PROFIL PETERNAKAN DOMBA RAKYAT DI DESA CIBANTENG DAN DESA CIKARAWANG
AI ANIS NURLATIFAH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Peternakan Domba Rakyat di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Ai Anis Nurlatifah NIM D14110098
ABSTRAK AI ANIS NURLATIFAH. Profil Peternakan Domba Rakyat di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang. Dibimbing oleh M YAMIN dan LUCIA CYRILLA ENSD. Peternak domba rakyat memiliki pengalaman yang baik dalam memelihara domba tetapi rendah manajemen terutama dalam aspek finansial yang dapat menggambarkan dan memengaruhi untung dan ruginya usaha. Penelitian ini bertujuan menerangkan kondisi umum dan mengaji aspek finansial kegiatan usaha peternakan domba rakyat di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang. Tiga puluh peternak responden dari setiap desa diwawancara, dan diklasifikasi menjadi dua kategori (skala I dan skala II) berdasarkan jumlah domba. Data tersebut dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penerimaan tunai peternak Desa Cibanteng ialah Rp 4 894 737 per tahun (skala I) dan Rp 9 000 000 per tahun (skala II), sedangkan di Desa Cikarawang rata-rata penerimaan tunai peternak ialah Rp 3 642 857 per tahun (skala I) dan Rp 8 000 000 per tahun (skala II). Meskipun mendapatkan untung secara tunai, tetapi sebenarnya peternak berada pada kondisi rugi dan belum produktif, ditunjukkan dari jumlah penjualan domba
ABSTRACT AI ANIS NURLATIFAH. Profile of Small Sheep Farming in Cibanteng and Cikarawang Villages. Supervised by M YAMIN and LUCIA CYRILLA ENSD. Traditional farmers have good experience in sheep farming but they still have weakness in management, especially in financial aspects in measuring business profit and loss. This research was purposed to explaining general condition and examinating financial aspect of sheep traditional farm in two villages Cibanteng and Cikarawang. Thirty farmer respondents from each village were interviewed, and clasified into two categories (scale I and scale II) based on average number of sheep. Data were analyzed by description method. The result showed that average of farmer’s cash revenue in Cibanteng Village were Rp 4 894 737 per year (scale I) and Rp 9 000 000 per year (scale II); average of farmer’s cash revenue in Cikarawang Village were Rp 3 642 857 per year (scale I) and Rp 8 000 000 per year (scale II). Although they had got profit by cash revenue, actually they was in loss condition and not productive yet, shown by number of sale
calculated (non-cash of cost production) so that was still a profitable farm activity. By assumption of potential production coefficient, 77 sheep must be sold per year to made equivalent profit with Bogor regional minimum wage by maintaining 38 ewes at the beginning of year and supported by implementation of good farming practices (GFP). Key words: benefit target, financial analysis, sheep, traditional sheep farm
PROFIL PETERNAKAN DOMBA RAKYAT DI DESA CIBANTENG DAN DESA CIKARAWANG
AI ANIS NURLATIFAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Alhamdulillaahirobbil’aalamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Penelitian mengenai peternakan domba rakyat ini dimaksudkan untuk memberi gambaran umum kondisi peternakan dengan sistem pemeliharaan tradisional, terutama kaitannya dengan beberapa aspek finansial peternak. Skripsi dengan judul Profil Peternakan Domba Rakyat di Desa Cibanteng dan Cikarawang ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis sejak bulan Januari sampai Februari 2015 di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea dan Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga, Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat (baik langsung ataupun tidak) dalam seluruh kegiatan tugas akhir penulis; kepada Bapak Dr Ir M Yamin, MAgrSc dan Ibu Ir Lucia Cyrilla ENSD, MSi selaku pembimbing tugas akhir, Bapak Edit Lesa Aditia, SPt MSc selaku dosen penguji, Ibu Ir Sri Rahayu, MSi selaku dosen ketua tim penelitian, Bapak M Baihaqi, SPt MSc selaku pembimbing akademik penulis, rekan anggota tim penelitian (Imam, Farah, Hartanto, Deny, Dwiki, Alfian, Faqih, Putut, dan Andika Gilang), Departemen IPTP dan Fakultas Peternakan IPB, serta Pak Ujang yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Mamah, Bapak, adik-adik, dan seluruh keluarga besar penulis atas doa, kasih sayang, semangat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga besar Pondok Pesantren Arriyadh, Direktorat PD-Pontren Kementerian Agama, Tim BUD-IPB, keluarga besar CSS MoRA IPB, CSS MoRA 48, TPB P22-2011, rekan IPTP 48, tim asisten praktikum PKTT, keluarga besar Ibu drg Mimar Hayati, dan kepada banyak pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini belum sempurna, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan karya selanjutnya. Semoga hasil penelitian dan karya tulis ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Agustus 2015 Ai Anis Nurlatifah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup Penelitian METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan Alat Prosedur Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan Peternak Responden Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Umum Peternak Domba di Lokasi Penelitian Umur Peternak Lama Memelihara Ternak Domba dan Sumber Informasi Teknis Pendidikan Peternak Mata Pencaharian Utama Peternak Karakteristik Umum Usaha Ternak Domba di Lokasi Penelitian Bangsa Domba Kepemilikan Ternak Domba Pakan, Sarana, Peralatan, dan Perlengkapan Penjualan Ternak Domba Metode Pemeliharaan Analisis Finansial Usaha Ternak Domba di Lokasi Penelitian Penerimaan dan Pendapatan Peternak BEP Produksi Domba Analisis R/C ratio Peluang Pengembangan Usaha SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi 1 1 2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 5 5 6 7 7 8 9 9 9 10 11 12 13 14 14 15 15 16 17 18 21 25
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Populasi ternak domba tahun 2009-2013 (ekor) Jumlah rumah tangga pertanian di Jawa Barat tahun 2013 Karakteristik umum peternak di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang Rata-rata kepemilikan ternak domba (ekor) Rata-rata luasan kandang domba (m2) Rata-rata penjualan ternak domba tahun 2014 (ekor) Rata-rata penerimaan peternak tahun 2014 Rata-rata pendapatan peternak tahun 2014 Rata-rata BEP produksi domba tahun 2014 (ekor) Rata-rata R/C ratio peternakan domba tradisional Jumlah penjualan domba per tahun berdasarkan analisis target laba
1 1 6 10 11 12 14 15 15 16 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Perhitungan klasifikasi peternak Tampilan ternak domba Tampilan kandang domba Peta lokasi penelitian
21 22 23 24
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia penyumbang produksi daging terbesar ke-3 setelah unggas dan sapi. Populasi domba di Jawa Barat tahun 2009-2013 terus meningkat, dan menyimpan sebesar 61.47% dari populasi domba Nasional (Disnak Jabar 2013). Adapun populasi domba di Kabupaten Bogor tahun 2010-2013 mengalami penurunan, tetapi data pemasukkan domba bakalan dan siap potong ke wilayah tersebut terus meningkat. Hal ini salah satunya dipengaruhi letak wilayah Bogor yang stategis sebagai lokasi produksi untuk memenuhi kebutuhan produk daging domba di beberapa daerah, yaitu DKI Jakarta, Banten, Lampung, dan Sumatera Selatan (BPS Jabar 2013). Tabel 1 Populasi ternak domba tahun 2009-2013 (ekor) Tingkat Jawa Barat Kab. Bogor
2009 5 817 834 278 608
2010 6 275 299 280 798
2011 7 041 437 221 873
2012 8 249 844 214 408
2013 9 391 590 203 373
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2013 (data diolah)
Bunyamin (2009) menyatakan ternak domba memiliki prospek yang lebih baik dimasa yang akan datang salah satunya karena domba dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, agama, dan kepercayaan manapun di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yamin et al. (2014) bahwa peluang pengembangan usaha domba sangat besar karena beberapa potensi pendukung antara lain aspek sosial (memelihara domba sudah menjadi budaya di masyarakat), sumber protein berupa daging yang digemari, relatif mudah dipelihara, dan bersifat prolifik (jumlah anak lebih dari satu ekor per kelahiran). Pemeliharaan domba di Jawa Barat lebih banyak dilakukan oleh rumah tangga petani dan termasuk kategori peternak domba rakyat. Tahun 2013 di Jawa Barat terdapat sebanyak 10 177 127 rumah tangga petani (RTP), adapun peternakan termasuk 4 besar sub sektor yang banyak diusahakan oleh RTP yaitu sebanyak 11.71% setelah sektor pertanian (30.05%), sub sektor tanaman pangan (24.49%), dan sub sektor hortikultura (12.34%). Tabel 2 Jumlah rumah tangga pertanian di Jawa Barat tahun 2013 Sektor /Subsektor
