PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SEKOLAH DASAR
ARTIKEL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh
TIARA PEBRIANI 1104862
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR KAMPUS CIBIRU UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2015
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SEKOLAH DASAR
Tiara Pebriani1, Husen Windayana2, Robandi Roni M.A3 Jurusan S-1 PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia e-mail:
[email protected] ABSTRAK Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa mulai dari sekolah dasar, karena pelajaran matematika ini sangat penting untuk siswa dalam kehidupan sehariharinya. Pembelajaran matematika dewasa ini masih banyak menggunakan pembelajaran yang konvensional, sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa masih rendah. Maka dari itu perlu adanya suatu alternatif pembelajaran demi memecahkan permasalahan ini, salah satunya dengan menggunakan model Experiential Learning. Model ini terdiri dari empat tahap pembelajaran. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kuantitatif dengan desain kuasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini yaitu kelas V SD di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Sedangkan sampel penelitian ini adalah siswa kelas V di SD Negeri Sukaluyu I dan SD Negeri Bojongsari I. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning dan sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika pada kelas kontrolnya serta apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang signifikan antara yang memperoleh pembelajaran dengan model Experiential Learning terhadap kelas kontrolnya. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kuantitatif. Berdasarkan hasil uji gain ternormalisasi pada kelas eksperimen sebesar 0,52, terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas eksperimen dengan taraf sedang. Hasil uji gain ternormalisasi kelas kontrol sebesar 0,28, terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas kontrol dengan taraf rendah. Hasil dari pengujian dua rerata kedua kelas ini diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,00. Nilai ini lebih kecil dari taraf uji signifikansi 0,05 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk itu terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa secara signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Experiential Learning terhadap kelas kontrolnya. Berdasarkan pemaparan tersebut maka model Experiential Learning lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrolnya yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kata Kunci : Kemampuan Berpikir Kreatif, Model Experiential Learning.
1
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif
THE INFLUENCE OF EXPERIENTIAL MODEL IN LEARNING MATHEMATICS TO ELEMENTARY STUDENTS’ CREATIVE THINKING ABILITY Tiara Pebriani1, Husen Windayana2, Robandi Roni M.A3 Jurusan S-1 PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia e-mail:
[email protected] ABSTRACT
Mathematics is a lesson that should be mastered by students started from elementary school, because this mathematics learning is very important to students in their daily life. Mathematics learning nowadays still many used conventional learning, thus students’ creative thinking ability still low. Therefore, it need an alternative learning to solve this problem, one of them by using Experiential Learning Model. This model consists of four steps learning. The research method used was quantitatiive method with quasy experiment design. The population in this research was class V SD in Subdistrict of Sukaluyu Regency of Cianjur. While this research samples were students of Class V in SD Negeri Sukaluyu I and SD Negeri Bojongsari I. The aims of this research are to know how far the improvement of students’ creative thinking ability in learning mathematics by using Experiential Learning and how far the improvement of students’ creative thinking ability in learning mathematics in control class also is there a difference improvement of students’ creative thinking ability that significant between gain learning with Experiential Learning model to the control class. Data analysis technique used was quantitative analyss data. Based on the result of normalization gain test to experimental class was 0,52, there was improvement of students’ creative thinking ability to experimental class with mild level. The result from testing two averages of both classes gained significancy score was 0,05 which means H0 denied and and H1 accepted. Therefore there was difference improvement of students’ creative thinking ability significantly between students who gained learning with Experiental Learning model to the control class. Based on the result above thus Experiental Learning model is better than the control class that used conventional learning.
Keywords: Creative Thinking Ability, Experiential Learning Model.
