Problema UU Zakat Indonesia (Refleksi Misi al-Siyasah al-Syar'iyyah) Muh. Said* Abstrak: Berbagai peraturan sudah menyertai pengelolaan zakat di Indonesia, mulai zaman kolonial Belanda-pun sampai lahirnya beberapa tahun yang lalu secara yurudis yang namanya UU No. 38/1999. Memang panjang rentang sejarahnya, problematikanya banyak menyita waktu, tenaga dan fikiran serta perdebatan, tidak seperti eksis dan urgensinya sebagaimana lahirnya UU lainnya dan perealisasiannya, seperti UU pajak misalnya. Tetapi bagaimana-pun, tetap harus diakui bahwa upaya-upaya mengeksiskan sekaligus mengefektifkan pengelolaan zakat di negeri ini, merupakan kewajiban syari’ah, maka adalah suatu tanggung jawab moral dan sosial bagi setiap muslim dan pemerintah untuk merealisasikannya. Bukankah secara keyakinan bahwa dengan pengelolaan dan pemanfaatan social hasil zakat dengan baik lagi benar, jauh akan lebih menjanjikan bagi ummat ketimbang dengan hasil pajak itu sendiri. Oleh karena itu idealnya persoalan-persoalan kepentingan agama tetap dalam kerangka masalah politik sekaligus, dan itu adalah misi terpenting dalam substansi alSiyasah al-Syar’iyyah. Kata kunci: al-siyasah al-syar’iyyah, UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, sosialisasi dan optimalisasi
Latar Belakang Pemikiran Tak dapat disangkal bahwa tata aturan-aturan Islam itu adalah tata-aturan yang “bersifat politik dan bersifat agama” sekaligus.1 Hal itu adalah karena hakikat Islam dengan perangkat * Dosen tetap pada Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 1 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, edisi 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), p. 13-14. Sebagai perbandingan, semua orang mengakui bahwa semua tata-aturan yang Rasulullah Saw. tegakkan bersama-sama para shahabat kaum muslimin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapat dikatakan bahwa tata-aturan itu merupakan tata-aturan politik. Dalam pada itu
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
472
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
ajaran-ajarannya yang bersifat komprehensif dan universal, senantiasa melengkapi segi-segi maddiyah (material) dan segi-segi ruhiyah (spiritual), dan dia mencakup segala ‘amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Jadi adalah suatu kepicikan moral dan social bila ada orang yang dengan mudah menyuarakan kata bahwa “agama adalah suatu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain”. Sebagaimana dipahami bahwa ketika memperbicangkan tentang substansi al-Siyasah al-Syar’iyyah, maka pada hakekatnya tak dapat dipisahkan dari pembahasan dan pembicaraan tentang hukum Islam secara keseluruhan (kaffah). Sebab bukan saja ia merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum Islam (fiqh), tetapi juga dengan cara demikian akan dapat dipahami dan diketahui dimana letak posisi al-Siyasah al-Syar’iyyah dalam sistem hukum Islam itu sendiri. Secara umum sebagaimana dipahami bahwa hakekat al-Siyasah al-Syar’iyyah, ialah hukum, kebijaksanaan atau peraturan-peraturan yang berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan Negara dan mengatur urusan ummat manusia, hukum mana sejalan dengan jiwa syari’ah, sesuai dengan dasardasarnya yang universal serta dapat merealisasikan tujuantujuannya yang bersifat social kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditujukan oleh nash-nash tafshili yang juz’i dalam AlQur’an dan al-Sunnah”2 tidak ada halangan untuk kita katakan bahwa tata-aturan itu berciri keagamaan. Istilah Harun Nasution, bahwa Muhammad Saw sebagai Rasul secara otomatis menjadi kepala Negara. Baca Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), p. 101 2 Bandingkan juga menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syar’iyyah, (tanpa tahun penerbit), p. 7-8, dan 10 , bahwa Siyasah dalam istilah ahli fikih adalah nama bagi aturan-aturan, hukum-hukum dan tindakantindakan yang dilakukan untuk mengendalikan urusan rakyat, baik dalam pemerintahan maupun dalam bidang perundang-undangan, peradilan dan dalam kekuasaan pemerintahan, baik mengenai pelaksanaan (tanfiziyah) maupun mengenai pemerintahan (idariyah) dan dalam hubungan-hubungan dengan luar negeri (kharijiyah). Oleh karena itu ketika dikatakan Siyasah Syar’iyyah, maka substansi dimaksud harus bersendi kepada dasar-dasar yang ditunjuki oleh syari’at Islam. Maka dengan demikian setiap hukum yang
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
473
Dengan demikian substansi penting dalam al-Siyasah alSyar’iyyah, tidak terlepas dari berbagai unsur-unsur yang harus senantiasa sejalan, yaitu: (1) berupa kebijakan-kebijakan, hukum atau aturan, (2) dibuat oleh penguasa/pemerintah sesuai sistemnya, (3) diwujudkan untuk kemashlahatan bersama (rakyat), dan (4) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum syari’at Islam, sesuai dalam salah satu kaidah dikatakan, “di mana ada kemashlahatan di sanalah ada syari’at Allah”3. Khususnya kajian terhadap al-Siyasah al-Syar’iyyah ini, pada umumnya meliputi tiga aspek utama,4 yaitu sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan aspek dusturiyah (tata negara), yang meliputi aturan-aturan pemerintah, dan prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintah, serta aturan yang berkaitan dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan Negara. Dengan kata lain pembahasan yang berkenaan dengan hal tersebut, mencakup didalamnya masalah alTasyri’iyyah, al-Tanfizdiyyah dan al-Qadhaiyyah.5 dikehendaki oleh kebutuhan ummat dan setiap aturan yang dipergunakan untuk mengendalikan urusan ummat, tergolonglah kedalam siyasah syar’iyyah apabila hal itu di tegakkan atas dasar-dasar syari’at yang kulli. 3 Yusuf Al-Qardhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Al-Syari’ah Baina al-Maqashid alKlliyyah wa An-Nushush al-Juz’iyyah, terj. H.Arif Munandar Riswanto, edisi 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), p. 118-119, menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa kaidah tersebut, bisa diterima dalam kejadian yang tidak ada teksnya atau teks yang mengandung berbagai penafsiran yang salah satu cara untuk menguatkannya adalah dengan kemashlahatan. Selain dalam hal tersebut, maka kaidah harus berbunyi “di mana ada syari’at Allah di sanalah ada kemashlahatan manusia”. 4 Muhammad Syarif Jalal, dk. Al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam Syakhshiyat wa madzahib, (Mesir: Daar al-Jami’ah al-Mishriyah, 1978), p. 136, dan TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar…., p. 8-9 5 Dustur al-Tasyri’iyyah, mencakup kekuasaan atau kewenanan pemerintahan Islam untuk menetapkan hokum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan dalam masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah Swt dalam syari’at Islam. Kekuasaan membuat produk hukum (legislatif), tidak boleh menyimpang dari syari’at Islam. Dustur al-Tanfizdiyah, mencakup kekuasaan atau wewenang pemerintah untuk melaksanakan dan menjalankan roda pemerintahan, serta undang-undang yang telah dibuat oleh kekuasaan
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
474
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
2.
