REVITALISASI UU ZAKAT: ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN Oleh: Lukmanul Hakim, Lc. MA*
Abstract
Since the adoption of the Law on Zakat Management No. 38/1999, which regulated the involvement of the state and the community are aligned in zakat collection and distribution, management of zakat in Indonesia has passed the stage of formalization. Furthermore, Law No. 23 of 2011 is a stage of revitalization that confirms the authority of the state, by providing the authority to the National Agency for Zakat (BAZNAS) hierarchically in standardizing the management of zakat nationally. In fact, zakat is the domain of the state, however the efforts of integration, synergy and coordination, without removing the existing institutions in the community is more important, in order to create programs that are right on target, right amount and on time for serving the poor people who deserve to receive zakat. Keywords: Zakat Management Act, BAZNAS, LAZ, Synergy.
A. Pendahuluan Zakat merupakan ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat multiguna dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahik, harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. 1 DR. Yusuf Qardhawi bahkan menyebut zakat sebagai ibadah māliyah ijtimā‟iyyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sangat penting, berfungsi strategis dan menentukan dalam membangun kesejahteraan masyarakat.2 Namun pemahaman zakat di tengah masyarakat Indonesia cenderung masih tipis. Asumsi yang berkembang, seakan-akan kalau sudah kaya baru bayar zakat. Mestinya kedudukan zakat dan shalat adalah sama, sehingga
* Penulis adalah Tenaga Pengajar di AIN Ar-Raniry Banda Aceh 1 Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, h.82. 2 DR. Yusuf al-Qardhawi, al-‘Ibadah fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993, h. 235-238.
49
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
50
dalam banyak ayat al-Quran perintah zakat selalu dikaitkan dengan shalat, seperti dalam QS. al-Baqarah (2): 43, wa aqīmu al-shalāta wa ātu al-zakāh. Urgensi zakat yang cukup dominan dalam menggerakkan perekonomian masyarakat sejatinya menuntut upaya pengelolaan ekstra serius, karena pengelolaan zakat secara baik akan mampu mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan kerja dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh umat Islam. Dalam perjalanan sejarah awal pemerintahan Islam, zakat berperan penting sebagai instrumen dalam kebijakan fiskal. Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat, diantaranya: 1. Zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf dan hibah. Pemungutan zakat dapat dipaksakan sesuai QS. al-Taubah (9): 103, dan satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. 2. Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana. 3. Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. 4. Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. 5. Memberikan kontrol kepada pengelola negara, sehingga dapat meminimalisir kasus korupsi atau penyalahgunaan uang negara. Petugas zakat tidak mudah disuap dan wajib zakat (muzakki) juga tidak akan mainmain dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan “tawarmenawar” dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.3 6. Zakat sebagai pilar amal bersama (jamā‟ī) antara orang kaya dan para mujahid yang berkekurangan, juga merupakan salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Selain itu, zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah,
3
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, h. XXIV-XXVI.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
51
pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia muslim.4 Beberapa indikator di atas menunjukkan bahwa peran negara cukup signifikan dalam pengelolaan zakat. Adapun kelebihan atau keunggulan penyelenggaraan zakat yang dikelola oleh organisasi amil zakat, diantaranya: a. Menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. b. Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para muzakki (wajib zakat). c. Mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. d. Memperlihatkan syi‟ar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.5 Namun kondisi konkrit (das sein) yang berlaku di Indonesia ketika formalisasi pengelolaan zakat melalui UU No. 38 Tahun 1999, nyatanya sungguh berbeda dengan norma yang seharusnya berlaku (das sollen). Terjadi kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. Zakat dikelola dalam relasi sejajar antara pemerintah dan masyarakat, bahkan terkadang cenderung dalam posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Muncul dikotomi cukup tajam antara BAZ (Badan Amil Zakat) yang berafiliasi ke pemerintah dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola masyarakat. Sebagai solusi, UU Pengelolaan Zakat yang baru Nomor 23 Tahun 2011 akhirnya disahkan oleh DPR RI pada 27 Oktober 2011, menggantikan UU Nomor 38 Tahun 1999. Tujuan utama perubahan UU Pengelolaan Zakat ini antara lain, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Setidaknya ada lima hal baru dalam UU Pengelolaan Zakat Nomor 23/2011 sebagai amandemen UU Nomor 38/1999 yaitu: (i) zakat menjadi kewenangan Negara; (ii) zakat dikelola oleh BAZNAS secara hierarkis; (iii) anggota BAZNAS menjadi 11 orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah; (iv) LAZ sebagai lembaga yang membantu BAZNAS harus terakreditasi dan bersedia diaudit; (v) adanya ancaman pidana bagi amil zakat yang beroperasi tanpa izin pejabat yang berwenang. B. Domain Zakat Penegasan mengenai kekuasaan dalam menagih zakat dapat dipahami dari wajhu al-dilalah (segi pendalilan) ayat dalam QS. al-Taubah (9): 103, 4
DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, h.11-12. 5 Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, hlm. 87-88.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
52
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Khithāb dalam ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi Saw. sebagai pemimpin umat Islam sekaligus pemegang kekuasaan negara. Namun maknanya dapat diperluas kepada Khalifah sepeninggal beliau serta para pemimpin umat Islam lainnya. Perintah “mengambil” berarti memuat unsur paksaan. Ini menunjukkan bahwa penarikan zakat mengharuskan adanya suatu kekuasaan dan kekuatan secara umum, dan hal itu ada pada pemerintah. Dalam QS. al-Taubah (9): 60 juga ditunjukkan bahwa pengelolaan zakat bukan semata-mata dilaksanakan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahiq. Tapi dapat dilakukan oleh sebuah lembaga yang secara khusus menangani zakat, asalkan memenuhi persyaratan tertentu, yang disebut dengan amil zakat. Untuk mewujudkan kemashlahatan lebih luas, diperlukan institusi negara atau institusi yang mendapatkan mandat dari negara untuk melakukan perencanaaan, pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusian zakat. Dengan demikian, ibadah zakat tidak berada pada domain civil society atau gerakan sosial kemasyarakatan, tapi ada pada domain negara. Begitu pula dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu „Abbas, “Rasulullah Saw memerintahkan kepada Mu‟az supaya memberitahukan kepada penduduk negeri Yaman bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang harus diambil dari orang-orang yang berpunya (berpenghasilan cukup nishab) untuk selanjutnya didistribusikan kepada kaum fakir.” Namun setelah Rasul Saw wafat dan beritanya menyebar ke berbagai seantero negeri, sebagian penduduk Yaman berpendapat bahwa zakat tidak perlu lagi dikeluarkan, dan mereka mengirim utusan ke Medinah untuk menyatakan hal itu. Alasan mereka, zakat adalah iuran atau upeti untuk Nabi, dan beliau telah wafat, maka upeti tersebut tidak wajib lagi dikeluarkan. 6 Khalifah Abu Bakar melihat alasan ini mengada-ada yang didasari oleh rasa bakhil dan pembangkangan terhadap tuntunan al-Quran serta Khalifah. Menghadapi banyak orang yang hanya taat shalat tapi enggan menunaikan zakat, Abu Bakar bersumpah:
وهللا ! لى. وهللا ! ألقتلي هي فزق الصالة والزكاة فئى الزكاة حق الوال هٌعىًي عقاال كاًىا يؤدوًه إلى رسىل هللا ص م لقاتلتهن على هٌعه 6
Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman ibn al-Kamal Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafā’, Mesir: Mathba‟ah al-Sa‟ādah, 1371 H./ 1952, hlm. 67. Lihat juga al-Thabari, Muhammad ibn Ja‟far, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, tt., Juz II, hlm. 244.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
53
Artinya: Demi Allah! Saya akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah! Jika mereka menolak mengeluarkan zakat unta yang biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw, pasti aku akan memeranginya karena penolakan tersebut.7 Dalam konteks negara modern, disamping kekuasaan mengumpulkan dana zakat, menurut DR. Yusuf al-Qardhawi, pemerintahan Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikannya dan pengelolaannya diserahkan bagi fakirmiskin, atau pihak yang telah ditetapkan berhak menerima zakat. Dengan demikian maka bukan hanya memenuhi kebutuhan konsumtif mereka hari ini atau esok hari, namun juga seluruh kebutuhan finansial mereka kelak.8 Tentu saja diperlukan pembinaan dan pendampingan dalam menggerakkan investasi zakat, agar usaha para mustahiq berjalan lancar dan tidak malah gulung tikar. C. Menelisik Sejarah Pengelolaan zakat dalam sejarahnya memang merupakan wilayah kekuasaan pemerintah, sebagaimana lazimnya pernah diaplikasikan pada masa Rasulullah saw. dan para Khulafaurrasyidin, terutama pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang berani memerangi golongan pengemplang zakat. Pada zaman awal pemerintahan Islam, ada lembaga Baitul Mal sebagai institusi pusat perbendaharaan negara. Namun kini, Baitul Mal telah mengalami penyempitan makna yang sangat radikal, sehingga mempengaruhi bentuk kelembagaan dan kinerja dari institusi tersebut. Dulu, pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal adalah kantor kas negara, yang menjalankan fungsi perbendaharaan negara, termasuk sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam penghimpunan zakat, pajak (meski masih terbatas jenis dan objek harta pajaknya), penyimpanan devisa negara, penyimpanan cadangan logistik pangan, dan pengaturan sektor keuangan (moneter); maka pada saat ini, fungsi tersebut mengalami penyempitan. Hal ini terjadi karena sebagian fungsi Baitul Mal telah didelegasikan ke beberapa Kementerian Keuangan untuk sisi fiskalnya, dan Bank Sentral (Bank Indonesia) untuk sisi moneternya. Di Malaysia, konsep Baitul Mal juga didefinisikan secara berbeda. Baitul Mal adalah institusi yang secara khusus didirikan sebagai lembaga 7 8
567.
