PROBLEM SOLVING BERBASIS PESANTREN Ali Wafa Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo, E-mail:
[email protected] Abstrak Riset ini membahas teknik problem solving di Lembaga Pendidikan Islam (Madrasah Tsanawiyah), yaitu bagaimana problema diselesaikan dan memiliki dampak positif terhadap secara kelembagaan dalam mencapai tujuannya. Teknik pemecahan masalah menggunakan teori SWOT dan Supervisi.1 Penelitian dilakukan di MTs Walisongo 1 Maron Probolinggo dan MTs Nurul Jadid Paiton Probolinggo dengan menggunakan wawancara. Organisasi identik dengan masalah. Masalah menjadi bagian integral organisasi. Meskipun paling dihindari, organisasi tidak bisa lepas dari masalah. Masalah harus dihadapi dan diselesaikan, sehingga mencapai tujuan yang ditetapkan. Upaya menyelesaikan masalah organisatoris disebut problem solving. Dalam kerangka ini, teknik problem solving menjadi penting. Adanya permasalahan menunjukkan organisasi masih hidup. Masalah memiliki dampak positif dan negatif, tergantung sejauh mana kemampuan organisasi mengelolanya. Organisasi yang dapat mengelolanya dengan baik, menjadi maju. Sebaliknya, organisasi yang gagal menghadapi masalah, jurang kehancuran menjadi kuburannya. Kata Kunci: Problem Solving, Pesantren. Pendahuluan Secara genealogis, eksistensi madrasah berakar kuat pada masyarakat. Madrasah dibangun, tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Artinya keberadaan madrasah tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan serta sosial budaya pada suatu masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa madrasah telah menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education)2. Berdasarkan teori Muhaimin tersebut madrasah masyarakat membidani eksistensi madrasah.
1
Teori supervisi mengacu kepada konsep Titiek dimana menjadi salah satu model dalam menyelesaikan permasalahan lembaga dalam proses pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dilakukan supervisi klinik untuk membantu guru atau menejemen sekolah mencapai tujuannya. Lihat Titiek Rohanah Hidayati, Supervisi Pendidikan; Sebuah Upaya Pembinaan Kompetensi Guru (Jember: Stain Press, 2013), 99-100. 2 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada, 2011), 113.
Ali Wafa
Madrasah Tsanawiyah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang berafiliasi ke Kementerian Agama. Kehadiran madrasah merupakan solusi atas dikotomi pendidikan pesantren dan pendidikan umum.
Madrasah menjadi jalan
tengah, dimana generasi muslim diharapkan dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan basis keimanan dan ketaqwaan yang mantap. Madrasah Tsanawiyah menghadapi masalah yang beragam. Mulai dari kelembagaan, ketenagaan, dana, hingga sosial budaya. Secara manajemen, masalah di madrasah tsanawiyah adalah masalah manajemen, baik kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana, humas, konflik hingga masalah khusus. Perkembangan madrasah berlangsung secara dialektis, bukan taken for granted. Masyarakat, pemikiran dan gerakan muncul, berkembang atau berhenti bukan didasarkan pada satu dimensi waktu, tetapi biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.3 Perkembangan madrasah bisa diruntut dari kegelisahan masyarakat muslim untuk menserasikan antara IMTAK dan IPTEK kepada generasi muslim masa depan. Kehadiran PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) patut disyukuri, karena dapat berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas melalui Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. Standar Nasional Pendidikan dalam hal ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.4 Jadi standar nasional pendidikan berfungsi sebagai acuan penyelenggara pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Kualitas pendidikan
3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1982), 9. Standar Nasional Pendidikan (SNP) (Bandung : Fokus Media, 2008), 6. 2 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 4
Problem Solving Berbasis Pesantren
dapat dilihat dari isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.5 Pembaharuan
pendidikan
madarasah
tidak
lepas
dari
manajemen.
Manajemen dipandang sebagai solusi modernisasi pendidikan madrasah. Alasan tentang mengenai premis ini bisa berderet-deret. Dalam hemat penulis terdapat dua hal utama terkait peran dan fungsi manajemen dalam pembaharuan pendidikan madarasah yaitu, menyangkut pengelolaan internal dan keberadaan madarasah yang belum diperhitungkan dunia luar (masyarakat). Dua hal ini menjadi titik pijak terhadap upaya memajukan madrasah. Masalah adalah kesenjangan antara yang diinginkan dengan yang terjadi. Masalah merupakan gap antara yang ideal dengan realitas, antara das sein dengan das sollen. Masyarakat umum memiliki salah persepsi terhadap masalah. Mereka memandangnya secara disfungsi, bahkan destruktif. Padahal, ia juga fungsional apabila dikelola dengan baik. Tanpa masalah, akan muncul pemikiran tentang tidak perlunya perubahan dan perhatian dilakukan karena mengira semua program berjalan dengan baik.6 Pemecahan masalah merupakan proses mental dan intelektual dalam memahami dan memecahkan persoalan berdasarkan data dan informasi yang akurat untuk kemudian dilakukan solusi-solusi yang tepat dan cermat.7 Data dapat diperoleh melalui investigasi atau cara lainnya yang dianjurkan secara ilmiah maupun organisatoris. Data dan informasi yang masuk harus divalidasi agar tidak simpang siur dan menyesatkan. Kedua proses tersebut menjadi penting dan mendasar agar penyelesaian masalah tidak menimbulkan masalah baru. Pemecahan
masalah merupakan proses
rasional, bukan
emosional.