2
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang dasar di dalam pendidikan. Dilihat dari kedudukan dan perannya, Sekolah Dasar merupakan jenis pendidikan umum yang sangat strategis, karena merupakan pendidikan formal paling awal yang memberi landasan bagi pendidikan selanjutnya. untuk itu pendidikan di jenjang ini harus dilaksanakan semaksimal mungkin karena akan sangat berpengaruh pada jenjang pendidikan selanjutnya. Berdasarkan kompetensi abad ke-21, mutu pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang dapat bersaing secara gelobal dimasa yang akan datang. Untuk menjawab tantangan zaman tersebut maka pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang kompetitif, inovatif, kreatif, kolaboratif serta berkarakter. Salah satu tuntutan bagi individu dimasa sekarang ini yaitu menjadi pribadi dan warga negara yang kreatif. Pembelajaran matematika di sekolah kita selama ini masih banyak guru yang menggunakan pembeajaran yang konvensional, sehingga guru lebih mendominasi pembelajaran. Sejalan dengan yang dikemukakan Soejadi (dalam Alim, 2008, hlm. 2) yang menyatakan bahwa ‘pembelajaran matematika di sekolah kita selama ini terbiasa dengan urutan langkahlangkah pembelajaran sebagai berikut : diajarkan teori/definisi/teorema, diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal’. Tentunya langkah-langkah pembelajaran tersebut yang umumnya dilakukan oleh para guru di sekolah kurang tepat, karena berdasarkan perkembangan intelektual siswa, untuk tingkat sekolah dasar pembelajaran matematika ini alangkah lebih baiknya apabila dimulai dari hal-hal yang konkret atau nyata. Anak pada usia sekolah dasar juga memiliki keingintahuan yang tinggi, namun apabila pembelajaran yang dilaksanakan lebih didominasi oleh guru dan pembelajaran dilaksanakan seperti urutan langkah-langkah di atas, maka hal 3
tersebut akan membatasi keingintahuan siswa serta membatasi perkembangan berpikirnya, termasuk perkembangan kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan hal tersebut, kemudian muncul pertanyaan, metode, pendekatan atau model pembelajaran seperti apa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, melibatkan aktivitas siswa secara optimal, dan membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan menyenangkan. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan siswa secara aktif, salah satunya yaitu melalui Model Experiential Learning. Model ini mendefinisikan bahwa pengetahuan itu didapatkan dari pengalaman langsung siswa. Mahfudin (dalam Majid, Abdul, 2014, hal. 153) menyimpulkan bahwa ‘Experiential Learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri’. Model pembelajaran Experiential Learning ini dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Model Experiential Learning adalah suatu model proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajaran untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman secara langsung. Model ini terdiri dari empat tahap pembelajaran, yaitu tahap pengalaman nyata, tahap aktif reflektif, tahap konseptualisasi dan tahap eksperimentasi aktif. Sedangkan berdasarkan kompetensi abad ke-21 menurut Trilling dan Fadel (dalam Abidin, 2014, hlm. 9) menjelaskan bahwa ‘keterampilan utama yang harus dimiliki dalam konteks abad ke-21 adalah keterampilan keterampilan belajar dan berinovasi. Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi dan
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif berkolaborasi, dan kemampuan untuk berkreativitas dan berinovasi’. Salah satu dari kompetensi abad ke-21 adalah menuntut peserta didik mampu berpikir kreatif. . Baer (dalam Arnyana, I. B. P. 2006, hlm. 499) mengemukakan, ‘berpikir kreatif merupakan sinonim dari berpikir divergen’. Berpikir divergen merupakan pemberian macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Indikator berpikir kreatif dalam penelitian ini yaitu Fluence yaitu kemampuan menghasilkan banyak ide, Flexibility yaitu kemampuan menghasilkan ide-ide yang bervariasi, Originality yaitu kemapuan menghasilkan ide baru atau ide yang sebelumnya tidak ada, Elaboration yaitu kemampuan mengembangkan atau menambahkan ideide sehingga dihasilkan ide yang rinci atau detail.Tentunya hal ini sejalan dengan model pembelajaran Experiential Learning, dimana adanya suatu pengalaman