PROGRAM INTERVENSI KEMANUSIAAN BAGI PEMBINAAN NARAPIDANA Oleh Mochamad Rifai Alumni Program Pascasarjana Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Bekerja pada Bareskrim Mabes Polri
ABSTRACT This paper This paper reviews briefly about the need for humanitarian intervention programs for training inmates. The limit in this paper include: correctional policy (Correctional policy); effectiveness of intervention programs; and intervention programs (humanity) are effective. Key word: Intervention program, guidance for prisoners
PENDAHULUAN Penjatuhan pidana bagi seorang pelanggar hukum pada hakikatnya tidaklah sebagai suatu perbuatan balas dendam oleh negara, melainkan sebagai imbangan atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Dengan hal tersebut nantinya diharapkan akan menghasilkan kesadaran si-pelanggar hukum tersebut melalui pemberian pembinaan (treatment) di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Untuk konteks Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan diulangi tindak pidana oleh narapidana. Dalam kerangka tersebut, metode pembinaan pemasyarakatan yang digunakan ialah pembinaan bersifat persuasif dengan berusaha merubah "tingkah-lakunya"nya. Merujuk pada realitas pembinaan yang ada saat ini, program pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan masih perlu dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan usaha-usaha terwujudnya pola perlakuan yang baru bagi narapidana sesuai dengan prinsip pemasyarakatan di Indonesia. Salah satu usaha tersebut diantaranya adalah diperlukannya program intervensi kemanusiaan dalam proses pembinaan narapidana. Tulisan ini mengulas secara singkat tentang perlunya program intervensi kemanusiaan bagi pembinaan narapidana. Adapun batasan dalam tulisan ini mencakup: kebijakan pemasyarakatan (correctional policy); efektifitas program intervensi; dan program intervensi (kemanusiaan) yang efektif.
150
Program Intervensi Kemanusiaan bagi Pembinaan Narapidana
Kebijakan Pemasyarakatan (Correctional Policy) O'Leary dan Duffe dalam McCarthy (Chuldun, 2005) mengidentifikasi empat model kebijakan pemidanaan/pemasyarakatan, diantaranya: pengekangan (restraint), pemulihan (reform), rehabilitasi (rehabilitation) dan reintegrasi (reintegration). 1. Pengekangan (Restrain) Dalam kebijakan koreksi ini adalah narapidana ditempatkan di penjara demi kepentingan pengendalian (control). Kebijakan koreksi ini menganggap bahwa seseorang akan berubah jika ia memang ingin berubah. Maka dalam hal ini, petugas penjara tidak diharapkan menjadi seorang agen perubah. Adapun pembinaan (upaya merubah atau memperbaiki perilaku terpidana) tidak diperhatikan. Petugas penjara tidak menjalankan fungsi pembinaan (treatment) tetapi semata-mata hanya menjalankan fungsi pengamanan. 2. Pemulihan (Reform) Pemulihan menekankan pada keselamatan atau keamanan masyarakat. Tujuan utama dari koreksi model ini adalah melindungi masyarakat. Selain untuk mengisolasi dan mengontrol narapidana, tujuan koreksi model ini juga untuk menanamkan kebiasaankebiasaan tertentu seperti keterampilan kerja sehingga nantinya, narapidana tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat. Jika pada model koreksi pengekangan (restrain) mengesampingkan unsur treatment, maka pada model koreksi ini, telah memasukkan unsur pembinaan (treatment), walaupun pembinaan yang dilakukan lebih untuk kepentingan institusi atau masyarakat, bukan untuk kepentingan narapidana. 3. Rehabilitasi (Rehabilitation) Model koreksi rehabilitasi memiliki strategi: fokus pada perubahan individu pelanggar sehingga mereka tidak akan melanjutkan kegiatan kriminal mereka. Model rehabilitasi ini berpendapat bahwa terpidana adalah orang yang mempunyai kekurangankekurangan yang harus diperbaiki sama halnya seperti orang sakit yang harus diobati. Pembinaan berdasarkan rehabilitasi pada dewasa ini mendapat sorotan-sorotan yang tajam antara lain disebabkan oleh fokusnya terlalu diarahkan kepada individu, namun unsur masyarakat tidak atau kurang diikutsertakan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pembinaannya. 