PRINSIP VERIFIKASI: POKOK PIKIRAN ALFRED JULES AYER DALAM KHASANAH FILSAFAT BAHASA Iman Santoso1 Abstrak Dalam dunia filsafat bahasa dikenal seorang filsuf kebangsaan Inggris bernama Alfred Jules Ayer yang menganut paham positivisme logis. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kelompok filsuf yang tergabung dalam lingkaran Wina (Wiener Kreis) sebagai pengusung utama positivisme logis. Pandangan pokok dari A.J. Ayer berkenaan dengan sebuah prinsip yang disebut prinsip verifikasi. Berdasarkan prinsip ini, sebuah proposisi dikatakan bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris. Pandangan ini memunculkan konsekuensi berupa eliminasi metafisika dan etika. Kata Kunci: Prinsip verifikasi, elminasi metafisika, etika emotif. Pendahuluan Alfred Jules Ayer adalah salah satu filsuf dari Inggris yang digolongkan pada penganut positivism logis dalam filsafat bahasa. Ayer yang dilahirkan pada tahun 1910, menjalani pendidikan tingginya di Eton dan Oxford University. Kemudian ia melanjutkan kuliah di University of Vienna dibawah bimbingan Schlick dan Carnap. Dua orang filsuf ini merupakan anggota lingkaran Wina yang cukup berpengaruh. Lingkaran Wina (Wiener Kreis) merupakan sekelompok filsuf yang beraliran positivisme logis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ayer memilih konsentrasi aliran filsafat positivisme logis ketika kuliah di Wina, Austria. Pada tahun 1933 hingga 1940 Ayer menjadi dosen filsafat di Christ Church (College), Oxford. Pada tahun 1936 ia menghasilkan karya yang terkenal yaitu Language, Truth and Logic. Pada tahun 1946 ia menjadi Profesor dalam bidang logika. Buku yang ditulis oleh Ayer tersebut merupakan salah satu buku yang berpengaruh di dunia filsafat abad 20, dan dengan sangat gamblang menggambarkan pandangannya yang radikal. Pada edisi kedua yang terbit tahun L946, Ayer merevisi beberapa pendapatnya, namun dari sisi esensi tidaklah berubah. Ayer menyebut pandangan filosofinya sebagai empirisme logis yang merupakan varian dari positivisme logis. Dia sangat dipengaruhi oleh pemikiran beberapa filsuf terdahulu, diantaranya adalah pemikiran Bertrand Russel tentang analisis logis, pemikiran Ludwig Wittgenstein periode pertama, dan terutama pemikiran pelopor empirisme yaitu George Berkeley dan David Hume. Menurut Kaelan (1998:137), Ayer memiliki corak pemikiran tersendiri untuk menciptakan klarifikasi dan ketelitian dalam bidang filsafat. Pemikiran Ayer mengintrodusir positivisme logis dari lingkungan Wina dan disintesakan dengan 1
Penulis adalah dosen Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Yogyakarta. Kontak Persona: Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta, e-mail:
[email protected] dan
[email protected]
74 | Allemania, Vol. 4. No 1 Juni 2014
metode yang digunakan oleh Moore dan Russel. Seperti telah diketahui, lingkaran Wina menaruh perhatian besar pada peran ilmu pengetahuan dan matematika dalam filsafat dan menentang hal-hal yang metafisis. Mereka ingin menetapkan sebuah norma yang jelas yang dapat membedakan ungkapan-ungkapan yang bermakna dari yang tidak bermakna. Jadi bagi mereka kriteria untuk menilai sebuah ungkapan bukanlah dari benar atau tidak benar, melainkan dari bermakna atau tidak bermakna. Dari sinilah kemudian diajukan prinsip yang dengan prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi inilah yang kemudian menjadi salah satu poin penting dari pemikiran Ayer. Pokok-pokok pemikiran Ayer termasuk mengenai prinsip verifikasi- selanjutnya akan dibahas dalam subbab berikut. Pembahasan Setelah dipaparkan sedikit mengenai latar belakang kemunculan pandangan filosofis dari Ayer, berikut ini akan disampaikan beberapa prinsip penting dari