PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 – 13 Oktober 2011
MAKALAH
Problematik Filosofis Hukum Hak Asasi Manusia (Pokok-pokok Gagasan sebagai Pengantar Umum) Oleh: Dr. Andang Listya Binawan, SJ (Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara)
PROBLEMATIK FILOSOFIS HUKUM HAK ASASI MANUSIA (Pokok-pokok Gagasan sebagai Pengantar Umum) oleh Al. Andang L. Binawan1
1. Hak asasi manusia (yang biasanya dipahami sebagai hak yang dimiliki setiap orang sebagai manusia pada dirinya, yang dimiliki sejak lahir, dan tidak diberikan oleh pihak lain selain dari dirinya sendiri) makin menjadi sebuah ‘bahasa pergaulan’ manusia di dunia sejak dideklarasikannya DUHAM (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, the Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948,2 dan makin mengerucut menjadi ‘bahasa hukum’ sejak dirumuskannya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) atau the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan juga Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada tahun 1966. 2. Sebagai sebuah ‘bahasa pergaulan,’ DUHAM dan ‘anak-anaknya’ tidak bisa dilepaskan dari kesadaran yang makin mengental akan martabat manusia dengan segala hak dan kebebasannya, khususnya berhadapan dengan ‘negara.’ Refleksi para filsuf dari berbagai bangsa dalam abad-abad sebelum abad XX, misalnya Thomas Hobbes dengan Leviathan-nya (1651), J.J. Rousseau dengan the Social Contract-nya (1762) dan Immanuel Kant dengan Perpetual Peace-nya (1795) bahkan pada jaman sebelum Masehi (misalnya Plato dengan Republic-nya dan Aristoteles dengan Politics-nya yang mendasari pemikiran tentang hukum kodrat), menunjukkan hal itu. 3. Jauh sebelum DUHAM, kesadaran akan martabat manusia yang lebih bersifat subyektif dalam refleksi para filsuf di atas, bersama pemikiran filsuf-filsuf lain tentunya, makin menjadi milik umum dengan munculnya beberapa dokumen kesepakatan sehubungan dengan martabat manusia ini. a. Magna Carta (1215) di Inggris, berisi kesepakatan pembagian kekuasaan antara Raja John dengan para bangsawannya b. The Bill of Rights (1689) juga di Inggris, berisi aturan untuk membatasi kesewenangan raja Inggris dalam mengeluarkan hukum atau peraturan baru; diperlukan persetujuan parlemen c. The American Declaration of Independence (1776) dan disusul dengan the US Bill of Rights (1791) yang berisi perlindungan atas hidup dan kebebasannya d. The Declaration of the Rights of Man and the Citizen, atau la Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789) di Perancis yang mau menjamin kebebasan pribadi berdasar prinsip liberté, égalité et fraternité 4. Munculnya dokumen yang bersifat yuridis itu dipicu oleh konflik sosial yang membawa korban manusia, khususnya dalam ‘pelecehan’ martabatnya sebagai manusia, sebagai akibat 1
Staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Makalah singkat ini disampaikan dalam Pelatihan HAM Dasar untuk Dosen Hukum HAM Se-Indonesia, Surabaya, 10 – 13 Oktober 2011 yang diselenggarakan oleh PusHAM Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2 Lihat Mukadimah dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
1
kesewenang-wenangan kelompok yang berkuasa. Bisa dikatakan bahwa di satu sisi, orang makin disadarkan akan kecenderungan koruptif suatu kekuasaan, seperti yang tercermin dalam kata-kata terkenal Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”3 sehingga perlu pembatasan dan di sisi lain makin disadarkan akan isi dari harkat dan martabat manusia dengan segala keunikan dan kelemahannya. Karena itu, hukum lalu berfungsi di satu sisi berfungsi melindungi martabat manusia yang lemah ini dan di sisi lain menjadi batas dari manusia (yang nota bene juga lemah) yang memegang kekuasaan.4 5. Kesadaran pada level nasional itu baru menjadi sebuah kesadaran ‘universal’ dengan adanya tragedi Perang Dunia I dan II, dan khususnya peristiwa holocoust di Jerman pada jaman Hitler. Ketiga peristiwa pahit itu mendorong lahirnya DUHAM supaya peristiwa-peristiwa pahit itu tidak terulang, dengan beberapa concern utamanya (seperti perdamaian, penghormatan pada martabat manusia dengan hak dan kebebasannya, persamaan, serta keadilan) sebagai kerangka utamanya. 