1
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN ABAD 21 UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MELALUI MODEL BERVARIASI
Sri Haryati FKIP Universitas Tidar E-mail :
[email protected]
Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sebagai dampak globalisasi mengharuskan kita untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki pembelajar dalam menghadapi globalisasi sebagai ciri dari pembelajaran abad 21 adalah keterampilan berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah. Ciri pembelajaran abad 21 antara lain adalah keterampilan berpikir kritis, memecahkan masalah, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah dianggap sebagai keterampilan yang mendasar dalam pembelajaran abad 21. Dengan berpikir kritis pembelajar dilatih untuk mengkontruksi ilmu pengetahuan, mengindentifikasi, menemukan, mengembangkan, menguji, menganalisis, dan menghasilkan sebuah simpulan. Berpikir kritis, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, peduli lingkungan merupakan karakter yang harus dimiliki pembelajar pada pembelajaran abad 21.Keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti menganalisa, mengevaluasi, dan mengkreasi dapat diaplikasikan secara bersamaan dalam lingkungan belajar yang dirancang dengan baik. Kata kunci : pembelajaran abad 21, berpikir kritis, model bervariasi
Abstract The development of science, technology and art as the impact of globalization requires us to adapt to these developments. One of the competencies that learner must have in facing globalization as a hallmark of 21st century learning is critical thinking skill and problem solving. The characteristics of 21st century learning include critical thinking skills, problem solving, communication, and collaboration. Critical thinking skills and problem solving are considered fundamental skills in 21st century learning. With critical thinking learners are trained to construct science, identify, discover, develop, test, analyze, and generate conclusions. Critical thinking, discipline, responsibility, cooperation, caring for the environment are the characters that learners must have in 21st century learning. High-level thinking skills such as analyzing, evaluating, and creating can be applied simultaneously in well-designed learning environments. Keywords: 21st century learning, critical thinking, varied models
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
2
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
PENDAHULUAN Pembelajaran abad 21 merupakan paradigma pendidikan yang berkembang pada waktu sekarang ini. Paradigma pendidikan yang berlangsung bukan lagi berpusat pada pendidik (teacher centered) tetapi sudah berpusat pada pembelajar (student centered). Perkembangan Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan menengah dan kurikulum KKNI untuk jenjang pendidikan tinggi menekankan pada pembelajar untuk mampu berpikir kritis dan mandiri dalam menghadapi tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, atau perubahan zaman. Terkait dengan hal tersebut, dalam kurikulum 2013 mengamanatkan adanya suatu pembelajaran aktif (active learning) dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas melalui pendekatan saintifik seperti pembelajaran inkuiri, diskoveri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, dan pembelajaran kooperatif (Sudarmin, 2016:1). Ayuningtyas berpendapat bahwa dalam kurikulum 2013 pembelajar di dorong untuk mencari tahu berbagai sumber informasi dan dilibatkan dalam proses pembelajaran melalui pendekatan saintifik (scientific approach) dengan disebut 5 M, yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan berfikir kritis Dalam implementasi kurikulum KKNI capaian pembelajaran (CP) minimum jenjang Sarjana (Strata 1) dirumuskan antara lain adalah: (1) mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan etika ilmiah dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni; (2) mampu menyusun deskripsi saintifik hasil kajian tersebut. Implementasi dalam proses pembelajarannya sesuai dengan standar proses yang terdiri atas sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif,
dan berpusat pada mahasiswa (Slameto,2016, p.214). Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP, 2010, p.38), yang termuat dalam paradigma Pendidikan Nasional di Abad 21, mengemukakan paradigma pendidikan yang demokratis, bernuansa permainan, penuh keterbukaan, menantang, melatih rasa tanggung, akan merangsang siswa datang karena senang bukan karena keterpaksaan (Hanib, 2017, p.1). Menurut 21stCentury Partnership Learning Framework, terdapat beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia abad 21, yaitu (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving skill); (2) kemampuan berkomunikai dan bekerjasama (communication and collaboration skills); (3) kemampuan mencipta dan membaharui (creativity and innovation skills; (4) literasi teknologi informasi dan komunikasi (information and communication); (5) kemampuan belajar kontekstual (contextual learning skills); (6) kemampuan informasi dan literasi media (information and literacy media). (BNSP, 2010, p.44) (Hanib, 2017, p.1) Kompetensi-kompetensi tersebut diharapkan dimiliki pembelajar dalam mengikuti proses pembelajarannya. Oleh karena itu, pendidik harus mampu merancang dan mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada pembelajar dan dapat mendorong pembelajar memiliki kompetensi atau keterampilan abad 21. Peran pendidik sangat penting sebagai fasilitator dan motivator. Tuntutan kompetensi yang harus dimiliki pembelajar dalam pembelajaran abad 21 bertolak belakang dengan kondisi riil pembelajaran yang berlangsung saat ini. Dalam kenyataan masih ada pendidik yang kurang memfasilitasi pembelajar untuk berfikir kritis secara optimal dalam proses pembelajaran. Pendidik belum menggunakan model pembelajaran yang bervariasi yang meliputi: metode yang bervariasi, media yang bervariasi, pendekatan yang bervariasi, dan alat bantu yang bervariasi, agar pembelajaran tidak monoton yang membuat pembelajar cepat bosan mengikuti proses pembelajaran. Pembelajaran juga masih berpusat pada pendidik belum berpusat pada pembelajar.Pembelajaran yang demikian belum
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
3
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
merupakan ciri pembelajaran yang mendukung pembelajaran abad 21. Ciri pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah pembelajaran yang melibatkan pembelajar aktif.Berpikir kritis memang tidak mudah dilakukan, tetapi kemampuan berpikir kritis dapat dilatih dan dikembangkan oleh pendidik selama proses pembelajaran (Snyder, 2008, p.7) .Oleh karena itu, pendidik perlu menerapkan suatu model pembelajaran yang melibatkan pembelajar aktif dan mampu berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan, dilatih dan secara kontinyu terintegrasi dalam kurikulum untuk merangsang pembelajar aktif dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang bisa dikembangkan sesuai dengan prinsip kurikulum 2013, kurikulum KKNI, pembelajaran berbasis riset (PBR), pembelajaran abad 21 diantaranya adalah: pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran inkuiri, pembelajaran diskoveri, dan pembelajaran berbasis proyek. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas model-model pembelajaran tersebut di atas.
