HUKUM ISLAM DAN PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA (Telaah Atas UU RI No. 38 Tahun 1999) H. Muhammad Yusuf Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Azhar Gowa Sulsel Email:
[email protected]
Abstract: This article discussed the concept of tithe and its management in Indonesia before and after the release of Law No. 38 of 1999. By using normative juridical approach, this article concluded the first, the concept of tithe management in Indonesia is planning, execution and control of the collection and the distribution and utilization of tithe. The second, the management of tithe before the law No. 38/1999 had been developed with the birth of some legal regulations since the beginning of independence period until reforms period of 1998. After the release of the laws of the Republic of Indonesia no. 38 of 1999, the tithe management run more structured with the tithe managing organization consisting of two types, namely Tithe Collectors Agency and the Tithe Collectors Institute. Abstrak : Tulisan ini mengkaji tentang konsep zakat dan pengelolaannya di Indonesia sebelum dan sesudah keluarnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999. Dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis, tulisan ini menyimpulkan; pertama, konsep pengelolaan zakat di Indonesia adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Kedua, pengelolaan zakat sebelum UU No. 38/1999 mengalami perkembangan dengan lahirnya beberapa regulasi hukum sejak awal kemerdekaan hingga masa orde reformasi tahun 1998. Setelah keluarnya UU RI no. 38 Tahun 1999, pengelolaan zakat dijalankan lebih terstruktur dengan adanya organisasi pengelola zakat yang terdiri atas dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kata kunci: Pengelolaan, zakat, dan regulasi hukum.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umat Islam, lebih sering dipandang sebelah mata dalam menghadapi problem ekonomi, karena kemampuannya yang dianggap tidak representatif dalam membangun kekuatan ekonomi. Padahal, umat Islam adalah penduduk mayoritas yang justru bersentuhan langsung dengan problem ekonomi bangsa. Kondisi ekonomi bangsa yang terpuruk, secara tidak langsung umat Islam yang akan merasakannya, itulah realitasnya. Karena itu, membangun
fundamentasi ekonomi bangsa tidak dapat dilepaskan dari kemampuan umat untuk menemukan strateginya, agar keluar dari keterpurukan ekonomi. Untuk itu, umat yang sering dianggap sebagai masyarakat ekonomi kelas bawah, harus ditingkatkan posisinya agar menjadi bagian dari masyarakat ekonomi kelas atas. Itulah fenomena yang menegaskan betapa sulitnya mencari strategi yang tepat untuk meningkatkan ekonomi umat. Dalam konteks inilah, penggalian terhadap nilai-nilai dasar Islam yang sudah tertuang dalam alQur’an dan Sunah harus segera dilakukan, 1
mengingat betapa besar perhatian Islam dalam urusan kesejahteraan ekonomi. Wacana ekonomi dunia lebih banyak didominasi oleh kaukus besar ekonomi, masing-masing kapitalis dan sosialis. Dengan klaim-klaim universalitas, kedua sistem ekonomi itu telah merambah ke seluruh dunia, termasuk negara-negara yang berbasis Islam. Dunia Islam sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena powernya sendiri telah direnggut oleh tangan-tangan kaum imperialis. Akibatnya, mau tidak mau, masyarakat Islam harus menerima secara lapang dada sistem ekonomi yang telah berkembang secara universal. Dan berbagai interpretasi, bermunculan hanya sekedar untuk menyelaraskan Islam dengan universalitas sistem ekonomi itu. Meskipun pada akhirnya, hal itu justru menjadi bumerang bagi umat Islam sendiri. Karena sistem ekonomi, terutama kapitalis yang selama ini telah diterapkan di negara-negara Islam, telah terbukti tidak dapat meningkatkan taraf hidup umat Islam, tatapi malah membelit kehidupan mereka. Negara Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya, bisa dikatakan, sangat timpang. Hal ini disebabkan basis ekonominya yang strategis dimonopoli oleh kalangan feodalistik–tradisional dan masyarakat modern menerapkan prinsip ekonomi konvensional (ribawi). Sebagian orang membumbung ke atas dengan hasil kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru terperosok ke dalam lubang kemelaratan yang dideritanya. Selain itu, kemunculan masyarakat modern yang diuntungkan oleh sistem ekonomi dan perbankan, telah menyebabkan ketimpangan persaingan ekonomi semakin tajam. Dalam hal ini, sumber daya manusia (SDM) dan modal yang kuat akan semakin diuntungkan, sedangkan rakyat kecil dengan SDM yang lemah dan modal yang sangat minim yang menjadi korbannya. Dalam
kondisi seperti ini, berlaku apa yang dikatakan Hobbes dengan istilah ”homo homini lupus” atau ”yang kuat memakan yang lemah” dalam tata kehidupan ekonomi bangsa kita. Tentunya, yang diuntungkan dalam kondisi ini adalah mereka yang menguasai sistem ekonomi uang dan lembaga perbankan, yaitu kalangan pengusaha besar yang memiliki modal dan akses yang kuat. Padahal, untuk memperbaiki kondisi perekonomian kita yang timpang ini, tidak hanya sekadar meningkatkan produksi kekayaan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendistribusikannya secara optimal. Dengan kata lain, pendistribusian pendapatan secara adil dan merata adalah cara yang paling efektif untuk mencapai peningkatan pendapatan secara simultan di kalangan lapisan masyarakat. Sebab, produksi kekayaan yang meningkat, tidak akan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi umat, jika tidak diimbangi dengan pendistribusiannya. Kita melihat Islam muncul sebagai sistem nilai yang mewarnai perilaku ekonomi masyarakat Muslim kita. Dalam hal ini, zakat memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia. Sehingga diharapkan bisa mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional, khususnya penguatan pemberdayaan ekonomi umat. Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan karena lembaga zakat yang menyangkut aspek pengumpulan, administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya belum efektif. Dengan kata lain, sistem organisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefesiensi, sehingga kurang berdampak sosial yang berarti. Zakat adalah ibadah ma>liyah ijtima>’iyah yang memiliki posisi sangat 2