6. Sebagai ‘bahasa hukum’ DUHAM, KIHESB dan KIHSP berusaha memastikan cita-cita ideal itu (keadilan sebagai nilai moral, yang dilandasi pandangan tentang martabat manusia) dalam tetapan hukum. Upaya ini bisa dipandang sebagai sebuah terobosan dalam filsafat hukum karena bisa dipandang sebagai jalan tengah dari ketegangan dua tujuan ganda hukum, yaitu antara cita-cita kepastian dan cita-cita keadilan. Hukum sering menjadi tidak kokoh ketika terlalu menekankan kepastian dan mengabaikan keadilan, atau juga sebaliknya ketika terlalu menekankan keadilan dan mengabaikan kepastian. Dengan dua kovenan (dan juga berbagai konvensi HAM) yang bisa dikatakan sebagai ‘keadilan yang pasti’, ketegangan itu terjembatani. Adagium kuno “summum ius summa iniuria” mulai mendapat jalan tengah. 7. Selain itu, dalam masyarakat modern yang melihat hukum sebagai kontrak sosial yang bersifat kompromis, the International Bill of Rights (DUHAM, KIHESB dan KIHSP) bisa juga dipandang sebagai batas dari batas. Artinya, ketika hukum dilihat sebagai ‘batas’ berdasarkan kesepakatan bersama, the International Bill of Rights adalah batas dari kompromi itu. Perlu dicatat bahwa dalam masyarakat modern yang diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi yang kental, akan semakin banyak pihak yang terlibat dalam perdebatan menentukan batas. Kompromi keadilan yang akan disepakati bisa menjadi sangat minimal, dan kembali mencederai martabat manusia, apalagi karena de facto pihak-pihak yang terlibat tidak setara. 8. Hanya saja, dengan menjadi hukum yang bersifat kompromis dan minimal itu, KIHESB dan KIHSP beserta ‘anak-anaknya’ tidak lepas dari persoalan filosofis seputar hukum pada umumnya. Mereka akan mempunyai ‘lubang’ yang biasa disebut sebagai lacunae legis. Sebelum lebih jauh tentang lacunae legis yang ada, perlu dicatat lebih dahulu bahwa lacunae legis ini adalah hal yang wajar, tidak bisa dihindarkan. Bahkan, dalam arti tertentu, lacunae legis adalah potensi untuk suatu perkembangan, dan perkembangan hukum adalah sebuah 3
Kalimat terkenal ini tercantum dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 april 1887. Ada tiga kelemahan dasar manusia, yaitu cenderung egosentris, pelupa dan tidak mau repot. Fungsi hukum terutama memberi bantuan eksternal untuk dua kelemahan pertama. Hukum lalu berfungsi ‘memaksa’ seorang individu untuk keluar dari sarang egosentrisme-nya, dan tujuan kedua menjadi sarana pengingat.
4
2
keniscayaan jika mau menjamin keadilan. Lex semper reformanda! Meski begitu, lacunae legis ini perlu dicermati karena bisa memberi celah pada penyalahgunaan atau penyimpangan. 9. Setidaknya ada enam lacunae legis yang perlu diperhatikan dalam hukum HAM, dan yang dimaksud dengan hukum disini adalah perumusan sampai penerapannya, bukan hanya yang tertulis. Dalam perumusan, sudah terjadi lacuna pertama, yaitu adanya jarak antara konsep dengan hasil komprominya. Kemudian, ketika sudah menjadi rumusan hukum, mulai terjadi lacunae yang lain. Lacuna kedua terjadi karena, sebagai konsekuensi logis dari sifat kompromis, hukum HAM secara keseluruhan bukanlah sebuah traktat filsafat yang komprehensif. Artinya, masing-masing pasal bisa saja bertabrakan dan menimbulkan patahan. Lacuna ketiga terjadi ketika rumusan itu masuk dalam dimensi spatial (‘ruang’) tertentu, yang wujudnya adalah masyarakat yang nyata. Makna semantik dari rumusan itu tidak mungkin bisa persis sama dengan makna semantik rumusan itu dalam masyarakat yang nyata. Apalagi kalau kemudian dimasukkan dalam dimensi temporal (waktu) yang terus bergerak dan membawa perubahan makna semantik. Jarak makna semantik dalam alur waktu ini menjadi lacuna keempat. Het recht hinkt achter defeiten aan! Rumusan hukum yang bersifat umum (generalisasi) pasti tertatih-tatih mengikuti dinamika masyarakat dengan segala kompleksitasnya. Selanjutnya, lacuna kelima terjadi dalam penafsiran. Baik karena ada jarak antara rumusan hukum dengan masyarakat maupun karena keterbatasan pribadi yang menafsir, suatu jarak antara isi tafsir dengan isi ‘asli’ suatu rumusan hukum tidak bisa dihindari. Jarak antara maksud rumusan dengan tafsir akan paling tampak dalam putusan hakim. Sementara itu, lacuna yang keenam atau terakhir adalah penerapannya, yang lebih terkait dengan keterbatasan penegak hukumnya. 