PREVALENSI USAHA TERNAK TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF PENINGKATAN PRODUKSI TERNAK NASIONAL Tjeppy D. Soedjana Balai Penelitian Ternak, Kotak Pos 221, Bogor 16002
ABSTRAK Peran ternak sebagai penyedia bahan pangan berprotein tinggi dalam bentuk daging, telur, dan susu, alat transportasi, tenaga kerja dalam penyiapan lahan, serta sumber pupuk kandang dan kompos untuk kesuburan lahan tidak diragukan lagi dan kenyataan ini telah berlangsung sejak lama. Namun demikian, pada pertanian tradisional ratarata produktivitas ternak masih sangat rendah, baik dalam pertambahan bobot badan pada berbagai tingkatan umur maupun hasil susu dan telur terutama dari bangsa ternak lokal. Rendahnya respons peternak tradisional terhadap perubahan harga disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam memasarkan ternak serta menambah lahan, tenaga kerja dan masukan lainnya ketika merespons kenaikan harga, krisis ekonomi dan pasar bebas. Berdasarkan kenyataan bahwa usaha ternak di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala tradisional yang berlokasi di pedesaan, maka kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak harus mengikutsertakan peran dan fungsi ternak dalam konteks sistem usaha tani yang berlaku di pedesaan, terutama dalam peningkatan produksi dan stimulasi konsumsi produknya. Kata kunci: Usaha ternak tradisional, tantangan pasar bebas, opsi kebijakan
ABSTRACT The prevalence of traditional livestock husbandry within the national perspective of livestock product development Roles of livestock as sources of high quality protein food, such as meat, milk, and eggs, transportation modes, draft power, land preparation, manure for fertilizer are obvious and have been appreciated. However, the prevalence of the traditional system has been performing and characterized by low daily weight gain, milk or eggs at all age group of animals. Non-responsiveness of the traditional farmers to price changes has been due to the lack of available resources and marketing skill. The needs for policy options for the government to respond to various challenging livestock industry’s environment due to vulnerability of large scale operation and the prevalence of nationwide traditional operation is obvious. The policy options must, therefore, include facilitation of small farm operation to participate in commercial operation as well as providing them the production opportunities to respond the dynamic of the sector. Consequently, it is a necessity for a policy to improve livestock production and productivity to always taking smallholders livestock producer in the villages into consideration. Keywords: Traditional livestock system, free trade challenges, policy options
K
risis ekonomi telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk kurang mampu di Indonesia, yang pada tahun 1999 telah mencapai 38 juta orang atau 18% dari total penduduk. Dari jumlah tersebut, 25 juta orang terdapat di pedesaan dan 13 juta orang di perkotaan. Krisis juga telah mengubah pola belanja penduduk. Menurut Sawit (2001), porsi belanja rumah tangga untuk kebutuhan pangan telah meningkat bagi penduduk perkotaan dari 52%
10
(1997) menjadi 59% (2000), sedangkan di pedesaan dari 68% (1997) menjadi 72% (2000). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat kota maupun desa semakin menurun karena porsi belanja rumah tangga untuk kebutuhan pangan mencapai lebih dari 50%. Namun demikian, krisis ekonomi telah menunjukkan bahwa sektor pertanian dapat berperan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.
Sebagai penyelamat angkatan kerja nasional pada saat krisis, sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih dari 50% pada tahun 1998. Namun demikian, kontribusi sektor ini kepada GDP nasional menunjukkan angka yang semakin menurun. Hal ini berarti bahwa nilai tambah yang dinikmati para pelaku pertanian menjadi semakin kecil. Karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tinggal di pedesaan, maka upaya peningkatan kesejahteraan Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
dan kualitas hidup petani dan masyarakat pedesaan harus menjadi prioritas utama. Pembangunan sektor peternakan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas konsumsi gizi masyarakat, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas ketersediaan dana tunai (IFPRI 1999). Dana tunai tersebut dapat berbentuk kolateral atau ternak sebagai tabungan yang tidak akan berkurang karena inflasi. Kondisi demikian menunjukkan bahwa produk ternak akan selalu tersedia pasarnya. Peningkatan permintaan terhadap produk-produk ternak terutama sebelum krisis ekonomi, yaitu saat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%/tahun, ditandai oleh elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging, telur, dan susu yang cukup tinggi, Kenyataan tersebut memberi peluang dan mendorong Indonesia untuk membangun landasan kuat bagi perekonomian yang berbasis ekspor, dengan tetap mengantisipasi terjadinya ekses permintaan dan kekurangan pasokan produk-produk peternakan di masa mendatang. Atas dasar itu, pemerintah memberikan berbagai insentif kepada produsen serta perlindungan kepada konsumen dari gejolak perubahan harga dengan mengeluarkan berbagai aturan dan peraturan dalam perdagangan, produksi peternakan, dan industri pakan ternak. Krisis ekonomi telah menyebabkan perubahan konsumsi protein hewani per kapita, termasuk ikan, unggas, daging sapi, daging babi, daging domba dan kambing, telur dan susu (Tabel 1). Per-
baikan konsumsi protein hewani yang dimulai pada tahun 2000 (410 g) sampai 2001 (4,07 g) ternyata masih belum mampu menyamai angka konsumsi yang pernah dicapai pada tahun 1996 (4,31 g). Kebutuhan konsumsi daging di dalam negeri ternyata masih tetap memerlukan bantuan impor. Walaupun terjadi penurunan angka impor karena krisis pada tahun 1997, pada tahun 1999− 2001 impor terus meningkat. Hal ini sangat berkaitan dengan elastisitas pendapatan masyarakat terhadap permintaan daging, yang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (1999) dapat juga disebabkan oleh adanya urbanisasi. Untuk konsumsi telur, sejak tahun 1985 sudah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Telur bahkan sudah dapat dikatakan menjadi makanan pokok masyarakat karena elastisitas pendapatannya sudah di bawah 1, yang berarti peningkatan pendapatan tidak lagi berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi telur. Untuk produk susu kelihatannya masih harus mengandalkan impor untuk memenuhi 68% kebutuhan susu nasional. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan peran strategis dan kontribusi usaha ternak tradisional dalam upaya peningkatan produksi ternak di Indonesia. Diuraikan pula karakteristik usaha ternak tradisional yang menyebabkan inefisiensi ekonomik namun mempunyai nilai utility optimal bagi kelangsungan usaha. Beberapa opsi kebijakan disampaikan pada bagian akhir tulisan ini khususnya dalam menghadapi pasar global dan prediksi revolusi peternakan.