Berkenaan dengan aspek kharijiyah (diplomasi luar negeri), yang meliputi hubungan Negara dengan Negara lainnya, dengan berbagai kaidah-kaidah yang melandasi hubungan tersebut, dan termasuk persoalan tata-aturan tentang perang dan damai antar negara. 3. Berkenaan dengan aspek maliyah (pendapatan/keuangan), yang meliputi sumber-sumber keuangan Negara dan belanja Negara, yang pemanfaataannya untuk kemashlahatan dan kesejahteraan ummat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembahasan yang ingin diketengahkan dalam tulisan berikut ini, ialah yang ada hubungannya dengan aspek maliyah tersebut, yakni yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi ummat bangsa ini, khususnya dalam masalah zakat, urgensi dan pengelolaannya di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU N0. 38/1999. Istilah “zakat” yang selama ini sudah kita kenal adalah suatu bentuk ibadah maliyah ijtima’iyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan social kemasyarakatan), dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai fungsi serta peranan sangat strategis dalam syari’at Islam. Selain berfungsi sebagai sarana untuk membersihkan jiwa manusia dari sifat-sifat tercela seperti kikir, rakus dan egois yang dapat menghambat manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, zakat juga berperan dalam meningkatkan ekonomi ummat, karena dapat memberikan solusi terhadap problema kemiskinan yang menimpa umat Islam, memeratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, serta merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan
legislatif dan eksekutif Negara. Dustur al-Qadhaiyah, mencakup kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman (yudikatif). Kekuasan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampa pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata mapun pidana. Baca, Abdul Aziz Dahlan (et al), Ensiklopedi Hukum Islam, edisi 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), p. 1661 dst.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
475
kesejahteraan masyarakat yang bermuara pada terwujudnya keadilan social.6 Namun sangat disayangkan sampai hari ini, ternyata ada beberapa Negara di dunia ini yang menjadikan Islam sebagai landasan Negara, tetapi ternyata kekuasaan tersebut hanya untuk sekedar mengundang-undangkan zakat sebagai kewajiban nasional. Sementara sistem pajak ternyata tetap lebih dikenal (prioritas utama pengelolaannya) daripada zakat.7 Pada hal dalam hubungannya dengan lembaga kekuasaan atau pemerintahan suatu Negara (Islam atau mayoritas muslim), eksistensi dan urgensi masalah zakat harus merupakan keputusan social (agama) dan politik sekaligus. Lalu bagaimana upaya negeri nusantara tercinta ini, yang beberapa tahun terakhir ini, yakni pada tahun 1999 telah melahirkan UU tentang pengelolaan zakat ? Urgensi Kewajiban Berzakat Mengingat betapa urgensi atau pentingnya kedudukan zakat, Allah Swt berulangkali memerintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa menunaikan atau membayar zakat. Di 6 Bandingkan, Syeikh Mahmoud Syaltout, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Jilid 2, edisi 2, terj. Bustami A. Gani, dk. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), p. 35, bahwa zakat itu adalah ibadah harta benda yang dipentingkan oleh Islam (wajib hukumnya, atau fardhu a’in bagi orang-orang Islam yang memiliki harta benda melebihi kebutuhan primernya) supaya orang kaya memberikan pertolongannya kepada orang miskin, hingga dapat memenuhi hajatnya, atau memberikan bantuan guna kepentingan umum untuk dapat merealisasi kepentingan tersebut. 7 Adapun perbedaan kedunya: Pajak merupakan kewajiban sebagai warga Negara Indonesia, sedangkan zakat merupakan kewajiban sebagai muslim. Pajak berdasarkan aturan dari pemerintah Indonesia, sedangkan zakat berdasarkan perintah Allah Swt dalam al-Qur’an. Pajak diserahkan kepada kantor pajak, sedangkan zakat diserahkan kepada badan amil zakat (BAZ). Pajak besar nominalnya fleksibel, sedangkn zakat besar nominalnya konstan. Pajak, penyalurannya untuk pembangunan dan keperluan kenegaraaan lainnya, sedangkan zakat penyalurannya sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Pahami perbedaan dan persamaan antara keduanya lebih lanjut, Muh. Said, Pengantar Ekonomi Islam, Dasar-dasar dan Pengembangan, edisi 1, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), p. 115-117.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
476
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
dalam al-Qur’an, perintah untuk membayar zakat (sedekah dan infaq) untuk kebaikan serta anjuran memberi makan kepada fakir miskin disebutkan tidak kurang dari 115 kali (kewajiban zakat bersama dengan kewajiban shalat di 82 tempat). Sementara itu, kata-kata shalat (baik dalam bentuk kata benda maupun kata kerja) hanya disebut sebanyak 67 kali, puasa (shiyam/shaum) sebanyak 13 kali, dan haji 10 kali.8 Hal ini tentu bukanlah suatu redaksi teks kebetulan, melainkan sudah pasti mengandung nilainilai filosofi atau hikmah yang sangat dalam. Di antaranya adalah untuk menunjukkan kepada manusia bahwa keshalehan social yang dimanifestasikan dalam bentuk pemenuhan membayar zakat (sedekah dan infaq) tidak kalah pentingnya disbanding dengan shalat, puasa dan haji. Karena tuntutan Allah Swt kepada para hamba-Nya agar menjadi orang-orang yang shaleh, bukan hanya shaleh secara individual melainkan juga shaleh social. Kalau perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman seseorang sebagai hamba Allah pada dimensi spiritual yang bersifat personal, maka perintah zakat, sedekah dan infaq dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman seseorang sebagai khalifah Allah pada dimensi etis dan moral yang terkait dengan realitas social. Sejarah telah mewariskan, bahwa zakat memiliki peranan sangat penting terhadap perkembangan umat Islam di seluruh dunia. Banyak sekali sarana ibadah seperti masjid dan mushalla, sarana pendidikan seperti pondok pesantren, madrasah dan perguruan, serta sarana social seperti panti asuhan dan asrama penampungan anak-anak yatim yang dibangun di atas tanah wakaf, dan dibiayai dari dana-dana zakat.9 Zakat yang menjadi salah satu tiang penyangga bagi tegaknya marwah Islam dan ajarannya, serta menjadi kewajiban bagi pemeluknya membawa 8
