,
"
P!RLtmntGAHTIRHADAPNASABAH PEHGGUNA 'J'ASA • ,
. , ;ELEK!ROH:Iit FONDS' TRARS'I!R, ' .
I '
.
.
. ,
,
..
, Oleh : '
Penyaji
SA,LMIDJAS SALAM/.SR, MH' :" ~
,l'emb'anding • ARIEl 'TJAH.;TONOi" 'S .H,~
Ma1glJ.M. Pada : . '. DiSMJQa1kan . . . ,
.SEMINAR PENGATtlRAN TENTANG ,ELEKTRONIK ,;FUNDS ':~RANS~' .
,.
" ' . DiselenggarBkan bleh': , .
,.
BADAN PJnmINAAN'HUKt)M NASIO,r{AL DEPARTEMEN ~ 'DAN PERUNDANG-tJNDANGAN·RI '
Bekerja$ania dengan , , BANK, INDONESIA , 'Jakarta" . 8 '-::;,':9' . Februari '2000':", ,
"','I
'
PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH
. PENGGUNA JASA ELECTRONIC FUNDS TRANSFER
Oleh:
SALMIDJAS SALAM
Makalah Disampaikan Pada :
SEMINAR ELECTRONIC FUNDS TRANSFER
Diselenggarakan Oleh :
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAl
DEPARTEMEN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Jakarta, 8 .. 9 Pebruart 2000
1
PERUNDUNGAN TERHADAP NASABAH PENGGUNA lASA
ELECTRONIC fUNDS TRANSfER
I.
Pendahuluan Dalam 20 tahun terakhir ini, sistem pembayaral1 yang dilakukan secara
elektronis semakin meningkat yang ditandai dengan pemakaian ATM, credit card, clearing elektronik, dsb. Di Indonesia sendin, penggunaan sistem pembayaran
elektronik dapat dikatakan sudah sangat terlambat jika dibandingkan dengan praktek perbankan di negara lain. Perubahan ekspektasi masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan kebutuhan akanpenggunaan sistem pembayaran elektronik ini terus meningkat. Masyarakat menglnginkan sistem pembayaran yang lebih efisien yang memberikan
kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksi
perbankan l antara lain untuk melakukan penarikan uang tunai, mereka tidak perlu i:mtri panjang di depan taller yang akan memakan waktu lama, untuk pembayaran pada saat berbelanja, pemindahan dana dan satu tempat ke tempat lain l ataupun pembayaran gaji/upah bulanan dan perusahaan mereka bekerja langsung dikreditkan ke rekening masing-masing.
Secara ringkas sistem
pembayaran secara elektronik dapat memberikan kenyamanan, biaya yang lebih murah l proses yangJebih cepat dan efisien, serta lebih aman bag; nasabah. Dangan sifatnya yang unik (paperless, waktu yang lebih fleksibel, tanpa perlu kehadiran di counter bank, dsb) electronIc funds transfer telah memberikan keunggulan sebagaimana dikemukakan di atas. Namun harus disadari bahwa dengan sifatnya yang unik tersebut perlindungan terhadap nasabah dapat menjadi tidak terjamin, hak dan kewajiban nasabah maupun bimk menjadi tidak jelas, yang pada akhirnya mengakibatkan masalah-masalah yang timbul dari transaksi ini belum dapat diselesaikan dengan balk, bahkan nasabah sering berada pada pihak yang dirugikan. Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia mempunyai suatu undang undang tentang electronic funds transfer yang mengatur tentang hak dan kewajiban, tanggung jawab nasabah maupun bank secara jelas, sehingga kepentingan nasabah pengguna jasa dapat dllindungi dengan baik.
2
II.
Pengertian Electronic Funds Transfer (EFT) Transaksi perbankan yang dilakukan secara elektronis dikenal dengan
istllah Electronic Funds Transfer (EFT). Anu Arora dalam bukunya "Electronic Banking and the law" Second Edition 1993, menyebutkan bahwa EFT adalah :
"any transfer of funds, other than a transaction initiated by a cheque or other similar paper Instrument, made through an electronic terminal or computer or by means of magnetic tape so as to order, instruct or authorize a partJdpat:Jng financial instltutlon to credit or debit an
accoun~l,
yang mirip dengan perumusan
yang dipakai dalam USA Electronic Funds Transfer Act 1978. Berbeda· dengan transaksi pembayaran secara konvensional seperti check, draft atau sejenisnya yang dilakukan dengan menggunakan kertas (paper), maka electronic funds
transfer adalah transaksi pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan paper atau warkat melainkan menggunakan media elektronlk. Berdasarkan pengertian di atas, transaksi perbankan dengan EFT mencakup semua transaksi perbankan yang dilakukan secara paperless, misalnya
Automated Teller Machine (ATM), sistem kliring elektronik, SWIFT, credit card, debit card, phone banking, direct debit dan semacamnya. Semua jenis transaksi tersebut juga sudah diterapkan di Indonesia, dimana yang paling banyak dipakai oleh masyarakat luas adalah produk berupa ATM dan credJtcard. Oi Amerika, perkembangan EFT dibedakan dalam 2 periode, yaitu periode EFT I (tahun 1969 - 1984) ditandai dengan penggunaan cash dispenser, ATM,
home banking, SWIFT, dan semacamnya. Periode EFT II (tahun 1985 - sekarang) dengan pengembangan dalam service electronic teller, ATM, SWIFT, private
banking, interbanklng system, home banking melalui personal computer, digital cash dan internet. Dari perkembangan EFT tersebut, secara keseluruhan dapat dlsebutkan bahwa EFT juga merupakan bank-to-bank networks dan International
bank payment systems. Para pihak yang terlibat dalam EFT antara lain adalah nasabah, paying
bank, collecting bank/receiving bank, merchant, provIder, atau card Issuer.
III.
Perangkat Hukum EFT di Indonesia dan Perlindungan Nasabah Sebagaimana telah dlsebutkan di atas dan telah kita ketahui bersama
bahwa transaksi perbankan dalam EFT sangat luas dengan legal Issues yang
3
tlmbul sesuai dengan karakterisitik dari masing-maslng transaksi. Dalam transaksi ATM seringkali timbul keluhan dari nasa bah
bahwa ATM tidak
melakukan pembayaran namun rekening yang bersangkutan tetap didebet, atau nasabah merasa tidak menarik uang tunal dari ATM tetapi dana dalam rekening yang bersangkutan berkurang. Hal di atas hanya salah satu contoh permasalahan yang terjadi dalam
EFT, Transaksi EFf sangat rentan terhadap timbulnya fraud yang .antara lain dapat dilakukan oleh pihak nasabah danjatau pihak lain yang berhubungan dengan nasabah, pihak Bank, dalam hal ini pegawai Bank itu sendiri, maupun yang barasal dari transmisi telekomunikasi. Beberapa tindakan pengamanan telah dilakukan oleh bank guna menghindari fraud Inl, diantaranya dengan memberikan kebebasan kepada nasabah menentukan sendiri PIN-nya dan dengan memuat foto diri nasabah pada kartu-nya. Secara teknis, juga telah dilakukan dengan meningkatkan metode verlfikasi atas pemegang kartu dan otorisasi untuk setiap transaksi. Selain fraud, dalam EFT mungkin juga timbul adanya kesalahan (error) yang disebabkan oleh tidak adanya standarisasi dar; format messages, tidak adanya standarisasi prosedur EFT, terutama dalam transfer intemasional, juga kesalahan dar; peralatan atau software yang digunakan. Human error juga dapat terjadi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada complaint terbanyak yang diajukan nasabah sehubungan dengan transaksi ATM adalah ATM tidak melakukan pembayaran namun rekening nasabah tetap terdebet dan nasabah merasa tidak melakukan transaksi namun rekeningnya berkurang, atau ATM tidak melakukan pembayaran sesuai dengan yang dlminta namun rekening terdebet sebesar yang diminta nasabah. Dalamhal terjadi yang demikian, Bank harus melakukan penelitian dlmana ke&alahan tersebut terjadi. Berdasarkan contoh-contoh tersebut diatas, untuk menghindari risiko yang mungkin timbul atau
untuk memperjelas pihak-pihak yang
harus
bertanggung jawab, tentunya diperlukan suatu perangkat hukum balk berupa peraturan
perundang-undangan ataupun
adanya
suatu
komisij
lembaga
pengawas yang dapat melindungi kepentlngan nasabah, Bank serta pihak lain yang terlibat dalam EFT.
4
Berbeda dengan· beberapa negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Australia, di Indonesia saat ini belum ada undang-undang khusus tentang electronic funds transfer yang secara jelas mengatur tentang hak dan kewajiban nasabah dan bank berkenaan dengan transaksi EFT. Oleh karena itu saat ini rujukan utama dalam penyelesaian masalah, complaIn, sengketa antara nasabah dengan bank berkenaan dengan pemakaian jasa EFT adalah perjanjian antara kedua belah pihak tersebut, selain beberapa ketentuan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 tahun 1999) yang baru akan efektif berlaku mulai bulan April tahun 2000 dan Undang-Undang Dokumen Perusahaan (UU No.8 tahun 1997). Berikut akan ditinjau secara ringkas hal-hal yang seharusnya dicantumkan dalam perjanjian tersebut terutama dalam kaitannya
untuk memberikan
perlindungan terhadap nasabah dan kenyataan yang adadalam dunia perbankan, selta seberapa jauh Undang Undang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang Dokumen Perusahaan dapat digunakan dalam hal ini.
A.
Perjanjian antara bank dengan Nasabah. Hubungan hukum antara bank dan nasabah diatur dalam perjanjian dan
ini merupakan dasar dari semua transaksl yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Perjanjian yang dibuat harus dalam bentuk tertulis. Dalam transaksi EFT, perjanjian yang dibuat tidak hanya antara nasabah dan bank namun juga perjanjian antara paying bank dan collecting bank, bank dan merchant, bank dan card issuer atau dengan provider, yang masing-masing mengatur hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam perjanjian. Makalah ini hanya akan membahas perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah. Perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban bank dan nasabah untuk mengg4nakan jasa. EFT; seyogyanya dibuat pada saat nasabah mengajukan aplikasi untuk menggunakan jasa tersebut dan sebelum kesepakatan terjadi, bank harus menjelaskan terlebih dahulu kepada nasabah isi dari perjanjian tersebut
dan
hal-hal
penting
yang
harus
dilakukan
nasabah
untuk
kepentingannya sendiri, misalnya kewajiban nasabah untuk menjaga kerahasiaan PIN-nya dengan tidak mancatatnya di sembarang kartas, memberitahukan
5
kepada pihak ketiga dan harus menjaga kartunya dar! kemungkinan penggunaan oleh pihak ketiga. Kewajiban bank terhadap nasabah pengguna jasa EFT, yang dlatur dalam perjanjian dan paling mendasar adalah :
1. Kewajiban bank untuk melaksanakan mandat nasabah; 2. Kewajiban bank untuk menyampaikan account statement kepada nasabah baik apabila diminta maupun secara periodik; 3. Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan nasabah; 4. Kewajiban bank untuk melakukan semua tindakan yang diperlukan dalam melakukan transaksi perbankan atas nama dan untuk kepentingan nasabah i
5. Kewajiban bank untuk bertanggung jawab apabila nasabah menderlta kerugian sehubungan adanya system malfunction, author1sed transaction,
fraud, dsb. Dalam melaksanakan mandat .nasabah, sangat panting bagi bank untuk memeriksa keabsahan dari mandat tersebut (authentication). Untuk ltu bank perlu membuat standarisasi tertentu guna menjaga keamanan dari prosedur otorisasi. Misalnya dalam transaksi ATM bank berkewajiban ljntuk menjaga dengan balk kartu dan PIN nasabah sebelum diserahkan kepada nasabah, penyampaian kartu dan PIN-nya kepada nasabah dilakukan dengan tanda terima sehingga nasabah yakin bahwa kartu dan PIN-nya tldak disampaikan kepada pihak lain. Kewajiban bank kedua adalah untuk menyampalkan account statement kepada
nasa bah
setiap· saat diminta
ataupun
secara periodik.
Hal
ini
dimaksudkan untuk menghindari ketidaksamaan jumlah dalam rekening yang ada di bank dengan data yang ada dl nasabah. Apabila dalam jangka waktu tertentu nasabah tidak mengajuken keberatan atas account statement tersebut, make dianggap nasabah telah menyetujui apa yang disampaikan oleh bank. Apabila terdapat kesalahan dalam statement terse but, perlu diselidiki terlebih dahulu 5umber dari kesalahan terse but. Bank berkewajiban untuk melakuken tindakan yang diperlukan guna menyelesaikan kesalahan dan jika ternyata kesalahan ada pada pihak bank, bank bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
6
Selanjutnya adalah kewajiban bank untuk menjaga kerahasiaan semua transaksi perbankan nasabah, namun bank tetap dapat men-disclose informas; tersebut (tanpa persetujuan nasabah) apabila dlperlukan sesuai dengan peraturan perundang-und.angan yang berlaku (UU Perbankan tentang Rahasia Bank). Dalam EFT, dimana secara e\ektronik, data yang ada mudah diakses dan dibaca oleh pihak lain, maka sebagaimana telah disebutkan bank dengan kesepakatan nasabah harus melakukan tindakan preventive. Kewajiban bank lainnya, yang perlu dlmuat dalam perjanjian adalah adanya tanggung jawab bank apabila nasabah menderita kerugian kerena system malfunction, unauthorised trE1nsactlon, fraud, serta kewajiban bank untuk
memberitahukan dan meminta persetujuan nasabah terlebih dahulu dalam melakukan perubahan terms and condItions dari perjanjian, termasuk perubahan mengenai bunga yang berlaku. Perlindungan nasabah tentunya juga tidak terlepas dari peranan dan itikad balk dari nasabah tersebut, oleh karena itu dalam' perjanjlan juga diatur kewajiban nasabah, yaitu antara lain :
1. Nasabah harus menjaga kerahasiaan PIN-nya untuk menghindari
kesali:~han
dalam penggunaan kartu. 2. Nasabah harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat kelalaiannya. 3. Nasabah harus segera memberitahukan kepada Bank apabila kartunya hilang. 4. Nasabah berkewajiban untuk melaporkan kepada Bank apabila mengetahui adanya pihak ketiga yang melakukan pemalsuan tanda tangannya. 5. Nasabah
harus
melakukan
tindakan-tindakan
yang
diperlukan
guna
menghindari terjadinya pemalsuan dan/atau penyalahgunaan tanda tangan, identitas diri, kartu, PIN, atau password-nya. Dalam kenyataannya pada. praktek perbankan di Indonesia saat ini, perjanjian antara bank dengan nasabah belum dibuat sebagaimana mestjnya, dalam arti tidak hanya melindungi kepentingan bank tetapi semestinya juga memberikan perlindungan terhadap kepentingan nasabah. Apabila ada perjanjian maka perjanjian tersebut lebih banyak memuat atau melindungi kepentingan bank, sedangkan kepentingan ataupun hak-hak nasabah relatif diabaikan. Pada sebagian bank bahkan tidak ada suatu perjanjian antara bank dengan nasabah
?
bank yang bersangkutan mengenai pemakaian suatu transaksi EFT, kecuali berupa suatu ikhtisar ketentuan bagi pemegang kartu ATM ataupun kartu kredit yang ditetapkan secara sepihak oleh bank dimana nasa bah pemakal jasa tersebut harus tunduk pada ketehtuan yang ditetapkan secara sepihak oleh bank. Berdasarkan pengamatan pen ulis, diketahui bahwa dalam perjanjian ataupun ikhtisar ketentuan tsb, pada umumnya tidak mengatur tanggung jawab bank misalnya
apabila
terjadi
system
malfunction
pada
bank,
unauthorised
transaction, fraud, yang mengakibatkan kerugian pada nasabah. Dengan
demikian perjanjian tsb tidak dapat diandalkan untuk minta pertanggungjawaban bank apabila terjadi hal-hal yang semacam itu.
B. UU pertlndungan Konsumen Sesuai dengan namanya UU ini bermaksud memberikan pertindungan hukum yang lebih baik bagi konsumen dan berusaha mensejajarkan kedudukan konsumen dengan produsen atau pelaku usaha dalam pemakaian suatu produk atau jasa, yang selama ini kedua hal tersebut (kedudukan dan perlindungan hukum konsumen) masih terabatkan. UU Ini memaksa produsen atau pelaku usaha meninjau kembali kebijakan-kebijakan perusahaannya, antara lain yang berkaitan dengan perjanjian atau ketentuan pemakaian suatu produk yang biasanya telah dibuat secara sepihak oleh produsen, yang lazim disebut dengan klausula baku. Contoh yang paling mudah yang sering kita alami adalah klausula baku yang dicantumkan pada receipt pembelian suatu. barang yang menyebutkan bahwa setlap barang yang telah dibeli tidak dapat dikemballkan. Dangan UU ini, pencantuman klausula semacam ini akan menyebabkan klausula dimaksud menjadi batal demi hukum. Berkenaan dengan EFT, sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen, maka setiap perjanjian yang dibuat nasabah dan Bank, tidak boleh memuat klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab Bank sepenuhnya kepada nasabah dan memuat pemyataan tunduknya nasabah kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dlbuat sepihak oleh Bank. Telah disebutkan di atas bahwa perjanjian dan/atau perubahannya harus dibuat berdasarkan kesepakatan nasabah dan Bank.
B
Bank juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, Dengan belum adanya undang-undang tentang electronic funds transfer di Indonesia, maka dengan (akan segera) berlakunya Undang Undang Perlindungan Konsumen patut disambut gembira oleh kalangan konsumen khususnya nasa!:>ah perbankan. Kedudukan pelaku usaha / bank selama in; yang cenderung dominan dalam hubungannya dengan nasabah, dengan undang-undang tsb mulai dlkurangi
dengan tujuan
untuk lebih
melindungi
kepentingan
dan
hak
konsumen/nasabah pemakai jasa.
C. Undang-Undang Dokumen Perusl!!!haan Sesungguhnya dengan telah diundangkannya Undang-Undang Dokumen Perusahaan , terllhat tanda-tanda bahwa hukum Indonesia saat ini mula; dapat
menerima
barang
bukti elektronis,
namun
demikian
masih
perlu
diuji
keandalannya di pengadilan. Oleh karena itu kepada nasabah sangat dlanjurkan
. untuk tetap menyimpan hard copy berupa strook transaksi untuk memudahkan·
pembuktian apabila terjadi masalah dikemudian hari.
IV.
Masalah-masalah yang umum dialami oleh nasa bah EFT 5ebagai gambaran berikut diberikan beberapa masalah yang sering dialami
oleh nasabah EFT khususnya pemakai ATM dan kartu kredit yang diketahui melalui mass media ataupun sumber lainnya yang memerlukan pedoman dan aturan yang jelas dalam penyelesaiannya, yaitu sebagai berikut : 1. Nasabah menyatakan tidak melakukan pengambilan dan yakin kartu dan PIN dikuasai dan dirahasiakan sepenuhnya, namun rekening ybs didebet. 2. Transaksi ATM batal/uang tidak keluar, namun rekening terdebet. 3. Transaksi satu kali terdebet dua kali. 4. Uang yang keluar dar; mesin tidak sebesar nllai transaksi (kurang). 5. PIN tidak/belum diterima, namun sudah ada transaksi pengambilan melalui ATM.
9
6. Uang yang keluar dari ATM ternyata palsu. 7. Blling statement diterima terlambat, nasabah kena bunga.
8. Perhitungan kredit limit· I saldo salah, sehingga pemegang kartu kredit membatalkan transaksi belanja. Berdasarkan informasi dan pengalaman, penyelesaian masalah-masalah yang timbul tersebut lebih cenderung meruglkan nasabah, disamping penyelesaiannya memakan waktu yang lama dan saling mengajukan argumentasi.
IV.
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hal-hal yang dikemukan
dalam makalah ini ac;:talah : 1. Pemakaian electronic funds transfer dl Indonesia semakin berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, kemajuan teknologi informasi dan arus globalisasi. Dleh karena itu dimasa mendatang balk jumlah, jenis, ataupun nilai transaksinya akan menlngkat tajam. 2. Seiring
dengan' kecanggihan
dan
keunikannya
transaksi .EFT
dapat
menlmbulkan masalah yang akhirnya merugikan nasabah, tanggung jawab nasabah dan bank tidak jelas, dsb. 3. Dalam pemakaian jasa electronic funds transfer dewasa Inl, posisi dan kepentingan nasabah belum terlindungi dengan balk, dan di lain pihak posisi bank sangat dominan yang tentunya akan mengutamakan kepentingan bank, yang dapat dilihat dari perjanjian antara bank dengan nasabah ataupun ketentuan tentang pemakaian jasa I prod uk bank yang ditetapkan secara seplhak oleh bank. Dalam kondisi yang demikian apabila ada masalah tidak dapat diselesaikan dalam waktt..i yang cepat dengan tanggung jawab yang jelas. 4. Sudah
saatnya
Indonesia
mempunyai
suatu
undang-undang
tentang
electronic funds transfer yang bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan
nasabah, dengan menetapkan aspek standar sekuriti dan keamanan produk, standar perlindungan konsumen, standar pengawasan dan penyelesaian sengketa.
090200
PERLINDUNGAN TERHADAP
NASABAHPENGGUNAJASA
ELECTRONIC FUNDS TRANSFERS
Oleh:
ARIEF TJAHJONO SH.
Disajikan dalam Seminar :
Pengaturan Tentang Electronic Funds Transfers
Jakarta 8 - 9 Februari 2000
PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH PENGGUNA JASA ELECTRONIC FUNDS TRANSFERS* I. PENDAHULUAN Persaingan dibidang jasa pembayaran mengakibatkan perbankan dan lembaga lembaga keuangan yang bergerak di bidang jasa pembayaran berusaha meningkatkan pelayanan dan kepercayaan nasabah dengan cara menjaga keamanan, kenyamanan dan kelanearan pembayaran. Salah satu eara untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan memaksimalkan penggunaan teknologi tinggi sehingga dapat memberikan jaminan kecepatan, kemudahan pelayanan jasa pembayaran bagi nasabah. Penggunaan teknologi tinggi tersebut mengubah tata cara transaksi pembayaran, terutama dengan muneulnya konsep Electronic Funds Transfers (EFT) atau transfer dana secara elektronis, yang antara lain berupa Automated Teller Machines (ATM), kartu debet, kartu kredit dan phone banking. Konsep pembayaran melalui EFT tersebut memberi keuntungan kepada nasabah karena memungkinkan nasabah mengakses dana dari rekeningnya tanpa terikat waktu kerja bank. dan tempat usaha bank. serta tanpa harus berurusan langsung dengan karyawan bank, tetapi eukup dengan memanfaatkan alat elektronik, baik telepon, komputer maupun terminal elektronik lain. Teknologi tersebut memungkinkan perpindahan dana dari suatu tabungan ke tabungan lain atau dari suatu rekening ke rekening lain dalam hitungan detik dan menit. Faktor keeepatan dalam EFT selain menguntungkan pengguna juga dapat menimbulkan kesulitan bagi pengguna karena perpindahan dana terjadi sangat cepat sehingga sulit untuk melakukan pencegahan perpindahan dana dalam hal terjadi penyalahgunaan PIN atau akses lain yang mengakibatkan dana berpindah tanpa seijin pemilik rekening. Dalam hal terjadi permasalahan seperti itu, nasabah sebagai pengguna EFT seringkali merasa dirugikan karena tidak mempunyai bukti yang cukup atau akses untuk memperoleh bukti guna mengajukan ganti rugi kepada bank.. Oleh karena itu perlu perhatian dari Pemerintah atau lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan sistem pembayaran mengenaiperlindungan nasabah pengguna transfer dana secara elektronis.
• Disampaikan daJam Seminar "Pengaturan Tentang Electronic Funds Transfers" pada tanggal 8-9 Februari 2000 di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta sebagai pembanding atas paper yang disampaikan oleh Salmidjas Salam, SH, MH.
II. ASPEK KEAMANAN ELECTRONIC FUNDS TRANSFERS Permasalahan perlindungan pengguna jasa transfer dana secara elektronis antara lain terjadi karena berubahnya prosedur pengamanan transfer dana. Sejak bank mengalihkan sebagian proses verifikasi dan otentikasi kepada sistim otomasi maka sistim pengamanan konvensional diubah menjadi sistim pengamanan secara elektronis. Sistim
pengamanan
secara
elektronis
mengakibatkan
identitas
pribadi
tidak
dipersyaratkan lagi untuk melakukan transaksi mengingat dalam proses EFT semua kegiatan dilakukan dengan teknologi otomasi. Untuk menguji identitas seseorang digunakan otorisasi berupa password yang diinput di smart card atau piranti lainnya yang dapat mengidentifikasi data pengguna EFT. Salah satu pengaman yang dipakai dalam transfer dana secara elektronis adalah dengan penggunaan Personal Identification Number (PIN) bagi nasabah untuk melakukan kegiatan pembayaran. Secara teknologi, kemungkinan kesalahan atas penggunaan sistem PIN
kurang dari 1%, namun demikian PIN tidak menjamin
keamanan rekening nasabah dari penyalahgunaan pihak lain, misalnya seorang yang tidak berhak atas kartu ATM tetapi mengetahui nomor PIN seseorang, dapat melakukan perintah pendebetan rekening pemilik ATM tanpa perlu menunjukkan identitas atau tanda tangan. Kelemahan seperti itu jarang teljadi pada transaksi manual yang menggunakan verifikasi tanda tang an, atau surat kuasa pemilik rekening dalam hal perpindahan dana dilakukan oleh bukan pemilik rekening. Sekalipun proses EFT menggunakan teknologi tinggi, tetap terbuka kemungkinan transaksi nasabah gagal atau tertunda karena akses elektronik nasabah atas rekeningnya mengalami gangguan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, nasabah tidak dapat meminta penjelasan atau melakukan pengaduan secara langsung karena transaksi yang dilakukan adalah secara otomasi, oleh karena itu nasabah harns menghubungi kantor bank yang bersangkutan guna memperoleh penjelasan atau pengaduan atas kerugian yang dialami. Persoalannya adalah, sering kali pengaduan nasabah kurang ditanggapi karena nasabah kurang dapat menunjukkan bukti yang cukup. Selain hal tersebut, kedudukan nasabah dalam perjanjian penggunaan jasa EFT sangat lemah karena persyaratan sebagai nasabah yang bersifat standar dan cenderung menempatkan nasabah sebagai pihak penanggung risiko apabila terjadi permasalahan EFT.
2
III.PERLINDUNGAN NASABAH Sampai dengan saat ini, belwn ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan konsumen, termasuk juga perlindungan kepada nasabah pengguna EFT. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konswnen baru akan diberlakukan pada tanggal 20 April 2000, undang-undang ini mengatur perlindungan konsumen secara umum dan tidak secara spesifik mengatur perlindungan nasabah pengguna EFT. Dengan berlakunya Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka kewajiban memberikan perlindungan kepada nasabah pengguna EFT mempakan tanggung jawab Bank Indonesia. Hal tersebut mengingat tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran merupakan kewenangan Bank Indonesia. Ayat (1) Pasal 15 Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengatur bahwa Bank Indonesia berwenang:
1. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; 2. mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; 3. menetapkan penggunaan alat pembayaran. Ketentuan tersebut di atas tidak secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap pengguna jasa pembayaran, namun di dalam penjelasan ayat 1 huruf c Pasal 15 menyebutkan bahwa: "Penetapan penggunaan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna. Dalam wewenang ini termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian". Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa persyaratan keamanan dan prinsip kehati-hatian dalam penetapan penggunaan alat pembayaran merupakan wujud perlindungan bagi masyarakat pengguna alat pembayaran. Selanjutnya, Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga mewajibkan Bank Indonesia untuk membuat Peraturan Bank Indonesia yang mengatur pokok-pokok ketentuan antara lain sebagai berikut:
3
a. jenis penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memerlukan persetujuan Bank Indonesia dan prosedur pemberian persetujuan oleh Bank Indonesia; b.
cakupan wewenang dan tanggung jawab penyelenggara jasa sistem pembayaran, termasuk tanggung jawab yang berkaitan dengan manajemen risiko;
c.
persyaratan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran;
d. penyelenggara jasa sistem pembayaran yang wajib menyampaikan laporan kegiatan; e. jenis laporan kegiatan yang perlu disampaikan kepada Bank Indonesia dan tata cara pelaporannya; f.
jenis alat pembayaran yang dapat digunakan oleh masyarakat termasuk alat pembayaran yang bersifat elektronis seperti kartu ATM, kartu debet, kartu kredit, kartu pra bayar dan uang elektronik;
g. persyaratan keamanan alat pembayaran; h.
sanksi adiminstratif berupa denda bagi pelanggaran ketentuan pada huruf a, huruf d dan hurufftersebut di atas.
Dengan demikian,
secara tidak
langsung Undang-undang
telah
memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen jasa pembayaran, namun agar perlindungan tersebut dapat berjalan dengan efektif perlu ditindaklanjuti dengan secepatuya mewujudkan peraturan pelaksanaan Undang-undang tersebut dan segera menerapkannya di masyarakat. Masyarakat sebagai pengguna jasa pembayaran akan lebih terlindung dari kelemahan-kelemahan yang mungkin timbul dari penggunaan transfer dana secara elektronis apabila masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan konsumen. Cara yang dapat diterapkan adalah dengan mengajak nasabah berpikir kritis dan memahami cara melindungi diri sendiri. Dengan cara terse but nasabah akan bersikap selektif dalam memilih bank, dan sebagai konsekwensinya bank penyelenggara EFT akan terseleksi oleh mekanisme pasar. Agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar dari bank penyelengara EFT maka sudah sewajamya apabila Bank Indonesia mengatur bank penyelenggara jasa pembayaran mengenai: 1. Kewajiban menyampaikan informasi yang penting diketahui nasabah, baik
informasi-informasi di aWal perjanjian (initial disclosure) maupun informasi
4
pelaksanaan transfer serta informasi lain yang menyangkut penyelenggaraan transfer dana secara elektronis. 2. Kewajiban memelihara penyelenggaraan fasilitas EFT agar dapat dipertanggung jawabkan keamanannya dengan mempersyaratkan antara lain: a. mengupayakan dan senantiasa memperbaharui teknologi guna mengamankan produk dan fasilitas EFT; b. mengupayakan tindakan restitusi (pengkreditan kembali) untuk kesalahan EFT yang dilakukan bank, dengan pembuktian sederhana; c. menyediakan pelayanan 24 jam melalui saran a telepon untuk melayani pertanyaan dan masalah nasabah mengenai EFT Namun demikian bank-bank dan lembaga keuangan di Indonesia tidak berada dalam satu peringkat yang sama kualitasnya dalam penggunaan teknologi tinggi oleh karena itu dalam rangka memelihara kepercayaan dan melindungi kepentingan masyarakat maka perIu diupayakan agar: 1. Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang menentukan standar keamanan minimum teknologi pembayaran yang dipergunakan. 2. Apabila bank atau lembaga penyelenggara jasa pembayaran tidak mampu atau tidak bersedia memprioritaskan keamanan prosedur maka disarankan untuk tidak memasarkan fasilitas EFT; 3. Pengaturan standar sarana EFT minimum, antara lain meliputi personil yang menguasai teknologi komputer dan back up data EFT; 4. Peningkatan kemampuan dan pengetahuan tenaga pengawas bank pelaksana EFT. Upaya-upaya perlindungan nasabah dalam bentuk suatu peraturan tidak akan terwujud apabila masyarakat sebagai nasabah pengguna EFT dan bank sebagai penyedia jasa EFT tidak berpartisipasi dalam penyelesaian permasalahan EFT, hal tersebut mengingat nilai ekonomis kerugian yang dialami nasabah dalam transfer dana secara elektronis kurang signifikan dibandingkan dengan lamanya proses berperkara di pengadilan serta persepsi masyarakat tentang belum adanya kepastian hukum di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan nasabah yang dirugikan dalam transaksi EFT cenderung enggan mengajukan masalahnya ke pengadilan. Alternatif lain yang dapat ditempuh nasabah pengguna EFT adalah dengan memanfaatkan lembaga intermediasi, namun cara tersebut belum terlalu populer di
5
masyarakat. Oleh karena itu, nasabah yang enggan meneruskan keluhan memilih bersikap menghindar dengan menutup rekening di bank penyelenggara EFT. Hal tersebut dapat dihindarkan apabila nasabah bersikap terbuka dengan menghubungi bank seeara langsung dan mengemukakan pennasalahan EFT dan bank menerima seeara terbuka pula, sehingga permasalahan dapat di selesaikan antara kedua pihak. Apabila bank kurang membantu dalam penyelesaian masalah, nasabah dapat menghubungi lembaga konsumen atau media masa agar permasalahannya eepat ditanggapi bank. Selanjutnya, agar di masa mendatang hak nasabah pengguna EFT lebih terlindungi dengan kepastian hukum, perlu diupayakan untuk membentuk pengadilan sederhana yang merupakan bagian keeil dari struktur Pengadilan Negeri. Badan ini bertugas menuntaskan perkara-perkara dengan nilai relatif keeil, melalui pembuktian sumir yang menangani keluhan konsumen serta gugatan keeil termasuk gugatan mengenai EFT. Selain hal tersebut, diperlukan pengaturan yang mewajibkan tiap bank mengeluarkan pedoman intern untuk menangani keluhan nasabah. IV. PENUTUP
Kemajuan teknologi yang pesat sangat membantu dalam meningkatkan kemajuan sistim pembayaran, namun peningkatan teknologi tersebut hams diikuti dengan rambu rambu hukum yang jelas sehingga tidak disalahgunakan baik oleh bank pelaksana EFT maupun pihak lain yang tidak berhak. Perlindungan nasabah pengguna EFT sangat diperlukan mengingat dalam transaksi seeara elektronis berada dalam posisi yang lemah. Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan menjaga kelanearan sistim pembayaran, berkewajiban untuk melindungi nasabah pengguna EFT dengan menerbitkan peraturan Bank Indonesia yang memberikan keamanan serta memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan sistim pembayaran, terutama yang berkaitan dengan transaksi EFT. Namun demikian, rambu-rambu hukum saja tidak akan eukup tanpa disertai dengan peran aktif masyarakat untuk melindungi did sendiri, serta itikad baik bank untuk menghormati hak-hak nasabah penggunajasa EFT. Jakarta,
Februari 2000
6