PROBLEM-BASED LEARNING DAN KEMAMPUAN BERPIKIR REFLEKTIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh Sri Hastuti Noer FKIP Universitas Lampung ABSTRAK Salah satu harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika di sekolah di setiap jenjang adalah dimilikinya kemampuan berpikir matematis. Kemampuan berpikir matematis khususnya berpikir matematis tingkat tinggi sangat diperlukan siswa. Hal ini terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir reflektif sebagai bagian dari berpikir matematis tingkat tinggi, secara mental melibatkan proses-proses kognitif untuk memahami faktor-faktor yang menimbulkan konflik pada suatu situasi. Oleh karena itu berpikir reflektif merupakan suatu komponen kritis dari proses pembelajaran. Hasil keterlibatan mental ini mengakibatkan seseorang aktif membangun pengetahuan untuk mengembangkan suatu strategi untuk merespon situasi itu. Problem Based Learning (PBL) dinyatakan sebagai sebuah strategi yang menjanjikan dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa. Oleh karena itu, uraian berikut akan mengkaji tentang PBL, berpikir reflektif, dan kaitan PBL dengan berpikir reflektif. Kata Kunci: Berpikir reflektif, Problem Based Learning
A. PENDAHULUAN Salah satu harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika di sekolah di setiap jenjang adalah dimilikinya kemampuan berpikir matematis. Kemampuan berpikir matematis khususnya berpikir matematis tingkat tinggi (higher order thinking) sangat diperlukan siswa. Hal ini terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Resnick (1987), higher order thinking bersifat non algoritmik, kompleks, melibatkan kemandirian dalam proses berpikir, sering melibatkan suatu ketidakpastian sehingga membutuhkan pertimbangan dan interpretasi, melibatkan kriteria yang beragam yang kadang menimbulkan konflik dan menghasilkan solusi yang bisa beragam, serta membutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukannya.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 267
Sementara itu, berpikir reflektif adalah berpikir yang bermakna, yang didasarkan pada alasan dan tujuan. Ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan membuat keputusan-keputusan di saat seseorang menggunakan ketrampilan yang bermakna dan efektif untuk konteks tertentu dan jenis dari tugas berpikir. Dengan melakukan refleksi, siswa dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berpikir tingkat tinggi melalui dorongan
untuk menghubungkan pengetahuan baru pada
pemahaman mereka yang terdahulu, berpikir dalam terminologi abstrak dan konkrit, menerapkan strategi spesifik untuk tugas-tugas baru, dan memahami proses berpikir mereka sendiri dan belajar strategi. Dengan demikian berpikir reflektif ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Menurut Sumarmo (2005), pembelajaran matematika diarahkan untuk mengembangkan (1) kemampuan berfikir matematis yang meliputi: pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi matematis; (2) kemampuan berfikir kritis, serta sikap yang terbuka dan obyektif, serta (3) disposisi matematis atau kebiasaan, dan sikap belajar berkualitas yang tinggi. Sementara itu dokumen kurikulum matematika terbaru secara internasional, pada umumnya mempromosikan pendekatan berorientasi perubahan dan mengenalkan pentingnya melibatkan para siswa dalam memanfaatkan matematika melalui suatu proses. Sebagai contoh, Standar NCTM (NCTM, 2000) termasuk pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Menurut Anderson, J. dan Bobis, J. (2005), proses serupa juga tercakup dalam silabus matematika yang terakhir untuk para siswa sekolah dasar di New South Wales (BOSNSW, 2002). Dalam pembelajaran matematika proses Working Mathematically menyertakan lima proses yang saling berhubungan
yaitu questioning, applying strategies, communicating,
reasoning and reflecting. Hasil penelitian Sumarmo, dkk (dalam Hulukati, 2005) menunjukkan gambaran bahwa pembelajaran matematika dewasa ini masih berlangsung secara tradisional yang antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut: Pembelajaran berpusat pada guru, pendekatan yang digunakan lebih bersifat ekspositori, guru lebih mendominasi proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang diberikan lebih banyak yang bersifat rutin.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 268
