PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)
SITI NURJANAH
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Siti Nurjanah NIM H34100068
ABSTRAK SITI NURJANAH. Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat). Dibimbing oleh BAYU KRISNAMURTHI Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Akan tetapi, kualitas biji kakao Indonesia lebih rendah dibanding produsen kakao lain dikarenakan biji kakao Indonesia tidak difermentasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi atas dukungan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, menganalisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Metode yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner dan analisis pendapatan pascapanen. Pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar daripada tanpa fermentasi. Selisih pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 1 656 per kilogram. Faktor yang signifikan memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi adalah perbedaan harga, akses informasi teknik fermentasi, dan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa Kata kunci : Kakao, fermentasi, regresi logistik biner, pendapatan pascapanen
ABSTRACT SITI NURJANAH. Fermented Cocoa Beans Production dan The Affecting Factors (Case : Nestle Cocoa Plan Farmer’s at Kalukku Sub District, Mamuju District, West Sulawesi). Supervised by BAYU KRISNAMURTHI Indonesia is one of the world's largest cocoa producer. However, Indonesian cocoa beans have lower quality than cocoa beans from other country because Indonesia they are not fermented. The objectives of this research were to describe how the production of fermented cocoa beans supported by Nestle Cocoa Plan Program at Kalukku Sub District, Mamuju District, West Sulawesi, to compare farmer’s income by doing postharvest of cocoa beans with and without fermentation, and to identify the determinants that influence farmers decision to produce fermented cocoa beans. This research used binary logistic regression and postharvest income analysis to answer research objectives. The income over total cost of postharvest cocoa bean with fermentation is greater than without fermentation. The difference of postharvest income with and without applied fermentation was Rp 1 656.38 per kilograms. The factors that significantly influence decision of farmers to produce fermented cocoa beans is price difference, information access to fermentation technique, and the distance of farmer with BT Cocoa purchasing unit. Keywords: cocoa, fermentation, binary logistic regression, postharvest income
PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)
SITI NURJANAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi :Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat) Nama : Siti Nurjanah NIM : H34100068
Disetujui oleh
Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah bidang ekonomi pertanian dengan judul Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, arahan, serta bantuan dalam penyelesaian dan penyempurnan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, Msi selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda A, SP. MM selaku dosen penguji akademik atas koreksi, saran dan diskusinya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kelompok kerja kakao PISAgro yang telah memberikan dukungan demi terlaksananya penelitian ini, Bapak Sindra Widjaya (Direktur Eksekutif PT BT Cocoa), Bapak Wisman Djaja (Direktur Sustainability PT Nestle Indonesia), Bapak Yohannes Ong Kang (Manajer BT Source), serta Bapak Haerul Nangngareng W (Manajer program regional Swisscontact). Terima kasih penulis hanturkan pula kepada keluarga besar unit pembelian kakao PT BT Cocoa Mamuju, penyuluh lapang swisscontact serta seluruh petani reponden di Kecamatan Kalukku atas respon positif dan bantuannya terhadap penelitian ini. Terima kasih penulis hanturkan kepada Ayah Marsikin (Alm), Ibu Oneng Wiganingsih, kakak, dan kedua adik serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa, dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman satu bimbingan Reza Primadita dan Hadiyansyah Anwar atas kebersamaan, semangat dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar kosan White House serta sahabat-sahabat agribisnis angkatan 47 yang telah memberikan doa, masukan, dukungan dan semangatnya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, September 2014 Siti Nurjanah
DAFTAR ISI DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 6 TINJAUAN PUSTAKA 7 Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao 7 Fermentasi Biji Kakao 9 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao Terfermentasi 12 KERANGKA PEMIKIRAN 15 Kerangka Pemikiran Teoritis 15 Kerangka Pemikiran Operasional 22 METODE PENELITIAN 25 Tempat dan Waktu Penelitian 25 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Pengambilan Sampel 26 Metode Analisis Data 26 Definisi Operasional 33 GAMBARAN UMUM 34 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 34 Gambaran Umum Kemitraan PISAgro 37 Gambaran umum Nestle Cocoa Plan 38 Karakteristik Petani Responden 39 Gambaran Umum Kegiatan Pascapanen Biji Kakao di Kecamatan Kalukku 42 HASIL DAN PEMBAHASAN 48 Produksi Biji Kakao Terfermentasi di Kecamatan Kalukku 48 Analisis Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 49 Penerimaan Usahatani Kakao dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 50 Biaya Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 51 Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 58 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao Terfermentasi 59 Interpretasi dan Pembahasan Koefisien Variabel 62 SIMPULAN DAN SARAN 69 Simpulan 69 Saran 69 DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
74 92
DAFTAR TABEL 1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012 (000US$) 1 2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 7 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 7 4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao 8 5 Luas areal, produksi dan produktivitas kakao di Kabupaten Mamuju menurut kecamatan tahun 2012. 25 6 Karakteristik responden berdasarkan usia 39 40 7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan 8 Karakteristik responden berdasarkan lamanya pengalaman berusahatani kakao 40 9 Karakteristik responden berdasarkan luas kebun 41 10 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanaman menghasilkan 41 11 Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 42 12 Sebaran responden berdasarkan perlakuan panen 43 13 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian pemeraman buah 44 14 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian sortasi biji kakao basah 45 15 Penerimaan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa fermentasi perhektar perpanen 51 16 Biaya pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen 52 17 Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi perhektar perpanen 53 18 Pengunaan tenaga kerja pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi per hektar per panen pada musim panen puncak Mei 2014 55 19 Pendapatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen 58 20 Hasil output Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test 61 21 Hasil output Nagelkerke R Square 61 22 Hasil pendugaan parameter terhadap variabel dependen 61 23 Hasil pendugaan model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi kakao fermentasi 62 24 Sebaran responden berdasarkan jumlah biji kakao yang dihasilkan 63 25 Sebaran responden berdasarkan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa 64 26 Sebaran responden berdasarkan perbedaan harga 65 27 Sebaran responden berdasarkan akses informasi teknis fermentasi 67 28 Sebaran responden berdasarkan status usahatani 67 29 Sebaran responden berdasarkan akses berhutang ke pedagang 68
DAFTAR GAMBAR 1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012 2 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012 2 3 Tampilan tekstur biji kakao 10 4 Keterkaitan subsistem dalam sistem agribisnis 17 5 Kurva respons 19 6 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24 7 Buah kakao yang telah masak ditandai oleh perubahan warna buah 43 8 Kegiatan pengupasan buah 45 9 Kegiatan fermentasi biji kakao 46 10 Metode penjemuran biji kakao 47 11 Volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa periode April 48 2013- April 2014 12 Rekapitulasi volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa periode April 2013 – April 2014 49
DAFTAR LAMPIRAN 74 1 Karakteristik pribadi petani fermentasi 2 Karakteristik pribadi petani non fermentasi 75 3 Pendapatan dan biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan 76 tanpa aplikasi fermentasi 4 Perincian biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) 77 5 Perincian biaya pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) 78 6 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao terfermentasi 79 7 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao terfermentasi 80 8 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao terfermentasi 81 9 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi 82 10 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi 83 11 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi 84 12 Data input untuk analisis regresi logistik 85 13 Output regresi logistik model dugaan 86 14 Uji beda penerimaan, harga, produksi per hektar, biaya tunai, biaya total, pendapatan atas biaya total, pendapatan atas biaya tunai, biaya total per kg, biaya tunai per kg, pendapatan total per kg, pendapatan tunai per kg. 89
PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Kakao memiliki peran strategis dalam ketersediaan lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Hal ini ditunjukan oleh luas areal perkebunan kakao Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2011 mencapai 1 732 641 ha. Sebesar 87,4% dari luas areal pekebunan kakao atau seluas 1 641 130 ha merupakan perkebunan rakyat. Sebanyak 1 701 958 kepala keluarga (KK) petani menggantungkan perekonomiannya dari komoditas kakao (Ditjenbun 2013). Kakao termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama perdagangan Indonesia selain tekstil, elektronik, karet dan produk karet, kelapa sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, dan kopi (Kementerian Perdagangan 2014). Tabel 1 menunjukan bahwa tahun 2012 kakao memberikan sumbangan devisa negara sebesar US$ 388 335.4 ribu, dengan volume ekspor sebesar 171 986.3 ton (BPS 2013). Tabel 1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012 (000US$)
Cina
2008 35 612.6
2009 17 034.3
Tahun 2010 42 886.1
2011 25 093.9
2012 13 999.0
Thailand
16 722.1
17 845.6
18 476.5
17 206.6
18 719.4
Singapura
102 534.1
139 342.6
151 485.7
98 497.8
92 884.3
Malaysia
470 203.2
451 885.0
551 439.1
411 374.1
228 653.2
Amerika Serikat
128 154.1
297 103.2
246 501.3
29 678.3
628.1
27 140.4
12 787.9
10 070.0
15 912.2
0.0
1 341.3
4 541.8
10 752.2
14 032.0
17 036.9
822.8
5 816.4
15 563.6
2 758.1
1 917.1
Jerman
1 498.3
20 717.2
35 197.3
1 084.1
1 136.2
Lainnya
719 965
121 152.4
109 095.1
1 453.5
13 360.8
856 025.4
1 088 136.4
1 191 466.9
617 090.6
388 335.4
Negara
Kanada India Belanda
Jumlah/total
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)
Menurut ICCO (2013) produksi kakao Indonesia pada tahun 2011 mencapai 440 000 ton. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Total produksi kakao dunia pada tahun 2011 mencapai 4 312 000 ton dengan total konsumsi kakao dunia sebesar 3 938 000 ton (ICCO 2013). ICCO dalam quarterly bulletin of cocoa statistic (2013) menyatakan bahwa produksi kakao dunia akan mengalami penurunan sedangkan konsumsi kakao dunia akan mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukan bahwa diperkirakan permintaan kakao dunia akan mengalami peningkatan sehingga komoditas kakao memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
2
Ton
Pengembangan komoditas kakao di Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi dari subsistem hulu hingga hilir. Laporan evaluasi pelaksanaan gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (GERNAS Kakao) periode 2009-2010 menjelaskan bahwa usahatani kakao di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan. Hal ini terindikasi dari fluktuasi dan stagnasi produksi serta ekspor kakao dari tahun ke tahun. Berikut grafik produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008-2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2013.
1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
produksi
ekspor
Gambar 1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012 Permasalahan pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu produktivitas tanaman kakao Indonesia masih di bawah potensi normal dan cenderung mengalami penurunan. Potensi normal tanaman kakao dapat menghasilkan 2 ton/ha/tahun biji kakao. Namun produktivitas tanaman kakao Indonesia hanya sebesar 1.1 ton/ha/thn pada tahun 2003 dan pada tahun 2012 menurun menjadi 0.85 ton/ha/tahun akibat tanaman tua, rusak, serta terserang penyakit (Gambar 2)(Ditjenbun 2014). 1,400
Produktivitas (Kg/ha/tahun)
1,200 1,000 800 600 400 200 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0
Tahun
Gambar 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012 Permasalahan pada subsistem hilir yang memengaruhi perdagangan kakao Indonesia yaitu rendahnya mutu kakao akibat penanganan pascapanen yang belum
3
sesuai GHP (Good Handling Practices) (Bappenas 2011). Kurang lebih 90% biji kakao yang dijual petani tidak difermentasi. Selain itu biji kakao memiliki kandungan kadar air yang masih tinggi, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit biji tinggi, keasaman tinggi, citarasa sangat beragam dan tidak konsisten. Terdapat biji kakao yang terserang serangga hama, terserang jamur dan tercampur dengan kotoran atau benda-benda asing lainnya (Kementerian Pertanian 2012). Mutu biji kakao yang rendah menyebabkan biji kakao Indonesia di negara tujuan ekspor terutama Amerika Serikat diberlakukan penahanan otomatis (automatic detention) dan potongan harga (automatic discount) sehingga harga biji kakao yang diterima dan daya saing biji kakao Indonesia lebih rendah dari biji kakao yang dihasilkan negara lain. Secara domestik, industri kakao nasional kekurangan bahan baku biji kakao bermutu sehingga industri kakao nasional mengimpor biji kakao terfermentasi dari negara produsen lain. Pemerintah berupaya mendorong subsistem hilir kakao Indonesia melalui peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 yang menetapkan pemberlakuan Bea Keluar (BK) kakao sebesar 5-15% dimulai 1 April 2010. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong industri pengolahan kakao dan mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Pemberlakuan BK kakao diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah sebanyak mungkin untuk pelaku agribisnis kakao dalam negeri (Kementerian Pertanian 2012). Kementerian Keuangan (2012) dalam kajian perkembangan perekonomian kakao nasional pasca pengenaan bea keluar biji kakao, menyatakan bahwa kebijakan pengenaan bea keluar ekspor biji kakao berhasil membangkitkan industri pengolahan kakao di Indonesia baik domestik maupun investasi baru perusahaan multinasional. Kapasitas produksi industri pengolahan domestik diperkirakan mengalami peningkatan. Namun, pada subsistem hulu terkendala oleh produktivitas dan kualitas biji kakao yang rendah. Upaya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas kakao telah dilakukan oleh pemerintah pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu melalui kebijakan GERNAS Kakao pada tahun 2009 sampai 2011 yang berlangsung di beberapa provinsi penghasil kakao di Indonesia. Sasaran GERNAS Kakao tahun 2009 sampai 2011 meliputi: 1. Perbaikan pertanaman kakao rakyat seluas 450 000 ha, terdiri dari peremajaan tanaman seluas 70 000 ha, rehabilitasi tanaman seluas 235 000 ha, dan intensifikasi tanaman seluas 145 000 ha. 2. Pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 000 petani. 3. Pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 000 ha. 4. Perbaikan mutu kakao sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia). Program GERNAS Kakao belum menghasilkan perkembangan yang signifikan karena bibit kakao yang ditanam butuh waktu tiga tahun untuk menghasilkan tanaman kakao yang berproduktifitas tinggi (Kementerian Keuangan 2012). APBN program GERNAS Kakao hanya berlangsung sampai tahun 2013. Pihak swasta membuat kebijakan serupa dengan GERNAS Kakao untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mengatasi ketahanan pangan nasional salah satumya adalah produktifitas dan mutu kakao. Kebijakan ini merupakan kemitraan publik - swasta yang dikenal sebagai Program Nestle Cocoa
4
Plan di bawah forum kemitraan Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro 2014). PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture) merupakan kemitraan publik swasta yang bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengatasi ketahanan pangan nasional dengan cara meningkatkan produksi komoditas pertanian strategis secara lestari dan meningkatkan penghidupan petani kecil (PISAgro 2014). PISAgro memiliki fokus kegiatan yang terdiri dari 10 kelompok kerja berdasarkan komoditas andalan Indonesia yaitu kakao, susu, kopi, kelapa sawit, padi, jagung, kedelai, hortikultura dan agrifinance. Kemitraan kelompok kerja kakao PISAgro telah berlangsung sejak tahun 2012 dengan mengusung program Nestle Cocoa Plan. PT Nestle berperan sebagai ketua kelompok kerja kakao PISAgro. PT Nestle bersama dengan PT Swisscontact, PT Bumitangerang Mesindotama (PT BT Cocoa), Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) Jember, IDH (Sustainable Trade Initiative) dan atas dukungan dari pemerintah provinsi Sulawesi Barat berupaya membentuk model rantai pasok pengembangan komoditas kakao berkelanjutan di Sulawesi Barat. Program Neslte Cocoa Plan terdiri dari pembentukan kebun percontohan oleh Puslitkoka, Swisscontact dan PT Nestle Agriserv. Pembinaan petani dilakukan oleh Swisscontact dan pembentukan unit pembelian kakao dilakukan oleh PT BT Cocoa sebagai upaya mendekatkan petani pada akses pemasaran yang efisien dan memberikan insentif harga sesuai dengan kualitas biji kakao. Serangkaian program tersebut berlangsung di Kabupaten Mamuju dan Majene Sulawesi Barat dengan harapan dapat memberikan sumbangsih bagi upaya peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao. Perumusan Masalah Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi penghasil kakao di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2014), produksi kakao Sulawesi Barat mencapai 76 158 ton pada tahun 2012. Jumlah ini menempatkan Sulawesi Barat sebagai daerah penghasil kakao terbesar keempat setelah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat merupakan kecamatan penghasil kakao terbesar kedua dengan nilai produksi sebesar 3 094,37 ton pada tahun 2012 setelah Kecamatan Sampaga yang memiliki nilai produksi 3 576,29 ton (BPS 2013). Permasalahan yang dihadapi petani kakao Kecamatan Kalukku yaitu rendahnya produktivitas dan mutu kakao akibat cara budidaya dan pascapanen yang belum menerapkan standar Good Agricultural Practise (GAP) dan Good Handling Practise (GHP). Mochtar A H dan Darma R (2011) menjelaskan bahwa pasar kakao dunia secara umum dapat dibagi atas dua segmen berdasarkan mutu biji yaitu segmen pasar untuk biji kakao bermutu tinggi yang dicirikan oleh biji terfermentasi dengan sempurna (dikategorikan sebagai Well Fermented Cocoa Beans atau WFCB) dan segmen pasar untuk biji kakao dengan mutu fisik yang cukup baik tetapi tidak difermentasi (dikategorikan sebagai Fair Average Quality atau FAQ). Standar mutu untuk kategori WFCB sangat ketat tetapi permintaan pasar dunia sangat besar yaitu sekitar 2,4 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari total produksi kakao dunia. Sebaliknya, standar mutu biji kakao kategori FAQ tidak terlalu ketat memperhatikan mutu biji dan permintaan dunia untuk kakao kategori ini relatif kecil yaitu sekitar 600 000 ton per tahun atau sekitar 20% dari total
5
produksi dunia. Kakao Indonesia yang mampu bersaing pada pasar WFCB hanya sekitar 2% dari total ekspor. Penyebab utamanya adalah karena sekitar 80% dari total produksi biji kakao Indonesia masih belum melakukan penanganan pascapanen dengan baik, terutama belum dilaksanakannya proses fermentasi biji kakao. Permasalahan produksi biji kakao Indonesia yang belum dilakukan fermentasi disebabkan oleh keengganan petani melakukan fermentasi. Hal ini dikarenakan secara teknis petani merasa tidak mudah melakukan fermentasi pada biji kakao karena prosesnya yang cukup lama yaitu selama lima hari. Hal ini mengakibatkan penundaan penerimaan petani. Selain itu, Penerapan teknologi fermentasi dalam pengolahan biji kakao menambah curahan tenaga kerja. Proses fermentasi diduga mengakibatkan kehilangan hasil yang diperoleh pada biji kakao kering fermentasi lebih besar dibanding kakao non fermentasi. Terlebih, belum ada insentif harga untuk kakao berkualitas. Program Nestle Cocoa Plan berupaya meningkatkan produktivitas dan mutu kakao melalui pembentukan kebun percontohan, sekolah lapang dan pembentukan unit pembelian biji kakao yang memberikan insentif atas kualitas biji kakao. Petani di Kecamatan Kalukku didorong untuk meningkatkan mutu dengan melakukan fermentasi biji kakao. Petani diberikan pengetahuan mengenai teknik fermentasi biji kakao melalui kegiatan sekolah lapang, diberikan bantuan kotak fermentasi dan layanan unit pembelian kakao yang memberikan perbedaan harga pada kakao fermentasi dan non fermentasi. Berkaitan dengan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa Plan ? 2. Bagaimana perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi ? 3. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa Plan. 2. Menganalisis perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi. 3. Mengidentifikasi faktor – faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan memproduksi biji kakao terfermentasi. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat:
6
1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai produksi biji kakao terfermentasi dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya (kasus : petani binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat). 2. Memberikan manfaat bagi pembaca dan peneliti, baik sebagai tambahan pengetahuan maupun sebagai informasi untuk melaksanakan studi lanjutan di masa mendatang. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada petani binaan Nestle Cocoa Plan yang telah mengikuti dan mendapatkan serangkaian program Nestle Cocoa Plan yaitu sekolah lapang, aktivitas di kebun percontohan (demplot), dan penjualan kakao di unit pembelian PT BT Cocoa. Secara wilayah geografis, ruang lingkup penelitian ini mencakup wilayah Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Lingkup bahasan dibatasi pada deskripsi produksi biji kakao terfermentasi, analisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi serta identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi.
TINJAUAN PUSTAKA Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao Mutu merupakan suatu standarisasi yang sudah menjadi kebutuhan manusia karena mutu berkaitan dengan kepuasan (Wahyudi et al.2009). Mutu biji kakao mempunyai beberapa pengertian, yakni dalam pengertian sempit yaitu cita rasa (flavour) dan upaya mempertahankannya. Sementara dalam pengertian lebih luas meliputi aspek atau kriteria yang menentukan penerimaan (acceptability) dari komoditas kakao yang ditawarkan (Wahyudi et al. 2009). Klasifikasi atau penggolongan mutu biji kakao kering menurut SNI 23232008 terbagi menjadi tiga, yaitu menurut jenis tanaman, jenis mutu dan ukuran berat biji per 100 gram. Menurut jenis tanaman kakao, biji kakao digolongkan menjadi dua, yaitu biji mulia (biji kakao yang berasal dari tanaman kakao jenis Criolo atau Trinitario serta hasil persilangannya dan biji kakao lindak (biji kakao yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero) (BSN, 2008). Menurut ukuran biji kakao kering per 100 gram, mutu biji kakao digolongkan menjadi lima kelas, yaitu ; AA (maksimal 85 biji per 100 gram), A (86-100 biji per 100 gram), B (101-110 biji per 100 gram), C (110-120 biji per 100 gram), dan S (lebih dari 120 biji per gram). Jenis tanaman dan ukuran biji tersebut dipengaruhi oleh perlakuan pada subsistem hulu agribinis kakao yaitu penggunaan bibit kakao yang unggul serta subsistem usahatani kakao, yaitu penerapan teknik budidaya yang sesuai dengan GAP (Good Agricultural Practise). Tabel 2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 No 1 2 3
Jenis Uji Satuan Persyaratan Serangga hidup Tidak ada Kadar air % fraksi massa Maks 7.5 Biji berbau asap dan atau hammy dan Tidak ada atau berbau asing 4 Kadar benda asing Tidak ada Tabel 2 menunjukan persyaratan umum mutu biji kakao yang akan di ekspor. Bila ditinjau lebih jauh lagi, fermentasi tidak termasuk dalam persyaratan umum mutu biji kakao yang harus dipenuhi. Hal ini menunjukan bahwa ekspor biji kakao Indonesia belum berorientasi pada pasar biji kakao yang telah terfermentasi. Persyaratan khusus biji kakao merupakan pesyaratan yang harus dipenuhi untuk mengklasifikasi jenis mutu. Menurut persyaratan jenis mutunya, biji kakao terbagi menjadi tiga kelas yaitu mutu I, II, dan III dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umum biji kakao (Tabel 3). Tabel 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 Jenis Mutu Kakao Lindak
Kadar Biji Berjamur (biji/biji)
Kadar biji Slaty (biji/biji)
Persyaratan Kadar biji Kadar kotoran berserangga waste (biji/biji) (biji/biji)
Kadar biji berkecambah (biji/biji)
I-F
I-B
Maks 2
Maks 3
Maks 1
Maks 1.5
Maks 2
II-F
II-B
Maks 4
Maks 8
Maks 2
Maks 2
Maks 3
III-F
III-B
Maks 4
Maks 20
Maks 2
Maks 3
Maks 3
Kakao Mulia
8
Terpenuhinya persyaratan mutu tersebut sangat dipengaruhi oleh perlakuan pada penangan pascapanen biji kakao. Oleh sebab itu penanganan pascapanen biji kakao menentukan mutu akhir biji kakao. Penanganan pascapanen biji kakao memiliki tahapan sebagai berikut : Tabel 4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao No.
Tahapan
Tujuan dan Aktivitas Terkait Mutu
Komponen mutu yang dipengaruhi
1
Pemanenan buah
Panen dapat dilakukan sepanjang tahun. Selama setahun, terdapat satu atau dua puncak panen. Puncak panen pertama terjadi sekitar bulan Mei - Juni dan panen tambahan pada bulan Oktober – November. Pemetikan buah harus dilakukan pada saat buah tepat masak. Tingkat kemasakan buah dapat dilihat dari warna buah, yaitu dari hijau menjadi kekuningan, dari merah menjadi jingga.
Ukuran biji, kadar lemak dalam biji, kadar biji berkecambah
2
Sortasi buah
Sortasi buah bertujuan untuk menseleksi atau memisahkan buah kakao menjadi dua kelompok besar yaitu buah yang sehat dan masak optimal dengan yang tidak atau kurang sehat dan belum masak optimal, seperti : terserang hama dan penyakit, salah petik, dimakan tupai, dan sebagainya.
Kadar kotoran, Kadar biji terserang jamur dan serangga
3
Pemeraman buah
Proses fermentasi
4
Pemecahan buah dan sortasi biji kakao basah
Pemeraman atau penyimpanan buah kakao, dilakukan untuk mengurangi kandungan pulpa (sampai batas tertentu) yang melapisi biji kakao basah serta untuk memperoleh jumlah biji yang sesuai untuk pengolahan. Pemecahan buah bertujuan untuk mengeluarkan dan memisahkan biji kakao dari kulit buah dan plasentanya. Sortasi biji kakao basah bertujuan untuk memisahkan biji kakao superior (sehat) dengan biji kakao inferior (terserang hama penyakit, tergores benda tajam) dan kotoran (kulit biji, plasenta). Pencampuran biji sehat dan biji tidak sehat akan menyebabkan terkontaminasinya biji sehat oleh bakteri biji tidak sehat pada saat proses fermentasi. Selain itu, pencampuran biji kakao yang terserang penyakit busuk buah (phitophora) akan menimbulkan peningkatan kadar asam lemak bebas pada biji kakao.
5
Fermentasi
Fermentasi biji kakao dimaksudkan untuk menimbulkan aroma khas coklat. Fermentasi dilakukan di dalam suatu wadah/kotak kayu. Fermentasi yang sempurna dilakukan dalam waktu 5 hari, dimana pada hari kedua dan keempat harus dilakukan pembalikan.
Cita rasa, kadar slaty, keasaman biji, kadar air,
6
Perendaman dan pencucian
Perendaman dan pencucian biji bukan merupakan cara baku, namun dilakukan atas dasar permintaan pasar (Industri atau eksportir tertentu). Perendaman dan pencucian biji kakao bertujuan untuk menghentikan proses fermentasi, mempercepat proses pengeringan, memperbaiki penampakan biji, dan mengurangi kadar kulit biji.
Proses pengeringan.
7
Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air biji dari 60 % sampai kadar airnya mencapai 7 atau 7.5 % diperlukan waktu 3 – 4 hari, tergantung dari kondisi cuaca.
Kadar air, cita rasa dan aroma kakao.
8
Sortasi kering
Sortasi biji kering kakao bertujuan untuk mengelompokan biji kakao berdasarkan ukuran dan memisahkan dari kotoran atau benda asing lainnya seperti batu, kulit dan daun-daunan
Kadar kotoran, biji terserang serangga dan jamur.
9
Pengemasan
Biji kakao dikemas didalam wadah bersih dan kuat, biasanya mengunakan karung goni dan tidak dianjurkan menggunakan karung plastik. Biji kakao tidak boleh disimpan dalam satu tempat dengan produk pertanian lainya yang berbau keras.
Kadar air, aroma kakao.
biji
Sumber : Wahyudi et al. (2009)
Proses fermentasi, kadar biji berjamur, kadar biji terserang serangga, kadar kotoran
9
Fermentasi Biji Kakao Fermentasi merupakan suatu kegiatan untuk membentuk citarasa cokelat pada biji kakao dengan memanfaatkan bantuan mikroba alami (Kementan 2012). Menurut Wahyudi et al. (2009) pada awal sejarahnya fermentasi hanya digunakan untuk membebaskan biji kakao dari lapisan lendir (pulp), mencegah pertumbuhan biji dan memperbaiki kenampakan. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fermentasi menjadi proses yang mutlak harus dikerjakan. Hal tersebut dikarenakan fermentasi biji kakao bertujuan untuk membentuk citarasa khas cokelat, warna cokelat dan rongga pada keping biji serta mengurangi rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao sehingga menghasilkan biji dengan mutu dan aroma yang baik (Kementerian Pertanian 2012). Petani kakao Indonesia umumnya melakukan proses fermentasi dengan sarana dan metode yang beragam. Sebagian petani di Indonesia melakukan fermentasi selama 5 hari dengan menggunakan kotak fermentasi dan pembalikan dilakukan pada hari kedua dan keempat fermentasi. Sebagian petani lain melakukan fermentasi selama 1-3 hari didalam karung plastik dan pembalikan dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung (Amin 2005 dalam Rinaldi J 2013). Biji kakao yang dihasilkan dari proses fermentasi singkat (3 hari) dan menggunakan karung plastik dikenal sebagai biji kakao semi fermentasi. Biji kakao semi fermentasi tidak dapat diketegorikan sebagai biji kakao terfermentasi karena biji kakao yang dihasilkan memiliki kadar slaty (biji tidak terfermentasi) yang tinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 Tahun 2012 mengenai pedoman penanganan pascapanen kakao, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses fermentasi, yaitu : 1. Sarana fermentasi biji yang ideal yaitu dengan menggunakan kotak dari kayu yang diberi lubang-lubang. Untuk skala kecil (40 kg biji kakao) diperlukan kotak dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 40 cm dan tinggi 50 cm. Untuk skala besar 700 kg biji kakao basah diperlukan kotak dengan ukuran lebar 100 – 120 cm, panjang 150 – 165 cm dan tinggi 50 cm. Jika peti fermentasi sulit diperoleh, dapat digantikan dengan keranjang bambu. 2. Tinggi tumpukan biji kakao minimal 40 cm agar dapat tercapai suhu fermentasi 45 – 480C. 3. Berat biji yang difermentasi minimal 40 kg. Hal ini terkait dengan kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup sehingga proses fermentasi biji dapat berjalan dengan baik. 4. Pengadukan/pembalikan biji dilakukan setelah 48 jam proses fermentasi. Selama proses fermentasi terjadi perubahan kimia dan biologi pada biji kakao. Perubahan kimia dan biologi yang terjadi selama proses fermentasi mengakibatkan pulp hancur dan mencair, biji mati dan enzim-enzim tertentu terbentuk dan memecah tanin serta beberapa zat perangsang lainnya sehingga mengurangi rasa pahit pada kakao. Bentuk biji kakao selama proses fermentasi berubah menjadi menggembung bila proses fermentasi berjalan dengan sempurna, sedangkan bila proses fermentasi tidak berjalan sempurna biji kakao akan tetap berbentuk pipih. Keping biji yang berwarna putih maupun ungu akan berubah menjadi coklat. Apabila warna biji masih ungu kecoklatan, maka hal ini menunjukkan proses fermentasi belum sempurna selesai. Menurut Siregar et al.