pemikiran Ayer. Prinsip Verifikasi Dalam buku Language, Truth and Logic sangat jelas terlihat doktrin Ayer yang utama adalah mengenai prinsip verifikasi. Kemunculan prinsip ini dapat ditelusuri mulai dari tahap awal kemunculan filsuf yang berpaham positivistik. Para filsuf ini terpesona oleh metode sains dalam dunia fisika baru yang mengkritik fisika klasik Newtonian. Dalam konsep ilmu fisika – seperti yang diajukan oleh Einstein - "waktu yang absolut" hanya akan memilliki makna jika dapat diverifikasi melalui operasi eksperimental. Dalam konteks ini konsep fisika dapat dijelaskan dalam kerangka operasi fisis atau melalui prosedur yang akan memverifikasinya. Definisi semacam ini disebut sebagai definisi operasional (Charlesworth, 1956:130). Prinsip inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan penganut positivisme logis. Menurut mereka "the meaning of propositions consists in its verification” Schlick (Charlesworth, 1956:131) menerjemahkan verifikasi sebagai observasi empiris secara langsung. Hal ini membawa konsekuensi hanya proposisi yang mengandung (menunjuk) objek yang bisa diamatilah yang bermakna. Proposisi seperti ini oleh Schlick disebut sebagai protocol sentences. Lalu bagaimana dengan proposisi yang mengacu pada kejadian di masa lalu atau prediksi mengenai masa depan? Mengacu pada prinsip verifikasi tersebut, bisa dipastikan bahwa proposisi semacam itu bagi penganut positivisme logis dinilai tidak bermakna. OIeh karena itu, penting kiranya untuk mendefinisikan verifikasi dalam makna luas atau yang oleh Ayer disebut 'lunak'yaitu jikalau suatu proposisi mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan. Berbeda dengan verifikasi dalam arti ketat, yaitu sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung oleh pengalaman secara nyata (Kaelan, 1998:139). Proposisi mengenai kejadian masa lalu dapat digolongkan sebagai proposisi yang dapat diverifikasi secara lunak. Ayer kemudian memperkenalkan adanya proposisi empiris dan analitis. Kedua konsep tersebut perlu dipahami, karena dalam kenyataanya terdapat proposisi atau ungkapan yang tidak berdasar pada data empiris, sepefti proposisi
Iman Santoso, Prinsip Verifikasi | 75
matematika dan logika. Sebagai contoh adalah proposisi yang menyatakan bahwa bujursangkar memiliki empat sisi yang sama, atau 2 + 2 = 4. Proposisi semacam ini dapat dibutikan kebenarannya tanpa harus melalui proses verifikasi empiris. Proposisi inilah yang disebut sebagai proposisi analitis, yaitu proposisi yang tidak memiliki referensi faktual, tetapi benar dan bermakna secara definisi dan memverifikasi diri sendiri (Charlesworth, 1959:131). Proposisi seperti ini bersifat tautologis. Penentuan kebenaran di dalamnya sangat tergantung pada makna simbol bahasa yang digunakannya. Sebaliknya proposisi empiris adalah proposisi yang dapat dibuktikan kebermaknaannya karena merupakan pernyataan yang mengandung realitas inderawi atau dapat diverifikasi melalui pengamatan empiris. Ayer mengakui adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip verifikasi. Pertama, ungkapan bahasa tidak perlu harus diverifikasi secara langsung, namun dapat pula melalui kesaksian seseorang yang dapat dipercaya. Kedua, ungkapan bahasa itu disebut bermakna tidak harus diverifikasi secara faktual, namun jika ungkapan bahasa itu secara prinsip memiliki kemungkinan untuk diverifikasi. Ketiga, verifikasi juga dapat dilakukan sebagian saja. Hal ini banyak dilakukan di bidang ilmu alam dan fisika (Kaelan, 1999:140). Dari ulasan yang telah dipaparkan sebelumnya terlihat bahwa prinsip verifikasi melalui pembuktian berdasarkan pengalaman inderawi ini merupakan pokok pikiran utama dari Ayer. Hal ini kemudian membawa