pembelajar dalam era digital, antara lain keterampilan berpikir kritis, memecahkan masalah, berkomunikasi, dan berkolaborasi (Dewi, 2015, p.2). Keterampilan-keterampilan tersebut perlu dimiliki dan dibutuhkan untuk dapat bertahan dan berkompetisi dalam dunia global dan digital yang memiliki perubahan yang sangat cepat (Metiri Group, 2003, p. 2). Pada gambar berikut dijelaskan elemenelemen penting yang perlu dimunculkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan abad 21. Elemen-elemen tersebut adalah life and career skills, learning and innovation skills, dan information media and technology skills.Untuk menghadapi tantangan pekerjaan dan kehidupan abad 21, ketiga elemen tersebut harus saling berkaitan satu dengan lainnya dan merupakan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang perlu dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada penguasaan pengetahuan core subject saja tetapi juga perlu memperhatikan pengetahuan akademis yang lebih tinggi dengan mengintegrasikan keterampilan abad 21 ke dalam kegiatan pembelajaran. (Dewi, 2015, p. 3).
PEMBAHASAN Pembelajaran Abad 21 Pada abad 21 ini, lembaga pendidikan perlu memperhatikan cakupan kesuksesan lulusannya agar tidak hanya terbatas pada kemampuan akademik saja, tetapi juga mengarah pada kemampuan dan keterampilan yang dapat membantu para lulusannya berkompetisi di dunia global dan digital yang berkembang saat ini. Partnership for 21 st Century Skills (2007) menegaskan bahwa keterampilan abad 21 terbentuk dari suatu pemahaman yang solid terhadap pengetahuan tentang isi (content knowledge) yang kemudian ditopang oleh berbagai keterampilan, keahlian, dan literasi yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk mendukung kesuksesannya baik secara personal maupun profesional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keterampilan abad 21 muncul dari sebuah asumsi bahwa saat ini individu hidup dan tinggal dalam lingkungan yang sarat akan teknologi, di mana terdapat berlimpah informasi, percepatan kemajuan teknologi yang sangat tinggi dan polapola komunikasi dan kolaborasi yang baru. Kesuksesan dalam dunia digital ini sangat tergantung pada keterampilan yang dimiliki
Gambar 1. Keterampilan Abad 21 Keterampilan abad 21 diorganisasikan dalam 4 kategori sebagai berikut: Cara berfikir: kreatifitas dan inovasi, berfikir kritis, memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan belajar untuk belajar. Cara untuk bekerja: berkomunikasi dan bekerja sama. Alat untuk bekerja: pengetahuan umum dan keterampilan teknologi informasi dan komunikasi. Cara untuk hidup: karir, tanggung jawab pribadi dan sosial termasuk kesadaran akan budaya dan kompetensi (Dewi, 2015, p. 3). Pengertian-pengertian keterampilan abad 21 ini berhubungan dengan berbagai jenis disiplin ilmu dan banyak aspek dalam
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
4
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
kehidupan.Pendidikan abad 21 ini melibatkan aspek keterampilan dan pemahaman, namun juga menekankan pada aspek aspek kreativitas, kolaborasi dan kemampuan berbicara. Ada juga yang melibatkan teknologi, tingkah laku dan nilai nilai moral, selain itu juga menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan berkomunikasi yang lebih memberikan tantangan dalam proses pembelajaran daripada memorization dan rote learning. (Dewi, 2015, p. 3). Berikut ini akan dijelaskan keterampilan-keterampilan yang perlu dimiliki pembelajar dalam pembelajaran abad 21 antara lain adalah: Berpikir Kritis dan Memecahkan Masalah Keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah dianggap sebagai keterampilan yang mendasar dalam pembelajaran abad 21. Pada setiap individu dan pada setiap jenjang pendidikan, proses pembelajaran dan instruksi perlu mengintegrasikan pembelajaran content knowledge, dengan kegiatan-kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (Trilling and Fadel, 2009, p.16). Hal ini sesuai dengan revisi dari Taksonomi Bloom yang menggunakan istilah remember, understand, apply, analyze, evaluate dan create (Anderson and Krathwohl, 2001, p.13). Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa penggabungan beberapa keterampilan diatas dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Keterampilan mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisa, mengevaluasi dan mengkreasi dapat diaplikasikan secara bersamaan dalam lingkungan belajar yang dirancang dengan baik dan sarat dengan berbagai jenis kegiatan yang berbasis proyek. (Trilling and Fadel, 2009, p. 2). Berkomunikasi dan Kolaborasi Sistem pendidikan perlu memperhatikan kemampuan berkomunikasi yang baik, secara lisan maupun tulisan. Pembelajaran abad 21 juga menuntut adanya portofolio individu yang komprehensif dalam berkomunikasi dan berkolaborasi untuk meningkatkan kemampuan untuk belajar dan bekerja bersama (Trilling and Fadel, 2009, p.23). Keterampilan ini dapat diperoleh melalui berbagai jenis metode, namun cara yang paling efektif adalah melalui komunikasi sosial, dengan berkomunikasi dan
berkolaborasi langsung baik dengan cara tatap muka maupun melalui media virtual. Trilling & Fadel, 2009, p. 20) Kreatifitas dan Inovasi Kebutuhan akan kreatifitas dan inovasi yang tinggi menjadi bagian dari keterampilan utama di Abad 21. Hal ini berkaitan dengan tuntutan Abad 21 akan produk-produk yang lebih inovatif dan membutuhkan tingkat kreatifitas yang lebih tinggi. Saat ini, pengetahuan saja dianggap tidak cukup untuk mengimbangi percepatan inovasi yang sangat menghargai kemampuan memecahkan masalah dengan cara yang baru, menemukan dan mengadaptasi teknologi baru, atau bahkan menemukan cabang ilmu baru dan industri yang benar-benar baru (Trilling & Fadel, 2009, p.10). Hal ini juga yang menginspirasi perubahan sistem pendidikan seperti di Finlandia dan Singapura yang mulai memasukkan aspek inovasi dan kreativitas sebagai prioritas utama dari indikator keberhasilan pembelajar. Literasi Digital Keterampilan individu dalam literasi digital dan informasi sangat perlu ditingkatkan baik di dunia pekerjaan, di sekolah, di rumah maupun di komunitas. Peningkatan tersebut diperlukan dalam kaitannya dengan aspek-aspek berikut: Mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis, menggunakan informasi secara akurat dan kreatif. (Dewi, 2015, p.4). Dalam hal ini, pembelajar harus mampu memastikan bahwa informasi yang diperoleh dapat dipercaya, akurat dan dapat diandalkan. Mereka harus dapat memilih prioritas informasi berdasarkan tingkat urgensinya dan kemenarikannya dan juga dapat mengorganisasi serta menampilkan informasi tersebut dengan menarik. Mengakses, mengevaluasi, mengaplikasikan, dan mengatur informasi dengan baik serta menggunakan sumber informasi secara tepat dan efektif hanya merupakan sebagian dari keterampilan yang berada dibawah payung literasi digital. Memahami bagaimana berbagai jenis media dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan, bagaimana memilih media yang tepat dari sejumlah pilihan yang tersedia saat ini dan bagaimana menyampaikan pesan secara efektif dengan menggunakan media
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
5
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
tersebut adalah keterampilan-keterampilan yang penting untuk dimiliki di Abad 21 ini (Trilling & Fadel, 2009, p. 23). Berfikir Tingkat Tinggi Proses berfikir merupakan suatu kegiatan mental yang disadari dan diarahkan untuk membangun dan memperoleh pengetahuan, mengambil keputusan, membuat perencanaan, memecahkan masalah, serta untuk menilai tindakan (Slameto,2016, p.219). Dalam proses berfikir, terkandung di dalamnya proses meragukan/ memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan yang ada, menganalisis, sintesis, manalar atau menarik simpulan dari premis yang ada, menimbang, dan memutuskan (Sobur, 2003 dalam Slameto, 2016:219). Taksonomi Bloom menggunakan istilah kemampuan berfikir sama dengan kemampuan kognitif atau intelektual.Kemampuan kognitif atau kemampuan intelektual atau kemampuan berfikir meliputikawasanremember, understand, apply, analyze, evaluate dan create (Anderson and Krathwohl, 2001, p.10), yang tergambar dalam bagan piramide berikut ini.