langsung yang didapat oleh peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Teori yang mendasari model Experiential Learning ini adalah teori konstruktivisme, dimana menurut pandangan ini keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa yang melibatkan pembentukan makna oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar. Sejalan dengan model Experiential Learning, dimana proses pembelajaran didasarkan pada pengalaman nyata siswa tentunya diharapkan mampu memaksimalkan hasil belajarnya karena dapat melibatkan seluruh panca inderanya dalam mengkonstruksi atau membangun pengetahuannya. Adapun menurut Jean Piaget (dalam Winataputra, 2007, hlm, 3.41) menyatakan bahwa “setiap siswa memiliki cara sendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya”. Piaget juga
menyatkan anak pada usia Sekolah Dasar (7-11 tahun) berada pada tahapan operasional konkret, dimana dalam pembelajaran menggunakan Model Experiential Learning mampu menampilkan sesuatu yang nyata yang dialami oleh peserta didik sendiri dengan bantuan media-media konkret. Selain itu, terdapat pula teori Ausubel yang menyatakan bahwa pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Adapula teori Carl Roger yang menyatakan bahwa kreativitas ini muncul dengan adanya keterbukaan terhadap pengalaman, dapat menilai sesuatu berdasarkan diri sendiri dan kemampuan untuk bereksperimen. Serta teori John Dewey yang menyatakan belajar berdasarkan pengalaman. Hamalik (2001, hlm. 212) mengungkapkan ‘ prinsip belajar sambil berbuat (learning by doing), berdasarkan asumsi bahwa para siswa memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingkan dengan mereka hanya melihat materi/konsep”. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning dan sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika pada kelas kontrolnya serta apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang signifikan antara yang memperoleh pembelajaran dengan model Experiential Learning dengan kelas kontrolnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning dan mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika pada kelas 4
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
kontrolnya serta untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang signifikan antara yang memperoleh pembelajaran dengan model Experiential Learning terhadap kelas kontrolnya. METODE Populasi dalam penelitian ini adalah populasi seluruh kelas V sekolah dasar di kecamatan Sukaluyu kabupaten Cianjur. Pemilihan sampel dilakukan tidak secara random. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, kedua sekolah mempunyai siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif yang sama. Adapun penentuan sampel yaitu kelas eksperimen yaitu kelas V di SD Negeri Sukaluyu I dan kelas kontrol pada SD Negeri Bojongsari I. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah desain nonequivalent kontrol group design. Pretest diberikan diawal sebelum siswa diberikan perlakuan, sedangkan posttest diberikan setelah siswa diberikan perlakuan sebanyak sembilan ali perlakuan. Pada penelitian ini kelas eksperimen memperoleh pembelajaran menggunakan model Experiential Learning sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Sugiono (2010, hlm.79) mengemukakan bahwa “desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design, hanya pada desain ini sampel kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen tidak dipilih secara random”. Berikut adalah gambaran desain penelitian kuasi eksperimen nonequivalent kontrol group design. O X1 O O X2 O Keterangan: O : Pretest = Posttest (tes kemampuan berpikir kreatif) X1 : Perlakuan pembelajaran menggunakan model Experiential Learning
5
X2 : Perlakuan dengan pembelajaran konvensional ----- : subjek tidak dikelompokkan secara acak Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes sebagai intrumen inti dan non-tes sebagai instrument pendukung. Instrumen tes dalam penelitian ini berupa tes berbentuk essay untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa, sedangkan instrumen non-tes berupa lembar observasi guru dan siswa untuk melihat keefektifan model Experiential Learning pada saat proses pembelajaran. Sebelum digunakan sebagai instrumen penelitian, terlebih dahulu peneliti membuat kisi-kisi instrumen untuk selanjutnya dilakukan uji coba. Instrumen yang diujicobakan merupakan instrumen yang telah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Uji coba soal dilakukan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda tiap butir soal yang akan digunakan dalam penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, berikut adalah perolehan rata-rata skor pretest dan posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tabel 1 Rata-rata Skor Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen Kontrol
