yang komprehensif biasanya juga merujuk pada lengkap tidaknya kedua komponen tersebut dihadirkan dalam disain dan implementasinya. Meski keduanya dianggap sebagai komponen yang sama penting, intervensi biomedis lebih luas dikenal, menjanjikan penyelesaian klinis dan medis yang lebih pasti, serta memiliki konsep dan instrumen yang jelas dan mudah untuk diobservasi (Kementrian Kesehatan RI, 2009). Untuk menemukan kasus baru HIV di Indonesia, pada tahun 2006, Centre for Disease Control and Prevention (CDC) mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan skrining HIV rutin di sarana pelayanan kesehatan tanpa melalui konseling. Cara ini dianggap lebih efektif dalam menjangkau pasien baru karena dengan menjadikan tes HIV sebagai prosedur rutin di sarana pelayanan kesehatan maka persentase pasien dengan hasil tes HIV positif yang dapat dideteksi secara dini lebih tinggi dibandingkan metode konseling terhadap orang dengan faktor risiko, terjadi destigmatisasi terhadap orang yang diperiksa, dapat memberikan akses yang lebih cepat dan lebih dini terhadap terapi bagi pasien baru serta menurunkan perilaku risiko tinggi ketika pasien tahu status HIV-nya (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Di Indonesia, terdapat kecenderungan kenaikan jumlah kasus HIV dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, sebanyak 4.969 kasus baru HIV dilaporkan dan dari tahun 2000 hingga Maret 2009, tercatat secara kumulatif 16.949 kasus baru HIV. Dilihat dari proporsi berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS banyak dilaporkan pada laki-laki yaitu 74,5%, sementara 25% pada wanita. Sejak tahun 2000, prevalensi HIV di Indonesia ditemukan mulai konstan di atas 5% pada populasi kunci, seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, waria, lelaki seks dengan lelaki (LSL), sehingga dikatakan Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2007, HIV pada berbagai populasi kunci tersebut adalah WPS langsung 10,4%; WPS tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8% (hasil survey dari 6 kota pada populasi pelanggan WPS yang terdiri dari supir truk, anak buah kapal, pekerja pelabuhan dan tukang ojek, dengan prevalensi berkisar antara 0,2%-1,8%), LSL 5,2%, pengguna napza suntik 52,4%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat pergerakan ke arah generalized epidemic yang dipicu oleh Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler seks tidak aman dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk usia 15-49 tahun. Prevalensi HIV di Indonesia seperti pada Gambar 1.
Sumber : Kementrian Kesehatan RI (2010)
Gambar 1. Perkiraan Prevalensi HIV di Indonesia Kasus HIV di Kota Semarang tiap tahun terus meningkat, kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es artinya kasus yang dilaporkan hanya sebagian kecil yang ada di masyarakat (Dinkes Kota Semarang, 2011). Kasus HIV/AIDS di Kota Semarang dari tahun 20012012 seperti pada Gambar 2. 427
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Data HIV
323 287
Data AIDS
* 179
41
61
131
207
50 11
25
195
199 164
33
61 15
19
59
39
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 *) Data sampai bulan April 2012 Sumber : Dinkes Kota Semarang, 2012
Gambar 2. Kasus HIV/AIDS Kota Semarang Tahun 2001-2012 Berdasarkan Gambar 2 diperoleh bahwa kasus HIV tiap tahun terus meningkat, pada tahun 2001 jumlah kasus HIV hanya 4 orang, kasus tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 427 dan 59 orang terdiagnosa menjadi AIDS, peningkatan hal ini disebabkan oleh sebagian besar didapat dari Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler hasil konseling dan testing HIV sukarela voluntary counselling and testing (VCT) di rumah sakit. Peningkatan infeksi HIV dan kasus AIDS ini dikarenakan upaya penemuan atau pencarian kasus yang semakin intensif melalui VCT di rumah sakit dan upaya penjangkauan oleh LSM peduli AIDS di kelompok risiko tinggi (Dinkes Kota Semarang, 2012). Dalam rangka mempercepat akselerasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, sangatlah penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan dimana keduanya merupakan komponen penting dan saling melengkapi. Kurang disadarinya risiko penularan IMS, HIV dan AIDS oleh kelompok berisiko serta masih rendahnya kesadaran untuk mengetahui status HIVnya yang ditunjukkan dengan masih cukup besarnya kasus AIDS yang ditemukan pada stadium lanjut di Rumah Sakit sehingga menyebabkan tingginya tingkat kematian kasus AIDS merupakan isu strategis yang digunakan sebagai sasaran respon pengendalian epidemi HIV dan AIDS (Kementrian Kesehatan RI, 2009) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang rawan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV dan AIDS seperti wanita penjaja seks (WPS), waria dan penderita infeksi menular seksual (IMS) (Kementrian Kesehatan RI, 2009). Untuk Kota Semarang kasus HIV berdasarkan pekerjaan seperti Gambar 3. WPS 1%
Lain-Lain 12% Tkg Parkir 1%
Wiraswasta 18%
PNS 3%
Pengusaha 3% Pelaut 2%
Tdk Diket 8%
Buruh 10% Karyawan 16%
Mahasiswa 4% Supir 2%
IRT 20%
*) Data sampai bulan April 2012 Sumber : Dinkes Kota Semarang, 2012
Gambar 3. Kasus Kumulatif HIV/AIDS berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kota Semarang Tahun 2007-2012 Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Berdasarkan Gambar 3 diperoleh bahwa status pekerjaan sebagai karyawan swasta memiliki kasus paling tinggi yaitu 18% bila dibandingkan dengan pekerjaan yang lain (Dinkes Kota Semarang, 2012). Salah satu kelompok yang mempunyai risiko tertular HIV adalah WPS yang dapat menular melalui hubungan seksual karena melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan, dan tingginya prevalensi IMS bila dibandingkan dengan kelomok masyarakat umum. Prevalensi HIV dikalangan WPS di Kota Semarang terus meningkat dengan makin rutinnya dilakukan penjaringan HIV dikalangan WPS melalui kegiatan penjaringan kasus HIV dalam program Serosurvey untuk mengetahui prevalensi HIV seperti pada Gambar 4. 5,0 4,5
4,5
4,4
4,0
4,0 3,7
3,5
3,2 2,7
3,0
3,0
2,5
2,5 2,2
2,0
2,8
2,3
2,2
rowosari algerejo
1,7
1,5 1,0
1,0
0,8 0,5
0,4
0,0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Dinkes Kota Semarang, 2010
Gambar 4. Kasus HIV Pada kelompok di Kota Semarang Tahun 2002-2009 Berdasarkan Gambar 4 diperoleh bahwa prevalensi HIV di Kota Semarang pada WPS tertinggi pada Tahun 2006 yaitu 4,4% di lokalisasi Algerejo, sedangkan di tahun 2009 tertinggi di lokalisasi Rowosari 4,5% (Dinkes Kota Semarang, 2010). Infeksi HIV disebabkan oleh faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, yang meliputi partner hubungan seks lebih dari satu, seks anal dan faktor risiko IMS, yaitu riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita (Depkes R.I., 2009). Faktor risiko kasus HIV di Kota Semarang pada tahun 2007 sampai tahun 2012 seperti pada Gambar 5.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
Lain-Lain 20%
Pasangan risti 16%
Lelaki Seks Lelaki 1% Waria 3% Penasun 5%
Pelanggan PS 42%
WPS 13%
*) Data sampai bulan April 2012 Sumber : Dinkes Kota Semarang, 2012
Gambar 5. Kumulatif Kasus HIV Berdasarkan Kelompok Risiko Tahun 2007-April 2012 di Kota Semarang Berdasarkan Gambar 5 diperoleh bahwa kelompok yang berisiko untuk menderita HIV yang tertinggi pada mitra seks WPS sebesar 42%, seangkan pada WPS 13%. Penularan HIV disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya melakukakan hubungan dengan banyak pasangan dimana cairan tubuh pasangan baik cairan vagina atau mani dan jika pasangan sudah terinfeksi HIV akan dapat menularkan kepada pasangannya. Di Kota Semarang faktor risiko tertular HIV seperti pada Gambar 6.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
Tidak Diketahui 5% Pengguna Napza
Perinatal 3%
Suntik 10% Homoseksual 3% Biseksual 2% Heteroseksual 77%
Sumber : Dinkes Kota Semarang, 2012
Gambar 6. Kumulatif Kasus AIDS Berdasarkan Faktor Risiko Penularan Tahun 2007 - April 2012 Berdasarkan Gambar 6 diperoleh bahwa faktor risiko penularan disebabkan oleh karena melakukan hubungan dengan banyak pasangan yaitu 77%. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk menemukan kasus HIV yaitu dengan metode skrining. Untuk itu perlu ditetapkan prioritas sasaran populasi mana saja yang akan dilakukan dalam kegiatan skrining. Dengan adanya keterbatasan tenaga terlatih, peralatan serta reagensia, maka di Indonesia skrining darah donor sebagian besar masih ditujukan pada deteksi antibodi HIV dengan metoda cepat, dan sebagian lainnya ditujukan baik pada antibodi maupun antigen HIV dengan metoda ELISA (Kementrian Kesehatan R.I., 2010). Dalam penentuan skrining HIV direkomendasikan untuk dilakukan terhadap target populasi tertentu sebab dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan apabila dilakukan secara rutin dapat menjaring kasus HIV lebih banyak. Pemeriksaan HIV dapat menggunakan metode ELISA dan uji cepat (rapid test).
B. Tujuan 1. Umum Melakukan penjaringan HIV pada WPS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan sedini mungkin. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 2. Khusus a. Untuk mendapatkan gambaran prevalensi penderita HIV pada WPS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang b. Untuk mendapat gambaran tentang gejala klinis HIV yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi tersangka penderita HIV di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang c. Untuk mengetahui sensitivitas (sensitivity), spesifisitas (spesificity), dan nilai duga positif (positive predictive value), serta nilai duga negatif (Negative predictive value) dari alat skrining yang digunakan.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epidemiologi 1. Pengertian HIV Virus human immunodeficiency adalah jenis retrovirus yang menginfeksi menghancurkan atau merusak fungsi-fungsi sel dari sistem kekebalan tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap selanjutnya dari infeksi HIV adalah terjadinya AIDS dalam jangka waktu sampai 10-15 tahun untuk menjadi AIDS, obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih lanjut. HIV menular melalui hubungan seksual tanpa pelindung (anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui (WHO, 2011). AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada tahun 1981. Sindroma ini menggambarkan tahap klinis akhir dari infeksi HIV. Beberapa minggu hingga beberapa bulan sesudah terinfeksi, sebagian orang akan mengalami penyakit “self-limited mononucleosis-like” akut yang akan
berlangsung selama1 atau 2 minggu. Orang yang terinfeksi mungkin tidak
menunjukkan tanda atau simptom selama beberapa bulan atau tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berat ringannya infeksi ”opportunistic” atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum terkait langsung dengan
derajat kerusakan sistem kekebalan yang
diakibatkannya (Chin, 2000). 2. Penyebab Virus Human Immunodefisiensi adalah sejenis retrovirus. Ada 2 tipe yaitu tipe 1 (HIV-1) dan tipe 2 (HIV-2). Virus-virus ini secara serologis dan geografis relatif berbeda tetapi mempunyai ciri epidemiologis yang sama. Patogenisitas dari
HIV-2 lebih rendah dibanding HIV-1 (Chin,
2000). 3. Gejala Tidak ada tandanya yang spesifik orang yang tertular HIV, akan tampak sehat seperti orang lain yang tidak tertular. Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun. Penderita HIV tidak dapat dikenali hanya dengan melihatnya secara langsung. Untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak, hanya tes darah untuk HIV yang mampu membuktikannya. Tetapi, walaupun tampak sehat, mereka yang Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler tertular HIV dapat menularkannya kepada orang lain. Virus penyebab AIDS ini, hidup dalam darah, cairan vagina, cairan mani dan cairan precum/getah penis, air susu ibu yang tertular HIV, dan cairan infeksi penderitanya (Depkes RI, 2008). Gambaran klinis infeksi dari disebabkan oleh HIV-nya sendiri (sindroma retroviral akut, demensia HIV), infeksi aportunistik atau kanker yang terkait dengan AIDS, perjalanan HIV di bagi ke dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis atau jumlah CD4, gejala klinis seperti : a. Infeksi retroviral akut Frekuensi gejala infeksi akut atau sekitar 50-90%, gambaran klinis menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatosplenomegali, nyeri tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, diare, leukopenia dan limposit atipatik. Sebagian besar pasien mengalami gangguan neurologis seperti miningitis aseptik, sindroma guillain baree atau psikosis akut, sindroma ini biasanya sembuh dengan sendiri tanpa pengobatan. b. Masa asimtomatik Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati umum, penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap disebut fase jendela (windows period) c. Masa gejala dini Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300, gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidas vagina, sariawan, herpers zoster, leukoplakia, ITP, dan tubercolosis paru. Masa ini dulu disebut AIDS releted complex (ARC) d. Masa gejala lanjutan Pada masa ini jumlah CD4 di bawah 200, penurunan daya tahan yang lanjut ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya infeksi aportunistik berat atau keganasan (Mansjoer, et al, 2001).
Orang yang terinfeksi HIV, cepat atau lambat (sekitar 2 sampai 10 tahun) akan menderita AIDS. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Hungungan antara jumlah CD4 dan penyulit pada AIDS seperti pada Gambar 7.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Intermediate (500> CD4>200)
Awal (CD4 > 500) Awal (CD4 > 500)
Lanjut (CD4 < 200)
Intermediate ( 500>CD4 >200)
Lanjut (CD4 <200)
Jumlah CD4 (per ul darah)
1.000
500
Demam Mialgia Artalgia Adenopati Malaise Rash Menengoensafaliits
Sindroma Guillain barre Neuropati demielinisasi kronik Trombositopenia idiopatik Tinea Dermatitis seboroik Sindroma heiler Gingivitis Poliomilitis Warts Molluscum Bell palsy contagiosum Tubercolusis Sindroma Sjogren Herpes zoster Sinusitis Kandidosis oral Hairy leukoplakia Sarkoma kaporasi limfoma (NHL) Neoplasia intraepitelial servikal Primary CNS NHL
200
10 minggu
5 tahun
Herpes simplek Kriptosporidiosis PCP Toxo Kriptokok MAC CMV
10 tahun
Sumber : Manjoer, et al, 2001
Gambar 7. Hubungan Jumlah CD4 dan Penyulit pada AIDS 3. Cara penularan Semua hubungan seks tanpa kondom dengan seseorang yang memiliki HIV mengandung beberapa risiko, seks anal tanpa kondom lebih berisiko dibandingkan seks vagina tanpa kondom. Di antara pria yang berhubungan seks dengan pria lain, seks dubur tanpa kondom lebih berisiko dibandingkan seks dubur tanpa kondom insertif. Memiliki banyak pasangan seks atau adanya penyakit menular seksual (PMS) dapat meningkatkan risiko infeksi selama seks. Seks oral tanpa kondom juga dapat menjadi risiko untuk penularan HIV, tetapi merupakan risiko jauh lebih rendah daripada seks anal atau vagina. Berbagi jarum, jarum suntik, bilas air, atau peralatan lain yang digunakan untuk menyiapkan obat-obatan terlarang untuk injeksi. Dilahirkan ke ibu yang terinfeksi HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kehamilan, kelahiran, atau menyusui (CDC, 2006). Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 4. Distribusi penyakit AIDS pertama dikenal sebagai gejala entitas klinis yang aneh pada tahun 1981; namun secara retrospektif dapat dilacak kembali bahwa kasus AIDS secara terbatas telah muncul selama tahun 1970-an di Amerika Serikat (AS) dan di beberapa bagian di dunia (Haiti, Afrika, Eropa). Akhir 1999, lebih dari 700.000 kasus AIDS dilaporan di AS. Walaupun AS tercatat mempunyai kasus AIDS terbesar, estimasi kumulatif dan angka tahunan AIDS di negara-negara sub-Sahara Afrika ternyata jauh lebih tinggi. Di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih dari 13 juta kasus (dan sekitar 2/3 nya di negara-negara sub-Sahara Afrika) terjadi pada tahun 1999. Di AS, distribusi kasus AIDS disebabkan oleh faktor “risk behavior” yang berubah pada dekade yang lalu. Walaupun wabah AIDS di AS terutama terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria, angka pertambahan terbesar di laporkan pada pertengahan tahun 1990-an terjadi diantara wanita dan
populasi minoritas. Pada tahun 1993 AIDS muncul sebagai
penyebab kematian terbesar pada penduduk berusia 25-44 tahun, tetapi turun ke urutan kedua sesudah kematian yang disebabkan oleh kecelakaan pada tahun 1996. Namun, infeksi HIV tetap merupakan kasus tertinggi penyebab kematian pada pria dan wanita kulit hitam berusia 25- 44 tahun. Penurunan insiden dan kematian karena AIDS di Amerika Utara sejak pertengahan tahun 1990 antara lain karena efektifnya pengobatan antiretroviral, disamping upaya pencegahan dan evolusi alamiah dari wabah juga berperan. HIV/AIDS yang dihubungkan dengan penggunaan jarum
suntik
terus berperan dalam wabah HIV terutama dikalangan kaum minoritas kulit
berwarna di AS. Penularan heteroseksual dari HIV di AS meningkat secara bermakna dan menjadi pola predominan dalam penyebaran HIV di negara-negara berkembang. Kesenjangan besar dalam mendapatkan terapi antiretroviral antara negera berkembang dan negara maju diilustrasikan dengan menurunnya kematian karena AIDS pertahun di semua negara maju sejak pertengahan tahun 1990-an dibandingkan dengan meningkatnya kematian karena AIDS pertahun di sebagian besar negara berkembang yang mempunyai prevalensi HIV yang tinggi. Di AS dan negara-negara barat, insidens HIV pertahunnya menurun secara bermakna sebelum pertengahan tahun 1980-an dan tetap relatif rendah sejak itu. Namun, di beberapa negara sub-Sahara Afrika yang sangat berat terkena penyakit ini, insidens HIV tahunan yang tetap tinggi hampir tidak teratasi sepanjang tahun 1980 dan 1990-an. Negara-negara di luar Sub-Sahara Afrika, tingginya prevalensi HIV (lebih dari 1%) pada populasi usia 15-49 tahun, ditemukan di negaranegara Karibia, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dari sekitar 33.4 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 1999 diseluruh dunia, 22.5 juta diantaranya ada di negara-negara subModul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Sahara Afrika dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta ada di Amerika Latin dan 665.000 di AS. Diseluruh dunia AIDS menyebabkan 14 juta kematian, termasuk 2,5 juta di tahun 1998. HIV-1 adalah yang paling tinggi; HIV-2 hanya ditemukan paling banyak di Afrika Barat dan di negara lain yang secara epidemiologis berhubungan dengan Afrika Barat. Distribusi kasus HIV di dunia seperti pada Gambar 8.
