PROFESIONALISME DAN ETIKA GURU SEKOLAH DASAR DALAM MENGHADAPI DUNIA PENDIDIKAN DI ERA MODERN Heny Kusuma Widyaningrum IKIP PGRI MADIUN
[email protected] Abstrak Di era modern ini, arus globalisasi mewariskan rentetan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh. Perubahan yang dibawa oleh globalisasi ini juga dialami oleh dunia pendidikan dengan guru sebagai praktisinya. Sebagai seorang profesional, guru seharusnya memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukanvtugasvmembimbing, membina, dan mengarahkan peserta didik dalam menumbuhkan Semangat keunggulan, motivasi belajar, dan memiliki kepribadian serta budi pekerti luhur yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Guru yang professional dan memiliki etika yang baik merupakan faktor penentu proses pendidikan yang berkualitas, terutama mewujudkan kualitas peserta didik yang dapat dijadikan penerus generasi bangsa dalam menjaga nama baik Indonesia. Kata Kunci : Profesionalisme guru, etika, dan pendidikan.
231
PENDAHULUAN Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Maksud dari guru sebagai agen pembelajaran adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Seorang guru sekolah dasar harus memiliki empat kompetensi, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Keempat kompetensi tersebut harus melekat pada setiap guru sekolah dasar dengan didorong pengalaman yang matang. Oleh karena itu, pembentukan kompetensi kepribadian guru mutlak untuk dikembangkan. Sikap dan kepribadian guru dapat dibentuk melalui tindakan atau perlakuan tertentu baik di kelas maupun di lingkungan masyarakat. Guru sekolah dasar berbeda dengan guru sekolah lanjutan. Guru sekolah dasar dengan sistem guru kelas dituntut lebih mampu dalam mengelola kelas dan penguasaan materi/bahan pembelajaran. sebanyak tujuh jenis (PPKn, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Daerah, KTK) Penjaskes, dan
PAI disajikan oleh guru bidang. Jumlah jam pelajarn yang diampu juga lebih banyak dibandingkan dengan guru sekolah lanjutan (Supriadi, 2009: 28). Keberhasilan pengelolaan pendidikan bergantung pada kualitas para guru. Guru sebagai pelaksana program pendidikan melalui kegiatan pembelajaran di kelas, dikatakan berhasil atau tidak, salah satunya akan sangat tergantung dari kinerja dan profesionalisme para guru. Kinerja seorang guru dikatakan baik jika guru telah melakukan unsurunsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, kedisiplinan, kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, kerja sama warga sekolah, kepribadian yang baik, jujur, dan objektif dalam membimbing siswa, serta tanggung jawab terhadap tugasnya. Membahas masalah kualitas dari kinerja, guru tidak terlepas dari pencapaian hasil belajar. Hal tersebut dikarenakan kinerja guru sangat menentukan keberhasilan proses belajar yang efektif dan efisien sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dan terwujud dari hasil belajar siswa yang baik. Sehubungan dengan pernyataan yang telah dijelaskan sebelumnya, di era modern ini, orang tua siswa ini menuntut terpenuhinya kebutuhan pendidikan yang baik dan berkualitas bagi putra-putrinya. Dengan adanya tuntutan global dan kehidupan modern, masyarakat kian mengharuskan dan menuntut terselenggaranya pendidikan yang dikelola dengan profesional, salah satunya adalah tersedianya para guru yang profesional. Kepercayaan
232
masyarakat terhadap guru merupakan kunci pembentukan manusia yang berkualitas, pemberi ilmu serta menamkan, membentuk dan mengembangkan nilai moral dan etika, sehingga menjadi landasan berpijak. Tuntutan keprofesionalan suatu pekerjaan pada dasarnya melukiskan sejumlah persyaratan yang harus dimiliki oleh seseorang yang memangku jabatan tersebut. Howsam (dalam Mantja, 2007:219) mengidentifikasi suatu profesi sebagai berikut. Pertama, seseorang professional menggunakan waktu sepenuhnya untuk menjalankan pekerjaanya. Kedua, terikat dengan panggilan hidup dan di dalam hal tersebut memerlukan seperangkat norma kepatuhan dan perilaku. Ketiga, menjadi anggota professional yang formal. Keempat, menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus. Kelima, terikat oleh syarat-syarat kompetensi, kesadaran prestasi dan pengabdian. Keenam, memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknik yang tinggi. Guru sebagai pendidik professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilinya. Masyarakat akan melihat sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Walaupun segala perilaku guru selalu guru diperhatikan masyarakat, guru harus tetap bersikap professional. Sikap profesional guru adalah sikap seorang guru dalam menjalankan