10. Seiring dengan perkembangan jaman, berbagai lacunae tadi mendorong kelahiran berbagai pandangan tentang HAM. Karena itu, muncul apa yang disebut dengan HAM generasi I (hak-hak sipil dan politik), generasi II (hak-hak ekonomi, sosial dan budaya), dan generasi III (hak-hak kelompok, misalnya berkaitan dengan hak sebagai minoritas dan hak atas perdamaian serta hak atas lingkungan yang baik). Pun, berkembang pula kesepakatankesepakatan dalam level regional, sehingga dikenal the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR) pada tahun 1950, the American Convention on Human Rights (ACHR) pada tahun 1969 (yang didahului oleh the American Declaration of the Rights and Duties of Man, 1948) serta the African Charter on Human and Peoples’ Rights (ACHPR atau Banjul Charter) pada tahun 1981. Sementara itu, di Asia ada the Declaration of the Basic Duties of Asian Peoples and Governments pada tahun 1983. 11. Perkembangan itu tetap tidak mungkin menghindarkan ketegangan yang tercipta oleh lacunae di atas. Lacunae pertama yang bersifat konseptual antara lain menyisakan beberapa bentuk ketegangan. Secara konseptual, hukum HAM mengklaim sebagai bersifat universal, tetap masih banyak yang mempertanyakan klaim itu, misalnya dari sisi anthropologi (berdasar relativisme budaya), dari sisi ideologi, dari sisi gender dan juga dari sisi agama. Dari sisi budaya, banyak bangsa Asia ‘mencap’ konsep HAM sangat bersifat ‘barat.’ Dari sisi ideologi, kaum sosialis menganggap konsep HAM sangat berbau liberal. Dari sisi gender, kaum feminis mempersoalkan perlindungan yang lebih integral terhadap perempuan. Dari sisi agama, cukup banyak pihak Islam yang mempertentangkan konsep HAM dengan 3
nilai-nilai Islam sehingga muncul antara lain the Cairo Declaration pada tahun 1990 dan sebelumnya juga ada the Universal Islamic Declaration of Human Rights pada tahun 1981.
12. Selain ketegangan atau dilema antara hak yang satu dengan hak yang lain lacuna kedua juga menimbulkan beberapa dilema, antara lain: antara hak dengan kewajiban; antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara filosofis, ada ketegangan makna hak sebagai kebebasan dan sebagai yang sepantasnya diperoleh (entitlement). Disamping itu juga ada ketegangan antara otoritas yang diberikan pada lembaga HAM internasional dengan kedaulatan negara terkait dengan prinsip kedaulatan negara. Dilema-dilema itu pun kentara dalam penerapannya di Indonesia. 13. Dalam kaitan dengan lacuna ketiga, meski masyarakat modern tampak makin homogen, dalam pandangan sosio-epistemologis, keunikan masing-masing kelompok dengan budayanya juga makin diakui. Ditambah dengan makin perkembangnya post-modernisme dan post-strukturalisme, yang pada dasarnya selalu menaruh curiga pada grand-narrative, kekhasan masing-masing kelompok, bahkan individu, itu makin mendapatkan pendasaran filosofisnya. Hal ini jelas bukan tantangan mudah pagi paham HAM yang bertumpu pada cerita besar (grand-narrative) tentang manusia yang diklaim sebagai universal.5 14. Pada jaman ini, terkait dengan lacuna keempat, ketika globalisasi menjadi salah satu kata kunci untuk memahami jaman, persoalan HAM menghadapi persoalan lain lagi. Kosmologi dunia sudah berbeda dengan jaman 50 tahun lalu ketika DUHAM dirumuskan. Dalam DUHAM dan anak-anaknya, hak-hak asasi seorang pribadi dilindungi berhadapan hanya dengan kesewenangan negara. Sekarang ini, kekuatan politis tidak hanya pada negara. Setidaknya secara de facto, kekuasan besar ada di tangan para pemegang modal, khususnya multi-national corporations atau trans-national corporations. Pun, dalam dunia yang tunggang-langgang dengan kecepatan teknologi transportasi dan komunikasi, yang juga memunculkan gejala terpisahnya ruang dan waktu,6 hukum pada umumnya, serta hukum HAM pada khususnya, mendapat tantangan baru yang perlu segera dijawab. 15. (Tentang perkembangan dan situasi HAM di Indonesia, lihat lampiran 3.)