RTP
%
Sektor Pertanian Sub sektor Tanaman Pangan Sub sektor Hortikultura Sub sektor Peternakan Sub sektor Kehutanan Sub sektor Perkebunan Sub sektor Perikanan
3 058 612 2 492 459 1 255 717 1 191 661 1 073 535 782 936 322 207
30.05 24.49 12.34 11.71 10.55 7.69 3.17
Jumlah
10 177 127
100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2013 (data diolah)
2 Peternak domba rakyat adalah kategori peternak yang memelihara domba dengan sistem pemeliharaan sederhana dan banyak dilakukan oleh masyarakat di daerah pedesaan. Salah satu ciri peternak rakyat adalah skala pemeliharaan masih kecil dan usaha yang dilakukan belum mencapai tingkat efisien. Masfufatun (2008) menyatakan bahwa pemeliharaan domba oleh peternak desa merupakan usaha sekunder. Sistem pemeliharaan ternak domba yang dilakukan peternak rakyat juga sangat tergantung pada kondisi dan ketersediaan sumber daya alam, terutama hijauan sebagai pakan utama domba. Kendala lain dari peternak domba rakyat yaitu tidak memerhatikan aspek lain dari pemeliharaan seperti pencatatan yang mengakibatkan analisis dan evaluasi usaha sulit dilakukan. Hadiyanto (2009) menyatakan pengetahuan peternak rakyat lebih dominan pada aspek teknis pemeliharaan, tetapi menganggap pengetahuan terkait peternakan domba kurang penting. Pencatatan adalah hal yang penting dalam kegiatan usaha karena merupakan rekam jejak yang dapat digunakan untuk evaluasi usaha. Salah satu evaluasi usaha dapat dilakukan dengan melakukan analisis finansial sederhana yang didasarkan pada perhitungan penerimaan peternak dari pemeliharaan domba yang dilakukan. Penelitian mengenai peternakan domba rakyat di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea dan Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor masih jarang dilakukan. Dua desa tersebut dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan hasil survei awal yang menunjukkan bahwa jumlah peternak domba rakyat di dua desa tersebut cukup banyak. Selain itu dua desa tersebut terletak berdekatan meskipun berada pada otonomi daerah yang berbeda. Penelitian ini menguraikan kondisi peternakan domba rakyat yang ada di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang secara umum, serta beberapa analisis yang berkaitan dengan aspek finansial peternakan domba yang dilakukan.
Tujuan Tujuan penelitian ini yaitu menggambarkan kondisi umum dan mengkaji aspek finansial usaha peternakan domba rakyat di Desa Cibanteng Kecamatan Ciapea dan Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi profil umum peternak, kondisi dan kegiatan pemeliharaan domba, serta analisis finansial yang meliputi penerimaan, perhitungan biaya, pendapatan peternak dari usaha pemeliharaan domba, serta analisis titik impas /Break Event Point (BEP) produksi dan Revenue and Cost ratio (R/C ratio).
3
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2015, bertempat di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea dan Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan sekumpulan informasi yang didapatkan dari unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, monografi desa, dan informasi lain yang dihasilkan dari studi literatur. Data primer merupakan data yang dihasilkan dari wawancara responden dan informan secara langsung.
Alat Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu alat tulis, kuesioner, program olah data Microsoft Excel, dan alat perekam suara.
Prosedur Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data populasi ternak di desa lingkar kampus IPB Dramaga yang diperoleh dari UPT Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, kemudian dilakukan survei awal untuk mengetahui jumlah aktual peternak domba di lapangan. Ditentukan dua desa sebagai lokasi penelitian dengan metode purposive sampling (sampel terpilih) berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan, yaitu Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang. Kedua desa tersebut dipilih berdasarkan kriteria antara lain jumlah peternak domba cukup banyak, lokasi mudah dijangkau, tersedianya informan, serta adanya peternak domba yang bersedia menjadi responden. Informan adalah pihak yang berperan sebagai pemberi informasi tentang kondisi lokasi penelitian serta penghubung antara peneliti dengan responden (Morissan 2012). Penentuan Peternak Responden Sebanyak 60 orang peternak domba dijadikan sampel responden (30 orang responden dari masing-masing Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang) dengan menggunakan metode purposive sampling, kemudian dikelompokkan berdasarkan kepemilikan ternak domba menggunakan metode kelas interval. Survei dan wawancara dilakukan dengan melibatkan informan untuk mengonfirmasi kesediaan peternak menjadi responden. Wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan pada kuesioner yang telah disediakan.
4 Analisis Data Analisis Deskriptif. Metode analisis deskriptif menggambarkan kondisi peternakan domba di lokasi penelitian secara umum meliputi karakteristik peternak, komponen pemeliharaan domba, dan kegiatan pemeliharaan domba yang dilakukan peternak. Peternak dikelompokkan berdasarkan kepemilikan ternak domba dengan metode perhitungan interval, yaitu menggunakan persamaan: Panjang kelas = Keterangan :
(Xmax - Xmin) Rentang = Kelas interval 1+ (3.3)log n
Xmax = Jumlah terbesar domba yang dimiliki peternak Xmin = Jumlah terkecil domba yang dimiliki peternak n = Jumlah peternak responden
Analisis Finansial. Analisis finansial dilakukan dengan menghitung penerimaan dan pendapatan peternak yang melakukan penjualan selama satu tahun terakhir. Peternak responden Desa Cibanteng yang menjual ternak domba sepanjang tahun 2014 yaitu sebanyak 23 orang dan peternak responden Desa Cikarawang sebanyak 24 orang. Penerimaan usaha peternakan domba dihitung menggunakan persamaan berikut: TR = Y x Py Adapun pendapatan peternak dari kegiatan usaha ternak dihitung dengan persamaan: ∏ = TR - TC Keterangan :
TR Y Py ∏ TC
= Penerimaan total /total revenue (Rp) = Jumlah domba yang harus dijual (ekor) = Harga jual domba yang berlaku (Rp) = Keuntungan /laba (Rp) = Biaya total /Total Cost (Rp)
Titik impas /Break Event Point (BEP) menggambarkan peternak dalam kondisi belum mendapat keuntungan namun juga tidak mengalami kerugian saat total pendapatan sama dengan total biaya. Titik impas produksi usaha ternak domba dalam satuan ekor dihitung dengan persamaan berikut (Samryn 2012): BEP produksi =
Biaya total Harga output
Jumlah produksi domba sebagai skala usaha pokok dengan target laba tertentu dapat dihitung dengan persamaan : Π* Y= (Py - ATC)
5 Keterangan : Y ∏* Py ATCy
= = = =
Jumlah domba yang harus dijual per tahun (ekor) Target laba yang diinginkan (Rp) Harga jual domba yang berlaku (Rp) Biaya produksi rata-rata per ekor domba (Rp /ekor)
Penjualan domba dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemeliharaan induk produktif, yaitu dengan program pengembangbiakan berdasarkan sifat reproduksi induk domba, sehingga jumlah induk domba yang harus dipelihara peternak di awal tahun dapat dihitung dengan mengembangkan persamaan (Soetopo 2008; Yamin et al. 2014): Y = (I x Ls x Fk) - M Keterangan :
Y I Ls Fk M
= = = = =
Jumlah domba yang harus dijual per tahun (ekor) Jumlah induk yang harus dipelihara di awal tahun (ekor) Litter size rata-rata domba (ekor per induk per tahun) Frekuensi kelahiran per induk per tahun Mortalitas domba yang dipelihara
Perhitungan dapat dilakukan berdasarkan asumsi rata-rata litter size domba lokal sebesar 1.5 ekor anak per induk per tahun, rata-rata frekuensi kelahiran per tahun 1.5 kali, dan mortalitas maksimal 10% (Sitopoe 2008, Yamin et al. 2014). Produktivitas peternakan domba berdasarkan perbandingan penerimaan dan biaya produksi atau R/C ratio (Revenue and Cost ratio) dihitung dengan persamaan (Shinta 2011): R (Y x Py) = C (Y x ATCy) Keterangan :
Y Py ATCy
= Jumlah domba yang harus dijual (ekor) = Harga jual domba yang berlaku (Rp) = Biaya produksi rata-rata (Rp /ekor domba)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Cibanteng termasuk Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 170.97 ha, dengan rata-rata suhu lingkungan antara 26 – 30 oC. Desa Cibanteng terdiri dari 41 rukun tetangga (RT) yang tersebar di dalam 8 rukun warga (RW). Desa Cibanteng berbatasan langsung dengan Desa Benteng (sebelah utara), Desa Cihideung Ilir dan Desa Cihideung Udik (sebelah selatan), Desa Bojong Jengkol dan sebagian Desa Benteng (sebelah barat), serta berbatasan dengan Desa Babakan (sebelah timur, dibatasi pula oleh sebagian Sungai Ciapus). Mengacu pada penelitian Rosalita (2014) penduduk Desa Cibanteng terdiri dari 8 517 orang lakilaki (51.3%) dan 8 086 orang perempuan (48.7%).
