Profil Aerosol Dan Ozon Di Atas Bandung Sri Kaloka Ps, Saipul Hamdi, Timbul Manik, Nurlaini Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim ABSTRACT Observation of aerosol by lidar and ozone profile by ozonsonde were done simultaneously on March 26, 1998 in Bandung. It was obtained a close correlation between them. An increase of aerosol concentration shown by backscattering coefficient is followed by decreasing of ozone abundance. Generally, the maximum of aerosol concentration was obtained at 20-22.5 km altitude and the ozone abundance at 26-27 km. ABSTRAK Pengamatan aerosol dengan lidar dan profil ozon dengan menggunakan ozonsonde telah dilakukan secara bersamaan pada tanggal 26 Maret 1998 di Bandung. Hasil pengamatan memperlihatkan adanya kaitan yang erat antara jumlah aerosol dengan jumlah ozon. Kenaikan konsentrasi aerosol yang ditunjukkan oleh kenaikan koefisien hamburan balik diikuti oleh berkurangnya konsentrasi ozon. Secara umum, konsentrasi aerosol maksimum diperoleh pada ketinggian 20-22,5 km- sedangkan untuk ozon pada ketinggian 26-27 km. 1. PENDAHULUAN Aerosol di stratosfer mempunyai peran penting dalam perubahan iklim global yang berkaitan dengan proses radiasi dan kimiawi. Sementara itu reaksi heterogeneous dari aerosol telah diyakini oleh para ahli dapat mempengaruhi konsentrasi ozon (Chandra, 1993). Pada abad 20 penambahan aerosol di stratosfer terbesar disebabkan oleh letusan gunung Pinatubo di Philipina pada bulan Juni 1991. Jumlah aerosol yang dihamburkan oleh gunung tersebut mencapai 20-30 megaton (Uchino, 1995). Sesudah peristiwa letusan tersebut terjadi, aerosol yang dihamburkan melayang di atmosfer dan membentuk suatu lapisan atau awan aerosol yang dapat bertahan dengan orde tahunan. Yasui et al. (1995) menemukan awan aerosol di atas Fukuoka Jepang sampai hari ke 861 sejak letusan gunung Pinatubo terjadi. Selain itu, aerosol ini menyebar hingga ke Lauder, New Zeland (45' S) yang dideteksi dengan lidar (Uchino, 1995). Adanya
64
jumlah aerosol yang cukup banyak di atmosfer ini menimbulkan dugaan para peneliti bahwa jumlah ozon di stratosfer akan mengalami penipisan karena proses heterogeneous (Mc. Gee, 1994) seperti yang pernah terjadi ketika gunung El Chichon di Mexico meletus pada tahun 1982. Konsentrasi aerosol di atmosfer diamati antara lain dengan menggunakan Lidar (Light Detection And Ranging). LAPAN bekerja sama dengan Communication Research Laboratory dan Meteorological Research Institute Jepang telah mulai melakukan pemantauan aerosol di atas Bandung sejak awal 1997. Lidar di LAPAN Bandung merupakan bagian dari jaringan Lidar di dunia yang diharapkan bisa memantau kondisi aerosol di daerah khatulistiwa, yang biasanya dikaitkan juga dengan penelitian lapisan ozon. Pada makalah ini dilaporkan adanya keterkaitan antara kondisi ozon dengan aerosol terutama di stratosfer pada tiap ketinggian. Profil aerosol diteliti dengan
Lidar dan profil ozon diamati dengan ozonsonde. 2. LAPISANOZON Ozon merupakan salah satu trace gases ( gas yang jumlahnya relatif sedikit dan tidak stabil) di atmosfer yang keberadaannya di stratosfer berfungsi untuk mengurangi intensitas radiasi uv-B matahari yang sampai di bumi, dengan demikian akan mengurangi bahaya radiasi uv-B yang ditimbulkannya. Ozon di atmosfer tidak terdistribusi secara merata, sebanyak 90% dari keseluruhan jumlah ozon berada di stratosfer dan sisanya berada di troposfer. Proses pembentukan ozon terjadi secara terus menerus, yaitu ketika sinar ultraviolet matahari pada panjang gelombang kurang dari 200 nm mengenai molekul oksigen (O2) maka akan menguraikan menjadi 2 atom O. Selanjutnya 1 atom O yang terpisahkan ini, bila bereaksi dengan molekul O2 lainnya membentuk ozon (O3). Selain proses pembentukan terdapat pula proses yang sifatnya mengurangi jumlah ozon yang telah ada, misalnya proses transport atau pemindahan ozon ke tempat lain karena dinamika atmosfer, serta proses yang bersifat kimiawi yaitu karena reaksi dengan zat lain. Proses pembentukan dan pengurangan berlangsung secara berulang-ulang, membuat konsentrasi ozon di daerah katulistiwa relatif lebih sedikit dibanding daerah yang terletak di lintang menengah. Umumnya ozon total di atas wilayah Indonesia berubah-ubah berkisar antara 240-290 Dobson Unit ( 1 DU = 2.69 x 10 16 molekul ozon/cnv 3 ). Salah satu cara mengetahui kondisi ozon di atmosfer adalah melakukan pengukuran dengan menggunakan ozonsonde yang diterbangkan dengan balun seperti yang dilakukan oleh LAPAN. Keuntungan adalah dapat diketahui kerapatan ozon pada tiap level hingga ketinggian maksimum yang dicapai balun yaitu sekitar 30 km.
Dengan demikian konsentrasi ozon maksimum dapat terdeteksi, karena terdapat pada ketinggian sekitar 26-27 km. 3. AEROSOL Menurut Wen (1992) yang disebut aerosol adalah partikel berukuran kecil baik berbentuk padat raaupun cair. Aerosol yang berbentuk padat dicontohkan asap dan debu, sedangkan yang berbentuk cair adalah kabut, sedangkan aerosol yang berbentuk campuran padat dan cair adalah smog (campuran asap dan kabut). Dari sisi ukuran, aerosol diklasifikasikan menjadi inti Aitken bila panjang jari-jari aerosol r < 0.1 |im, inti besar (0.1 < r < 1.0 nm) dan inti raksasa (r > 1.0 nm). Aerosol di atmosfer ini tersebar secara tidak merata pada tiap ketinggian, untuk itu diperlukan aerosol sonde atau optical particle counter yang diterbangkan dengan balun untuk mengukur jumlah aerosol. Pertambahan jumlah aerosol di atmosfer yang paling signifikan adalah bila terjadi gunung meletus seperti yang telah terjadi yaitu gunung Krakatau di Indonesia (1883), El Chichon di Mexico (1982), dan Pinatubo di Filipina (1991). Adanya awan aerosol di atmosfer tersebut dapat mempengaruhi iklim di bumi serta mempengaruhi jumlah ozon di atmosfer. Selain dengan aerosol sonde, kini lidar lebih banyak digunakan untuk memantau kondisi aerosol di atmosfer hingga ketinggian 40 km seperti yang dioperasikan di LAPAN Bandung.
4. PENGUKURAN AEROSOL DENGAN LIDAR Gambar 4-1 merupakan skema cara kerja lidar yaitu sebagai berikut : a. Seberkas sinar laser yang dihasilkan oleh pemancar Nd: YAG laser (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) dipancarkan ke atmosfer.
65
Spesifikasi lidar y a n g d i g u n a k a n d a l a m penelitian ini a d a l a h sbb. : PEMANCAR Laser Panjang gelombang k e l u a r a n Energi k e l u a r a n Laju p e n g u l a n g a n p u l s a Lebar beam
Nd: YAG laser d e n g a n h a r m o n i k k e d u a d a n ketiga 1064 n m 532 n m 355 n m 400 m J 200 m J 580 m J 10 Hz 0.1m rad
PENERIMA 35 cm F/ll 1.0 r a d PMT(R3234 x 4) 60 m 4 - 1 2 0 km 4 -50 k m
Diameter teleskop Nisbah F Sudut pandang Detektor Resolusi ketinggian Rentang p e n g a m a t a n R e n t a n g efektif PARAMETER PENGAMATAN Metode p e n g u k u r a n Kanal p e n g a m a t a n
Menghitung foton 2 Komponen - P (atas, bawah) 1 Komponen - S (depolarisasi) Raman 607 nm
SUMBER HAMBURAN
H a m b u r a n elastik oleh molekul d a n aerosol H a m b u r a n R a m a n oleh N2
b. Oleh partikel-partikel di atmosfer, sebagian b e r k a s s i n a r laser t e r s e b u t a k a n mengalami h a m b u r a n balik yang selanjutnya diterima d a n d i k u m p u l k a n oleh sistem p e n e r i m a melalui teleskop. c. Setelah melewati teleskop b e r k a s sinar d i p e r k u a t oleh photomultiplier d. Selanjutnya b e r k a s sinar d i t e r u s k a n ke sistem k o m p u t e r . Dengan b a n t u a n software akan diperoleh suatu informasi y a n g lebih nyata, yaitu scattering ratio (nisbah hamburan) yaitu p e r b a n d i n g a n a n t a r a j u m l a h aerosol terhadap jumlah molekul udara atau backscattering coefficient (koefisien h a m b u r a n balik) dari aerosol. Umumnya diasumsikan bahwa h a m b u r a n oleh molekul atmosfer a d a l a h h a m b u r a n Rayleigh yaitu bila u k u r a n molekul p e n g h a m b u r n y a lebih kecil dari panjang gelombang c a h a y a y a n g dig u n a k a n , misalnya jari-jari molekul r < 0.05X, s e d a n g k a n h a m b u r a n oleh aerosol
66
a d a l a h h a m b u r a n Mie. Sinyal yang d i h a m b u r k a n d a n kembali k e penerima adalah sebanding d e n g a n kerapatan molekul pada ketinggian tersebut. Kerapatan molekul dapat dihitung b e r d a s a r d a t a radiosonde yaitu d a t a tekanan dan temperatur. Persamaan d a s a r lidar y a n g d i g u n a k a n a d a l a h sebagai b e r i k u t (Hayashida et al, 1991) : P(z) - E C A/ z* {p. (z) t pm (z))TV (z) Tm* (z)
(4-1)
P(z) adalah sinyal yang diterima pada ketinggian z E adalah daya dari laser C adalah konstanta dari sistem laser A adalah luas teleskop Ta.Tm a d a l a h faktor transmisi untuk aerosol dan molekul udara Pa, (5m a d a l a h koefisien hamburan aerosol dan molekul udara
balik
00
2
Ta (z)= exp (- 2 Jo oa(z) dz) (4-2) aa adalah koefisien ekstingsi p m d a n T m d i h i t u n g b e r d a s a r k a n kerap a t a n molekul atmosfer.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Lidar yang dioperasikan di LAPAN Bandung guna memantau aerosol mempunyai sistem yang cukup peka terhadap sinar matahari, oleh sebab itu data yang diperoleh dan dianalisis merupakan hasil pengamatan pada malam hari. Umumnya pengoperasian lidar dilaksanakan sesudah matahari terbenam hingga sebelum matahari terbit. Selain itu, dalam kondisi langit berawan terutama muncul awan komulo nimbus, pengamatan aerosol tidak dilakukan karena sinyal yang dipancarkan akan mengalami banyak hamburan oleh awan tersebut sehingga data noise yang terekam lebih banyak, akibatnya data aerosol yang diinginkan tidak dapat diperoleh. Pengamatan aerosol dengan Lidar umumnya aerosol dinyatakan oleh nisbah hamburan yaitu perbandingan antara jumlah aerosol dengan molekul udara atau dapat juga dinyatakan dengan koefisien hamburan balik yang sebanding dengan konsentrasi aerosol. Gambar 5-1 a, b, c, dan d secara berurutan adalah koefisien hamburan balik sebagai fungsi ketinggian pada tanggal 27 Desember 1996, 22 Agustus 1997, 25 Maret 1998, dan 26 Maret 1998. Masing-masing gambar merupakan hasil pengamatan dengan Lidar dari jam 22.00 hingga
sekitar jam 05.00 WIB. Keempat contoh memperlihatkan bahwa pada ketinggian di bawah tropopaus yaitu sekitar 17 km muncul suatu lapisan dengan nilai hamburan balik yang lebih besar dari hamburan balik di atas tropopaus, bahkan bisa mencapai 100 kali. Menurut hasil pengamatan lidar selama ini, lapisan yang letaknya di sekitar 12-15 km dengan koefisien hamburan balik relatif besar ini adalah awan yang merupakan salah satu ciri khas atmosfer di daerah katulistiwa yaitu awan cirrus di sekitar ketinggian 12-15 km (Nee et al., 1988) Aerosol di daerah stratosfer terlihat dengan jelas pada setiap pengamatan, yaitu ditunjukkan oleh profil koefisien hamburan balik di atas ketinggian tropopaus. Secara umum kerapatan aerosol maksimum terjadi pada ketinggian sekitar 20-22.5 km. Nilai maksimum koefisien hamburan balik aerosol berorde 10 8 . Bila diperhatikan secara seksama, profil hamburan balik aerosol membentuk lebih dari satu lapisan. Lapisan pertama terbentuk mulai tropopaus hingga ketinggian sekitar 30 km. Lapisan kedua mulai di atas 30 km hingga 38 km. Proses terjadinya dua lapisan ini belum dapat diketahui dengan jelas. Gambar 5-2 adalah profil ozon yang ditunjukkan dalam tekanan parsiil ozon, ozone mixing ratio serta temperatur yang diamati di Bandung pada tanggal 9 Januari 1997, 12 Agustus 1997, 16 Agustus 1997, dan 26 Maret 1998. Keempat peluncuran ozonsonde memperlihatkan bahwa konsentrasi ozon maksimum terjadi pada ketinggian sekitar 26-27 km dengan nilai dalam tekanan parsiil ozon sebesar sekitar 140 nbar. Di daerah troposfer kondisi ozon lebih banyak mengalami perubahan dibanding di daerah stratosfer. Hal ini dimungkinkan oleh pengaruh faktor luar seperti adanya polusi udara yang berasal dari industri, transportasi, dan sebagai-
67
nya. Setelah mencapai ketinggian tropopaus jumlah ozon meningkat secara tajam hingga mencapai maksimum pada ketinggian 26-27 km dan selanjutnya berkurang. Gambar 5-3 adalah profil koefisien hamburan balik aerosol dan ozon pada ketinggian 20-30 km di atas Bandung. Pengamatan aerosol dilakukan dari jam 22.00 WIB tanggal 25 Maret 1998 hingga keesokan harinya yaitu tanggal 26 Maret 1998 jam 05.00 WIB, sedangkan profil ozon didapatkan dari hasil peluncuran ozonsonde pada tanggal 26 Maret 1998 pada jam 05.21 WIB. Dengan demikian kedua profil parameter tersebut diamati dengan waktu yang tidak besar selisihnya. Hasil peluncuran ozonsonde yang tiga lainnya tidak dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan aerosol seperti yang dilakukan di atas karena mempunyai perbedaan waktu yang relatif besar antara peluncuran ozonsonde dengan pengamatan aerosol yang dideteksi dengan lidar. Salah satu kendalanya adalah faktor cuaca yang menyebabkan lidar tidak dapat beroperasi setiap saat. Pengukuran kedua parameter pada ketinggian 20 hingga 22 km, memperlihatkan konsentrasi ozon bertambah menjadi 2,5 kali lipat, sedangkan jumlah aerosol berkurang sekitar 33 %. Sebaliknya dengan bertambahnya aerosol hingga 23,3 km memperlihatkan konsentrasi ozon menurun. Dari ketinggian 23,3 25,8 km terjadi penurunan konsentrasi aerosol kembali yang diikuti dengan pertambahan jumlah ozon. Ketika konsentrasi ozon mencapai maksimum sebesar 140 nbar pada ketinggian 26,4 km, di daerah ketinggian tersebut diperoleh konsentrasi aerosol minimum yang juga terletak pada ketinggian 26,4 km. Selanjutnya aerosol bertambah, ozon berkurang. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa ketika terdapat pertambahan aerosol, diperoleh jumlah ozon yang menurun dan sebaliknya. Kejadian
68
seperti ini diindikasikan karena proses heterogeneous seperti yang diungkapkan oleh Hoffman (1988) ketika menemukan bertambahnya konsentrasi aerosol yang menghasilkan pengurangan konsentrasi ozon di atas stasiun Mc. Murdo di Antartika. Hal yang sama juga teramati ketika terjadi pertambahan aerosol sulfat di stratosfer yang diakibatkan oleh letusan gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991 yang kemudian menimbulkan dampak berupa menurunnya jumlah ozon di lintang menengah yang cukup besar, bahkan tercatat sebagai jumlah ozon terkecil terutama pada tahun 19921993 (Tolbert, 1994). 6. KESIMPULAN Hasil peluncuran ozonsonde dan pengamatan aerosol dengan lidar pada waktu yang hampir bersamaan dapat diperoleh informasi bahwa aerosol berpengaruh dalam proses terjadinya pengurangan konsentrasi ozon di atmosfer. Pengamatan aerosol dengan lidar secara rutin memungkinkan dapat digunakan mengidentifikasi kondisi ozon pada setiap tingkat ketinggian, kemungkinan konsentrasi ozon bertambah atau menipis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ozon di atas Bandung yang ditunjukkan oleh profil ozon dipengaruhi oleh kondisi aerosol yang berada di setiap tingkat ketinggian. DAFTAR RUJUKAN Chandra, S., 1993, Changes in Stratospheric Ozone and Temperature Due to the Eruptions of Mt. Pinatubo, Geoph. Res. Lett., 20, p. 33-36. Hayashida, S., Y.Sasano and Y.Iikura, 1991, Volcanic Disturbances in the Stratospheric Aerosol Layer Over Tsukuba, Japan, Observed by the National Institute for Environmental Studies Lidar From 1982 Through 1986. J. of Geoph. Res., 96, p. 15469-15478.
Warta LAPAN Vol. 3, No. 2, April - Juni 2001 Hoffman, D.J., 1988, Balloon-Borne Measurements of Middle Atmosphere Aerosols and Trace Gases in Antartica, Review of Geophysic, 26, p. 113-130. Mc.Gee, T..J., 1994, Correlation of Ozone Loss with the Presence of Volcanic Aerosol, J. Geoph. Res. Lett., 2 1 , p. 2801-2804. Nee, J . B , C.N Len, W.N C h e n , a n d C.I Lin, 1988, Lidar Observation of the Cirrus Cloud in the Tropopause at Chung-Li , American Meteorology Society, 5 5 , p . 2 2 4 9 - 2 2 5 7 . Tolbert, M.A, 1994, Sulfate Aerosol and Polar Stratospheric Cloud Formation, Science, 2 6 4 , p . 5 2 7 - 5 2 8 .
Uchino, 0 . . 1 9 9 5 , Lidar Observations of the Pinatubo Aerosol Layers, The Review of Laser Engineering, 2 3 , p.161-165. Wen, C.S., 1992, The Fundamentals of Aerosol Dynamics, World Scientific, Singapore. Yasui, M., M. Fujiwara, H. Akiyoshi, S. Ikawa, H. Nonaka, a n d K. Shiraishi, 1995, Seasonal Variation of Pinatubo Volcanic Aerosol in the Stratosphere Observed by Lidar in Fukuoka, J. Geomag. Geoelec", 4 7 , p. 988-989.
69
Gambar 5-1: Koefisien hamburan balik di atas Bandung a.Tanggal 27 Desember 1996 b. Tanggal 22 Agustus 1997 c. Tanggal 25 Maret 1998 d. Tanggal 26 Maret 1998
Gambar 5-2 : Profil ozon vertikal di atas Bandung a. Tanggal 9 Januari 1997 b. Tanggal 12 Agustus 1997 c. Tanggal 16 Agustus 1997 d. Tanggal 26 Maret 1998
71
jProfil Vertikal Aerosol dan Ozon Bandung, 26 Maret 1998
Tekanan Parsil Ozon (nbar) 25
50
75
100
125
1.0E-08
1.0E-09
150
1.0E-0
Koef. Hamburan Balik (Sr/m) gTekanan Parsil Ozon
e Koef. Hamburan Balik
Gambar 5-3 : Profil vertikal aerosol dan ozon di atas Bandung tanggal 26 Maret 1998
72