Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PROBLEMATIK SALMONELLOSIS PADA MANUSIA TATI ARIYANTI dan SUPAR Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Salmonella spp. Rantai penularan salmonellosis berkaitan dengan sumber penularan ternak dan produknya atau foodborne disease. Pada manusia dikenal adanya salmonellosis-tifoid (demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi dan demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A dan B) serta salmonellosis-non tifoid (disebabkan oleh Salmonella spp. terutama S. enteritidis dan S. typhimurium). Salmonellosis-tifoid dan salmonellosis-non tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini bersifat endemis hampir di semua kota besar di wilayah Indonesia dan terjadi terus meningkat sepanjang tahun. Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun. Strategi pencegahan penyakit yang efektif adalah deteksi kasus, perbaikan sanitasi lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industri makanan, menekan angka reaktor salmonellosis pada pengawasan ternak, pendidikan kesehatan masyarakat serta eliminasi sumber infeksi. Vaksin oral yang dilemahkan, dikemas dalam kapsul enteric coated dan vaksin parenteral Vi polisakarida kapsul (Typhim ViR) dapat diaplikasikan dengan efektif pada daerah endemik. Kata kunci: Salmonellosis, zoonosis, food-borne disease, tifoid, manusia
PENDAHULUAN Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella spp. dan dapat menyerang baik pada hewan maupun manusia atau zoonosis (OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIS (OIE), 2000). Kebanyakan tipe Salmonella dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salmonellossis pada manusia ada 2 macam yaitu tifoid dan non tifoid. Salmonellosis-tifoid meliputi demam tifoid (thyphoid fever) dan demam paratifoid (parathyphoid fever) yang disebabkan oleh masing-masing Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A dan B. Sedang salmonellosis-non tifoid biasanya disebabkan oleh serovar-serovar Salmonella yang tidak mempunyai hospes spesifik. Serovar ini bersifat patogen baik pada hewan maupun manusia. Penularan penyakit ini berasal dari hewan ke manusia melalui makanan asal hewan yang terkontaminasi Salmonella (food-borne disease) contohnya: S. enteritidis, S. typhimurium (AGRICULTURAL RESEARCH SERVICE (ARS), 2002; PORTILLO, 2000). Demam tifoid merupakan masalah umum dan masalah kesehatan yang utama di negara berkembang termasuk di Indonesia (SUDJANA
dan JUSUF, 1998). Secara ekonomik sangat penting karena berkaitan dengan kasus foodborne disease pada ternak pangan (PORTILLO, 2000). Penyakit ini bersifat endemis hampir di semua kota besar di wilayah Indonesia (SOEWANDOJO et al., 1998). Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun (SUWANDONO et al., 2005). Pada periode 1999-2003 salmonellosis-non tifoid pada manusia yang terjadi di Indonesia diantaranya disebabkan oleh S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S. agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S. virchow, S. virginia, S. aequaticus, S. derby dan S. javana (POERNOMO, 2004; SUDARMONO et al., 2001). Bakteri Salmonella dapat ditularkan dari hewan yang menderita salmonellosis atau karier ke manusia, melalui bahan pangan telur, daging, susu, atau air minum dan bahan-bahan lainnya yang tercemar oleh ekskresi hewan/ penderita atau sebaliknya (animal and human carrier). Ekskresi ini terutama adalah keluaran dari saluran pencernaan berupa feses. Makanan yang mengandung bahan dari telur tercemar Salmonella misalnya kue-kue, es krim, martabak dan lainnya, yang kurang sempurna
161
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dimasak atau setengah matang, telur mentah yang dicampur pada hidangan penutup juga dapat sebagai sumber penularan Salmonella (DARMOJONO, 2001). Dalam menjaga kesehatan masyarakat perlu adanya kerjasama yang intensif antara Dinas Kesehatan dan kesehatan masyarakat yang diawasi oleh dokter atau ahli kesehatan masyarakat (DARMOJONO, 2001). Pada kesempatan ini disajikan rangkuman hasil penelitian aspek Salmonella spp. dan salmonellosis, meliputi klasifikasi, hospes spesifik dan jenis penyakit yang disebabkan oleh Salmonella spp, permasalahanpermasalahan yang ditimbulkan pada kesehatan manusia, kerugian materi dan finansial yang terjadi, cara diagnosa penyakit dan upaya pengendalian yang dapat dilakukan. ETIOLOGI PENYAKIT SALMONELLOSIS Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar/serotipe (PORTILLO, 2000). Berdasarkan rekomendasi dari WHO, genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S. enterica dan S. bongori. Spesies S.enterica terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada perbedaan karakter/reaksi biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya (BRENNER et al., 2000). Keenam subspesies tersebut adalah I. S. enterica subsp enterica, II. S. enterica subsp salamae, IIIa. S. enterica subsp arizonae, IIIb. S. enterica subsp diarizonae, IV. S. enterica subsp houtenae dan VI. S. enterica subsp indica (OIE, 2000). Subspesies I adalah serovar yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan-hewan berdarah panas (contoh: serotipe enteritidis, typhimurium, typhi, paratyphi, sendai, dublin, gallinarum/ pullorum dan abortus suis). Subspesies II-VI seringkali diisolasi dari vertebrata berdarah dingin atau poikilotermal dan dari lingkungan (BRENNER et al., 2000; PORTILLO, 2000). Salmonella diklasifikasikan menjadi serovar berdasarkan perbedaan susunan antigen somatik (O) atau lipopolisakarida dan antigen protein flagella (H) (OIE, 2000). Beberapa nama serovar menunjukkan lokasi geografik ketika serovar tersebut pertama kali diisolasi, seperti S. amsterdam, S. congo, S. newyork, S.