Gambar 2. Taksonomi Bloom Knowledge, dapat diartikan dengan pengetahuan. Sub kawasan ini mementingkan aspek ingatan, lebih tepat diartikan mengingat terhadap materimateri yang pernah dipelajari. Contoh kata kerja operasionalnya adalah: mengutip, menyebutkan, menjelaskan, menggambar, membilang, mengidentifikasi, mendaftar, menunjukkan, memberi label, memasangkan, menamai, menandai, membaca, menyadari, menghafal, meniru, mencatat, mengulang, memproduksi,
meninjau, memilih, menyatakan, mempelajari, mentabulasi, memberi kode, menelusuri. Comprehension, dapat diartikan dengan kemampuan untuk menangkap pengertian mengenai sesuatu. Pada sub kawasan ini, seseorang dapat menterjemahkan sesuatu. Contoh kata kerja operasionalnya adalah: memperkirakan, menjelaskan, mengkategorikan, mencirikan, merinci, mengasosiasikan, membandingkan, menghitung, mengkontraskan, mengubah, mempertahankan, menguraikan, menjalin, membedakan, mendiskusikan, menggali, mencontohkan, menerangkan, mengemukakan, mempolakan, memperluas, menyimpulkan, meramalkan, merangkum, menjabarkan. Application, dapat diartikan dengan kemampuan untuk menerapkan apa yang pernah dipelajari ke dalam situasi yang senyatanya. Contoh kata kerja operasionalnya adalah menugaskan, mengurutkan, menentukan, menerapkan, menyesuaikan, mengkalkulasi, memodifikasi, mengklasifikasi, menghitung, membangun, membiasakan, mencegah, menggambarkan, menggunakan, menilai, melatih, membiasakan, mencegah, menggali, mengemukakan, mengadaptasi, menyelidiki, mengoperasikan, mempersoalkan, memproses, mengkonsepkan, melaksanakan, meramalkan, memproduksi, mengaitkan, menyusun, mensimulasikan, memecahkan, melakukan, mentabulasi.Analysis, dapat diartikan dengan kemampuan untuk merinci, menghubungkan, menguraikan rincian dan saling berhubungan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Kata kerja operasionalnya adalah: menganalisis, mengaudit, memecahkan, menugaskan, mendeteksi, mendiagnosis, menyeleksi, merinci, menominasikan, mendiagramkan, mengkorelasikan, merasionalkan, menguji, mencerahkan, menjelajah, membagankan, menyimpulkan, menemukan, menelaah, memaksimalkan, memerintahkan, mengedit, mengaitkan, memilih, mengukur, melatih, mentransfer. Synthesis, dapat diartikan dengan kemampuan untuk menyatukan hal-hal yang tak menyatu menjadi sebuah kenyataan yang utuh. Kata kerja operasionalnya adalah: merancang, mengoreksi, mengkreasikan, menciptakan, menghubungkan, menanggulangi, membangun, mengarang, menyusun, mengkombinasikan, mengkode, mengkategorikan, mengumpulkan, mengatur, mengkontruksi, merangkum,
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
6
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
memproduksi, menampilkan, membahas, memadukan, menggabungkan, membentuk, memperjelas. Evaluation, dapat diartikan dengan kemampuan untuk menentukan baik buruk, berharga tidak berharga, bernilai tidak bernilai mengenai suatu hal. Contoh kata kerja operasionalnya adalah membandingkan, menyimpulkan, menilai, mengarahkan, mengkritik, menimbang, memutuskan, memisahkan, memprediksi, memperjelas, menugaskan, menafsirkan, mempertahankan, memerinci, mengukur, merangkum, membuktikan, memvalidasi, mengetes, mendukung, memilih, memproyeksikan (Haryati, 2017, p. 10). Kemampuan berpikir dibagi menjadi dua bagian, yakni kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merupakan perpaduan antara beberapa kemampuan berpikir dasar (Liliasari, 2008, p.12). Kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Semua kemampuan berpikir tingkat tinggi yang diungkapkan di atas dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered learning /SCL) (Bakry, 2013, p. 20). Model-Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan bagian dari struktur pembelajaran yang memiliki cakupan yang luas. Di dalamnya terdapat pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran. Salah satu aspek penting dari sebuah model pembelajaran adalah sintaks (syntax), yang merupakan langkah-langkah baku yang harus ditempuh dalam implementasi model tersebut. Sintaks seharusnya tercermin dalam langkahlangkah pembelajaran khususnya yang dirinci dalam kegiatan inti pembelajaran.Dalam mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang menerapkan satu model pembelajaran tertentu, seharusnya aktivitas pendidik mencerminkan sintaks-sintaks model pembelajaran yang dipilih, demikian juga aktivitas pembelajar seharusnya mencerminkan bagaimana perilaku dan model interaksi yang dipersyaratkan.Pendidik sebagai pengembang
RPP seharusnya memiliki pemahaman yang memadai tentang model-model pembelajaran sehingga implementasinya dalampembelajaran tepat dan tujuan pembelajaran bisa tercapai secara efektif. (Sarwanti, 2016, p.1). Ada beberapa model pembelajaran abad 21 yang merupakan metode pembelajaran berbasis riset yang juga merupakan penerapan dari metode pembelajaran aktif di perguruan tinggi, yaitu: Pembelajaran Berbasis Based Learning/PBL)
Masalah
(Problem
Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan model pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang mahasiswa untuk aktif untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan PBL, mahasiswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Model PBL adalah suatu model yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi, kreatifitas). Pembelajaran ini membantu mahasiswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran PBL cocok mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Sudarmin, 2016, p.7). PBL merupakan model pembelajaran yang berdasarkan pada masalah.Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah, mahasiswa belajar suatu konsep dan prinsip sekaligus memecahkan masalah.PBL lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis, melatih belajar mandiri, dan pemecahan masalah dalam situasi kehidupan nyata. Menurut menjelaskan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang berkaitan dengan bagaimana cara mahasiswa berpikir untuk mengatasi sebuah masalah (Chen, 2008, p.15). Problem based learning mempunyai karakteristiksebagai berikut: problem focused, yaitu mahasiswa belajar berdasarkan permasalahan, it is student centered, yaitu proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, selfdirected learning, yaitu mahasiswa mengendalikan proses pembelajaran mereka sendiri meskipun masih dalam koridor tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan, selfreflective, yaitu mahasiswa membuat refleksi dalam proses dan hasil pembelajaran. (Hung et al,
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
7
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