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadzi al-Qor’an al-Karim, (Bairut: Daar al-Fikr, tt.), p. 420-421, 524-526, dan 529, bandingkan ; Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, edisi 2, (Jakarta: Masagung, 1991), p. 219 9 Hamdan Rasyid, Peranan Zakat dan Wakaf Dalam Peningkatkan Ekonomi Ummat, (Makalah International Seminar on Islamic Solution), Medan: 18-19 September 2005, p. 490-491.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
477
misi memperbaiki hubungan horizontal antara sesama manusia, sehingga pada akhirnya mampu mengurangi gejolak akibat problematika kesenjangan dalam hidup mereka. Selain itu, zakat juga dapat memperkuat hubungan vertical manusia dengan Allah, karena Islam menyatakan bahwa zakat merupakan bentuk pengabdian (ibadah) kepada Yang Maha Kuasa. Agama Islam telah menyatakan dengan tegas, bahwa zakat merupakan salah satu rukun dan fardhu yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang hartanya sudah memenuhi criteria dan syarat tertentu. Seseorang yang telah benar-benar memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa “dengan tekanan penguasa”. Oleh karena itu, agama menetapkan “amilin” atau petugas-petugas khusus yang mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap mereka yang enggan. Otoritas fikih Islam yang tertinggi, al-Qur’an dan al-Hadits menyatakan hal tersebut dalam banyak kesempatan. Jumhur ulama-pun sepakat, bahwa zakat merupakan suatu kewajiban dalam agama yang tak boleh diingkari (ma’lum min alDin bi al-Dharurah). Artinya, siapa yang mengingkari kewajiban berzakat, maka ia dihukum telah kufur terhadap ajaran Islam.10 Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indicator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (QS.9: 5) dan (QS.9: 11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (QS.23: 4), dan ciri mukimin yang akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah Swt (QS.9: 73, dan QS.22: 40-41). Kesediaan berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan 10
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, edisi 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), p. 56, 58, dan bandingkan M.Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an, edisi1 1, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), p. 506. Syarat-syarat dimaksudkan antara lain ; 1). Harta milik sempurna yang diperoleh dari bekerja, dari harta warisan, dan dari pemberian secara sah. 2). Mencapai nisab, mencapai ukuran tertentu, dan 3). Telah mencapai masa satu tahun untuk jenis harta tertentu, dan untuk hasil pertanian dikeluarkan zakatnya pada saat panennya.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
478
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat-sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus dan tamak, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, menyucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya (QS.9: 13, dan QS.30: 39). Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya (QS.9: 34-35). Sementara dalam kehidupan dunia sekarang, orang yang enggan berzakat memassal, maka Alah Swt akan menurunkan berbagai azab, seperti musim kemarau yang panjang. Atas dasar itu, suatu ketika shahabat Abdullah Ibn Mas’ud menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Siapa yang tidak berzakat, tidak ada shalat baginya”. Rasulullah Saw. juga pernah menghukum Tsa’labah yang enggan berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan. Tak ada seorang shahabat-pun yang mau bershahabat atau berhubungan dengannya, meski hanya sekedar bertegur sapa. Demikian pula khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad akan memerangi orang-orang yang mau shalat tetapi enggan untuk berzakat. Ketegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan, dan bila hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan pelbagai kedurhakaan dan kemaksiatan yang lain.11 Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu, karena dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahiq, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Syukri Iska’ bahwa hikmah dan manfaat tersebut antara lain adalah : 11
Syukri Iska’, Manajemen Zakat dan Wakaf Dalam Peningkatan Ekonomi Ummat, dalam Proceedings of International Seminar on Islamic Economics As A Solution, Medan: 18-19 September 2005, p. 275
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
479
Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah Swt, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan menyucikan harta yang dimiliki (QS.9: 103, QS.30: 39, dan QS.14: 7). Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahiq, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebh sejahtera, sehingga mereka dapa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah Swt, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Ketiga, sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniya’(hartawan-konglomerat), dan yang berkecukupan hidupnya dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya (QS.2: 273). Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun social-ekonomi, dan terlebih-lebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (QS.9: 71). Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathi. Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya. Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkin membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
480
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