Tabel 1. Perubahan konsumsi produk ternak pada masa krisis tahun 1996− 1999. Uraian
Konsumsi (per kapita/tahun) 1996
1997
1998
1999
Konsumsi (kg) Daging Telur Susu
8,41 3,49 5,72
7,95 3,46 5,25
4,24 2,29 4,16
4,45 2,32 4,13
Konsumsi protein (g) Daging Telur Susu Total
2,70 1,11 0,50 4,31
2,57 1,10 0,46 4,13
2 0,73 0,36 3,09
2,10 0,74 0,36 3,20
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (1999).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori ditinjau dari pelakunya, yaitu: 1) yang dikelola oleh petani secara tradisional, 2) yang diusahakan secara komersial oleh perusahaan besar, dan 3) yang diusahakan oleh sistem inti-plasma. Secara umum, produksi ternak di Indonesia didominasi oleh usaha ternak skala rumah tangga yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Kasryno et al. 1989). Uraian berikut ini menyajikan peran ternak, tujuan pemeliharaan, produktivitas, efisiensi produksi, serta peran modal dan investasi dalam usaha ternak tradisional yang menunjukkan prevalensinya dalam subsektor peternakan di Indonesia.
Peran Ternak Peran ternak dalam suatu sistem usaha tani tidak diragukan lagi dan kenyataan ini telah berlangsung sejak lama. Ternak dapat berperan sebagai alat transportasi, tenaga kerja dalam penyiapan lahan, sumber pupuk kandang dan kompos untuk kesuburan lahan, serta menyediakan bahan pangan berprotein tinggi dalam bentuk daging, telur, dan susu. Saling keterkaitan antara setiap komponen dalam suatu sistem usaha tani tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara rumah tangga petani, komponen tanaman, dan komponen ternak merupakan satu kesatuan yang menjadi dasar dalam proses pengambilan keputusan oleh petani (Gambar 1).
Tujuan Pemeliharaan
Perubahan (%) 1997
USAHA TERNAK DAN PETANI TRADISIONAL
1998
1999
-5,47 -0,86 -8,22
-49,58 -34,38 -27,27
-47,09 -33,52 -27,80
-4,81 -0,90 -8 -4,18
-25,93 -34,23 -28 -28,31
-22,22 -33,33 -28 -21,11
Sudah sejak lama diketahui bahwa petani tradisional memelihara ternak untuk tujuan sebagai tabungan terutama kambing dan domba (Herskovitz 1926; De Wilde 1967; Dahl dan Hjort 1976; Doran et al. 1979; Nerlove 1999). Observasi terhadap fenomena tersebut menyimpulkan bahwa pemanfaatan fungsi ternak sebagai tabungan telah mengakibatkan jumlah ternak yang dipelihara melebihi jumlah optimalnya, terutama bila ketersediaan tenaga kerja tidak menjadi pembatas. Rendahnya efisiensi pemeliharaan ternak 11
PASAR s
Bahan bakar
RUMAH TANGGA
Tenaga kerja
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
Pakan, suplemen, obat-obatan, ternak, tenaga
s
s
Bahan bakar, transportasi, daging, susu
Pangan s
s
Manajemen, tenaga, pakan
s
s
s
Manajemen, tenaga, kesuburan
Pupuk, obat-obatan, tenaga
s
s
Hara tanah
Kompos
s
s
Lahan kosong
s
Cuaca, iklim
TERNAK kambing, domba, sapi, kerbau, ayam dll.
s
s
s
s
Kotoran, tenaga, transportasi
s
s
Pakan jerami s
Mulsa
ss
s
s
TANAMAN padi, jagung ubi kayu, kacang-kacangan dll.
Pakan s
s
Hutan
Gambar 1.
Saling ketergantungan komponen usaha dalam suatu sistem usaha tani (McDowell dan Hildebrand 1980; Amir dan Knipscheer 1989).
dalam konteks seperti ini ditunjukkan oleh usia ternak yang dipasarkan yang sering kali di atas usia produksi optimal. Hal ini menyebabkan produksi dan pemasaran ternak menjadi tidak efisien dan pada beberapa daerah yang menerapkan sistem penggembalaan, kasus overstocking mengakibatkan kerugian bagi lingkungan karena jumlah ternak yang digembalakan melebihi daya tampung padang penggembalaan. Rosenwzweig dan Wolpin (1993) telah mengobservasi keperluan investasi pada ternak kerja di India. Hasil observasi menunjukkan bahwa hampir seluruh aset yang dimiliki peternak yang disediakan untuk tujuan produksi, termasuk ternak pejantan, digunakan pula sebagai stok penyangga untuk menjamin kelancaran konsumsi rumah tangga. Peran tersebut menjadi sangat nyata pada saat pendapatan bervariasi secara tidak menentu, atau tidak tersedianya kredit yang dapat menjaga kelangsungan konsumsi rumah 12
tangga. Namun demikian, observasi ini tidak menyimpulkan bahwa fluktuasi tingkat pendapatan dan banyaknya kebutuhan keluarga petani mendorong petani untuk memelihara ternak sebagai tabungan. Pada usaha ternak tradisional di Indonesia, yang menjadi masalah bukanlah ketidakpastian tingkat pendapatan, tetapi ketidakpastian tingkat pengeluaran rumah tangga. Kebutuhan konsumsi selalu bervariasi dan beberapa di antaranya tidak dapat diperkirakan. Hal ini sejalan dengan konsep transaksi permintaan terhadap uang tunai, yang berbeda dengan yang dimaksudkan ekonom terkenal, Keynes (1936), dengan istilah motif precausionary dalam hal kebutuhan uang tunai. Di samping itu, pada pemeliharaan ternak ruminansia kecil (kambing dan domba) oleh petani tradisional, tingkat konsumsi rumah tangga petani yang relatif berkecukupan disertai dengan tingkat divisibilitas dari
jenis ternak ini, telah menyebabkan semakin dapat diterimanya perilaku memelihara ternak sebagai tabungan di samping sebagai sumber pendapatan.