2008, p.488-489) (Kolmos et al, 2007, p.6), Beberapa langkah untuk menerapkan problem based learning antara lain: dosen membuat kelompok diskusi dan menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, dosen memberikan sebuah masalah kepada mahasiswa untuk dijadikan sebagai bahan belajar, mahasiswa mengidentifikasi learning issue berdasarkan permasalahan dan disesuaikan dengan tujuan pembelajarannya, mahasiswa melaksanakan selfdirected learning untuk mencari berbagai informasi untuk memecahkan masalah, dan mahasiswa mengevaluasi hasil dan proses yang mereka lakukan dalam kegiatan proses pembelajarannya (Haryati, 2017, p.5). Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. menyatakan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan mahasiswa aktif bekerja dalam kelompok yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif mengacu pada model pembelajaran yang mendorong mahasiswa bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Suatu pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar mahasiswa saling membantu dalam mempelajari sesuatu (Sudarmin , 2017, p. 10) Ada empat macam model pembelajaran kooperatif yaitu; Student Teams Achievement Division (STAD), Group Investigation, Jigsaw, dan Structural Approach yang terdiri dari thinkpair-share (TPS), dan numbered-head-together (NHT) (Sudarmin, 2017, p.13), Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran STAD adalah: Dosen menjelaskan/mempresentasikan pelajaran, Mahasiswa belajar dalam tim: mahasiswa bekerja dalam tim mereka dengan dipandu oleh lembar kegiatan pembelajar untuk menuntaskan materi kuliah, Dosen memberikan tes dengan memberikankuis atau tugas individual lain, Dosen memberikan penghargaan. Skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan anggota tim, dan sertifikat, laporan berkala kelas atau papan pengumuman digunakan untuk memberi
penghargaan kepada tim yang berhasil mencetak skor tertinggi. Langkah-langkah group investigation, yaitu: mahasiswa memilih subtopik khusus dalam suatu masalah umum yang biasanya ditetapkandosen, mahasiswa dan dosen merencanakan prosedur pembelajaran dan tujuan khusus yang konsisten dengan subtopik yang telah dipilih, mahasiswa melaksanakan rencana yang telah mereka tetapkan pada tahap kedua. Dosen secara ketat mengikuti kemajuan tiapkelompok dan memberikan bantuan bila diperlukan, mahasiswa manganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana informasi tersebut diringkas dan dipresentasikan di kelas, beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya, dengan tujuan agar semua mahasiswa mengetahui topik.Presentasi ini dikoordinasi oleh dosen, evaluasi dapat berupa individual atau kelompok. Langkah-langkah dalam penerapan tipe Jigsaw adalah sebagai berikut : dosen membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4–6 siswa, setelah mahasiswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok, dosen memberikan kuis untuk mahasiswa secara individual, dosen memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan.Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. Langkah-langkah TPS adalah: thinking (berpikir): dosen memberikan pertanyaan atau isu yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari dan meminta mahasiswa untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat, pairing (berpasangan): dosen meminta mahasiswa untuk berpasangan dengan mahasiswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap berpikir. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan telah diidentifikasi. Biasanya dosen memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan, sharing (berbagi): dosen meminta kepada pasangan untuk berbagi secara klasikal tentang apa yang telah mereka diskusikan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan, sampai sekitar seperempat pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
8
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
Sedangkan langkah-langkah NHT adalah: penomoran:dosen membagi mahasiswa ke dalam kelompok beranggota 3-5 orang dan setiap anggota diberi nomor 1 sampai 5, mengajukan pertanyaan: dosen mengajukan sebuah pertanyaan kepada mahasiswa. Pertanyaan ini bisa dalam bentuk kalimat tanya atau arahan, berpikir bersama: mahasiswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut, menjawab: dosen memanggil mahasiswa dengan nomor tertentu, kemudian dia menjawab pertanyaan dosen untuk seluruh kelas (Haryati, 2017, p.5-6). Contextual Teaching and Learning (CTL) Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan kontruktivisme.Pendekatan kontruktivisme menganggap bahwa mahasiswa paling baik jika belajar dalam lingkungan yang tidak dipandu (dipandu dalam batas minimal). Implikasinya adalah pengetahuan akan didapat mahasiswa melalui penemuan atau kontruksi dari berbagai informasi yang mereka temukan sendiri (Kirschner, 2006, p.75). Secara psikologis, mahasiswa yang mengontruksi pengetahuan akan lebih bisa menginterpretasikan segala kejadian yang terjadi di dunia nyata (Jonasen, 2011, p.218) Pembelajaran kontekstual adalah sebagai konsepsi pembelajaran yang membantu dosen menghubungkan materi perkuliahan dengan situasi dunia nyata. CTL juga membantu memotivasi mahasiswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya terhadap kehidupan merekasebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja.Proses pembelajaran CTL ini menitikberatkan pada tiga konsep yaitu: menitikberatkan kepada keterlibatan mahasiswa secara aktif, mendorong mahasiswa untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajarinya dengan situasi kehidupan nyata yang ada, mendorong mahasiswa untuk menerapkan kemampuan yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari (Wardoyo, 2013, p.49). Ada tujuh asas dalam CTL yang merupakan penerapan CTL di kelas yaitu: kontruktivisme, bahwa pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima mahasiswa, melainkan harus dikontruksi/dibangun sendiri oleh mahasiswa dengan fasilitasi dosen. Mahasiswa belajar dengan
mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Mahasiswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya, inkuiri, pembelajaran didasarkan pada aktivitas mahasiswa melakukan pencarian dengan tujuan akhir mahasiswa mampu menemukan sendiri sesuatu yang diharapkan dari proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, bertanya, dosen harus mampu membangkitkan sifat ingin tahu mahasiswa dengan aktivitas bertanya dan menjawab pertanyaan, karena itu dituntut keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran, masyarakat belajar, memiliki arti bahwa dalam proses pembelajaran perlu diciptakan kerja kelompok, suatu masyarakat belajar yang saling bekerjasama, pemodelan, proses pembelajaran dengan menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, atau proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh mahasiswa, refleksi, pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dilakukan dengan cara mengurutkan kembali pengalaman yang telah dilaluinya dalam pembelajaran; dan penilaian autentik/nyata, proses yang dilakukan dosen untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan mahasiswa melalui berbagai sumber dan cara (Haryati, 2017, p.6-7). Pembelajaran Inkuiri Pembelajaran inkuiri didasarkan pada teori kognitif Piaget. Menurut Piaget, ada tiga tahapan dalam belajar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyesuaian/penyatuan/pengintegrasian pengetahuan baru/informasi baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dalam benak mahasiswa.Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif mahasiswa dengan pengetahuan baru.Equilibrasi adalah proses penyeimbangan/penyesuaian mental setelah terjadi proses asimilasi atau akomodasi. Equilibrasi baik, jika orang mampu menata informasi dalam urutan yang baik, jernih dan logis, dan equilibrasi kurang, bila menyimpan informasi kurang teratur, orang cenderung berfikir ruwet, tidak logis dan berbelit-belit (Haryati, 2017, p.22).