ekonomi growth with equity, dan sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar.12 Tujuan Filosofis Berzakat Sebagaimana dipahami bahwa ibadah zakat ini adalah peraturan agama yang akan memelihara kemerdekaan dan kebebasan bagi perseorangan dalam bekerja dan berusaha, dan menjaga hak masyarakat atas perseorangan didalam bentuk pertolongan dan gotong royong. Dengan demikian, menurut Mahmud Syaltut, “dia menempatkan prinsip Islam yang umum, yaitu memikulkan kepada perseorangan sebahagian dari hak-hak masyarakat dan sebaliknya memikulkan kepada masyarakat sebahagian dari hak-hak perseorangan.13 Atau dengan kata lain, bahwa zakat itu hanyalah memindahkan sebahagian harta kekayaan sesuatu ummat dari satu tangan, yaitu tangan yang mengurusnya, yang diberi kuasa oleh Allah Swt untuk memelihara, mengelola, memperkembangkannya, memanfaatkanya serta mempergunakannya secara baik dan leluasa. Ialah tangan orang-orang kaya, kepada tangan yang lain, yaitu tangan yang berusaha, yang menderita, yang mana hasil usahanya itu tidak dapat mencukupi hajatnya, atau yang sama sekali tidak kuasa untuk berusaha dan rezkinya dijadikan Allah tergantung kepada dan dari harta orang-rang kaya tersebut. Dan tangan ini ialah tangan orang-orang fakir miskin.14 Hal tersebut sesuai Firman Allah Swt, dalam surat al-Nur ayat 33, yang artinya “berikanlah kepada mereka itu harta Allah yang telah diberikannya kepadamu”. Demikian pula dalam surat al-Hadid ayat 7, yang artinya “dan nafkahkanlah oleh kamu sebagian harta yang telah 12
Ibid , p. 276-277, sebagaimana ia kutif bahwa zakat menurut Mustaq Ahmad adalah sumber utama kas Negara, sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonmi yang dicanangkan al-Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. 13 Mahmuod Syaltout, Al-Islam…, p. 35-36 14 Ibid, p. 38-39
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
481
dikaruniakan Allah kepadamu, yang kamu telah diberinya kuasa untuk mengurusnya”. Menurut Sayyid Quthub,15 bahwa zakat merupakan bentuk nyata dari aplikasi solidaritas social yang nyata, setidaknya ada dua fungsi utama yang mengindikasikan hal tersebut, yaitu: 1). Zakat sebagai asuransi social dalam masyarakat muslim. Sebab nasib manusia tidak konstan pada satu kondisi saja. Adakalanya, orang yang wajib membayar zakat pada masa tertentu karena memiliki kekayaan yang banyak, pada masa berikutnya ia malah termasuk orang yang berhak menerima zakat karena musibah yang membuatnya miskin. 2). Zakat juga berfungsi sebagai jaminan social, karena memang ada orang-orang yang selama hidupnya belum memiliki kesempatan mendapatkan rezki melimpah, karena itu orang-orang Islam lain berkewajiban membantu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sketsa Historis Peraturan Zakat Indonesia dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pemerintahan suatu negara (Islam atau mayoritas muslim), tentu memainkan peranan yang sangat penting dalam mengelola sekaligus memberdayakan keberadaan hasil zakat. Karena melalui kekuasaan merupakan awal penopang akan tegaknya syari’at Allah di muka bumi. Tanpa landasan dan kawalan yudicial yang kuat dari Negara (pemerintah), tak mungkin ajaran agama dapat berjalan secara optimal. Seperti telah disinggung, bahwa di dunia ini memang ada beberapa Negara yang menjadikan Islam sebagai landasan Negara (mudah-mudahan Indonesia tidak termasuk), tetapi ternyata melalui modal kekuasaan hanya untuk sekedar mengundang-undangkan zakat sebagai kewajiban nasional. Sementara sistem pajak misalnya ternyata tetap lebih dikenal daripada zakat.16 Sehingga ada kesan social bahwa ternyata masalah pajak menjadikan prioritas utama dan primadona 15
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Juz 10, (Bairut: Daar Ihya’ al-Turats al‘Araby, 1971), p. 244. 16 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam…, p. 67.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
482
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
pemerintah dalam upaya pengelolaan dan pemberdayagunaannya ketimbang dengan masalah zakat. Barangkali, hanya di sebagian kecil Negara Islam yang sudah menjadikan zakat sebagai kewajiban Negara, itu pun baru dilakukan beberapa tahun belakangan ini, termasuklah mungkin misalnya negeri nusantara tercinta ini. Indonesia sebagai sebuah Negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, tentunya persoalan zakat-pun menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan social masyarakatnya. Sejarah perkembangan zakat di Indonesia, mengalami suka duka perjuangan, proses jalan panjang hingga saat ini. Di sisi lain mungkin diakui bahwa sejak Islam masuk ke Indonesia, secara otomatis ajaran zakat-pun langsung berakumulasi dengan kehidupan masyarakat. Namun, kultur Indonesia yang mewarisi kebudayaan lama tidak dapat hilang begitu saja dari kebiasaan masyarakat. Hingga saat ini, masyarakat masih ada yang memahami bahwa zakat harus diberikan kepada golongan masyarakat tertentu (ulama dan bangsawan), akibat warisan kebudayaan tersebut. Barangkali, hanya sedikit saja zakat yang benar-benar sampai kepada mereka yang berhak (mustahiq).17 Sebenarnya sejak abad XVI sampai awal abad ke-19, masa pemerintahan colonial Belanda telah mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi tentang peraturan zakat hindia Belanda. Hal itu dilakukan untuk mencegah penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu, sekaligus untuk melemahkan ekonomi rakyat yang bersumber dari zakat. Kemudian dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905, pemerintah hindia Belanda melarang para priyayi pribumi untuk ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Pergumulan yang hebat itu, berlanjut hinngga muncul Oraganisasi-oragaisasi pergerakan pada awal ke XX. Misalnya Serikat Dagang Islam (1905) yang kemudian berubah nama menjadi Syarikat Islam (1912), yang merupakan organisasi penggerak ekonomi muslim, namun kurang memperhatikan 17
Ibid, p. 68
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
483