4. Reintegrasi (Reintegration) Tujuan dari pembinaan menurut pola reintegrasi sosial adalah pemulihan kesatuan hubungan hukum ini mengandung unsur perdamaian yang dapat terus belangsung bukan merupakan perdamaian yang bersifat sementara saja. Reintegrasi mempunyai tujuan perdamaian yang diusahakan melalui proses interaksi antara pelaggar hukum dan masyarakat. Efektifitas Program Intervensi Bila terdapat seorang terpidana yang telah dilakukan pembinaan (treatment) kepadanya (dengan harapan menghasilkan kesadaran hukum dan tidak mengulangi atau melakukan kembali tindak kejahatan) tetapi si-terpidana tersebut tetap melakukannya. Maka dalam hal ini dapat dilakukan pencermatan terhadap program-program intervensi yang digunakan dalam pembinaan. Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 150-155
151
Dalam hal ini, Latessa mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memprediksi kemungkinan terpidana akan mengulangi atau melakukan kembali tindak kejahatan. Lima prediktor utama tersebut adalah (1) Antisosial terhadap nilai-nilai yang berlaku (antisocial values); (2) Antisosial terhadap kelompok sebaya (antisocial peers); (3) Lemahnya pengendalian diri, manajemen diri, dan keterampilan memecahkan masalah (Poor self control, self management, and problem solving skills), (4) Disfungsi keluarga (family dysfunction), dan; (5) Kriminalitas masa lalu (past criminality). Lebih dari itu Latessa juga mengkritisi lahirnya program intervensi bagi narapidana yang dinilainya tidak efektif. Menurutnya, ketika pembuat kebijakan dan lembaga koreksi membuat keputusan tentang program intervensi untuk para terpidana, mereka tidak memiliki teori tentang bagaimana program ini yang dilahirkan nantinya dapat bekerja. Akhirnya program tersebut tidak memiliki bukti efektivitas yang nyata. Hal ini dapat terjadi dikarenakan parapembuat kebijakan dan pejabat koreksi tersebut hanya bergantung pada teori tentang kejahatan dan kriminalitas tanpa memperhitungkan faktor-faktor produksi yang ikut menciptakan atau lahirnya tindak kejahatan. Program Intervensi (Kemanusiaan) yang Efektif Berdasarkan bukti yang tersedia, beberapa pendekatan untuk treatment tertentu terhadap narapidana jelas lebih baik daripada yang lain. Para peneliti psikologis menekankan bahwa program treatment yang efektif harus mengikuti beberapa prinsip dasar (Gendreau & Ross 1979, 1987; Cullen & Gendreau 1989). Pertama, treatment harus secara langsung menuju pada karakteristik yang dapat diubah (dinamis) dan yang secara langsung berhubungan dengan perilaku kriminal individu (faktor criminogenic). Faktor kedua yang penting dalam menentukan apakah suatu program treatment akan efektif adalah program terapi yang saling terintegritas. Implementasi program treatment yang buruk, hampir tidak dapat mengurangi residivisme. Faktor ketiga dalam pemrograman yang efektif adalah bahwa program harus menargetkan para pelanggar yang ‘berisiko cukup’ untuk tidak menjadi residivisme sehingga pengurangan ini dapat diukur. Banyak pelanggar ‘risiko rendah’ menjadi residivisme di masa depan mereka. Prinsip akhir dari treatment yang efektif adalah kebutuhan untuk memberikan perlakuan dalam gaya dan mode yang sesuai dengan gaya belajar dan kemampuan dari para pelanggar. Sebagai contoh, program lebih efektif mengikuti pendekatan yang bersandar pada kognitif perilaku dan sosial daripada konseling nondirective yang berorientasi pada hubungan atau psiko-dinamis, konseling berorientasi wawasan (MacKenzie, 1998). Harsono (1995) lebih menyoroti aspek pendekatan yang digunakan dalam mengintervensi program pembinaan kepada narapidana. Menurutnya pembinaan narapidana dengan top down approach tidaklah efektif sama sekali. Maka, orientasi pembinaan semacam itu harus diubah, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana berdaya guna dan berhasil guna, seperti yang diharapkan lembaga pemasyarakatan. Pembaharuan orientasi pembinaan narapidana tersebut berubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up approach adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana, setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui tingkat pengetahuan, keahlian dan hasrat belajarnya. Dengan memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana. Pada pertengahan pembinaan, perlu diadakan mid test untuk mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil dan diakhiri pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan. 152