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
9
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
Teori kognitif Bruner memandang suatu proses pembelajaran yang dilakukan mahasiswa akan berjalan dengan baik dan kreatif jika pendidik memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menemukan suatu aturan (konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya (Irawan, 1994, p.11). Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh optimalisasi mahasiswa dalam menggunakan kognisinya dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan pengalamannya selama proses belajar berlangsung. Pengetahuan awal memiliki peran yang penting dalam metode pembelajaran inkuiri. Proses pembelajaran inkuiri membantu mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan penyelidikan, merupakan keterampilan yang sangat penting dalam abad ke-21. Pendekatan pembelajaran inkuiri adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menempatkan pertanyaan, gagasan, dan pengamatan mahasiswa di pusat pengalaman belajar.Pembelajaran inkuiri mengacu pada gagasan kontruktivis di mana mahasiswa membangun ide atau konsep baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka sebelumnya. Pembelajaran ini juga berpusat pada mahasiswa yang mendorong untuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dalam mengeksplorasi pertanyaan mereka (Firmadani, 2017:3). Sudarmin (2016:6) berpendapat bahwa untuk menerapkan model inkuiri, seorang dosen harus aktif berpikir dan berperilaku yang memfasilitasi mahasiswauntuk dapat membuat identifikasi apa yang akan dipelajari. Dosen membantu mahasiswa untuk aktif dalam membuat pertanyaan, menentukan strategi mengumpulkan informasi dan mengolah informasi. Pendekatan ini memerlukan dosen yang kreatif dalam menyusun pembelajaran dan bekerja dengan rencana yang baik. Ketika mahasiswabelajar, mahasiswa sudah mempunyai target yang jelas. Pendekatan pembelajaran aktif ini memberikan tantangan yang cukup baik bagi dosen ataupun mahasiswa. Dosendan mahasiswa akhirnyaaktif dan berada dalam perspektif yang sama yaitu menjadi pembelajar. Bahkan pada situasi tertentu dosen dan mahasiswa akan belajar tentang hal yang sama. Model pembelajaran inkuiri akan lebih menyadarkan mahasiswa tentang proses penyelidikannya dan belajar tentang prosedur dan kerja ilmiah secara langsung. Pendekatan belajar
dengan model inkuiri terdiri atas lima tahapan, yaitu: Tahap penyajian masalah atau menghadapkan mahasiswa pada situasi yang memacu keingintahuan mahasiswa, pengumpulan dan verifikasi data, tahap eksperimen, Tahap mengorganisasikan data dan merumuskan penjelasan, Tahap mengadakan analisis terhadap proses inkuiri. Ali dalam Firmadani (2017:3) menjelaskan ada tiga jenis metode inkuiri yaitu: inkuiri terbimbing (guide inquiry), yaitu mahasiswa diberikan tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun melalui tugas individual tujuannya agar mahasiswa mampu menyelesaikan masalah dan menarik simpulan secara mandiri; inkuiri bebas (free inquiry), pada pembelajaran ini mahasiswa harus dapat mengidentifikasi dan merumuskan berbagai topik permasalahan yang hendak diselidiki. Selama proses pembelajaran, bimbingan dosen bisa tidak diberikan. Keuntungan inkuiri bebas adalah mahasiswa bisa menemukan cara pemecahan masalah lebih dari satu cara, menemukan solusi pemecahan masalah yang baru yang belum ditemukan orang lain; inkuiri bebas yang dimodifikasi (modified free inquiry), model ini merpakan kolaborasi antara pendekatan inkuiri bebas dan pendekatan inkuiri terbimbing. mengemukakan bahwa pengembangan dari model guided inquiry dikenal dengan process oriented guided inquiry learning (POGIL). Pogil merupakan model pembelajaran yang menggabungkan inkuiri terbimbing dan pendekatan kooperatif. Kelebihan POGIL didukung oleh beberapa hasil penelitian-penelitian sebelumnya. PBL (Problem Based Learning), PLTL (Peer-led Team Learning) dan POGIL membuktikan bahwa POGIL dapat meningkatkan kinerja, nilai, siswa dan guru menemukan lingkungan kelas yang lebih menyenangkan (Hanib, 2017, p.2) (Eberlien, et al, 2008, p.10) Beberapa langkah dalam penerapan pembelajaran inkuiri yaitu: eksplorasi, yaitu kegiatan dengan cara menggali berbagai informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari, identifikasi masalah, yaitu melakukan kegiatan pengidentifikasian masalah berdasarkan informasi yang didapat oleh mahasiswa, pengajuan hipotesis, yaitu mahasiswa merumuskan hipotesis. (Wardoyo, 2013, p.37). Hipotesis adalah jawaban sementara dari masalah yang telah dirumuskan mahasiswa, pengumpulan dan analisis data, yaitu mahasiswa memulai
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
10
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