Pretest 29,25 28,21
Posttest 66,125 48,17
Deskripsi data skor pretest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tersaji dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Deskripsi Skor Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Descriptive Statistics Std. Deviation
Varianc e
N
Minimum
Maximum
Sum
Mean
Eksperimen
30
25.00
40.00
877.50
29.2500
2.91030
8.470
Kontrol
30
21.25
36.25
846.25
28.2083
2.96683
8.802
Valid N (listwise)
30
Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak berbeda jauh. Hal ini dapat
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dilihat dari perolehan rata-rata skor pretest kelompok eksperimen sebesar 29,25 dan rata-rata skor pretest kelompok kontrol 28,21. Selisih rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah 1,04. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa rata-rata skor pretest kelompok eksperimen sedikit lebih besar dibandingkan dengan rata-rata skor pretest kelompok ontrol. Namun, secara keseluruhan kedua kelompok penelitian memiliki kemampuan berpikir kreatif yang sama. Uji normalitas terhadap dua kelompok tersebut dilakukan dengan uji KolmogorovSmirnov untuk data 30 dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Hipotesis dalam uji normalitas ini adalah sebagai berikut. H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal Ha : Data tidak berasal dari populasi berdistribusi normal Dengan mengambil taraf signifikansi sebesar =5% kriteria pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah H0 diterima jika nilai signifikansi (sig.) 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikansi < 0,05. Berikut adalah hasil perhitungan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 for Windows. Tabel 3 Normalitas Distribusi Skor Pretest Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
Df
Sig.
Eksperimen
.368
30
.000
Kontrol
.306
30
.000
Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi kedua kelompok adalah 0,00. Karena nilai signifikansi kedua kelompok lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak. Hal ini dapat dikatakan bahwa distribusi kedua sampel tersebut tidak normal. Karena sampel tidak berdistribusi normal, maka langkah selanjutnya yaitu dilakukan uji non parametric MannWhitney.
Perumusan hipotesis untuk uji MannWhitney adalah sebagai berikut. Ho : ɳ1 = ɳ2 = kedua kelas memiliki median yang sama. H1 : ɳ1 ≠ ɳ2 = kedua kelas tidak memiliki median yang sama. Keterangan : ɳ 1=median pembelajaran dengan menggunakan model Experiential Learning. ɳ 2 = median pembelajaran konvensional. Taraf signifikansi yang digunakan untuk pengujian ini adalah α = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah Asymp.Sig (2-tailed). Apabila Asymp.Sig (2-tailed) > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak, jika nilai Asymp.Sig (2-tailed) < 0,05 maka H0 ditolak. Hasil uji statistic non parametric kedua data adalah sebagai berikut. Tabel 4 Hasil Statistik Non Parametrik Mann-Whitney Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test Statisticsa Kemampuan Berpikir Kreatif
Mann-Whitney U
372.500
Wilcoxon W
837.500
Z
-1.333
Asymp. Sig. (2-tailed) .183 a. Grouping Variable: Kelas
Berdasarkan tabel 4 diperoleh nilai Asymp.Sig (2-tailed) berpikir kreatif kedua kelas adalah 0,183. Nilai ini lebih besar dari 0,05. Maka berdasarkan hasil pengambilan keputusan H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai median pretest dari kedua kelas adalah sama, dengan kata lain tidak terdapat perbedaan nilai median pretest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk itu kemampuan awal berpikir kreatif kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan adalah sama. Deskripsi data skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tersaji dalam tabel 5 di bawah ini.