penting, strategis, dan menentukan,1 baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lu>m min al-di>n bi> aldharu>rah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.2 Di dalam al-Qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat3 yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. Hal ini menegaskan ada kaitan komplementer antara ibadah shalat dan zakat. Jika shalat berdimensi vertikal-ketuhanan, maka zakat merupakan ibadah yang berdimensi horizontal-kemanusiaan.4 Di dalam al-Qur’an terdapat pula berbagai ayat yang memuji orang-orang yang secara sungguh-sungguh menunaikannya, dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya. Zakat bukan sekadar kebaikan hati orang-orang kaya terhadap orang miskin, tetapi zakat adalah hak Tuhan dan hak orang miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, sehingga zakat wajib dikeluarkan. Demikian kuat pengaruh zakat, sehingga Khalifah Abu Bakar Ashshiddiq bertekad memerangi orang-orang yang shalat, tetapi tidak mau mengeluarkan zakat dimasa pemerintahannya.5 Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan dan jika hal ini dibiarkan, maka akan memunculkan berbagai kedurhakaan dan kemaksiatan lainnya. Secara demografik dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim Indonesia, sebenarnya memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrument pemerataan pendapatan, yakni institusi zakat, infaq, dan sedekah ( ZIS ). Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam, dan secara cultural, kewajiban zakat, dorongan berinfaq, dan bersedekah di jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat muslim. Dengan demikian, mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal, bisa terlibat dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila hal itu bisa terlaksana dalam aktivitas sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional, termasuk penguatan pemberdayaan ekonomi nasional. Secara substantif, zakat, infaq, dan sedekah adalah bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan.6 Dana zakat diambil dari harta orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya.7 Hal ini disebabkan karena zakat diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa kriteria tertentu yang wajib di zakati. Oleh karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Seperti halnya dengan zakat, walaupun infaq dan sedekah yang tidak wajib, di institusi ini merupakan media pemerataan pendapatan bagi umat Islam sangat dianjurkan. Dengan kata lain, infaq dan sedekah merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan, disamping zakat yang diwajibkan kepada orang Islam yang mampu. Dengan demikian dana zakat, infaq, dan sedekah bisa diupayakan secara maksimal untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Relevansi zakat di masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas dari pajak yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat merupakan faktor utama dalam pemerataan harta benda di kalangan umat Islam, dan juga merupakan sarana utama dalam menyebar luaskan perasaan senasib sepenanggungan dan persaudaraan di kalangan 3
umat Islam. Karena itu dapat dikatakan bahwa zakat, kalau akan dinamakan pajak, maka ia adalah pajak dalam bentuk yang sangat khusus.8 Pengembangan pemaknaan zakat semacam itu perlu dilakukan karena pemaknaan zakat oleh seseorang atau lembaga dapat mempengaruhi orientasi dan model pengelolaan dan zakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara teologis, zakat akan mendorong seseorang untuk mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk orang lain atas dasar kepatuhan kepada Allah Swt. Sedangkan secara sosio ekonomi, zakat diharapkan dapat membantu dan memperbaiki taraf sosial ekonomi penerimaannya serta mempererat hubungan si kaya dan si miskin. Di samping itu, apabila zakat dimaknai secara politis strategis, maka zakat diharapkan mampu memberikan implikasi yang besar pada penguatan daya tahan bangsa dalam melangsungkan kehidupannya. Dalam perspektif nasional, badan amil zakat atau lembaga amil zakat diharapkan tidak hanya terpaku pada memikirkan kebutuhan sendiri, melainkan juga mau terlibat dan melibatkan diri untuk memberi kepedulian terhadap warga masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian, kehadiran badan amil zakat di samping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh karena itu, peningkatan daya guna badan amil zakat, khususnya dalam melakukan pembangunan ekonomi masyarakat mesti dilakukan. Sementara itu, terjadi perkembangan yang menarik di Indonesia, bahwa pengelolaan zakat, kini memasuki era baru, yakni peraturan Undang-Undang yang berkaitan dengan zakat, yakni UndangUndang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D/tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut menyiratkan tentang BAZ dan LAZ yang meningkatkan kinerja sehingga menjadi amil zakat yang profesional, amanah, terpercaya dan memiliki program kerja yang jelas dan terencana, sehingga mampu mengelola zakat, baik pengambilannya maupun pendistribusiannya dengan terarah, yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan para mustahik. Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, terdapat beberapa pandangan seputar kewenangan pengelolaan zakat oleh negara. Ada yang berpendapat zakat baru boleh dikelola oleh negara yang berasaskan Islam, tetapi ada juga yang berpendapat lain, mengatakan pada prinsipnya zakat harus diserahkan kepada amil terlepas dari persoalan apakah amil itu ditunjuk oleh negara atau amil yang bekerja secara independen di dalam masyarakat muslim itu sendiri. Pendapat lainnya, pengumpulan zakat dapat dilakukan oleh badan-badan hukum swasta di bawah pengawasan pemerintah, bahkan terdapat pula pandangan bahwa zakat merupakan kewajiban individu seorang muslim yang harus ia tunaikan tanpa perlu campur tangan pemerintah, dalam arti untuk melaksanakannya menjadi kesadaran individu. Jika digali dari sejarah zakat dan pajak pada zaman Rasulullah saw. dan pemerintahan Islam periode awal, pemerintah menangani secara langsung pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan mandat kekuasaan. Pengelolaan zakat dilakukan oleh waliyul ‘amr yang dalam konteks ini adalah pemerintah, sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur’an Surah al-Taubah :103. Perintah memungutnya ditujukan oleh Allah Swt. kepada setiap ulil amri. Dengan dasar ayat tersebut, para fuqaha> menyimpulkan bahwa kewenangan untuk melakukan
4
pengambilan zakat dengan kekuatan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.9 Pernyataan al-Qur’an bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya di kalangan golongan kaya dalam masyarakat, tetapi harus beredar dalam seluruh masyarakat untuk kepentingan keadilan sosial dan ekonomis, sebagaimana (Q.S Al-Hasyr : 7). Ayat tersebut merupakan petunjuk umum yang salah satu pengejewantahan hukumnya adalah institusi zakat yang diundangkan oleh Nabi sendiri. Selanjutnya siapa-siapa yang berhak menerimanya pun telah disebutkan dalam QS al-Taubah : 60. Suatu fakta sejarah bahwa pada masa awal Islam, zakat mempunyai kedudukan utama dalam kebijakan fiskal.10 Di samping sebagai sumber pendapatan negara Islam, zakat juga menunjang pengeluaran negara dan juga mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah Islam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama kaum lemah atau kaum dhu’afa. Menurut Syafi’i Antonio, salah satu faktor kemunduran pemerintahan Islam mulai terjadi ketika zakat terpisah dari kebijakan fiskal negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi muslim. Sistem kekhalifahan yang merakyat dan lebih modern diganti dengan sistem monarkhi. Sumber-sumber pendapatan negara pun disesuaikan dengan yang dianut oleh kerajaan-kerajaan lainnya, terutama dari sektor pajak atau bahkan upeti. Penggunaannya pun semakin jauh dari ruh zakat itu sendiri.11 Para penguasa dan fuqaha, sepanjang abad pertengahan, tidak mempertautkan petunjuk umum al-Qur’an tentang dasar-dasar keadilan sosial dan ekonomis masyarakat dengan institusi zakat. Oleh karena itu, prinsip sosio-ekonomis melalui institusi zakat tidak dilegislasikan dan diimplementasikan dalam suatu sistem kehidupan ekonomi masyarakat muslim.12
Dalam perkembangan selanjutnya zakat bahkan dibatasi untuk bantuan dana bagi fakir miskin, padahal dalam surah al-Taubah : 60, al-Qur’an mencakupkan seluruh kebutuhan dana sebuah negara modern. Karena itu pula, zakat tidak dijadikan model solusi yang spesifik dalam menangani problematika masyarakat muslim. Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di wilayah-wilayah Islam, pengelolaan zakat di berbagai negara Islam dewasa ini, memiliki bermacam bentuk, ada yang dikelola oleh pemerintah, ada yang dikelola oleh masyarakat langsung, serta ada yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Keragaman tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengelolaan zakat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, maka pembahasan akan dibatasi dengan: 1. Bagaimana konsep zakat di Indonesia? 2. Bagaimana peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat di Indonesia? 3. Bagaimana pengelolaan zakat Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999? I. PEMBAHASAN A. Konsep Zakat di Indonesia Sebagai sebuah negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, persoalan zakat menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sejarah perkembangan zakat di Indonesia mengalami jalan panjang hingga saat ini. Sejak Islam masuk di Indonesia, secara otomatis ajaran zakat berakumulasi dengan kehidupan masyarakat. Sebelum tahun 1990-an, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa ciri khas, antara lain :
5