Padahal dalam dibiasakan
proses
pembelajaran
matematika,
siswa
perlu
untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bekerja dengan ide-ide. Karena pada dasarnya, guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan esensi dari teori konstruktivisme
yang
menekankan
bahwa
siswa
harus
menemukan
dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks kepada situasi lain, sehingga informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Hiebert et al. (dalam Erickson, 1999) menjelaskan satu prinsip esensial yang berfokus pada membangun pemahaman matematika siswa adalah “Make the subject problematic.” Pembelajaran harus memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir “mengapa”, melakukan inkuiri, mencari solusi, dan memverifikasi solusi. Ini berarti, pembelajaran harus dimulai dengan masalah, dilema, atau pertanyaan bagi siswa. Dengan dasar itu, pembelajaran matematika harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika sangat diharapkan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar (Labinowicz,1985; Confrey,1994). Sementara guru berperan sebagai mediator dan fasilitator. Sebagai fasilitator guru berperan dalam mengembangkan kesadaran siswa mengenai apa yang harus dilakukan dalam belajar matematika, berusaha melibatkan siswa sehingga diharapkan siswa terpacu untuk aktif belajar dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, siswa mengalami sendiri, menemukan sendiri dan tidak hanya sekadar menghapal. Titik awal dari Problem-Based Learning (PBL) adalah masalah (problem). Dalam
PBL
siswa
didorong
untuk
menganalisis
suatu
permasalahan
dan
mempertimbangkan analisis alternatif. Oleh karena itu PBL menempatkan siswa sebagai pemeran utama dalam pembelajaran dan keterampilan berpikir. Siswa dilatih untuk berpikir mandiri dan mengembangkan kepercayaan diri dan menghargai aktivitas yang sedang terjadi.Dengan demikian, PBL menciptakan suasana yang mendukung siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir mereka.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 269
B. PEMBAHASAN B.1 Problem-Based Learning Dalam proses pembelajaran perolehan pengetahuan diawali dengan adanya konflik kognitif (Karli dan Yuliartiningsih, 2000). Konflik kognitif adalah stimulus untuk memahami dan menentukan organisasi serta sifat alami dari apa yang dipelajari. Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsep awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognitifnya. Melalui proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, siswa dapat memodifikasi struktur kognitifnya menuju keseimbangan sehingga terjadi asimilasi (Kusdwiratri-Setiono, 1983; Suparno, 1997; Oakley, 2004; Suryadi, 2005). Pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, Driver, dan Leach, dalam Karli dan Yuliartiningsih, 2000: 2-3). Ada beberapa klaim mengenai pengajaran dengan mengadopsi paham konstruktivisme yang dikemukakan oleh beberapa peneliti yaitu: (1) Pengetahuan tidak dapat ditransfer hanya oleh guru saja, pengetahuan dapat dikonstruksi siswa melalui pembelajaran. Cobb, Yackel, and Wood, 1992 (Anderson, et al., 2000: 11) menyatakan bahwa, pembelajaran dilakukan sebagai suatu aktivitas, proses pengkonstruksian yang dilakukan siswa dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dan dilakukan siswa sebagai aktivitas matematika di kelas. Proses belajar-mengajar ditekankan pada proses interaktif alamiah dan memuat negosiasi eksplisit dan implisit dari pengertian matematika. Makna negosiasi di sini adalah guru dan siswa bekerjasama dalam memberi dan menerima pemahaman matematika sebagai suatu aturan dan dasar dalam proses komunikasi mereka. (2) Pengetahuan tidak dapat disajikan secara simbolik saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan tersebut tidak sekedar disajikan dalam bentuk pernyataan berpola menurut suatu aturan tertentu. ‘Anderson, et al. (2000: 15) menyatakan kemampuan kognitif (dalam hal ini berkaitan dengan matematika)