Pertimbangan-pertimbangan dalam pemecahan masalah organisasi melibatkan logika organisasi yang tertuang dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) dan berorientasi pencapaian visi-misi kelembagaan. Unsur-unsur yang terlibat 5
H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), 169-170. 6 Gibson, Ivancevic, Donnelly, Organization (Richard D Irwin Inc, 1995), 436. 7 Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Bandung: Alumni, 1994), 151, bandingkan dengan Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Memengaruhi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 139. Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 3
Ali Wafa
di dalamnya dilibatkan sehingga dapat memperkuat kelembagaan. Upaya tersebut dilakukan melalui koordinasi dan konsolidasi secara terus menerus. Masalah harus dimanaje dengan baik agar memiliki dampak posistif terhadap organisasi. Keberadaan manajemen dalam penyelesaian masalah menjadi penting. Kebenaran yang tidak dikelola dengan baik akan kalah dengan kezaliman yang dimanaje secara terorganisir. Dengan demikian, manajemen menjadi misteri dalam penyelesaian masalah, mulai dari proses planning, organizing, actuating hingga controlling. Efektifitas, efisiensi dan produktifitas menjadi tujuan penyeleasian masalah organisasional. Gibson berpendapat bahwa masalah organisasi dapat dihilangkan atau dihindarkan dengan cara merekrut orang yang tepat, menetapkan uraian kerja secara hati-hati, menyusun organisasi dengan cara membuat mata rantai komando yang jelas, dan menciptakan aturan dan prosedur yang jelas untuk menghadapi berbagai macam hal yang terjadi.8 Prinsip The right man on the right job, the right man on the right place adalah tepat sebagai langkah antisipatif. Masalah sering muncul akibat the right man on the wrong place atau the wrong man on the right place juga akan mendatangkan persoalan yang tidak kecil di kemuadian hari. Problem solving dapat dilakukan melalui beberapa langkah, seperti identifikasi masalah, menemukan sumber dan akar masalah dan kesimpulan. Pemecahan masalah dimulai dengan memahaminya, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan evaluasi. Dengan demikian, pemecahan masalah merupakan bagian dari proses manajemen. Pemecahan masalah dilakukan dengan manajemen dan berorientasi pada perencanaan hingga hasil yang diinginkan. Teknik pemecahan masalah dalam penelitian ini menggunakan teori SWOT dan supervisi. Berikut deskripsi konsep kunci keduanya: Teori Manajemen Everything is by manajemen (segala sesuatu menjadi baik melalui manajemen), demikian pula pemecahan masalah dalam mengelola tantangan lembaga pendidikan Islam. Pemecahan masalah di Madrasah Tsanawiyah mengharuskan adanya 8
Gibson, Organization, 436. 4 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren
manajemen, baik kelembagaan, kultur, tradisi dan nilai-nilai yang berada di dalamnya. Manajemen merupakan jalan keluar pemecahan masalah organisasional madrasah. Dalam hemat penulis terdapat dua hal utama terkait peran dan fungsi manajemen yaitu, menyangkut pengelolaan internal dan keberadaan MTs sebagai the second choice. Dua hal ini menjadi titik pijak terhadap upaya memajukan lembaga pendidikan Islam.9 Manajemen pemecahan masalah merupakan proses mengelola perubahan dalam lembaga pendidikan Islam dimana terdapat pola hubungan antara keduanya dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.10 Manajemen diperlukan peran dan fungsi pesantren berlangsung produktif,11 mengacu pada tata laksana yang jelas sehingga tidak terjadi kesimpang-siuran, apalagi tumpang tindih tugas atau saling lempar tanggung jawab menyangkut hal-hal yang urgen. Manajemen pemecahan masalah mengacu pada manajemen budaya Madarasah Tsanawiyah. Prinsip-prinsip manajemen berbasis pada kekhasan budaya lembaga pendidikan islam. Perencanaan, pembagian tugas, pengelolaan, dan pengendalian partisipatif menjadi hal utama. Manajemen budaya lebih berorientasi pada decision making, yaitu proses pengambilan keputusan melalui proses yang melibatkan stake holders (masyarakat, praktisi pendidikan, wali santri dan pemerintah). Manajemen budaya menjembatani partisipasi lingkungan sosial dapat tersalurkan dengan baik. Manajemen budaya pesantren harus berangkat dari good will (keinginan baik) pihak pesantren.
Teori SWOT Teori SWOT12 meliputi Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman) yang terdapat pada Lembaga
9
Wayne K. Hoy-Cecil G. Miskel, Educational Administration; Theory reserach and Practice Third Edition, (New York: Rondom House, 1987), 336, 337. 10 Wukir, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta, Multi Persindo, 2013) 38-39. 11 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) 71. 12 Freddy Rangkuti, Analisis Swot Tehnik Membedah Kasus Bisnis,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 137. Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 5
Ali Wafa
Pendidikan Islam (MTs). Dengan analisis SWOT ini dapat diketahui peta masalahnya. Identifikasi unsur strengths dengan mendaftar semua kekuatan yang dimiliki, weakness meliputi unsur kelemahan lembaga, opportunities meliputi semua peluang, dan identifikasi threats
(ancaman) yang dihadapi. Langkah selanjutnya adalah
menyatukan unsur SO (strengths-opportunities), yaitu memanfaatkan semua kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang. Strategi WO (weaknessesopportunities) dipakai untuk mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan semua peluang yang dimiliki. Strategi ST (strengths-threats) dipakai untuk menghindari semua tantangan yang dihadapi berdasar kekuatan yang ada dan strategi WT (weaknesses-threats) untuk menekan kelemahan dan menghadapi kelembagaan baik internal maupun eksternal.