162
washington (POPOFF dan MINOR, 1997; PORTILLO, 2000). Pada umumnya infeksi Salmonella pada hospes terjadi karena pengaruh faktor kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya. Berdasarkan pada faktor tersebut terdapat 3 kelompok serovar penyebab penyakit pada manusia dan atau hewan. Kelompok I merupakan serovar S. enterica yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit hanya pada manusia atau primata tingkat tinggi seperti S. typhi, S. paratyphi A, B, C dan S. sendai (ARS, 2002). Kelompok ini merupakan agen penyebab demam tifoid dan paratifoid. Pada umumnya demam tifoid menyebabkan demam tinggi dan kasus kematian yang tinggi. S. typhi dapat diisolasi dari darah, diare maupun urine. Sindrom paratifoid kejadiannya lebih ringan dibandingkan dengan demam tifoid (JAY, 1996). Pada daerah endemik, S. typhi dan S. paratyphi A, B dapat ditularkan melalui makanan maupun minuman (PORTILLO, 2000). Salmonellosis akibat serovar dalam kelompok I dapat mengakibatkan infeksi yang bersifat sistemik dan dikenal dengan istilah salmonellosis-tifoid. Pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: menyebabkan demam tifoid, jumlah bakteri atau dosis infeksi relatif rendah, masa inkubasi antara 10-20 hari, menimbulkan status karier dan penyakit dapat bersifat endemik. Infeksi seringkali terjadi karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh manusia yang terinfeksi atau dari manusia dengan status karier Salmonella. Penderita dengan status karier tidak menunjukkan gejala klinis, bakteri tetap ada dalam tubuh penderita selama periode yang panjang yaitu beberapa bulan atau bertahun-tahun (GRAU, 1989; PORTILLO, 2000). Kelompok II terdiri dari serovar-serovar yang mampu beradaptasi pada hewan yang spesifik seperti S. pullorum/ S. gallinarum pada ayam, S. abortus ovis pada domba, S. abortus equi pada kuda, S. dublin pada sapi dan S. choleraesuis pada babi. Walaupun serovarserovar tersebut mempunyai hospes yang spesifik beberapa diantaranya mampu menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada hospes lain meskipun jarang terjadi, contohnya S. dublin dapat diisolasi pada manusia, S. paratyphi B pernah diisolasi dari babi, anjing
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
maupun ayam (ARS, 2002; PORTILLO, 2000). S. choleraesuis dilaporkan dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia. Salmonella ini seringkali berada dalam sirkulasi darah dan menyebabkan penyakit yang bersifat septikemia (ARS, 2002; GRAU, 1989; PORTILLO, 2000). Kelompok III merupakan serovar-serovar Salmonella yang tidak mempunyai hospes spesifik. Serovar ini bersifat patogen baik pada hewan maupun manusia dan menyebabkan salmonellosis. Penularan penyakit ini berasal dari hewan ke manusia melalui makanan asal hewan yang terkontaminasi Salmonella (foodborne disease), contohnya: S. enteritidis, S. typhimurium (ARS, 2002). Serovar-serovar pada kelompok ini umumnya menyebabkan gastroenteritis, infeksi terbatas pada saluran pencernaan, biasanya tidak berada dalam sirkulasi darah dan menimbulkan masa inkubasi yang pendek (GRAU, 1989). Infeksi Salmonella ini diketahui sebagai salmonellosisnontifoid atau gastroenteritis (COOPER, 1994; PORTILLO, 2000). SALMONELLOSIS DAN MASALAHNYA PADA KESEHATAN MANUSIA Demam tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia (SOEWANDOJO et al., 1998). Dari 16 juta kasus demam tifoid, terdapat kematian sebesar 600.000 jiwa. Namun insiden salmonellosis-tifoid ini cenderung lebih konstan, dengan kasus yang tidak sebanyak kasus salmonellosis-non tifoid. Insiden salmonellosis-non tifoid terus meningkat di seluruh dunia. Kasus tersebut tercatat mencapai 1,3 miliar dari kasus gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta kematian (PORTILLO, 2000). Di USA kira-kira sebanyak 5 juta kasus salmonellosis, 60-80 % diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi sebagian besar kasus terjadi berasal dari makanan yang tercemar. Di Massachusetts, 50% lebih S. enteritidis dan S. typihimurium dapat diisolasi dari kasus yang terjadi (CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION (CDC), 2001). Kejadian salmonellosis tifoid di Amerika Selatan yaitu 1:650 per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di benua yang berbeda
seperti Indonesia dan Papua New Guinea yaitu 1:100 per tahun (PORTILLO, 2000). Selama periode tahun 80-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid tertinggi di dunia (SUWANDONO et al., 2005). Hasil dari studi epidemiologi dan survei rumah tangga memperlihatkan bahwa angka morbiditas untuk daerah semi pedesaan adalah 358/100.000 penduduk dan angka ini meningkat mencapai 810/100.000 penduduk untuk daerah perkotaan, disertai kecenderungan peningkatan karena program vaksinasi untuk penyakit ini telah dihentikan sejak tahun 1980. (ARJOSO dan SIMANJUNTAK, 1998; PUNJABI, 1998; SUDARMONO et al., 2001). Data dari Rumah Sakit yang menangani penyakit infeksius di Jakarta melaporkan bahwa kasus demam tifoid terus meningkat, dari 11,4% menjadi 18,9% selama tahun 19831990. Pada periode tahun 1991-1996 penyakit meningkat dari 22% sampai 36,5%. Insiden demam tifoid yang dilaporkan oleh Pusat Kesehatan dan Rumah Sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyakit terus meningkat dari 92% menjadi 125% per 100.000 penduduk per tahun selama tahun 1994-1996 (SUJUDI, 1998). Angka mortalitas penyakit menurun dari 3,4% pada tahun 1981 menjadi 0,6% pada tahun 1996, angka ini telah menunjukkan adanya penurunan berkaitan dengan adanya perbaikan fasilitas kesehatan (ARJOSO dan SIMANJUNTAK, 1998; SUJUDI, 1998). Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun (SUWANDONO et al., 2005). Hampir 80% kasus demam tifoid ditemukan pada anak-anak/dewasa, usia antara 5 sampai 29 tahun (SUWANDONO et al., 2005). ARJOSO dan SIMANJUNTAK (1998) melaporkan bahwa kelompok yang mudah terpapar kasus tersebut sebagian besar terjadi pada umur 3-19 tahun. Demam tifoid merupakan penyakit yang serius di Jakarta Utara. Estimasi insiden demam tifoid di Jakarta Utara sangat tinggi (200/100.000 untuk semua umur) sedang pada anak-anak lebih tinggi. Insiden demam tifoid terus meningkat, pada tahun 2001 sebesar 680/ 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 menjadi 1.426/100.000 penduduk. Insiden demam tifoid ini dianggap tinggi jika terjadi pada 100/100.000 penduduk atau lebih. (SUWANDONO et al., 2005). Sebagian besar