konsekuensi bahwa ungkapan-ungkapan metafisis adalah tidak bermakna, sehingga Ayer berpandangan negatif (bahkan menolak) ungkapan metafisik. Eliminasi Metafisika Seperti yang telah diketahui, bahwa berdasarkan prinsip verifikasi, suatu proposisi dikatakan bermakna jika secara empiris dapat diverifikasi atau mengandung sebuah definisi bahasa. Konsekuensi utama yang timbul akibat prinsip verifikasi adalah apa yang disebut oleh Ayer sebagai eliminasi metafisika. Sebagai contoh, proposisi mengenai objektivitas pengatahuan manusia, atau tentang keabadian jiwa, atau bahkan eksistensi tuhan, dinilai tidak dapat diverifikasi secara empiris dan juga secara analitis, karena tidak ada keadaan (state of affairs) yang relevan untuk menjadikannya benar atau salah. Proposisi metafisik menurut Ayer tidak bermakna atau nonsense. Pandangan Ayer yang bersifat empiristik yang hanya mengacu pada akal sehat telah membuatnya anti terhadap sesuatu yang bersifat non-sense. Metafisika, etika, teologi dan estetika dinyatakan tidak dapat diobservasi lebih lanjut untuk diverifikasi (Pablo, 2012). Dari sini kemudian muncul pernyataan, bahwa pandangan filosofis Ayer merupakan filsafat tanpa metaflsika (Charlesworth, 1956: 136). Tugas utama dari filsafat salah satunya adalah untuk memaparkan dan mengeliminasi kebingungan metafisis yang ada pada pemikiran manusia sehari-hari dan terutama pada pemikiran ilmiah. Menurut Ayer, pertentangan antara kaum realis dan idealis yang selama in terjadi sebagai sesuatu yang fiktif karena melibatkan interpretasi yang bersifat metafisis. Cara yang bisa digunakan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah dengan menggunakan analisis terhadap struktur bahasa yang digunakan.
76 | Allemania, Vol. 4. No 1 Juni 2014
Bagi Ayer sangat jelas bahwa filsafat tidak hanya berkepentingan untuk menunjukan adanya ketaksaan dari bahasa biasa dan sains, tetapi yang lebih penting adalah untuk mereformasinya dengan memformulasikan definisi operasional. Selanjutnya Ayer mengaskan bahwa tujuan dari analisis filosofis adalah untuk membimbing kita kepada pandangan positivistik terhadap dunia. Dengan kata lain filsafat mempersiapkan jalan bagi pandangan ilmiah terhadap dunia. Teori Etika Emotif Pandangan filosofis Ayer menentang hal-hal yang bersifat metafisik melalui prinsip verifikasinya. Hal ini membawa konsekuensi juga terhadap kemungkinan untuk mengeliminasi etika, karena proposisi yang terkait dengan etika menjadi tidak bermakna (meaningless) jika mengacu pada prinsip verifikasi. Proposisi yang mengandung nilai-nilai etis sulit untuk diuji menggunakan prinsip verifikasi. Proposisi semacam ini bersifat normatif atau non-indikatif serta tidak bersifat deskriptif melainkan preskriptif. Terkait dengan persoalan etika ini, lalu Ayer mengajukan teori emotif etika. Ayer sendiri sebenarnya bukan ahli etika, namun ia 'terpaksa' untuk juga memikirkan hal tersebut karena jika tidak prinsip verifikasinya bisa gugur. Menurut teori ini, proposisi etis tidak memiliki makna deskriptif melainkan mengandung makna emotif. Proposisi seperti ini mengekpresikan sikap/perilaku dari penutur dan akan merangsang munculnya sikap/perilaku yang sama pada mitra tuturnya. Proposisi etis haruslah mengandung makna faktual. Menurut pandangan Ayer (Suseno, 2000) kata-kata moral itu tidak memiliki makna kognitif, melainkan bersifat emotif. Kata-kata itu mengungkapkan suatu perasaan dan ingin menghasilkan perasaan yang sama pada orang lain. Namun ini menuai kritik, karena teori ini tidak menyediakan kriteria untuk membedakan antara sikap moral dengan sikap lainnya Kritik terhadap Positivisme Logis Positivisme logis yang dianut oleh Ayer tidak lepas dari berbagai kritik yang