Teori Supervisi Titiek menempatkan supervisi sebagai upaya setting for learning, dengan menjadikan guru dan warga sekolah sebagai mitra pengawas yang sama-sama memiliki tujuan mengambangkan dan memajukan lembaga pendidikan. Supervisi diarahkan kepada urusan teknis edukatif dan administratif. Supervisi dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan wawasan dan kemampuan profesional dalam bidangnya. Supervisi diarahkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran.13 Supervisi klinik yang diterapkan untuk mencapai tujuan di atas. Teknik supervisi bisa dilakukan secara individual maupun kelompok.14 Supervisi individual meliputi supervisi perkembangan,
direncanakan bersama, sebaya, memanfaatkan
siswa dengan alat-alat elektronik dan pertemuan informal. Supervisi kelompok dilaksanakan melalui supervisi rapat guru, sebaya, diskusi, demonstrasi, pertemuan ilmiah dan kunjungan ke sekolah.
Hasil Penelitian MTs Walisongo 1 Maron merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua seeks Kawedanan Gending yang berdiri pada tahun 1960 dengan bentuk Muallimin 6 13
Titiek, Supervisi, 9. Made Pidarta, Supervisi Pendidikan Kontekstual (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 141-188. 6 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 14
Problem Solving Berbasis Pesantren
tahun atas inisiatif para tokoh NU Kecamatan Maron, Banyuanyar dan Gending.15 Ribuan alumni tersebar di berbagai daerah dan profesi ikut mewarnai kehidupan beragama berbangsa dan bernegara. Lembaga di bawah naungan NU ini, menjadi salah satu lembaga berprestasi di Kabupaten Probolinggo, baik akademik maupun vocational skill. MTs Nurul Jadid merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Dengan demikian keberadaan MTs. Nurul Jadid tidak bisa dilepaskan dari sejarah, tradisi dan normatifitas Pondok Pesantren Nurul Jadid. Argumentasi yang dapat dikemukakan di sini adalah nama Nurul Jadid yang melekat di belakang kata MTs dan lokasinya di areal pesantren. Karena terletak di kawasan pesantren16, kedua MTs tersebut merupakan lembaga pengkaderan para pemikir agama, lembaga pemasok sumber daya manusia dan lembaga yang mendorong kemandirian dan pemberdayaan masyarakat maupun sebagai lembaga yang mendorong serta ikut aktif dalam perubahan sosial kemasyarakatan. Karena sejak berdiri MTs. Nurul Jadid memang bukan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan keilmuan melainkan juga penjagaan budaya, penyebaran etika dan moralitas keagamaan. Pembelajaran di kedua MTs. tersebut dilaksanakan secara integratif di sekolah dan di asrama. 1. Potret MTs Nurul Jadid dan Walisongo 1 Maron Pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan lembaga. Pembelajaran berlangsung sejak pukul 07.30 hingga 13.00. Pembelajaran dilaksanakan dengan metode berpusat pada siswa dan fasilitas yang telah tersedia. Pembelajaran disampaikan oleh guru sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Jadwal pelajaran mengacu pada kalender pendidikan yang 15
Data MTs Walisongo 1 Maron. Pesantren merupakan lembaga yang memiliki fungsi dan mengambil peran sebagai lembaga pendidikan yang melakukan pendalaman dan pengkajian ilmu-ilmu agama dan nilai-nilai Islam (Islamic Values); lembaga pendidikan yang melakukan kontrol sosial dan lembaga pendidikan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering), baca M. Sulthon dan Moh. Khusnurido, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2006), 8. Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 7 16
Ali Wafa
menyesuaikan antara tradisi pesantren dan ketentuan dari Departemen Agama. Hari efektif yang tersedia dalam satu semester adalah 126 hari.17 Pembelajaran lebih menekankan pada pendekatan-pendekatan psikologis untuk penguatan cita-cita. Pembelajaran multisensori yang mengaktifkan semua indera diterapkan untuk memudahkan siswa belajar.18 Lebih lanjut Hasanah menjelaskan bahwa pembelajaran juga ditunjang dengan adanya sarana prasarana yang cukup, baik referensi di perpustakaan, audio visual, internet19 dan juga melalui lingkungan. Fasilitas tersebut diberikan agar siswa mendapat kemudahan dan termotivasi untuk mengakses informasi khususnya yang berhubungan dengan materi pelajaran. Asrama merupakan tempat bagi santri selama mondok di PP Nurul Jadid. Lokasinya terletak sekitar 50 – 100 m dari MTs Nurul Jadid. Selama berada di asrama peserta didik melakukan pendalaman dan pengembangan materi yang diajarkan di madrasah. Asrama menjadi ruang bagi peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara mandiri dan sosial. Di asrama ini pula peserta didik dapat melakukan serangkaian kegiatan seperti pengajian kitab kuning, ta’addy (tarbiyyah ad-diniyyah), bahtsul masa’il, bahthul kutub,20 istighatsah bersama, jam belajar, serta student day. Student day merupakan kegiatan yang berorientasi pada bakat dan minat yang dilaksanakan setiap Senin malam dan Kamis malam serta Jum’at siang secara terorganisir.