6 Desa Cikarawang termasuk Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 226.56 hektar. Sebagian besar Desa Cikarawang berupa dataran dan persawahan yang berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane (sebelah utara), Sungai Ciapus (sebelah selatan), Sungai Ciaduan /pertemuan Sungai Ciapus dan Cisadane (sebelah barat), dan Kelurahan Situ Gede sebelah timur). Berdasarkan luas dan kondisi lahan, banyaknya sumber air, serta daya dukung lingkungan diperkirakan Desa Cikarawang lebih berpotensi untuk pengembangan peternakan domba. Masyarakat di Desa Cikarawang juga lebih banyak yang bekerja di bidang pertanian dibandingkan masyarakat Desa Cibanteng, salah satunya yaitu menanam ubi jalar. Limbah pertanian ubi jalar ini dapat menjadi salah satu alternatif tambahan pakan bagi ternak domba. Adapun di Desa Cibanteng (saat penelitian dilakukan) terlihat banyak dilakukan pembangunan infrasturktur dan bangunan di sebagian besar wilayah desa terutama di bagian selatan yang berbatasan dengan jalan utama kabupaten. Apabila akan dilakukan pengembangan peternakan di Desa Cibanteng lebih mungkin dilakukan di wilayah desa bagian utara dan timur.
Karakteristik Umum Peternak Domba di Lokasi Penelitian Karakteristik umum peternak digambarkan berdasar pada kondisi sosial responden, meliputi umur peternak, lama pemeliharaan domba yang sudah dilakukan dan sumber informasi mengenai teknis pemeliharaan domba, tingkat pendidikan peternak, serta mata pencaharian utama peternak (Tabel 3). Tabel 3 Karakteristik umum peternak di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang Karakteristik Umur peternak Rataan Pengalaman memelihara domba Rataan Pendidikan peternak Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Total Mata pencaharian peternak Peternak Petani Buruh /tukang Berdagang Jasa Total
Desa Cibanteng Skala I 45.00 11.59 18.52 66.67 11.11 3.70 100.00 7.41 11.11 40.74 29.63 11.11 100.00
Skala II
Desa Cikarawang Skala I
(tahun) 65.33 47.08 (tahun) 26.33 10.94 (%) 66.67 15.38 33.33 50.00 0.00 15.38 0.00 19.23 100.00 100.00 (%) 75.00 23.08 25.00 23.08 0.00 30.77 0.00 11.54 0.00 11.54 100.00 100.00
Skala II 44.50 14.88 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00 50.00 25.00 0.00 25.00 0.00 100.00
7 Umur Peternak Peternak domba di Desa Cibanteng rata-rata berumur 45.00 tahun (peternak skala I) dan 65.33 tahun (peternak skala II), sedangkan di Desa Cikarawang ratarata peternak berumur 47.08 tahun (peternak skala I) dan rata-rata berumur 44.50 tahun (peternak skala II). Konsep sederhana mengenai umur produktif adalah penduduk yang dapat membantu kelancaran ekonomi dan pembangunan di suatu wilayah, yaitu pada batasan umur 15 sampai 59 tahun untuk negara berkembang (Nurhasikin 2013). Batasan umur produktif ini berdasarkan pada kemampuan tenaga kerja melakukan kegiatan kerja atau usaha, sehingga pada kondisi tertentu umur produktif seseorang dapat berada pada rentang yang berbeda. Memelihara domba adalah suatu kegiatan yang mengutamakan kekuatan kondisi fisik peternak karena hampir seluruh kegiatan pemeliharaan berhubungan langsung dengan ternak domba. Mencari pakan adalah kegiatan pemeliharaan yang memerlukan curahan waktu kerja paling lama yaitu sekitar 50% dari total waktu curahan kerja peternak (Alam 2013). Peternak yang berumur di atas 64 tahun mengaku sulit meningkatkan jumlah ternak domba yang dipelihara karena keterbatasan kekuatan fisik untuk memelihara domba dalam jumlah banyak terutama dalam hal pencarian pakan. Hal ini menunjukkan bahwa peternak yang berumur diatas 60 tahun kemungkinan kemampuan fisik untuk bekerja memelihara ternak mulai menurun, meskipun pada kenyataannya ada beberapa peternak tetap memelihara domba pada umur tersebut. Adapun secara secara keseluruhan peternak domba di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang rata-rata berumur 47 tahun sehingga mayoritas peternak masih merupakan peternak produktif dan banyak kegiatan teknis pemeliharaan domba yang masih mungkin dilakukan secara optimal pada rata-rata usia tersebut. Sebagian besar peternak yang memelihara domba merupakan kepala keluarga (lakilaki) dan terkadang mendapat bantuan dari anggota keluarga lain yaitu anak dan /atau istri. Anggota keluarga ini lebih banyak membantu pemberian pakan dan pembersihan kandang rutin dengan curahan waktu yang jauh lebih sedikit dibandingkan peternak utama yang mencari pakan. Penelitian Pujianto (2008) menunjukkan rata-rata curahan waktu keluarga peternak yaitu suami sebesar 66.65% HKP ST-1 tahun-1, istri 27.63% HKP ST-1 tahun-1, dan anak 5.72% HKP ST-1 tahun-1. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan pemeliharaan ternak domba dari istri dan anak tidak terlalu besar dibandingkan seluruh jumlah kegiatan pemeliharaan domba yang dilakukan peternak. Peternak dari kalangan remaja dan usia muda dibawah 40 tahun jarang ditemukan baik di Desa Cibanteng maupun di Desa Cikarawang. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya minat usia muda untuk melanjutkan beternak domba. Regenerasi peternak domba rakyat di dua desa tersebut cukup lambat dilihat dari sedikitnya jumlah peternak domba dari kalangan remaja dan usia muda. Sistem beternak domba sederhana dengan keuntungan yang tidak terlalu besar, ketersediaan sumber daya pakan yang semakin berkurang, serta adanya peluang usaha di bidang lain dapat menjadi penyebab turunnya minat remaja dan usia muda untuk beternak domba seperti orang tua atau anggota keluarga lainnya. Lama Memelihara Ternak Domba dan Sumber Informasi Teknis Peternak di lokasi penelitian rata-rata telah memelihara domba lebih dari satu tahun, bahkan beberapa peternak yang berumur di atas 65 tahun mengaku mulai
8 memelihara domba sejak masih remaja. Peternak domba di Desa Cibanteng ratarata telah memelihara domba selama 11.59 tahun (peternak skala I) dan 26.33 tahun (peternak skala II), sedangkan di Desa Cikarawang rata-rata peternak telah memelihara domba selama 10.94 tahun (peternak skala I) dan 14.88 tahun (peternak skala II). Lama pemeliharaan ternak domba dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah domba yang mampu dipelihara peternak, terlihat dari lama memelihara domba peternak skala II yang relatif lebih lama dari peternak skala I di dua desa tersebut. Lama pemeliharaan menjadikan peternak lebih mengenal kondisi ternak domba serta ketersediaan dan pengetahuan jangkauan wilayah yang dapat dijadikan sumber pakan. Pengalaman memelihara domba ini juga dapat memengaruhi produktivitas domba, sebagaimana penelitian Bakhtiar (2014) yang menunjukkan bahwa peternak yang memiliki pengalaman memelihara ternak domba lebih lama dapat memengaruhi jumlah konsumsi nutrien domba menjadi lebih tinggi karena peternak lebih pandai dalam memilih pakan hijauan yang berkualitas dan disukai domba sehingga pakan yang terbuang dapat dikurangi. Karyadi (2008) menyatakan bahwa peternakan rakyat tradisional memiliki faktor internal yang menjadi kekuatan utama untuk mengembangkan usaha ternak domba, yaitu lamanya pengalaman beternak sehingga dapat menunjang pengembangan ternak domba. Peternak biasanya memiliki keinginan memelihara domba karena melihat anggota keluarga, kerabat, atau kenalan yang lebih dulu memelihara domba. Pengetahuan teknis pemeliharaan domba juga didapatkan dari sesama peternak terdekat, sehingga sistem pemeliharaan secara umum yang dilakukan peternak di masingmasing lokasi hampir sama. Pendidikan Peternak Peternak domba di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang umumnya merupakan