datang dari beberapa filsuf lain. Kritik pertama datang dari W. V Quine yang mengajukan teori ketidabertentuan makna. Teori ini mengatakan bahwa makna suatu kata tidak bisa ditentukan oleh pengamatan empiris, karena tidak ada persetujuan yang bersifat apriori-universal melainkan terbatas pada spasio-temporal (Pablo, 2009). Kritik berikutnya datang dari Karl Popper terutama mengenai masalah garis batas antara pernyataan yang bermakna dan pernyataan yang tidak bermakna. Popper menekankan bahwa prinsip verifikasi bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk menentukan kebenaran-kebenaran yang bersifat umum, terutama dalam ilmu pengetahuan. Menurutnya, suatu ungkapan metafisis bukan saja bermakna, tetapi dapat juga benar meskipun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Popper mengajukan prinsip falsifikasi sebagai lawan dari prinsip verifikasi. Prinsip dari Popper terdiri atas dua prinsip utama, yaitu testability dan falsifiability. Prinsip pertama menyatakan bahwa pernyataan ilmiah harus bisa diuji kebenarnya melalui metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah pernyatan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau tidak. Inilah yang membedakan Popper dengan filsuf di
Iman Santoso, Prinsip Verifikasi | 77
lingkaran Wina - termasuk Ayer - yang menggagas prinsip verifikasi (Iduyasa, 2012). Kritik berikutnya datang dari ahli linguistik strukturalis, Ferdinand de Saussure. Ia berpendapat bahwa suatu pernyataan harus memiliki hubungan korespondensi antara konsep linguistik dengan realitas ekstralinguistik (Pablo, 2009). Dengan kata lain de Saussure tidak sependapat bahwa kebermaknaan hanya ditentukan oleh verifikasi secara empiris. Penutup A.J. Ayer merupakan salah satu tokoh yang dipengaruhi oleh lingkaran Wina, dan menyebarkan paham positivisme logis di luar Austria. Sebagai turunan dari paham yang dianut oleh lingkaran Wina, Ayer menyebut pandangan filosofisnya sebagai empirisme logis. Pokok pikiran utama dari pemikiran Ayer adalah sebuah prinsip yang digunakan untuk menentukan kebermaknaan suatu proposisi melalui observasi empiris atau pengalaman inderawi yang disebut dengan prinsip verifikasi. Proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris diklaim sebagai proposisi yang tidak bermakna. Di sini harus dibedakan antara proposisi yang bermakna dengan kriteria benar atau salah. Berdasarkan pandangan inilah, Ayer tidak menyatakan bahwa proposisi yang bersifat metafisik tidak memiliki makna, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Daftar Pustaka Charlesworth, Maxwell John. 1959. " A. J. Ayer: The Verification Principle" dalam Philosophy and Linguistic Analysis. Pittsburg : Duquesne University. Iduyasa, Emkamujib. 2Al2. "Konjektur dan Falsifikasi Karl Popper" dalam blog Kabrasa, diakses dari http://katarasakita.blogspot.com/2012/04/ falsifrkashkarhpooper.html. pada tanggal 5 Pebruari 2013. Kaelan, M.S. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Paradigma. Pablo, Bona. 2009. "Positivisme Logis Alfred Jules Ayer" dalam blog Aqidah Filsafat Surabaya, diakes dari http://affi08.wordpress.com/2009/01/02/positivismeloois-alfred-julesaver/ pada tanggal 5 Januari 2013. Suseno, Franz Magnis. 2000. 12 Tokoh Etika Abad 20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Diakses dari https://books.google.co.id/books?id=FwFmxicuZfYC&printsec=frontcover&d q=12+Tokoh+Etika+Abad+20&hl=de&sa=X&ei=hDLtVNioIcOdugSMv4HY Ag&redir_esc=y#v=onepage&q=12%20Tokoh%20Etika%20Abad%2020&f=f alse pada tanggal 5 Januari 2013. Alfred Jules Ayer Biography, diakses dari http://bioqraphy.vourdictionarv.com/alfredjules-ayer, pada tanggal 21 Desember 2012.
78 | Allemania, Vol. 4. No 1 Juni 2014