10
(2003) Perubahan biji yang terjadi selama fermentasi meliputi peragian gula menjadi alkohol, fermentasi asam cuka dan meningkatnya suhu. Disamping itu, aroma pun meningkat selama proses fermentasi dan pH biji mengalami perubahan. Ukuran keberhasilan proses fermentasi biji kakao. Citarasa dan aroma khas cokelat akan diperoleh pada biji kakao yang telah mengalami proses fermentasi secara sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan proses fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao. Dengan uji belah dapat diketahui bahwa warna dominan keping biji tidak terfermentasi adalah ungu atau sering disebut biji slaty. Warna ungu disebabkan oleh kandungan senyawa polifenol yang masih tinggi. Senyawa ini menyebabkan rasa sepat dan pahit. Selama proses fermentasi, 60% sampai 70% senyawa ini terurai secara enzimatis disertai dengan perubahan warna biji menjadi coklat sejalan dengan waktu fermentasi (Mulato S 2011). Derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat, yaitu, • Fermentasi kurang menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari), warna ungu dan coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari), warna cokelat dengan sedikit ungu (fermentasi 4 hari). • Terfermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan (5 hari) • Fermentasi berlebihan (> 6 hari) menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan berbau tidak enak (Wahyudi et al. 2009).
Slaty
Ungu Penuh
Ungu Sebagian
Coklat Berjamur (fermentasi penuh)
Gambar 3 Tampilan tekstur biji kakao Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap mutu produk olahan kakao Rendemen hasil (yield) merupakan perbandingan antara berat hasil olahan (pasta, lemak dan bubuk kakao) dengan berat bahan baku (biji kakao). Industri cokelat sangat menginginkan rendemen hasil yang tinggi. Nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air, ukuran biji, cara pengolahan dan kandungan kontaminan (kotoran) yang tercampur ke dalam biji. Kadar air, selain penyebab kerusakan biji karena serangan jamur, juga berpengaruh terhadap rendemen hasil. Air dianggap sebagai bahan ikutan yang akan hilang pada saat pemrosesan (penyangraian) (Mulato S 2011) Menurut Mulato S (2011) Ukuran biji kakao sangat menentukan rendemen hasil. Selain faktor bahan tanam, ukuran biji dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tananam, agroklimat dan tingkat kematangan buah saat dipanen. Biji ukuran besar
11
diperoleh dari bahan tanam unggul yang dirawat dengan baik dan dihasilkan dari buah kakao yang sudah masak (ripe). Biji yang besar menghasilkan rendemen lemak yang tinggi pula. Lemak merupakan komponen yang paling mahal dari biji kakao. Proses fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak, sehingga secara relatif kadar lemak akan meningkat (Yusianto et al., 1995). Tingkat fermentasi yang rendah akan menurunkan rendemen lemak karena komponen non-lemak masih tertinggal di dalam biji. Kemudahan proses pengolahan merupakan indikator bahwa bahan baku dapat diproses dengan cepat dan dengan biaya rendah. Waktu proses biji kakao dengan kadar air di atas standar (> 7.5 %) akan lebih lama sehingga kapasitas produksi turun. Energi penguapan air juga lebih besar, yang berakibat pada peningkatan biaya. Karena kandungan bahan non-lemaknya (selulosa) masih tinggi, biji yang tidak difermentasi diketahui lebih sulit diproses dan membutuhkan energi makanik lebih besar. Kontaminasi benda keras (batu atau besi) yang tercampur biji kakao selain akan menyebabkan komponen mesin cepat aus, juga menyebabkan pengaruh negatif terhadap kualitas cokelat (kehalusan cokelat). Kakao termasuk dalam kelompok tanaman penyegar, sehingga aspek citarasa dan aroma biji kakao merupakan nilai yang akan diambil manfaatnya untuk dikonsumsi oleh konsumen. Produk olahan kakao yang dikonsumsi dalam bentuk makanan dan minuman adalah bubuk kakao (cocoa powder) dan cairan kakao (cocoa liquor). Parameter umum mutu bubuk kakao dan cairan kakao terdiri dari kadar keasaman (pH), fat content (kadar lemak), fineness (kehalusan), kadar air, dan mikrobiologi. Berdasarkan pH, bubuk dan cairan kakao terbagi atas 2 jenis, yaitu natural dan alkalis. Bubuk cokelat natural memiliki standar pH maksimum 6, sedangkan pH diatas 6 tergolong produk alkalis. Produk natural diproses tanpa penambahan garam alkali dan biasanya terasa sedikit asam. Produk natural umumnya berwarna coklat muda atau cokelat, sedangkan produk alkalis diproses dengan penambahan garam alkali (Wahyudi et al. 2009). Secara umum, tingkat keasaman menggambarkan derajat fermentasi biji kakao, keasaman yang rendah cenderung berasal dari biji kakao tanpa fermentasi, kekurangan fermentasi, atau kelebihan fermentasi, sedangkan keasaman yang tinggi umumnya disebabkan oleh fermentasi anaerobik yang berlebihan (Wahyudi et al. 2009). Biji kakao yang tidak difermentasi menyebabkan penggunaan garam alkali pada proses conching dalam pengolahan biji kakao menjadi lebih banyak. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan produk cocoa powder dan cocoa liquor alkalis memiliki kadar keasaman rendah dan memiliki cita rasa khas coklat. Produk olahan natural yang berasal dari biji kakao non fermentasi akan memiliki tingkat keasaman tinggi, cita-rasa cokelat yang kurang, warna coklat yang cerah. Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap nilai tambah dan pendapatan petani Yastika et al. (2013) melakukan penelitian mengenai nilai tambah kakao fermentasi pada unit usaha produktif (UUP) Tunjung Sari Br. Cangkup, Ds. Pesagi, Kec. Penebel, Kabupaten Tabanan. Unit usaha produktif (UUP) Tunjung Sari melakukan usaha pengolahan kakao fermentasi. Usaha tersebut bertujuan untuk memeroleh keuntungan dengan melakukan penambahan nilai pada biji kakao melalui usaha pascapanen dengan aplikasi fermentasi biji kakao. Bahan
12
baku yang digunakan adalah biji kakao basah yang diperoleh dari petani sekitar. UUP Tunjung Sari melakukan usaha pascapanen yang terdiri dari sortasi biji kakao basah, fermentasi, penjemuran, dan pengepakan. UUP Tunjung Sari pada tahun 2011 memroduksi biji kakao terfermentasi menggunakan sebanyak 162.638 kg bahan baku (biji kakao basah) per tahun dengan jumlah pembelian sebesar Rp 1 207 205 000, jumlah penjualan sebanyak 57 102 kg per tahun atau sebesar Rp 2 062 775 000. Nilai tambah yang diperoleh dalam 1 kg kakao terfermentasi sebesar Rp 2 628.3 dan tingkat keuntungan sebesar 28.79%. Namun, dalam kegiatan usahanya, Unit usaha produktif mengalami kendala yaitu ketersediaan bahan baku, lamanya proses pengolahan, kualitas mutu yang kurang baik dan keterlambatan pengiriman kakao. Nilai tambah atas kegiatan pengolahan kakao fermentasi juga dapat diperoleh petani dengan cara melakukan kegiatan pascapanen kakao fermentasi. Nilai tambah tersebut nantinya akan memengaruhi pendapatan petani. Hasil penelitian Rinaldi J (2013) menjelaskan bahwa hasil analisis pendapatan usahatani kakao per hektar per tahun pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao diperoleh tingkat pendapatan yang lebih besar dibandingkan tingkat pendapatan petani per hektar per tahun yang tidak menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao. Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa penerapan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao dapat meningkatkan pendapatan petani.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao Terfermentasi Selisih harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi merupakan nilai tambah dari biji kakao terfermentasi yang dapat menjadi faktor pendorong bagi petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Insentif atau faktor pendorong tersebut belum dirasakan oleh petani karena perbedaan harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi tidak signifikan. Perbedaan harga yang tidak signifikan antara harga biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi tersebut menyebabkan petani enggan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008; Iek A 2009; Napitupulu S 2009, Hasbi et al. 2010; Nuryanti N 2010; Wally F 2001; Mulato S 2010). Rinaldi J (2013) dalam penelitiannya yang berjudul efisiensi produksi kakao pada perkebunan rakyat di Bali, menyatakan bahwa selisih perbedaan harga biji kakao fermentasi lebih besar Rp 2000 – Rp 3000 per kilogram. Selisih harga tersebut dianggap petani hanya mampu mengganti kehilangan hasil yang diperoleh dari proses fermentasi dan mengganti curahan tenaga kerja yang bertambah. Selain tingkat harga, tinggi rendahnya pendapatan petani kakao dapat ditentukan oleh tingkat produksi. Tingkat produksi ditentukan oleh umur tanaman kakao dan intensitas pengelolaan budidayanya. Makin tinggi umur tanaman kakao sampai batas-batas tertentu makin tinggi produksinya. Disamping itu, pengelolaan yang intensif juga akan meningkatkan produksi kakao. Nuryanti N (2010) menyatakan bahwa salah satu hal yang menjadi hambatan petani dalam menerapkan proses fermentasi yaitu jumlah biji kakao yang dihasilkan sedikit sehingga kegiatan fermentasi tidak ekonomis. Hal tersebut dikarenakan tambahan
13
biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan tambahan penerimaan yang didapat. Hasbi et al. (2010) menjelaskan bahwa proses fermentasi kakao pada tingkat petani sulit dilakukan salah satunya karena jumlah satuan panen yang relatif kecil. Fermentasi akan menguntungkan apabila volume biji kakao memenuhi tingkat economic of scale tertentu (Syadullah M 2012). Namun, permasalahannya umumnya petani kakao Indonesia memiliki lahan yang tidak luas sekitar 1-2 ha bahkan banyak yang hanya memiliki kurang dari 1 ha. Terlebih rata-rata produktivitas tanaman kakao yang dimiliki petani dibawah potensi normal bahkan termasuk rendah yang disebabkan tanaman tua, terserang hama dan penyakit, serta budidaya yang belum menerapkan GAP (Good Agricultural Practise). Selain itu, secara teknis, jumlah produksi biji kakao yang sedikit menjadi kendala petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Fermentasi dalam kotak memiliki kapasitas minimum biji kakao yang difermentasi yaitu sebanyak 40 kg. Hal tersebut terkait, pada proses fermentasi dibutuhkan hasil panas atau peningkatan suhu mendekati 500C massa biji. Pada proses fermentasi skala kecil (tidak memenuhi kapasitas minimum) panas yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga biji kakao yang dihasilkan kurang memuaskan(kurang terfermentasi) (Wahyudi et al. 2009). Dengan demikian jumlah produksi biji kakao diduga memengaruhi petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Produksi biji kakao terfermentasi belum banyak dilakukan petani. Namun, pedagang membutuhkan biji kakao terfermentasi dalam jumlah yang cukup (memenuhi economic of scale) agar mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi pedagang. Implikasinya biji kakao terfermentasi akan lebih lama tersimpan di gudang pedagang jika pedagang menginginkan menjual khusus biji kakao terfermentasi. Namun, semakin lama biji kakao fermentasi tersimpan di gudang pedagang, para pedagang tentunya akan mengalami tekanan finansial karena mereka harus mencapai omzet penjualan. Jika hal tersebut terjadi, pedagang tidak ragu-ragu mencampur biji terfermentasi dan tidak terfermentasi agar segera bisa dijual dan uang hasil penjualan bisa di investasikan untuk pembelian biji kakao kembali. Implikasi dari strategi ini adalah penurunan harga biji kakao di pasaran karena biji kakao campuran memiliki mutu yang tetap rendah (Syadullah M 2012). Penurunan harga dan keterbatasan produksi biji kakao terfermentasi tersebut, menyebabkan bagi pedagang membeli dan menjual biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah dibanding biji kakao terfermentasi. Begitu pula bagi petani menjual biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah dibandingkan biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008). Hal tersebut mendorong petani untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi. Hasil penelitian Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa penanganan pascapanen biji kakao dengan menerapkan fermentasi secara teknis tidak mudah dilakukan oleh petani. Menurut petani cukup melelahkan untuk melakukan kegiatan fermentasi (Mulato S 2010). Hal ini dikarenakan, petani harus menyimpan biji kakao dalam peti selama 4-6 hari dan setiap hari harus diperhatikan suhu, warna biji dan kandungan pulp biji kakao. Proses fermentasi membutuhkan waktu yang lama menyebabkan petani enggan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008; Napitupulu S 2009; Hasbi et al. 2010; Mulato S 2010). Petani yang berusahatani kakao bukan merupakan pekerjaan utama kerapkali mengabaikan kegiatan fermentasi. Gafur S (2009) menjelaskan bahwa petani sering mengabaikan kegiatan pemeraman buah dan fermentasi biji
14
kakao, terutama pada saat panen kakao bersamaan dengan musim panen komoditas lain. Kegiatan fermentasi tidak dilakukan karena petani harus mengejar waktu panen komoditas lain tersebut. Petani membutuhkan pengetahuan mengenai teknik fermentasi biji kakao yang sesuai dengan GHP (Good Handling Practise). Hal ini dikarenakan untuk memeroleh biji kakao terfermentasi sempurna terdapat syarat dan perlakuan tertentu yang perlu dikatahui petani. Hasan et al. (2010) dalam Hasan N dan Roswita R (2013) menyatakan bahwa penyebab petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi karena petani belum tahu inovasi teknologi fermentasi. Sedana G (2008) dan Mulato S (2010) menjelaskan bahwa petani tidak tertarik untuk melakukan penanganan pascapanen yang sesuai dengan GHP (Good Handling Practise) terutama fermentasi biji kakao karena keterbatasan pengetahuan petani dan sarana fermentasi. Umumnya petani tidak mampu membeli kotak fermentasi. Kotak fermentasi yang dimiliki oleh petani merupakan bantuan dari pemerintah maupun pihak swasta (Hasan N dan Roswita R 2013). Selain faktor teknis kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi, produksi biji kakao terfermentasi juga dipengaruhi oleh subsistem pemasaran biji kakao. Wally F (2001) menyatakan bahwa persoalan mutu terutama fermentasi biji kakao dan harga merupakan bagian masalah tataniaga biji kakao rakyat yang tidak dapat dipisahkan. Tataniaga biji kakao antara petani dan pedagang hanya berbasis pada jumlah dan tidak berorientasi pada mutu. Iek A (2009) menyatakan bahwa para pedagang hanya memerhatikan warna biji, kadar air dan ada tidaknya biji kakao berjamur tanpa menyaratkan biji kakao tersebut difermentasi atau tidak difermentasi. Selain itu, keberadaan lokasi perkebunan kakao yang terpencarpencar dan jauh dari pusat perekonomian mengarah kepada terbentuknya rantai tataniaga yang panjang karena adanya peran pedagang perantara (Wally F 2001). Mulato S (2010) menjelaskan bahwa pedagang pengumpul atau pedagang perantara dan pedagang besar menggunakan mekanisme “ijon” yaitu pedagang memberi uang pada petani sebelum panen dan dibayar kembali oleh petani dalam bentuk biji pada saat panen. Kebanyakan petani mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang biji kakao karena pedagang memberikan hutang kepada petani (Syadullah M 2012). Kemudahan untuk memeroleh hutang dari pedagang mendorong petani memutuskan untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi karena sebagian besar pedagang pengumpul tidak memberikan perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi dan tidak mensyaratkan petani untuk melakukan fermentasi biji kakao.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep dan Manfaat Mutu Juran (1995) dalam Ramlawati (2008) menyatakan mutu adalah keistimewaan produk yang menjawab kebutuhan konsumen. Terpenuhinya kebutuhan konsumen akan membentuk kepuasan konsumen dan pelanggan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nasution (2005) bahwa kepuasan konsumen dan pelanggan adalah suatu keadaan dimana kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen dan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi. Kepuasan konsumen pada umumnya diwujudkan dalam suatu standarisasi karakteristik atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh produk. Dengan demikian mutu didefinisikan sebagai suatu standarisasi yang sudah menjadi kebutuhan manusia karena berkaitan erat dengan kepuasan. Mutu atau kualitas biasanya selalu dikaitkan dengan profitabilitas dan produktivitas. Meskipun demikian, ketiga konsep ini memiliki penekanan yang berbeda-beda. Enderson et al. (1994) menjelaskan bahwa produktivitas menekankan pemanfaatan (utilisasi) sumber daya, yang sering diikuti dengan penekanan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus utama produktivitas terletak pada produksi atau operasi. Kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Fokus utama dari kualitas adalah customer utility. Sedangkan, profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan (income), biaya dan modal yang digunakan. Tjiptoni G dan Chandra G (2007) menjelaskan bahwa perspektif tradisional bisnis atau usaha sering hanya berfokus pada pencapaian produktivitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek kualitas. Hal tersebut dapat mengancam keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Dalam konteks kompetisi global di era pasar bebas, peningkatan persaingan menuntut pelaku usaha untuk selalu memerhatikan dinamika kebutuhan, keinginan dan preferensi pelanggan serta berusaha memenuhinya dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dibanding para pesaingnya. Kedua ahli tersebut juga menyatakan bahwa peningkatan pangsa pasar melalui mutu bersifat customer-driven (berorientasi kosumen). Peningkatan mutu akan memberikan keunggulan harga dan customer value. Customer-value merupakan kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan tertentu (Bounds et al. 1994 dalam Tjiptoni G dan Chandra G 2007). Kualitas dan profitabilitas berkaitan erat. Bila kualitas yang dihasilkan superior dan pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Usaha yang menawarkan produk yang berkualitas superior (tinggi) akan mampu mengalahkan pesaing yang kualitasnya lebih inferior (rendah). Mutu juga dapat mengurangi biaya. Crosby (1979) dalam Tjiptoni G dan Chandra G (2007) menyatakan bahwa biaya untuk mewujudkan produk berkualitas jauh lebih kecil dibandingkan biaya yang ditimbulkan apabila pelaku usaha gagal memenuhi standar kualitas. Adanya penekanan biaya dikarenakan kemampuan mewujudkan proses dan produk berkualitas akan menghasilkan keunggulan kompetitif berupa peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan usaha.
16
Dalam sistem agribisnis, mutu tidak hanya berada di ujung sistem (hilir) namun harus diperhatikan sejak di on farm (tingkat usahatani) bahkan dalam pemilihan dan penggunaan input harus telah memerhatikan mutu (Wiyanto 2010). Mutu menjadi nilai tambah bagi komoditas. Wahyudi et al. (2009) menyatakan bahwa keuntungan agribisnis kakao dapat ditempuh melalui dua jalur utama, yaitu peningkatan produktivitas tanaman dan peningkatan nilai tambah dari biji kakao yang dihasilkan. Peningkatan nilai tambah tersebut mencakup evaluasi mutu dan perbaikan mutu kakao. Produksi produk pertanian Produksi didefinisikan sebagai penciptaan nilai ekonomi yang dihubungkan dengan pembuatan barang secara fisik (Swastha B 1999). Menurut Beattie dan Taylor (1985) dalam Rinaldi J (2013) menjelaskan bahwa produksi merupakan kombinasi dan koordinasi beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan produksi pertanian merupakan suatu proses aktivitas merubah input pertanian menjadi output (produk) pertanian yang dibutuhkan oleh konsumen akhir atau konsumen antara (perusahaan-perusahaan atau lembaga pemasaran) (Asmarantaka R W 2012). Menurut Asmarantaka R W (2012) karakteristik produksi di pertanian primer (subsistem usahatani agribisnis) umumnya memerlukan jarak waktu yang lebar antara proses penanaman sampai panen dibandingkan dengan produksi non pertanian (gestation period). Selain itu produksi pertanian umumnya bervariasi dan bersifat musiman. Oleh sebab itu, untuk mengurangi risiko ketidakpastian dan fluktuasinya penawaran biasanya dilakukan penjualan dengan sistem kontrak antara lembaga pemasaran dengan petani produsen primer. Selajutnya, karakteristik produk pertanian adalah sebagai bahan baku (raw material). Hal ini berarti jarak atau lokasi merupakan penentu antara petani sebagai produsen primer, penyedia bahan baku yang akan diolah oleh pabrik sehingga menjadi produk akhir yang akan dikonsumsi konsumen. Dalam hal ini jarak diartikan sebagai (geografis), waktu, dan juga perbedaan ekonomi atau pendapatan diantara konsumen. Produsen dalam memroduksi barang atau jasa akan memaksimumkan keuntungan dengan kendala input atau biaya yang terbatas (Asmarantaka R W 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui bahwa produsen produk pertanian mengelola usahataninya memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usaha yang dijalankan. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Penanganan pascapanen Kegiatan penanganan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan agribisnis, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran penanganan pascapanen menjadi sangat penting karena termasuk dalam salah satu subsistem agribisnis yang mempunyai peluang
17
besar dalam upaya peningkatan nilai tambah (Tharir R 2005). Selain berperan dalam upaya peningkatan nilai tambah, penanganan pascapanen hasil pertanian memiliki tujuan untuk menekan tingkat kerusakan hasil panen, meningkatkan mutu, meningkatkan daya simpan serta daya guna komoditas pertanian agar dapat menunjang usaha penyediaan bahan baku industri dalam negeri, meningkatkan pendapatan, serta meningkatkan devisa negara dan perluasan kesempatan kerja. Produksi input, alat dan mesin
Produk primer olahan petani
Penanganan dan pengolahan (nilai tambah)
Pemasaran (saluran distribusi dan harga)
Gambar 4 Keterkaitan subsistem dalam sistem agribisnis Biaya usahatani Biaya merupakan nilai korbanan yang dikeluarkan untuk memeroleh hasil. M enurut Soekartawi (2002) Biaya atau pengeluaran total usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Biaya usahatani dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayarkan dengan uang seperti pembelian sarana produksi dan biaya upah tenaga kerja. Biaya tunai pada kegiatan pascapanen usahatani kakao yaitu biaya upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK), dan biaya tali rafia. Selanjutnya biaya diperhitungkan atau biaya tidak tunai adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayarkan dengan benda (Soekartawi 1986). Biaya diperhitungkan didefinisikan sebagai pengeluaran secara tidak tunai oleh petani berupa faktor produksi yang digunakan oleh petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dalam kegiatan pascapanen usahatani kakao, daun pisang untuk penutup kotak yang diperoleh dari kebun petani dan penggunaan karung bekas pupuk untuk pengangkutan hasil panen. Biaya usahatani juga dibedakan menjadi biaya atau pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable cost atau direct cost) (Soekartawi 1986). Biaya tidak tetap didefinisikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak tertentu yang jumlahnya berubah kira-kira sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut. Biaya tidak tetap untuk kegiatan pascapanen usahatani kakao diantaranya biaya karung, biaya upah tenaga kerja dan biaya tali rafia. Biaya tetap adalah pengeluaran usahatani yang tidak bergantung kepada besarnya produksi. Biaya tetap untuk kegiatan pascapanen usahatani kakao yaitu biaya penyusutan peralatan. Penerimaan usahatani Menurut Soekartawi et al. (1986) penerimaan total didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Menurut Tjakrawilaksana (1983) dalam Suroso (2006) penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Penerimaan usahatani terbagi menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai.