Gambar 5 distribusi HIV di Dunia Di Asia diperkirakan 17% dari seluruh kasus di dunia yang pada umumnya sedang menghadapi masalah politik dan sosial ekonomi yang serius, hal ini disebabkan oleh karena penduduk di negara-negara Asia berjumlah cukup besar dan situasi negara serta penduduknya mengalami banyak faktor yang mempermudah terjadinya penularan HIV/AIDS antara lain rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, urbanisasi atau mobilisasi penduduk, masih maraknya perilaku berisiko tingginya prevalensi IMS (Depkes R.I., 2007). Di Indonesia terus meningkat kasusnya, sampai saat ini penularan HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual yang berisiko dan pemakaian jarum suntik yang tidak steril oleh penggunaan Nafza suntik, hampir semua Provinsi di Indonesia yang melaporkan adanya kasus HIV/AIDS dan terdapat beberapa provinsi yang melaporkan kejadian prevalensi HIV tertinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu provinsi papua, DKI Jakarta, Bali dan Riau (Depkes R.I., 2006). 5. Faktor risiko HIV HIV menular melalui perpindahan darah dan perpindahan cairan tubuh, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan keduanya merupakan kegiatan yang berisiko. Berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan, atau berganti-ganti pasangan dan tanpa kondom. Dalam hubungan seks, cairan tubuh dari pasangan seks (cairan vagina atau cairan mani) akan masuk ke dalam tubuh Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler kita. Jika salah satu dari pasangan seks kita tertular HIV, maka virus tersebut juga akan terbawa dalam cairan vagina atau cairan mani, terlebih apabila pada organ seks kita terdapat luka, virus akan lebih mudah masuk. Perilaku berisiko lainnya adalah menggunakan jarum suntik secara bergantian pada penggunaan narkoba sangat berisiko terjadinya penularan HIV. Penggunaan alat tato dan alat tindik telinga yang tidak steril, juga tergolong kegiatan yang berisiko. Darah dari orang lain akan dapat dengan mudah masuk ke dalam pembuluh darah kita. Jika dalam darah tersebut terdapat HIV, maka virus tersebut juga akan masuk ke dalam tubuh kita (Kementrian Kesehatan RI, 2008). HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui kontak seksual, penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi darah atau
komponen-komponennya yang terinfeksi;
transplantasi dari organ dan jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-kadang ditemukan di air liur, air mata, urin dan sekret bronkial, penularan sesudah kontak dengan sekret ini belum pernah dilaporan. Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah dibandingkan dengan penyakit menular seksual
lainnya. Namun adanya penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seksual terutama penyakit seksual dengan luka seperti chancroid, besar kemungkinan dapat menjadi pencetus penularan HIV. Determinan utama dari penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan prevalensi dari orang orang dengan “sexual risk behavior” seperti melakukan hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks. Tidak ada bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan bahwa gigitan serangga bisa menularkan infeksi HIV, risiko penularan melalui seks oral tidak mudah diteliti, tapi diasumsikan sangat rendah. Dari 15-30 % bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV (+) terinfeksi sebelum, selama atau segera sesudah dilahirkan pengobatan wanita hamil dengan antivirus seperti zidovudine mengurangi kejadian penularan kepada bayi secara bermakna. Hampir 50 % dari bayi yang disusui oleh ibu dengan HIV (+) dapat tertular infeksi HIV. Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, angka serokonversi mereka < 0,5 %, lebih rendah dari risiko terkena virus hepatitis B (25%) sesudah terpajan dengan cara yang sama (Chin, 2000). 6. Diagnosis HIV Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena infeksi pada HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahuntahun lamannya. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring, biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela (window period). Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi pada periode ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiga bulan kemudian. Alur pemeriksaan HIV seprti pada Gambar 9.
Sumber : Kementrian Kesehatan R.I., 2010
Gambar 9. Algoritma uji cepat HIV B. Perjalanan Alamiah Penyakit Pada tahap awal, ketika HIV memasuki tubuh, tidak terdapat tanda-tanda khusus sehingga belum dapat diketahui dari tes HIV. Tahap ini disebut dengan periode jendela, berkisar antara 1 hingga 3 bulan bahkan ada yang hingga 6 bulan (HIV masih ‘bersembunyi’, belum bisa dideteksi). Pada tahap kedua, HIV telah berkembang biak dalam tubuh sehingga dapat diketahui dari tes HIV. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Orang yang tertular HIV tetap tampak sehat selama 5 sampai 10 tahun, dikenal dengan masa laten HIV/AIDS. Pada tahap ketiga, sistem kekebalan tubuh semakin menurun, orang yang HIV+ akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS. Misalnya ditandai dengan adanya pembengkakan kelenjar limfa pada seluruh tubuh. Tahap ini kira-kira berlangsung selama lebih dari 1 bulan. Pada tahap akhir, ketika sudah menjadi AIDS, penderita akan semakin lemah kondisinya akibat berbagai penyakit yang tidak dapat dilawan oleh sistem kekebalan tubuhnya. Penderita ini, pada akhirnya cepat atau lambat akan meninggal (Kementrian Kesehatan RI, 2008). Infeksi HIV tidak akan langsung menunjukkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik. Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar dua tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor) seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala) sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. Transmisi HIV dari satu orang ke orang lain dapat melalui berbagai jalur, antara lain: 1. Transmisi melalui jalur hubungan seksual Infeksi HIV dapat menular melalui hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual. Namun pada tahun 2005, ketika dilakukan survei di Amerika Serikat, 49% kasus infeksi HIV ditemukan pada pasangan homoseksual. Virus HIV dapat ditemukan di cairan semen, sediaan apus serviks, dan cairan vagina. Selain itu, ditemukan kaitan yang erat antara infeksi HIV dengan hubungan seks anogenital. Berbagai macam infeksi menular seksual yang menimbulkan ulserasi di daerah genital juga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Oleh karena itu, penatalaksanaan infeksi menular seksual dapat mencegah penularan HIV. Selain itu, pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa pria yang disunat memiliki risiko penularan HIV yang lebih rendah dibandingkan pria yang tidak disunat. 2. Transmisi melalui darah, produk darah, dan organ donor Infeksi HIV dapat menular kepada seseorang yang menerima darah atau produk darah yang terkontaminasi HIV.14 Lima sampai sepuluh persen dari infeksi HIV di dunia ditularkan melalui transfusi dari darah dan produk darah terkontaminasi HIV.15 Selain itu, HIV juga bisa menular melalui pemakaian alat medis (suntikan dan jarum, mesin dialisis) bersama dengan pasien HIV. Melalui skrining serologis rutin terhadap darah, penurunan resiko diterimanya darah yang terinfeksi menjadi 1/660.000 unit untuk HIV-1. Diperkirakan di Amerika Serikat, risiko penularan HIV melalui jalur transfusi darah sekitar 1 per 1,5 juta darah donor. Risiko penularan melalui jalur transfusi darah tidak dapat dihilangkan sepenuhnya oleh karena teknologi saat ini belum mampu mendeteksi RNA HIV dalam kurun waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi karena rendahnya jumlah virus dalam darah. Belum pernah dilaporkan adanya penularan HIV-2 melalui transfusi darah atau transplantasi organ di Amerika Serikat. Saat ini, terhadap seluruh darah donor dilakukan skrining terhadap antibody HIV-1 dan HIV-2. Penularan HIV melalui darah atau produk darah masih merupakan ancaman di negara berkembang, khususnya di negara-negara di sub-Sahara Afrika, yang tidak rutin melakukan skrining terhadap darah donor. Penularan HIV di pusat dialisis pernah diteliti di Columbia, Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Amerika Serikat. Dalam suatu penelitian di beberapa pusat dialisis di Columbia, Amerika Serikat, pada tahun 1993, dari 59 sampel darah yang diperiksa, didapatkan 13 sampel darah yang positif HIV dan memiliki kemiripan susunan virus DNA. Hal ini mengindikasikan terjadinya penularan infeksi HIV di pusat hemodialisis. 3. Transmisi karena faktor pekerjaan Faktor pekerjaan juga dapat menjadi faktor yang dapat mentransmisikan infeksi HIV. Pekerjaan yang berhubungan dengan materi biologis yang mengandung HIV berisiko menjadi media transmisi HIV. Pekerjaan tersebut antara lain pekerja di laboratorium, tenaga kesehatan seperti perawat, atau bahkan pekarya. Mereka pada umumnya tertular HIV secara tidak sengaja akibat tertusuk jarum atau alat tajam bekas digunakan pada pasien HIV atau terkena cairan tubuh yang infeksius. Risiko tertular HIV melalui tusukan jarum mencapai 0,3% sementara risiko tertular HIV bila kulit atau mukosa yang tidak intak terkena darah mencapai 0,09%. Penularan HIV melalui kulit yang intak belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan lebih rendah dibandingkan risiko penularan melalui paparan terhadap membran mukosa. Cairan tubuh yang dianggap infeksius seperti cairan serebrospinal, sinovial, pleura, peritoneal, dan amnion. Risiko tertular HIV melalui cairan ini belum pernah didokumentasikan namun diperkirakan lebih rendah bila dibandingkan tertular melalui darah. Bahan biologis lainnya seperti feses, sekret nasal, saliva, sputum, keringat, air mata, urin, dan muntahan dianggap tidak menjadi sumber infeksius kecuali bila jelas terlihat adanya darah. Kasus penularan HIV dari pasien ke pasien serta dari tenaga kesehatan ke pasien diperkirakan disebabkan kurang optimalnya pengendalian infeksi di rumah sakit serta penggunaan kembali alat-alat medis yang terkontaminasi oleh HIV. Mayoritas kasus di mana terjadi paparan terhadap infeksi HIV dan serokonversi di tempat pelayanan kesehatan adalah melalui needle-stick injury.13,19 Oleh sebab itu, penanganan yang tepat terhadap benda-benda medis yang tajam dapat mengurangi penularan HIV melalui jalur ini secara signifikan. Di negara maju, angka kejadian needle-stick injury berkisar antara 13 - 15,4%. Angka kejadian needle-stick injury di negara berkembang sangat sedikit diketahui dan mungkin terdapat bentuk transmisi HIV yang lain di lingkungan tempat pelayanan kesehatan. Oleh karena pelatihan terhadap tenaga kesehatan di negara berkembang lebih kurang dibandingkan dengan di negara maju serta penyediaan perlengkapan pelindung diri yang kurang, kemungkinan terjadinya paparan infeksi HIV lebih tinggi. 4. Transmisi maternal-fetal Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Infeksi HIV bisa ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke fetus ketika dalam kandungan, proses persalinan, dan menyusui. Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anaknya saat dalam kandungan sebesar 23-30%, ketika proses persalinan 50-65%, dan saat menyusui 12-20%. Di negara industri, transmisi HIV dari ibu ke fetus sebesar 15-25% sementara di negara berkembang sebesar 25-35%. Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasma ibu. Hasil suatu penelitian di Amerika Serikat menunjukkan dengan kadar virus dalam plasma sebesar <1000 kopi/mL, angka transmisinya 0%; sementara dengan kadar virus sebesar 1000-10.000 kopi, angka transmisinya 16,6%; angka transmisi menjadi 21,3% bila kadar virus dalam plasma 10.001-50.000 kopi/mL;30,9% dengan kadar virus 50.001-100.000 kopi/mL; dan 40,6% bila kadar virus >100.000 kopi/mL. Namun belum pernah ditentukan nilai ambang terendah dimana tidak terjadi infeksi. 5. Transmisi dari cairan tubuh lain Meski HIV dapat diisolasi dalam titer yang rendah dari saliva seorang pengidap HIV, tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa saliva dapat menularkan infeksi HIV. Saliva sendiri mengandung faktor antivirus endogen seperti IgA, IgG, dan IgM yang spesifik terhadap HIV yang dapat dideteksi pada pengidap HIV. Diduga glikoprotein besar seperti musin dan thrombospondin-1 dapat menggumpalkan HIV untuk dikeluarkan. Selain itu, terdapat suatu senyawa bernama secretory leukocyte protease inhibitor (SLPI) yang menghambat infeksi HIV pada suatu percobaan in vitro, dan substansi tersebut terdapat dalam saliva dalam kadar yang dibutuhkan untuk menghambat HIV secara in vitro. Oleh karena itu, tingginya kadar SLPI pada bayi yang menyusu dikaitkan dengan penurunan risiko transmisi HIV lewat ASI. Selain itu, diperkirakan saliva submandibula mampu mengurangi tingkat infektifitas HIV serta mampu melisiskan sel yang terinfeksi HIV. Transmisi HIV melalui gigitan manusia dapat terjadi namun hal ini jarang terjadi. Meskipun virus dapat diidentifikasi dari cairan tubuh manapun, tidak terdapat bukti bahwa transmisi HIV dapat terjadi akibat paparan terhadap air mata, keringat, dan urin. Namun pernah dilaporkan terjadinya transmisi HIV akibat terkena cairan tubuh yang mungkin telah terkontaminasi dengan darah. Mayoritas kondisi ini terjadi pada hubungan yang sangat erat, seperti pada perawatan intensif terhadap pasien yang terinfeksi HIV tanpa memperhatikan kewaspadaan universal dalam menangani cairan tubuh atau kotoran pasien dengan HIV.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler C. Populasi berisiko HIV/AIDS Infeksi HIV tidak tersebar secara merata tetapi penularan akan terjadi terutama pada beberapa populasi masyarakat tertentu yang memiliki perilaku risiko penularan HIV. Cara penularan dari faktor risiko melalui penularan lewat jalur seksual (hubungan seksual dengan banyak pasangan) diantaranya wanita penjaja seks langsung, wanita penjaja seks tak langsung (wanita yang berkerja di tempat hiburan seperti panti pijat, bar, karaoke, biliar, solon, diskotik), pasien IMS pria, waria. Penularan melalui darah (penggunan bersama jarum suntik yang tidak steril) seperti pengguna Nafza suntik. Narapidana disebabkan karena pada umumnya populasi tersebut memiliki latar belakang perilaku risiko dari berbagai cara penularan. Penderita tuberkolusis karena membutuhkan data untuk mengetahui besarnya masalah HIV dikalangan penderita HIV dan mengetahui dampak epidemi Tb, secara umum epidemi HIV akan meningkat epidemi TB (Depkes, R.I., 2006). HIV menular melalui perpindahan darah dan perpindahan cairan tubuh, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan keduanya merupakan faktor yang berisiko seperti berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan seks, atau berganti-ganti pasangan seks dan melakukan hubungan seks tanpa kondom sangat berisiko terjadinya penularan HIV. Dalam hubungan seks, cairan tubuh dari pasangan seks (cairan vagina atau cairan mani dan cairan pre-cum/getah penis) akan masuk ke dalam tubuh kita. Jika salah satu dari pasangan seks kita tertular HIV, maka virus tersebut juga akan terbawa dalam cairan vagina atau cairan mani dan cairan pre-cum/getah penis. Terlebih apabila pada organ seks kita terdapat luka, virus akan lebih mudah masuk. Perilaku berisiko lainnya adalah menggunakan jarum suntik secara bergantian pada penggunaan narkoba sangat berisiko terjadinya penularan HIV. Penggunaan alat tato dan alat tindik telinga yang tidak steril, juga tergolong kegiatan yang berisiko. Mengapa? Karena darah dari orang lain akan dapat dengan mudah masuk ke dalam pembuluh darah kita. Jika dalam darah tersebut terdapat HIV, maka virus tersebut juga akan masuk ke dalam tubuh kita (Kementrian Kesehatan, R.I., 2010). Wabah AIDS di AS terutama terjadi pada pria yang berhubungan sex dengan pria, angka pertambahan terbesar di laporkan pada pertengahan tahun 1990-an terjadi diantara wanita dan populasi minoritas. infeksi HIV tetap merupakan kasus tertinggi penyebab kematian pada pria dan wanita kulit hitam berusia 25-44 tahun HIV/AIDS yang dihubungkan dengan penggunaan jarum suntik terus berperan dalam wabah HIV terutama dikalangan kaum minoritas kulit berwarna di AS. Penularan heteroseksual dari HIV di AS meningkat secara bermakna dan menjadi pola predominan dalam penyebaran HIV di negara-negara berkembang. Kesenjangan besar dalam mendapatkan Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler terapi antiretroviral antara negera berkembang dan negara maju di ilustrasikan dengan menurunnya kematian karena AIDS pertahun di semua negara maju sejak
pertengahan tahun 1990-an
dibandingkan dengan meningkatnya kematian karena AIDS pertahun di sebagian besar negara berkembang yang mempunyai prevalensi HIV yang tinggi (Chin, 2000). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV di Indonesia ditemukan mulai konstan di atas 5% pada populasi kunci, seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, waria, LSL, sehingga dikatakan Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2007, prevalensi rata-rata HIV pada berbagai populasi kunci tersebut adalah sebagai berikut: WPS langsung 10,4%; WPS tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8% (hasil survey dari 6 kota pada populasi pelanggan WPS yang terdiri dari supir truk, anak buah kapal, pekerja pelabuhan dan tukang ojek, dengan prevalens berkisar antara 0,2%-1,8%); lelaki seks dengan lelaki (LSL) 5,2%; pengguna napza suntik 52,4%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat pergerakan ke arah generalized epidemic yang dipicu oleh seks tidak aman dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk usia 15-49 tahun (Kementrian Kesehatan, R.I., 2010). Di Indonesia lebih dari 90% laki-laki pelanggan pekerja seks tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks, dan pengguna narkoba suntik 80% menggunakan pekerja seks dan melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom (UNSAID, 2005). D. Dampak HIV/AIDS Dampak HIV sangat luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi, terdapat biaya langsung dan tak langsung sebagai akibat dari HIV ini. Biaya langsungnya meliputi biaya-biaya yang terkait dengan pengobatan HIV, sementara biaya tak langsung mencakup beban akibat hilangnya produktivitas oleh karena penyakit, disabilitas, serta kematian prematur (Kementrian Kesehatan, R.I., 2010). Penduduk Afrika yang terkena infeksi HIV lebih cepat berkembangnya menjadi AIDS dibandingkan dengan populasi lain, masih terus dalam penelitian. Satu- satunya faktor yang dapat diterima, yang mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Dewasa muda dan pria serta wanita dewasa yang terinfeksi HIV pada usia muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua. Adanya potensi interaksi antara infeksi HIV dengan
infeksi penyakit lainnya menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang memprihatinkan. Interkasi utama yang sampai saat ini diketahui adalah interaksi HIV dengan Mycobacterium Tuberculosis (Mtbc). Mereka yang didalam tubuhnya mengidap infeksi Mtbc laten, jika terinfeksi HIV akan berkembang menjadi penderita TB klinis dengan Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler cepat. Dikatakan risiko seorang dewasa terkena TB adalah 10%, namun jika mereka terinfeksi HIV maka risikonya menjadi 60-80% terkena TB. Interaksi antara HIV dengan Mtbc mengakibatkan terjadinya penderita TB paralel dengan HIV/AIDS (Chin, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kaldor, et.al., (2005) dalam AUSAID (2006) berdasarkan studi modeling dampak, diramalkan Indonesia pada tahun 2025 akan memasuki fase generalised epidemic dengan 1,95 juta orang dengan HIV/AIDS, prevalensi HIV pada orang dewasa di Indonesia akan lebih dari 1%, dengan 1,5 juta kematian. Papua akan menjadi wilayah yang paling berat derajat epideminya yaitu prevalensi HIV pada populasi orang dewasa akan mencapai 7%, dengan 166.000 yatim piatu, peningkatan biaya pelayanan kesehatan karena 27% tempat tidur RS akan dihuni pasien HIV sedangkan di Papua angka tersebut pada tahun 2025 adalah 80%. Pada posisi tersebut pengendalian epidemi akan semakin rumit, sulit dan menghabiskan biaya dan tenaga yang amat besar. E. Skrining (Uji Tapis) 1. Batasan skrining (uji tapis) Uji tapis adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita panyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita. Jadi, uji tapis tidak dimaksudkan untuk mendiagnosis sehingga pada hasil uji tapis yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk menemukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak (Budiarto & Anggraeni, 2002; Beaglehole, et al., 2006). Skrining dilakukan untuk mencari penyakit pada subjek yang asimtomatik, untuk kemudian dapat ditegakkan. Uji diagnostik untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah (Pusponegoro, et al., 2011). 2. Tipe skrining (uji tapis) Ada beberapa tipe uji tapis yang masing-masing memiliki tujuan khusus yaitu (Budiarto and Anggraeni, 2002; Beaglehole, et al., 2006) : a. Skrining Masal (mass screening) yang bertujuan untuk menskrining seluruh populasi atau subpopulasi. b. Multipel skrining (multiple or multiphasic screening) yaitu menggunakan beberapa alat uji skrining pada waktu yang sama. Uji skrining ini dapat dilakukan secara seri atau pararel. Uji kombinasi secara seri adalah dua tes atau lebih yang dilakukan secara berturut-turut dimana tes pertama dengan sensitivitas tinggi, sedangkan tes kedua dengan spesivisitas yang tinggi. Cara ini Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler dimaksudkan untuk meningkatkan spesivisitas. Sedangkan uji kombinasi secara pararel adalah bila dua tes atau lebih dilakukan secara bersamaan tanpa memperhatikan hasil tes sebelumnya. Cara ini digunakan untuk meningkatkan sensitivitas. c. Targeted screening dari kelompok dengan paparan khusus. d. Case-finding or opportunistic screening yaitu ditujukan pada pasien yang konsul ke praktisi kesehatan untuk beberapa maksud lainnya. Memilih pemeriksaan diagnostik yang tepat bukanlah hal yang mudah, tidak semua uji diagnostik mempunyai kegunaan yang sama, uji diganostik dapat dibagi berdasarkan pada kegunaan seperti untuk skrining pada subjek asimtomatik atau untuk memastikan atau menyingkirkan diagnosis, untuk memantau perjalanan klinis, untuk menentukan prognosis dan lain-lain. Perbedaan tersebut akan berimbas pada perbedaan karakteristik uji yang digunakan, maka uji diagnostik yang sesuai dengan skrining tidak sesuai bila digunakan untuk menegakkan diagnosis atau memantau perjalanan penyakit selama pengobatan (Pusponegoro, et al., 2011). 3. Kriteria skrining Uji diagnostik untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah, penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki syaratsyarat sebagai berikut (Pusponegoro, et al., 2011) : a. Prevalensi penyakit cukup tinggi, meskipun kata “tinggi” ini bersifat relatif b. Penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna apabila tidak diobati c. Harus tersedia terapi atau intervensi yang efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit d. Pengobatan dini harus memberikan hasil yang lebih baik ketimbang pengobatan pada kasus lanjut Ada beberapa kriteria utama atau pokok untuk menetapkan program skrining yang berkaitan dengan gangguan atau penyakit, pengobatannya dan uji skrining seperti pada Tabel 1.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 1. Syarat Menetapkan Program Skrining No 1 2 3
Kriteria Gangguan Prevalensi Perjalanan alamiah penyakit
Syarat Sudah didefinisikan dengan baik. Diketahui Antara tanda pertama (the first sign) dan penyakit yang nyata (overt disease) memiliki periode yang lama, secara medis gangguan penting dimana ada pengobatan yang efektif 4 Alat uji Mudah dan aman 5 Performa alat uji Distribusi nilai alat uji diketahui baik pada individu sakit dan tidak 6 Biaya Cost-effective 7 Fasilitas Tersedia atau tersedia secara mudah 8 Aseptabilitas Prosedur lanjutan bagi mereka yang hasilnya positif disetujui dan diterima baik oleh otoritas skrining maupun yang diskrining 9 Equity Keadilan mengakses layanan skrining; efektif, acceptable dan tersedia pengobatan yang aman Sumber: Basic Epidemiology 2nd edition 4. Kriteria evaluasi Untuk menilai hasil uji skrining dibutuhkan kriteria tertentu yaitu: a. Validitas Validitas suatu alat uji didefinisikan sebagai kemampuan alat uji itu untuk membedakan siapa yang sakit dan siapa yang tidak sakit atau secara benar mengkategorikan orang ke dalam kelompok dengan dan tanpa penyakit atau mengindikasikan individu mana yang benar-benar sakit dan mana yang tidak sakit. Validitas mempunyai dua komponen yaitu: 1) Sensitivitas yaitu kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil tes positif dan benar-benar sakit. Atau proporsi orang dengan penyakit dalam populasi yang diskrining yang teridentifikasi sebagai sakit oleh alat uji skrining. 2) Spesivisitas yaitu kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil tes negatif dan benar-benar tidak sakit. Atau proporsi orang yang bebas penyakit yang juga teridentifikasi tidak sakit (negatif) oleh alat uji skrining (Budiarto & Anggraeni, 2002; Lapau, B., 2009; Beaglehole, et al., 2006). b. Reliabilitas Suatu alat uji dikatan reliabel jika tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil yang konsisten. Reliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor (Budiarto & Anggraeni, 2002) : Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 1) Variabilitas alat, misal stabilitas reagen dan stabilitas alat ukur yang digunakan. 2) Variabilitas orang yang diperiksa, misal lelah, kurang tidur, marah, sedih, penyakit berat dan lain-lain. 3) Variabilitas pemeriksa a)
Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama.