persoalan zakat, lebih focus pada upaya peningkatan social ekonomi muslim pribumi, khsusnya kalangan pedagang batik serta membantu memajukan pendidikan Islam.18 Selanjutnya, pada masa awal pemerintahan orde baru, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 4 dan 5 tahun 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Sebelumnya juga pemerintah sudah mempersiapkan RUU tentang zakat pada tahun 1967. Akan tetapi, Menteri Keuangan saat itu menyatakan bahwa zakat tidak perlu diundangundangkan, cukup dalam peraturan Menteri Agama saja. Akhirnya, pada tahun yang sama, Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 tahun 1968, yang isinya tentang penundaan pelaksanaan peraturan Menag. Nomor 4 dan 5 tersebut. Angin segar kembali berhembus pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 26 Oktober 1968, ketika Presiden Soeharto dalam taushiyahnya menganjurkan untuk melaksanakan perhimpunan zakat secara intensif untuk menunjang pembangunan negara, dan beliau sendiri bersedia menjadi amil zakat tingkat nasional. Oleh Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta ketika itu), secara langsung merespon taushiyah tersebut dengan dibentuknya Badan Amil Zakat Infak dan Shodaqah (BAZIS) DKI Jakarta di penghujung tahun 1968. Langkah serupa-pun diikuti atau dilakukan di beberapa daerah-daerah propinsi lainnya, dengan dibentuknya institusi-institusi BAZIS daerah.19 Misalnya Aceh, Sumbar, Lampung, Jabar, Jatim, NTB dan Kalimantan Selatan, dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah masing-masing sebagai tindak lanjut dari seruan Presiden
18
M. A. Gani, Citra Dasar Pola Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, p.16, dan Muhammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995), p. 251 19 Muhammad Daud Ali, Ibid, p. 250-256. Di Propinsi Riau misalnya baru pada tahun 2000 dengan terbitnya Instruksi Gubernur Riau Nomor 258 tentang Pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah dari pejabat dan pegawai di Riau dalam rangka meningkatkan kepercayaan terhadap Badan Amil Zakat. Baca, Harian Riau Pos, Kamis, tanggal 22 Nopember 2001
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
484
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
tersebut di atas.20 Kemudian pada akhirnya, BAZIS semakin eksis keberadaannya setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29/1991, dan Nomor 47/1991. Selanjutnya sampai di era reformasi ini (sejak 1998), zakat semakin mendapat tempat dalam tatanan hukum Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri tentang zakat, yaitu sebagai berikut: 1. Pada tanggal 23 September 1999, disahkan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Dan pada tanggal itu pun diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara RI, Muladi, dengan Lembaran Negara RI tahun 1999 Nomor 164. 2. Tahun yang sama, diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 3. Tahun 2001, dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 8 tahun 2001, tentang Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). 4. Tahun 2003, dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 tahun 2003 tentang Pelaksnaan UU Nomor 38 tahun 1999 tantang Pengelolaan Zakat.21 Yang jelas bahwa dengan lahirnya berbagai peraturanperaturan dan Undang-undang tentang zakat ini, merupakan keinginan umat Islam Indonesia untuk lebih menyempurnakan pelaksanaan ajaran agamanya, merupakan kesadaran umat Islam yang makin tinggi untuk bersama-sama pemerintah ikut serta memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan. Lebih dari itu, dorongan menunaikan ibadah zakat seharusnya juga dipupuk, karena harapan kebaikan-kebaikan yang dapat ditimbulkannya. 20
Pedoman Zakat, 9 Seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1999/2000, p. 400 21 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), p. 711-744.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
485
Dan usaha-usaha merealisir pengembangan zakat dewasa ini terus berkembang, antara lain dilakukan oleh pemerintah daerah/propinsi sebagaimana telah disebutkan, demikian juga sejumlah desa di beberapa Kabupaten, usaha-usaha tersebut berjalan secara sukarela dengan bantuan dan dorongan pemerintah daerah.22 Akhirnya, dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, bagi ummat Islam Indonesia, tentunya di satu sisi merupakan suatu “berkah” hasil perjuangan panjang yang disertai dengan proses penuh suka duka, di sisi lain bahwa kedudukan zakat sudah menempati posisi formal dan memiliki payung hukum di negeri Nusantara ini. Tinggal bagaimana upaya-upaya yang seharusnya dilakukan, ketika potensi zakat serba menjanjikan dalam kerangka membangun social ummat dan ekonomi ummat, menjadikan ummat lebih berdayaguna kehidupannya, sejahtera material dan spiritual. Karena di kalangan Majelis Ulama Indonesia masih beranggapan sampai hari ini bahwa pengelolaan atau pengumpulan dana-dana social terutama yang berkaitan dengan zakat belum berjalan dengan baik dan optimal, baik dalam pelaksanaannya maupun dalam pemanfaatannya.23
22
Pedoman Zakat, p. 1-2 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, edisi 1, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), p. 152. Hal tersebut, senada apa yang dikatakan oleh Hamdan Rasyid, bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Lebih dari 87 % atau sekitar 200 juta penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sehingga Indonesia merupakan Negara muslim terbesar di dunia. Jika seluruh ummat Islam di Timur Tengah dihimpun menjadi satu, belum bisa menandingi jumlah penduduk muslim Indonesia. Sungguh-pun demikian, pelaksanaan dan pendayagunaan zakat sebagai rukun Islam ke tiga belum optimal dan masih jauh dari ideal. Akibatnya, zakat belum banyak berperan dalam memberikan solusi terhadap problema kemiskinan yang menimpa ummat Islam, memeratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, serta meningkatkan taraf ekonomi ummat.
