DINAMIKA OSEANOGRAFI SEBAGAI KOMPONEN KUNCI DALAM MENYUSUN STRATEGI KONSERVASI UNTUK RUMUSAN PENGELOLAAN BERBASIS EKOSISTEM* Heron Surbakti1, Syamsul Bahri Agus2, Adriani Sunuddin2 1
2
Program Studi Ilmu Kelautan, FMIPA, Universitas Sriwijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, Institut Pertanian Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis ekosistem, maka masukan informasi dasar dari bidang oseanografi menjadi kunci dalam merumuskan mekanisme pengelolaan tertentu, seperti penetapan moratorium ataupun lingkup spasial lain yang terkoneksi dengan kawasan lindung yang sudah ditetapkan. Sifat ekosistem laut yang dinamis dan kompleks dapat lebih dipahami dengan mengetahui bagaimana interaksi ekologi antara makhluk hidup dengan faktor-faktor lingkungan yang ada di dalam habitatnya. Makalah ini bertujuan menguraikan peran dinamika oseanografi terkait aliran larva ikan terumbu dari habitat pemijahan di ekosistem terumbu karang ke habitat pemeliharaan di ekosistem padang lamun, serta aplikasinya dalam memutakhirkan strategi konservasi kawasan laut yang mendukung perikanan berkelanjutan di APL-BM Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Model hidrodinamika dengan perata-rataan terhadap kedalaman dalam perangkat lunak MIKE21 digunakan untuk menggambarkan pola arus di lokasi penelitian. Selanjutnya hasil simulasi pola arus digunakan sebagai pembangkit aliran larva dengan model particle analysis. Simulasi aliran larva dilakukan untuk dua periode musim yang berbeda, yaitu musim barat dan musim timur. Hasil penelitian ini mendapati beberapa lokasi yang potensial menghubungkan dua habitat kritis yang potensial digunakan oleh ikan terumbu yang memiliki 30 hari durasi larva pelagis menjalani fase ontogeninya dan mempertahankan keberlanjutan stok. Implikasi hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam perumusan strategi konservasi dan pengelolaan yang berbasis ekosistem. Kata kunci:
dinamika oseanografi, aliran larva, ikan terumbu, pengelolaan berbasis ekosistem, konektivitas habitat
PENDAHULUAN Akibat degradasi habitat serta kondisi sumberdaya ikan yang mengalami kejenuhan dan menjadi langka, maka arahan pengelolaan kawasan konservasi laut dan komoditas perikanan yang ada di dalamnya mulai mengalami perubahan dengan lebih mengampu beragam aspek yang saling berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan. MacLeod et al. (2005) mendefinisikan pengelolaan kawasan laut berbasis ekosistem sebagai upaya terpadu dalam mengendalikan, yang mempertimbangkan sistem ekologi yang saling terkait, termasuk aspek manusia; sehingga kondisi ekosistem yang sehat, produktif, dan berdaya lenting (resilience) dapat dipertahankan. Perbedaan utama dari pengelolaan berbasis ekosistem untuk perikanan berkelanjutan adalah tidak ada satu jenis ikan yang secara khusus lebih diutamakan dibandingkan spesies lainnya, maupun aktivitas dan aspek perikanan tertentu (alat tangkap, dan lain-lain), melainkan lebih ditekankan dalam mempertimbangkan dampak kumulatif akibat pengaruh dari beragam sektor yang ada di dalam kawasan tersebut. *
Makalah disampaikan pada Mini Simposium Pengelolaan Kawasan Konservasi untuk Perikanan Berkelanjutan; Side Event Konferensi Kelautan Nasional (KONAS) IX; Surabaya, 21 Nopember 2014.