Sunan Abu Dawud, Riyadh: Dār al-Salām, 2000, hlm. 1337-1338. Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1991, Juz II, hlm.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
54
penyalur dana zakat di beberapa negara bagian, antara lain di Kuala Lumpur dan Sabah. Khusus di Kuala Lumpur, lembaga yang menghimpun zakat adalah PPZ (Pusat Pungutan Zakat), sedangkan Baitul Mal hanya berfungsi sebagai pendistribusian zakat. Baitul Mal ini berkedudukan di bawah Majelis Agama Islam. Sedangkan di Indonesia, pengertian Baitul Mal ada dua makna. Pertama, ia adalah bagian dari BMT (Baitul Mal wat Tamwil), sebuah lembaga keuangan mikro syariah yang berdiri sejak awal dekade 90-an. Mayoritas BMT ini mengambil bentuk koperasi sebagai badan hukumnya. Dalam konsep BMT, Baitul Mal dimaknai sebagai instrumen yang sifatnya karitatif, dimana pembiayaannya berbasis kepada akad qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga). Sumber dananya biasanya dari zakat maupun infak. Sedangkan Baitut Tamwil merupakan instrumen pembiayaan komersial, dimana akad-akad komersial seperti murabahah, ijarah dan musyarakah yang digunakan, sehingga menjadi sumber untuk mendapatkan profit, yang dapat menjaga kelangsungan hidup BMT. Makna kedua, Baitul Mal adalah istilah legal untuk BAZNAS Provinsi Aceh dan BAZNAS kabupaten/kota di provinsi Serambi Mekkah. Ini merupakan salah satu bentuk keistimewaan yang dinikmati oleh Provinsi Aceh, dan diakomodasi dalam UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. 9 Sejatinya, zakat memang ranah pemerintah untuk mengaturnya. Namun di Indonesia telah terjadi „kecelakaan sejarah‟, dan itu berlaku hingga saat penerapan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam bab III UU tersebut dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan demikian, zakat dikelola oleh dua unsur secara bersamaan: Pemerintah dan masyarakat, secara sejajar. Merunut sejarah pengelolaan zakat secara terlembaga di Indonesia terhitung sejak berdirinya BAZIS DKI Jakarta tahun 1968 yang disusul dengan berbagai organisasi yang lain. Peran lembaga ini tidak hanya mengumpulkan zakat, tetapi juga dalam sosialisasi zakat yang dilakukan secara masif. Proses berikutnya lebih banyak bertumpu pada pengelolaan zakat yang dilakukan secara swadaya, baik yang dilaksanakan melalui ormas-ormas Islam, bahkan dilakukan secara nafsi-nafsi oleh setiap mesjid maupun mushalla. Perubahan secara dramatis mulai terlihat pada era pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Muncul semangat sebagian umat Islam untuk mendukung terbitnya satu undang-undang yang mengakomodir gerakan baru 9
DR. Irfan Syauqi Beik, Evolusi Peran Baytul Maal, Iqtishödia: Jurnal Ekonomi Islam Republika, 31 Mei 2012, hlm. 23.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
55
dalam pengelolaan Zakat-Infaq-Shadaqah (ZIS). Di Surabaya misalnya telah muncul Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), sementara di Jakarta telah menggeliat Dompet Dhuafa Republika. Keduanya hanyalah sebagian kecil dari organisasi sosial Islam namun dengan tubuh yang sangat baru: Manajemen profesional. Dompet Dhuafa Republika bahkan membentuk Institut Manajemen Zakat (IMZ) untuk mempercepat tranformasi tersebut. IMZ kemudian menjadi „sekolah rujukan‟ untuk belajar mengelola organisasi pengelola zakat (LAZ dan BAZ). Dalam kecepatan yang mengagumkan, LAZ mendorong perubahan wajah pengelola zakat-infaq-shadaqah, tidak saja dari sisi manajemen, namun juga model interaksi dengan masyarakat, melalui fungsi fundraising maupun program layanan. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, dana sosial umat Islam, utamanya zakat, telah berubah dari pengelolaan „seputar Ramadhan‟ dan untuk „kebutuhan sosial‟ fakir miskin, menjadi sebuah kegiatan yang menghasilkan tidak saja layanan sosial gratis. Bahkan mulai merambah ke pendidikan formal gratis (dari SD hingga Perguruan Tinggi), layanan kesehatan gratis, Rumah Sakit gratis, distribusi gizi (daging) dan insentif ekonomi peternakan rakyat ke pelosok menggunakan momentum „Idul Qurban, dan sentra-sentra ekonomi mikro di daerah. Melalui sinergi dengan LAZ lokal di daerah, LAZ skala nasional mendorong dengan cepat perubahan pengelolaan zakat didaerah, melalui pembinaan standar kompetensi. Capaian akuntabilitas juga tidak kalah baik. Hanya dalam waktu kurang dari 7 tahun, sebuah LAZ lokal di Kota Batam menjadi organisasi pengelola zakat pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi ISO 9001 tentang manajemen mutu, diikuti oleh BAZNAS di Jakarta dua tahun kemudian. Audit oleh akuntan publik, penggunaan media masa, majalah internal dan website untuk laporan keuangan tahunan telah menjadi standar yang berlaku umum. Meskipun ISO 9001 dan audit keuangan tidak berhubungan langsung peningkatan kinerja LAZ, namun sangat membantu memulihkan kepercayaan penyaluran zakat melalui lembaga. LAZ juga berhasil mendapat pengakuan melalui kerjasama dengan BUMN dan perusahaan publik dalam pengelolaan dana CSR untuk programprogram berjangka menengah dan panjang. Program jenis ini menuntut kehandalan perencanaan, pengelolaan kegiatan dan keuangan serta evaluasi berkelanjutan. LAZ pada akhirnya bertransformasi menjadi lembaga pengelola keuangan dan program. Pengelola LAZ tampil lebih agresif dalam menjamin keberlangsungan organisasi dan program-programnya. Ini mendorong pengelola menjadi lebih kreatif, adaptif menyesuaikan diri dengan kebutuhan donatur, dan mengembangkan pola komunikasi yang lebih kreatif.