pekerjaannya yang mencakup keahlian, kemahiran, dan kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi keguruan. Secara umum, profesi berarti suatu pekerjaan yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi keperluan hidup seseorang. Dalam hubungan ini dikenal istilah penari profesional, pemain sepak bola profesional, pemusik profesional, dan pendidik profesional. Tetapi secara lebih khusus, Danim dan Khairil (2012:8), menyebutkan bahwa profesi adalah sebuah jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu. Adapun status profesional ini tidak dapat dicapai hanya dengan mengeluarkan persyaratan bahwa tenaga pendidikan adalah tenaga profesional, meskipun sudah ditentukan dalam perundangundangan. Trianto (2010:17), bahwa profesionaisasi adalah suatu usaha untuk mencapai tingkat profesional. Menurut Sahertian (Trianto, 2010:18), bahwa usaha profesionalisasi dapat timbul melalui dua segi, yaitu: (a) dari segi eksrenal, yaitu dorongan dari luar yang memacu untuk mengikuti kegiatan akademik atau penataran atau adanya lembaga-lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi guru untuk belajar lagi, dan (b) dari segi internal, yaitu seseorang dapat berusaha belajar
233
sendiri untuk bertumbuh dalam jabatan. Profesionalisasi melalui belajar terus-menerus ini sangatlah penting dalam arti untuk mencapai profesionalitas profesi. Status profesional hanya dapat dicapai melalui tahap perkembangan yang berlangsung terusmenerus sebagaimana dikemukakan oleh Joni (Trianto, 2010: 19-20) melalui enam tahap perkembangan, yaitu: (a) menentukan jenis layanan unik, (b) mempunyai standar untuk melakukan seleksi dan penyiapan pendidikan yang bersifat prajabatan, (c) adanya pengakuan resmi terhadap program pengadaan tenaga kependidikan, (d) adanya mekanisme untuk memberi pengakuan resmi kepada perseorangan yang telah memiliki kompetensi minimal sebagai pekerja profesional, (e) tenaga profesional bertanggungjawab terhadap segala aspek tugasnya baik secara perseorangan atau kelompok, dan (f) memiliki kode etik yang merupakan dasar untuk melindungi para anggota yang menjungjung tinggi nilai-nilai etika profesional. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata „etika‟ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha, yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal
usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Menurut Sumaryono (1995) menjelaskan bahwa etika berkembang menjadi studi tentang manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Etika biasanya sering diasumsikan bersinonim atau memiliki kesamaan dengan moral. Berbeda dengan moralitas, etika perlu dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang bicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Nilai adalah sesuatu yang berguna bagi seseorang atau kelompok dan karena itu orang atau kelompok tersebut selalu berusaha untuk mencapainya karena pencapaiannya sangat memberi makna kepada diri serta seluruh hidupnya. Norma adalah aturan atau kaidah dari perilaku dan tindakan manusia. Menurut Suseno (dalam Ngatiningsih, 2013: 27), ada empat alasan manusia perlu beretika: Pertama, kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik. Perlu kesatuan tatanan normatif. Kedua, kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang sangat cepat. Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual, dan budaya itu nilai budaya tradisional
234
tertantang. Perubahan-perubahan budaya terjadi begitu cepat akibat modernisasi. Ketiga, dengan etika kita dapat menghadapi ideologiideologi baru dengan kritis dan objektif untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak mudah terpancing. Etika juga membantu agar kita jangan naif atau ekstrem, tidak cepat bereaksi, terhadap suatu pandangan baru, menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa. Keempat, etika juga perlu oleh agama untuk memantabkan pemeluknya dalam keyakinan dan keimanan. Adanya manfaat beretika diharapkan peran pendidik dimanapun, dalam situasi apapun keberadaannya tetaplah sebagai pembimbing, pembina perilaku, dan sekaligus model berperilaku manusia beretika karena ini bagian dari tanggung jawab sebagai pendidik. Pendidik yang sukses adalah guru yang tidak hanya kaya secara materi namun juga kaya dalam nilai-nilai moral dan spiritualnya. Pendidik yang cerdas mampu memberdayakan segala kualitas positif dalam dirinya berhak untuk mengukirkan nasibnya sesuia dengan yang diimpikan. Ada dua macam etika guru di sekolah yaitu formal dan nonformal. Formal itu salah satu contohnya adalah kode etik guru yang apabila dilanggar, akan ada sanksi tertentu (sanksi hukum). Semetara etika nonformal merupakan etika individu yang berkaitan dengan moral dari seorang guru. Dalam etika non formal ini apabila dilanggar tidak ada sanksi hukum tetapi sanksi moral. Pada era masa kini, sudah harus dituntut serba canggih dan
mengikuti pergerakan zaman, teknologi pun sudah merambah ke dunia pendidikan. Beberapa sekolah atau guru yang menggunakan sistem mengajar yang tidak biasa, mereka menggunakan yang namanya proyektor. Proyektor yang dulu hanya dipakai di kalangan orang kantoran saja kini bisa diterapkan di sekolah. Hal tersebut merupakan kemajuan sistem belajar mengajar yang harusnya sudah diterapkan dan dikembangkan di sekolah-sekolah. Manfaat yang didapatkan juga banyak, yaitu (1) efektifnya kegiatan belajar mengajar, (2) suasana kelas yang tidak jenuh, dan (3) membuat para siswa menjadi lebih sadar bahwa pentingnya teknologi bagi kegiatan di sekolah. Modernisasi sebagai sebuah gagasan pendidikan ingin memberikan kesetaraan dan pengakuan akan ragam budaya yang memiliki sejarah panjang. Parktek mengenai berjalannya pendidikan modern diberbagai negara, baik di barat maupun di timur telah menghasilkan kesepakatan bersama (mutual agrement) bahwa salah satu pilar pendidikan adalah “living together” yakni memberikan latihan dan keterampilan kepada para siswa akan pentingnya pengakuan dan penghargaan kepada orang yang memiliki ragam bahasa, budaya, etnis, maupun agama (Niam, 2010: 39) . Era global memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab mau tidak mau, siap tidak siap perubahan itu akan terjadi. Era ini ditandai dengan proses kehidupan mendunia,
235
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang transformasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Perubahan yang dibawa oleh globalisasi ini, mau atau tidak mau juga dialami oleh dunia pendidikan dengan guru sebagai praktisinya. Ada beberapa tantangan yang dihadapi guru di era global dengan harus mengedepankan profesionalismenya, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar; krisis moral yang melanda Indonesia, krisis sosial dan krisis identitas sebagai Bangsa dan Negara Indonesia. Semua itu jelas menuntut calon guru dan pendidik yang bermutu (Oviyanti, 2013: 281-282). Pada era modern ini pemerintah telah mengeluarkan kurikulum baru sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya, kurikulum baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni kurikulum tahun 2013. Kurikulum tahun 2013 adalah sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan karakter. Siswa dituntut untuk paham terhadap materi, aktif dalam diskusi dan presentasi, serta memilki sopan santun, disiplin tinggi. Kurikulum ini menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diterapkan sejak tahun 2006. Kurikulum ini lebih menekankan pada soft skill, dimana siswa bisa dilihat dari aspek sikap dan attitudnya di sekolah.
ISI Pendidik yang handal, profesional, dan berdaya saing
tinggi, serta memiliki karakter yang kuat dan cerdas merupakan modal dasar dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu mencetak sumberdaya manusia yang berkarakter, cerdas, dan bermoral tinggi. Sumberdaya manusia yang demikianlah yang sebenarnya diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara– negara lain dan dapat berperan serta aktif dalam perkembangan dunia di era global dan bebas hampir tanpa batas ini (Baedhowi, 2009:2). Adanya arus globalisasi di era modern ini, setiap orang dihadapkan oleh dua pilihan, yaitu menempatkan dirinya dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau dia menjadi korban dan terseret derasnya arus globalisasi. Dalam dunia pendidikan, peran guru sebagai tenaga pendidik dituntut meningktkan profesionalitasnya, terutama sebagai guru di Sekolah Dasar (SD). Perkembangan anak usia SD adalah langkah awal terbentuknya pribadi anak yang baik dan cerdas, seperti membangun keutuhan sikap diri, bersosialisasi, dan pengembangan keterampilan dasar. Menurut Kunandar (2007: 20), ada beberapa tantangan globalisasi yang harus disikapi guru dengan mengedepankan profesionalismenya. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar. Dengan kondisi tersebut, guru harus bisa menyesuaikan diri secara responsif, arif dan bijaksana. Kedua, krisis moral yang melanda Indonesia. Melalui pendidikan, guru memiliki tantangan tersendiri untuk menanamkan nilai-nilai moral pada
236
generasi muda. Ketiga,krisis sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan. Krisis sosial tersebut merupakan tantangan guru untuk merespons karena sekolah mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mampu menghasilkan peserta didik yang siap hidup dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Keempat, krisis identitas sebagai bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu, guru sebagai penjaga nilai-nilai, termasuk nilai nasionalisme harus mampu memberikan kesadaran kepada generasi muda akan pentingnya jiwa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tantangan globalisasi tersebut, pihak guru harus mengambil sikap profesionalisme. Guru perlu mengembangkan atau meningkatkan kualitas yang baik dalam melakukan tugas membimbing dan mengarahkan siswa dalam menumbuhkan semangat, motivasi belajar, dan memiliki kepribadian serta budi pekerti luhur agar menjadi teladan sehingga dapat dicontoh anak didiknya. Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang berkualitas. Apalagi anak usia SD mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah. Kecepatan pertumbuhan anak pada masingmasing aspek tersebut tidak sama. Untuk meningkatkan mutu suatu profesi guru, khususnya profesi keguruan, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: kegiatan penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi banding, seminar, atau kegiatan ilmiah lainya. Jadi, kegiatan
pembinaan profesi tidak hanya terbatas pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja, melainkan berkelanjutan Selain meningkatkan mutu profesi guru, demi mempertahankan profesinya, guru juga harus memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, mampu berkomunikasi baik dengan peserta didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya. Dengan demikian, tantangan guru di era global tidak akan menggusurnya pada posisi yang tidak baik. Guru sebagai pendidik professional telah mendapatkan citra dari masyarakat dalam mendidik peserta didik mereka apabila mampu membuktikan bahwa guru layak menjadi panutan masyarakat, seperti perilaku dan sikap yang ditampilkan sehari-hari baik di sekolah maupun di kehidupan masyarakat. Dari situlah masyarakat akan melihat cara guru meningkatkan pelayanannya, pengetahuannya, memberikan arahan dan dorongan kepada anak didiknya, berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa. Peserta didik, terutama anak usia sekolah dasar menganggap bahwa segala perbuatan dan tingkah laku guru adalah baik. Maka dari itu, mereka suka mencontoh perbuatan gurunya agar dapat menjadi pribadi yang baik. Hasibuan (2007: 38) menjelaskan bahwa fungsi guru sebagai seorang pemimpin dan contoh teladan bagi anak, maka ia harus memiliki tingkah laku yang
237
utama (kepribadian utama). Seorang guru tidak hanya menunjukkan katakata “itulah” beginilah normanorma” dan sebagainya. Akan tetapi, guru harus mempraktikkannya (guru itu menjadikan sifat-sifat terpuji sebagai keseluruhan dari kepribadiannya). Tanggung jawab seorang pendidik sangatlah penting bagi anak didik, karena anak membutuhkan bantuan atau pertolongan dari pendidik. Sifat tergantung ini dijumpai dalam hubungan kodrat antara orang tua dengan anak atau dengan yang bertanggungjawab atas perkembangannya (Hasibuan, 2007: 39). Oleh karena itu, guru wajib mengetahui perkembangan pribadi peserta didiknya agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Sealin itu, guru harus bersikap terbuka dan ramah agar siswa juga memberikan umpan balik yang positif bersikap aktif dan menghormati guru mereka. Profesi guru dapat disebut juga sebagai profesi yang luhur. Perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Bagaimanapun situasi dan kondisi siswa, baik dari segi kecerdasan maupu pribadi siswa, guru wajib membantu dan membimbing siswa dengan ikhlas. Dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan. Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menjelaskan bahwa seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-
aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlian mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien (dalam Arikunto, 2004: 15). Profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama, menjalankan, dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan sematamata segi materinya belaka. Sebagai profesi khusus luhur, dapat diakatakn pula guru bukan hanya pengajar, pelatih dan pembimbing, tetapi juga sebagai cermin tempat subjek didik dapat berkaca. Dalam relasi interpersonal antar guru dan subjek didik tercipta situasi didik yang memungkinkan subjek didik dapat belajar menerapkan nilai-nilai yang menjadi contoh dan memberi contoh. Guru mampu menjadi orang yang mengerti diri siswa dengan segala problematikanya, guru juga harus mempunyai wibawa sehingga siswa segan terhadapnya. Hakikat guru pendidik adalah bahwa ia digugu lan ditiru. Jadi, etika guru adalah perilaku seorang guru yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melaksanakan
238
tranformasi diri, identias diri, dan pemahaman diri serta memiliki nilainilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari agar dapat dicontoh oleh peserta didiknya. KESIMPULAN Dunia pendidikan di era modern ini, guru memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, melatih, serta mengarahkan peserta didik agar memiliki kesiapan dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat. Oleh karena itu, kedudukan guru sebagai tenaga professional sangatalah penting. Untuk mewujudkan profesionalisme guru, perlu dilakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya. Dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2004. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta. Baedhowi. 2009. Tantangan Pendidikan Masa Depan dan Kiat Menjadi Guru Profesional. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Launching Klub Guru Indonesia Wilayah Yogyakarta.
melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun sehingga diharapkan guru berperan lebih profesional karena sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi di era modern saat ini. Etika profesi guru adalah kunci sukses pendidikan para siswa. Para guru mampu memberikan contoh yang baik dan positif sehingga mempengaruhi proses belajar mengajar yang pada akhirnya memberikan hasil yang memuaskan dan membawa kesuksesan pada para peserta didik mereka. Selain itu, pedoman mengenai sikap dan perilaku guru yang tertuang dalam kode etik guru merupakan nilai-nilai moral yang dapat memberikan perbedaan perilaku guru dari yang baik dan buruk. Perilaku guru yang baik jelas akan berdampak baik bagi perilaku siswa karena semua etika guru akan digugu dan ditiru oleh peserta didiknya.
Danim, S dan Kharil H. 2012. Profesi Kependidikan. Bandung: Alfabeta. Hasibuan, Muslim. 2007. Diktat Dasar-Dasar Pendidikan. Padangsidimpuan : STAIN Press. Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: Rajawalai Pers. Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan
239
dan Supervisi Pengajaran. Malang : Elang Mas.
Jurnal Pendidikan Islam, vol 7, No. 2, pp. 281-282.
Ngatiningsih. 2013. Modul Etika dan Karakter. Bengkulu : Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Provinsi Bengkulu.
Trianto, 2010. Mendesain Model Pembelajaran InovatifProgresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Niam, Samsum. Pendidikan Multi Kultur. Radar Jember. 28 oktober 2010. Oviyanti, Fitri. 2013. Tantangan Pengembangan Pendidikan Keguruan di Era Global.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Jakarta : Depdiknas.
240