b)
Variasi eksterna, variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang
c. Yield Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari uji skrining. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Sensitivitas alat uji, bila alat uji skrining memiliki sensitivitas rendah, akan dihasilkan banyak negatif semu yang berarti banyak penderita yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa uji skrining dengan yield rendah, demikian sebaliknya. Jadi sensitivitas alat dan yield mempunyai korelasi positif. 2) Prevalensi penyakit yang tidak tampak, makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat akan meningkatkan yield. 3) Uji skrining yang dilakukan sebelumnya. Bagi penyakit yang jarang dilakukan uji skrining akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. 4) Kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap masalah kesehatan akan meningkatkan partisipasi dalam uji skrining sehingga kemungkinan banyak penyakit tanpa gejala yang dapat terdeteksi dan dengan demikian yield akan meningkat (Budiarto & Anggraeni, 2002).
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB III METODE SKRINING
A. Sasaran dan Lokasi 1. Sasaran skrining a. Tipe Skrining Skrining yang dilakukan menggunakan tipe targeted screening yaitu wanita pekerja seksual (WPS), WPS merupakan kelompok yang berisiko menderita HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan R.I., 2008). b. Sasaran skrining Sasaran skrining yaitu WPS yang berkerja di lokalisasi di Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang c. Penetapan jumlah sasaran Untuk penelitian survei, biasanya rumus yang bisa dipakai menggunakan proporsi binomunal (binomunal proportions), karena besar populasi (N) tidak diketahui atau (N-n)/(N1)=1 maka besar sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut (Lemeshow, et al., 1997) n=
Z α p. q Z α p(1 − p) atau n = d d
dengan : n = Besarnya sampel z = Deviasi normal standar (1,96 untuk tingkat kepercayaan 95%) d = Tingkat kemaknaan yang diharapkan, atau tingkat kesalahan, atau ½ dari lebar interval kepercayaan (umumnya ditetapkan 0,05) p = Proporsi dari populasi yang memiliki karateristik yang akan diukur, ditetapkan p = 4,8% atau 0,048 q = proporsi dari populasi yang tidak memiliki karateristik yang akan diukur (atau = 1-p) Dari hasil studi dokumentasi diketahui bahwa prevalensi HIV di Jawa tengah yaitu 4,8% (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2012).
n1 = (1,96)²x 0,048 x 0,952 = 70,21= 70 orang (0,05) ² Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Untuk meningkatkan tingkat kepercayaan dari skrining maka ditambah 30 subyek sehingga menjadi 100 orang Penetapan jumlah sasaran dibutuhkan dalam skrining dengan memenuhi kriteria-kriteria yaitu : Kriteria inklusi : 1. Belum pernah melakukan test HIV dalam 3 bulan terakhir 2. WPS telah berkerja di lokalisasi lebih dari 6 bulan dengan pertimbangan bahwa orang yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi yang terdeteksi dalam 1-3 bulan sesudah terinfeksi, kadang kala masa ini menjadi lebih panjang hingga 6 bulan 3. Usia WPS lebih dari 20 tahun dengan pertimbangan bahwa aturan di lokalisasi bahwa lebih umur 20 tahun diterima sebagai WPS 4. Bersedia menjadi subyek skrining dengan mengisi dan menandatangani informed consent Kriteria eksklusi : 1. Tidak bersedia ikut dalam penelitian ini 2. WPS yang sudah divonis menderita HIV 2. Lokasi skrining Skrining HIV dilakukan di lokalisasi Sunan Kuning yang terletak di Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang. Alasan penetapan sasaran tersebut karena: 1). Merupakan lokalisasi yang paling banyak dikunjungi dan terbesar di Kota Semarang dan 2). Jumlah sasaran WPS cukup besar dibandingkan dengan lokalisasi lainnya. 3. Tenaga Pelaksana Tenaga pelaksana skrining adalah : 1) Karya siswa FETP UGM 2011 2) Staf P2M Dinas Kesehatan Kota Semarang 3) Staf bagian serologi Balai Laboratorium Kesehatan (BKL) Semarang Jawa Tengah 4) Staf Puskesmas Lebdosari 4. Cara skrining Wawancara dengan WPS di Lokalisasi Sunan Kuning menggunakan kuesioner yang berisi tentang identitas responden dan gejala klinis infeksi menular seksual (IMS) dengan pertimbangan bahwa IMS merupakan pintu masuk menjadi HIV. a. Persiapan skrining Dimulai dengan rapat pertemuan lintas sektor terkait dalam penanggulangan HIV/AIDS yang melibatkan Dinas Sosial, Pemda setempat, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Puskesmas Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Lebdosari. Penjelasan mengenai rencana pengambilan specimen yang berupa sampel darah untuk pemeriksaan HIV oleh Petugas dari BLK Kota Semarang dan staf puskesmas. Kemudian dilakukan persiapan bahan dan sarana pengambilan sampel darah, yaitu : 1) Kuesioner untuk wawancara dengan responden, pelatihan penggunaan kuesioner dengan gejala infeksi menular seksual . 2) Form daftar sampel darah 3) Venojet (jarum) 4) Holder 5) Vacutainer (tabung hampa udara) 6) Rak tabung untuk menaruh tabung yang sudah berisi darah 7) Tourniquet untuk membendung darah daerah vena cubiti yang diikatkan pada lengan atas, sehingga vena akan tampak jelas. 8) Kapas alkohol untuk membersihkan kulit sebelum dan setelah diambil darahnya. 9) Sarung tangan untuk petugas pengambilan darah guna mencegah kemungkinan terjadinya paparan darah sasaran yang diambil. 10) Safety box untuk tempat sampah jarum yang telah dipakai dan sampah lain bekas pengambilan sample. 11) Centrifuge untuk mengendapkan darah, sehingga dapat diambil serumnya. 12) Transferpipette/ klinipet untuk mengambil serum darah 13) Cryotube untuk menyimpan serum 14) Termos dan coldpack yang sudah beku.
5. Pelaksanaan skrining a. Penyuluhan massal yang dilaksanakan oleh Depertemen Agama serta penyluhan HIV/AIDS yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang kepada semua sasaran yang akan diskrining tentang pemberian informasi HIV/ AIDS. b. Wawancara dengan responden menggunakan kuesioner, yang berisi tentang identitas responden, pendidikan, alamat asal, mucikari yang ditempati, lama bekerja sebagai penjaja seks, frekuensi hubungan seks, pemakaian kondom, pengetahuan tentang AIDS. c. Cara pengisian form daftar sampel Formulir daftar sampel darah terdiri dari 3 lembar. Lembar pertama untuk P2M Dinas Kesehatan Kota Semarang, diisi lengkap dengan kode tabung, identitas penderita dan asal penderita Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler yang dipakai untuk melakukan tindak lanjut apabila hasil skrining positif. Lembar kedua untuk laboratorium hanya berisi nomor kode tabung, umur dan jenis kelamin tanpa identitas penderita. Lembar ketiga untuk petugas/ karyasiswa FETP UGM yang digunakan untuk melacak lokasi responden guna melakukan tindak lanjut apabila hasil skrining positif. d. Cara pengambilan sampel Responden setelah selesai diwawancara dengan kuesioner dan didata dalam form daftar sampel darah, duduk berhadapan dengan petugas pengambil sampel darah. Kemudian pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas BLK Semarang dan Petugas Puskesmas Lebdosari setelah diambil darahnya menggunakan spuit dimasukkan ke dalam tabung diberi label yang berisi nomor kode tabung dan responden. Setelah kegiatan pengambilan darah selesai, maka dilakukan centrifugasi di kantor BLK Semarang serta dilakukan pemeriksaan HIV. 6. Tekhnik pemeriksaan Untuk melakukan pemeriksaan HIV, spesimen adalah darah vena. Teknik pemeriksaan menggunakan metode rapid test SD HIV-1/2 3.0 serta teknik ELISA merk Human. a. Teknik Rapid test SD HIV-1/2 3.0 1) Prinsip Serum/plasma yang diteteskan pada bantalan sampel beraksi dengan partikel yang telah dilapisi dengan protein A pada daerah control (C) sehingga akan menghasilkan garis warna. Campuran ini selanjutnya akan bergerak ke sepanjang strip membran untuk berikatan dengan antigen HIV pada daerah test (T) sehingga menghasilkan garis warna Rapid test SD HIV-1/2 3.0 memiliki sensitifitas 100% dan memiliki spesifisitas 99,8%. 2) Metode Immonokromatografi 3) Sampel Serum atau plasma 4) Reagent Kit anti HIV rapid test (SD) 5) Alat Mikropipet 10-50 ul 6) Langkah kerja Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Mengerjakan kontrol dilakukan dengan setiap 2 minggu sekali atau setiap pembukaan reagent baru a) Alat test dilepaskan dari tutupnya b) Tempat alat test pada permukaan datar dan bersih c) Pipet tetes dipegang secara vertikal lalu teteskan 10 ul kontrol positif atau kontrol negatif kedalam sumur spesimen (S) alat test, hindari adanya gelembung udara d) Teteskan 4 buffer ke dalam sumur spesimen (S) e) Tunggu sampai timbul garis pada alat test (C/T) hasil sebaknya di baca dalam waktu 10 menit f) Amati terjadinya garis pada alat test (C) dan pada alat test (T) 7) Interpretasi hasil a) Kontrol positif : terbentuk 2 atau 3 garis muncul pada bagian kontrol (C) dan alat test (T) b) Kontrol negatif : hanya 1 garis muncul pada bagian kontrol (C) c) Invalid : tidak timbul garis sama sekali atau timbul hanya pada bagian test (T) d) Melakukan pemeriksaan sampel Sesudah kontrol positif sesuai dilakukan pemeriksaan untuk sampel 1) Alat test dilepaskan dari tutupnya 2) Tempatkan alat test pada permukaan datar dan bersih 3) Pipet test dipegang secara vertikal lalu ditetes 10 ul serum atau plasma ke dalam sumur spesimen (S) alat test 4) Teteskan 4 tetes buffer ke dalam sumur spesimen (S), hasilnya sebaiknya di baca dalam waktu 10 menit 5) Amati terjadinya garis pada alat test (C) dan pada alat test (T) 8) Interpretasi hasil a) Positif : terbentuk 2 atau 3 garis pada kolom kontrol (C) dan test (T) b) Kontrol negatif : hanya 1 garis muncul pada bagian kontrol (C) c) Invalid : tidak timbul garis sama sekali atau timbul hanya pada bagian test (T) (Manual Anti HIV SD, 2012) seperti pada Gambar 10.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
Gambar 10. Hasil Pemeriksaan Dengan Rapid Test b. Teknik Elisa human 1) Prinsip Sumur mikrotiter strip telah dilabel dengan sintesa peptida (Pept) dan antigen recombinant (rAg). Gp41.gp36 dan p24gag yang mewakili daerah imonudominant dari kedua HIV1 dan 2. Selama inkubasi antibodi spesifik HIV (Anti HIV Ig G dan Ig M) muncul pada sampel penderita atau positif kontrol terikat pada peptida immobilized dan antigen recombinant. Setelah tahap pencucian ikatan antibodi akan terdeteksi dengan memakai konjugat yang berisi peroksidase horseradish (HRP) yang label dengan antibodi anti-human immunoglobulin (anti-Ig ab/HRP) HRP hasil dari complex sandwich type immune dalam reaksi selanjutnya dengan H2O2/TBM membentuk warna kuning setelah dihentikan dengan asam sulfat. Intensitas warna sebanding dengan konsentrasi antibodi spesifik HIV dalam sampel atau kontrol di baca pada 450 nm. Elisa human memiliki sensitifitas 100% dan memiliki spesifisitas 99,6%. 2) Metode Mikro elisa sandwich 3) Sampel Serum atau plasma 4) Reagent a) Strip mikrotiter Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler b) Larutan pencuci c) Kontrol negatif d) Kontrol positif e) Konjugat f) Larutan TMB g) Buffer substrat h) Larutan penyetop i) Pegangan strip 5) Persiapan reagent a) Encerkan larutan pencuci (3) + 10 aquadest steril b) Encerkan konjugat (6) tepat 1 + 100 buffer pengencer (2). Siapkan larutan kerja substrat paling sedikit 15 menit sebelum digunakan dengan cara langsung mencampurkan c) Encerkan larutan TMB (7) 1+10 buffer substract (8). Siapkan larutan kerja substrat 15 menit sebelum digunakan dengan cara langsung mencampurkan 6) Langkah kerja Sebelum melakukan pemeriksaan semua spesimen dan bahan kontrol dicatat dengan teliti pada kertas yang tersedia pada kit a) Langkah pertama Cuci microtiter strip segera sebelum digunakan dengan menambahkan 400 ul larutan kerja pencuci (3a) tiap sumur. Pipet 100 ul buffer pengencer (2) ke dalam semua sumur tambahkan kontrol negatif (4) ke sumur B1/C1/D1, 20 ul kontrol positif (5) ke sumur E1/F1, 20 ul sampel penderita ke sumur lainnya, bila memakai pipet, isap kontrol dan sampel paling sedikit 2 kali sampai campuran menjadi homogen atau jaga selama pencampuran dengan mengocok (plate shaker) Siapkan larutan kerja konjugat (6a), isap isi sumur masukkan ke dalam 5% larutan sodiummhypochlorite dan tambahkan ke dalam tiap sumur. Larutan kerja pencuci (3a), setelah dikocok selama 30 menit isap lagi cairan keluar dan ulangi pencucian ini sebanyak 4 kali. Siapkan automatic washer larutan pencuci (3a) dan cuci strip sebanyak 3 kali. Pastikan washer mengisi tiap sumur dengan benar dan isap isi sumur setiap 30 detik (cairan sisa < 10 ul). b) Langkah kedua Isikan 100 ul larutan kerja substrat (6a) ke dalam semua sumur dengan inkubasi 15 menit dengan suhu 370C, siapkan larutan kerja substrat (7a) cuci strips sebanyak 5 kali. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler c) Langkah tiga Isikan 100 ul larutan substrat (7a) ke dalam sumur dengan inkubasi 15 menit dalam gelap pada suhu kamar. Isikan larutan penyetop (9) ke dalam semua sumur, ukur absorbans dalam 30 menit dibandingkan dengan blanko A1 pada 450 nm gunakan panjang gelombang referensi antara 620 dan 690 nm 7) Perhitungan hasil a) Hitung rata-rata absorbans kontrol negatif (MNC) dan kontrol positif (MPC) pada 450 nm : MNC = (A450(B1) + A450 (C1)+ A450 (D1) : 3 MPC = (A450 (E1) + A450(F1) : 2 Validasi tes Tes dinyakan berlaku apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : MNC < 0,150 MPC > 1,000 b) Interpretasi hasil Abs sampel ≥ co : reaktif Abs sampel < co : non reaktif Nilai masukan : non reaktif Saat ini terdapat dua metoda tes HIV yang dapat digunakan yaitu tes rapid dan ELISA dengan kelebihan dan kelemahan masing- masing. Kelebihan dan kelemahan metoda Rapid dan ELISA dapat dilihat pada Tabel 2.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan dari Repid Test dan ELISA dalam pemeriksaan HIV No
Item Tes Rapid perbedaan 1 Parameter yang Anti-HIV atau kombinasi dapat dideteksi anti-HIV dan P24 HIV
Tes Elisa
Anti-HIV, atau Ag HIV (P24), atau kombinasi antiHIV dan P24 HIV 2 Peralatan Tanpa alat Alat ELISA yang terdiri dari: incubator, washer dan reader (spectrophotometer) 3 Petugas Hanya memerlukan Petugas perlu pelatihan lebih pelatihan singkat khusus 4 Infrastruktur Hampir tidak memerlukan Perlu listrik dengan voltage infrastruktur khusus stabil dan air yang memenuhi sehingga dapat digunakan di persyaratan lapangan 5 Efisiensi biaya Biaya per-tes lebih murah Biaya per-tes relatif lebih bila dibandingkan metode mahal Elisa Untuk unit pemeriksa Ada biaya investasi dan dimana spesimen datang pemeliharaan peralatan serta satu per satu lebih efisien biaya infrasturktur seperti listrikdan air Bila digunakan Rapid Untuk unit pemeriksa kombinasi dapat menangkap dimana jumlah spesimen individu yang berada dalam banyak lebih efisien masa jendela infeksi Bila digunakan ELISA kombinasi dapat menangkap individu yan berada dalam masa jendela infeksi Sumber : Kementrian Kesehatan, R.I., 2010 6. Rencana tindak lanjut Apabila hasil pemeriksaan laboratorium dengan salah satu pemeriksaan baik Rapid test dan Teknik Elisa dinyatakan positif mengidap infeksi HIV, selanjutnya dilacak ke lokasi tempat penderita ditemukan dengan melakukan konfirmasi P2M Dinas Kesehatan Kota Semarang senjutnya di rujuk ke klinik VCT dr. Kariadi Semarang untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan serta mendapatkan pengobatan Anti Retroviral Therapy (ART)
