Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) e-ISSN: 2460-5905 Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015, 137-145
MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU BERKELANJUTAN DI SEKOLAH DASAR BERBASIS PENDEKATAN MERITOKRASI Endang Padmi Heruningsih Kepala SD Negeri Kedungmlaten, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur Abstract Building a sustainable teachers professionalism is the duty and responsibility of the leadership in stages, starting from the principal, the head of education, up to the head region. In this context should not be made based on the likes and dislikes; by corruption, collusion and nepotism; and should not happen forgery file. This article suggests how to build sustainable professionalism of teachers through merit system is seen as more equitable, weighted, and elegant as basing decisions professionalism of performance-based development. Keywords: Teachers professionalism, merit system
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905 [Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015] | 137
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
PENDAHULUAN Sejak Undang-undang (UU) RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 74/2008 tentang Guru diundangkan, banyak sejawat guru sekolah dasar (SD) yang melanjutkan studi, baik ke jenjang S1, S2, bahkan S3. Kedua regulasi tersebut dipandang memberi angin segar bagi guru yang berkualifikasi sesuai yang dipersyaratkan untuk kepentingan membangun profesionalisme mereka. Lebih-lebih kemudian pemerintah memberlakukan wajib sertifikasi bagi guru jika ingin memenuhi syarat Undang-undang sebagai guru yang profesional. Profesi, tidak terkecuali profesi guru, kata Pribadi sebagaimana dikutip Oemar Hamalik (1991), pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Hal itu berarti seorang pekerja profesional berjanji untuk menunaikan tugas secara sungguhsungguh berdasarkan etika yang terkandung dalam suatu profesi. Janji yang bersifat etis demikian 138
mengandung sanksi-sanksi tertentu apabila dilanggar oleh pemangku jabatan profesional, yang bisa berupa sanksi hukum, sanksi sosial, maupun sanksi moral keagamaan. Pekerjaan yang dilakukan pekerja profesional tidak semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi lebih dimaksudkan untuk menunaikan tugas-tugas dan pengabdian masyarakat. Menurut Parkay & Stanford (1992), orang-orang profesional memiliki derajat yang tinggi atas pengetahuan teoretik spesifik, metode dan teknik yang diterapkannya dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Kaum profesional terpadu dalam solidaritas kelompok yang tinggi, yang berasal dari pendidikan, pelatihan dan ketaatan pada doktrin-doktrin dan metodemetode yang didalaminya. Masih menurut Parkay & Stanford (1992), karakteristik suatu profesi antara lain mampu menjalankan pekerjaan dengan derajat otonomi yang tinggi, menempuh suatu pendidikan dan pelatihan dengan periode yang panjang sebelum mereka memasuki praktik profesional, memberikan jasa yang spesial bagi kliennya dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang umumnya tidak dimiliki
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Endang Padmi Heruningsih
oleh mereka yang bukan profesional. Jadi, berdasarkan pengertian dan karakteristik yang terkandung dalam suatu profesi, maka orangorang yang tergolong profesional adalah mereka yang memiliki keahlian spesifik tinggi dengan penguasaan teoretik dan metode atau prosedur kerja tertentu yang digunakannya dalam memberikan pelayanan atau pekerjaan seharihari. Profesi guru termasuk kategori profesional. Sebab tugas dan kewajiban guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang pekerja. Profesionalisme guru hanya bisa dicapai melalui suatu proses pendidikan yang terprogram secara khusus dan membutuhkan waktu relatif lama, termasuk di dalamnya adalah pelatihan atau praktek mengajar di sekolah. Menurut Parkay & Stanford (1992), ada lima basis pengetahuan profesionalisme guru, yaitu pengetahuan tentang diri dan siswa, pengetahuan tentang bahan ajar, pengetahuan tentang teori dan penelitian pendidikan, keterampilan teknologi pembelajaran, dan kemampuan komunikasi antarpribadi. Kelima basis pengetahuan tersebut tentu saja sudah termaktub dalam
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
berbagai jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh profesi guru sebagaimana diatur Undangundang, mulai dari kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Salah satu kebijakan yang diintroduksikan oleh pemerintah adalah pembangunan dan pengembangan profesionalisme guru dilakukan secara berkelanjutan. Akan tetapi dalam praktiknya banyak keluhan datang dari para guru, terutama dari teman sejawat guru SD karena sebagian besar mentok karirnya. Meskipun hal itu membutuhkan penelitian yang lebih mendalam, sudah pada tempatnya jika diusulkan agar praktik membangun profesionalisme yang selama ini masih merugikan guru dihentikan. Membangun profesionalisme guru tidak boleh berdasarkan kedekatan semata dengan pimpinan atau kepala daerah, karena faktor suka atau tidak suka, lebih-lebih jika diharuskan berbekal gratifikasi atau korupsi (suap menyuap). Di sisi lain guru juga tidak boleh memalsukan berbagai persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan atau membeli dengan cara instan.