Program Intervensi Kemanusiaan bagi Pembinaan Narapidana
Lebih lanjut, Latessa menandaskan pendapatnya berdasar pada sebuah badan penelitian yang menunjukkan beberapa langkah pemberian treatment bagi terpidana, diantaranya: 1. Menilai kebutuhan dan risiko para pelanggar (assess offenders’ needs and risks). Langkah pertama dalam memberikan treatment kepada para pelanggar adalah menilai risiko dan kebutuhan setiap individu. Baru-baru ini, peneliti telah mengembangkan instrumen yang efektif untuk mengklasifikasikan pelaku untuk risiko residivisme. Instrumen ini bekerja dengan menilai kombinasi dari faktor "statis" (seperti sejarah kriminal) dan faktor "dinamis" (seperti perilaku antisosial dan asosiasi kelompok sebaya) yang telah ditunjukkan untuk memprediksi mengulangi tindak pidana. 2. Menggunakan model treatment yang terbukti efektif (use treatment models that are proven effective). Semakin banyak model treatment untuk para pelanggar yang berbeda telah menunjukkan keberhasilan untuk mengurangi kemungkinan bahwa seseorang akan kembali atau mengulangi tindak kejahatan. Beberapa model tersebut meliputi: a) Terapi fungsional keluarga (functional family therapy): model yang mempromosikan kohesi keluarga dan kasih sayang. b) Terapi multisistemik (multisystemic therapy): suatu pendekatan perilaku terintegrasi yang menargetkan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan sistem sosial lainnya. c) Program Equip (the equip program): sebuah program yang menggunakan budaya kelompok sebaya yang positif untuk mengajar pemuda untuk berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab dengan menargetkan pemikiran yang menyimpang dan kemampuan pemecahan masalah yang lemah. d) Menyiapkan program kurikulum (the prepare curriculum program): sebuah program yang membantu para pelanggar belajar keterampilan sosial yang baru dan mempersiapkan mereka untuk masuk kembali ke dalam masyarakat. e) Pelayanan terpadu (integrated service delivery): suatu model yang menargetkan aspek berpikir kriminal, kemarahan, dan penyalahgunaan zat. f) Pembinaan Perilaku Kognitif (cognitive behavioral treatment): intervensi yang menargetkan pada berpikir kriminal dan kurangnya keterampilan sosial (misalnya berpikir untuk perubahan, penalaran dan rehabilitasi, aggression replacement therapy). 3. Mempekerjakan "3 C" yang efektif koreksi (employ the “3 C’s” of effective corrections): a) Mempekerjakan orang terpercaya (credentialed people); b) Memastikan bahwa badan tersebut adalah terpercaya dengan melihat prinsip-prinsip keadilan dan peningkatan mutu kehidupan (credentialed by seeing), dan; c) Keputusan pemberian treatment berdasarkan pengetahuan yang terpercaya, yaitu, highquality, informasi berbasis penelitian (credentialed knowledge). 4. Memahami prinsip-prinsip intervensi yang efektif (understand the principles of effective intervention). Seperti tercantum dalam Tabel 1 berikut adalah program yang mematuhi prinsip-prinsip intervensi yang telah ditemukan untuk mencapai pengurangan yang berarti akan terjadinya residivisme.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 150-155
153