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 270
tergantung pada kemampuan struktur simbolik (seperti pemolaan atau imajinasi) yang dikreasikan dalam respon sebagai suatu pengalaman. (3) Pengetahuan dapat diberikan dalam situasi pembelajaran yang bervariasi. Penugasan yang bervariasi memungkinkan siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, menjadi lebih mudah. Selanjutnya keberhasilan dalam menyelesaikan bagian dari permasalahan tersebut akan meningkatkan kepercayaan siswa terhadap diri sendiri. Geary (Anderson, et al., 2000: 17) mencatat bahwa, ada banyak cara memotivasi siswa untuk memahami matematika secara bervariasi dalam suatu konteks. Siswa perlu dibiasakan untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan mampu mentranformasikan pengetahuannya dalam situasi lain yang lebih kompleks sehingga pengetahuan tersebut akan menjadi milik siswa itu sendiri. Proses mengkonstruksi pengetahuan dapat dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, dan juga dapat berupa hasil penemuan yang melibatkan lingkungan sebagai faktor dalam proses perolehan pengetahuannya. Dengan dasar itu, pembelajaran matematika harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika sangat diharapkan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar (Labinowicz,1985; Confrey,1994). Salah satu pendekatan pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme
adalah
Problem-based learning (PBL). Menurut Savery dan Duffy (1996) PBL berlandaskan pada asumsi bahwa: 1) pemahaman timbul melalui interaksi dengan lingkungan; 2) konflik kognitif adalah stimulus untuk memahami dan menentukan organisasi dan sifat alami tentang apa yang dipelajari, dimana konflik kognitif selalu diupayakan terjadi dalam pembelajaran; 3) pengetahuan berkembang melalui interaksi sosial dan negosiasi. Dalam PBL, siswa diharapkan dapat merumuskan masalah dari suatu situasi matematis, yang memuat suatu prosedur yang tidak rutin atau yang tidak terstruktur dengan baik. Kemudian, siswa dapat menggali informasi terkait dengan masalah, membuat konjektur, dan menggeneralisasi tentang konsep dan prosedur matematika. Di samping itu, siswa diharapkan dapat membuat koneksi antar ide-ide matematis dengan menyelesaikan masalah yang baru bagi mereka dalam berbagai cara penyelesaian
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 271
(Erickson,1999). Oleh karena itu tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus memperlihatkan suatu situasi yang prosedur atau algoritmanya belum diketahui siswa. Masalah dalam tugas harus merupakan suatu aktivitas yang memfokuskan perhatian siswa pada suatu konsep matematika, generalisasi, prosedur atau cara berpikir tertentu. Dari uraian mengenai PBL di atas terlihat bahwa PBL memberikan suatu lingkungan pembelajaran dimana masalah yang menjadi basis dalam pembelajaran, artinya pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika siswa mengembangkan suatu metode untuk mengkonstruksi suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian secara keseluruhan siswa yang mengkonstruk pengetahuan mereka, dengan bantuan pengajar selaku fasilitator. Format PBL didasarkan pada langkah yang disarankan oleh Barrow & Tamblyn (1980) yakni: 1. Masalah diberikan di awal pembelajaran sebelum persiapan atau saat belajar. 2. Situasi masalah disajikan kepada siswa dengan cara yang sama tetapi nantinya harus disajikan sendiri dengan cara yang nyata. 3. Siswa bekerja dengan masalah yang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memberi alasan dan menerapkan pengetahuan untuk menjawab tantangan dan untuk dinilai. 4. Diperlukan identifikasi permasalahan yang harus digali yang merupakan pembimbing dalam studi individual. 5. Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dalam studi individual diaplikasikan dalam masalah untuk mengevaluasi efektifitas pembelajaran dan untuk menguatkan pembelajaran. 6. Pembelajaran yang diperoleh dari bekerja dalam masalah dan pengaturan diri dalam belajar diintegrasikan dalam keterampilan dan pengetahuan siswa.