6
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
Tabel 5 Deskripsi Skor Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Descriptive Statistics
N
Min
Max
Sum
Mean
Std. Deviation
Variance
Eksperimen
30
40.00
92.50
1983.75
66.1250
17.31849
299.930
Kontrol
30
28.75
75.00
1445.00
48.1667
13.80176
190.489
Valid N (listwise)
30
Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat dilihat skor minimum pada kelompok eksperimen diperoleh sebesar 40,00 dan skor maksimum diperoleh sebesar 92,50. Skor minimum pada kelompok control diperoleh sebesar 28,75 dan skor maksimum diperoleh sebesar 75,00. Setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapat perlakuan yang berbeda sebanyak sembilan kali, maka diperoleh rata-rata skor posttest kelompok eksperimen sebesar 66,12 dan rata-rata skor posttest kelompok kontrol sebesar 48,17. Dengan demikian terlihat bahwa rata-rata skor posttest kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan rata-rata skor posttest kelompok kontrol. Uji normalitas terhadap data skor posttest dua kelompok penelitian dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk data 30 menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Hipotesis dalam uji normalitas ini adalah sebagai berikut. H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : Data tidak berasal dari populasi berdistribusi normal Dengan mengambil taraf signifikansi sebesar =5% kriteria pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah H0 diterima jika nilai signifikansi (sig.) 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikansi < 0,05. Berikut adalah hasil perhitungan uji normalitas KolmogorovSmirnov dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 for Windows. Tabel 6 Normalitas Distribusi Skor Posttest Kolmogorov-Smirnova Kelas Statistic Df Sig. Eksperimen .111 30 .200* Kontrol .126 30 .200* 7
Berdasarkan tabel 6 di atas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi kedua kelompok adalah 0,200 dan memiliki tanda *) yang berarti bahwa nilai tersebut adalah signifikan. Karena nilai signifikansi kedua kelompok lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima. Hal ini dapat dikatakan bahwa distribusi kedua sampel adalah normal. Uji Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi sama. Berikut adalah hipotesis untuk uni homogenitas. Ho : tidak terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Ha : terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Dengan mengambil taraf signifikasni sebesar =5% kriteria pengambilan keputusan ini adalah H0 diterima jika signifikasni (sig.) 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikasni (sig) < 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data, tampilan output dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 7 Homogenitas Dua Varians Skor Posttest Test of Homogeneity of Variance Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.225 1 58 .141 Berdasarkan tabel 7 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat signifikansi uji Levene Statistic berada di atas 0,05 yaitu 0,141, berada jauh di atas 0,05. Berdasarkan hasil uji Levene Statistic tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol atau dapat dikatakan homogen. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil uji normalitas dan uji homogenitas skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Dengan demikian, peneliti dapat melakukan uji perbedaan rerata menggunakan uji t.
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Berikut adalah hipotesis nol dan hipotesis tandingan yang digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu: H0 : , kedua kelompok memiliti rata-rata populasi yang sama H1 : , kedua kelompok memiliki rata-rata populasi yang tidak sama Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima. b) Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak. Tabel 8 Independent Sampel Test Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F
Sig.
2.225 .141
T
df
4.442 58
Sig. (2tailed Mean ) Difference
Std. Error Differen ce Lower
Upper
.000
4.04318 9.865
26.05
17.95833
Berdasarkan tabel 8 di atas, terlihat bahwa F hitung untuk skor posttest dengan equal variance assumed adalah 0.2 dengan probabilitas 0,141. Karena probabilitas lebih besar dari 0,05, maka dapat diasumsikan bahwa kedua varians sama. Karena tidak terdapat perbedaan antara kedua varians, maka untuk membandingkan rata-rata skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol digunakan t test dengan dasar equal variance assumed (diasumsi kedua varians sama). Berdasarkan tabel 8 di atas, terlihat bahwa t hitung untuk posttest dengan equal variance assumed adalah 4.442 dengan probabilitas 0,000. Untuk uji dua sisi, maka probabilitas yang diperoleh harus dibagi dua yaitu menjadi 0,000. Karena perolehan probabilitas uji dua sisi lebih kecil dari 0,025 (0,000 < 0,025), maka H0 ditolak. Rata-rata skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah
berbeda. Selain itu, Berdasarkan tabel 8 di atas diperoleh juga mean difference untuk skor posttest sebesar 17,958 dengan perbedaan rata-rata bawah sebesar 9,865 dan rata-rata bagian atas sebesar 26,025. Hal ini dapat diartikan bahwa perbedaan rata-rata posttest berkisar antara 9,865 sampai 26,052 dengan perbedaan rata-rata adalah sebesar 17,958. Kemampuan berpikir kreatif Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Menggunakan Model Experiential Learning Pada kelas eksperimen pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan model Experiential Learning, untuk itu pada setiap pembelajaran mengandung tahapan-tahapan yang terdapat pada model tersebut. Pembelajaran ini dimulai pada tanggal 7 April 2015, dimana pada sehari sebelumnya siswa sudah terlebih dahulu diberi soal pretest yang mengandung indikator kemampuan berpikir kreatif. Pembelajaran diawali dengan pengkondisian siswa, kemudian berdo’a dan mengecek kehadiran siswa, untuk kehadiran siswa di kelas eksperimen, selanjutnya guru memberikan apersepsi mengenai materi yang akan dipelajari serta selalu bertepuk semangat untuk menambah semangat siswa dalam belajar. Lalu siswa menyimak tujuan pembelajaran yang harus dicapai setelah pembelajaran berlangsung. Guru memberikan penjelasan mengenai tugas yang harus diselesaikan oleh siswa, selanjutnya dalam proses pembelajaran siswa dibagi kedalam beberapa kelompok, kelompok-kelompok tersebut heterogen, yaitu dengan adanya perubahan kelompok pada beberapa kali pembelajaran. Siswa belajar dengan melalui tahap-tahap pembelajaran pada model Experiential Learning yang terdiri dari empat tahap yaitu tahap pengalaman konkrit, tahap aktif reflektif, tahap konseptualisasi dan tahap eksperimentasi aktif. Pada tahap pengalaman konkrit siswa secara berkelompok dihadapkan pada suatu pengalaman-pengalaman nyata yang harus 8
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
dilalui selama proses pembelajaran, pengalaman tersebut sesuai dengan materi yang diajarkan. Pada pelaksanaannya siswa dibantu dengan adanya LKS, pada LKS tersebut terdapat langkah-langkah pembelajaran yang harus dilalui oleh siswa. Dalam tahap ini guru membimbing siswa dalam pengerjaanya, karena di sekolah tersebut siswa masih mengira bahwa LKS merupakan lembar kerja yang isinya berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa, berbeda dengan LKS yang diberikan peneliti, serta siswa pun tidak terbiasa belajar melalui pengalaman, maka dari itu peneliti harus senantiasa membimbing siswa agar pengalaman yang didapatkan oleh siswa dapat bermakna dan dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kreatifnya. Tahap selanjutnya aktif reflektif, pada tahap ini siswa secara individu diberi kesempatan untuk melihat dan memikirkan pengalaman yang telah dilaluinya, guru menstimulus siswa melalui kegiatan tanya jawab, sehingga pada tahap ini semakin dalam siswa memahami pengalaman yang telah dilaksanakan, semakin baik pula persiapan diri siswa untuk mengikuti pembelajaran pada tahap konseptualisasi. Tahap ketiga, yaitu tahap konseptualisasi, pada tahap ini guru membimbing siswa untuk mampu menemukan sebuah konsep berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya dalam pembelajaran. Guru membimbing siswa agar siswa mampu mengemukakan pendapatnya. Serta membimbing siswa pada tahap abstraksi untuk menemukan konsep sesuai materi yang dipelajari. Tahap terakhir yaitu tahap eksperimentasi aktif, pada tahap terakhir siswa secara berkelompok diberi tugas untuk menjawab soal yang membutuhkan penyelesaian menggunakan konsep yang telah ditemukan, soal yang diberikan merupakan soal-soal yang membimbing siswa untuk dapat berpikir kreatif. Selanjutnya siswa dengan dibimbing oleh guru menyimpulkan pembelajaran, 9
setelah itu siswa secara individu diberi tes evaluasi untuk melihat kemampuan berpikir kreatif siswa setelah pembelajaran. Setelah sembilan kali perlakuan, siswa diberikan soal posttest untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa setelah diberikan perlakuan dengan menggunakan model Experiential Learning. Soal posttest ini diberikan pada tanggal 28 April 2015. Pelaksanaan pembelajaran dengan model Experiential Learning terhadap kelas eksperimen mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal ini terlihat dari peningkatan rata-rata skor kemampuan berpikir kreatif siswa setelah mendapat perlakuan melalui pembelajaran dengan yaitu sebesar 37,9. Peningakatan kemampuan berpikir kreatif yang terjadi pada kelas eksperimen ini terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning. Hal ini terlihat pada hasil uji gain ternormalisasi dengan indeks rata-rata indeks gain kelas kontrol sebesar 0,52. Nilai ini berada pada interpretasi sedang. Maka dari itu terdapat peningkatan kemampuan kreatif siswa pada kelas eksperimen dengan taraf sedang. Kemampuan berpikir kreatif pada kelas kontrol. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas kontrol. Tahapan penelitian pada kelas kontrol sama dengan tahapan penelitian pada kelas eksperimen, yaitu pertama-tama siswa di kelas kontrol diberi soal pretest terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum mendapatkan perlakuan, setelah itu barulah siswa di kelas kontrol diberikan perlakuan/treatment sebanyak Sembilan kali pertemuan. Setelah itu siswa diberi soal posttest untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatifnya setelah mendapatkan sembilan kali perlakuan.
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Pembelajaran di kelas kontrol dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Pada kegiatan awal yaitu pengkondisian siswa, berdo’a dan mengambsen, lalu guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada kegiatan inti guru lebih mendominasi pembelajaran yaitu dengan menggunakan metode ceramah. Guru menjelaskan setiap materi dengan menggunakan media, siswa cenderung pasif menyimak pemaparan dari guru. Lalu guru memberikan contoh soal serta latihanlatihan soal. Pada kegiatan akhir guru yang menyimpulkan pembelajaran, lalu siswa setiap individu diberi tes evaluasi. Pelaksanaan pembelajaran secara konvensional terhadap kelas kontrol mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal ini terlihat dari peningkatan ratarata skor kemampuan berpikir kreatif siswa setelah mendapat perlakuan melalui pembelajaran secara konvensional yaitu sebesar 20. Peningakatan kemampuan berpikir kreatif yang terjadi pada kelompok control ini terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada pembelajaran matematika pada kelas kontrolnya. Hal ini terlihat pada hasil uji gain ternormalisasi dengan indeks rata-rata indeks gain kelas kontrol sebesar 0,28. Nilai ini berada pada interpretasi rendah. Maka dari itu terdapat peningkatan kemampuan kreatif siswa pada kelas kontrol dengan taraf rendah. Perbedaan Kemampuan berpikir kreatif Antara Siswa yang Mengikuti Pembelajaran dengan Model Experiential Learning dengan Pembelajaran Konvensional Perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dapat dilihat dari perolehan rata-rata skor posttest masingmasing kelompok. Rata-rata skor posttest siswa pada kelompok eksperimen diperoleh sebesar 66,125 dan rata-rata skor posttest siswa pada kelompok kontrol diperoleh sebesar 48,17. Lalu untuk mengetahui
apakah terdapat terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa setelah diberikan perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrolnya maka dilakukan pengolahan data pada data hasil posttest. Pada data posttest pertama-tama dilakukan uji normalitas, pada uji normalitas data posttest ini diperoleh nilai signifikansi skor posttest kelas eksperimen adalah 0,200 dan kelas kontrol adalah 0,200. Nilai signifikansi kedua kelas tersebut lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima, artinya data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Karena data yang dihasilkan berdistribusi normal maka langkah selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Pada uji homogenitas diperoleh nilai signifikansi dari data hasil posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,141. Nilai signifikansi kedua kelompok tersebut lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima. Artinya tidak terdapat perbedaan variansi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol atau data tersebut homogen. Karena data tersebut normal dan homogen maka dilakukan