17
Data di Bank Data MTs Nurul Jadid 19 Nopember 2015. Hasanah Sunaryo (guru mata pelajaran Fiqh) wawancara, Paiton, 30 Nopember 2015. Istilah multisensori yang dipakai Hasanah mengacu kepada Colin Rose dan Malcolm yang menyatakan bahwa pengalaman multi-sensori akan memperluas dan memperdalam potensi siswa dalam mengingat melalui pengalaman visual, auditori dan kinestetik. Baca Colin Rose dan Malcolm, Accelerated Learning for 21th Century. Terj. Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa,2002),194-195. 19 Sarana internet juga tersedia di kedua MTs tersebut dan siswa tingkat menengah juga dapat mengaksesnya pada hari Selasa dan Jumat. Program ini dimaksudkan untuk memperluas cakrawala berpikir peserta didik di pesantren. Untuk menjaga siswa dari pegaruh negatif yang dimbulkan oleh tekhnologi infeormasi diterapkan sistem restriksi bagi situs-situs negatif (pornografi). 20 Dilaksanakan setiap Jum’at malam. Pada kegiatan ini siswa dapat bertugas sebagai, pembaca, pemberi penjelasan, pembahas untuk kemudia dikontekskan dengan masalahmasalah yang berkembang. Kegiatan ini didampingi oleh seorang ustadz sebagai fasilitator. 8 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 18
Problem Solving Berbasis Pesantren
2. Masalah yang dominan Masalah yang ditemui dikedua lembaga ini mencakup konflik, masalah pendanaan dan kesiswaan. ”awal saya menjabat kepala madarasah, merupakan ujian yang cukup berat, yaitu terjadinya konflik yayasan dan lembaga. Namun, hal ini memacu saya untuk menyelesaikannya.21 Masalah tersebut merembet kepada kegiatan belajar mengajar, terutama keaktifan dan kedisiplinan guru. ”Kegiatan pesantren dan sekolah merupakan dua hal yang harus dicapai secara bersama-sama. Tuntutan tersebut menjadi beban sekaligus tantangan dalam mengelola lembaga. Tapi kepala madrasah dapat mengelolanya dengan baik.22 Pesantren menyelenggarakan sejumlah program dengan titik tekan pada penguasaan kitab kuning. Sementara itu, madrasah sebagai kepanjangan tangan kementerian agama diwajibkan menuntaskan kurikulum. Dengan demikian, madrasah di pesantren memiliki dua atasan sekaligus, pesantren dan kementerian agama, dimana keduanya sama-sama memiliki prioritas. Persoalan pendanaan adalah persoalan klasik di semua lembaga swasta. Lembaga swasta menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, demikian pula dalam hal pendanaan. Di kedua MTs tersebut, pendanaan diperoleh dari dana BOS (biaya operasional sekolah), BSM (beasiswa siswa miskin), dan infaq dari siswa. Dana tersebut digunakan untuk operasional lembaga, baik rutin maupun pengembangan. Sementara BSM diberikan langsung kepada siswa dalam bentuk bantuan langsung. 3. Supervisi klinis Bapak Holil Hasyim, S.Pd. Guru Bahasa Inggris MTs Nurul Jadid mengatakan: “kepala sekolah juga melakukan supervisi klinis dalam upaya meningkatkan kompetensi guru. Supervisi klinis ini adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sisitematik, dalam perencanan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata serta bertujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dan 21 22
Wawancara dengan Kholilullah, Kepala MTsWalisongo 1 Maron, 02 Desember 2015. Wawancara dengan Khorul Anam, Kepala TU. MTs Nurul Jadid Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 9
Ali Wafa
merupakan bimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu mengembangkan kompetensi professionalisme guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif, teliti sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru”.23 Bapak Toha, S.Pd., menambahkan: “Dalam melakukan supervisi klinis kepala MTs Walisongo 1 sering mengadakan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, hal ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam proses pembelajaran, serta tingkat pengetahuan dan kompetensi yang dimilki oleh guru yang bersangkutan yang mana nantinya akan dicarikan sebuah solusi, pembinaan, dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada dan terus mempertahankan keunggulan yang dimilikinya”.24 Dari kedua penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa supervisi klinis yang dilakukan oleh kepala MTs Nurul Jadid dan MTs Walisongo 1 adalah untuk mengetahui kelemahan yang ada dan berusaha untuk memperbaikinya dengan mencarikan solusi yang tepat dan sesuai dengan kekurangan yang ada. Hal ini juga sependapat dengan apa yang disampaikan oleh kepala MTs Walisongo 1 yakni Bapak Kholilullah, M.Pd.: “untuk dapat meningkatkan kompetensi guru, kami juga harus mengetahui kekurangan dan kelebihan dari masing-masing guru agar kami dapat mencari dan memikirkan program apa yang sekiranya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para guru dalam meningkatkan kompetensi mereka, maka dari itu saya sering melakukan kunjungan kelas untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan apa kekurangan dan kelebihan yang dimilki oleh guru yang bersangkutan”.25 Kekurangan dan kelebihan guru memang harus diperhatikan agar dapat memilih dan memilah program apa yang sesuai dengan kebutuhan guru dalam meningkatkan kompetensi yang dimiliki dan mempertahankan kelebihan yang telah dimiliki, dan salah satu cara untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan itu adalah dengan memperhatikan saat guru mengajar di kelas.