1. Secara umum, diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq tanpa melalui amil zakat. Keadaan seperti ini disebabkan antara lain karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali di beberapa daerah tertentu, seperti BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ, secara umum muzakki langsung memberikan kepada mustahiq. Pemahaman tentang zakatpun masih sederhana, yakni sebatas kewajiban ibadah murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu menghubung-hubungkan dengan pemecahan berbagai problematika, seperti pementasan kemiskinan. 2. Jika pun melalui ‘amil zakat, hanya terbatas pada zakat fitrah. Keadaan seperti ini tampak ketika memasuki Bulan Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum lebaran di mesjid-mesjid, mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk menerimakan zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar mesjid atau mushalla. Bahkan itupun masih terdapat anggota masyarakat yang berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan langsung zakat fitrahnya ke muzakki tanpa melalui amil zakat. 3. Zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Pada saat itu, amil bertugas menerima dan membagi zakat, belum bersifat mengelola, sehingga tidak terlalu dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanya menjadi profesi sambilan. Keadaan seperti ini didukung oleh cara pandang masyarakat ketika itu
yang umumnya bersifat konsumtif dan dapat pula menjadi indikator lemahnya kepercayaan masyarakat kepada ‘amil zakat. 4. Harta obyek zakat hanya terbatas. Obyek zakat ketika itu terbatas pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara rinci dalam alQur’an maupun Hadis Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditaskomoditas yang berbentuk barang), dan rikaz (harta temuan). Ini diakibatkan masih terjadi sosialisasi tentang zakat yang lemah, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat jarang dilakukan. Menurut Didin Hafiduddin,13 keadaan dunia perzakatan di tanah air setelah tahun 1990-an terjadi perubahan signifikan, yakni setelah terbit buku Fiqh al-Zakah yang ditulis oleh Yusuf al-Qaradhawi. Buku tersebut berisikan penjelasan zakat secara komprehensif ditulis tahun 1389 H/1969 M. Yang paling menonjol dalam buku tersebut adalah tentang harta obyek zakat yang mencakup semua harta maupun penghasilan/pendapatan yang dimiliki oleh setiap muslim, yang mencakup seluruh bidang pekerjaan yang halal, yang apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk penghasilan yang didapatkan melalui keahlian tertentu secara perorangan maupun bersama-sama, atau yang sering disebut dengan zakat profesi (mihnah). Misalnya, dokter, ahli hukum, arsitek, 6
dosen/guru, penjahit, karyawan maupun lainnya. Termasuk pula pada obyek zakat perusahaan yang dikelola oleh seorang muslim atau bersama-sama.14 Hal lain yang menonjol yang dikemukakan dalam buku Fiqh al-Zakah adalah bahwa zakat itu harus dikelola oleh amil (lembaga) yang profesional, amanah, bertanggungjawab, memiliki pengetahuan memadai tentang zakat, memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya (misalnya untuk melakukan sosialisasi, pendataan muzakki dan mustahiq, dan penyaluran yang tepat sasaran), serta pelaporan yang transparan. B. Peranan Pemerintah dalam Pengelolaan Zakat di Indonesia Sejak tahun 1990-an, zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam, semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan dikeluarkan perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Gerakan zakat di tanah air, sudah menjadi isu nasional pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam peringatan isra mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan, bahwa sebagai pribadi ia bersedia untuk mengurus pengumpulan zakat secara besarbesaran, mengumumkan penerimaan dan mempertanggung jawabkan penggunaannya. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Soeharto mengulangi kembali ajakannya kepada umat Islam untuk mengumpulkan zakat. Ketika pada tahun 1967, RUU Zakat akan dimajukan ke DPR, menteri Keuangan Frans Seda waktu itu, menjawab secara tertulis kepada menteri agama, bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam
undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan menteri saja. Tidak lama setelah keluar Peraturan Menteri Agama tentang Pengumpulan dan Pengelolaan Zakat, Presiden Soeharto mengumumkan kesediaan menjadi amil zakat bagi umat Islam di Indonesia. Ketika keinginan untuk melibatkan pemerintah dalam pengumpulan zakat mengemuka dalam Rakernas MUI tahun 1990, hal tersebut dikonsultasikan dengan Presiden Soeharto oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali, mengingat kepala negara dulu pernah bersedia menjadi amil zakat, tetapi kurang mendapat respon secara luas dari umat Islam di tanah air ketika itu. Presiden Soeharto tidak lagi bersedia menjadi amil, tetapi memberikan petunjuk agar pengelolaan zakat diserahkan ke tiap-tiap propinsi dengan melibatkan kepala daerah dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat, sesuai prinsip otonomi daerah. Sedangkan lembaga atau Badannya bersifat non pemerintah untuk menghindari dualisme di dalam pengelolaan zakat dan pajak. Pada periode kepemimpinan empat Presiden pasca Soeharto, gerakan monumental zakat di tanah air dapat dicatat sebagai berikut : (a) Presiden B. J. Habibie, pada tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR, telah mensahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. (b) Presiden Abdurrahman Wahid, pada tanggal 17 Januari 2001, mengeluarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat nasional. (c) Presiden Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 2 Desember 2001 melakukan pencanangan Gerakan Sadar Zakat dalam acara peringatan Nuzu>l alQur’an di Masjid Istiqlal Jakarta. (d) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 26 Oktober 2005, melakukan pencanangan Gerakan Zakat Infak dan Shadaqah Nasional dan mengukuhkan Kepengurusan BAZNAS periode 2004-2007 di Istana Negara.15 Dari keterangan di atas, nampak bahwa Pemerintah, setidaknya semasa dipimpin oleh 7
lima orang presiden, menunjukkan peran yang besar dalam menggairahkan zakat di tanah air. Untuk lebih memerinci perkembangan kebijakan pemerintah dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia, terdapat beberapa tahapan sejarah yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sebelum Kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat a. Pengelolan Zakat di Masa Penjajahan Zakat sebagai bagian dari ajaran Islam, wajib ditunaikan oleh umat Islam, terutama yang mampu (aghniya>), tentunya sudah diterapkan dan ditunaikan oleh umat Islam Indonesia, berbarengan dengan masuk Islam ke Nusantara. Kemudian ketika Indonesia dikuasai oleh para penjajah, para tokoh agama Islam tetap melakukan mobilisasi pengumpulan zakat. Pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan ajaran Islam (termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200, tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini, pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam. b. Pengelolan Zakat di Awal Kemerdekaan Pada awal kemerdekaan Indonesia, pengelolaan zakat juga diatur pemerintah dan masih menjadi urusan masyarakat. Kemudian pada tahun 1951, Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fithrah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, hanya menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya dari pungutan zakat tersebut, dapat berlangsung menurut hukum agama.16 Pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Bait al-Ma>l, tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden. c. Pengelolaan Zakat di Masa Orde Baru Pada masa orde baru, Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat Nomor : MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat Menteri Agama tersebut disebutkan antara lain : “Mengenai rancangan undang-undang zakat, pada prinsipnya, oleh karena materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi agama Islam, maka diatur atau tidak diatur dengan undang-undang, ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi umat Islam, dalam hal mana, pemerintah wajib membantunya. Namun demikian, pemerintah berkewajiban secara moril untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya diatur dalam undangundang”. Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut disampaikan juga kepada Menteri Sosial, selaku penanggungjawab masalahmasalah sosial dan Menteri Keuangan selaku pihak yang mempunyai kewenangan dan wewenang dalam bidang pemungutan. Menteri Keuangan dalam jawabannya menyarankan agar masalah zakat ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama. Kemudian pada tahun 1968, dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 tahun 1968 tentang pembentukan Bait al-Ma>l. Kedua PMA (Peraturan Menteri Agama) ini mempunyai kaitan sangat erat, karena bait al-ma>l berfungsi sebagai penerima dan penampung zakat, dan kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat (BAZ) untuk disalurkan kepada yang berhak.
8
Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ). Pada tahun yang sama dikeluarkan juga PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-Ma>l. Bait al-Ma>l yang dimaksud dalam PMA tersebut, berstatus yayasan dan bersifat semi resmi. PMA Nmor 4 tahun 1968 dan PMA Nomor 5 tahun 1968 mempunyai kaitan yang sangat erat. Bait alMa>l itulah yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan Amil Zakat, seperti dimaksud dalam PMA Nomor 4 Tahun 1968. Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan Zaat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah, agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. d. Pengelolaan Zakat di Era Reformasi Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Setahun setelah reformasi tersebut, yakni 1999
terbit Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi, pemerintah berupaya untuk menyerpurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air, agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya. Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan pengelola zakat. Dari segi kelembagaan, tidak ada perubahan yang fundamental, dibanding kondisi sebelum tahun 1970-an. Pegelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah, tetapi kedudukan formal badan itu sendiri tidak terlalu jauh berbeda dibanding masa lalu. Amil zakat tidak memiliki power untuk menyuruh orang 9
membayar zakat. Mereka tidak diregistrasi dan diatur oleh pemerintah, seperti halnya petugas pajak, guna mewujudkan masyarakat yang peduli, bahwa zakat adalah kewajiban. 2. Pasca Kelahiran Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pada tahun 1999 terbit dan disahkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, maka pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin intensif. UndangUndang inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, seperti tidak ada sanksi bagi muzakki yang tidak mau atau enggan mengeluarkan zakat hartanya dan sebagainya. Sebagai konsekuensi Undang-Undang Zakat, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi pembentukan lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk tingkat Pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat Daerah. BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 8 /2001, tanggal 17 Januari 2001. Ruang lingkup BAZNAS berskala Nasional, yaitu unit pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konsulat Jenderal dan Badan Usaha Milik Swasta berskala nasional, sedangkan BAZDA, ruang lingkup kerjanya di wilayah propinsi tersebut. Sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zaka, hubungan BAZNAS dengan Badan amil zakat yang lain, bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga dengan demikian, diharapkan bisa terbangun sebuah sitem zakat Nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat. Dalam menjalankan program kerja, BAZNAS mengunakan konsep sinergi, yaitu untuk pengumpulan ZIS (Zakat, Infaq,