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler B. Uji Diagnostik dan Baku Emas 1. Uji diagnostik Infeksi HIV dengan perjalanan alamiah penyakitnya sangat lambat maka sering penderita tidak menunjukkan gejala sehingga orang yang sudah terinfeksi menyadari kalau sudah mengidap virus HIV dalam tubuhnya. Untuk diagnosa tes HIV harus dengan metoda
ELISA karena
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta pembacaan berdasarkan hasil dari alat tersebut sehingga tidak menimbulkan bias dari petugas jika terlalu banyak yang diperiksa. 2. Baku emas Baku emas (Gold Standard) adalah standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas yang ideal selalu memberikan nilai positif pada semua subjek penyakit dan selalu memberikan hasil negatif pada subjek tanpa penyakit (Pusponegero, et al., 2011). Untuk pemeriksaan infeksi HIV dipergunakan dalam skrining infeksi HIV adalah menggunakan metode Elisa, dengan pertimbangan metode pemeriksaan ini lebih mudah dilaksanakan dalam pemeriksaan terhadap antibodi HIVdan juga tes ELISA lebih akurat karena pembacaan hasil menggunakan peralatan, sehingga hasil positif palsu dan negatif palsu lebih dapat dihindarkan (Kementrian Kesehatan R.I., 2009). Validitas dari suatu alat uji skrining diartikan kemampuan alat uji itu sendiri untuk membedakan siapa yang menderita sakit dan siapa yang tidak menderita sakit. Validitas dari suatu alat uji terdiri atas dua komponen yaitu sensitivitas dan spesifisitas (Gordis, 2004). Untuk menilai validitas pengukuran dalam suatu uji penyaringan atau skrining, maka hasil pengukuran uji skrining tersebut dibandingkan dengan baku emas (gold standard), dengan menyusun tabel 2 x 2 seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Tabel 2 x2 Antara Pemeriksaan Rapid Test dan Pemeriksaan Elisa Dalam Pemeriksaan HIV Rapid test Positif Negatif Total Keterangan : a = Positif sejati (true positive) b = Positif palsu (false positive)
Metode Elisa (Baku Emas) Positif Negatif a b c d a+c b+d
Total a+b d+d a+b+c+d
c = Negatif palsu (false negative) d = Negatif sejati (true negative)
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Hasil uji yang akan diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas adalah : a. Sensitivitas (Sensitivity) adalah kemampuan alat skrining untuk menempatkan sasaran skrining yang benar-benar menderita ke dalam kelompok penderita. Sensitivitas = a / (a+c) x 100 % b. Spesifisitas (Specificity) adalah kemampuan alat skrining untuk menempatkan sasaran skrining yang benar-benar tidak menderita ke dalam kelompok sehat. Spesifisitas = d / (b+d) x 100 % c. Nilai duga positif (Positive Predictive Value) adalah besarnya kemungkinan individu benar-benar menderita dari semua hasil uji skrining positif. d. Nilai duga positif = a / (a+b) x 100 % Nilai duga negatif (Negative Predictive Value) adalah besarnya kemungkinan individu yang benar-benar tidak menderita dari semua hasil uji skrining negatif. Nilai duga negatif = d / (c+d) x 100 % (Pusponegero, et al., 2011). C. Alat Ukur Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat yang ada di Dinas Kesehatan Kota Semarang yaitu Rapid Test sedangkan alat dengan metode Elisa diadakan oleh Karyasiswa, berikut ini disajikan dummy table untuk pengolahan data karakteristik responden, manifestasi gejala klinis dari infeksi menular seksual karena pertimbangan bahwa IMS merupakan pintu masuk terinfeksi HIV dan gejala HIV terutama pada wanita tidak menunjukkan gejala. Dummy table seperti pada Tabel 4 dan 5.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 4. Dummy Table Gejala Klinis IMS dan Diagnosis HIV No Gejala 1 Tanpa gejala 2 Keluar cairan dari vagina atau anus yang berbeda dari biasanya 3 Rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing 4 Ada luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut 5 Ada semacam tumbuhan seperti jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan 6 Terjadi pembengkakan pada lipatan paha 7 sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi 8 Keluar darah setelah berhubungan seks 9 Demam berkepanjangan yang dapat lebih dari 3 bulan 10 Diare kronis lebih dari 1 bulan 11 Penurunan berat badan yang drastis
Frekuensi
%
Tabel 5. Dummy Table Uji Validitas Alat Skrining Terhadap pemeriksaan Sypilis Gejala
Positif
Rapid test Negatif
Total
Positif Negatif Total Tabel 6. Dummy Table Uji Validitas Alat Skrining Terhadap pemeriksaan HIV Rapid test
Metode Elisa (Baku emas) Positif Negatif
Total
Positif Negatif Total
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Skrining 1. Karakteristik responden Skrining dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni tahun 2012, lokasi skrining dilakukan di lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon di Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang. Kelurahan Kalibanteng Kulon letaknya sangat strategis karena di wilayah perkotaan berdekatan dengan bandara Internasional Ahmad Yani, karena letaknya yang strategis tersebut Kelurahan Kalibanteng Kulon memliki peran yang sangat penting bagi perekonomian dan pariwisata. Letak kelurahan Kalibanteng Kulon yang sangat strategis karena merupakan jalur perlintasan perekonomian nasional karena hampir 90 % perlintasan perekonomian barang dan jasa dari Jakarta ke Pantura atau sebaliknya melaui Jl Siliwangi Kelurahan Kalibanteng Kulon. Pemilihan lokalisasi sunan kuning sebagai tempat untuk melaksanakan skrining karena merupakan lokalisasi yang terbesar di Kota Semarang dan WPS yang terdata paling banyak. Jumlah sampel yang mengikuti skrining yaitu sebanyak 100 orang. Karakteristik responden seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi Responden Menurut RT di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6
Status RT RT I RT II RT III RT IV RT V RT VI Jumlah
Jumlah N 13 19 13 16 20 19 100
% 13,0 19,0 13,0 16,0 20,0 19,0 100,0
Berdasarkan Tabel 6. diperoleh bahwa WPS yang mengikuti skrining dan bersedia mendatangani informent concent terbanyak menempati rumah di RT V sebanyak 20,0% sedangkan yang paling sedikit yaitu di RT I sebanyak 13%. Untuk mengetahui umur dari WPS seperti pada Tabel 7.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Umur di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Jumlah No Umur N % 1 21-25 tahun 15 15,0 2 26-30 tahun 45 45,0 3 31-35 tahun 34 34,0 4 36-40 tahun 5 5,0 5 > 50 tahun 1 1,0 Jumlah 100 100,0 Berdasarkan Tabel 7. diperoleh bahwa WPS yang berada dilokalisasi Sunan Kuning paling banyak berusia antara 26-30 tahun yaitu 45,0%, sedangkan yang paling sedikit yaitu umur > 50 tahun yaitu 1,%. Untuk mengetahui tingkat pendidikan WPS seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Pendidikan di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3 4 5
Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Jumlah
Jumlah N 3 11 39 36 11 100
% 3,0 11,0 39,0 36,0 11,0 100,0
Berdasarkan Tabel 8. diperoleh bahwa pendidikan WPS yang paling tinggi yaitu hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar sebanyak 39,0%, dan masih ditemukan WPS yang tidak bersekolah sebanyak 3,0%. WPS yang berkerja di Lokalisasi Sunan Kuning terdiri dari berbagai latar belakang status perkawinan seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Status Perkawinan di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3
Status Belum menikah Menikah Janda Jumlah
Jumlah N 10 32 58 100
% 10,0 32,0 58,0 100,0
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Berdasarkan Tabel 9. diperoleh bahwa WPS dengan status janda lebih banyak bila dibandingkan dengan yang belum menikah yaitu 58,0%, status pasangan dari WPS seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi Responden Menurut Status Pasangan di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3 4
Status Pasangan Pacar Suami Pacar dan suami Tidak punya pasangan tetap Jumlah
Jumlah N 21 28 4 47 100
% 21,0 28,0 4,0 47,0 100,0
Dari Tabel 10. di peroleh bahwa WPS yang tidak punya pasangan tetap sebanyak 47,0%, sedangkan pasangan tetap suami sebanyak 28,0%, dan pacar sebanyak 21,0%, sedangkan pasangan suami dan pacar sebanyak 4,0%. 2. Faktor risiko Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang rawan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya terhadap penularan HIV dan AIDS seperti wanita penjaja seks (WPS) dan penderita infeksi menular seksual (IMS) (Kementrian Kesehatan RI, 2009). a. Lama berkerja sebagai WPS WPS berisiko tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan, sehingga makin lama berkerja sebagai WPS maka makin berisiko tertular HIV, untuk mengetahui WPS sudah berkerja di lokalisasi seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Lama Berkerja Sebagai WPS di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3
Lama WPS Kurang 12 bulan 12-24 bulan Lebih 24 bulan Jumlah
Jumlah n 45 27 28 100
% 45,0 27,0 28,0 100,0
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Berdasarkan Tabel 11. diperoleh bahwaWPS yang berkerja kurang dari 12 bulan yaitu sebanyak 45,0%, sedangkan lama berkerja antara 12-24 bulan sebanyak 27,0%. b. Mitraseks sebulan terakhir Tabel 12. Distribusi Responden Menurut Mitra Seks Dalam Sebulan Terakhir di Lokalisasi di Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kota Semarang Tahun 2012 No Mitra Seks Sebulan Terakhir 1 2 3
Kurang 10 orang 10-20 orang Lebih 20 orang Jumlah
Jumlah N 52 17 31 100
% 52,0 17,0 31,0 100,0
Berdasarkan Tabel 12. diperoleh bahwa mitra seks dari WPS dalam satu bulan terakhir paling banyak kurang dari 10 orang yaitu 52,0%, sedangkan lebih dari 20 orang yaitu sebanyak 31,0%. c. Kebiasaan pemakaian kondom Kondom sebagai salah satu alat pencegah penularan virus HIV/AIDS lewat hubungan seksual, terutama di kalangan wanita penjaja seks, tetapi lelaki selaku pengguna jasa seks diketahui tidak bersedia menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan WPS. Pasangan yang menggunakan kondom saat berhubungan seks seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Distribusi Pengguna Jasa Seks Menurut Kebiasaan Menggunakan Kondom di Lokalisasi di Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kota Semarang Tahun 2012 No Kebiasaan Pemakaian Kondom 1 2
Ya Tidak Jumlah
Jumlah N 80 20 100
% 80,0 20,0 100,0
Berdasarkan Tabel 13. diperoleh pasangan yang menggunakan kondom saat berhubungan seks sebanyak 80,0% sedangkan yang tidak menggunakan kondom sebanyak 20,0%.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 14. Distribusi Pemakaian Kondom Seminggu Terakhir oleh Pengguna Seks di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2 3 4
Pemakaian Kondom Seminggu Terakhir Selalu Sering Kadang-kadang Tidak pernah Jumlah
Jumlah N 24 23 38 15 100
% 24,0 23,0 38,0 15,0 100,0
Berdasarkan Tabel 14. diperoleh bahwa dari 100 orang pasangan WPS yang selalu menggunakan kondom sebanyak 24,0%, dan paling tinggi yaitu menggunakan kondom dengan kategori kadang-kadang yaitu 38,0%. 3. Gejala klinis Orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala yang spesifik akan tampak sehat seperti orang lain yang tidak tertular. Penderita HIV tidak dapat dikenali hanya dengan melihatnya secara langsung. Untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak, hanya tes darah untuk HIV yang mampu membuktikannya. Tetapi, walaupun tampak sehat, mereka yang tertular HIV dapat menularkannya kepada orang lain. Virus penyebab AIDS ini, hidup dalam darah, cairan vagina, cairan mani dan cairan pre-cum/getah penis, air susu ibu yang tertular HIV, dan cairan infeksi penderitanya (Depkes RI, 2008). Gejala klinis dari WPS yang menjadi sasaran skrining seperti pada Tabel 15.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 15. Distribusi Gejala Klinis pada WPS di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No
Gejala
1
Tanpa gejala Keluar cairan dari vagina atau anus yang berbeda dari biasanya Rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing Ada luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut Ada semacam tumbuhan seperti jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan Terjadi pembengkakan pada lipatan paha Sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi Keluar darah setelah berhubungan seks Demam berkepanjangan yang dapat lebih dari 3 bulan Diare kronis lebih dari 1 bulan Penurunan berat badan yang drastis
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Subjek skiring N % 946 94,6
HIV n 1
% 20,0
10
1,0
0
0,0
12
1,2
1
20,0
12
1,2
1
20,0
1
0,1
0
0,0
1
0,1
1
20,0
16
1,6
1
20,0
2
0,2
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0 0
0,0 0,0
0 0
0,0 0,0
Berdasarkan Tabel 15. diperoleh bahwa gejala IMS yang ditemukan pada WPS yang paling tinggi yaitu sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi 16,0% bila dibandingkan dengan gejala lainnya, sedangkan pada penderita HIV diperoleh gejala yang muncul tanpa gejala sebanyak 94,6%, terjadi pembengkakan pada lipatan paha, luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut, rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing masing-masing 1,20%. Gejala Keluar cairan dari vagina atau anus yang berbeda dari biasanya sebanyak 1,0%. Salah satu IMS adalah Sifilis yaitu penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh bakteri spiroseta, Treponema pallidum. Penularan biasanya melalui kontak seksual, Penyakit ini pada lakilaki lebih terlihat gejalanya dibandingkan dengan perempuan. Biasanya kaum perempuan tidak mengetahui gejalanya. Gejala yang ada yaitu seperti ruam berwarna merah pada daerah kelamin, dan biasanya sangat gatal. Meski kaum perempuan tidak akan tahu apakah dia menderita penyakit sifilis, sebaiknya menjaga diri agar tidak tertular penyakit ini dan menularkan penyakit ini pada orang lain (Kementrian Kesehatan, R.I., 2010). Pemeriksaan sifilis seperti pada Tabel 16. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 16. Distribusi Pemeriksaan Sifilis pada WPS di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2
Jumlah
Metode Rapid Diagnostic Test Sifilis
n 9 91 100
Sifilis positif (+) Sifilis negatif (-) Jumlah
% 9,0 91,0 100,0
Berdasarkan Tabel 16 diperoleh bahwa dari 100 WPS ditemukan 9,0% dengan sifilis positif . 4. Hasil pemeriksaan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) HIV dan Elisa American Health Organization pada tahun 2008 mengeluarkan panduan pemeriksaan HIV menggunakan kombinasi antara uji cepat dengan ELISA, maka untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak, hanya tes darah untuk HIV yang mampu membuktikannya (Kementrian Kesehatan R.I., 2010). Pemeriksaan HIV dengan metode rapid dan Elisa seprti Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 17. Distribusi Pemeriksaan HIV dengan Metode Rapid Diagnostic Test HIV di Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2
Jumlah
Metode Rapid Diagnostic Test (RDT) HIV HIV positif (+) HIV negatif (-) Jumlah
n 5 95 100
% 5,0 95,0 100,0
Berdasarkan Tabel 17 diperoleh bahwa dari 100 orang WPS yang diperiksa dengan Metode Rapid Diagnostic Test (RDT) HIV ditemukan 5,0% yang menderita HIV sehingga diperoleh prevalensi HIV pada WPS yaitu sebanyak 5%.