23
Wawancara dengan Holil Hasyim pada tanggal 30 Nopember 2015. Wawancara dengan guru PKN Toha S.Pd pada tanggal 29 Nopember 2015. 25 Wawancara dengan kepala MTs walisongo 1, pada tanggal 29 Nopember 2015. 10 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 24
Problem Solving Berbasis Pesantren
Bapak Thohiruddin, M.Pd.I Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Jadid Paiton mengatakan : “Guru-guru juga saya ikutkan dalam forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) guna untuk meningkatkan prestasi dan wawasan guru tentang mata pelajaran yang bersangkutan”.26 Ibu Hasanah, S.Ag, juga mengatakan: “kami diberi kesempatan untuk mengikuti forum MGMP oleh kepala MTs Nurul Jadid sesuai mata pelajaran yang masing-masing kami ampu, dan saya sendiri sudah merasakan manfaatnya dengan mengikuti forum MGMP ini pengetahuan dan wawasan saya bertambah”.27 Ibu Sri Hidayati, S. Pd. Mengatakan: “peran kepala sekolah adalah sebagai pengatur kinerja guru, mengawasi kinerja guru, memimpin dan melengkapi fasilitas pembelajaran, adapun dalam hal meningkatkan kualitas guru adalah seperti mengikutkan guru dalam forum MGMP, seperti yang telah dilaksanakan bulan kemarin di sumberasih”28 Progaram MGMP memang merupakan salah satu program yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan guru mengenai mata pelajaran yang berkaitan dengan guru itu sendiri. Guru akan mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai mata pelajaran terkait dengan mengikuti program MGMP. 4. Pemecahan Masalah Berbasis Pesantren Pemecahan masalah di dua MTs tersebut menarik diteliti setidaknya karena sejumlah alasan berikut. Pertama merebaknya fenomena santrinisasi,29 yakni muncul dan berkembangnya madrasah memiliki dampak yang berjangkauan luas terhadap masa depan masyarakat Muslim Indonesia. Fakta merupakan respon positif
para
insan
pendidikan
muslim
Indonesia
dalam
berpartisipasi
mencerdaskan kehidupan yang memiliki karakter yang kuat dan life skill yang memadai untuk membangun bangsa.
26
Wawancara dengan Thohiruddin, M.Pd pada tanggal 30 Nopember 2015. Wawancara dengan Ibu Hasanah, S.Ag. 28 Wawancara dengan Sri Hidayati., pada tanggal 29 nopember 2015 pukul 09:15 wib 29 Kata santrinisasi merupakan bentuk Inggris dari dari istilah Jawa “santri” yang berarti “mereka yang berasal dari pesantren” atau arti yang lebih umum “mereka yang taat menjalankan ajaran Islam” sebagaimana dilawankan dengan “abangan” kaum muslim hanya dalam nama (nominal Muslim). Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 11 27
Ali Wafa
Pendidikan berkualitas tidak hanya memberikan kontribusi pada perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, melainkan juga pada proses santrinisasi masyarakat Muslim. Proses santrinisasi itu dapat digambarkan terjadi melalui dua cara, yaitu, (a), para siswa umumnya telah mengalami “re-islamisasi”. Sebagaimana telah diperlihatkan sebelumnya, disamping mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara intensif mereka juga dibekali ilmu-ilmu umum, (b), para siswa membawa Islam ke rumah, dalam banyak kasus, mereka bahkan mengajarkan kepada orang tua yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka tentang Islam. Akibatnya agar tidak mengecewakan sang anak, mereka mulai mempelajari Islam, baik secara sendiri maupun dengan mengundang guru privat untuk mengajarkan kepada mereka tentang Islam.30 Dari sini menjadi jelas, bahwa pola baru re-islamisasi atau santrinisasi yang muncul di kalangan kelas menengah Muslim, tidak hanya di kalangan anak-anak, tetapi juga di kalangan orang tua dengan beberapa karakter yang khas. Secara tradisional, santrinisasi dianggap dilakukan terutama oleh para dai melalui kegiatan-kegiatan dakwah. Dakwah biasanya dilakukan melalui pengajian di masjid-masjid, atau ditempat-tempat lainnya di mana kaum muslim melakukan kegiatan keagamaan. Fenomena santrinisasi ini tampaknya berbeda dari kedua jenis dakwah yang baru disebut tadi. Proses santrinisasi melalui madrasah dapat dikatakan merupakan semacam dakwah diam-diam atau lebih merupakan dakwah organik. Tidak ada dakwah formal dari ruang pengajian.31 Kedua MTs tersebut memiliki sederet prestasi yang dicapai dan juga letaknya di pedalaman (30 km dari pusat kota) tidak bisa lepas dari manajemen mutu yang telah diterapkan dalam pengelolaan kelembagaan. Pendapat penulis, sebagaimana di atas, perlu ditelaah lebih mendalam dengan melakukan penelitian tentang manajemen mutu dalam
peningkatan pelayanan menuju madrasah
unggul. Penelitian ini bermaksud menganalisis MTs Walisongo 1 Maron dengan 30
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milleneum Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 80. 31 Azra, Pendidikan, 82. 12 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren
variable-variabel manajemen mutu. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan sejak Januari hingga Juni 2015. Teori manajemen
mutu digunakan sebagai