Oseanografi merupakan ilmu dasar yang mempelajari dinamika faktor-faktor fisik, kimia, biologi dan geologi di perairan laut. Hasil kajian oseanografi sepatutnya menjadi masukan informasi landasan utama dalam perumusan mekanisme pengelolaan berbasis ekosistem, namun implementasi kajian dasar tersebut belum banyak dipahami dan ditindaklanjuti. Mengkhususkan pada aspek konektivitas habitat yang penting bagi kelangsungan siklus hidup ikan terumbu, tulisan ini berupaya merumuskan strategi konservasi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan fungsi ekologi di kawasan Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
METODE Domain ruang-waktu kajian Pemodelan aliran larva ikan terumbu ditetapkan untuk domain spasial di sekitar area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu; yang dibatasi oleh koordinat 5°43’44.485”- 5°45’17.084” LS dan 106°4’48.297” - 106°37’19.743” BT. Dinamika sirkulasi massa air dan aliran larva ditinjau untuk dua periode yang mewakili musim, yaitu musim timur (Juli 2011) dan musim barat (Januari 2012). Titik sumber (awal pergerakan larva) ditetapkan di 17 stasiun pengamatan tanda pemijahan yang telah dilakukan pengambilan data sebelumnya (Oktober 2010Maret 2012).
Ket UPG BLPG BPG BDPG SPG TGPG
: : : : : : :
Utara Panggang Barat Laut Panggang Barat Panggang Barat Daya Panggang Selatan Panggang Tenggara Panggang
TPG TLPG UPR SPR FSPG BPG
: : : : : :
Timur Pulau Panggang Timur Laut Panggang Utara Pramuka Selatan Pramuka Fish Shelter APL Panggang Soft Coral, Barat Panggang
KSEM KKEC KPEM KPEN TKAR BKAR
: : : : : :
Karang Sempit, Selatan Karang Lebar Karang Keling Cetek Karang Pemanggang Karang Pengantin Timur Pulau Karya Barat Pulau Karya
Gambar-1. Batasan Wilayah Model Pola Arus dan Titik Sumber Awal Pergerakan Larva
Model Pola Arus Model pola arus dibangun dengan menggunakan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum dengan perata-rataan kedalaman. Model ini menggunakan pendekatan metode beda hingga (finite difference) untuk menyelesaikan persamaan yang digunakan. Solusi numerik dari model yang digunakan adalah dengan pendekatan Alternating Direction Implicit (ADI) untuk turunan terhadap waktu (time) dan ruang (space) (DHI, 2007; Tsanis, et al, 2007). Simulasi sirkulasi massa air
dijalankan dengan memperhitungkan kondisi batimetri, pengaruh angin muson, dan dinamika pasang surut. Data batimetri yang digunakan sebagai data masukan pada daerah model (model domain area) adalah hasil digitasi dari peta batimetri lembar peta No: 416KK dari Dinas Hidro-Oseanografi (DISHIDROS) TNI-AL dengan skala 1:20.000. Untuk daerah-daerah sekitar pemijahan yang memerlukan data yang lebih detail maka digunakan integrasi data inderaja optic (Quickbird) dan hasil pemeruman akustik (MapSounder) sehingga diperoleh peta batimetri dalam resolusi spasial 1.0 meter. Data angin diperoleh dari ECMWF (The European Centre for Medium-Range Weather Forecasts). Parameter data yang terdapat pada data angin ini adalah data kecepatan angin tiap tiga jam pada periode simulasi Juli 2011 dan Januari 2012. Data angin ini terdiri atas komponen timur–barat (zonal) dan komponen utara–selatan (meridional) pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut. Tidak tersedianya data pasang surut untuk jangka waktu panjang, maka data pasang surut (pasut) yang digunakan sebagai batas terluar model (open boundary condition) merupakan data elevasi pasang surut hasil peramalan DHI Global Tide. DHI Global Tide merupakan suatu produk pasut global yang dikembangkan oleh DHI Institute dengan resolusi 0.25o. Output data pasut DHI Global Tide adalah elevasi muka air dengan kisaran 1 jam. Adapun periode yang digunakan adalah sepanjang periode simulai. Untuk menyesuaikan dengan langkah waktu yang digunakan dalam model (2 detik) dilakukan interpolasi dengan menggunakan metode spline cubic. Elevasi muka air DHI Global Tide merupakan gabungan dari 8 komponen pasut utama (M2, S2, K1, O1, N2, P1, K2, Q1).