B.2 Berpikir Reflektif John Dewey adalah salah seorang ahli teori pendidikan yang pertama dan paling berpengaruh dalam menjelajah proses dan produk dari berpikir reflektif.
Dewey
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 272
memulai eksplorasinya tentang berpikir reflektif dengan mendiskusikan proses mental tertentu yaitu memfokuskan dan mengendalikan pola pikiran. Dewey menamai hal ini denganistilah "berpikir reflektif,". Ia mengatakan bahwa dalam hal ini proses yang dilakukan bukan sekedar suatu urutan dari gagasan-gagasan, tetapi suatu proses yang berurutan sedemikian hingga masing-masing ide mengacu pada ide terdahulu untuk menentukan langkah berikutnya. Dengan demikian, semua langkah yang berurutan saling terhubung. Mereka tumbuh satu sama lain, saling mendukung satu sama lain, dan berperan untuk keberlanjutan perubahan menuju suatu kesimpulan yang umum. Sejak itu banyak penulis mendukung debat dengan mendefinisikan dan mendefinisikan kembali aspek dari berpikir reflektif. Menurut Teekman (1999: 2), Kolb dan Fry (1975) menyatukan berpikir reflektif dalam satu model pembelajaran experiential yang secara umum dikenal sebagai siklus belajar Kolb. Sementara itu Boyd dan Fales (1983) menggambarkan refleksi sebagai: ". . .proses
menciptakan dan
menjelaskan arti dari pengalaman (saat ini atau masa lampau) dalam kaitan dengan diri sendiri (diri sendiri dalam hubungan dengan diri sendiri dan diri sendiri dalam hubungan dengan dunia)". Pusat perhatian mereka adalah
menguraikan sifat yang
penting, atau prosesnya refleksi. Penulis-penulis itu menekankan bahwa hasil refleksi adalah suatu perspektif konseptual yang diubah. Berpikir reflektif dan berpikir kritis sering digunakan secara bersinonim. Berpikir kritis digunakan untuk menguraikan. Halpern (1996) mengatakan bahwa penggunaan ketrampilan atau strategi kognitif yang dapat meningkatkan perolehan yang diharapkan adalah berpikir yang bermakna, yang didasarkan pada alasan dan tujuan. Ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan membuat keputusankeputusan di saat pemikir itu sedang menggunakan ketrampilan yang bermakna dan efektif untuk konteks tertentu dan jenis dari tugas berpikir. Berpikir kritis disebut berpikir terarah karena memusat pada suatu yang diinginkan. Berpikir reflektif, di lain pihak, menjadi bagian dari proses berpikir kritis yang menunjuk secara khusus pada proses-proses dan pembuatan pertimbangan tentang yang telah terjadi. Dewey (dalam Song, 2005) menyatakan bahwa berpikir reflektif adalah suatu pertimbangan yang aktif, gigih, dan seksama tentang suatu keyakinan atau bentuk seharusnya dari pengetahuan, tentang alasan-alasan yang mendukung pengetahuan itu,
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 273
dan kesimpulan-kesimpulan yang merupakan muara dari pengetahuan itu. Siswa-siswa yang menyadari dan mengendalikan proses belajar mereka dengan aktif mengambil bagian
dalam berpikir reflektif –menilai apa yang mereka ketahui, apa yang mereka
perlukan untuk mengetahui, dan bagaimana mereka menjembatani kesenjangan selama proses belajar. Salah satu studi yang penting dalam berpikir reflektif dilakukan oleh Schön, meskipun ia tidak pernah menghasilkan suatu definisi konsep berpikir reflektif. Schön (1983,
1987)
menemukan
teori-teorinya
dalam
pekerjaan
Dewey,
tetapi