Tabel 18. Distribusi Pemeriksaan HIV dengan Metode Elisa HIV di Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 No 1 2
Metode Elisa HIV positif (+) HIV negatif (-) Jumlah
Jumlah n 5 95 100
% 5,0 95,0 100,0
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Berdasarkan Tabel 18 diperoleh bahwa dari 100 orang WPS yang diperiksa dengan Metode Elisa ditemukan 5,0% yang menderita HIV sehingga diperoleh prevalensi HIV pada WPS yaitu sebanyak 5% sehingga tidak terdapat perbedaan hasil antara metode Rapid Diagnostic Test (RDT) HIV dengan metode Elisa. 5. Hasil uji validitas Alat skrining yang akan diuji validitasnya adalah gejala klinis dan pemeriksaan HIV dengan Rapid Diagnostic Test HIV, sedangkan alat yang menjadi “Reference=Gold” Standard adalah pemeriksaan HIV dengan metode Elisa. a. Uji Validitas Gejala Klinis dengan Elisa Uji validitas gejala klinis tunggal terhadap metode Elisa sebagai “Reference=Gold” Standard tersaji pada Tabel 19. Tabel 19. Uji Validitas Gejala Klinis Tunggal Terhadap Hasil Dengan Metode Elisa di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Gejala Klinis Tunggal Keluar cairan dari vagina atau anus yang berbeda dari biasanya Rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing Ada luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut Ada semacam tumbuhan seperti jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan Terjadi pembengkakan pada lipatan paha
Elisa + -
Jml
P
Sn
Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml
0 5 5 1 4 5
10 85 95 11 84 95
10 90 100 12 0,48* 20,0 88 100
Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml
1 4 5 0 5 5
11 84 95 1 94 95
12 0,48* 20,0 88 100 1 99 100
Ya Tidak Jml Sakit perut di bagian Ya bawah yang kambuhan Tidak tetapi tidak berhubungan Jml dengan haid/menstruasi Keluar darah setelah Ya berhubungan seks Tidak Jml Demam berkepanjangan Ya yang dapat lebih dari 3 Tidak bulan Jml Diare kronis lebih dari 1 Ya
1 4 5 1 4 5
0 95 95 15 80 95
1 99 100 16 1,0* 20,0 84 100
0 5 5
2 93 95
2 98 100
5 5
95 95
100 100
Sp
PPV NPV
88,4
8,3
95,5
88,4
8,3
95,5
84,2
6,3
95,2
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler bulan Penurunan berat badan yang drastis
Tidak Jml Ya Tidak Jml
5 5
95 95
100 100
5 5
95 95
100 100
*Uji Fisher’s exact Berdasarkan Tabel 19 diperoleh bahwa gejala tunggal pada WPS dari sepuluh hanya rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing dan luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut serta sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi, memiliki nilai sensitifitas atau positif sejati (true positive) paling tinggi yaitu 20,0%, gejala rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing dan luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut memiliki spesifisitas atau negatif sejati (true negative) 88,4% dan PPV sebesar 8,3% serta NVP sebesar 95,5% secara statistik tidak bermakna karena nilai P > 0,05, sedangkan kombinasi 2 gejala seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Uji Validitas Gejala Klinis Dua Gejala Dominan Terhadap Hasil Metode Elisa di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Gejala Klinis Dua Gejala Dominan Keluar cairan + Rasa Ya perih Tidak Jml Keluar cairan + luka Ya terbuka/basa Tidak Jml Keluar cairan + Sakit Ya perut di bagian bawah Tidak Jml Rasa perih atau nyeri + Ya luka terbuka/basah Tidak Jml Rasa perih atau nyeri + Ya pembengkakan pada Tidak lipatan paha Jml Rasa perih atau nyeri + Ya Sakit perut di bagian Tidak bawah Jml Rasa perih atau nyeri + Ya Keluar darah setelah Tidak berhubungan seks Jml Luka terbuka/basah + Ya tumbuhan seperti Tidak jengger ayam/kutil Jml
Elisa + 1 18 4 77 5 95 1 20 4 75 5 95 1 22 4 73 5 95 2 18 3 77 5 95 1 11 4 84 5 95 2 21 3 74 5 95 1 11 4 84 5 95 1 11 4 84 5 95
Jml 19 81 100 21 79 100 23 77 100 20 80 100 12 88 100 23 77 100 12 88 100 12 88 100
P
Sn
Sp
PPV NPV
1,0*
20,0
81,1
5,3
95,1
1,0*
20,0
78,9
4,8
94,9
1,0*
20,0
76,8
4,3
94,8
0,4*
40,0
81,1
10,0
96,3
0,4*
20,0
88,4
8,3
95,5
0,3*
40,0
77,9
8,7
96,1
0,4*
20,0
88,4
8,3
95,5
0,4*
20,0
88,4
8,3
95,5
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Elisa + -
Jml
Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml
2 3 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5
9 86 95 24 71 95 13 82 95 1 94 95
11 89 100 25 75 100 14 86 100 2 98 100
Ya Tidak Jml
1 4 5
16 79 95
17 83 100
Ya Tidak Jml Ya Tidak Jml
2 3 5 1 4 5
15 80 95 2 93 95
17 83 100 3 97 100
Ya Tidak Jml
1 4 5
17 78 95
18 82 100
Gejala Klinis Tunggal Luka terbuka/basah + pembengkakan pada lipatan paha Luka terbuka/basah + Sakit perut di bagian bawah Luka terbuka/basah + Keluar darah setelah berhubungan seks Tumbuhan jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan + pembengkakan pada lipatan paha Tumbuhan jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan + Sakit perut di bagian bawah Pembengkakan pada lipatan paha + Sakit perut di bagian bawah Pembengkakan pada lipatan paha + Keluar darah setelah berhubungan seks Sakit perut di bagian bawah + Keluar darah setelah berhubungan seks
P
Sn
Sp
0,09* 40,0
90,5
18,2
96,6
1,0*
20,0
74,7
4,0
94,7
0,5*
20,0
86,3
7,1
95,3
0,09* 20,0
98,9
50,0
95,9
0,4*
20,0
83,2
5,9
95,2
0,19* 40,0
84,2
11,8
96,4
0,14* 20,0
97,9
33,3
95,9
1,0*
82,1
5,6
95,1
20,0
PPV NPV
*Uji Fisher’s exact Dari Tabel 20 diperoleh bahwa dari kombinasi dua gejala yang dominan didapatkan gejala rasa perih atau nyeri + sakit perut di bagian bawah, luka terbuka/basah + pembengkakan pada lipatan paha, pembengkakan pada lipatan paha + sakit perut di bagian bawah memiliki sensitifitas atau atau positif sejati (true positive) paling tinggi yaitu 40,0%, gejala tumbuhan jengger ayam/kutil di sekitar kemaluan + pembengkakan pada lipatan paha memiliki spesifisitas atau negatif sejati (true negative) 98,9% dan PPV paling tinggi yaitu 50,0%, sedangkan gejala luka terbuka/basah + pembengkakan pada lipatan paha memiliki NPV paling tinggi yaitu 96,4%. Secara statistik kombinasi dua gejala yang dominan tidak bermakna karena nilai P > 0,05. b. Uji Validitas dengan metode RDT terhadap pemeriksaan sifilis Untuk uji validitas alat uji dengan menggunakan metode RDT untuk pemeriksaan sifilis seperti pada Tabel 21 Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 21. Uji Validitas dengan Metode RDT Pemeriksaan Sifilis di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Gejala Klinis Gejala
Ya Tidak
Jumlah *Uji Fisher’s exact
RDT + 3 34 6 57 9 91
Jml 37 63 100
P
Sn
1,00* 33,3
Sp 62,6
PPV NPV 8,1
90,5
Berdasarkan Tabel 21 diperoleh bahwa alat untuk pemeriksaan sifilis dengan menggunakan RDT memiliki sensitifitas 33,3%, sedagkan spesifisitas 62,6%. c. Uji Validitas dengan metode RDT dan Elisa terhadap pemeriksaan HIV Untuk uji validitas alat uji dengan menggunakan metode RDT dan menggunakan metode Elisa seperti pada Tabel 22 dan Tabel 23. Tabel 22. Uji Validitas dengan Metode RDT di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Gejala Klinis Gejala
Ya Tidak
Jumlah *Uji Fisher’s exact
RDT + 3 34 2 61 5 95
Jml 37 63 100
P
Sn
Sp
0,35* 60,0
64,2
PPV NPV 8,1
96,8
Dari Tabel 22 diperoleh bahwa alat skrining HIV dengan menggunakan metode RDT memiliki sensitifitas sebesar 60,0%, dengan nilai spesifisitas sebesar 64,2%, namun RDT memiliki nilai duga positif yang rendah yaitu 8,1%, tetapi memiliki nilai duga negatif yang tinggi yaitu 96,8%, secara statistik tidak bermakna karena nilai P > 0,05. Untuk metode Elisa seperti pada Tabel 23. Tabel 23. Uji Validitas dengan Metode Elisa di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Gejala Klinis Gejala Jumlah *Uji Fisher’s exact
Ya Tidak
Elisa + 3 34 2 61 5 95
Jml 37 63 100
P
Sn
Sp
0,35* 60,0 64,2
PPV NPV 8,1
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
96,8
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Dari Tabel 23 diperoleh bahwa alat skrining HIV dengan menggunakan metode Elisa memiliki sensitifitas sebesar 60,0%, dengan nilai spesifisitas sebesar 64,2%, namun RDT memiliki nilai duga positif yang rendah yaitu 8,1%, tetapi memiliki nilai duga negatif yang tinggi yaitu 96,8%, secara statistik tidak bermakna karena nilai P > 0,05, dengan demikian antara metode RDT dan metode Elisa tidak terdapat perbedaan terhadap nilai sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif. d. Uji Validitas dengan metode RDT dan Elisa Tabel 24. Uji Validitas dengan metode RDT dan Elisa di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2012 Alat Pemeriksaan RDT Jumlah *Uji Fisher’s exact
+ -
Elisa + 5 0 0 95 5 95
Jml 5 95 100
P
Sn
0,00* 100
Sp 100
PPV NPV 100
100
Dari Tabel 24 diperoleh bahwa alat RDT memiliki sensitivitas, spesivisitas nilai duga positif, nilai duga negatif cukup tinggi sebesar 100%, dengan p < 0,05. B. Pembahasan Dari hasil skrining terhadap 100 orang WPS yang berada dilokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang di peroleh prevalensi 5,0% dengan metode RDT dan juga dengan metode Elisa.
1. Gejala klinis sebagai alat skrining HIV Dari gejala dari infeksi menular seksual dan gejala HIV pada WPS diperoleh bahwa rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing dan luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut serta sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi memiliki nilai sensitifitas atau positif sejati (true positive) paling tinggi yaitu 20,0%, artinya WPS yang memiliki gejala rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing dan luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut serta sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi akan terdeteksi menderita HIV dengan menggunakan alat skrining dengan metode Elisa sebesar 20,0% dan spesifisitasnya sebesar 88,4% artinya WPS yang memiliki gejala tersebut akan menunjukkan bahwa mereka tidak menderita HIV sebesar 88,4% jika dilakukan pemeriksaan Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler dengan menggunakan metode Elisa. Untuk nilai duga positif (PPV) menunjukkan bahwa dari gejala diperoleh bahwa nilai duga positif yang rendah yaitu sebesar 8,3% artinya kemungkinan WPS benar-benar menderita HIV bila hasil uji menggunakan metode Elisa postif, sedangkan nilai duga negatif (NPV) paling tinggi yaitu sebesar 95,5% artinya bahwa WPS tanpa memiliki gejala klinis tersebut, kemungkinan sebesar 95,5% tidak menderita HIV. Apabila dilakukan kombinasi dua gejala dominan maka diperoleh gejala luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut dan pembengkakan pada lipatan paha memiliki sensitifitas paling tinggi yaitu 40,0% artinya bahwa dengan kombinasi gejala tersebut memiliki kemampuan untuk mendeteksi yang benar-benar menderita HIV dan positif memiliki gejala klinis tersebut sebesar 40%, sedangkan gabungan dua gejala tersebut memiliki nilai spesisitas paling tinggi yaitu 90,5% artinya kombinasi dua gejala dapat menunjukkan bahwa WPS tidak menderita HIV sebesar 90,5%. Sedangkan nilai duga positif sebesar 18,2% yang artinya kedua gejala tersebut dapat menduga WPS menderita HIV sebesar 18,2%, sedangkan nilai duga negatif sebesar 96,6% artinya kedua gejala tersebut dapat menduga WPS yang memiliki gejala tetapi tidak menderita HIV sebesar 96,6%. Dengan demikian kombinasi dua gejala ini dapat dijadikan penduan dalam menentukan status HIV pada WPS. 2. Alat Skrining HIV menggunakan Metode RDT Alat skrining HIV dengan menggunakan metode RDT dan metode Elisa sama-sama memiliki sensitifitas sebesar 60,0%, artinya kemampuan untuk mendeteksi mereka yang benar-benar HIV sebesar 60,0%. Nilai sensitifitas sebesar 64,2% artinya kamampuan untuk mendeteksi mereka yang tidak menderita HIV sebesar 64,2%, namun untuk pendugaan positif sebesar 8,1% artinya antara hasil test dengan RDT dan Elisa yang memiliki hasil positif HIV sebesar 8,1% saja yang menderita HIV, tetapi memiliki nilai duga negatif untuk kedua alat tersebut yang tinggi yaitu 96,8% artinya yang berarti bagi WPS dengan hasil tes negatif kemungkinan sebesar 96,8% benar-benar tidak menderita HIV. Untuk pertimbangan cost-effectiveness skrining HIV, maka RDT bisa direkomandasikan untuk pemeriksaan HIV di lapangan, hal ini disebabkan oleh biaya yang lebih murah bila dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode Elisa. Dalam penentuan skrining HIV direkomendasikan untuk dilakukan terhadap target populasi tertentu sebab dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan apabila dilakukan secara rutin dapat menjaring kasus HIV lebih banyak. Pemeriksaan HIV dapat menggunakan metode ELISA dan uji cepat (rapid test). Untuk skrining direkomendasikan untuk menggunakan ELISA reagen generasi Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler ketiga atau yang lebih mutakhir. Semua pemeriksaan HIV harus dilanjutkan dengan uji konfirmasi (Kementrian Kesehatan R.I., 2009). 4. Keterbatasan penelitian Dalam pelaksanaan skrining HIV di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang terdapat beberapa keterbatasan yaitu : a. Pelaksanaan skrining hanya dilakukan pada WPS saja, sehingga pada kelompok yang berisiko lainnnya seperti pada pengguna jasa WPS tidak dilakukan sehingga tidak mencerminkan prevalensi HIV di Kota Semarang b. HIV sering terjadi tanpa gejala yang spesifik sehingga WPS yang sudah terinfeksi tidak mengetahui sudah menderita, sehingga untuk mengantisipasinya menggunakan gejala-gejala dari penyakit infeksi menular seksual, sebagaimana dikatetahui bahwa tidak semua IMS berakhir dengan terjadinya HIV c. Bias informasi. Hal ini disebabkan karena pewawancara laki-laki sehingga WPS tidak benarbenar menjawab gejala sesuai dengan yang terjadi, ini menyebabkan informasi yang didapatkan tidak dapat menunjukkan hasil yang sebenarnya yang dialami oleh WPS, dan juga pewawancara tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Jawa sehingga tidak dapat menggali informasi yang mendalam tentang faktor risiko lain dari WPS
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil skrining pada WPS di Lokalisasi Sunan Kuning Kelurahan Kalibanteng Kulon Kec. Semarang Barat Kota Semarang diperoleh hasil : 1. Dari 100 orang WPS yang diperiksa dengan metode Rapid Diagnostic Test (RDT) HIV dan metode Elisa ditemukan 5,0% yang menderita HIV sehingga diperoleh prevalensi HIV pada WPS yaitu sebanyak 5,0%, prevalensi sifilis 9,0%. 2. Gejala rasa perih atau nyeri atau panas pada saat kencing atau setelah kencing, luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut serta sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi memiliki sensitifitas sebesar 20,0%, sensitivitas meningkat menjadi 40,% dengan kombinasi 2 gejala klinis yaitu rasa perih atau nyeri+sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi, pembengkakan pada lipatan paha+sakit perut di bagian bawah yang kambuhan tetapi tidak berhubungan dengan haid/menstruasi, luka terbuka/basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut+pembengkakan pada lipatan paha, namun secara statistik tidak bermakna 3. Metode RDT dan Metode Elisa untuk mendeteksi HIV memiliki sensitivitas, spesivisitas nilai duga positif, nilai duga negatif cukup tinggi sebesar 100%, secara statistik bermakna B. Saran 1. Dinas Kesehatan Kota Semarang a. Dalam penentuan sasaran hendaknya diperbesar kepada masyarakat yang mempunyai faktor risiko seperti pasangan dari WPS, ibu rumah tangga, tempat panti pijat sehingga dapat menggambarkan prevalensi HIV di Kota semarang b. Dalam pelaksanaan skrining antara RDT dengan Elisa memiliki sensitifitas dan spesivisitas yang sama, sehingga RDT bisa digunakan untuk alat yang digunakan sebagai alat skrining, hal ini disebabkan oleh RDT lebih murah (cost efective) bila dibandingkan dengan Elisa c. Dalam hasil dari pelaksanaan skrining hendaknya ditindaklanjuti segera, apabila ditemukan WPS yang menderita HIV untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di klinik VCT Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang 2. Kepada Puskesmas a. Hendaknya melakukan penyuluhan tentang HIV dan cara pencegahannya Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
sehingga
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler diharapkan menambah pengetahuan masyarakat dan pada akhirnya akan berubahnya perilaku masyarakat yang berisiko tertular HIV. b. Melakukan advokasi ke pengelola lokalisasi untuk selalu menganjurkan anak usuh untuk menggunakan kondom kepada pasangan bila melakukan hubungan seks 3. Kepada pengelola lokalisasi Diharapkan kepada pengelola, jika hasil skrining positif HIV, diharapkan untuk dilakukan konseling dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di klinik VCT
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler DAFTAR PUSTAKA
Arif, M., et. al, (2001) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta : Medica Aesculpalus, FKUI Budiarto, E. & Anggraeni, D. (2002). Pengantar Epidemiologi Ed.2. Jakarta:EGC. CDC (2006) HIV, < Diakses dari: http://www .cdc.gov/hiv/resou rces/qa/definit ions.htm > (Akses : 05 Juni 2012) Chin J., (2000) Control of Communicable Diseases Manual, 17th Editions, Washington : American Public Health Association Depkes R.I. (2006) Pedoman Nasional Surveilans Sentinel HIV: Surveilans HIV Generasi Kedua, Jakarta : Departemen Kesehatan RI Depkes R.I. (2007) Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: edisi kedua, Jakarta: Departemen Kesehatan RI Depkes R.I. (2007) Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Dinas Kesehatan Kota Semarang (2012) Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2011, Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang Gordis, L. (2004) Epidemiology, 4th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. Kementrian Kesehatan R.I. (2008) Anda HIV/AIDS, IMS, Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I. Kementrian Kesehatan R.I. (2008) Infeksi Menular Seksual dan Infeksi Saluran Reproduksi pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu, Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I. Kementrian Kesehatan R.I. (2009) Kebijakan Dalam Penanggulangan IMS, HIV dan AIDS, Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I. Kementrian Kesehatan R.I. (2009) Seks, Seksualitas dan Jender, Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I. Kementrian Kesehatan R.I. (2009) Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV Health Technology Assessment Indonesia, Jakarta : Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan R.I. Pusponegoro, H.D. et al. (2011) Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis : Edisi ke-4, Jakarta : Sagung Seto WHO and ILO (2005) Pedoman Bersama ILO/WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS, Jakarta : Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
WHO (2005) Guidelines for HIV Diagnosis and Monitoring of Antiretroviral Therapy, World Health Organization WHO (2006) Antiretroviral Therapy For Hiv Infection In Adults And Adolescents: Recommendations For A Public Health Approach, WHO WHO (2009) Report on The Global AIDS Epidemic, WHO Library Cataloguing-inPublication UNSAIDS, WHO (2005) AIDS Update; Desember 2005,
(Akses : 01 Juli 2012) AUSAID (2006) Impacts of HIV/AIDS 2005–2025 in Papua New Guinea, Indonesia and East Timor
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler FOTO KEGIATAN
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
LAPORAN PENYIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN MAKANAN DI KECAMATAN BAYAT KABUPATEN KLATEN PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012 Dosen Pembimbing : ......................................................
oleh : Kelompok .... Imas Masturoh Rudi Fakhriadi Nazarwin Saputra Oktovianus Willem
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT SEMARANG 2013 Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keracunan makanan merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian dan pemecahannya secepat mungkin. Oleh karena itu perlu upaya segera untuk menanggulangi dan mencegah meluasnya kejadian, serta mencegah kejadian tersebut tidak terulang kembali. Identifikasi apa yang menjadi penyebab kejadian tersebut perlu dilaksanakan secara sistematis dan cepat. Kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan pada umumnya terjadi pada suatu keadaan dimana orang secara bersamaan atau hampir bersamaan pada waktu yang sama terpapar dengan jenis makanan atau minuman tertentu. Pada tanggal 7 November 2012 di kecamatan Bayat kabupaten Klaten, Keluarga Sri Kamari mengadakan acara peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo. Anggota Keluarga Sri Kamari, Iwantoro, 45, mengatakan terdapat 100 paket makanan yang dikirimkan kepada 100 sanak saudara dari almarhum yang tersebar di tiga desa yakni Bogem, Nengahan dan Paseban. Paket makanan itu berisi nasi opor, gudeg, telur, daging rendang, sambal goreng, dan kue. Setelah mengonsumsi paket makanan itu, warga merasakan mual-mual, muntah-muntah, sering buang air besar, hingga demam. Diawali dengan salah satu korban bernama Aulia Putri (7 tahun) warga desa Bogem, mulai mual-mual sejak pukul 02.00 WIB, hingga saat dirawat di puskesmas Bayat korban sudah muntah tiga kali, berak empat kali dan suhu tubuhnya panas. Menurut Ririn ibu korban bahwa putrinya tersebut merasakan sakit setelah memakan paket makanan pemberian tetangga yang menerima kiriman dari Keluarga Sri Kamari yang menggelar peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Hingga Kamis sore tanggal 8 november ada korban sekitar 60 warga, tetapi kemungkinan masih bisa bertambah. Karena mungkin sebagian warga memilih tidak memeriksakan diri ke puskesmas. Kemudian pada hari jumat tanggal 9 November, jumlah warga tiga desa yang mengalami keracunan bertambah menjadi 101 orang. Dimana sekitar 70 pasien diantaranya sempat menjalani rawat inap di puskesmas Bayat, Puskesmas Trucuk, Puskesmas Cawas dan RSUP dr Soeradji Tirtonegoro, sementara sekitar 31 pasien menjalani rawat jalan di puskesmas. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penyelidikan terhadap adanya kejadian tersebut, guna memastikan kebenaran informasi dan mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kejadian keracunan yang dilaporkan tersebut.
B. Tujuan Penyelidikan 1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan yang terjadi termasuk faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya KLB tersebut. 2. Tujuan Khusus a. Memastikan diagnosa penyakit/ keracunan dari kasus-kasus yang dilaporkan. b. Memastikan kebenaran adanya kejadian luar biasa keracunan makanan. c. Menggambarkan KLB yang terjadi menurut variabel orang, tempat dan waktu. d. Mengidentifikasi sumber keracunan (reservoir) dan penyebabnya (causative agent). e. Membuat saran dan cara penanggulangan serta pengendalian guna mencegah kasus serupa.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB II ANALISIS SITUASI DAN TELAAH PUSTAKA
A. Analisis Situasi Kecamatan Bayat terletak di Kabupaten Klaten propinsi Jawa Tengah. Kecamatan ini berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan. Dengan letak daerah berada pada ketinggian 140 m – 200 m dari permukaan air laut yang berupa: sawah (21,48%), ladang pekarangan (53,75%), jalan, selokan dan kuburan (3,74%), Tambak, kolam perikanan (1,63%), hutan tutupan dan rawa (19,40%), yang terdiri dari desa-desa berikut di bawah ini: 1. Desa Banyuripan
10. Desa Krakitam
2. Desa Beluk
11. Desa Krikilan
3. Desa Bogem
12. Desa Nengahan
4. Desa Dukuh
13. Desa Ngerangan
5. Desa Gunung Gajah
14. Desa Paseban
6. Desa Jambakan
15. Desa Talang
7. Desa Jarum
16. Desa Tawangrejo
8. Desa Jotangan
17. Desa Tegalrejo
9. Desa Kebon
18. Desa Wiro
Kecamatan Bayat memiliki batas-batas wilayah yang terdiri dari: Sebelah Utara kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten Sebelah Timur kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten Sebelah Selatan kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Sebelah Barat kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten Kecamatan Bayat memiliki Puskesmas dengan wilayah kerjanya meliputi seluruh desa yang terdapat di kecamatan Bayat. Data Dasar Wilayah Puskesmas Bayat dapat dilihat pada tabel.1. berikut di bawah: Tabel.1. Data Dasar Wilayah Puskesmas Bayat Tahun 2012 NO
DESA
LUAS
WAKTU
JML
WILAYAH
TEMPUH KE
RT/RW
PUSKESMAS
JML PENDUDUK
RT
RW
L
P
Total
JMLH
JML
JML
RUMAH
KK
BIDAN DESA
1
Paseban
2145250
3 menit
45
18
3502
3677
7179
1342
1512
1
2
Tegalrejo
2158050
12 menit
19
7
1232
1420
2652
809
870
1
3
Dukuh
1412510
4 menit
19
7
1360
1933
3293
670
786
1
4
Jarum
1513310
5 menit
30
10
1344
1413
2757
794
883
1
5
Jotangan
1506205
9 menit
14
6
894
840
1734
634
682
1
6
Gn. Gajah
296858
7 menit
23
6
1076
1110
2186
750
843
1
7
Talang
1890680
15 menit
20
9
2980
2974
5954
898
1107
1
8
Wiro
3375718
13 menit
34
13
1004
1015
2019
989
1198
1
9
Bogem
844950
5 menit
11
5
1040
1133
2173
467
536
1
10
Krikilan
1490980
6 menit
12
5
1699
1728
3427
495
515
1
11
Kebon
1985260
5 menit
18
6
1587
1592
3179
667
781
1
12
Krakitan
7991505
11 menit
85
22
1279
1445
2724
2117
2427
1
13
Banyuripan
105000
2 menit
19
7
2190
1991
4181
884
1014
1
14
Ngerangan
2947815
10 menit
31
3
1040
1104
2144
1312
1589
1
15
Beluk
1170000
1 menit
14
6
1529
1551
3080
455
487
1
16
Jambakan
1688985
10 menit
18
7
1434
1502
2936
750
780
1
17
Tawangrejo
1437520
10 menit
11
5
5523
5618
11141
448
478
1
18
Nengahan
770000
3 menit
11
5
2208
2319
4527
477
536
1
JUMLAH
34730606
434
147
32921
34365
57286
14958
17824
18
B. Telaah Pustaka Racun (Sartono, 2001) adalah zat atau bahan yang bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung (inhalasi), suntikan dan absropsi melalui kulit, atau digunakan terhadap organisme Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler hidup dengan dosis relatif kecil akan merusak kehidupan atau mengganggu dengan serius fungsi satu atau lebih organ atau jaringan. Sedangkan keracunan makanan adalah timbulnya sindroma gejala klinik yang disebabkan karena memakan makanan tertentu. Keracunan makanan merupakan istilah yang digunakan untuk penderita yang sakit akibat telah mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh logam berat, toksin yang diproduksi oleh kuman, makanan yang secara alamiah telah mengandung racun atau reaksi sensitif individu terhadap makanan (Benenson, 1985, Siregar, 1991). Sumber kontaminasi mikroorganisme pada makanan umumnya berasal dari tanah, air, udara, hewan dan manusia. Sedangkan kontaminasi dapat terjadi pada tahap
baik sebelum, selama
maupun setelah pengolahan makanan. Penyakit akibat makanan, termasuk didalamnya intoksikasi makanan dan infeksi karena makanan, adalah penyakit yang didapat karena mengkonsumsi makanan yang tercemar. Pencemaran dapat pula disebabkan dari bahan kimia seperti logam berat, senyawa organik kedalam makanan, namun penyakit akibat makanan lebih sering disebabkan oleh: 1. Terbentuknya toksin yang disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri didalam makanan sebelum dikonsumsi (Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, keracunan ikan scombroid, tidak ada hubungannya dengan toksin spesifik tetapi disebabkan oleh karena meningkatnya kadar histamin) atau toksin terbentuk didalam usus seperti pada Clostridum perfringens. 2. Infeksi bakteri, virus atau parasit (brucellosis, Campylobacter enteritis, diare yang disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis A, listeriosis, salmonellosis, shigellosis, toksoplasmosis, gastroenteritis oleh virus, taenisasis, trichinosis dan vibrio). 3. Toksin yang dihasilkan oleh spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera, keracunan kerang yang mengakibatkan paralitik, keracunan kerang yang menyebabkan neurotoksik, Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler keracunan kerang yang menyebabkan diare dan amnesia) atau racun yang ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan buntal. KLB penyakit akibat makanan ini dikenali dengan munculnya sejumlah penderita yang biasanya terjadi dalam waktu pendek dengan periode waktu yang sangat bervariasi (beberapa jam sampai beberapa minggu) setelah mengkonsumsi sesuatu makanan, pada umumnya terjadi diantara orang-orang yang mengkonsumsi makanan bersama-sama. Keracunan makanan dapat terjadi karena: makanan mengandung toksin, makanan tercemar bakteri patogen, makanan tercemar protozoa dan parasit, tumbuhan dan hewan beracun, dan keracunan bahan kimia 1. Intoksikasi Makanan Karena Staphylococcus (Staphylococcal Food intoxication) ICD-9 005.0; ICD-10 A05.0 Intoksikasi (bukan infeksi) bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, dengan gejala nausea yang berat, kejang-kejang, muntah-muntah dan lemas tak berdaya, dan sering disertai dengan diare, kadang-kadang dengan suhu tubuh dibawah normal dan dengan tekanan darah yang rendah. Kematian jarang sekali terjadi, biasanya keadaan ini berlangsung antara 1 sampai dengan 2 hari. Dan dengan melihat gejala-gejalanya kadangkala diperlukan perawatan di rumah sakit. Dan pada kasus-kasus tertentu yang muncul sporadis kadang-kadang memerlukan tindakan eksplorasi lebih lanjut untuk kemungkinan dilakukan tindakan pembedahan. Diagnosa lebih mudah dilakukan bila ditemukan sekelompok penderita dengan gejala akut pada saluran pencernaan bagian atas, dimana interval waktu antara saat mengkonsumsi makanan tercemar dengan munculnya gejala klinis sangat pendek. Diagnosa keracunan staphylococcus pada suatu KLB ditegakkan dengan ditemukannya kuman 5
10 atau lebih per gram makanan pada pembiakan rutin, atau ditemukannya enterotoksin dari makanan yang tercemar. Diagnosa tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan tidak Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler ditemukannya staphylococcus dari pembiakan makanan yang sebelumnya sudah dipanaskan : ditemukan bentuk Gram pada makanan membuktikan bahwa kuman mati akibat pemanasan. Walaupun bakteri tidak ditemukan dalam makanan namun masih memungkinkan untuk menemukan enteroktoksin atau termonuklease dalam makanan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman dengan tipe phage yang sama dari tinja atau muntahan dari 2 orang atau lebih penderita. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukan staphylococcus penghail enterotoksin dalam jumlah banyak dari tinja atau muntahan walaupun hanya dari seorang penderita. Penularan terjadi karena mengkonsumsi produk makanan yang mengandung enterotoksin staphylococcus. Makanan yang sering tercemar adalah terutama makanan yang diolah dengan tangan, baik yang tidak segera dimasak dengan baik ataupun karena proses pemanasan atau penyimpanan yang tidak tepat. Jenis makanan tersebut seperti pastries, custard, saus salad, sandwhich, daging cincang dan produk daging. Kuman mungkin dapat bersumber dari manusia seperti dari discharge purulen pada jari dan mata yang terinfeksi, abses, erupsi jerawat di muka, sekret nasofaring, atau dari kulit yang kelihatan normal; atau kuman dapat berasal dari sapi yaitu dari susu dan produk susu yang tercemar khususnya keju. Masa inkubasi mulai dari saat mengkonsumsi makanan tercemar sampai dengan timbulnya gejala klinis yang berlangsung antara 30 menit sampai dengan 8 jam, biasanya berkisar antara 2-4 jam. 2. Intoksikasi Makanan Oleh Bacillus Cereus ICD-9 005.8;
ICD-10 A05.4
Intoksikasi oleh bakteri ini ditandai dengan adanya serangan mendadak berupa mual, muntahmuntah, ada juga disertai dengan kolik dan diare. Lamanya sakit umumnya tidak lebih dari 24 jam dan jarang sekali menimbulkan kematian. Pada saat terjadi KLB, diagnosa ditegakkan dengan
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler melakukan pembiakan kuantitatif dengan kultur media selektif untuk memperkirakan jumlah kuman 5
pada makanan yang dicurigai (biasanya lebih dari 10 kuman per gram makanan yang tercemar). Diagnosa juga ditegakkan dengan melakukan isolasi kuman dari tinja yang berasal dari 2 orang penderita atau lebih dan bukan dari tinja kontrol. Pemeriksaan enterotoksin sangat bermanfaat untuk penegakan diagnosa tetapi tidak mungkin dilakukan secara luas Organisme penyebab adalah Bacillus cereus, kuman anaerob pembentuk spora. Ada 2 jenis enterotoksin yang dikenal, pertama yaitu enterotoksin tahan panas (heat stable) yang menyebabkan muntah-muntah, dan jenis lainnya adalah enterotoksin yang tidak tahan panas (heat labile) yang menyebabkan diare. Organisme ini ada dimana-mana didalam tanah dan di lingkungan sekitar kita, biasanya ditemukan pada bahan makanan mentah, makanan kering dan makanan olahan. Cara penularan adalah karena mengkonsumsi makanan yang disimpan pada suhu kamar setelah dimasak, yang memungkinkan kuman berkembang-biak. KLB yang disertai dengan muntah-muntah sering terjadi setelah memakan nasi yang disimpan pada suhu kamar sebelum dipanaskan kembali. Berbagai penyimpangan cara-cara pengolahan makanan mengakibatkan terjadinya berbagai KLB dengan diare. Pada kejadian dimana gejala yang menonjol adalah muntah-muntah, masa inkubasi berkisar antara 1 sampai dengan 6 jam. Sedangkan pada Distribusi Penyakit dimana gejala yang menonjol adalah diare masa inkubasi berkisar 6 sampai dengan 24 jam. 3. Intoksikasi Makanan Akibat Clostridium Perfringens
(ICD-9 005.2; ICD-10 A05.2)
Gangguan pencernaan yang ditandai dengan gejala kolik tiba-tiba, diikuti dengan diare, biasanya timbul rasa mual, tetapi jarang terjadi muntah dan demam. Pada umumnya penyakit ini ringan dan berlangsung dalam waktu yang singkat, 1 hari atau kurang, dan jarang berakibat fatal pada orang yang sehat. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Pada saat terjadi KLB, diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya Clostridium perfringens pada 5
biakan kuman anaerob semikuantitatif dari sampel makanan (sebanyak 10 kuman/gram atau lebih) 6
atau dari sampel tinja penderita (sebanyak 10 kuman/gram atau lebih) sebagai klinis dan epidemiologis. Clostridium perfringens (C. welchii) tipe A dapat menyebabkan KLB keracunan makanan yang khas (termasuk dapat menimbulkan gas gangrene); sedangkan tipe C dapat menyebabkan enteritis necroticans. Penyakit timbul diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut. Cara penularan adalah karena menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan. Masa inkubasi berkisar antara 6-24 jam, biasanya 10-12 jam, makanan dari daging (pemanasan dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging cincang, saus yang dibuat dari daging sapi, kalkun dan ayam. Spora dapat bertahan hidup pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak berkaitan dengan pelayanan berskala besar. Diperlukan adanya Kontaminasi 5
bakteri yang cukup berat (yaitu lebih dari 10 organisme per gram makanan) untuk dapat menimbulkan gejala klinis. 4. Keracunan makanan karena Botullsme (ICD 005.1) Timbul secara akut, pandangan kabur, rnulut kering, nyeri tenggorok, muntah, diare, paralisis syaraf kranial, paralisis yang menjalar ke bawah, dan kegagalan pernapasan. Sepertlga pasien kemungkinan meninggal dalam 3-7 harl sebagai akibat kegagalan pernapasan: Disebabkan oleh racun yang dikeluarkan oleh berbagai jenis bakteri Clostridium botulinum. Laboratorium: Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler ditemukannya racun yang khas pada serum atau feses, identifikasi organisme dalam makanan yang dicurigai. Masa inkubasi: 12-36 jam atau beberapa hari. Penularan: buah-buahan atau sayuran kaleng yang terkontaminasi oleh spora yang terkandung dalam tanah, ikan dan daging asap atau yang diawetkan. Toksin akan hancur dengan pendidihan, tetapi spora masih tetap tahan. Tidak terjadi penularan secara langsung dart orang ke orang. Almari es tidak mencegah produksi toksin. Kejadian: seluruh dunia; sumber umum infeksi. Pengendalian: antitoksin monovalen atau polivalen jika basil telah diketahui jenisnya, deteksi kasus dan identifikasi sumber penularan seharusnya meningkatkan penyelidikan kemungkinan adanya kasus yang lain. 5. Escherichia Coli ICD-9 008.0; ICD-10 A04.0-A04.4 Keracunan makanan yang disebabkan terkontaminasi E coli akan menimbulkan gejala : mual, muntah, diare, kejang perut, keringat dingin, sakit kepala. E coli merupakan organisme yang tumbuh di dalam usus yang menghasilkan toksin menyerang epitel superficial, sehingga menimbulkan hipersekresi usus halus. Pada penderita biasanya sembuh sendiri dalam waktu 1 – 3 hari, tanpa pemakaian anti mikroba. Masa inkubasi : 24 – 72 jam. Sumber penularan melalui makanan, minuman dan daging sapi terutama bagian dalam yang terkontaminasi E Coli. Penularan terjadi terutama karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi seperti: tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi karena daging sapi yang tidak dimasak dengan baik (terutama daging sapi giling) dan juga susu mentah dan buah atau sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga.. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengelolaan bahan makanan dan minuman dengan baik, yaitu dengan memasak atau memanasi bahan makanan sampai dengan Suhu ≥ 68 °C.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 6. Keracunan Streptoccocus Golongan Streptoccocus biasanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan binatang. Daging dan unggas dapat tercemar streptococcus sewaktu proses penyembelihan dan pengepakan. Kontaminasi dapat juga terjadi di dapur, misalnya berasal dari penjamah makanan yang tidak mencuci tangan sehabis dari toilet. Gejala penderita Streptoccocus ialah : mual , kadang disertai muntah dan sakit perut. Masa inkubasi 2 – 12 jam. 7. Keracunan Parahaemolyticus Penyebab keracunan ini adalah Fibrio parahaemolitycus.
Gejala – gejala penderita
keracunan ini biasanya ditandai dengan diare, cram perut disertai mual, muntah, panas dan sakit kepala. Fibrio parahaemolitycus selama musim dingin ditemukan di lumpur pantai dan pada musim panan ditemukan bebas di air laut pada ikan dan kerang. Keracunan terjadi karena makan hasil laut (Sea Food) misalnya ikan, udang/kerang yang tidak dimasak sempurna. Masa inkubasi 12 – 24 jam dengan range 4 – 96 jam. 8. Keracunan Makanan karena Salmonellosis (ICD-9 003) Keracunan makanan yang disebabkan oleh kuman salmonella biasanya berjenis enteritis yang merupakan organisme yang hidup di dalam usus tidak menghasilkan toksin. Manusia yang terinfeksi salmonella akan mengalami gejala mual, muntah, diare, demam, lemah, sakit perut. Masa Inkubasi : 8 – 48 jam.