Shadaqah) menggunakan hubungan kerjasama dengan unit pengumpul zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konjen, dan dengan lembaga amil zakat lainnya. Pola kerjasama itu disebut dengan UPZ Mitra BAZNAS. Sedangkan untuk penyalurannya, BAZNAS juga menggunakan pola sinergi dengan Lembaga Amil Zakat lainnya, yang disebut sebagai unit Salur Zakat (USZ) Mitra BAZNAS. Dengan demikian, maka UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur, bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan. Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat harus segera menyesuaikan diri dengan amanat UndangUndang, yakni pembentukan BAZ berdasarkan kewilayahan pemerintah Negara, mulai dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/kelurahan, mesjid, lembaga pendidikan dan lain-lain, dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai Lembaga Amil Zakat, sesuai amanat Undang-Undang tersebut, diharuskan mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud pembinaan, perlindungan dan pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu, bagi Lembaga Amil Zakat yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah, setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Dalam rangka melaksanakan pengelolaan zakat sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999, pemerintah pada tahun 2001 membentuk 10
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Keputusan Presiden. Di setiap daerah juga ditetapkan pembentukan Badan Amil Zakat Propinsi, Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota hingga Badan Amil Zakat Kecamatan. Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat. LAZ tersebut melakukan kegiatan pengelolaan zakat sama seperti yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat. Pembentukan Badan Amil Zakat di tingkat nasional dan daerah mengantikan pengelolaan zakat oleh BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) yang sudah berjalan dihampir semua daerah. C. Pengelolaan Zakat Menurut UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 Pasca dikeluarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembagalembaga zakat banyak bermunculan. Manajemen dan jaringan lembaga-lembaga itu diperbaiki dan semakin baik, sehingga dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagai pemberdayaan ekonomi umat (masyarakat). Namun demikian, potensi zakat yang sebenarnya menurut banyak kalangan, belum dapat digali secara maksimal. Hal demikian terjadi karena zakat masih dianggap sebagai sumbangan sukarela dan negara tidak dapat memaksa para wajib zakat untuk membayarnya. Hal tersebut harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkan sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat). Selain ini permasalahan lain yang masih menjadi kekurangan undang-undang tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Tidak memberikan tanggungjawab atas amil zakat atau BAZ untuk bertindak dan bertanggungjawab memungut zakat terhadap muzakki. 2. BAZ tidak dibebankan tanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki. Sedangkan
muzakki sama sekali tidak dibebankan sanksi dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan zakat. 3. Tidak ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagi-bagi zakatnya kepada mustahiq, apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan. 4. Dalam hal zakat yang langsung dipotong oleh institusi dan tidak memberikan bukti setor zakat, berpotensi merugikan muzakki bika tidak ada pengesahan dari BAZ. Tetapi undang-undang tersebut telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat. Dalam Bab II Pasal 5 Undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan : 1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama. 2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Dalam Bab III Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (Pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (Pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat tidak dengan benar zakat, infaq, 11