56
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
LAZ juga mendorong pengelola zakat di Indonesia untuk merubah cara pandang posisi Amil-Muzakki. LAZ meninggalkan pola komunikasi tradisional yang mengedepankan ancaman dosa/siksa neraka/pahala dan aturan/UU/Perda dalam merebut kepercayaan muzakki. LAZ mengembangkan manajemen komunikasi yang menekankan manfaat lebih menyalurkan ZIS melalui program-program mereka, mengakomodasi kebutuhan muzakki dalam program distribusi dan menyediakan layanan yang sangat memudahkan muzakki, serta tentu saja paparan capaian akuntabilitas mereka. Dari sisi standar layanan, pelayanan terhadap pembayar zakat telah serupa dengan pelayanan perusahaan publik terhadap pelanggan mereka.10 Seiring perubahan profesionalisme organisasi pengelola zakat yang membawa angin segar, muncul pula persepsi yang beragam, baik dari sisi penilaian masyarakat maupun penyelenggara negara. Jika dicermati, motivasi menjadikan zakat sebagai bagian dari wilayah kekuasaan negara memang berbeda dengan sejarah awal Islam. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan zakat adalah masalah kepercayaan kepada pengelola, bukan urusan kepatuhan kepada khalifah seperti dalam sejarah awal Islam. D. UUPZ: Formalisasi dan Revitalisasi Kehadiran Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) Nomor 38 Tahun 1999 memang merupakan proses awal, atau lebih tepat disebut sebagai proses formalisasi hukum zakat. Dalam tahap ini UU tersebut telah memberi jalan terbukanya peran serta masyarakat yang sedemikian leluasa dalam melakukan kontribusi nyata dan ikut berpartisipasi aktif dalam melakukan pengumpulan, pengelolaan dan pelaporan zakat. Hal yang sama juga dialami oleh Badan Amil Zakat, sehingga ada suasana kompetisi yang sehat antara lembaga yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat semakin besar. Aktifitas BAZ dan LAZ terus meningkat dalam koridornya masing-masing. Meskipun mengalami perkembangan pesat, keadaan semacam itu dinilai kurang kondusif, karena banyak potensi yang begitu besar terabaikan. Pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah, tak ada pemetaan sebaran mustahiq dimana saja wilayah yang krusial, siapa saja yang telah melakukan program dan bagaimana bentuknya, semuanya belum terdata secara integral. Penyaluran kurang tertata dan cenderung sporadis: Kucurkan bantuan, langsung pergi. Masing-masing organisasi pengelola zakat berjalan sesuai visi misi sendiri-sendiri. 10
Menyambut UU Zakat Baru (1), http://www.dsniamanah.or.id/ yang diakses pada 30 Mei 2012.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
57
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No. 38 tahun 1999 dirasakan banyak pihak memang kurang optimal, masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam menjawab permasalahan perzakatan di tanah air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaruan. Karena itu di dalam UUPZ yang baru pengelolaan lebih terintegrasi dan terarah dengan mengedepankan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Dengan demikian UUPZ No. 23 Tahun 2011 lebih merupakan proses revitalisasi. Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Dengan lahirnya UU Pengelolaan Zakat yang baru Nomor 23 Tahun 2011 dan telah masuk dalam Lembaran Negera Republik Indonesia (LNRI) bernomor 115 tertanggal 25 November 2011, beleid tersebut menggantikan UU Nomor 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum pengelolaan zakat. Struktur dari UUPZ ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal. Di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Dalam bagian penjelasan secara eksplisit menyebutkan tujuan dari UUPZ adalah untuk mendongkrak daya guna dan hasil guna pengelolaan zakat, infak dan shadaqah di Indonesia. Oleh karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan syariat Islam, dan harus memenuhi asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan. UUPZ yang baru, kini lebih memberikan kepastian dan tanggungjawab kepada sebuah lembaga yang (dipandang) mampu mengkoordinasikan kepentingan stakeholders, tentu saja dengan dibekali kewenangan. Pilihannya jatuh kepada BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) seraya diberikan tugas melakukan perencanaan, pengumpulan, pengendalian dan pelaporan zakat. Kalau diamati secara seksama, BAZNAS memiliki kewenangan yang lebih. Jika ada yang meragukan kemampuan BAZNAS pada masa lalu, besar kemungkinan itu dikarenakan kewenangan yang masih terbatas sehingga dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian zakat kalah jauh dengan prestasi LAZ. Tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang, BAZNAS akan sangat leluasa dengan memiliki hierarki dan network hingga tingkat struktur yang paling bawah. Status BAZNAS dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang bersifat mandiri yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui menteri. Sehingga dapat