163
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
pasien merupakan pasien rawat jalan dan mendapat pengobatan antibiotika selama 2 minggu. Pada kasus yang lebih parah membutuhkan rawat inap kira-kira 5 hari sampai 2 minggu. (PUNJABI, 1998). Hampir 20% dari kasus tersebut lama perawatan di rumah sakit rata-rata 7 hari (SUWANDONO et al., 2005). Pada periode 1999-2003 di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) telah mengisolasi Salmonella spp. dari manusia sebanyak 59 isolat. Isolat-isolat tersebut adalah: S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S. agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S. virchow dan S. virginia (POERNOMO, 2004). SUDARMONO et al., (2001) melaporkan bahwa selama bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret 1999, salmonellosis-non tifoid pada manusia yang paling umum terjadi disebabkan oleh S. aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, S. lexington, dan S. vircow. Faktor kerentanan hospes terhadap infeksi Tingkat kepekaan individu dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi seperti perubahan saluran pencernaan normal pada manusia akibat proses penyembuhan dari penyakit, pengobatan dengan antibiotik atau peningkatan pH lambung oleh antasid sehingga menghasilkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri (SERBENIUK, 2002). Tingkat keparahan salmonellosis tergantung pada beberapa faktor. Selain kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya, jumlah bakteri (dosis infeksi), status kekebalan pasien dan usia hospes juga sangat berperan (COOPER, 1994). Salmonellosis dapat menyerang semua golongan umur dan seks pada manusia namun laki-laki lebih sering terkena infeksi daripada perempuan (HADISAPUTRO, 1998). Namun penderita usia yang lebih muda atau bayi, orang-orang dengan usia lanjut dan orangorang dengan sistem imun lemah, pada umumnya lebih sensitif sehingga dengan dosis yang lebih rendah mereka dapat terinfeksi dan penyakit tersebut dapat menjadi parah. Pada pasien ini, infeksi dapat meluas dari usus ke
164
sirkulasi darah dan menyebar ke bagian tubuh lain dan dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati dengan antibiotik yang tepat (CDC, 2001; GRAU, 1989; ABRAMOCHKIN, 2004). Pada hewan terutama ayam, salmonellosis dapat menyerang semua umur ayam namun yang paling rentan adalah DOC. Anak ayam umur 1 hari lebih rentan terhadap infeksi Salmonella dibandingkan dengan anak ayam umur 7 hari atau 4 minggu. Kadang-kadang infeksi tersebut menyebabkan timbulnya penyakit dan kematian yang sangat tinggi pada anak ayam umur kurang dari 1 minggu (ALISANTOSA et al., 2000; DHILLON et al., 1999; LISTER, 1988). Hewan atau ternak yang sedang bunting dan laktasi juga peka terhadap infeksi Salmonella (OIE, 2000). Pada ternak atau ayam umur lebih dari 2 minggu yang terinfeksi Salmonella biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak mematikan, tetapi ternak atau ayam yang sembuh dari infeksi dapat menjadi karier menahun yang sewaktu-waktu dapat mengekskresikan bakteri Salmonella pada fesesnya (GAST, 1997; POERNOMO et al., 1997). Infeksi Salmonella tidak diketahui dengan pasti, pada manusia pernah dilaporkan dosis infeksi S. typhi adalah > 104 CFU/gr makanan dan jumlah yang lebih besar ditemukan pada serovar yang lain. Namun dosis infeksi yang lebih rendah yaitu < 103 CFU/gr makanan juga pernah dilaporkan menyebabkan wabah salmonellosis pada manusia dengan gejala enterokolitis (COOPER, 1994). Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena produk makanan tersebut banyak mengandung lipid dan atau gula yang dapat melindungi Salmonella dari barrier lambung yang bersifat asam dan dapat membunuh Salmonella. Selanjutnya Salmonella dapat mencapai usus dan menyebabkan gejala penyakit (VOUGHT dan TATINI, 1998). Sistem kekebalan humoral dan selular kemungkinan tidak melindungi pada manusia terhadap enterokolitis yang disebabkan oleh Salmonella, barangkali peranannya pada kekebalan hospes hanya dimulai ketika bakteri tersebut berhasil mengadakan penetrasi ke dalam mukosa. Beberapa serovar selain S. typhimurium seperti S. choleraesuis, S. heidelberg dan S. enteritidis dapat menginvasi
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