23
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
486
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
Misi al-Siyasah al-Syar’iyyah dalam UU Zakat dan Implementasinya Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999, Bab III pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa “pengelolaan zakat dilakukan oleh BAZ yang dibentuk oleh pemerintah”. Melalui Undangundang tersebut, pemerintah mendirikan BAZ yang langsung di bawahi oleh Negara. Badan tersebut didirikan di semua tingkat pemerintahan mulai dari cakupan nasional hingga kecamatan (ayat 2). Posisi tersebut semakin kuat ketika Presiden RI mengeluarkan Keputusan Nomor 8 tahun 2001 tentang dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Dalam hal tersebut BAZNAS memiliki tugas-tugas pokok untuk merealisasikan misinya , antara lain sebagai berikut : 1. Meningkatkan kesadaran ummat untuk berzakat. 2. Mengarahkan masyarakat mencapai kesejahteraan baik fisik maupun non fisik melalui pendayagunaan zakat. 3. Meningkatkan status mustahik menjadi muzakki melalui pemilihan, peningkatan kualitas SDM, dan pengembangan ekonomi masyarakat. 4. Mengembangkan budaya “memberi lebih baik daripada menerima” dikalangan mustahik. 5. Mengembangkan manajemen yang amanah, professional dan transparan dalam mengelola zakat. 6. Menjangkau muzakki dan mustahik seluas-luasnya. 7. Memperkuat jaringan antar organisasi pengelola zakat. Atas dasar dimaksud menunjukkan sebagai Badan Amil Zakat, kegiatan pokok BAZNAS adalah menghimpun ZIS dari muzakki dan menyalurkannya kepada pihak-pihak mustahik, atau yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan agama (QS.9: 60). Meskipun zakat telah mendapatkan payung hukum di nusantara dengan dibentuknya BAZ ataupun BAZNAS berdasarkan Undang-undang, namun ini tidak berarti dalam pelaksanaannya, zakat berjalan mulus dan lancar.24
24
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam…, p. 72
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
487
Di antara factor-faktor yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan atau pengumpulan dan pendayagunaan zakat adalah sebagai berikut : a. Sempitnya pemahaman ummat Islam tentang jenis-jenis harta benda yang wajib dizakati. Pada umumnya masyarakat Islam Indonesia masih berpedoman pada kitab-kitab fiqih klasik, yang hanya menyebutkan ; Emas dan perak, Onta, Sapi (Kerbau), dan Kambing (Domba), Padi, Jagung dan Gandum, Anggur dan Korma, Harta perdagangan, Hasil tambang dan harta temuan. b. Kurang maksimalnya sosialisasi tentang kewajiban zakat kepada ummat Islam. Sungguh-pun zakat merupakan kewajiban agama, tetapi belum semua ummat Islam, khususnya para “aghniya” yang mengerti dan menghayati kewajiban zakat. Akibatnya mereka tidak membayar zakat dari harta kekayaan yang mereka miliki. c. Belum adanya undang-undang yang mewajibkan zakat dan memberikan sanksi pidana kepada para pelanggarnya (tidak seperti kewajiban bayar pajak). d. Belum optimalnya kinerja’amil dalam memungut dan mendistribusikan zakat. Pada masa Rasulullah Saw, zakat dapat terlaksana dengan baik karena beliau sendiri turun tangan untuk mengurusi pemungutan dan pendistribusian zakat. Disamping itu, beliau juga mengutus para petugas untuk menarik zakat dari para wajib zakat, kemudian mencatat, dikumpulkan, dirawat dan selanjutnya didistribusikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. e. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap para perugas (‘amil) zakat. Pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa’ alRasyidin, ummat Islam menaruh kepercayaan yang penuh kepada pemerintah, sehingga mereka dengan suka rela membayarkan zakatnya melalui para ‘amil yang dibentuk pemerintah. Karena pada masa itu zakat benar-benar disalurkan sesuai dengan peruntukannya. f. Zakat hanya didayagunakan secara konsumtif dan belum dikembangkan secara produktif. Berhubung zakat tidak Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
488
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
dikelola oleh suatu lembaga yang kredibel dan memiliki visi peningkatan ekonomi ummat, maka secara umum harta zakat yang telah dihimpun langsung didistribuskan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dan langsung dihabiskan untuk keperluan konsumtif. Akibatnya, secara umum zakat di Indonesia belum mampu meningkatkan taraf perekonomian ummat.25 Selain itu, undang-undang yang memayungi zakat-pun tidak lepas dari problem. Di antaranya adalah undang-undang ini tidak sekomplit undang-undang pajak yang terdiri dari lima undang-undang yang disahkan oleh presiden. Dan permasalahan lain yang masih menjadi kekurangan undang-undang tersebut antara lain sebagai berikut :26 a. Tidak memberikan tanggung jawab atas ‘amil zakat atau BAZ untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut zakat terhadap muzakki. b. BAZ tidak dibebankan tanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki. Sedangkan muzakki sama sekali tidak dibebankan sanksi dalam hal melanggar ketentuanketentuan zakat.