memperkenalkan istilah yang baru. Ia menamainya dengan situasi keraguan dan kebingungan. Dewey menggambarkan konsep refleksi sebagai metoda yang unggul bagi para profesional untuk belajar melalui situasi-situasi praktis. Sedangkan menurut Schön (1983: 15-16) situasi-situasi praktis bukanlah masalah untuk dipecahkan tetapi situasisituasi masalah yang ditandai oleh ketidak-pastian, kekacauan dan keadaan yang tak dapat dipastikan. Berpikir reflektif, secara mental melibatkan proses-proses kognitif untuk memahami faktor-faktor yang menimbulkan konflik pada suatu situasi. Oleh karena itu berpikir reflektif merupakan suatu komponen kritis dari proses pembelajaran ( Atkins &Murphy, 1993; Boyd &Fales, 1983; Davis dan Dewey, dalam Song, 2005; Moon, 1999; Schön, 1991). Hasil keterlibatan mental ini mengakibatkan seseorang aktip membangun pengetahuan tentang suatu situasi untuk mengembangkan suatu strategi untuk berproses dalam situasi itu. Sebagai contoh, setelah suatu rangkaian instruksional pembelajaran tentang beberapa metode penyelesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV), para siswa bisa diberi tugas untuk menentukan metode SPLDV manakah yang paling tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dan mengapa mereka memilih metode itu. Para siswa harus merefleksi pemahaman mereka yang sebelumnya dengan pengetahuan mereka yang baru saja diperoleh untuk menanggapi hal itu. Pada hakekatnya, mereka harus memikirkan situasi dan merefleksi bagaimana pengetahuan mereka yang baru dapat digunakan untuk situasi itu, pada akhirnya mereka mengembangkan suatu solusi pada isu tersebut. Dengan demikian, refleksi membantu para siswa untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berpikir tingkat tinggi melalui dorongan mereka untuk:
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 274
a)menghubungkan pengetahuan baru kepada pemahaman mereka yang terdahulu, b)berpikir dalam terminologi abstrak dan konkrit, c)Menerapkan strategi spesifik untuk tugas-tugas baru, dan d)memahami proses berpikir mereka sendiri dan belajar strategi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hmelo &Ferrari (1997) yang menyatakan bahwa
berpikir reflektif ditujukan untuk meninggkat kemampuan berpikir tingkat tinggi. Menurut Given (dalam Vezzuto, 2005: 1), berpikir reflektif melibatkan pertimbangan
pribadi
seseorang
tentang
proses
belajarnya.
Dalam
hal
ini
mempertimbangkan keberhasilan dan kegagalan pribadi dan menanyakan apa yang sudah dikerjakan, apa yang tidak, dan apa yang memerlukan perbaikan. Berpikir reflektif meminta siswa untuk memikirkan tentang proses berpikir mereka. Menurut Shermis (1999: 4-5), berpikir reflektif melibatkan pencarian faktafakta, pemahaman gagasan-gagasan, aplikasi prinsip-prinsip, analisis, sintesis dan evaluasi. Singkatnya, berpikir reflektif dan pengajaran reflektif melibatkan semua tingkat taksonomi Bloom. Selanjutnya dikatakan oleh Shermis bahwa daftar ketrampilan-ketrampilan reflektif yang paling lengkap bisa ditemukan pada Weast (1996) yaitu: 1) mengidentifikasi kesimpulan penulis, 2) mengidentifikasi alasan dan bukti, 3) mengidentifikasi bahasa yang rancu dan samar-samar, 4) mengidentifikasi asumsi dan konflik yang bernilai, 5) mengidentifikasi asumsi-asumsi deskriptif, 6) mengevaluasi penalaran statistik, 7) mengevaluasi sampling dan pengukuran, 8) mengevaluasi penalaran logis, 9) mengidentifikasi informasi yang dihilangkan, 10) melafalkan nilai-nilai yang dimilikinya dengan penuh pengertian, tanpa prasangka. Surbeck, Han, dan Moyer (1991) mengidentifikasi tiga tingkat refleksi yaitu: 1) Reacting: bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap peristiwa/situasi/masalah, 2) Elaborating: membandingkan reaksi dengan pengalaman yang lain, seperti mengacu pada suatu prinsip umum, suatu teori, 3) Contemplating: mengutamakan pengertian pribadi yang mendalam yang bersifat membangun terhadap permasalahan atau berbagai kesulitan. Sedangkan Liston dan Zeichner (dalam Anonim, 2000) menggambarkan lima bagian taksonomi dari refleksi, dengan refleksi atas penyelesaian suatu tindakan yang hanya satu jenis: 1) Cepat selama melakukan suatu tindakan, 2) Penuh pertimbangan selama melakukan suatu tindakan, 3) Uraian singkat sebagai suatu tinjauan ulang setelah melakukan tindakan, 4) Sistematis setelah jangka waktu tertentu setelah