Produktivitas Teknologi peternakan tradisional adalah sebuah seni yang diwariskan secara verbal maupun melalui demonstrasi dari satu generasi ke generasi peternak berikutnya dengan berlandaskan pada observasi dan pengalaman setempat selama bertahun-tahun. Schultz (1964) memberikan teori ekonomi tentang pertanian tradisional secara kohesif dan mengajukan lima hipotesis, yaitu: 1) petani tradisional sebenarnya tanggap terhadap insentif ekonomik, 2) dalam pembangunan pertanian, pengadaan modal bukan merupakan masalah utama, tetapi yang menjadi masalah adalah dalam bentuk apa investasi dapat diJurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
tanamkan di bidang pertanian secara menguntungkan, 3) dalam pertanian tradisional, secara komparatif terdapat inefisiensi dalam alokasi faktor produksi, 4) tidak banyak perubahan yang diperoleh dengan cara menunjukkan petani terbaik sebagai contoh bagi pertanian tradisional, dan 5) tingkat pengembalian modal sangat rendah, di mana biaya untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi sangat mahal. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata produktivitas lahan, ternak, dan tenaga kerja pada pertanian tradisional sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. Rendahnya produktivitas ternak ditunjukkan oleh pertambahan bobot badan yang rendah pada berbagai tingkatan umur, seperti juga halnya dengan produktivitas ternak penghasil susu dan telur dari bangsa ternak lokal. Tingkat pendapatan tenaga kerja juga lebih rendah dibanding di negara maju. Hal ini disebabkan oleh rendahnya ketersediaan lahan per rumah tangga petani, serta keterbatasan sumber daya lainnya untuk digunakan secara manual baik menggunakan tangan maupun tenaga ternak. Seperti yang telah diyakini selama ini, pengambilan keputusan dalam usaha ternak tradisional sebagian besar ditentukan oleh faktor budaya, bukan faktor ekonomi. Dengan demikian, perlu lebih banyak diketahui tentang pendekatan yang menggunakan faktor-faktor bukan ekonomi bagi kemajuan usaha ternak tradisional, misalnya apakah peternak menghasilkan tingkat produksi yang berbeda sebagai akibat adanya perubahan harga.
Efisiensi Produksi Beberapa alasan peternak tradisional memiliki respons tingkat produksi yang rendah terhadap perubahan harga adalah: 1) keterbatasan kemampuan memasarkan ternak yang menyebabkan berkurangnya insentif harga, 2) keterbatasan kemampuan menambah lahan, tenaga kerja, dan masukan lainnya ketika merespons kenaikan harga produk, dan 3) peningkatan skala usaha yang biasanya berkaitan dengan penurunan produktivitas sumber daya yang akhirnya memberikan produktivitas total yang rendah. Potensi terjadinya inefisiensi dalam produksi ternak di pedesaan Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
ditunjukkan oleh fungsi ganda dari ternak yang dipelihara, yaitu sebagai tabungan dan kegunaannya dalam proses produksi. Tidak adanya lembaga finansial yang memadai yang melayani petani tradisional di pedesaan serta penerapan fungsi ternak sebagai tabungan menyebabkan terjadinya inefisiensi ekonomik pada proses produksi dan berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan. Berbagai hasil penelitian dan observasi pada ternak ruminansia kecil selama kurun waktu 1982−1995 menunjukkan bahwa fenomena inefisiensi tersebut sama dengan yang dijumpai dalam konteks ekonomi pada umumnya, yaitu karena kebutuhan uang tunai untuk keperluan belanja dan transaksi sulit diperoleh. Dengan demikian, seandainya diberlakukan sistem transaksi barter secara murni, dalam pengertian tidak ada biaya transaksi, maka berbagai sumber daya yang dicurahkan untuk menghasilkan uang tunai dapat digunakan untuk tujuan-tujuan lainnya. Telaahan tentang pentingnya produksi ternak ruminansia kecil dan karakteristiknya bagi petani tradisional di Indonesia menunjukkan bahwa petani tradisional selalu dihadapkan kepada masalah kebutuhan dana yang sangat tinggi ketika akan menambah jumlah ternak. Hal tersebut terutama berlaku bagi petani di daerah pegunungan dan dataran tinggi yang memelihara ternak dengan sistem cut-and-carry dan dikandangkan. Jumlah maksimum ternak ruminansia kecil yang dapat dipelihara oleh satu keluarga petani pada kondisi ini sekitar 7 ekor ternak dewasa. Di daerah dataran rendah dan daerah lain yang memungkinkan dilakukan sistem penggembalaan, jumlah ternak yang dipelihara cenderung lebih banyak karena adanya kesepakatan menggembala ternak secara bergilir. Sistem ini secara langsung dapat mengatasi keterbatasan tenaga kerja. Pemeliharaan ternak untuk tujuan tabungan pada umumnya tidak efisien bila dibandingkan dengan pemeliharaan ternak untuk tujuan produksi yang mendatangkan keuntungan. Namun demikian, kondisi yang tidak efisien ini menjadi tidak berarti dan tidak penting ketika upaya peningkatan jumlah ternak yang dipelihara terkendala oleh kebutuhan biaya yang tinggi serta keterbatasan tenaga kerja.
Peran Modal dan Investasi Petani tradisional ternyata dapat menjadi lebih sejahtera bila mereka mempunyai akses kepada lembaga finansial, karena mereka akan mampu membayar tenaga kerja yang dibutuhkan bagi setiap kegiatan yang akan mendatangkan keuntungan ekonomik dari usaha ternaknya. Rendahnya tingkat pendapatan petani sematamata disebabkan oleh keterbatasan modal untuk menambah jumlah ternak, dan kondisi mereka yang tidak dapat menjual ternaknya pada periode keuntungan terbesar dapat dicapai. Namun demikian, pemanfaatan fungsi ternak sebagai tabungan masih dapat menjadi pilihan terbaik berikutnya bagi peternak, terutama yang dihadapkan kepada keterbatasan tenaga kerja. Memelihara ternak sebagai tabungan dimotivasi oleh kenyataan bahwa ternak dapat dikonversikan menjadi uang tunai setiap saat. Peternak cukup puas dan dapat menerima tingkat pendapatan apa adanya sebagai refleksi dari tingkat produktivitas yang rendah. Perhatian petani sangat kurang terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan bibit ternak, jumlah dan waktu pemberian pakan, pengelolaan yang baik, serta pada umur berapa sebaiknya ternak dijual. Keputusan untuk menjual ternak semata-mata hanya didasarkan kepada keadaan di mana atau kapan mereka membutuhkan uang tunai. Peternak tradisional biasanya menjual ternak sebelum musim tanam untuk menyediakan uang tunai bagi kebutuhan masukan produksi tanaman. Kebiasaan seperti ini menyebabkan banyaknya pasokan ternak yang akan dipasarkan pada saat tersebut sehingga harga jual menjadi rendah. Sebagian besar peternak juga tidak memanfaatkan bulan-bulan tertentu di mana harga jual ternak sangat tinggi, karena alasan kemampuan melakukan pengaturan sistem produksi dan komposisi umur ternak disesuaikan dengan periode tersebut. Dengan demikian, jumlah ternak yang dipelihara tidak berhubungan dengan tujuan produksi atau pemasaran. Hal ini tentu akan menurunkan tingkat keuntungan yang diperoleh keluarga peternak. Sebagai pembanding dari karakteristik yang dijumpai di Indonesia tersebut, Rosenwzweig dan Wolpin (1993) menjumpai adanya disinvestasi pada usaha ternak kerja di India ditinjau dari segi penggunaan faktor produksi 13
yang optimal pada usaha tanaman pangan. Perilaku petani tradisional yang cenderung untuk menghindari risiko yang dibarengi dengan keterbatasan kemampuan untuk meminjam uang dan rendahnya tingkat pendapatan, mengakibatkan tingkat pendapatan mereka menjadi lebih rendah lagi.
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI TERNAK Sapi Potong Sistem produksi daging sapi di Indonesia secara tradisional dicirikan oleh skala usaha kecil yang memelihara hanya 1−3 ekor sapi/rumah tangga. Ternak sapi dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk pengolahan lahan serta sebagai tabungan, bukan untuk tujuan memproduksi daging. Pemeliharaan dilakukan secara tradisional dengan kualitas pakan yang rendah sehingga kualitas hasil ternak juga rendah. Untuk memberikan peluang ke arah perubahan dari kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, pemerintah memfasilitasi pihak swasta dalam upaya modernisasi industri sapi potong nasional. Upaya tersebut diarahkan kepada perbaikan manajemen pemeliharaan dan kesejahteraan petanipeternak kecil yang menghasilkan produk ternak sapi potong. Impor ternak sapi bakalan yang dilakukan oleh Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pasokan daging sapi yang berkualitas di samping melakukan modernisasi industri ternak sapi potong. Kuantitas impor ternak sapi bakalan menunjukkan peningkatan 82,50%/ tahun pada kurun waktu 1990−1997. Hal tersebut mencerminkan adanya dukungan pemerintah kepada pihak swasta untuk melakukan impor dan sekaligus merespons permintaan pasar akan daging berkualitas baik. Impor daging sapi menunjukkan pertumbuhan sebesar 39,50%/tahun dan peningkatan impor daging tanpa tulang dan kategori lain semata-mata bertujuan untuk memenuhi ekses permintaan sejak tahun 1995. Dalam mengimpor ternak hidup, para importir atau pelaku usaha penggemukan (feedloter) diwajibkan menyisihkan 10% ternak yang diimpor untuk didistribusikan kepada petani plasma pada usaha PIR sapi potong. Upaya ini sekaligus bertujuan untuk 14
modernisasi sistem produksi sapi potong nasional. Di samping itu, untuk perdagangan ternak sapi antarpulau juga dilakukan pengaturan kuota. Pengaturan ini bertujuan untuk menghindari pengurasan ternak sapi yang berkelanjutan dalam rangka menunjang kecukupan populasi ternak di sentra produksi seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Ayam Pedaging dan Petelur Industri unggas yang dimulai pada awal 1970-an dengan mendatangkan ayam petelur dari luar negeri, ditandai dengan peran ayam buras yang masih mendominasi pasar dan menyumbang sebagian besar konsumsi daging ayam. Konsumen lebih menyukai daging atau telur ayam buras dengan berbagai alasan, seperti lebih bergizi dan rasa lebih enak. Namun, ayam buras mempunyai tingkat efisiensi yang rendah dalam menghasilkan daging dan telur sehingga ayam broiler dan petelur komersial berkembang lebih cepat. Saat ini daging broiler memberikan kontribusi dua kali lebih banyak, sedangkan ayam petelur empat kali lebih banyak daripada ayam buras. Secara keseluruhan, pasokan daging unggas telah mencapai 60% lebih dari total pasokan daging Indonesia. Hampir semua ayam buras dipelihara oleh peternak kecil di pekarangan dengan masukan sangat minimal. Pemeliharaan bertujuan untuk menghasilkan telur konsumsi keluarga atau menjualnya ketika membutuhkan uang tunai. Setiap keluarga peternak umumnya memelihara 1−10 ekor dengan produksi telur 20−40 butir/tahun atau tumbuh mencapai bobot 0,80 kg dalam waktu 4−6 bulan. Populasi ayam buras diperkirakan mencapai 260 juta ekor pada tahun 1996, dan pada tahun 2001 telah mencapai 263 juta ekor, atau tumbuh 2− 3%/tahun. Meskipun masukan produksi sangat minimal, ayam buras masih banyak dipelihara karena harga daging dan telurnya lebih menarik dibanding produk ayam ras, dan tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi. Namun, produksi ayam buras tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan daging dan telur ketika pendapatan penduduk meningkat (Tangendjaja dan Soedjana 1999). Seperti halnya produksi broiler yang meningkat pada tahun 1970-an, peter-
nakan ayam petelur juga tumbuh dengan cepat. Pemeliharaan ayam petelur pada awalnya terkonsentrasi di Jawa Barat karena kedekatannya dengan pasar, yaitu Jakarta yang merupakan pasar terbesar saat ini. Akibatnya, perusahaan peralatan peternakan dan pabrik pakan berlokasi dekat dengan pusat produksi ini. Tangendjaja dan Soedjana (1999) melaporkan bahwa usaha peternakan ayam petelur dan broiler yang dikelola oleh peternak kecil memiliki populasi antara 1.000−3.000 ekor. Perusahaan peternakan besar dengan populasi ayam petelur lebih dari 1 juta ekor dan ayam broiler 1−3 juta ekor bersifat integratif dilengkapi pabrik pakan, perusahaan pembibitan, dan rumah potong. Meskipun produksi unggas hampir tersebar di seluruh Indonesia, sentra produksi utama masih terdapat di Jawa dan Sumatera Utara, karena berkaitan dengan pasokan bahan baku pakan dan kedekatan dengan pasar. Setiap ekor ayam petelur dapat menghasilkan 260−280 butir telur/tahun dengan konversi pakan bervariasi antara 2,50−3 (untuk keseluruhan kandang termasuk ayam dara). Ayam dara setelah selesai bertelur dapat dijual dengan harga yang mendekati harga broiler. Di samping itu, ada peternak yang khusus memelihara ayam jantan petelur untuk menghasilkan daging dengan bobot badan 0,70−0,80 kg pada umur 7−8 minggu. Ayam jenis ini biasanya dijual dengan harga yang lebih mahal dari broiler karena rasanya mirip ayam buras. Pertumbuhan populasi ayam pedaging menunjukkan respons yang meyakinkan dengan peningkatan populasi sebesar 524 juta ekor pada tahun 2001 dibandingkan 354 juta ekor pada saat krisis tahun 1998 (Direktorat Jenderal Peternakan 2001).
Sapi Perah Soedjana et al. (2000) menyatakan bahwa industri sapi perah di Indonesia dicirikan oleh kenyataan bahwa pada sisi produksi terdapat banyak produsen yang mengandalkan penghasilannya kepada usaha ternak sapi perah. Di lain pihak, beberapa perusahaan industri pengolahan susu (IPS) menikmati perlindungan dan bantuan dari pemerintah. Pengembangan industri sapi perah di Indonesia telah berlangsung sekitar 30 tahun dengan keterlibatan pemerintah terutama pada aspek produksi untuk Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
memperkecil kesenjangan permintaan. Produksi susu domestik mengalami peningkatan setiap tahun dari 28.900 ton (1969), 72.200 ton (1979), 338.200 ton (1989) menjadi 405.500 ton (1998). Namun, keringanan beban rasio produksi domestik dan impor bahan baku yang dilakukan oleh IPS baru mencapai 1:20 (1980), 1:2 (1992), dan 1:2,40 pada tahun 1996. Kebijakan mixing ratio yang telah dihapuskan tampaknya semakin menambah ketergantungan pemenuhan kebutuhan konsumsi susu kepada produk impor. Pada tahun 2001, impor mencapai 62% (904.300 ton) dari seluruh permintaan dalam negeri (1.330.000 ton). Keperluan membangun industri sapi perah di Indonesia bukan hanya karena alasan ekonomi semata, tetapi juga untuk memenuhi permintaan susu domestik, meningkatkan pendapatan petani, membantu pemerataan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki nilai tukar, serta meningkatkan kualitas konsumsi gizi nasional. Dengan demikian, industri sapi perah didominasi oleh peternak kecil karena tujuan pemerataan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja yang secara langsung akan berdampak kepada keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dengan industri lainnya. Secara alami, industri sapi perah memiliki tingkat keterkaitan dan dampak ganda yang cukup tinggi dengan industri lainnya karena sebagian besar produk sapi perah digunakan sebagai bahan baku industri (Hadi et al. 1999). Peningkatan produksi susu domestik diharapkan dapat mengurangi impor susu dan produk susu ketika industri sapi perah telah mencapai kemampuan untuk melakukan ekspor dengan harga jual produk yang kompetitif di pasar internasional. Namun demikian, usaha ternak sapi perah di Indonesia pada umumnya belum efisien dengan populasi ternak 3−4 ekor sapi laktasi/rumah tangga petani dan produksi susu 9−10 l/ ekor/hari. Keuntungan setiap liter susu masih rendah sehingga belum mampu mendukung kebutuhan keluarga. Meskipun demikian, jumlah usaha ternak sapi perah tetap tumbuh dengan kecepatan pertumbuhan yang melebihi jumlah rumah tangga peternaknya. Kecenderungan ini lebih disebabkan oleh kebijakan mixing ratio yang melindungi produsen susu domestik dari kompetisi susu impor. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
TANTANGAN PASAR BEBAS Keberlangsungan usaha peternakan domestik tidak dapat terlepas dari berbagai kesepakatan pemerintah dengan organisasi perdagangan internasional, yang menjadikan kualitas, harga, dan kontinuitas pasokan sebagai elemen dari persaingan. Dengan demikian, upaya perbaikan konsumsi dan peningkatan produksi ternak nasional harus mempunyai strategi unggulan dalam menciptakan sinergi antara usaha komersial dan usaha tradisional. Delgado et al. (2001) menyatakan bahwa revolusi peternakan di negaranegara berkembang akan berlanjut hingga tahun 2020. Revolusi tersebut akan mendorong peningkatan pasar dunia akan daging dan susu serta pakan bijibijian. Kondisi ini akan menyebabkan negara-negara berkembang untuk terus meningkatkan posisi net impornya yang saat ini sudah cukup tinggi. Sisi positif dari telaahan ini adalah peningkatan konsumsi produk-produk peternakan akan mendorong peningkatan pendapatan peternakan tradisional. Hal ini dibuktikan dari penelitiannya di Asia dan Afrika yang menyimpulkan bahwa petani miskin dan tidak memiliki lahan mempunyai kontribusi pendapatan yang lebih tinggi dari usaha ternak dibanding mereka yang lebih sejahtera di pedesaan.
Sapi Potong Selama periode 1990−1997, populasi sapi potong menunjukkan peningkatan sekitar 2%/tahun, demikian pula populasi pedet yang dihasilkan oleh usaha ternak sapi perah meningkat 2,60%. Namun demikian, populasi kerbau mengalami penurunan 0,70%. Unggas serta kambing dan domba menunjukkan pertumbuhan populasi yang lebih tinggi, yaitu mencapai masingmasing 10,30% dan 3,90%. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa basis produksi ternak penghasil daging dari masing-masing spesies ternak memperlihatkan potensi yang menjanjikan. Namun demikian, sebagai dampak krisis ekonomi, pada periode 1997−2001 populasi seluruh jenis ternak mengalami penurunan, yaitu sapi potong -6,25%, kerbau -33,90%, kambing -12,04%, domba -5,24%, babi -28,73%, ayam petelur -5,23%, ayam pedaging -18,25%, dan itik -1,37%, kecuali ayam buras 6,88% dan sapi perah
10,19% (Badan Pusat Statistik 1997; Direktorat Jenderal Peternakan 2001) Krisis ekonomi pada tahun 1998 telah berpengaruh langsung terhadap pengurangan konsumsi daging per kapita karena harga daging sapi melonjak tinggi. Diperkirakan konsumen yang termasuk ke dalam kelompok pendapatan rendah dan menengah akan melakukan substitusi konsumsi daging sapi dengan daging lainnya seperti unggas dan ikan. Secara teoritis Soedjana et al. (1994) berpendapat bahwa berdasarkan angka elastisitas pendapatan terhadap permintaan, konsumen akan mengkonsumsi lebih banyak daging sapi dibanding daging ayam. Namun, karena pendapatan menurun, tingkat konsumsi kedua jenis daging tersebut juga menurun. Hermanto et al. (1990) berpendapat bahwa makin tinggi pendapatan konsumen akan menyebabkan makin rendah elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Untuk konsumen yang tergolong kelas atas, angka elastisitas tersebut berada di bawah 1, yang menunjukkan tidak elastisnya dampak pendapatan terhadap tingkat konsumsi. Elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging sapi menunjukkan angka 0,45 untuk daerah pedesaan dan 0,42 untuk daerah perkotaan. Angka elastisitas ini mencerminkan bahwa konsumen berpendapatan tinggi tetap mempertahankan tingkat konsumsi daging sapi tanpa mempertimbangkan harganya, harga daging lainnya maupun perubahan tingkat pendapatan. Soedjana et al. (1994) juga menjumpai elastisitas pendapatan terhadap permintaan yang cukup tinggi bagi produk-produk peternakan yang dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan. Ketika harga daging sapi dalam negeri meningkat, pendapatan produsen sapi potong tradisional yang tidak ikut dalam PIR sapi potong juga meningkat, tetapi pendapatan petani plasma akan terancam karena jumlah ternak berkurang secara drastis bahkan habis sama sekali. Keuntungan perusahaan penggemukan sapi potong diperkirakan juga akan menurun karena berkurangnya populasi sapi yang digemukkan. Biaya over-head menjadi tinggi karena beberapa fasilitas infrastruktur tidak terpakai sesuai dengan kapasitasnya. Akibatnya pada tahun 1998 beberapa perusahaan penggemukan gulung tikar. Dari 47 perusahaan anggota 15
Apfindo hanya 9 anggota (10,60%) yang masih mengimpor sapi bakalan dan 14 anggota (29,80%) mengimpor daging sapi (Tangendjaja dan Soedjana 1999). Impor sapi bakalan dan daging sapi yang menurun tajam pada masa krisis telah mengurangi kompetisi antara sapi lokal dan daging sapi impor. Produsen sapi tradisional dan pedagang mempunyai insentif untuk menjual ternaknya dalam memanfaatkan harga yang menarik, walaupun hal ini dapat membahayakan populasi ternak sapi domestik di masa mendatang. Hal ini disebabkan pada masa sebelumnya pedagang ternak ditunjang oleh adanya impor sapi bakalan dan daging sapi, tetapi pada masa krisis hal itu tidak dapat dilanjutkan. Penurunan tarif impor daging sapi dari 30% menjadi 5% diperkirakan akan mendorong peningkatan impor daging sapi karena lebih menguntungkan dibanding mengimpor ternak sapi bakalan. Kesepakatan impor sapi bakalan telah berubah dan diperkirakan pengusaha penggemukan tidak akan lagi mengalokasikan sebagian sapi bakalan yang diimpor kepada peternak kecil. Sementara itu perusahaan lainnya akan tetap memelihara kemitraan dengan petani kecil dalam pola PIR sapi potong walaupun dalam jumlah yang lebih kecil.
Unggas Krisis ekonomi di Asia menurut Aho (1998) telah memberikan persoalan jangka pendek pada industri pakan ayam atau ternak di negara-negara Asean, tetapi akan memberikan kesempatan yang baik di masa mendatang. Krisis keuangan akan memberikan pengaruh selama 2−3 tahun pada kesehatan ekonomi Asia terutama faktor perbankan dan konstruksi. Produksi dan konsumsi broiler dan telur diperkirakan akan meningkat dengan cepat di masa mendatang ketika masalah ekonomi terpecahkan. Untuk Indonesia, penurunan konsumsi broiler sebesar 70% dan telur 60% akibat krisis diperkirakan sebanding dengan penurunan pendapatan per kapita dari lebih US$ 1.000 sebelum krisis ke US$ 430 setelah krisis. Pertanyaan yang sulit dijawab adalah kapan waktu pemulihan ekonomi terjadi sehingga konsumsi broiler dan telur akan kembali kepada kondisi semula di mana daging dan telur ayam tetap menjadi barang normal de16
ngan elastisitas pendapatan terhadap permintaan di bawah 1. Krisis ekonomi lebih berpengaruh terhadap industri unggas modern dibanding peternakan ayam buras karena beberapa hal: 1) usaha peternakan ayam ras bersifat industri, sedangkan peternakan ayam buras bersifat subsisten, 2) masukan produksi untuk ayam ras berasal dari bahan baku impor dengan nilai dolar, termasuk bahan baku pakan (bungkil kedelai, tepung ikan/daging, bahan tumbuhan), bibit ayam (GPS) dan obat-obatan. Peningkatan harga bahan baku impor yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar dolar, terutama untuk sumber protein pakan mengakibatkan harga ransum meningkat. Di samping itu, pabrik pakan tidak akan lagi menjual pakan secara kredit tetapi tunai untuk menghindari kemungkinan kredit macet ketika peternak tidak mampu membayar karena kesulitan menjual produksinya. Tangendjaja dan Soedjana (1999) manyatakan bahwa pada tahun 1997 hanya 60% kapasitas terpasang pabrik pakan yang dimanfaatkan untuk produksi dan setelah krisis (1998) hanya termanfaatkan 20% sehingga banyak pabrik pakan beroperasi di bawah kemampuannya. Beberapa pabrik bahkan tutup dengan meninggalkan hutang dari pinjaman dalam bentuk devisa. Hal ini juga mempengaruhi industri terkait lainnya seperti obat-obatan, usaha pembibitan, dan perusahaan pakan. Penurunan kebutuhan bahan baku impor mengakibatkan pedagang perantara bahan baku mencoba untuk mengekspor bahan baku lokal yang berlebih. Pada tahun 1998, 500.000 ton jagung diekspor ke Malaysia atau Thailand karena kelebihan produksi di dalam negeri. Ekspor juga dilakukan pada produk ransum, seperti yang dilakukan beberapa pabrik pakan di Medan yang mengekspor ransum broiler ke Malaysia, serta beberapa perusahaan pembibitan yang mengekspor anak ayam umur sehari (DOC) atau telur tetas ke Brunei atau Filipina.
Sapi Perah Inpres No.4/1998 yang dikeluarkan pada bulan Januari 1998 merupakan respons terhadap situasi yang tidak menentu terutama pada industri persusuan na-
sional. Tujuan utamanya adalah untuk membatalkan Inpres sebelumnya, yaitu Inpres No.2/1985 terutama dalam hal kebijakan mixing-ratio, kebijakan satu pintu dalam impor susu dan hal lain yang berkaitan dengan aturan tentang impor susu, kewajiban penyerapan produksi susu domestik, serta kebijakan harga susu. Penghapusan kebijakan mixing-ratio telah mengakibatkan penurunan agregat konsumsi susu. Penurunan itu bahkan sudah terjadi ketika mixing-ratio mencapai perbandingan 1:1,60 di mana 70% susu masih diimpor pada tahun 1997. Dengan Inpres No.4/1998, perlindungan terhadap industri susu nasional yang dilakukan oleh pemerintah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, industri persusuan akan menghadapi pasar global di mana setiap bidang usaha akan saling bersaing dalam menyediakan produk dengan kualitas, produktivitas, dan efisiensi yang tinggi. Produsen susu dalam negeri tidak mempunyai cara lain dalam menghadapi hal ini, kecuali 1) menempatkan usaha sapi perahnya secara profesional, 2) meminta pemerintah untuk menyediakan jaminan bahwa setiap ternak bibit yang disediakan memiliki kualitas yang baik, dan 3) menggunakan komponen lokal lebih banyak dalam menyusun ransum untuk pakan sapi perah. Inpres No.4/1998 yang dibarengi dengan keputusan Menteri Keuangan tentang pengurangan tarif impor bagi beberapa produk pertanian maksimum 5%, mempunyai implikasi bahwa produksi susu domestik harus secara penuh berkompetisi dengan bahan baku impor dalam penggunaannya, demikian juga dengan produk akhir dari susu.
OPSI KEBIJAKAN KE DEPAN Memperhatikan keberadaan usaha ternak tradisional yang prevalen yang karakteristiknya masih berlaku hingga saat ini, diperlukan opsi kebijakan ke depan yang dapat merespons revolusi peternakan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi petani tradisional dan masyarakat miskin pada umumnya (Direktorat Jenderal Peternakan 1999). Kebijakan tersebut perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: 1) usaha ternak kecil dan tradisional harus terkait secara vertikal dengan usaha pengolahan dan pemasaran produk yang perishable, 2) keikutsertaan peternak tradisional dalam Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
usaha komersial perlu difasilitasi melalui perbaikan pada hal-hal yang menyebabkan terjadinya skala ekonomi yang artifisial, seperti pemberian kredit dan subsidi kepada usaha ternak skala besar, 3) perlu ada mekanisme pengaturan yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi peternakan, dan 4) produsen tradisional dan usaha kecil harus diikutsertakan dalam merespons berbagai peluang yang disebabkan oleh dinamika subsektor peternakan. Menghadapi berbagai masalah dan peluang di bidang industri peternakan yang diakibatkan oleh adanya krisis ekonomi dan pasar bebas, prevalensi dan karakteristik usaha ternak tradisional, serta rentannya usaha ternak skala besar terhadap gejolak ekonomi, beberapa opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk memacu produksi peternakan di masa mendatang, khususnya untuk Indonesia adalah: 1) Membangun bangsa ternak yang secara nasional dapat direkomendasikan untuk membantu peternak dan masyarakat pada umumnya dalam meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, serta melanjutkan pengembangan dan penyempurnaan stok bibit nasional, antara lain melalui pembangunan institusi penangkar bibit ternak yang dihasilkan oleh lembaga penelitian. 2) Mengembangkan sapi tipe dwiguna untuk mengeksplorasi kapasitas produksi ternak sapi di daerah tropis dalam memproduksi pedet jantan sebagai sapi potong dan induk sapi perah yang menggunakan input moderat. 3) Meningkatkan pendekatan sistem usaha tani terintegrasi antara tanaman dan ternak terutama di Jawa, seperti sistem produksi sapi potong berbasis padi untuk memanfaatkan ketersediaan jerami padi sebagai sumber serat kasar melalui fermentasi di
4)
5)
6)
7)
8)
samping menyediakan pupuk organik bagi tanaman. Menegakkan aturan dan peraturan tentang pelarangan pemotongan hewan betina produktif untuk menjaga stok populasi nasional, baik untuk sapi potong maupun sapi perah. Melanjutkan pengawasan dan pencegahan penyakit ternak di dalam negeri maupun ternak yang didatangkan dari luar negeri untuk tujuan pembibitan dengan memperkuat peran karantina hewan. Mengembangkan informasi pasar secara nasional, baik untuk pasar input maupun produk peternakan, serta menjamin harga produk secara reguler. Mempromosikan keseimbangan produksi biji-bijian seperti jagung untuk keperluan pakan ternak dan konsentrat maupun sebagai bahan pangan. Mempromosikan konsumsi produkproduk peternakan yang dihasilkan di dalam negeri, terutama susu, melalui penganekaragaman produk dan introduksi program minum susu di sekolah dan pemberian susu kepada generasi muda.