25
Hamdan Rasyid, Peranan Zakat…, p. 494-495, bandingkan Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998), p. 53, bahwa problema dalam proses aplikasi dan pelaksanaan zakat, antara lain ; pemahaman masyarakat tentang zakat masih minim, konsepsi fikih yang belum sempurna, benturan kepentingan, hambatan politis, sikap kurang percaya dari masyarakat, dan sikap tradisional masyarakat Indonesia yang masih kuat (memberikan zakat bukan pada mustahiknya). 26 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam…, p. 73-74, selain itu menurutnya, adalah pelaksanaan prinsip, aspek manajemen dan prosedur zakat belum terealisasi dengan sempurna. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: prinsip kesamaan (keadilan), kepastian (transparansi jumlah), ketepatan (kevalidan objek penerima zakat), dan prinsip ekonomis. Sedangkan aspek manajemen meliputi beberapa aspek, di antaranya: transparansi, sukarela, keterpaduan, profesionalitas dan kemandirian. Sedangkan prosedur pelaksanaan zakat meliputi: studi kelayakan, jenis usaha zakat (jika dijadikan sebagai modal usaha), bimbingan serta laporan.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
c.
d.
489
Tidak ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagibagi zakatnya kepada mustahik, apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang telah diberikan. Memungkinkan terjadinya pihak muzakki menjadi pihak yang dirugikan (terzdalimi). Misalnya ada insstitusi yang langsung memotong zakat terhadap karyawannya, dan tidak memberikan bukti setor zakat. Dan kalau memberikan kartu bukti telah bayar zakat-pun, kalau tidak ada pengesahan dari BAZ, apakah pihak perpajakan mau menerimanya ?
Percepatan Sosialisasi untuk Optimalisasi Zakat Diakui atau tidak, bahwa keterlambatan ummat negeri ini dalam upaya mengeksiskan pengelolaan dan pemberdayagunaan zakat jelas dalam proses. Mungkin merupakan hikmah untuk lebih baik, mulai sekarang dan untuk masa-masa mendatang, dengan lahirnya UU dimaksud, baru pada tahun 1999 dan berbagai keputusan, peraturan-peraturan yang menyertainya. Karena dengan modal payung hukum, yang merupakan hasil gesaan dan rumusan fikiran-fikiran ummat melalui produk lembaga legislatif (DPR), akan merupakan kepastian dalam proses untuk direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah (eksekutif), yang pada gilirannya harus diawasi pelaksanaannya oleh lembaga yudikatif. Bilamana lembagalembaga tersebut dengan berbagai prangkat-prangkatnya di daerah-daerah bisa berjalan dengan baik dan masing-masing berfungsi secara efektif, maka fungsi social zakat dan hasilnya akan baik dan optimal, menjadikan masyarakat bangsa ini dalam kehidupan yang lebih baik tentunya, sekaligus mengantarkan tujuan utama disyari’atkannya zakat dapat tercapai. Agar tujuan utama disyari’atkannya zakat dapat tercapai, yakni untuk memberikan kesejahteraan bagi ummat Islam dengan menciptakan pemerataan distribusi kekayaan, serta meningkatkan ekonomi ummat Islam, maka zakat harus
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
490
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
dioptimalkan melalui langkah-langkah antara lain sebagai berikut:27 1. Meningkatkan kesadaran ummat Islam akan tujuan diwajibkannya zakat serta mengembangkan pemahaman mereka tentang jenis-jenis harta benda yang wajib dizakatkan. Sampai hari ini, masih banyak dikalangan ummat sebatas pemahaman yang berkaitan dengan fikih klasik, pada hal dalam konteks kehidupan ekonomi modern, sudah merambah pada jenis harta benda lainnya, misalnya hasil jual beli jasa, keahlian, profesi atau apalagi informasi, ternak unggas, ikan tawar, budi daya walet, ternak kerang mutiara, minyak bumi, batu bara, hasil tambang, tanaman cengkeh, tembakau dan sebagainya. Dan selanjutnya diperlukan upaya pencarian terus menerus terhadap setiap kekayaan yang memiliki nilai ekonomi. Sebab semakin memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka semakin berhak untuk dikenakan zakat. 2. Mengintensifkan sosialisasi tentang kewajiban membayar zakat melalui khuthbah, ceramah, majelis ta’lim, media cetak, media elektronik dan berbagai media lainnya (promosipromosi massal). Hal ini disertai dengan uraian sejuk tentang hikmah dan manfaat zakat, pahala dan keberkahan hidup bagi orang-orang yang membayarkannya, serta siksa dan malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat bagi orangorang yang tidak membayarkannya. 3. Membuat undang-undang yang mewajibkan zakat dan memberikan sanksi pidana kepada para pelanggarnya. Di daerah Riau sudah mulai ada gesaan pemerintah setempat untuk menerapkan upaya-upaya pengawasan dan adanya sanksi dimaksud (Baca: Harian Tribun, Rabu tanggal 3 Desember 2008). 4. Mengoptimalkan kinerja ‘amil dalam memungut dan mendistribusikn zakat. Hal tersebut sesuai sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 38 Tahun 27
Hamdan Rasyid, Perananan Zakat…, p. 497-498.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
5.