58
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
dikatakan merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang dalam hal ini secara teknis berada dibawah koordinasi Kementerian Agama (Kemenag). 11 Ada empat pesan dan muatan UU Pengelolaan Zakat yang baru. Pertama, secara konstitusional, bahwa UU Pengelolaan Zakat ini sesuai dengan UUD RI Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1). Kedua, secara ideologis, bahwa negara berkewajiban menata dan mengatur tata laksana dalam rangka peningkatan kualitas umat melalui pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Ketiga, secara filosofis, UU Pengelolaan Zakat yang bertujuan memotong mata rantai kemiskinan. Keempat, secara sosio-politik, UU Pengelolaan Zakat hendak mendorong adanya integrasi, sinergi dan koordinasi yang jelas dalam pengelolaan zakat dan dana sosial keagamaan lainnya dapat terpadu dan terintegrasi dari pusat hingga ke daerah sehingga menciptakan program-program yang tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu bagi fakir miskin sebagai mustahiq utama zakat. Disamping itu, ada tiga esensi penting penataan pengelolaan zakat dalam amandemen UU tersebut. Pertama, menata sistem manajemen zakat yang terpadu dan terintegrasi dengan BAZNAS sebagai satu-satunya lembaga pemegang otoritas zakat dan dibantu oleh LAZ. Kedua, kedudukan pemerintah berperan dalam pembinaan, regulasi dan pengawasan, serta motivasi dan fasilitatif, sedangkan BAZNAS sebagai organisasi pemerintah non-struktural yang akan mengkoordinir pengelolaan zakat secara nasional. Ketiga, dengan dikelola oleh organisasi yang berbadan hukum resmi, maka kepentingan umat akan lebih terlindungi sehingga memudahkan muzakki membayar zakat, serta memudahkan mustahiq memperoleh haknya. Apapun perubahan yang dibawa oleh hadirnya UU No. 23 Tahun 2011 tentu tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dhu'afa/mustahiq sebagai tujuan utama pengelolaan zakat. Komunikasi dan sinergi, baik antara BAZ dan LAZ maupun diantara LAZ harus terjadi, karena merupakan syarat mutlak perbaikan kinerja pengelolaan zakat secara umum. E. Pasal-Pasal Krusial Pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Zakat memang telah memicu beragam tanggapan masyarakat, terutama yang terlibat secara langsung dalam urusan pengelolaan zakat selama ini. Ada yang melihat UU tersebut sebagai upaya sinergitas yang memperkuat keberadaan lembaga pengelola zakat. Tapi ada juga yang melihat dari sisi pengambilalihan secara sepihak urusan pengumpulan zakat dari lembaga yang dikelola oleh 11
M. Anwar Sani dkk., Catatan Kritis UU Pengelolaan Zakat: Berharap PP Sebagai Solusinya, dalam rubrik Fokus Majalah INFOZ+ (Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat), edisi 16, Tahun VII, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Januari-Februari 2012, hlm. 4-7.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
59
masyarakat, lalu dikuasai oleh pemerintah. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, ada yang melihatnya sebagai ancaman yang menghapus keabsahan UU zakat sebelumnya, sehingga dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan perlu diganti, padahal belum ada penelitian secara khusus mengenai efektifitas UU zakat sebelumnya, dan oleh karenanya UU nomor 23/2011 tersebut perlu digugat serta dilakukan judicial review atau uji materi di Mahkamah Konstitusi. Terdapat beberapa isu krusial yang tercantum dalam UU zakat terbaru, antara lain sentralisasi pengelolaan zakat melalui BAZNAS, marjinalisasi peran LAZ (Lembaga Amil Zakat) bentukan masyarakat dan kekhawatiran akan “diberangusnya” LAZ melalui aturan persyaratan sebagai ormas, serta ketidakadilan alokasi dana APBN yang hanya diberikan pada BAZNAS. Terlepas dari pro-kontra lembaga pengelola zakat, sebenarnya persoalan distribusi zakat bukanlah bagi-bagi jatah kue, tapi lebih dekat dengan peran sebagai pak pos yang menerima amanah dari orang yang menitip untuk disampaikan kepada person yang tepat. BAZ dan LAZ antara satu dengan yang lain perlu mengembangkan konsep ta‟awun dan fastabiqul khairāt. Jika paradigma berpikir demikian, tentu semakin banyak petugas yang amanah akan semakin meringankan dan mempercepat selesainya tugas. Beberapa pasal UUPZ terbaru yang dianggap krusial dan segera menjadi polemik di kalangan masyarakat antara lain: No. 1.