sedekah, hibah, wasiat, warits, dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat. Kelemahan di atas yang dianggap sebagai faktor penyebab belum maksimal pendayagunaan zakat di tanah air, pada akhirnya memunculkan pemikiran bahwa ke depan perlu dilakukan revisi Undang-Undang No. 38 tahun 1999 yang semangatnya ingin melibatkan pemerintah lebih jauh. Meskipun di masyarakat masih terdapat pro dan kontra. D. Antara Zakat dan Pajak Dengan menggunakan paradigma bahwa zakat tidak sama dengan zakat, para ulama kemudian membolehkan umat Islam untuk membayar pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat.17 Ketentuan zakat yang statis menyebabkan dana zakat untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masyarakat dan Negara tidak memadai. Oleh karena itu, dimungkinkan dana dari masyarakat melalui jalur pajak dan sumbangan sukarela lain ditarik. Di Indonesia dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 571 dan UU Pajak nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan memungkinkan rabat, yaitu pemotongan pajak penghasilan bagi mereka yang telah membayar zakat. Walaupun belum sesempurna dibanding Undang-Undang Pajak dan Zakat yang ada di Malaysia misalnya atau negara Islam lainnya yang sudah maju. Hal mendasar yang amat diperlukan dalam rangka implementasinya adalah sebuah model penerapan pajak dan zakat yang baku, karena UU Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat masih belum maksimal dan terdapat kelemahan di dalamnya, di antaranya tidak ada cara penghitungan yang baku di samping beberapa kelemahan lainnya yang telah uraikan sebelumnya. E. Pengelolaan Zakat : Kontroversi antara Kebijakan Fiskal dan Partisipatif Dalam perkembangan mutahir di tanah air, terkait dengan rencana melakukan revisi Undang-Undang Pengelolaan Zakat, ditengah dukungan untuk menjadikan zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal di satu sisi, namun di sisi lain berkembang juga wacana untuk mempertahankan model manajemen zakat yang partisipatif. 1. Model Partisipatif Dalam model ini, menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator dan pengayom lembaga zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Artinya Lembaga Amil Zakat sebagai kekuatan partisipasi rakyat jangan dinegarakan. Alasannya : Pertama, LAZ selama ini telah berhasil mempopulerkan zakat dan memperoleh kepercayaan masyarakat. Meskipun diakui masih banyak yang belum efektif dalam menghimpun dan menyalurkan zakat. Disebabkan karena kelemahan mendasar, seperti kualitas SDM yang rendah, kapasitas organisasi dan manajerial yang masih lemah, serta belum pertanggungjawaban publik standar yang belum melembaga. Kedua, bila birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegetimasi, ia pun cenderung melemah, karena kepercayaan rakyat terhadapnya juga merosot. Ketiga, era reformasi dan demokratisasi ditandai dengan penguatan peran masyarakat sipil dalam pembangunan nasional. Salah satunya dapat dilakukan oleh LAZ dalam pengelolaan aset umat, jauh sebelum lahir UU 38 tahun 1999 tentang 12
pengelolaan zakat. Kepercayaan masyarakat kepada LAZ menunjukkan ada penguatan peran dan tanggung jawab sosial masyarakat sipil yang sesuai dengan konteks Indonesia sekarang. Pemerintah dalam konteks ini perlu membuka ruang partisipasi publik untuk turut mengeleminasi masalah kemiskinan. Di sini semangat pemerintah menempatkan diri sebagai wasit, pengayom, dan motivator dan menyediakan piranti yang kondusif bagi penguatan masyarakat sipil. Tidak dikehendaki negara menjadi pelaku semua urusan, pengambil alih kreativitas publik. 2. Model Strategi Fiskal Dalam model ini, semangat menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai operator atau pelaksana. Alasannya : Pertama, pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan al-Qur’an Surah alTaubah : 103. Padahal salah satu lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Kedua, potensi zakat yang dikumpulkan dari masyarakat amat besar. Menurut hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai 19,3 trilyun pertahun.18 Kenyataan, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat hanya beberapa puluh milyar saja. Itupun sudah bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana. Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Dana zakat yang besar sangat potensial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut. Keempat, memberikan kontrol kepada pengelola negara yang masih digerogoti penyalahgunaan uang negara (korupsi). Penyalahgunaan ini disebabkan krisis iman, yang tidak tahan menghadapi godaan untuk korupsi. Memasukkan zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan, bahwa diantara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi. Petugas zakat juga tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakat serta tidak ada tawar-menawar dengan petugas zakat sebagaimana yang sering terjadi dalam kasus pemungutan pajak. PENUTUP Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian : 1. Sebagai muslim kita tentu menginginkan zakat sebagai potensi yang besar memiliki peran yang besar pula di negara kita, dan hal itu tidak lepas dari upaya untuk meningkatkan kesadaran zakat di kalangan masyarakat kita, dan hal yang terpenting adalah political will pemerintah terhadap pengelolaan zakat pada level negara. Peran negara di sini menjadi sangat penting untuk memaksimalkan tujuan esensial yang hendak dicapai melalui zakat. 2. Terhadap adanya keberatan untuk upaya menegarakan administrasi zakat ini sebenarnya dapat dijelaskan. Hal tersebut antara lain karena sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan menjadi urusan 13
masing-masing pribadi muslim. Mengembalikannya ke dalam suatu sistem negara tentu bukan pekerjaan yang mudah, melainkan perlu upaya untuk mendekatkan pemahaman dari kalangan yang memiliki cara pandang berbeda. 3. Ada baiknya sebelum zakat menjadi instrumen kebijakan keuangan negara, penyelenggara negara memantapkan performannya sebagai clean government dengan menuntaskan kasus-kasus keuangan negara. Dengan demikian diharapkan kepercayaan masyarakat terbangun dan pada gilirannya akan dapat memaksimalkan potensi zakat sesuai harapan.