uji-t. Dalam uji-t diperoleh nilai signifikansi kemampuan berpikir kreatif kedua kelas adalah 0,00. Nilai ini lebih kecil dari 0,05. Maka berdasarkan hasil pengambilan keputusan H0 ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat dimaknai bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelas eksperimen terhadap kelas kontrolnya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa model Experiential Learning mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas eksperimen daripada kelas kontrolnya. Sejalan dengan teori konstruktivisme, dimana siswa aktif dalam membangun dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, berdasarkan hasil siswa selama mengikuti tahap pengalaman nyata. Sehingga siswa mampu mrmbangun konsep secara mandiri dengan dibimbing oleh guru. Serta dengan bantuan media-media konkret sesuai teori Jean Piaget yang mengemukakan bahwa 10
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
anak pada usia sekolah dasar ada pada tahap operasional konkrit, maka dari itu pembelajaran dalam model ini menggunakan media-media konkrit, selain itu pembelajaran ini menitik beratkan pada pembelajaran berdasarkan pengalaman karena pada tahap awal pembelajaran Experiential Learning ini yaitu tahap pengalaman konkrit, sesuai dengan teori belajar John Dewey yang menekankan learning experience atau belajar dari pengalaman, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sesuai dengan teori Ausubel karena pada saat pembelajaran siswa aktif selama proses pembelajaran, serta perkembangan struktur kognitif siswa dapat berkembang sesuai dengan kejadian-kejadian berdasarkan pengalaman yang dialaminya, pembelajaran juga direncanakan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadikan kegiatan belajar yang menarik, menantang dan tentunya lebih bermanfaat bagi siswa, sehingga materi yang diajarkan akan lebih mudah untuk dipahami dan lebih tahan lama untuk diingat oleh siswa. Karena keterbukaan siswa terhadap pengalaman, mampu melihat pengalaman dari berbagai sudut pandang serta keberanian untuk bereksperimen seperti yang dikemukakan oleh Carl Roger sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. KESIMPULAN Setelah peneliti melakukan penelitian lalu data yang diperoleh dari hasil penelitian, berupa data pretest dan posttest yang kemudian data tersebut dianalisis, diolah dan dibahas pada BAB IV dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai pengaruh model Experiential Learning terhadap kemampuan berpikir siswa pada pelajaran matematika di kelas V Tema 8 yaitu ekosistem sebagai berikut. 1. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential 11
Learning dengan taraf interpretasi sedang. 2. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa pada pembelajaran matematika dengan menggunakan pada kelas kontrolnya dengan taraf interpretasi rendah. 3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa secara signifikan antara kelas eksperimen kelas kontrol. Hal ini terlihat pada hasil uji perbedaan ratarata pada kedua kelas. Hasil dari pengujian dua rerata kedua kelas ini diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,00. Nilai ini lebih kecil dari taraf uji signifikansi 0,05 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk itu terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa secara signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Experiential Learning dengan kelas kontrolnya. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung : Refika Aditama. Alim, J.A. (2008). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa Sekolah Dasar. (Thesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Arnyana, I. B. P. (2006). Pengaruh penerapan strategi pembelajaran inovatif pada pelajaran biologi terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa SMA. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, 0215. (3), Hlm. 496-512. (online). Tersedia di: http://pasca.undiksha.ac.id/images/img_ite m/607.doc. Diakses 9 Oktober 2014. Hamalik, O. (2001). Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Bumi Aksara.
Tiara Pebriani, Husen Windayana, Robandi Roni M.A Pengaruh Model Experiential Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Majid, A. (2014). Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Interes Media. Sugiyono (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. Winataputra, U.S, dkk. (2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.
12