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 275
melakukan tindakan, 5) Jangka panjang sebagai suatu usaha untuk mengembangkan teori formal atau informal. Dari uraian tentang berpikir reflektif di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir reflektif dalam belajar adalah kemampuan seseorang dalam memberi pertimbangan tentang proses belajarnya. Apa yang mereka ketahui, apa yang mereka perlukan untuk mengetahui, dan bagaimana mereka menjembatani kesenjangan selama proses belajar. Dalam prosesnya melibatkan pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan membuat keputusankeputusan. Langkah-langkah yang dilakukan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu:1) Reactin, 2) Elaborating, 3) Contemplating. Menurut Shemis (1999: 4-5), ketrampilan reflektif dalam enam atau tujuh dekade terakhir, cenderung untuk ditekankan oleh para pendukung berpikir dan mengajar reflektif. Mereka terus menekankan hal itu. Penekanan yang berkelanjutan ini adalah suatu indeks yang valid yang memberikan fakta bahwa berpikir reflektif masih belum ada di sekolah-sekolah. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa tidak ada kursus, usia, atau kelas yang menyebabkan teori reflektif tidak bisa diterapkan. Teori reflektif hanya mengatakan bahwa jika kita ingin menghasilkan suatu masalah yang membuat siswa berpikir reflektif dan kita ingin mengetahui dari para siswa kita, maka tanyakanlah mereka pertanyaan-pertanyaan yang menciptakan konflik dan kebingungan. Kemudian bantulah mereka untuk menjangkau satu jawaban. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik kita perlu melakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif pada diri siswa. Menurut Shermis (1999: 2) refleksi dalam suatu kelas dapat berlangsung hanya ketika strategi tanya jawab dipromosikan. Paradigma dan model tanya jawab sudah berkembang terus menerus. Semua dimulai dengan asumsi bahwa ada pertanyaan yang tidak produktif, yaitu pertanyaan yang memadamkan pikiran siswa. Wasserman (1992) membahas tentang "pertanyaan bodoh" yang mengabaikan gagasan-gagasan siswa, adalah pertanyaan yang "tidak dapat merasakan gagasan yang sedang dinyatakan," atau bersifat tidak relevan. Pertanyaan yang mempromosikan berpikir dimulai dengan asumsi bahwa para siswa tidak berpikir kecuali jika mereka mempunyai sesuatu untuk dipikirkan. Masih
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 276
menurut Shermis (1999), Dewey, Hullfish dan Smith, Hunt dan Metcalf, Bigge, dan Bayles mengatakan bahwa "sesuatu" itu hanya dapat berupa suatu masalah. Tetapi masalah harus riil, yaitu yang dirasakan oleh para siswa. "Pseudo problems" terjadi ketika pentingnya masalah itu diabaikan atau ketika suatu masalah diasumsikan ada karena guru menganggapnya sebagai suatu masalah. Bagaimana caranya memunculkan permasalahan. Suatu masalah ada ketika seorang siswa curiga, merasa bingung, kacau, atau tidak mampu untuk memutuskan satu isu. Pada tahun-tahun terakhir, banyak ahli mencoba menawarkan model generik dari pengaturan masalah antara lain dengan cara: 1) meminta para siswa untuk memikirkan alternatif cara untuk menyajikan informasi selain dari teks atau guru, 2) membandingkan nilai yang berbeda dari suatu kejadian, gagasan, atau gejala yang sama, 3) menyediakan alternatif penyelesaian, menuliskan hasil-hasil yang berbeda, 4) bermain peran, peran balikan, mencoba untuk melihat apa yang dihilangkan, apa yang tidak konsisten, 5) menyisipkan gagasan-gagasan yang tidak muncul pada suatu teks, 6) menghapus atau menghilangkan informasi, 7) mengajukan pertanyaan " bagaimana jika", 8) mencoba untuk mengidentifikasi asumsi. KaAMS mengajukan karakteristik-karakteristik dari lingkungan dan aktivitas yang mendukung berpikir reflektif yaitu: 1)Sediakan waktu yang cukup bagi para siswa untuk merefleksi ketika menanggapi suatu penyelidikan. 2) Sediakan lingkungan yang mendukung secara emosional di dalam kelas untuk memberi harapan siswa mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan. 3) Tinjauan ulang dari situasi pembelajaran, apa yang diketahui, apa yang belum diketahui, dan apa yang telah dipelajari. 4) Sediakan tugas-tugas otentik yang disertai data ill-structured untuk mendorong berpikir reflektif selama aktivitas pembelajaran. 5) Bangkitkan refleksi siswa
dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
untuk
mencari
bukti
dan
pertimbangan. 6) Sediakan beberapa penjelasan untuk memandu proses-proses berpikir siswa selama eksplorasi-eksplorasi. 7) Sediakan suatu lingkungan pembelajaran yang sedikit terstruktur yang memungkinkan para siswa untuk menjelajah apa yang mereka pikir penting. 8) Sediakan lingkungan sosial pembelajaran sebagaimana tidak bisa dipisahkan dalam kerja kelompok dan aktivitas kelompok kecil yang memungkinkan para siswa melihat pandangan lain.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 277
Lingkungan
pembelajaran
yang
demikian
dapat
tercipta
apabila
kita
mengarahkan aktivitas pembelajaran di kelas melalui masalah. Hal ini dapat difasilitasi oleh pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL). Dalam PBL, kebiasaan-kebiasaan positif yang setidak-tidaknya sedang dibentuk antara lain kebiasaan-kebiasaan mempelajari berbagai hal dengan hati-hati, menggantungkan keputusan hingga kesimpulan-kesimpulan pada bukti yang telah teruji. Dalam PBL kita sering cemas akan seberapa besar suatu masalah boleh jadi menjurus kepada berpikir reflektif. Tentu saja kita tidak menghendaki suatu masalah yang sangat berlimpah dan kompleks yang membuat siswa tidak bisa terlibat. Dewey ( dalam Hollister, 1998) memberi nasihat kepada kita dalam hal ini: "Bagian terbesar dari kesukaran dalam permasalahan baru adalah masalah yang terlalu besar untuk menantang berpikir, atau terlalu kecil sehingga menambah kebingungan. Untuk itu kita perlu menghadirkan unsur-unsur baru sehingga mudah dipahami. Dengan cara ini sara-saran yang sangat membantu dapat muncul." C. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Dalam PBL, siswa diharapkan dapat merumuskan
masalah dari suatu situasi
matematis, yang memuat suatu prosedur yang tidak rutin. Kemudian, siswa harus menggali informasi yang terkait dengan masalah, membuat konjektur, dan menggeneralisasi konsep dan prosedur matematika. Di samping itu, siswa diharapkan dapat membuat koneksi antar ide-ide matematis dengan menyelesaikan masalah yang baru bagi mereka dalam berbagai cara penyelesaian. 2. Lingkungan pembelajaran yang mendukung berpikir reflektif dapat tercipta apabila kita mengarahkan aktivitas pembelajaran di kelas melalui masalah. Hal ini dapat difasilitasi oleh pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL). Kemampuan berpikir reflektif dapat terlatih bila kemampuan itu diterapkan dalam situasi diskusi
kelas yang membahas konsep matematika tertentu. Dari
pertanyaan dan debat antara siswa dan melalui sejumlah langkah penyelesaian masalah, siswa memulai suatu diskusi yang bermakna.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 278