KESIMPULAN Produksi ternak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada umumnya berasal dari usaha ternak skala besar karena produk ternak dari usaha ternak tradisional belum mampu berkembang lebih cepat ditinjau dari sumber daya utamanya, yaitu pakan. Selain itu, skala ekonomi di bidang produksi dan pengolahan lebih berpihak kepada usaha ternak skala besar karena alasan efisiensi dan tuntutan kualitas. Usaha ternak di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala tradisional yang berlokasi di pedesaan. Oleh karena itu, kebijakan yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas ternak harus mengikutsertakan peran dan fungsi ternak dalam konteks sistem usaha tani yang berlaku di pedesaan, terutama dalam upaya peningkatan produksi dan stimulasi konsumsi produknya. Pada periode 1970−1990, pertumbuhan konsumsi daging di negaranegara berkembang termasuk Indonesia telah mencapai tiga kali lebih besar dibanding dengan negara-negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi konsumsi dan produksi ternak lebih disebabkan oleh demand driven dibanding dengan Revolusi Hijau yang lebih disebabkan oleh supply driven. Walaupun terdapat usaha untuk menghindari terjadinya Revolusi Peternakan menjelang 2020, tetapi dengan adanya proses transformasi konsumsi gizi di negara-negara berkembang yang disebabkan oleh faktor pendapatan, populasi penduduk, dan perkembangan penduduk perkotaan, maka kecil sekali kemungkinannya untuk mencegah hal tersebut terjadi. Pengamatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, termasuk USDA, terhadap usaha ternak tradisional menyimpulkan bahwa di samping memperbaiki konsumsi gizi masyarakat, usaha ternak tradisional juga telah memberikan pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas penyediaan uang tunai dalam bentuk kolateral dan tabungan ternak yang tidak mudah terlanda inflasi. Dengan demikian, opsi kebijakan ke depan harus menyangkut berbagai pendekatan yang berorientasi pasar bagi usaha ternak tradisional untuk dapat mensejajarkan diri dengan usaha ternak skala besar yang komersial dalam hal produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Pembangunan peternakan yang dinamis di masa mendatang akan memberikan peluang bagi petani tradisional untuk meningkatkan porsi pendapatan dari usaha ternak.
DAFTAR PUSTAKA Aho, P. 1998. How globalisation of agriculture will affect the poultry and livestock industries of Southeast Asia, ASA Technical Bulletin, PO 39, American Soybean Association, Singapore. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Amir, P. and H.C. Knipscheer. 1989. Conducting on farm animal research: Procedures and economic analysis. Winrock International, Morrilton, Arkansas.
Badan Pusat Statistik. 1997. Statistik Perdagangan Indonesia, Impor 1990−1997, Volume 1. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
17
Dahl, G. and A. Hjort. 1976. Having herds: Pastoral growth and household economy. Studies in Social Anthropology 2: 335 p. Delgado, C.M. Rosegrant, and S. Meijer. 2001. Livestock to 2020. Paper presented at Meeting on International Agricultural Research Trade Consortium (IARTC), Auckland, New Zealand. De Wilde, J.C. 1967. Experiences with Agricultural Development in Tropical Africa. John Hopkins University Press, Baltimore. Direktorat Jenderal Peternakan. 1999. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2001. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Doran, M.H., A.R.C. Low, and R.L. Kemp. 1979. Cattle as a store of wealth in Swaziland: Implications for livestock development and overgrazing in Eastern and Southern Africa. Am. J. Agric. Econ. 61: 41−47. Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999. The impact of the economic crisis on Indonesia’s beef sector; Challenges and opportunities. Center for Agro Socio-Economic Research, Bogor. Hermanto, T. Sudaryanto, dan A. Purwoto. 1990. Pola konsumsi dan estimasi elastisitas produk peternakan. Seminar Peternakan dan
18
Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, November 1990. Herskovitz, M.J. 1926. The cattle complex in East Africa. Am. Anthropol. 28: 230−272. IFPRI. 1999. 2020 vision for food, agriculture, and environment. International Food Policy Research Institute, News & Views, http:// www.cgiar.org/ifpri/2020/welcome.htm Kasryno, F., P. Simatupang, IW. Rusastra, A. Djatiharti, and B. Irawan. 1989. Government policies and economic analysis of the livestock commodity system, Jurnal Agro Ekonomi, 8(1): 1−36. Keynes, J.M. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. Harcourt, Brace & Co., New York. McDowell, R.E. and P.E. Hildebrand. 1980. Integrated Crop and Animal Production: Making the most of resources available to small farmers in developing countries. Rockefeller Foundation, New York. p. 21. Nerlove, M.N. 1999. Growth rate convergence: Fact or artifact. An essay in Panel Data Econometrics In Krishnakumar and E. Ronchetti (Eds). Panel Data Econometric, Future Direction. Elsevier Science Publisher, Amsterdam.
smoothing, and accumulation of durable asset in low-income countries: Investments in bullocks in India. J. Political Econ. 101: 223− 244. Sawit, M.H. 2001. Ketahanan pangan dan perjanjian pertanian WTO. Paper Presented at Workshop on Food Security in the Framework of FAO, Denpasar, Bali, July 2001. Schultz, T.W. 1964. Transforming Traditional Agriculture. Yale University Press, New Haven, Connecticut. p. 4. Soedjana, T.D., T. Sudaryanto, dan R. Sayuti. 1994. Estimasi parameter permintaan beberapa komoditas peternakan di Jawa. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia 1: 13−23. Soedjana, T.D., B. Tangendjaja, dan I. Sumarno. 2000. Reorientasi Kebijaksanaan Pembangunan Peternakan Pasca Krisis Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Tangendjaja, B. and T.D. Soedjana. 1999. The Impact of Economic Crisis on Poultry Industry of the Indonesian Livestock Subsector: Challenges and Opportunities. Center for Agro Socio-Economic Research, Bogor.
Rosenwzweig, M.R. and K.I. Wolpin. 1993. Credit market constraints, consumption
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005