Pasal Pasal 5 ayat (1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
2.
Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: (a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian pengumpulan,
Polemik Mengedepankan sentralisasi. Padahal kini tengah gencar semangat desentralisasi di berbagai sektor. Muncul gejala degradasi trust terhadap lembaga bentukan pemerintah, karena acapkali terjadi masalah pelaporan keuangan, transparansi dan akuntabilitas. Semestinya BAZNAS dan pemerintah cukup mengambil peran sebagai regulator, monitoring dan pembinaan, bukan operator. Sebab kalau melakukan operasional, apalagi menggunakan pendekatan kekuasaan kepada masyarakat agar menyalurkan zakat ke BAZNAS, itu akan menimbulkan masalah baru. Pola koordinasi BAZNAS dengan LAZ harusnya bersifat koordinatif, konsultatif, dan sinergis, bukan intervensi.
60
3.
4.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Pasal 17 Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ
Pasal 18 (1). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. berbentuk lembaga berbadan hukum; c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. memiliki pengawas syariat; e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. bersifat nirlaba; g. memiliki program untuk
Terkesan marjinalisasi kekuatan masyarakat sipil. Kata “membantu” seolaholah ada hubungan struktural vertikal antara LAZ dengan BAZNAS. Padahal hubungan tersebut hanya ada pada BAZNAS pusat hingga daerah. Fungsi LAZ pun tetap sama, yaitu menghimpun dan menyalurkan zakat, serta membuat laporan pertanggungjawaban, bukan kewajiban untuk menyetorkan dana zakat kepada BAZNAS. Hal ini dimaksudkan agar konsolidasi dan sinergi antar Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dapat “diformalkan” . Prosedur akreditasi berlaku bagi LAZ. Aturan ini mengindikasikan lembaga zakat harus berafiliasi dengan organisasi masyarakat atau memilih menjadi Unit Penyalur Zakat (UPZ) sebagai perpanjangan dari BAZNAS yang mengurus zakat di daerah kabupaten dan kota. Padahal banyak lembaga bentukan masjid atau pondok pesantren yang tidak terafiliasi dengan organisasi masyarakat apapun. Lembaga zakat yang tersebar di mushalla, surau, masjid di kampung dan perkantoran, majelis taklim kecil, dan pesantren juga terancam. Mereka akan tergerus oleh aturan baru dan sangat sulit untuk bermetamorfosa menjadi ormas, apalagi dibatasi waktu 5 tahun, karena semua itu dilakukan secara kultural dan sporadis. Kalaupun ada, badan hukumnya hanya berupa yayasan. Seharusnya ada penambahan kata atau di pasal 18 ayat 2 poin a dan b sekaligus menambahkan kata yayasan supaya mereka tetap bisa beroperasi dan eksis. Bahkan LAZ yang
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
5.
6.
7.
mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. Pasal 19 LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. Pasal 38 Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasal 41 Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
61
sudah eksis dalam Bab Peralihan „dipaksa‟ untuk menyesuaikan bila ingin tetap eksis sebagai LAZ dan mendapat pengakuan pemerintah. Pemerintah sebagai regulator melalui BAZNAS akan melakukan pengawasan terhadap kinerja LAZ, juga sanksi pembekuan jika LAZ terbukti melakukan penyimpangan. Lalu siapa yang mengawasi BAZNAS? Ini dianggap upaya pemerintah untuk mengerdilkan lembaga zakat yang sudah eksis di tengah-tengah masyarakat. Selain itu juga dapat menghambat kedermawanan masyarakat.
