PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN RAWA DI KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI HIJAUAN PAKAN BERKELANJUTAN
TINTIN ROSTINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ”Produktivitas dan Pemanfaatan Tumbuhan Rawa Di Kalimantan Selatan sebagai Hijauan Pakan berkelanjutan” adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir topik disertasi ini. Bogor, Juni 2014
Tintin Rostini NRP. D162110021
RINGKASAN TINTIN ROSTINI. Produktivitas dan Pemanfaatan Tumbuhan Rawa di Kalimantan Selatan sebagai Hijauan Pakan Berkelanjutan. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH, KOMANG G WIRYAWAN dan PANCA DEWI MANU HARA KARTI. Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak ruminansia. Kandungan nutrisi pada hijauan sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai sumber pakan. Hijauan rawa merupakan hijauan pakan yang tumbuh di daerah rawa yang berpotensi sebagai pakan ternak ruminansia seperti kerbau rawa (Kerbau Kalang), sapi, dan kambing. Hijauan rawa yang tumbuh di rawa terdiri dari rumput dan leguminosae. Hijauan ini memiliki produktivitas dan kandungan protein yang cukup tinggi, namun ketersediannya fluktuatif. Ketersediaan hijauan pakan menjadi faktor utama dalam pengembangan ternak dan teknologi preservasi merupakan salah satu usaha untuk menjamin ketersedian hijauan pakan sepanjang musim. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian yang dilakukan secara bertahap. Kajian pertama untuk mengevaluasi potensi jenis spesies, produktivitas, kapasitas tampung dan kualitas nutrisi hijauan rawa Kalimantan Selatan, menggunakan metode survey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan rawa di Kalimantan Selatan memiliki 18 jenis, dengan 4 jenis spesies dominan berdasarkan skoring yang memiliki produksi cukup tinggi dan kualitas nutrisi yang baik pada musim pasang. Keempat jenis rumput tersebut adalah Hymeneche amplexicaulis Haes, produksinya sebesar 1032.60 kg BK ha-1panen-1 kandungan PK 10.88%, SK 16.37% dengan kapasitas tampung 2.98 ST. Ischaemum polystachyum. J. Presl produksinya 989.16 kg BK ha-1panen-1 kandungan PK 14.3%,SK 17.35%, kapasitas tampung sebanyak 2.85 ST. Ludwigia hyssopifolia produksinya sebesar 851.67 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 15.96%, SK 25.23%, kapasitas tampung 2.56. ST dan Polygonum barbatum L produksinya sebesar 889.71 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 16.45% dan SK 16.27%, dengan kapasitas tampung 2.45 ST. Kajian kedua bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh preservasi hijauan rawa dengan metode (silase, hay, dan haylage) terhadap kualitas nutrisi dan kecernaan in vitro. Metode yang digunakan untuk pembuatan silase dan haylage adalah ensilase hijauan rawa dengan bakteri L. Plantarum 1BL-2 selama 21 hari. Hasil yang diperoleh dari silase hijauan rawa adalah penurunan kandungan serat kasar dan peningkatan kadar protein. Komposisi kimia silase hijauan rawa adalah PK 14.02% dan SK 13.89%, kecernaan bahan kering (KBK) 59.23 - 63.21% dan kecernaan bahan organik sebesar (KBO) 56.25 - 62.32%. Kandungan nutrisi haylage adalah PK 14.25% dan SK 14.52%, KBK 54.25- 57.25% dan KBO 53.21-56.48%. Pengawetan hijauan rawa menjadi hay adalah PK 13.52% dan SK 16.11%, dengan KBK 52.91-55.86% dan KBO 46.24-50.12%. Kajian ketiga bertujuan untuk mengevaluasi potensi penggunaan hijauan rawa sebagai pakan ternak ditinjau dari kecernaan dan performa ternak kambing. Ternak yang digunakan adalah 24 ekor kambing kacang jantan umur 10-12 bulan yang dialokasikan ke dalam 4 kelompok dengan 6 perlakuan. Perlakuan penelitian terdiri dari : 60% rumput dan 40% leguminosa (HL), 60% hijauan rawa
dan 40% konsentrat (HRD), 100% hijauan rawa segar (HRS), 100% hay hijauan rawa (HRK), 100% silase hijauan rawa (HRL), 100% haylage hijauan rawa (HRH). Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antar perlakuan hijauan rawa yang diawetkan. Perlakuan dengan metode silase (HRL) mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaaan pakan, yaitu meningkatkan protein kasar dari 13.72 menjadi 14.02%, konsumsi protein (74.62g d-1), konsumsi bahan kering (532.11 g ekor-1hari-1), konsumsi Bet-N ( 257.39 g ekor-1hari-1) mampu meningkatkan bobot badan total (3.5 kg) dalam 8 minggu dengan pertambahan berat badan harian (62.60 g hari-1ekor-1). Silase hijauan rawa berpotensi untuk digunakan sebagai pengganti hijauan lapangan bagi ternak kambing pada saat musim surut. Kata Kunci: haylage, hijauan rawa, kapasitas tampung, silase.
SUMMARY TINTIN ROSTINI. Productivty and Utilization of Swamp Forages in South Kalimantan as Sustainable Feed. Supervised by LUKI ABDULLAH, KOMANG G WIRYAWAN dan PANCA DEWI MANU HARA KARTI. Forage feedstuffs are absolutely necessary either quantitatively or qualitatively throughout the year in ruminant livestock production systems. Nutritional factor found in forage is very important to be considered as a feed sources. Swamp forages are forage that grow in swampy areas which is potential for feeding livestock such as ruminants, buffalo (Kerbau Kalang), cows and goats. Swamp forages that grow in the swamp consist of grasses and leguminose. These forages have high productivity and nutrient content, especially protein; however their availability fluctuate. Forages availability become a major factor in the development of ruminant livestock preservation technology to ensure the availability of the forage. The research was conducted in three studies in accordance to each purpose. The objective of this research was to evaluate potential species, productivity, carrying capacity and the nutritional value of swamp forages in South Kalimantan using survey method. The results showed that South Kalimantan swamp forages consist of 18 types with four dominant species having high production and good quality nutrition during spring tide. The four grass were, Hymeneche amplexicaulis Haes, production amounted to 1 032,6 kg DM ha -1 harvest-1, nutrient content of 10.88% crude protein (CP), 16.37% crude fiber (CF), with carrying capacity of 2.98 Animal Unit/season. Ischaemum polystachyum J. Presl production amounted to 989,2 kg DM ha-1 harvest-1, nutrient content of 14.3% CP, 17.35% CF, with carrying capacity of 2.85 Animal Unit/season. Ludwigia hyssopifolia, production amounted to 851,7 kg DM ha-1 harvest-1, content of 15.96% CP, 25.23% CF, carrying capacity of 2.56 Animal Unit/season, and Polygonum barbatum L production was 889,7 kg ha-1 harvest-1, content of 16.45% CP, and 16.27% CF, with carrying capacity of 2.45 Animal Unit/season. The second study was aimed to evaluate the effect of forage preservation methods (hay, silage, and haylage) of swam forage on nutritional quality and digestibility in vitro. The method used in making silage and haylage, was ensiling of swamp forages with L. plantarum 1BL-2 for 21 days. The results obtained in silage of swamp forages was a decreased in crude fiber content and an increased in the level of protein. The chemical compositions of swamp forages silage were 14.02% CP, 13.89% CF, 59.23 - 63.21% dry matter digestibility (DMD), and 56.25 - 62.32% organic matter digestibility (OMD). Haylage contained 14.25% CP and 14.52% CF, 54.25-57.25% dry matter digestibility, and 53.21-56.48% organic matter digestibility. Hay contained 13.52% CP, 16.11% CF, 52.9155.86% DMD, and 46.24-50.12% OMD. The third study was designed to explore the aapplication of swamp forage preservation for animal feed in terms of digestibility and performance of male goats. There were 24 male goats aged 10-12 months were allocated into 4 groups of 6 treatments. The treatments consisted of control; (HL): 60% grass and 40% legume; (HR): 60% swamp forage and 40% concentrate; (HRS): 100 % fresh
swamp forage; (HRK): 100% swamp forage hay; (HRL): 100% silage swamp forage; (HRH): 100% haylage forage swamp. The results showed significant differences (P<0.05) among treatments; swamp forage silage can improve feed intake and digestability. Silage preservation method was able to improve the crude protein content to 14.02%, protein intake (74.62g d-1), dry matter intake (532.11g head-1day-1), NFE intake (257.39 g head-1day-1) with an increased of total body weight (3.5 kg) in eight weeks and daily weight gain (62.60 g day1 head-1). Silage of swamp forage potentially can be used as a substitute for field forages for goats. Keywords: Carrying capacity, haylage, silage, swamp forage.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun, 2014 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutif sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN RAWA DI KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI HIJAUAN PAKAN BERKELANJUTAN
TINTIN ROSTINI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Prof Dr Ir Toto Toharmt, MSc Dr Ir Yantyati Widyastuti
Penguji pada Ujian Terbuka :
Dr Ir Mursyid Maksum, M.Agr Dr Ir Suwardi, M.Agr
Judul Disertasi : Produktivitas dan Pemanfaatan Tumbuhan Rawa Di Kalimantan Selatan sebagai Hijauan Pakan Berkelanjutan Nama
: Tintin Rostini
NRP
: D162110021
Program Studi :
Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc Agr Ketua
Prof Dr Ir Komang G Wiryawan Anggota
Prof Dr Ir Panca Dewi, MHK MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian : 2 Juni 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ” Produktivitas dan Pemanfaatan Tumbuhan rawa di Kalimantan Selatan sebagai Pakan Berkelanjutan”. ini dapat diselesaikan. Bagian dari disertasi ini dengan judul Utilizatian of Swamp Forage Sout Kalimantan on Local Goat Performance sudah diterbitkan pada Jurnal Media Peternakan pada bulan April 2014. Karya ilmiah yang berjudul Production and Nutrition Potency of swamp Local Forage in South Kalimantan as Ruminant Feed telah diterbitkan pada Global Journal of Animal Science, Livestock Production and Animal Breeding pada bulan Maret 2014. Karya ilmiah yang berjudul Effect of Lactobacillus plantarum Inoculan to Chemical Composition and Nutrient Quality of Silase Produced from Local Swamp forage, telah dipresentasi secara oral pada seminar Internasional Seminar on Tropical Bio-resources for Sustainable Bio-Industry.30-31 October 2013 di ITB Bandung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Luki Abdullah,MSc. Agr, Prof. Dr, Ir. Komang G Wiryawan dan Prof. Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti,MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan sumbangan saran, waktu dan fikiran dengan kesabaran dan keiklasannya dalam proses pembimbingan saat penulis mengikuti pendidikan S3. Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian Uniska, Rektor Uniska, Rektor Institut Pertanian Bogor dan pengelola Beasiswa Program Pascasarjan (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan kesempatan belajar, bantuan biaya pendidikan dan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan pakan (INP) Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bantuannya dalam kelancaran penyelesaian studi. Di samping itu terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Narko SPt, selaku kepala BPP Labuan Amas beserta staf yang telah memberikan fasiltas selama penulis penelitian di lapangan, mbak Dian Anggraini yang telah membantu penulis analisa di laboratorium, Mas Supri disekretariat Pascasarjana INP dan teman-teman yang banyak memberikan motivasi, masukkan dan saran selama penulisan disertasi dan penyelesaian studi. Terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orangtua (H. Ajuk Juhaeli (Alm) dan Hj. Siti Djenab) bapak dan ibu mertua (H. Surajas (Alm) dan Hj. Suminarti), serta kakak-kakak dan adikku atas doa, dukungan dan motivasinya. Penghargaan penulis sampaikan kepada suamiku tercinta Dr. Ir. Danang Biyatmoko, MSi serta Putra dan putriku tersayang Ditza Pasca Irwangsa dan Shafira Aulia Islami atas motivasi, pengertian, kesabaran dan kasih sayangnya selama penulis dalam pendidikan dan penelitian. Semoga Disertasi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan bahan referensi dalam bidang pertanian dan peternakan Bogor, Juni 2014
Tintin Rostini
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2. EVALUASI PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN RAWA DI KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI HIJAUAN BERKELANJUTAN. Abstrak Pendahuluan Metodoligi Penelitian Hasil dan Pembahasan Kesimpulan 3. EVALUASI KUALITAS NUTRISI SILASE, HAY DAN HAYLASE ASAL HIJAUAN RAWA KALIMANTAN SELATAN Abstrak Pendahuluan Metodoligi Penelitian Hasil dan Pembahasan Kesimpulan 4. PEMANFAATAN HIJAUAN RAWA KALIMANTAN SELATAN HASIL PRESERVASI PADA KAMBING KACANG Abstrak Pendahuluan Metodoligi Penelitian Hasil dan Pembahasan Kesimpulan 5. PEMBAHASAN UMUM 6. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv xiv 1 1 2 2
4 5 5 6 16
17 18 19 22 31
32 33 34 35 42 43 55 56
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Ragam vegetasi Tumbuhan rawa pada musim pasang dan musim surut Produksi bahan kering, kapasitas tampung dan nilai indek penting hijauan rawa pada musim pasang dan surut Komposisi nutrisi hijauan rawa (% BK) Komposisi fraksi serat hijauan rawa (%BK) Potensi produksi bahan kering dan kapasitas tampung daerah rawa Skor pemilihan jenis tumbuhan terbaik Komposisi kimia hijauan rawa yang digunakan Karakteristik fisik hijauan rawa yang telah diawetkan dengan metode silase,haylase dan hay Komposisi Nutrisi hijauan rawa yang diawetkan dengan aditif yang berbeda Nilai pH, kadar VFA, N-NH3, asam laktat hijauan rawa setelah diawetkan Kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan rawa (%) Kandungan nutrisi silase, hay dan haylase hijauan rawa Komposisi dan kandungan nutrien pakan penelitian (% BK) Konsumsi nutrien pada kambing yang mendapat hijauan darat dan rawa (g/ekor/hari) Kecernaan nutrien pada kambing kacang yang diberi hijauan rawa Bobot badan dan pertambahan bobot badan kambing (g/ekor/hari) dan efesiensi pakan rumput rawa
7 9 11 12 15 16 19 22 26 28 30 34 35 36 39 41
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kapasitas tampung dan daya dukung wilayah padang pengembalaan rawa Kualitas air dan tanah rawa lokasi penelitian Frekuensi relatif, kerapatan relatif dan nilai indeks penting tumbuhan rawa Kondisi rawa pada saat pasang dan surut Gambar tumbuhan rawa yang ada di lokasi penelitian Poto kegiatan pengawetan hijauan rawa
69 70 71 72 73 75
1
I PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan Rawa merupakan lahan yang belum optimal penggunaannya atau belum banyak digunakan namun tersedia secara luas hampir di semua wilayah di Indonesia. Secara umum lahan rawa terdiri dari lahan pasang surut dan lahan non pasang surut. Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak dipantai/dekat pantai dan dimuara dekat sungai sehingga dipengaruhi pasang surutnya air laut, sedangkan rawa non pasang surut (rawa lebak) adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan air hampir sepanjang tahun minimal 3 bulan dengan tinggi genangan 50 cm (Noor et al., 2010). Luas total lahan rawa Indonesia diperkirakan mencapai 33 juta hektar, yang terdiri dari 20 juta hektar rawa pasang surut dan 13 juta hektar rawa non pasang surut (rawa lebak). Berdasarkan luasan tersebut, empat juta hektar sudah dikembangkan yang meliputi 2.6 juta hektar secara spontan oleh masyarakat/ swasta, dan 1.3 juta hektar dengan bantuan pemerintah. Disamping itu, masih ada lahan rawa yang potensial untuk dikembangkan seluas empat juta hektar. Daerah rawa ini tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya, dimana dari 434 kabupaten/ kota di Indonesia yang ada saat ini diperkirakan 34.56 % atau lebih dari 150 kabupaten/ kota mempunyai daerah rawa (BPS 2010). Pemanfaatan dan penggunaan lahan rawa ini sangat beragam, antara lain sebagai kawasan konservasi, ekoturisme, pengembangan tanaman pangan, hortikultura, tanaman sayur-mayur, pengembangan perkebunan, budidaya perikanan, peternakan, pengembangan tanaman industri, serta pemukiman dan prasarana (Rachman et al., 2010) Kalimantan Selatan saat ini diperkirakan memiliki rawa mencapai 235,676 ha yang sangat potensial untuk dikembangkan bagi kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan. (Noor 2007). Pemanfaatan lahan rawa baru mencapai 41.81% setara dengan 98,536 ha, sementara sisanya 58.19% setara dengan 137,139 ha masih berupa lahan tidur yang belum digunakan sama sekali (BPS KalSel 2013). Dengan demikian lahan rawa masih sangat potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh keadaan topografi yang datar, ketersediaan air melimpah dan teknologi yang cukup tersedia (Noor 2007). Rawa banyak menyimpan potensi pakan untuk peternakan, utamanya pada ternak ruminansia seperti kerbau rawa (kerbau kalang), sapi dan kambing. Melimpahnya beragam rumput (kumpai) dan leguminosa di rawa menjadi pakan alami ternak, yang merupakan andalan peternak, terutama saat tibanya musim kemarau. Pemanfaatan rumput rawa sebagai pengganti rumput unggul oleh peternak tradisional secara langsung dengan sistem gembala (diangon) atau sebagai sumber hijauan secara cut and carry (rumput potong), dan juga merupakan salah satu upaya dalam penyediaan pakan bagi ternak. Potensi produksi rumput (Hymenachne amplexicaulis) diperkirakan mencapai 57 ton/ha/tahun dan padi hiang (Oryza rufipogon) mencapai 28 ton/ha/tahun (Endang 2010). Walaupun demikian ketersediaan hijauan rawa baik rumput maupun leguminosa masih sangat terbatas karena musim. Pada saat musim surut hijauan rawa sangat menurun produktivitas, hal ini disebabkan masih minimnya informasi penting berkaitan dengan jenis-jenis rumput dan
2 leguminosa yang ada di habitat rawa, jenis-jenis hijauan yang dapat dikonsumsi, informasi mengenai kandungan nutrisi hijauan rawa, tingkat produktivitas masing-masing hijauan rawa, termasuk penggunaaan hijauan rawa selama ini dan kemungkinan peningkatan nilai manfaat dan ketersediaan melalui introduksi teknologi pakan . Berdasarkan keadaan tersebut diperlukan usaha untuk mengawetkan hijauan pakan sehingga bisa terjamin ketersediaannya. Usaha pengawetan hijauan pakan, ada beberapa cara yaitu dengan pembuatan hay, silase dan haylase (Ridwan et al., 2005). Hay adalah pengawetan hijauan pakan dengan cara pengeringan berkadar air rendah (14-15%) sehingga hijauan akan diberikan kepada ternak dalam bentuk kering. Silase adalah pengawetan hijauan pakan yang memiliki kadar air tertentu dan telah diawetkan melalui proses fermentasi an-aerob dalam keadaan segar, sehingga ketika diberikan kepada ternak diupayakan untuk tetap dalam keadaan segar (Widyastuti 2008), sedangkan Haylase adalah gabungan dari keduanya (Sariri et al., 2011). Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk identifikasi dan inventarisasi keberagaman jenis, produktivitas dan kandungan nutrisi hijauan rawa sebagai pakan ternak, serta mengetahui pengaruh musim (pasang, surut), teknologi pakan dalam pengawetan hijauan rawa yang dihasilkan dan aplikasinya pada ternak ruminansia. Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi keragaman jenis tumbuhan (rumput dan leguminosa) yang ada di lahan rawa 2. Menganalisis dan mendapatkan informasi : produktivitas, kandungan nutrisi jenis-jenis tumbuhan rawa pada dua musim yang berbeda (pasang dan surut). 3. Membandingkan tingkat produktivitas dan kapasitas tampung hijauan rawa pada dua musim yang berbeda (pasang dan surut). 4. Mengevaluasi pengaruh pengawetan terhadap kualitas fisik dan nutrien hijauan rawa . 5. Mengevaluasi pengaruh tingkat pemberian hijauan hasil pengawetan terhadap kecernaan dan performa ternak kambing lokal. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi keragaman dan ketersediaan tumbuhan rawa di Kalimantan Selatan 2. Memberikan informasi tentang potensi tumbuhan rawa dan sumber bahan pakan ternak 3. Memberikan informasi teknologi tepat guna (teknik pembuatan silase, hay dan haylase) yang dapat digunakan oleh masyarakat
3
Tahap I. Evaluasi
produktivitas tumbuhan rawa
Pemotongan rumput pada saat musim pasang dan musim surut
Tumbuhan rawa yang dominan : produksi dan kualitas
Identifikasi jenis tumbuhan, produksi
kapasitas tampung dan kualitas
Tahap II. Teknologi preservasi
Analisa statistik : silase, haylase dan hay
Uji kualitas nutrisi dan kecernaan in vitro
Tahap III. Hasil pengawetan terbaik tahap II diuji secara in vivo
Uji in vivo pada kambing jantan
Diawetkan : silase, haylase dan hay
Konsumsi, kecernaan, PBB dan efesiensi penggunaan pakan
Produk pengawetan terbaik dan aplikatif
Gambar 1 Bagan alur penelitian
4
2 EVALUASI PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS NUTRISI TUMBUHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI HIJAUAN PAKAN ABSTRAK Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak ruminansia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi potensi jenis spesies, produktivitas, kapasitas tampung dan kualitas nutrisi hijauan rawa Kalimantan Selatan. Metode survei dengan melakukan pengambilan sampel untuk identifikasi hijauan rawa, tingkat produksi, kapasitas tampung dan kandungan nutrisi hijauan rawa. Hasil penelitian menunjukkan di Kalimantan Selatan memiliki 18 jenis hijauan. Berdasarkan skoring didapat 4 spesies dominan yang memiliki produksi cukup tinggi dan kualitas nutrisi yang baik pada musim pasang adalah rumput Hymeneche amplexicaulis Haes, produksinya sebesar 1032.6 kg BK ha-1 panen-1 kandungan PK 10.88%, SK 16.37% dengan kapasitas tampung 2.98 ST. Ischaemum polystachyum. J. Presl produksinya 989.2 kg BK ha-1 panen-1 kandungan PK 14.3%,SK 17.35%, kapasitas tampung 2.85 ST. Polygonum barbatum L produksinya sebesar 889.2 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 16.45% dan SK 16.27%, kapasitas tampung 2.56 ST. Ludwigia hyssopifolia produksinya sebesar 851.7 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 15.96%, SK 25.23%, kapasitas tampung 2.45 ST. Disimpulkan bahwa keempat jenis spesies ini berpotensi sebagai hijauan
pakan ruminansia. Kata kunci : Hijauan rawa. kapasitas tampung, Kalimantan selatan,produktivitas
ABSTRACT Forage is a feed ingredient that is absolutely necessary either quantitative or qualitative for ruminants production system. The objective of this research was to evaluate potential species, productivity, carrying capacity and the nutritional value of swamp forages South Kalimantan. Survey method was used to conduct field observations to identify swamp forages, production level, carrying capacity, and nutrient content of swamp forage within water loged and unlogged season. The results showed that the dominant species had wich a high production and good quality nutrition in the spring tide has grass Hymeneche amplexicaulis Haes, production amounted to 1032,6 kgDM ha-1 harvest-1, nutrient content of 10.88% crude protein (CP), crude fiber (CF) 16.37% with carrying capacity of 2.98 Animal Unit/season. Ischaemum polystachyum. J. Presl production was 989,2 kg DM ha-1 harvest-1, CP content of 14.3%, CF 17.35%, with carrying capacity of 2.85 Animal Unit/season. Polygonum barbatum L production was 889,7 kg DM ha-1 harvest-1, CP content of 16.45% and 16.27% CF, with carryng capacity of 2.56 Animal Unit/season. Ludwigia hyssopifolia production amounted to 851,7 kg DM ha-1harvest-1, CP content 15.96%, CF 25.23%, and carrying capacity of 2.45 Animal Unit/season. It can be concluded that there were four types of species which potential was for ruminants feed. Keywords : carrying capacity, productivity. swamp forage, South Kalimantan
5
PENDAHULUAN Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak (Abdullah et al., 2005). Peternakan rakyat yang masih subsisten, hampir sebagian besar pakan yang diberikan adalah rumput dan hanya usaha untuk memperbaiki dan mengembangkan rumput domestik/hijauan lokal. Tanaman budidaya yang produktif di peternakan rakyat masih sangat terbatas, umumnya rumput domestik/hijauan lokal rendah produktivitasnya, hal ini disebabkan oleh faktor tanah, iklim, biotik dan potensi hijauan (Setiana 2011) Hijauan rawa merupakan hijauan yang tumbuh di lahan rawa yang mempunyai potensi pakan untuk ternak ruminansia seperti kerbau rawa (kerbau kalang), sapi dan kambing. Melimpah dan beragam rumput dan leguminosa di rawa yang merupakan pakan alami untuk ternak, digunakan peternak sebagai pakan andalan terutama saat tibanya musim kemarau. Dalam penyediaan pakan di lahan rawa umumnya peternak memanfaatkan rumput rawa sebagai pengganti rumput unggul. Rumput rawa oleh peternak secara tradisional dimanfaatkan langsung dengan sistim pengembalaan (diangon) atau sebagai cut and carry (rumput potongan) sebagai pengganti rumput unggul. Habitat rawa yang ada di Kalimantan Selatan dapat dibedakan menjadi dua katagori selama setahun, yakni saat air pasang (High water period) dan pada saat air surut/kering (low water period) dan dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan rumput terapung (Floating meadows) dan hijauan potongan (cut and carry) (Rachman et al., 2010). Pasang surutnya air akan mempengaruhi ekosistem di rawa seperti jenis-jenis rumput dan leguminosa, jenis-jenis hijauan yang dapat dikonsumsi, tingkat produktivitas dan kualitas dari hijauan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi produktivitas dan kualitas nutrisi tumbuhan rawa Kalimantan Selatan
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kawasan rawa Danau Panggang yang terlerak di desa Palbatu, Bararawa, Rintisan dan Tampakang (Kab. Hulu Sungai Utara), dan Desa Mantaas, Rantau Mujur dan Sungai Buluh (Hulu Sungai Tengah) Di Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilaksanakan pada pertengahan musim pasang dan pertengahan musim surut. Bahan dan alat yang digunakan meliputi kantong sampel untuk tempat contoh rumput yang diambil, paralon untuk membuat petak kuadrant berukuran 5m x 5m, pisau untuk memotong rumput, alkohol 75% untuk mengawetkan hijauan yang dikumpulkan supaya tidak layu, dan kertas koran. Metode dan Analisis Sampel Penelitian ini menggunakan metode survei dengan cara pengambilan contoh rumput (sample) di lahan rawa dari 2 wilayah kabupaten terpilih (Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Tengah). Teknik pengambilan contoh rumput dilakukan dengan menempatkan petak kuadran berukuran 5 m x 5 m secara acak pada setiap wilayah terpilih, diulang sebanyak tiga kali. Semua spesies hijauan
6 (rumput, leguminosa, gulma) yang terdapat pada petak kuadran diambil, lalu dimasukkan ke karung sampel dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Pemanenan dan pengambilan sampel Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan pada tiga musim yaitu pada saat musim pasang, peralihan dan musim surut. Pada saat musim pasang pemanenan dan pengambilan sampel pada saat tumbuhan berumur 40 hari, musim peralihan 30 hari dan pada musim surut 50 hari, tinggi pemotongan 5 cm diatas permukaan air. Parameter yang diamati (A). Produktivitas hijauan yang terdiri :1).Identifikasi hijauan rawa dengan dibuat koleksi herbarium, yaitu mengambil satu jenis tanaman lengkap dengan bunga dan buah lalu disemprot alkohol 70% pada seluruh tanaman, direkatkan pada kertas, kemudian dipadatkan (press) sampai kering. 2). Pengukuran produksi biomasa hijauan rawa dengan menghitung berat biomasa diukur dengan cara mengeringkan sampel pada suhu 60 oC selama 48 jam di dalam oven. 3). Menghitung kapasitas tampung hijauan rawa didapat berdasarkan jumlah hijauan yang dapat disediakan padang penggembalaan untuk kebutuhan ternak selama 1 (satu) tahun yang dinyatakan dalam satuan ternak (ST) per hektar. Kapasitas tampung diukur pada tiap-tiap jenis rumput. Penghitungan kapasitas tampung berdasarkan rumus Purnomo (2006) Kapasitas Tampung = Produksi kumulatif x proper use factor (%) Kebutuhan ternak (kg BK/ST/hari) x 360 hari Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi adanya satu spesies x 100% Frekuensi seluruh spesies Kerapatan Relatif (KR) = Jumlah populasi satu spesies x 100% Jumlah seluruh spesies Indeks Nilai Penting = FR + KR Indeks nilai penting (INP) menunjukkan nilai dominasi, kemampuan tumbuhan selalu ada atau pentinya peran suatu jenis tumbuhan dalam ekosistemnya. (B) Kualitas tumbuhan rawa diukur berdasarkan analisa proksimat metode AOAC (1999) untuk mendapatkan kandungan bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, dan analisa Van Soest et al. (1991) untuk kandungan fraksi serat yang terdiri dari NDF dan ADF, selulosa, hemiselulosa, lignin dan tanin. Data ditampilkan dalam bentuk rataan dan analisis data dilakukan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ragam Vegetasi Tumbuhan Rawa Pada Saat Pasang dan Surut Berdasarkan hasil analisis tanah (Lampiran 2) tanah rawa pada musim surut tingkat keasamannya sangat tinggi yaitu pH 3.9 – 4.8. Ini menunjukkan
7 tanah tersebut tingkat kesuburan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (2007) bahwa tanah yang miliki pH di bawah 5 merupakan lahan yang sangat masam dan miskin hara Berdasarkan hasil identifikasi ragam vegetasi tumbuhan rawa Kalimantan Selatan pada saat musim pasang dan musim surut terdapat 18 spesies tumbuhan rawa. Ragam vegetasi tumbuhan rawa tersaji pada Tabel 2.1. Ragam dan komposisi tumbuhan yang dapat beradaptasi pada kedua musim menunjukkan perbedaan yang spesifik. Hal ini terlihat dari keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di lahan rawa. Pada saat musim pasang tumbuh 18 spesies, tetapi tidak tumbuh rumput Banta (Lersia hexandra), rumput Ginting (Cynodon dactylon (L) Pers) dan Jajagungan (Brahiaria plantaginea), sedangkan pada saat musim surut tidak tumbuh rumput Kumpai Miang (Hymenachne interrupia Buese), Jungkut berang (Echinochloa crass-galli), Supansupan (Neptunia oleracea Lour), dan Dadangsit (Ludwigia adscendens (L). H. Hara). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua tumbuhan rawa dapat tumbuh pada kedua musim yang berbeda, setiap spesies kemungkinan memiliki batas toleransi terhadap kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini senada dengan Pielou (1999) bahwa pengaruh iklim melahirkan keanekaragaman spesies yang tinggi dan pola penyebaran tumbuhan. Perbedaan spesies-spesies tumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, intensitas cahaya dan ketersedian air tanah (Wilsie 1996). Tabel 2.1 Ragam vegetasi tumbuhan rawa pada saat musim pasang dan musim surut Nama daerah
Nama latin Suku Pasang Surut Hymenachne amplexicaulis (Rudges) Kumpai Juluk Ness Poacea √ √ Kumpai minyak Hymenache amplexicaulis Haes Poacea √ √ Kumpai miang Hymenachne interrupia Buese Poacea √ − Kumpai batu Ischaemum polystachyum. J. Presl Poacea √ √ Jungkut berang Echinochloa crass-galli Poacea √ − Banta Lersia hexandra Poacea − √ Rumput grinting Cynodon dactylon (L) Pers Poacea − √ Jajagungan Brahiaria plantaginea Poacea − √ Padi Hiang Oryza rufigopon spontanea Poacea √ √ Hadangan Paspalum sp Poacea √ √ Pipisangan Ludwigia hyssopifolia Polygonacea √ √ Beberasan Polygonum barbatum L Polygonacea √ √ Babatungan Persicaria barbata (L) H, Hara Polygonacea √ √ Kayapu Pistia stratioles Convolvulaceae √ √ Belaran Ipomea sp Convolvulaceae √ √ Kangkung Ipomea aquatica Convolvulaceae √ √ Kayamahan Sesbania sericea (Wild) Link Fabaceae √ √ Supan-supan Neptunia oleracea Lour Fabaceae √ − Bundungan Actinoscirpus grossus (L.f) Goetgh Cyperacea √ √ Dadangsit Ludwigia adscendens (L). H. Hara Onagraceae √ − Kasisap Altenanthera sesilis Amantheacea √ √ Keterangan : √ = ada tumbuhan rawa, - = tidak ada tumbuhan rawa
Keaneka ragaman tumbuhan yang tumbuh pada lahan rawa ini sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim surut beberapa spesies mengalami
8 cekaman sehingga tidak dapat tumbuh atau dalam kondisi dorman. Beberapa spesies tumbuhan merespon dengan perubahan menjadi lebih kecil dan tumbuh bulu pada daun, ada yang tidak bisa eksis, tetapi ada tumbuhan lain yang menggantikannya. Spesies lain akan berusaha tumbuh menggantikannya untuk mempertahankan kestabilan komunitas. Hal ini senada dengan Bucio et al, (2005) mengemukakan bahwa kestabilan komunitas tumbuhan dipengaruhi oleh lingkungan biotik (ternak) dan abiotik (air, tanah dan iklim), sehingga tumbuhan yang tidak bisa tumbuh pada keadaan tersebut maka spesies lain menggantikan. Tumbuhan yang mengalami cekaman air merespon dengan perubahan penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun dan volume sel menjadi lebih kecil (Pugnaire et al., 1999), sedangkan Rohaeni et al, (2007) melaporkan bahwa kestabilan pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi faktor-faktor lingkungan, terutama fluktuasi level air berpengaruh terhadap ekosistem rawa. Faturrahman (1988) melaporkan keragaman spesies tumbuhan rawa tidak terkonsentrasi pada satu dua jenis spesies saja, tetapi tumbuhan yang tahan akan membagi diri untuk menutupi area secara optimum dan menjaga kestabilan komunitas. Produktivitas, Kapasitas Tampung dan Indeks Nilai Penting Kondisi air rawa yang bersifat fluktuatif dapat menggangu pertumbuhan dan produktivitas dari tumbuhan, sehingga berakibat pada penurunan biomasa tanaman. Produksi biomasa tumbuhan rawa diperoleh dari kedua musim yang berbeda yaitu musim pasang dan musim surut, dimana produksi bahan kering pada musim pasang lebih tinggi dibandingkan dengan musim surut. Produksi biomasa, kapasitas tampung dan nilai indeks penting tumbuhan rawa tersaji pada Tabel 2.2. Produksi bahan kering hasil penelitian (Tabel 2.2) menunjukkan produksi bahan kering berkisar antara 43.8- 1 032 kg ha-1panen-1 pada musim pasang sedangkan pada musim surut berkisar antara 38.5 – 752.8 kg ha-1panen-1. Produksi tertinggi rumput Hymeneche amplexicaulis Haes. yaitu sebesar 1 032 kg BK ha-1panen-1, Ischaemum polystachyum J Presl sebesar 989.2 kg BK ha1 panen-1, Polygonum barbatum L sebesar 889 kg BK ha-1panen-1 dan Ludwigia hyssopifolia sebesar 851 kg BK ha-1panen-1. Hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Fahriani & Eviyati (2008) yang melaporkan bahwa rumput Hymeneche amplexicaulis Haes produksi bahan kering berkisar antara 1 935 – 3 515 kg BK ha-1panen-1. Purbajanti et al, (2008) melaporkan produksi bahan kering rumput benggala dan rumput gajah yang mengalami stress kekeringan sebesar 2.61 dan 3.38 ton ha-1panen-1. Produksi bahan kering tumbuhan rawa ini lebih rendah disebabkan tumbuhan ini belum dibudidayakan tetapi masih tumbuh liar di rawa, sehingga produktivtasnya rendah.Produksi bahan kering dari keempat tumbuhan ini sebesar 24.42 ton BK ha-1thn-1. Terjadi penurunan bahan kering (Tabel 2.2) pada musim surut, karena kondisi air rawa berkurang. Air merupakan bahan utama yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Menurunnya kondisi air rawa akan menyebabkan terjadinya penurunan proses fotosintesis. Penurunan proses fotosintesis akan mengakibatkan produksi bahan kering menurun. Terganggunya proses metabolisme pada tumbuhan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap produksi tumbuhan. Berat kering tumbuhan menggambarkan akumulasi senyawa organik
9 yang berhasil disintesis tumbuhan dari senyawa –senyawa anorganik terutama air dan CO2 (Lakitan 1995). Cekaman air mempengaruhi semua aspek pertumbuhan tanaman, yang meliputi proses fisiologis, biokimia, anatomi dan morfologi. Pada saat kekurangan air sebagian stomata daun menutup sehingga terjadi hambatan masuknya CO2 dan menurunkan aktivitas fotosintesis, selain menghambat aktivitas fotosintesis juga menghambat sintesis protein dan dinding sel (Wood 2005). Hal ini diperkuat oleh Jun-Feng et al. (2010) bahwa cekaman air berdampak buruk pada pertumbuhan sehingga dapat menyebabkan penurunan produksi tumbuhan. (Taiz & Zeiger 2002), penyebab terjadinya penurunan produksi akibat tingginya kecepatan evaporasi, yang melebihi laju absorbsi air oleh akar tumbuhan, sedangkan Borges (2003) kekurangan air pada tanaman menyebabkan rendahnya kadar air, penutupan stomata, serta berkurangnya pembesaran dan pertumbuhan sel. Tumbuhan yang mengalami cekaman air secara umum mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan tumbuhan yang tumbuh normal (Kurniawan et al., 2010). Penurunan laju fotosintesis akan menurunkan pembentukan karbohidrat, maka produksi bahan kering tumbuhan juga akan menurun (Xiuhai et al., 2005) Kekurangan air menyebabkan penurunan hasil yang sangat signifikan dan bahkan menjadi penyebab kematian pada tumbuhan (Salisbury & Ross 1992). Tabel 2.2 Produksi bahan kering, indek nilai penting dan kapasitas tamping tumbuhan rawa pada musim pasang dan surut Pasang Nama Daerah
Kumpai Minyak Kumpai Batu Beberasan Pipisangan Babatungan Kayamahan Juluk Kumpai Miang Dadangsit Padi Hiang Kayapu Belaran Supan-supan Jungkut berang Kasisap Kangkung Hadangan Bundungan Banta Kumpai Ginting Jajagungan
Kg BK/panen
1032.6 989.2 889.2 851.7 500.3 225.2 212.7 211.4 201.4 173.7 148.5 138.7 131.1 110.1 90.2 77.6 62.3 43.8 -
Surut INP (%)
36.5 35.2 34.8 34.7 7.2 6.8 5.3 5.1 4.8 4.7 4.3 4.0 3.5 3.5 3.3 2.8 2.2 1.4 -
Kg BK/panen
INP (%)
KT ST/thn
518.3 752.8 516.3 498.6 329.0 133.5 87.4 147.7 82.2 88.8 38.5 110.7 113.7 130.2 399.4 329.0 147.8
29.8 30.8 28.3 27.9 11.5 5.8 3.7 8.2 3.4 3.8 2.1 4.0 4.6 5.4 13.1 11.4 6.1
2.98 2.85 2.56 2.45 1.03 0.47 0.36 0.55 0.53 0.47 0.3 0.3 0.3 0.28 0.26 0.31 0.29 0.32 0.87 0.71 0.32
Keterangan : BK= bahan kering, INP = Indeks Niai Penting. KT= Kapasitas Tampung (Satuan Ternak)
Indeks Nilai Penting (INP) atau Important value index adalah komposisi keragaman jenis berdasarkan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR) dan
10 Frekuensi Relatif (FR) pada suatu lahan (Soerianegara & Indrawan 2008). Indeks nilai penting merupakan suatu parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat penguasaan atau pentingnya peran suatu jenis tumbuhan dalam ekosistemnya (Swamy 2000), sedangkan Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa indeks nilai penting dipengaruhi oleh kerapatan, penyebaran dan penguasaan areal atau kombinasi dari kedua atau ketiga faktor tersebut. Hasil pengamatan dilapangan (Tabel 2.2) menunjukkan indeks nilai penting tertinggi pada musim pasang oleh Hymeneche amplexicaulis Haes sebesar 36.5%, Ischaemum polystachyum. J. Presl 35.2%, Polygonum barbatum L. 34.8%, dan Ludwigia hyssopifolia 34.7%, sedangkan musim surut nilai INP tertinggi pada tumbuhan Ischaemum polystachyum. J. Presl 30.82%. Hymeneche amplexicaulis Haes 29.8%, Polygonum barbatum L. 28.3% dan Ludwigia hyssopifolia 27.8%. Perbedaan nilai INP ini akibat komposisi vegetasi dominan pada setiap jenis musim maupun pola susunan menunjukkan perbedaan, dipengaruhi kondisi lingkungan terutama intensitas cahaya matahari, tanah dan air. Setyawan et al. (2006) menyatakan kondisi lingkungan mengakibatkan komposisi jenis tumbuhan berbeda. Suatu jenis hijauan dapat berperan dalam ekosistem vegetasi jika memiliki indeks nilai penting lebih dari 10% (Raharjo 2006). Adanya jenis tumbuhan pakan yang lebih tinggi nilai INP (Tabel 2.2) dibandingkan jenis lainnya mengindikasikan jenis ini memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Hal ini menunjukkan indikator tanaman Hymeneche amplexicaulis Haes, Ischaemum polystachyum. J. Presl, Polygonum barbatum L, dan Ludwigia hyssopifolia merupakan spesies potensial untuk pengembangan hijauan pakan yang adaptif pada lingkungan pasang dan surutnya lahan rawa. Hal ini sejalan dengan Krebs (1994) yang menyatakan bahwa sebaran tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan, keberhasilan setiap jenis beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (suhu, cahaya, struktur tanah, kelembaban) faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi dll) sedangkan faktor kimia yaitu ketersediaan air, pH, dan nutrisi dalam tanah. Kapasitas tampung merupakan kemampuan suatu lahan untuk menampung sejumlah ternak dalam satuan luas tertentu tanpa menyebabkan kerusakan pada lahan, tumbuhan dan ternak. Kebutuhan hijauan rawa sebagai sumber pakan ternak dihitung berdasarkan asumsi kebutuhan bahan kering 1 Satuan Ternak adalah 6.25 kg/hari (NRC 2006). Jika diasumsikan berdasarkan curah hujan maka lama musim pasang, peralihan dan musim surut berturut-turut adalah 5, 4 dan 3 bulan, dengan interval pemotongan pada musim pasang, peralihan dan surut masing-masing 40 hari, 30 dan 50 hari hari sekali. “proper use factor” (puf) 40 – 60% ( Purnomo 2006). Produksi dan kapasitas tampung jenis-jenis hijauan rawa tersaji pada Tabel 2.2. Hasil pada Tabel 2.2 menunjukkan bahwa kapasitas tampung tumbuhan rawa hasil tertinggi pada kumpai Minyak (Hymeneche amplexicaulis Haes) sebesar 2.98 ST, Kumpai Batu (Ischaemum polystachyum J.Presl) sebesar 2.86 ST Hasil ini menunjukkan kapasitas tampung berhubungan erat dengan produksi bahan kering hijauan, dimana produksi bahan kering tertinggi pada musim pasang dari empat tumbuhan ini sebesar 24.42 ton BK ha-1 thn-1, dengan tingkat puf
11 sebesar 68 % memiliki daya tampung sebesar 10.68 ST (Tabel 2.2). Daya dukung lahan rawa di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan luasan rawa sebesar 15 920 ha, maka dari keempat jenis tumbuhan ini maka memiliki daya dukung sebesar 170.025 ST/thn Kualitas Nutrisi Tumbuhan Rawa Pada Saat Musim Pasang dan Surut Kualitas suatu tanaman hijauan pakan ditentukan oleh komposisi kimianya melalui suatu analisa laboratorium terutama protein kasar. Kualitas tumbuhan dapat tercapai apabila kecepatan fotosintesis lebih tinggi dari pada tingkat respirasi yang dilakukan oleh tanaman. Fotosisntesis akan berjalan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan unsur hara, sinar matahari, air dan CO2 yang cukup (Correia et al., 2006). Kualitas nutrisi tumbuhan rawa berdasarkan analisis proksimat dan analisa Van Soest secara deskriptif disajikan pada Tabel 2.3 dan 2.4. Tabel 2.3 Komposisi nutrisi tumbuhan rawa (% BK) Pasang Nama daerah
Abu
PK
L
SK
Surut Ca
P
TDN
Abu
PK
L
SK
Ca
P
TDN
K. Minyak 3.28 10.68 1.2 16.37 0.29 0.12 57.21 9.83 K. Batu 2.48 14.36 1.29 17.35 0.29 0.13 56.24 3.23 Beberasan 2.18 16.45 0.61 16.27 0.85 0.18 56.15 4.37 Pipisangan 3.04 15.92 0.85 25.23 1.05 0.14 57.16 7.47 Babatungan 3.39 14.25 1.4 10.31 0.72 0.25 56.12 4.97 Kayamahan 3.24 17.23 1.64 18.33 1.41 0.2 57.21 4.6 Juluk 4.85 14.36 1.8 14.45 0.1 0.24 58.84 9.19 K. Miang 6.52 10.17 1.95 20.58 0.26 0.11 56.13 Dadangsit 6.25 7.31 1.07 29.35 1.53 0.15 55.44 Padi Hiang 6.46 12.99 3.67 15.25 2.13 0.2 50.12 9.93 Kayapu 2.85 14.6 1.3 17.68 0.89 0.14 56.62 9.37 Belaran 4.49 16.45 2.37 15.79 0.39 0.15 53.41 3 Supansupan 2.91 24.4 1.25 14.3 0.35 0.41 55.73 Jungkut berang 10.03 10.78 1.33 26.04 0.38 0.09 55.52 Kasisap 12.85 11.37 1.83 24.5 0.52 0.3 53.44 7.91 Kangkung 8.2 12.82 2.57 20.25 0.29 0.2 55.23 4.44 Hadangan 4.87 8.79 2.54 14.84 3.08 0.37 51.75 5.88 Bundungan 7.61 8.92 2.15 20.39 0.58 0.08 52.51 5.88 Banta 4.13 K. Ginting 4.35 Jajagungan 9.93 Keterangan : Analisa proksimat dilakukan di laboratorium PAU IPB
9.37 12.6 14.1 13.5 11.0 16.1 6.57 7.2 8.68 13.5
2.35 1.33 1.22 1.21 0.79 2.83 3.1 1.31 3.68 1.73
26.1 33.58 22.25 28.78 17.03 24.13 20.8 22.9 27.68 25.15
0.31 0.17 1.4 2.43 1.94 2.56 0.85 0.37 1.12 0.89
0.1 0.12 0.11 0.14 0.16 0.1 0.28 0.09 0.07 0.08
53.73 55.21 55.05 54.95 54.75 56.21 55.76 52.65 55.43 52.36
-
-
-
-
-
5.14 3.92 2.94 2.94 1.65 0.28 1.31
17.87 20.69 23.95 23.95 24.06 12.94 27.9
1.78 1.35 2.03 2.03 2.48 1.2 0.37
0.15 0.13 0.05 0.05 0.06 0.13 0.09
54.43 53.65 54.89 50.34 55.53 58.69 55.52
13.7 11.1 7.64 7.64 6.33 10.9 7.2
Kandungan protein kasar pada dua musim berbeda menunjukkan hasil yang berbeda dimana pada Kumpai Minyak (Hymeneche amplexicaulis Haes) pada musim pasang memberikan kandungan PK 10.88% sedangkan pada musim surut PK 9.37%, Kumpai Batu (Ischaemum polystachyum. J. Presl) PK 14.36% sedangkan pada musim surut hanya 12.60%, Beberasan (Polygonum barbatum L) PK 16.45% menjadi 14.10% dan Pipisangan (Ludwigia hyssopifolia) PK 15.92% menjadi 13.52%, begitu juga pada tumbuhan lainnya selain kandungan protein nilai nutrisi lain terjadi perbedaan dimana pada musim pasang kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan musim surut.
12 Perbedaan kandungan nutrisi tumbuhan ini disebabkan adanya luapan air pasang, yang membawa bahan-bahan organik yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi tumbuhan. Pada musim surut kadar tanah rawa memiliki pH 3.9-4.8 sehingga kualitas nutrisi dari tumbuhan yang dihasilkan menurun, dimana bila tanah dalam keadaan masam nutrisi tanah kurang tersedia kandungannya, N total dan K kurang tersedia sehingga tumbuhan tidak mendapat suplai hara yang optimal. Ketersediaan air bagi tumbuhan rawa merupakan faktor yang sangat penting, air terlibat dalam proses penyerapan unsur hara, fotosintesis, respirasi, serta pembentukan dan translokasi karbohidrat, selain itu kesuburan tanah ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Tanah masam menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar, penyerapan hara dan air ( Zheng et al., 1998), ditambahkan dengan pendapat Gutteridge & Shelton ( 1994) bahwa kandungan nutrisi tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan nutrisi tanah, sedangkan menurut Tjondronegoro & Gunawan (2000) bahwa pada keadaan tanah masam aktivitas Fe dan Al serta Mn meningkat sehingga dapat menyebabkan keracunan bagi tumbuhan. Tabel 2.4 Komposisi fraksi serat tumbuhan rawa (% BK) Surut
Pasang Nama daerah
NDF
ADF
Hemi selulosa
Selulosa
Lignin
Tanin
NDF
ADF
Hemi selulosa
Selulosa
Lignin
Tanin
K. Minyak K. Batu Beberasan Pipisangan Babatungan Kayamahan Juluk Kumpai miang Dadangsit Padi hiang Kayapu Belaran Supan-supan Jungkut berang Kasisap Kangkung Hadangan Bundungan Banta Rumput Ginting Jajagungan
62.6 40.38 56.42 64.48 52.15 42.72 26.62 64.08 56.9 60.16 68.12 46.52 53.59 70.95 52.08 64.99 67.87 68.83 -
36.75 39.26 51.62 23.83 50.06 40.35 20.89 40.21 46.65 31.77 40.25 44.74 37.4 58.47 49.02 37.47 39.92 50.46 -
25.85 1.12 4.80 40.46 2.09 2.37 5.73 23.87 10.25 28.39 27.87 1.78 16.19 12.48 3.06 27.52 27.75 18.37 -
33.95 25.77 34.03 20.07 33.70 24.11 17.41 37.69 31.05 23.02 35.6 32.53 22.62 48.73 44.55 32.62 36.27 38.82 -
2.80 4.49 7.59 3.76 16.36 6.24 3.48 2.52 15.6 8.75 4.65 12.21 4.78 9.74 4.47 4.85 3.65 5.64 -
2.46 3.74 4.07 17.26 4.87 1.02 5.26 1.20 5.69 3.8 3.43 1.98 0.19 3.13 2.97 1.73 3.67 3.17 -
64.39 52.84 63.48 64.84 66.83 50.28 38.58 62.75 65.61 53.51 52.27 65.41 62.52 60.04 31.08 45.2
39.02 44.46 44.39 36.85 47.6 32.76 31.7 37.6 45.23 45.53 39.1 37.62 45.92 43.19 22.28 30.98
25.37 8.38 19.09 29.99 19.23 17.52 6.88 25.15 20.38 7.98 13.17 27.79 16.6 16.85 8.8 14.22
35.43 38.95 35.58 32.37 30.58 16.03 24.7 30.54 37.28 32.01 33.95 31.67 38.86 36.61 14.32 26.4
3.59 5.51 8.81 4.48 17.02 6.73 7.00 7.06 7.95 13.52 5.15 5.95 7.06 6.58 7.96 4.58
4.34 5.04 6.96 18.42 6.49 7.72 10.65 4.24 4.32 1.98 3.56 2.61 4.48 6.78 0.58 0.04
-
-
-
-
-
-
49.6
43.18
6.42
32.68
10.50
1.82
Keterangan : Analisis di Laboratotium Balitnak Ciawi Bogor. Dan Laboratorium Teknologi Pakan IPB
Cekaman air dan kondisi tanah masam berpengaruh terhadap kandungan nutrisi tanaman, dimana pada kondisi kekurangan air mengakibatkan penutupan stomata sehingga menghambat proses masuknya CO2 ke dalam daun, maka menurunkan laju fotosintesa. Penurunan laju fotosintesa akan menurunkan hasil fotosintesa berupa karbohidrat. Kadar protein tergantung pada jumlah nitrogen yang tersedia bagi tumbuhan. Proses didalam tumbuhan sangat dipengaruhi oleh jumlah pelarut substrat yang tersedia. Kondisi kekurangan air akan mengurangi jumlah pelarut substrat didalam tumbuhan. Purbajanti et al. (2008) melaporkan rumput benggala dan rumput gajah yang mengalami stress air, mengalami
13 penurunan kandungan protein kasar sebesar 2.01% dan 1.67%. Perubahan lingkungan mempengaruhi tekanan osmotik yang merupakan adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan kurang air. Tekanan osmotik berperan mengelola turgor dan volume sel yang mempengaruhi pertumbuhan, secara fisiologis tekanan osmotik mempengaruhi proses esensiil tumbuhan seperti sintesis protein dan dinding sel (Munns 2002) Kandungan fraksi serat yang terdiri dari NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin pada tumbuhan rawa yang tumbuh pada musim pasang memberikan kandungan NDF berkisar antara 26.62 -70.95%, ADF berkisar antara 20.89 -58.47%, sedangkan pada musim surut kandungan NDF berkisar antara 31 – 66.48%, ADF berkisar antara 22.28 – 47.6%, hasil tertinggi kandungan ADF pada rumput Jungkut Berang (Echinochloa crass-galli) sebesar 70.95% sedangkan pada musim surut pada hijauan Babatungan (Persicaria barbata (L) H, Hara) yaitu sebesar 66.83%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan Fahriani (1996) menyatakan bahwa kandungan ADF dan NDF pada beberapa hijauan rawa kandungan NDF berkisar antara 66.30 -72.30%, ADF berkisar antara 38.03 -41.07%. Sedangkan hasil penelitian Minson (1990) melaporkan rumput tropika memiliki kandungan NDF berkisar antara 45-85% dan ADF 21-55%. Kandungan fraksi serat pada saat musim surut lebih tinggi dibandingkan dengan musim pasang. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan produksi yang sama umur pemotongan 10 hari lebih lama dibandingkan waktu pasang, sehingga terjadi kenaikan fraksi serat, selain itu efek cekaman air mengakibatkan perubahan karbohidrat berkaitan dengan proses fotosintesis. Penurunan laju fotosintesis akan menurunkan pembentukan karbohidrat, yang artinya fraksi serat menjadi meningkat, hal ini sependapat dengan Xiuhai et al. ( 2005) bahwa pada kondisi kekurangan air terjadi perubahan karbohidrat struktural lebih tinggi dibandingkan yang non struktural, selain itu karbohidrat terlarut, sukrosa dan fruktosa meningkat konsentrasinya. Menurut Williams et al. ( 1992) Transpirasi berkorelasi negatif dengan kandungan fraksi serat, artinya semakin rendah transpirasi semakin tinggi kandungan fraksi serat. Serat kasar dan fraksi serat merupakan komponen karbohidrat. Pada musim surut laju penurunan fotosintesis sehingga karbohidrat struktural menjadi tinggi sehingga berpengaruh terhadap komponen serat. Hal ini sesuai dengan pendapat Susetyo (1980) bahwa kandungan fraksi serat suatu tumbuhan dipengaruhi oleh spesies, iklim, kesuburan tanah, dan manajemen, sedangkan menurut Jones & Wilson (1996) yang melaporkan bahwa kandungan struktural setiap komponen serat yang terdapat pada tanaman berbeda tergantung pada kemampuan tumbuhan memetabolisme nutrisi. (Tillman et al., 1999) komponen fraksi serat dipegaruhi jumlah kandungan serat tumbuhan dan kesuburan tanah dimana tumbuhan itu tumbuh. Kualitas dan kuantitas dari rumput dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan (Reksohadiprodjo 1985) Kandungan ADF dan NDF hijauan rawa ini masih dalam area batas normal rumput tropika menurut Pada musim pasang kandungan selulosa berkisar antara 17.41 - 48.73%, hemiselulosa berkisar antara 0.65 – 27.75% dan lignin berkisar antara 2.52 – 16.24%, sedangkan pada musim surut selulosa berkisar antara 14.32 – 38.95%, hemiselulosa berkisar antara 6.42 – 29.99% dan lignin berkisar antara 3.59 – 17.020%. Kandungan lignin pada musim surut lebih tinggi dibandingkan pada
14 musim pasang hal ini disebabkan tumbuhan lebih cepat terjadi lignifikasi sebagai proteksi tumbuhan terhadap kekurangan air. Hal ini sesuai dengan pendapat (Hu 2002), bahwa lignin pada tumbuhan berperan sebagai proteksi tanaman terhadap serangan kimia, biologis dan cekamaan keadaan lingkungan tumbuh atau kekurangan air. Sementara Cruz et al. (2001) mengemukakan bahwa lignin merupakan suatu polimer fenolik alami yang hampir sepertiga dari bahan tersebut ditemukan pada dinding sel tumbuhan. Menurut Purnomo (2006) bahwa lignin menyusun lebih 30 % bagian tumbuhan dan memberikan bentuk yang kokoh dalam rangka proteksi terhadap keadaan lingkungan tumbuh, sedangkan menurut Vilas-Boas (2002) bahwa pembentukan Lignoselulosa terjadi selama proses penebalan dinding sel tumbuhan, lignifikasi terjadi secara enzimatik melalui dehidrogenasi. Lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba (Hendriks & Zaeman 2009). Fahriani & Eviyati (2008) melaporkan bahwa kandungan selulosa berkisar antara 34.21-37.01%, hemiselulosa berkisar antara 27.62 – 29.93% dan lignin berkisar antara 3.65 – 4.45% pada rumput rawa sedangkan pada hijauan darat selulosa berkisar antara 30.30 - 37.30%, hemiselulosa 29.60 – 31% lignin berkisar antara 3.90 - 6.40%. Minson (1990) melaporkan bahwa sebagian besar selulosa pada dinding tanaman dilindungi oleh lapisan lignin yang sulit dicerna kecuali diberi perlakuan kimia. (Fahriani 1996; Endang 2010) menyatakan bahwa secara umum kandungan nutrisi rumput tropika lebih rendah dibandingkan rumput sub tropika, kandungan nutrisi rumput tropika lebih mendekati kandungan Italian ryegrass yang di panen saat fase akhir berbunga (late blooming). Minson (1990) melaporkan rumput tropika memiliki kandungan serat kasar sebesar 19-47% dan lignin 2-11.5%. Van Soest (1991) menyatakan ada korelasi negatif antara kandungan lignin dengan daya cerna selulosa. Fluktuasi level air berpengaruh besar terhadap tumbuhan rawa, ketersediaan nutrisi sangat baik pada saat pasang kecil yaitu terjadi secara harian (1-2 kali sehari), sejumlah unsur tertentu terlarut lebih banyak pada waktu air pasang, terutama tersedianya unsur nitrogen, sedangkan pada pasang besar hanya terjadi sekali setahun (flood water phase) rumput rawa kurang tersedia, kecuali spesies adaptif (Rachman et al., 2010). Level air tanah merupakan faktor utama yang sangat penting karena membetuk 70-90% (Fitter & Hay 2002) dari bobot segar tumbuhan, (Kramer & Boyer 1995) 80 – 95% dari bobot segar tanaman, sedangkan Taiz & Zeiger (2002) melaporkan bahwa kandungan air dari tanaman yang sedang tumbuh sebesar 35-75%. Kebutuhan ternak 6.25 kg BK/hari (NRC.2006). Kebutuhan ternak distandarkan dengan kebutuhan zat makanan sapi pedaging pada umur, bobot hidup dan pertambahan bobot hidup yang relatif sama (Purnomo 2006). Dengan kadar protein hijauan 10.88%, konsumsi pakan sebesar 6.25 kg BK/hari mampu memberikan 68 g protein kasar kepada ternak. Diharapkan dengan konsumsi protein tersebut, ternak akan tumbuh dengan kecepatan pertambahan bobot badan sebesar 0.25 – 0.50 kg/ekor/hari. Kebutuhan energi dalam bentuk TDN sebesar 4.9 kg/hari maka dengan kadar TDN hijauan sebesar 57.2% hanya dapat menyediakan 3.37 kg/hari, hal ini berarti rumput rawa belum mencukupi kebutuhan energi ternak, sehingga dalam pemberian pada ternak perlu ditambahkan limbah pertanian yang banyak mengandung energi. Limbah
15 pertanian yang banyak dan melimpah dikawasan rawa ini adalah limbah sagu sehingga dapat dipakai sebagai pakan tambahan sumber energi bagi ternak. Potensi Produksi Lokasi Penelitian Potensi produksi pada daerah penelitian berdasarkan produksi biomasa pada musim pasang, musim peralihan dan musim surut disajikan pada Tabel 2.5. cara perhitungan tersaji pada lampiran 1. Tabel 2.5 Potensi produksi bahan kering dan kapasitas tampung daerah Rawa
Daerah Mantaas Rantau Mujur Sungai Buluh Pamangkih Labuan amas Bararawa Palbatu Daha Rintisan Tampakang Danau Panggang
Musim pasang 6962 5252 4019 3271 0 5250 4122 4867 3732 3311 0
Produksi bahan kering ( kg/ha) musim musim peralihan surut KT (ST) 4175 1256 2.75 3614 1378 2.28 3799 1287 2.02 3449 1124 1.74 0 0 0 4085 1324 2.37 3716 1178 2 3366 1107 2.08 3134 762 1.7 2757 578 1.48 0 0 0
Daya dukung 14484.37 30566.4
Keterangan : musim pasang selama 150 hari dengan interval pemotongan 40 hari sekali, musim peralihan selama 120 hari dengan interval pemotongan 30 hari sekali, musim surut selama 90 hari dengan interval pemotongan 50 hari sekali
Kapasitas tampung tertinggi di daerah Mantaas produksi sebesar 6962 kg BK ha thn-1, sedangkan pasa musim peralihan sebesar 4175 kg BK ha-1thn-1 dan pada musim surut 1256 kg BK ha-1thn-1 (Tabel 2.6) dengan puf 50% maka dapat menampung ternak sebanyak 2.75 ST ha-1tahun-1, sedangkan Desa Tampakang dengan produksi 3311 kg BK/ha/thn hanya mampu menampung ternak sebanyak 1.49 ST. Hal ini dikarena pengaruh kondisi tanah yang kurang subur yaitu kurang adanya luapan air sehingga tanah berbongkah, selain itu juga produksi biomasa dipengaruhi oleh spesies yang adaptif pada masing-masing daerah berbeda-beda, dan spesies yang tumbuh menentukan besarnya kapasitas tampung. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan pada padang pastura hutan yang dilaporkan Purnomo (2006) yang menyatakan bahwa kapasitas tampung pastura hutan alami berkisar antara 0.99-1.32 ST ha-1tahun-1. Daya dukung lahan rawa di Kecamatan Labuan Amas seluas 6 629 ha dengan rataan kapasitas tampung sebanyak 2.18 ST, maka daya dukung wilayah sebanyak 14 484.37 ST, sedangkan untuk Danau Panggang dengan luasan rawa sebesar 15 920 ha rataan kapasitas tampung sebanyak 1.92 ST, maka memiliki daya dukung sebesar 30 566.4ST thn-1. -1
16 Penentuan Tumbuhan Rawa Untuk Penelitian Berikutnya Penentuan tumbuhan rawa yang yang terbaik akan gunakan untuk penelitian berikutnya berdasarkan produktivitas, yaitu total produksi bahan kering dan nilai indek penting tumbuhan. Tumbuhan yang memiliki nilai skor empat tertinggi berdasarkan produktivitas digunakan untuk penelitian berikutnya. Adapun skor yang dilakukan pada tumbuhan rawa tersaji pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Skor Pemilihan Jenis Tumbuhan Terbaik Nama latin Kumpai Minyak Kumpai Batu Beberasan Pipisangan Babatungan Kayamahan Juluk Kumpai Miang Dadangsit Padi Hiang Kayapu Belaran Supan-supan Jungkut berang Kasisap Kangkung Hadangan Bundungan Banta Kumpai Ginting Jajagungan
Kg BK total 1550.9 1741.9 1405.4 1350.2 829.3 358.7 300.1 211.4 201.3 321.4 230.7 227.5 131.1 110.1 128.7 188.4 176 173.9 399.4 329.1 147.8
Skor 8 9 8 7 5 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2
(%) INP total 66.3 65.9 63.1 62.5 18.7 12.6 9.0 5.1 4.8 12.9 7.6 7.8 3.5 3.6 5.3 6.8 6.8 6.8 13.1 11.4 6.1
Skor 7 7 7 7 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1
Total skor 15 16 15 14 7 4 3 3 3 4 3 3 2 2 2 2 2 2 4 4 3
Urutan rangking 2 1 3 4 5 6 7 7 7 6 7 7 8 8 8 8 8 8 6 6 7
Keterangan : Jumlah tanaman diurutkan sampai skor 10, skor tertinggi merupakan rangking terbaik.
Pada Tabel 2.6 diperoleh hasil 4 jenis tanaman yang memiliki skor tanaman tertinggi yaitu Hymenache amplexicaulis Haes, Ischaemum polystachyum. J. Presl, Polygonum barbatum L, dan Ludwigia hyssopifolia sebagai tanaman rawa yang toleran terhadap keadaan musim
Kesimpulan Terdapat 18 jenis hijauan rawa di Kalimantan Selatan, empat jenis hijauan rawa yang dominan berdasarkan skoring yaitu Kumpai Minyak (Hymeneche amplexicaulis Haes), Kumpai Batu ( Ischaemum polystachyum J.Press), Beberasan (Polygonum barbatum L.) dan Pipisangan (Ludwigia hyssopifolia)
17
3 EVALUASI KUALITAS NUTRISI SILASE , HAY DAN HAYLASE ASAL HIJAUAN RAWA KALIMANTAN SELATAN ABSTRAK Ketersediaan pakan untuk ternak ruminansia, khususnya pada musim kering bukan disebabkan karena kurangnya produksi, tetapi lebih kepada faktor pengelolaan yang kurang baik. Ketersediaan rumput misalnya akan berlimpah di musim hujan dan langka di musim kemarau. Teknologi preservasi bermanfaat untuk menjamin ketersedian hijauan pakan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengawetan hijauan rawa dengan metode silase hay dan haylase terhadap kualitas nutrisi dan kecernaan in vitro. Metode yang digunakan yaitu dengan pembuatan hay, silase dan haylase Pengawetan yang diensilase selama 21 hari dengan beberapa aditif. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa silase dengan menggunakan bakteri L. plantarum 1BL-2 memberi hasil menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kadar protein pakan. Komposisi kimia silase hijauan rawa, PK 14.02% dan SK 13.89%, Kecernaan bahan kering 59.23 - 63.21% dan kecernaan bahan organik sebesar 56.25 62.32% untuk silase sedangkan haylase PK 14.25% dan SK 14.52%, kecernaan bahan kering 54.25- 57.25%. dan untuk kecernaan bahan organik sebesar 53.2156.48%. Pengawetan dalam bentuk hay kandungan PK 13.52% dan SK 16.11%, dengan kecernaan bahan kering dan bahan organik 52.91-55.86% dan 46.2450.12%. Disimpulkan hijauan rawa baik dibuat silase untuk mempertahankan kualitas nutrisi Kata kunci : Haylase, kecernaan, L. plantarum,silase ABSTRACK Availability of forage for ruminants, especially during drought season is not always caused by lower production, but may caused by inability to managed forage at heavy production period during rainy be season. Preservation technologies useful to ensure the availability of forage. Study was aimed to evaluate the effect of their forage preservation methods (hay, silage, and haylage) of swam forage on nutritional quality and digestibility in vitro. The method used in making silage and haylage, was ensiling of swamp forage with L. plantarum 1BL-2 for 21 days. The results obtained in silage of swamp forage was a decrease in crude fiber content and an increase in the level of protein. The chemical compositions of swamp forage silage were 14.02% CP, 13.89% CF, 59.23 63.21% dry matter digestibility (DMD), and 56.25 - 62.32% organic matter digestibility (OMD). Haylage contained 14.25% CP and 14.52% CF, 54.2557.25% dry matter digestibility, and 53.21-56.48% organic matter digestibility. Hay contained 13.52% CP, 16.11% CF, 52.91-55.86% DMD, and 46.24-50.12% OMD. It can be concluded that swamp forages well made silage to maintain nutritional quality. Keywords : Digestability, haylage, L. plantarum, silage
18 PENDAHULUAN Kekurangan hijauan segar sebagai pakan ternak sudah lama dirasakan oleh peternakan di Indonesia. Upaya peningkatan produksi ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber protein hewani akan sangat sulit dicapai apabila ketersediaan hijauan tidak sebanding dengan kebutuhan dan populasi ternak yang ada. Dilain pihak, produksi hijauan dari waktu ke waktu semakin menurun seiring dengan beralihnya fungsi lahan untuk pemukiman, jalan, industri serta produksi tanaman pangan dan perkebunan, sementara produksi hijauan dan padang penggembalaan sebagian besar dilakukan pada lahan-lahan marjinal (Humpreys 2001). Hijauan rawa merupakan hijauan pakan yang tumbuh di daerah rawa yang banyak menyimpan potensi pakan untuk bidang peternakan utamanya pakan ternak ruminansia seperti kerbau rawa (kerbau kalang), sapi dan kambing. Hijauan rawa yang tumbuh di rawa terdiri dari rumput dan leguminosae, hijauan ini memiliki produktivitas dan kandungan nutrien yang cukup baik terutama kandungan protein yang cukup tinggi, hijauan-hijauan tersebut dapat dimanfaaatkan sebagai pakan ternak yang kaya nutrien Potensi produksi hijauan pada musim pasang yaitu Kumpai Batu (Ishaemum polystachyum J. Press) mencapai 989.2 kg BK ha-1panen-1, Kumpai Minyak (Hymenagnechne amplexiacaulis Haess) sebesar 1 032.6 kg BK ha-1 panen-1, Pipisangan (Ludwigia hyssopifolia) sebesar 851.7 kg BK ha-1panen-1 dan Beberasan (Polygonum barbatum L) sebesar 889.7 kg BK ha-1panen-1. Walaupun demikian ketersediaan hijauan rawa baik rumput maupun leguminosa masih sangat terbatas karena musim. Pada saat musim surut hijauan rawa sulit ditemukan walaupun ada jumlahnya sangat sedikit (Fahriani & Eviyati 2008). Pemanfaatan hijauan rawa sebagai pakan ternak ruminansia belum banyak dimanfaatkan selama ini hanya digunakan untuk ternak kerbau yang digembalakan di daerah rawa, mengingat ketersediaanya fluktuatif tergantung musim Berdasarkan keadaan tersebut diperlukan usaha untuk mengawetkan hijauan pakan sehingga bisa terjamin ketersediaannya. Usaha pengawetan hijauan pakan yang sering disebut konservasi hijauan pakan, ada beberapa cara yaitu dengan pembuatan hay, silase dan haylage (Ridwan et al., 2005). Hay adalah pengawetan hijauan pakan dengan cara pengeringan berkadar air rendah (14-15%) sehingga hijauan akan diberikan kepada ternak dalam bentuk kering. Silase adalah pengawetan hijauan yang memiliki kadar air tertentu dan telah diawetkan melalui proses fermentasi an-aerob dalam keadaan segar, sehingga ketika diberikan kepada ternak diupayakan untuk tetap dalam keadaan segar ( Widyastuti 2008), sedangkan Haylase adalah gabungan dari keduanya (Sariri et al., 2011). Pengawetan hijauan diharapkan dapat mengatasai permasalahan kekurangan hijauan segar terutama pada musim kemarau yang selanjutnya dapat memperbaiki produktivitas ternak. Pengawetan menggunakan L. plantarum menempati urutan teratas dalam pemakaian sebagai inokulan karena sangat efesien dalam menggunakan karbohidrat terlarut pada hijauan dan menghasilkan asam laktat sehingga cepat menurunkan pH (Weinberg & Much 2003). Pengawetan dengan garam dapur (NaCl) merupakan cara pengawetan tradisional dan sudah dikenal sejak jaman
19 prasejarah, cara pengawetan ini biasa juga digabungkan dengan proses pengeringan. Garam memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan aktifitasnya dalam konsentrasi 1% atau lebih dan konsentrasi yang lebih rendah untuk menghambat mikroba secara selektif, misalnya pada waktu pembuatan produk-produk hasil fermentasi asam laktat (Rani 1989). Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengawetan hijauan rawa dengan metode silase hay dan haylase terhadap degradasi nutrien dan kualitasnya MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan selama empat bulan dari bulan Desember 2012 sampai Maret 2013, tempat pembuatan fermentasi hijauan rawa dilakukan di laboratorium Faperta UNISKA Banjarmasin dan laboratorium nutrisi pakan IPB. Laboratorium Balitnak bogor dan Laboratorium Pasca Panen Cimanggu Bogor. Hijauan yang digunakan adalah empat spesies hijauan rawa Kumpai Minyak (Hymenagnechne amplexiacaulis (Rudge) Nees) Kumpai Batu (Ischaemum polystachyum), Pipisangan (Ludwigia hysospofilia) dan Beberasan (Polygonum barbatum L). Masing-masing merupakan tanaman yang tumbuh di lahan rawa. Hijauan tersebut merupakan tanaman yang paling dominan tumbuh pada saat musim pasang. Hijauan dipotong sekitar 5 – 10 cm dari permukaan air rawa pada umur 40 hari setelah dilakukan triming (akhir bulan Desember 2012) dan dipotong pada bulan Februari 2013. Komposisi kimia dari ke empat jenis hijauan rawa tersaji pada Tabel 3.1. Bahan yang digunakan dalam pengawetan hijauan yaitu hijauan rawa terpilih, dedak padi, inokulan bakteri L. plantarum 1BL-2 (isolat dari Laboratorium Bioteknologi LIPI), molases dari Indofeed Bogor, sedangkan alat yang digunakan adalah mesin potong rumput (chopper), silo berupa drum plastik ukuran 50 kg sebanyak 24 buah, lakban plastik, dan label nama. Tabel 3.1 Komposis kimia hijauan rawa yang digunakan Kimiawi Protein Kasar (%) Lemak Kasar( %) Serat Kasar (%) NDF (%) ADF (%) Hemiselulosa (%) Selulosa (%) Lignin (%) Tannin (%) Ca (%) P (%) WSC (%)
K. minyak 10.88 1.2 16.37 62.6 36.6 26.0 27.25 9.35 2.8 2.46 0.29 0.12
K. batu 14.36 1.29 17.35 40.38 39.26 1.12 35.77 3.49 3.74 0.29 0.13 4.71
Pipisangan 15.96 0.85 25.23 64.48 23.83 40.65 20.07 3.76 17.26 1.05 0.14 6.55
Beberasan 16.45 0.61 16.27 56.42 51.62 4.8 44.03 7.59 4.07 0.85 0.18 2.85
Pembuatan Silase Hijauan dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, dilayukan selama 12 jam hingga kadar air mencapai 60 %, untuk silase dan kemudian ditambah dedak sebanyak 5% dari BK bahan. Hijauan rawa yang telah tercampur dedak kemudian
20 kemudian diberi bahan aditif L. plantarum 1BL-2 sebanyak 1 ml per kg hijauan atau sekitar 106 cfu/g, sedangkan molasses sebanyak 5%. Campuran bahan kemudian dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup untuk mendapatkan suasana anaerob, lalu diperam selama 21 hari. Produk silase dipanen setelah 21 hari pemeraman. Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya terlebih dahulu diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu diambil sampel dari setiap perlakuan untuk dianalisis di laboratorium. Pengawetan Hijauan dengan Teknik Hay Hijauan dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, sebelum dikeringkan diberi bahan pengawet garam sebanyak 1% per kg bahan, diaduk secara merata kemudian hijauan tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 600 C selama 2 hari. Pembalikan dilakukan setiap dua jam sekali agar pengeringan merata. Pengawetan Hijauan dengan Teknik Haylase Hijauan dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, dijemur sinar matahari sampai mencapai kadar air 30%, kemudian ditambah dedak padi sebanyak 5% dari BK bahan, Hijauan rawa yang telah tercampur dedak tadi kemudian diberi bahan aditif L. plantarum 1BL-2 sebanyak 1 ml per kg hijauan atau sekitar 106 cfu/g sedangkan molasses sebanyak 5 %, diaduk secara merata. Campuran bahan kemudian dipadatkan dan ditutup untuk mendapatkan suasana anaerob, lalu diperam selama 21 hari. Setelah 21 hari kemudian diambil sampel dari setiap perlakuan untuk dianalisis di laboratorium Parameter Warna, Bau dan Tekstur Warna, bau, tekstur dan kemis produk silase, hay, dan haylase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik. Sampling dilakukan dengan mengambil bagian atas, tengah dan bawah silo. Untuk silase dan haylase sedangkan hay diambil dari tempat penyimpanan Persentase Keberadaan Jamur Persentase keberadaan jamur pada permukaan silo diperoleh dengan memisahkan silase yang mengalami kerusakan, kemudian ditimbang bobotnya. % Keberadaan jamur = Bobot silase yang berjamur x 100% Bobot total silase pH Sebanyak 1 kg sampel ditambahkan dengan 2 liter aquades (1:2), kemudian didiamkan selama 4 jam sambil diaduk setiap satu jam. Selanjutnya pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran Kandungan Nutrien, NDF dan ADF Kandungan nutrien silase, haylase dan hay hijauan rawa dianalisa proksimat berdasarkan metode AOAC (1999). Kandungan NDF dan ADF silase haylase dan hay hijauan rawa dianalisa menggunakan metode VanSoest et al. (1991). Kadar N-NH3 Penentuan NH3 dilakukan dengan menggunakan teknik mikrodifusi Conway (1957). Cawan Conway yang akan dipakai lebih dahulu diolesi vaselin pada kedua bibirnya. Sebanyak 1 ml sampel berupa supernatan ditempatkan pada salah satu
21 sisi sekat cawan dan di sisi lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Sementara dibagian tengah diletakkan 1 ml larutan asam borat berindikator. Cawan selanjutnya ditutup dengan tutup yang bervaselin sambil digoyang perlahan, sehingga supernatan tercampur dengan natrium karbonat. Lalu cawan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah tutup cawan dibuka asam borat dititrasi dengan 0.02 N H2SO4 sampai warnanya kembali menjadi merah muda. Produksi N-amonia dihitung sebagai berikut: N-NH3 (mM) = ml H2SO4 x 100/L %N-NH3 (Total N) = N-NH3 (mM) x17 (BM NH3) x 100% 1000 Kadar VFA Kadar VFA ditentukan berdasarkan metode destilasi uap (AOAC 1999). Sebanyak 5 ml NaOH 0.5 N dimasukkan ke dalam erlemeyer dan dipasangkan ditempat penampungan hasil destilasi. Supernatan berupa cairan silase sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambah 1 ml H2SO4 15%. Uap air hasil pemanasan ditampung di dalam labu erlemeyer yang berisi 5 ml NaOH sampai mencapai volume 300 ml. Selanjutnya ditambah indikator phenolpthalin 2−3 tetes sampai cairan berwarna merah muda. Selanjutnya larutan dititrasi dengan menggunakan HCl 0.5 N sampai warna titrat menjadi bening. mM VFA total = (volume titran blanko – volume titran sampel) x N HCl x 1000/5 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik In Vitro Kecernaan in vitro melalui penentuan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan menggunakan metode Tilley & Terry (1969). Sebanyak 0.5 g sampel uji dimasukkan ke dalam tabung fermentor, selanjutnya 10 ml cairan rumen dan 40 ml larutan saliva buatan ditambahkan ke dalam tabung. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan penambahan CO2 untuk mendapatkan kondisi anaerob. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada waterbath suhu 39oC. Setelah itu tutup tabung fermentor dibuka dan ditetesi HgCl2 jenuh sebanyak 2 tetes yang bertujuan untuk membunuh mikroba. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Sepernatan dibuang dan endapan ditambahkan dengan 25 ml larutan pepsin, dan diinkubasi kembali pada kondisi aerob selama 48 jam. Selanjutnya endapan disaring dengan kertas saring Whatman No. 41. Kecernaan bahan kering (%) = BK awal – (BK residu-BK blanko) x 100% BK awal Kecernaan bahan Organik (%) = BO awal – (BO residu-BO blanko) x 100% BO awal Pengukuran Kadar dan Jenis Asam Organik Pengukuran asam organik menggunakan metode Bevilacqua dan Califano (1989). Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan ditambahkan ke dalam 50 ml buffer asetonitril. Campuran yang dihasilkan kemudian dihomogenasi dan diekstraksi selama 1 jam, kemudian disentrifuse pada 7000 rpm sebanyak 6 kali dengan masing-masing sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan disaring dengan kertas saring membran berukuran 0,45μm sebanyak dua kali. Supernatan yang sudah disaring diinjeksikan ke HPLC. Spesifikasi HPLC yang digunakan ini adalah jenis Jasco liquid chromathograph jenis LC-900,
22 dengan spesifikasi Jasco UV-980 sebagai detektor, Marchery Nagel C18 (120 x 5 mm) sebagai column dengan temperatur 15°C dibawah ambien sampai suhu 80°C. Standar yang digunakan adalah reagent HPLC (Sigma Chemical Co, St. Louis, MO). Asam-asam organik muncul ketika supernatan yang telah diinjeksikan ke dalam HPLC dimasukkan ke dalam white cheese pickled yang telah diberi standar dari masing-masing asam organik. Sampel tersebut akan melewati UV detektor dan terbaca oleh chromatograph sebagai rangkaian puncak-puncak asam-asam organik. Asam organik format akan muncul sekitar menit ke-4, piruvat pada menit ke-5, laktat pada menit ke-7, asetat pada menit ke-8, oroat pada menit ke-9, sitrat pada menit ke-10, ureat pada menit ke-14, propionat pada menit ke-17 dan butirat pada menit ke-24. ANALISIS DATA Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Sidik Ragam. Apabila terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nilai Tengah Duncan (DMRT) (Steel & Torrie,1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Hijauan Rawa Hasil Pengawetan Karakteristik fisik hijauan rawa yang diawetkan dengan teknologi silase, haylase dan hay, hasil pengamatan terhadap warna, bau, tekstur dan keberadaan jamur hijauan rawa dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Karakteristik fisik hijauan rawa yang telah diawetkan dengan metode silase,haylase dan hay Peubah S1 S2 L1 L2 H1 H2
Warna Hijau+kekuningan Hijau+kekuningan Hijau+kekuningan Hijau+kekuningan Hijau agak coklat Hijau agak pucat
Aroma Asam Asam Asam Asam Bau busuk Khas rumput kering
Tekstur Padat Padat Padat Padat Kering Kering
Jamur (%) 0.00 3.64 0.00 2.25 4.82 0.00
Keterangan : S1 (Silase + L. plantarum 1BL2), S2 (Silase + Molasses): L1 (haylase+ L. plantarum 1BL-2), L2 (haylase + Molasses): H1 (hay tanpa pengawet), H2 (Hay + Garam)
Perlakuan silase dan haylase hijauan rawa memilki warna (Tabel 3.2) tidak jauh berbeda dari sebelum ensilase, yaitu kombinasi warna hijau dan kuning. Kombinasi kedua warna ini merupakan pengaruh campuran dari bahan – bahan yang digunakan pada pembuatan silase dan haylase seperti; rumput Kumpai Minyak, Kumpai Batu, Pipisangan, Beberasan dan dedak. Hasil pengamatan secara umum pada perlakuan S1, S2, L1, dan L2 memperlihatkan warna yang relatif sama yaitu hijau kekuningan. Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap warna, dimana penambahan aditif berupa molasses dan L. Plantarum 1BL-2 tidak berpengaruh terhadap warna. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan selama fermentasi (ensilage), seperti terjadinya reaksi pencoklatan akibat bahan kering yang tinggi atau pembusukan oleh bakteri
23 Clostridia karena kelebihan kadar air. Warna hijau dan kuning tersebut merupakan pengaruh bahan yang digunakan pada pembuatan silase. Warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan kalau kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijaukebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya. Saun & Heinrichs (2008). Silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase (Rostini 2004) Karakteristik fisik hay hijauan rawa pada perlakuan H1 dan H2 (Tabel 3.2) menunjukkan warna hijau agak pucat menandakan tidak terjadi terlalu banyak perubahan dalam kualitas. Hal ini menunjukkan perlakuan tidak banyak menimbulkan kehilangan karotin (sumber vitamin A) yang hilang selama pengeringan. Hijauan yang dikeringkan masih berwarna hijau dapat mengindikasikan bahwa hijauan tersebut mempunyai kandungan prekursor vitamin A yang lebih besar, sedangkan warna yang gelap dan kekuning kuningan menunjukkan terjadinya bleaching dan pencucian kandungan nutrisi oleh air hujan yang terjadi setelah proses pemotongan (Russel & Johnson 2000). Perubahan warna terjadi akibat dari reaksi browning (Winarno 1980) Hasil pengamatan pada S1, S2, L1, L2, H1 dan H2 memiliki Aroma yang khas dari silase dan haylase, begitu juga dengan hay hijauan rawa (Tabel 3.2). Hal ini fermentasi yang dihasilkan didominasi oleh asam laktat yang ditandai dengan bau yang tidak menyengat. Silase yang baik mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat (Saun & Heinrichs 2008). Namun menurut Kung (1993) bau harum belum tentu mencerminkan silase yang berkualitas, karena bau harum bisa berasal dari tingginya etanol yang diproduksi yeast bercampur asam asetat. Silase yang baik bersifat homofermentatif ditandai dengan bau yang tidak menyengat, karena asam laktat hampir tidak berbau. Lebih lanjut dijelaskan jika produksi asam asetat tinggi akan berbau cuka, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau harum yang menyengat dan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk. Aroma pada perlakuan H2 memiliki aroma khas rumput dikeringkan tetapi pada perlakuan H1 memiliki aroma bau busuk. Hal ini menunjukkan pada perlakuan H1 tidak ada bahan pengawet yang ditambahkan sehingga bau busuk ini akibat adanya cendawan yang tumbuh. Pengamatan terhadap tekstur silase, haylase dan hay pada masing-masing perlakuan menunjukkan tekstur yang padat dan tidak terlihat adanya lendir. Secara umum perlakuan S1, S2, L1, L2 maupun pada perlakuan H1 dan H2 memperlihatkan kualitas baik, karena tidak terdapat tanda-tanda kerusakan seperti tekstur yang hancur atau kering untuk silase dan haylase. Hal ini disebabkan semua perlakuan silase (S) dan haylase (L) hijauan rawa mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu proses fermentasi berkisar 60% dan 30%. Tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase. Silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir dan berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan ditumbuhi jamur (Macaulay 2004). Sedangkan pada perlakuan H1 dan H2 menunjukkan tekstur kering dan tidak rontok, hal ini menunjukkan tekstur hay yang dihasilkan hay yang baik. Hay yang baik memilki tekstur tidak rontok,
24 karena bila rontok menunjukkan hijauan tersebut dalam keadaan sangat kering sehingga hay yang dihasilkan kurang baik (Hu et al., 2009). Keberadaan jamur pada permukaan silo merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses ensilase. Idealnya silase yang baik mempunyai permukaan yang tidak berjamur. Pada perlakuan S1 tidak ditemukan jamur sedangkan pada perlauan S2 sebesar 3.64% setelah 21 hari ensilase (Tabel 2.2). Persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini disebabkan kondisi hijauan segar masih kaku dan keras sehingga menimbulkan celah-celah dalam silo yang menyebabkan adanya sisa oksigen terperangkap yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan jamur. Pada perlakuan L1 tidak terlihat adan jamur dibandingkan perlakuan L2. Populasi jamur atau yeast akan meningkat apabila terdapat udara (oksigen) masuk melalui silo yang menyebabkan timbulnya panas disebabkan proses respirasi sel tanaman (Coblenzt 2003). Keberadaan jamur pada produk silase mencapai 10% (Davies 2007). Hal ini menunjukkan jamur yang tumbuh pada penelitian ini masih dalam batas yang normal untuk produk hasil ensilase. Hay yang dihasilkan pada perlakuan H1 menunjukkan hasil yang kurang baik, dimana mempunyai jamur yang cukup banyak, berwarna hijau coklat, dan mengalami bau busuk. Proses terjadinya bau busuk pada hay disebabkan oleh tidak adanya zat pengawet yang mengurangi jamur sehingga jamur dan cendawan dari hay tersebut menyebabkan bau busuk. Pada bahan yang mempunyai kelembaban yang tinggi proses tumbuhnya jamur dapat terjadi dengan mudah. Rani (1989) menyatakan sangat sulit untuk menghindari tumbuhnya jamur pada pembuatan hay yang tanpa ditambah pengawet dengan fungisida, karena jamur akan mudah tumbuh. Jamur-jamur tersebut selain merusak atau merombak susunan kimia zat makanan, juga dapat menghasilkan racun yang berbahaya bagi ternak maupun bagi petani (Cristian et al., 2001) Keberadaan jamur pada hay merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses penyimpanan. Adanya jamur pada perlakuan H1 sebesar 4.82%. Hal ini disebabkan masih adanya air dan oksigen yang cukup untuk mendukung pertumbuhan jamur. Air ini dapat berasal dari air embun dan kelembaban hijauan tersebut. Penyebaran jamur dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara, senyawa karbon, nitrogen, suhu dan keasaman suatu bahan (Tranggono 2007). Hay yang di tumbuhi jamur akan menimbulkan panas yang menimbulkan reaksi coklat (browning reaction) sehingga berwarna lebih coklat (Moran 2007). Kandungan air pada hay yang tumbuh jamur dan mengalami reaksi coklat akan menyebabkan terjadinya perombakan protein, dan gula-gula yang mudah larut, sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas dari hay yang dihasilkan. Pada perlakuan H2 (penambahan garam) tidak ada jamur karena garam (NaCl) sebagai bahan pengawet, dimana garam dapat masuk kedalam jaringan tanaman dengan cara menembus pori-pori kulit bagian luar menuju dinding sel tanaman, mula-mula akan dirubah menjadi ion natrium (na+) dan ion chlor (Cl-), ion chlor inilah yang sebenarnya berfungsi sebagai bahan pengawet dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Tranggono 2007). NaCl memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan aktifitasnya dalam konsentrasi 10% atau lebih dan konsentrasi yang lebih rendah untuk menghambat mikroba secara selektif, misalnya pada waktu pembuatan produkproduk hasil fermentasi asam laktat (Rani 1989). Penambahan garam sebesar
25 1% pada pakan mampu menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan mikroba pembentuk spora, sedangkan mikroba patogen (Clostridium botulinum ) dapat dihambat pertumbuhannya oleh penambahan kadar garam 1-2 % ( Purnomo & Adiono 1987). Kemampuan garam (NaCl) untuk menghambat pertumbuhan mikroba ini disebabkan karena NaCl mampu mengikat air sehingga menyebabkan dehidrasi hijauan (penurunan aw) dan dehidrasi sel mikroorganisme. NaCl juga mampu meningkatan tekanan osmotik sehingga sel mengalami plasmolisa dan dehidrasi dimana air dan komponen-komponen sel lainnya akan keluar dari sel. Selain itu, NaCl juga mampu mengurangi kelarutan oksigen di dalam kandungan air hijauan, sehingga mikroorganisme yang ada di dalamnya menjadi kekurangan oksigen dan tidak dapat hidup secara normal. Mekanisme penghambatan lainnya adalah NaCl dapat terionisasi menghasilkan ion Cl- yang bersifat racun bagi mikroba, NaCl menyebabkan sel menjadi sensitif terhadap karbondioksida, dan NaCl mampu menggangu stabilitas protein, sehingga aktifitas enzim-enzim mikroorganisme terganggu (Fardiaz et al., 1988). Komposisi Nutrisi Hijauan Rawa Hasil Pengawetan Kandungan bahan kering (BK) menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0.05) pada S1, S2 ( silase) maupun L1 dan L2 (haylase), hal ini karena pada silase terjadi proses fermentasi subtrat dan perubahan kadar air. Perubahan kadar air terjadi akibat evaporasi, hidrolisis subtrat atau produksi air metabolik (Gervais et al., 2008). Terjadi penurunan kandungan bahan kering akibat metabolisme aditif yang ditambahkan baik bakteri L. plantarum 1BL-2 maupun molasses, diakibatkan karena adanya perombakan bahan organik yang dilakukan oleh bakteri, sehingga kandungan bahan kering dan bahan organik juga turun seiring dengan proses perombakan dan pemanfaatan nutrien oleh bakteri (Dinis et al., 2009). Silase alfalfa dan rumput gajah yang ditambah aditif mengandung BK lebih tinggi dibanding silase tanpa aditif (Yahaya et al., 2004). Komposisi kimia hijauan rawa tersaji pada Tabel 3.3. Kandungan protein kasar hijauan rawa sebelum pengawetan sebesar 13.72%, setelah pengawetan menjadi 14.02% (S1), 14.25% (L1) dan 13.52% (H2). walaupun tidak terjadi peningkatan yang signipikan tetapi ada kenaikan protein pada perlakuan S1 dan L1, akibat ensilase 0.2% dan 0.62%. Peningkatan ini disebabkan karena terjadi perombakan bahan organik, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan persentase kandungan nutrien. Degradasi serat kasar menyebabkan terjadinya penurunan kandungan persentase serat kasar itu sendiri, sehingga hal ini menyebabkan persentase dari protein kasar meningkat. Selain itu pertumbuhan bakteri juga memberikan sumbangan terhadap peningkatan kandungan protein kasar pada hijauan rawa. Protein bentukan baru pada pengawetan hijauan pakan ternak secara fermentasi tersusun dari penggabungan antara N bebas dari bangkai bakteri dan senyawa sisa asam lemak volatil (campuran asam asetat, propionate dan butirat) yang telah kehilangan ion O, N dan H (Fathul 1997). Sekresi enzim turut berperan dalam meningkatkan kandungan protein biomasa substrat fermentasi, semakin banyak miselium akibat pertumbuhan jamur makin banyak nitrogen tumbuh dan ini merupakan sumbangan protein bagi subtrat yang difermentasi L. plantarum (Santoso et al., 2011).
26 Tabel 3.3 Komposisi nutrisi hijauan rawa yang diawetkan dengan aditif yang berbeda Nutrisi (%) S1 S2 L1 L2 H1 H2 BK 26.7±1.0 24.9±0.5 28.3±0.4 27.4±0.6 81.4±0.6 84.9±0.9 PK 14.0±0.9 12.6±1.9 14.2±0.5 13.3±0.9 13.2±0.7 13.5±1.2 LK 8.1±1.2 6.6±1.1 7.7±0.5 7.2±0.4 4.7±0,2 4.6±0.2 SK 13.8±3.4 14.4±3.6 14.5±0.6 19.9±0.9 17.2±0.3 16.1±1.9 Bet-N 57.1±2.4 53.4±3.1 49.1±2.6 50.9±5.2 52.5±2.1 53.7±1.4 NDF 51.8±3.1 51.1±3.7 53.1±1.2 51.3±2.9 60.6±5.9 54.9±1.2 ADF 33.7±0.8 34.0±0.8 34.5±0.4 34.7±0.8 37.2±0.8 35.1±0.6 Keterangan : S1 (Silase + L. plantarum IBL-2), S2 (Silase + molasses): L1 (haylase+ L. plantarum 1BL2), L2 (haylase+ molasses): H1 (hay tanpa pengawet), H2 (Hay + Garam)
Pada perlakuan S2 dan L2 perlakuan yang diberi molasess terjadi penurunan protein kasar kemungkinan karena dipengaruhi oleh degradasi protein oleh enzim protease dari bahan baku tersebut pada awal ensilase. Kandungan protein kasar hijauan mengalami penurunan dari 0.6% sampai 0.8% . Pada awal proses ensilase terjadi hidrolisis protein oleh enzim protease dimana protein hijauan menjadi asam amino, kemudian menjadi amonia dan amina. Laju kecepatan penguraian protein ini (proteolisis), sangat bergantung pada laju penurunan pH. pH yang turun pada awal ensilase sangat bermanfaat untuk mencegah perombakan protein hijauan. Aktivitas protease optimal pada pH 4-7 tergantung materi yang digunakan (Fonseca et al., 2000) Protein pada perlakuan hay (H) hijauan rawa berkisar antara 13.2- 13.52% menunjukkan tidak ada perbedaan (P<0.05) antar perlakuan. Terjadi penurunan sebesar 0.2 dan 0.5% untuk H1 dan H2, dari sebelum dilakukan pengeringan. Penurunan protein kasar terjadi disebabkan selama pengeringan terjadi kehilangan N dan nutrien lain, dimana pada proses pengeringan terjadi denaturasi protein, karena ikatan dalam senyawa protein pecah sehingga kandungan protein menjadi turun. Selama proses pengeringan terjadi kehilangan N sebagai aksi dari enzim proteolisis, karoten (provitamin A) akan hilang sebanyak 80% dan vitamin E hilang seluruhnya pada saat proses pengeringan (Doane et al., 1997). Pengeringan menyebabkan kehilangan banyak nutrien (Church 1991). Pada waktu pengeringan terjadi reaksi browning yaitu antara asam organik atau asamasam amino dengan gula pereduksi yang ditandai dengan perubahan warna kecoklatan setelah dilakukan pengeringan sehingga terjadi penurunan presentase kandungan protein dalam suatau bahan walaupun ditambahkan bahan pengawet (Winarno 1980) Kandungan serat kasar hijauan rawa sebelum perlakuan sebesar 21.16%, dan setelah dilakukan pengawetan pada perlauan S1,S2 L1 dan L2 serta H1 dan H2 memberikan penurunan pada kandungan serat kasar. Perlakuan S1 (L.plantarum 1BL-2) memberikan penurunan kandungan serat sebesar 7.27%, L2 penurunan sebesar 6.64%. Penurunan serat kasar ini disebabkan adanya proses degradasi yang dilakukan oleh inokulan yang ditambahkan. Serat kasar sebagian berasal dari dinding sel tanaman yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Bakteri L. plantarum mempunyai kemampuan dalam mendegradasi komponen serat dan menghasilkan enzim pendegradasi lignin (Lendrawati 2008). Pada perlakuan H1 dan H2 terjadi penurunan sebesar 3.93 - 5.05% dari sebelum pengeringan. Hal ini menunjukkan proses pengeringan dapat menurunkan kandungan SK hijauan rawa, dimana terjadi proses respirasi
27 karbohidrat akan dirubah menjadi energi (panas), CO2 dan Air. Serat merupakan komponen dari karbohidrat (Winarno 1980). Kandungan NDF pada perlakuan hijauan rawa yang diawetkan dengan metode fermentasi silase dan haylase lebih rendah baik yang menggunakan bakteri L. plantarum maupun yang menggunakan molasses dibandingkan dalam bentuk hay. Penurunan NDF pada silase maupun haylase (Tabel 3.3), disebabkan oleh terjadinya perombakan pada dinding sel tanaman oleh Bakteri L. plantarum yang digunakan, menyebabkan terjadinya perubahan kandungan komponen serat (lignin, selulosa dan hemiselulosa), tergantung pada penurunan kandungan NDF dan ADF. Bakteri L. plantarum mampu memecah komponen serat kasar (Ridwan et al. , 2005) . Penuruan kandungan NDF setelah ensilase berkisar antara 15.16-19.31% sementara kandungan ADF terjadi penurunan berkisar antara 1.24 - 3.6%. Hasil penurunan kandungan ADF dan NDF ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penurunan kandungan NDF dan ADF rumput gajah yang juga difermentasi dengan L. plantarum 1BL-2 (Ridwan et al., 2005), sedangkan Lendrawati (2008) melaporkan penurunan kandungan NDF berkisar antara 17.34 – 20.90% dan ADF berkisar antara 4.2 – 10.21%. Perbedaan persentase penurunan kandungan NDF dan ADF ini dipengaruhi oleh jumlah inokulan yang digunakan berbeda sehingga mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan untuk mendegradasi komponen NDF dan ADF. Kandungan NDF dan ADF pada perlakuan H1 dan H2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antar perlakuan. Perlakuan H2 yang diberi pengawet garam kandungan NDF dan ADF cenderung lebih rendah dari perlakuan lainnya, hal ini menunjukkan garam dapat mempercepat proses respirasi sehingga komponen serat dari hijauan rawa menjadi turun. Hal ini senada dengan Santoso & Hariadi (2008) menyatakan bahwa nilai NDF dan ADF hay alfalfa tidak dipengaruhi cara pengeringan tetapi dipengaruhi perlakuan kimia dengan menggunakan NaCl pada hijauan. Hasil ini tidak sejalan dengan Verbic et al. (1999); Luginbuh et al. (2000) bahwa kandungan NDF pada rumput yang diawetkan dengan teknik pengeringan menjadi hay lebih tinggi dengan perbedaan berturut-turut 15.16% dan 16.31%, sedangkan Doane et al. (1997) melaporkan bahwa kandungan NDF pada rumput archard yang dikeringkan pada suhu 50 oC lebih tinggi dengan perbedaan 4.6% dibandingkan dengan hasil ensilase. Tingkat Keasaman, VFA dan NH3 Hijauan Rawa Tingkat keasaman silase sangat penting untuk diperhatikan karena merupakan penilaian yang utama terhadap keberhasilan silase. Nilai pH, kadar VFA, dan NH3, dari hijuan rawa tersaji pada Tabel 3.4. Nilai pH yang diperoleh memenuhi kritria silase yang baik yaitu sebesar 3.8 sampai 4.07 yang dapat menekan pertumbuhan jamur dan tidak menyebabkan busuk. Rendahnya pH silase dan pH haylase pada penelitian ini didukung oleh cukupnya ketersediaan kandungan WSC (3.83% BK), adanya aditif yang ditambahkan baik bakteri L. plantarum 1BL-2 serta molasses, yang berfungsi sebagai substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat, untuk menghasilkan asam laktat lebih banyak, dan menghasilkan pH akhir lebih rendah. Silase yang baik diperlukan jumlah WSC yang terdapat pada bahan ensilase sebesar 3−5% BK (McDonald et al., 1991). WSC pada bahan penelitian ini menunjukkan nilai
28 ideal, yang memungkinkan proses ensilage berjalan sempurna, seperti yang diindikasikan dalam penelitian ini dengan kandungan pH (3.8-4.08) dan kandungan asam laktat sebesar 42 – 79 g/kg. Silase yang berkualitas tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat, sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, seperti Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6−4.8 ( Schroeder 2004) Tabel 3.4 Nilai pH, kadar VFA, NH3, hijauan rawa setelah diawetkan Kadar VFA Asam laktat g/kg Perlakuan pH NH3(m/M) (mM) BK a a c S1 3.84 ±0.67 4.10 ±0.67 109.5 ±0.67 79.5c±4.2 S2 3.85a±0.43 5.49b±0.43 85.95b±0.43 42.2a±1.6 L1 3.80a±0.52 4.37a±0.52 96.07c±0.52 68.6b±4.8 a b b L2 4.07 ±0.09 5.99 ±0.09 80.07 ±0.09 50.2a±2.6 H1 5.17b±0.72 8.43c±0.18 21.71a±7.65 0.00 b c a H2 5.75 ±0.49 6.85 ±1.59 54.28 ±2.19 0.00 Keterangan : S1 (Silase + L. plantarum IBL-2), S2 (Silase + molasses): L1 (haylase+ L. plantarum 1BL2), L2 (haylase+ molasses): H1 (hay tanpa pengawet), H2 (Hay + Garam)
Kandungan NH3 merupakan indikator besarnya protein yang terdegradasi selama proses ensilase (Kung & Stokes 2001). Bakteri pendegrasi protein akan merombak protein menjadi asam amino, asam amino ini selanjutnya akan dirombak menjadi produk lain seperti asam butirat, NH3 dan CO2 (Moran 2007). Data hasil penelitian NH3 (Tabel 3.4) perlakuan tidak berbeda (P<0.05) dibandingkan haylase (L1 dan L2) sedangkan dengan hay (H1 dan H2 ) berbeda nyata (P<005). Pada penelitian ini, penambahan bakteri L. platarum 1BL-2 ternyata mampu menghambat berkembangnya bakteri pemecah protein yang dapat menurunkan kadar NH3, begitu juga dengan penambahan molasses dapat meningkatkan ketersediaan karbohidrat mudah larut. Walaupun masih rendah dibandingkan dengan yang ditambah bakteri L. plantarum dalam mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat, untuk menghasilkan asam laktat lebih banyak, yang akan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang dapat mendegradasi protein. Hasil ini didukung dengan nilai pH yang rendah (3.84 vs 4.08). Semakin kecil kadar NH3 pada hasil fermentasi maka akan semakin baik karena hanya terjadi sedikit proses proteolisis. Hasil penelitian ini masih dalam batasan normal untuk suatu fermentasi. Persentasi kadar NH3 pada hasil fermentasi yang dikelola dengan baik adalah < 10% (Moran 2007). Selama ensilase terjadi pemecahan protein menjadi peptide dan asam amino bebas yang dilakukan enzim tanaman sementara itu perombakan asam amino menjadi ammonia dan senyawa NPN lain (MC Donald 1978). Konsentrasi NH3 hay hijauan rawa berkisar antara 6.33 – 8.85 mM. hasil penelitian lebih rendah dari hasil Despal & Permana (2008) konsentrasi NH3 daun rami berkisar antara 19.78 – 26.56 mM. Konsentrasi NH3 hay hijauan rawa ini masih dalam batas yang normal dalam mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 6 – 21 mM (McDonald et al., 2002). Perbedaan bahan pengawet mempengaruhi konsentrasi
29 NH3 karena protein di degradasi pada tingkat yang berbeda yang mampu memenuhi kebutuhan mikroba dalam fermentasi (Sutardi 1990) Volatile Fatty Acid (VFA) pada perlakuan silase dan haylase merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroorganisma pada proses ensilase. Kadar VFA pada penelitian ini berkisar antara 85.95 sampai 109.5 mM untuk silase (S) sedangkan untuk haylage (L) sebesar 80.07 sampai 96.07 mM dan untuk perlakuan hay (H) sebesar 21.71 – 54.28 mM. Hal ini menunjukkan mudah atau tidaknya karbohidrat pakan tersebut didegradasi oleh mikroba selama ensiling. Produksi VFA dalam penelitian ini bervariasi karena aditif yang ditambahkan berbeda, sehingga mempengaruhi kemampuan mendegradasi karbohidrat. Konsentrasi VFA total pada perlakuan S2 dan L2 ini lebih rendah dibandingkan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan terjadi perombakan karbohidrat lebih sedikit, akan tetapi menghasilkan BAL yang bersifat heterofermentatif, sehingga tidak hanya asam laktat sebagai produk akhir fermentasi, tetapi juga menghasilkan asam asetat, propionat, dan butirat, begitu juga pada perlakuan pengeringan (H1 dan H2). Konsentrasi VFA yang terdiri dari atas asam asetat, propionat butirat dan asam lainnya merupakan refleksi dari fermentasi yang tidak efesien, atau terjadinya fermentasi sekunder (Chamberlain & Wilkinson 1996). Produksi VFA dari hasil fermentasi dipengaruhi oleh spesies tanaman, bahan kering bahan saat panen, total gula dan penambahan aditif (Getachew et al., 2004). Kandungan asam laktat pada perlakuan S1 dan L1 berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan S2 dan L2. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bakteri L. plantarum mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri, dimana bakteri ini akan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana sewaktu ensilase berlangsung, kemudian bakteri lainnya akan menguraikan gula-gula sederhana menjadi produk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, asam laktat dan asam butirat) sedangkan dengan penambahan molases (S2 dan L2) produksi asam laktatnya masih rendah dimana molasses dapat meningkatkan ketersedian karbohidrat terlarut sehingga mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat, akan tetapi kemampuan bakteri L plantarum lebih cepat meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan dengan yang ditambah molasses, dengan nilai pH semua perlakuan setelah 21 hari masih dalam kondisi ideal (3.8 – 4.08). Konsentrasi asam laktat silase berbasis jerami padi yang ditambahkan L. plantarum signipikan lebih tinggi dibandingkan silase yang dengan penambahan molasses (Coa et al., 2010). Kandungan asam organik terutama asam laktat sangat dipengaruhi aditif yang ditambahkan (Ohshima & McDonald 1978). Konsentrasi asam laktat yang tinggi pada produk ensilase memberikan keuntungan bagi ternak karena bakteri pengguna laktat seperti Megasphaera elsdinii dapat mengkonversi asam laktat menjadi propionate yang selanjutnya dapat digunakan sebagai prekusor glukoneogenesis (Lemosquet et al., 2004; Martin et al., 2006; Santosa et al., 2011). Secara keseluruhan hasil penelitian ini menghasilkan asam laktat yang cukup tinggi dibandingkan dengan asam asetat, propionat dan asam lainnya. Silase yang baik ditandai dengan konsentrasi asam laktat yang tinggi, sebaliknya konsentrasi asam asetat, propionate dan butirat yang rendah. (Ohshima & McDonald 1978). Asam asetat dihasilkan oleh bakteri asam laktat heterofermentatif (heterolaktat) yang memfermatasi hexsosa menjadi asam laktat dan produk lainnya seperti etanol dan asam asetat. Selain itu asam asetat dapat terbentuk dari rantai karbon asam amino selama fermentasi sekunder, sedangkan
30 asam butirat dihasilkan dari perombakan glukosa dan asam laktat oleh bakteri clostridia sakharolitik (Bureenok et al., 2006) Kecernaan Nutrien Hijauan Rawa Secara In-Vitro Kecernaan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas pakan, karena merupakan gambaran gizi yang tersedia. Nilai kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) pada silase, haylase dan hay secara in vitro tersaji pada Tabel 3.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan. Rata-rata kecernaan berkisar 52.9–63.2% untuk kecernaan BK dan 46.2 – 62.3 % untuk kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum pakan silase (S1 dan S2 ) lebih tinggi dibandingkan dengan L1, L2, H1 dan H2. Hal ini dikarenakan pada silase dengan penambahan BAL dan molasses dapat menurunkan kehilangan BK dan BO selama ensilase lebih sedikit. Disamping itu kandungan NDF dan ADF yang rendah akibat degradasi fraksi serat selama ensilase menyebabkan nilai kecernaan nutrien meningkat. Pada perlakuan haylase (L1 dan L2) memiliki nilai kecernaan lebih rendah dibandingkan dengan silase, hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi pada pembuatan haylase kurang sempurna dibandingkan dengan dibuat silase, hal ini ditunjukkan dengan kehilangan BK dan BO yang cukup tinggi, sehingga degrasai fraksi serat masih tinggi sehingga mempengaruhi nilai kecernaan secara in-vitro. Penggunaan aditif yang berbeda pada proses ensiling haylase tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam kecernaan in-vitro. Kecernaan haylase rumput gajah lebih rendah dibandingkan diberikan dalam bentuk silase (Santoso et al., 2009). Tabel 3.5 Kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan rawa (%) Perlakuan S1 S2 L1 L2 H1 H2
KCBK
KCBO
b
62.3c±0.4 57.9b±0.3 56.4b±0.4 53.2b±0.2 46.2a±1.6 50.1a±2.3
63.2 ±0.4 58.4b±0.3 57.2b±0.5 54.2a±0.2 52.9a±0.5 55.8a±0.5
Keterangan : S1 (Silase +L. plantarum IBL-2), S2 (Silase + molasses): L1 (haylase +L. plantarum1BL-2) (Haylase+ molasses): H1 (hay tanpa pengawet), H2 (Hay + Garam). Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda pada (P<0.05)
Kecernaan hay (H1 dan H2) memiliki kecernaan lebih rendah dibandingkan dalam bentuk silase maupun haylase. Terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan adanya kandungan serat kasar yang tinggi, dan kandungan BK dan BO banyak yang hilang selama pengeringan sehingga menurunkan kecernaan pakan. Ada korelasi negatif antara tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan kandungan NDF dan ADF dalam ransum (Cherdthon et al., 2010). Tingginya serat kasar memberikan kontribusi pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik (Davidson et al., 2003). Terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan tingkat kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum (Daha et al., 2004)
31 Kesimpulan Teknologi preservasi dengan silase, hay dan haylase pada hijauan rawa dapat dilakukan dan dapat mempertahankan kualitas nutrisi hijauan rawa. Hasil yang terbaik dari pengawetan hijauan rawa adalah dengan teknologi silase.
32
4 PEMANFAATAN HIJAUAN RAWA KALIMANTAN SELATAN ASIL PRESERVASI PADA KAMBING KACANG. ABSTRAK Hijauan rawa yang tumbuh di rawa terdiri dari rumput dan leguminosa, hijauan ini memiliki produktivitas dan kandungan nutrien yang cukup baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi penggunaan hijauan rawa sebagai pakan ternak ditinjau dari kecernaan dan performa ternak kambing. Sebanyak 24 ekor kambing kacang jantan umur 10-12 bulan bobot badan awal 13.10 ± 1.55 kg digunakan dalam penelitian. Perlakuan penelitian terdiri dari kontrol (HL) : 60% rumput dan 40% leguminosa, (HRD): 60% hijauan rawa dan 40% konsentrat, (HRS): 00% hijauan rawa segar, (HRK) : 100% hay hijauan rawa, (HRL) : 100% silase hijauan rawa, (HRH): 100% haylase hijauan rawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan HRL nyata mempengaruhi konsumsi dan kecernaan pakan dibandingkan HRS. Pada perlakuan HRL, konsumsi bahan kering (532 g ekor-1hari-1), konsumsi protein (74.62g ekor-1hari-1), kecernaan bahan kering ( 74.5% ekor-1hari-1), mampu meningkatkan bobot badan total (3.5 kg) dalam delapan minggu dengan pertambahan berat badan harian (62.60 g hari-1ekor-1) sedangkan pada perlakuan HRS konsumsi bahan kering (422 g/ekor/hari), konsumsi protein (58 g ekor-1hari-1), kecernaan bahan kering ( 65.7% ekor-1hari-1) mampu meningkatkan bobot badan total (2.1 kg) dengan pertambahan berat badan harian (37.5 g hari-1ekor-1). Disimpulkan bahwa silase hijauan rawa berpotensi untuk digunakan sebagai pengganti hijauan darat bagi ternak kambing. Kata kunci : Bobot badan, haylage, hijauan rawa, kambing, silase
ABSTRACT Swamp forage growing in swamp area contains grasses and legume that have relatively good productivity and quality nutrient. This research was aimed to evaluate the potency of swamp forages on digestibility and performance of goat. There were 24 local male goats aged 10-12 months with initial body weight of 13.10 ± 1.55 kg. Those were control (HL): 60% grass and 40% leguminose; (HRD): 60% swamp forage and 40% concentrate; (HRS): 100% swamp forage; (HRK): 100% swamp forage hay; (HRL): 100% swamp forage silage; (HRH): 100% haylage swamp forage. The results showed that treatment of HRL affected consumption and digestibility of feed compared to the HRS. Treatment HRL dry matter intake (532.11 g d-1), protein intake (74.62g d-1), dry matter digestibility (74.5% d-1) increased total body weight (3.5 kg) in eight weeks with weight gain daily (62.60 g d-1), while treatment of HRS dry matter intake (422 g d-1), protein intake (58 g d-1), dry matter digestibility (65.7% d-1) increased body weight total (2.1 kg) with daily weight gain (37.5 g d-1). It is concluded that ensilage of swamp forage is very potential to be utilized as forage source for ruminants such as goat. Keywords : Body weight, goat, haylage, silage, swamp forage,
33 PENDAHULUAN Lahan rawa Indonesia mencapai 33 juta hektar, yang terdiri atas 20 juta hektar rawa pasang surut dan 13 juta hektar rawa non pasang surut (rawa lebak). Daerah rawa ini tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya, dimana dari 434 kabupaten/ kota di Indonesia yang ada saat ini diperkirakan 34.56% atau lebih dari 150 kabupaten/ kota mempunyai daerah rawa (BPS 2012). Pemanfaatan dan penggunaan lahan rawa ini sangat beragam, antara lain sebagai kawasan konservasi, ekoturisme, pengembangan tanaman pangan, hortikultura, tanaman sayur-mayur, pengembangan perkebunan, budidaya perikanan, peternakan, pengembangan tanaman industri, serta pemukiman dan prasarana (Rachman et al., 2010) Hijauan rawa merupakan hijauan pakan yang tumbuh di daerah rawa yang banyak menyimpan potensi pakan untuk bidang peternakan utamanya pakan ternak ruminansia seperti kerbau rawa (kerbau kalang), sapi dan kambing. Hijauan rawa yang tumbuh di rawa terdiri dari rumput dan leguminosa, hijauan ini memiliki produktivitas dan kandungan nutrien yang cukup baik terutama kandungan protein yang cukup tinggi, hijauan-hijauan tersebut dapat dimanfaaatkan sebagai pakan ternak yang kaya nutrien Keragaman hijauan rawa Kalimantan Selatan pada penelitian Tahap I memiliki 18 jenis hijauan yang terdiri dari Kumpai juluk, Belaran, Kayamahan, Kasisap, Pipisangan, Kumpai miang, Kumpai minyak, Kumpai batu, Beberasan, Bundungan, Babatungan dll. Tetapi yang paling dominan dan memiliki produksi cukup tinggi dan kualitas nutrisi yang baik pada musim pasang adalah rumput Hymeneche amplexicaulis Haes, produksinya sebesar 1032.6 kg BK ha-1panen-1 kandungan PK 10.88%, SK 16.37%, Ischaemum polystachyum. J. Presl produksinya 989.2 kg BK ha-1panen-1 kandungan PK 14.3%,SK 17.35%, Polygonum barbatum L produksinya sebesar 889.2 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 16.45% dan SK 16.27%, Ludwigia hyssopifolia ,produksinya sebesar 851.7 kg BK ha-1panen-1, kandungan PK 15.96%, SK 25.23%. Walaupun demikian ketersediaan ihijauan rawa baik rumput maupun leguminosa masih sangat terbatas karena musim sehingga perlu dilakukan teknologi pengawetan Pengawetan dengan preservasi pakan secara silase, hay dan haylase hijauan rawa yang diensilase selama 21 hari menggunakan bakteri L. Plantarum 1BL-2 dan hay dengan penambahan garam (NaCl) pada penelitian tahap II, dengan komposisi kimia silase hijauan rawa, PK 14.02% dan SK 13.89%, dan dengan teknik pengawetan dalam bentuk Hay kandungan PK 13.52% dan SK 16.11%,. sedangkan dalam bentuk haylage PK 14.25% dan SK 14.52%. Pemanfaatan hijauan rawa sebagai pakan ternak ruminansia belum banyak dimanfaatkan, selama ini hanya digunakan untuk ternak kerbau yang digembalakan di daerah rawa, mengingat ketersediaanya yang fluktuatif tergantung musim. Ternak kambing merupakan ternak yang banyak dipelihara masyarakat karena mudah dalam pemberian pakannya (Budisatria et al., 2010). Kambing mempunyai kemampuan menggunakan pakan dengan kandungan serat tinggi dan protein rendah lebih baik bila dibandingkan domba (Alcaida et al. ,2003) Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis hijauan rawa sebagai pakan ternak,
34 dan mengevaluasi penggunaan teknologi pengawetan hijauan rawa sebagai pakan ternak ditinjau dari tingkat kecernaan dan performa ternak kambing BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di kandang Faperta Uniska, Laboratorium Teknologi Pakan IPB, Laboratorium Pusat penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB dan Laboratorium Balitnak Ciawi Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 2012 sampai Juli 2013 yang meliputi pengambilan hijauan rawa, pembuatan hijauan rawa preservasi (fermentasi dan pengeringan), percobaan pakan pada ternak kambing kacang serta analisis di laboratorium. Penelitian ini menggunakan hijauan rawa Kalimantan Selatan yang diperoleh dari rawa-rawa yang ada di Kecamatan Labuan Amas Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kecamatan Danau Panggang yang ada di kabupaten Hulu Sungai Selatan, Molases didapat dari PT Indofeed Bogor, Bakteri L. Plantarum didapat dari Lab Bioteknologi LIPI, sedangkan dedak diperoleh dari penggilingan padi di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Obat cacing yang digunakan adalah Kalbezer (Kalbe Farma) Tabel 4.1 Kandungan nutrien silase, hay dan haylase hijauan rawa Nutrien (%) Protein Kasar Serat kasar Lemak kasar Bet-N NDF ADF Ca P
Silase hijauan rawa 14.02 13.89 8.13 50.36 51.86 33.75 0.7 0.17
Hay hijauan rawa 13.52 16.11 4.66 48.18 54.9 35.11 0.7 0.17
Haylase hijauan rawa 14.25 14.52 7.79 49.82 53.01 34.54 0.7 0.17
Keterangan: Pengujian Lab PAU 2013, Lab balitnak Bogor, 2013 dan laboratorium Ilmu Nutrisi pakan Teknologi pakan IPB 2013
Penelitian ini menggunakan ternak kambing kacang jantan umur 10 – 12 bulan sebanyak 24 ekor dengan berat badan berkisar antara 11- 13 kg. Kandang kambing individu ukuran 1 m x 1.5 m sebanyak 24 buah, sementara alat yang digunakan adalah tempat pakan (baskom), ember tempat minum, dan label nama. Perlakuan penelitian terdiri dari kontrol (HL) yaitu 60% rumput dan 40% leguminosa darat, (HRD) yaitu 60% hijauan rawa dan 40% konsentrat, (HRS) yaitu 100% hijauan rawa segar, (HRK) yaitu 100% hay hijauan rawa, (HRL) yaitu 100% silase hijauan rawa, (HRH) 100% haylase hijauan rawa. Ternak di tempatkan dalam kandang secara individu untuk memudahkan pemberian pakan dan penampungan feces dan urin. Sebelum perlakuan ternak diberi obat cacing parasit (Kalbazen) dan vitamin. Ransum diberikan sebanyak 3.5% dari bobot hidup. diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam 15.00. Komposisi nutrien pakan penelitian disajikan pada Tabel 4.1 dan 4.2.
35 Tabel 4.2 Komposisi dan kandungan nutrien pakan penelitian (% BK) Ransum Komposisi Rumput lapangan Campuran legume Dedak kumpai minyak Kumpai batu Pipisangan Beberasan Silase hijauan rawa Hay Hijauan rawa Haylase hijauan rawa Total Kadar Abu Protein kasar Lemak kasar Serat Kasar Bet-N TDN* NDF ADF Tanin
HL 60 40 0 0 0 0 0 0 0 0 100 6.37 12.1 6.11 21.23 48.24 62.33 65.44 35.87 1.49
HRD 0 0 40 29.51 10.49 8.84 11.16 0 0 0 100 6.03 12.73 9.23 19.87 43.69 62.52 66.14 37.26 1.16
Perlakuan
HRS HRK HRL HRH 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 39.51 0 0 0 20.44 0 0 0 18.83 0 0 0 21.16 0 0 0 0 0 100 0 0 100 0 0 0 0 0 100 100 100 100 100 Nutrien (%BK) 6.21 6.23 6.87 7.31 13.72 13.52 14.02 14.25 5.94 4.66 8.13 7.79 21.16 16.11 13.81 14.52 43.74 48.18 50.36 49.08 58.98 60.07 64.43 65.09 68.17 54.9 51.86 53.01 37.35 35.11 33.75 34.54 2.21 1.79 0.92 0.96
Keterangan : HL = Kontrol (hijauan pakan lokal terdiri dari rumput lapangan, rumput mulato, daun gamal dan daun nangka), HRD = 60% hijauan rawa + 40% dedak, HRS = Hijauan rawa segar, HRK= Hay hijauan rawa, HRL = silase hijauan rawa , HRH = haylase hijauan rawa. Nutrien pakan hasil analisa di Laboratotium PAU IPB dan Balai Pasca panen Cimanggau Bogor..*)%TDN + 2.6407+(0.6964 x PK) + (0.9491 x Bet-N)+(1.259 x LK)-(0.1043 xSK) (wardeh, 1981)
Koleksi feces dan urin dilakukan selama tujuh hari berturut-turut setelah masa pengamatan konsumsi pakan dan pertambahan bobot hidup berakhir. Selama masa koleksi ternak ditempatkan di kandang metabolis untuk mengurangi gerak dan memudahkan dalam koleksi baik feces maupun urin. Feces dan sisa pakan ditimbang setiap pagi sebelum ternak diberi pakan. Sampel sebanyak 10% diambil dan dikomposit lalu disimpan dalam kantong plastik dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum dianalisis. Analisis kandungan BK, abu, N, Lemak, dan serat dengan menggunakan prosedur AOAC (2005 ). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Sidik Ragam. Apabila terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nilai Tengah Duncan (DMRT) menurut Steel & Torrie (1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan dan Nutrien Pada Kambing Konsumsi bahan kering pada penelitian ini (Tabel 4.3) berkisar antara 410 – 549g/ekor/hari. atau berkisar antara 2.6 - 3.5% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering ini sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok yaitu 2.4 – 2.8% dari bobot badan (NRC 2006) begitu juga dengan Devendra & Mclerroy (1982) kebutuhan bahan kering kambing yang berbobot 15 – 17 kg adalah 396 - 424
36 g/ekor/hari. Konsumsi BK pada perlakun HRD sebesar 549 g/ekor /hari lebih tinggi (P<0.05) dari perlakuan HRK (hay) yaitu sebesar 410 g/ekor/hari, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan HL dan HRL. Hal ini menunjukkan bahwa pakan berbentuk hay hijauan rawa (HRK) kurang disukai kambing diduga karena bentuk fisik hay yang kering dan bersifat amba (bulky) menyebabkan rasa kenyang lebih cepat pada saat dikonsumsi. Pakan yang mempunyai keambaan yang tinggi dapat menimbulkan rasa kenyang lebih cepat pada saat dikonsumsi ternak sehingga sifat tersebut dapat membatasi konsumsi ternak (Toharmat et al., (2006), sedangkan Coleman & Moore (2003) yang melaporkan bahwa karakteristik bahan pakan yang amba membatasi kemampuan ternak untuk lebih banyak lagi mengkonsumsi pakan karena kapasitas rumen menjadi terbatas. Keambaan (Bulkiness) pakan dapat menjadi faktor pembatas utama konsumsi pakan (Lallo 1996). Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Suparjo et al. (2011) yang melaporkan bahwa rataan konsumsi bahan kering pada kambing yang diberi rumput gajah kering relatif rendah yaitu sebesar 433g/ekor/hari sedangkan yang diberi rumput gajah fermentasi sebesar 560 g/ekor/hari. Hal ini kemungkinan disebabkan bahan penyusun ransum yang berbeda (Aregheore 2006), jenis kelamin (Lewis & Emmans 2010) dan status fisiologi ternak (Fedele et al., 2002). Tabel 4.3 Konsumsi nutrien pada kambing yang mendapat hijauan darat dan rawa (g/ekor/hr) Perlakuan
Konsumsi
Bahan Kering Protein Kasar Serat kasar Lemak kasar Bet-N TDN NDF ADF
HL
HRD
HRS
HRK
HRL
HRH
535b±14 64b±2 119b±3 34b±5 258b±8 333b±15 320c±17 192c±14
549b±28 70c±.4 114b±5 53c±.7 240b±16 343b±24 342c±19 204c±16
422a±21 58a±5 95b±8 27b±3 184a±25 249a±32 287b±12 136a±13
410a±12 55a±2 70a±3 19a±3 189a±17 246a±23 266a±16. 137a±22
532b±11 75c±6 77a±9 45c±3 267b±28 342b±15 276b±26 179b±16
465a±22 66b±.8 71a±13 38bc±.4 228b±34 302b±1 246a±37 160b±24
Keterangan : HL = Kontrol (hijauan pakan lokal terdiri dari rumput lapangan, rumput mulato, daun gamal dan daun nangka), HRD = 60% hijauan rawa + 40% dedak, HRS = Hijauan rawa segar, HRK = hay Hijauan rawa, HRL = silase hijauan rawa , HRH = haylase hijauan rawa.. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P< 0.05) TDN + 2.6407+(0.6964 x PK) + (0.9491 x BetN)+(1.259 x LK)-(0.1043 xSK) (wardeh, 1981)
Konsumsi bahan kering yang lebih baik pada ransum HRD, HL dan HRL dibanding perlakuan lainnya dapat meningkatkan kinerja mikroba rumen dalam mencerna pakan yang dikonsumsi inangnya. Penambahan 40% dedak sebagai konsentrat dalam hijauan dan konsumsi protein yang lebih baik pada perlakuan HRD diduga dapat menyumbang energi dan menyeimbangkan konsentrasi ammonia serta VFA dalam rumen sehingga kinerja mikroba rumen bisa lebih optimal. Bamualim (1994) mengatakan energi merupakan faktor esensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen menggunakan energi untuk hidup pokok, terutama untuk melakukan transport aktif. Demikian halnya dengan ransum HL yang menggunakan tambahan leguminosa seperti daun gamal dan nangka, dan ransum silase HRL cenderung
37 lebih palatable dan disukai kambing sehingga mampu meningkatkan konsumsi protein yang diperlukan dalam aktivitas mikroba rumen (Yusran & Teleni 2000) menyatakan bahwa pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan N dalam bentuk amonia dan energi (Abdulrazak et al., 1997). Dengan adanya peningkatan jumlah populasi mikroba rumen maka akan ada peningkatan proses fermentasi pakan dalam rumen ternak yang dimanifestasikan dengan meningkatnya kecernaan pakan dan konsumsi bahan kering pakan Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan (fisik dan kimiawi) yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis dan pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Davendra & Burns 1994). Kemampuan ternak ruminansia mengkonsumsi makanan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, tingkat produksi, umur dan kesehatan ternak, sedangkan faktor dari pakan yaitu frekuensi pemberian dan keseimbangan gizi (Siregar 1996). Konsumsi Protein kasar pada (Tabel 4.3). Rataan konsumsi protein berkisar antara 55 – 74 g/ekor/hari. Jumlah konsumsi pada perlakuan ini telah memenuhi standar kecukupan kebutuhan protein kasar berdasarkan bobot badan yaitu 56 – 58 g/ekor/hari (NRC 2006). Konsumsi protein tertinggi pada perlakuan yang diberi silase (HRL) dibandingkan dengan yang diberi pakan hay (HRK) berbeda sebesar 19%, dengan haylase (HRH) sebesar 8% sedangkan dengan HRD yang diberi hijauan + konsentrat sebesar 4%. Konsumsi protein perlakuan HRK nyata (P<0.05) lebih kecil dibandingkan perlakuan HRL, HRH dan HRD. Konsumsi protein yang rendah disebabkan oleh konsumsi bahan kering (Tabel 4.3) dan kandungan protein pada perlakuan HRK yang lebih rendah (Tabel 4.2) dibandingkan perlakuan lain, selain itu ditunjang oleh nutrien ransum perlakuan dimana protein ransum HRL mencapai 14.02% berupa silase hijauan rawa lebih baik dibandingkan ransum HL, HRD, HRS, dan HRK, serta memiliki kadar serat ransum terendah mencapai 13.81% sehingga konsumsi protein menjadi lebih tinggi dan lebih efisien. Bamualim (1994) mengatakan bahwa protein merupakan suatu zat makanan yang essensial bagi tubuh ternak dan ketersediaan protein yang cukup akan meningkatkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga proses pencernaan dan konsumsi juga meningkat. Lebih lanjut Oktarina et al., (2004) menyatakan adanya peningkatan kandungan protein kasar pakan mampu meningkatkan dan menstimuli laju perkembangbiakan dan populasi mikrobia rumen sehingga kemampuan mencerna pakan menjadi lebih besar. Menurut Parakkasi (1999) jumlah konsumsi protein kasar dipengaruhi kecepatan degradasi, dimana semakin cepat penghancuran makanan semakin mudah ternak lapar dan mengkonsumsi makanan lebih banyak. Menurut Sunarso (2012) protein yang dibutuhkan untuk hidup pokok sangat tergantung pada tipe ransum, kualitas protein, tingkat energi dan kondisi ternak. Konsumsi protein erat kaitannya dengan pertambahan bobot badan dimana protein digunakan untuk pemenuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi. Selain itu ransum dengan silase hijauan rawa (HRL) ini juga mengandung tannin paling rendah hanya sebesar 0.92% dan kandungan ADF ransum paling rendah sebesar 33.75% dibandingkan kelima ransum lainnya. Selanjutnya dikatakan, pengeringan hijauan dalam bentuk hay pada ransum HRK juga berdampak
38 terhadap ketersediaan protein dapat dicerna. Karena proses pelayuan dan suhu tinggi dapat menyebabkan terikatnya protein oleh tannin yang dikandung dalam tanaman. Pengikatan protein oleh tannin ini menyebabkan protein tidak dapat dicerna oleh mikroba rumen. Seperti yang dilaporkan oleh Morrison & Mackie (1996) dan McSweeney et al. (1999) bahwa komplek tanin-protein dalam tanaman tidak dapat dicerna oleh mikroba rumen yang merugikan bagi ternak. Konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen (BET-N) pada penelitian ini berkisar 184 – 258 g/ekor/hari dan secara statistik berbeda nyata (P<0.05) dimana konsumsi turun seiring dengan turunnya BK ransum. Konsumsi BET-N berkorelasi linier dengan konsumsi BK ransum, dimana semakin tinggi konsumsi BK ransum maka semakin tinggi pula konsumsi BET-N, demikian sebaliknya. Konsumsi BET-N tertinggi dicapai ransum perlakuan kontrol (HL) mencapai 258 g/ekor/hari tidak berbeda nyata dengan ransum silase (HRL) dan ransum hay (HRK), serta BET-N terendah terdapat pada perlakuan HRS (Hijauan rawa segar) yaitu 184 g/ekor/hari. Rendahnya konsumsi BETN karena hijauan rawa segar memiliki kandungan konsumsi bahan kering dan protein yang rendah dan kandungan serat yang tinggi serta tekstur dari pakan tersebut dalam bentuk segar. Kandungan BETN memberikan gambaran kasar tentang banyaknya pati dan gula bahan makanan (Sutardi 1990). Konsumsi TDN pada penelitian ini berkisar antara 249 – 357 g/ekor/hari. Konsumsi TDN ini sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok (NRC 2006). Bobot badan kambing 10 – 20 kg memiliki konsumsi TDN pakan sebesar 199 – 343 g/ekor/hari. Hal ini berkaitan dengan kadar serat pakan. Kadar TDN bahan makanan umumnya berhubungan terbalik terhadap kadar serat kasarnya, hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini (Parakkasi 1999). Konsumsi TDN tertinggi dicapai oleh ransum silase perlakuan HRL sebesar 357 g/ekor/hari, diikuti hijauan dengan tambahan dedak (HRD), dan ransum kontrol, sementara konsumsi TDN terendah adalah ransum hijauan rawa segar (HRS) sebesar 249 g/ekor/hari. Hasil penelitian memperlihatkan rendahnya konsumsi TDN pada ransum HRS disebabkan oleh tingginya kadar serat ransum HRS mencapai 21.16% dibandingkan perlakuan lain dengan kadar serat ransum antara 13.81 – 19.87%, kecuali ransum kontrol (21.23%). Kambing membutuhkan serat kasar pakan yang cukup untuk aktivitas dan fungsi rumen yang normal. Serat pakan mengalami degradasi oleh mikroba yang berperan sebagai penyedia energi untuk mendukung hidup pokok, pertumbuhan, laktasi dan reproduksi (Lu et al., 2005). Konsumsi serat kasar perlakuan HRK paling rendah (70 g/ekor/hari) berbeda nyata (P<0.05) dengan pelakuan HRL (119 g/ekor/hari). Perbedaan konsumsi ini disebabkan kandungan serat kasar dan tekstur dari pakan. Konsumsi serat pakan perlakuan HRL dan HRH tidak berbeda nyata (P>0.05) karena kandungan serat kasarnya (13.81vs14.52) dan konsumsi bahan kering (532 vs 535 g/ekor/hari). Tidak berbeda konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komposisi bahan makanan dan tekstur serat dari makanan tersebut (Van Soest 1991). Selanjutkan dikatakan, tekstur serat yang lebih lembut lebih mudah dicerna dan lebih palatable bagi ternak sehingga lebih disukai untuk dikonsumsi. Ransum perlakuan HRK paling sedikit konsumsi seratnya disebabkan teksturnya paling kasar (kering) karena merupakan hay dengan kadar air rendah, sehingga kurang disukai dibandingkan ransum lain. Ransum dengan kadar air hijauan lebih tinggi (HL), hijauan dan
39 tambahan dedak (HRD) atau silase (HRL) lebih banyak menghasilkan konsumsi serat dibanding ransum dengan kadar air yang rendah seperti ransum hay (HRK). Serat pakan dibutuhkan ternak untuk menjamin fungsi rumen berjalan dengan normal untuk proses ruminasi dalam mempertahankan proses saliva dan pH optimal. Peran serat pakan sebagai sumber energi erat kaitannya dengan proporsi penyusun komponen serat seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Konsumsi NDF dalam penelitian hijauan rawa ini rata-rata sebesar 289.5 g/ekor/hari. Penelitian yang dilakukan Suparjo et al., (2011) menghasilkan konsumsi NDF oleh kambing sebesar 283.79 g/skor/hari. Kandungan NDF ransum kemungkinan besar lebih berhubungan dengan pemanfaatan dinding sel yaitu hemiselulosa, selulosa dan lignin (Van Soest 1991). Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan bahan kering namun meningkatkan kecernaan NDF. Peningkatan konsumsi NDF pada ransum perlakuan tinggi serat merupakan hasil dari peningkatan kondisi pencernaan serat oleh mikroorganisme sepanjang saluran pencernaan (Tjardes et al., 2002). Kecernaan Nutrien Kambing yang Diberi Hijauan Rawa Kecernaan pakan sering digunakan sebagai gambaran nilai nutrisi dan ditentukan berdasarkan selisih antara nutrien yang dikonsumsi dengan nutrien yang dikeluarkan melalui feses (Coleman & Moore 2003). Anggorodi (1999), faktor yang mempengaruhi daya cerna adalah laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi pakan dan perbandingan nutrien pakan. Despal & Permana (2008) menyatakan kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas suatu bahan pakan, serta seberapa besar sumbangan suatu pakan bagi ternak. Kecernaan nutrisi pada kambing kacang tersaji pada Tabel 4.4 Tabel 4.4 Kecernaan nutrien pada kambing kacang yang diberi hijauan rawa (%) Rataan Kecernaan
HL
HRD
Bahan kering Protein Kasar Serat kasar Lemak kasar Bet-N NDF ADF
77.2b±4.7 70.4b±3.2 69.6b±0.3 65.7a±5.6 77.6b±12.5 55.5b±4.7 54.8c±6.6
75.9b±3.4 67.9b±2.8 68.1a±1.3 75.5b±.5.2 78.4b±6.4 55.3b±1.3 50.9b±1.8
Perlakuan HRS 65.7a±2.9 64.6a±2.1 65.2a±2.2 63.6a±5.7 66.2a±11.4 52.8a±4.9 51.2a±2.2
HRK
HRL
HRH
67.3a±2.8 65.3a±5.4 67.7a±2.5 65.7a±3.4 68.3a±2.8 54.6bc±2.5 52.6b±2.5
74.5b±3.6 68.4b±2.2 70.6b±1.2 74.3b±7.3 74.9b±7.5 64.6c±3.2 61.8c±4.2
69.2b±2.56 66.2ab±2.6 69.4b±3.6 72.4b±4.3 70.1ab±2.8 62.4c±3.6 60.4bc±3.6
Keterangan: HL = Kontrol (hijauan pakan local terdiri dari rumput lapangan,rumput mulato, daun gamal dan daun nangka), HRD = 60% Hijauan rawa + 40% dedak, HRS = Hijauan rawa segar, HRK = hay Hijauan rawa, HRL = silase hijauan rawa , HRH = haylase hijauan rawa.. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang nyata (P< 0.05)
Kecernaan bahan kering pakan yang mengandung hijauan rawa dalam penelitian ini berkisar antara 65.7% - 77.2% (Tabel 4.4). Kecernaan tertinggi pada perlakuan yang menggunakan silase hijauan rawa (HRL) dibandingkan hijauan rawa segar (HRS) namun tidak berbeda nyata (P<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan HRD (hijauan + konsentrat), sedangkan hijauan rawa dalam bentuk hay (HRK) tidak berbeda dengan haylase (HRH) maupun dengan (HRS) hijauan rawa segar. Namun hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
40 dengan penelitian Wirawan et al. (2012) yang melaporkan bahwa kecernaan bahan kering kambing yang diberi rumput lapangan sebesar 64.6 - 68.5%. Kecernaan BK yang lebih tinggi pada ransum silase (HRL) disebabkan konsumsi pakan dan kandungan protein kasar ransum tinggi sebesar 14.02% dan ditunjang oleh kandungan serat, terutama fraksi lignin relatif lebih rendah. Menurut Oktarina et al. (2004) peningkatan kandungan protein ransum akan meningkatkan dan menstimuli laju perkembangbiakan dan populasi mikrobia rumen sehingga kemampuan mencerna bahan kering pakan menjadi lebih besar. Selanjutnya Abdulrazak et al., (1997) menguatkan pendapat sebelumnya bahwa peningkatan jumlah populasi mikroba rumen berdampak pada peningkatan proses fermentasi pakan dalam rumen ternak yang diindikasikan dengan meningkatnya kecernaan dan konsumsi bahan kering pakan. Ransum silase dengan bahan hijauan yang dikecilkan ukuran fisiknya (dicacah) menurut Fonseca et al., (2000) adanya pengurangan ukuran partikel hijauan akan meningkatkan konsumsi bahan kering yang disebabkan oleh peningkatan laju pengosongan rumen. Jika laju pengosongan rumen meningkat maka nilai kecernaan pakan pun akan menurun, karena pakan tidak cukup lama berada dalam pencernaan ternak untuk memaksimalkan proses penyerapan nutrien pakan. Ukuran partikel pakan mempengaruhi luas permukaan bagi aktivitas mikroorganisme yang memegang peranan pada laju rata-rata bahan pakan melewati saluran pencernaan (Giger-Reverdin 2000). Kecernaan protein kasar pada penelitian ini berkisar antara 64.6% - 70.4%. Kecendrungan pola kecernaan protein kasar hampir sama dengan kecernaan bahan kering dimana ransum perlakuan HRS nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Penurunan kecernaan protein ini erat kaitannya dengan konsumsi bahan kering dan konsumi protein pakan, dimana kandungan protein hijauan rawa segar lebih rendah dibandingkan perlakuan lain. Protein kasar didalam pakan mempunyai dua fungsi bagi ternak ruminansia, yaitu penyedia nitrogen bagi mikroba rumen dan penyedia asam amino ke usus halus untuk diabsorbsi dan digunakan oleh ternak induk (Coleman & Moore 2003). Kecernaan BET-N yang dihasilkan dari penelitian ini sebesar 66.2% 78.4% secara statistik berbeda nyata (P<0.05). Daya cerna BET-N dipengaruhi oleh komposisi pakan, spesies ternak, umur dan rasio komposisi pakan (Tillman et al.. 1998). Daya cerna BET-N berbeda antar perlakuan, tertinggi pada perlakuan HRD sebesar 78.4% sedangkan terendah pada HRS sebesar 66.2% karena pada perlakuan HRD ditambahkan konsentrat sebesar 40% dalam pakan sedangkan pada perlakuan HRS hanya hijauan rawa segar. Berbedanya kecernaan BET-N ini karena dalam pakan perlakuan ada sumber pati dari konsentrat yang diberikan, sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa perbedaan sumber karbohidrat dalam pakan akan mempengaruhi pula tinggi rendahnya daya cerna BET-N, pati yang terdapat dalam sebagian pakan penguat akan lebih dapat dicerna dari pada serat kasarnya. Daya cerna serat kasar dalam penelitian ini adalah 65.7% - 70.6% (Tabel 4.4) secara statistik berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan. Kambing yang mengkonsumsi silase dan haylase memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi sebesar 8.8% dan 3.5% dibandingkan dengan yang diberikan dalam bentuk segar sedangkan dalam bentuk hay sebesar 1.5%. Hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan kambing yang diberi rumput lapangan rata-rata sebesar 66. 9%
41 (Wirawan et al., 2012) sedangkan yang diberi jerami padi fermentasi rata-rata sebesar 63.2% (Novita et al., 2006). Hal ini disebabkan dalam proses fermentasi ikatan antara serat kasar dan hemiselulosa dengan lignin diputus sehingga lebih mudah dicerna. Kecepatan daya cerna pakan yang tinggi kandungan lignin dan silica akan meningkat setelah perlakuan (fermentasi), karena bahan yang mengalami proses fermentasi menjadi lebih mudah larut sehingga kecernaan terhadap dinding sel menjadi cepat. Tabel 4.4 memperlihatkan kecernaan NDF dan ADF, dimana kecernaan ransum yang menggunakan silase dan haylase (HRL dan HRH) lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang lebih tinggi dan kandungan lignin yang diduga telah mengalami perombakan akibat degradasi selama bioproses berperan dalam peningkatan fraksi serat. Toharmat et al. (2006) melaporkan kecernaan Fraksi serat pada kambing yang diberi pakan fermentasi sebesar 57.85 dan 51.15% untuk kecernaan NDF dan ADF. Kecernaan NDF menjadi parameter penting dalam memprediksi kualitas bahan pakan semakin tinggi kecernaan NDF maka semakin baik (Spanghero et al., 2003). Moore et al. (2002) melaporkan kecernaan fraksi serat pada kambing sebesar 70.0% NDF, 60.0% ADF dan 71.3% selulosa, sedangkan Suparjo et al., (2011) kecernaan fraksi serat pada yang diberi pakan fermentasi sebesar 57.85% NDF dan 54.67% ADF, 83.56% selulosa dan 79.83% hemiselulosa. Pertambahan Bobot Badan dan Efisiensi Pakan Pada Ternak Kambing Pertambahan bobot badan harian (PBBH) kambing yang diberi pakan hijauan rawa berkisar antara 37.5 – 62.6 g/ekor/hari. Pengaruh pakan terhadap pertambahan bobot badan, dan pertambahan bobot badan harian secara lengkap disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Bobot badan dan pertambahan bobot badan kambing (g/ekor/hari) dan efisiensi pakan rumput rawa Variabel Bobot Awal (kg) Bobot Akhir (kg) Total PBB(kg) PBBH (g/ekor/hari) EPR
HL 13.0±1.6 15.7b±0.4 2.8b±0.3 49.1b±5.5 0.09±0.01
HRD 13.1±1.6 15.6b±0.8 2.5b±0.1 45.1b±2.2 0.08±0.01
Perlakuan HRS 13.1±1.7 15.1a±0.7 2.1a±0.4 37.5a±6.8 0.08±0.02
HRK 13.3±1.7 15.4.a±0.8 2.2a±0.2 40.79b±3.3 0.11±0.01
HRL 13.3±1.7 17.0b±0.5 3.5c±0.1 62.6c±1.4 0.12±0.01
HRH 13.2±1.8 16.0b±1.8 2.8b±0.2 51.8b±4.5 0.11±0.01
Keterangan : HL = Kontrol (hijauan pakan lokal terdiri dari rumput lapangan, rumput mulato, daun gamal dan daun nagka), HRD = 60% hijauan rawa + 40% dedak, HRS = Hijauan rawa Segar, HRK= Hay Hijauan rawa, HRL = slase hijauan rawa, HRH = haylase hijauan rawa. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P< 0.05) EPR = Efesiensi penggunaan ransum
Kelompok ternak yang diberi silase hijauan rawa menghasilkan bobot hidup paling berat (P<0.05), dibandingkan dengan kontrol. Rendahnya PBH pada ternak yang diberi hijauan rawa segar terkait dengan kandungan protein, TDN dan kecernaan yang rendah serta diduga kurang seimbangnya nutrien yang diserap atau karena adanya zat anti nutrisi (lignin) dalam pakan hijauan tersebut. Hal ini sependapat dengan Tarigan & Ginting (2011) yang melaporkan bahwa pada jaringan dinding sel tanaman senyawa lignin membentuk ikatan dengan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) menjadi senyawa komplek yang tidak mudah dicerna oleh ternak sehingga tidak dapat memberikan pertambahan bobot
42 badan yang optimal. Sianipar et al. (2007) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan kambing yang diberi silase kulit buah markisa menunjukkan pertambahan bobot badan harian sebesar 64.9 g/ekor/hari sedangkan yang diberi kulit buah segar hanya memberikan pertambahan bobot badan harian sebesar 41.6 g/ekor/hari Pertambahan bobot badan harian kambing yang mengkonsumsi silase hijauan rawa (HRL) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan segar (HL) dan hijauan rawa segar (HRS) namun tidak berbeda nyata dengan (HRD) hijauan yang ditambah konsentrat. Hal ini seiring dengan konsumsi bahan kering pakan dimana hijauan rawa segar sulit dicerna ternak kambing sehingga kurang palatable bagi ternak kambing. Hal ini senada dengan Coleman et al. (2004) yang menyatakan bahwa bentuk pakan memberikan peningkatan performa ternak relatif lebih besar untuk hijauan karena partikel serat masih utuh. Jika kualitas pakan yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang semakin tinggi. Toharmat et al. (2006) menyatakan bahwa jenis pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering dan konsumsi nutrien lainnya yang selanjutnya akan mempengaruhi performa ternak Efisiensi penggunaan pakan hijauan rawa disajikan pada Tabel 4.6. Efisiensi penggunaan pakan tertinggi dicapai pada kambing yang diberi silase. Hal ini menunjukkan hijauan rawa yang diawetkan dalam bentuk silase lebih efisien dibandingkan dengan hijauan rawa segar (HRD) maupun dalam bentuk kering (HRK), berkaitan dengan kandungan nutrien yang diserap atau kandungan nutrisi dalam pakan. Fobes (2007) menyatakan bahwa pakan akan dikatakan efesien digunakan apabila pakan tersebut dikonsumsi dalam jumlah sedikit namun mampu memberikan pertambahan bobot badan yang tinggi. Kesimpulan Penggunaan hijauan rawa dengan dibuat silase dapat meningkatkan kegunaan hijauan rawa dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk segar, dimana dapat mempengaruhi konsumsi ransum, kecernaan nutrisi dan pertumbuhan ternak kambing.
43 5 PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini di lakukan di kawasan rawa di Kalimantan Selatan yaitu wilayah Kecamatan Danau Panggang dan Kecamatan Labuan Amas. Berdasarkan jumlah curah hujan wilayah ini termasuk kedalam klasifikasi type iklim B (basah) menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Menurut klasifikasi Oldemen termasuk tipe iklim C2. Yaitu bulan basah berturut-turut selama 4.67 bulan, yaitu mulai bulan Nopember hingga maret, sedangkan bulan kering berturut-turut selama 3.13 bulan, yaitu mulai bulan Juli hingga Oktober. Rataan curah hujan tahunan sebesar 2 484 mm dengan jumlah hari hujan 109.67 hari (BPS 2013). Fluktuasi level air berpengaruh besar terhadap tumbuhan rawa, ketersediaan nutrisi sangat baik pada pasang kecil yaitu terjadi secara harian (1-2 kali sehari) sejumlah unsur tertentu terlarut lebih banyak pada waktu air pasang terutama tersedianya unsur nitrogen, sedangkan pada pasang besar hanya terjadi sekali setahun (flood water phase) rumput rawa kurang tersedia, kecuali spesies adaptif (Rachman et al., 2010). Level air tanah merupakan faktor utama yang sangat penting karena membetuk 70-90% (Fitter & Hay 2002) dari bobot segar tumbuhan, (Kramer & Boyer 1995) 80 – 95% dari bobot segar tanaman, sedangkan Taiz & Zeiger (2002) kandungan air pada tanaman yang sedang tumbuh sebesar 35-75%. Pada penelitian ini diidentifikasi 18 spesies hijauan rawa yang tumbuh pada musim pasang dan musim surut. Umumnya pada beberapa spesies hijauan rawa terjadi penurunan keragaman vegetasi akibat pergantian musim, 3 spesies tidak tumbuh pada musim pasang yaitu tanaman Jajagungan (Brahiaria plantaginea), Rumput Ginting (Cynodon dactylon (L) Pers) dan Banta (Lersia hexandra), sedangkan pada saat musim surut tidak tumbuh tanaman Supan-supan (Neptunia oleracea Lour), Jungkut Berang (Echinochloa crass-galli), Kumpai Miang (Hymenachne interrupia Buese) dan Dadangsit (Ludwigia adscendens (L). H. Hara). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua tumbuhan rawa dapat tumbuh pada kedua musim yang berbeda. Hasil penelitian ini senada dengan Pielou (1999) bahwa pengaruh iklim dapat menyebabkan keanekaragaman spesies yang tinggi dan pola penyebaran tanaman. Penurunan produksi biomasa (hijauan) dari musim pasang ke musim surut sebesar 30%. Penurunan produksi ini akan menyebabkan penurunan kapasitas tampung, dan penurunan kualitas. Kandungan serat kasar menjadi lebih tinggi sehingga kecernaan juga akan menurun. Hijauan yang tinggi produktivitas seperti kumpai juga mengalami penurunan pada saat musim surut, oleh karena itu perlu strategi dalam pengawetan hijauan pakan seperti pada penelitian ini yang bermanfaat pada musim surut. Air sebagai faktor pembatas proses fotosintesa, air dibutuhkan untuk donor elektron dalam pembentukan ATP dan ADPH. Dalam proses ini air akan dipecah menjadi 2H+ dan gas oksigen (O2) sehingga dihasilkan ATP dan NADPH. Setelah energi terbentuk berupa ATP dan NADPH akan digunakan sebagai sumber energi untuk membentuk pembentukan karbohidrat melalui siklus calvin. Dimana pada kondisi kekurangan air mengakibatkan penutupan stomata sehingga menghambat proses masuknya CO2 ke dalam daun, dapat menurunkan laju fotosintesa. Penurunan laju fotosintesa akan menurunkan hasil fotosintesa berupa karbohidrat (Taiz & Zeiger 2002)
44 Kualitas suatu hijauan pakan tidak konstan, ada perubahan - perubahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kesuburan tanah, keadaan cuaca dan keadaan persedian air umur tanaman. Pada musim surut pertumbuhan tanaman akan mengalami hambatan, sehingga akan menyebabkan penurunan kualitas dan cepat tua (Whitehead 2000). Umur tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai nutrisi, dan pada umumya kadar protein akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman, kadar serat kasar akan mengalami peningkatan (Susetyo 1980). Secara umum kandungan nutrien hijauan pada musim pasang kualitas nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan musim surut (Tabel 2.2 dan 2.3). Penurunan kandungan protein kasar pada musim surut yaitu Kumpai Batu (Ischaemum polystachyum. J. Presl) pada musim pasang memberikan kandungan protein sebesar 14.36% sedangkan pada musim surut hanya 12.60%, Kumpai Minyak (Hymeneche amplexicaulis Haes) PK 10.88% menjadi 9.37%, Beberasan (Polygonum barbatum L) PK 16.45% menjadi 14.10%, dan Pipisangan (Ludwigia hyssopifolia) PK 15.92% menjadi 13.52%, begitu juga pada hijauan lainnya. Hal ini disebabkan adanya luapan air pasang yang membawa bahanbahan organik yang dapat meningkatkan kandungan nutrien hijauan, sedangkan pada musim surut kadar tanah rawa mengalami penurunan pH menjadi 3.9-4.8 sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara makro menurun, akibatnya serapan mineral juga menurun yang menyebabkan kualitas nutrien menurun. Bila tanah dalam keadaan asam mineral phospor tidak tersedia karena kelarutan Al untuk metabolieme energi, sehingga tanaman tidak mendapat suplai hara yang optimal, selain itu ketersediaan air bagi hijauan rawa merupakan faktor yang sangat penting, karena air terlibat dalam proses penyerapan unsur hara, fotosintesis, respirasi, serta pembentukan dan translokasi karbohidrat. Hijauan rawa ini memiliki kandungan fraksi serat yang terdiri dari NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin pada hijauan rawa yang tumbuh pada musim pasang memberikan kandungan NDF berkisar antara 26.62 -70.95%, ADF berkisar antara 20.89 -58.47%, sedangkan pada musim surut kandungan NDF berkisar antara 52.72 – 88.12%, ADF berkisar antara 29.00 – 76.72%, hasil tertinggi kandungan ADF pada rumput Jungkut Berang (Echinochloa crass-galli) sebesar 70.95% sedangkan pada musim surut pada hijauan Babatungan (Persicaria barbata (L) H, Hara) yaitu sebesar 88.12%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan Fahriani (1996) menyatakan bahwa kandungan ADF dan NDF pada beberapa hijauan rawa kandungan NDF berkisar antara 66.30 72.30%, ADF berkisar antara 38.03 -41.07%. Sedangkan rumput tropika memiliki kandungan NDF berkisar antara 45-85% dan ADF 21-55% (Minson 1990) . Kandungan NDF dan ADF pada hijauan rawa dipengaruhi oleh musim, pada saat keadaan surut dimana tanaman kekurangan air akan menyebabkan menjadi tua sehingga kandungan serat kasar menjadi lebih tinggi, sehingga berpengaruh terhadap komponen serat, hal ini sesuai dengan pendapat Susetyo (1980) bahwa Kandungan fraksi serat suatu tanaman dipengaruhi oleh spesies tanaman, iklim, kesuburan tanah, dan manajemen. Menurut Hendriks & Zaeman (2009) bahwa kandungan NDF dan ADF dipengaruhi oleh faktor genetis, spesies hijauan dan faktor lingkungan yaitu tanah dan iklim, sedangkan menurut Jones & Wilson (1996) kandungan struktural setiap komponen serat yang terdapat pada
45 tanaman berbeda tergantung pada kemampuan tanaman memetabolisme nutrisi. Menurut Tillman et al. (1999) komponen fraksi serat dipegaruhi jumlah kandungan serat tanaman dan kesuburan tanah dimana tanaman itu tumbuh. Kualitas dan kuantitas dari rumput dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan (Reksohadiprodjo 1985). Kandungan ADF dan NDF hijauan rawa ini masih dalam area batas normal rumput tropika Estimasi Kapasitas tampung merupakan gambaran kemampuan suatu lahan untuk menampung sejumlah ternak dalam satuam luas tertentu. Kapasitas tampung hijauan rawa sebagai sumber pakan ternak dihitung berdasarkan asumsi kebutuhan bahan kering satu (1) Satuan Ternak adalah 6.25 kg BK/hari (NRC 2006). Jika diasumsikan berdasarkan curah hujan maka lama musim pasang, peralihan dan musim surut berturut-turut adalah 5, 4 dan 3 bulan, interval pemotongan pada musim pasang, peralihan dan kemarau masing-masing 40 hari, 30 dan 50 hari hari sekali. “proper use factor” (puf) 40 – 60% ( Purnomo 2006). Secara umum apabila satu wilayah rawa diasumsikan satu komoditas dimana ternak mampu menjelajahi ke seluruhan lokasi, maka dengan produksi biomasa 12 394,27 kg BK ha-1 tahun-1 dan puf sebesar 68% maka dihasilkan kapasitas tampung pada musim pasang sebesar 2.85 ST /ha. Kecamatan Labuan Amas utara seluas 6 629 ha mampu menyediakan pakan sebanyak 82 161,61 Ton/thn sehingga mampu mendukung sebanyak 18 892,65 ST sepanjang tahun. Kecamatan Danau Panggang yang memiliki luas rawa seluas 15 920 ha mampu menyediakan hijauan 188 495.15 Ton/thn sehingga mampu mendukung 45.372 ST per tahun. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah 15 208, 25 ST pada tahun 2012, peningkatan populasi sebesar 14.25%/tahun (Dinas Peternakan Propinsi Kalsel 2013). Dengan demikian proyeksi populasi pada tahun 2014 sebesar 17 375,42 ST. Bila diasumsikan terkonsentrasi di gembalakan di lahan rawa, dengan demikian dapat meningkatkan populasi ternak sebesar 27 997 ST. Hal ini bisa dicapai apabila kelebihan dari produksi hijauan rawa pada musim pasang dan peralihan ini diawetkan untuk persediaan musim surut sehingga kebutuhan ternak akan terpenuhi sepanjang tahunnya. Kebutuhan ternak distandarkan dengan kebutuhan zat makanan sapi pedaging pada umur, bobot hidup dan pertambahan bobot hidup yang relatif sama (Purnomo 2006). Dengan kadar protein hijauan 10.88%, konsumsi pakan sebesar 6.25 kg BK/hari mampu memberikan 68 g protein kasar kepada ternak. Diharapkan dengan konsumsi protein tersebut, ternak akan tumbuh dengan kecepatan pertambahan bobot badan sebesar 0.25 – 0.50 kg/ekor/hari. Kebutuhan energi dalam bentuk TDN 4.9 kg/hari bahwa dengan kadar TDN hijauan sebesar 58.53% baru dapat menyediakan 3.65 kg/hari, hal ini berarti rumput rawa belum mencukupi kebutuhan energi ternak, sehingga dalam pemberian pada ternak perlu ditambahkan limbah pertanian yang banyak mengandung energi. Limbah pertanian yang banyak dan melimpah dikawasan rawa ini adalah limbah sagu sehingga dapat digunakan sebagai pakan tambahan sumber energi bagi ternak. Indeks Nilai Penting (INP) atau important value index adalah komposisi keragaman jenis berdasarkan penguasaan vegetasi pada suatu lahan. Komposisi vegetasi pada lahan rawa pada musim pasang didominasi oleh Hymeneche amplexicaulis Haes sebesar 37.52%, Polygonum barbatum L. 35.16%, Ludwigia hyssopifolia 34.82% dan Ischaemum polystachyum. J. Presl 34.22%. Nilai INP
46 pada musim surut tertinggi pada hijauan Ludwigia hyssopifolia 30.82%, Polygonum barbatum L. 29.77%. Hymeneche amplexicaulis Haes 28.32% dan Ischaemum polystachyum. J. Presl 27.88%. Perbedaan komposisi vegetasi dominan pada setiap jenis musim maupun pola susunan menunjukkan perbedaan kondisi lingkungan terutama intensitas cahaya matahari, tanah dan air. Kondisi lingkungan mengakibatkan komposisi jenis tumbuhan berbeda (Setyawan et al., 2006). INP jenis vegetasi menunjukkan kemampuan jenis tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan keberadaannya akan sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem lahan rawa. Teknologi preservasi bermanfaat untuk menjamin ketersedian hijauan pakan sepanjang tahun. Hijauan rawa yang diawetkan dengan metode silase, hay dan haylase dengan penambahan bakteri L. plantarum 1BL-2 memperlihatkan warna yang relatif sama. Warna hijau dan kuning. tidak menunjukkan adanya kerusakan selama fermentasi (ensilase), seperti terjadinya reaksi pencoklatan akibat bahan kering yang tinggi atau pembusukan oleh bakteri Clostridia karena kelebihan kadar air. Aroma yang khas dari silase menunjukkan bau dari fermentasi asam laktat setelah 21 hari ensilase (Tabel 2.2). Perlakuan yang memakai bakteri L. plantarum 1BL-2 dan molases didominasi oleh asam laktat yang ditandai dengan bau yang tidak menyengat. Hasil ini didukung oleh Saun & Heinrichs (2008) menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Namun menurut Kung (1993) bau harum belum tentu mencerminkan silase yang berkualitas, karena bau harum bisa berasal dari tingginya etanol yang diproduksi yeast bercampur asam asetat. Silase yang baik bersifat homofermentatif ditandai dengan bau yang tidak menyengat, karena asam laktat hampir tidak berbau. Lebih lanjut dijelaskan jika produksi asam asetat tinggi akan berbau cuka, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau harum yang menyengat dan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk. Pengamatan terhadap tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah 21 hari ensilase menunjukkan tekstur yang lunak dan tidak terlihat adanya lendir. Secara umum ketiga perlakuan memperlihatkan kualitas baik, karena tidak terdapat tanda-tanda kerusakan seperti tekstur yang hancur atau kering. Hal ini disebabkan semua perlakuan silase dan haylase hijauan rawa mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu proses fermentasi berkisar 60% dan 30%. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase. Silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan ditumbuhi jamur. Persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini (Tabel 2.2) lebih rendah dari pernyataan Davies (2007) bahwa keberadaan jamur pada produk silase mencapai 10%. Peningkatan protein kasar pada silase dan haylase berkisar antara 0.2 % sampai 0.62 %, hal ini disebabkan terjadi perombakan bahan organik. Degradasi serat kasar menyebabkan terjadinya penurunan kandungan persentase serat kasar itu sendiri sehingga hal ini menyebabkan persentase dari protein kasar meningkat. Selain itu pertumbuhan kapang juga memberikan sumbangan terhadap peningkatan kandungan protein kasar pada hijauan rawa. Menurut Jonathan et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan kandungan protein kasar pada proses
47 fermentasi kemungkinan karena hasil dari penambahan dari biomasa inokulum terhadap subtrat fermentasi. Penurunan kandungan serat kasar hijauan rawa sebesar 7.27% pada silase dan haylase penurunan sebesar 6.64%. Penurunan serat kasar dapat terjadi disebabkan adanya proses degradasi yang dilakukan oleh inokulan yang ditambahkan. Serat kasar sebagian berasal dari dinding sel tanaman yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Bakteri L. plantarum mempunyai kemampuan dalam mendegradasi komponen serat dan menghasilkan enzim pendegradasi lignin (Lendrawati 2008). Pada penelitian ini kandungan NDF dan ADF sebelum preservasi masing-masing sebesar 68.17% dan 37.35%. Hijauan rawa yang diawetkan dengan metode fermentasi (silase dan haylase) lebih rendah dibandingkan dalam bentuk kering. Penurunan NDF dan ADF pada silase maupun haylase (Tabel 3.4), disebabkan oleh terjadinya perombakan pada dinding sel tanaman oleh Bakteri L. plantarum yang digunakan menyebabkan terjadinya perubahan kandungan komponen serat (lignin, selulosa dan hemiselulosa). Bakteri L. plantarum mampu memecah komponen serat kasar (Ridwan et al. (2005) Penuruan kandungan NDF setelah ensilase berkisar antara 15.16-19.31% sementara kandungan ADF terjadi penurunan berkisar antara 1.24 - 3.6%. Hasil penurunan kandungan ADF dan NDF ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penurunan kandungan NDF dan ADF rumput gajah yang juga difermentasi dengan L. plantarum 1BL-2 (Ridwan et al., 2005; Lendrawati 2008) melaporkan penurunan kandungan NDF berkisar antara 17.34 – 20.90% dan ADF berkisar antara 4.2 – 10.21%. Perbedaan persentase penurunan kandungan NDF dan ADF ini dipengaruhi oleh jumlah inokulan yang digunakan berbeda sehingga mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan untuk mendegradasi komponen NDF dan ADF Tingkat keasaman silase sangat penting untuk diperhatikan karena merupakan penilaian yang utama terhadap keberhasilan silase. Nilai pH yang diperoleh memenuhi kritria silase yang baik yaitu sebesar 3.8 sampai 4.08 yang dapat menekan pertumbuhan jamur dan tidak menyebabkan busuk. Rendahnya pH silase dan pH haylase pada penelitian ini didukung oleh cukupnya ketersediaan kandungan WSC (3.83% BK) dan adanya aditif yang ditambahkan baik bakteri L. plantarum 1BL-2 dan molasess yang berfungsi sebagai substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam laktat lebih banyak dan menghasilkan pH akhir lebih rendah. Silase yang baik diperlukan jumlah minimal WSC yang terdapat pada bahan ensilase sebesar 3−5% BK (McDonald et al., 1991). WSC pada bahan penelitian ini menunjukkan nilai ideal, yang memungkinkan proses ensilase berjalan sempurna, seperti yang diindikasikan dalam penelitian ini dengan kandungan pH (3.8-4.08) dan kandungan asam laktat sebesar 42 – 79 g/kg. Silase yang berkualitas tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat, sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, seperti Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6−4.8 ( Schroeder 2004)
48 Kandungan N-NH3 merupakan indikator besarnya protein yang terdegradasi selama proses ensilase (Kung & Stokes 2001). Bakteri pendegrasi protein akan merombak protein menjadi asam amino, asam amino ini selanjutnya akan dirombak menjadi produk lain seperti asam butirat, N-NH3 dan CO2 (Moran 2007). Data hasil penelitian N-NH3 (Tabel 3.4) perlakuan tidak berbeda (P<0.05) dibandingkan haylage (L1 dan L2) sedangkan dengan hay (H1,H3 ) berbeda nyata (P<005). Pada penelitian ini, penambahan bakteri L. platarum ternyata mampu menghambat berkembangnya bakteri pemecah protein yang dapat menurunkan kadar N-NH3, begitu juga dengan penambahan molasses dapat meningkatkan ketersediaan karbohidrat mudah larut. Walaupun masih rendah dibandingkan dengan yang ditambah bakteri L. plantarum dalam mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam laktat lebih banyak, yang akan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang dapat mendegradasi protein, hasil ini didukung dengan nilai pH yang rendah (3.84 vs 4.08). Semakin kecil kadar N-NH3 pada hasil fermentasi maka akan semakin baik karena hanya terjadi sedikit proses proteolisis. Hasil penelitian ini masih dalam batasan normal untuk suatu fermentasi. Persentasi kadar N-NH3 pada hasil fermentasi yang dikelola dengan baik adalah < 10% (Moran 2007). Volatile Fatty Acid (VFA) pada perlakuan silase dan haylase merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroorganisma pada proses ensilase. Kadar VFA pada penelitian ini berkisar antara 85.95 sampai 109.5 mM untuk silase (S) sedangkan untuk haylase (L) sebesar 80.07 sampai 93.42 mM dan untuk perlakuan hay (H) sebesar 21.71 – 54.28 mM. Hal ini menunjukkan mudah atau tidaknya karbohidrat pakan tersebut didegradasi oleh mikroba selama ensiling, produksi VFA dalam penelitian bervariasi karena aditif yang ditambahkan berbeda sehingga mempengaruhi kemampuan mendegradasi karbohidra. Konsentrasi VFA total pada perlakuan S2 dan L2 ini lebih rendah dibandingkan perlakuan lain. Walaupun konsentrasi VFA lebih rendah pada perlakuan diberi molasses serta dan perlakuan pengeringan H1 dan H2 pun VFA yang dihasilkan rendah juga. Hal ini menunjukkan terjadi perombakan karbohidrat lebih sedikit, akan tetapi menghasilkan BAL yang bersifat heterofermentatif, sehingga tidak hanya asam laktat sebagai produk akhir fermentasi, tetapi juga menghasilkan fermentasi sekunder. Konsentrasi VFA yang terdiri dari atas asam asetat, propionat butirat dan asam lainnya merupakan refleksi dari fermentasi yang tidak efesien, atau terjadinya fermentasi sekunder (Chamberlain & Wilkinson 1996). Produksi VFA dari hasil fermentasi dipengaruhi oleh spesies tanaman, bahan kering bahan saat panen, total gula dan penambahan aditif (Getachew et al., 2004). Pada penelitian ini kandungan asam laktat yang diperoleh cukup dominan konsisten dengan kandungan pH dan karakteristik fisik silase. Kandungan asam laktat mendominasi dibandingkan asam asetat, propionat maupun lainnya. Pada perlakuan S1,dan L1 menghasilkan kandungan asam laktat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan S2 dan L2. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bakteri L. plantarum mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri, dimana bakteri ini akan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi gulagula sederhana sewaktu ensilase berlangsung, kemudian bakteri lainnya akan menguraikan gula-gula sederhana menjadi produk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, asam laktat dan asam butirat) sedangkan dengan penambahan
49 molasis produksi asam laktatnya masih rendah dimana molasses dapat meningkatkan ketersedian karbohidrat terlarut sehingga mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat, akan tetapi kemampuan bakteri L plantarum lebih cepat meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan dengan yang ditambah molasses. Kandungan asam organik terutama asam laktat sangat dipengaruhi aditif yang ditambahkan (Ohshima & McDonald 1978). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan aditif molasses dalam hijauan nyata menurunkan (P<0.05) kecernaan bahan kering dan bahan organik. Rata-rata kecernaan berkisar 54.1 – 63.2% untuk kecernaan BK dan 49.7 – 62.3 % untuk kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum pakan silase plantarum 1BL-2 (S1) lebih tinggi dibandingkan dengan S2, L1,L2,H1dan H2. Ransum yang menggunakan silase L. plantarum 1BL-2 memberikan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling tinggi. Terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan adanya kandungan serat kasar dari tiap-tiap perlakuan. Ada korelatif negatif antara tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan kandungan NDF dan ADF dalam ransum Cherdthon et al. (2010), sementara Davidson et al. (2003) menyatakan tinggnya serat kasar memberikan kontribusi pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan tingkat kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum (Daha et al., 2004) Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan (fisik dan kimiawi) yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis dan pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Davendra & Burns 1994). Kemampuan ternak ruminansia mengkonsumsi makanan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, tingkat produksi, umur dan kesehatan ternak, sedangkan faktor dari pakan yaitu frekwensi pemberian dan keseimbangan gizi (Siregar 1996). Penelitian tahap ketiga dilakukan pada kambing kacang jantan dengan konsumsi bahan kering pada penelitian ini (Tabel 4.3) berkisar antara 410 – 549g/ekor/hari. atau berkisar antara 2.6 - 3.5% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering ini sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok yaitu 2.4 – 2.8% dari bobot badan (NRC 2006) begitu juga dengan Devendra & Mclerroy (1982) kebutuhan bahan kering kambing yang berbobot 15 – 17 kg adalah 396 - 424 g/ekor/hari. Konsumsi BK pada perlakun HRD sebesar 549.49 g/ekor /hari lebih tinggi (P<0.05) dari perlakuan HRK (hay) yaitu sebesar 410.12 g/ekor/hari, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan HL dan HRL. Hal ini menunjukkan bahwa pakan berbentuk hay hijauan rawa (HRK) kurang disukai kambing diduga karena bentuk fisik hay yang kering dan bersifat amba (bulky) menyebabkan rasa kenyang lebih cepat pada saat dikonsumsi sehingga isi rumen menjadi cepat penuh. Toharmat et al. (2006) yang melaporkan bahwa pakan yang mempunyai keambaan yang tinggi dapat menimbulkan rasa kenyang lebih cepat pada saat dikonsumsi ternak sehingga sifat tersebut dapat membatasi konsumsi ternak, sedangkan Coleman & Moore (2003) yang melaporkan bahwa karakteristik bahan pakan yang amba membatasi kemampuan ternak untuk lebih banyak lagi
50 mengkonsumsi pakan karena kapasitas rumen menjadi terbatas. Keambaan (Bulkiness) pakan dapat menjadi faktor pembatas utaman konsumsi pakan (lallo 1996). Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Suparjo et al. (2011) yang melaporkan bahwa rataan konsumsi bahan kering pada kambing yang diberi rumput gajah kering relatif rendah yaitu sebesar 433g/ekor/hari sedangkan yang diberi rumput gajah fermentasi sebesar 560 g/ekor/hari. Hal ini kemungkinan disebabkan bahan penyusun ransum yang berbeda (Aregheore 2006), jenis kelamin (Lewis & Emmans 2010) dan status fisiologi ternak (Fedele et al., 2002). Konsumsi bahan kering yang lebih baik pada ransum HRD, HL dan HRL dibanding perlakuan lainnya dapat meningkatkan kinerja mikroba dalam rumen dalam mencerna pakan yang dikonsumsi inangnya. Penambahan 40% dedak sebagai konsentrat dalam hijauan dan konsumsi protein yang lebih baik pada perlakuan HRD diduga dapat menyumbang energi dan menyeimbangkan konsentrasi ammonia serta VFA dalam rumen sehingga kinerja mikroba rumen bisa lebih optimal. Bamualim (1994) mengatakan energi merupakan faktor esensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen menggunakan energy untuk hidup pokok, terutama untuk melakukan transport aktif (Yusran & Teleni 2000). Ransum HL yang menggunakan tambahan leguminosa seperti daun gamal dan daun nangka, dan ransum silase HRL cenderung lebih palatable dan disukai kambing sehingga mampu meningkatkan konsumsi protein yang diperlukan dalam aktivitas rumen ternak. Menurut Satter & Slyter (1974) menyatakan bahwa pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan N dalam bentuk amonia dan energi dalam bentuk VFA, sedangkan menurut Abdulrazak et al.(1997) bahwa adanya peningkatan jumlah populasi mikroba rumen maka akan ada peningkatan proses fermentasi pakan dalam rumen ternak yang dimanifestasikan dengan meningkatnya kecernaan pakan dan konsumsi bahan kering pakan. Konsumsi protein perlakuan (HRK) nyata (P<0.05) lebih kecil dibandingkan perlakuan HRL, HRH dan HRD. Konsumsi protein yang rendah disebabkan oleh konsumsi bahan kering (Tabel 4.3) dan kandungan protein pada perlakuan HRK yang lebih rendah (Tabel 4.2) dibandingkan perlakuan lain, selain itu ditunjang oleh nutrien ransum perlakuan dimana protein ransum HRL mencapai 14.02% berupa silase hijauan rawa lebih baik dibandingkan ransum HL, HRD, HRS, dan HRK, serta memiliki kadar serat ransum terendah mencapai 13.81% sehingga konsumsi protein menjadi lebih tinggi dan lebih efisien. Bamualim (1994) mengatakan bahwa protein merupakan suatu zat makanan yang essensial bagi tubuh ternak, dan ketersediaan protein yang cukup akan meningkatkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses pencernaan dan konsumsi juga meningkat. Lebih lanjut Oktarina et al. (2004) menyatakan adanya peningkatan kandungan protein kasar pakan mampu meningkatkan dan menstimuli laju perkembangbiakan dan populasi mikrobia rumen sehingga kemampuan mencerna pakan menjadi lebih besar. Menurut Parakkasi (1999) jumlah konsumsi protein kasar dipengaruhi kecepatan degradasi, dimana semakin cepat penghancuran makanan semakin mudah ternak lapar dan mengkonsumsi makanan lebih banyak. Protein yang dibutuhkan untuk hidup pokok sangat tergantung pada tipe ransum, kualitas protein, tingkat energi dan kondisi ternak. Konsumsi protein erat kaitannya dengan pertambahan bobot badan dimana protein digunakan untuk