491
1999, tentang pengelolaan zakat, adalah bertujuan: a). Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama. b). Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan social. c). Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Agar para ‘amilin (panitia) mampu melaksanakan tugas-tugas pokonya sebagaimana juga disebutkan dalam pasal 8, yakni mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama Islam, maka para ‘amilin harus ditingkatkan kualitasnya sehingga memenuhi criteria ; beragama Islam, bersifat adil, bersifat amanah dalam mengelola zakat, memiliki pengetahuan tentang ajaran Islam secara mendalam, khususnya yang berkaitan dengan berbagai aspek tentang zakat, dan memiliki kemampuan manajerial dalam pengelolaan zakat yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Mendayagunakan harta zakat untuk kegiatan produktif. Dengan demikian, tidak seluruh dana zakat didistribusikan kepada para mustahik dalam bentuk santunan, tetapi diberikan sebagai modal usaha giliran sehingga lebih berpotensi mendatangkan kesejahteraan dan meningkatkan perekonomian ummat Islam.
Kesimpulan Memahami substansi bahasan yang telah dipaparkan di atas, maka bagi penulis dapat berkesimpulan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Eksisnya UU Zakat Indonesia sejak 1999 dengan berbagai Keputusan dan Peraturan Pemerintah yang mendapinginya, merupakan bagian peran dan pesan moral al-Siyasah alSya’iyyah yang diupayakan kalangan ummat Islam dengan melalui proses perjuangan panjang, banyak menyita waktu, energi dan fikiran, serta suka duka tentunya.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
492
2.
3.
4.
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
Sampai hari ini, dalam upaya mengimplementasikan UU dimaksud, masih harus diakui belum berjalan dengan baik dan optimal. Tanda-tanda orientasi keseriusan upaya sudah ada dari aparat pemerintah, badan-badan zakat dan para ‘amilin, namun dari segi kemampuan dan kemapanan manajerial dan akuntabilitas dari berbagai pihak, terutama para ‘amilin merupakan salah satu factor penghambat percepatan realisasi. Pengelolaan dan pemberdayagunaan zakat secara optimal adalah tuntunan kewajiban agama sekaligus pemerintah (politik). Maka bagi setiap muslim (terutama yang memenuhi syarat-syarat zakat), demikian pula mereka yang telah melekat padanya pawer social dan politik, tidak ada alasan untuk tidak merasa harus berkewajiban mensyi’arkannya sekaligus merealisasikannya dengan penuh kesadaran. Bilamana pengelolaan dan pemberdayagunaan hasil zakat berfungsi social dengan baik sesuai dengan tuntunan agama dan UU zakat tersebut, serta keseriusan berbagai pihak yang terkait dalam upaya perealisasiannya seperti halnya dengan perealisasian UU pajak misalnya di negeri ini, maka ummat bangsa ini ada jaminan untuk menikmati kehidupan yang lebih baik dari hari-hari kemaren, seperti yang dijanjikan oleh syari’at zakat itu sendiri. Atau jangan-jangan justeru dari hasil zakat itu, akan jauh lebih besar manfaat sosialnya ketimbang hasil pajak negeri ini yang selama ini senantiasa dinikmati. Daftar Pustaka
Abdul Baqi, M. Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahrash li Alfadzi al-Qur’an al-Karim, Bairut: Daar al-Fikr, tt. Ali, Muhammad Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
493
_______, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1998. Al-Qardhawi, Yusuf, Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah Baina alMaqashid al-Kulliyyah wa an-Nushush al-Juz’iyah, terj. H.Arif Munandar Riswanto, edisi 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Siyasah Syar’iyyah, (tanpa tahun dan penerbit). _______, Ilmu Ketatanegaran Dalam Fiqih Islam, edisi 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1971. Dahlan, Abdul Aziz, (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, edisi 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Gani, M. A., Cita Dasar Pola Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Iska’, Syukri, Manajemen Zakat dan Wakaf Dalam Peningkatan Ekonomi Ummat, dalam Proceedings of International Seminar o Islamic Economics As A Solution, Medan: 1819 Nopember 2005. Jalal, Muhammad Syarif, dkk., Al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam Syakhshiyah wa-Madzahib, Mesir: Daar al-Jami’ah alMishriyah, 1978. Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Pedoman Zakat, 9 Seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1999/2000. Quthub, Sayyid, Fi Zdilal Al-Qur’an, Juz 10, Bairut: Daar Ihya’ alTurats al’Araby, 1971. Rasyid, Hamdan, Peranan Zakat dan Wakaf Dalam Peningkatan Ekonomi Ummat, Makalah International Seminar on Islamic Solution, Medan: 18-19 Nopember 2005.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009
494
Muh. Said: Problema UU Zakat Indonesia…
Said, Muh., Pengantar Ekonomi Islam, Dasar-dasar dan Pengembangan, edisi 1, Pekanbaru: Suska Press, 2008. Shihab, M.Quraish, Membumikan Al-Qur’an, edisi 1, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007. Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Syaltout, Syeikh Mahmoud, Al-Islam ‘Aqidah wa-Syari’ah, Jilid 2, edisi 2, terjemahan Prof. H.Bustami A.Gani, dk. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, edisi 1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007. Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, edisi 2, Jakarta: Masagung, 1991.
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43 No. II, 2009