kegiatan untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber guna menguji/menjawab hipotesis, refleksi, mahasiswa melakukan kegiatan untuk merefleksi kembali terhadap proses pembelajaran (Haryati, 2017, p.7-8). Pembelajaran Diskoveri Bruner merupakan pakar discovery learning. Bruner dalam menyatakan bahwa pembelajaran yang bermakna (meaning full) adalah pembelajaran yang didapatkan dari proses penemuan, diskusi, dan pemecahan masalah yang dihadapi. Proses pembelajaran tidak semata-mata karena mahasiswa dimodelkan dengan konsep tertentu, akan tetapi mahasiswa cenderung membangun konsep berdasarkan apa yang ditemukan dalam proses penemuan. Pembangunan konsep tersebut merupakan fokus dari teori belajar penemuan Bruner dan teori kontruktivisme Piaget. (Wardoyo, 2013, p.40), Metode discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila mahasiswa tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mahasiswa aktif dalam mengorganisasi sendiri. Discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada mahasiswa semacam masalah yang direkayasa oleh dosen. Dalam mengaplikasikan metode discovery learning dosen berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat dosen harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar mahasiswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Pada pembelajaran aktifhendaknya dosen harus memberikan kesempatan mahasiswanya aktif untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi mahasiswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat simpulan-simpulan (Haryati, 2017, p.8-9). Pembelajaran Berbasis Proyek Pembelajaran berbasis proyek (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran inovatif yang menerapkan berbagai strategi yang mengarah pada peningkatan keterampilan abad 21. PBL merupakan pendekatan pembelajaran yang dikendalikan oleh pembelajar melalui bantuan pendidik. Dalam hal ini, pembelajar memperoleh pemahamannya melalui pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjawab rasa penawaran mereka (Bell, 2010, p. 10). Lebih lanjut, Bell (2010, p.11) menjelaskan bahwa mahasiswa menentukan pertanyaan penelitian mereka sendiri kemudian dipandu oleh dosen untuk melakukan penelitian, kemudian hasil dari proyek ini dipresentasikan kepada audiens yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, PBL menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa dan menempatkan guru sebagai fasilitator, sementara siswa bekerja secara aktif di dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling mengajarkan dan membantu temannya dan membentuk pengetahuannya sendiri (Eng, 2000, p. 5). Untuk itu, dalam PBL siswa melakukan interaksi yang bermakna dan kerja sama yang berakar dari dunia nyata di luar kelas sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terus berkolaborasi dalam memecahkan masalah dan menyelesaikan proyek mereka (JeonEllis, Debski & Wigglesworth, 2005, p.10). Pembelajaran berbasis proyek, siswa melewati sebuah proses panjang yang mengharuskan mereka untuk merespon pada pertanyaan-pertanyaan kompleks, masalah atau tantangan. Siswa diberikan kebebasan untuk memilih dan mengajukan pendapatnya dalam menentukan alur pelaksanaan proyek. Sebuah proyek perlu direncanakan, dikelola dan diukur secara hati-hati untuk membantu siswa mempelajari kompetensi inti dari pelaksanaan proyek tersebut, sambil melatih keterampilan abad 21 mereka yaitu, kolaborasi, komunikasi, kreatifitas dan berpikir kritis. Dari pembelajaran berbasis proyek ini diharapkan terciptanya suatu produk yang berkualitas (high-quality) dan otentik dari para siswa (Bucks Institute of Education (BIE), 2008, p. 25)
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
11
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
SIMPULAN Pada saat ini telah banyak satuan pendidikan jenjang menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 (kurtilas). Di jenjang perguruan tinggi jugatelah memberlakukan Kurikulum berbasisKKNI. Baik kurtilas dan kurikulum KKNI dalam proses pembelajarannya mengacu pada pembelajaran aktif yang sesuai dengan paradigma student centered learning yang mengacu pada pembelajaran abad 21, pembelajaran berbasis riset, dan pendekatan saintifik. Implementasi pembelajaran abad 21 yang harus diterapkan dalam proses pembelajaran dapat melalui berbagai model diantaranya adalah melalui model pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran inkuiri, pembelajaran diskoveri, dan pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran Abad 21 akan memberikan bekal sumbangan kepada dosen dan mahasiswa untuk dapat mempunyai kemampuan dan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan kritis yang sangat diperlukan dalam menghadapi pelaksanaan kurikulum berbasis KKNI dalam dunia global dan digital yang memiliki perubahan yang sangat cepat. Saran bagi dosen agar memanfaatkan model-model pembelajaran abad 21 ini dalam mengajar agar dapat meningkatkan kualitas proses perkuliahan dan hasil belajar mahasiswa. Bagi mahasiswa, mendapatkan pengalaman pembelajaran saintifik yang berdampak pada peningkatan pemahaman tentang ilmu kependidikan dan juga keterampilan berfikir tingkat tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W. (Ed.), Krathwohl, D.R. (Ed.), Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich, P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C. 2001. A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (Complete edition). New York: Longman. Assessment and Teaching of 21st Century Skills.(Undated). What are 21st century skills.