mukosa intestinal dan seringkali menyebabkan keparahan penyakit dan septikemia pada manusia. Sedangkan S. senftenberg merupakan salah satu serovar yang paling umum diisolasi dari bahan pangan asal hewan tetapi jarang sekali diisolasi dari manusia dan hewan (COOPER, 1994). Mekanisme infeksi Salmonella spp. pada manusia dan penularannya Salmonella hidup dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan dan bakteri tersebut dapat ditularkan melalui rute oral-fekal (CDC), 2001). Perubahan pada saluran pencernaan normal pada hospes akibat pembedahan, terapi antibiotika atau peningkatan pH lambung oleh antasid dapat menciptakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan Salmonella (SERBENIUK, 2002). Patogenesis salmonellosis diawali oleh ingesti bakteri Salmonella melalui makanan atau minuman terkontaminasi dan bakteri tersebut mengadakan penetrasi ke dalam sel epitelium intestinal sebelum menginduksi penyakit. Invasi ke dalam sel intestinal hospes menghasilkan perubahan morfologi pada sel yang berhubungan dengan eksploitasi dari sitoskeleton hospes. Setelah kontak dengan epithelium, Salmonella akan menginduksi degenerasi mikrovili enterosit. Struktur mikrovilar akan berkurang diikuti oleh mengkerutnya membran bagian dalam di tempat kontak antara sel bakteri dan sel hospes. Mengkerutnya membran disertai dengan makropinositosis profus, sebagai jalan masuknya bakteri ke dalam sel hospes. Ketika proses masuknya bakteri sempurna, Salmonella terletak dan bermultiplikasi di dalam endosom (GOOSNEY et al., 1999). Sitoskeleton selanjutnya akan kembali pada distribusi yang normal. Seluruh proses terjadi hanya dalam beberapa menit. Prostaglandin yang disekresikan pada proses inflamasi menyebabkan dilepaskannya elektrolit dan menarik air ke dalam lumen usus sehingga terjadi diare (adanya enterotoksin non inflamatori dalam usus besar). Dinding sel bakteri akan menghasilkan endotoksin yang tersusun dari lipopolisakarida (LPS). Diduga
LPS ini merupakan penyebab timbulnya gejala demam pada penderita (SERBENIUK, 2002). Pada salmonellosis-tifoid biasanya sumber penularan berasal dari individu dengan status karier Salmonella dan kurang menjaga kebersihan (ABRAMOCHKIN, 2004) Penularan dapat meluas dari individu satu ke individu yang lain terutama pada anak-anak prasekolah maupun di rumah-rumah tangga (CDC, 2001). Pada umumnya penularan tersebut terjadi di rumah-rumah sakit atau di pusat-pusat kesehatan yang lain. (ARS, 2002). Lebih lanjut DUGUID dan NORTH (1991) menyampaikan bahwa infeksi tersebut menular dari pasien satu ke pasien yang lain atau dari perawat ke pasien melalui tangan, pakaian, handuk, wastafel atau tempat cuci tangan maupun debu. Sebanyak 102 pasien dari Rumah Sakit Umum di Inggris menunjukkan gejala gastroenteritis, 150 pasien sebagai karier, dan 5 pasien terinfeksi S. typhimurium melalui wastafel, debu, tissue untuk tempat ekskretor dan sputum. Sumber infeksi yang terjadi pada salmonellosis-non tifoid biasanya berhubungan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi Salmonella atau kontak dengan feses manusia, unggas atau hewan lain yang terinfeksi (ABRAMOCHKIN, 2004). Salmonella dapat berada di dalam makanan akibat adanya kontaminasi silang atau melalui tangan yang tidak dicuci bersih setelah kontak dengan bakteri tersebut. Pada ayam Salmonella dapat ditularkan melalui infeksi transovarian ke dalam telur ayam sebelum telur terbentuk dengan sempurna (SERBENIUK, 2002). Beberapa makanan yang dimasak kurang sempurna atau setengah matang juga dapat sebagai sumber S. enteritidis. Makanan yang terkontaminasi tersebut dapat berasal dari daging ayam mentah, daging sapi, telur dan produk olahannya, susu yang tidak dipasteurisasi dan produk olahannya seperti keju. Sayuran dan buah-buahan yang terkontaminasi juga dapat sebagai sumber infeksi. Kontaminasi tersebut dapat diperantarai oleh vektor mekanik atau biologik seperti lalat, rodensia, reptil, iguana dan lizard yang menderita karier Salmonella kronis atau pakan ternak. Salmonella juga dapat ditemukan di tanah maupun air (CDC, 2001; SERBENIUK, 2002). Makanan yang terkontaminasi biasanya tidak menunjukkan perubahan bentuk, warna maupun bau (ABRAMOCHKIN, 2004).
165
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Gejala klinis akibat salmonellosis Pada manusia dapat terjadi demam enterik akibat infeksi S. typhi sedangkan infeksi Salmonella spp. yang lain yang adaptasi utamanya pada manusia menimbulkan gejala klinis yang hampir serupa. Masa inkubasi berlangsung sekitar 7-28 hari atau kira-kira 14 hari. Penyakit diawali dengan kenaikan suhu tubuh disertai dengan rasa kurang enak badan dan sakit kepala. Demam dapat mencapai 40oC. Pada umumnya sakit pada bagian perut, tubuh lemah, sakit dan tidak nafsu makan. Diare dan konstipasi dapat terjadi. Bintik merah kadang-kadang muncul di permukaan kulit. Pada stadium awal infeksi S. typhi tidak dapat dideteksi pada feses. Selama periode invasi aktif, organisme dapat diisolasi dari darah. Setelah terinfeksi, penderita dapat bersifat karier Salmonella dalam tubuhnya, bakteri tersebut dapat diekskresikan sewaktuwaktu dalam fesesnya selama beberapa tahun (GRAU, 1989; PORTILLO, 2000). Infeksi oleh S. choleraesuis sering menyebabkan septikemia. Pada pasien dewasa yang menderita septikemia seringkali tidak memperlihatkan gejala klinis pada bagian perut, namun pada pasien anak-anak dapat mengalami komplikasi gastroenteritis. Gejala lain yang tampak adalah demam, kedinginan, rasa tidak enak badan, sakit pada bagian dada, punggung dan perut. Infeksi dapat terjadi pada jaringan intestinal dan sekitarnya (peritoneum, vesika urinaria) maupun organ internal lain, seperti: paru-paru, jantung dan tulang (GRAU, 1989). Gejala klinis pada kasus gastroenteritis keracunan makanan (food poisoning) bersifat khas dengan masa inkubasi antara 5-72 jam tetapi gejala umumnya terjadi dalam waktu 1236 jam setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Diawali dengan diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual dan muntah. Umumnya gejala berlangsung selama 2-7 hari seringkali penderita sembuh tanpa pengobatan antibiotika. Salmonella umumnya diekskresi dalam jumlah besar dalam feses pada awal terjadinya keracunan. Selanjutnya jumlah Salmonella yang diekskresi menurun dan status karier pada infeksi ini umumnya jarang terjadi dibandingkan dengan infeksi oleh S. typhi. (CDC, 2001; GAST, 1997; GRAU, 1989).