18
Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan pokok usahatani. Sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan nilai hasil produk yang tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri, disimpan sebagai persediaan atau aset petani sehingga tidak memberikan hasil dalam bentuk uang. Penerimaan tunai tidak mencakup pinjaman uang yang diperlukan untuk keperluan usahatani dan tidak mencakup yang berbentuk benda. Oleh karena itu, nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai. Sumber penerimaan usahatani diperoleh dari pendapatan hasil, nilai hasil yang dikonsumsi keluarga, menyewakan, dan penjualan unsur-unsur produksi, subsidi pemerintah dan penambahan nilai inventasrisasi (Hermanto 1996). Pendapatan usahatani Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan biaya yang dikeluarkan untuk usahatani. Oleh sebab itu untuk menganalisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktorfaktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani (Tjakrawilaksana 1983 dalam Suroso 2006). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja,modal keluarga yang dipakai dan pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi yang sama, yaitu memenuhi kegiatannya. Pendapatan tersebut akan digunakan untuk mencapai keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajiban. Dengan demikian pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat hidup petani. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi Tingkat keberhasilan petani di dalam suatu proses produksi usahatani yang dikelolanya tidak terlepas dari kondisi yang dimiliki dari petani sendiri, antara lain seperti: umur petani, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, lahan milik dan luas garapannya (faktor internal). Hal – hal itu adalah pencerminan dari karakteristik yang dimiliki petani dan sebagai tolok ukur terhadap sikap penerimaan dari berbagai masukan teknologi usahatani. Namun disamping faktor internal tersebut diatas juga akan dipengaruhi oleh adanya dukungan faktor luar (faktor eksternal) seperti: ketersediaan paket teknologi dengan sarana produksinya secara lokalitas di tingkat usahatani, kredit produksi, harga input produksi dan hasil produksi yang memadai, lembaga pemasaran serta lembaga penyuluhan di wilayah kerjanya. Berdasarkan teori diatas, tinjauan literatur serta temuan dilapangan, faktor internal yang diduga memengaruhi petani memroduksi biji kakao terfermentasi adalah status usahatani dan jumlah produksi biji kakao. Faktor luar atau faktor eksternal yang diduga memengaruhi petani memroduksi biji kakao terfermentasi yaitu perbedaan harga, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa, Akses
19
informasi teknik fermentasi dan akses berhutang ke pedagang. Keempat faktor eksternal tersebut merupakan pencerminan faktor-faktor pendorong petani untuk memilih lembaga pemasaran yang akan digunakan. Hal ini dikarenaka mutu komoditas bersifat costumer driven (berfokus pada kepuasan konsumen). Petani berusaha memenuhi kepuasan dari lembaga pemasaran yang merupakan pembeli dari biji kakao kering. Keputusan petani untuk memilih pembeli akan memengaruhi petani untuk memenuhi kepuasan pembeli tersebut. Keputusan petani untuk memilih pembeli dipengaruhi oleh faktor – faktor pendorong (insentif) yang diberikan oleh pembeli. Dengan demikian pada penelitian ini keputusan petani untuk menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa merupakan cerminan keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi dan keputusan petani untuk menjual biji kakao ke pedagang merupakan cerminan keputusan petani untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini dikarenakan pada umumnya pedagang tidak memberikan menyarankan petani untuk mermroduksi biji kakao terfermentasi. Sebaliknya unit pembelian PT BT Cocoa menyarankan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi dan melakukan kegiatan pascapanen sesuai dengan GHP (Good Handling Practise). 1. Konsep Harga dan Perbedaan Harga Perubahan harga berpengaruh terhadap keputusan produsen dalam penggunaan input atau teknologi. Kurva respons merupakan kurva yang menunjukan reaksi produsen yaitu petani dan manajer terhadap perubahan harga dimana apabila harga meningkat maka petani pada periode yang akan datang akan meningkatkan penggunaan input (teknologi), sehingga kurva penawaran akan bergeser ke kanan. Tetapi apabila harga produk menurun, petani tidak akan mengganti penggunaan inputnya (teknologi) dengan demikian kurva penawarannya tetap sama sebelum ada penurunan harga. Kurva respons menunjukkan bahwa apabila terdapat perubahan harga, kondisi peubah lain tidak tetap (cateris paribus) tetapi juga ikut berubah. Misalnya teknologi atau penggunaan input lain akan ditingkatkan, penambahan penggunaan pupuk, benih dan lain-lain. Dengan demikian perubahan harga terhadap jumlah yang ditawarkan akan berdampak secara simultan terhadap perubahan penggunaan input pada proses produksi berikutnya. Pada Gambar 7, garis a b adalah kurva respon petani atau perusahaan, apabila harga mengalami kenaikan, sedangkan garis b c adalah kurva respons perusahaan apabila harga produk mengalami penurunan. Dengan demikian kurva respons karena perubahan harga adalah garis abc Harga
S1 B
P2
P1
S2
a
C
Quantity
Gambar 5 Kurva respons
20
Kurva respons menunjukan perubahan perilaku produsen (reaksi produsen) karena ada perubahan harga barang yang diproduksi dan memegang asumsi peubah lain tidak tetap (konstan). Respons atau reaksinya berbeda apabila harga naik atau harga turun (Hammond dan Dahl 1977; Purcell, 1979 dalam Asmarantaka 2012). Apabila harga produk meningkat, pada periode berikutnya kurva supply bergeser ke kanan karena produsen akan meningkatkan penggunaan input atau menggunakan teknologi baru. Apabila harga barang turun, maka responya tetap pada kurva yang sama yaitu hanya menurunkan jumlah yang ditawarkan (bergerak disepanjang kurva supply yang sama). Kurva respons menunjukan bahwa perubahan harga akan secara simultan kontinyu mempengaruhi jumlah yang ditawarkan produsen (dalam periode produksi jangka pendek dan panjang). Artinya, perubahan harga akan direspons petani produsen dalam periode produksi jangka pendek maupun jangka panjang. Asmarantaka R W (2012) menyatakan bahwa salah satu karakteristik dari produk pertanian adalah kualitas atau mutu komoditas pertanian yang bervariasi. Untuk mengatasinya, petani dan lembaga pemasaran melakukan standarisasi dan grading pada produk pertanian serta memberikan perbedaan harga berdasarkan perbedaan kualitas produk. Diferensiasi harga berdasarkan mutu terkadang dibedakan dengan harga premi (lebih tinggi) atau diskon (lebih rendah) (Tomek dan Robinson 1972 dalam Wiyanto 2010). Perbedaan harga tersebut merupakan nilai tambah dari upaya peningkatan mutu komoditas pertanian yang diharapkan akan meningkatkan penerimaan petani yang lebih besar daripada kenaikan biaya produksinya. 2. Jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa Menurut Wally Frits (2001) persoalan mutu dan harga merupakan bagian dari masalah tataniaga kakao rakyat yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai dampak langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perdagangan kakao. Kelancaran pemasaran sangat bergantung pada kualitas produk yang dihasilkan oleh petani. Begitu pula pada mutu produk, mutu produk sangat bergantung pada pengendalian mutu di tiap rantai lembaga pemasaran yang ada. Oleh sebab itu Andriyanty (2008) menyatakan bahwa perbaikan mutu merupakan tanggung jawab semua lembaga pemasaran yang terlibat didalamnya. Kelembagaan pemasaran yang senantiasa memperhatikan mutu produk akan menjamin arus informasi harga dan pengendalian mutu pada tiap rantai pemasaran. Selanjutnya, arus informasi mutu dan harga tersebut akan menjadi kriteria yang harus dipenuhi pihak-pihak yang melakukan transaksi. Sebaliknya kelembagaan pemasaran tradisional kurang memperhatikan mutu produk sehingga informasi dan harga atas mutu tidak diperhatikan Keputusan petani dalam menentukan opsinya terhadap kelembagaan – kelembagaan pemasaran merupakan pilihan untuk bertransaksi. Wally F (2001) menjelaskan bahwa pilihan petani produsen untuk menjual biji kakao sangat bergantung pada harga yang ditawarkan oleh lembaga yang beroperasi ditingkat desa. Selain itu, Pilihan kelembagaan tataniaga oleh petani menurut Hobbs (1997) dalam Wally F (2001) dipengaruhi oleh beberapa peubah biaya transaksi. Peubahpeubah tersebut meliputi (1) ketersediaan informasi harga biji kakao pada pedagang, (2) kemudahan prosedur transaksi dengan pedagang, (3) waktu transaksi pada kelembagaan KUD, (4) ketidakpastian harga pada KUD, dan (5)
21
siasat/ketiadakjujuran pedagang dalam penimbangan dan penilaian mutu biji kakao. Berdasarkan hasil temuan di lapang, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa diduga memengaruhi petani melakukan fermentasi biji kakao. Hal tersebut dikarenakan, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa menunjukan kemudahan petani mengakses kelembagaan pemasaran yang menjamin perbedaan harga pada mutu biji kakao yang ditransaksikan. Semakin dekat jarak petani semakin besar peluang petani menjual biji kakao berkualitas sehingga semakin besar peluang petani melakukan fermentasi biji kakao. Pemilihan lembaga pemasaran dipengaruhi oleh pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan produsen. Swastha B (1999) menjelaskan bahwa apabila penggunaan perantara (lembaga pemasaran) dapat memperingan biaya penyaluran, maka hal ini dapat dilaksanakan terus menerus. Berkaitan dengan hal tersebut diduga jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa berpengaruh pada keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. 3. Akses berhutang Modal adalah setiap hasil atau produk atau kekayaan yang digunakan untuk memproduksi hasil selanjutnya (Daniel, 2004). Modal dapat berasal dari diri petani atau diperoleh dari pinjaman melalui lembaga perkreditan (bank atau koperasi). Umumnya sumber modal petani untuk membiayai usahatani adalah modal sendiri. Jarang sekali petani yang menggunakan lembaga keuangan. Jika membutuhkan modal atau ada keperluan yang sangat mendesak, biasanya petani berhutang ke padagang pengumpul atau pedagang besar. Pinjaman yang diberikan pedagang pengumpul dan pedagang besar menbentuk ikatan principal-agent informal antara petani dan pedagang besar. Principal – agent relationship merupakan hubungan dimana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepecayaan disebut principal(s) memengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan disebut agen(s) untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud atau agen(s) (Jensen & Meckling 1976, Nugroho 2006, Suradisastra K et al. 2010). Ikatan tersebut mengharuskan petani (agent)untuk menjual biji kakao yang diproduksi kepada pedagang pengumpul atau pedagang besar (principal). Pedagang besar tidak menyaratkan petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Berkaitan dengan hal tersebut diduga bahwa semakin mudah petani berhutang ke pedagang pengumpul dan pedagang besar maka semakin kecil peluang keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. 4. Akses informasi teknik fermentasi Informasi dapat diartikan sebagai apapun yang dikirimkan dari seseorang ke orang lain dengan tujuan agar orang lain tersebut mempunyai persepsi/arti yang sama dengan si pengirim. Informasi sebagai kata benda dapat berupa pengetahuan yang diperoleh dari studi atau investigasi, data keadaan, sinyal atau karakter tentang data, sesuatu yang menggambarkan fisik atau mental, pengalaman atau konsep lain (Wijayanti, 2003). Slamet (2001) dalam Wijayanti (2003) menyatakan dengan mendapat informasi-informasi yang relevan dengan usahataninya, para petani akan meningkat kemampuan dan kemungkinannya untuk membuat keputusankeputusan yang lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak tergantung pada keputusan orang atau pihak lain. Petani yang telah maju dan
22
berorientasi pada pasar akan selalu berusaha dapat bertani dengan lebih baik dan selalu mengikuti perkembangan kebutuhan pasar. Berusahatani yang baik akan selalu memerlukan adanya informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya (Wijayanti, 2003). Berdasarkan pernyataan di atas, diduga terdapat kecenderungan bahwa akses informasi teknik fermentasi yang mudah akan mempengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. 5. Status Usahatani Menurut Nurmalina et al. (2012) keputusan petani terhadap usahataninya diduga dipengaruhi oleh sumber mata pencaharian petani. Petani yang sumber pendapatan utamannya berasal dari usahatani, memiliki perbedaan dengan petani dimana usahataninya memberikan porsi kecil dalam struktur pendapatan petani. Status usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu usahatani kakao sebagai pekerjaan utama dan sebagai pekerjaan sampingan. Klasifikasi tersebut berdasarkan curahan waktu yang dilakukan petani dalam melakukan usahatani, dengan asumsi bahwa curahan tenaga kerja terhadap suatu kegiatan, mencerminkan tingkat pendapatan dari kegiatan tersebut. Petani yang status usahataninya sebagai usaha utama memberikan curahan tenaga kerja dan waktu yang optimal pada usahatani tersebut. Disisi lain petani yang status usahataninya sebagai usaha sampingan, curahan tenaga kerja dan waktu yang diberikan kurang optimal. Demikian pula pada pengambilan keputusan usahatani, petani dimana usahatani merupakan sumber pendapatan utama akan memprioritaskan pengambilan keputusan atas usahataninya. Pertimbangan dalam pengambilan keputusan petani adalah keputusan usahatani yang diterapkan dapat memberikan keuntungan bagi petani. 6. Jumlah produksi biji kakao Menurut Wahyudi et al. (2009) panas yang timbul selama fermentasi ditahan menggunakan isolasi, tetapi hal ini menjadi sulit dilakukan, terutama untuk jumlah biji kakao yang sedikit dan luas permukaan massa bijinya sangat luas jika dibanding dengan volume massa biji. Oleh sebab itu, untuk hasil yang baik, terdapat jumlah minimum biji kakao yang akan difermentasi. Beberapa pendapat telah mengemukakan mengenai jumlah minimum untuk fermentasi. Wahyudi et al. (2009) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil fermentasi yang baik, biji yang difermentasi didalam kotak tradisional atau tumpukan tidak boleh kurang dari 90 kg. Wahyudi (2003) dan Ditjen PPHP (2006) menjelaskan bahwa jumlah biji minimum yang difermentasi yaitu sebanyak 40 kg biji kakao basah. Sama halnya dengan Wahyudi (2003), Hatmi (2012) menjelaskan bahwa kuantitas minimal biji kakao yang difermentasi adalah sebanyak 40 kg, kurangnya kuantitas biji kakao yang difermentasi menyebabkan suhu fermentasi tidak tercapai sehingga tidak menghasilkan biji terfermentasi namun memicu munculnya biji yang berjamur. Berdasarkan pernyataan tersebut maka jumlah biji kakao yang dihasilkan petani menentukan keberhasilan proses fermentasi. Dengan demikian, pada penelitian ini diduga jumlah biji kakao yang dihasilkan petani memengaruhi keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi.
Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga dunia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan komoditas kakao. Hal ini diperkuat oleh
23
komoditas kakao memiliki peranan penting bagi perekonomian Indonesia yaitu sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Namun, Potensi pengembangan komoditas kakao Indonesia mengalami kendala yaitu produktivitas tanaman kakao Indonesia yang dibawah potensi normal dan kualitas biji kakao yang rendah karena sebagian besar tidak dilakukan proses fermentasi. Kebijakan gerakan nasional peningkatan produktivitas dan mutu kakao Gernas Kakao berakhir pada tahun 2011 dan hanya pada daerah tertentu kebijakan ini berakhir pada tahun 2013. Dampak kebijakan Gernas kakao belum sepenuhnya dapat dirasakan, karena butuh waktu 3-4 tahun untuk meningkatkan produktivitas melalui kegiatan peremajaan, rehabilitasi (sambung samping), dan intensifikasi. Pada aspek mutu kebijakan gernas kakao belum dirasakan dampaknya karena sebagian besar petani belum melakukan fermentasi biji kakao. Pada sisi lain permintaan biji kakao baik terfermentasi maupun tidak terfermentasi meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao sebagai dampak kebijakan bea keluar. Kemitraan Nestle Cocoa Plan PISAgro merupakan kemitraan publik-privat yang berupaya mewujudkan pertanian berkelajutan pada komoditas kakao melalui peningkatan produksi dan kualitas biji kakao. Dalam upaya memenuhi permintaan kakao maka program Nestle Cocoa Plan berpotensi menjadi model upaya peningkatan produksi dan mutu kakao berkelanjutan. Oleh sebab itu dalam upaya peningkatan mutu biji kakao nasional perlu diketahui bagaimana produksi biji kakao terfermentasi serta faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan petani memroduki biji kakao terfermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran produksi biji kakao terfermentasi serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi petani binaan Nestle Cocoa Plan melakukan fermentasi biji kakao. Analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan finansial. Secara kualitatif faktor-faktor diidentifikasi melalui anaisis regresi logistik untuk mengetahui faktor-faktor yang signifikan memengaruhi petani melakukan fermentasi biji kakao. Selanjutknya secara finansial dilakukan analisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi. Fermentasi merupakan bagian dari kegiatan pascapanen biji kakao yang penerapannya membutuhkan serangkaian kegiatan pascapanen yang sesuai dengan SOP pascapanen fermentasi biji kakao. Hal ini dikarenakan seluruh tahapan pascapanen memengaruhi keberhasilan proses fermentasi. Analisis perbandingan pendapatan pascapanen dilakukan secara parsial terhadap pendapatan usahatani kakao secara keseluruhan. Hal ini bertujuan untuk membandingkan dengan jelas pengembalian (penerimaan) yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan dengan dilakukannya pascapenen fermentasi biji kakao. Selain itu analisis pendapatan pascapanen biji kakao bertujuan untuk mengetahui nilai tambah dari upaya peningkatan mutu biji kakao melalui fermentasi biji kakao.
24
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan kakao. Namun, terkendala oleh rendahnya kualitas kakao ditingkat usahatani karena biji kakao tidak dilakukan fermentasi pada kegiatan pasca panen.
Upaya peningkatan mutu kakao Pemerintah Gernas Kakao Bea Keluar
Swasta Nestle Cocoa Plan – PISAgro Program : Sekolah lapang, Kebun Percontohan, Unit pembelian Kakao
Deskripsi produksi biji kakao terfermentasi
Analisis faktor-faktor yang mempengaruh keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi
Analisis Kualitatif
Analisis Finansial
Analisis regresi logistik biner (Logit)
Analisis pendapatan pascapanen
Tanpa aplikasi fermentasi
Penerimaan
Aplikasi Fermentasi
Biaya
Pendapatan Pascapanen
Total
Tunai
Kegiatan pascapanen yang memberikan pendapatan tertinggi Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat pada bulan Mei 2014. Penentuan lokasi secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan: 1. Kecamatan Kalukku merupakan salah satu daerah binaan Nestle Cocoa Plan yang petaninya telah menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao dan merupakan kecamatan penghasil kakao terbesar kedua di Kabupaten Mamuju setelah Kecamatan Sampaga (Tabel 5) (BPS 2013). 2. Kecamatan Kalukku merupakan kecamatan yang didalamnya berlokasi unit pembelian kakao PT BT Cocoa atas program Cocoa Tracebility Nestle Cocoa Plan untuk wilayah Kabupaten Mamuju. Petani yang berada di Kecamatan Kalukku memiliki akses termudah untuk menjangkau ketiga program yang dilaksanakan Nestle Cocoa Plan. Kedua program lainnya yaitu; program peningkatan pengetahuan tanaman melalui kebun demplot dan program pembinaan peningkatan kapasitas petani melalui sekolah lapang yang dilaksanakan dalam lingkup kelompoktani. Tabel 5 Luas areal, produksi dan produktivitas kakao di Kabupaten Mamuju menurut kecamatan tahun 2012. Produktivitas No. Kecamatan Luas Areal (ha) Produksi (ton) (ton/ha) 1 Tapalang 5 200.55 1 361.97 0.26 2 Tapalang Barat 2 071.88 742.55 0.36 3 Mamuju 2 343.00 872.04 0.37 4 Simboro 5 856.50 1 956.07 0.33 5 Balabalakang 0.00 0.00 6 Kalukku 7 491.08 3 094.37 0.41 7 Papalang 6 798.24 2 403.88 0.35 8 Sampaga 8 091.70 3 576.29 0.44 9 Tommo 4 703.70 2 094.20 0.45 10 Kalumpang 3 604.81 1 695.31 0.47 11 Bonehau 1 821.50 832.82 0.46 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan observasi dan wawancara melalui kuesioner kepada petani binaan Nestle Cocoa Plan yang melakukan fermentasi dan tidak melakukan fermentasi. Data sekunder diperoleh dari PT. BT Cocoa yaitu mengenai data jurnal pembelian kakao, PT Swisscontact yaitu mengenai database peserta program Nestle Cocoa Plan. BPS yaitu mengenai data mamuju dan kalukku
26
dalam angka, dan website Kementan mengenai data luas lahan, produksi dan produktifitas Metode Pengambilan Sampel Populasi yang dijadikan objek penelitian adalah petani kakao binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Jumlah populasi petani binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku sampai bulan April 2014 berdasarkan data dari Swisscontact adalah sebanyak 886 petani. Berdasarkan data jurnal pembelian PT BT Cocoa bulan April 2014, jumlah petani binaan Nestle Cocoa Plan yang melakukan penjualan ke unit pembelian PT BT Cocoa sebanyak 29 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 9 orang petani kakao fermentasi, 20 orang petani kakao non fermentasi dan seorang petani yang menjual kakao fermentasi dan non fermentasi. Sisanya, sebanyak 857 petani menjual biji kakao ke kelembagaan pemasaran tradisional yang ada di Kecamatan Kalukku yaitu pedagang pengumpul desa, dan pedagang pengumpul kecamatan. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 orang, terdiri dari 15 petani kakao fermentasi dan 15 petani non fermentasi. Pemilihan responden dilakukan dengan metode pengambilan sampel secara tidak acak (non random) dengan teknik purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditentukan secara subjektif dimana responden diambil berdasarkan pertimbangan peneliti dan rekomendasi pihak terkait. Penentuan jumlah sampel secara purposive untuk petani non fermentasi, yang terdiri atas 12 orang petani yang menjual biji kakao non fermentasi ke pedagang pengumpul atau pedagang besar dan 3 orang petani yang menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa. Penentuan jumlah sampel petani fermentasi dilakukan secara sensus yaitu sebanyak 15 orang petani fermentasi yang menjual biji kakao terfermentasi ke unit pembelian PT BT Cocoa. Kriteria sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini yaitu ; pertama, petani responden merupakan petani binaan Nestle Cocoa Plan yang menjual hasil panen ke unit pembelian PT BT Cocoa atau tidak menjual ke unit pembelian PT BT Cocoa namun pernah menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa sehingga petani tersebut pernah merasakan kelebihan dan kekurangan dari bertransaksi dengan unit pembelian PT BT Cocoa. Kedua, masa panen kakao pada bulan Mei 2014. Hal ini dikarenakan bulan Mei merupakan masa panen puncak yang menjadi ukuran kapasitas maksimal biji kakao yang dihasilkan.
Metode Analisis Data Analisis pendapatan pascapanen biji kakao Analisis pendapatan pascapanen biji kakao bertujuan untuk mengatahui apakah kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi memberikan penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak terfermentasi. Analisis pendapatan pascapanen biji kakao juga bermaksud untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah dan pengembalian (penerimaan) yang diperoleh petani atas biaya yang dikeluarkan karena tambahan serangkaian kegiatan pascapanen fermentasi biji
27
kakao. Berkaitan dengan tujuan tersebut, analisis pendapatan pascapanen dilakukan secara parsial terhadap analisis usahatani kakao. Hal ini dikarenakan kegiatan pascapanen dalam penelitian ini dipandang sebagai kegiatan penanganan (handling) produk pertanian yang berfungsi untuk meningkatkan nilai tambah produk primer (biji kakao basah). Fungsi penciptaan nilai tambah ini dapat dilakukan terpisah dari kegiatan produksi dalam usahatani. Penerimaan dalam penelitian ini adalah total produksi biji kakao kering (terfermentasi maupun tidak terfermentasi) dikalikan dengan harga biji kakao kering. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual yang dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi 1986) : TR = P ∗ Q Keterangan : TR = Total penerimaan P = Harga biji kakao kering Q = Jumlah biji kakao yang dihasilkan Pengeluaran atau biaya merupakan pengeluaran yang dikorbankan dalam kegiatan produksi. Biaya yang digunakan untuk kegiatan pascapanen biji kakao dibedakan atas biaya tunai dan non tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai. Sedangkan biaya diperhitungkan atau non tunai adalah biaya yang seharusnya dikeluarkan petani tetapi tidak dikeluarkan oleh petani namun tetap harus diperhitungkan dan digunakan untuk menghitung seberapa besar pendapatan petani jika penyusutan dan nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan. Biaya penyusutan dalam penelitian ini dihitung dengan metode garis lurus. Asumsi nilai sisa yang digunakan dalam metode ini adalah nol. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap mudah dan diasumsikan tidak laku bila dijual (Soekartawi et al 1986). Secara matematis, rumus biaya pascapanen secara keseluruhan dan biaya penyusutan adalah sebagai berikut : Biaya total : TC = C + NC Biaya penyusutan : Biaya Penyusutan =
(Nb-Ns) N
Keterangan : TC = Total biaya C = Total biaya tunai (cash) NC = Total biaya non tunai (non cash) Nb = Nilai beli Ns = Nilai sisa N = Umur ekonomis Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran (Soekartawi et al. 1986). Pendapatan pascapanen kakao pada penelitian ini diperoleh dari selisih antara penerimaan dan total pengeluaran kegiatan pascapanen kakao. Pendapatan dibedakan atas perhitungan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Perhitungan pendapatan tunai dan pendapatan total dirumuskan sebagai berikut :
28
Perhitungan pendapatan tunai : Y = TR − C Perhitungan pendapatan total : YT = TR − TC Keterangan : Y = Pendapatan atau keuntungan tunai kegiatan pascapanen YT = Pendapatan total atau keuntungan total kegiatan pascapanen TR = Penerimaan pascapanen C = Biaya tunai pascapanen TC = Biaya total pascapanen termasuk biaya tunai didalamnya Uji statistik Dalam penelitian ini, taraf nyata yang digunakan dalam uji statistik dasar adalah 15 persen (∝ = 15 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛). Hal ini dapat dilakukan karena menurut Nazir (2011) jika penelitian sosial ekonomi lebih sulit dari penelitian natura karena sulit melakukan pengontrolan, tidak mungkin melakukan percobaan dan sumber informasi diperoleh dari daya ingat responden sehingga sulit untuk menetapkan tingkat kepercayaan data yang tinggi. Uji-t sampel bebas Uji-t sampel bebas digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan antara dua kelompok sampel yang tidak saling mempengaruhi (Parianto 2011). Syaratnya yaitu menggunakan dua sampel yang tidak saling berhubungan dan kondisi data memenuhi persyaratan uji parametrik yakni berditribusi normal. Hipotesis yang dibangun yaitu : Ho : kedua varians populasi adalah identik/sama. H1 : kedua varians populasi adalah tidak identik/sama. Dasar pengambilan keputusan pada penelitian ini berdasarkan probabilitas (signifikansi: 15 persen), jika probabilitas>alpha, maka H0 diterima. Signifikansi hasil perlakuan, dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan yang terjadi. Hipotesis yang dibangun pada penelitian ini misalnya untuk pendapatan adalah : H0 : Rata–rata pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi tidak beda nyata atau sama. H1 : Rata–rata pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi beda nyata atau tidak sama. Dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai Sig hitung, yakni nilai Sig hitung < alpha maka H0 ditolak. Model logit Regresi logistik biner (Logit) merupakan bagian dari analisis regresi. Menurut Firdaus et al (2011) analisis regresi logistik mengkaji hubungan pengaruh peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui persamaan matematis tertentu. Model analisis logistik melibatkan satu peubah respon (Y) berupa kategorik, dipengaruhi oleh satu atau lebih dari satu peubah penjelas (X) yang mencapai pengukuran metrik atau gabungan metrik dan nonmetrik. Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian peubah. Asumsi normalitas atas peubah penjelas yang digunakan tidak dibutuhkan
29
dalam model analisis regresi logit. Dalam analisis regresi logistik, permodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke logit. Model analisis regresi logistik dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝑝𝑖 𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑝𝑖 = 𝑙𝑜𝑔𝑒 1 − 𝑝𝑖 Dimana : 1 𝑃𝑖 = − 1 + 𝑒 𝛽0 +𝛽1 𝛽𝑖 Keterangan : 𝑝𝑖 = Peluang muncul ke – j (𝑌=sukses) observasi ke – i 𝛽0 = Intercept = Koefisien model 𝛽𝑖 𝑒 = bilangan natural = 2.71828 Model persamaan regresi logistik (Logit) dugaan untuk analisis faktor-faktor yang memengaruhi petani memroduksi kakao fermentasi adalah sebagai berikut : Pi = 𝛽0 + β1𝑋1 + β2𝑋2 +β3𝐷1 + β4𝐷2 + β5𝐷3 + 𝛽6 𝐷4 + 𝜀𝑖 Gi = ln 1-Pi dimana : Gi = Persamaan regresi logistik biner Pi = Peluang keputusan petani memroduksi biji kakao yaterfermentasi (1-Pi) =Peluang keputuasan petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi 𝛽0 = Intersep βi = Parameter variabel independen 𝑋1 = Jumlah biji kakao yang dihasilkan (kg) 𝑋2 = Jarak petani ke Unit Pembelian PT BT Cocoa (meter) 𝐷1 = Dummy Status usahatani kakao responden (1= pekerjaan utama, 0= pekerjaan sampingan) 𝐷2 = Dummy Harga (1= harga lebih tinggi, 0= harga tidak lebih tinggi) = Dummy akses informasi teknik fermentasi (1= mudah, 0= tidak 𝐷3 mudah) 𝐷4 = Dummy akses berhutang ke pedagang (1= mudah, 0= tidak mudah) εi = Galat Hipotesis dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jumlah biji kakao yang dihasilkan petani per panennya diharapkan berpengaruh positif terhadap peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah biji kakao yang dihasikan, semakin besar peluang terpenuhinya kapasitas minimum kotak fermentasi. Serta, semakin banyak jumlah biji kakao yang dihasilkan maka petani dapat membagi hasil panen untuk difermentasi dan tidak difermentasi. Hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan pendapatan petani sekaligus memenuhi kebutuhan petani yang mendesak.
30
2. Jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa menunjukan kemudahan petani dalam pemasaran biji kakao terfermentasi. Variabel ini diharapkan berpengaruh negatif terhadap peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal tersebut dikarenakan semakin kecil jarak petani ke lembaga pemasaran biji kakao terfermentasi semakin mudah petani melakukan transaksi penjualan maka semakin besar peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. 3. Status usahatani kakao merupakan nilai dummy yang menunjukan sumber pendapatan petani ( 1= pekerjaan utama, 0=pekerjaan sampingan). Petani yang melakukan usahatani kakao sebagai pekerjaan utama maka akan mengupayakan segala cara agar usahatani kakao menghasilkan keuntungan yang tinggi. Hipotesis awal untuk variabel status pekerjaan adalah jika usahatani kakao adalah pekerjaan utama maka kemauan petani melakukan fermentasi biji kakao lebih tinggi daripada petani yang melakukan usahatani kakao dengan tujuan pekerjaan sampingan. 4. Perbedaan harga merupakan nilai dummy yang menunjukkan pandangan atau persepsi petani mengenai tingkat harga yang ditawarkan untuk biji kakao terfermentasi dibandingkan dengan biji kakao tidak terfermentasi (1=cukup tinggi, 0= rendah). Petani yang berpendapatan perbedaan harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi cukup tinggi dan terdapat perbedaan yang signifikan maka peluang petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi lebih besar dibanding petani yang berpendapat perbedaan harga biji kakao fermentasi dan tidak terfermentasi rendah. 5. Akses informasi teknik fermentasi merupakan nilai dummy yang menunjukan kemudahan petani dalam memperoleh informasi mengenai tatacara melakukan fermentasi biji kakao (1=mudah, 0=tidak mudah). Variabel akses informasi teknik fermentasi diharapkan berpengaruh positif terhadap peluang petani melakukan fermentasi biji kakao. Hal ini dikarenakan kemudahan petani mendapatkan informasi mengenai fermentasi biji kakao akan memudahkan petani mengetahui tatacara melakukan fermentasi biji kakao yang benar. Oleh sebab itu hipotesis awal untuk variabel ini adalah jika petani mudah memperoleh informasi tentang teknik fermentasi maka peluang petani memroduksi biji kakao terfermentasi biji kakao lebih tinggi dibanding petani yang sulit mendapatkan informasi teknik fermentasi. 6. Akses berhutang ke pedagang merupakan nilai dummy yang menunjukan kemudahan petani mendapat pinjaman dari pedagang pengumpul atau pedagang besar (1=mudah, 0=tidak mudah). Variabel ini diharapkan berpengaruh negatif terhadap peluang petani memroduksi biji kakao terfermentasi, dikarenakan petani yang mudah mengakses pinjaman dari pedagang maka peluang petani terikat dengan pedagang semakin besar. Petani yang terikat hutang dengan pedagang akan menjual hasil panennya ke pedagang, petani tidak akan memroduksi biji kakao terfermentasi karena pedagang pengumpul tidak menyarankan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Dengan demikian petani yang mudah memeroleh pinjaman dari pedagang diduga peluang keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi lebih rendah dibanding petani yang tidak mudak memeroleh pinjaman dari pedagang.
31
Uji signifikansi model regresi logistik dugaan Uji signifikansi model regresi logistik dugaan dilakukan untuk menyimpulkan apakah variabel independent yang dimasukkan ke dalam model secara bersama-sama dapat memberikan pengaruh kepada variabel dependent (Firdaus et al. 2011). Dengan kata lain uji ini digunakan untuk menyimpulkan apakan model signifikan. Hipotes uji yang digunakan sebagai berikut : 𝐻0 : 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑗 = 0 ( model dugaan tidak signifikan ) 𝐻1 : 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝛽𝑗 ≠ 0 ( model dugaan signifikan) Untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan statistik uji likelihood ratio sebagai berikut, 𝐿𝑖𝑘𝑒𝑙𝑖𝑜𝑜𝑑 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 𝐻0 𝐺 = −2𝑙𝑛 𝐿𝑖𝑘𝑒𝑙𝑖𝑜𝑜𝑑 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 𝐻1 Dimana, 𝑙𝑛 adalah logaritma dengan basis bilangan natural (𝑒) Statistik G menyebar mengikuti sebaran chi-square 𝑋 2 dengan derajat bebas = df= k. Apabila nilai G lebih besar dibandingkan nilai chi-square tabel pada taraf nyata tertentu (α) 𝐺 > 𝑋 2 𝑑𝑓 =𝑘 𝑎 , maka disimpulkan tolak 𝐻0 . Pada hasil alat analisis, signifikansi model dapat dilihat dari nilai P atau 𝑃 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒. P merupakan peluang 𝑋 2 𝑑𝑓 =𝑘 > 𝐺 , apabila P kurang dari taraf nyata ( 𝑃 < 𝑎) maka disimpulkan tolak 𝐻0 pada taraf nyata 𝑎 ( Hosmer dan Lemeshow 1989). Uji signifikansi masing-masing variabel independent (𝑿𝒋 ) Uji signifikansi masing-masing variabel independen bertujuan untuk menguji faktor mana atau variabel independent mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap variabel dependen. Uji yang digunakan untuk uji signifikansi masing-masing variabel independent adalah Uji Wald. Hipotesis uji yang dibangun adalah sebagai berikut : 𝐻0 : 𝛽𝑗 = 0 (variabel 𝑋𝑗 tidak berpengaruh nyata terhadap variabel respon) 𝐻1 : 𝛽𝑗 ≠ 0 (variabel 𝑋𝑗 berpengaruh nyata terhadap variabel respon) Hipotesis diatas diuji menggunakan statistic uji wald sebagai berikut; 𝑊𝑗 =
𝑏𝑗 𝑆𝐸 𝐶𝑜𝑒𝑓 𝑏𝑗
Dimana : 𝑏𝑗 = Koefisien model dugaan untuk variabel independent 𝑋𝑗 𝑆𝐸 𝐶𝑜𝑒𝑓 𝑏𝑗 = Simpangan baku koefisien 𝑋𝑗 𝑗 = 1,2,…,n Statistik 𝑊𝑗 menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Apabila nilai 𝑊𝑗 lebih besar dari sebaran normal baku pada taraf nyata tertentu atau 𝑊𝑗 > 𝑍𝑎 /2 maka disimpulkan tolak 𝐻0 pada taraf nyata 𝑎. Pada output software alat analisis, signifikansi variabel independent dapat dilihat pada nilai P atau 𝑃 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒. P merupakan peluang 𝑍 > 𝑊𝑗 , apabila nilai p kurang dari taraf nyata (𝑝 < 𝑎) maka disimpulkan menolak 𝐻0 pada taraf nyata α.
32
Interpretasi model regresi logistik Interpretasi model bertujuan untuk mendeskripsikan seberapa besar perubahan variabel dependen bila terdapat perubahan pada variabel independent. Interpretasi model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai rasio oddsnya. Jika suatu variabel independent mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih besar dari satu. Sebaiknya, jika tanda koefisiennya negatif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih kecil dari satu. Koefisien model logit dapat ditulis sebagai 𝛽𝑗 = 𝑔 𝑋 + 1 − 𝑔 𝑥 . Koefisien model logit 𝛽𝑗 mencerminkan perubahan dalam fungsi logit 𝑔 𝑥 untuk perubahan satu unit variabel independent yang disebut log odds. Log odds merupakan beda antara dua penduga logit yang dihitung pada dua nilai (misal X=a dan X=b) dinotasikan sebagai : 𝑙𝑛 ψ 𝑎, 𝑏 = 𝑔 𝑋 = 𝑎 − 𝑔 𝑋 = 𝑏 = 𝛽𝑎 − 𝑏. Sedangkan penduga rasio oddsnya adalah : 𝜓 𝑎, 𝑏 = 𝑒𝑥𝑝 𝛽𝑗 𝑎 − 𝑏 , sehingga jika 𝑎 − 𝑏 = 1 maka exp 𝜓 = 𝛽𝑗 , interpretasi dari nilai rasio odds ini adalah kecenderungan 𝑌 = 1 pada kondisi 𝑋 = 1 sebesar 𝜓 kali dibandingkan dengan 𝑋 = 0. Menurut Gujarati (2006), jika nilai logit L positif, artinya ketika nilai variabel independent naik, peluang bahwa 𝑌sama dengan “1” naik, begitu pula sebaliknya jika logit L negatif maka peluang 𝑌 sama dengan “1” menurun sama dengan kenaikan X. Nilai logit bisa menjadi negatif bisa menjadi negatif jika rasio peluang kuarang dari 1 dan nilai logit menjadi positif jika lebih dari 1. Dalam regresi logistik variable independen dibedakan menjadi dua sifat yaitu variabel independen bersifat dikotomi dan variabel independen bersifat kontinu atau metrik. Cara menginterpretasikan variabel independen berdasarkan sifat variabel tersebut sebagai berikut; a) Interpretasi variabel independent bersifat dikotomi Cara menginterpretasi : Kecenderungan peluang individu untuk kategori 𝑌 = 1 sebesar 𝜓 kali saat 𝑋 = 1 dibandingkan saat 𝑋 = 0. Sebagai contoh, 𝑌 adalah Aplikasi fermentasi biji kakao yang ditransformasikan ke dalam dikotomi variabel yakni 𝑌 = 1 untuk peluang petani melakukan fermentasi biji kakao, 𝑌 = 0 untuk peluang petani tidak melakukan fermentasi biji kakao. Variabel X menunjukan akses informasi teknis fermentasi. Jika akses informasi teknis fermentasi mudah didapatkan 𝑋 = 1 dan 𝑋 = 0 jika akses informasi teknis fermentasi sulit didapatkan dan nilai oddsnya adalah 35.09. Hal ini dapat diartikan bahwa petani yang mendapat kemudahan akses informasi teknis fermentasi biji kakao berkemungkinan melakukan fermentasi biji kakao 35.09 kali dibanding petani yang kesulitan mendapat akses informasi teknis fermentasi. b) Interpretasi variabel independent bersifat kontinu. Cara menginterpretasi : Kecenderungan peluang individu untuk kategori 𝑌 = 1 dengan peningkatan X sebesar satu unit sebesar 𝜓 kali sebelum terjadi peningkatan. Sebagai contoh, 𝑌 adalah Aplikasi fermentasi biji kakao yang ditransformasikan ke dalam dikotomi variabel yakni 𝑌 = 1 untuk peluang petani melakukan fermentasi biji kakao, 𝑌 = 0 untuk peluang petani tidak melakukan fermentasi biji kakao. Variabel X menunjukan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa. Nilai odds yang didapat adalah 1.001. Hal ini dapat dinterpretasikan bahwa setiap peningkatan 1 meter jarak petani ke unit
33
pembelian PT BT Cocoa, peluang petani melakukan fermentasi meningkat 1 kali dari semula. Definisi Operasional Dalam penelitian ini digunakan definisi operasional sebagai berikut : 1. Petani kakao fermentasi adalah petani binaan Nestle Cocoa Plan yang memroduksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. 2. Petani kakao non fermentasi adalah petani binaan Nestle Cocoa Plan yang tidak memroduksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. 3. Produksi kakao adalah jumlah biji kakao kering yang dihasilkan pada periode tertentu. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram. 4. Produksi biji kakao terfermentasi adalah jumlah biji kakao terfermentasi yang dihasilkan dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dalam satu kali panen. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram. 5. Produksi biji kakao tidak terfermentasi (unfermented) adalah jumlah biji kakao unfermented yang didapat dari kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi dalam satu kali panen. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram. 6. Penerimaan pascapanen adalah hasil perkalian antara produksi biji kakao dan harga produk, yang dinyatakan dengan satuan rupiah. 7. Biji kakao terfermentasi adalah biji kakao hasil kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi yang memperlihatkan ¾ atau lebih permukaan irisan keping biji berwarna cokelat, berongga dan beraroma khas kakao. 8. Biji kakao tidak terfermentasi adalah biji kakao hasil kegiatan pascapanen tanpa aplikasi fermentasi. Pada kakao lindak biji kakao tidak terfermentasi ditandai oleh separuh atau lebih permukaan irisan kering biji berwarna keabuabuan seperti sabak, atau biru keabu-abuan bertekstur padat dan pejal (slaty), dan pada kakao mulia permukaannya berwarna putih kotor. 9. Automatic detention adalah penahanan otomatis oleh negara tujuan ekspor terhadap biji kakao yang diekspor karena terkontaminasi oleh serangga. 10. Automatic discount adalah potongan harga oleh negara tujuan ekspor terhadap biji kakao yang diekspor karena mutu rendah (non fermentasi). 11. GAP (Good Agriculture Practises) adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman hasil pertanian secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan petani serta usaha produksi yang berkelanjutan. 12. GHP (Good Handling Practices) adalah penanganan pascapanen yang baik yang berkaitan dengan penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan prasaranan yang digunakan.
GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Kecamatan Kalukku terletak di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Kecamatan Kalukku memiliki luas wilayah 470.26 km2, serta berada pada ketinggian 0-500 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan batas wilayah, sebelah utara kecamatan kalukku berbatasan dengan Kecamatan Papalang, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bonehau dan Kabupaten Mamasa, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Mamuju, dan di sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Kecamatan Kalukku memiliki jarak tempuh ± 32 km arah utara dari ibu kota Kabupaten yaitu Kecamatan Mamuju. Secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Kalukku terbagi atas 10 Desa dan 3 Kelurahan, yakni : Desa Beru-beru, Belang-belang, Kalukku Barat, Pammulukang, Keang, Uhaimate, Guliling, Pokkang, Sondoang dan Kabuloang, serta Kelurahan Bebanga, Sinyonyoi dan Kalukku. Desa dan Kelurahan tersebut secara garis besar memiliki topografi wilayah berupa daratan, pantai dan perbukitan. Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Kelurahan Kalukku, Kelurahan Sinyonyoi, Desa Guliling, Desa Sondoang, serta Desa Pammulukang. Kelurahan dan desa tersebut termasuk desa binaan Program Nestle Cocoa Plan yang aktif melakukan kegiatan penjualan biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa. Kecamatan Kalukku memiliki jumlah penduduk ± 53 839 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 27 249 jiwa dan perempuan sebanyak 26 590 jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun sebesar 0.97%. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kelurahan Sinyonyoi yaitu sebesar 76 jiwa/ha. Penduduk yang menghuni Kecamatan Kalukku terdiri dari beberapa etnis, diantaranya ; Etnis Bugis, Etnis Bugis Makassar, Etnis Mandar, Etnis Jawa, Etnis Tator dan lain-lain. Secara garis besar Kecamatan Kalukku mempunyai iklim tropis yang terbagi menjadi dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Berdasarkan kondisi iklim serta topografi wilayah, Kecamatan Kalukku memiliki potensi wilayah diantaranya pengembangan pertanian tanaman pangan, perkebunan (meliputi kakao, kemiri, kelapa dalam, cengkeh, kopi robusta, jambu mete, panili, lada, kapas, dan sagu), perikanan, peternakan (meliputi; sapi, kerbau, kambing, kuda, babi, serta unggas). Hal ini menyebabkan sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan Kalukku yaitu sebagai petani, peternak dan nelayan. Kelurahan Sinyonyoi Kecamatan Kalukku Kelurahan Sinyonyoi memiliki luas wilayah 42 km2. Kelurahan Sinyonyoi berada pada ketinggian tempat sekitar 0-250 mdpl. Topografi yang ada di Kelurahan Sinyonyoi berbukit dan berdataran rendah. Karakteristik tanah di Kelurahan ini adalah tanah kemerah-merahan, agak liat, lempung dan bercampur pasir. PH tanah berada pada kisaran 5-7. Luas lahan perkebunan kakao di kelurahan Sinyonyoi sebesar 542 ha. Lahan tersebut diusahakan oleh 362 orang petani kakao dengan hasil panen per tahunnya rata-rata sebesar 205 ton. Selain kakao, komoditas perkebunan yang diusahakan
35
masyarakat kelurahan Sinyonyoi yaitu kelapa dan kemiri dengan luas lahan masing masing sebesar 185 ha dan 5 ha. Pada sektor tanaman pangan komoditas yang diusahakan yaitu padi sawah dengan luas lahan sebesar 870 ha, padi ladang sebesar 18 ha, jagung sebesar 25 ha, ubi kayu sebesar 8 ha, dan ubi jalar sebesar 12 ha. Masyarakat Kelurahan Sinyonyoi beberapa diantaranya mengusahakan sektor perikanan dan kelautan serta peternakan. Komoditas yang diusahakan yaitu bandeng, udang dan rumput laut, produksi masing masing komoditas tersebut sebesar 179.2 ton, 4.8, dan 96 ton. Pada sektor peternakan komoditas terbesar yang diusahakan yaitu ayam ras dengan jumlah ternak sebanyak 5 316 ekor, ayam buras 4 114 ekor, dan sapi 586 ekor. Petani responden yang berasal dari Kelurahan Sinyonyoi sebanyak 3 orang. Desa Guliling Kecamatan Kalukku Desa Guliling terletak di daerah pegunungan yang membentang ke pantai ke arah utara kecamatan Kalukku. Luas wilayah Desa Guliling sekitar 17 km2 dengan ketinggian antara 0-500 mdpl. Jenis tanah desa ini sebagian besar tanah alluvial dan sebagian lain tanah berpasir. Tingkat keasaman (pH) tanah yang ada di desa Guliling berada pada kisaran 6-7. Penduduk Desa Guliling berjumlah 1 441 jiwa, yang terdiri atas 765 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 676 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah kepala keluarga yang terdapat pada desa ini sebanyak 424 kepala keluarga. Tingkat pendidikan penduduk Desa Guliling paling banyak adalah tidak memiliki ijasah sebanyak 613 jiwa atau sebesar 42.5% dari jumlah penduduk. Berdasarkan data tersebut peningkatan sumberdaya manusia (SDM) perlu dilakukan secara formal maupun informal untuk meningkatkan wawasan berpikir bagi masyarakat utamanya pada bidang budidaya pertanian. Sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Guliling sebagai petani. Jumlah petani perkebunan desa Guliling sebanyak 425 orang, petani tanaman pangan sebanyak 50 orang dan petani peternak sebanyak 27 orang. Potensi lahan usahatani yang dimiliki desa Gililing terdiri atas lahan sawah seluas 7 ha, lahan perkebunan seluas 724 ha, perkarangan seluas 524 ha, lahan kering seluas 250 ha, kolam air tawar seluas 5 ha, serta hutan kawasan seluas 3 842 ha. Usahatani kakao di desa Guliling dilakukan oleh 350 orang petani kakao pada lahan perkebunan seluas 700 ha. Produksi kakao Desa Guliling rata-rata per tahunnya mencapai sebesar 650 ton. Petani responden yang berasal dari Desa Guliling terdapat 4 oarang. Desa Pammulukang Kecamatan Kalukku Desa Pammulukang berjarak 27 km dari ibu kota kabupaten mamuju. Desa ini memiliki luas wilayah seluas 24.50 km. Desa Pammulukang berbatasan langsung dengan Kelurahan Sinyonyoi di sebelah utara, Desa Uhaimate di sebelah timur, Desa Pangandaran Kabupaten Mamasa di sebelah selatan, dan Kelurahan Bebangan di sebelah barat. Ketinggian Desa Pammmulukang berkisar 0-1900 meter di atas permukaan laut dengan topografi wilayah berupa dataran dan perbukitan. Jenis tanah Desa Pammulukang termasuk tanah Alluvial yang memiliki pH tanah pada kisaran 5.5-7. Suhu udara Desa Pammulakang berkisar 27° − 30° C. Curah hujan rata-rata sebesar 210 mm/tahun yang dalam setahun
36
terdiri dari 7-8 bulan basah yakni pada bulan Oktober-April dan bulan kering pada bulan Mei – September. Jumlah penduduk Desa Pammulukang sebanyak 1 857 jiwa yang terdiri dari 1 000 jiwa laki-laki dan 857 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Pammulukang bermata pencaharian sebagai petani. Jumlah petani kakao desa Pammulukang sebanyak 215 orang. Luas lahan perkebunan kakao sebesar 539 ha dengan luas panen sebesar 205 ha. Rata-rata produksi kakao mencapai 250 kg/ha dan jumlah produksi per tahunnya sebanyak 30.75 ton. Komoditas perkebunan yang diusahakan penduduk Desa Pammulukang selain kakao yaitu kopi dan kemiri. Luas lahan kopi Desa Pammulukang seluas 8 ha dengan rata-rata produksi 40 kg/ha dan jumlah produksi pertahun sebesar 160 kg. Luas lahan kemiri mencapai 4 ha dengan rata-rata produksi sebanyak 65 kg/ha dan jumlah produksi pertahun sebanyak 195 kg. Petani responden yang terdapat pada Desa Pammulukang sebanyak tiga orang. Desa Sondoang Kecamatan Kalukku Desa Sondoang berjarak 3 km dari kelurahan kalukku yang merupakan ibu kota Kecamatan Kalukku. Desa ini memiliki ketinggian antara 0-500 mdpl dengan topografi wilayah berupa dataran rendah dan perbukitan. Desa Sondoang berbatasan dengan Desa Guliling di sebelah utara, Desa Uhaimate di sebelah timur, Kelurahan Sinyonyoi di sebelah selatan, dan Kelurahan Kalukku di sebelah barat. Tingkat keasaman tanah (pH) Desa Sondoang berada pada kisaran 5.6 – 7.5. Jenis tanah desa ini adalah tanah agak kemerahan, agak liat, lempung dan bercampur pasir. Desa Sondoang memiliki potensi untuk pengembangan pertanian hal ini terlihat dari luas pengusahaan lahan yang terdiri dari lahan perkarangan seluas 17.35 Ha, perkebunan seluas 759 Ha, lahan kering seluas 105 ha, tegalan seluas 130 Ha, serta lahan hutan seluas 205 Ha. Jumlah penduduk Desa Sondoang 2 329 jiwa, terdiri atas 528 kepala keluarga. Jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1 208 jiwa dan perempuan sebanyak 1 171 jiwa. Berdasarkan data BP3K Desa Sondoang tahun 2014, Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani perkebunan memiliki jumlah terbanyak yaitu sebanyak 589 jiwa. Petani responden yang berasal dari Desa Sondoang terdapat 4 orang. Selanjutnya jumlah petani tanaman pangan menempati urutan kedua yaitu sebanyak 370 jiwa, kemudian petani ternak sebanyak 69 jiwa, lainnya pedagang sebanyak 39 jiwa. Komoditas perkebunan yang terbanyak diusahakan adalah kakao. Luas lahan perkebunan kakao Desa Sondoang seluas 530 Ha dengan luas panen seluas 450 Ha. Rata-rata produksi biji kakao Desa Sondoang 300 kg/ha, dalam satu tahun produksi kakao yang dihasilkan Desa Sondoang rata-rata sebanyak 98 ton. Selain kakao, komoditas perkebunan yang diusahakan penduduk Desa Sondoang yaitu kelapa dengan luas lahan seluas 30 ha, kemiri seluas 50 ha, sagu seluas 46 ha dan enau aren seluas 6 ha. Sektor peternakan juga dikembangkan di Desa Sondoang, komoditas yang diusahakan yaitu sapi, kambing, ayam, babi, serta itik atau bebek. Kelurahan Kalukku Kecamatan Kalukku Kelurahan Kalukku memiliki luas wilayah mencapai 14.40 km2. Secara geografis Kelurahan Kalukku berada pada ketinggian 0-500 meter diatas
37
permukaan laut. Kelurahan Kalukku, berdasarkan batas wilayahnya, di sebelah utara Kelurahan Kalukku berbatasan dengan Desa Beru-beru, di sebelah selatan Kelurahan Kalukku berbatasan dengan Kelurahan Sinyonyoi, di sebelah barat Kelurahan Kalukku berbatasan dengan Desa Kalukku Barat, dan di sebelah timur Kelurahan Kalukku berbatasan dengan Desa Sondoang. Petani responden yang berada di Kelurahan Kalukku memiliki jumlah 11 orang yang merupakan petani binaan program Nestle Cocoa Plan. Kelurahan ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 5 219 jiwa yang terdiri dari penduduk lakilaki sebanyak 2 563 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2656 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 091 kk. Berdasarkan data monografi Kecamatan Kalukku sampai akhir Januari 2014, Kekurahan Kalukku memiliki jumlah petani kakao senyak 155 orang dengan luas lahan yang diusahakan seluas 275 ha. Hasil panen biji kakao per tahunya diperkirakan sejumlah 205 ton. Potensi pertanian yang dimiliki Kelurahan Kalukku selain sektor perkebunan adalah pertanian tanaman pangan yaitu padi, jagung dan kedelai. Luas lahan padi Kelurahan Kalukku mencapai 452 ha yang diusahakan oleh 115 petani. Hasil produksi padi rata-rata mencapai 2 034 ton per tahun. Selanjutnya, hasil produksi rata-rata komoditi jagung dan kedelai per tahunnya masing-masing mencapai 42 ton dan 96 ton.
Gambaran Umum Kemitraan PISAgro PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture) merupakan kemitraan publik swasta yang bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengatasi ketahanan pangan nasional dengan cara meningkatkan produksi komoditas pertanian strategis secara lestari dan meningkatkan penghidupan petani kecil. PISAgro pertama kali diumumkan pada World Economic Forum (WEF) Asia Timur, yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Juni 2011 oleh Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar. Isu yang diangkat dalam World Economic Forum yaitu menanggapi potensi peningkatan konsumsi pangan dunia, seiring dengan peningkatan populasi dunia. Hal yang sama diperkirakan dialami Indonesia, akan terjadi peningkatan populasi penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan produksi pangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim global, penurunan fungsi lahan, degradasi lahan dan rendahnya produktivitas komoditas pertanian (PISAgro 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut maka PISAgro melakukan tindakan nyata berlandaskan visi baru pertanian World Economic Forum (WEF) (mengatasi ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan, dan kelestarian lingkungan). Tindakan nyata yang dilakukan yaitu membentuk forum yang menyediakan wadah kerjasama diantara para pemangku kepentingan di sektor pertanian Indonesia untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan. PISAgro memiliki fokus kerja yang terbagi atas 10 kelompok kerja yaitu; kakao, susu, kopi, kelapa sawit, padi, jagung, kedelai, hortikultura dan agrifinance. Setiap kelompok kerja terdiri atas pihak swasta, perbankan, kelembagaan petani dan pemerintah. Sistem kerja yang dibangun PISAgro yaitu PISAgro membagi perusahaan-perusahaan yang tergabung ke dalam kelompokkelompok kerja yang sesuai dengan fokus komoditas perusahaan. Setiap
38
kelompok kerja diketuai oleh satu perusahaan yang berperan untuk mengoordinir perusahaan lain dan membentuk sistem pengembangan komoditas dalam sebuah rantai pasok. Hal ini bertujuan agar program yang dilaksanakan tidak hanya bersifat bantuan atau sosial tetapi memiliki aspek ekonomi yaitu sebagai bagian dari rantai pasokan perusahaan. Dengan demikian diharapkan terciptanya pengembangan pertanian berkelanjutan.
Gambaran umum Nestle Cocoa Plan Kelompok kerja kakao PISAgro merupakan kemitraan publik-swasta yang memiliki fokus pada pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan. Pihakpihak yang tergabung dalam kelompok kerja kakao PISAgro terdiri dari PT Nestle, Swisscontact, PT BT Cocoa, Puslitkoka, Pemerintah Sulawesi Barat dan IDH. Kelompok kerja kakao melakukan serangkaian program pengembangan kakao diketuai oleh PT Nestle dengan mengusung Program Nestle Cocoa Plan. Nestle Cocoa Plan atau kelompok kerja kakao PISAgro memiliki tujuan untuk membantu mengatasi masalah utama yang dihadapi petani kakao dengan perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Nestle beserta kelompok kerja kakao PISAgro berupaya menawarkan solusi jangka panjang dalam mengatasi permasalahan pada komoditas kakao melalui pendekatan rantai pasok. Pada subsistem hulu komoditas kakao, Nestle Cocoa Plan membentuk kebun percontohan (Experiment & Demonstration Farm) bertujuan untuk menyediakan varietas-varietas unggul yang memiliki produktifitas dan kualitas tinggi, serta sebagai wadah pembelajaran bagi petani melakukan teknik budidaya yang sesuai dengan GAP. Program ini dilaksanakan oleh Nestle Agriserv, Swisscontact, dan Puslitkoka. Pada subsistem budidaya, Swisscontact memberikan pembinaan kepada petani mengenai teknik budidaya dan pascapanen yang sesuai dengan GAP dan GHP melalui sekolah lapang, dan pembuatan demplot. Selanjutnya untuk mewujudkan rantai pemasaran yang efisien Nestle Cocoa Plan membentuk pusat pembelian biji kakao yang terjangkau baik oleh petani maupun pasar (industri pengolahan kakao) yang memperhatikan aspek kualitas dengan memberikan insentif harga yang sesuai dengan kualitas yang dihasilkan. Program pengembangan pasar yang efisien ini dilakukan oleh PT BT Cocoa (Bumitangerang Mesindotama) dengan membentuk unit pembelian kakao yang traceable (terlacak dan terpecaya sumber dan kualitas kakao yang dihasilkan). Petani binaan Nestle Cocoa Plan diberikan kebebasan untuk menjual biji kakao ke lembaga pemasaran yang ada di Kecamatan Kalukku. Namun petani disarankan untuk menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa karena memberikan transparansi harga, dan insentif atas upaya peningkatan kualitas biji kakao yang dihasilkan petani. Hingga tahun 2013, Nestle Cocoa Plan telah membentuk 69 sekolah lapang dan demplot, memberikan pelatihan kepada 2.277 petani yang tergabung dalam 69 kelompok tani mengenai praktek pertanian terbaik (Good Agricultural Practices/GAP). Nestle Cocoa Plan juga telah memfasilitasi pembangunan 2 pusat pengumpulan biji kakao terlacak (traceable) yaitu unit pembelian kakao Mamuju dan unit pengumpulan kakao Majene. Pada tahun 2020, kelompok kerja
39
berencana bekerja dengan 50.000 petani untuk meningkatkan produktivitas mereka sebanyak 140% dan meningkatkan pendapatan sebesar 133%.
Karakteristik Petani Responden Usia Menurut Nuryanti N (2010) usia seringkali memengaruhi tingkat produktivitas dan semangat mengembangkan usaha. Usia muda biasanya tingkat produktivitas dan semangatnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan usia tua. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut fisik petani masih sehat dan kuat serta memiliki dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karakteristik usia responden penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Secara umum, sebaran usia responden terkonsentrasi pada kisaran 20 – 40 tahun. Bila dilihat dari jenis kegiatan pascapanen yang dijalankan, tidak nampak perbedaan struktur usia yang nyata antara petani fermentasi dan petani non fermentasi. Gambaran usia responden ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian masih berada pada kisaran usia produktif. Porsi petani usia muda (20 40 tahun) cukup besar menunjukan bahwa minat generasi muda untuk mengembangkan usahatani kakao di lokasi penelitian cukup besar. Tabel 6 Karakteristik responden berdasarkan usia No.
1 2 3
Usia (Tahun) 20 - 40 40 - 60 diatas 60
Responden Fermentasi Jumlah Petani
(%) 8 4 3
53.33 26.67 20.00
Responden Non Fermentasi Jumlah Petani
(%) 7 7 1
46.67 46.67 6.67
Berdasarkan Total Responden Jumlah Petani 15 11 4
(%) 50.00 36.67 13.33
Tingkat Pendidikan Menurut Nurmalina et al. (2012) tingkat pendidikan petani responden akan berpengaruh pada penyerapan teknologi baru dan ilmu pengetahuan. Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat memengaruhi pola pikir seseorang untuk menentukan langkah lebih lanjut dan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam melaksanakan usaha dan inovasi teknologi tepat guna. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa seluruh responden baik petani fermentasi dan petani non fermentasi pernah mengikuti pendidikan formal. Tingkat pendidikan formal petani responden terbanyak (30%) hanya pada tingkat pendidikan sekolah dasar (SD). Selanjutnya, berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa masing-masing sebanyak 23.33% petani mencapai tingkatan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (SMA). Secara umum tidak ada perbedaan rata-rata tingkat pendidikan pada responden petani fermentasi dan petani non fermentasi.
40
Tabel 7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan No.
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 0 0.00
Pendidikan
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 0 0.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 0 0.00
1
Tidak Sekolah
2
Tidak Lulus SD
1
6.67
3
20.00
4
13.33
3
SD (6 tahun) Tidak Lulus SMP SMP (9 tahun) Tidak Lulus SMA SMA atau Sederajat Diploma/Sarjana
5
33.33
4
26.67
9
30.00
0
0.00
1
6.67
1
3.33
4
26.67
3
20.00
7
23.33
0
0.00
0
0.00
0
0.00
4
26.67
3
20.00
7
23.33
1
6.67
1
6.67
2
6.67
4 5 6 7 8
Pengalaman Sebagian besar petani responden telah lama berprofesi sebagai petani kakao. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa petani responden memiliki pengalaman berusahatani kakao lebih dari 4 tahun. Responden telah mengusahakan kakao selama 4 sampai 14 tahun sebanyak 18 orang (60%). Pengalaman yang cukup lama tersebut menjadikan petani cukup memahami teknik usahatani kakao. Namun, pengalaman tersebut perlu didukung dengan pendampingan dan penyuluhan dari petugas penyuluh mengenai teknik budidaya dan pascapanen yang baik agar dapat menghasilkan tanaman yang berproduktivitas dan bermutu tinggi. Tabel 8 Karakteristik responden berdasarkan lamanya pengalaman berusahatani kakao No.
Pengalaman (Tahun)
Responden Fermentasi Jumlah Petani
(%)
Responden Non Fermentasi Jumlah Petani
(%)
Berdasarkan Total Responden Jumlah Petani
(%)
1
4-14
9
60.00
9
60.00
18
60.00
2
15-25
3
20.00
5
33.33
8
26.67
3
26-36
3
20.00
1
6.67
4
13.33
Luas lahan Berdasarkan Tabel 9 sebagian besar atau 70% petani responden di lokasi penelitian memiliki luas lahan kakao seluas 0.5 – 1 hektar . Sebanyak 60% petani fermentasi memiliki luas lahan seluas 0.5-1 hektar, sedangkan petani non fermentasi sebanyak 80% memiliki luas lahan seluas 0.5 – 1 hektar. Petani fermentasi yang memiliki luas lahan lebih dari 2 hektar lebih banyak dibandingkan petani non fermentasi. Hal ini menunjukan rata-rata petani fermentasi memiliki luas lahan yang lebih besar dibanding petani non fermentasi. Sebaran luas lahan petani responden dapat diihat pada Tabel 9.
41
Tabel 9 Karakteristik responden berdasarkan luas kebun
1
0,5 – 1
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 9 60.00
2
1 - 1,5
1
6.67
0
0.00
1
3.33
3
1,5 – 2
0
0.00
1
6.67
1
3.33
4
2 - 2,5
3
20.00
1
6.67
4
13.33
5
2,5 – 3
2
13.33
1
6.67
3
10.00
No.
Luas Lahan (Ha)
Responden Non Berdasarkan Total Fermentasi Responden Jumlah Jumlah (%) (%) Petani Petani 12 80.00 21 70.00
Jumlah tanaman kakao yang menghasilkan Jumlah tanaman menghasilkan menunjukan produksi biji kakao yang akan diperoleh petani. Tidak semua tanaman kakao dalam suatu areal lahan tertentu dapat berproduksi dengan baik. Hal tersebut dikarenakan terdapat kemungkinan tanaman kakao rusak atau tua. Jumlah tanaman menghasilkan akan berbeda sesuai dengan luas lahan yang diusahakan. Sebagian besar responden atau 60% memiliki jumlah tanaman menghasilkan sebanyak 550 – 1000 pohon. Bila dicermati lebih jauh, petani fermentasi memiliki jumlah tanaman menghasilkan lebih banyak dibanding petani non fermentasi. Hal ini ditunjukan oleh jumlah petani fermentasi yang memiliki tanaman menghasilkan pada kisaran 550-1000 pohon lebih banyak (73.33%) dibanding petani non fermentasi (46.67%). Hal ini berarti petani fermentasi memiliki potensi mendapatkan hasil produksi yang lebih banyak dari pada petani non fermentasi. Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanaman menghasilkan dapat dilihat pada Tabel 10 Tabel 10 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanaman menghasilkan
1
100 – 500
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 2 13.33
2
550 – 1000
11
73.33
7
46.67
18
60.00
3
1050 – 1500
0
0.00
0
0.00
0
0.00
4
1550 – 2000
2
13.33
1
6.67
3
10.00
No.
Tanaman Menghasilkan (pohon)
Responden Non Berdasarkan Total Fermentasi Responden Jumlah Jumlah (%) (%) Petani Petani 7 46.67 9 30.00
Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga menunjukkan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu jumlah anggota keluarga merupakan faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam pengambilan keputusan usahatani. Sebagian besar (36.67%), dari keseluruhan responden memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang anggota keluarga (Tabel 11). Bila dilihat dari jenis kegiatan pascapanen yang dilakukan, petani non fermentasi yang memiliki 4 orang anggota keluarga lebih banyak (46.67%) dibanding petani fermentasi (26.67%). Hal ini menunjukan bahwa petani non fermentasi memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih banyak dibandingkan dengan petani fermentasi.
42
Tabel 11 Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota No. Keluarga (orang)
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 1 6.67
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 0 0.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 1 3.33
1
Satu
2
Dua
5
33.33
1
6.67
6
20.00
3
Tiga
4
26.67
4
26.67
8
26.67
4
Empat
4
26.67
7
46.67
11
36.67
5
Lima
1
6.67
2
13.33
3
10.00
6
Enam
0
0.00
0
0.00
0
0.00
7
Tujuh
0
0.00
0
0.00
0
0.00
8
Delapan
0
0.00
1
6.67
1
3.33
Gambaran Umum Kegiatan Pascapanen Biji Kakao di Kecamatan Kalukku Kegiatan pascapanen yang dilakukan oleh petani binaan Nestle Cocoa Plan meliputi tahap pemanenan, pengupasan buah, sortasi biji basah, fermentasi, pengeringan, sortasi biji kering, dan pengemasan biji kakao. Kegiatan pascapanen dalam usahatani kakao sangat penting karena dapat menentukan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Pemanenan Buah kakao memiliki periode perkembangan buah dari pembungaan sampai buah masak adalah sekitar 5-6 bulan. Periode munculnya bunga pada tanaman kakao memiliki pola yang berbeda beda. Hal tersebut menyebabkan pemanenan buah kakao dapat dilakukan sepanjang tahun (Wahyudi et al.2009). Kegiatan pemanenan buah kakao terdiri dari kegiatan pemetikan buah, sortasi buah kakao dan pemeraman buah. Petani binaan Nestle Cocoa Plan dianjarkan untuk melakukan panen sering. Panen sering adalah kegiatan pemetikan buah kakao yang telah masak secara teratur. Pemetikan buah dilakukan secara rutin seminggu sekali selama musim panen raya dan dua mingguan jika buah panen berkurang. Pemetikan buah tersebut harus memperhatikan kemasakan buah yaitu buah tidak terlalu masak ataupun terlalu muda. Pemetikan buah pun harus dilakukan tanpa merusak bantalan bunga, karena bantalan tersebut yang akan menghasilkan bunga dan buah untuk panen berikutnya. Pemetikan buah secara teratur atau panen sering bertujuan untuk memacu pertumbuhan bunga, memutus siklus hama, serta mencegah serangan hama. Pada aspek kualitas, panen sering bertujuan untuk menghasilkan buah kakao yang memiliki tingkat keseragaman buah yang relatif seragam. Hal tersebut dikarenakan keseragaman kemasakan buah kakao akan mempengaruhi proses fermentasi, yaitu biji kakao yang belum masak namun dilakukan proses fermentasi akan menghasilkan biji kakao dengan kualitas rendah yang ditandai oleh rendahnya kandungan senyawa aromatik dan kandungan lemak, serta penampilan biji kakao yang kisut atau kempes pada saat biji kering.
43
Gambar 7 Buah kakao yang telah masak ditandai oleh perubahan warna buah. (buah berwarna kuning dari warna awal hijau dan berwarna jingga dari warna awal merah). Kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh petani binaan Nestle Cocoa Plan, sebagian besar (90%) dilakukan setiap dua minggu sekali, baik pada petani fermentasi maupun petani non fermentasi. Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa hanya 10% atau sebanyak 3 orang petani yang melakukan panen secara tidak rutin dua minggu sekali. Alasan petani responden tidak melakukan pemetikan buah kakao secara teratur dua minggu sekali karena produksi tanaman kakao petani responden tidak banyak hal ini disebabkan jumlah tanaman menghasilkan yang dimiliki petani sedikit dan sedang dilakukan sambung samping pada tanaman yang telah tua. Petani menunda pemetikan buah agar hasil panen yang terkumpul cukup banyak. Namun disisi lain penundaan waktu pemanenan akan mengakibatkan terhambatnya pembungaan, rontoknya buah kecil karena kompetisi makanan, dan mengundang banyaknya hama sehingga akan menurunkan produksi dan mempengaruhi mutu biji kakao yaitu biji kakao yang dihasilkan telah berkecambah. Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan perlakuan panen No.
1 2
Perlakuan Panen Rutin (2 minggu sekali) Tidak rutin
Responden fermentasi Jumlah Petani
(%)
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani
Berdasarkan Total Responden Total
(%)
14
93.33
13
86.67
27
90.00
1
6.67
2
13.33
3
10.00
Setelah buah kakao dipetik, petani mengumpulkan buah kakao ke suatu tempat di kebun. Kegiatan pengumpulan dan pemetikan buah pada beberapa petani responden dilakukan dengan bantuan tenaga kerja lain. Petani melakukan pembagian kerja yaitu ada yang memetik buah, dan ada yang mengumpulkan buah sekaligus sortasi buah. Kegiatan sortasi buah bertujuan untuk memisahkan buah yang sehat dan yang terserang hama penyakit. Buah yang terserang hama PBK akan menghasilkan biji kakao yang menempel dengan keras satu sama lain. Biji kakao yang menempel ini akan menjadi komponen sampah pada saat pengujian kualitas biji kakao. Dengan demikian hal ini akan menjadi pengurangan nilai kualitas biji kakao yang dihasilkan petani. Sebagian besar petani responden baik petani fermentasi maupun petani non fermentasi tidak melakukan sortasi buah setelah kegiatan pemetikan buah. Sortasi
44
buah dan sortasi biji basah dilakukan petani pada saat melakukan pengupasan atau pembelahan buah kakao. Hal tersebut dikarenakan petani ingin memaksimalkan waktunya untuk kegiatan pemetikan buah. Petani non fermentasi tidak melakukan sortasi buah karena buah yang terserang hama dan penyakit tetap dikumpulkan dan disatukan dengan hasil panen. Buah kakao yang telah dipetik dan dikumpulkan selanjutnya disimpan atau diperam. Pemeraman buah yang dianjurkan dilakukan selama 3-5 hari tergantung kondisi setempat dan derajat kematangan buah. Tujuan dilakukan pemeraman buah adalah untuk membentuk keseragaman kematangan buah, keseragaman pembelahan buah, membiarkan terjadi fermentasi secara alami dalam buah yang diduga dapat mengurangi waktu fermentasi, serta mengurangi jumlah biji slaty. Bila ditinjau berdasarkan kenyataan dilokasi penelitian, petani melakukan pemeraman buah kakao dikebun hanya selama semalam. Pemeraman dilakukan dengan tujuan untuk menyimpan buah setelah dilakukan pemetikan. Hal tersebut dikarenakan jam kerja pemetikan buah tidak memenuhi untuk dilakukan pemecahan buah secara sekaligus maka kegiatan pemecahan buah dilakukan pada keesokan harinya. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian pemeraman buah No. 1 2
Pemeraman Buah Peram Tidak peram
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 11 4
73.33 26.67
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 5 10
33.33 66.67
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 16 14
53.33 46.67
Tabel 13 menunjukan bahwa secara keseluruhan, 53.33% petani responden melakukan pemeraman buah kakao. Sebanyak 73.33% dari petani fermentasi, melakukan pemeraman buah. Sedangkan petani non fermentasi hanya 33.33% petani yang melakukan pemeraman buah. Petani non fermentasi sebanyak 66.67% melakukan pemecahan buah kakao secara sekaligus setelah pemetikan buah. Pengupasan buah dan sortasi biji basah Pengupasan atau pemecahan buah kakao dilakukan petani binaan Nestle Cocoa Plan menggunakan pemukul kayu, pisau, dan dengan alat pemecah kakao (peng-epe). Sebagian besar petani fermentasi melakukan pemecahan buah setelah dilakukan pemeraman buah selama semalam. Pada saat pemecahan buah, petani juga melakukan sortasi buah dan sortasi biji basah. Sortasi buah dilakukan dengan memisahkan buah kakao yang terserang penyakit misalnya busuk buah dan hama PBK. Sortasi biji basah dilakukan dengan memisahkan biji-biji yang baik atau superior, pecahan kulit, plasenta, dan biji kakao yang terserang hama penyakit. Pada pascapanen dengan aplikasi fermentasi, Sortasi biji kakao harus dilakukan sebelum biji dimasukan ke dalam kotak fermentasi. Sebab keberhasilan pemisahan biji baik dari biji rusak serta kotoran-kotoran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses fermentasi.
45
(a) (b) (c) Gambar 8 Kegiatan pengupasan buah (a), pengupasan dan sortasi biji basah (b), dan sortasi biji basah (c) Berbeda dengan pascapanen non fermentasi, petani non fermentasi sebagian besar pada saat pemecahan buah tidak melakukan sortasi biji basah, sehingga saat pemecahan buah, biji kakao yang telah dikeluarkan langsung dimasukan ke dalam karung yang kemudian akan dilakukan penyimpanan. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian sortasi biji kakao basah No. 1 2
Sortasi biji kakao basah Sortasi Tidak sortasi
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 13 86.67 2 13.33
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 5 33.33 10 66.67
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 18 60.00 12 40.00
Tabel 14 menunjukan bahwa secara keseluruhan responden, sebanyak 60% petani melakukan sortasi biji basah. Sebesar 66.67% petani non fermentasi tidak melakukan sortasi biji basah dan sebesar 33.33% petani non fermentasi melakukan sortasi biji basah. Berbeda dengan petani fermentasi, sebesar 86.67% petani melakukan sortasi biji basah dan sebesar 13.37 % petani tidak melakukan sortasi biji basah. Fermentasi Proses fermentasi biji kakao dilakukan petani binaan Nestle Cocoa Plan menggunakan kotak fermentasi. Sebagian besar kotak fermentasi yang digunakan petani Nestle Cocoa Plan merupakan pemberian pihak Nestle Cocoa Plan kepada kelompok tani dan petani untuk meningkatkan kualitas biji kakao melalui fermentasi. Proses fermentasi yang dilakukan oleh petani binaan Nestle Cocoa Plan diawali dengan pemasukan biji kakao ke kotak fermentasi. Setelah biji kakao basah dimasukan kedalam kotak fermentasi, dilakukan pengecekan suhu menggunakan thermometer. Selanjutnya biji kakao ditutup dengan daun pisang dan karung goni. Tujuannya untuk mempertahankan panas pada biji kakao yang difermentasi. Setelah dua hari petani melakukan pengecekan suhu, suhu yang diharapkan mencapai 45oC. Selanjutnya dilakukan pengadukan biji kakao dan pembalikan biji kakao yang bertujuan agar proses fermentasi berlangsung merata. Selanjutnya dilakukan pengadukan dan pembalikan biji kakao pada hari keempat. Pada hari keenam biji kakao dikeluarkan dari kotak dan selanjutnya akan dilakukan penjemuran. Selama proses fermentasi suhu dalam tumpukan biji dipertahankan pada 45o-48oC. Pengukuran suhu dilakukan oleh petani
46
menggunakan tangan yang dibenamkan ke dalam tumpukan biji kakao. Hanya sedikit petani yang melakukan pengukuran suhu menggunakan thermometer. Hal ini disebabkan hanya beberapa petani yang memiliki thermometer (hanya ketua kelompoktani) dan petani belum terbiasa menggunakan thermometer
(a) (b) (c) (d) Gambar 9 Kegiatan fermentasi biji kakao; pemasukan biji ke kotak fermentasi (a), biji kakao ditutup dengan daun pisang dan karung goni (b), pembalikan dan pengecekan suhu(c), pengeluaran biji kakao dari kotak pada hari ke enam (d). Petani menentukan telah berakhirnya proses fermentasi hanya dengan menghitung jumlah waktu yang telah berjalan untuk proses fermentasi yaitu 5 hari. Padahal tolak ukur kesempurnaan proses fermentasi adalah salah satunya dapat dilihat dari perubahan warna dan tekstur dipermukaan dan di dalam biji kakao. Warna permukaan dan di dalam biji menjadi lebih cokelat dan warna ungu menjadi hilang. Pengeringan Pengeringan biji adalah kelanjutan dari tahap oksidatif dari fermentasi yang berperan dalam mengurangi kelat (sepat) dan pahit (Wahyudi et al. 2009). Tujuan utama pengeringan adalah mengurangi kadar air biji menjadi 7% atau 7.5%. Bila kadar air biji kakao diatas 7.5% maka bakteri, kapang dan khamir lipotik akan timbuh pada lapisan dalam biji kakao. Pertumbuhan mikroorganisme ini mengakibatkan terhidrolisisnya lemak biji kakao oleh enzim-enzim hasil metabolisme dari mikroba-mikroba tersebut (Haryadi 1989). Jika kadar air kurang dari 5%, kulit biji akan mudah pecah dan biji harus dipisahkan karena mengandung kadar biji pecah yang tinggi. Biji kakao dengan kadar air 7.5% tahan disimpan 3 bulan (Syarif dan Halid 1992). Petani fermentasi melakukan pengeringan biji kakao dengan melakukan penjemuran. Penjemuran biji kakao dilakukan selama 3 – 4 hari. Lamanya proses penjemuran dipengaruhi oleh cuaca dan iklim lingkungan. Alat yang digunakan petani untuk kegiatan penjemuran yaitu jaring-jaring, terpal, para-para, atau lantai jemur. Kadar air biji kakao pada akhir fermentasi lebih kurang 60% (Nasution et al. 1985). Kadar air tersebut harus diturunkan menjadi 7% melalui proses penjemuran. Petani fermentasi pada umumnya memiliki kadar air akhir kurang lebih sama dengan 7%. Hal tersebut dikarenakan proses fermentasi telah mengurangi kadar air yang cukup banyak. Oleh karena itu untuk mencapai kadar air 7% tidak membutuhkan waktu yang lama.
47
Berbeda dengan petani non fermentasi, untuk mengurangi lendir biji (pulp) petani melakukan pemeraman biji kakao didalam karung selama 3 hari. Proses pemeraman tersebut berhasil untuk menghilangkan lapisan pulp dari biji, namun kadar air yang terkandung dalam biji masih besar. Selanjutnya, petani non fermentasi melakukan penjemuran biji kakao untuk mengurangi kadar air dalam biji. Petani menggunakan perhitungan hari dan mengira-ira kadar air biji untuk mengakhiri proses penjemuran. Waktu yang dibutuhkan petani non fermentasi untuk melakukan penjemuran selama 3-4 hari. Setelah 3-4 hari kadar air akhir biji kakao non fermentasi masih tinggi, sehingga pada proses penimbangan bobot biji kakao non fermentasi cukup besar. Tidak semua pedagang pengumpul melakukan pengecekan kadar air biji, pengumpul hanya mengira-ngira kadar air dan melakukan pembelian biji hanya berdasarkan bobot biji. Untuk mengurangi risiko kadar air yang besar, pedagang memberikan potongan bobot biji kakao yang dijual petani sebanyak 1 kg gram per karung. Pedagang tidak melakukan potongan harga berdasarkan kualitas biji (kadar air, kadar slaty, dan kadar kotoran) namun melakukan pemotongan bobot biji kakao petani. Hal ini mengakibatkan petani merasa harga yang ditawarkan pedagang lebih tinggi padahal petani merugi akibat potongan bobot bersih biji kakao yang dihasilkan.
(a) (b) (c) Gambar 10 Metode penjemuran biji kakao; menggunakan jaring-jaring(a), terpal (b), dan para-para (c). Sortasi biji kering dan pengemasan biji kakao Sortasi biji kering dilakukan petani binaan Nestle Cocoa Plan untuk memisahkan biji kakao kering dari kotoran. Kegiatan sortasi biji kering dilakukan petani dengan mengalokasikan waktu tersendiri untuk mengayak atau menapis biji kakao atau sekaligus pada saat penjemuran biji kakao. Petani non fermentasi membutuhkan waktu yang lebih untuk melakukan sortasi biji kakao kering karena pada tahap sebelumnya petani tidak melakukan sortasi buah ataupun sortasi biji basah. Sebaliknya petani fermentasi membutuhkan waktu yang sedikit untuk melakukan sortasi biji kering karena pada tahap sebelumnya telah dilakukan proses sortasi buah dan sortasi biji basah. Setelah petani melakukan sortasi biji kering, petani mengemas biji kakao dengan karung plastik yang kemudian disimpan dan dilakukan penjualan.
48
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Biji Kakao Terfermentasi di Kecamatan Kalukku
Kg
Berdasarkan data pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa menunjukan bahwa volume pembelian biji kakao terfermentasi lebih rendah dibandingkan biji kakao tidak terfermentasi. Jumlah pembelian biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi pada periode April 2013 sampai April 2014 sebesar 30 905.45 kg dan 106 687.29 kg. Jumlah volume pembelian biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi pada Januari- April 2014 sebesar 13 128.95 kg dan 66 391.29 kg. Hal ini menunjukan bahwa program Nestle Cocoa Plan berhasil mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Namun volume penjualan biji kakao terfermentasi masih belum banyak dibanding biji kakao tidak terfermentasi. 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Gambar 11 Volume pembelian biji kakao terfermentasi () dan tidak terfermentasi () di unit pembelian PT BT Cocoa periode April 2013- April 2014 Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa volume pembelian biji kakao terfermentasi di unit pembelian PT BT Cocoa Kabupaten Mamuju tiap bulannya mengalami fluktuasi. Volume pembelian biji kakao terfermentasi terbesar pada bulan Maret 2014 yaitu sebesar 7 311.60 Kg. Volume pembelian biji kakao pada bulan April 2014 merupakan volume pembelian terbesar dengan nilai sebesar 36 291.19 kg biji kakao tidak terfermentasi dan 1 838.15 kg biji kakao terfermentasi. Tingginya produksi biji kakao pada bulan April dikarenakan bulan ini mendekati musim panen puncak kakao yaitu bulan Mei. Musim panen raya biji kakao terjadi pada bulan Mei, Juni, dan November. Masa panen biasa berlangsung pada bulan April, Juli, Oktober. Sedangkan masa panen kering berlangsung pada bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, dan Desember.
Kg
49
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
59 518.94
30 884.80 16 022.90
9 411.20 1 753.60
Petani
Umum
April- Desember 2013
6 872.35
10 748.2
2 380.75 Petani
Umum
Januari-April 2014
Gambar 12 Rekapitulasi volume pembelian biji kakao terfermentasi () dan tidak terfermentasi () di unit pembelian PT BT Cocoa periode April 2013 – April 2014 Unit pembelian biji kakao PT BT Cocoa tidak hanya menerima biji kakao yang berasal dari petani binaan Nestle Cocoa Plan, namun juga menerima biji kakao yang berasal dari umum yaitu pedagang pengumpul. Gambar 12 menunjukkan bahwa pada periode April - Desember 2013 sampai periode JanuariApril 2014 pembelian biji kakao dari petani binaan Nestle Cocoa Plan mengalami penurunan baik untuk biji kakao terfermentasi maupun biji kakao tidak terfermentasi. Namun disisi lain volume pembelian biji kakao yang berasal dari umum meningkat tajam baik untuk produk biji kakao terfermentasi maupun biji kakao tidak terfermentasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pertama, produksi biji kakao petani yang menurun akibat masa panen kakao periode januari-maret merupakan masa panen kering sehingga hasil panen yang diperoleh sedikit. Kedua, dikarenakan jumlah produksi biji kakao yang tidak banyak sehingga petani lebih tertarik untuk menjual biji kakao ke padagang pengumpul, Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah petani yang menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa. Ketiga, meningkatnya volume penjualan biji kakao dari pedagang pengumpul dikarenakan pedagang pengumpul merasakan keuntungan dari menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa yang memberikan transparansi harga.
Analisis Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi Dalam analisis ini, pembahasan dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) analisis penerimaan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi, (2) analisis biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi, selanjutnya dilakukan (3) analisis pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi. Penerimaan petani diperoleh dari hasil panen kakao pada musim panen puncak yaitu pada bulan Mei 2014. Panen dilaksanakan setiap dua minggu per bulan. Perhitungan penerimaan petani pada penelitian ini difokuskan pada
50
penerimaan petani per satu kali panen pada masa panen puncak. Hal ini dikarenakan masa panen puncak merupakan pokok perhitungan untuk kapasitas fermentasi maupun pengeringan. Selanjutnya, perhitungan perpanen bertujuan untuk memudahkan melihat penerimaan petani atas upaya memroduksi biji kakao terfermentasi setiap satu kali panen.
Penerimaan Usahatani Kakao dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi Produksi Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa jumlah produksi biji kakao perhektar petani fermentasi lebih besar dibandingkan dengan petani non fermentasi. Ratarata produksi biji kakao petani fermentasi dan non fermentasi masing masing sebesar 102.41 kg dan 98.97 kg per panen. Hal tersebut menunjukan bahwa produktivitas tanaman kakao petani fermentasi lebih besar daripada petani non fermentasi. Untuk mencapai keberhasilan proses fermentasi, kapasitas minimum jumlah kakao basah yang dimasukkan kotak fermentasi harus terpenuhi yaitu sebanyak 40 kg biji kakao basah untuk kotak fermentasi kecil. Proses fermentasi 40 kg biji kakao basah kakao akan menghasilkan 15 kg kakao kering. Hal ini dikarenakan bobot biji menyusut menjadi 30% dari bobot biji basah akibat kegiatan pascapanen (pemeraman, fermentasi, pengeringan). Dengan demikian, produksi biji kakao terfermentasi yang dihasilkan minimal sebesar 15 kg dan produktivitas biji kakao paling tidak sebesar 15 kg/panen. Beberapa petani non fermentasi memiliki produktivitas biji kakao per panen yang lebih rendah dari kapasitas kotak fermentasi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan petani tidak melakukan fermentasi biji kakao. Harga Harga yang diperoleh petani beragam tergantung dengan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Petani binaan Nestle Cocoa Plan dianjurkan untuk menjual hasil panen ke Unit Pembelian PT BT Cocoa. Unit pembelian PT BT kakao secara rutin setiap hari memberikan informasi harga kepada petani binaan melalui sms harga, dan melalui papan informasi harga yang terpasang di beberapa kelompok tani binaan Nestle Cocoa Plan. Harga yang ditetapkan oleh unit pembelian PT BT Cocoa memiliki kemungkinan berbeda dengan harga yang diterima petani. PT BT Cocoa menetapkan harga pokok untuk biji kakao asalan dan biji kakao terfermentasi, kemudian untuk harga yang diterima petani akan disesuaikan dengan kualitas biji kakao. Aspek penilaian kualitas biji kakao yaitu jumlah biji kakao, kadar air, kadar sampah, jamur, serangga, dan slaty. Aspek kualitas tersebut memiliki standar yang harus terpenuhi. Petani akan mendapatkan reward apabila kualitas kakao berhasil memenuhi standar kualitas. Petani akan mendapatkan refaksi apabila kualitas kakao yang dihasilkan jauh dari standar kualitas yang ditetapkan. PT BT Cocoa memberikan insentif harga sebesar Rp 2000/kg untuk biji kakao terfermentasi. Selisih Rp 2000 dari harga kakao asalan diharapkan dapat mendorong petani untuk melakukan peningkatan kualitas melalui teknologi fermentasi biji kakao.
51
Harga biji kakao asalan atau tidak terfermentasi di Kecamatan Kalukku beragam sesuai dengan penawaran yang diberikan oleh pedagang kakao. Persaingan yang ketat antar pedagang kakao menyebabkan harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar sangat kompetitif terhadap harga yang ditawarkan PT BT Cocoa. Rata-rata harga biji kakao tidak terfermentasi yang diterima petani Rp 31 790/kg. Rata-rata harga biji kakao tidak terfermentasi lebih rendah daripada rata-rata harga kakao terfermentasi. Rata-rata harga kakao fermentasi adalah Rp 32 892/kg. Dengan demikian perbedaan harga biji kakao terfermentasi dengan biji kakao tidak terfermentasi di Kecamatan Kalukku sebesar Rp 1 102. Berdasarkan uji T rata-rata harga biji kakao terfermentasi dengan rata-rata harga biji kakao tidak terfermentasi berbeda nyata pada taraf nyata 15 persen. Dengan demikian secara statistik perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi signifikan atau berbeda nyata. Penerimaan Penerimaan petani kakao diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga biji kakao yang diterima petani. Berdasarkan produktivitas dan harga yang diterima petani, rata-rata penerimaan petani fermentasi lebih tinggi daripada non fermentasi. Tabel 17 memperlihatkan bahwa penerimaan petani fermentasi lebih besar 6.60 persen dibandingkan petani non fermentasi, rata-rata penerimaan petani fermentasi sebesar Rp 3 368 606 sedangkan rata-rata penerimaan petani non fermentasi sebesar Rp 3 146 178. Tabel 15 Penerimaan usahatani kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen Uraian Fermentasi Penerimaan (Rp) 3 368 606 Produksi per hektar per panen (Kg) 102.41 Harga Biji Kakao (Rp/kg)* 32 892 *= Signifikan berdasarkan uji-t alpha 15 persen
Tidak Fermentasi 3 146 178 98.97 31 790
Selisih 222 428 3.45 1 102
Biaya Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi Berdasarkan sifatnya, biaya pascapanen dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu biaya yang dibayarkan atau biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (tidak dibayarkan). Penelitian ini, berhasil diidentifikasi dua macam biaya tunai yaitu biaya tali rafia dan biaya (TKLK) tenaga kerja luar keluarga. Biaya diperhitungkan merupakan jenis biaya yang pada kenyataannya petani tidak mengeluarkan uang atau alat pembayaran lainnya untuk melakukan pembayaran terhadap jenis biaya tersebut. Penelitian ini, berhasil ditentukan tiga jenis biaya diperhitungkan yaitu biaya TKDK (tenaga kerja dalam keluarga), biaya karung, biaya daun pisang dan biaya penyusutan alat.
52
Tabel 16 Biaya pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen Fermentasi Biji Kakao
Jenis biaya
Tidak Fermentasi Biji Kakao
Nilai (Rp)
%
Biaya Tunai 1. TKLK 2. Tali rafia Total Biaya Tunai
3. Karung 50 kg 4. Karung 62.5 kg
Nilai (Rp)
%
Biaya Tunai 271 646
56.93
1. TKLK 2. Tali rafia
189 556
36.74
596
0.12
813
0.16
272 242
57.05
Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan
190 368
36.89
178 756
37.46
299 195
57.99
Biaya diperhitungkan 1. TKDK 2. Penyusutan Peralatan
Jenis biaya
8 922
1.87
1. TKDK 2. Penyusutan Peralatan
15 383
3.22
3. Karung 50 kg
667
0.14
4. Karung 62.5 kg
5. Biaya daun pisang Total Biaya diperhitungkan
1 207
0.25
204 934
42.95
Total Biaya
477 175
100.00
4 676
0.91
20 111
3.90
1 633
0.32
Total Biaya diperhitungkan
325 615
63.11
Total Biaya
515 984
100.00
Biaya Tenaga Kerja Komponen biaya terbesar dalam kegiatan pascapanen biji kakao petani binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku adalah biaya tenaga kerja. Hal itu berlaku baik untuk pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi maupun tanpa aplikasi fermentasi. Berdasarkan Tabel 16, Biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar daripada biaya TKLK untuk pascapanen biji kakao tanpa fermentasi. Biaya TKLK untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 271 646 atau 56.93% dari total biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Sementara biaya TKLK untuk pascapanen biji kakao tanpa fermentasi adalah sebesar Rp 189 556. Besaran tersebut mempunyai proporsi 36.74% dari total biaya pascapenen biji kakao tanpa fermentasi. Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, kegiatan pascapanen biji kakao yang dilakukan oleh petani binaan Nestle Cocoa Plan Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju juga melibatkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga petani. Biaya tenaga kerja dalam keluarga adalah upah yang seharusnya dibayarkan petani kepada petani itu sendiri dan anggota keluarganya yang telah menyelesaikan suatu pekerjaan dalam usahatani (dalam penelitian ini kegiatan pascapanen). Pada kenyataannya upah TKDK tidak dibayarkan petani kepada TKDK. Jika dibandingkan dengan biaya untuk TKLK, biaya TKDK untuk kegiatan pascapanen biji kakao fermentasi lebih rendah dibanding biaya TKLK yaitu sebesar Rp 178 756 atau 37.46% dari total biaya pascapanen biji kakao terfermentasi. Sebaliknya pada kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi, biaya TKDK lebih besar dibandingkan TKLK. Biaya TKDK kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi sebesar Rp 299 194.67. Besaran tersebut mempunyai proporsi 59.99% dari total biaya pascapanen biji kakao tidak terfermentasi.
53
Tabel 17 Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi perhektar perpanen Jenis Pekerjaan 1. Panen
TKDK Kerja Upah (Rp) (HOK) 1.23 65 258
TKLK Kerja Upah (Rp) (HOK) 2.84 149 917
Kerja (HOK) 4.07
Total Upah (Rp) 215 175
2. Pengupasan buah 3. Sortasi biji basah 4. Pemasukan ke kotak 5. Pembalikan
0.89 0.34 0.09 0.17
46 508 18 033 4 461 8 687
1.69 0.58 0.01 0.00
90 500 30 708 521 0
2.58 0.92 0.10 0.17
137 008 48 742 4 982 8 687
6. Pengeringan
0.47
25 279
0.00
0
0.47
25 279
7. Sortasi biji kering
0.13
6 928
0.00
0
0.13
6 928
8. Pengemasan Jumlah
0.07 3.39
3 601 178 756
0.00 5.11
0 271 646
0.07 8.50
3 601 450 402
Tabel 17 memperlihatkan perincian dari biaya penggunaan TKLK dan TKDK berdasarkan jenis pekerjaan dalam pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Biaya pemanenan yang dikeluarkan petani fermentasi mencapai Rp 215 175. Total kerja yang dibutuhkan dalam pemanenan sebesar 4.07 HOK. Dalam kegiatan pemanenan petani mengunakan tenaga kerja luar keluarga ratarata sebesar 2.84 HOK. Kebutuhan TKLK untuk membantu proses menjolok atau memetik buah kakao dan mengumpulkan buah kakao ke suatu tempat untuk dilakukan pemeraman atau dilakukan pemecahan buah. Proses pemanenan ratarata dilakukan petani responden selama satu sampai dua hari. Hari pertama dan kedua digunakan untuk memetik dan mengumpulkan buah. Biaya tenaga kerja luar keluarga yang dikeluarkan petani fermentasi adalah sebesar Rp 149 916.67. Upah yang diberikan berupa uang tunai senilai Rp 50 000. Terdapat beberapa petani memberi tambahan konsumsi berupa makan siang, rokok, dan kopi senilai Rp 20 000. Pengupasan dan sortasi biji basah memerlukan tenaga kerja sebesar 2.58 HOK dan 0.92 HOK. Sortasi biji basah bertujuan untuk memisahkan biji-biji yang baik atau superior, pecahan kulit, plasenta, ranting dan biji kakao yang terserang hama penyakit. Keberhasilan pemisahan biji superior dari biji inferior serta kotoran-kotoran yang melekat di biji akan sangat memengaruhi mutu biji kering. Oleh sebab itu pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi kegiatan pemecahan dan sortasi biji basah sangat membutuhkan perhatian khusus dan memerlukan curahan tenaga kerja tertentu. Upah yang dikeluarkan petani untuk kegiatan pemecahan buah dan sortasi biji basah masing-masing senilai Rp 137 008 dan Rp 48 741. Secara tunai, petani mengeluarkan upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK) untuk kegiatan pemecahan buah dan sortasi biji basah masingmasing sebesar Rp 90 500 dan Rp 30 708. Kegiatan pascapanen yang dilakukan setelah sortasi biji basah yaitu kegiatan fermentasi biji kakao. Biji kakao dimasukan ke dalam kotak fermentasi kemudian ditutup dengan 3 helai daun pisang dan karung goni. Rata-rata proses ini tidak membutuhkan waktu yang lama yaitu hanya sebesar 0.10 HOK atau 48 menit untuk hasil panen 300 kg biji basah dilakukan oleh satu orang. Kegiatan pemasukan biji kakao sebanyak 53% dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga.
54
Hanya 13% petani yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk melakukan proses pemasukan biji kakao ke kotak fermentasi. Petani responden menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk melakukan proses pemasukan biji kakao ke kotak fermentasi, apabila ada sisa waktu dalam 1 hari kerja untuk melakukan proses fermentasi sekaligus. Proses fermentasi tidak memerlukan kekuatan yang lebih atau keterampilan khusus, sehingga baik tenaga kerja wanita maupun tenaga kerja pria mampu melakukan proses fermentasi dengan tingkat keberhasilan yang sama. Namun demikian, penggunaan tenaga kerja pria dalam kegiatan pascapanen dianggap dapat menghasilkan waktu kerja yang lebih cepat dibandingkan tenaga kerja wanita. Oleh sebab itu dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen baik dengan biji kakao terfermentasi maupun tidak terfermentasi digunakan faktor konversi sebagai ukuran kesetaraan jam pria atau hari pria pada perhitungan hari kerja wanita. Setelah petani melakukan pemasukan biji kakao ke dalam kotak fermentasi, Biji kakao didiamkan selama 2 hari, setelah 2 hari dilakukan pembalikan kemudian didiamkan selama 2 hari kembali. Pada hari keempat dilakukan pembalikan biji kakao kemudian didiamkan sehari selanjutnya pada hari ke-6 biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi untuk dilakukan penjemuran. Dalam proses pembalikan biji kakao, dilakukan pula proses pengadukan biji kakao dan pengecekan suhu mengunakan thermometer. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pembalikan yaitu sebesar 0.17 HOK atau 81.6 menit (jika dilakukan satu orang tenaga kerja) untuk 2 kali pembalikan. Proses fermentasi dilanjutkan dengan kegiatan pengeringan biji kakao untuk mengurangi kadar air. Proses pengeringan yang dilakukan oleh petani fermentasi memerlukan waktu 4 hari. Pengeringan biji kakao dilakukan dengan menjemur biji kakao pada jaring-jaring, terpal dan atau para-para pada pagi hari. Pada sore hari petani mengumpulkan biji kakao yang dijemur kedalam karung. Kegiatan tersebut dilakukan petani sampai dengan 4 hari untuk mendapatkan biji kakao dengan kadar air rendah. Proses pengeringan biji kakao ini membutuhkan 0.47 HOK. Pada saat proses penjemuran dan pengumpulan biji kakao setelah dijemur, beberapa petani melakukan sortasi biji kering dari sampah, kerikil, dan biji kakao yang terkena hama PBK penyakit. Setelah hari keempat penjemuran biji kakao, petani melakukan sortasi biji kakao kering. Kegiatan sortasi biji kakao kering membutuhkan kerja sebesar 0.13 HOK. Proses sortasi biji kakao kering tidak terlalu lama karena sebelumnya petani telah melakukan kegiatan sortasi biji basah, dan sortasi biji kering saat penjemuran biji kakao. Selanjutnya petani melakukan pengemasan, biji kakao kering yang telah disortasi, dimasukan kedalam karung plastik dan diikat dengan tali rafia. Kegiatan pengemasan biji kakao kering membutuhkan kerja sebesar 0.07 HOK. Tabel 18 menampilkan perincian biaya upah untuk kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi berdasarkan jenis pekerjaan. Sepertihalnya pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi, biaya pemanenan merupakan biaya terbesar dalam biaya tenaga kerja kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi. Biaya pemanenan pascapanen kakao non fermentasi mencapai Rp 293 222. Total kerja yang dibutuhkan dalam pemanenan adalah sebesar 4.94 HOK.
55
Jika dibandingkan antara pemanenan untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi, maka akan terlihat bahwa total kerja pemanenan pada pascapenen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi, yaitu sebesar 4.94 HOK untuk kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi dan 4.07 HOK untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Hal tersebut dikarenakan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, petani non fermentasi menggunakan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yang lebih banyak dari petani fermentasi. Biaya dan kerja TKLK pemenenan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 133 111 untuk 2.56 HOK. Tabel 18 Pengunaan tenaga kerja kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi per hektar per panen pada musim panen puncak Mei 2014 TKDK Jenis Pekerjaan 1. Panen
Kerja (HOK) 2.39
TKLK
160 111
Kerja (HOK) 2.56
Biaya (Rp)
Total
133 111
Kerja (HOK) 4.94
Biaya (Rp)
Biaya (Rp) 293 222
2. Pengupasan buah
1.38
70 333
1.02
56 444
2.40
126 778
3. Sortasi biji basah
0.09
4 667
0.00
0
0.09
4 667
4. Pengeringan
0.65
33 189
0.00
0
0.65
33 189
5. Sortasi biji kering
0.50
25 167
0.00
0
0.50
25 167
6. Pengemasan
0.11
5 728
0.00
0
0.11
5 728
Jumlah
5.12
299 195
3.58
189 556
8.70
488 750
Kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan pengupasan buah pada pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, sebesar 2.40 HOK. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengupasan sebesar Rp 126 777. Jika dibandingkan dengan kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi, jumlah kerja dan besaran biaya upah untuk kegiatan pengupasan lebih kecil. Hal itu disebabkan sebagian besar petani non fermentasi tidak melakukan sortasi buah kakao sebelum melakukan pengupasan buah, dan pada saat pengeluaran biji kakao dari buah kakao, petani tidak melakukan sortasi biji kakao basah. Dengan demikian, kerja yang dilakukan petani non fermentasi lebih cepat dibanding petani fermentasi. Setelah melakukan pengupasan buah kakao, kegiatan selanjutnya pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi adalah sortasi biji kakao basah. Hanya 13.33% petani non fermentasi melakukan sortasi biji kakao basah. Jumlah kerja yang diperlukan untuk sortasi biji basah sebesar 0.09 HOK. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kerja sebanyak itu sebesar Rp 4 667. Jenis pekerjaan pascapanen yang dilakukan setelah sortasi biji kakao basah adalah pengeringan, sortasi biji kering dan pengemasan biji kakao. Kegiatan pengeringan, sortasi biji kering dan pengemasan biji kakao dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) tanpa melibatkan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Hal tersebut dikarenakan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga telah mencukupi untuk melakukan kegiatan tersebut. Pengeringan biji kakao pada pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi membutuhkan kerja sebanyak 0.65 HOK. Kerja sebanyak itu, biaya yang diperhitungkan oleh petani adalah sebesar Rp 33 189. Jumlah kerja dan biaya untuk sortasi biji kering adalah 0.50 HOK dan Rp 25 167. Jika dibandingkan dengan kegiatan pascapanen biji kakao
56
dengan aplikasi fermentasi, Jumlah kerja dan biaya yang dibutuhkan lebih besar 3 kali lipat. Hal tersebut disebabkan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, petani responden tidak melakukan sortasi biji basah hal ini menyebabkan petani memerlukan alokasi waktu lebih untuk sortasi biji kakao kering. Kegiatan sortasi biji kakao dilakukan dengan menapis biji kakao dan pemilahan biji kakao dengan komponen sampah. Selanjutnya, setelah sortasi biji kakao kering, kegiatan pascapanen yang dilakukan adalah pengemasan biji kakao. Jumlah kerja dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengemasan sebanyak 0.11 HOK dan Rp 5 728. Biaya Karung Setelah membahas biaya tenaga kerja yang merupakan biaya terbesar pertama, pembahasan berlanjut kepada biaya terbesar kedua dalam kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi yaitu biaya karung. Karung plastik dalam kegiatan pascapanen kakao digunakan untuk berbagai kebutuhan diantaranya pengemasan buah kakao yang telah dipanen, pengemasan biji kakao basah, wadah sortasi biji kakao basah, wadah pemeraman biji kakao basah, penutup kotak fermentasi, wadah sortasi biji kakao kering, serta pengemasan biji kakao kering. Karung plastik berukuran 50 kg digunakan petani untuk pengangkutan buah kakao pada kegiatan pengumpulan buah kakao, buah kakao dikumpulkan pada suatu tempat dan dilakukan pemeraman selama semalam di kebun petani. Pada hari selanjutnya petani melakukan pemecahan buah kakao. Biji kakao basah dikeluarkan dari buah kakao, selanjutnya biji kakao basah dimasukan kedalam karung. Petani fermentasi sekaligus melakukan sortasi biji kakao basah pada saat pengupasan buah. Saat kegiatan sortasi biji kakao basah, petani menggunakan karung yang berbeda untuk memisahkan biji kakao yang terkena hama penyakit dan tidak terkena hama penyakit. Jumlah karung yang digunakan sesuai dengan jumlah hasil panen. Selanjutnya biji kakao basah dimasukan dalam kotak fermentasi dan ditutup oleh daun pisang, karung goni atau karung plasik. Karung goni atau karung plastik yang digunakan petani untuk menutup kotak fermentasi dapat digunakan selama satu tahun dan jumlah karung yang digunakan tidak memengaruhi oleh jumlah biji kakao yang dihasilkan sehingga dikategorikan sebagai komponen biaya penyusutan peralatan. Setelah dilakukan fermentasi, biji kakao dijemur kemudian dilakukan pengemasan biji kakao kering. Bobot biji kakao kering yang dihasilkan 33 % dari bobot biji kakao basah, dengan demikian jumlah karung yang digunakan lebih sedikit dibandingkan karung yang digunakan untuk pengemasan biji kakao basah. Karung plastik 50 kg yang digunakan petani merupakan karung bekas pupuk. Petani mencuci karung bekas pupuk tersebut sebelum digunakan untuk pengemasan biji kakao. Secara keseluruhan rata-rata jumlah karung plastik 50 kg yang digunakan petani kakao fermentasi sebanyak 7.53 buah dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 15 383. Rata-rata jumlah karung plastik 62.5 kg yang digunakan sebanyak 0.13 buah dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 667 per panen. Berbeda dengan kegiatan pascapanen biji kakao tanpa apliksi fermentasi, rata-rata jumlah karung plastik 50 kg yang digunakan petani sebanyak 7.33 buah dengan biaya sebesar Rp 20 111. Jumlah karung 62.5 kg yang digunakan petani
57
non fermentasi sebanyak 0.47 buah. Biaya karung yang dikeluarkan sebesar Rp 1 633 per panen. Biaya Penyusutan Peralatan Biaya penyusutan alat menyatakan pengurangan nilai dari alat yang dimiliki petani karena peralatan tersebut digunakan dalam usahatani. Nilai ekonomis alat yang dimiliki petani, dari waktu ke waktu mengalami kecenderungan untuk turun. Oleh karena itu, walaupun tidak dikeluarkan secara nyata, biaya penyusutan peralatan perlu dimasukan sebagai salah satu komponen biaya. Biaya penyusutan peralatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi adalah sebesar Rp 8 921. Sedangkan biaya penyusutan peralatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi adalah sebesar Rp 4 676. Biaya penyusutan yang ditanggung petani fermentasi yang lebih tinggi daripada petani non fermentasi tersebut mengindikasikan bahwa petani fermentasi mempunyai peralatan usahatani yang lebih banyak. Peralatan untuk kegiatan pascapanen kakao terdiri dari terpal, jaring-jaring, para-para, ember, piring, dan lori-lori. Petani fermentasi memiliki tambahan peralatan yaitu kotak fermentasi, karung goni, karung plastik, dan termometer. Kotak fermentasi yang dimiliki petani sebagian besar merupakan pemberian dari program Nestle Cocoa Plan yang diberikan kepada kelompok tani untuk melakukan proses fermentasi bersama. Penggunaan kotak fermentasi bersama pada beberapa kelompok tani berjalan dengan baik. Walaupun dalam satu kelompok tani yang terdiri dari 25 anggota, hanya 1 sampai 4 orang yang ikut melakukan fermentasi bersama dengan cara menggunakan kotak fermentasi secara bergantian. Hal ini dikarenakan belum banyak petani yang berminat untuk melakukan fermentasi biji kakao. Selain itu beberapa petani merasa kesulitan untuk melakukan fermentasi pada kotak fermentasi bersama karena kapasitas kotak fermentasi yang terbatas dan waktu penggunaan yang bersamaan yaitu pascapanen setiap 2 minggu sekali. Padahal, apabila kegiatan fermentasi bersama dapat dilakukan akan mengurangi beban penyusutan peralatan yang harus ditanggung oleh petani. Biaya Tali rafia Biaya tali rafia merupakan salah satu komponen biaya tunai yang digunakan petani untuk proses pengemasan biji kakao. Biaya tali rafia kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 598. Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya tali rafia pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 813. Hal ini dikarenakan penggunaan tali rafia pada pascapanen biji kakao tanpa apliksi fermentasi lebih banyak dibanding dengan aplikasi fermentasi. Tambahan penggunaan tali rafia pada kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi digunakan untuk biji kakao basah yang dihasilkan saat panen dikemas dalam karung, kemudian diikat dengan tali rafia. Setelah biji kakao basah dikemas, biji kakao basah tersebut diperam selama 3 hari dalam karung untuk mengurangi kadar pulp pada biji kakao basah. Biaya Daun Pisang Biaya daun pisang merupakan biaya diperhitungkan dalam kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Daun pisang digunakan petani
58
untuk menutup biji kakao basah yang dimasukan dalam kotak fermentasi. Hal ini dilakukan untuk membentuk suhu yang optimal pada proses fermentasi. Daun pisang yang digunakan petani merupakan daun pisang yang diambil dari kebun petani sehingga biaya ini dikategorikan biaya diperhitungkan. Biaya daun pisang untuk kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi mencapai Rp 1 207 dengan penggunaan sebesar 1.33 lembar tiap panen.
Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi Pendapatan pascapanen merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dengan biaya pascapanen yang dikeluarkan. Hasil perhitungan pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa pendapatan atas biaya total dan tunai perhektar perpanen pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi fermentasi. Pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 891 430. Sedangkan, pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 630 194. Selisih antara pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi sebesar Rp 261 236. Hal tersebut berarti kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tanpa aplikasi fermentasi. Tabel 19 Pendapatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen Keterangan Penerimaan (Rp) Biaya Total (Rp) Biaya Tunai (Rp) Pendapatan atas Biaya Tunai (Rp) Pendapatan atas Biaya Total (Rp) Biaya Tunai /kg Biaya Total / kg Pendapatan tunai/ kg Pendapatan total/kg
Nilai Fermentasi Tidak Fermentasi 3 368 606 3 146 178 477 175 515 984 272 242 190 368 3 096 364 2 955 809 2 891 430 2 630 194 2 658 1 924 4 659 5 214 30 234 29 867 28 233 26 577
Selisih 222 428 -38 808 81 873 140 555 261 236 735 -554 367 1 656
Pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 3 096 364 sedangkan pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 955 809. Hal ini disebabkan rata-rata penerimaan perhektar yang dihasilkan pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Selain itu, besarnnya biaya total perhektar pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Biaya total kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 477 175, sedangkan biaya total kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi mencapai Rp 515 984. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan
59
pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi secara total tidak menambah biaya justru mengurangi biaya. Namun, biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 272 242. Sedangkan biaya tunai kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 190 368. Walaupun demikian pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Jika dilihat berdasarkan total biaya perkilogram biji kakao yang dihasilkan, rata-rata biaya total perkilogram yang dikeluarkan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 4 659 yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 5 214. Hal ini disebabkan biaya diperhitungkan perkilogram biji kakao yang dihasilkan pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Hal tersebut terlihat dari biaya TKDK kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yang lebih besar dibandingkan aplikasi fermentasi. Disisi lain, pada biaya tunai perkilogram biji kakao terfermentasi, rata-rata biaya tunai perkilogram yang dikeluarkan sebesar Rp 2 658. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan rata-rata biaya tunai perkilogram pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 1 924. Hal ini menunjukan bahwa pada tiap kilogramnya selisih biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani fermentasi sebesar Rp 735. Dengan demikian, secara tunai biaya per kilogram biji kakao terfermentasi lebih besar dibandingkan dengan tidak terfermentasi, hal ini menjadi salah satu alasan petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi. Jika dilihat lebih jauh pendapatan atas biaya total per kilogram biji kakao terfermentasi mencapai Rp 28 233 yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 26 577. Hal ini menunjukan bahwa tiap kilogramnya petani yang memroduksi biji kakao terfermentasi memperoleh tambahan pendapatan secara total sebesar Rp 1 656, dibandingkan dengan petani non fermentasi. Hal ini disebabkan karena harga per kg biji kakao yang diterima petani fermentasi lebih besar dibandingkan dengan harga yang diterima petani non fermentasi. Selanjutnya, jika dilihat dari pendapatan atas biaya tunai per kilogram biji kakao terfermentasi sebesar Rp 30 233 yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai per kilogram biji kakao tidak terfermentasi yaitu sebesar Rp 29 867. Perbedaan pendapatan atas biaya tunai perkilogram antara petani fermentasi dan non fermentasi sebesar Rp 367. Hal ini menunjukan bahwa secara tunai perbedaan pendapatan per kilogram biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi sangat rendah.
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao Terfermentasi Analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik biner atau dengan model logit. Variabel dependen atau peubah terikat yang diuji 𝑌 adalah peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi, dengan
60
indikator yaitu keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi 1 dan keputusan petani tidak memroduksi kakao terfermentasi 0 . Terdapat 6 faktor yang diduga memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan memroduksi kakao terfermentasi berdasarkan literatur, penelitian terdahulu dan temuan dilapangan. Keenam faktor tersebut adalah jumlah biji yang dihasilkan, status usahatani, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa, perbedaan harga, akses informasi teknis fermentasi, serta akses berhutang ke pedagang. Model Dugaan Regresi Logistik Biner Berikut model dugaan regresi logistik biner faktor - faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan memroduksi kakao terfermentasi : 1 𝑌𝑖 = 𝑃 𝑥𝑖 = 1 + 𝑒 − 𝛽0 +𝛽1 𝑋1 −𝛽2 𝑋2 +𝛽3 𝐷1 +𝛽4 𝐷2 +𝛽5 𝐷3 +𝛽6 𝐷4 Logit dari model tersebut adalah : 𝑃 𝑥𝑖 𝐺 𝑥𝑖 = 𝑙𝑛 = −𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 − 𝛽2 𝑋2 + 𝛽3 𝐷1 + 𝛽4 𝐷2 + 𝛽5 𝐷3 + 𝛽6 𝐷4 1 − 𝑃 𝑥𝑖 Dengan keterangan : Gi = Persamaan regresi logistik Pi = Peluang keputusan petani memroduksi kakao terfermentasi (1-Pi) = Peluang keputusan petani tidak memroduksi kakao terfermentasi 𝛽0 = Intersep βi = Parameter variabel independen 𝑋1 = Jumlah produksi biji kakao (kilogram) 𝑋2 = Jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa (kilometer) 𝐷1 = Dummy Status usahatani kakao responden (1= pekerjaan utama, 0= pekerjaan sampingan) = Dummy perbedaan harga (1= cukup tinggi, 0= rendah) 𝐷2 𝐷3 = Dummy akses informasi teknik fermentasi (1= mudah, 0= tidak mudah) 𝐷4 = Dummy akses berhutang ke pedagang (1= mudah, 0= tidak mudah) εi = Galat Uji Signifikansi Model Tahap selanjutnya setelah pendugaan model, adalah uji signifikansi model. Uji signifikansi model dugaan dilakukan untuk menyimpulkan apakah model signifikan. Uji Signifikansi model tersebut dilakukan dengan uji likelihood ratio atau uji G. Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai G dan nilai chi_square tabel pada taraf nyata dengan derajat bebas tertentu, sedangkan pada penggunaan perangkat lunak SPSS untuk melihat hasil uji G adalah dari nilai 𝑠𝑖𝑔.. atau 𝑝_𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒. Metode uji signifikansi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melihat nilai signifikansi dari hasil output Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test.
61
Tabel 20 Hasil output Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test Step 1
Chi-square 2.658
Df 8
Sig. 0.954
Tabel 20 menunjukan bahwa besarnya nilai 𝑝_𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 atau signifikansi yang dihasilkan adalah 0.954. Nilai 𝑝_𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 lebih besar dari taraf nyata 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model dapat diterima dan metode layak untuk digunakan. Selanjutnya, seberapa besar variabel Y yang disebabkan oleh variasi atau keragaman variabel X, ditentukan berdasarkan nilai koefisien determinasi atau R2. Nilai R2 ditunjukkan pada nilai Cox and Snell’s R2 dan nilai adjusted R2 yang ditunjukkan oleh nilai Negelkerke R2 pada output SPSS. Berdasarkan Tabel 21, Nilai Cox dan Snell’s R2 diketahui sebesar 0.593 dan nilai Negelkerke R2 sebesar 0.791. Hal ini berarti variabel independen mampu menjelaskan 79.1% keragaman total dari model regresi logistik pada penelitian ini. Tabel 21 Hasil output Nagelkerke R Square Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square 14.592a
1
0.593
0.791
Pendugaan Parameter terhadap variabel dependen Pendugaan parameter dilakukan untuk melihat seberapa baik model dapat melakukan pendugaan dan pengklasifikasian responden pada variabel dependen. Nilai pendugaan parameter didapatkan dengan cara membandingkan 𝑌 = 1 (keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi) dengan 𝑌 = 0 (keputusan petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi). Hasil pendugaan parameter yang ditampilkan pada Tabel 22 menunjukan bahwa model dapat mengklasifikasikan responden yang memroduksi kakao fermentasi sebesar 93.3%, dan tidak memroduksi kakao fermentasi sebesar 93.3%. Secara keseluruhan, model mampu melakukan prediksi dan mengklasifikasikan responden baik yang memroduksi kakao fermentasi dan tidak memroduksi kakao fermentasi sebesar 93.3 %. Tabel 22 Hasil pendugaan parameter terhadap variabel dependen Predicted Observed
Step 1
Tidak fermentasi Fermentasi Overall Percentage Y
Y Tidak fermentasi
Fermentasi 14 1
1 14
Percentage Correct 93.3 93.3 93.3
Pendugaan parameter atau koefisien variabel independen Pendugaan koefisien atau parameter pada masing-masing variabel independen dalam model logistik, dilakukan dengan menggunakan teknik Maximum Likelihood Estimator (MLE). Metode kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimator) merupakan suatu metode yang akan memilih
62
penduga koefisien model, yang memaksimumkan fungsi kemungkinan. Hasil pendugaan koefisien variabel independen dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil pendugaan model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi kakao fermentasi Variabel Koefisien Regresi Sig. Odds Ratio Jumlah produksi 0.000 0.979 1.000 Jarak ke unit pembelian 0.001***) 0.123 1.877 Perbedaan Harga 7.119*) 0.041 1 234.94 Akses info teknik 5.377**) 0.100 216.43 Status usahatani kakao -2.819 0.157 0.060 Akses berhutang ke -2.989 0.198 0.050 pedagang Constant -6.978***) 0.140 0.001 Sumber : Data Primer (diolah) Keterangan : * nyata pada α = 5% ** nyata pada α = 10 % ***nyata pada α = 15 % Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa variabel jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa, perbedaan harga, serta akses informasi teknis fermentasi memiliki koefisien yang bernilai positif. Besaran nilai koefisien untuk variabelvariabel tersebut adalah 0.001, 7.119, dan 5.377. Sedangkan, variabel status usahatani kakao, akses berhutang ke pedagang dan kostanta memiliki koefisien yang bernilai negatif. Besaran nilai konstanta hasil pendugaan adalah -6.978. Nilai koefisien variabel status pekerjaan dan akses berhutang ke pedagang adalah 2.819 dan -2.989. Variabel jumlah produksi biji kakao memiliki nilai koefisien sebesar 0 dan nilai signifikansi 0.979. Hal ini berarti variabel jumlah produksi biji kakao tidak berpengaruh terhadap keputusan petani memroduksi kakao terfermentasi. Selanjutnya berdasarkan hasil model dugaan dan koefisien dugaan yang didapatkan, maka diperoleh model logit faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi yaitu ; 𝑔 𝑥 = −6.978 + 0.001X2 + 7.119D1 + 5.377D2 − 2.819D3 − 2.989D4 Dimana 𝑔 𝑥 = 𝑙𝑛
𝑃 𝑥𝑖 1 − 𝑃 𝑥𝑖
Sedangkan 𝑃 𝑥𝑖 =
1 1 + 𝑒𝑔
𝑥
Interpretasi dan Pembahasan Koefisien Variabel
63
Jumlah produksi biji kakao Variabel jumlah produksi biji kakao memeroleh koefisien variabel yang bernilai nol. Nilai signifikansi untuk koefisien ini adalah 0.97 (lebih besar dari 0.15). Hal tersebut berarti variabel jumlah produksi biji kakao tidak berpengaruh terhadap keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini sesuai dengan temuan di lapang yaitu, sebagian besar petani responden baik petani fermentasi ataupun petani non fermentasi memiliki jumlah produksi biji kakao yang mencukupi kapasitas minimum kotak fermentasi (40 kg biji kakao basah =15 kg biji kakao kering). Namun potensi tersebut belum mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini ditunjukan oleh Tabel 24 bahwa sebagian besar (40%) produksi biji kakao kering petani berada pada rentang 68.5126.5 kg/ha/panen. Bahkan, terdapat 6 orang petani (3 orang petani fermentasi dan 3 orang petani non fermentasi) memiliki jumlah produksi biji kakao berada pada rentang 184.5 -242.5 kg/ha/panen. Selain itu dapat dilihat pada Tabel 24 bahwa jumlah produksi biji kakao antara petani fermentasi dan non fermentasi tidak jauh berbeda. Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan jumlah biji kakao yang dihasilkan 1.
No. 1 2 3 4 5
Jumlah Produksi Biji Kakao (kg) 9.5 – 68.5 68.5 – 126.5 126.5 – 184.5 184.5 -242.5 242.5 – 300.5
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani
3 5 2 3 2
4 7 1 3 0
20.00 33.33 13.33 20.00 13.33
26.67 46.67 6.67 20.00 0.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 7 12 3 6 2
23.33 40.00 10.00 20.00 6.67
Jarak ke unit pembelian PT BT Cocoa Variabel jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa memperoleh koefisien variabel bernilai positif yang artinya semakin besar jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa maka peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi semakin besar. Hal ini berbeda dengan hipotesis pada model dugaan, yaitu semakin kecil jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa maka semakin besar keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal tersebut dikarenakan semakin kecil jarak maka semakin rendah biaya transportasi yang dikeluarkan petani dengan demikian petani terdorong untuk memilih lembaga pemasaran yang memiliki biaya terendah. Namun berdasarkan hasil output diketahui bahwa semakin besar jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa maka semakin besar keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini dikarenakan unit pembelian PT BT Cocoa terletak di Kelurahan Kalukku yang merupakan ibu kota Kecamatan Kalukku. Di Kelurahan Kalukku terdapat pedagang besar biji kakao yang cukup banyak. Pedagang besar tersebut tidak melakukan pembelian biji kakao terfermentasi. Disisi lain, informasi harga yang ditampilkan PT BT Cocoa memacu persaingan harga kakao tidak terfermentasi antar pedagang biji kakao di Kelurahan Kalukku. Sehingga harga biji kakao asalan atau tidak terfermentasi yang ditetapkan oleh pedagang besar cenderung lebih besar. Hal ini menyebabkan perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi 2.
64
yang diberikan oleh PT BT Cocoa terhadap biji kakao tidak terfermentasi rendah. Dengan demikian, petani yang memiliki jarak tempuh yang dekat memiliki peluang untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi lebih besar karena peluang petani memilih menjual biji kakao ke pedagang lebih besar. Sedangkan petani binaan yang memiliki jarak tempuh yang lebih besar (jauh) memiliki peluang keputusan petani memroduksi kakao terfermentasi yang lebih besar dikarenakan pesaingan unit pembelian PT BT Cocoa dengan pedagang pengumpul desa relatif lebih rendah. Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa No.
Jarak ke BT Cocoa (Kilometer)
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 7 46.67
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 10 66.67
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 17 56.67
1
0–4
2
4–8
4
26.67
3
20.00
7
23.33
3
8 – 12
0
0.00
2
13.33
2
6.67
4
12 – 16
2
13.33
0
0.00
2
6.67
5
16 - 18
0
0.00
0
0.00
0
0.00
6
lebih 18
2
13.33
0
0.00
2
6.67
Berdasarkan Tabel 25 diketahui bahwa petani fermentasi memiliki jarak tempuh ke unit pembelian PT BT Cocoa yang cenderung lebih jauh dibanding petani non fermentasi. Hal ini ditunjukan oleh jumlah petani fermentasi yang memiliki jarak ke unit pembelian PT BT Cocoa pada kisaran 0 – 4 km, kurang dari jumlah petani non fermentasi. Sebaliknya jumlah petani fermentasi yang memiliki jarak tempuh ke unit pembelian PT BT Cocoa pada kisaran 4 – 8 km lebih banyak dibandingkan jumlah petani non fermentasi. Bahkan terdapat petani fermentasi yang memiliki jarak tempuh ke unit pembelian PT BT Cocoa pada kisaran 12 km – 18 km (sebanyak 2 orang) dan pada kisaran lebih dari 18 km (sebanyak 2 orang). Berkaitan dengan jarak tempuh petani ke unit pembelian PT BT Cocoa yang jauh dan infrastruktur jalan di beberapa desa yang kurang memadai, unit pembelian PT BT Cocoa membentuk unit pembelian biji kakao yang terletak di kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Unit pembelian biji kakao dalam lingkup kelompoktani dibentuk di kelompok tani Tallu Sikambi, Desa Guliling Kecamatan Kalukku dan unit pembelian biji kakao dalam lingkup Gabungan Kelompoktani (GAPOKTAN) dibentuk di Gapoktan Sipo Kanyang Desa Pammulukkang, Kecamatan Kalukku. Pembentukan unit pembelian biji kakao yang terletak di kelompoktani dan gabungan kelompoktani bertujuan untuk menawarkan kepada petani akses pemasaran yang yang lebih pendek (petani dapat langsung menjual biji kakao ke industri pengolahan kakao) sehingga petani memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Pembelian biji kakao di unit pembelian biji kakao yang terletak di kelompoktani dan gabungan kelompoktani baru dioperasikan pada awal bulan Mei 2014. Unit pembelian biji kakao yang berada di kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani diharapkan dapat mendorong petani memroduksi biji kakao terfermentasi melalui pemberian
65
perbedaan harga, transparansi harga, dan informasi harga yang rutin setiap harinya. Variabel jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa memiliki nilai odds ratio 1.9 yang artinya setiap peningkatan 1.9 kilometer jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa, peluang keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi meningkat 1.9 kali dari semula (cateris paribus). Pernyataan ini signifikan karena variabel jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa memiliki P-value sebesar 0.123 (kurang dari 0.15). 3. Perbedaan Harga Variabel perbedaan harga memiliki nilai P-value sebesar 0.041 (kurang dari 0.15). Hal ini berarti variabel perbedaan harga berpengaruh nyata terhadap keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Nilai koefisien variabel perbedaan harga bertanda positif. Hal ini menunjukan bahwa semakin meningkatnya perbedaan harga, kemungkinan petani memroduksi biji kakao terfermentasi akan meningkat. Nilai odds ratio yang sebesar 1 234.94 mempunyai arti bahwa petani yang beranggapan perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi dengan biji kakao tidak terfermentasi cukup tinggi maka keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi lebih besar 1 234.94 kali lebih besar dibanding petani yang beranggapan perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi rendah (cateris paribus). Perbedaan harga antara biji kakao terfermentasi dengan biji kakao tidak terfermentasi yang diberikan oleh unit pembelian PT BT Cocoa sebesar Rp 2000/kg. Bila ditinjau berdasarkan harga yang berlaku di Kecamatan Kalukku, Rata-rata harga biji kakao terfermentasi yang diterima petani pada awal Mei 2014 sebesar Rp 32 892/kg sedangkan rata-rata harga biji kakao tidak terfermentasi yang diterima petani sebesar Rp 31 790/ kg. Selisih antara rata-rata harga biji kakao terfermentasi dengan rata-rata harga biji kakao tidak terfermentasi sebesar Rp 1 102. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan harga yang berlaku di pasar (Kecamatan Kalukku) kurang dari insentif yang diberikan unit pembelian PT BT Cocoa atas biji kakao terfermentasi. Namun. berdasarkan uji t perbedaan harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi signifikan atau berbeda nyata. Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan perbedaan harga No.
Perbedaan Harga
1
cukup tinggi
2
Rendah
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 12 80.00 3
20.00
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 3 20.00 12
80.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 15 50.00 15
50.00
Respon petani atas harga yang ditawarkan berbeda-beda. Insentif harga yang diberikan unit pembelian PT BT Cocoa, menawarkan kepada petani harga biji kakao terfermentasi yang lebih tinggi dibanding biji kakao tidak terfermentasi. Sehingga petani (produsen) berupaya menggunakan teknologi fermentasi untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini sesuai dengan teori respons yang telah dijelaskan dalam kerangka pemikiran. Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa separuh dari total responden beranggapan perbedaan harga yang diberikan cukup tinggi. Pada kenyataannya dilapang, petani fermentasi tertarik pada
66
perbedaan harga yang diberikan. Insentif harga mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi karena menguntungkan bagi petani. Terlebih apabila jumlah produksi yang dihasilkan besar, nilai perbedaan harga yang dikalikan dengan jumlah produksi memberikan tambahan penerimaan bagi petani. Apabila ditinjau lebih jauh, terdapat petani yang tidak hanya melihat harga yang lebih tinggi dari biji kakao terfermentasi tetapi juga membandingkan harga biji kakao terfermentasi dengan harga biji kakao tidak terfermentasi yang berlaku di pasaran (Kecamatan Kalukku). Hal ini berarti petani membandingkan harga biji kakao terfermentasi yang ditawarkan unit pembelian PT BT Cocoa dengan harga yang biji kakao tidak terfermentasi yang ditawarkan oleh (pedagang pengumpul dan pedagang besar). Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa setengah dari total responden beranggapan bahwa perbedaan harga yang berlaku antara biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi rendah. Sehingga, perbedaan harga tidak mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini didukung dengan biaya tunai per kg biji kakao terfermentasi sebesar Rp 2 658 dan biaya tunai per kg biji kakao tidak terfermentasi sebesar Rp 1 924. Dengan demikian insentif sebesar Rp 2000 tidak mencukupi untuk mengganti biaya tunai yang dikeluarkan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi. 4. Akses informasi teknik fermentasi Variabel akses informasi teknik fermentasi memperoleh nilai signifikansi sebesar 0.12 sehingga variabel akses informasi teknik fermentasi berpengaruh pada taraf nyata 15%. Nilai koefisien variabel akses informasi teknik bertanda positif, Hal ini menunjukan bahwa semakin mudah petani memeroleh akses informasi teknis fermentasi semakin besar peluang petani memroduksi biji kakao terfermemtasi. Nilai odd ratio yang dihasilkan sebesar 35.09 yang artinya petani yang mendapat kemudahan akses informasi teknis fermentasi biji kakao berkemungkinan memroduksi biji kakao terfermentasi 35.09 kali dibanding petani yang kesulitan mendapat akses informasi teknis fermentasi (cateris paribus). Petani yang memiliki akses terhadap informasi teknik fermentasi biji kakao, akan memiliki pengetahuan mengenai tata cara melakukan fermentasi biji kakao. Dengan demikian petani tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan fermentasi dengan hasil biji kakao terfermentasi dengan baik. Kemampuan tersebut akan mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Informasi mengenai teknik budidaya dan pascapanen kakao dapat diakses oleh petani responden dengan mudah. Tabel 27 menunjukan bahwa sebanyak 90 persen dari keseluruhan responden mendapatkan informasi teknis budidaya kakao dan teknis fermentasi biji kakao. Hanya 10% petani responden yang merasakan tidak mudah untuk mengakses informasi teknik fermentasi. Sumber informasi berasal dari penyuluh Nestle Cocoa Plan yang terdiri dari penyuluh sekolah lapang Swisscontact dan penyuluh unit pembelian kakao PT BT Cocoa, penyuluh dinas perkebunan, kelompok tani, dan sesama petani. Selain berasal dari kegiatan sekolah lapang, petani diberikan pembinaan mengenai budidaya dan pascapanen yang baik melalui kebun demplot. Petani juga diberikan buku panduan teknik budidaya dan pascapanen oleh Nestle Cocoa Plan untuk membantu petani mempelajari teknik budidaya kakao.
67
Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan akses informasi teknis fermentasi No. 1 2
Info Fermentasi Mudah Tidak mudah
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 15 100.00 0 0.00
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 12 80.00 3 20.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 27 90.00 3 10.00
5. Status usahatani kakao Variabel status usahatani kakao memeroleh nilai koefisien yang bertanda negatif. Hal ini berarti petani yang berusahatani kakao sebagai pekerjaan utama berpeluang tidak memroduksi biji kakao terfermentasi lebih besar dari petani yang berusahatani kakao sebagai pekerjaan sampingan. Hal ini berbeda dengan hipotesis awal. Nilai odds rasio variabel status usahatani kakao sebesar 0.060. Hal ini memiliki pengertian bahwa petani yang berusahatani kakao sebagai pekerjaan utama berpeluang untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi 0.06 kali lebih besar dari petani yang berusahatani kakao sebagai pekerjaan sampingan (cateris paribus). Namun pernyataan ini tidak signifikan karena variabel status usahatani kakao memiliki nilai P-value sebesar 0.16 (lebih dari 0.15). Ketidaksignifikan variabel ini disebabkan kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar (60%) baik petani fermentasi maupun non fermentasi berusahatani kakao sebagai pekerjaan sampingan. Dari responden yang diwawancarai, sebanyak 6 orang petani fermentasi berusahatani kakao sebagai pekerjaan utama dan 9 orang petani fermentasi berusahatani kakao sebagai pekerjaan sampingan. Proporsi yang sama ditunjukkan pada petani non fermentasi, sehingga tidak ada yang membedakan dari segi status usahatani kakao. Persamaan persentase ini membuat analisis regresi logistik tidak signifikan, karena baik petani fermentasi dan non fermentasi dapat dikatakan berusahatani kakao merupakan pekerjaan sampingan. Tabel 28 menunjukan sebaran responden berdasarkan status usahatani. Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan status usahatani No.
Status Usahatani
1
Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan
2
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 6 40.00 9
60.00
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 6 40.00 9
60.00
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 12 40.00 18
60.00
Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa selain berusahatani kakao, petani di Kecamatan Kalukku memiliki sumber mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumber mata pencaharian lain yang dijalankan petani diantaranya yaitu; bertani padi, berternak, bertani kayu, guru, pendeta, pertukangan, dan pedagang pengumpul kemiri. Rendahnya produksi kakao yang dimiliki petani terutama saat panen kering menyebabkan petani memerlukan sumber mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 6. Akses berhutang ke pedagang Variabel akses berhutang ke pedagang memeroleh nilai koefisien bertanda negatif. Hal ini memiliki pengertian bahwa petani yang memeroleh kemudahan
68
dalam mengakses pinjaman (hutang) dari pedagang memiliki peluang untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi lebih besar dibandingkan petani yang tidak mudah dalam mengakses hutang dari pedagang. Nilai odds ratio sebesar 0.05. Hal ini berarti bahwa petani yang memeroleh kemudahan dalam mengakses hutang dari pedagang berpeluang untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi 0.05 kali lebih besar dibandingkan petani yang tidak mudah dalam memeroleh hutang dari pedagang (cateris paribus). Namun, variabel ini tidak signifikan karena variabel akses berhutang ke pedagang memiliki nilai P-value sebesar 0.19 (lebih dari 0.15). Berdasarkan temuan di lapang, sumber permodalan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi usahatani kakao berasal dari modal sendiri, hutang dari pedagang pengumpul dan hutang dari pedagang besar. Hampir tidak ditemui petani yang menggunakan bank atau koperasi untuk memenuhi kebutuhan permodalan. Berdasarkan Tabel 29 sebagian besar (66.67%) petani fermentasi berpendapat bahwa tidak mudah untuk mengakses hutang dari pedagang pengumpul maupun pedagang besar. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul atau pedagang besar memberikan pinjaman kepada petani namun bersifat mengikat petani untuk selalu menjual biji kakao yang diproduksi ke pedagang pengumpul/besar yang bersangkutan. Hal ini tidak mudah atau menyulitkan petani kerana semenjak kehadiran unit pembelian PT BT Cocoa. Informasi harga yang terbuka bagi petani menyebabkan opsi petani untuk memilih menjual biji kakao ke lembaga pemasaran (baik ke unit pembelian PT BT Cocoa maupun ke pedagang) semakin luas. Petani dengan mudah mengetahui lembaga pemasaran mana yang menawarkan harga yang lebih tinggi. Tingginya harga tersebut tidak bisa diakses petani karena petani telah terikat hutang dari pedagang pengumpul atau pedagang besar. Dengan demikian petani berusaha untuk terbebas dari ikatan hutang. Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan akses berhutang ke pedagang No.
Akses berhutang ke pedagang
1 2
Mudah Tidak mudah
Responden Fermentasi Jumlah (%) Petani 5 33.33 10 66.67
Responden Non Fermentasi Jumlah (%) Petani 7 46.67 8 53.33
Berdasarkan Total Responden Jumlah (%) Petani 12 40.00 18 60.00
Selain itu, apabila ditinjau lebih jauh lagi petani non fermentasi sebanyak 46.67% berpendapat bahwa mudah untuk mengakses hutang dari pedagang. Hal ini dikarenakan setiap saat petani dapat mengajukan pinjaman kepada pedagang pengumpul dan pedagang besar, terutama saat waktu pemupukan dan penyemprotan pedagang memberi pinjaman pupuk dan pestisida. Hal tersebut sangat membantu petani yang tidak memiliki modal untuk membeli saprotan tersebut. Ikatan hutang yang terbentuk antara petani dengan pedagang pengumpul, dianggap memudahkan petani karena petani memiliki kepastian pembeli biji kakao. terlebih pedagang pengumpul pada umumnya dalam melakukan pembelian biji kakao menjemput biji kakao milik petani. Hal ini dapat mengurangi biaya transportasi yang harus dikeluarkan petani. Terlepas dari kemungkinan harga yang diberikan pedagang pengumpul atau pedagang besar lebih rendah dibanding harga yang ditawarkan unit pembelian PT BT Cocoa. Petani merasa terbantu atas akses pinjaman yang diberikan pedagang.
69
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan, hasil dan pembahasan yang dilakukan, simpulan dari penelitian ini adalah : 1. Jumlah produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat masih lebih rendah dibandingkan produksi biji kakao tidak terfermentasi. 2. Kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi yang dilakukan oleh petani pada bulan Mei 2014 memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tanpa aplikasi fermentasi. Pendapatan atas biaya total per kg biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi adalah Rp 28 233 dan Rp 26 577. Selisih pendapatan petani atas biaya total per kg biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi sebesar Rp 1 656. Hal ini menunjukan bahwa produksi biji kakao terfermentasi mampu meningkatkan pendapatan petani. Selisih harga atau insentif pengolahan biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku sebesar Rp 1 102. Selisih harga ini belum mampu mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi, ditunjukan oleh volume pembelian biji kakao terfermentasi di unit pembelian PT BT Cocoa yang masih rendah dan berfluktuasi. 3. Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor – faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi menunjukan bahwa terdapat 3 variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi yaitu perbedaan harga, akses informasi teknik fermentasi, dan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa. Petani yang beranggapan perbedaan harga biji kakao yang cukup tinggi akan mendorong peningkatan produksi biji kakao terfermentasi. Petani yang memeroleh akses informasi teknik fermentasi mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Serta, semakin besar jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa maka kemungkinan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi juga lebih tinggi. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini maka saran yang diberikan adalah : 1. Petani harus meningkatkan produktivitas tanaman kakao untuk meningkatkan pendapatan. 2. PT BT Cocoa harus menghitung ulang berapa insentif biji kakao terfermentasi yang bisa mendorong petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. 3. Unit Pembelian PT BT Cocoa harus menjemput biji kakao petani dengan melakukan pembelian biji kakao bergilir di setiap kelompok tani maupun gabungan kelompok tani. Hal ini diikuti dengan pengadaan fasilitas transportasi yang memadai di unit pembelian PT BT Cocoa.
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao 2009-2010. Jakarta (ID): Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi dan Ekspor Biji Kakao Indonesia tahun 2008-2012. [Internet]. [diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Nilai Ekspor Biji Kakao Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2008-2012. [Internet]. [diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman di Kabupaten Mamuju tahun 2012 (Ha). Mamuju dalam Angka. Mamuju (ID) : Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman di Kabupaten Mamuju tahun 2012 (Ton). Mamuju dalam Angka. Mamuju (ID) : Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2012. SNI Biji Kakao 01-2323-2008. Jakarta [Deptan] Departemen Pertanian. 2014. Produksi Perkebunan Kakao Sulawesi Barat.[internet]. [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada : www.deptan.go.id. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2006. Panduan Umum Pasca Panen Perkebunan yang Baik dan Benar. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013.Perkembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Sub Sektor Perkebunan Komoditas Unggulan Nasional. [Internet].[diunduh 2014 April 17]. Tersedia pada : www.deptan.go.id. [ICCO] International Cocoa Organization. 2013. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol XXXIV, No. 3, Cocoa Year 2009/2010. London(GB): ICCO Annual Report. [PISAgro] Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture. 2014. Kemitraan Publik Swasta untuk Pembangunan Kakao Indonesia yang Berkelanjutan. Brochure. [internet]. [diunduh 2014 April 9]. Terdapat pada : www.pisagro.org/publication/leaflet-2/ Amin S. 2005. Permasalahan Kakao Sulawesi di Pasaran Amerika Serikat. Teknologi Pascapanen Kakao untuk Masyarakat Perkakaoan Indonesia. Jakarta (ID) : BPPT Press. Anderson EW, Fornel C l dan Lehman D R (1994). Customer Satisfaction, Market Share, and Profitability. Journal of Marketing. Vol. 56(July). Pp.53-66. Andriyanty R. 2005. Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan dalam Upaya Peningkatan Mutu Kopi: Studi Kasus di Desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu Provinsi Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID) : Departemen Agribisnis FEM IPB.
71
Beattie, B R, Taylor CR. 1985. The Economics Production. Montana State University. John Wiley & Sons. Inc. Montana. Borden N H. 1964. The Consept of the Marketing Mix. Journal of Advertising Research. Vol. 4 (June). pp.2-4. Daniel M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Firdaus M, Harmini dan Farid. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press. Gafur S. 2009. Motivasi Petani dalam Menerapkan Teknologi Produksi Kakao (Kasus Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah) [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Gujarati D N. 2006. Dasar-dasar Ekonometri. Jilid 2. Ed Ke-3. Jakarta (ID) : Erlangga. Hammond JW dan Dahl DC. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. United Nation of America (US) : McGraw-Hill, Inc. Hasan N dan Roswita R. 2013. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao melalui Diseminasi Multi-Channel (Dmc) di Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao. Jurnal Teknologi Pertanian 8(2): 75-82 ISSN1858-2419. Hasan N, Roswita R, Aryunis, Daniel M, Ali M, Yusnardi EM, Aryawaita, Ardimar, Arsil, Erma (2010) Pelaksanaan FSA di Lima kabupaten FEATI di Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Hasbi M, Laga A, Waris A, Arsyad M. 2010. Proses Refermentasi Kakao dalam Upaya Peningkatan Nilai Tambah Ekonominya. Publikasi Ilmiah Program Ib-IKK. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Hatmi RU, Rustijarno S. 2012. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju SNI Biji Kakao 01-2323-2008. Yogyakarta (ID): BPTP Yogyakarta. Hayami Y, Kawagoe T, Marooka Y, dan Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, A Perspective From A Sunda Village. Bogor (ID): The CGPRT Center. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta(ID): Penebar Swadaya. Hobbs J E. 1997. Measuring the Importance of Trasaction Cost in Catle Marketing. American Journal of Agriculture Economics. 79(4): 10831095. Iek A. 2009. Evaluasi Mutu Biji Kakao Kering di SP 5 Kampung Macuan Distri Masni Kabupaten Manokwari [skripsi]. Papua (ID): Universitas Negeri Papua. Jensen M C, Meckling W. 1976. Theory of The Firm : Managerial Behavior, Agency Cost, and Capital Structure. Journal of Financial Economics, Vol.3, 305-60. Juran J M. 1995. Kepemimpinan Mutu. Pedoman Peningkatan Mutu untuk Meraih Keunggulan Kompetitif. Jakarta (ID): PT Pustaka Binaman Pressindo. Kementerian Keuangan. 2012. Kajian Perkembangan Perekonomian Kakao Nasional Pasca Pengenaan Bea Keluar Biji Kakao. [internet].[diunduh 2014 April 9].Tersedia pada: www.fiskal.depkeu.go.id. Kementerian Perdagangan. 2014. Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi utama. [internet]. [diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : www.kemendag.go.id
72
Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Kakao. Jakarta (ID): Kementan. Kementerian Pertanian. 2014. Produktivitas kakao Sulawesi Barat per Kebupaten 2012 [internet]. [diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : www.deptan.go.id. Mochtar A H, Darma R. (2011). Prospek industri pengolahan kakao di makassar: analisis potensi kelayakan usaha jurnal agrisistem, juni 2011, vol. 7 no. 1. Issn 2089-0036 Mulato S. 2011. Pengembangan Teknologi Pascapanen Pendukung Upaya Peningkatan Mutu Kakao Nasional. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Napitupulu SK. 2009. Evaluasi Perkembangan Usahatani Kakao di Kabupaten Tapanuli Utara (Studi Kasus : Desa Pagaran Kecamatan Adlan Koting Kabupaten Tapanuli Utara) [skripsi]. Medan (ID): Sumatra Utara. Nasution MN. 2003. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Ed ke-2. Bogor (ID) : Ghalia Indonesia. Nugroho B. 2006. Principal-Agent(s) relationship (Hubungan Pemberi dan Penerima Kepercayaan). Bogor (ID) : Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurmalina R, Rachmina D, Sumedi, dan Novianti N. 2012. Efisiensi Produksi dan Pemasaran Padi Pandan Wangi. Bogor (ID) : Departemen Agribisnis FEM IPB. Nuryanti N. 2010. Analisis Pengaruh Daya saing Kakao (Theobroma cacao L.) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyanto D. 2011. Analisis Statistik Data SPSS. Yogyakarta (ID) : Mediakom. Purcell. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash, and, future Prices. Viginia (US) : A Prentice-Hall Company. Ramlawati, Surachman, Zain D, Djumahir. 2011. Implikasi Praktek Total Quality Management (TQM) terhadap Daya Saing, Kepuasan dan Kinerja Bisnis pada Perusahaan Manufaktur di Kota Makassar. J Aplikasi Manajemen. Volume 9. 3. Rinaldi J. 2013. Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali : Pendekatan Stochatic Frontier [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rohaeni R. 2003. Analisis Penyusutan Biji Coklat Selama Pengeringan Menggunakan Pengolah Citra [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Saptana, Daryanto A, Daryanto HK, dan Kuntjoro. 2010. Strategi Kemitraan Usaha dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah. Di dalam : Suradisastra K, Simatupang P, dan Hutabarat B, editor. Seminar Nasioal Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani [internet]. [waktu dan tempat tidak diketahui]. Bogor (ID) : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian. Hlm 218; [diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : www.pse.litbang.deptan.go.id.
73
Sedana G. 2009. Hubungan antara Sikap dan Pengetahuan Petani Mengenai Fermentasi Biji Kakao.[internet].[diunduh 2014 April 9]. Tersedia pada : http://gedesedana.wordpress.com/2009/07/28/hubungan-antara-sikap-danpengetahuan-petani-mengenai-fermentasi-biji-kakao/ Siregar T H S, Riyadi S, Nuraeni L. 2003. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J L, Hardaker J B. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Soekartawi. 2002. Analisis Ushatani. Jakarta(ID): Universitas Indonesia Press. Suroso. 2006. Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Usahatani Jagung ( Kasus Desa Ukirsari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Swastha B. 1999. Saluran Pemasaran Konsep dan Strategi Analisis Kuantitatif. Yogyakarta (ID) : BPFE. Syadullah M. 2012. Dampak Kebijakan Bea Keluar Terhadap Ekspor dan Industri Pengoahan Kakao. Bulletin ilmiah litbang perdagangan. Vol 6 No. 1, Juli 2012. Syah M. 2005. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya.. Thahir R. 2005. Implementasi Teknologi Pascapanen untuk Industri Berbasis Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tjakrawiralaksana A. 1983. Usahatani. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tjitono F dan Chandra G. 2007. Service, Quality & Satisfaction. Yogyakarta (ID) : ANDI Tomek WG dan Robinson KL. 1972. Agricultural Product Prices. New York (US): Cornell University.. Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. 2009. Panduan Lengkap Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Wally F. 2001. Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao di Kabupaten Jayapura [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wijayanti H. 2003. Kebutuhan Informasi Petani Tanaman Hias di Jakarta Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wiyanto. 2010. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat (Kasus Perkebunan Rakyat Tulang Bawang, Lampung) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yastika IW, Ustriyana IN, dan Yudhari DA. 2013. Nilai tambah kakao fermentasi pada unit usaha produkstif (UUP) Tunjung Sari Br. Cangkup, Ds. Pesagi, Kec. Penebel, Kab. Tabanan. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2301-6523 Vol. 2, No. 2, April 2013 Yusianto, Wahyudi T. Sumartono B. 1995. Pola Citarasa Biji Kakao dari Beberapa Perlakuan Fermentasi. Pelita Perkebunan. 11, 117-131.
LAMPIRAN Lampiran 1 Karakteristik pribadi petani fermentasi
1
Rahmat
Kalukku
47
9
20
5
Luas Lahan (ha) 1
2
Mangngoy
Guliling
60
6
25
5
4
700
3
Martina
Guliling
64
5
22
3
3
500
4
Salam
Pammulukang
35
6
10
3
2
1500
5
Jufri
Pammulukang
21
12
5
2
1
700
6
Joni
Guliling
38
6
10
4
1
650
7
Ahmad Amiruddin
Sinyonyoi
30
12
8
3
0.5
340
8
Tanda
Pammulukang
54
9
26
4
0.5
400
9
Tabisa
Sondoang
57
6
34
5
1
600
10
Muh Amir
Sondoang
63
6
35
3
1
700
11
Nurtantry
Sondoang
30
12
10
5
1
700
12
Hasbi
Sinyonyoi
30
9
12
4
2.5
1250
13
Kisman
Kalukku
34
12
4
3
1
520
14
Arman
Kalukku
37
9
10
4
1.25
800
15
Demas Y P S. Th.
Guliling
43
16
14
6
2
650
No. Responden
Nama Responden
Desa
Umur (Th)
Pendidikan (Th)
Jml Keluarga (org)
Pengalaman (Th)
Jumlah Tanaman menghasilkan 800
Perlakuan panen
Pemeraman buah
Rutin Rutin Rutin Rutin Tidak rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin
Peram Tidak peram Peram Tidak peram Tidak peram Peram Peram Peram Peram Peram Peram Peram Peram Tidak peram Peram
Sortasi biji kakao basah Sortasi Tidak sortasi Sortasi Tidak sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi Sortasi
75
Lampiran 2 Karakteristik pribadi petani non fermentasi No. Responden
Nama Responden
16
Abd. Rahman
Kalukku
17
Rustan
Kalukku
18
Sarce
Guliling
19
Syamsul
Kalukku
20
Anto Tamrin
Kalukku
21
Umar
Kalukku
22
Sainuddin
Kalukku
23
Umar
Sondoang
24
Marianus
Guliling
25 26 27 28
Oktorisa S. Diana Nurdin M. Armawan
Guliling Guliling Kalukku Kalukku
29
A’bo
Kalukku
30
Ani
Sinyonyoi
Desa
Umur (Th) 50 43 36 50 40 41 37 49 38 52 30 35 33 60 27
Pendidikan (Th)
Pengalaman (Th)
Jml Keluarga (org)
Luas Lahan (ha)
15 12 5 8 6 9 6 3 9 9 12 6 12 5 6
6 7 10 10 10 10 10 12 14 15 20 22 23 23 28
6 5 6 9 4 4 5 5 5 5 5 3 4 5 4
0.5 1 0.75 1 1 1 0.75 2 3 1 1 1 0.75 1 1.5
Jumlah Tanaman Menghasilkan (kg) 300 300 200 500 500 700 500 1600 1550 600 450 600 750 550 600
Perlakuan panen Rutin Tidak Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Rutin Tidak rutin Tidak rutin Tidak rutin
Pemeraman buah
Sortasi biji kakao basah
Peram Tidak peram Peram Tidak peram Tidak peram Tidak peram Tidak peram Tidak peram Tidak peram peram Tidak peram peram Tidak peram Peram Tidak peram
Sortasi Tidak sortasi Tidak sortasi Sortasi Tidak sortasi Sortasi Tidak sortasi Tidak sortasi Tidak sortasi Sortasi Tidak sortasi Tidak sortasi Tidak sortasi Sortasi Tidak sortasi
76
Lampiran 3 Pendapatan dan biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi No. A B
C
D E F G H I J
Uraian Produksi (kg) Total Penerimaan Biaya Tunai TKLK (HOK) Tali Rafia (buah) Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan TKDK (HOK) Penyusutan Peralatan Karung Plastik 50 kg (buah) Karung Plastik 62.5 kg (buah) Daun Pisang (lembar) Total Biaya diperhitungkan Total Biaya (B+C) Pendapatan atas Biaya Tunai (A-B) Pendapatan atas Biaya Total (A-D) Biaya Tunai/kg Total Biaya/kg Pendapatan tunai/kg Pendapatan total/kg
Fermentasi Non Fermentasi (%) Jumlah Harga (Rp) Nilai (Rp) Jumlah Harga (Rp) Nilai (Rp) 102.41 32 877.27 3 368 605.67 100.00 98.97 31 826.33 3 146 177.78 3 368 605.67 100.00 3 146 177.78
(%) 100.00 100.00
5.11
271 645.83 99.78 595.83 0.22 272 241.67 100.00
3.58
189 555.56 812.78 190 368.33
99.57 0.43 100.00
3.39
178 755.75 87.23 8 921.20 4.35 2 400.00 15 383.33 7.51 733.33 666.67 0.33 1 000.00 1 206.67 0.59 204 933.61 100.00 477 175.28 3 096 364.00 2 891 430.39 2 658.26 4 659.31 30 233.99 28 232.95
5.12
299 194.67 4 676.26 20 111.11 1 633.33
91.89 1.44 6.18 0.50
325 615.37 515 983.70 2 955 809.44 2 630 194.08 1 923.56 5 213.71 29 866.72 26 576.56
100.00
7.53 0.13 1.33
7.33 0.47
2 500.00 1 066.67
77
Lampiran 4 Perincian biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) NO.
Harga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
31 200 31 300 31 400 31 650 32 000 32 450 33 000 33 000 33 400 33 450 33 500 33 500 34 200 34 400 34 700 32 877.27
Produksi perhektar perpanen (kg) 71 50 100 75 200 138.6 40 193.6 95 75 88 120 39 216 35 102.41
Biaya Tali rafia 625 500 625 500 625 1 000 416.67 1250 625 625 625 250 625 333.33 312.5 595.8
Biaya Karung plastik 50 kg 12 500 15 000 7 500 11 250 15 000 20 000 5 000 40 000 12 500 10 000 20 000 15 000 12 500 30 000 4 500 15383.33
Biaya Karung plastik 60 kg 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6000 0 0 4000 0 666.67
Biaya Biaya Daun Penyusutan pisang 1 000 22 028.77 1 000 4 331.59 1 000 8 298.61 500 4 507.68 1 000 10 126.48 1 000 9 079.86 2 000 12 291.67 2 000 20 044.64 2 000 4 565.97 1 000 6 409.72 1 000 4 565.97 800 8 014.88 2 000 5 659.72 800 9 500.00 1 000 4 392.36 1206.67 8921.19
Upah TKDK 134 875 142 500 320 418.75 67 187.5 137 500 195 387.5 339 375 188 750 150 000 185 418.75 209 375 89150 275 031.25 176 000 7 0367.5 178 755.75
Upah TKLK 50 000 75 000 0 257 812.5 100 000 560 000 135 000 1 000 000 200 000 150 000 450 000 300 000 203 125 480 000 113 750 271 645.83
78
Lampiran 5 Perincian biaya pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) NO. 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Harga 30 645 31 000 31 500 31 500 31 600 31 600 31 700 31 700 31 750 32 000 32 000 32 000 32 500 32 900 33 000 31 826.33
Produksi perhektar perpanen (kg) 200 30 200 10 50 20 200 100 40 98.5 80 200 26.67 200 29.33 98.97
Biaya Tali rafia 2 000 625 2 000 200 1 000 200 1 333.33 500 208.33 250 625 1 000 833.33 1 000 416.67 812.78
Biaya Karung plastik 50 kg
Biaya Karung plastik 60 kg
60 000 7 500 20 000 250 600 250 116.67 150 41.67 126.90 218.75 250 375 200 227.27 6020.42
0 0 0 0 0 0 0 15 000 0 0 15 000 0 0 0 2142.85
Biaya Penyusutan 9 444.44 2 500 5 138.89 902.78 2 361.11 763.89 3 306.88 3 923.61 4 305.56 6 736.11 4 236.11 5 357.14 2 685.18 15 843.25 2 638.89 4676.26
Upah TKDK 257 500 226 212.5 512 500 595 000 262 312.5 189 378.75 352 333.33 128 125 118 112.5 336 875 223 937.5 267 500 254 166.67 665 213.75 98 752.5 299 194.67
Upah TKLK 0 0 400 000 0 0 0 0 200 000 116 666.67 560 000 600 000 750 000 66 666.67 50 000 100 000 189 555.56
79
Lampiran 6 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao terfermentasi
NAMA Rahmat Mangngoy Martina Abd. Salam Jufri Joni Ahmad Amiruddin Tanda Tabisa M. Amir Nurtantri Hasbi Kisman Arman Demas Y. Pa'la Rata-rata
1. Panen dan Pengumpulan Buah TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 1 50 000 1 50 000 0.9 45 000 1 50 000 3 150 000 0 0 0.5 25 000 2.5 125 000 1 50 000 1 50 000 1 70 000 4 280 000 2 100 000 0 0 0 0 10 500 000 1 50 000 2 100 000 2 100 000 2 100 000 1.6 80 000 6 300 000 0.8 40 000 4 200 000 1.8 117 000 2 130 000 1.6 80 000 6.4 320 000 0.3125 21 875 0.625 43 750 1.23 65 258.33 2.83 149 916.67
2. Pengupasan TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.75 37 500 0 0 0.45 22 500 0 0 2.1 105 000 0 0 0.25 12 500 1.25 62 500 0.75 37 500 0.75 37 500 0.75 52 500 3 210 000 2.7 135 000 2.7 135 000 1.5 75 000 7.5 375 000 0.75 37 500 1.5 75 000 0.75 37 500 0.75 37 500 0.6 30 000 2.25 112 500 0.3 15 000 1.5 75 000 0.675 43 875 1 65 000 0.6 30 000 2.4 120 000 0.375 26 250 0.75 52 500 0.89 46 508.33 1.69 90 500
3. Sortasi biji kakao basah TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.25 12 500 0 0 0.45 22 500 0.5 25 000 0.7 35 000 0 0 0.25 12 500 1.25 62 500 0.25 12 500 0.25 12 500 0.25 17 500 1 70 000 0.9 45 000 0 0 0.5 25 000 2.5 125 000 0.25 12 500 0.5 25 000 0.25 12 500 0.25 12 500 0.2 10 000 0.75 37 500 0.1 5 000 0.5 25 000 0.45 29 250 0.125 8 125 0.2 10 000 0.8 40 000 0.125 8 750 0.25 17 500 0.34 18 033.33 0.57 30 708.33
80
Lampiran 7 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi
NAMA Rahmat Mangngoy Martina Abd. Salam Jufri Joni Ahmad Amiruddin Tanda Tabisa M. Amir Nurtantri Hasbi Kisman Arman Demas Y. Pa'la Rata-rata
4. Pemasukan biji ke kotak fermentasi TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.041 2 062.5 0 0 0.062 3 125 0 0 0.021 1 043.75 0 0 0.031 1 562.5 0.16 7 812.5 0.063 3 125 0 0 0.063 4 375 0 0 0.063 3 125 0 0 0.25 12 500 0 0 0.125 6 250 0 0 0.125 6 250 0 0 0.225 11 250 0 0 0.05 2 500 0 0 0.056 3 656.25 0 0 0.1 5 000 0 0 0.016 1 093.75 0 0 0.086 4 461.25 0.010 520.83
5. Pembalikan biji kakao TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.061 3 125 0 0 0.281 14 062.5 0 0 0.2 10 000 0 0 0.031 1 562.5 0 0 0.25 12 500 0 0 0.125 8 750 0 0 0.25 12 500 0 0 0.25 12 500 0 0 0.25 12 500 0 0 0.063 3 125 0 0 0.45 22 500 0 0 0.133 6 650 0 0 0.063 4 062.5 0 0 0.1 5 000 0 0 0.021 1 461.25 0 0 0.16 8 686.58 0 0
6. Pengeringan TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.5 25 000 0 0 0.225 11 250 0 0 0.2 10 000 0 0 0.093 4 687.5 0 0 0.25 12 500 0 0 0.5 35 000 0 0 0.5 25 000 0 0 0.9 45 000 0 0 0.5 25 000 0 0 0.5 25 000 0 0 0.9 45 000 0 0 0.25 12 500 0 0 0.9 58 500 0 0 0.72 36 000 0 0 0.125 8 750 0 0 0.47 25 279.16 0 0
81
Lampiran 8 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao terfermentasi
NAMA Rahmat Mangngoy Martina Abd. Salam Jufri Joni Ahmad Amiruddin Tanda Tabisa M. Amir Nurtantri Hasbi Kisman Arman Demas Y. Pa'la Rata-rata
7. Sortasi biji kering TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.03125 1 562.5 0 0 0.45 22 500 0 0 0.125 6 250 0 0 0.0625 3 125 0 0 0.125 6 250 0 0 0.04 2 887.5 0 0 0.25 12 500 0 0 0.25 12 500 0 0 0.0625 3 125 0 0 0 0 0 0 0.15 7 500 0 0 0.1 5 000 0 0 0.225 14 625 0 0 0.1 5 000 0 0 0.016 1 093.75 0 0 0.13 6 927.92 0 0
8. Pengemasan TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.063 3 125 0 0 0.031 1 562.5 0 0 0.063 3 125 0 0 0.125 6 250 0 0 0.063 3 125 0 0 0.063 4 375 0 0 0.125 6 250 0 0 0.125 6 250 0 0 0.063 3 125 0 0 0.021 1 043.75 0 0 0.063 3 125 0 0 0.05 2 500 0 0 0.063 4 062.5 0 0 0.1 5 000 0 0 0.016 1 093.75 0 0 0.068 6 927.92 0 0
Total TKDK HOK Upah 2.697 134 875 2.85 142 500 6.408 320 418.8 1.343 67 187.5 2.75 137 500 2.791 195 387.5 6.788 339 375 3.775 188 750 3 150 000 3.708 185 418.8 4.187 209 375 1.783 89 150 4.231 275 031.3 3.52 176 000 1.005 70 367.5 3.389 178 755.8
TKLK HOK Upah 1 50000 1.5 75000 0 0 5.156 257812.5 2 100000 8 560000 2.7 135000 20 1000000 4 200000 3 150000 9 450000 6 300000 3.125 203125 9.6 480000 1.625 113750 5.113 271 645.83
82
Lampiran 9 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi
NAMA Abd. Rahman Rustan Sarce Syamsul Anto Tamrin Umar Sainuddin Umar Marianus Oktorisa S. Diana Nurdin M. Armawan A’bo Ani Rata-rata
1. Panen dan Pengumpulan Buah TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 1 100 000 0 0 2 150 000 0 0 4 250 000 8 400 000 6 350 000 0 0 3.6 150 000 0 0 1.8 100 000 0 0 2.4 116 666.67 0 0 0.5 75 000 2 100 000 0.67 83 333.33 2 100 000 2 210 000 4 280 000 2 150 000 8 400 000 2 150 000 10 500 000 1.33 116 666.67 1.33 66 666.67 6 350 000 1 50 000 0.53 50 000 2 100 000 2.38 160 111.11 2.55 133 111.1
2. Pengupasan TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 1 50 000 0 0 1 50 000 0 0 4 200 000 0 0 1.8 90 000 0 0 1.8 90 000 0 0 0 0 0 0 2.4 120 000 0 0 0.5 25 000 2 100 000 0.33 16 666.67 0.33 16 666.67 1 70 000 4 280 000 1 50 000 4 200 000 1 50 000 5 250 000 1.33 66 666.67 0 0 3 150 000 0 0 0.53 26 666.67 0 0 1.38 70333.33 1.02 56 444.44
3. Sortasi biji kakao basah TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0.5 25 000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.9 45 000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.093 4 666.67 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
83
Lampiran 10 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi
NAMA Abd. Rahman Rustan Sarce Syamsul Anto Tamrin Umar Sainuddin Umar Marianus Oktorisa S. Diana Nurdin M. Armawan A’bo Ani Rata-rata
4. Pengeringan TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 1 50 000 0 0.45 22 500 0 0.8 40 000 0 0.5 25 000 0 0.165 8 250 0 0.25 12 500 0 0.8 40 000 0 0.5 25 000 0 0.3 15 000 0 0.5 35 000 0 0.375 18 750 0 0.9 45 000 0 1 50 000 0 1.95 97 500 0 0.27 13 333.33 0 0.65 33 188.89 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5. Sortasi biji kering TKDK TKLK HOK Upah HOK Upah 0 0 0 0 0 0 0.225 11 250 0 2.6 130 000 0 0.25 12 500 0 0.6 30 000 0 1.5 75 000 0 0 0 0 0.0375 1 875 0 0.25 17 500 0 0.0625 3 125 0 0.225 11 250 0 0.25 12 500 0 1.3 65 000 0 0.15 7 500 0 0.49 25 166.67 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
84
Lampiran 11 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak terfermentasi 6. Pengemasan NAMA Abd. Rahman Rustan Sarce Syamsul Anto Tamrin Umar Sainuddin Umar Marianus Oktorisa S. Diana Nurdin M. Armawan A’bo Ani Rata-rata
TKDK HOK Upah 0.65 32 500 0.074 3 712.5 0.225 1 1250 0 0 0.031 1 562.5 0.038 1 878.75 0.013 666.67 0.063 3 125 0.025 1 237.5 0.063 4 375 0.042 2 062.5 0.225 11 250 0.167 8 333.33 0.054 2 713.75 0.025 1 252.5 0.112 5 728
TKLK HOK Upah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
HOK 4.15 3.52 9.25 10.9 5.85 3.59 7.11 1.56 1.36 3.81 3.48 4.35 4.08 12.30 1.51 5.12
TKDK Upah 257 500 226 212.5 512 500 595 000 262 312.5 189 378.8 352 333.3 128 125 118 112.5 336 875 223 937.5 267 500 254 166.7 665 213.8 98 752.5 299 194.7
TKLK HOK 0 0 8 0 0 0 0 4 2.33 8 12 15 1.33 1 2 3.57
Upah 0 0 400 000 0 0 0 0 200 000 116 666.67 560 000 600 000 750 000 66 666.67 50 000 100 000 189 555.56
85
Lampiran 12 Data input untuk analisis regresi logistik No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Keputusan memroduksi biji kakao (1=fermentasi, 0= tidak fermentasi) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0
Jumlah produksi biji kakao (kg)
Jarak tempuh ke BT(meter)
Status Usahatani
71 50 100 75 200 138.6 40 193.6 95 75 88 120 39 216 35 200 30 200 10 50
1500 6000 6000 800 13000 200 7000 13000 3000 3000 3000 18000 70000 1000 6000 1000 1000 6000 500 1000
Sampingan Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan Sampingan Sampingan Utama Utama Sampingan Sampingan Sampingan
Perbedaan Harga Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
Akses informasi teknis fermentasi
Akses berhutang ke pedagang
Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Tidak mudah
Mudah Tidak mudah Tidak mudah Tidak mudah Mudah Tidak mudah Mudah Tidak mudah Tidak mudah Mudah Tidak mudah Mudah Mudah Tidak mudah Tidak mudah Mudah Mudah Mudah Tidak mudah Tidak mudah
86
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
20 200 100 40 98.5 80 200 26.67 200 29.33
1000 3000 3000 10000 6000 10000 2000 2000 1000 7000
Lampiran 13 Output regresi logistik model dugaan Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step
df
Sig.
26.997
6
.000
Step 1 Block
26.997
6
.000
Model
26.997
6
.000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 14.592a
Cox & Snell R Square .593
Nagelkerke R Square .791
Sampingan Sampingan Utama Sampingan Sampingan Utama Utama Sampingan Sampingan Utama
Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Mudah Tidak mudah Tidak mudah Mudah Mudah
Tidak mudah Tidak mudah Tidak mudah Tidak mudah Mudah Tidak mudah Mudah Tidak mudah Mudah Mudah
87
a. Estimation terminated at iteration number 9 because parameter estimates changed by less than .001. Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
df
2.658
Sig. 8
.954
Classification Tablea Observed
Predicted Y Non fermentasi
Step 1
y
Fermentasi
Percentage Correct
Non fermentasi
14
1
93.3
Fermentasi
1
14
93.3
Overall Percentage a. The cut value is .500
93.3
88
Variables in the Equation B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95% C.I.for EXP(B) Lower
Jarak_ke_BT
.630
.408
2.385
1
.123
1.877
.844
4.176
-2.819
1.993
2.000
1
.157
.060
.001
2.968
.000
.016
.001
1
.979
1.000
.969
1.033
-2.989
2.320
1.660
1
.198
.050
.001
4.751
Perbedaan_harga
7.119
3.485
4.173
1
.041
1234.943
1.335
1142496.286
Akses_info_teknis
5.377
3.273
2.699
1
.100
216.433
.354
132207.943
-6.978
4.732
2.174
1
.140
.001
Status_usahatani Jml_kakao_dihasilkan Step 1
a
Upper
akses_berhutang_ke_pedagang
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: Jarak_ke_BT, Status_usahatani, Jml_kakao_dihasilkan, akses_berhutang_ke_pedagang, Perbedaan_harga, Akses_info_teknis.
Lampiran 14 Uji beda penerimaan, harga, produksi per hektar, biaya tunai, biaya total, pendapatan atas biaya total, pendapatan atas biaya tunai, biaya total per kg, biaya tunai per kg, pendapatan total per kg, pendapatan tunai per kg. Group Statistics Y Penerimaan
Harga
Produksi_perhektar_perpanen
Biaya_tunai
Biaya_total
Pendapatan_atas_biaya_total
Pendapatan_atas_biaya_tunai
Biaya_total_per_kg
Biaya_tunai_per_kg
Pendapatan_total_per_kg
Pendapatan_tunai_per_kg
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Fermentasi
15
3368605.67
2001140.140
516692.162
Non fermentasi
15
3146177.78
2491825.349
643386.539
Fermentasi
15
32877.27
1157.961
298.984
Non fermentasi
15
31826.33
627.132
161.925
Fermentasi
15
102.41
59.956
15.480
Non fermentasi
15
98.97
78.494
20.267
Fermentasi
15
272241.67
260540.275
67271.210
Non fermentasi
15
190368.33
257424.322
66466.674
Fermentasi
15
477175.28
281506.503
72684.666
Non fermentasi
15
502259.67
304545.629
78633.343
Fermentasi
15
2891430.39
1859968.927
480241.912
Non fermentasi
15
2643918.10
2340456.581
604303.291
Fermentasi
15
3096364.00
1857256.461
479541.556
Non fermentasi
15
2955809.44
2419307.625
624662.543
Fermentasi
15
6119.46
6329.725
1634.328
Non fermentasi
15
10027.30
14288.254
3689.211
Fermentasi
15
2915.73
2863.822
739.436
Non fermentasi
15
1930.60
2415.577
623.699
Fermentasi
15
26103.84
10962.641
2830.542
Non fermentasi
15
24167.59
19717.192
5090.957
Fermentasi
15
29307.57
13449.314
3472.598
Non fermentasi
15
32264.29
14150.858
3653.736
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Penerimaan
Equal variances assumed
1.760
Sig.
.195
Equal variances not assumed Harga
Produksi_perhektar_perpanen Biaya_total
Equal variances assumed
7.734
.010
Equal variances not assumed Equal variances assumed
2.442
.129
Equal variances not assumed Equal variances assumed
1.224
.278
Equal variances not assumed Biaya_tunai
Equal variances assumed
.093
.762
Equal variances not assumed Pendapatan_atas_biaya_total
Equal variances assumed
2.372
.135
Equal variances not assumed Pendapatan_atas_biaya_tunai
Equal variances assumed
2.787
.106
Equal variances not assumed Biaya_total_per_kg
Equal variances assumed
.820
.373
Equal variances not assumed Pendapatan_total_per_kg
Equal variances assumed
1.103
.303
t
df
t-test for Equality of Means Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.270
28
.789
222427.889
825176.968
-1467870.506
1912726.283
.270
26.754
.790
222427.889
825176.968
-1471425.549
1916281.327
3.091
28
.004
1050.933
340.016
354.441
1747.426
3.091
21.562
.005
1050.933
340.016
344.951
1756.915
.135
28
.893
3.447
25.503
-48.794
55.687
.135
26.188
.894
3.447
25.503
-48.957
55.850
-.234
28
.816
-25084.393
107080.640
-244429.140
194260.354
-.234
27.828
.817
-25084.393
107080.640
-244490.056
194321.270
.866
28
.394
81873.333
94568.676
-111841.817
275588.484
.866
27.996
.394
81873.333
94568.676
-111843.081
275589.747
.321
28
.751
247512.282
771890.382
-1333633.488
1828658.052
.321
26.641
.751
247512.282
771890.382
-1337274.152
1832298.716
.178
28
.860
140554.556
787504.537
-1472575.363
1753684.474
.178
26.248
.860
140554.556
787504.537
-1477441.379
1758550.490
-.968
28
.341
-3907.835
4035.010
-12173.179
4357.509
-.968
19.291
.345
-3907.835
4035.010
-12344.588
4528.917
.332
28
.742
1936.246
5824.930
-9995.582
13868.074
91
Equal variances not assumed Pendapatan_tunai_per_kg
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.086
.771
.332
21.901
.743
1936.246
5824.930
-10147.098
14019.590
-.587
28
.562
-2956.723
5040.706
-13282.142
7368.696
-.587
27.928
.562
-2956.723
5040.706
-13283.342
7369.897
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1992. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Marsikin (Alm) dan Ibu Oneng Wiganingsih. Penulis menempuh pendidikan menengah pertama di Mts Negeri 1 Jakarta dan lulus pada tahun 2007, pendidikan menengah atas penulis tempuh di SMA 6 Jakarta dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Institut Pertanian Bogor (IPB) serta mendapat beasiswa Bidikmisi dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dan diterima pada Mayor Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama menjalani jenjang pendidikan Strata 1 (S1), penulis mengambil minor Agronomi dan Hortikultura dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti beberapa kegiatan kemahasiwaan. Organisasi yang pernah diikuti antara lain Bina Desa BEM KM IPB pada tahun 2011-2012 sebagai staf divisi pengembangan usaha desa. Paguyuban Bidikmisi IPB sebagai staf divisi pengembangan masyarakat pada tahun 2011-2012. Kepanitiaan yang pernah diikuti diantaranya yaitu Agripreneur 48 (Masa Perkenalan Departeman Agribisnis angkatan 48) sebagai sekretaris. Bidikmisi turun desa 2012 sebagai sekretaris. Bidikmisi berqurban 2012 sebagai bendahara. Selain aktif di keorganisasian, penulis pernah mengikuti kegiatan pengembangan keahlian yaitu intership di ADC-University Farm IPB mengenai agribisnis sayuran organik pada tahun 2012.