Ayuningtyas, Riva. Kontekstual Pembelajaran Abad 21 dan Pengaruhnya pada Kemampuan Belajar Anak.https://www. academia.edu/31834113/kontekstual_pemb elajaran_abad_21_dan_pengaruhnya_pad_k emampuan_belajar_anak Bakry, Md. dkk. 2013. Kemahiran Berpikir Aras Tinggi di Kalangan Guru Matematik SMP di Kota Makasar, 2nd Internasional Seminar on Quality and Afforddable Education. Bell, Stephanie, 2010. Project Based Learning for the 21st Century: Skills for the Future. The Clearing House, 83: 39 -43.Taylor & Francis Group. BNSP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional. Abad XXI. Jakarta. Chen et al. 2008. Prompting in web Based Environment: Supporting Self Monitoring and Problem Solving Skills in College Student. Journal of Educational Computing Research. Vol. 38 Issue 2 (pp. 115-137). Dewi, Finita. 2015. Proyek Buku Digital:Upaya Peningkatan Keterampilan Abad 21 Calon Guru Sekolah Dasar Melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek. https://www.academia.edu/28616635/Proye k_buku_digital_upaya_peningkatan_keterampilan_abad_21_calon_guru_sekola h_dasar_melalui_model_pembelajaran_ber basis_proyek Eberlein T., Kampmeier, J. Minderhout, V., Moog R.S., Platt, T., Nelson, P. V. & White, H. B. 2008. Articles Pedagogies Of Engagement in Science A Comparison of PBL, POGIL and PLTL.Biochemistry and Moleculer Biology Education Vol. 36, No. 4 pp. 262273, 2008. Eng. 2000. Can Asians Do PBL?. CDTL Brief 2(2) Retrieved May 2014 from http://www.cdtl.nus.edu.sg/brief/v3n3/sec2. htm Firmadani, Fifit. 2017. Pembelajaran Berbasis Riset Sebagai Inovasi Pembelajaran. Makalah Seminar di Universitas Negeri Malang.
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
12
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
Hanib, Mohamad Tofan dkk. 2017. Penerapan Pembelajaran POGIL untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Karakter Siswa Kelas X. http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/artic le/view/8381 Haryati, Sri. 2017. Draf Buku Ajar Belajar Pembelajaran Berbasis Pembelajaran Kooperatif. Hung,
W, et al. 2008. Problem Based Learning.The Interdiciplinary Journal of Problem Based Learning, Vol. 1 No. 38 (pp. 235-266).
Irawan, P. 1994. Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Jonassen, D.H. 2011. Learning to Solve Problem. New York: Routledge. Kirschner, P.A. et al. 2006. Why Minimal Guidance During Instruction Does Not Work: An Analysis Of The Failure of Constructivist, Discovery, Problem-Based, Experiential, and Inquiry-Based Teaching. Journal Educational Psychologist, Vol. 41 (pp2). Kolmos, A. et al. 2007. Problem Based Learning. Selahattin Kuru: TREE Isik University. Liliasari, Permanasari, dkk. 2008. Program for Critical Thinking Skill Teaching and Learning. Proceeding Seminar Internasional Science Education, UPI 18 Oktober 2008. Metiri Group. 2003. enGauge 21st century skills for 21st century learners. Retrieved October 29, 2010 from http://www.metiri.com/21/MetiriNCREL21stSkills.pdf Partnership for 21st Century Skills. 2009. Professional development for the 21st century.Retrieve May 2014 from http://www.p21.org/documents/P21_Frame work.pdf
Partnership for 21st Century Skills. 2006. Framework for 21st century learning. Retrieved April 2014 from http://www.p21.org/documents/ProfDev.pdf . Petrosino, A. (2007). Houghton Mifflin College.Project-Based Learning. Retrieved January26, 2012, from http://college.cengage.com/education/resou rces/res_project/students/c2007/inde x.html Rohmah, Y.N. & Muchlis. 2013. Penerapan Pembelajaran dengan Strategi POGIL pada Materi Pokok Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan untuk Melatih Kemampun Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sooko Mojokerto.Unesa Journal of Chemical EducatioN. 2 (3):19—23, diakses 5 Juli 2017 Slameto, dkk. 2016. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Riset Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Aras Tinggi.https://www.geogle.co.id/url?sa=t&r ct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3... Snyder, L. G., & Snyder, M. J. 2008.Teaching critical thinking and problem-solving skills. The Delta Pi Epsilon Journal, L (2):90—99. Sudarmin, 2016. Pembelajaran Aktif dan Implementasinya dalam Konteks Kurikulum Tahun 2013.Seminar Nasional ALFA VI di Universitas Widya Dharma Klaten. Trilling, Bernie and Fadel, Charles, 2009. 21st Century Skills. Learning for life in our times.Jossey-Bass. San Fransisco, California Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.http://risbang.ristekdikti.go.id/regula si/uu-12-2012.pdf Wardoyo, S.M. 2013. Pembelajaran Berbasis Riset. Jakarta: Akademia Permata.
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
Indonesian Journal of Education and Learning ISSN:
Indonesian Journal of Education and Learning, Volume 1Nomor 1, September 2017
13