166
KERUGIAN MATERI DAN FINANSIAL Biaya pengobatan pasien rawat jalan untuk kasus demam tifoid ringan diperkirakan sekitar US $50-150, sedang kasus rawat inap tanpa komplikasi sekitar $100-150 dan kasus komplikasi sebesar US $250 atau lebih (PUNJABI, 1998). Besarnya biaya pengobatan tersebut dapat membebani ekonomi keluarga. Diperkirakan rata-rata biaya rawat inap hampir sebesar 4 bulan pendapatan keluarga, sedangkan biaya rawat jalan sebesar 50% dari pendapatan keluarga perbulan (SOEWANDONO et al., 2005). Perkiraan tersebut tergantung pada pilihan antibiotika yang digunakan, kemampuan pasien, pilihan rumah sakit (pemerintah atau swasta), respon pasien terhadap pengobatan, preferensi dokter untuk memulangkan pasien (cepat atau beberapa hari setelah demam turun). Sebagian besar pasien demam tifoid tidak mampu melakukan aktivitas normal selama 20-30 hari sehingga memerlukan bantuan dari orang lain akibatnya aktivitas 1 atau 2 orang anggota keluarga terganggu untuk memenuhi kebutuhan pasien tersebut. Selain itu diet khusus, transportasi dan lain-lain akan menambah hilangnya pendapatan keluarga. Diperkirakan sekitar US $60 juta pendapatan berkurang untuk biaya demam tifoid (PUNJABI, 1998). Vaksin yang sederhana, efektif, murah dengan efek samping yang rendah serta program pendidikan masyarakat dapat menurunkan beban penyakit demam tifoid (PUNJABI, 1998). Sementara itu NGUYEN dan LESCURE (1998) melaporkan bahwa pengobatan standar demam tifoid menelan biaya sebesar Rp 5.498.776,00 untuk mengobati 22 pasien atau Rp 249.944,00 per pasien. Sedang program vaksinasi membutuhkan dana sebesar Rp 2.127.740,00 untuk memberikan vaksinasi kepada 260 orang dengan risiko per tahun terkena penyakit sebesar 23%. Terdapat selisih pembiayaan sebesar Rp 3.371.036,00. Secara singkat perusahaan menghemat biaya sebesar Rp 1,58,00 untuk setiap Rp 1,00 yang digunakan. Dengan demikian terlihat bahwa vaksin demam tifoid dapat menghemat biaya pada pengelolaan pasien demam tifoid pada lingkungan pekerjaan atau lainnya.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DIAGNOSA SALMONELLOSIS Diagnosis salmonellosis pada manusia didasarkan pada isolasi organisme dari sampel feses, muntahan, ulas rektal, darah dan cairan tubuh penderita atau bahan makanan yang dikonsumsi penderita sebelum sakit (telur, daging, susu atau bahan olahannya), air minum atau jaringan yang terinfeksi untuk mendeteksi kemungkinan adanya Salmonella (DARMOJONO, 2001; OIE, 2000; PUNJABI, 1998; SOEWANDOJO et al., 1998). Spesimen fekal dapat dikoleksi pada saat terjadi diare. Spesimen darah dapat diambil pada kasus septikemia (SERBENIUK, 2002). Salmonella diisolasi dengan bermacam-macam metoda. Isolasi Salmonella secara konvensional dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap preenrichment dan enrichment yang mengandung bahan media penghambat untuk pertumbuhan bakteri selain Salmonella sedangkan kultur Salmonella pada media agar selektif digunakan untuk membedakan dari bakteri saluran pencernaan yang lain. Uji identifikasi dapat dilakukan dengan uji biokemik dan uji serologi/serotiping (OIE, 2000). Isolasi dan identifikasi Salmonella dengan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu selama 7 hari untuk hasil positif sedangkan apabila hasil negatif diperlukan waktu sekitar 3-4 hari (FENG, 2001). Konfirmasi diagnosa laboratorium secara konvensional kurang memuaskan karena diperlukan banyak bahan media, alat, beaya dan tenaga serta memerlukan waktu yang relatif lama untuk hasil positif (FENG, 2001; KORBSRISATE et al., 1998). Oleh karena itu akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan beberapa metode deteksi cepat terhadap Salmonella seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), plasmid DNA elektroforesis, immunodifusi, immunofluorescence, immunokromatografi, metode hibridisasi asam nukleat, polymerase chain reaction (PCR), electroimmunoassay, immunomagnetik presipitasi dan lysotyping bacteriophage (DE PAULA et al., 2002; SERBENIUK, 2002; YEH et al., 2002). Beberapa keunggulan metode deteksi cepat adalah waktu pemeriksaan yang lebih cepat, hasil pemeriksaan yang lebih tepat, lebih sensitif dan
lebih spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (FENG, 2001). Konfirmasi diagnosa pada demam tifoid dilakukan juga dengan pemeriksaan tes Widal (DEY et al., 1998; SUDARMONO et al., 1998). Uji tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengetahui titer antibodi terhadap S. typhi dari sampel darah penderita akut dan karier (PUNJABI, 1998). Deteksi Ig M terhadap S. typhi pada manusia dapat juga dilakukan dengan metoda dipstick. Metoda ini merupakan metoda baru yang sederhana dan praktis karena pemakaiannya tanpa membutuhkan alat dan ketrampilan khusus serta dapat diterapkan pada perawatan kesehatan masyarakat di tingkat pedesaan (HATTA et al., 1998). UPAYA-UPAYA PENGENDALIAN MASALAH SALMONELLOSIS Strategi pencegahan demam tifoid yang efektif adalah deteksi kasus yang meliputi surveilan penyakit, deteksi dan pengobatan kasus (akut dan konvalesen), deteksi dan kontrol karier kronis. Disamping itu pengendalian jangka panjang dengan perbaikan sanitasi lingkungan (air minum yang aman, WC bersih, pengawasan restoran, peningkatan kebersihan makanan, pencegahan kontaminasi dalam industri makanan seperti es dan susu). Bila mungkin dengan pemeriksaan dan pengawasan ternak untuk mendapatkan ternak yang sehat dan bebas Salmonella sebelum dipotong. Pendidikan kesehatan masyarakat mempunyai peranan penting terutama kebersihan perorangan, seperti mencuci tangan sebelum makan atau setelah menyiapkan makanan di tempat-tempat umum atau restoran dan vaksinasi individu atau populasi yang mempunyai resiko (DEY et al., 1998; HADISAPUTRO, 1998; SOEWANDOJO et al., 1998). Eliminasi sumber infeksi (pasien karier) perlu perhatian khusus karena bakteri Salmonella sulit dibebaskan pada penderita karier atau lingkungan. Namun demikian karena sumber utama infeksi pada manusia, salah satu diantaranya adalah ayam dan peternakan, maka menurunkan jumlah Salmonella pada hewan akan berguna untuk mengurangi paparan bakteri ke manusia (RABSCH et al., 2001; ABRAMOCHKIN, 2004).
167
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Vaksin anti salmonellosis yang efektif dengan efek samping yang rendah menjadi menarik secara potensial untuk disertakan pada program imunisasi rutin guna mengatasi demam tifoid di negara-negara berkembang (CLEMENS, 1998; PUNJABI, 1998). Vaksin sel bakteri utuh konvensional yang diberikan secara parenteral telah lama dikenal dan digunakan di Indonesia. Karena efek samping negatif penggunaan vaksin oral pada bayi-bayi merugikan maka sejak tahun 1980-an penggunaannya dihentikan. Pada saat ini terdapat dua vaksin oral yang dilemahkan dalam formulasi kapsul enteric coated yang memiliki efisiensi 42-53% dan vaksin parenteral Vi polisakarida kapsul (Typhim ViR), yang mengandung antigen Vi S. typhi yang dimurnikan dan memiliki efisiensi 6480% (SIMANJUNTAK, 1998). Beberapa sifat vaksin polisakarida Vi adalah memberikan proteksi moderat sekurangnya 3 tahun setelah vaksinasi, memiliki efek samping minimal, membutuhkan dosis tunggal, vaksin tersebut tidak memerlukan penyimpanan dengan suhu rendah yang ketat, teknologi produksi Vi tersebut secara potensial dapat ditransfer ke beberapa negara berkembang (CLEMENS, 1998). Kontrol salmonellosis-non tifoid pada umumnya sama dengan demam tifoid yang melibatkan perbaikan kebersihan teknik di tempat pemotongan, pengawasan teknik pengolahan makanan (memasak, penyimpanan, menggunakan alat-alat yang steril) dan mencuci tangan setelah kontak dengan hewan atau sumber infeksi yang lain (SERBENIUK, 2002). Vaksinasi pada ternak terhadap Salmonellosis di Indonesia tidak direkomendasikan. (Antibodi yang terbentuk karena vaksinasi dapat “mengacaukan” pemeriksaan Pullorum test yang rutin dilakukan akibat adanya reaksi silang antara Salmonella spp. yang terdapat dalam Grup D). Hal ini juga karena sistem proteksi humoral yang tidak bagus, karena yang bekerja Cell Mediated Immunity (CMI) (ARIYANTI et al., 2004).
168
Penggunaan antibiotika untuk terapi salmonellosis Pemberian antibiotika dengan cara yang tepat pada penderita dengan atau tanpa komplikasi pada demam tifoid berperan penting pada kesembuhan mereka (FABRACORONEL, 1998). Aplikasi antibiotika perlu dipertimbangkan dalam penentuan jenis antibiotika karena Salmonella bersifat intraseluler, oleh karena itu sebaiknya memilih obat yang dapat mengadakan penetrasi ke dalam sel. (DARMOJONO, 2001). Terapi antibiotika dalam pengelolaan demam tifoid untuk beberapa waktu yang lalu telah berhasil, namun sejak tahun 1990 semakin banyak ditemukan galur S. typhi yang resisten terhadap kebanyakan antibiotika yang sebelumnya bermanfaat (IVANOFF, 1998). Penggunaan fluorokuinolon dengan daya kerja panjang, fleroksasin menunjukkan kerja yang efektif dengan dosis tunggal 400 mg fleroksasin sehari selama 7 hari (NELWAN et al., 1998). Fluorokuinolon lebih disukai karena cepatnya respon pengobatan dan tidak ada efek penekanan pada sumsum tulang (NELWAN, 1998). Uji antibiogram dari isolat S. typhi dan S. paratyphi A menunjukkan sensitif terhadap antibiotika kloramfenikol, kotrimoksazol, amoksisilin, sefataksin, seftriakson, sefmetasol, siprofloksasin dan gentamisin (AMDANI, 1998; PARWATI dan SAMAUN, 1998). Pengobatan selama 7 hari atau lebih lama dengan Azitromisin (AZM) dan ofloxacin (OFL) terbukti efektif untuk demam tifoid di berbagai negara termasuk Vietnam. AZM mempunyai aktivitas sedang terhadap S. typhi tetapi dapat mencapai konsentrasi intraseluler yang tinggi dan tidak terdapat gejala dari efek samping obat (LY et al., 1998). Mecillinam (asam 6amidinopenisilanat) dan Cefixime dapat dipergunakan sebagai alternatif yang aman dan efektif untuk pengobatan penderita demam tifoid apabila terjadi kontraindikasi untuk penggunaan obat yang lazim dipakai atau pada kasus-kasus S. typhi yang resisten terhadap berbagai jenis obat (JUSUF dan SUDJANA, 1998; MATSUMOTO et al., 1998).
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Terapi pada demam non tifoid adalah istirahat, pemberian cairan melalui infus untuk menanggulangi dehidrasi, menurunkan demam dan meredakan sakit kepala. Antibiotik yang diberikan cenderung akan merugikan pada bayi, orang tua dan pasien dengan status kekebalan lemah. Pada orang dewasa dapat diberikan fluoroquinolone, antibiotika ini dapat menyebabkan mual-mual, muntah dan diare pada beberapa orang tetapi tidak umum terjadi. Cefriaxone adalah antibiotika yang aman digunakan untuk anak-anak tetapi resistensi terhadap obat ini tampaknya mulai muncul. S. typhimurium tipe DT 104 telah diketahui resisten terhadap ciprofloxacin, trimethoprin, ampisilin, kloramfenikol, streptomisin, sulfonamide dan tetrasiklin (SERBENIUK, 2002). PENUTUP Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang penting, rantai penularan berkaitan dengan sumber penularan ternak dan produknya atau food-borne disease. Pada manusia dikenal adanya salmonellosistifoid (demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi dan demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B) serta salmonellosis-non tifoid (disebabkan oleh Salmonella spp. terutama S. enteritidis dan S. typhimurium). Strategi pencegahan demam tifoid dan non tifoid yang efektif adalah deteksi kasus, perbaikan sanitasi lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industri makanan, menekan angka reaktor salmonellosis pada pengawasan ternak, pendidikan kesehatan masyarakat serta eliminasi sumber infeksi. Penggunaan vaksin oral inaktif yang efektif, dikemas dalam kapsul enteric coated dan vaksin parenteral Vi polisakarida kapsul (Typhim ViR) dapat diaplikasikan pada daerah endemik. DAFTAR PUSTAKA ABRAMOCHKIN, G., 2004. Salmonella spp. In Salmonella background information. Email:
[email protected]@vbi.vt.edu. AGRICULTURAL RESEARCH SERVICE, 2002. A focus on Salmonella. http://www.nal.usda. gov/ fsirio/research/fsleets/fsheet10.htm.
ALISANTOSA B., H. L. SHIVAPRASAD, A. S. DHILLON, O. SCHABERG and D. BANDLI, 2000. Pathogenicity of Salmonella enteritidis phage types 4, 8 and 23 in specific pathogen free chicks. Avian Path.. 29: 583-592. AMDANI, S.K., 1998. Antibiotic resistance pattern of pediatric typhoid fever patients at Harapan Kita children and maternity hospital, Jakarta. 1996. Med. J. of Indonesia.70: 253-256. ARIYANTI, T. SUPAR dan A. PRIADI, 2004. Salmonellosis. Disampaikan pada Pelatihan Pengendalian, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Bagi Dokter Hewan dan Dokter Hewan Pos Keswan Berprestasi Tingkat Nasional di Balitvet, Bogor, pada tanggal 6 Oktober 2004. ARJOSO, S. dan C.H. SIMANJUNTAK, 1998. Typhoid and Salmonellosis in Indonesia. Med. J. of Indonesia.70: 20-23. BRENNER, F.W., R.G. VILLAR, F.J. ANGULO, R. TAUXE dan B. SWAMINATHAN, 2000. Salmonella Nomenclature. J. of Clin. Microbiol. 38 (7): 2465-2467. CENTERS FOR DISEASE CONTROL and PREVENTION, 2001. Salmonellosis (Non Typhoid). Guide to Surveillance and Reporting. Massachusetts Department of Public Health, Division of Epidemiology and Immunization.http://www. mass.gov/dph/cdc/gsrman/salmon.pdf. CLEMENS, J., 1998. Vi vaccine: options for assessing effectiveness. Med. J. of Indonesia.70: 89-93. COOPER, G.L., 1994. Salmonellosis-infection in man and the chicken: pathogenesis and development of live vaccines-a review. Vet. Bull. 64(2):124. DE PAULA, A.M.R., D.S. GOLLI, M. LANDGRAF, M.T. DESTRO dan B.D.G. DE MELOFRANCO, 2002. Detection of Salmonella in foods using Tecra Salmonella VIA and Tecra Salmonella UNIQUE Rapid Immunoassays and a culture procedure. J. of Food Protect 65 (3):552. DEY, A.B., R. CHAUDRY, M. GOPINATH, D.S. CHANDEL dan B.V. LAXMI, 1998. Evaluation of PCR detection of S. typhi DNA in the diagnosis of clinically suspected typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 155-159. DHARMOJONO., 2001. Penyakit Tifus (Salmonellosis). Dalam Penyakit menular dari binatang ke manusia. Edisi Pertama. Milenia Populer. Hal.111-121. DHILLON, A.S., B. ALISANTOSA, H.L. SHIVAPRASAD, O. JACK, D. SCHABERG dan D. BANDLI, 1999. Pathogenicity of Salmonella enteritidis phage
169
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
types 4, 8 and 23 in broiler chicks. Avian Dis. 43:506-515. DUGUID, J.P. dan R.A.E. NORTH, 1991. Eggs and Salmonella food-poisoning: an evaluation. J. Med. Microbiol. 34: 65-72. FABRA-CORONEL, R., 1998. Complications of typhoid fever and its antibiotic regimen in a university hospital. Med. J. of Indonesia.70: 282. FENG, P., 2001. Rapid methods for detecting foodborne pathogens. In Bacteriological Analytical Manual Online. FDA-CFSAN BAM. 10th Ed. GAST, R.K., 1997. Paratyphoid infections. In Disease of Poultry. Tenth Edition. (Eds: B.W. CALNEK, H.J. BARNES, C.W. BEARD, L.R. MCDOUGALD, and Y.M. SAIF. Iowa State university Press, ames, Iowa, USA. pp. 97112.
flagellin for diagnosis of Salmonella paratyphii A infection. Med. J. of Indonesia.70: 273. LISTER, S.A., 1988. Salmonella enteritidis infection in broilers and broiler breeders. Vet. Rec. 123:350. LY, N.T., N.T. CHINH, C.M. PARRY, T.S. DIEP, J. WAIN dan N.J. WHITE, 1998. Randomised trial of azithromycin versus ofloxacin for the treatment of typhoid fever in adults. Med. J. of Indonesia.70: 202-206. MIYAMOTO, Y., A. IKEMOTO, A. WAKABAYASHI, J. PITT, T. HIRANO, H. NISHIO dan S. TAWARA, 1998. Antibacterial activity of cefixime against Salmonella typhi and applicability of E test. Med. J. of Indonesia.70: 189-193. NELWAN, R.H.H., 1998. Simultaneous typhoid and dengue hemorrhagic fever a case report. Med. J. of Indonesia.70: 287.
GOOSNEY, D.L., D.G. KNOECHEL dan B.B. FINLAY, 1999. Enteropathogenic E. coli, Salmonella, and Shigella: masters of host cell cytoskeletal exploitation. Emerging Infect. Dis. 1999; 5(2): 216 - 223.
NELWAN, R.H.H., B. SETIAWAN, J. GUNAWAN, HENDARTO dan I. ZULKARNAIN, 1998. Short course treatment of typhoid fever with 400 mg fleroxacin OD a preliminary report. Med. J. of Indonesia.70: 286.
GRAU, F. H., 1989. Salmonella: Physiology, pathogenicity and control. In Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. Fourth Ed. (Eds: BUCKLE K. A., J. A. DAVEY. M. J. EYLES, A.D. HOCKING, K. G. NEWTON, and E. J. STUTTARD). AIFST (NSW Branch) Food Microbiology Group. pp 85-96.
NGUYEN, V. dan S. LESCURE, 1998. Cost benefit study with Vi vaccine. Med. J. of Indonesia.70: 94. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIS., 2000. Salmonellosis. In Manual of standards for diagnostic test and vaccines. World organization for animal health, pp 691-699.
HADISAPUTRO, S., 1998. Prevention and control of typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 117123.
PARWATI, I. dan E. SAMAUN, 1998. Multidrug resistance Salmonella in DR. HASAN SADIKIN General Hospital - Bandung. Med. J. of Indonesia.70: 194.
HATTA, M., L. CHAIRUDIN dan L. SMITS, 1998. Evalution of Salmonella typhi dipstick for detection of IgM antibodies from suspect typhoid fever pasients. Med. J. of Indonesia.70: 208.
POERNOMO, S., I. RUMAWAS, dan A. SAROSA, 1997. Infeksi Salmonella enteritidis pada anak ayam pedaging dari peternakan pembibit : Suatu laporan kasus. JITV, Vol. 2, No.3 hal 194-197.
IVANOFF, B., 1998. Typhoid fever:current and future contrl approaches. Med. J. of Indonesia.70: 81-82. JAY, J. M., 1996. Foodborne gastroenteritis caused by Salmonella and Shigella. In Modern Food Microbiology Fifth Edition. Litton Euditorial Publishing Inc. New York. pp 507-543.
POERNOMO., S., 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa Vol. 14., No. 4., Hal:143-159.
JUSUF, H. dan P. SUDJANA, 1998. Mecillinam for the typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 195.
POPOFF, M.Y. dan L.L. MINOR., 1997. Antigenic formulas of the Salmonella serovars. WHO collaborating centre for reference and research on Salmonella. Institute Pasteur, 28 rue du Dr. Roux, 75724 Paris Cedex 15, France.
KORBSRISATE, S., S. SARASOMBATH, P. EKPO, N. PRAAPORN, M. HOSSAIN dan S. MCKAY, 1998. Detection of Ig M antibody against phase 1
PORTILLO, F. G., 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of
170
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
pathogenesis and toxin synthesis First Edition. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7. PUNJABI, N.H., 1998. Cost evaluation of typhoid fever in Indonesia. Med. J. of Indonesia.70: 90-93. RABSCH, W, H. TSCHAPE, dan A.J. BAUMLER, 2001. Non-typhoidal salmonellosis: emerging problems. Microbes and Infection. 3(3):23747. SERBENIUK, F., 2002. Non-typhoidal Salmonella. http://www.wou.edu/las/natsci_math/biology/ boomer/Bio440/emerging2002/Salmonella2 SIMANJUNTAK, C.H., 1998. The development of typhoid vaccine in Indonesia. Med. J. of Indonesia.70: 114-116. SOEWANDOJO, E. SUHARTO dan U. HADI, 1998. Typhoid fever in Indonesia clinical picture, treatment and status after therapy. Med. J. of Indonesia.70: 95-104. SUDARMONO, P., S. POERNOMO dan I. SUHADI, 2001. The current management of Salmonella typhi and Salmonella in Indonesia. In Typhoid fever and other Salmonellosis. First Ed. (Eds: OU J.T., C-H. CHIU dan C. CHIU). The Fourth International Symposium on thypoid fever and
other Salmonellosis, Taipei, Taiwan. pp. 2530. SUDJANA, P. dan H. JUSUF., 1998. Papillitis in a typhoid fever patient with toxic encephalopathy and septic shock: arare complication? Med. J. of Indonesia.70: 217. SUJUDI, 1998. Pidato pada pembukaan The Third Asia Pacific Symposium on Typhoid Fever and Other Salmonellosis and The Seventh National Congress of The Indonesian Society for Microbiology. Denpasar, Indonesia, 8 Desember 1997. Med. J. of Indonesia.70: 2. SUWANDONO, A.M. DESTRI dan C. SIMANJUNTAK, 2005. Salmonellosis dan Surveillans demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25 Januari 2005. VOUGHT, K.J. dan S.R. TATINI, 1998. Salmonella enteritidis contamination of ice cream associated with a 1994 multistate outbreak. J. of Food Protection. 61(1): 5-10. YEH, K., C. TSAI, S. CHEN dan C. LIAO, 2002. Comparison between VIDAS Automatic Enzyme-linked fluorescent Immunoassay and culture method for Salmonella recovery from pork carcass spongo samples. J. of Food Protect. 65(10):1656.
171