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. dan Bobis, J. (2005). In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). ReformOriented Teaching Practices: A Survey Of Primary School Teachers: Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 65-72. Melbourne: Australia. Anderson, J.R., Reder, L.M. dan Simon, H.A. (2000). Applications and Misapplications of Cognitive Psychology to Mathematics Education. Texas Educational Review. [online]. Tersedia: http://act-r.psy.cmu.edu/people/ja/misapplied.html-101k. Anonim. (2000). Critical Reflection. [Online]. Tersedia: http:// www.nwlink.com/ ~donclark/hrd/ development/reflection.html Atkins, S., & Murphy, K. (1993). Reflection: A review of literature. Journal of Advanced Nursing, 18, 1188-1192. Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-Based Learning: An approach to Medical Education. New York: Springer. Boyd, E., & Fales, A. (1983). Reflective learning: Key to learning from experience. Journal ofHumanistic Psychology, 23(2), 99-117. Confrey, J. (1994). A Theory of Intellectual Development (Part. I). For the Learning of Mathematics, 14 (3), XIV, 2-8. Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The Mathematics Teacher. Reston, VA: NCTM. Halpern, D. F. (1996). Thought and knowledge: an introduction to critical thinking (3rd ed.). Mahwah, NJ: L. Erlbaum Associates Hmelo, D., & Ferrari, M. (1997). The problem-based learning tutorial: Cultivating higher order thinking skills. Journal for the Education of the Gifted, 20(4), 401422. Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Bandung: Disertasi PPs UPI. Tidak diterbitkan. KaAMS. Reflective Thinking. [Online],. Tersedia: ide.ed.psu.edu/kaams/kaams/ resource/ reflection.htm Karli, H dan Yuliariatiningsih, M.S. (2002). Implementasi KBK 1. Jakarta: Bina Media Informasi. Kusdwiratri-Setiono (1983). Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching Numerical Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-Wesley. Moon, J. (1999). Reflection in learning & professional development: Theory and practice. London: Kogan Page. NCTM (2000). Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_03/sect io_03_a.html Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London: Routledge. Resnick, L. B. (1987).Education and Learning to Think. Committee on Research in Mathematics, Science, and Technology Education. [online] Tersedia: National Academies Press at: http://www.nap.edu/catalog/1032.html. Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 279
Savery, J.R. dan Duffy, T.M. (1996). PBL: An Instructional Model and is Constructivist Framework. In Contructivist Learning Environments: Case Studies in Instructional Design. B.G. Wilson (ed). Englwood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. Shermis, S. S. (1999). Reflective Thought, Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.indiana.edu/~eric_rec/ieo/digests/d143.html Schön, D. A. (1991). The Reflective practitioner. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Song, H.D., Koszalka, T. A., dan Grabowski, B. (2005). Exploring Instructional Design Factors Prompting Reflective Thinking in Young Adolescents. In Canadian Journal of Learning and Technology, Vol 31, No. 2, 49-68. Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan. Teekman, B. (1999). A Sense-Making Examination Of Reflective Thinking In Nursing Practice. In The Electronic Journal of Communication Volume 9 Numbers 2, 3, 4 1999. Tersedia [online] http://communication.sbs.ohio-state.edu/sense making /zennezejoc/ zennezejoc99teekman.html Vezzuto, L. A. (2005). ReflektiveThinking. Tersedia [online]. http://charactered.ocde.us/ICE/lessons_html/reflective.html Wasserman, S. (1992). Asking the right question: The essence of teaching. Phi Delta Kappa Fastback 343. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation. Weast, D. (1996). Alternative teaching strategies: The case for critical thinking. Teaching Sociology,24, 189-194.
Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008
2 - 280