Pada kasus ini tidak diperlukan pengobatan dengan anti mikroba, kecuali jika ada penyebaran sistemik. Pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan pada biakan tinja penderita positif. Infeksi salmonella dapat menyebabkan karier (pembawa kuman), yang berkepanjangan pada seseorang. Sumber penularan salmonella melalui makanan laut, daging, unggas, susu dan telur yang terkontaminasi. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 9. Makanan Tercemar Bakteri Patogen Keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri patogen, disebut juga infeksi karena makanan (food infection). Bakteri yang sering mencemari makanan terutama salmonella sebagai penyebab penyakit tipus dan para tipus. Selain itu juga proteus, escherchia dan beberapa pseudomonas. Selain gangguan atau penyakit pada saluran cerna, penyakit lain seperti TB paru (melalui susu dan daging) dan lainnya juga dapat disebabkan oleh pencemaran bakteri patogen dalam makanan. 10. Makanan Tercemar Protozoa Dan Parasit Makanan yang tercemar protozoa atau parasit dapat menyebabkan penyakit yang serius, antara lain penyakit disentri yang disebabkan oleh Entamuba histolitica dan penyakit lain yang dapat ditimbulkan oleh trikomonas. 11. Tumbuhan Dan Hewan Beracun Keracunan karena mengkonsumsi makanan yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang beracun, terjadi disebabkan antara lain cendawan yang beracun, jengkol, singkong, kepiting dan hasil laut lainnya. 12. Keracunan Bahan Kimia. Mineral dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk hidupnya. Logam, non logam dan senyawa kimia organik, terdapat dalam makanan kita biasanya dalam jumlah sedikit, bila dalam jumlah banyak dapat menjadi racun. Logam dan senyawa kimia organik dalam jumlah yang berbahaya mungkin terdapat dalam makanan karena : a. Merupakan komponen alami Misalnya kandungan asam oksalat dalam daun bayam yang tinggi. Jumlah asam oksalat yang tinggi dapat menyebabkan kalsium yang terdapat dalam daun bayam tidak mempunyai nilai, bahkan berbahaya bagi kesehatan tubuh kita.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler b.Penggunaan pestisida Penggunaan rodentisida, insektisida, fungisida, germisida dan pestisida lainnya sering digunakan agar buah-buahan dan sayuran terlindung dari gangguan tikus, serangga, jamur, bakteri dan mikroorganisme. Pestisida yang ideal ialah yang tidak toksik dan mudah dicuci, namun harapan ini sulit dipenuhi. c. Logam dan senyawa kimia dari alat masak Logam atau senyawa kimia yang terlarut dari alat masak atau kontainer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan makanan, dapat menyebabkan keracunan makanan. d. Penambahan dengan sengaja Dalam tahap pengolahan dapat terjadi penambahan lain dengan sengaja, misalnya penggunaan berlebihan pengawet daging yang mengandung natrium nitrit sebagai pengganti garam. Demikian juga pengawet lain seperti formaldehid, asam monokloroasetat, borat, natrium benzoat, salisilat acid dan lain-lain. Untuk memperbaiki warna atau menutupi warna aslinya, ditambahkan zat warna, yang sering bersifat karsinogenik seperti : azotoluen, aminoazobenzen. C. MANIFESTASI KERACUNAN MAKANAN Manifestasi keracunan makanan pada manusia dapat timbul setempat (lokal) atau sistemik setelah racun diabsorpsi dan masuk kedalam sistem peredaran darah atau keduanya (Sartono, 2002). Lokal ; racun yang bersifat korosif akan merusak atau mengakibatkan luka pada selaput lendir atau jaringan yang terkena. Racun lain akan menyebabkan radang pada selaput lendir saluran cerna secara lokal dan beberapa racun lain lagi secara lokal mempunyai efek pada sistem syaraf pusat dan organ tubuh lain, seperti jantung, hati, paru dan ginjal, tanpa sifat korosif dan iritan. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Sistemik ; Setelah memberikan efek secara lokal, biasanya racun diabsorpsi dan masuk ke dalam sistem peredaran darah dan akan mempengaruhi organ-organ tubuh yang penting. Pada dasarnya racun akan mempengaruhi semua organ tubuh, hanya dengan tingkat yang berbeda sehingga sukar untuk menyatakan bahwa ada racun yang efeknya selektif. Efek dan gejala yang ditimbulkan akibat keracunan terjadi antara lain pada sistem pencernaan makanan (muntah, diare, perut kembung dan kerusakan hati sebagai akibat keracunan obat dan bahan kimia), pernapasan (misalnya hipoksia dan dipresi pernapasan, edema paru dan ventilasi paru), kardiovaskuler (misalnya syok, gagal jantung kongesti dan jantung berhenti berfungsi), urogenital (gagal ginjal dan retensi urin), darah dan hemopoitika (methemoglobinemia, agranulositosis dan diskrasias darah lain, dan reaksi hemolitik) serta sistem syaraf pusat (konvulsi, koma, hipoglikemia, hiperaktivitas, delirium, dan maniak). D.KLB KERACUNAN MAKANAN Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian atau kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, termasuk kejadian kesakitan/kematian yang disebabkan oleh penyakit menular maupun yang tidak menular dan kejadian bencana alam yang disertai wabah penyakit. (Undang-undang wabah,1969) Kejadian luar biasa keracunan makanan adalah keadaan dimana banyak orang menderita penyakit yang biasanya terjadi sesudah makan makanan yang sudah terkontaminasi dalam jangka waktu yang relatif singkat. Menurut Bress (1995), suatu penyakit keracunan dicurigai apabila sejumlah orang makan makanan bersama kemudian jatuh sakit. Menemukan bagian makanan mana yang menjadi sumber penularan penyakit sulit dilakukan. Semua orang yang menyantap makanan harus dikelompokkan
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler berdasarkan komponen makanan yang disantap. Akan semakin sulit bila makanan tersebut juga dikonsumsi di beberapa tempat yang berbeda dan waktu makan tidak bersamaan. KLB keracunan makanan semakin meningkat frekuensinya di negara berkembang karena semakin luasnya pemrosesan makanan berskala industri, pertanian dan peternakan sebagai perusahaan besar, pelayanan makanan besar-besaran sering menyimpan bahan baku tidak memadai. Sumber KLB dapat dilacak secara mudah bila suatu jenis tercemar menimbulkan penyakit pada kelompok orang yang menyantap makanan bersama-sama. Tetapi bila makanan yang terkontaminasi dikirim ke pelbagai tempat yang berjauhan dan korban terpencar ke tempat yang berjauhan, maka wabah tersebut sulit dikenal dan ditelusuri sumbernya. E. KRITERIA KEJADIAN LUAR BIASA Menurut Dirjen PPM & PLP Depkes(1995) ,ada beberapa kriteria untuk menetapkan suatu kejadian merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) antara lain: a. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada, tidak dikenal di suatu daerah. b. Adanya peningkatan kejadian kesakitan/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan jumlah kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. c. Jumlah penderita baru dalam 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya. d. Angka rata-rata per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya. e. Proportional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan periode yang sama pada kurun waktu tahun sebelumnya.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler f. Beberapa penyakit khusus : Kolera, DHF/DSS, setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya pada daerah endemis, terdapat 1 (satu) atau lebih penderita baru dimana periode 1 minggu sebelumnya di daerah dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan. g. Beberapa penyakit yang dialami 1 (satu) atau lebih penderita keracunan makanan dan keracunan Pestisida. F. PERANAN LABORATORIUM Tindakan pertama terhadap korban keracunan adalah dengan mencegah/memperlambat absorbsi atau memperkecil efek racun. Penderita keracunan dapat dibagi dalam dua golongan yaitu keracunan dengan penyebab yang telah diketahui dan yang didasarkan pada keadaan klinis penderita. Untuk kedua golongan tersebut diperlukan informasi yang lebih lengkap. Riwayat perjalanan penyakit penderita sangat membantu untuk menentukan diagnosa. Berbagai pemeriksaan paralel perlu dilakukan, antara lain memeriksa tempat kejadian, mengumpulkan informasi dari penderita dan keluarganya, mengumpulkan sisa makanan yang dicurigai, peralatan makan, muntahan, dan lain-lain. Untuk memastikan diagnosa, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Analisis laboratorium sangat penting untuk : 1. Mengkonfirmasikan diagnosa pasti penyebab keracunan. 2. Pengenalan gejala, sehingga dapat dibedakan dengan penyakit lain. 3. Mengkaji kegawatan keracunan. 4. Meramalkan kelanjutan penyakit (prognosis) penderita. Pemeriksaan bahan yang dicurigai dengan laboratorium hasilnya akan lebih cepat diperoleh bila ada informasi tentang riwayat perjalanan penyakit penderita, gejala dan penemuan klinis.
Kecepatan dan ketepatan
pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk penanggulangan KLB. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler G. HIPOTESIS KLB KERACUNAN MAKANAN Hipotesis yang diajukan dalam investigasi kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan yang dialami oleh penduduk kecamatan Bayat kabupaten Klaten sebagai berikut : 1. Salah satu paket makanan pada peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo yaitu nasi opor, gudeg, telur, daging rendang, sambal goreng, dan kue merupakan penyebab keracunan makanan. 2. Makanan penyebab keracunan telah tercemar oleh racun yang diproduksi kuman. 3. Makanan penyebab keracunan adalah makanan yang secara alamiah mengandung racun. 4. Makanan yang tercemar kuman disebabkan oleh pengelolaan makanan yang tidak higienis.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB III BAHAN DAN CARA
A. Batasan Wilayah Pelacakan Pelacakan dilakukan di desa Bogem, Nengahan dan Paseban kecamatan Bayat sebagai tempat kejadian dugaan keracunan makanan dan dirumah keluarga Sri Kamari, Iwantoro sebagai tempat pengolahan/memasak makanan dan kue yang dibeli dari pasar wedi. B. Definisi Operasional Kasus. Dalam rangka mengidentifikasi kasus maka perlu ditetapkan definisi operasional kasus. Definisi operasional kasus yang ditetapkan yakni : “Penderita keracunan makanan akut dengan gejala utama mual-mual, muntah-muntah, sering buang air besar, demam, dan gejala lainnya; yang terjadi setelah menyantap paket makanan acara peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo pada hari Rabu, tanggal 7 November 2012 di desa Bogem, Nengahan dan Paseban kecamatan Bayat kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah” C. Pengumpulan Data Data diperoleh dengan cara wawancara, mencermati dokumen yang ada dan melakukan observasi ; 1. Puskesmas Bayat, Puskesmas Cawas dan RSUP dr Soeradji Tirtonegoro tempat penderita keracunan dirawat, guna : a. Mengadakan wawancara terhadap petugas dan penderita yang dirawat. b. Mengamati dan mempelajari kartu status hasil/ catatan medik penderita keracunan. 2. Masyarakat tempat terjadinya KLB, guna :
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler a. memperoleh gambaran umum makanan yang dimakan, masa inkubasi, dan gejala yang ditimbulkan. b. mendapatkan informasi tambahan mengenai kronologis kejadian. c. mencari adanya kasus tambahan. d. mengambil sampel makanan bila memungkinkan. 3. Rumah tempat hajatan dilaksanakan, guna: a. mendapatkan informasi tentang pengelolaan makanan : b. mengambil sampel makanan bila memungkinkan. c. mendapatkan informasi tentang bahan makanan yang digunakan, dan cara pengolahan. d. Menanyakan cara bahan makanan yang diperoleh. D. Penelitian Retrospektif Cohort Studi Untuk membantu menentukan sumber dan cara penularan, dilakukan penelitian observasional analitik dengan menggunakan disain retrospektif cohort studi. 1. Sampel dan metode sampling a. Batasan Kasus : Jumlah subyek yang akan dijadikan kasus sebanyak 101 orang. Untuk pengambilan sampelnya dengan cara sebagai berikut : Seluruh pasien keracunan yang dirawat di puskesmas Bayat, Puskesmas Trucuk, Puskesmas Cawas dan RSUP dr Soeradji Tirtonegoro, dan sekitar 31 pasien menjalani rawat jalan di puskesmas hingga total berjumlah 101 orang seluruhnya diambil sebagai sampel (kasus). b. Batasan Kontrol : Kontrol dalam penyelidikan ini adalah orang yang ikut makan pada saat kejadian keracunan (makan makanan hasil olahan makanan dan kue) pada tanggal 7 November 2012 tetapi tidak merasakan sakit. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 2. Variabel penelitian Variabel yang diteliti meliputi gejala klinis yang timbul dan jenis makan yang dimakan oleh kasus dan kontrol pada saat menyantap makanan pada tanggal 7 November 2012 . E. Cara Analisis Data Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan perangkat lunak program SPSS versi 19 dan Epi Info ; 1. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi untuk mendeskripsikan KLB yang berdasarkan orang, tempat dan waktu. 2. Uji analitik untuk mengetahui hubungan antara jenis makanan dan kejadian keracunan makanan dengan menggunakan tabulasi silang dan menentukan odds ratio untuk masing-masing makanan terhadap kejadian sakit. 3. Penghitungan food attack rate table, atributable risk, dan Risk Ratio.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemastian Diagnosis Berdasarkan definisi operasional kasus yang ditetapkan, maka jumlah kasus yang berhasil diidentifikasi sejumlah 108 orang. Sebanyak 35 kasus yang dirujuk ke Rumah Sakit. Gejala klinis yang dirasakan oleh 108 orang tersebut dapat dirangkum sebagai berikut : Tabel 2. Gejala Klinis Yang Timbul Akibat Keracunan Makanan Di Kecamatan Bayat Tahun 2012
No
Gejala Klinis
Kasus (n = 108)
Persentase (%)
1
Pusing
86
79,6
2
Mual
71
65,7
3
Muntah
67
62
4
Demam
70
64,8
5
Mules
52
48,1
6
Diare
75
69,4
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa gejala utama yang dirasakan adalah pusing (79,6%), diare (69,4%), Mual (65,7%), Demam (64,8%) dan Muntah (62%) sedangkan beberapa kasus mengalami gejala tambahan yaitu mules (48,1%). Berdasarkan gejala klinis pada tabel di atas maka diduga terjadi keracunan makanan pada masyarakat yang mengikuti acara syukuran/hajatan keluarga Sri Kamari di Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten. Berdasarkan gejala klinis yang muncul seperti yang telah diuraikan di atas maka selanjutnya ditetapkan diagnosa banding penyakit seperti terlihat pada tabel berikut : Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 3. Diagnosa Banding Keracunan Makanan di Kecamatan Bayat Kab. Klaten Tahun 2012 Gejala Klinis Diare Pusing Muntah Mual Sakit perut Mules Sakit kepala Meriang Perut Kembung
Penyebab Keracunan E.coli Staphylococcus Streptoccocus Salmonella Kimia v V v v v v v V V v v v V V v v v V V v V v v v
Berdasarkan tabel di atas dengan melihat gejala klinis yang paling banyak muncul maka dugaan sementara penyebab keracunan makanan di Kecamatan Bayat adalah E.coli, bahan kimia dan Staphylococcus.
B. Pemastian KLB Pada tanggal 7 November 2012 di kecamatan Bayat kabupaten Klaten, Keluarga Sri Kamari mengadakan acara peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo. Anggota Keluarga Sri Kamari, Iwantoro, 45, mengatakan terdapat 100 paket makanan yang dikirimkan kepada 100 sanak saudara dari almarhum yang tersebar di tiga desa yakni Bogem, Nengahan dan Paseban. Paket makanan itu berisi nasi opor, gudeg, telur, daging rendang, sambal goreng, dan kue. Setelah mengonsumsi paket makanan itu, warga merasakan mual-mual, muntah-muntah, sering buang air besar, hingga demam. Diawali dengan salah satu korban bernama Aulia Putri (7 tahun) warga desa Bogem, mulai mual-mual sejak pukul 02.00 WIB, hingga saat dirawat di puskesmas Bayat korban sudah muntah tiga kali, berak empat kali dan suhu tubuhnya panas. Menurut Ririn ibu korban bahwa putrinya tersebut merasakan sakit setelah memakan paket makanan pemberian tetangga yang menerima kiriman dari Keluarga Sri Kamari yang menggelar peringatan delapan tahun meninggalnya Purwo Admojo. Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Hingga Kamis sore tanggal 8 november ada korban sekitar 60 warga, tetapi kemungkinan masih bisa bertambah. Karena mungkin sebagian warga memilih tidak memeriksakan diri ke puskesmas. Kemudian pada hari jumat tanggal 9 November, jumlah warga tiga desa yang mengalami keracunan bertambah menjadi 108 orang. Dari kronologis kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi peristiwa kesakitan dengan sindroma gejala yang serupa yaitu gejala utama pusing, diare, mual, demam dan muntah yang menimpa penduduk Desa Bogem, Nengahan dan Paseban, sindroma tersebut timbul akibat dari mengkonsumsi makanan pada acara peringatan kematian dari keluarga Sri Kamari. Dengan demikian dapat dipastikan telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten Jawa Tengah, pada tanggal 7-9 Novemver 2012. C. Deskripsi Kejadian Luar Biasa 1. Distribusi menurut orang Dari 108 orang yang mengalami keracunan makanan di Kecamatan Bayat dapat didistribusikan menurut umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel berikut : Tabel 4. Distribusi Penderita Keracunan Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Bayat Kab. Klaten Jawa Tengah Tahun 2012 .Golongan Umur < 15 Tahun 15-24 Tahun 25 - 44 Tahun 45-64 Tahun > 64 tahun
Laki-laki 18 5 11 15 3
Total
52
Jenis Kelamin % Perempuan % 17 12 11,3 4,7 7 6,6 10,4 12 11,3 14,2 18 17 2,8 5 4,7 49,1
53
50,9
Total Jml 30 12 23 33 8
% 28,3 11,3 21,7 31,1 7,5
106
100
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak (50,9%) terkena keracunan dibanding jenis kelamin laki-laki, jika dilihat menurut kelompok umur maka
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler kelompok umur yang paling banyak menderita keracunan adalah golongan umur 45-64 tahun (31,1%). 2. Distribusi Menurut Tempat Dari 108 orang yang mengalami keracunan makanan di Kecamatan Bayat dapat didistribusikan menurut tempat seperti terlihat pada tabel berikut :
6,50% 28,70% 28,70%
Bogem Nengahan Paseban 36,10%
Tegalrejo
Gambar 1. Distribusi Kasus Keracunan Menurut Tempat Pada gambar 1 di atas menunjukkan bahwa warga yang paling banyak menderita keracunan berasal dari Desa Nengahan (36,1%), Kemudian disusul dari Desa Paseban dan Bogem (28,7%) sedangkan sedikit kasus berasal dari Desa Tegalrejo (6,5%). 3. Distribusi Menurut Waktu Penduduk Desa Bogem, Nengahan, Paseban dan Tegalrejo yang sakit setelah makan hidangan yang disajikan pada acara hajatan hari kamis 7 November 2012 menunjukkan masa inkubasi penyakit keracunan bervariasi per individu, hal ini dapat terjadi karena ketahanan tubuh masing-masing orange berbeda serta jumlah makanan yang dimakan. Masa inkubasi tersingkat
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler mulai dari 2 jam (1 orang) dan yang terlama sampai 32 jam (1 orang). Adapun periode paparan dan kurva epidemik kejadian kasus keracunan makanan dapat dilihat pada gambar berikut : 9 8
Jumlah Kasus
7 6 5 4 3 2 1 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6 jam 7 jam 8 jam 9 jam 10 jam 11 jam 12 jam 13 jam 14 jam 15 jam 16 jam 17 jam 18 jam 19 jam 20 jam 21 jam 22 jam 23 jam 24 jam 25 jam 26 jam 28 jam 29 jam 31 jam 32 jam
0
Masa Inkubasi
Gambar 2 : Kurva Epidemik Kejadian Kasus Keracunan Makanan di Kecamatan Bayat Kab. Klaten Jawa Tengah Tahun 2012
Gambar 3 adalah kurva epidemik yang dibuat berdasarkan interval 1 jam (60 menit). Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola penularan penyakit bersifat common source artinya terjadi adanya bahwa telah terjadi adanya keracunan makanan akibat mengkonsumsi makanan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan satu sumber penularan. Gejala yang 2 jam setelah makan (1 kasus), puncaknya adalah pada interval 13 jam (8 kasus), sedangkan kasus terakhir muncul pada interval waktu 32 jam. Adanya jarak interval waktu dari jam mengkonsumsi makanan dengan
munculnya
gejala
klinis
pertama
memberikan
petunjuk
kemungkinan
adanya
paparan/kontaminasi toksin pada makanan yang dimakan oleh masyarakat desa Bogem, Nengahan, Paseban dan Tegalrejo Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler D. Identifikasi Sumber Dan Penyebab Keracunan 1. Identifikasi Sumber Keracunan Keracunan yang terjadi erat kaitannya dengan menu yang dimakan sebelumnya. Menu yang dihidangkan pada tanggal 7 November 2012 pada acara peringatan kematian dari keluarga Sri Kamari terdiri dari nasi, gudeg, sambel goreng, opor telur, opor ayam, lemper, pastel/sosis, tahu, kueh ku, lapis, sus yogurt, roti pisang/dadar pisang, kerupuk, kering kentang, serta semar mendem. Berdasarkan uraian di atas, setiap makanan yang disajikan dapat saja menjadi perantara agen keracunan makanan yang terjadi. Dalam bahasan selanjutnya akan coba dikaji kemungkinan risiko pada masing-masing makanan dengan menghitung attack rate perjenis makanan dan dilanjutkan menilai asosiasi menggunakan odds ratio pada studi kasus kontrol. a.