Tabel 1. Delapan Prinsip Intervensi Pemasyarakatan Efektif 1. Menciptakan lingkungan yang positif (create a positive environment): fasilitas treatment bagi para pelanggar harus memiliki tujuan yang jelas untuk para penyedia layanan. Fasilitas para staf yang kohesif dan terlatih serta memiliki akses ke sumber daya luar memadai. 2. Desain program yang kuat (design a strong program): program harus mencerminkan satu set nilai yang konsisten. Program ini harus didasarkan pada tinjauan menyeluruh terhadap setiap aktivitas treatment. 3. Membangun staf yang berkualitas tinggi (build a high-quality staff): direktur program dan staf perawatan secara profesional terlatih dan berpengalaman. Staf yang dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam proses rehabilitasi dan pemahaman mereka tentang terapi yang efektif bagi pelanggar. 4. Memahami kebutuhan pelaku (understand offenders’ needs): Para pelanggar dievaluasi pada tingkat risiko dengan alat penilaian diuji. Penilaian juga terlihat pada bagaimana para pelanggar merespon dengan berbagai gaya dan cara pelayanan, dan diulang dari waktu ke waktu untuk menentukan apakah perubahan dalam rutinitas pemberian treatment diperlukan. 5. Target yang berhasil (target what works): Terapi harus memasukkan imbalan lebih dari hukuman dan harus menyusun strategi cara untuk mencegah kambuh kembali setelah pelanggar menyelesaikan fase treatment formal. 6. Mendemonstrasikan praktek yang baik (demonstrate good practice): pemberian treatment termasuk latihan dalam teknik pemecahan masalah, skill-buliding, penggunaan yang tepat akan otoritas, dan relationshipbuilding. 7. Berkomunikasi dengan pihak lain (communicate with others): Badan penyelenggara treatment membuat arahan dan jika diperlukan, layanan advokasi untuk para pelanggar untuk membantu mereka menerima layanan highquality di masyarakat. 8. Evaluasi kemajuan (evaluate progress): Program ini secara rutin dilakukan guna mengevaluasi efektifitas akan treatment yang telah diberikan, baik antara staf dan klien, dan menindaklanjuti untuk menentukan apakah para pelanggar berhasil dalam menjauhi dari tindakan kejahatan.
PENUTUP Lembaga pemasyarakatan memegang peranan yang strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana (SPP), yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan (supresion of crime). Tulisan di atas telah mengulas secara singkat bentuk-bentuk model pembinaan (treatment) 154
Program Intervensi Kemanusiaan bagi Pembinaan Narapidana
sampai dengan beberapa program intervensi bagi narapidana. Kecenderungan yang terjadi adalah pemberian treatment (melalui program intervensi yang ada saat ini) yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan belum berjalan secara optimal. Oleh karenanya, diperlukannya program intervensi kemanusiaan dalam proses pembinaan narapidana. Program intervensi kemanusiaan yang dimaksud yakni pembinaan dengan memerhatikan aspek psikologis para narapidana; penggunaan bottom up approach (kebutuhan belajar narapidana); dan juga penggunaan model treatment yang terbukti efektif (terapi fungsional keluarga, terapi multisistemik, pembinaan perilaku kognitif, dan sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA Harsono, C.I. HS. 1995. Sistem baru pembinaan narapidana. Jakarta: Djambatan. Mustofa, Muhammad. 2007. Kriminologi kajian sosiologi terhadap kriminalitas perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum. Depok: FISIP UI Press.
Sumber Lainnya: Chuldun, Ibnu. 2005. Peranan lapas terbuka dalam pembinaan narapidana sebagai upaya reintegrasi sosial dan pelaksanaan community-based treatment. Tesis. Program Pascasarjana Studi Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. MacKenzie, Doris Layton, et.all. 1998. An examination of the effectiveness of the type of rehabilitation programs offered by washington state department of corrections. University of Maryland: Department of Criminology and Criminal Justice. http://www.ccjs.umd.edu/corrections/What%20Works%20In%20Corrections.htm Latesssa, Edward J. Promoting public safety through effective correctional interventions: what works and what doesn’t?. University of Cincinnati. http://www.familyimpactseminars.org/s_wifis19c04.pdf Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 150-155
155