Hal ini cukup mengkhawatirkan karena bisa menjadikan para aktivis zakat dari kalangan masyarakat selalu khawatir. Sebab, seharusnya kegiatan ibadah yang perlu didukung dan dikuatkan justeru dibayang-bayangi oleh ancaman pidana penjara dan denda sekaligus. Hal ini bisa mengancam gairah di dunia zakat, sehingga menyulut pro dan kontra.
F. Zakat Pengurang Pajak Dalam UUPZ yang baru mulai diwacanakan agar zakat dapat diperhitungkan sebagai pengurangan terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP). Itu berarti pembayar zakat akan memiliki semacam Nomor Peserta Wajib Zakat (NPWZ) yang bisa berkaitan dengan pajak. Meskipun antara pajak dan zakat memiliki beberapa persamaan, seperti adanya unsur paksaan, unsur pengelola, dan beberapa kesamaan dari sisi tujuan, namun sebenarnya terdapat perbedaan signifikan, baik dari segi nama, dasar hukum dan sifat kewajiban, serta dari sisi objek zakat atau pajak berikut prosentase dan pemanfaatannya.12 12
Bahasan lebih detil rujuk DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat Dalam
62
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
Terkait hubungan zakat dan pajak, meskipun telah diupayakan agar zakat menjadi salah satu faktor pengurang pajak, namun ternyata hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU RI Nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf (g) dan pasal 4 ayat (3) tentang Pajak Penghasilan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2010 telah diatur bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, meliputi zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, untuk memperoleh fasilitas zakat sebagai salah satu unsur pengurang penghasilan kena pajak, muzakki harus membayar zakat kepada lembaga zakat yang sudah terdaftar resmi dan diakui pemerintah. G. Analisis SWOT Untuk mendapatkan gambaran ringkas mengenai kondisi dan situasi yang terjadi sebagai bahan evaluasi terhadap penerapan UUPZ dalam organisasi BAZNAS dan LAZ, maka dapat dilihat dari sisi analisis SWOT, akronim dari Strenghts (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan) dan Threats (Ancaman). Hasilnya dapat diajukan sebagai rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan menambah keuntungan dari peluang yang ada, sambil mengurangi kekurangan dan menghindari ancaman. 1. Strenghts (kekuatan) Kekuatan BAZNAS adalah dukungan struktural dan akses terhadap organ pengawasan daerah. Sedangkan kekuatan LAZ adalah fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi secara cepat karena tidak terhambat birokrasi pemerintah. 2. Weaknesses (kelemahan) Kelemahan BAZNAS adalah lingkungan birokratif pemerintahan. Kelemahan LAZ adalah kesulitan bersinergi. LAZ tidak memiliki akses terhadap tata ruang dan menjadi tak berdaya menghadapi penggusuran usaha dhu‟afa yang dibiayainya. LAZ tidak memiliki akses pada anggaran sosial dan kesehatan, sehingga seringkali hanya membantu ala kadarnya.
Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm. 51-65.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
63
3. Opportunities (kesempatan) Pemerintah memiliki keunggulan dalam organ perencanaan hingga audit keuangan yang dapat dilibatkan sehingga perencanaan dan pengendalian lebih baik dan utuh. Pengelolaan zakat dibawah „satu pintu‟ akan membuka peluang zakat dikelola sebagai sesuatu yang integral, utuh dan dengan sumberdaya yang menyeluruh. Untuk menghindari polemik UUPZ yang baru, perlu penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang aspiratif dan efektif. Peluang sosialisasi dan edukasi publik tentang zakat hendaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Masih besarnya gap antara potensi dan aktualisasi zakat menunjukkan bahwa publik masih belum sepenuhnya memahami urgensi pengelolaan zakat melalui institusi amil. 4. Threats (Ancaman) Masa transisi lima tahun ke depan adalah masa yang sangat genting dan strategis bagi penataan kelembagaan zakat. Penyelesaian PP dan PMA yang semakin lambat akan membuat UUPZ yang baru menjadi kontraproduktif. Kebutuhan SDM untuk BAZNAS menjadi sangat besar. Tentu perlu diatur mekanisme rekrutmen dan status kepegawaian BAZNAS. H. Tantangan ke Depan BAZNAS tidak hanya menghimpun dan menyalurkan zakat yang diperoleh dirinya sendiri seperti halnya LAZ, namun juga harus melakukan standarisasi pengelolaan zakat secara nasional, yang berlaku bagi seluruh organisasi pengelola zakat. Standarisasi tersebut mencakup pengembangan kelembagaan internal dan eksternal, sertifikasi dan perizinan kelembagaan, pengembangan SDM dan keamilan, pengembangan sistem penghimpunan dan penyaluran, standarisasi sistem pengawasan, teknologi informasi, keuangan dan pelaporan, hubungan luar negeri, serta sebagai pusat koordinasi dan database zakat nasional. Belum lagi ditambah dengan fungsi pengawasan internal dan operasional internal BAZNAS. Semua ini tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan hak amil. Karena itu, hal yang sangat wajar jika BAZNAS mendapat dana APBN mengingat tugas dan fungsinya yang jauh lebih berat dari LAZ. Disamping itu, BAZNAS juga perlu segera menyiapkan sistem informasi zakat yang berlaku nasional, untuk memberikan pelaporan mengenai data pemberi dan penerima zakat. Pendataan mustahik sangat diperlukan
64
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
sehingga tak ada tumpang tindih pendistribusian zakat. Sebab, tak jarang masih ada mustahik yang terdaftar di satu lembaga juga tercantum di lembaga lainnya.13 Bagaimanapun, trust atau kepercayaan lahir atas kinerja, kesungguhan dan keamanahan, bukan dari pemberian. Dengan begitu, masyarakat atau stakeholder akan terus memberikan donasinya, bermitra kepada lembaga zakat, meningkatkan capaian dan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, langkah strategis harus dilakukan terutama oleh praktisi atau pegiat zakat melalui berbagai hal, diantaranya: Bangun kesadaran masyarakat yang masih tidur dan belum bergerak kesadarannya menjadikan zakat sebagai kewajiban ‟pribadi‟, akan tetapi harus menjadi kesadaran komunal atau bersama. Pada akhirnya, lembaga zakat mau tidak mau, harus menerapkan pola GCG – good corporate governance, kalau tidak mau ditinggal oleh stakeholdernya. Ada lima prinsip yang menjadi pedoman didalam pelaksanaan GCG, yaitu; Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF. Asas Transparency menuntut tersedianya informasi yang terbuka, akurat dan tepat waktu. Accountabilily dijabarkan dengan kejelasan fungsi organisasi dari struktur dan sistem yang dibangun. Responsibility dilakukan dengan kepatuhan lembaga terhadap segala peraturan yang berlaku. Independency mensyaratkan agar lembaga dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan intervensi dari manapun. Dan, Fairness menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak para stakeholder menurut perundangan yang berlaku.14 I. Kesimpulan UU Pengelolaan Zakat merupakan proses formalisasi yang perlu direvitalisasi. Dengan kewenangan besar yang dimiliki BAZNAS dalam mengatur arus lalu-lintas dana zakat, seyogyanya mampu membangkitkan kesadaran dan menggerakkan seluruh komponen masyarakat agar lebih mengoptimalkan dana zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Jika pengelolaan zakat dilakukan secara bersama dan tepat, zakat akan menjadi kekuatan ekonomi yang besar, karena berdasarkan berbagai penelitian, zakat di Indonesia memiliki potensi yang cukup signifikan.
13
A. Syalaby Ichsan, Sistem Informasi Zakat Disiapkan, Harian Republika, Kamis, 12 April 2102, hlm. 12. 14 Ir. Moch. Arief, 2012 - Merajut ZAKAT Sebagai Kesadaran Komunal, http://www.dsniamanah.or.id/ yang diakses pada 29 Mei 2012.
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
65
Untuk itu perlu upaya mengintegrasikan semua stakeholder pengelola zakat tanpa menyingkirkan lembaga yang sudah ada. Kata kuncinya adalah: Sinergi. Dalam kacamata sinergi, yang ada adalah saling menguatkan, bukan saling melemahkan. Terkait dengan amandemen UUPZ yang selanjutnya akan diikuti dengan PP dan PMA sebagai mekanisme operasionalnya, ada kaidah fiqh yang bisa dijadikan landasan:
الوحافظة على القدين الصالح واألخذ بالجديد األصلح Artinya: Memelihara tradisi/pemikiran lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi, tidak perlu mengembangkan sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru, atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama.
66
Lukmanul Hakim, Lc. MA Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Didin Hafidhuddin, M.Sc. DR. KH., Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002. Harian Republika, Kamis, 12 April 2102. H.M. Umar, MHI. Drs., Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif: Praktek Pendayagunaan Zakat di Jambi, Jambi: Sulthan Thaha Press, IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2008. Iqtishödia: Jurnal Ekonomi Islam Republika, 31 Mei 2012. Majalah INFOZ+ (Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat), edisi 16, Tahun VII, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Januari-Februari 2012. Munawir Sjadzali, KH. dkk., Zakat dan Pajak,Jakarta: Yayasan Bina Pembangunan, 1991. Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. Sunan Abu Dawud, Riyadh: Dar al-Salam, 2000 al-Suyuthi, „Abd al-Rahman ibn al-Kamal Jalal al-Din, Tarikh al-Khulafa‟, Mesir: Mathba‟ah al-Sa‟adah, 1371 H./ 1952. al-Thabari, Muhammad ibn Ja‟far, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Mesir: Dar al-Ma‟arif, tt., Juz II. Yusuf al-Qardhawi, al-„Ibadah fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991