pendekatan untuk memahami peningkatan MTs Walisongo dalam memenuhi standar kualitas. Permasalah yang dihadapi kedua lembaga cukup beragam, yaitu personalia, kesiswaan dan pendanaan. Masalaha-masalah tersebut diselesaikan melalui rapat-rapat, baik rapat bulanan maupun mingguan. Selain itu dilakukan supervisi oleh internal maupun eksternal. Pemecahan masalah melalui rapat-rapat di kedua lembaga seringkali kurang fokus, karena melibatkan banyak unsur. Hal ini mengakibatkan adanya pengembangan masalah, yang bisa jadi melebar. Namun demikian, pelibatan semua unsur dalam pemecahan masalah menunjukkan adanya keterbukaan pihak manajemen lembaga. Pemecahan masalah yang dilakukan di kedua lembaga tersebut cenderung bersifat formal, yaitu hanya menyentuh hal-hal yang sifatnya normatif-prosedural. Dengan model ini, pemecahan masalah hanya menyentuh kulit luar, belum bisa menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Perhatian terhadap yang normatifprosedural dapat mengakibatkan terulangnya masalah yang sama dalam bentuk yang berbeda. Pemecahan masalah dengan pendekatan normatif-prosedural dapat dipahami sebagai keinginan kuat dari pihak pengelola untuk mentaati peraturan atau prosedur. Pilihan ini bisa berdampak positif, yaitu munculnya mutual trust dari semua unsure lembaga. Bila dilihat secara SWOT, teknik pemecahan masalah mengharuskan adanya akurasi dan validitas data. Dalam pantauan penulis, teknik pemecahan masalah di kedua lembaga dimaksud didasarkan kepada ingatan masing-masing pengelola terhadap kasus tertentu. Padahal, ingatan seseorang bisa berkurang atau bahkan bisa terjadi penambahan yang tidak perlu. Validitas dan akurasi data menentukan pemecahan yang tepat sesuai dengan jenis masalah yang dihadapi. Kepala sekolah belum melakukan supervisi secara intensif. Supervisi hanya dilakukan ketika ada persoalan yang sudah mencapai tingkat yang cukup kronis. Selain itu supervisi dilakukan oleh pihak eksternal, yaitu pengawas madrasah. Pengawasan model tersebut cenderung formal dan berbasis tugas, belum berbasis Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 13
Ali Wafa
masalah dan budaya yang berkembang di madrasah. Namun demikian, kepala madrasah memiliki semangat yang tinggi dalam mengembangkan memajukan madrasahnya. Data dan informasi yang akurat sangat organik dalam pemecahan masalah. Sebagaimana disebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang melibatkan mental dan intelektual berdasarkan data dan informasi yang akurat. Untuk itu, Madrasah Tsanawiyah hendaknya memiliki bank data yang merekam setiap kejadian dan peristiwa penting disekolah, baik kurikulum, kesiswaan, humas, sarana pra sarana. Data dan informasi yang valid sangat menentukan dalam pemecahan masalah yang berkualitas, bukan sekedar tambal sulam. Selain itu, pemecahan masalah tidak menimbulkan masalah lain yang lebih rumit. Selain bersifat
formal,
penyelesaian
masalah
di
kedua
madrasah
hendaknya
menggunakan pendekatan budaya dari pada model perusahaan. Dalam batas tertentu, pendekatan kekeluargaan dapat digunakan dan mengurangi problem solving yang bersifat formal prosedural. Desicion making di Madrasah Tsanawiyah hendaknya dikonstruk sebagai pembuatan keputusan dari pada pengambilan keputusan dimana kepala madrasah (decision maker) terlibat penuh di dalam proses manajerial. Demikian pula dalam peristilahan controling yang biasanya dimaknai dengan pengawasan adalah kurang tepat. Dalam konteks lembaga pendidikan, controling lebih berarti pengendalian. Penggunaan kedua contoh tersebut lebih manusiawi. Karena dalam kearifan lokal pesantren, aspek spiritual gathering lebih bermakna dari pada robotik-mekanistik. Spiritual gathering lebih menekankan kepada bagaimana kepala madrasah mampu menginisiasi, menginspirasi dan kreatif. Dalam kerangka ini terbangun iklim dimana semua warga madrasah memiliki orientasi pengabdian daripada bekerja. Suasana kerja berkembang ke arah budaya yang membangkitkan rasa kebersamaan yang menciptakan antusiasme, bersatu mencapai tujuan. Madrasah Tsanawiyah merupakan tindak lanjut dari pendidikan muallimin, yang mengajarkan 30% mata pelajaran agama, selebihnya mata pelajaran-mata pelajaran umum. Madrasah dapat dipahami sebagai jalan keluar antara model pendidikan pesantren dan sekolah yang pada akhirnya melahirkan dualisme dalam 14 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren
sistem pendidikan nasional. Dengan memberikan penekanan pada mata pelajaranmata pelajaran agama, pesantren seringkali dianggap tidak mampu merespons kemajuan dan tuntutan zaman. Sementara sekolah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang lebih menitik beratkan pada dimensiilmupengetahuan dan tekhnologi. Eksistensi madarasah dalam sistem pendidikan Indonesia tergolong fenomena terkini, karena lahir pada kurun 80 an, sebagai bentuk kompromi antara pendidikan pesantren dan sekolah umum. Pesantren disebut mewakili kalangan religious, sementara sekolah umum masih dipandang sebagai lemabaga yang menganut paham sekuler. Dengan demikian, madarasah Tsnawiyah merupakan cerminan modernisasi lembaga pendidikan Islam. Fenomena ini berujung pada gagasan memajukan pendidikan Islam agar setara dengan lembaga pendidikan umum yang dianggap telah melesat jauh dengan tetap berpegang teguh pada aspek keagamaan. Upaya tersebut dapat dipetakan mencakup dua hal pokok. Yaitu, hal pertama adalah adopsi sistem dan lembaga pendidikan modern secara total. Adapun eksperimen yang bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam (tradisional) di Indonesia menjadi pokok kedua. Problem generik yang dihadapi lembaga pendidikan islam adalah ketimpangan antara national competitifness dengan angka partisipasi pasar akibat