Harta, Zakat & Ekonom Syari’ah. Jakarta: Kuwais, 2006. Ikbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Mufraini, M. Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana, 2006. Mujahidin, Ahmad. Ekonomi Islam. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2007. Qard~awi, Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komparatif mengenai status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis. Diterjemahkan oleh Salman Harun et. al. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007. Sahhatih, Syauqi Ismail. Penerapan Zakat dalam Bisnis Modern, diterjemahkan dari buku: At-Thathbiq Al-Mu’ashir Lizzakah. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Siregar, Mahmud Aziz. Islam untuk berbagai Aspek Kehidupan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. ————–Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Diterjemahkan oleh Sari Narulita dari Judul Asli: Daur al-Zaka>h fi> ‘Ila>j alMusykila>t al-Iqtisha>diyah. Jakarta: Dzikrul Media Intelektual, 2005. ————–Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Judul Asli: Musykilah AlFakr Wakaifa ‘Aalajaha al-Islam), penerjemah: Syafril Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
DAFTAR PUSTAKA Al-Ba’ly, Abd al-Hamid Mahmud. Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syari’ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Ali, Nuruddin Mhd. Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Depag RI. Pedoman Zakat. Jakarta: Depag RI, 2002. Djuanda, Gustian et. al. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006. Rahman, Fazlur. Neomodernisme Islam: Metode dan Alternatif. (Penyunting : Taufik Adnan Amal). Bandung: Mizan, 1989. Ghafur Wibowo dan Faizi. “Menggagas Kebijakan Fiskal Islam”. Republika; Jakarta: 18 Agustus 2008. Gusfahmi. Pajak Menurut Syari’ah. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Hafiduddin, Didin. Mutiara Dakwah : Mengupas Konsep Islam Tentang Ilmu,
14
Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
14
Lijat Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat : Studi Komparatif mengenai status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis. Diterjemahkan oleh Salman Harun et. al. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h. 121-501.
1
Yusuf al-Qard~hawi, al-‘Ibadah fi> alIsla>m (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), h. 235. 2
Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial (Bandung, 1994), h. 231.
15
Lihat dalam Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 70-71.
3
Yusuf al-Qardhawi, Fiqhus Zakat (Beirut: Muassasah Risalah, 1991), h. 42.
16
Depag RI, Pedoman Zakat, (2002), h. 284.
17
4
Pandangan Yusuf Qardhawi, misalnya melihat beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persamaan di antara keduanya. Diantara perbedaannya adalah makna, hakikat dan tujuannya, batas nisab dan ketentuannya, kelestarian dan kelansungannya, sasaran pengeluarannya, hubungannya dengan penguasa dan dari sisi objek dan persentase dan pemanfaatan. Lihat penjelasannya dalam Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, h. 33-41. Di samping model pemikiran Yusuf Qardhawi di atas, terdapat pula pandangan yang melihat antara zakat dan pajak dipersamakan secara mutlak, yaitu sama status hukumnya, tata pengambilannya maupun pemanfaatannya.
Mohammad daud Ali, Sistem Ekonomi Islam zakat dan wakaf (Jakarta : UI Press, 1988), h. 90. 5
Ensiklopedi Hukum Islam, h.1987.
6
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Pemikiran Ekonomi Islam: Suatu Penelitian Kepustakaan Masa Kini (Jakarta: LPPW), h.134. 7
Yusuf al-Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Jakarta: Gema Insani Pers), h.105. 8
A. Rahman Zainuddin, Zakat, Implikasinya pada Pemerataan, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Cet. I; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), h. 437. 9
Lihat penjelasan Syauqi Ismail Sahhatih, Penerapan Zakat dalam Bisnis Modern, diterjemahkan dari buku Al-Thathbi>q Al-Mu’a>shi>r Li> al-Zaka>h (Bandung: Pustaka Setia, t.t.), h. 21-24. Dalam uraiannya menghimpun riwayat pengumpulan zakat di masa Nabi dan Khulafaurrasyidin serta pendapat para ulama tentang kewajiban pembayaran zakat kepada pemerintah. Lihat juga Yusuf Qaradhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Judul Asli: Musykilah alFakr Wa Kaifa ‘A>lajaha al-Isla>m), penerjemah : Syafril Halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 107-107.
18
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006), h. xxiv-xxv.
10
Kebijakan fiskal atau sering disebut sebagai politik fiskal bisa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud memengaruhi jalan perekonomian. Kebijakan ini biasanya dilaksanakan bersama dengan kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan moneter dan perdagangan. 11
Lihat dalam Ghafur Wibowo dan Faizi, Menggagas Kebijakan Fiskal Islam (Jakarta: Republika, 18 Agustus 2008), h. 6. 12
Fazlur Rahman, Neomodernisme Islam : Metode dan Alternatif, Penyunting : Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1989), h. 57-58. 13
Lihat Didin Hafiduddin, Mutiara Dakwah : Mengupas Konsep Islam Tentang Ilmu, Harta, Zakat & Ekonom Syari’ah (Jakarta: Kuwais, 2006), h. 210.
15