5
Tentang perdebatan ini dan sekaligus usulan jalan keluarnya, baik dibaca pendapat Richard Rorty, seorang filsuf yang sering dikategorikan sebagai post-strukturalis dalam Richard Rorty, “Human rights, rationality, and sentimentality”. In S.Shute & S. Hurley (eds.) On Human Rights: the Oxford Amnesty Lectures 1993, (New York; Basic Books, 1993). 6 Kompleksitas masyarakat modern di era global ini diuraikan dengan sangat rinci oleh Antholy Giddens dalam The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1996.
4
Lampiran 1 Sumber dari internet yang penting: http://www.ohchr.org (lebih cepat di http://www.ohchr.org/EN/Pages/WelcomePage.aspx) Buku-buku yang baik untuk dijadikan referensi: (Selain buku-buku yang telah disebut di atas)
Tentang hak-hak asasi manusia: Cassesse, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah (terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Ceunfin, Frans (ed.), Hak-hak Asasi Manusia: Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004). Davidson, Scott, Human Rights, (Buckingham: Open University Press, 1993). Hayden, Patrick, The Philosophy of Human Rights, (St. Paul: Paragon House, 2001). Thomson, Judith Jarvis, The Realms of Right, (Cambridge & London: Harvard University Press, 1990). Tentang filsafat hukum Care, Norman S., & Thomas K. Trelogan (ed.), Issues in Law and Morality, (Cleveland: The Press of Case Western Reserve University, 1973). Dworkin, R.M. (ed.), The Philosophy of Law, (New York: Oxford University Press, 1977). Fuller, Lon L., The Morality of Law, (London: Yale University Press, 1969). Hacker, P.M.S, & J. Raz (ed.), Law, Morality, and Society: Essays in Honour of H.L.A. Hart, (Oxford: Clarendon Press, 1988). Patterson, Dennis M. (ed.), A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, (Oxford: Blackwell , 1999). Tebbit, Mark, Philosophy of Law: An Introduction (2nd Edition), (London: Routledge, 2005).
5
Lampiran 2
MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA
Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Bahwa pengabaian dan penghinaan terhadap hak asasi manusia telah mengakibatkan tindakantindakan keji yang membuat berang nurani manusia, dan terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan, serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi manusia pada umumnya, Bahwa sangat penting untuk melindungi hak-hak asasi manusia dengan peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir menentang tirani dan penindasan, Bahwa sangat penting untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa, Bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam PBB telah menegaskan kembali kepercayaan mereka terhadap hak asasi manusia yang mendasar, terhadap martabat dan nilai setiap manusia, dan terhadap persamaan hak laki-laki dan perempuan, dan telah mendorong kemajuan sosial dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas, Bahwa bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Negara Pihak telah berjanji mencapai kemajuan universal dalam penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar, Bahwa pemahaman yang sama tentang hak-hak dan kebebasan ini sangat penting dalam untuk mewujudkan janji tersebut sepenuhnya, Oleh karena itu, dengan ini Majelis Umum, Memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai standar umum keberhasilan semua manusia dan semua bangsa dengan tujuan bahwa setiap individu dan setiap organ masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha melalui cara pengajaran dan pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap hak dan kebebasan ini, dan melalui upayaupaya yang progresif baik secara nasional dan internasional, menjamin pengakuan dan ketaatan yang universal dan efektif, baik oleh rakyat Negara Pihak maupun rakyat yang berada di dalam wilayah yang masuk dalam wilayah hukumnya.
6
Lampiran 3 Masa Konteks Konseptual/ Ideologi
Legal
POKOK-POKOK GAGASAN tentang HAM DI INDONESIA oleh Al. Andang L. Binawan 1945Paruh pertama Euphoria kemerdekaan Pancasila dan asas kekeluargaan (negara integralistik) Æ kewajiban! Ide negara hukum (rechtsstaat) a. UUD ’45 ps. 27-33 b. UUD RIS (1949) dan UUDS (1950) Æ lebih terpengaruh DUHAM: 25 hak asasi c. gabung PBB (1950)
1966 Paruh kedua Demokrasi Terpimpin (1959) a. Pancasila b. revolusi belum selesai
a. Konstitusi yang ‘gagal’: Dewan Konstituante Æ ‘Islamis’ vs ‘nasionalis’ b. UU no. 11/PNPS/1963 ttg Tindak Pidana Subversi
c. keluar dari PBB 1965, masuk lagi 1966
1966Paruh pertama Euphoria ‘Orba’ ‘pemurnian Pancasila’ a. stabilitas keamanan b. pemulihan ekonomi a. Tap MPRS no. XXV/MPRS/1966: larangan thdp PKI b. Keppres 14/1967: ‘anti’ China c. panitia ad hoc MPRS: Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara (1968)
1998 Paruh kedua Asas Tunggal (1978) a. ideologi pembangunan dan pendekatan keamanan b. relativisme HAM a. Tap MPR no. II/MPR/1978 b. GBHN 1983 & 1988: pentingnya stabilitas nasional, ketertiban umum dan kesatuan nasional c. UU Subversi d. Komkamtib e. ratifikasi 5 konvensi internasional (mulai th. 1980) dan Konvensi ILO f. Komnas HAM (Keppres no. 50/1993)
Faktual/ penerapan
a. penumpasan pemberontakpemberontak (Madiun, DI/TII, dll) b. melawan ‘anti-revolusi’
a. pembunuhan ‘anggota PKI’
7
a. penahanan, penculikan, pembatasan partai politik b. vs ‘pemberontak’: Priok, Aceh, Papua
1998-2011 Euphoria Reformasi a. demokratisasi
a. Keppres no. 129/1998 ttg Rncna Aksi Nasional HAM Indonesia b. Keppres no. 181/1998 ttg Komnas Anti Kkrasan thdp Perempuan c. UU no. 39/1999 ttg HAM + UU 26/2000 ttg Pengadilan HAM d. Keppres no. 6/2000: mencabut Keppres 14/1967: pengakuan thdp orang ‘China’ e. UUD ’45 yang diamandemen f. UU Politik 2003: multi-partai, pemilu presiden langsung g. UU KKR 2004 h. hak-hak sipil dan politik cukup terperhatikan i. ratifikasi 2 kovenan ‘babon’ j. UU Kewarganegaraan a. konteks makin berubah: kekuatan korporasi makin kentara b. hak ekososbud? c. struktur pelaksana hukum?
Beberapa Konvensi Internasional yang diratifikasi Indonesia: 1. the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW, 1980) 2. the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT, 1985) Æ lihat UU no. 5/1998 3. the International Convention against Apartheid in Sports (CAS, 1986) 4. the Convention on the Rights of the Child (CRC, 1990) 5. the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD, 1999) 6. The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (PIHESB) (30 September 2005) 7. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (PIHSP) (30 September 2005) (lihat http://www.unhchr.ch/pdf/report.pdf ) Beberapa masalah dasar dalam pembelaan HAM di Indonesia 1. Secara konseptual: a. hak vs kewajiban b.universalitas vs partikularitas (kekhasan nilai budaya) c. hak sipol vs hak ekososbud d. hukum sekular vs hukum agama (Islam) 2. Secara legal: a. belum ada struktur dan ‘budaya’ hukum yang kuat b. campur-tangan politik yang masih kuat (kasus: keadilan transisional) c. dua kovenan internasional ‘dasar baru diratifikasi Indonesia,’ sehingga belum sungguh dijadikan dasar hukum di Indonesia d. pelaksana hukum juga masih sangat lemah 3. Beberapa masalah yang sangat rentan pelanggaran HAM di Indonesia a. tanah (termasuk petani) b. perburuhan c. minoritas (termasuk agama)
Bacaan Penunjang: Lubis, Todung Mulya. In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama and SPES Foundation, 1993. Naning, Ramdlon, S.H. Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia dan Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983.
8