rendahnya human development index. Dari sini muncul pemahaman tentang adanya miss match antara proses di lembaga pendidikan dengan tuntutan masyarakat. Dengan demikian diperlukan perluasan akses, dan peningkatan mutu. Selain itu rasio guru munculnya persepsi madrasah sebagai bengkel karakrakter siswa yang sudah akut. Selain itu terdapat problem regenerasi dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam menghadapi tantangan kehidupan dunia global. Upaya modernisasi madrasah memerlukan daya dukung tenaga pendidik yang kompeten agar pembelajaran bermutu. Selain itu rasio jumlah guru dengan jumlah siswa adalah 1 berbanding 15 orang siswa. Hal ini tentu saja memicu persoalan dalam hal pengaturan jumlah jam ideal dan jumlah ruang kelas yang dibutuhkan. Banyaknya jumlah guru, tentu saja, berakibat pada membengkaknya alokasi dana yang harus dibayarkan, sehingga Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 15
Ali Wafa
menyedot anggaran madrasah yang seharusnya bisa dibayarkan untuk kegiatan kesiswaan. Banyaknya jumlah guru tidak ddikuti oleh kualitas yang diinginkan. Dengan demikian, problem madrasah Tsanawiyah adalah masalah peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agar relevan dan kompetitif. Teknik problem solving di MTs Walisongo 1 dan MTs Nurul Jadid dilakukan secara formal dan informal. Secara formal problem solving dilakukan melalui rapat-rapat. Rapat dilaksanakan secara kedinasan meliputi struktural sekolah dan asrama. Pembuatan keputusan dalam pemecahan masalah dilakukan secara partisipatif dengan mendengarkan laporan dari masing-masing peserta rapat, dianalisis kemudian dipilih salah satu solusi yang paling tepat sesuai data yang disampaikan. Teknik pemecahan masalah dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi kelembagaan seperti sumberdaya manusia dan sarana prasarana yang dimiliki. Kedua potensi tersebut dikomparasikan dengan tantangan yang dihadapi, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal menyangkut pelaksanaan KBM, sumber daya manusia, kebijakan kurikulum yang acapkali berubah, ketersediaan dana serta sarana pra sarana yang dimiliki. Tantangan eksternal adalah perkembangan situasi dan kondisi kawasan yang ikut memengaruhi pola pikir pengelola lembaga. MTs Nurul Jadid dan MTs Walisongo melaksanakan perencanaan tahunan madrasah sebagai kerangka dasar manajemen kelembagaan. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh lembaga penjamin mutu. Jakfar Afnani, ketua Pusat Kendali Mutu MTs Walisongo 1 Maron menyatakan bahwa
lembaganya telah
melaksanakan perencanaan tahunan yang dilaksanakan pada tahun 2012 di Ranu Segaran Krucil. Dalam kesempatan tersebut semua komponen sekolah terlibat secara partisipatif.32 konsultasi dan secara informal melalui silaturrahim dan pendekatan personal. Dalam perencanaan tersebut dilakukan analisa terhadap faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kemajuan madrasah. Selain itu, analisa
32
Wawancara Jakfar Afnani, Ketua PKM MTs Walisongo 1 tanggal 01 Desember 2015. 16 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren
juga dilakukan terhadap faktor yang menjadi hambatan dan tantangan. Faktorfaktor tersebut dibahas secara detail dengan berbasis data pelaporan di tahun sebelumnya, yaitu data kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan humas. Di MTs Nurul Jadid perencanaan tahunan mengacu kepada perencanaan strategis bersama yang dikoordinir oleh Biro Kependidikan pesantren Nurul Jadid dan kebijakan kementerian agama. Perencanaan bersama dilaksanakan bersama satuan kerja pengelola di MTs. Nurul Jadid mengacu visi misi pondok pesantren. Dari visi-misi pesantren disusun program tahunan dengan mengacu terhadap integrasi pendidikan antara asrama dan sekolah dimana keduanya harus saling menopang dan melengkapi. Masalah yang dihadapi kedua MTs tersebut cukup beragam, yaitu kurikuler, kedisiplinan siswa, integrasi pengelolaan, dan manajemen sarana. Masalah kedisiplinan siswa dan sarana pra sarana merupakan masalah yang cukup dominan dan menjadi konsentrasi lembaga pada tahun 2015. Penyelesaian masalah berdasarkan program yang sudah ada.33 MTs Nurul Jadid memiliki kerangka penyelesaian yang jelas berorientasi kepada tujuan kelembagaan, khususnya kemampuan keagamaan dan akhlak al-karimah. Untuk itu, Madrasah dilaksanakan pembiasaan dan keteladanan dari para guru dan manajemen lembaga. Problem solving diarahkan kepada situasi pendidikan yang menggabungkan antara tradisional (pesantren) dan modernitas. Hal ini harus menjadi perhatian utama mengingat tuntutan masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam agar bisa berkontribusi secara fundamental dalam membangun manusia cerdas dan religius. Kepala madrasah di kedua lembaga pendidikan Islam tersebut melaksanakan supervisi secara periodik dengan melibatkan unsur internal dan eksternal. Supervisi dilaksanakan secara bertingkat, mulai dari Waka Kurikulum, Kepala Madraasah hingga Tim dari Biro Kependidikan. Supervisi juga dilaksanakan oleh pengawas madrasah, yaitu petugas Kemenag Kabupaten Probolinggo dengan maksud memberikan pembinaan dan pendampingan agar pendidikan berlangsung sesuai tujuan. 33
Wawancara Khoirul Anam, Kepala TU MTs Nurul Jadid Paiton, tanggal 02 Desember 2015. Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 17
Ali Wafa