Attack Rate Per Jenis Makanan Sumber pencemaran diduga dari makanan yang dihidangkan pada acara peringatan kematian
keluarga Sri Kamari pada tanggal 7 November 2012. Attack rate perjenis makanan yang dihidangkan disajikan dalam tabel 4 dibawah ini.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 5 Attack Rate Keracunan Makanan Menurut Jenis makanan Yang Dihidangkan Pada Acara Peringatan Kematian Keluarga Sri Kamari 7 November 2012
Status
Jenis Makanan
Jumlah
Attack
Sakit
Tidak Sakit
Rate (%)
Nasi Gudeg
85 66
9 9
94 75
90,4 88
Sambel goreng Opor telur
53 46
8 8
61 54
86,9 85,2
Opor ayam Lemper
74 13
10 0
84 13
88 100
Pastel/sosis Tahu
22 3
2 0
24 3
91,7 100
Kueh ku Lapis Sus yogurt Roti pisang/dadar pisang Kerupuk Kering kentang Semar mandem
2 10 5 4 4 3 1
0 1 0 0 0 0 2
2 11 5 4 4 3 3
100 90,9 100 100 100 100 33,3
Tabel di atas menunjukkan bahwa attack rate paling tinggi adalah lemper (100%), tahu (100%), kueh ku (100%), sus yogurt (100 %), roti pisang (100%), kerupuk (100%), kerik kentang (100%). Sedangkan attack rate paling rendah pada makanan semar mandem (33,3%). b. Odds Ratio (OR) Per Jenis Makanan Dari studi kasus kontrol, dengan jumlah kasus yang ditetapkan sebanyak 108 orang dan kontrol sebanyak 15 orang, dapat dihitung besarnya risiko dengan menggunakan ukuran asosiasi Riks Ratio didapatkan hasil sebagai berikut :
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Tabel 6. Attack Rate dan Risk Ratio Keracunan Makanan Menurut Jenis makanan YangDihidangkan Pada Acara Peringatan Kematian Keluarga Sri Kamari 7 November 2012 No
Jenis Makanan
Makan Sakit
Tidak
AR makan
Tidak Makan Sakit
Sakit
AR
Beda
Tidak
Tidak
AR
Sakit
makan
RR
1
Nasi
85
9
89,47
23
6
79,31
10,16
1,128
2
Gudeg
66
9
88
42
6
87,5
0,5
1,005
3
Sambal goreng
53
8
86,88
55
7
88,71
-1,83
0,979
4
Opor telur
46
8
85,18
42
7
85,71
-0,53
0,993
5
Opor ayam
74
10
88,1
34
5
87,17
0,93
1,011
6
Lemper
13
0
100
95
15
86,36
13,64
1,158
7
Pastel/Sosis
22
2
91,67
86
13
86,86
4,81
1,055
8
Tahu
3
0
100
105
15
87,5
12,5
1,142
9
Kueh Ku
2
0
100
106
15
87,6
12,4
1,141
10
Lapis
10
1
90,9
98
14
87,5
3,4
1,038
11
Sus Yogurt
5
0
100
103
15
87,2
12,8
1,147
12
Roti/Dadar pisang
4
0
100
104
15
87,3
12,7
1,145
13
Kerupuk
4
0
100
104
15
87,3
12,7
1,145
14
Kerik Kentang
3
0
100
105
15
87,5
12,5
1,142
15
Semar Mendem
1
2
33,3
107
13
89,2
-55,9
0,373
E. Identifikasi Penyebab Keracunan Penyebab keracunan diidentifikasi melalui pemeriksaan contoh makanan. Contoh makanan diambil oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten setelah terjadinya keracunan (Tanggal 8 November 2012) dan dikirim ke laboratorium kesehatan Kota Semarang pada tanggal 9 November 2012. Tim investigasi tidak dapat mengambil spesimen karena ketika datang ke lokasi kejadian sisa makanan yang diduga menimbulkan keracunan sudah tidak ada lagi.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB V PEMBAHASAN
Pada penelitian kasus keracunan makanan dengan rancangan case control study
ini
mempunyai kelemahan yaitu adanya recall bias, sehingga informasi yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan sering tidak akurat karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh daya ingat responden. Untuk mendukung keterbatasan informasi ini maka perlu didukung oleh konfirmasi laboratorium terhadap faktor resiko (bahan makanan atau spesimen yang dicurigai). Masa inkubasi terpendek + 2 jam dan masa inkubasi terpanjang adalah + 32 jam sehingga masa inkubasi rata-ratanya adalah 16 jam, sementara itu gejala klinis yang dominan adalah pusing (79,6%), diare (69,4%), Mual (65,7%), Demam (64,8%) dan Muntah (62%) sedangkan beberapa kasus mengalami gejala tambahan yaitu mules (48,1%). Gambaran kurva epidemik menunjukkan bahwa kurva yang terbentuk adalah type common source yaitu hanya ada satu puncak dalam satu kasus yang semakin mempertegas terjadinya keracunan makanan karena mengkonsumsi makanan/minuman dalam waktu yang relative bersamaan. Jenis kelamin perempuan lebih banyak (50,9%) terkena keracunan dibanding jenis kelamin laki-laki, jika dilihat menurut kelompok umur maka kelompok umur yang paling banyak menderita keracunan adalah golongan umur 45-64 tahun (31,1%). Penduduk yang makan pada saat kejadian mempunyai risiko untuk menderita keracunan. Untuk mengkaji jenis makanan apa yang merupakan faktor risiko/sumber infeksi, akan dikaji per jenis makanan tersebut. Dari makanan tersebut kita dapat membagi menjadi dua bagian yaitu makanan yang diolah secara tradisional di rumah dan makanan yang langsung di beli di pasar terdekat. Diantranya pasar wedi. Makanan yang dibeli di pasar wedi diantranya adalah berupa Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler berbagai macam kue-kuean (lemper, pastel, kue lapis kue sus, semar mendem,kue ku tahu, kering kentang) sedangkan yang diolah dirumah diantaranya nasi, gudeng, opor telur, opor ayam. Untuk mengetahui keberadaan bakteri maka perlu dilakukan dg pemeriksaan laboratorium . Spesimen diperoleh dari : • Contoh makanan • Usap alat, permukaan kerja • Usap dubur • Usap luka • Air Spesimen dikumpulkan dalam wadah steril dan dikirim ke laboratorium , Bakteri patogen tidak mengubah penampilan, rasa, bau . Syarat terjadinya Penyakit Bawaan Makanan diantaranya Jumlah bakteri cukup dan bertahan hidup setelah dimasak/disimpan, Bakteri berkembang biak dan mencapai jumlah cukup atau menghasilkan toksin dlm jumlah cukup, Bakteri ada di daerah pengolahan makanan/ dalam bahan mentah, dipindahkan melalui tangan, permukaan kerja, dll. Ada beberapa kemungkinan transmisi bakteri dari makanan satu ke makanan lain atau pun ke penjamah lainnya pada kasus ini diantanranya. 1. Kontaminasi silang •
Pencemaran makanan yg sudah diolah oleh bahan mentah yg mengandung kuman patogen
•
Terjadi akibat menyimpan bhn mentah dan matang bersamaan
2. Penjamah makanan •
Cara memindahkan kuman ke makanan : batuk, bersin, tangan penjamah, luka, dll Serangga, Tikus, Hewan Rumah
•
Secara mekanis melalui kaki, air kencing, kotoran, (pada waktu investigasi bahwa terlihat mengolah makanannya dekat kamar mandi, sumur yang kurang bersih
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 3. Debu Debu dapat mengandng kuman patogen dari tanah, dipindahkan melalui angin
Nasi ; Beras di beli dari pasar wedi Kabupaten Klaten sebagaian beras ada yang dibawa dari jakarta. Beras ditanak menjadi nasi dalam jumlah tertentu untuk disajikan sebagai menu utama. Beras dapat diserang jamur mikotoksigenik di ladang dan dalam penyimpanan yang kurang memadai. Bakteri seperti salmonella dapat ditemukan akibat kontaminasi tinja, tetapi yang paling umum adalah spesies dari bacillus pembentuk spora. Kecil kumungkinan nasi yang dihidangkan sebagai penyebab KLB oleh karena sebelum dikonsumsi beras dimasak dulu. Namun bisa saja itu terjadi karena kontaminasi oleh kimia yang tidak dapat hilang oleh pemasakan.
Opor ayam dan opor telur ; ayam dipesan di pasar hari selasa sore, rabu pagi diantarkan ke rumah dan langsung dimasak pada hari rabu pagi. Ayam dapat mengandung Staphylococcus dan Clostridium perfringens yang menghasilkan enterotoksin yang tahan terhadap panas, sehingga kemungkinan toksin tersebut hilang pada saat pemasakan sangat kecil. (Chin,2000) Opor telur adalah salah satu makanan yang diolah di rumah yang dimana bahan baku nya di beli di pasar terdekat. Kemungkinan bakteri yang mengontaminasi adalah salmonella. Salmonela adalah kelompok bakteri yang banyak ditemukan di telur setengah matang, daging, dan terkadang sayur dan buah yang tidak dicuci bersih.Infeksi bakteri ini menyebabkan gejala demam, diare, sakit perut, dan nyeri kepala. Kebanyakan orang akan sembuh tanpa obat, tetapi infeksi salmonela bisa serius pada lansia, anak-anak dan penderita penyakit kronik.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
Daging; daging dibeli dari pasar. Daging dapat mengandung Staphylococcus dan Clostridium perfringens yang menghasilkan enterotoksin yang tahan terhadap panas, sehingga kemungkinan toksin tersebut hilang pada saat pemasakan sangat kecil. Keracunan Clostridium perfringens bentuk spora tumbuh baik pada suasanan Anarobic, terutama pada suhu di atas 1000 F. Daging yang sudah dimasak biasanya terkontaminasi bakteri yang berasal
dari daging mentah yang dapat
mengkontaminasi daging atau kuah daging yang telah dimasak. (Chin, 2000) Gudeg ; Bahan sayur dibeli di pasar. Sayuran yang dibeli dapat terkontaminasi residu pestisida atau zat kimia lainnya. Bakteri seperti shigella, salmonella, E. coli dan Vibrio cholerae didapat dalam sayuran apabila sayuran tersebut terkontaminasi air limbah/air selokan. Sayuran dan bumbu kelapa pada makanan Urap biasanya dimasak tidak terlalu lama guna menjaga tekstur sayuran tersebut sehingga kemungkinan besar, jika sayuran tersebut tercemar bakter E. Coli, bakteri tersebut tidak mati. (Chin, 2000)
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler Lemper, pastel, kue ku, kue lapis, kue sus, semar mendem, sus yougurt Makanan yang atas adalah makanan yang dibeli dipasar. Untuk bakteri yang memungkinkan terkontaminasi pada kue tersebut adalah ke E.coli, hal ini dapat dilihat dari cara memasukan makanan ke boks yang kurang baik dan dan kemungkinan kontaminasi debu. Lebih memperbesar risiko lagi bila ada unsur susu dalam kue tersebut. Gejala kontaminasi E.coli meliputi diare berat, nyeri perut, serta muntah yang berlangsung sekitar 5-10 hari. Untuk menghindari bakteri ini, masaklah daging sampai matang, cuci buah dan sayuran dengan air mengalir sebelum dikonsumsi, dan hindari susu segar yang belum dipasteurisasi.
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan dari makanan yang dihidangkan pada acara peringatan kematian anggota keluarga Sri Kamari di Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten dengan jumlah penderita 108 orang, pada tanggal 7-8 November 2012 dengan attack rate 87,8 % dan kematian 1 orang (CFR= 0,009 %). 2. Penularan terjadi secara common source karena adanya satu sumber penularan yaitu mengkonsumsi makanan dalam waktu yang hampir bersamaan. Masa inkubasi yang pendek menunjukkan adanya kontaminasi bahan baktreri pada makanan dilihat dari masa inkubasi berkisar rata-rata 13 jam. 3. Dengan melihat gejala klinis yang paling banyak muncul maka dugaan sementara penyebab keracunan makanan di Kecamatan Bayat adalah E.coli, bahan kimia dan Staphylococcus B. Saran 1. Untuk Masyarakat : Agar masyarakat/penjamah makanan menjaga keamanan makanan termasuk menjaga personal hygiene. Perlu lebih memperhatikan prinsip-prinsip keamanan pangan diantaranya pilih makanan yang sudah di proses, memasak makanan dengan sempurna dengan suhu minimal 700C merata di seluruh bagian, santap dengan sesegera mungkin, penyimpanan makanan masak dengan benar (simpan panas > 60ºC, simpan dingin < 10ºC), panasi kembali makanan dengan benar minimal suhu 700C merata diseluruh bagian, cegah kontak makanan dengan bahan mentah, Tidak menyimpan makanan matang campur bahan mentah, alat utk mengolah bahan mentah jangan dipakai untuk Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler wadah makanan matang, Cuci tangan sesering mungkin sebelum mengolah makanan atau ada kegiatan lain (toilet, dll) merupakan kebiasaan penjamah makanan,Jaga kebersihan permukaan dapur secermat mungkin,Kain lap hrs diganti tiap hari, Lindungi makanan dari serangga, tikus, dan binatang lain, Tutup rapat makanan, Pergunakan air bersih, Untuk air yg langsung disajikan (es) masak lebih dulu Agar masyarakat segera melaporkan kepada pihak Puskesmas setempat apabila terjadi kasus serupa sehingga dapat dilakukan tindakan yang cepat, guna mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan. 2. Untuk Puskesmas Setempat dan Dinas Kesehatan : a. Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektoral mengenai keamanan makanan di semua jenjang administrasi dan berbagi tanggung jawab. b. Mengembangkan sistem surveilens keracunan dan keamanan makanan. c. Puskesmas dan dinas kesehatan mempunyai kewajiban dalam meningkat kan status kesehatan masyarakat agar mempunyai kesadaran yang lebih baik lagi terhadap pentingnya hidup sehat melalui KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler KUESIONER SKRINING HIPERTENSI PADA LANSIA DI WILAYAH DINAS KESEHATAN KOTA BANJARMASIN TAHUN 2014 A. Identitas Responden Kode Wilayah dan Kode Responden 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Kelurahan No. Kode Responden Tanggal wawancara Pewawancara
: : : : :
6. Status Perkawinan a. Belum menikah b. Menikah c. Janda/Duda 7. Pendidikan a. Tidak sekolah b. Tidak tamat SD c. Tamat SD d. Tamat SMP e. Tamat SMA f. Tamat Perguruan Tinggi 8. Berat Badan 9. Usia 10. Tekanan Darah
:
:
: kg : tahun : ........ mmHg
I. Gejala Hipertensi
1.
sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada pagi hari) ?
a. b.
Ya Tidak
2.
Jantung berdebar-debar ? a. Ya b. Tidak
3.
Penglihatan kabur ? a. Ya b. Tidak
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler 4.
Mudah lelah ? a. Ya b. Tidak
5.
Sulit bernafas setelah melakukan aktivitas berat ? a. Ya b. Tidak
6.
Telinga berdenging ? a. Ya b. Tidak
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Untuk Kasus Reguler KUESIONER PENYIDIKAN KLB KERACUNAN MAKANAN DI ............................................................................... KOTA BANJARBARU PROPINSI KALIMANTAN SELATAN TGL....................... 2014 Tanggal wawancara : .............................
No : .........
A. Data Responden 1. Nama
: .....................................
2. Tgl lahir/Umur
: ......................(......... tahun)
3. Jenis kelamin
: 1. Laki-laki 2. Perempuan
4. Pendidikan terakhir: ............................. 5. Pekerjaan
: ............................
6. Alamat
: .................................................................
B. Riwayat Kejadian 7. Apakah Saudara ikut memakan menu makanan yang dihidangkan pada hari rABU, tanggal ....................... 2014 ? a. Ya. (Tepatnya pukul/ Jam berapa ? ................................. ) b. Tidak 8. Apakah Saudara memakan makanan yang diberikan tersebut yang menunya diberikan secara bersama-sama ? a. Ya b. Tidak 9. Makanan–minuman apa saja yang Saudara. makan : a. Nasi
Habis / Tidak habis
b. Ayam goreng cabe
Habis / Tidak habis
c. Lele goreng
Habis / Tidak habis
d. Asam pedas ikan
Habis / Tidak habis
e. Sambal cabe hijau
Habis / Tidak habis
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler f. Acar
Habis / Tidak habis
g. Gulai nangka
Habis / Tidak habis
h. Kerupuk i. Buah
Habis / Tidak habis Habis / Tidak habis
j…………………………. k………………………… l………………………… m………………………. n………………………… 10. Apakah setelah makan menu tersebut Saudara merasa sakit ? a. Ya b. Tidak 11. Rasa sakit tersebut muncul pada pukul/ jam berapa dari mulai Saudara makan makanan tersebut ? ........................................... (jam dan menit).
12. Bila merasa sakit dan gejala yang timbul pada Saudara seperti apa ? a. Mual b. Muntah c. Pusing d. Kepala berdenyut e. Demam (meriang) f. Badan gemetar g. Perut kejang h. Mau buang air besar terus/ Diare/ Mencret i. Sakit perut tapi tidak diare/ mencret j. Tenggorokan terasa kering k. Badan terasa dingin l. Kulit gatal Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler m. Mulut gatal n. Muka panas o. Diare berlendir p. Diare berdarah q. Pandangan kabur r. Gelisah s. Keringat banyak t. Pucat u........................... v........................... w..........................
13. Apakah diantara makanan yang dimakan tersebut ada yang dirasakan tidak lazim dimakan ? a. Ya (Jenis makanan apa ?.............................................................) ( Rasanya ?.............................................................................) b. Tidak 14. Sehubungan dengan rasa sakit dan gejala yang timbul, apakah Saudara dirawat di rumah sakit/ puskesmas? a. Ya b. Tidak 15. Tanggal berobat............................. 16. Tempat berobat a. Puskesmas b. Rumah Sakit c. Lainnya................... 17. Status pasien a. Meninggal b. Rawat inap Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler c. Rawat jalan d. Sembuh 18. Apa Saudara sudah merasa benar-benar sehat ? a. Ya b. Tidak 19. Pengambilan sampel a. Darah b. Muntaber c. Lainnya.............................
Lain-lain : ................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................ ...................................................
Pekanbaru,
April 2009
Pewawancara,
(........................................)
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Untuk Pengelola Studi Makanan Kesehatan Masyarakat Program Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
KUESIONER PENYIDIKAN KLB KERACUNAN MAKANAN DI …………………………………………………….. KOTA BANJARBARU PROPINSI KALIMANTAN SELATAN TGL……………. 2014 No : Tanggal wawancara.
: ..........................
A. Identitas Responden 1. Nama
:
2. Tgl lahir/Umur
:
3. Jenis Kelamin
:L / P
4. Pendidikan
: ……………………………….
5. Pekerjaan
: ...........................................
6. Alamat
: ...........................................
/ ........ Th..........
B. Pengelolaan Makanan
1. Dimanakah anda mengolah makanan ?
a. Ditempat Hajatan b. Tidak masak sendiri tapi beli di pasar c. Dirumah orang lain d. Sebutkan,.................................... 2. Siapa saja yang mengelola makanan a. Keluarga Hajatan b. Tetangga c. Orang lain (Upahan) d. …………………………. 3. Dimanakah anda mendapatkan bahan makanan ?
a. b. c. d.
Pasar Milik sendiri Sumbangan Sebutkan,..............
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler C. Pemeriksaan Kesehatan 1. Apakah pada saat mengolah makanan, ada
1. Ya / 2. Tidak
yang menderita sakit ? 2. Kalau Ya, sebutkan keluhannya...................... 3. Bila ada yang sakit, apakah segera berobat?
1. Ya / 2. Tidak
4. Kalau Ya, dimana anda berobat ?................................................
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Untuk Pengelola Makanan Program Reguler D. Tempat Pengolahan Makanan (Observasi) 1. Fasilitas Sanitasi
a. Penyediaan air bersih Memenuhi syarat / tidak
PDAM
Memenuhi syarat / tidak
SUMUR
Memenuhi syarat / tidak
MATA AIR
Memenuhi syarat / tidak
SUNGAI
Memenuhi syarat / tidak
b. Pembuangan kotoran ? Memenuhi syarat / tidak
SAMPAH
Memenuhi syarat / tidak
WC
Memenuhi syarat / tidak
KAMAR MANDI
Memenuhi syarat / tidak
PEMBUANGAN AIR LIMBAH
Memenuhi syarat / tidak
2. Peralatan pengolahan makanan yang dipakai Jenis peralatan Bahan .........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
3. Tempat penyimpanan makanan
Jenis peralatan
Bahan
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
.........................
...............................
Bersih / Tidak
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Program Studi Kesehatan Masyarakat Falkultas Kedokteran UNLAM Program Reguler
4. Apakah tempat pengolahan makanan bebas dari
1. Ya / 2. Tidak
serangga atau tikus ?
Kampar, April 2009
Pewawancara,
( .......................................... )
Modul Pelaksanaan ilmu Kesehatan Masyarakat Terintegrasi EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR