PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus altilis) PRAGELATINISASI
Oleh WENNY SILVIA LOREN BR SINAGA F34053480
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus altilis) PRAGELATINISASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: WENNY SILVIA LOREN BR SINAGA F34053480
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor,
Mei 2010
Yang Membuat Pernyataan,
Wenny Silvia Loren Br Sinaga F34053480
Wenny Silvia Loren Br Sinaga. F34053480. Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi. Di bawah bimbingan Chilwan Pandji dan Titi Candra Sunarti. 2010. RINGKASAN Sukun (Artocarpus altilis) dapat merupakan alternatif sumber karbohidrat, dan mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi karena dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan sebagai alternatif pangan pengganti beras. Saat ini pemanfaatan buah sukun sebagai bahan makanan masih terbatas secara tradisional yaitu direbus, digoreng, dibuat keripik, dibuat kolak, dan difermentasi jadi tape. Terbatasnya pemanfaatan buah sukun disebabkan kurangnya informasi tentang komoditas sukun, sehingga upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai ekonominya diperlukan usaha penganekaragaman jenis produk olahan sukun. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tepung sukun termodifikasi dengan mengamati pengaruh perbandingan konsentrasi tepung dan kecepatan putar drum dryer terhadap karakteristik sifat fisiko kimia dan fungsional dari tepung sukun pragelatinisasi yang dihasilkan. Tepung sukun termodifikasi dapat dimanfaatkan sebagai makanan instan, bubur dan makanan bayi. Modifikasi tepung menjadi tepung sukun pragelatinisasi memiliki tahapan proses yang harus dilakukan dengan seksama. Tahapan proses pengolahan tepung sukun pragelatinisasi ada tiga tahap, yaitu persiapan bahan, proses utama (pemanasan dan pengeringan), dan proses penggilingan. Persiapan bahan dilakukan terlebih dahulu dengan mencampurkan tepung sukun alami dengan air dengan perbandingan 20% dan 30% tepung dalam suspensi. Pada penelitian ini digunakan double drum drier dengan kecepatan putaran 4, 6 dan 8 rpm. Proses utama pengolahan tepung sukun pragelatinisasi terdiri atas pemanasan dan dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu di atas suhu gelatinisasi yaitu 80±5°C pada double drum drier yang memiliki panjang dan diameter berturut-turut adalah 12 dan 8 inci. Karateristik tepung pragelatinisasi ini mempengaruhi kelarutan dalam air dingin (30°C), tingkat gelatinisasi yang diamati dengan perubahan granula pati, derajat putih serta freeze thaw stability. Pada kelarutan dalam air dingin (30°C), diperlihatkan bahwa semakin cepat kecepatan putaran semakin larut tepung tersebut dalam air dingin. Semakin tinggi kecepatan putaran semakin pendek waktu kontak sehingga semakin banyak granula pati yang tidak tergelatinisasi. Konsentrasi padatan yang lebih banyak menyebabkan tepung yang tergelatinisasi semakin banyak dan pada saat proses pragelatinisasi menghasilkan lembaran yang lebih tebal daripada lembaran dari konsentrasi padatan yang lebih rendah. Semakin tinggi putaran maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi. Konsentrasi padatan semakin sedikit maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi. Kecepatan putar drum dan konsentrasi padatan juga berpengaruh nyata terhadap tingkat gelatinisasi tepung. Semakin tinggi kecepatan putar drum semakin tinggi pula tingkat gelatinisasinya tetapi semakin tinggi konsentrasi padatan semakin rendah tingkat gelatinisasinya. Freeze thaw stability yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan putar drum. Semakin lambat kecepatan putar drum semakin tinggi nilai freeze thaw stability yang dihasilkan.
Wenny Silvia Loren Br Sinaga. F34053480. Production of Breadfruit (Artocarpus altilis) Pragelatinized Flour. Supervised by Chilwan Pandji dan Titi Candra Sunarti. 2010. ABSTRACT The fruit of breadfruit tree is one alternative carbohydrate source in Indonesia. Breadfruits is an important energy food contain starch and sugar, and usually consume as fresh fruit. However, breadfruit is seasonal crop and sometimes the crops are so plentiful that it can not be eaten fresh. To prevent waste, it was preserved in different way including drying. Flour from breadfruit can be used as important food for all seasons. Breadfruit flour has many limitations since it is difficult to be solubilized and swollen in cold water. The flour is modified physically by pregelatinization to improve its properties. Pragelatinized breadfruit flour can be used as instant food, porridge, and baby food. This research is aimed to investigate the effect of slurry concentration and contact time of the slurry on the drum. The process is conducted using double drum dryer with temperature of plate is 80±5 C. Twenty and 30% of slurry were poured into drum with different rotation speed (4, 6 and 8 rpm). Each flour is characterized its chemical composition and physico-chemical properties. Generally pregelatinization did not influence to the chemical composition. Pregelatinization of the flour improved the water solubility and swelling power on room (30 C) and hot (70 C) solutions, reduced the freeze-thaw stability, caused partial gelatinization which is monitored by losing the birefringence of starch granule, and darkened the flour. The pregelatinized flour also reduced gelatinized temperature and had low final viscosity. Low concentration of slurry and low rotation speed of drum increased the gelatinized part of the flour, which is influenced to the cold and hot water solubility.
Judul Skripsi
: Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi
Nama
: Wenny Silvia Loren Br Sinaga
NRP
: F34053480
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Chilwan Pandji, Apt.MSc
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi
NIP: 19491209 198011 1 001
NIP: 19661219 1991103 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP: 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 14 Juni 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Berastagi, Sumatera Utara pada tanggal 14 Oktober 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Robinson Sinaga dan ibu Rehulina Br Simbolon. Pada tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Methodist Berastagi. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1 Berastagi pada tahun 2002 dan pendidikan di SMAN 1 Berastagi pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2005 melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi pengurus dan anggota Himalogin pada tahun 2006-2010, pengurus dan anggota UKM PMK IPB 20052010 dan menjadi anggota paduan suara Agriaswara IPB 2006. Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2008 dengan topik “Mempelajari Aspek Produksi dan Pengawasan Mutu Bumbu Penyedap Royco di PT Unilever Indonesia Tbk Cikarang, Bekasi”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi”.
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Tritunggal karena atas berkat, rahmat dan kasih-Nya penulis dapat melaksanakan, menulis, dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini: 1. Drs. Chilwan Pandji, Apt.MSc selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan banyak bimbingan, arahan, dukungan, saran dan kritik kepada penulis sehingga penulis mengerti luasnya ilmu pengetahuan. 2. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan dukungan pada saat penelitian dan dalam penyusunan skripsi serta ”mendoktrin” penulis untuk mencintai ilmu pengetahuan. 3. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk penyusunan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Illah Saillah, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memotivasi penulis untuk tak berpuas diri dalam menimba ilmu. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Karo atas dukungan dana dan kesempatan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menimba ilmu di IPB. 6. Bapak, Mamak dan adekku Zohdy atas dukungan, motivasi, doa, kasih sayang dan pengertian yang tak pernah habis. Kalian adalah sumber nafas dan semangat terbesar yang pernah di berikan Tuhan kepadaku. 7. Keluarga besar penulis Nek Karo, Bunda tante cibet, tulang & nantulang, dek Cibet, Bony, Petra, Petrus, Lausevina, Lola & kel atas kepercayaan dan segudang semangat yang tiap hari kalian berikan kepada penulis. 8. “He who must not be named” atas waktu dan kesediaan tempat untuk menampung air mata, keluh-kesah, suka-duka selama ini. Terimakasih buat doa, motivasi, solusi dan semangat yang selalu membesarkan dan
iii
menyejukkan hati. Terimakasih atas kepercayaan dibalik senyum dan tawa yang selalu terpancar untuk menopang penulis yang goyah. 9. Laboran TIN (Bu Ega, Bu Rini, Bu Sri, Pak Gun, Pak Sugi, Pak Dicky, Pak Edi, Pak Hendi dan Pak Anwar), laboran Seafast dan Technopark (Pak Ias, Pak Ranta, Pak Nurwanto). 10. Teman-temanku Fitriana SM, Novi S, Bahaderi CS, Eka PS, Priska, Juliana, Helma, Estherlina, Clara, Kak Jane, Bang Franky Gurning, Joel Sinaga, Sulaiman Purba meski jauh dimata tetapi kalian dekat di hati. Terimakasih untuk doa, motivasi, kebersamaan, canda tawa, menangis bersama, pengertian, dan semangat yang selalu kalian tunjukkan lewat perbuatan. Bersama kalian aku mengerti arti sebuah persahabatan. 11. Teman-teman keluarga besar TIN 42 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, TIN 43, teman se bimbingan (Iwan n Yudi), teman2 yang setiap saat ditanya selalu ada (Roisah, Amel, Amir, Doni, Pute, Mbo Te, Vioni, Martin, Novi PY) atas kebersamaan dan ketulusannya. 12. Teman-teman Crew Pondok Putri TinTunz, Desra, Viva, Po, Qq, Qkay, Astra, Febi, Speti, Dian, Evi, Desi, Ester, Lidia, Kak Ita, Putri, Wirdha, Ra2, Rima, Teman2 ArtCom (Bang Icok, Juan, Salomo, deny, dll) atas canda tawa yang selalu menyejukkan hati yang sedang galau. Karena kalian penulis mengerti bagaiman bersikap sebagai seorang kakak ditengah cendikiawan masa depan. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu telah memberikan bantuan kepada penulis baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan demi kemajuan ilmu dan teknologi.
Bogor, Juni 2010
Wenny Silvia Loren Br Sinaga
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii DAFTAR ISI ....................................................................................................... v DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 1.2 TUJUAN ................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3 2.1 TANAMAN SUKUN ............................................................................. 3 2.2 BUAH SUKUN (Bread fruit) ................................................................. 4 2.3 PRAGELATINISASI PATI .................................................................... 6 III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 9 3.1 BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 9 3.1.1 Bahan............................................................................................. 9 3.1.2 Alat ................................................................................................ 9 3.2 PROSEDUR PENELITIAN .................................................................. 10 3.2.1 Karakterisasi Tepung Sukun Alami .............................................. 10 3.2.2 Produksi Tepung Sukun Pragelatinisasi ........................................ 10 3.2.3 Karakterisasi Tepung Sukun Pragelatinisasi ................................. 10 3.3 RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................ 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 14 4.1 PRODUKSI TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI ......................... 14 4.2 KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI ............. 20 4.2.1 Komposisi Kimia Tepung Sukun Pragelatinisasi .......................... 20 4.2.2 Sifat Fisik Tepung Sukun Pragelatinisasi ...................................... 26 4.2.3 Karakteristik Sifat Fungsional Tepung sukun ............................... 35 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 49 5.1 KESIMPULAN .................................................................................... 49 5.2 SARAN ................................................................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 51 LAMPIRAN ...................................................................................................... 55
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia buah segar, kering dan tepung sukun alami ............... 16 Tabel 2. Kadar air tepung setelah proses pragelatinisasi ..................................... 19 Tabel 3. Komposisi kimia tepung sukun alami dan pragelatinisasi ..................... 21 Tabel 4. Nilai kecerahan tepung sukun alami dan pragelatinisasi ....................... 29 Tabel 5. Nilai parameter amilografi tepung sukun .............................................. 37
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Buah sukun...................................................................................... 4
Gambar 2.
Diagram alir proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ......... 11
Gambar 3.
Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap kandungan protein dan lemak tepung sukun pragelatinisasi ........... 24
Gambar 4.
Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2:30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbedaan derajat putih tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang dihasilkan.............................................................................. 27
Gambar 5.
Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbedaan warna tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang dihasilkan ...................................................................................... 28
Gambar 6.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap diagram warna ............................................................................................ 30
Gambar 7.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap bentuk granula tepung sukun alami dan pragelatinisasi dengan perbesaran 200 kali ........................................................................ 31
Gambar 8.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap mikroskopik tepung sukun pragelatinsasi pada mikroskop cahaya terpolarisasi (perbesaran 200 kali) ................................................. 32
Gambar 9.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap uji iod tepung sukun pragelatinisasi .......................................................... 35
Gambar 10. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap sifat amilografi tepung sukun pragelatinisasi ......................................... 38 Gambar 11. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbandingan kelarutan dan swelling power antara suhu 70 C dan 30 C .............................................................................................. 41 Gambar 12. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap kejernihan pasta dan freeze thaw stability ...................................... 44
vii
Gambar 13. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap daya cerna dengan enzim α-amilase ............................................... 47 Gambar 14. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap DP dengan enzim α-amilase........................................................... 47
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun dari Badan Litbang Kehutanan ..................................................................................... 56 Lampiran 2. Karakterisasi Komposisi Kimia Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi ............................................................................... 57 Lampiran 3. Karakterisasi Sifat Fisik Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi . 60 Lampiran 4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi ............................................................................... 62 Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Karakterisasi Tepung sukun ...................... 68 Lampiran 6. Analisis sidik ragam(Rancangan Acak Kelompok) dan Uji Duncan 77
ix
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan penduduk Indonesia yang mengalami peningkatan 2,2 juta jiwa per tahun tersebut akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Namun, peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan ini tidak diikuti oleh peningkatan produksi beras. Produksi padi pada tahun 2010 diperkirakan 32,65 ton, sedangkan kebutuhan beras pada tahun tersebut 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi kekurangan pasokan beras sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan pasokan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020 (Saragih, 2008). Sektor
pertanian
memiliki
peran strategis
antara
lain
yaitu
menghasilkan bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap pangan terutama beras, terus meningkat. Padahal sebagaimana dimaklumi upaya peningkatan produksi beras di tanah air tidak mudah untuk dilakukan karena sudah mengalami kejenuhan. Namun upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus terus dilakukan. Fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat, melemahkan ketahanan pangan, dan menghadapi kesulitan dalam pengadaannya. Pemerintah bekerjasama dengan Departemen Kehutanan selama 4 tahun terakhir ini tengah menggalakkan penanaman sejuta pohon untuk mengurangi resiko global warming. Salah satu pohon yang dianjurkan untuk ditanam adalah pohon sukun yang diharapkan selain dapat mengurangi resiko global warming juga dapat membantu pemenuhan diversifikasi pangan di Indonesia. Tanaman sukun dapat tumbuh baik di segala macam tanah juga dapat tumbuh di dataran rendah, sedang hingga mencapai ± 600m/dpl (Pitojo, 1992). Sukun dapat mulai berbuah pada umur 5 tahun hingga 50 tahun. Setiap kali berbuah dapat menghasilkan 400 buah per pohonnya (Soeseno, 1977). Data ini menunjukkan bahwa sukun potensial untuk dikembangkan.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa dari setiap 100 g buah sukun segar mengandung 27,12 g karbohidrat, 108 kalori, 17 mg kalsium, 29 mg vitamin-C, dan 490 mg kalium, sedangkan dari setiap 100 g sukun tua yang diolah menjadi tepung bisa menghasilkan energi sebanyak 302 kalori dan karbohidrat 78,9 g. Dari kandungan kalori dan karbohidrat yang dihasilkan mendekati kandungan yang dimiliki beras yaitu 360 kalori dengan karbohidrat 78,9 g (FAO, 1972). Ditengah kelangkaan pangan dewasa ini, maka sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg) dapat merupakan alternatif sumber karbohidrat, disamping itu salah satu komoditas buah yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi karena dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan sebagai pangan alternatif pengganti beras. Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan makanan masih terbatas secara tradisional yaitu direbus, digoreng, dibuat keripik, dibuat kolak, dan difermentasi jadi tape. Salah satu kelemahan pati alami adalah ketidakmampuannya untuk mengembang (swelling) dalam air dingin (Fleche, 1985). Hal ini menyebabkan tidak dapat digunakan dalam beberapa aplikasi industri, khususnya obat-obatan. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan modifikasi pati secara fisik yaitu dengan modifikasi pati pragelatinisasi. Keterbatasan pemanfaatan buah sukun disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi sukun, sehingga upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai ekonominya diperlukan usaha penganekaragaman jenis produk olahan sukun.
1.2 TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tepung sukun termodifikasi dengan mengamati pengaruh perbandingan konsentrasi tepung dan kecepatan putar drum dryer terhadap karakteristik sifat fisiko kimia dan fungsional dari tepung sukun pragelatinisasi yang dihasilkan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TANAMAN SUKUN Tanaman sukun, Artocarpus altilis termasuk dalam genus Artocarpus, famili Moraceae, ordo Urticales dan sub kelas Dycotyledone. Tanaman ini tanaman tropik sejati yang tumbuh baik di daerah dataran rendah (Sturrock (1940) di dalam Yohani (1995)). Tanaman sukun baik di daerah basah tetapi masih dapat tumbuh di daerah yang kering serta aerasi tanah yang baik akan menunjang pertumbuhannya (Terra (1952) di dalam Doni (2002)). Berdasarkan FAO (1982), tanaman sukun dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan sekitar 1500-2500 mm dan suhu sekitar 21-35ºC. Menurut Pitojo (1992), tanaman sukun dapat ditanam hampir di segala jenis tanah, sehingga memiliki daerah penyebaran luas. Tumbuh dengan baik di dataran rendah, dataran sedang hingga mencapai kurang lebih 600 m dpl. Pengembangbiakan tanaman sukun dilakukan secara vegetatif. Metode yang sering digunakan yaitu pembiakan dengan tunas akar. Akar dipotong atau dimemarkan dan dibiarkan sampai tumbuh tunas. Selain dengan tunas akar dapat pula dilakukan dengan cara cangkok, okulasi, dan stek (Pepenoe (1920) di dalam Yohani (1995)). Tunas tanaman ini dapat diperoleh dengan menyemaikan potongan akar yang telah direndam dulu dalam larutan asam butirat yang mengandung indol satu persen (Chandler, 1958). Ketinggian tanaman sukun dapat mencapai 15-20 m dengan diameter pohon mencapai 0,60 m. Daun tanaman sukun bertulang tangan dengan panjang 22,5-60,0 cm dan lebar 20,0-50,0 cm. Daun berbentuk tangan dengan lekukan-lekukan yang dalam dan bergelombang. Pada satu helai daun terdapat lima sampai Sembilan lekukan. Permukaan daun mengkilap dan bagian bawahnya hijau suram serta berbulu-bulu halus (Allen, 1967). Bunga tanaman sukun terdapat diantara daun pada pucuk cabang. Bunga jantan dan betina terdapat dalam satu pohon. Sukun termasuk tanaman berumah satu, penyerbukannya antara bunga jantan dan bunga betina akan menghasilkan buah, tetapi buah sukun kebanyakan tidak berbiji, sehingga sulit untuk mendapatkan bibitnya dari biji (Allen, 1967).
Pohon sukun mulai berbuah setelah berumur lima sampai tujuh tahun dan akan terus berbuah sampai umur 50 tahun. Dalam usia lima tahun akan diperoleh buah sukun sebanyak 400 buah per tahun (Soesono, 1977). Musim panen sukun dua kali setahun. Panen raya bulan Januari-Februari dan panen susulan pada bulan Juli-Agustus. Perubahan musim panen dipengaruhi oleh musim penghujan (Pitojo, 1992). 2.2 BUAH SUKUN (Bread fruit) Buah sukun berbentuk hampir bulat atau bulat panjang. Pada buah yang telah matang diameternya dapat mencapai sampai 10 inci (19,24-25,4 cm) dan berat kurang lebih 4,54 kg. Kulit buah masih muda berwarna hijau dan daging buah berwarna putih kekuningan (Allen, 1967). Buah sukun termasuk golongan buah klimaterik. Puncak klimaterik dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasi yang berlangsung cepat. Pola respirasi buah sukun sama dengan pola respirasi buah papaya, tetapi kecepatan respirasi buah sukun lima kali lebih cepat (Thompson et al., 1974).
Gambar 1. Buah sukun (www.wordpress.com) Buah sukun yang terdiri dari kulit, daging (pulp), serta hati dan gagang memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat. Menurut Graham dan De Bravo (1981), bagian daging merupakan bagian yang terbesar dari buah sukun (62,873,9%). Komposisi kimia buah sukun yang dikemukakan oleh FAO (1972), kandungan gizi dan mineral dalam 100 g sukun yaitu protein 2 g, lemak 0,3 g, pati 28 g, kalsium 21 g, fosfor 59 mg, besi 0,4 mg, vitamin B1 0,12 mg, dan
4
vitamin C 17 mg. Bila dibandingkan dengan beras, maka sukun lebih unggul dalam hal kandungan fosfor, kalsium, protein, vitamin B1 dan vitamin C. Bagian hati buah sukun berintikan sel-sel parenchyma yang dikelilingi oleh jaringan pembuluh xilem atau floem. Apabila buah dibelah, jaringan pembuluh ini mudah berubah warna karena aktivitas enzim oksidatif, sedangkan perubahan warna pada buah relatif sangat lambat (Reeve (1974) di dalam Doni (2002)). Menurut Graham dan De Bravo (1981), semua bagian dari buah sukun (kulit, gagang, hati dan daging) dengan tingkat kematangan yang berbeda mengandung nilai gizi yang berbeda. Kandungan protein bervariasi dari 4,65,9% pada kulit, 6,0-7,6% pada hati dan gagang, dan 3,8-4,1% dalam daging buah. Kandungan lemak kasar bervariasi dari 2,3-3,9% pada kulit, 1,6-4,6% dalam hati gagang, dan 1,1-2,6% dalam daging. Buah sukun yang sering digunakan untuk konsumsi yaitu buah yang sudah matang. Penggunaan buah yang sudah matang memiliki beberapa kendala, yaitu mudah terjadi pelunakan buah dalam waktu yang singkat, sehingga tidak dapat dimakan. Hal ini disebabkan karena buah sukun yang memiliki pola respirasi yang cepat (Thompson et al., 1974). Suhu penyimpanan sukun yang tinggi (27ºC) menyebabkan buah akan menjadi lunak dalam waktu yang lebih singkat bila dibandingkan suhu simpan yang lebih rendah (12,5ºC). Akan tetapi proses pematangan pada suhu simpan yang rendah akan berjalan secara tidak normal. Warna buah matang yang berubah dari hijau kekuningan menjadi coklat buram (Thompson et al., 1974). Konsumsi buah sukun umumnya dilakukan setelah digoreng, direbus dan dibuat kripik. Di Maluku buah sukun sering dibakar utuh kemudian baru dikupas dan dipotong-potong untuk dijadikan kolak. Buah sukun akan dapat disimpan lama dalam bentuk kering seperti gaplek pada ubi atau dalam bentuk tepung (Soeseno, 1977). Cadangan pati buah sukun terdapat dalam sel perensima. Ukuran sel ini berkisar antara 30-70 µm, sedangkan diameter granula pati kira-kira 10 µm (Reeve (1974) di dalam Utami (2009)). Ukuran diameter pati ini lebih besar
5
dari pada pati beras. Kadar pati buah sukun sama dengan nilai pati ubi jalar dan lebih besar dari pati kentang (Miller et al., 1936). 2.3 PRAGELATINISASI PATI Ciptadi dan Machfud, (1990) menyatakan bahwa pati termodifikasi dapat didefenisikan sebagai pati yang telah mengalami modifikasi baik secara kimia, fisika, maupun enzimatik. Pati yang telah mengalami modifikasi umumnya memiliki sifat fisik dan kimiawi yang lebih baik seperti peningkatan tingkat kejernihan pasta, stabilitas, ketahanan terhadap retrogradasi dan peningkatan freeze-thaw stability (Angboola et al., 1991). Sifat fisik pati alami yang belum termodifikasi dan padatan koloid yang terbuat dari pati alami pada pemanasan suspensinya menyebabkan keterbatasan penggunaannya pada berbagai aplikasi komersial. Berdasarkan aplikasi penggunaannya, kelemahan-kelemahan ini mencakup sifat mengalir yang lemah atau ketidakmampuan granula pati mengikat air; viskositas yang tidak terkontrol setelah pemasakan; kohesif atau tekstur yang seperti karet pada pati yang telah dimasak seperti pada pati jagung, kentang dan tapioka; sensitivitas pati yang telah dimasak untuk pecah/hancur selama pemasakan lanjutan ketika diperlakukan dengan mechanical shear atau pH rendah; kejernihan pasta yang rendah dan kecenderungan padatan pati yang disiapkan dari jagung, gandum dan pati biji-bijian konvensional untuk menjadi buram ketika didinginkan; dll. Modifikasi pati dikembangkan untuk mengatasi salah satu atau lebih kelamahan-kelemahan tersebut sehingga dapat digunakan pada beberapa aplikasi industri (Wurzburg, 1989). Modifikasi pati pragelatinisasi yang telah mengalami pemasakan awal dan dikeringkan dengan drum dryer menghasilkan produk yang dapat terdispersi dalam air dingin untuk membentuk suspensi yang stabil (Hodge dan Osman, 1976). Snyder (1984) menyatakan bahwa proses pengolahan pati pragelatinisasi dengan alat drum dryer yaitu sebagai berikut: pati yang telah dicampur air dengan kadar tertentu dimasukkan ke dalam ruang yang sangat panas diantara drum dryer pada suhu tertentu di atas suhu gelatinisasi bahan. Suspensi pati tersebut selanjutnya akan tergelatinisasi akibat pemasakan dan
6
secara simultan langsung dikeringkan. Tidak semua granula pati dalam proses ini tergelatinisasi. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah air yang digunakan. Anastasiades et al., (2002) menyatakan bahwa dua tahap utama dalam proses modifikasi pati pragelatinisasi dengan drum dryer ialah gelatinisasi dan pengeringan. Pada double drum dryer, gelatinisasi terjadi pada bagian tengah diantara kedua drum. Pengeringan sebenarnya terjadi setelah bahan yang telah tergelatinisasi melewati celah sempit diantara kedua drum dan membentuk lapisan tipis pada permukaan drum. Pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubuk atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain (Brennan, 1974). Pengering drum bekerja berdasarkan prinsip pengering produk cair yang dikenakan pada permukaan silinder yang berputar dengan kecepatan yang diatur. Produk cair yang menempel pada silinder secara perlahan-lahan berubah menjadi produk kering. Setelah mencapai ¾ putaran, produk kering tersebut dikikis dengan pisau pengikis sehingga terpisah dalam bentuk lapisan film (Arsdel dan Copley, 1964). Secara umum ada dua tipe alat pengering drum yang digunakan dalam industri pangan, yaitu drum tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal pembentukan film dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan. Sedangkan pada drum ganda produk dimasukkan di bagian atas pada bagian antara dua drum yang puncaknya paralel. Ketebalan film yang dihasilkan diatur dengan mengatur jarak antara kedua drum. Bahan yang akan dikeringkan harus dalam bentuk cairan pekat (Heldman dan Singh, 1981). Faktor utama yang mempengaruhi mutu produk kering hasil pengeringan silinder antara lain uap. Uap merupakan media penghantar panas yang biasa digunakan dalam proses penggilingan silinder, yaitu untuk penyediaan panas ke permukaan silinder (Doni, 2002). Keuntungan penggunaan alat-alat pengering drum ini adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis, dapat memperbaiki daya cerna, mempengaruhi sanitasi dan mengawetkan.
7
Kelemahannya adalah hanya dapat digunakan pada bahan pangan yang berbentuk bubur atau pasta dan bahan pangan yang tahan suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan, 1974).
8
III.
METODE PENELITIAN
3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan, dihasilkan dari buah sukun mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum dan untuk pembuatan tepung disajikan pada Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah H2SO4 pekat, katalis (CuSO4 dan Na2SO4), akuades, NaOH, NaN3, pelarut organik (heksan), etanol 95%, larutan Iod, indikator (kanji, PP, mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)), akuades, HCl, NaOH, α-amilase. 3.1.2 Alat Peralatan
utama
yang
digunakan
untuk
membuat
pati
pregelatinisasi pada penelitian ini adalah drum dryer dengan tipe double drum serta memiliki ukuran diameter dan panjang drum berturut-turut sebesar 12 dan 8 inci serta panas permukaan 80±5 C. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah desikator, oven, cawan porselen, cawan aluminium, cawan petri, termometer, ukur, gelas piala, pengaduk, erlenmeyer, pipet volumetrik, timbangan digital, mikroskop cahaya terpolarisasi,
mikroskop
saringan/ayakan,
kertas
cahaya
biasa,
saring,
tabung
stopwatch, reaksi,
alat
destilasi,
spektofotometer,
micrometer, pemanas bunsen, tanur, labu Kjedahl, alat destilasi, otoklaf, penangas
air,
alat
soxhlet,
Brookfield
Viscometer,
Brabender
Viscoamylograph, freezer, incubator shaker dan pendingin tegak.
3.2 PROSEDUR PENELITIAN 3.2.1 Karakterisasi Tepung Sukun Alami a.
Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Tepung sukun Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung sukun meliputi bentuk dan
ukuran granula pati, pengamatan sifat birefringence pati, analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat by difference), kadar pati, derajat putih, bentuk dan ukuran granula. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2 dan 3. b.
Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun Pengamatan terhadap sifat fungsional meliputi sifat amilograf
(suhu gelatinisasi, maksimum viskositas, breakdown dan set up viscosity serta viskositas akhir), solubilitas/kelarutan pada suhu 30 dan 70°C dan swelling power, kejernihan pasta, freez-thaw stability dan apparent viscosity. Sifat digestibilitas/resistensi pati diukur dengan menggunakan enzim α-amilase (daya cerna dan derajat polimerisasi). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 4. 3.2.2 Produksi Tepung Sukun Pragelatinisasi Sukun dan air dicampurkan dengan konsentrasi padatan 20% dan 30%. Campuran pati ini kemudian dipanaskan dan dikeringkan dengan menggunakan alat drum dryer pada suhu diatas suhu gelatinisasinya. Pada proses pemanasan dan pengeringan ini memakai suhu berkisar 80±5ºC (Endahsari, 1999). Setelah pemanasan dan pengeringan ini selesai dilanjutkan dengan penggilingan dengan hammer mill. Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 2. 3.2.3 Karakterisasi Tepung Sukun Pragelatinisasi a.
Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Tepung sukun Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung sukun meliputi bentuk dan
ukuran granula pati, pengamatan sifat birefringence pati, analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat by difference), kadar pati, derajat putih, bentuk dan ukuran granula. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
10
b.
Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun Pengamatan terhadap sifat fungsional meliputi sifat amilograf
(suhu gelatinisasi, maksimum viskositas, breakdown dan set up viscosity serta viskositas akhir), solubilitas/kelarutan pada suhu 30 dan 70°C dan swelling power, kejernihan pasta, freez-thaw stability dan apparent viscosity, Sifat digestibilitas/resistensi pati diukur dengan menggunakan enzim α-amilase (daya cerna dan derajat polimerisasi). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 4.
500g Tepung Sukun alami
Air distilata
Pencampuran Bahan (konsentrasi padatan 20%, 30%)
Pemanasan dan Pengeringan dengan Drum Dryer (Suhu 80±5ºC) Kecepatan putar drum 4,6,dan 8 rpm
Penggilingan dengan Hammer Mill lolos saring 60 mesh
Tepung Sukun Pragelatinisasi
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi
11
3.3 RANCANGAN PERCOBAAN Karakterisasi tepung sukun disebabkan oleh pengaruh perbedaan konsentrasi padatan dan perbedaan putaran drum dryer (rotation per minute/rpm). Konsentrasi padatan yang digunakan adalah 20% dan 30%, untuk kecepatan putar drum drum yang digunakan adalah 4, 6, dan 8 rpm. Jenis sumber keragaman ini yang menitik beratkan rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Menurut Walpole (1993), percobaan acak lengkap faktorial perlakuannya merupakan semua kemungkinan kombinasi dua kriteria dan bahan percobaannya cukup tersedia untuk satu atau lebih untuk perlakuan tersebut. Pada penelitian ini (data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5), ada 6 kombinasi yang mungkin dari 2 jenis konsentrasi padatan dan 3 jenis kecepatan putar drum drum dan memiliki 2 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Model persamaan untuk semua kemungkinan kombinasi dua kriteria adalah sebagai berikut: Yijm = µ + Ai + Rj +(AR)ij+ єm(ij) Keterangan: Yijm = Nilai pengamatan untuk konsentrasi (A) ke-i dan kecepatan putar drum drum ke-j serta ulangan ke-m µ
= Rataan
Ai
= Pengaruh ke-i untuk perbedaan konsentrasi
Rj
= Pengaruh ke-j untuk perbedaan kecepatan putar drum drum
ARij
= Interaksi antara pengaruh perbedaan konsentrasi ke-i dan perbedaan kecepatan putaran drum ke-j
єm(ij) = galat/kesalahan percobaan (m=1,2 untuk semua i,j)
Keterangan faktor konsentrasi padatan (i=1 dan 2): A1 : Konsentrasi padatan sebanyak 20% A2 : Konsentrasi padatan sebanyak 30%
12
Keterangan faktor kecepatan putar drum drum ( j=1, 2, dan 3): R1 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 4 rpm R2 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 6 rpm R3 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 8 rpm Setelah dilihat dari analisis varian jika ditemukan data yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan karena uji ini memiliki nilai kritis yang tidak tunggal tetapi mengikuti urutan rata-rata yang dibandingkan (Nawari, 2010). Untuk ANOVA dan uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran 6.
13
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PRODUKSI TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI Tanaman sukun berasal dari daerah New Guinea Pasifik yang kemudian dikembangkan di daerah Malaysia sampai ke Indonesia. Buah sukun berbentuk bulat agak lonjong seperti buah melon. Warna kulit buah hijau muda sampai kuning kecoklatan. Ketebalan kulit berkisar antara 1-2 mm. Buah muda permukaan kulit buahnya kasar dan menjadi halus setelah buah tua. Tekstur buah saat mentah keras, dan menjadi lunak-masir setelah matang. Daging buah berwarna putih, putih kekuningan dan kuning, tergantung jenisnya. Rasa buahnya saat mentah agak manis dan manis setelah matang, dengan aroma spesifik. Ukuran berat buah dapat mencapai 4 kg. Panjang tangkai buah (pedicel), berkisar antara 2,5-12,5 cm tergantung varietas. Produksi buah sukun
dapat mencapai 50-150 buah/tanaman.
Produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata 200-300 buah per musim.
Untuk setiap hektar
lahan dapat menghasilkan buah sukun
sebanyak 16-32 ton. Budidaya tanaman sukun secara monokultur jarang dilakukan. Umumnya pohon sukun ditanam sebagai tanaman pinggiran, untuk penghalang angin, atau kadang – kadang sebagai pelindung tanaman kopi. Musim panen sukun biasanya dua kali setahun, yaitu bulan Januari – Pebruari dan Juli – September (Widowati, 2003). Berdasarkan kadar karbohidrat yang cukup tinggi (27,12%), buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produknya. Pada umumnya umbi-umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas.
Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara
sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencoklatan karena
enzim merupakan reaksi antara oksigen dan suatu senyawa phenol yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase. Terjadinya reaksi pencoklatan ini diperkirakan melibatkan perubahan dari bentuk kuinol menjadi kuinon (Winarno, 2002). Kendala dalam pembuatan tepung
sukun ialah terjadinya warna
coklat saat diproses menjadi tepung. Untuk menghindari terbentuknya warna coklat pada tepung yang dihasilkan, usahakan sesedikit mungkin terjadinya kontak antara bahan dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah yang telah dikupas dalam air bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara diblansir atau direndam dalam larutan garam 1%. Lama
pengkukusan
tergantung sedikit banyaknya bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin tua buah semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati et al., 2001). Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 g, rendemen daging buah 81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11-20% dan menghasilkan rendemen tepung sebesar 10-18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60oC. Bila pengeringan dengan sinar matahari lama pengeringan tergantung cuaca. Pada udara yang cerah, lama pengeringan sekitar 1 - 2 hari. Buah sukun mengandung air dalam jumlah yang sangat besar sekitar 80% pada buah segar (Tabel 1), apalagi dengan sifatnya sebagai buah klimaterik sehingga mudah sekali rusak. Oleh karena itu, buah sukun disimpan dalam bentuk dikeringkan. Menurut Peters and Wills (1959), sukun yang sudah dikeringkan dapat disimpan selama satu tahun tanpa mengalami kerusakan. Coenen dan Barrau (1961) menambahkan, pengawetan buah sukun dengan cara penjemuran dalam bentuk sheet dapat tahan lebih dari tiga tahun. Pengawetan cara ini dilakukan oleh orang Mikronesia. Buah
15
berbentuk sheet yang telah kering berwarna coklat, biasanya disebut “tipak”. Komposisi kimia buah sukun kering, basah dan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar air suatu bahan penting untuk diketahui. Menurut Lyne (1976), kadar air yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya kapang (jamur) serta mikroorganisme lainnya dan hal ini juga mempengaruhi sifat kelarutan pati dalam air. Winarno (2002) menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Tabel 1. Komposisi kimia buah segar, kering dan tepung sukun alami Komposisi Kimia
Tepung Sukun Alami (Bahan Baku)
Buah Segar (%) *)
Buah Kering (%) *)
3.5373 0,4288 5,0278 3,6708
80,00 0,80 0,12 0,50
8,00 4,20 4,70 2,10
5,0440
6,52
8,43
82,2865
-
-
31,6
12,00
72,00
Air (% bb) Abu (% bk) Protein (% bk) Lemak (% bk) Serat kasar (% bk dan defatted) Karbohidrat (by difference) (% bk) Pati (%bk) Peters and Wills (1959)
*)
Abu merupakan zat organik sisa pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu mencerminkan kualitas yang semakin tidak baik, karena dalam kandungan nutrisi tepung tersebut banyak terdapat mineralmineral anorganik. Analisa kadar abu dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tepung yang digunakan baik kualitasnya karena kadar abunya kecil yang berarti kandungan mineral anorganiknya kecil. Kadar protein tepung sukun alami seperti terdapat pada Tabel 1 yaitu 5,0278% (bk). Kadar protein pada buah kering sekitar 4,2%. Kadar protein tepung sukun alami yang cukup tinggi membuat tepung sukun alami cocok untuk panganan. Dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung
16
mineral dan vitamin lebih lengkap tetapi nilai kalorinya rendah, sehingga dapat digunakan untuk makanan diet (Widowati, 2003). Keberadaan lemak dalam berbagai jenis pati mempengaruhi sifat fisiknya. Lemak membentuk senyawa kompleks dengan amilosa dalam granula pati. Fraksi linier amilosa membentuk heliks yang mengikat substansi polar lemak. Senyawa kompleks amilosa dan lemak tidak larut dalam air namun dapat dipisahkan dengan pemanasan pada suhu tertentu. Senyawa ini cenderung menghambat granula pati untuk larut dan mengembang dalam air. Keberadaan lemak juga menimbulkan masalah yaitu kecenderungannya berbau tengik dalam penyimpanan (Swinkles, 1985). Kadar lemak yang terlihat pada hasil analisis lebih besar daripada buah kering, Hal ini dapat disebabkan oleh gum atau getah yang ada pada sukun ikut terbaca sebagai lemak. Kadar serat kasar yang dikandung dari tepung sukun pragelatinisasi hampir sama dengan buah kering. Perhitungan kadar serat kasar ini dikurangi dengan kadar air dan juga kadar lemak. Kadar serat yang dimiliki tepung sukun alami sekitar 8,5861 (%bk dan defatted). Pengukuran
nilai
karbohidrat
ini
diperoleh
dari
perhitungan
carbohydrate by difference yaitu penentuan karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar dengan cara mengurangi nilai 100% terhadap nilai kadar air, abu, serat kasar, lemak dan protein. Kadar karbohidrat pada tepung sukun alami mencapai 82,2865 (%bk). Pati merupakan komponen utama dalam tepung. Kadar pati merupakan salah satu kriteria penting dalam bahan pangan maupun non-pangan. Pati secara khusus merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia dan khususnya negara sedang berkembang. Kadar pati tepung sukun alami adalah sebesar 31,6 %. Pati terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Modifikasi ini dilakukan untuk membuat suatu produk pati atau tepung yang dapat mengurangi kelemahan dari tepung atau pati alaminya. Salah satu kelemahan yang ingin dikurangi adalah ketidaklarutan dalam air dingin, yang dengan adanya modifikasi ini diharapkan tepung tersebut dapat larut dan mengembang (swelling) dalam air dingin. Karakteristik yang seperti ini sangat
17
penting bagi industri pengguna pati yang tidak memiliki peralatan pemasakan yang baik (Jarowenko, 1989). Proses produksi pembuatan tepung pragelatinisasi ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu persiapan bahan, proses pemasakan dan pengeringan, dan yang terakhir proses penggilingan. Proses produksi ini harus dilakukan secara bertahap agar hasil yang diinginkan dapat diperoleh. Proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ini dibuat dengan menggunakan pengering drum dryer tipe double drum dan dengan ukuran diameter dan panjang berturut-turut adalah 12 dan 8 inci. Permukaan drum terbuat dari bahan logam stainless steel. Tahapan persiapan bahan dilakukan dengan mencampurkan air distilata dengan tepung sukun alami dengan formulasi tertentu dalam bentuk suspensi. Formulasi yang digunakan adalah 20% dan 30% total padatan. Formulasi ini diharapkan dapat memaksimalkan proses pengeringan. Hasil dari proses ini akan didapatkan tepung sukun pragelatinisasi yang karakteristiknya diinginkan oleh konsumen. Menurut Winarno (2002), konsentrasi terbaik untuk membuat larutan gel adalah 20%; makin tinggi konsentrasi, gel yang terbentuk makin kurang kental dan setelah beberapa waktu viskositas akan turun. Tahapan yang kedua merupakan tahapan paling utama dalam penelitian ini. Tahapan ini meliputi proses pemanasan dan pengeringan pada suhu diatas suhu gelatinisasi tepung sukun alami (80±5 C). Tahapan ini dilakukan dengan menuangkan suspensi tepung dan air secara perlahan, kemudian suspensi dipanaskan dan dilanjutkan dengan proses pengeringan pada permukaan drum dryer. Kecepatan drum dryer diatur sebesar 4, 6, dan 8 rpm. Kecepatan ini akan mempengaruhi produk akhir hasil pengeringan. Setelah itu pati atau tepung yang mengalami pengeringan akan dipotong menggunakan slicer (pisau pemotong) yang terdapat pada alat drum dryer. Menurut Ariwibowo (2006), semakin lambat putaran drum akan menghasilkan pati yang semakin banyak tergelatinisasi. Hasil dari tahapan ini didapatkan lembaran tepung pragelatinisasi dalam bentuk film, tebal dan tidak beraturan dimensinya.
18
Tahapan yang terakhir adalah penggilingan. Penggilingan ini menggunakan hammer mill dengan ukuran penyaring sebesar 60 mesh. Hal ini disebabkan karena hasil dari pengeringan tidak rata. Tujuan dari penggilingan ini adalah menyeragamkan dan memperkecil ukuran agar mempermudah proses analisis dan mempermudah penyimpanan. Perbedaan konsentrasi padatan pada penelitian ini mempengaruhi penampilan tepung sukun pragelatinisasi. Perlakuan A1 dengan konsentrasi padatan 20%, yang penambahan airnya lebih banyak menghasilkan lembaran produk yang mudah hancur dan tipis. Perlakuan A2 dengan konsentrasi padatan 30% yang penambahan airnya lebih sedikit menghasilkan lembaran yang lebih tebal, relatif lebih kuat dan warnanya lebih buram daripada perlakuan A1. Hasil dari data ini menunjukkan bahwa penambahan air yang lebih banyak akan membuat kemungkinan granula pati yang tergelatinisasi di atas suhu gelatinisasi bahan lebih besar. Selain konsentrasi, kecepatan juga mempengaruhi tampilan lembaran tepung pragelatinisasi. Semakin cepat putaran drum maka produk yang dihasilkan lebih cerah. Hal ini terlihat pada putaran tercepat (8 rpm) lebih cerah daripada putaran drum terkecil (4 rpm) yang warnanya lebih gelap. Pengamatan ini menunjukkan semakin lambat putaran drum maka kontak bahan dengan drum semakin lama sehingga tepung atau pati yang tergelatinisasi semakin banyak yang menyebabkan warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh adanya pemanasan terhadap gula-gula sederhana yang mengalami reaksi Maillard. Tabel 2. Kadar air tepung setelah proses pragelatinisasi Perlakuan Kadar air Awal Proses A1R1 3,75 A1R2 2,38 A1R3 3,21 A2R1 2,75 A2R2 3,00 A2R3 3,39 Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%) R (Kecepatan kecepatan putar drum drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
19
Kadar air setelah proses harus segera diukur karena ingin mengetahui apakah ada perbedaan kadar air sebelum atau sesudah proses dengan perbedaan konsentrasi padatan dan kecepatan putar drum. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan air yang banyak akan menghasilkan kadar air
yang
tinggi.
Perlakuan
dengan
konsentrasi
padatan
terbanyak
memperlihatkan adanya pengaruh kecepatan kecepatan putar drum drum pada kadar air bahan tersebut. Semakin cepat putaran semakin tinggi kadar airnya. Hal ini disebabkan oleh semakin kecil putaran maka kontak bahan dengan drum akan semakin lama, sehingga membuat lebih banyak air yang diuapkan, sedangkan pada konsentrasi padatan 20% terlihat bahwa kecepatan putar drum drum 6 rpm memiliki kadar air yang paling kecil. Kecilnya kadar air ini kemungkinan terjadi karena pada perlakuan ini merupakan kombinasi yang paling baik untuk kadar air dimana banyaknya air yang ditambahkan dan kontak bahan dengan drum sudah pada kondisi yang optimal. Kecepatan putar drum 4 dan 8 rpm memiliki kadar air yang lebih tinggi karena pada kecepatan putar drum ini telah mengalami pragelatinisasi sehingga produk cenderung lebih higroskopis. Dari hasil uji sidik ragam pada Lampiran 6 terlihat bahwa kecepatan putar drum dan konsentrasi tidak berbeda nyata terhadap kadar air. 4.2 KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI 4.2.1 Komposisi Kimia Tepung Sukun Pragelatinisasi Analisa yang digunakan untuk komposisi kimia tepung sukun pragelatinisasi ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, serat kasar dan karbohidrat (by difference). Analisa ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan komposisi kimia yang terjadi setelah proses pembuatan tepung pragelatinisasi ini. Ciptadi dan Machfud (1980) menyatakan bahwa pati termodifikasi dapat didefinisikan sebagai pati yang telah mengalami modifikasi baik secara kimia, fisika, maupun enzimatik. Tepung sukun pragelatinisasi yang terdapat dalam penelitian ini adalah tepung modifikasi yang mengalami modifikasi secara fisika.
20
Tabel 3. Komposisi kimia tepung sukun alami dan pragelatinisasi Komposisi kimia Serat Karbohidrat Perlakuan Air Abu Protein Lemak kasar (% (by (%) (% bk) (% bk) (% bk) bk dan difference) defatted) (% bk) A0R0 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
3,537 2,237 1,876 2,721 2,438 2,048 2,844
0,429 0,332 0,402 0,387 0,384 0,382 0,510
5,028 3,694 4,060 3,977 4,824 4,019 4,315
3,671 1,004 2,249 2,576 2,070 2,789 2,494
5,044 11,037 8,536 8,060 10,200 10,613 4,879
82,286 82,953 82,547 82,493 80,501 79,464 85,377
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%) R (Kecepatan kecepatan putar drum drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
Kadar air dalam suatu bahan akan mempengaruhi umur simpan bahan tersebut. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka kemungkinan bahan itu rusak dan tidak tahan lama akan lebih besar. Kadar air pada pati dipengaruhi oleh proses pengeringan. Proses pengeringan yang maksimal tanpa merusak struktur pati akan menghasilkan pati yang tahan lama. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan dapat dihambat. Batas kadar air minimum bahan dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 11-14% (Fardiaz, 1989). Masa simpan tepung terigu pada kadar air di bawah 14% adalah satu tahun. Kadar air tepung sukun pragelatinisasi yang dihasilkan lebih kecil dari terigu sehingga diharapkan tepung sukun pragelatinisasi memiliki umur simpan lebih dari satu tahun. Terlihat pada Tabel 3 bahwa kadar air pada pati pragelatinisasi cenderung lebih sedikit kadar airnya daripada kadar air tepung sukun alami. Hal ini menunjukkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi ini akan dapat disimpan lebih lama daripada tepung sukun alami. Kadar air pada tepung sukun pragelatinisasi ini juga dipengaruhi oleh kecepatan putar drum dan banyaknya konsentrasi padatan. Semakin banyak air yang ditambahkan maka semakin banyak pula air yang hilang pada proses pengeringan. Konsentrasi padatan 30% dengan jumlah
21
penambahan air lebih sedikit yaitu 70% memiliki kadar air yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena suspensi tersebut terlalu pekat sehingga air yang diuapkan (dikeringkan) lebih sedikit. Berbeda halnya dengan konsentrasi padatan 20% yang penambahan airnya 80% menguapkan air lebih banyak sehingga hasil akhir yang didapat setelah pengeringan kadar air yang dihasilkan lebih sedikit daripada konsentrasi padatan 30%. Hal ini disebabkan karena pada saat pengeringan air yang berada dalam bahan keluar hingga mencapai titik keseimbangannya. Ketiga kecepatan putar drum ini memiliki perbedaan pada hasil akhir kadar airnya. Kadar air pada 6 rpm adalah kadar air yang paling sedikit dari antara ketiganya. Hal ini kemungkinan disebabkan pada kecepatan 6 rpm adalah kecepatan optimal dimana air sudah teruapkan dengan sempurna. Pada kecepatan 8 rpm terlihat bahwa kadar airnya paling tiggi diantara ketiga kecepatan putar drum tersebut. Hal ini disebabkan karena semakin cepat drum berputar maka semakin sedikit peluang bahan kontak dengan drum sehingga kadar airnya lebih banyak. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang dimiliki suatu bahan. Abu merupakan residu organik dari pembakaran bahan-bahan organik setelah bahan dipanaskan pada suhu 500-600 °C yang biasanya mengandung magnesium, kalsium, natrium, klor, fosfor, besi, mangan dan lain-lain. Abu umumnya merupakan partikel halus dan berwarna putih abu-abu (Sudarmadji et al., 1996). Makin tinggi kadar abu suatu bahan maka semakin tinggi kandungan mineral yang dimiliki bahan tersebut sehingga dapat menentukan nilai gizi. Kadar abu juga dapat berasal dari kontaminasi lingkungan. Pada saat bahan ditanur atau dibakar, mineral yang terkandung di dalamnya tidak ikut terbakar. Kadar abu adalah komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Menurut Soebito (1988), secara kuantitatif nilai kadar abu yang dihasilkan berasal dari mineral abu dalam bahan umbi segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Dari uji sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tidak
22
ada pengaruh perbedaan konsentrasi dan kecepatan putar drum terhadap kadar abu. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan 80±5°C tidak menghilangkan residu anorganik seperti kalsium, natrium, klor, fosfor, besi, mangan dan lain-lain. Residu anorganik ini bahkan tidak hilang jika dipanaskan pada suhu pembakaran 500 C. Protein termasuk ke dalam komponen minor pati. Kadar protein diperoleh dari hasil analisis kandungan nitrogen yang terdapat pada bahan. Kadar protein tertinggi diperoleh dari kombinasi A2R1 (konsentrasi padatan 30% dan kecepatan putar drum 4 rpm) dan yang terendah didapatkan dari kombinasi A1R1 (konsentrasi padatan 20% dan kecepatan putar drum 4 rpm). Hasil dari data ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap penambahan air dalam suatu bahan. Semakin banyak air yang ditambahkan semakin banyak protein yang larut dalam air sehingga menyebabkan kerusakan protein. Pada kecepatan putar drum 4 rpm kemungkingan yang terjadi adalah kontak bahan dengan drum yang terlalu lama dan juga penambahan air yang 80% menyebabkan proteinprotein pada tepung sukun terdenaturasi sehingga mengalami kerusakan hingga dibawah nilai protein tepung sukun alami. Tingginya nilai protein tepung sukun alami karena belum adanya perlakuan panas yang menyebabkan protein terdenaturasi (kerusakan protein). Hasil dari uji sidik ragam (Lampiran 6) menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan terhadap nilai protein akibat penambahan air.
Konsentrasi A2 (30%)
berbeda nyata dengan konsentrasi A1(20%) dengan rataan berturut-turut adalah 4,3863 dan 3,9102. Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami perlakuan tertentu, meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan kovalen atau peptida, perubahan inilah yang dinamakan dengan denaturasi protein. Denaturasi protein dapat terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas, pH, garam, dan tegangan permukaan. Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 10 C. Suhu terjadinya
23
denaturasi
sebagian
besar
terjadi
berkisar
55-75 C
(http://kusmandanuunindra4.blogspot.com).
6.0 5.0
4.0 3.0
Kadar Protein
2.0
Kadar Lemak
1.0 0.0
Gambar 3. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap kandungan protein dan lemak tepung sukun pragelatinisasi Kandungan
lemak
dalam
pati dapat
mengganggu
proses
gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Selain membentuk kompleks dengan amilosa, lemak juga dapat menghambat proses gelatinisasi pati dengan cara lain, yaitu sebagian besar lemak akan diabsorbsi oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula pati (Collinson, 1968). Kadar lemak pada sukun ini tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh tanaman sukun yang memiliki getah. Adanya getah ini dibaca sebagai bahan yang terekstraksi oleh pelarut organik saat pengujian sehingga hasil lemaknya sangat tinggi. Menurut analisis sidik ragam (α=0,05) pada Lampiran 6, perbedaan perlakuan konsentrasi padatan, kecepatan putar drum dan juga interaksi keduanya memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak.
24
Kadar lemak tertinggi terlihat pada A2R2 (penambahan air 70% dan kecepatan kecepatan putar drum 6 rpm) sebesar 2,7894 (%bk). Tingginya kadar lemak ini disebabkan karena tingginya padatan atau larutan yang terbentuk lebih pekat dari kombinasi yang lain. Kepadatan larutan tersebut membuat tidak semua lemak ikut rusak (misalnya membuat lemak teroksidasi). Selain itu, kontak bahan dengan drum juga tidak terlalu lama sehingga membuat tingginya kadar lemak pada tepung dengan kombinasi perlakuan ini. Kadar lemak terendah terlihat pada A1R1 (penambahan air 80% dan kecepatan kecepatan putar drum 4 rpm). Rendahnya kadar lemak ini disebabkan oleh lamanya kontak bahan dengan drum dan juga penambahan air yang menyebabkan teroksidasinya lemak akibat perlakuan panas yang diterima dari drum. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin banyak penambahan air maka semakin sedikit kandungan lemaknya dan semakin lama putaran akan menyebabkan semakin sedikit kandungan lemaknya. Interaksi dari kecepatan putar drum dan penambahan air terbaik untuk kandungan lemak tertinggi adalah A2R2 dengan rataan sebesar 2,7894 dan yang terkecil adalah A1R1 dengan rataan sebesar 1,0035. Kecepatan putaran drum R3 (8 rpm) dan R2 (6rpm) berbeda nyata dengan R1 (4 rpm). Konsentrasi pada uji Duncan (Lampiran 6), menunjukkan konsentrasi A2 (30%) berbeda nyata dengan A1 (20%). Serat terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian hemiselulosa. Pati mempunyai kandungan serat yang rendah dibandingkan tepung karena pada proses ekstraksi pati sebagian serat yang berukuran kecil terbawa dalam air bersama protein larut air dan gula-gula sederhana. Kadar serat pati tergantung pada umur panen musim segar. Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan akibat dari perbedaan perlakuan penambahan air (konsentrasi padatan) dan juga kecepatan putar drum terhadap kadar serat. Kadar serat kasar tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ukuran tepung tetap sama dengan tepung sukun alami sehingga kehilangan serat akibat
25
pengecilan ukuran tidak terjadi. Kandungan serat kasar tepung dapat dikurangi dengan melakukan penyaringan yang baik. Serat kasar akan terpisah dari tepung karena terbuang bersama ampas dan serat yang berukuran kecil akan terbawa bersama air pada saat pencucian. Kadar serat yang dihitung adalah serat yang sudah dihilangkan kadar lemak (defatted) dan kadar airnya. Kadar karbohidrat tepung sukun didapatkan dari total padatan (bobot kering) dikurangi jumlah komponen air, abu, protein, lemak dan serat kasar. Hasil uji sidik ragam menunjukkan faktor perlakuan penambahan air dan kecepatan putar drum tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar karbohidrat pada tepung pragelatinisasi. 4.2.2 Sifat Fisik Tepung Sukun Pragelatinisasi Sifat fisik tepung sukun pragelatinisasi yang diamati meliputi derajat putih, bentuk dan ukuran granula serta pengamatan terhadap sifat birefringence pati, serta uji iod. Mutu tepung sukun dapat dipengaruhi oleh kualitas bahan mentah dan cara pengolahannya. Mutu tepung sukun yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan mutu tepung sukun alami. Derajat putih merupakan mutu yang dapat menunjukkan pengaruh perlakuan penambahan air dan kecepatan kecepatan putar drum. Hasil pengujian menunjukkan bahwa derajat putih tepung sukun berkisar antara 35,82-54,77%.
Hasil uji sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan
perlakuan penambahan air (konsentrasi padatan) dan kecepatan kecepatan putar drum memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih tepung, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih tepung yang dihasilkan. A1 yaitu konsentrasi padatan 20% berbeda nyata dengan A2 dengan konsentrasi padatan 30%. R1 (4 rpm) berbeda nyata dengan R2 (6 rpm) dan R3 (8 rpm). Hasil analisis sidik ragam tersebut mengindikasikan bahwa semakin banyak penambahan air (konsentrasi padatan lebih sedikit) maka bahan yang dihasilkan semakin putih. Air dalam bahan menyebabkan bahan mengkilat sehingga bahan menjadi lebih cerah. Kecepatan putar
26
drum yang semakin lambat yang berarti kontak bahan lebih lama membuat bahan yang dihasilkan lebih buram.
60 50 40 30 Derajat Putih
20 10 0
Gambar 4.
Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2:30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbedaan derajat putih tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang dihasilkan
Gambar 4 menunjukkan perbedaan tepung sukun alami A0R0 dengan tepung sukun pragelatinisasi. Tepung sukun alami lebih putih dari beberapa tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh perlakuan panas yang diberikan kepada tepung sukun. Lamanya bahan kontak dengan pemanas yang dalam penelitian ini adalah drum membuat bahan semakin coklat. Warna coklat ini terjadi karena adanya reaksi Maillard dimana menurut Winarno (2002), bahwa reaksi ini terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Selain itu, ada juga pengaruh dari denaturasi protein akibat pemanasan. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Gugus amina primer biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1.
Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff.
2.
Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa.
27
3.
Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metal furfural.
4.
Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil αdikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, aseton dan diasetil.
5.
Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (hal ini disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin.
(a) Gambar 5.
(b)
Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbedaan warna tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang dihasilkan Pengukuran warna tepung sukun pragelatinisasi dapat juga
menggunakan
kolorimeter
(colortech).
Sistem
notasi
warnanya
menggunakan sistem Hunter yang dicirikan dengan 3 parameter yaitu L, a dan b. Nilai L menyatakan kecerahan yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) dan 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai positif (0 sampai 60) untuk warna merah dan negatif (0 sampai -60) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan nilai b positif untuk warna kuning dan biru negatif. Semakin besar nilai L maka semakin cerah suatu bahan. Semakin kecil nilai a maka warna bahan yang ditunjukkan semakin putih, sedangkan jika nilai a semakin besar maka warna yang ditunjukkan
28
semakin merah. Jika nilai b semakin kecil berarti semakin biru dan bila b semakin besar berarti semakin kuning. Tabel 4 menunjukkan nilai L tepung sukun alami dan tepung sukun pragelatinisasi jauh berbeda yaitu tepung sukun alami 76,82 sedangkan kisaran untuk tepung sukun pragelatinisasi antara 69,87-72,74. Hal ini menunjukkan bahwa tepung sukun alami lebih cerah daripada tepung sukun pragelatinisasi. Tepung sukun alami memiliki nilai a sebesar 14, 62 sedangkan
tepung
sukun
pragelatinisasi
lebih
tinggi.
Hal
ini
memperlihatkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi lebih gelap. Nilai b pada tepung sukun alami lebih kecil daripada tepung sukun pragelatinisasi. Nilai whitenees yang ditunjukkan oleh tepung sukun pragelatinisasi menunjukkan bahwa tepung ini memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan tepung sukun alami. Nilai Hue dan chroma tepung sukun alami lebih kecil daripada tepung sukun pragelatinisasi. Kombinasi nilai
chroma dan Hue
menunjukkan tepung ini berwarna coklat
kekuningan seperti terlihat pada Gambar 6. Tabel 4. Nilai kecerahan tepung sukun alami dan pragelatinisasi
Perlakuan A0R0 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
L 76,82 70,81 71,47 72,74 69,87 71,38 70,23
a 14,62 15,74 15,80 15,56 16,43 16,20 16,29
b 49,23 58,83 57,21 54,94 59,23 56,41 58,65
Whiteness dengan colortech 67,23 49,99 52,57 56,54 48,58 53,44 49,63
Chroma 51,35 60,89 59,35 57,10 61,46 58,68 60,87
°Hue 73,46 75,02 74,56 74,19 74,22 73,98 74,48
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%) R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
29
A1R2
A1R1 A0R0 A1R3
A2R1 A2R3 A2R2
Gambar 6.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap diagram warna
30
A0R0
A1R1
A1R2
A1R3
A2R1
A2R2
A2R3
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%) R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
Gambar 7. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap bentuk granula tepung sukun alami dan pragelatinisasi dengan perbesaran 200 kali
31
A0R0
A1R1
A1R1
A1R2
A2R2
A1R3
A2R3
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%) R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
Gambar 8. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap mikroskopik tepung sukun pragelatinsasi pada mikroskop cahaya terpolarisasi (perbesaran 200 kali) 32
Granula pati merupakan identitas untuk setiap pati karena memiliki ukuran, bentuk dan sifat yang khas. Granula pati dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi.
Selain pengamatan
terhadap bentuk dan ukuran granula juga diamati sifat birefringencenya. Blennow (2004) menyatakan bahwa komponen utama dari granula pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilopektin dengan jumlah sekitar 75% merupakan polisakarida semi kristal rantai tinggi dengan ikatan α-1,4 dan cabang α-1,6 menyusun struktur granula, sedangkan amilosa dengan jumlah sekitar 25% bersifat amorf dalam granula dan disusun oleh rantai linier α-1,4. Perbedaan jenis tanaman tidak hanya menghasilkan jumlah yang berbeda antara amilosa dan amilopektin dalam granula tapi juga memberikan bentuk yang tepat dari molekul amilopektin. Pada granula terdapat lapisan-lapisan yang menyusun granula yang bertambah sesuai dengan jumlah karbohidrat yang dihasilkan pada setiap periode tumbuh. Granula pati dari tepung sukun yang diamati memiliki ukuran yang beragam berkisar antara 9,0-27,8 µm pada perbesaran 400 kali bentuk granula pati sukun ini tidak terpola (artinya tidak berada pada bentuk yang seragam). Gambar 7 menunjukkan granula pati pada tepung sukun alami dengan perbesaran 400 kali. Ukuran pati yang dapat diukur pada penelitian ini hanya ukuran pati tepung sukun alami. Perlakuan untuk pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ini mempengaruhi bentuk dari tepung sukun. Bentuk dari granula pati dari tepung sukun alami tidak beraturan seperti umbi yang lain. Semua bentuk granula pati dari tepung sukun alami yang terlihat menyerupai lingkaran tetapi tidak merata. Ukuran granula tepung sukun cukup besar dibandingkan dengan granula beras yang berkisar antara 3-8 µm (Bao, 2004), granula suweg sebesar 5 µm dan gembili sebesar 0,75 µm (Richana dan Sunarti, 2004). Ukuran granula yang cukup besar menunjukkan suhu gelatinisasi yang lebih rendah dan kemampuan menyerap air yang lebih besar. Ukuran granula pati yang besar akan mempengaruhi tingkat pengembangan pati. Granula pati dari tepung sukun pragelatinisasi sudah tidak terlihat lagi. Jika ada bentuknya sudah tidak beraturan lagi. Hal ini terjadi akibat
33
dari
proses
gelatinisasi
pada
proses
pengolahan
tepung
sukun
pragelatinisasi yang menyebabkan beberapa granula pati dari tepung sukun alami pecah dan tidak dapat kembali utuh seperti bentuk aslinya (irreversible). Pemanasan dan pengeringan pati alami pada suhu di atas suhu gelatinisasi yang berlangsung cepat dan spontan mengakibatkan beberapa granula pati pragelatinisasi masih utuh namun sebagian besar telah pecah/rusak (Snyder, 1984). Dari Gambar 7 dan 8 berikut terlihat bahwa kecepatan putar drum mempengaruhi bentuk granula dari pati. Kecepatan putar drum yang lebih lambat memperlihatkan lebih banyak pati yang tergelatinisasi sehingga sangat jarang ditemui adanya pati. Warna pada gambar dibawah cahaya polarisasi (warna biru dan kuning) yang biasanya menunjukkan pati bukan lagi pati untuk tepung pragelatinisasi melainkan serat yang masih ada. Gambar yang berbayang (transparan) adalah pati yang sudah tergelatinisasi. Pada tepung sukun pragelatinisasi akan didapati beberapa butiran kecil yang masih menunjukkan sifat birefringence yang menandakan adanya pati yang belum tergelatinisasi. Birefringence adalah kemampuan pati untuk merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dapat membentuk bidang berwarna biru dan kuning pada mikroskop. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih (Winarno,2002). Komponen pati berupa amilopektin mempengaruhi sifat birefringence. Menurut Hood (1981), pati yang kandungan amilopektinnya rendah menyebabkan sifat birefringence akan tampak kuat, begitu pula sebaliknya. Gambar 7 dan 8 dengan jelas menggambarkan bahwa semakin banyak air yang ditambahkan maka semakin banyak pula pati yang tergelatinisasi. Semakin lama kecepatan putar drum membuat pati semakin banyak yang tergelatinisasi. Menurut Winarno (2002), pati yang berikatan dengan iodin (I 2) akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul pati yang berbentuk spiral, sehingga akan mengikat molekul iodin dan
34
terbentuklah warna biru. Bila pati dipanaskan, spiral merenggang, molekul-molekul iodin terlepas sehingga warna biru hilang. Dari percobaan-percobaan didapat bahwa pati akan merefleksikan warna biru bila berupa polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, misalnya molekul-molekul amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh seperti amilopektin, maka akan dapat dihasilkan warna merah. Sedang dekstrin dengan polimer 6, 7, dan 8, membentuk warna coklat. Polimer yang lebih kecil dari lima tidak memberikan warna dengan iodin.
Gambar 9.
Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap uji iod tepung sukun pragelatinisasi
Gambar 9 memperlihatkan bahwa proses pemanasan yang dilakukan tidak meregangkan pati sehingga membuat warna biru masih ada. Pada uji ini glukosa, maltosa, maltodekstrin, tepung terigu dan tepung beras digunakan sebagai pembanding untuk melihat keberadaan pati. Hasil dari pengamatan ini menunjukkan bahwa pati yang terkandung baik dalam tepung sukun alami maupun dalam tepung sukun pragelatinisasi lebih dari dua puluh karena warna dari hasil uji ini biru tua. 4.2.3 Karakteristik Sifat Fungsional Tepung sukun Sifat fungsional tepung sukun pragelatinisasi yang diamati meliputi sifat amilografi, kelarutan dan swelling power, kejernihan pasta 1%,
35
Freeze-thaw stability dan apparent viscosity, Sifat digestibilitas/resistensi pati diukur dengan menggunakan enzim α-amilase. Pengukuran
sifat
amilograf
dilakukan
menggunakan
alat
Brabender amylograph yang meliputi pengukuran suhu gelatinisasi, kecepatan peningkatan viskositas pemanasan, suhu granula pecah, viskositas
maksimum,
viskositas
jatuh,
kecepatan
peningkatan
pendinginan dan viskositas balik. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati pecah dan mulai mengembang mencapai pembengkakan maksimal dan bersifat irreversible (tidak dapat kembali seperti semula). Menurut Fennema (1985), mekanisme gelatinisasi dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap awal, air secara perlahan-lahan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua yaitu, pada suhu 60 ºC sampai 85 °C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati kehilangan sifat birefringence-nya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik maka molekul-molekul pati akan terdifusi keluar granula. Menurut Winarno (2002), jika energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan granula membengkak. Menurut Leach (1965), suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati. Pola amilografi tepung sukun dapat dilihat pada Gambar 10. Suhu awal gelatinisasi pada tepung sukun alami berkisar antara 67.5°C. Suhu awal gelatinisasi tepung sukun yang tidak terlalu tinggi menyebabkan jumlah energi yang dibutuhkan pada saat gelatinisasi tidak terlalu besar sehingga dapat menghemat energi. Hasil amilografi tepung sukun dapat dilihat pada pada Tabel 5.
36
Jenis Tepung A0R0 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
Tabel 5. Nilai parameter amilografi tepung sukun Titik Awal Gelatinisasi Viskositas Breakdown Set Back Viskositas °C Maksimum Viscosity Viscosity akhir Mulai dari suhu 67,5-90, kemudian breakdown 67,5 viscosity hingga viskositas akhir terus meningkat 30 470 295 85 260 30 615 358 103 360 30 440 278 104 266 30 322 100 118 340 30 358 126 127 359 30 562 408 50 204
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 :30%) R (Kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, K2 : 6 rpm, dan K3 : 8 rpm)
Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan pati lebih banyak menyerap air, sehingga pembengkakan granula pati terjadi pada suhu yang lebih rendah. Suhu awal gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula patinya, tetapi mempunyai hubungan dengan kekompakan granula dan amilopektin berdasarkan derajat polimerisasinya. Suhu gelatinisasi juga tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lama tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Makin tinggi konsentrasi, gel yang terbentuk makin kurang kental dan setelah beberapa waktu viskositas akan turun. Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak kembali lagi ke bentuk normalnya disebut Birefringent End Point Temperature (BEPT) (Winarno, 2002). Leach (1965) menyatakan, setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama, melainkan mengembang dalam kisaran suhu 10 °C. Selain karakteristik granula, komponen lemak dan protein juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi.
37
Gambar 10. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap sifat amilografi tepung sukun pragelatinisasi
38
Wirakartakusumah (1981), melalui pengamatan mikroskopik diperoleh hasil bahwa granula pati yang lebih besar memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap perlakuan panas dan air dibandingkan granula yang lebih kecil. Adanya amilosa, mineral dan garam berpengaruh positif terhadap kekuatan gel sedangkan protein dan lemak memberikan pengaruh negatif. Viskositas optimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan (Glicksman,1969). Nilai viskositas maksimum seperti terdapat pada Tabel 5 untuk tepung sukun pragelatinisasi berkisar antara 322-615 BU. Viskositas maksimum paling tinggi untuk tepung sukun pragelatinisasi adalah kombinasi A1R2 (konsentrasi padatan 20% dan kecepatan putar drum 6 rpm). Tingginya vikositas maksimum tepung sukun membuat pati ini dapat digunakan sebagai bahan pengental. Nilai viskositas maksimum dapat membantu dalam pengukuran daya atau energi yang dipakai untuk proses pengadukan pati dalam reaktor. Tingginya kadar pati akan meningkatkan viskositas maksimum karena granula yang dimiliki tepung sukun mudah menyerap air dan membengkak. Suhu pada saat viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Granula pati akan kehilangan sifat birefringencenya dan tidak memiliki sifat kristal lagi. Break down viscosity adalah nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95 °C selama 10 menit. Nilai break down viscosity tepung sukun berkisar antara 100-408 BU. Nilai Break down viscosity yang rendah menunjukkan tingkat kehancuran granula cukup tinggi. Pada viskositas terendah ini granula akan hancur sempurna dan komponen amilosa dan amilopektin telah terpisah. Komponen amilopektin tetap tertinggal dalam granula sedangkan amilosa larut bersama air. Viskositas balik (set back viscosity) menunjukkan kemampuan retrogadasi molekul pati pada proses pendinginan. Viskositas balik merupakan selisih antara viskositas akhir dan viskositas maksimum pasta.
39
Semakin tinggi nilai viskositas balik maka semakin tinggi kemampuan pati untuk mengalami retrogadasi. Retrogadasi merupakan sifat kebalikan dari gelatinisasi. Bila gel pati didinginkan sampai suhu di bawah suhu beku, gel akan melepaskan air yang diserap. Kecepatan retrogadasi dipengaruhi oleh temperatur, ukuran, bentuk dan konsentrasi dari pati atau bahan lain. Terjadinya retrogadasi pada amilopektin dapat dikembalikan dengan cara pemanasan, namun tidak sama halnya dengan amilosa. Semakin banyak jumlah amilosa yang keluar dari pati maka kecenderungan untuk terjadinya retrogadasi semakin meningkat. Viskositas balik (set back viscosity) tepung sukun berkisar antara 50-127 BU. Nilai viskositas balik tertinggi dimiliki oleh tepung sukun pragelatinisasi A2R1 dan A2R2 masing-masing sebesar 118 BU dan 127 BU. Nilai viskositas balik menunjukkan tepung sukun pragelatinisasi A2R2 memiliki kemampuan retrogadasi lebih tinggi dibandingkan tepung sukun pragelatinisasi A2R1. Nilai viskositas balik menunjukkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi memiliki kemampuan retrogadasi yang tinggi. Viskositas akhir dari tepung sukun berkisar antara 204-360 BU. Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatant. Granula tepung sukun alami tidak larut dalam air dingin namun mengembang dalam air hangat. Untuk mengetahui nilai kelarutannya maka nilai kelarutan ini dinilai pada dua suhu yaitu suhu 30 C untuk mengindikasikan kelarutan dalam air dingin dan suhu 70°C untuk kelarutan pada air hangat. Setiap jenis pati memiliki pola karakteristik kelarutan dan swelling power yang berbedaSemakin tinggi nilai kelarutan pati menunjukkan pati tersebut
mudah larut
dalam air.
Nilai kelarutan tepung sukun
pragelatinisasi terbesar pada suhu 70ºC adalah kombinasi perlakuan A1R3 dimana pada kondisi kombinasi seperti ini adalah kondisi yang sangat baik karena
penambahan
airnya
paling
banyak
yang
memudahkan
tergelatinisasi dan juga kecepatan putar drum yang paling cepat sehingga
40
bahan mendapatkan cukup waktu untuk mengalami gelatinisasi secara optimal. Rendahnya kelarutan pada kombinasi A2R3. Hal ini diduga karena pada kombinasi ini penambahan airnya terkecil dan kecepatan putar drumnya yang paling cepat. Kecepatan putar drum yang semakin tinggi menyebabkan lama waktu bagi sejumlah pati untuk tergelatinisasi semakin sedikit padahal konsentrasi suspensi patinya paling tinggi.
70 60 50 Kelarutan 70°C (%)
40
Kelarutan 30°C (%) 30
Swelling Power 70°C (%) Swelling Power 30°C(%)
20 10 0
A0R0 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
Gambar 11. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap perbandingan kelarutan dan swelling power antara suhu 70 C dan 30 C Untuk kelarutan 30 C kombinasi perlakuan dengan nilai kelarutan tertinggi adalah A1R3. Kondisi ini adalah kondisi yang sangat baik untuk mencari nilai kelarutan. Karena pada kondisi ini granula pati telah pecah akibat gelatinisasi sehingga membuat amilosa keluar dari pati. Peristiwa keluarnya amilosa ini membuat granula pati dapat mudah larut dalam air. Dari analisis sidik ragam diketahui bahwa perbedaan perlakuan dengan perbedaan kecepatan putar drum mempengaruhi kelarutan pada suhu 30 C. R3 berbeda nyata dengan R2 dan R1. Kombinasi perlakuan A2R1 menghasilkan nilai kelarutan pada air dingin terendah. Hal ini menunjukkan pada kombinasi tersebut pati tidak
41
tergelatinisasi dengan baik. Walaupun memiliki kecepatan putar yang lambat yang membantu bahan tergelatinisasi ternyata kecepatan putar itu tidak cukup membuat pati dari tepung sukun alami ini tergelatinisasi karena suspensi pati ini lebih kental. Penambahan air yang sedikit mempengaruhi banyaknya pati yang tergelatinisasi. Hal ini mempengaruhi kelarutan suatu bahan dalam air dingin. Dapat kita bandingkan dengan tepung sukun alami sebagai kontrol bahwa tepung pragelatinisasi memiliki kemampuan kelarutan yang lebih baik daripada tepung sukun alami. Swelling power merupakan kemampuan pati mengembang dalam air atau kenaikan volume dan bobot maksimum pati saat terjadi pengembangan dalam air. Semakin tinggi nilai swelling power maka semakin meningkat kemampuan mengembang pati dalam air. Hal ini juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa pati. Semakin tinggi amilosa dalam pati menyebabkan rendahnya tingkat swelling. Hal ini mungkin disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linier sehingga memperkuat jaringan internalnya. Nilai swelling power tepung sukun pragelatinisasi terbesar pada suhu 70 ºC adalah kombinasi A2R3. Hal ini disebabkan karena pada kombinasi ini tepung sukun sudah mengalami gelatinisasi secara optimal. Nilai swelling power terendah adalah kombinasi A2R2 hal ini disebabkan penambahan
air
yang
kurang
untuk
membuat
bahan
tersebut
tergelatinisasi. Selain itu kecepatan putar yang juga tidak mengimbangi kentalnya suspensi tersebut sehingga untuk mencapai gelatinisasi optimal masih kurang. Nilai swelling power tepung sukun yang tidak terlalu tinggi menjadikan pati ini dapat diaplikasikan dalam pembuatan makanan bayi. Swelling power merupakan rasio bobot granula yang membengkak per bobot pati kering. Pembengkakan terbatas terjadi pada 60-70 °C yaitu pemecahan ikatan yang lemah atau sel amorf. Pembengkakan cepat terjadi pada suhu 80-90 °C yaitu pemecahan ikatan yang kuat atau sisi yang sulit diakses.
Selanjutnya
Winarno
(2002)
menyatakan bahwa proses
pengembangan gel dipengaruhi oleh konsentrasi, pH larutan, garam, lemak, surfaktan dan protein.
42
Nilai swelling power tertinggi pada suhu 30 C adalah kombinasi dari A1R2. Kombinasi ini adalah kombinasi penambahan air terbanyak dan juga memiliki kecepatan putar sebesar 6 rpm. Tingginya nilai swelling power ini disebabkan oleh banyaknya penambahan air yang dapat mempengaruhi banyak atau tidaknya tepung sukun yang dapat tergelatinisasi. Semakin banyak air didalamnya semakin mudah tepung tersebut tergelatinisasi. Kecepatan putar 6 rpm merupakan kecepatan putar yang optimal dengan kombinasi penambahan air sebanyak 80%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi inilah tepung dapat tergelatinisasi secara optimal sehingga menghasilkan swelling power yang tertinggi. Nilai swelling power terendah terdapat pada A2R1. Rendahnya nilai ini disebabkan karena rendahnya penambahan air dan rendahnya kecepatan putar drum. Suspensi pati yang lebih pekat ini tidak dapat tergelatinisasi sempurna walaupun diikuti dengan lambatnya putaran drum yang membuat kontak bahan dengan drum lebih lama. Kondisi ini tidak cukup untuk membuat pecahnya granula pati sehingga merujuk kepada rendahnya nilai swelling power. Dari semua nilai swelling power, tepung sukun pragelatinisasi memiliki nilai yang lebih tinggi daripada tepung sukun alami. Hal ini menunjukkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi ini dapat diaplikasikan kepada produk-produk instan. Kejernihan pasta 0,1% diketahui melalui pembacaan transmitan dengan spektrofotometer. Nilai kejernihan pasta 0,1% tepung sukun seperti terlihat
pada hasil penelitian berkisar antara 83,55-94,60 %T.
Semakin tinggi nilai transmitan yang dihasilkan maka akan semakin jernih suspensi yang dihasilkan. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan penambahan air dan kecepatan kecepatan putar drum bahan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kejernihan pasta 0,1% tepung sukun. Kejernihan pasta terkait dengan swelling power dan kecenderungan retrogadasi. Swelling power yang tinggi pada pati akan menghasilkan pasta yang jernih dan retrogradasi yang rendah. Modifikasi tepung pragelatinisasi akan dapat meningkatkan tingkat kejernihan pasta tepung sukun alami. Hampir semua data kombinasi
43
perlakuan pada pengolahan tepung pragelatinisasi menunjukkan adanya peningkatan kejernihan pasta pati yang signifikan dibandingkan dengan tepung sukun alami. Bagalopagan et al. (1988) menyatakan bahwa suspensi pati alami dalam air berwarna buram (opaque), namun proses pragelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi larutan tersebut.
95 90 85
Kejernihan Pasta (%T)
80 Freeze Thaw Stability (%Syneresis)
75 70
Gambar 12.
Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap kejernihan pasta dan freeze thaw stability
Tepung sukun alami memiliki tingkat kejenihan pasta yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini diduga karena pada tepung sukun alami sebagian besar granula patinya masih utuh dan masih memiliki sifat birefringence yang baik. Sifat birefringence merupakan sifat merefleksikan polarisasi cahaya pada granula pati (Winarno, 2002). Penggunaan air yang kurang atau berlebih akan menurunkan kejernihan pastanya. Pada perlakuan A1R2, A1R3, A2R2, dan A2R3 diduga air yang digunakan cukup untuk memecahkan sejumlah granula pati pada proses gelatinisasi bila dibandingkan dengan perlakuan A1R1 dan A2R1. Pada A1R1 penggunaan air berlebih sehingga meskipun sebagian granula pati sudah pecah akibat gelatinisasi, masih terdapat sebagian air yang tidak terpakai dalam proses gelatinisasi. Air yang berlebih ini selanjutnya justru akan menurunkan nilai kejernihan pasta pati
44
(tepung). Sebaliknya pada perlakuan A2R1, penggunaan air yang relatif sedikit diduga tidak cukup memungkinkan bagi sebagian besar pati untuk tergelatinisasi. Hal ini tentu saja menurunkan sifat transparansi pasta patinya. Freeze-thaw stability yang dimiliki pati akan menunjukkan apakah pati yang dihasilkan dapat disimpan dalam suhu -15°C. Freeze-thaw stability akan diketahui dari jumlah air yang dapat dipisahkan saat disentrifugasi. Semakin banyak jumlah air yang terpisahkan maka freezethaw stability akan semakin tinggi yang menunjukkan pati tidak stabil. Peristiwa retrogadasi terjadi selama penyimpanan pati pada suhu beku. Nilai freeze-thaw stability dinyatakan dengan % syneresis yaitu persentase jumlah air yang terpisah setelah pasta pati disimpan selama 1 siklus freeze-thaw. Nilai freeze-thaw tepung sukun seperti terlihat pada hasil penelitian berkisar antara 80,00-90,71%. Faktor perlakuan perbedaan kecepatan putar drum memberikan pengaruh nyata terhadap nilai freezethaw pati. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan beberapa hari atau minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati disebut sineresis (syneresis) (Winarno, 2002). Selama 1 siklus freeze thaw pati mengalami retrogadasi dimana sejumlah air terpisah dari pasta pati. Kombinasi perlakuan yang dilakukan pada proses pengolahan tepung sukun pragelatinisasi memperlihatkan % syneresis yang tinggi. Tidak ada satu kombinasi pun yang memiliki % syneresis yang lebih kecil daripada tepung sukun alami. Granula pati yang telah pecah akibat gelatinisasi memiliki swelling power yang tinggi, namun karena sifat ini granula pati yang pecah tersebut tidak mampu menahan air lebih banyak daripada granula pati yang masih utuh. Penyimpanan beku akan menambah jumlah air yang terpisah dari pasta pati karena kristal-kristal es yang terbentuk menyebabkan retrogradasi. Semakin banyak pati yang
45
tergelatinisai berarti semakin tinggi kemungkinan air yang terpisah akibat penyimpanan suhu beku. Pengukuran
nilai
apparent
viscosity
dilakukan
dengan
menggunakan viskosimeter Brookfield. Leach (1965) menyatakan bahwa apparent viscosity dari larutan pati tidak hanya disebabkan oleh pengembangan granula, tapi juga oleh adanya bagian pati terlarut yang menahan pengembangan granula dengan daya adhesi dan juga oleh interaksi diantara granula-granula yang mengembang. Kestabilan pasta pati 2% diukur dengan menggunakan spindle nomor 1 pada kecepatan 60 rpm. Struktur pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin mempengaruhi stabilitas viskositas. Amilosa yang berantai lurus lebih mudah diputuskan ikatan hidrogennya dibandingkan amilopektin. Tingginya jumlah amilosa dapat menyebabkan viskositas pasta rendah dan kurang stabil. Pati dibentuk oleh tumbuhan untuk menyimpan energi, yaitu disimpan di dalam biji/butir halus pati di dalam sel, terutama di dalam akar umbi atau benih. Daya cerna pati tergantung pada sumber pati. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi akan sulit dicerna. Ukuran granula juga mempengaruhi daya cerna pati, semakin kecil ukuran pati maka luas permukaannya akan semakin besar sehingga lebih mudah dicerna. Amilosa memiliki ikatan α-(1-4), sedangkan selulosa memiliki ikatan β-(1-4) antara molekul gula. Ikatan rantai pada amilosa membentuk struktur heliks, sedangkan selulosa membentuk struktur zigzag, dan banyak terdapat pada dinding sel tumbuhan. Enzim pencernaan dapat mencerna amilosa tetapi tidak dapat mencerna selulosa. Hasil pemecahan pati oleh amilase menghasilkan hidrolisat yang mengandung glukosa, maltose, maltotriosa, tetrasakarida dan pentasakarida (Robyt, 1984).
46
50 40 30
20
Bagian yang dapat dicerna (%)
10 0
Gambar 13. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap daya cerna dengan enzim α-amilase 3 2.5 2 1.5 1
Derajat Polimerisasi
0.5 0
Gambar 14. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap DP dengan enzim α-amilase Gambar 13 diatas menunjukkan hasil hidrolisis pati oleh enzim αamilase yang menghasilkan produk bernilai daya cerna berkisar antara 32,72-45,31. Nilai daya cerna ini menunjukkan persentase pati yang dapat dicerna dari keseluruhan total karbohidrat dalam pati. Tepung sukun pragelatinisasi dengan kombinasi A1R3 menunjukkan nilai daya cerna yang paling tinggi. Hal ini berarti kemampuan pati sukun pada kombinasi ini untuk dicerna dalam system pencernaan cukup tinggi, pati akan lebih cepat dikonversi menjadi monomer-monomer penyusunnya untuk diubah menjadi energi. Tingginya nilai ini diduga disebabkan oleh tingginya
47
jumlah air yang dimasukkan sehingga tidak semua pati tersebut tergelatinisasi dengan optimal. Untuk uji total gula dan total pereduksi dapat dilihat berturut-turut pada Lampiran 5 dan 6. Pati selain memegang peranan penting sebagai sumber karbohidrat, juga berperan sebagai sumber karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan dapat dikatakan sebagai pati resisten (resistance starch). Pati resisten merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim amilolitik dalam sistem pencernaan (Bjorck, 1996). Dalam sistem pencernaan, pati resisten tidak dapat dicerna oleh usus kecil, namun dilewatkan ke dalam usus besar dan difermentasi oleh bakteri mikroflora membentuk asam lemak rantai pendek yang baik untuk kesehatan dan mencegah kanker usus. Asam lemak yang terbentuk akan diserap oleh darah dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (www.healthyeatingclub.org). Menurut Wuzburg (1989), DP (derajat polimerisasi) suatu produk menunjukkan jumlah rata-rata monosakarida unit di dalam molekul. Dziedzic dan Kearsley (1995) menambahkan derajat polimerisasi amilosa adalah 102-103 dan amilopektin dengan DP yang lebih tinggi dari amilosa Nilai DP tepung sukun pragelatinisasi dan tepung sukun alami (Gambar 14) yang dihasilkan antara 2,04-2,86. Hal ini berarti sakarida yang dibentuk yaitu campuran antara glukosa (DP=1), maltosa (DP=2), dan maltotriosa (DP=3). Namun sebagian besar sakarida yang terbentuk adalah maltosa.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Modifikasi tepung dengan membuat tepung sukun pragelatinisasi memiliki tahapan proses yang harus dilakukan dengan seksama. Tahapan proses pengolahan tepung sukun pragelatinisasi ada tiga tahap, yaitu persiapan bahan, proses utama (pemanasan dan pengeringan), dan proses penggilingan. Persiapan bahan dilakukan terlebih dahulu dengan mencampurkan tepung sukun alami dengan air dengan perbandingan 20% dan 30% tepung dalam suspensi. Proses utama pengolahan tepung sukun pragelatinisasi terdiri atas pemanasan dan dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu di atas suhu gelatinisasi yaitu 80±5 C pada drum drier yang memiliki panjang dan diameter berturut-turut adalah 12 dan 8 inci. Produk akhir yang dihasilkan dari proses utama ini berupa gulungan lembaran tepung yang bersifat kamba, ukuran dan dimensi tidak seragam. Proses terakhir adalah proses penggilingan yang bertujuan untuk menghancurkan, memperkecil serta menyeragamkan ukuran tepung agar mempermudah
dalam penyimpanan dan analisa.
Penggilingan yang digunakan adalah hammer mill yang memiliki saringan 60 mesh. Modifikasi tepung dengan cara pragelatinisasi ini mempengaruhi kelarutan dalam air dingin (30 C), mikroskopis granula pati, derajat putih, tingkat gelatinisasi pati serta freeze thaw stability. Pada kelarutan dalam air dingin (30 C), diperlihatkan bahwa kecepatan putar drum berpengaruh nyata terhadap kelarutan pada air dingin ini. Semakin cepat kecepatan putar drum semakin larut tepung tersebut dalam air dingin. Kecepatan putar drum dan konsentrasi padatan juga mikroskopis granula pati. Semakin tinggi kecepatan putar drum semakin banyak granula pati yang tidak tergelatinisasi. Konsentrasi padatan yang lebih banyak menyebabkan tepung yang tergelatinisasi semakin banyak dan pada saat proses pragelatinisasi menghasilkan lembaran yang lebih tebal daripada lembaran dari konsentrasi padatan yang lebih rendah. Derajat putih dipengaruhi oleh kecepatan putar drum dan juga konsentrasi padatan. Semakin tinggi putaran maka derajat putih
yang dihasilkan semakin tinggi. Konsentrasi padatan semakin sedikit maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi. Kecepatan putar drum dan konsentrasi padatan juga berpengaruh nyata terhadap tingkat gelatinisasi tepung. Semakin tinggi kecepatan putar drum semakin tinggi pula tingkat gelatinisasinya tetapi semakin tinggi konsentrasi padatan semakin rendah tingkat gelatinisasinya. Freeze thaw stability yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan putar drum. Semakin lambat kecepatan putar drum semakin tinggi nilai freeze thaw stability yang dihasilkan. 5.2 SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk peningkatan mutu tepung sukun mengenai: 1. Perlu pengkajian dan karakterisasi modifikasi tepung sukun dengan cara enzimatis. 2. Perlu diadakannya pengkajian perubahan mutu karakterisasi tepung sukun pragelatinisasi selama penyimpanan.
50
DAFTAR PUSTAKA Allen, B.M. 1967. Malayan Fruits. Donald Moore Press Ltd. Singapore. Anastasiades, A., S. Thanou, D. Loulis, A. Stapatoris dan T.D. Karapantsios. 2002. Rheological and Physical Characterization of Pregelatinized Maize Starch. J of Food Eng. 52: 57-66. Angbola, S.O., J.O. Akingbola, dan G.B. Oguntimen. 1991. Physico-chemical and Functional Properties of Low DS Cassava Starch Acetate and Citrate. Starch/Starke, 43 (2): 62-66. AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official of Analitycal Chemist. AOAC INT., Washingtong D.C. Ariwibowo. S.S. 2006. Kajian Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Pati dan Kecepatan Putaran Drum Dryer Terhadap Karakteristik Tapioka Pragelatinisasi. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Arsdel, W.B. dan M.J. Copley. 1964. Food Dehydration 2nd Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Bagalopagan, C, G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc, Boca Raton Florida. Bao, J. and C. J. Bergan. 2004. The Funcionally of Rice Starch. Di dalam A.C. Elliason (ed.). Starch in Food (Structure, Function and Applications). CRC Press LLC, New York. Blennow, A. 2004. Starch Bioengineering. Di dalam A.C. Elliason (ed.). Starch in Food (Structure, Funtion and Applications). CRC Press LLC, New York. Bjorck, I. 1996. Starch: Nutritional Aspects. Di dalam. A.C. Elliason. 1996. Carbohydrates in Food. Marcel Dekker, Inc., New York. Brennan, J.G., J.R. Buther, N.D. Cowel dan A.V.E. Lily. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publisher Ltd. London. Ciptadi, W dan Machfud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-Umbian Sebagai Sumber Karbohidrat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. IPB, Bogor. Chandler, W.H. 1958. Evergreen Forest Trees, FAO. Roma. Collinson, R. 1968. Swelling ang Gelation of Starch. Di dalam J. A. Radley (ed). Starch and Its Derivatives. Champman and Hall, Ltd. London
Doni, A. 2002. Karakteristik Bubur Instan Dari Buah Sukun (Artocarpus Altilis) yang Diolah dengan Pengering Drum. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Dubois, M., K.A. Gilles, J.K. Hamilton, P.A. Rebers, dan F. Smith. 1956. Colorometric Method for Determination of Sugar and Related Substances. Anal. Chem. 28: 350-356. Dziedzic, S.Z. dan M.W.Kearsley. 1984. Physico-chemical Properties of Glucose Syrups. Di dalam. Dziedzig, S.Z. dan M.W.Kearsley. (eds.). Glucose Syrups: Science and Technology. Elsevier Applied Science Publishers, London. Endahsari, R. 1999. Pati Singkong Terpregelatinisasi sebagai Bahan Penolong Tablet Papaverin HCl Cetak Langsung. Skripsi. Jurusan Farmasi, FMIPA, UI, Depok. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. FAO. 1972. Food Table Composition For Used in East Asia, FAO. Roma. FAO. 1982. Fruit-Bearing Forest Trees, FAO. Roma. Fennema, O. R. 1985. Principles of Food Science. Marcel Dekker Inc., New York and Basel. Fleche, G. 1985. Chemical Modification and Degradation of Starch. Di dalam Fennema, O.R. (ed.). Starch Convension Technology. Marcel Dekker, Inc., New York dan Basel. Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, Inc,. New York. Graham, H.D. dan E.N. De Bravo. 1981. Change in The Starch Fraction During Extruction Cooking of Corn. J. Food Sci. 48 (2): 378-381. Heldman, D.R. dan R.D. Singh. 1981. Food Process Engineering. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Elament of Food Engineering. The AVI Publ., Co. Inc, Westport, Connecticut. Hood, L.F. 1981. Advances in Maize Carbohydrate. Di dalam Fennema, O. R. (ed). Principles of Food Science. Marcel Dekker. Inc., New York. Hutching, J.B. 1994. Food Colour and Appereance. Bedford: Blackie Academy and Profesional.
52
http://kusmandauunindra4.blogspot.com/2009/04/protein.html [14 Juni 2010] Jarowenko, W. 1986. Acetylated Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di dalam Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. Leach, H.W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam Goldsworth, R. (ed).Abundant of Plant Varieties. World Wide Inc., New York Lyne, F.A. 1976. Chemical Analysis of Raw and Modified Starches. Di dalam Radley, J.A. (ed.). Examination and Analysis of Starch and Starch Products. Applied Science Publisher Ltd, London. Miller, C.D., B. Katherine, dan C.R. Ruth. 1936. Some Fruit of Hawaii. Hawaii Agricultural Experiment Station. 77:Ltd., London. Nawari. 2010. Analisis Statistik dengan MS Excel 2007 dan SPSS 17. Penerbit Elek Media Komputindo. Jakarta. Peter. F.E. dan P.A. Wills. 1959. Dried Breadfruit Di dalam Nature128:1252. Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia Tepung Umbi dan Tepung Pati Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan Gembili. Jurnal Pascapanen (1) : 29-37. Robyt, J. F. 1984. Enzymes in the Hydrolysis and Synthesis of Starch. Di dalam R.L. Whistler, J.N. BeMiller dan E.F.Paschall (eds.). Starch: Chemistry and Technology. Academic Press, Inc., Florida. Saragih, SA. 2008. Mengapa Diversifikasi Pangan Menjadi Penting?. www.kabarindonesia.com. [9 Agustus 2009]. Snyder, E.M. 1984. Industrial Microscopy of Starches. Di dalam R.L. Whistler, J.N. BeMiller dan E.F.Paschall (eds.). Starch: Chemistry and Technology. Academic Press, Inc., Florida. Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta Soesono, S. 1977. Sukun Yang Sukun. Di dalam: Intisari 165: 89-94. Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Sunarti, T.C., T. Nonume, N. Yoshio dan M. Hisamatsu. 2001. Study on Outer Chains from Amylopectin between Immobilized and Free Debranching Enzymes. J. Appl. Glycosci. 48 (1): 1-10.
53
Swinkles, J.J.M. 1985. Sources of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam J.A. Roels dan G.M.A.V. Beynym,. (eds). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc., New York and Basel. Thompson, A.K., B.O. Bean dan C. Parkius. 1974. Storage of Fresh Bread Fruit. J. Trp. Agri. 51 (3): 407-415. Utami, P.Y. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) Melalui Perbaikan Proses Produksi. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Walpole, R. 1993. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widowati, S, N. Richana, Suarni, P. Raharto, IGP. Sarasutha. 2001. Studi Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Lap. Hasil Penelitian. Puslitbangtan, Bogor. Widowati, S. 2003. Prospek Tepung Sukun untu Berbagai Produk Makanan Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. Winarno, 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. Unpublished. Ph. D. Thesis. Departement of Food Science. University of Wisconsin, Madison. Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. www.healthyeatingclub.org/info/articles/fats-chol/cholesterolstruck.htm[14 April 2010] Yohani, V. 1995. Ekstraksi dan Analisis Polisakarida Buah Sukun (Artocarpus altilis). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
54
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun dari Badan Litbang Kehutanan
Buah Sukun Segar
Pengupasan dan pencucian
Pengirisan
Air rendaman
Limbah: Buah busuk, kulit sukun & hati/bagian tengah
Perendaman dalam larutan bi-sulfit
Blanching
Penjemuran matahari
Pengeringan dengan oven
Penggilingan/ pengecilan ukuran
Air
Serpihan loss
Tepung Sukun
56
Lampiran 2. Karakterisasi Komposisi Kimia Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi 1. Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105 °C selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air.
2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselen berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600 °C selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselen berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.
3. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1-0,5 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 1 g katalis (CuSO4 dan natrium sulfat). Larutan
didestruksi
hingga
menghasilkan
larutan
jernih
kemudian
didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 25 ml NaOH 6N. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan dibawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer
57
mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam labu erlenmeyer). Larutan yang berada dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko.
Keterangan : a = ml H2SO4 untuk titrasi contoh b = ml H2SO4 untuk titrasi blanko N = normalitas H2SO4 W = bobot contoh (g)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C. Contoh didinginkan dalam deksikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Kemudian dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 °C dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dilakukan hidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturutturut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan terakhir menggunakan aceton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat (%) ditentukan dengan rumus :
58
Dimana: a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g)
6. Kadar Karbohidrat (By Difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Karbohidrat (%) = 100% - ( A + B + C + D+E ) Dimana : A = Kadar air B = Kadar abu
C = Kadar lemak
E= Kadar serat kasar
D = Kadar protein
7. Kadar Pati (AOAC, 1995) Sampel sabanyak 1 g dimasukkan dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan HCl 3% sebanyak 200 ml. Hidrolisis pada suhu 115 C selama 1 jam, kemudian didinginkan. Sampel kemudian dinetralkan dengan NaOH 40%, kemudian ditera dalam labu ukur 250 ml. pipet 10 ml sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan Luff Schroll sebanyak 25 ml. sampel didihkan di bawah pendingin tegah tepat 10 menit setelah mendidih, kemudian didinginkan. Sampel kemudian ditambahkan dengan 20 ml larutan KI 20% dan 25 ml H 2SO4 melalui dinding tabung. Titrasi menggunakan NaSO4 0,1 N, gunakan indikator kanji. Blanko dikerjakan dengan mengganti sampel dengan aquades.
59
Lampiran 3. Karakterisasi Sifat Fisik Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi 1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati (Metode Mikroskop Cahaya Terpolarisasi) Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian ditambahkan larutan iod untuk menambah daya kontras. Suspensi ini diteteskan di atas gelas obyek kemudian ditutup dengan gelas penutup. Obyek diuji dengan meneruskan cahaya melalui polarisator dan selama pengamatan, alat analisistor diputar sehingga cahaya terpolarisasi sempurna yang ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum mengalami gelatinisasi dengan sifat birefringence. Pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan polarisator dan alat penganalisis (analisistor), disebut mikroskop cahaya. Selanjutnya hasil pengamatan disimpan dalam bentuk file JPEG.
2. Pengamatan Sifat Birefringence Pati dengan Menggunakan Mikroskop Polarisasi Pengamatan sifat birefringence pati di bawah mikroskop polarisasi dilakukan untuk
mengetahui
kecukupan proses gelatinisasi.
Sampel
disuspensikan dalam akuades dan diaduk secara merata. Kemudian, satu tetes sampel diteteskan ke gelas objek dan diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sampel yang bukan berupa tepung perlu ditepungkan terlebih dahulu hingga diperoleh ukuran partikel yang dapat disuspensikan dalam akuades. Pati yang belum mengalami proses gelatinisasi akan memiliki sifat birefringence sehingga ketika diamati dengan mikroskop polarisasi akan tampak granula-granula yang mengkilat dan berwarna. Sedangkan pati yang telah mengalami gelatinisasi sempurna tidak memiliki sifat birefringence, sehingga tidak tampak di bawah mikroskop polarisasi.
3. Derajat Putih (SNI 01-3451-1994) Pengukuran derajat putih pati dilakukan dengan menggunakan Whitenessmeter merk Kett Electric Laboratory Tipe C-100-3. Kalibrasi dilakukan dengan standar warna putih (MgO). Sejumlah contoh dimasukkan
60
ke dalam wadah khusus, diputar sehingga terletak dibawah lensa dan diukur derajat putihnya yang berkisar antara 0-100%. Nilai derajat putih dapat ditentukan dengan melihat posisi jarum penunjuk persen derajat putih.
4. Warna (Hutching, 1999) Parameter warna ini diukur dengan menggunakan alat chromameter merk Minolta CR 300. Sistem notasi warnanya menggunakan sistem Hunter yang dicirikan dengan 3 parameter yaitu L, a dan b. Nilai L menyatakan kecerahan yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) dan 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai positif (0 sampai 60) untuk warna merah dan negatif (0 sampai -60) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan nilai b positif untuk warna kuning dan biru negatif. Pengukuran dilakukan dengan menempelkan sampel pada permukaan datar alat. Bagian datar alat pembaca harus ditutup secara sempurna. Apabila ada cahaya masuk dari sisi samping optik, maka nilai pembacaan alat menjadi tidak akurat. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai L, a dan b yang terbaca pada layar. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan, nilai a positif menunjukkan kecenderungan warna merah, nilai a negatif menunjukkan warna hijau, nilai b positif menunjukkan kecenderungan warna kuning, dan nilai b negatif menunjukkan warna biru. Setelah diperoleh nilai L, a dan b maka dilakukan perhitungan nilai chroma (C), derajat Hue dan juga (derajat putih) whiteness dengan persamaan berikut:
61
Lampiran 4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi 1. Kelarutan Pada Suhu 70 ºC dan Swelling Power (Modifikasi metode Perez et al., 1999) Suspensi pati disiapkan, yaitu 0,5 g sampel dicampur dengan 50 ml akuades dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas air pada suhu 70°C selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Pada suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven 100°C hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung kenaikan bobotnya. Kelarutan (%) Swelling power (%)
Keterangan :
a = bobot cawan petri awal / kosong (g) b = bobot cawan petri akhir (g) c = bobot erlenmeyer awal / kosong (g) d = bobot erlenmeyer akhir (g)
2. Kelarutan Pada Suhu 30 ºC dan Swelling Power (Modifikasi metode Perez et al., 1999) Suspensi pati disiapkan, yaitu 0,5 g sampel dicampur dengan 50 ml akuades dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas air pada suhu 30°C selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Pada suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven 100°C hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung kenaikan bobotnya. Kelarutan (%) Swelling power (%)
Keterangan :
a = bobot cawan petri awal / kosong (g) 62
b = bobot cawan petri akhir (g) c = bobot erlenmeyer awal / kosong (g) d = bobot erlenmeyer akhir (g)
3. Sifat Amilografi Suhu gelatinisasi dihitung dari hasil kurva pengukuran viskositas pati dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph. Rentang suhu gelatinisasi diukur pada saat viskositas pati mulai naik hingga dicapai viskositas puncak. a
Prosedur uji amilograf Akuades sejumlah 450 ml disiapkan dan sampel tepung pati sejumlah 45 g ditimbang. Selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam bowl amilograf. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diukur pada suhu 20 atau 25°C. Pada saat pengaturan ini switch pengatur suhu harus terletak pada posisi 0. Switch pengatur diikat pada posisi bawah (97°), sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1,5°C setiap 1 menit. Mesin amilograf dihidupkan maka bowl akan berputar dan pemanas akan memanaskan air bath. Begitu suspensi mencapai 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram dan pada skala tersebut diberi tanda dengan menggoreskan pena naik turun setelah pasta mencapai suhu 95°C. Ini bisa dihitung dari waktu yang diperlukan menaikkan suhu 65°C setelah 30°C kemudian switch pengatur dipindahkan ke posisi atas (20°C).
b
Parameter analisis amilogram Suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik. Suhu pada puncak gelatinisasi yaitu suhu (°C) pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut : Suhu = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5) Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Amilograf Unit atau Brabender Unit.
63
4. Kejernihan Pasta 1% (Modifikasi metode Perez et al., 1999) Pasta pati (0.1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 5 mg sampel dalam 5 ml air (gunakan tabung reaksi berulir). Selanjutnya suspensi dicelupkan pada air mendidih selama 30 menit. Tabung dikocok setiap 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmisi (% T) dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Akuades digunakan sebagai blanko.
5. Freeze-Thaw Stability (Modifikasi metode Perez et al., 1999) Pasta pati 1% sebanyak 5 ml disiapkan. Cara penyiapan pasta pati sama dengan prosedur analisis kejernihan pasta. Satu siklus Freeze-thaw process terdiri atas: pasta pati disimpan dalam Freezer -20°C selama 18 jam, kemudian ditaruh di suhu kamar selama 6 jam. Sampel diambil sebanyak 2 ml untuk kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Jumlah (volume) air yang terpisah setelah siklus Freezee-thaw diukur dan dinyatakan untuk mengetahui Freeze-thaw stability dalam satuan % Syneresis.
6. Apparent Viscosity (Modifikasi metode Perez et al., 1999) Apparent Viscosity diukur dengan Brookfield Viscometer. Sejumlah 500 ml suspensi pati 5% bk disiapkan kemudian dicelupkan dalam air mendidih selama 15 menit, dan didinginkan hingga suhu 25°C. Pasta diukur pada 25°C menggunakan spindle no.1 pada laju 60 rpm.
7. Analisa Daya Cerna dan Derajat Polimerisasi a. Persiapan 0,4% larutan pati tergelatinisasi (Sunarti et al., 2001) Sebanyak 30 mg pati Di dalam tabung reaksi dilarutkan dalam 0.5 ml aquades dan ditambahkan dengan 0.75 ml NaOH 1 N. Kemudian ditempatkan pada ice batch selama 15 menit. Pati yang tergelatinisasi ditambahkan secara perlahan-lahan aquades sebanyak 5,35 ml, dan dinetralkan dengan 0,75 ml HCl 1 M dan ditambahkan 0,15 ml NaN3 3%.
64
b. Hidrolisis pati Hasil persiapan larutan pati 0,4% ditambahkan sebanyak 7,5 ml larutan buffer sitrat pH 5,2. Kemudian dikocok supaya homogen (substrat 0,2%). Selanjutnya dilakukan penambahan larutan enzim α-amilase dengan dosis 5 U enzim/g pati. Hidrolisis dilakukan Di dalam water batch incubator selama 8 jam dengan suhu 95 C. Setelah itu dilakukan inaktivasi enzim dan dilakukan analisa gula pereduksi dan total gula. Rasio total gula dan gula pereduksi dihitung sebagai Derajat polimerisasi.
8. Tata cara analisa total gula metode Fenol-Sulfat (Dubois et al., 1956)
Prinsip : Terjadinya dehidrasi pada karbohidrat yang membentuk furfural dan hidroksi-metil-furfural (HMF). Dehidrasi pentosa oleh asam akan dihasilkan furfural, dehidrasi ramnosa dihasilkan metal furfural. Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut: 1 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 µg masingmasing dimasukkan ke dalam tabung reaksi tambahkan 0,5 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 2,5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan pada penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan standar fenolnya hanya 1 ml larutan glukosa diganti 1 ml sampel.
65
Kurva Standar Total Gula 1 y = 0.016x + 0.078 R² = 0.991
0.9
Nilai Absorbansi
0.8
0.882
0.713
0.7 0.622
0.6 0.5 0.42
0.4 0.3
0.24
0.2 0.1
0.057
0
0
10
20
30 [glukosa,µg/ml]
40
50
60
Persamaan kurva standar total gula y=0,016x + 0.078 Keterangan
: y: nilai absorbansi x: nilai total gula
9. Tata cara analisa gula pereduksi metode DNS (Miller, 1959) Prinsip : Tereduksinya ferrisianida menjadi ferrosianida oleh senyawaan gula reduksi. Jumlah ferrosianida yang terbentuk ekivalen dengan jumlah gula reduksi dalam sampel. 1. Penyiapan Pereaksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5dinitrosalisilat dan 19,8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50 C dan 8,3 g NaMetabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indicator fenolftalin. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan HCl 0,1 N.
66
2. Penentuan Kurva Standar Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2-0,5 mg/l. kemudian nilai gula pereduksi decari dengan metode DNS. Hasil yang diperoleh diplotkan dalam grafik secara linear. 3. Penetapan Gula Pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS dengan prosedur sebagai berikut: 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
67
Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Karakterisasi Tepung sukun
Simbol A0R0a A0R0b A1R1a A1R1b A1R2a A1R2b A1R3a A1R3b A2R1a A2R1b A2R2a A2R2b A2R3a A2R3b
Keterangan Tepung sukun alami tanpa perlakuan apapun ke-1 Tepung sukun alami tanpa perlakuan apapun ke-2 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 4 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 4 rpm ke-2 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 6 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 6 rpm ke-2 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 8 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 8 rpm ke-2 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 4 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 4 rpm ke-2 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 6 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 6 rpm ke-2 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 8 rpm ke-1 Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 8 rpm ke-2
68
5.1 Karakteristik Kimia Tepung sukun 5.1.1 Kadar air dan kadar abu Bahan A0B0a A0B0b
Rata-rata A1R1a A1R1b
Rata-rata A1R2a A1R2b
Rata-rata A1R3a A1R3b
Rata-rata A2R1a A2R1b
Rata-rata A2R2a A2R2b
Rata-rata A2R3a A2R3b
Rata-rata
Kadar air 3,3435 3,7311 3,5373 2,3822 2,0921 2,2372 1,9148 1,8364 1,8756 3,0426 2,3992 2,7209 2,4314 2,4445 2,4379 2,1438 1,9520 2,0479 2,3789 3,3097 2,8443
Kadar abu (bb) 0,3964 0,4308 0,4136 0,3214 0,3274 0,3244 0,3818 0,4079
Kadar abu (bk) 0,4101 0,4475 0,4288 0,3293 0,3344 0,3319 0,3893 0,4155
0,3949
0,4024
0,3500 0,4040
0,3610 0,4139
0,3770
0,3875
0,3025 0,4476
0,3101 0,4588
0,3751
0,3844
0,4053 0,3427
0,4142 0,3495
0,3740
0,3818
0,4307 0,5589 0,4948
0,4412 0,5780 0,5096
69
5.1.2 Kadar protein dan lemak
Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
Kadar Protein (bb) 4,7199 4,9794 4,8497 3,6408 3,5816 3,6112 4,0409 3,9265 3,9837 4,0509 3,6853 3,8681 4,3554 5,0582 4,7068 3,6680 4,2067 3,9373 4,3641 4,0221 4,1931
Kadar Protein (bk) 4,8832 5,1724 5,0278 3,7296 3,6582 3,6939 4,1197 4,0000 4,0599 4,1780 3,7759 3,9770 4,4639 5,1849 4,8244 3,7483 4,2905 4,0194 4,4704 4,1598 4,3151
Kadar Lemak (bb) 4,0971 2,9871 3,5421 0,9263 1,0359 0,9811 2,1816 2,2313 2,2065 2,5934 2,4186 2,5060 1,9155 2,1235 2,0195 2,9418 2,5224 2,7321 2,6326 2,2157 2,4241
Kadar Lemak (bk) 4,2388 3,1029 3,6708 0,9489 1,0580 1,0035 2,2242 2,2730 2,2486 2,6748 2,4781 2,5764 1,9632 2,1767 2,0700 3,0062 2,5726 2,7894 2,6967 2,2916 2,4941
70
5.1.3 Kadar serat kasar dan karbohidrat (by difference)
Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
Kadar Serat Kasar (bb) 8,0098 8,5537 8,2818 11,2988 12,2007 11,7498 8,4471 12,6362 10,5416 7,5717 13,0037 10,2877 14,4979 9,3463 11,9221 15,5654 10,5738 13,0696 6,1523 8,0298 7,0910
Kadar Serat Kasar (defatted) 4,1898 5,8981 5,0440 10,6482 11,4255 11,0369 6,4304 10,6413 8,5358 5,2159 10,9047 8,0603 12,9437 7,4569 10,2003 12,9646 8,2619 10,6133 3,6697 6,0889 4,8793
Kadar Karbohidrat (bb) 79,4334 79,3178 79,3756 81,4305 80,7621 81,0963 83,0337 78,9617 80,9977 82,3914 78,0891 80,2403 76,4974 80,5799 78,5386 75,2757 80,4025 77,8391 84,0415 81,8638 82,9526
Kadar Karbohidrat (bk) 82,1811 82,3919 82,2865 83,4177 82,4879 82,9528 84,6547 80,4389 82,5468 84,9769 80,0087 82,4928 78,4036 82,5990 80,5013 76,9249 82,0032 79,4640 86,0894 84,6659 85,3777
71
5.2 Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun 5.2.1 Kelarutan dan swelling power 5.2.1.1 Kelarutan dan swelling power (70 C) Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
% Kelarutan 33,9000 40,9667 37,4333 46,2000 36,8667 41,5333 42,8214 43,5000 43,1607 45,5000 42,1333 43,8167 41,8333 39,4000 40,6167 40,7333 42,8667 41,8000 34,6800 40,3462 37,5131
% Swelling Power 42,4425 47,4322 44,9374 54,6334 47,2220 50,9277 53,3208 48,2996 50,8102 53,9240 53,1110 53,5175 48,2753 69,6996 58,9874 49,6555 50,9927 50,3241 61,3513 65,4497 63,4005
72
5.2.1.2 Kelarutan dan swelling power (30 C) Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
% Kelarutan 23,1000 23,0667 23,0833 33,0333 29,5333 31,2833 30,4800 28,3000 29,3900 33,9333 32,3000 33,1167 28,8333 29,0000 28,9167 32,0333 30,9667 31,5000 34,6000 32,2000 33,4000
% Swelling Power 36,1906 37,7566 36,9736 44,9055 44,3956 44,6505 59,3340 42,7886 51,0613 44,9779 43,8508 44,4144 40,9885 42,4886 41,7386 40,7374 44,4087 42,5731 47,1253 41,6083 44,3668
73
5.2.2 Kejernihan pasta 0.1% dan Freeze-thaw stability
Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
Kejernihan pasta 0,01% 90,20 90,90 90,55 79,70 87,40 83,55 93,80 94,00 93,90 92,00 97,20 94,60 90,70 89,00 89,85 97,70 90,40 94,05 98,80 88,70 93,75
Freeze-thaw Stability 77,14 82,86 80,00 85,71 85,71 85,71 85,26 82,86 84,06 85,71 82,86 84,29 90,00 91,43 90,71 85,71 82,86 84,29 82,86 85,71 84,29
74
5.2.3 Apparent Viscosity dan Derajat Putih
Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
Appearant Viscosity 5,50 5,50 5,50 7,00 7,00 7,00 9,00 9,50 9,25 10,00 8,50 9,25 9,70 7,00 8,35 6,80 6,50 6,65 8,70 9,50 9,10
Derajat Putih 54.73 54.82
54.77 40,82 40,73
40,77 42,82 42,00
42,41 35,64 36,00
35,82 38,36 39,09
38,73 36,18 38,64
37,41 39,45 37,09
38,27
75
5.2.4 Daya Cerna dan Derajat Polimerisasi
Bahan A0B0a A0B0b Rata-rata A1R1a A1R1b Rata-rata A1R2a A1R2b Rata-rata A1R3a A1R3b Rata-rata A2R1a A2R1b Rata-rata A2R2a A2R2b Rata-rata A2R3a A2R3b Rata-rata
Daya Cerna 39,5833 48,9583 44,2708 46,2121 19,2235 32,7178 40,5303 44,9811 42,7557 38,9205 51,7045 45,3125 48,5085 46,9105 47,7095 42,6136 42,0455 42,3295 44,1288 31,6288 37,8788
Derajat Polimerisasi 2,3378 3,1601 2,7490 2,6522 1,4272 2,0397 2,6817 2,9321 2,8069 2,1012 2,7632 2,4322 2,9193 1,9019 2,4106 2,8553 2,8638 2,8596 2,6489 1,9464 2,2977
76
Lampiran 6. Analisis sidik ragam(Rancangan Acak Kelompok) dan Uji Duncan A. Karakteristik Kimia Tepung sukun 1. Kadar air Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
0,9184
0,4592
1,8310
5,1433
Konsentrasi (Aj)
1
0,0136
0,0136
0,0541
5,9874
interaksi Arij
2
1,4043
0,7021
2,7993
5,1433
Ek(ij)
6
1,5048
0,2508
Total
11
3,8408
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
0,0167
0,0083
2,06
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,0079
0,0079
1,96
5,98738
interaksi Arij
2
0,0101
0,0050
1,26
5,14325
Ek(ij)
6
0,0242
0,0040
Total
11
0,0590
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
0,0964
0,0482
0,53
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,6799
0,6799
7,48*
5,98738
interaksi Arij
2
0,7140
0,3570
3,93
5,14325
Ek(ij)
6
0,5457
0,0909
Total
11
2,0361
Kecepatan
2. Kadar abu Sumber Keragaman Kecepatan
3. Kadar protein Sumber Keragaman Kecepatan
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel) Faktor perlakuan yang berpengaruh nyata : Konsentrasi Rataan Kode A2
4,3863
A
A1
3,9102
B
Ket
: Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
4. Kadar lemak Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
2,6165
1,3083
34,83*
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,7752
0,7752
20,64*
5,98738
interaksi Arij
2
0,6614
0,3307
8,81*
5,14325
Ek(ij)
6
0,2253
0.0376
Total
11
4,2785
Kecepatan
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel) Faktor perlakuan berpengaruh nyata : Kecepatan putaran R3
Rataan
Kode
2,5353
A
R2
2,5190
A
R1
1,5367
B
Konsentrasi A2 A1
Rataan 2,4512 1,9428
Kode A B
Interaksi A2R2 A1R3 A2R3 A1R2 A2R1 A1R1
Rataan 2,7894 2,5765 2,4942 2,2486 2,0700 1,0035
Kode A A ABC BC C D
Ket
: Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan 78
5. Kadar Serat Kasar Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
37,2557
18,6278
2,06
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
1,2547
1,2547
0.14
5,98738
interaksi Arij
2
13,8794
6,9397
0,77
5,14325
Ek(ij)
6
54,3856
9,0643
Total
11
106,7754
Kecepatan
6. Kadar Karbohidrat (by difference) Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
18,6407
9,3203
1,26
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
2,3397
2,3397
0,32
5,98738
interaksi Arij
2
21,4958
10,7479
1,45
5,14325
Ek(ij)
6
44,3686
7,3948
Total
11
86,8449
Kecepatan
B. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun 1. Kelarutan dan swelling power 1.1. Kelarutan dan Swelling Power 70 C Kelarutan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
7,2522
3,6261
0,31
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
24,5442
24,5442
2,08
5,98738
interaksi Arij
2
17,8824
8,9412
0,76
5,14325
Ek(ij)
6
70,7419
11,7903
Total
11
120,4207
Kecepatan
79
Swelling Power Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
125,0901
62,5450
1,34
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
101,5783
101,5783
2,18
5,98738
interaksi Arij
2
61,2915
30,6457
0,66
5,14325
Ek(ij)
6
279,1951
46,5325
Total
11
567,1549
Kecepatan
1.2. Kelarutan dan Swelling Power 30 C Kelarutan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
24,0120
12,0060
5,42 *
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,0002
0,0002
0,00
5,98738
interaksi Arij
2
10,1332
5,0666
2,29
5,14325
Ek(ij)
6
13,2977
2,2163
Total
11
47,4432
Kecepatan
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel) Faktor perlakuan berpengaruh nyata : Kecepatan
Rataan
Kode
R3
33,258
A
R2
30,445
B
R1
30,100
B
putaran
Ket
: Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
80
Swelling Power Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
27,2568
13,6284
0,51
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
43,6837
43,6837
1,63
5,98738
interaksi Arij
2
36,8485
18,4242
0,69
5,14325
Ek(ij)
6
160,7239
26,7873
Total
11
268,5129
Kecepatan
2. Kejernihan pasta 1% Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
145,1217
72,5608
3,56
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
10,4533
10,4533
0,51
5,98738
interaksi Arij
2
29,9817
14,9908
0,74
5,14325
Ek(ij)
6
122,2800
20,3800
Total
11
307,8367
Kecepatan
3. Freeze-thaw stability Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
42,3893
21,1947
7,88*
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
9,1128
9,1128
3,39
5,98738
interaksi Arij
2
15,9395
7,9698
2,96
5,14325
Ek(ij)
6
16,1458
2,6910
Total
11
83,5874
Kecepatan
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
81
Faktor perlakuan berpengaruh nyata : Kecepatan
Rataan
Kode
R1
88,214
A
R3
84,286
B
R2
84,171
B
putaran
Ket
: Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
4. Derajat Putih Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
20,7205
10,3603
9,60*
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
30,0833
30,0833
27,88* 5,98738
interaksi Arij
2
5,1253
2,5627
Ek(ij)
6
6,4752
10792
Total
11
62,4044
Kecepatan
2,37
5,14325
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel) Faktor perlakuan berpengaruh nyata : Konsentrasi
Rataan
Kode
A1
40,4849
A
A2
37,3182
B
Kecepatan
Rataan
Kode
R3
39,9091
A
R2
39,7500
A
R1
37,0455
B
putaran
Ket
: Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
82
5. Apparent Viscosity Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
5,1017
2,5508
2,91
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,6533
0,6533
0,75
5,98738
interaksi Arij
2
7,9517
3,9758
4,54
5,14325
Ek(ij)
6
5,2600
0,8767
Total
11
18,9667
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
162,5875
81,2938
0,81
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
7,3242
7,3242
0,07
5,98738
interaksi Arij
2
58,1811
29,0905
029
5,14325
Ek(ij)
6
600,8358
100,1393
Total
11
828,9287
Kecepatan
6. Daya Cerna Sumber Keragaman Kecepatan
7. Derajat Polimerisasi Sumber Keragaman
df
SS
MS
F-hit
F-tabel
putaran (Ri)
2
0,8115
0,4057
1,38
5,14325
Konsentrasi (Aj)
1
0,0278
0,0278
0,09
5,98738
interaksi Arij
2
0,1306
0,0653
0,22
5,14325
Ek(ij)
6
1,7651
0,2942
Total
11
2,7350
Kecepatan
83