Model Aliran larva Model partikel analisis (PA module) yang terintegrasi dalam modul MIKE 21 (DHI, 2007) digunakan untuk melakukan simulasi aliran larva di lokasi penelitian. Model pola arus (Hydrodynamic modelling) merupakan model awal yang dibutuhkan sebelum melakukan simulasi model aliran larva (PA module). Simulasi aliran larva dipengaruhi oleh pergerakan arus serta proses dispersi yang terjadi akibat pola arus tersebut. Model aliran larva ini menggunakan konsep Langrangian dimana konsep ini dapat secara efektif menggambarkan proses pergerakan atau penyebaran larva dari sumbernya pada area model (Stephens et al. 2006; George et al. 2011; Chetan Gaonkar et al. 2012). Beberapa asumsi dan pendekatan yang digunakan pada model aliran larva ini adalah:
Konektivitas potensial habitat ontogeni tidak ditetapkan untuk satu taksa ikan terumbu, melainkan mengutamakan aspek distribusinya secara geospasial yang ditetapkan untuk dua periode musim yang berbeda. Kelimpahan larva di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh pemangsaan (predation), mortalitas dan perilaku (behavior) dari larva tersebut (Fiksen et al, 2007). Dalam penelitian ini, aspek-aspek tersebut diabaikan. Nilai kepadatan telur/larva di titik sumber adalah 72.000 kg/m. Nilai tersebut diperoleh dari modifikasi fekunditas ikan kerapu Epinephelus itajara (Sadovy and Eklund, 1999) terhadap bobot basah gonad/telur, jumlah individu ikan yang bisa terlibat dalam satu episode pemijahan, dibagi volume massa air laut yang diperoleh dari luas area pemijahan pada level kedalaman kegiatan pemijahan berlangsung (Nemeth,2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sirkulasi Massa Air di Lokasi Kajian Hasil simulasi pola sirkulasi massa air di lokasi penelitian ditampilkan berdasarkan pola arus pada 4 (empat) posisi paras laut yang berbeda yakni saat MSL (mean sea level) menjelang surut terendah, saat surut terendah, MSL menjelang pasang tertinggi serta saat pasang tertinggi pada musim timur dan musim barat. Gambaran mengenai pola arus pada musim Timur disajikan pada Gambar 2 – Gambar 5, sedangkan pola arus pada musim Barat disajikan pada Gambar 6 – Gambar 9. Pola Arus Pada Musim Timur Pada saat kedudukan muka air berada pada kondisi Mean Sea Level (MSL) menuju surut terendah, pola arus cenderung bergerak dari arah barat menuju ke arah Timur dan Timur Laut dengan
kecepatan berkisar antara 0 - 0,215 m/s (rata-rata kecepatan arus 0,026 m/s). Gambaran mengenai pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi MSL menuju surut terendah disajikan pada Gambar 2. Kondisi yang berbeda terjadi saat permukaan laut mencapai kondisi surut terendah, karena arus akan cenderung bergerak dari selatan dan akan mengalami pembelokan akibat adanya gugusan karang ke arah barat laut dan timur laut. Kecepatan arus saat surut terendah dapat mencapai 0,994 m/s, dengan rata-rata 0,031 m/s. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi surut terendah disajikan pada Gambar 3. Saat permukaan laut berada dalam kondisi MSL menuju pasang tertinggi, pola arus cenderung mengitari gugusan karang menuju ke arah barat dan barat daya dengan kecepatan berkisar 0 - 0,728 m/s rata-rata 0,033 m/s. Pola arus saat kedudukan muka air MSL menuju pasang tertinggi disajikan pada Gambar 4. Saat muka air mencapai pasang tertinggi, kecepatan arus cenderung melemah dengan kecepatan arus berkisar antara 0 -0,222 m/s (rata-rata 0,032 m/s). Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi pasang tertinggi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 2. Pola Arus Saat MSL menuju Surut Terendah pada Musim Timur
Gambar 3. Pola Arus Saat Surut Terendah pada Musim Timur
Gambar 4. Pola Arus Saat MSL menuju Pasang Tertinggi pada Musim Timur
Gambar 5. Pola Arus Saat Pasang Tertinggi pada Musim Timur
Pola Arus Pada Musim Barat Hasil simulasi pola arus saat musim barat disajikan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 9. Saat kedudukan muka air berada pada kondisi Mean Sea Level (MSL) menuju surut terendah, pola arus cenderung bergerak dari arah barat menuju ke arah Timur dan Timur Laut dengan kecepatan berkisar antara 0-0,287 m/s (rata-rata kecepatan arus 0,036 m/s). Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi MSL menuju surut terendah disajikan pada Gambar 6. Saat permukaan air laut mencapai kondisi surut terendah, dimana pola arus akan cenderung bergerak dari arah selatan dan akan mengalami pembelokan akibat adanya gugusan karang ke arah barat laut dan timur laut. Kecepatan arus saat surut terendah dapat mencapai 0,995 m/s dengan kecepatan arus rata-rata adalah 0,029 m/s. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi surut terendah disajikan pada Gambar 7. Saat kondisi permukaan air laut berada pada MSL menuju pasang tertinggi, pola arus cenderung mengitari gugusan terumbu menuju ke arah barat dan barat daya dengan kecepatan berkisar 0-0,202
m/s dengan rata-rata 0,023 m/s. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi MSL menuju pasang tertinggi disajikan pada Gambar 8. Sedangkan pada saat muka air mencapai pasang tertinggi kecepatan arus cenderung melemah dengan kisaran 0-0,191 m/s (rata-rata 0,030 m/s). Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi pasang tertinggi disajikan pada Gambar 9.
Gambar 6. Pola Arus Saat MSL menuju Surut Terendah pada Musim Barat
Gambar 7. Pola Arus Saat Surut Terendah pada Musim Barat
Gambar 8. Pola Arus Saat MSL menuju Pasang Tertinggi pada Musim Barat
Gambar 9. Pola Arus Saat Pasang Tertinggi pada Musim Barat
Hasil Simulasi Aliran larva Hasil simulasi pergerakan larva selama 30 hari simulasi diperoleh untuk kondisi musim barat dan musim timur, yang disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Penetapan periode 30 hari tidak mempertimbangkan durasi larva pelagis yang dimiliki oleh spesies ikan terumbu saat selesai peristiwa pemijahan. Simulasi aliran larva ikan terumbu yang dihasilkan lebih ditekankan untuk mengetahui sebaran larva secara geospasial, yang mengindikasikan konektivitas potensial antar habitat ikan terumbu ontogeni.
Aliran Larva Pada Musim Timur (Juli 2011) Musim timur pada simulasi model aliran larva berlangsung pada bulan Juli 2012 selama 30 hari. Berdasarkan Gambar 10 diketahui bahwa sebaran larva ikan terumbu dari 17 titik yang ditetapkan sebagai source dapat bermuara di wilayah yang dekat dari stasiun pemijahan (SPG, BKAR, UPG), ataupun dapat bermuara jauh dari stasiun pemijahan (BDPG, BPG, UPR). Simulasi aliran larva yang digambarkan untuk masing-masing titik source (Gambar 10) menunjukkan bahwa 4 (empat) stasiun pemijahan berperan kurang potensial sebagai produsen larva ikan terumbu untuk daerah penelitian, yaitu SPR, UPR, KKEC, dan BPG. Simulasi pergerakan larva yang dihasilkan menunjukkan kondisi yang mengikuti aliran pola arus yang terjadi, yaitu bergerak ke arah timur laut dan barat daya. Berdasarkan hasil simulasi juga diketahui bahwa ada tujuh (7) stasiun pemijahan yang tidak memiliki konektivitas potensial berdasarkan simulasi pergerakan larva pada musim timur. Dengan demikian, cukup banyak aliran larva yang mengarah ke luar daerah penelitian dan tidak bermuara di habitat pemeliharaan yang ditetapkan. Sebaran larva ikan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10, pada musim timur utamanya terkonsentasi di wilayah tengah domain penelitian. Hal tersebut menunjukkan bahwa rataan terumbu Pulau Panggang, Gosong Pramuka, dan Pulau Karya berperan strategis sebagai daerah larva ikan terumbu bermuara.
Gambar 10. Pola Aliran Larva Pada Musim Timur
Aliran Larva pada Musim Barat (Januari 2012) Musim barat pada simulasi model aliran larva berlangsung pada bulan Januari 2012 selama 30 hari. Dari Gambar 11 diketahui bahwa sebaran larva ikan terumbu dari 17 titik yang ditetapkan sebagai sumber larva (source), utamanya bermuara di perairan Gosong Pramuka dan Pulau Pramuka. Simulasi aliran larva yang digambarkan untuk masing-masing titik source (Gambar 11) menunjukkan bahwa 4 (empat) stasiun pemijahan berperan kurang potensial sebagai produsen larva ikan terumbu untuk daerah penelitian, yaitu SPR, UPR, KKEC, dan BPG. Hal tersebut ditunjukkan oleh jalur pergerakan larva yang menuju ke luar daerah penelitian. Sebanyak 13 stasiun pemijahan memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni, karena jalur pergerakan larva selama 30 hari menunjukkan bahwa lintasan akhirnya bermuara di habitat padang lamun (rataan terumbu bagian dalam) yang ada di dalam domain penelitian. Simulasi pergerakan larva yang dihasilkan menunjukkan kondisi yang mengikuti aliran pola arus yang terjadi, yaitu bergerak ke arah timur dan timur laut. Selama periode bulan Januari 2012, diketahui bahwa kondisi pasang tertinggi dan surut terendah berlangsung dua kali yang frekuensinya cukup selaras dengan fase lunar (bulan purnama dan bulan mati). Amplitudo pasang dan surut yang tinggi membantu pergerakan dan sebaran larva di perairan laut, bahkan kondisi tekanan yang terkait amplitudo tinggi tersebut tak jarang menjadi pemicu berlangsungnya proses pemijahan di ikan terumbu. Faktor tersebut memediasi perpindahan larva ikan terumbu dari perairan luar terumbu memasuki rataan terumbu yang didalamnya terdapat hamparan padang lamun yang menjadi habitat pemeliharaan larva hingga tumbuh menjadi ikan juvenil. Dapat terlihat bahwa pada musim barat perairan rataan terumbu di barat dan utara Pulau Panggang, di barat Pulau Karya, di timur laut Gosong Pramuka, dan di utara Pulau Pramuka berperan sebagai sink larva atau muara akhir pergerakan larva melintasi habitat ontogeni (Gambar 11).
Gambar 11. Pola Aliran Larva Pada Musim Barat
Dari hasil simulasi dua musim, diketahui bahwa sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Hal tersebut dipengaruhi oleh lebih banyaknya stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial rendah terhadap habitat padang lamun di dalam sistem rataan terumbu. Mayoritas sebaran larva terkonsentrasi di sekitar perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka. Wilayah sink larva terdapat di timur Pulau Karya, serta di timur dan selatan Pulau Panggang yang mayoritas terdapat habitat padang lamun. Konektivitas potensial habitat menunjukkan adanya variasi secara geospasial berdasarkan kondisi musim, yang masing-masing dipengaruhi oleh dinamika arus permukaan, pasang surut, dan
angin. Leis (1991) menyatakan bahwa sebaran larva atau juvenil ikan terumbu di perairan pelagis dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu (1) fitur dan tingkah laku pemijahan ikan dewasa; (2) fitur oseanografi pada berbagai lingkup spasial/temporal dan interaksinya dengan topografi dasar perairan; (3) durasi periode planktonik; (4) tingkah laku larva, dan; (5) mortalitas dan laju pertumbuhan larva.
Kesenjangan Data-Informasi Bagi Pengelolaan Berbasis Ekosistem Observasi laut merupakan upaya teknis untuk mengkaji dinamika oseanografi, khususnya melalui pengukuran sejumlah parameter biologi, fisik, dan kimia. Secara langsung manfaat dari pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan perairan dan kondisi habitat di Kawasan Konservasi Laut. Yang lebih utama dari observasi laut adalah sebagai landasan ilmiah bagi pengelolaan berbasis ekosistem untuk perikanan berkelanjutan, serta untuk memahami dinamika sistem ekologi laut itu sendiri. Dalam pengelolaan berbasis ekosistem, variabilitas populasi ikan dan habitatnya perlu ditinjau secara terpisah antara faktor-faktor alam dan faktor terkait manusia. Faktor-faktor alam di perairan laut memiliki dinamika temporal tersendiri, mulai dari faktor yang variabilitasnya berubah secara harian (suhu, radiasi matahari dan pasang surut), inter-tahunan (angin muson, ENSO), hingga 10-tahunan (Sirkulasi Arus Pusar Pasifik). Faktor tersebut juga memiliki dinamika spasial, yang perlu dipetakan dalam skala detail untuk kawasan pesisir dan perairan laut dangkal untuk bisa mengetahui keberadaan kondisi khusus seperti rugositas, kanal antar pulau, dan lain-lain. Mengacu pada hasil yang diperoleh dari penelitian ini, ada dua hal yang menjadi kesenjangan utama dari cabang ilmu oseanografi untuk dijadikan komponen kunci dalam merumuskan pengelolaan berbasis ekosistem yakni tiada sistem observasi laut yang pengukurannya bersifat terus-menerus (continuous) yang dibutuhkan dalam mengkaji aspek dinamika oseanografi antar domain waktu yang berbeda. Hal lain yang juga sangat dibutuhkan sebagai landasan pengelolaan berbasis ekosistem adalah informasi geospasial yang memiliki resolusi spasial tinggi sehingga dapat menggambarkan domain ruang dalam sistem ekologi lebih mendekati kondisi nyata di alam dan bernas dalam menetapkan zonasi kawasan konservasi laut yang penting bagi kelangsungan siklus hidup sumberdaya ikan terumbu.
KESIMPULAN Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial berdasarkan kondisi musim, yang masing-masing dipengaruhi oleh dinamika arus permukaan, pasang surut, dan angin. Kawasan perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka memiliki konektivitas habitat ontogeni yang persisten sebagaimana ditunjukkan oleh simulasi sebaran larva pada musim barat dan timur. Sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Model aliran larva dapat digunakan dalam menjelaskan konektivitas habitat ontogeni secara fungsional, sebagaimana ditunjukkan oleh konektivitas antara habitat pemijahan di terumbu karang dengan habitat pemeliharaan di padang lamun.
PUSTAKA [DHI] Danish Hydraulic Institute. 2007. Hydrodynamic Module, Scientific Documentation. MIKE 21 Coastal Hydraulics and Oceanography. DHI Software. DHI] Danish Hydraulic Institute. 2007. Environmental Hydraulics Advection, Dispersion Module, scientific Documentation. MIKE 21 Coastal Hydraulics and Oceanography. DHI Software. Fiksen Ø, Jørgensen C, Kristiansen T, Vikebø F, Huse G. 2007. Linking behavioural ecology and oceanography: larval behavior determines growth, mortality and dispersal. Mar Ecol Prog Ser 347:195–205 Fogarty, M.J., L.W. Botsford, and F.E. Werner. 2013. Legacy of the US GLOBEC program: Current and potential contributions to marine ecosystem-based management. Oceanography 26(4):116– 127, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.79. Gaonkar CA, Samiksha SV, George G, Aboobacker VM, Vethamony P, Anil AC. 2012. Numerical simulations of barnacle larval dispersion coupled with field observations on larval abundance, settlement and recruitment in a tropical monsoon influenced coastal marine environment. J Mar Syst 94:218–231 George G, Vethamony P, Sudheesh K, Babu MT. 2011. Fish larval transport in a macro-tidal regime: Gulf of Kachchh, west coast of India. Fish Res 110:160–169 McLeod, K.L., J. Lubchenco, S.R. Palumbi, and A.A. Rosenberg. 2005. Scientific consensus statement on marine ecosystem-based management. Communication Partnership for Science and the Sea. Available online at: http://doc.nprb.org/web/BSIERP/EBM scientific statement.pdf (accessed January 3, 2014) Sadovy Y, Eklund AM. 1999. Synopsis of biological data on the Nassau grouper, Epinephelus striatus (Bloch, 1792), and the jewfish, E. itajara (Lichtenstein, 1822). NOAA Technical Report NMFS-146 Stephens SA, Broekhuizen N, Macdiarmid AB, Lundquist CJ, McLeodand L, Haskew R. 2006. Modelling transport of larval New Zealand abalone (Haliotisiris) along an open coast. Mar Freshw Res 57:519–532 Tsanis, et al. 2007. Environmental Hydrulics : Hydrodynamic and Pollutant Transport Modelling of Lakes and Coastal Waters. Elsevier Science Publishing Company. Amsterdam, The Netherlands