139
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
Artikel ini mendeskripsikan perlunya membangun profesionalisme guru berkelanjutan dengan sistem meritokrasi. Sistem yang dipandang lebih adil, berbobot dan elegan demi kemajuan karir guru profesional yang bermutu. PEMBAHASAN Profesionalisme Guru Sebagaimana ditulis Moh. Uzer Usman (1991) dalam Sudarwan Danim (2010), guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Berdasarkan pandangan tersebut seharusnya setiap penyelenggara dan pengelola satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta tidak boleh mengangkat sembarang orang menjadi guru, dengan alasan otonomi daerah sekali pun. Jika kemudahan mengangkat sembarang orang menjadi guru terus dilakukan, maka dampaknya akan luar biasa. Selain menumpulkan kembali profesionalisme profesi guru, juga akan menyebabkan runtuhnya profesionalitas profesi (deskilled profession) yang berakhir pada tidak 140
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sehubungan dengan profesionalisme profesi guru, unsur terpenting yang relevan dipenuhi sebagai persyaratan umum untuk menjadi guru minimal ada tiga hal, yaitu, kualifikasi akademik; penguasaan sejumlah kompetensi sebagai keterampilan atau keahlian khusus yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mendidik dan mengajar secara efektif dan efisien; serta sertifikasi bagi para guru yang dipandang memenuhi kedua syarat sebelumnya; dan tentu saja harus sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Oding Supriadi, 2011). Pembangunan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karir. Pembangunan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pembangunan dan pengembangan profesi guru dilakukan melalui jabatan fungsional. Pembangunan dan pengembangan karir guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Pembangunan keprofesi-
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Endang Padmi Heruningsih
an berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan dan dapat meningkatkan profesionalismenya. Pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan sudah diatur oleh Keputusan Presiden No. 87/ 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No. 74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/ 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No: 03/V/PB/2010, Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Seorang kepala sekolah, Kepala Dinas, dan pimpinan daerah berbagi tanggung jawab dalam membangun profesiolisme guru berkelanjutan. Oleh karena itu ketiga pemimpin tersebut wajib memahami semua regulasi yang bertalitemali dengan pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan sehingga terhindar dari berbagai
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
praktik yang mer ugikan karir profesional guru. Pendekatan Meritokrasi Istilah meritokrasi secara umum berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi sebenarnya menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu. Meritokrasi kerap kali dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidakadilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin. Atau jika dalam dunia kerja arti dari meritokrasi adalah sebuah penghargaan atau imbalan (reward), atau bayaran/gaji (sallary) yang diberikan kepada pekerja/karyawan disesuaikan dengan keahliannya/ jabatannya atau prestasinya. Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap dipakai guna menentang birokrasi yang sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) terutama
141
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
pada aspek nepotisme. Dalam keadaan meritokrasi yang murni, gen akan menentukan siapa yang menang dan kalah. Dari kosa kata meritrokasi lahirlah apa yang disebut sebagai sistem merit. Istilah sistem merit (merit system) sendiri dalam konteks manajemen sumber daya manusia (SDM) selama ini telah diartikan secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi sebuah organisasi bisnis, termasuk di Indonesia, sistem merit digunakan khususnya dalam konteks manajemen remunerasi (penggajian/pengupahan) (Agus Darminto Usodo, 2006). Bagi organisasi pemerintah, sistem merit diartikan sebagai kebijakan dan sistem dimana kenaikan gaji dan imbalan (rewards) sepenuhnya didasarkan pada tingkat prestasi kerja (kinerja) pegawai (Achmad S. Ruky, 2002). Sistem meritokrasi mengandaikan, siapa saja personal yang berprestasi akan naik karirnya dan siapa saja personal yang tidak berprestasi akan mandek atau turun karirnya. Pengelolaan SDM yang didasarkan pada prestasi (merit), merupakan segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya sebagai baik atau buruk, hal mana berpengar uh langsung pada naik
142
turunnya karir jabatan pegawai (Hartanto Brotoharsojo, 2004). Oleh karena itu, dalam sistem merit perlu dilakukan perumusan kebijakan, seperti penilaian (menghasilkan penilaian yang optimal dan objektif), karir (memberikan kejelasan dan kepastian arah jenjang karir atau promosi, rotasi atau demosi), dan pelatihan (training) yang meningkatkan secara optimal aspek pengetahuan dan keterampilan serta sikap kerja. Artinya, dalam sistemn merit, siapa saja personal yang berprestasi akan naik karirnya dan siapa saja personal yang tidak berpertasi akan mandek, stagnan, bahkan turun karirnya Sistem merit atau meritokrasi pada prinsipnya merupakan aplikasi dari manajemen kinerja. Menurut Setyo Arinanto (2004), kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan (program) atau kebijakan organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi, keluaran hasil kerja organisasi dalam mewujudkan tujuan strategis yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan, serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Kinerja dapat dinilai dengan ukuran penilaian yang
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Endang Padmi Heruningsih
didasarkan pada indikator berikut: 1. Masukan (input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan atau kegiatan. 2. Keluaran (output), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. 3. Hasil (outcome), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. 4. Manfaat (benefit), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari hasil. 5. Dampak (impact), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat. Manajemen dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem yang
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau produk dari perencanaan alokasi biaya atau masukan yang ditetapkan. Manajemen yang disusun dengan pendekatan kinerja dengan demikian dapat dijelaskan sebagai berikut: “Suatu sistem yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Keluaran (output) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan. Masukan (input) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan. Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara masukan dengan keluaran.” Pertanyaannya ialah, apakah pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan di sekolah dasar sudah berdasarkan meritrokasi? Diperlukan penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab seperti diketahui, kewenangan pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan di sekolah dasar (SD) merupakan
143
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
otonomi daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian pelaksanaannya pun sangat tergantung pimpinan, yakni Bupati/Wali Kota tempat di mana guru bertugas.
kasus gugatan atas mutasi guru tanpa dasar yang dimenangkan oleh para guru di daerah merupakan bukti bahwa sistem merit belum berjalan sempurna.
Sebagai public servant, guru tidak dibiarkan melaksanakan profesinya sekehendak hati. Setiap pekerja profesional, termasuk guru memerlukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir kepangkatan dan jabatannya. Guru dalam lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, maupun oleh pemerintah daerah dan swasta memiliki kewajiban yang sama untuk tunduk kepada aturan main yang diberlakukan untuk penilaian kinerja dimaksud. Penilaian kinerja untuk guru mengacu kepada ketentuan tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Artinya, Keputusan Presiden No. 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No. 74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/ 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No: 03/V/PB/2010, Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, belum berjalan secara sempurna.
Adalah benar bahwa hasil pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan pada akhirnya ditentukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan di Kemdiknas, Jakarta. Akan tetapi sudah jamak terjadi bahwa prosesnya di daerah belum sepenuhnya memenuhi standar meritokrasi. Sejumlah
144
SIMPULAN DAN SARAN Membangun profesionalisme guru berkelanjutan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pimpinan secara bertingkat, mulai dari kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, hingga kepala daerah. Pada konteks tersebut tidak boleh dilakukan berdasarkan rasa suka atau tidak suka; berdasarkan JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Endang Padmi Heruningsih
korupsi, kolusi dan nepotisme; dan tidak boleh terjadi pemalsuan berkas. Artikel ini menyarankan bagaimana membangun profesionalisme guru berkelanjutan melalui sistem merit yang dipandang lebih adil, berbobot, dan elegan karena mendasarkan keputusan pembangunan profesionalisme berdasarkan prestasi kerja. DAFTAR RUJUKAN Achmad S. Ruky. 2002. Manajemen Penggajian dan Pengupahan untuk Karyawan Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Agus Darminto Usodo. 2006. Sistem Merit: Teori, Aplikasi dan Kasus. Bandung: CV. Mandar Maju. Arief Yantinarto. 2005. Sistem Penilaian Kinerja: Manajemen Unjuk Kerja. Bandung: Penerbit Ganesha.
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
Hartanto Brotoharsojo. 2004. Merit System bagi Organisasi Publik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Setyo Arinanto. 2004. Manajemen Berbasis Kinerja: Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju. Sudarwan Danim. 2010. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Penerbit ALFABETA. Oding Supriadi. 2011. Profesi kependidikan. Yog yakarta: LakBang PRESSindo. Oemar Hamalik. 1991. Pendidikan Guru: Konsep dan Strategi. Bandung: CV. Mandar Maju. Parkay, F.W. & Stanford, B.H. 1992. Becoming Teacher: Accepting the Challenge of a Profession. Boston: Allyn and Bacon.
145