51 pemenuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi. Selain itu ransum dengan silase hijauan rawa (HRL) ini juga mengandung tannin paling rendah hanya sebesar 0.92% dan kandungan ADF ransum paling rendah sebesar 33.75% dibandingkan kelima ransum lainnya. Selanjutnya dikatakan, pengeringan hijauan dalam bentuk hay pada ransum HRK juga berdampak terhadap ketersediaan protein dapat dicerna. Karena proses pelayuan dan suhu tinggi dapat menyebabkan terikatnya protein oleh tannin yang dikandung dalam tanaman. Pengikatan protein oleh tannin ini menyebabkan protein tidak dapat dicerna oleh mikroba rumen. Seperti yang dilaporkan oleh Morrison & Mackie (1996) dan McSweeney et al. (1999) bahwa komplek tanin-protein dalam tanaman tidak dapat dicerna oleh mikroba rumen yang merugikan bagi ternak. Konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen (BET-N) pada penelitian ini berkisar 184 – 258 g/ekor/hari dan secara statistik berbeda nyata (P<0.05) dimana konsumsi ini turun seiring dengan turunnya BK ransum. Konsumsi BETN berkorelasi linier dengan konsumsi BK ransum, dimana semakin tinggi konsumsi BK ransum maka semakin tinggi pula konsumsi BET-N, demikian sebaliknya. Konsumsi BET-N tertinggi dicapai ransum perlakuan kontrol (HL) mencapai 258 g/ekor/hari tidak berbeda nyata dengan ransum silase (HRL) dan ransum hay (HRK), serta BET-N terendah terdapat pada perlakuan HRS (Hijauan rawa segar) yaitu 184 g/ekor/hari. Rendahnya konsumsi BETN karena hijauan rawa segar memiliki kandungan konsumsi bahan kering dan protein yang rendah dan kandungan serat yang tinggi serta tekstur dari pakan tersebut dalam bentuk kering. Kandungan BETN memberikan gambaran kasar tentang banyaknya pati dan gula bahan makanan (Sutardi 1990). Konsumsi TDN pada penelitian ini berkisar antara 249 – 357 g/ekor/hari. Konsumsi TDN ini sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok (NRC 2006). Bobot badan kambing 10 – 20 kg memiliki konsumsi TDN pakan sebesar 199 – 343 g/ekor/hari. Hal ini berkaitan dengan kadar serat pakan. Kadar TDN bahan makanan umumnya berhubungan terbalik terhadap kadar serat kasarnya, hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini (Parakkasi 1999). Konsumsi TDN tertinggi dicapai oleh ransum silase perlakuan HRL sebesar 357 g/ekor/hari, diikuti hijauan dengan tambahan dedak (HRD), dan ransum kontrol, sementara konsumsi TDN terendah adalah ransum hijauan rawa segar (HRS) sebesar 249 g/ekor/hari. Hasil penelitian memperlihatkan rendahnya konsumsi TDN pada ransum HRS disebabkan oleh tingginya kadar serat ransum HRS mencapai 21.16% dibandingkan perlakuan lain dengan kadar serat ransum antara 13.81 – 19.87%, kecuali ransum kontrol (21.23%). Kambing membutuhkan serat kasar pakan yang cukup untuk aktivitas dan fungsi rumen yang normal. Serat pakan mengalami degradasi oleh mikroba yang berperan sebagai penyedia energi untuk mendukung hidup pokok, pertumbuhan, laktasi dan reproduksi (Lu et al., 2005). Konsumsi serat kasar perlakuan HRK paling rendah (70 g/ekor/hari) berbeda nyata (P<0.05) dengan pelakuan HRL (119 g/ekor/hari). Perbedaan konsumsi ini disebabkan kandungan serat kasar dan tekstur dari pakan. Konsumsi serat pakan perlakuan HRL dan HRH tidak berbeda nyata (P>0.05) karena kandungan serat kasarnya (13.81vs14.52) dan konsumsi bahan kering (532 vs 535 g/ekor/hari). Tidak berbeda konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komposisi bahan makanan dan tekstur serat dari makanan tersebut (Van Soest 1991). Selanjutkan dikatakan,
52 tekstur serat yang lebih lembut lebih mudah dicerna dan lebih palatable bagi ternak sehingga lebih disukai untuk dikonsumsi. Ransum perlakuan HRK paling sedikit konsumsi seratnya disebabkan teksturnya paling kasar (kering) karena merupakan hay dengan kadar air rendah, sehingga kurang disukai dibandingkan ransum lain. Sementara ransum dengan kadar air hijauan lebih tinggi (HL), hijauan dan tambahan dedak (HRD) atau silase (HRL) lebih banyak menghasilkan konsumsi serat dibanding ransum dengan kadar air yang rendah seperti ransum hay (HRK). Pada penelitian ini Kecernaan bahan kering pakan yang mengandung hijauan rawa berkisar antara 65.7% - 77.2% (Tabel 4.4). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Wirawan et al. (2012) yang melaporkan bahwa kecernaan bahan kering kambing yang diberi rumput lapangan sebesar 64.6 68.5%. Kecernaan pakan pada penelitian ini yang menggunakan silase hijauan rawa (HRL) lebih tinggi dibandingkan hijauan rawa segar (HRS) namun tidak berbeda nyata (P<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan HRD (hijauan + konsentrat), sedangkan hijauan rawa dalam bentuk hay (HRK) tidak berbeda dengan haylase (HRH) maupun dengan (HRS) hijauan rawa segar. Kecernaan yang lebih tinggi pada ransum silase (HRL) dikarenakan memiliki kandungan protein kasar ransum tinggi sebesar 14.02% dan ditunjang oleh kandungan serat, terutama fraksi serat lignin relatif lebih rendah. Menurut Oktarina et al. (2004) peningkatan kandungan protein ransum akan meningkatkan dan menstimuli laju perkembangbiakan dan populasi mikrobia rumen sehingga kemampuan mencerna bahan kering pakan menjadi lebih besar. Selanjutnya Abdulrazak et al. (1997) menguatkan pendapat sebelumnya bahwa peningkatan jumlah populasi mikroba rumen berdampak pada peningkatan proses fermentasi pakan dalam rumen ternak yang diindikasikan dengan meningkatnya kecernaan dan konsumsi bahan kering pakan. Kecernaan kambing yang diberi pakan fermentasi memiliki kecernaan BK lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak difermentasi disebabkan perubahan karakteristik. Pakan fermentasi menjadi lebih fermentable sehingga kemampuan ternak dalam mencerna pakan berserat menjadi meningkat (Suparjo et al., 2011). Fermentasi pakan dengan bakteri L. plantarum mampu menurunkan kandungan lignin dan meningkatkan protein kasar. Penurunan kandungan lignin membuka akses bagi mikroba untuk mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan komponen lainnya Tuah et al. (1995). Meningkatkan daya cerna pakan perlu diberikan perlakuan baik secara fisik maupun biologis, sehingga lebih palatabel Sun & Cheng (2002) . Pakan yang mengandung hijauan rawa yang diawetkan baik dalam bentuk silase (HRL), HRH dan HRK menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pakan hijauan rawa tanpa pengawetan (HRS). dimana pakan yang telah diawetkan memiliki kandungan nutrient lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diawetkan sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan. Teknologi fermentasi atau pengawetan pakan dapat meningkatkan kandungan nutrient pakan (Aloemawor et al., 2009). Perubahan kandungan nutrien tergantung substart dalam fermentasi. Terjadi peningkatan kandungan protein subsrtat setelah fermentasi karena biokonversi gula menjadi protein miselium, sekresi enzim ekstra selular oleh inokulum yang berperan dalam meningkatkan kandungan protein biomasa sehingga dapat meningkakan
53 kecernaan pakan Iyayi (2004). Peningkatan kandungan protein pakan nyata meningkatkan kecernaan bahan kering dan protein (Lallo 1996) Kecernaan protein kasar pada penelitian ini berkisar antara 64.6% - 70.4%. secara statistic berbeda nyata (P<.005) antar perlakuan. Perlakuan HRL berbeda nyata dengan perlakuan HRK. Kecernaan protein HRL lebih tinggi sebesar 4.7%, dibandingkan HRK sebesar 2.6%, sementara pada perlakuan HRH sebesar 2.7% dibandingkan dengan perlakuan HRS. Perlakuan HRS ini kecernaan protein terendah karena kecernaan protein ini erat kaitannya dengan konsumsi bahan kering dan konsumi protein pakan dan kandungan protein hijauan HRS lebih rendah dibandingkan perlakuan lain (Tabel 4.2). Protein kasar didalam pakan mempunyai dua fungsi bagi ternak ruminansia, yaitu penyedia nitrogen bagi mikroba rumen dan penyedia asam amino ke usus halus untuk diabsorbsi dan digunakan oleh ternak induk (Coleman & Moore 2003). Daya cerna serat kasar dalam penelitian ini adalah 65.7% - 7o.6.6% (Tabel4. 5) secara statistik berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan. Kambing yang mengkonsumsi silase dan haylase memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi sebesar 8.8% dan 3.5% dibandingkan dengan yang diberikan dalam bentuk segar sedangkan dalam bentuk hay sebesar 1.5%. Hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan kambing yang diberi rumput lapangan rata-rata sebesar 66. 9% (Wirawan et al. 2012) sedangkan yang diberi jerami padi fermentasi rata-rata sebesar 63.2% (Novita et al., 2006). Hal ini disebabkan dalam proses fermentasi ikatan antara serat kasar dan hemiselulosa dengan lignin diputus sehingga lebih mudah dicerna. Kecepatan daya cerna pakan yang tinggi kandungan lignin dan silica akan meningkat setelah perlakuan (fermentasi), karena bahan yang mengalami proses fermentasi menjadi lebih mudah larut sehingga kecernaan terhadap dinding sel menjadi cepat. Kecernaan BET-N yang dihasilkan dari penelitian ini sebesar 66.2% 78.4% secara statistik berbeda nyata (P<0.05). Daya cerna BET-N dipengaruhi oleh komposisi pakan, spesies ternak, umur dan rasio komposisi pakan (Tillman et al.. 1998). Daya cerna BET-N berbeda antar perlakuan, tertinggi pada perlakuan HRD sebesar 78.4% sedangkan terendah pada HRS sebesar 66.2% karena pada perlakuan HRD ditambahkan konsentrat sebesar 40% dalam pakan sedangkan pada perlakuan HRS hanya hijauan rawa segar. Berbedanya kecernaan BET-N ini karena dalam pakan perlakuan ada sumber pati dari konsentrat yang diberikan, sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa perbedaan sumber karbohidrat dalam pakan akan mempengaruhi pula tinggi rendahnya daya cerna BET-N, pati yang terdapat dalam sebagian pakan penguat akan lebih dapat dicerna dari pada serat kasarnya. Pakan yang diberikan dalam bentuk silase menghasilkan kecernaan bahan kering lebih tinggi dibandingkan tanpa ensilase dengan demikian mempengaruhi kecernaan NDF dan ADF pada penelitian ini yaitu 60.6 – 75.3% untuk NDF sementara kecernaan ADF 58.2-75.8% (Tabel 4.4). Kecernaan fraksi serat ransum yang menggunakan HRL dan HRH lebih baik dimana kandungan lebih tinggi dan kandungan lignin yang diduga telah mengalami perubahan akibat degradasi selama bioproses berperan dalam peningkatan kecernaan fraksi serat. Kecernaan NDF menjadi parameter penting dalam memprediksi kualitas bahan pakan semakin tinggi kecernaan NDF maka semakin baik (Spanghero et al., 2003). Moore et al. (2002) melaporkan kecernaan fraksi serat pada kambing
54 sebesar 70.0% NDF, 60.0% ADF dan 71.3% selulosa. Sedangkan Suparjo et al., (2011) kecernaan fraksi serat pada yang diberi pakan fermentasi sebesar 57.85% NDF dan 54.67% ADF, 83.56% selulosa dan 79.83% hemiselulosa. Pada penelitian pertambahan bobot badan harian (PBBH) kambing berkisar antara 37.5 – 62.6 g/ekor/hari. Pengaruh pakan terhadap pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh pasokan protein pakan dan jenis pakannya Kelompok ternak yang diberi silase hijauan rawa menghasilkan bobot hidup paling berat (P<0.05), dibandingkan dengan kontrol. Rendahnya PBH pada ternak yang diberi hijauan rawa segar terkait dengan kandungan protein, TDN dan kecernaan yang rendah serta diduga kurang seimbangannya nutrien yang diserap atau karena adanya zat antinutrisi (lignin) dalam pakan hijauan tersebut. Pada jaringan dinding sel tanaman senyawa lignin membentuk ikatan dengan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) menjadi senyawa komplek yang tidak mudah dicerna oleh ternak sehingga tidak dapat memberikan pertambahan bobot badan yang optimal. Menurut Sianipar et al. (2007) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan kambing yang diberi silase kulit buah markisa menunjukkan pertambahan bobot badan harian sebesar 64.9 g/ekor/hari sedangkan yang diberi kulit buah segar hanya memberikan pertambahan bobot badan harian sebesar 41.6 g/ekor/hari. Hal ini senada dengan Coleman et al., (2004) menyatakan bahwa bentuk pakan memberikan peningkatan performa ternak relatif lebih besar untuk hijauan karena partikel serat masih utuh. Kualitas pakan yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang semakin tinggi. Toharmat et al. (2006) menyatakan bahwa jenis pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering dan konsumsi nutrien lainnya yang selanjutnya akan mempengaruhi performa ternak Efisiensi penggunaan pakan tertinggi dicapai pada kambing yang diberi silase. Hal ini menunjukkan hijauan rawa yang diawetkan dalam bentuk silase lebih efisien dibandingkan dengan hijauan segar (HRD) maupun dalam bentuk kering (HRK), berkaitan dengan kandungan nutrien yang diserap atau kandungan nutrisi dalam pakan. Fobes (2007) menyatakan bahwa pakan akan dikatakan efesien digunakan apabila pakan tersebut dikonsumsi dalam jumlah sedikit namun mampu memberikan pertambahan bobot badan yang tinggi Pengembangan ilmu pengetahuan dari hasil penelitian ini diarahkan pada pengembangan pemanfaatan hijauan rawa. Potensi produksi daya tampung dan kualitas nutrisi yang cukup tinggi akan mampu menyediakan hijauan pakan yang berkualitas sepanjang tahun, apabila dilakukan teknologi pengawetan, teknologi silase salah satu teknologi yang dapat digunakan sehingga hijauan tersebut akan lebih lunak, empuk dan memiliki bau harum sehingga disukai oleh ruminansia terutama ternak kambing dan terjamin ketersediannya sepanjang tahun. Mengingat luasan rawa yang cukup luas, potensi besar untuk sumber pakan berkualitas perlu Ditetapkan sebagai kawasan terbatas pengembangan ternak lokal dengan pengelolaan : Aspek budidaya, pengembangan infra struktur dan pengelolaan rawa dengan pengembangan sistem manajemen rawa untuk sumber pakan
55 6
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Lahan rawa di Kalimantan Selatan merupakan salah satu sumber penyedia hijauan pakan ternak ruminansia terutama untuk ternak kerbau rawa, sapi dan ternak kambing. Keragaman hijauan rawa Kalimantan Selatan memiliki 18 jenis hijauan, ada empat jenis hijauan rawa yang dominan baik kualitas maupun kuantitas yaitu rumput Hymeneche amplexicaulis Haes. Ischaemum polystachy, Polygonum barbatum L dan Ludwigia hyssopifolia. Penurunan produksi dan kualitas nutrisi hijauan dikarenakan musim, dimana musim pasang memberikan produksi dan kualitas nutrisi terbaik dibandingkan dengan musim surut, sehingga teknologi silase merupakan teknologi yang tepat dalam pengawetan hijauan rawa. Teknologi silase dapat digunakan sebagai penyedia hijauan dikala musim kemarau tiba, dimana pakan silase hijauan rawa yang dikonsumsi oleh ternak kambing memberikan kontribusi yang sama dengan pakan lokal, akan tetapi bila diberikan dalam bentuk segar kurang disukai ternak kambing. Berdasarkan semua aspek yang dipertimbangkan penggunaan hijauan rawa diberikan dalam bentuk silase menunjukkan performa ternak yang terbaik. Saran Perlu kajian yang lebih spesifik untuk pengembangan hijauan rawa, dengan penanam rumput Hymeneche amplexicaulis Haes dan Ischaemum polystachy lebih luas, merupakan spesies potensial untuk dikembangkan dalam pengembangan lahan rawa sebagai penyedia pakan ternak
56 DAFTAR PUSTAKA Abdullah L, Karti PDMH, Hardiosoewigyo S. 2005. Reposisi tanaman pakan dalam kurikulum fakultas Peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman pakan Ternak. Bogor 16 September. Hlm. 11-17 Abdulrazak,S.A., R.W. Muinga, W. Thorpe and E.R. Orskov. 1997. Supplementation with Gliricidia Sepium and Leucaena leucocephala on voluntary food intake, digestibility, rumen fermentation and live weight of crossbred steers offered zea mays stover. Livestock Prod. Sci. 49: 53 – 62. Alcaide EM. Ruiz DRY,Moumen A, Gracia AIM. 2003 Ruminal degradability and in vitro intestinal digestibility of sunflower meal and in vivo digestibility of olive by-products Supplemented with urea or sunflower meal comparison between goats and sheep. J. Anim Feed Sci Tekhno. 110:3-15 Alcaide EM, Ruiz DRY, Moumen A, Garcia Aim. 2003. Chemical composition and nitrogen availability for goat and sheep of some olive by-products. J. Small Rumin Res. 49: 329 – 336 Alemawor F, Dzogbefia VP, Oddoye BOK, Oldham JH. 2009. Effect of Pieurotus esraetus fermentation on cocoa pod husk composition: Influence of fermentation period and Mn2+ supplementation on the fermentation process . J. Biotechnology. 8:1950-1958 Anggorodi. R. 1999. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia. Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. Washington: AOAC Internationa Aregheora EM. 2006. Utilization of concentrate supplements containing varying levels of copra cake (cocos nucifera by growing goats fed a basal diet of napier grass (pennisetum purpurium). . J. Small Rumin Res. 64:87-93 Allen ON, Allen EK. 1981. The Leguminosae, a source Book of Characteristic, Uses and Nodulation. The University of Wisconsin Press.Wisconsin. Avondo, Biiondi L, Pagano RI, Bonannno A, Lutri L. 2008. Feed intake. Dairy goats feeding and Nutrition. Bologna CAB International. Hlm 147 - 189 Atabany A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan etawah dan kambing saanen pada peternakan kambing perah barokah dan PT. Taurus dairy farm (thesis). Program pascasarjana,IPB.Bogor Bamualim,A. 1994. Usaha Peternakan Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian Noelbaki Kupang 1 – 3 Pebuari 1994. hlm. 17 – 26. Badjoeri M, Lukman M. 2002. Pemanfaatan tumbuhan kumpai dari danau semayang sebagai pakan sapi. JITAA. 27: 125-133. Badan Pusat Statistik Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010. Luas Lahan Rawa di Indonesia, Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik .2013. Kalimantan Selatan Dalam angka. BPS Kalsel Bolsen KK, Ashbell G, Weinberg ZG. 1996. Silage fermentation and silage additives. Review. AJAS. 9: 483–493. Bolsen KK, Brent BE, Pope RV. 2001. The ensiling process: Basic principles. http://www.oznet.ksu.edu/pr_silage/basic_principles.htm [Agustus 2012].
57 Borreani G, Giaccone D, Mirnosa A, Tobacco E. 2007. Comparison of Hay and Haylage From Permanent Alpine Meadows in Winter Dairy Cow Diets. J. Dairy Sci. 90(12) : 5643-5650 Borges R. 2003. How soybeans respond to drought stress. Issues in agricultute [internet].[diacu 2014 Januari 28]. Tersedia dari :www.Uvex.edu/ces/ag/issues/drough2003/soybeansrespondstress.html18k Bucio RD, Cook RG, Cooke MA, 2005. An Auxin transport independent pathway is involved in phosphate stress-induced root architectural alternation in arabidopsi. J. Plant Physiologi. 71:421-425 Bureenok S, Namihira T, Mizumachi S, Kawamoto Y, Nakada T. 2006. The effect of epiphytic lactid acid bacteria with or without different by prouct from defatted rice bran and green tea waste on napiergrass (Penisetum purpurium Shumach) Silage fermentation. J. Sci Food Agric. 86: 10731077 Budisatria JGS, Udo HMJ, Eiler CH, Baliarti E, Zijpp AJ. 2010. Preferences for sheep or goats in Indonesia. J. Small Rumin Res. 88:16-22 Cristian SF, Carone MI, Cutrignelli, ’Urso SD, Piccolo G, Tudisco R, Angelino G and Infascelli F . 2001. The effect hay of hay making on the neutral detergent soluble fraction of two intercropped forages cut at different growth stages. Ital. J. Anim. Sci. 5: 327 – 339. Coa LM, Goto M, Yamamoto Y, Deduchi Y, Urakawa S, Maekawa Y, Kawamoto Y, Matsuko T. 2010. Effect of fermented juice of epiphytic lactid acid bacteria on the fermentation quality of alalfa (Medicago sativa L). silage and its energy and nitrogen utilization by dry cows. J. grassl Sci. 48:227-235. Cherdthon A, Wanapat M, Kongmun P, Pilajun r, Khejornsart P. 2010. Fermentation microbial protein synthesis and cellulosalytic bacteria population of swamp buffaloes as affected by roughage to concentrate ratio. J. Anim Vet Adv. 9:1667-1675 Chamberlain AT, Wilkinson JM. 1996. Feeding the Dairy Cow. Chalcombe Publication, Lincolin Church DC, 1991. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant Ed ke-12 Oxford Press. Inc. Portland. Oregon. Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical grassland husbandry. First Published. United state of America by Longman Inc. New York. Crampton EW and Harris LE. 1969. Applied Animal Nutrition. WH freeman and company hall. San fransisco. Cruz JM. Dominguez JM, Dominguez H, Parajo JC. 2001. Antiaxidant dan antimicrobial effect of extract from hydrolysates of lignocellulosic material. J. Agric Food Chem. 49:2459-2464D Coblenzt W. 2003. Principles of silage making. http://www. uaex.edu [Mei 2011]. Coleman SW, Moore JE. 2003. Feed quality and animal performance . Field Crops res. 84:17-29 Coleman SW, Hart SP, Sahlu T. 2004. Relationship among forage chestry rumination and retention time intake and digestability of hay by goats. J. small Rumin res. 50:129-140
58 Correia UD, Eriksen FI, Whitney ES, Davidson TM. 2006. Effect of Shade and interaction of light intensity on six forage grasses. Agronom Journal. 56. 453-459 Daha DS, Khatta VK, Kumar N, Mann NS. 2004. Funggal treatmen of crop residues by Coprinus fimetarius and its utilization by goats. Indian J. Dairy Sci. 57:122-126 Devendra C, Burns M. 1994. Produksi kambing Di Daerah Tropis. Penerbit ITB. Bandung. Davendra C, McLerroy GH. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediante Tropical Agriculture Serries. Longman. London Davies D. 2007. Improving silage quality and reducing CO2 emissions. http//improving silage quality and reducing CO<sub>2/sub>emission. [Juli 2012]. Davidson S, Hopkins BA, Diaz DE, Bolt SM, Brownie C, Fellner and Whitlow LW. 2003. Effect of amounts and degradability of dietry protein on lactation, nitrogen utilization and excretion in early lactation Holstein coes. J. Dairy Sci. 86:1681-1689 Dinis MJ,. Bezerra RM, Nunes F, Dias AA, Guedes CV, Ferreria LM, Cone JW,Marques GS, Barros AR, Rudrigues MA. 2009. Modifikasi of wheat straw lignin by solid state fermentation with white rot fungi. J. Bioresour Tecknol .100:4829-4835 Despal, Permana IG. 2008. Penggunaan berbagai teknik preserves unstuck optimalisasi pemanfaatan daun rami sebagi hijauan sumber protein dalam ransum kambing Peranakan Etawah. Laporan Hibah Bersaing. LPPM . Institut Pertanian Bogor, Bogor, Dilaga SH. 2006. Kontribusi potensial padang rumput sebagai wadah dan sumber pakan kerbau di Sumbawa. Proseding Lokakarya Nasional: Usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Hal.227-233 Durahman AB, Askar S, dan Heliati I. 2005. Penetapan kecernaan bahan kering rumput gajah secara invitro sebagai sampel control. Proseding temu teknis nasional Tenaga Fungsional pertanian. Doane AL, Pell AN, Schofield P. 1997. The effect of preservation method on the neutral detergent soluble fraction of forage. J. Anim Sci. 75:1140-1148 Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chemistry 28(3): 350–356. Endang S. 2010. Eksplorasi rumput kumpai (Hymenachine amplexiacaulis rudge nees) sebagai pakan ternak di propinsi Jambi. Lokakarya Nasional tanaman pakan ternak. Balai Pengkajian Tekologi Pertanian Jambi. Hal 172- 182 Fahriani A. 1996. The Evaluation of Nutritive value of Forages by in Situ and in Vitro .Tekniques phD Thesis. The united graduate School of Agricultural Tottory Universty.Japan. Fahriani A, Eviyati. 2008. Potensi Rumput Rawa sebagai pakan ruminansia : produksi, daya tampung dan kandungan fraksi seratnya. JITAA. 33: 299304
59 Faturrahman. 1988. Analisa Vegetasi dan Produktivitas rumput rawa dikecamatan danau panggang kabupaten Hulu Sungai utara Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB. Fathul. 1997. Kualitas Gizi Silase Hijauan Jagung (Zea mays) dengan berbagai bahan Media dan Masa Fermentasi yang berbeda. SainTeks.4(3). Universitas Semarang Senyawa Antimikroba. Fardiaz S, Suliantari, Dewanti R.. 1988. Laboratorium Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Fedele V, Ciapsa S, Rubiano R, Calandrelli M, and Pilla AM. 2002. Effect of free-choice and Traditional feeding systems on goat feeding behavior and intake. J. Livestock Prod Sci. 74:19-31 Fitter AH, Hay RKM. 2002. Fisiologi Lingkungan tanaman. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Fobes J M, 2007. Voluntary Food Intake and Diet Selection in Farm Animal. 2Ed . CABI Publising. Canberra. Fonseca, A. J. M., A. R. J. Cabrita., A. M. Lage. & E. Gomes. 2000. Evaluation of the chemical composition and the particle size of maize silages produced in North-West of Portugal. J. Anim. Feed Sci. Technol. 83: 173-183. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fahruddin. 2004. Dasar perlindungan tanaman . Jakarta. Penerbit PT. Aksara Gutteridge RC, HM Shelton. 1994. The Role of Forage Tree Legumes in Cropping and Grazing System. The tropical Grassland Society of Australia Inc. Giger-Reverdin, S. 2000. Characterisation of feedstuffs for ruminants using some physical parameters. J. Anim. Feed Sci. Technol. 86: 53-69. Gervais G, Robinson PH, depeters EJ, Taylor SJ. 2008. Relationship between chemical composition dry mather degradation and in vitro gas production of several rumint feeds. J. Anim Feed Sci tehnol. 11: 157-171 Getachew A, Delrio JC, martinez Inigi MJ, martinez MJ, martinez AT. 2004. Biological conversion of olive pomace into compost by using L Plantarum and Tricoderma harizanum. Bioresource Teknology. 100:4773-4782 Hendrik ATWM, Zeeman G. 2009. Pretreatment to enhance the digestibilty of lignocellulosic biomass. J. Bioresour teknol 110:10-18 Henderson SC, Denise I. Bounous, Lee MD. 1999. Early events in the pathogenesis of avian salmonellosis. Infection And Immunity. 67(7): 3580–3586. Hongsen J. 1982. Infulence of Sward Characteristik on Diet Selectionand Herbage Intake by grazing Animal. In: Nuttrional Limits to Animal production from pasture (Ed.J.B. cker). Commonw.Agric.Bur.Farham Royal,U.K Hu W, Schmidt RJ, mcDonell EE, Klingerman CM,Kung JRL. 2009. The effect of Lactobacillus bucheri 40788 or Lactobacillus plantarum MTD-1 on the fermentation and aerobic stability of corn silage ensiled at two dry matter contents. J.Dairy Sci. 92(8):3907-3914 Humpreys LR. 2001. Tropical pasture utilization. Cambridge university Press. Cambridge. Hu TQ. 2002. Chemical modification, properties and use of lignin : kluwer Academic Plenum publishers. New York.
60 Iyayi EA. 2004. Changes in the cellulose, sugar and crude protein contents of agro-industrial by product fermented with. Aspergillus niger, Aspergillus flavus and Penicilium sp. Journal Biotechnol. 3:186-188. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Akasara. Jakarta Jaleel CA, Manivannan P, lakshmanan GMA, Gomathinatagan M, Pannerselvan R. 2009. Drought stress in plat: A review on morphological characteristics and pigments composition. International Journal of Agriculture & Biology. Jonathan SG, Fasidi IO, Ajayi Ao, Adegeye A. 2008. Biodegradation of Nigerian wood waste by Pleurotus tuber-regium (Fries) Singer. Bioresource and Technology. 99:807-811 Jones DIH, Wilson AD. 1996. Nutritive Quality of Forage . Ternout Academic Press. Pp 65-89 Jones CM, Heinrichs AJ, Roth GW, Issler VA. 2004. From Harvest to Feed: Understanding silage management. Pensylvania: Pensylvania State University. Joseph J, Nocera GJ, Parsons G, Milton R, Alan H, Fredeen, 2005 . Compatibility of delayed cutting regime with bird breeding and hay nutritional quality. J. Anim Feed Sci and Teknol. 107 : 245 – 253 Jun-Feng S, Guo MX, Lian JR, Xiaobin P, Guo WY, Ping CX. 2010. Gene expression profile of respon to water stress at the jointing stage in wheat. Agricultural Science in China. 9(3):323-330 Kallenbach R, Nelson CJ, Coutts JH. 2002. Yield quality and persistence of grazing and hay type alfalfa under the harvest frequencies. Agronom Journal 94 : 1094 – 1103 Kana HD, dan Nenobais M. 2007. Improving the Nutritive Values of Kume Grass Haylage (Sorghum timorense) Through Bioconversion Process Using Rhizopus oligosporus. Jurnal Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal. 683-688 Karti PDMH. 1998. Klasifikasi, Morfologi dan Pengenalan Jenis Rumput dan Legume. Diktat Kuliah. Fakultas Peternakan. Institut Peternakan Bogor. Bogor. Kramer PJ, Boyer JS. 1995. Water Relations of Plants and Soils. Academic Press Inc. US Krebs CJ. 1994. Ecology the Experimental Analysis of distribution and Abundance. New York. Addison- Wesley Educational Publishers. Kurniawan D, Rony R, Sharma D. 2010. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap produksi padi (Oryza sativa). Bul. Agronomi. Ifferent protein and energy levels. J. Small Rumin Res. 22:193-204 Kung L. 1993. What the smells from silages can tell you. http://ag.udel.edu/anfs/ faculty/kung/articles/what_the smells_from_silage_can. htm.[Juli 2011]. Kung L, Stokes MR. 2001. Analyzing silage for fermentation and end products.http://ag.udel.edu/anfs/faculty/kung/articles/analyzing_silages_ for_fermentati.htm[ Agustus 2011]. Lallo CHO. 1996. Feed Intake and nitrogen utilization by growing goats fed byproduct based diets of d Lakitan B. 1995. Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
61 Lendrawati. 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit, dan ubi kayu [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lemosquet S, Rgout S, Bach A, Rulqun H, Buum JW. 2004. Glucose metabolism in lactating cow in response to iso energetic infusions of propionic acid or duadenal glucose. J. Dairy Sci. 87:1767-1777 Lewis RM, Emmans GC. 2010. Feed intake of goat affected by body weight, breed sex, and feed composition. J. Anim Sci. 88:467-480 Livingstone AL. 2000. Handbooks of Nutritive vale of Processed Food. Vol II. Animal Feedstuff. Florida: CRC press,Inc Lopez J. 2000. Probiotic in animal nutrition. Asian-Aust J Anim Sci 13: 12−26. Lu CD, Kawas JR, Mahgoub OG. 2005. Fiber digestion and utilization in goats. J. Small Rumin Res. 60:45-65 Luo JA, Goetsh L, Moore JE, Johnson JB, Sahlu T, Ferell CL, Galyean MI and Owens FN. 2004. Prediction of endogenous urinary nitrogen of goats. J. Small Rumin Res. 53:293-308 Luginbuhl JM, Pond KR, Burn JC, Fisher DS. 2000. Intake and chewing behavior of steers consuming switchgrass preserves as hay and silage. J. Anim Sci. 78:1983-1989 Mansyur, Dhalika T, Abdullah L. 2005. Pengaruh interval pemotongan rumput Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick terhadap kecernan bahan kering dan bahan organik. J. Protein. 12(2): 95 – 202. Mansur, Djuned HNP, Indrani NP, Ana R, Tarmidi dan Dhalika T..2008. Digestibility of Signalgrass (Brachiaria decumbens) Planted Under Banana Plantation at Various Maturity Stages. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Halm. 783:788 Martin C, Brossard l, Doreali. 2006. Mecanismes d appartion de facidose ruminale latent et consequences physiopathologis et zootechniques. J. INRA Prod Anim. 19:93-108 Macaulay A. 2004. Evaluating silage quality .http://www1.agric.gov.ab. ca/department/deptdocs.nsf/all/for4909. html [Feb 2012]. Maynard LA, Loosli JK. 1969. Animal Nutrition. Ed ke- 4. New York: MegrowHill Book Co. Inc. McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Ed ke-2. Marlow: Chalcombe. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. Ed ke-6. London: Prentice Hall. McSweeney, C.S., B. Palmer, R. B. and D.O. Krause. 1999. In Vitro Quality Assessment of Tannin-Containing Tropical Shrub Legumes: Protein and Fibre Digestion. J. Anim. Feed Sci. Technol. 82: 227 – 241. Michael D, Novak, Wenjun C, Hares MA. 2000. Simulating the radiation distribution within a Harley-straw mulch. Agricultural and forest meteorology 102: 173 -186 Minson DJ. 1990. The Chemical Composition and Nutritive Value of tropical grasses.In: Skerman,P.J. Cameroon,D.G. and F.Riveros) Tropical Grassi.pp 172 – 180.Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome
62 Moran J. 2007. Tropical Dairy Farming: Feeding manajement for smallholder dairy farmers in the humid tropics. Australia: Landlinks Press. Morrison, M. and R.I. Mackie. 1996. Nitrogen metabolism by rumen microorganism: Current understanding and future perspectives. Aust. J. Agric. Res. 47: 227 – 246 Muck RE. 1988. Factor influencing silage quality and their implication for management. J Dairy Sci. 71: 2992–3002. Muck RE, L Kung. 1997. Effects of silage additives on ensiling. Di dalam: Proc. Form the Silage: Field to Feedbunk North American Conference. NRAES 99: 187−199. Mulligan FJ, Caffrey PJ, Rath M, Kenny M J, O’Mara. 2001. The effect of dietary protein content and hay intake level on the true and apparent digestibility of hay. J. Livestock Prod Sci. 68:41–52 Munns R. 2002. Comparative physiology of salt and water stress. J. Plant cell and environment. (25):29-250 Nelson, Suparjo. 2011. Penentuan lama fermentasi kulit buah kakao dengan Phanerochaeta chysosporium: evaluasi kualitas nutrisi secara kimiawi J. Agrin. 1(1): 1-10 Noor MIL. 2007 Pengembangan lahan rawa berkelanjutan untuk mendukung ketahan pangan Nasional, balai Besar Sumber daya lahan pertanian. Badan litbang pertanian. Noor M, Las I, Rachman A, Subiksa IM, Sukarman K, Nugrogo, Isdijanto A. 2010. Pengembangan Lahan rawa Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian, Banjarbaru. National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. Washington DC: National Acad Press. Novita CL, Sudono A, Sutama LK, Toharmat T. 2006. Produktivitas kambing peranakan Ettawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermentasi. Med.Pet.29:96-106 Ohshima M, McDonald P. 1978. A review of the changes in nitrogenous compounds of herbage during ensilase. J. Sci. Food Agric.29:497-505 Oktarina,K., E. Riato, R. Adiwinarti dan A. Purnomoadi. 2004. Pemanfaatan protein pada domba ekor tipis jantan yang mendapat pakan penguat dedak padi dengan aras yang berbeda. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober, Buku I. hlm. 110 – 115. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press Jakarta. Pielou EC. 1999. An Introduction to Mathematical Ecology.Wiley-Interscience, New York-London-Sidtney-Toronto. Pond WG, Chuch DC, Pond KR. 2005. Basic Animal Nutrition and Feeding, 5 th Edition. John Willey and Sons, New York. Pugnaire FI, Serrano L, Pardos J. 1999. Constrains by water stress growth. P 271283. In M. Pessarakli (ED). Handbook of plant and crop stress. 2nd. New York. Purbajanti ED, Anwar S, Widyati S, Kusmiyati F. 2008. Kandungan protein dan serat kasar rumput Benggala ( Panicum maximum) dan rumput Gajah (
63 Pennisetum purpurium) pada cekaman stress kering. J. Anim Prod. 11:109-115 Purnomo, H. & Adiono. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta. Purnomo J. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia . Jakarta . Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departement Pertanian Purnomo D, Sitompul SM. 2005. Evaluasi potensi dan kendala pengembangan system agroforestri di Jawa tengah. J. Habitat 4(3):197-207 Raharjo R. 2006. Studi terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, air tembus tajuk dan aliran batang serta bleaching pada beberapa kerapatan tegakan pinus (Pinus merkusii) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Rachman A, Noor M, Rina Y. 2010. Prospek dan strategis pengembangan sistem budidaya dan Agribisnis tanaman jagung di Lahan rawa. Kendala dan tantangan. Proseeding pakan serrealia Nasional. Rani, H. 1989. Jenis dan mekanisme Kerja bahan pengawet pangan. Polytechnic Education Development Centre for Agriculturae (PEDCA), Fateta, IPB, Bogor. Ranjhan S, Pathak K.. 1979. Management and feeding of Buffaloes. New Delhi. Vikas Publishing house Put Ltd Reksohadiprodjo S. 1985. Produksi Biji Rumput dan Legum Makanan Ternak Tropik. BPFE. Universitas gadjah Mada. Yogyakarta. Ridwan R, Ratnakomala S, Kartika G, Widyastuti Y. 2005. Pengaruh Penambahan dedak padi dan lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam Pembuatan Silase Rumput gajah. J. Med Pet. 28 (3) : 117-123. Rohaeni ES, Danu IS, Subhan A. 2010. Profil Usaha ternak kambing Di lahan Pasang Surut Kalimantan selatan. Lokakarya Nasional Kambing potong. . Balai besar teknologi pertanian Kalimantan selatan. Hlm 165- 170. Rostini T . 2004. Kajian Mutu silase Ransum Komplit Berbahan Baku lokal untuk memperbaiki peforma dan kualitas daging kambing. Uniska KalSel. Rosa KRD. 1998. Nitrogen fixing tress as tool soil builders. FACT. www.winrock.org/forestry/factnet.htm. [5 juli 2012] Russel DS, Johnson WD. 2000. Nitrogen metabolism in the rumen. J. Dairy Sci.86:123-132 Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiologi. Wadsworth Publishing Co. California. Santoso B, Hariadi BT. 2008. Komposisi Kimia degradasi Nutrien dan Produksi Gas Metana in Vitro Rumput Tropik yang diawetkan dengan Metode silase dan Hay. J. Med Ped. 31:128-137 Santoso B, Hariadi BT, Manik H, Abubakar. 2009. Kualitas Rumput Unggul tropical hasil ensilase dengan aditif bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi. J. Med Ped. 32:138-145 Santoso B, Hariadi BT, Alumiddin, Seseray DY. 2011. Kualitas Fermentasi dan Nilai Nutrisi Silase berbasis Sisa tanaman Padi yang Diensilase dengan Penambahan Inokulum Bakteri Asam laktat Epifit. JITV. 16:1-8 Sastrapraja S dan Afriantini JJ. 1980. Jenis Rumput dataran rendah dan tinggi. Lembaga Biologi nasional. LIPI. Bogor
64 Sariri AK, Ariana S, Sugiyanto. 2011. Peningkatan Nutrien Silase Pennisetum Purpureum dengan Penambahan Berbagai Konsentrasi Asam Formiat. Jurnal LPPM Univet bantara Sukoharjo: 7-12 Satter,L.D. and L.L. Slyter. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial production in vitro. British J. Nutrition 32: 199 – 208. Sapienza DA, Bolsen KK. 1993. Teknologi Silase. Martoyoedo RBS, penerjemah. Pioner-Hi-Bred International, Inc. Kansas State University. Saun RJV, Heinrichs AJ. 2008. Troubleshooting silage problems: How to identify potential problem. Di dalam: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference; Pennsylvania, 26−26 May 2008. Penn State’s Collage. hlm 2−10. Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy Speciaslist. AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w. htm. [June 2012]. Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrition of the Chicken. Ed ke-3. Ithaca: Scott and Assosiation. Setiana MA. 2011. Pola Penyediaaan Tanaman Pakan Ternak Sapi Pedaging di Kampung Cikoang. Kecamatan ujung Jaya Sumedang. Seminar Nasional Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Kemandirian Pangan asal Ternak. Fakultas Peternakan Unpad. Bandung. Setyawan AD, S Setyaningsih, Sugiyarto. 2006. Pengaruh jenis dan kombinasi tanaman Sela terhadap Diversitas dan Biomasa Gulma di bawah tegakan Sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen) di resort Pemangkuan hutan jatirejo Kediri. J. Biosmart. 8:27-32 Siregar SB. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya. Sianipar U, Manihuruk K, Sirait J. 2007. Penggunaan silase kulit buah markisa sebagai pakan kambing kacang sedang tumbuh. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Soekanto S. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar . Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Rawa Indonesia. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soepandi D, Chozin MA, sastrosumarjo, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi Rumput Gajah(Penisetum purpurium) terhadap naungan. J. Hayati 10(2):71-75 Sosroamidjojo LP dan Soeradji. 1981. Peternakan Umum. CV. Yasaguna, Jakarta. Steel RGD, dan Torri JH. 1997. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan : B. Sumantri PT. gramedia Pustaka Utama Jakarta. Stokes MR. 1992. Effects enzyme mixture, an inoculant and their interaction on silage fermentation and dairy production. J Dairy Sci 75: 764–773. Suparjo K, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Perubahan komposisi kimia kulit buah kakao akibat penambahan mangn dan kalsium dalam biokonversi dengan kapang Phanenruceta chrysesperium. J. Med. Pet. 32:204-211 Sunarso. 2012. The effect of king grass silage on the nitrogen balance and hematological profile of grade male goat. J. of Sci and Eng. 3(1):13-16
65 Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolisis of lignocellulosic materials for etanol production areviw J. Bioresource Technology. 83:1-11. Sun Y, Chen J. 2008. Etanol enzymatic hydrolysis of wheat straw by aqueous glycerol pretreatment. J. Bioresource Technology. 99: 6156 – 6161. Susetyo S. 1980. Tata Laksana Padang Pengembalaaan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi T, 1990. The foundation of nutrition science I. Department of Food Science Science Faculty of nimal Husbandry, University. Bogor Syamsu JA, Lily AS, Mudikdjo JH, Said EG. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia.J. Wartazoa. 13(1):30-37 Syamsu JA. 2006. Analisis potensi limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia diSulawesi Selatan. Disertasi Sekolah pascasarjana IPB. Bogor. Swamy LE. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. J. Tropical Forest Science 12(1):104-123 Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3 rd ED. Sinauer Association,Inc Tarigan A, Ginting SP. 2011. Pengaruh taraf pemberian Indigofera sp terhadap konsumsi dan kecernaan pakan serta pertambahan bobot hidup kambing yang diberi rumput Brachiaria ruziziensis. JITV. 16: 25-32 Tjardes. K. E, D. D. Buskirk, M. S. Allen, N. K. Ames, L.D. Bourqin, & S. R. Rust. 2002. Neutral detergent fibre concentration of corn silage and rumen inert bulk influences dry matter intake and ruminal digesta kinetics of growing steers. J. Anim. Sci. 80: 833-840 Tjondronegoro AD, Gunawan A. 2000. Beberapa jenis gulma di Lahan psang surut pada tingkat kemasaman tanah yang berbeda. Proseding Seminar Nasional. P. 247-254 Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo R, Prawirokusumo S, .Lebdosoekojo S. 1999. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fak Peternakan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta Tilley JM, Terry RA. 1969. A two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J Grassland Soc 18(2):104−111. Toharmat T, Nursasih E, Nazilah R, Hotimah N, Noerzihad TQ, Sigit NA, Retnani Y. 2006. Sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrient ransum pada kambing. J. Med. Pet. 29:146-154 Tranggono CD. 2007. Autohydroliysis of agricultural residues study of reaction by products. Bioresource Technology. 98:1951-1957 Tuah AK, Obese FY. Orskow ER, Okai DG, Aclomosko K, Amaning AN, Greenhalh JFD. 1995. The performance of Djallonke sheep fed on diets containing various proportions of coca pod bush and 5% NaOH-treated maize cobs. J. anim feed Sci tehnol. 5:269-279 Van Hao N, Liden I. 2001. Performance of growing goats fred gliricidia maculate. J. Small Rumin Res. 39:113-119. Van DT, Mui NT, Liden I. 2005. Tropical foliages effect of presentation method and species on intake by goats. J. Anim Feed Sci Technol. 118:1-17.
66 Van Soest PJ. 1991. Nutritional Ecology of Ruminant. Ruminant Metabolism, Butritional Strategis, The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry of Forages and Plant Fibers. Cornel University. Verbic J, Orskow ER, Zgajnar XB, Zaidarsae VP. 1999. The effect of method of forage preservation on protein degradability and microbial protein synthesis in the rumen. J. Anim Feed Sci Technol. 82:195-212 Vilas-Boas 2002. Applicati of Biologically natural Products in Agricultural Fields. Seminar on Recnet Trend in Chemistry of Natural Product research, ITB. (Eds) 110-132. Williams JHH, William AL, Pollock CJ, Farrar JF. 1992. Regulation of leaf metabolism by sucrose. J. Sov Plant Physiol. 39:443-446 Wilson JR. 1996. Shade Stimulated growth and nitrogen uptake by pasture grasses in a Subtropical environment . Aust. J. agric. Res. 47: 1075-1093 Wilsie CP. 1987. Adaptasi dan Distribusi tanaman (factor-faktor Lingkungan ). Terjemahan Departement Agronomi, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Whitehaed DC. 2000. Nutrient Element in Grassland : Soil-Plant-Animal relationship. CAB International Publishing. Wallingford. 367. Winarno FG. 1980. Kimia pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Winugroho M, Bakri B, Panggabean T, Yaters NG.1983. Pengaruh panjang pemotongan dan Perlakuan kimia terhadap jumlah konsumsi dan daya cerna jerami padi. Proses. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Puslitbangnak, Bogor. Hlm: 16-20. Wirawan IW, Mudita IM., Cakra IG, Witariadi NM, dan Siti N. 2012. Kecernaan nutrien kambing Kacang yang diberi pakan dasar rumput lapangan di suplementasi dengan dedak padi. J. Wartazoa. 22(2):169-177 Weinberg JG, Muck RE, Weimer PJ. 2003. The survival of silafe inoculants lactic acid bacteria in rumen fluid. J Appl. Mikrobiol. 94 : 1066 - 1071 Widyastuti Y. 2008. Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia. J. Med Pet. 31:l 225-232 Wood AJ. 2005. Eco-physiological adapation to limited water environments. J. Plant Abiotic Stress. (20): 1-13 Woolford MK. 1984. The Silage Fermentation. New York: Marcel Dekker Inc. Weston, R.H. 2002. Constrain on feed intake by grazing sheep. In: Freer, M. & H.Dove, J (eds) Sheep Nurition. CABI publishing, Wallingford. 27-49. Xiuhai RD, Emongor V, Moseki A, Vurayai R. 2005. Effect of water stress imposed different growth and development stages and yield of plant. J. of plant Physiology 164: 424-432 Yahaya MS, Gorn M, Yiniti B, Swerjai, Kuwamoto Y. 2004. Evaluation of fermentation quality of a tropical and temperate forage crop ensiled with additivies of fermented juice of epiphytic lactid acid bacteria. Asian-Aus J. Anim Sci. 17:942-946 Yokota H, Fujii Y, Ohshima M. 1998. Nutritional quality of Napier grass silage suplemented with molasses and rice brand by goats. Asia-Aust J Anim Sci 11(6): 697−701. Yusran, M.A. and E. Teleni. 2000. The effect of a mix of shrub legumes supplement on the reproductive performance of Peranakan Ongole cows on dry land smallholder farms in Indonesia. Proc. of Ninth Animal Science Congress of the Asian-Australian Association of Animal Production
67 Societies and Twentythird Biennial Conference of the Australian Society of Animal Production. Zheng SL, Tezara W, Nelson WL, Haylin JL, 1998.Effects of water deficit and its interaction with Co2, Supply of photosynthesis in forage. J. Exp.Bot. 475(56):188-1895
LAMPIRAN
69 Lampiran 1 Kapasitas tampung dan daya dukung wilayah padang pengembalaan rawa ProduksiKumulatif Dengan rumus = [ ( hk Ik
x pk) + ( hp x pp) + ( hh x ph)] iP
ih
Keterangan : Hk = jumlah hari pada musim surut (90 hari) Hp = Jumlah hari pada musim peralihan (120 hari) Hh = Jumlah hari pada musim pasang (150 hari) Ik = Interval pemotongan tumbuhan pada musim surut (50 hari) Ip = Interval pemotongan tumbuhan pada musim peralihan (30 hari) Ih = Interval pemotongan tumbuhan pada musim pasang (40 hari) Pk = produksi biomasa tumbuhan pada musim surut Pp = Produksi biomasa pada musim peralihan Ph = Produksi biomasa tumbuhan pada musim pasang Produksi komulatif Tumbuhan Kumapai Minyak =
[ (90
]
x 1 032) + ( 120 x 1 032) + ( 150 x 1032) 50 30 40 = 9855.6 kg BK/ha
Kapasitas Tampung = Produksi kumulatif x proper use factor (%) Kebutuhan ternak (kg BK/ST/hari) x 360 hari
= 9855.6 kg BK/ha x 68 % 6.25 kg BK/ST x 12 x 30 Kumpai Minyak (a) = Kumpai Batu ( b) = Beberasan (c) = Pipisangan (d) =
2.98 ST 2.85 ST 2.56 ST 2.45 ST
Daya dukung wilayah terhadap keempat jenis tumbuhan ini adalah sebesar = a + b+ c+ d = 10.85 ST Luas padang pengembalaan di Kab Hulu sungai Utara = 15 920 ha Maka daya dukung wilayah = 15 920 ha x 10.85 ST/ha = 172.732 ST
70 Produksi per wilayah penelitian Produksi kumulatif sepanjang tahun adalah =
[ (90
]
x 697.8) + ( 120 x 1 043.9) + ( 150 x 1 856.7) 50 30 40 = 12394.27 kg BK/ha
Kapasitas Tampung = Produksi kumulatif x proper use factor (%) Kebutuhan ternak (kg BK/ST/hari) x 360 hari
= 12394.27 kg BK/ha x 50 % 6.25 kg BK/ST x 12 x 30
Diperoleh kapasitas tampung sebesar
Lampiran 2 Kualitas air dan tanah rawa lokasi penelitian Susunan tanah rawa - Tekstur = Pasir 2 %, debu 41% dan liat 57% - Kerapatan masa tanah = 1.33 g/cm3 - P-tersedia = 1.8 ppm - Ca2+ = 10.38 ppm - pH = H20 (4.8), KCl ( 3.9) - C – Organik = 5.54% - N - Total = 0.36% - C/N = 15 - P2O5 = 4.0 ppm - K2O = 26 ppm Susunan Air rawa - pH 6.24 - BOD 1.1 mg/l
= 2.75 ST/ha
71
Lampiran 3 Frekuensi relatif, Kerapatan relatif, dan nilai indeks penting tanaman rawa
Nama latin Hymenache amplexicaulis Haes Ischaemum polystachyum. J. Presl Polygonum barbatum L Ludwigia hyssopifolia Persicaria barbata (L) H, Hara Sesbania sericea (Wild) Link Hymenachne amplexicaulis (Rudges) Ness Hymenachne interrupia Buese Ludwigia adscendens (L). H. Hara Oryza sativa forma spontanea Pistia stratioles Ipomea sp Neptunia oleracea Lour Echinochloa crass-galli Altenanthera sesilis Ipomea aquqtica Paspalum sp Actinoscirpus grossus (L.f) Goetgh Lersia hexandra Cynodon dactylon (L) Pers Brahiaria plantaginea
Total
FR (%) 20.48 18.46 19.39 18.61 4.12 3.75 3.12 2.91 2.65 2.51 2.40 2.48 1.64 2.23 2.37 1.58 1.31 0.52
Pasang KR (%) 16.05 16.67 15.43 16.05 3.09 3.09
INP FR (%) (%) 36.53 16.50 35.13 15.70 34.82 14.43 34.66 15.85 7.21 7.22 6.84 3.37
Surut KR (%) 13.27 15.12 13.89 12.04 4.32 2.47
INP (%) 29.77 30.82 28.32 27.88 11.54 5.84
2.13 5.25 2.53 1.23 3.76 2.16 5.07 0 0 0 2.16 4.81 0 0 0 2.16 4.67 4.23 4.01 8.24 1.85 4.25 1.83 1.54 3.37 1.54 4.02 1.97 1.85 3.82 1.85 3.49 0 0 0 1.23 3.46 0 0 0 0.93 3.29 1.13 0.93 2.05 1.23 2.81 2.18 1.85 4.03 0.93 2.24 2.27 2.47 4.74 0.31 0.82 2.90 2.47 5.37 -9.01 4.10 13.11 7.21 4.22 11.43 3.48 2.66 6.14 100.00 100.00 200.00 100.00 100.00 200.00
72 Lampiran 4 Kondisi rawa pada saat pasang dan saat surut
Lahan rawa ketika pasang
Pengambilan hijauan saat musim pasang
Pemisahan jenis-jenis hijauan
lokasi penelitian ketika pasang
Lokasi penelitian ketika surut
Penimbangan tiap spesies
73 Lampiran 5. Tumbuhan rawa yang ada dilokasi penelitian
a) Hymeneche amplexicaulis Haes
c). Polygonum barbatum L
e). Neptunia oleracea Lour
b). Ischaemum polystachyum. J. Presl
d). Ludwigia hyssopifolia
f). Ipomea sp
74
e). Actinoscirpus grossus (L.f) Goetgh
g). Ipomea aquqtica
i). Ludwigia adscendens (L). H. Hara
f). Persicaria barbata (L) H, Hara
h). Hymenachne interrupia Buese
j). Cynodon dactylon (L) Pers
75 Lampiran 6 Poto kegiatan pengawetan hijauan rawa
76
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 8 September 1970 sebagai anak keempat dari pasangan H Ajuk Juhaeli (Alm) dan Hj. Siti Djenab. Pendidikan Diploma III ditempuh diprogram studi Teknisi Usaha Ternak Perah Di Fakutas Politeknik IPB, lulus tahun 1991. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan Studi strata satu (S1) ditempuh di Program Studi Produksi Ternak , Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor, lulus tahun 1995. Penulis diterima di Program Agronomi Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 2004 dan menamatkannya pada tahun 2006. Kesempatan melanjukan ke program Doktor pada program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2011. Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Derektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, sejak tahun 1999 sampai sekarang. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah tentang hijauan pakan ternak Selama mengikuti kuliah penulis mendapatkan bantuan biaya kuliah dan penelitian dari yayasan Muhammad Arsyad Al-Banjary, mendapatkan bantuan biaya penelitian dan seminar internasional dari BOPTN Pascasarjana IPB, dan mendapatkan biaya penelitian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui program Hibah Disertasi Doktor. Karya ilmiah yang berjudul Effect of Lactobacillus plantarum Inoculant to Chemical Composition and Nutrient Quality of Silage Produced from Local Swamp forage, telah dipresentasi secara oral pada seminar Internasional Seminar on Tropical Bio-resources for Sustainable BioIndustry.30-31 Oktober 2013 di ITB Bandung. Karya ilmiah dengan judul Production and Nutrition Potency of swamp Local Forage in South Kalimantan as Ruminant Feed telah accepted diterbitkan pada Global Journal of Animal Science, Livestock Production and Animal Breeding pada bulan Maret 2014 Volume 2(2):107-113. Karya ilmiah dengan judul Utilizatian of Swamp Forage South Kalimantan on Local Goat Performance telah diterbitkan pada Media Peternakan bulan April 2014 Volume 37 (1): 50-56. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis sebagai tugas akhir program Doktor.