lulusan pendidikan sekolah dasar hampir di setiap kelompok skala pemilikan ternak. Sangat sedikit peternak yang melanjutkan pendidikan formal ke sekolah lanjutan tingkat atas atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian besar peternak merupakan anggota keluarga dari petani atau peternak serta berada pada lingkungan pertanian, sehingga sejak remaja sudah memiliki keinginan untuk bekerja atau memelihara domba. Hal ini diakui juga oleh peternak sebagai salah satu alasan pendidikan mereka menjadi terhambat dan sulit untuk melanjutkan pendidikan formal, disamping faktor keterbatasan biaya. Tingkat pendidikan peternak paling tinggi yaitu setara SLTA dengan jumlah yang sangat sedikit dan rata-rata masih merupakan peternak kategori skala I (Tabel 3). Hasil wawancara juga menunjukkan di dua lokasi tersebut tidak ada peternak lulusan perguruan tinggi. Tetapi saat ini ada sebagian kecil peternak yang berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya hingga tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pujianto (2008) menyatakan rendahnya pendidikan formal peternak bukan berarti pengetahuan mereka tentang usaha ternak domba juga rendah. Namun apabila ada diantara peternak yang merupakan lulusan perguruan tinggi maka diharapkan produktifitas usaha peternakan dapat meningkat, sebagaimana pernyataan Zulhanafi et al. (2013) bahwa pendidikan memengaruhi produktivitas secara signifikan disebabkan peningkatan pola pikir, pandangan, dan motivasi yang semakin baik seiring peningkatan tingkat pendidikan.
9 Mata Pencaharian Utama Peternak Memelihara domba diakui peternak bukan sebagai usaha utama, karena hasil penjualan tidak pernah bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Biasanya hasil penjualan domba hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan tertentu, adapun kebutuhan harian peternak dapat dipenuhi dari pekerjaan utama peternak di berbagai bidang. Peternak skala I umumnya merupakan buruh atau tukang bangunan baik di Desa Cibanteng (40.74%) maupun di Desa Cikarawang (30.77%). Sedangkan peternak skala II memang sudah menjadikan ternak sebagai usaha baik di Desa Cibanteng (75.00%) maupun di Desa Cikarawang (50.00%), karena pada skala pemilikan ini jumlah ternak yang dimiliki cukup banyak, sehingga memelihara ternak domba sudah dianggap sebagai sumber utama pendapatan. Selebihnya beberapa peternak skala II di Desa Cibanteng dan Cikarawang juga memiliki pekerjaan utama sebagai petani, pedagang, dan di bidang jasa.
Karakteristik Umum Usaha Ternak Domba di Lokasi Penelitian Karakteristik usaha ternak domba meliputi jenis domba, jumlah domba yang dimiliki, alat dan sarana pendukung pemeliharaan, jumlah, luas dan kondisi kandang, serta metode penjualan yang dilakukan peternak. Bangsa Domba Berdasarkan ciri-ciri yang dapat diamati domba yang dipelihara peternak di Desa cibanteng dan Desa Cikarawang sebagian besar adalah domba ekor tipis atau domba priangan lokal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yamin et al. (2014) bahwa domba ekor tipis memiliki ciri berwarna dominan putih, ditemukan bintik hitam pada beberapa bagian wajah (sekeliling mata atau hidung) atau pada beberapa bagian tubuh, serta tidak ditemukan banyak lemak. Selain domba ekor tipis juga ditemukan beberapa ekor domba dengan ciri-ciri menyerupai domba garut, yaitu kombinasi warna hitam-putih, betina tidak bertanduk, ukuran badan relatif lebih besar dari domba ekor tipis, serta telinga berbentuk kecil (Yamin et al. 2014). Pengetahuan peternak mengenai bangsa atau jenis domba sangat terbatas, peternak hanya tahu beberapa jenis domba berdasarkan ciri-ciri yang sudah umum, yaitu jenis domba ekor tipis atau domba lokal dan domba garut. Iskandar (2009) menyatakan hasil pemetaan lokal di Kabupaten Bogor menunjukkan populasi domba terdiri dari 83.99% domba lokal bogor, 4.94% domba persilangan lokal bogor dan garut, dan 1.17% domba garut. Adapun domba lokal bogor mengarah pada jenis domba lokal dengan ciri-ciri menyerupai domba priangan atau domba ekor tipis. Adapun jenis kelamin domba yang dipelihara peternak lebih banya jantan, karena harga jual domba jantan setelah penggemukan relatif lebih besar daripada domba betina. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Hastono (2009) bahwa bobot lahir domba jantan lebih besar dibandingkan domba betina, sehingga memilih domba jantan untuk penggemukan dianggap lebih baik daripada domba betina. Produktivitas domba yang dipelihara sangat sulit untuk diketahui karena tidak ada sistem pencatatan. Namun dari hasil wawancara rata-rata peternak pernah menemukan kelahiran domba dari 1 sampai 4 ekor anak per kelahiran, dengan bobot
10 lahir rata-rata sekitar 1–2.5 kg per ekor, tergantung jumlah anak yang dilahirkan. Kelahiran 1 ekor anak akan lebih besar bobot lahir dan kemungkinan hidupnya dibandingkan kelahiran anak lebih dari 1 ekor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hastono (2009) bahwa bobot lahir domba pada kelahiran tunggal lebih besar daripada kelahiran kembar. Anak domba sering ditemukan mati pada kelahiran lebih dari 2 ekor karena penanganan lambat. Peternak harus memiliki keterampilan yang baik dalam penanganan kelahiran domba, karena kelahiran kembar (litter size >1 ekor) merupakan salah satu potensi dalam mengembangkan dan meningkatkan jumlah domba yang dimiliki. Peternak yang memiliki pengetahuan dan keterampilan menangani anak domba pascalahir masih sangat sedikit, salah satunya teknik sederhana pembuatan dan pemberian susu pengganti (milk replacer) untuk anak domba baru lahir. Beberapa peternak juga masih kesulitan memprediksi waktu kelahiran domba, sehingga tidak sedikit kelahiran domba tidak diawasi oleh peternak. Hal ini dapat juga disebabkan oleh pertumbuhan anak yang tidak optimal, sebagaimana pernyataan Hastono (2009) bahwa ternak yang dilahirkan kembar pertumbuhannya lebih lambat daripada kelahiran tunggal. Berdasarkan temuan tersebut, maka peternak perlu melakukan manajemen reproduksi sederhana dan teknik pemilihan jenis ternak yang lebih baik untuk pemeliharaan. Bunyamin (2009) dan Yamin et al. (2014) menyatakan bakalan domba untuk penggemukan adalah domba yang masih memiliki berat badan rendah dan berumur di bawah satu tahun. Kepemilikan Ternak Domba Pemilikan ternak domba di Desa Cibanteng yaitu 7.79 ± 3.31 ekor pada kategori peternak skala I, dan 20.50 ± 3.70 ekor pada kategori peternak skala II. Sedangkan kepemilikan ternak di Desa Cikarawang yaitu 7.43 ± 3.01 ekor kategori peternak skala I, dan 26.33 ± 1.53 ekor untuk kategori peternak skala II (Tabel 4). Tabel 4 Rata-rata kepemilikan ternak domba (ekor) Kategori
Desa Cibanteng
Desa Cikarawang
Skala I Skala II
7.79 ± 3.31 20.50 ± 3.70
7.43 ± 3.01 26.33 ± 1.53
Kepemilikan domba ini merupakan kalkulasi dari jumlah domba yang ada saat ini serta domba yang telah dijual selama satu tahun yang lalu (tahun 2014). Jumlah domba yang dimiliki peternak biasanya tidak tetap setiap tahunnya, karena jumlah yang dimiliki sangat dipengaruhi oleh ketersediaan modal untuk membeli bakalan. Peternak yang memiliki keterampilan dan pengalaman dapat melakukan pemutaran uang hasil penjualan sehingga jumlah domba yang dimiliki biasanya lebih banyak daripada peternak lainnya. Uang hasil penjualan beberapa ekor domba digunakan kembali untuk membeli domba yang lebih kecil /bakalan (rata-rata harga bakalan Rp 1 300 000 bobot sekitar 15–17 kg). Biasanya sistem ini dilakukan peternak pada penjualan domba lebih dari 1 ekor dan jika kebutuhan lain sudah terpenuhi.
11 Pakan, Sarana, Peralatan, dan Perlengkapan Pakan domba yang diberikan peternak sepenuhnya merupakan hijauan hasil mencari peternak sendiri. Beberapa peternak yang memiliki lahan dan kebun yang cukup luas menanam hijauan untuk pakan domba, biasanya berupa tanaman pagar dari jenis legum atau rumput jenis tertentu. Jumlah yang ditanam biasanya hanya cukup untuk sejumlah kecil domba dan hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek, sehingga peternak tetap perlu mencari pakan hijauan dari tempat lain. Lokasi pencarian pakan pada musim penghujan biasanya masih di desa lokasi pemeliharaan, tetapi pada musim kemarau peternak cukup kesulitan mencari pakan, harus menempuh jarak yang cukup jauh, dan tidak jarang memerlukan kendaraan bermotor untuk mengangkut pakan. Namun demikian ada pula sebagian kecil peternak di Desa Cikarawang yang memberikan pakan tambahan berupa limbah pengolahan tahu. Limbah tahu tersebut diperoleh dari warga lain yang memproduksi tahu, tetapi karena tidak selalu tersedia dan jumlahnya sedikit maka pemberian limbah tahu ini belum dilakukan rutin oleh peternak. Peternakan domba rakyat di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang menggunakan pola pemeliharaan sederhana, dengan menempatkan domba di dalam kandang sepanjang waktu pemeliharaan. Lokasi kandang umumnya terletak di dekat rumah peternak, bahkan beberapa peternak membangun kandang persis di samping rumah. Peternak merasa kandang lebih aman, mudah diawasi, dan dikelola jika jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal peternak. Status kepemilikan kandang beragam, biasanya kandang berukuran lebih besar dibangun dan digunakan bersama-sama oleh beberapa peternak, sehingga statusnya menjadi kepemilikan bersama atau ada yang menjadi peternak pemilik dan selainnya menyewa. Sistem sewa kandang juga tidak dibayar tunai, biasanya dibayar peternak penyewa dengan jasa mengambilkan rumput, membersihkan dan merawat kandang, atau dengan bagi hasil anakan untuk jangka waktu pemeliharaan lebih lama. Kandang biasanya dibuat dari bahan-bahan sisa pembangunan rumah, atau bekas bangunan lain yang dibongkar, sehingga peternak tidak mengeluarkan uang tunai untuk membangun kandang. Peternak cukup membeli bahan kandang yang tidak tersedia, seperti atap dan paku. Komponen kandang secara umum terdiri dari batu pondasi, bambu, dan kayu, serta atau genteng atau rumbia. Peternak yang menggunakan atap kandang rumbia merasa biaya lebih murah, adapun peternak yang memilih menggunakan atap genteng menganggap genteng lebih ekonomis karena lebih tahan lama. Luasan kandang biasanya sesuai dengan jumlah domba yang dimiliki pada setiap skala pemeliharaan di masing-masing desa (Tabel 5). Tabel 5 Rata-rata luasan kandang domba (m2) Kategori
Desa Cibanteng
Desa Cikarawang
Skala I Skala II
8.90 ± 7.32 24.50 ± 12.26
12.57 ± 10.52 16.00 ± 9.17
Jika peternak memiliki domba lebih banyak dan luasan kandang tidak cukup untuk domba tersebut biasanya peternak dapat menitipkan kelebihan domba di kandang peternak lain yang memiliki kelebihan ruang kandang, tetapi tetap dipelihara oleh pemilik ternak. Bentuk kandang domba umumnya berupa bangunan berkolong dengan lantai bilahan bambu bercelah, dinding papan, dan atap genting
12 atau rumbia. Peternak lebih banyak menempatkan domba secara individu, tetapi ada pula yang menggunakan sistem kandang koloni apabila kandang dirasa cukup untuk domba lebih dari satu ekor. Bunyamin (2009) menyatakan pembuatan konstruksi kandang berkolong dan bagian lantai kolong kedap air agar kotoran mudah dibersihkan, adapun untuk usaha penggemukan ruang gerak domba harus dibatasi agar pertumbuhan bobot optimal. Tempat pakan domba dibuat menempel di salah satu sisi kandang, biasanya terbuat dari papan kayu sepanjang sisi kandang dengan kedalaman dan lebar tertentu. Penempatan tempat pakan ini sesuai dengan pernyataan Yamin et al. (2014) bahwa tempat pakan domba menempel pada dinding sisi depan kandang, dengan ukuran yang dapat menampung makanan hijauan sepanjang hari. Adapun untuk penyediaan air minum bagi ternak domba masih jarang dilakukan peternak. Hal ini belum sesuai dengan manajemen pengelolaan ternak domba, karena meskipun domba termasuk ternak yang tahan jika tidak minum tetapi sebaiknya air minum tetap disediakan sepanjang hari (Yamin et al. 2014). Peralatan lain yang dimiliki peternak yaitu sabit, karung atau pikulan untuk mengambil rumput. Pemilihan karung dan pikulan sebagai wadah rumput didasarkan pada harga yang murah dan kemudahan pengangkutan, tergantung penilaian individu peternak. Alat lain yang diperlukan seperti cangkul dan sekop hanya dimiliki oleh sebagian peternak, sedangkan peternak lainnya biasa meminjam dari sesama peternak atau sama sekali tidak menggunakan alat tersebut dalam kegiatan pemeliharaan. Penjualan Ternak Domba Rata-rata penjualan domba skala I di Desa Cibanteng hanya sebanyak 3.26 ± 2.33 ekor sedangkan rata-rata penjualan ternak domba skala II yaitu 6.00 ± 4.32 ekor. Adapun di Desa Cikarawang rata-rata domba peternak skala I yaitu 2.43 ± 1.69 ekor sedangkan peternak skala II rata-rata menjual 5.33 ± 4.51 ekor (Tabel 6). Jumlah penjualan pada setiap kategori peternak domba tersebut sangat kecil, dibawah 50% dari kepemilikan ternak domba. Meski demikian ditemukan sebagian kecil peternak dengan penjualan domba dalam jumlah yang cukup banyak (data tidak ditampilkan). Tabel 6 Rata-rata penjualan ternak domba tahun 2014 (ekor) Kategori
Desa Cibanteng
Desa Cikarawang
Skala I Skala II
3.26 ± 2.33 6.00 ± 4.32
2.43 ± 1.69 5.33 ± 4.51
Sebagian besar peternak domba di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang lebih memilih menjual ternak domba kepada pengumpul atau tengkulak, karena dirasa lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Peternak yang akan menjual domba ke tengkulak cukup menghubungi tengkulak langsung, atau pada beberapa kondisi tengkulak yang akan datang kepada peternak untuk membeli domba yang akan dijual. Tengkulak biasanya lebih mudah ditemui dan merupakan tetangga, kerabat, kenalan, bahkan sesama peternak domba. Domba jantan dan betina biasanya dihargai berbeda, dengan selisih harga domba jantan lebih tinggi sekitar 50% dari harga domba betina. Meskipun peternak tidak pernah melakukan penimbangan bobot domba domba tetapi peternak dan
13 tengkulak sudah memiliki persepsi yang sama bahwa bobot domba jantan lebih besar dibandingkan domba betina pada kisaran umur yang sama, sehingga harga jual domba jantan juga akan lebih tinggi. Hastono (2009) menyatakan bahwa nilai jual meningkat sejalan peningkatan bobot hidup domba dalam kurun waktu tertentu. Sistem penjualan melalui tengkulak ini cukup efisien bagi peternak dalam jumlah penjualan domba sedikit, tetapi pada penjualan domba dengan jumlah yang cukup banyak peternak perlu memikirkan kembali penjualan langsung ke pasar karena kemungkinan perhitungan biaya angkut dapat ditekan, terutama pada saat harga jual domba tinggi. Metode Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan domba yang dilakukan peternak domba di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang antara lain mencari pakan berupa hijauan, memberi pakan, membersihkan kandang, memandikan, serta mencukur bulu domba. Tingkat rutinitas kegiatan setiap peternak berbeda-beda pada setiap jenis kegiatan pemeliharaan. Alokasi waktu pemeliharaan paling lama yaitu pada kegiatan mencari pakan ternak. Peternak biasa mencari pakan hijauan sampai keluar desa, terutama saat musim kering /kemarau. Selain itu jarak yang ditempuh untuk mencari pakan biasanya lebih jauh dan waktu yang diperlukan lebih lama daripada hari-hari biasanya. Kegiatan pemeliharaan yang paling rutin dilakukan adalah mencari rumput, memberi pakan, serta membersihkan kandang. Kegiatan memandikan dan mencukur bulu domba masih jarang rutin dilakukan oleh peternak karena keduanya memerlukan keterampilan peternak dalam menangani ternak domba. Meskipun demikian memandikan domba secara berkala dan tidak terlalu sering adalah langkah yang benar karena memandikan domba terlalu sering dapat menghilangkan keringat dan kandungan lanolin yang penting untuk bulu domba (Yamin et al. 2009). Adapun peternak di Desa Cikarawang sangat jarang mencukur bulu domba lebih karena alasan persepsi para peternak dan pembeli bahwa mencukur bulu domba memberi kesan kurus pada ternak domba sehingga dapat menurunkan harga jual domba. Kenyataannya secara prinsip persepsi peternak tersebut justru berkebalikan dengan tujuan pencukuran bulu domba (Yamin et al. 2009) bahwa prinsipnya pencukuran bulu domba secara rutin bertujuan menjaga agar ternak tetap dalam kondisi sehat dan gemuk. Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan teknis peternak juga dapat menjadi salah satu kendala peternak untuk mencukur bulu domba. Hadiyanto (2009) menunjukkan peternak memiliki pengetahuan tentang teknis pemeliharaan domba, tetapi prinsip tentang umur pencukuran hanya dipahami oleh sebagian kecil peternak rakyat. Kasus domba sakit jarang ditemukan di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang, karena peternak sudah cukup melakukan upaya pencegahan penyakit sederhana dengan membersihkan kandang secara rutin, atau memberikan beberapa ramuan alami yang diyakini peternak dapat menjaga kesehatan domba, seperti kunyit dan daun lempuyang. Peternak juga menghindari pemberian pakan yang dapat menyebabkan ternak sakit, seperti daun dan kulit ubi jalar yang dapat menyebabkan ternak diare. Kasus sederhana seperti ini biasanya ditangani peternak dengan memberikan hijauan lain yang diyakini dapat mengurangi gejala diare, seperti daun nangka. Namun ada pula peternak yang membiarkan domba sembuh dengan sendirinya tanpa melakukan pengobatan khusus. Yamin et al. (2009)
14 menyatakan pencegahan beberapa jenis penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi, pemberian antiserum, menjaga kebersihan kandang, dan memisahkan ternak yang sakit dari ternak sehat (isolasi). Teknik sederhana tersebut sudah banyak dilakukan peternak, tetapi untuk vaksinasi dan pemberian antiserum belum pernah dilakukan.
Analisis Finansial Usaha Ternak Domba di Lokasi Penelitian Penerimaan dan Pendapatan Peternak Tabel 7 menggambarkan bahwa pada tahun 2014 rata-rata penerimaan peternak di Desa Cibanteng lebih besar dari rata-rata penerimaan peternak di Desa Cikarawang dari setiap kategori peternak. Hal ini memang sangat dipengaruhi oleh jumlah ternak yang dijual pada tahun tersebut. Perhitungan ini didasarkan pada harga jual rata-rata di tengkulak, yaitu sebesar Rp 1 500 000 per ekor domba. Penerimaan tunai adalah hasil penjualan domba yang langsung diterima oleh peternak, adapun penerimaan tidak tunai merupakan nilai lain dari ternak yang dijual yaitu kotoran domba. Tabel 7 Rata-rata penerimaan peternak tahun 2014 Kategori Skala I Skala II
Desa Cibanteng Tunai Rp 4 894 737 Rp 9 000 000
Tidak tunai Rp 530 981 Rp 2 169 600
Desa Cikarawang Tunai Rp 3 642 857 Rp 8 000 000
Tidak tunai Rp 395 177 Rp 867 840
Nilai penerimaan tidak tunai ini merupakan nilai kotoran atau pupuk kandang yang dihasilkan ternak selama masa pemeliharaan, yaitu diasumsikan sekitar 360 hari (1 tahun). Penerimaan tidak tunai perlu dihitung karena merupakan nilai guna bagi peternak meskipun tidak dalam bentuk tunai. Nilai kotoran ternak domba apabila dijual yaitu sekitar Rp 400 per kilogram baik di Desa Cibanteng maupun Desa Cikarawang. Perhitungan biaya pemeliharaan domba mencakup komponen biaya tunai dan diperhitungkan. Biaya tunai di tingkat peternak domba rakyat adalah biaya pembelian bakalan, yaitu biaya yang secara nyata dan langsung dikeluarkan peternak. Adapun yang termasuk komponen biaya tidak tunai yaitu nilai penyusutan kandang, upah peternak sebagai pemilik, biaya pakan, serta upah tenaga kerja. Seluruh komponen tunai dan tidak tunai perlu dihitung untuk mengambarkan besarnya biaya yang sebenarnya telah dikeluarkan peternak selama pemeliharaan domba (data tidak ditampilkan). Pendapatan atau keuntungan adalah selisih penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan peternak selama pemeliharaan domba. Pendapatan tunai peternak menunjukkan kondisi untung bagi peternak, yaitu sebesar Rp 652 632 dan Rp 1 200 000 masing-masing diperoleh peternak skala I dan skala II di Desa Cibanteng, serta Rp 485 714 dan Rp 1 066 667 masing-masing diperoleh peternak skala I dan skala II di Desa Cikarawang.
15 Tabel 8 Rata-rata pendapatan peternak tahun 2014 Kategori Skala I Skala II
Desa Cibanteng Tunai
Tidak tunai
Rp 625 632 Rp 1 200 000
-Rp 4 902 329 -Rp 8 528 124
Desa Cikarawang Tunai
Tidak tunai
Rp 485 714 Rp 1 066 667
-Rp 3 331 331 -Rp 10 989 937
Namun kondisi peternak sebenarnya rugi jika perhitungan menyertakan komponen biaya tidak tunai. Perhitungan pendapatan tidak tunai (Tabel 8) menunjukkan nilai kerugian lebih besar pada kategori peternak skala II dibandingkan peternak skala I, baik di Desa Cibanteng maupun Desa Cikarawang. Fakta dilapangan menunjukkan peternak tetap melakukan pemeliharaan domba selama bertahun-tahun dengan sistem pemeliharaan tradisional ini, karena peternak tidak pernah memperhitungkan biaya tidak tunai, sehingga merasa pemeliharaan domba yang dilakukan selalu menguntungkan meskipun bukan dalam jumlah besar. BEP Produksi Domba Hasil perhitungan BEP menunjukkan kondisi titik impas belum diperoleh peternak pada tahun 2014, karena jumlah penjualan domba masih dibawah BEP. Titik impas tercapai jika peternak Desa Cibanteng meningkatkan penjualan sampai 6.89 ± 4.46 ekor untuk kategori peternak skala I dan 11.30 ± 9.55 ekor untuk peternak skala II. Adapun untuk peternak di Desa Cikarawang titik impas tercapai saat penjualan domba mencapai 5.35 ± 3.23 ekor untuk kategori peternak skala I dan 13.24 ± 8.22 ekor untuk peternak skala II (Tabel 9). Tabel 9 Rata-rata BEP produksi domba tahun 2014 (ekor) Kategori
Desa Cibanteng
Desa Cikarawang
Skala I Skala II
6.89 ± 4.46 11.30 ± 9.55
5.35 ± 3.23 13.24 ± 8.22
Perhitungan titik impas ini melibatkan seluruh komponen penerimaan dan biaya baik tunai maupun tidak tunai. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah penjualan domba minimal agar peternak dapat menghindari kondisi rugi. Kenyataan di lokasi penelitian peternak tidak pernah memperhitungkan jumlah minimal penjualan domba, karena penjualan dilakukan hanya pada waktu dibutuhkan uang, selebihnya peternak tidak akan menjual ternak domba. Analisis R/C ratio Rasio penerimaan dan biaya pemeliharaan domba dapat menunjukkan nilai yang diperoleh peternak dari setiap peningkatan biaya sebesar Rp 100 yang dikeluarkan peternak. Peternakan domba produktif jika nilai R/C diatas 1. Nilai R/C ratio di lokasi penelitian hanya sebesar 0.51 ± 0.03 dan 0.51 ± 0.05 masing-masing untuk peternak domba skala I dan skala II di Desa Cibanteng, serta 0.48 ± 0.05 dan 0.39 ± 0.17 masing-masing untuk peternak domba skala I dan skala II di Desa Cikarawang (Tabel 10).
16 Tabel 10 Rata-rata R/C ratio peternakan domba tradisional Kategori
Desa Cibanteng
Desa Cikarawang
Skala I Skala II
0.51 ± 0.03 0.51 ± 0.05
0.48 ± 0.05 0.39 ± 0.17
Hal ini menunjukkan bahwa peternakan domba rakyat di dua desa tersebut belum dapat dikatakan produktif, karena peningkatan Rp 100 biaya yang dikeluarkan belum dapat meningkatkan penerimaan untuk menutupi biaya tersebut. Meskipun secara teori pemeliharaan tidak produktif (R/C ratio <1) namun peternak tetap memelihara domba, karena peternak tidak pernah memperhitungkan biaya tidak tunai yang dikeluarkan selama pemeliharaan domba. Peluang Pengembangan Usaha Analisis target laba adalah salah satu metode sederhana untuk menentukan jumlah penjualan domba agar peternak mendapatkan untung sesuai target atau standar tertentu. Adanya target keuntungan diharapkan dapat menjadi salah satu motivasi peternak dalam meningkatkan penjualan ternak domba. Berdasarkan pada biaya tunai, peternak dapat melakukan penjualan berdasarkan target keuntungan tertentu. Tabel 11 menunjukkan jumlah domba yang harus dijual peternak dalam satu tahun untuk mendapatkan keuntungan bersih setara dengan rata-rata upah minimum kabupaten /kota (UMK) Kabupaten Bogor. Tabel 11 Jumlah penjualan domba per tahun berdasarkan analisis target laba Rataan UMK Kabupaten Bogor
Target laba per tahun
Target penjualan per tahun (ekor)
Rp 2 882 500
Rp 34 590 000
77
Keterangan: Rataan UMK Kab. Bogor berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 561 /ep. 1746Bangsos/2014 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2015
Hasil tersebut menunjukkan jumlah ternak domba yang harus dijual untuk mencapai target pendapatan sebesar Rp 2 882 500 adalah sebanyak 77 ekor dalam satu tahun, dan jika penjualan dilakukan per bulan maka peternak harus menjual sekitar 6-7 ekor. Target laba ini didasarkan pada besaran upah minimum kabupaten (UMK) Bogor dengan memperhitungkan biaya tunai yang dikeluarkan peternak yaitu pembelian bakalan domba dan rata-rata harga jual domba jantan dan betina. Target penjualan domba harus didukung perbaikan manajemen pemeliharaan yang baik (good farming practices) termasuk dalam perencanaan lama pemeliharaan. Lama pemeliharaan peternak rakyat yang mencapai satu tahun atau lebih tanpa terget penjualan akan menimbulkan kerugian karena selama pemeliharaan biaya tetap harus dikeluarkan meskipun tidak tunai. Hastono (2009) menyatakan semakin lama periode penggemukan dilakukan maka semakin besar pula resiko ongkos produksi yang akan didapatkan peternak. Target penjualan juga dapat dilakukan dengan sistem pemeliharaan induk domba produktif di awal tahun yang akan menghasilkan anak domba baru pada akhir tahun pemeliharaan. Apabila memperhitungkan rata-rata sifat reproduksi domba maka jumlah induk domba yang harus dipelihara peternak dapat dihitung
17 yaitu sekitar 38 ekor agar diperoleh anak sebanyak 77 ekor. Program pengembangbiakan ini akan menghasilkan keuntungan di akhir tahun pemeliharaan dengan asumsi waktu kawin, lama bunting, melahirkan, masa pemeliharaan anak, dan sapih dilakukan serentak (Yamin et al. 2014). Meskipun dapat digunakan untuk program jangka panjang namun program ini memerlukan jumlah domba yang cukup banyak di awal tahun, sehingga apabila memperhitungkan ketersediaan modal di tingkat peternak domba rakyat maka hal ini kemungkinan akan sedikit sulit dilakukan. Adapun langkah lain yang dapat dilakukan peternak untuk mencapat target penjualan misalnya dengan melakukan sistem perputaran modal. Uang hasil penjualan domba dewasa digunakan untuk membeli domba yang lebih kecil dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga sistem ini lebih memungkinkan peternak menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu lebih singkat atau di bawah satu tahun. Selain itu target pendapatan peternak juga dapat dilakukan dengan meningkatkan performa ternak selama masa pemeliharaan, yaitu dengan program penggemukan intesif. Program ini juga memerlukan perbaikan manajemen pendukung, antara lain pemilihan bangsa, umur bakalan, dan penggunaan kandang yang tepat, serta pemberian pakan yang optimal sehingga dihasilkan ternak domba dengan karkas dan perdagingan yang baik (Yamin et al. 2014). Domba dengan performa yang lebih baik akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, sehingga dengan sistem ini diharapkan pendapatan peternak juga akan meningkat. Analisis target laba erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas peternakan domba, dalam hal ini yaitu jumlah penjualan domba. Besarnya laba yang ingin didapatkan dari hasil penjualan domba dapat ditentukan sesuai keinginan peternak. Perhitungan analisis target laba ini cukup sederhana untuk dikenalkan kepada peternak rakyat, karena pada prinsinpnya merupakan hubungan antara biaya dan keuntungan yang juga dapat dinyatakan sebagai titik impas (Samryn 2012). Target laba diharapkan dapat menjadi salah satu motivasi peternak untuk meningkatkan jumlah penjualan domba, karena dengan analisis ini peternak dapat menargetkan sendiri keuntungan yang ingin didapatkan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peternak domba rakyat di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang didominasi oleh penduduk di atas usia 40 tahun, dengan rata-rata pendidikan tingkat sekolah dasar, dan sebagian besar telah memelihara domba lebih dari 10 tahun. Regenerasi peternak domba cukup lambat karena kurangnya minat remaja dan usia muda untuk memulai atau melanjutkan usaha ternak domba orang tuanya. Analisis BEP peternak domba di Desa Cibanteng dan Desa Cikarawang menunjukkan jumlah penjualan domba tahun 2014 belum mencapai titk impas penjualan sehingga peternak berada pada kondisi rugi. Selain itu usaha ternak domba di dua desa tersebut juga belum produktif (R/C ratio <1). Namun peternak tidak merasakan kerugian tersebut karena sebagian besar biaya merupakan biaya tidak tunai dan tidak pernah diperhitungkan oleh peternak. Strategi untuk mencapai target laba
18 dapat dilakukan dengan program pemeliharaan induk di awal tahun, perputaran hasil penjualan untuk modal, atau program penggemukan intensif yang dapat meningkatkan harga jual ternak domba. Pelaksanaan program pemeliharaan induk dan penggemukan intensif harus didukung perbaikan manajemen pemeliharaan yang baik (good farming practices), adapun perputaran modal lebih menuntut keterampilan peternak dalam mengelola hasil penjualan ternak menjadi modal kembali.
Saran Peternak rakyat perlu diberi keterampilan pencatatan dan pemahaman sederhana mengenai pengelolaan manajemen keuangan dengan harapan peternak mengerti kondisi sebenarnya dari kegiatan usaha yang dilakukan. Pemahaman sederhana mengenai target penjualan yang tidak menyebabkan kerugian (analisis titik impas) dan target penjualan untuk mendapat keuntungan (analisis target laba), diharapkan dapat membuat peternak lebih termotivasi untuk meningkatkan pemeliharaan dan/ atau penjualan domba.
DAFTAR PUSTAKA Alam A. 2013. Curahan waktu kerja keluarga pada usaha peternakan kambing di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. J. Agrinimal. 3(2): 51-55. Bakhtiar WAS. 2014. Hubungan karakteristik peternak rakyat terhadap kebituhan nutrien domba lokal di Desa Cikarawang dan Desa Neglasari [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS Jabar] Badan Pusat Statistik jawa Barat. 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Provinsi Jawa Barat. Badung(ID): BPS Provinsi Jawa Barat. Bunyamin. 2009. Prospek industri domba menuju ketahanan pangan Nasional. Di dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2009 Aug 13-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, hlm 3-7. [Disnak Jabar] Dinas Peternakan Jawa Barat. 2013. Statistik Peternakan Jawa Barat 2013. Bandung (ID): Dinas Peternakan Jawa Barat. Fathoni M. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi peternak dalam mengembangkan usaha ternak domba (kasus Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hadiyanto. 2009. Desain pendekatan komunikasi partisipatif falam pemberdayaan peternak domba rakyat. Media Petern. 32(2):145-154. Hastono. 2009. Teknologi reproduksi menunjang program penggemukan ternak domba. Di dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2009 Aug 13-
19 21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, hlm 389-394. Iskandar S. 2009. Hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Ternak TA 2006-2008. Di dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2009 Aug 13-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, hlm 18-27. Karyadi D. 2008. Strategi pengembangan usaha peternakan domba rakyat (kasus Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Masfufatun. 2008. Hubungan karakteristik peternak domba dengan kompetensi berusaha ternak domba (kasus peternak domba di Desa Barengkok Kecamatan Leuwiliang, Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Morissan. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): Kencana Prenadamedia Group. Mulyono S. 2010. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Nurhasikin. 2013. Penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan. Tersedia dari: http://kepri.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=144. diunduh pada 2015 Jul 12. Pujianto E. 2008. Analisis penyerapan dan curahan tenaga kerja keluarga pada usaha peternakan domba (Studi Kasus di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan dan Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rosalita. 2014. Hubungan karakteristik masyarakat Desa Cibanteng dengan perilaku menonoton dan literasi media acara televisi prime time [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Samryn LM. 2012. Akuntansi Manajemen; Informasi Biaya untuk Mengendalikan Aktivitas Operasi dan Investasi. Jakarta (ID): Kencana Prenadamedia Group. Shinta A. 2011. Ilmu Usaha Tani. Malang (ID): UB Pr. Sitopoe M. 2008. Cara Memelihara Domba dan Kambing Organik. Jakarta (ID): Indeks. Yamin M. Sri Rahayu, M Baihaqi, Maman D. 2014. Teknologi Produksi Ternak Domba dan Kambing. Bogor (ID): IPB Pr. Zulhanafi, Hasdi A, Efrizal S. 2013. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan tingkat pengangguran di Indonesia. J. Kajian Ekonomi. 2(03): 85-109.
LAMPIRAN Lampiran 1 Perhitungan klasifikasi peternak a. Penentuan kelas interval dan panjang kelas n sampel Nilai terbesar Nilai terkecil Rentang (R) KI
1 2 3 4 5 6
24 28 3 25 6 4
b. Penentuan kategori peternak berdasarkan kelas interval Desa Desa Desa Desa Batas Cibanteng Cikarawang Cibanteng Cikarawang kelas Frekuensi Jumlah Kategori
Kelas
Pj
Desa Cibanteng Desa Cikarawang 23 26 4 22 1 + (3,3) log23 1 + (3,3) log24 5 R/KI R/KI 4
3-7 8 - 11 12 - 15 16 - 19 20 - 23 24 - 28
10 6 3 3 0 1
12 7 2 0 0 3
Skala I
19 orang
21 orang
Skala II
4 orang
3 orang
22 Lampiran 2 Tampilan ternak domba
Beberapa tampilan ternak domba yang dipelihara peternak
23 Lampiran 3 Tampilan kandang domba
Contoh kondisi kandang ternak domba dengan luasan kandang kecil (gambar atas) dan kandang besar (gambar bawah)
24 Lampiran 4 Peta lokasi penelitian
Peta Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor (Sumber: http://google.co.id/maps/place/Cibanteng)
Peta Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor (Sumber: http://google.co.id/maps/place/Cikarawang )
25
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tasikmalaya pada tanggal 3 Oktober 1992, dari Bapak U. Sohibul Ahyar dan Ibu Yeti Nurlistiawati, serta merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Penulis merupakan lulusan MTs Al-Mashbah Cikeleng (2006), kemudian melanjutkan pendidikan di MAN Sukamanah Tasikmalaya (2011). Penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor (2011) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang disponsori oleh Kementrian Agama. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Pengurus Nasional Komunitas Mahasiswa Santri Kementrian Agama (CSS MoRA) pada tahun 2012/2013, anggota tim redaksi majalah pangan kampus EMULSI tahun 2012/2013, anggota klub berkuda “Sorcherry” Riding Club (SRC) tahun 2012/2013, asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis (PKTT) tahun ajaran 2014/2015, serta pernah terlibat sebagai tim humas pada beberapa kepanitiaan kampus dan organisasi. Prestasi yang diraih penulis selama menjadi mahasiswa antara lain penerima beasiswa Kementerian Agama (20112015), anggota tim finalis LKTIN CSS MoRA kategori Agrokompleks (2012), serta anggota tim PKM-KC didanai Dikti (2014).