Supervisi menduduki posisi yang ideal dalam membina guru agar pembelajaran bermutu. Kepala sekolah menyadari bahwa guru merupakan komponen utama dalam mengembangkan pembelajaran berkualitas di kelas. Kualitas guru berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran, dan kualitas pembelajaran berarti kualitas pengetahuan, sikap dan ketrampilan siswa. Karena guru yang baik adalah pembelajar yang baik sehingga guru dituntut untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensinya. Artinya tugas guru bukan hanya mengajar tapi mendidik. Keberadaan guru terkait erat dengan values, kompetensi kepribadian dan sosial. Dengan beragam langkah yang diambil manajemen madraah, eksistensi kedua Madrasah Tsanawiyah tersebut mendapat pengakuan dari khalayak. Hal ini terlihat dari terus melinjakkanya jumlah siswa yang berarti merupakan apreasi masyarakat terhadap madrasah. Pelatihan peningkatan kualifikasi guru terus dilakukan dengan berporos pada tiga hal, yaitu penguasaan bahasa asing, teknologi informasi dan hubungan interpersonal. Kedua lembaga juga menggaet lembaga kursus untuk meningkatkan achievement siswa. Dulu, siswa MTs hanya belajar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqh dan aqidah akhlak, tapi kini, mulai diterapkan penguasaan keilmuan terpadu yaitu ilmu agama dan sains seperti social, eksakta hingga kejuruan. Lulusan Madrasah Tsnanawiyah juga memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan di sekolah favorit. Dengan demikian, anggapan bahwa MTs sebagai the second choice mulai dapat ditepis. Keberadaan kedua lembaga yang menyelenggarakan model boarding school menjadi distingsi tersendiri dimana para siswa dapat memiliki konsentrasi belajar yang lebih baik dari pada sekolah tidak berasrama. Sekolah berasrama tidak hanya menyelenggarakan peningkatan kemampuan kognitif, tetapi spiritual dan life skill secara lebih intens. Pendidikan karakter yang didengungkan pemerintah telah lama diaplikasikan. Character before knowledge adalah prinsip pendidikan yang terus dikembangkan dan menjadi kekhasan di masing-masing MTs, baik Nurul Jadid Paiton maupun Wali Songo 1 Maron Probolinggo. 18 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren
Bila sekarang sekolah modern ramai-ramai menjual konsep back to nature dengan konsep sekolah alam, sekolah berbasis pesantren telah lama menyatu dengan alam. Madrasah bukan tempat yang terisolir dari masyarakat sekitar, karena madrasah, mushalla, asrama, sawah dan kebun selalu menjadi kesatuan yang terpisahkan membentuk lingkungan madrasah. Kegiatan belajar-mengajar tidak terbatas di ruang kelas tapi juga aplikasi dengan berorientasi pada praktik di lapangan. Kesimpulan MTs. Nurul Jadid Paiton dan MTs. Wali Songo 1 merupakan lembaga pendidikan berprestasi di Probolinggo. Namun demikian, kedua MTs. tersebut menghadapi berbagai masalah dalam proses manajemen. Masalah dipandang sebagai wahana meningkatkan performa lembaga. MTs. Nurul Jadid Paiton dan MTs. Wali Songo 1 Maron telah menerapkan pemecahan masalah dengan manajemen budaya melalui teknik SWOT dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Analisa SWOT dipakai dalam perencanaan strategis lembaga untuk mencapai visi yang diidealkan. Dua lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki prestasi, baik di level Kabupaten hingga Provinsi. Untuk lebih mengefektifkan perencanaan, MTs. Nurul Jadid dan Wali Songo 1 Maron melakukan supervisi, baik internal maupun eksternal. Referensi Amin, M. Masyhur- Ridwan, M. Nasikh. 1996. KH. Zaini Mun’im (Pengabdian dan Karya Tulisnya), LKPSM: Yogyakarta. Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milleneum Baru. Logos Wacana Ilmu: Jakarta. Fattah, Nanang. 2011. Landasan Manajemen Pendidikan, Remaja Rosdakarya: Bandung. Gibson, Ivancevic, Donnelly. 1995. Organization, Richard D. Irwin Inc. Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan, Alumni: Bandung. Hidayati, Titiek Rohanah. 2013. Supervisi Pendidikan; Sebuah Upaya Pembinaan Kompetensi Guru, Stain Press: Jember. Hoy, Wayne K.- Miskel, Cecil G. 1987. Educational Administration; Theory reserach and Practice Third Edition, Rondom House: New York. Khusnurido, Moh.-Sulthon, M. 2006. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, Laksbang Pressindo: Yogyakarta. Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, PT. Rajawali Grafindo Persada: Jakarta. Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 19
Ali Wafa
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES, Jakarta. Pidarta, Made. 2009. Supervisi Pendidikan Kontekstual, Rineka Cipta: Jakarta. Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis Swot Tehnik Membedah Kasus Bisnis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Rose, Colin dan Malcolm. 2002. Accelerated Learning for 21th Century. Terj. Dedy Ahimsa. Nuansa: Bandung. Slameto. 1990. Belajar dan Faktor-faktor yang Memengaruhi, Rineka Cipta: Jakarta. Standar Nasional Pendidikan (SNP). 2008. Fokus Media: Bandung. Tim Penyusun. 1998. Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid, cet. V. Biro Umum: Probolinggo. Wafa, Ali. 2007. Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, Koordinatorat: Probolinggo. Wukir. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia, Multi Persindo: Yogyakarta.
20 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam