Prevalensi Katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Tahun 2010 dan Faktor-faktor yang Berhubungan Aghnia Permatasari, Muchtaruddin Mansyur Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia ABSTRAK Kebutaan merupakan masalah yang ada di dunia, dimana penyebab utama masalah ini adalah katarak, baik di Indonesia maupun di dunia.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik sebanyak 904 sampel yang dipilih secara random dari 147.288 rekam medis pasien poliklinik RSCM tahun 2010. Data variabel yang disertakan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi katarak di RSCM pada tahun 2010 dan faktor yang berhubungan dengan katarak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu usia dan jenis kelamin. Prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2010 adalah sebesar 12,5% dan menempati peringkat pertama penyakit terbanyak. Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada pasien berusia > 40 tahun dari usia< 40 tahun dengan nilai kemaknaan p<0,001 dan terdapat peningkatan kejadian katarak seiring dengan penurunan tingkat pendidikan dengan nilai kemaknaan p=0,030. Sementara, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara variabel jenis kelamin (p=0,235), status pernikahan (p=0,624), pekerjaan (p=0,273), asuransi pembiayaan (p=0,865), status gizi (p=0,523), dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,403) dengan kejadian katarak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia (>40 tahun) merupakan faktor risiko terjadinya katarak. Kata kunci: kebutaan; katarak; faktor berhubungan. ABSTRACT Blindness is the world’s health problem, which the most common cause is cataract, even in Indonesia. This study aims to estimate the prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in 2010 and its correlating factors using cross-sectional study design. Samples of this study were secondary data using medical record, with total amount of 904 samples which were randomly chosen from 147,288 medical records of RSCM policlinic patients in year 2010. Variable data being included in this study were age, gender, education, marital status, jobstatus, utilization of health insurance, nutrient status, lifestyle, and disease history. Data analysis was done to estimate the prevalence of cataract in RSCM in 2010 and its relations with correlating factors. The results showed that only 2 of 11 independent variables was complete, the age and the gender. The prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010 was 12.5% and it had the first rank of the disease. Based on hypothesis test, we obtained that cataract was more common in subject > 40 years old (p<0.001) and there was a trend of increasing cataract’s event with decreasing education (p=0.030). However, other variables such as gender (p=0.235), marital status (p=0.624), job status (0.273), utilization of health insurance (0.865), nutrient status (p=0.523), and disease history (p=0.403) did not have significant different in cataract’s event. Based on the result, it can be concluded that age is the risk factor of cataract. Keywords: blindness; cataract; correlating factors.
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
PENDAHULUAN Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di dunia. Hal ini menjadi perhatian lebih bagi organisasi kesehatan dunia (World Health Organization - WHO). WHO memperkirakan bahwa jumlah orang yang mengalami kebutaan saat ini mencapai lebih dari 50 juta. Sementara, orang yang mengalami gangguan penglihatan signifikan diperkirakan mencapai 135 juta orang.1,2 Sebagian besar orang buta berada di negara-negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, dimana jumlah orang buta di desa dan daerah kumuh perkotaan lebih besar. Risiko kebutaan pada komunitas ini cenderung terabaikan apabila dibandingkan dengan negara-negara maju.2 Penyebab terbanyak kebutaan adalah penyakit katarak. Penyakit ini menyebabkan lebih dari setengah jumlah kasus kebutaan di seluruh dunia. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, jumlah orang yang mengalami kondisi ini semakin meningkat. Prevalensi katarak meningkat seiring dengan pertambahan usia, terutama di negara-negara berkembang. Jumlah penderita katarak diperkirakan akan meningkat dari sekitar 20 juta pada tahun 2000 menjadi 40 juta pada tahun 2020.1,2 Di Indonesia, yang termasuk salah satu negara berkembang, prevalensi kebutaan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 mencapai 0,9% dengan rentang 0,3%-2,6%. Sementara, prevalensi katarak pada responden usia 30 tahun ke atas di Indonesia mencapai 1,8% dengan rentang 1,1%-3,7%. Prevalensi ini meningkat apabila dibandingkan dengan data survey kesehatan rumah tangga tahun 2001 dengan prevalensi katarak 1,2%. Berbagai penelitian global maupun di Indonesia menunjukkan bahwa katarak merupakan penyebab utama kebutaan.3 Katarak merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa usia dan jenis kelamin, sementara faktor ekstrinsik dapat berupa penyakit yang diderita, trauma, nutrisi, gaya hidup, dan faktor sosiodemografi.4 Faktor-faktor ini dapat berbeda dengan kondisi pada negara-negara maju, sehingga prevalensi katarak negara maju dan negara berkembang berbeda. Dengan diketahuinya hubungan antara faktor-faktor tersebut, diharapkan dapat membantu tatalaksana dan pencegahan katarak, baik dari segi modifikasi gaya hidup maupun kondisi sosiodemografi. Berdasarkan data-data dan kondisi yang telah diungkapkan di atas, pada penelitian ini akan dibahas mengenai “Prevalensi Katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Tahun 2010 dan Faktor-faktor yang Berhubungan.”
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
TINJAUAN TEORITIS Katarak. Katarak merupakan suatu kondisi kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat penambahan cairan (hidrasi) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat keduanya. Katarak dapat terjadi pada kedua mata dan progresif, namun juga dapat tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu lama.Penyebab terbanyak kondisi ini adalah penuaan. Namun, adabeberapa faktor lain yang berperan, antara lain: trauma, toksin, penyakit sistemik seperti diabetes, infeksi virus saat perkembangan janin, merokok, herediter, dan penyakit mata lainnya.5,6,7,8,9 Patogenesis. Patogenesis penyakit katarak belum sepenuhnya diketahui. Perubahan degeneratif berkaitan dengan dehidrasi dan pemadatan nukleus lensa. Pada lensa katarak ditemukan karateristik berupa agregat-agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansi lensa. Karakteristik biokimia utama yang terjadi adalah penurunan kadar protein total, asam amino, dan kalium, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi natrium dan hidrasi lensa, yang diikuti oleh koagulasi protein, yang memungkinkan terjadinya kekeruhan pada lensa. Kondisi katarak ini juga dapat berkaitan dengan penumpukan pigmen urokrom dan/atau melanin yang berasal dari turunan asam amino lensa, yang menyebabkan perubahan warna lensa menjadi kuning atau coklat. Beberapa faktor lain yang diduga berperan dalam terbentuknya katarak adalah kerusakan oksidatif akibat radikal bebas, sinar ultraviolet, dan malnutrisi.5,6,10,11 Faktor risiko. Katarak merupakan penyakit multifaktorial, yang dipengaruhi beberapa faktor risiko. Sebagian besar katarak, yaitu hampir 85%, merupakan katarak terkait usia, yang biasanya terjadi pada usia 50 tahun. Prevalensi katarak akan meningkat seiring dengan pertambahan usia, dimana terjadi perubahan-perubahan di dalam lensa, baik karena proses menua maupun adanya faktor dari luar, yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa.6,10 Katarak dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan tanpa adanya perbedaan. Namun, pada beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi katarak pada wanita lebih besar dari lakilaki, yang diperkirakan akibat usia harapan hidup wanita lebih tinggi, sehingga terjadi representasi berlebihan pada usia yang umumnya terjadi katarak.11,12 Pada penelitian Lewallen dan Courtright13 serta Zadoon dkk14, angka operasi katarak di negara-negara berkembang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini menyebabkan angka kejadian katarak yang ditemukan pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Status pernikahan merupakan salah satu dukungan sosial yang diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan dan penanganan komplikasi katarak. Gangguan penglihatan terjadi lebih tinggi pada seseorang yang belum menikah daripada yang telah menikah. Hal ini
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
diperkirakan karena orang yang telah menikah biasanya memiliki tekanan sosial yang lebih untuk datang ke pelayanan kesehatan dan menjaga tanggung jawab keluarga, serta bantuan dalam transportasi lebih mudah daripada seseorang yang belum menikah atau bercerai.15 Pekerjaan berkaitan dengan pajanan terhadap sinar ultraviolet matahari, dimana pajanan berlebihan berkaitan dengan onset dan maturasi katarak lebih awal di berbagai studi epidemiologi.Pekerjaan juga berkaitan dengan tingkat penghasilan seseorang yang berpengaruh terhadap akses layanan kesehatan dan status gizi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pendapatan merupakan salah satu faktor dalam masalah kesehatan, karena kurangnya pendapatan mempengaruhi keterbatasan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang memadai.12,13,15 Pada beberapa studi, disebutkan bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan katarak, dimana katarak lebih sering terjadi pada pasien berpendidikan rendah. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan gaya hidup konsumsi alkohol dan rokok yang lebih tinggi. Merokok dapat menyebabkan akumulasi molekul berpigmen (3-hydroxykynurinie dan kromofor) yang menimbulkan efekwarna kuning pada lensa, sementara sianida pada asap rokok menyebabkan karbamilasi dan denaturasi protein.Pendidikan rendah juga mempengaruhi asupan nutrisi seseorang, dimana asupan vitamin dan nutrisi lain yang tidak adekuat, yang berkaitan dengan perkembangan katarak senilis. Defisiensi zat-zat tertentu, seperti protein, asam amino, vitamin (riboflavin, vitamin E, vitamin C), dan elemen esensial diduga berkaitan dengan onset dan maturasi katarak senilis yang lebih awal.Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah juga berkaitan dengan tingkat pendapatan rendah.6,12,13,15 Penyakit tertentu, seperti diabetes mellitus, berkaitan dengan kejadian katarak.Kondisi hiperglikemia pada diabetes mellitus menyebabkan tingginya kadar glukosa pada aqueous humour, yang akan berdifusi ke dalam lensa, dan akan dimetabolisme oleh aldose reductase menjadi sorbitol yang berakumulasi di dalam lensa, sehingga menyebabkan kondisi hidrasi osmotik sekunder substansi lensa yang berlebihan. Kondisi yang berkelanjutan dapat menyebabkan kekeruhan. Katarak pada pasien diabetes dibedakan menjadi katarak diabetik klasik dan katarak terkait usia. Katarak terkait usia pada pasien diabetes terjadi lebih awal, umumnya berupa kekeruhan nuklear dan cenderung berkembang lebih cepat.6,16,17 Asuransi pembiayaan memiliki kaitan dengan akses pelayanan kesehatan, dimana kepemilikan asuransi kesehatan mendukung masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan yang dibutuhkan secara lebih mudah. Hal ini diakibatkan karena adanya asuransi kesehatan dapat mengurangi hambatan finansial masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
Namun, penelitian mengenai hal ini masih sangat sedikit sehingga teori ini kurang dapat dibuktikan.18 Gejala. Kekeruhan lensa mungkin terjadi tanpa adanya gejala yang menyertai, bahkan tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan.6 Gejala yang umum terjadi pada pasien katarak adalah: merasa silau atau tidak dapat menoleransi cahaya yang terang, seperti sinar matahari atau cahaya dari lampu kendaraan bermotor; penglihatan ganda atau lebih (uniocular polyopia), gambaran halo berwarna; gambaran bintik hitam di depan mata; penglihatan buram, berkabut, dan terjadi distorsi yang dapat muncul pada tahap awal katarak; dan penurunan penglihatan yang terjadi secara bertahap dan progresif tanpa disertai nyeri. Beberapa pasien rabun dekat, awalnya dapat memiliki penglihatan dekat yang membaik sementara itu disebut ‘second sight.’ Namun, kekeruhan akan berjalan progresif dan penglihatan terus berkurang hingga pasien hanya bisa mempersepsikan cahaya dan memproyeksikan sinar pada stadium katarak matur.6,9,10,11 Pemeriksaan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk melihat tanda-tanda lain dari katarak, yaitu: pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan oblique illumination, pemeriksaan bayangan iris (shadow test), pemeriksaan oftalmoskopi langsung, dan pemeriksaan lampu celah (slit-lamp). Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk melihat apakah terdapat penyakit mata lain yang dapat menimbulkan gejala sama atau menentukan prognosis terhadap tatalaksana katarak, yaitu: pemeriksaan lapang pandang, tekanan bola mata, Amsler Grid, retinometri, pencitraan USG, dan refleks pupil. Sebelum prosedur bedah, dapat dilakukan pemeriksaan biometridan integritas kornea.6,11,19 Tatalaksana. Tatalaksana katarak terutama adalah operasi.Operasi yang bisa dilakukan dapat berupa ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE) atau ekstraksi katarak ekstracapsular (ECCE).Tipe dari teknik operasi pada ECCE antara lain: ECCE konvensional, SICS (small incision cataract surgery) manual, dan fakoemulsifikasi. ECCE digunakan sebagai operasi pilihan untuk hampir semua katarak, kecuali pada pasien dengan subluksasi dan dislokasi lensa. Insidens komplikasi yang timbul akibat operasi ini lebih sedikit terjadi apabila dibandingkan dengan ICCE. Untuk mengoreksi afakia, dapat dilakukan pemasangan lensa intraokular.6,19 Pencegahan. Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat mencegah katarak. Umumnya, katarak terjadi seiring dengan pertambahan usia yang tidak dapat dicegah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan mata secara teratur untuk mendeteksi katarak lebih dini dan menghindari faktor-faktor yang dapat mempercepat terbentuknya katarak, seperti dengan cara: tidak merokok, mengatur pola makan sehat, melindungi mata dari sinar
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
matahari, menjaga kondisi tubuh dan mengontrol penyakit-penyakit sistemik yang berkaitan dengan katarak, seperti diabetes mellitus.6,11 METODE Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian bersama, sehingga terdapat kesamaan metode penelitian dengan peneliti lainnya yang bekerja sama dalam pelaksanaan penelitian. Desain penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (cross-sectional study) dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis pengunjung poliklinik rawat jalan RSCM pada tahun 2010. Sampel yang digunakan adalah pasien dengan rentang usia 18-65 tahun. Jumlah minimal sampel yang digunakan adalah 854 sampel, dengan jumlah sampel pria dan wanita masing-masing minimal 427 orang, yang dipilih berdasarkan teknik proportional random sampling.Pemilihan subyek dilakukan dengan melihat data pasien di RSCM per departemen, kecuali departemen anak dan kebidanan, pada tahun 2010, kemudian diambil sesuai besar sampel yang dibutuhkan menggunakan metode perbandingan. Definisi diagnosis katarak pada penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis katarak atau berkode penyakit H25 dan/ atau pasien yang telah dilakukan pemasangan lensa intraokular atau berkode Z96.1 pada rekam medik RSCM. Variabel bebas yang dianalisis pada penelitian ini antara lain usia, tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, status pernikaham pekerjaan, asuransi pembiayaan, tingkat pendidikan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Kemudian dilakukan uji hipotesis dan penilaian prevalence ratio faktor risiko yang didapatkan dari hasil analisa bivariat. Untuk data dengan hasil uji kemaknaan kurang dari 0,25 pada analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis multivariat untuk mencari adjusted relative risk (Adj RR) menggunakan analisa regresi logistik. HASIL Berdasarkan kriteria penelitian, data pasien RSCM yang berkunjung sejak bulan Januari 2010 hingga bulan Desember 2010 yang didapatkan adalah sejumlah 904 data. Dari keseluruhan rekam medis yang diambil, hanya data diagnosis, usia, dan jenis kelamin yang terisi lengkap, sedangkan data lainnya tidak terisi lengkap. Pada data numerik, yaitu tinggi badan terdapat 846 data kosong (93,2%) dan pada data berat badan terdapat 827 data kosong (90,7%). Data berat badan disajikan dengan mean ± simpang baku, yaitu 60,03 ± 13,38. Sedangkan data usia dan tinggi badan disajikan dalam bentuk median ± min-max, yaitu 44 ± 18-65 dan 160 ± 145175. Variabel berupa data kategorikal dikategorisasi berdasarkan sosioekonomi dan demografi serta perilaku kesehatan. Data-data tersebut disajikan pada tabel-tabel berikut ini.
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
Tabel 1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Sosioekonomi dan Demografi N
%
Perempuan
438
48,5
Laki-laki
466
51,5
Cerai
10
1,1
Menikah
288
31,9
Belum Menikah
104
11,5
Tidak ada data
502
55,5
Bekerja
272
30,1
Tidak Bekerja
176
19,5
Tidak ada data
456
50,4
Asuransi
201
22,2
Umum
259
28,7
Tidak ada data
444
49,1
Rendah
34
3,8
Menengah
206
22,8
Tinggi
129
14,2
Tidak ada data
535
59,2
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Pekerjaan
Asuransi Pembiayaan
Tingkat Pendidikan
Tabel 2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Status Kesehatan dan Perilaku N
%
Baik
80
8,8
Kurang - sedang
50
5,5
Tidak ada data
774
85,6
Tidak ada gaya hidup berisiko
15
1,7
Merokok
46
5,1
Gaya hidup berisiko lain
7
0,8
836
92,4
38
4,2
Gangguan pada sistem lain
21
2,3
Tidak ada data
845
93,4
Status Gizi
Gaya Hidup
Tidak ada data Riwayat Penyakit Sebelumnya Kardiovaskular danmetabolik endokrin
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
Sepuluh penyakit terbanyak yang didiagnosis pada sampel disajikan pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Penyakit pada Pasien Dewasa di RSCM Tahun 2010 berdasarkan Sepuluh Penyakit Terbanyak No
Semua Data
N
(%)
Laki-laki
n
(%)
Perempuan
n
(%)
1
Katarak Senilis
93
10,4
Katarak Senilis
42
9,0
Katarak Senilis
51
11,6
2
Hipertensi
74
8,2
Diabetes
39
8,4
Hipertensi
36
8,2
38
8,1
Diabetes
22
5,0
21
4,8
18
4,1
18
4,1
Mellitus Tipe 2 3
Diabetes
61
6,7
Hipertensi
Mellitus Tipe 2 4
Penyakit
Mellitus Tipe 2
tak
51
5,6
teridentifikasi 5
35
7,5
fungsional
Dispepsia
43
4,7
fungsional 6
Dispepsia
38
4,2
tak
teridentifikasi
Penyakit
tak
30
6,4
teridentifikasi
Tuberkulosis
Penyakit
Tuberkulosis
Dispepsia fungsional
22
4,7
Pemakaian lensa intraokuler
7
Pemeriksaan penyakit
35
3,9
atau
Lipid
storage
22
4,7
Jerawat
17
3,8
20
4,3
Nyeri dada
17
3,8
16
3,4
Tuberkulosis
16
3,6
13
2,8
Astigmatisma
15
3,4
disorders
kondisi 8
Lipid
storage
34
3,8
disorders
Pemeriksaan penyakit
atau
kondisi 9
Pemakaian lensa
29
3,2
intraokuler
Hipertensi penyakit
ginjal
kronik 10
Sindrom Nefritik Kronik
27
3,0
Penyakit jantung iskemik
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat 10 besar penyakit dengan frekuensi tertinggi, baik dari data keseluruhan, data laki-laki, maupun data perempuan. Dari data tersebut, terdapat enam penyakit yang mendominasi peringkat 10 besar penyakit tersebut, yaitu katarak senilis, hipertensi, diabetes melitus tipe 2, tuberkulosis, dispepsia dan penyakit tak teridentifikasi. Analisa Hubungan Variabel Sampel Terhadap Katarak. Dari keseluruhan data, jumlah pasien katarak, meliputi pasien yang didiagnosis katarak senilis dan memakai lensa intraokular, adalah 113 data dari 904 data atau sebesar 12,5%. Dari data numerik yang ada, variabel tinggi badan dan berat badan tidak dapat dianalisis karena ketidaklengkapan data. Analisa hubungan variabel sampel terhadap katarak disajikan dalam tabel 4 berikut ini.
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
Tabel 4. Hubungan Variabel Sosioekonomi dan Demografi dengan Katarak Katarak (+) n
(-) %
N
P
RP (95% CI: min – max)
%
Usia
<0.001
> 40 tahun
90
17,2
432
82,8
2,9 (1,8 - 4,5)
< 40 tahun
23
6
359
94
1 (ref)
Jenis Kelamin
0,097
Perempuan
63
14,4
375
85,6
1,3 (0,9-1,9)
Laki-laki
50
10,7
416
89,2
1 (ref)
Status Pernikahan
0,624
Cerai
1
10
9
90
1,7 (0,2-14,4)
Menikah
25
8,7
263
91,3
1,5 (0,6-3,6)
Belum Menikah
6
5,8
98
94,2
1 (ref)
Pekerjaan
0,273
Tidak Bekerja
5
2,8
171
97,2
2,6 (0,6-10,8)
Bekerja
3
1,1
269
98,8
1 (ref)
Asuransi Pembiayaan
0,865
Asuransi
32
15,3
177
84,6
1,0 (0,6-1,7)
Umum
37
14,7
214
85,3
1 (ref)
Tingkat Pendidikan
0,041
Rendah
10
29,4
24
70,6
2,2 (1,0-4,9)
Menengah
46
22,3
160
77,6
1,6 (1,0-2,9)
Tinggi
17
13,2
112
86,8
1 (ref)
Berdasarkan hubungan antara variabel sosiodemografi dengan katarak terlihat bahwa variabel yang memiliki perbedaan bermakna adalah usia dan tingkat pendidikan. Sedangkan, variabel yang tidak memiliki perbedaan bermakna adalah jenis kelamin, pekerjaan, asuransi pembiayaan, dan status pernikahan. Variabel status kesehatan meliputi status gizi dan riwayat penyakit sebelumnya. Sementara, perilaku kesehatan dilihat berdasarkan gaya hidup. Berdasarkan status gizi, jumlah pasien katarak yang memiliki status gizi baik adalah 2 orang (2,5%) dan tidak terdapat pasien katarak yang memiliki status gizi sedang maupun kurang. Secara statistik, ketiga status gizi tersebut tidak memiliki perbedaan bermakna (p=0,523). Berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya, jumlah pasien katarak dengan riwayat penyakit kardiovaskular dan metabolik endokrin sebanyak 6 orang (15,7%), serta gangguan pada sistem lain sebanyak 1 orang (4,8%). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna antara variabel riwayat penyakit
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
sebelumnya dengan katarak (p=0,403). Sementara, pada variabel gaya hidup tidak dapat dilakukan analisis karena ketidaklengkapan data. Dari analisis bivariat regresi biner diperoleh variabel yang memungkinkan terjadinya peningkatan risiko untuk terjadinya katarak adalah usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan riwayat penyakit sebelumnya. Faktor risiko dengan nilai kemaknaan dari analisis bivariat kurang dari 0,25 disertakan pada analisis multivariat regresi logistik untuk mendapatkan adjusted RR (RRa), yaitu variabel usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.Berikut ini merupakan tabel hasil analisis multivariat regresi logistik. Tabel 4.5. Faktor Determinan Katarak Berdasarkan Variabel Sosioekonomi dan Demografi Katarak (+) n
(-) %
N
%
p Adj. RR (95% CI: min – max)
Usia
<0.001
> 40 tahun
66
20,2
261
79,8
4,0 (2,2-7,3)
< 40 tahun
47
8,1
530
91,8
1 (ref)
Jenis Kelamin
0,235
Perempuan
63
14,4
375
85,6
1,4 (0,8-2,4)
Laki-laki
50
10,7
416
89,2
1 (ref)
Tingkat Pendidikan
0,030
Rendah
10
29,4
24
70,6
0,9 (0,4-2,1)
Menengah
46
22,3
160
77,6
2,1 (0,9-5,4)
Tinggi
17
13,2
112
86,8
1 (ref)
Dari hasil analisis multivariat dengan penyesuaian antar variabel, diperoleh bahwa faktor risiko sebagai determinan terjadinya katarak adalah usia dan tingkat pendidikan. PEMBAHASAN Keterbatasan Penelitian. Pada penelitian ini, terdapat kekurangan berupa ketidaklengkapan data variabel faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan katarak akibat kekosongan data pada rekam medik pasien. Variabel yang terisi lengkap seluruhnya hanya variabel diagnosis, jenis kelamin, dan usia. Variabel lain tidak lengkap dengan jumlah bervariasi, mulai dari 49,1% pada variabel asuransi pembiayaan hingga 93,6% pada variabel riwayat penyakit sebelumnya. Ketidaklengkapan data ini menyebabkan beberapa variabel, sepertiberat badan,
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
tinggi badan dan gaya hidup,tidak dapat dianalisis dan memungkinkan terjadinya perbedaan hasil pada penelitian ini dengan hasil yang didapatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Prevalensi Katarak di RSCM tahun 2010. Pasien yang didiagnosis katarak, baik yang belum maupun yang sudah dilakukan operasi katarak di RSCM pada tahun 2010 memiliki proporsi sebesar 12,5%. Persentase ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan persentase pasien yang pernah didiagnosis katarak berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 20073, yaitu 1,8%. Di DKI Jakarta sendiri, proporsi penduduk yang mengalami katarak sebesar 2,9%, sementara penduduk yang mengaku pernah didiagnosis katarak atau memiliki gejala penglihatan berkabut dan silau sebesar 10,5%. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam sarana dan kemampuan mendiagnosis katarak sehingga jumlah penduduk yang dapat dideteksi juga berbeda. Selain itu, RSCM merupakan rumah sakit rujukan yang menjadi tujuan pengobatan dimana karakteristik orang berkunjung adalah orang yang sakit, sehingga prevalensi penyakit yang ditemukan akan lebih banyak. Hubungan antara Usia dan Katarak. Proporsi pasien katarak berusia > 40 tahun lebih besar dari pasien katarakberusia < 40 tahun, yaitu 20,2%, dengan risiko empat kali lipat lebih tinggi untuk mengalami katarak(RRa 4,0; 95% CI: 2,2-7,3). Secara statistik, keduanya memiliki perbedaan bermakna (p<0,001). Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Arimbi4 dan Pujiyanto12, yang menunjukkan bahwa usia memiliki perbedaan bermakna secara statistik dengan peningkatan risiko seiring dengan pertambahan usia. Hal ini juga didukung oleh teori yang menyebutkan hampir 85% katarak adalah katarak terkait usia, dimana prevalensi katarak akan meningkat seiring dengan pertambahan usia akibat terjadinya perubahan-perubahan di dalam lensa, baik karena proses menua maupun adanya faktor dari luar, yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa. Pada penelitian ini ditemukan bahwa katarak mulai ditemukan dalam usia lebih awal, yaitu usia > 40 tahun, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan gaya hidup dan munculnya penyakit sistemik lebih awal. Hubungan antara Jenis Kelamin dan Katarak. Proporsi laki-laki dan wanita yang mengalami katarak tidak berbeda jauh, yaitu 10,7% untuk laki-laki dan 14,4% untuk perempuan. Keduanya tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p=0,097). Risiko pada subjek perempuan untuk mengalami katarak hampir sama dengan risiko pada subjek laki-laki (RP 1,3; 95%CI: 0,9-1,9).Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Arimbi4, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara jenis kelamin dan katarak. Namun, hasil ini tidak sesuai dengan penelitian dari Pujiyanto12 yang menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan katarak (p=0,03) dengan risiko pada wanita untuk mengalami katarak lebih tinggi
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
daripada laki-laki. Berdasarkan teori, katarak dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi katarak pada wanita lebih besar dari lakilaki yang diperkirakan karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi, sehingga terjadi representasi berlebihan.Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh metode penelitian yang digunakan berbeda dan jumlah responden laki-laki dan perempuan hampir sama, sehingga tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik pada laki-laki maupun perempuan. Hubungan antara Status Pernikahan dan Katarak. Berdasarkan status pernikahan, proporsi katarak pada masing-masing status pernikahan tidak berbeda jauh, yaitu 10% (cerai), 8,7% (menikah), dan 5,8% (belum menikah). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna diatara ketiganya (p=0,624). Risiko subjek yang berstatus cerai sebesar hampir dua kali lipat (RP 1,7; 95% CI: 0,2-14,4)dan risiko pada subjek yang berstatus menikah sebesar satu setengah kali lipat lebih tinggi (RP 1,5; 95% CI: 0,6-3,6)apabila dibandingkan dengan risiko subjek yang berstatus belum menikah Berdasarkan teori, status pernikahan merupakan dukungan sosial, dimana orang telah menikah yang dipengaruhi oleh adanya tekanan sosial yang lebih pada subjek yang menikah untuk datang ke pelayanan kesehatan dan menjaga tanggung jawab keluarga, serta bantuan dalam transportasi lebih mudah daripada seseorang yang bercerai atau belum menikah. Hubungan antara Pekerjaan dan Katarak. Proporsi penderita katarak yang tidak memiliki pekerjaan (2,8%) lebih besar daripada penderita katarak yang bekerja (1,1%). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p=0,273). Risiko pada subjek yang tidak bekerja sebesar hampir tiga kali lipat untuk mengalami katarak apabila dibandingkan dengan risiko pada subjek yang bekerja (RP 2,6; 95% CI: 0,6-1,8).Pekerjaan berpengaruh terhadap pajanan risiko dan pendapatan yang berkaitan dengan katarak. Hal ini berbeda dengan penelitian dari Pujiyanto12 yang menyebutkan bahwa pekerjaan dan tingkat penghasilan memiliki hubungan bermakna dengan katarak (p<0,001). Hasil penelitian yang berbeda ini dapat dipengaruhi oleh tidak adanya data jumlah penghasilan dan pajanan risikoyang didapat dari pekerjaan tersebut karena tidak disebutkan secara detail pada rekam medik pada penelitian di RSCM serta adanya ketidaklengkapan data, sehingga tidak dapat menggambarkan hasil secara umum. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hubungan antara Asuransi Pembiayaan dan Katarak. Proporsi pasien katarak yang membayar menggunakan asuransi sebanyak 15,3%, sementara pasien tanpa asuransi sebesar 14,7%. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna diantara keduanya (p=0,865). Risiko pada subjek yang menggunakan asuransi sama dengan risiko pada subjek yang tidak menggunakan asuransi untuk mengalami katarak (RP 1,0; 95% CI: 0,6-1,7).Asuransi
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
pembiayaan berkaitan dengan akses pelayanan kesehatan. Kepemilikan asuransi kesehatan dapat membuat masyarakat lebih mudah menjangkau pelayanan kesehatan karena dapat mengurangi hambatan finansial untuk menjangkau pelayanan kesehatan. Namun, teori ini kurang dapat dibuktikan karena penelitian mengenai hal tersebut masih sedikit. Hasil penelitian yang tidak sesuai dengan teori dapat disebabkan oleh keterbatasan jumlah data dan lingkup data yang hanya diambil di RSCM, sehingga kurang mewakili gambaran secara umum. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dan Katarak. Pasien katarak memiliki tingkat pendidikan rendah memiliki proporsi terbesar, yaitu 29,4%. Proporsi pasien katarak dengan pendidikan menengah dan tinggi masing-masing sebesar 22,3% dan 13,2%. Secara statistik, ketiganya memiliki perbedaan bermakna (p=0,030). Subjek yang memiliki pendidikan rendah memiliki risiko hampir sama untuk mengalami katarak dibandingkan dengan subjek yang memiliki pendidikan tinggi (RRa 0,9; 95% CI: 0,4-2,1). Pada subjek yang memiliki pendidikan menengah, risiko untuk mengalami katarak sebesar dua kali lipat lebih tinggi apabila dibandingkan dengan subjek berpendidikan tinggi (RRa = 2,1; 95%CI: 0,9-5,4).Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Pujiyanto12 yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan secara statistik memiliki perbedaan bermakna. Namun, dalam penelitian tersebut, responden pendidikan rendah memiliki risiko lebih besar untuk mengalami katarak. Berdasarkan teori, pendidikan yang rendah berkaitan dengan adanya riwayat konsumsi alkohol dan rokok yang lebih tinggi, rendahnya asupan vitamin dan nutrisi lain, serta penghasilan rendahyang merupakan faktor risiko katarak. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh ketidaklengkapan data pada penelitian ini, sehingga hasil perbedaan bermakna pada variabel tingkat pendidikan masih diragukan. Hubungan Status Gizi dan Katarak. Berdasarkan status gizi, jumlah pasien katarak yang memiliki status gizi baik adalah 2 orang (2,5%). Tidak terdapat pasien katarak yang memiliki status gizi sedang maupun kurang. Secara statistik, ketiga status gizi tersebut tidak memiliki perbedaan bermakna (p=0,523). Berdasarkan teori, asupan gizi yang kurang dapat mempengaruhi perkembangan katarak senilis secara lebih cepat.Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujiyanto12 yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara asupan protein dengan katarak, dimana responden yang mengonsumsi protein yang lebih rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk mendapatkan katarak. Perbedaan ini dapat terjadi karena data pada penelitian ini tidak terisi lengkap dan ukuran variabel yang digunakan berbeda. Status nutrisi pada penelitian ini didapatkan dari data rekam medik yang belum
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
menunjukkan jumlah asupan nutrisi pada responden, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Hubungan Riwayat Penyakit dan Katarak. Berdasarkan riwayat penyakit pasien katarak, proporsi riwayat penyakit kardiovaskular dan metabolik endokrin (15,7%) lebih banyak daripada proporsi gangguan pada sistem lain (4,8%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p=0,403). Subjek dengan riwayat penyakit kardiovaskular dan metabolik endokrin memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengalami katarak apabila dibandingkan dengan risiko pada subjek dengan riwayat penyakit lain (RP 3,3; 95% CI: 0,427,5).Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Arimbi4 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara penyakit diabetes mellitus dan katarak. Responden yang memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami katarak. Secara teori, adanya penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat mempercepat terjadinya katarak senilis. Perbedaan hasil penelitian dengan teori dan hasil penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh faktor ketidaklengkapan data yang diperoleh, sehingga kurang dapat menggambarkan hubungan riwayat penyakit sebelumnya dengan pasien katarak. KESIMPULAN Dari 904 rekam medik yang terpilih sebagai sampel pada penelitian ini, hanya terdapat 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu variabel usia dan jenis kelamin. Pada penelitian ini, katarak menduduki peringkat pertama penyakit terbanyak yang didiagnosis di RSCM pada tahun 2010. Pasien yang datang untuk rawat jalan RSCM dengan katarak selama tahun 2010 sejumlah 12,5% dari 904 sampel, dengan perincian 10,7% pasien katarak berjenis kelamin laki-laki dan 14,4% pasien katarak berjenis kelamin perempuan. Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa usia merupakan faktor risiko terjadinya katarak. SARAN Bagi RSCM disarankan untuk meningkatkan kualitas dalam pengisian rekam medik RSCM
supaya tidak banyak data pasien yang kosong, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang menjamin kesinambungan dan pendekatan menyeluruh dalam menatalaksana pasien sertadapat memudahkan pengambilan data maupun kepentingan lain dengan adanya catatan medik yang lengkap dengan cara mengadakan quality control. Bagi dokter dan praktisi kesehatan disarankan untuk memberi perhatian yang lebih mengenai permasalahan katarak yang berdasarkan hasil penelitian ini menduduki peringkat pertama penyakit terbanyak di poliklinik rawat jalan RSCM pada tahun 2010, baik dari segi
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
pencegahan, diagnosis dini, serta deteksi komplikasi. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan untuk menganalisa lebih dalam mengenai variabel-variabel yang ditemukan berhubungan bermakna maupun variabel yang belum dapat dianalisis pada penelitian ini, seperti konsumsi alkohol, merokok, tingkat penghasilan, serta paparan terhadap sinar UV. KEPUSTAKAAN 1. Brian G, Taylor H. Cataract blindness – challenge for 21st century. Bulletin of the World Health Organization, 2001; 79: 249-250. 2. Whitcher JP. Kebutaan. Dalam: Whitcher JP, Eva PR. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h. 416-418. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. 4. Arimbi AT. Faktor-faktor yang berhubungan dengan katarak degeneratif di RSUD Budhi Asih [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia; 2012. h. 1-2. 5. Whitcher JP, Eva PR. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. 6. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. 4th Ed. New Delhi: New Age International Ltd; 2007. p. 167-94. 7. Kanski JJ. Clinical ophtalmology. 6th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2007. 8. Harper AR, Shock JP. Lens. In: Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 16th Ed. San Francisco: McGraw-Hill Company; 2007. 9. Ilyas S. Katarak: Lensa Mata Keruh. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. 10. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. 11. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSCM FKUI; 2011. p. 68-78. 12. Pujiyanto TI. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian katarak senilis [thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004. 13. Lewallen S, Courtright P. Gender and use of cataract surgical services in developing countries. Bull World Health Organ. 2002; 80(4): 300-3. 14. Jadoon Z, Shah SP, Bourne R, Dineen B, Khan MA, Gilbert CE, et al. Cataract
prevalence, cataract surgical coverage and barriers to uptake of cataract surgical services in Pakistan: the Pakistan National Blindness and Visual Impairment Survey. Br J Ophthalmol. 2007; 91(10): 1269–1273.
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013
15. Argawal S, Argawal A, Apple DJ, Buratto L, Alio JL, Pandey SK, et al. Textbook of
ophthalmology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2002. p. 1590-1612. 16. Kim SI, Kim SJ. Prevalence and risk factors for cataracts in persons with type 2 diabetes mellitus. Korean J Ophthalmol. 2006; 20(4): 201-4. 17. Raman R, Pal SS, Adams JSK, Rani PK, Vaitheeswaran K, Sharma T. Prevalence and Risk Factors for Cataract in Diabetes: Sankara Nethralaya Diabetic Retinopathy Epidemiology and Molecular Genetics Study. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.2010; 51 (12): 6253-6261. 18. Littik S. Hubungan antara kepemilikan asuransi kesehatan dan akses pelayanan kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. MKM Vol. 3 No. 1 Juni 2008. 19. American Optometric Association. Care of the Adult Patients with Cataract. Diunduh dari: http://www.aoa.org/documents/CPG-8.pdf (9 Februari 2013).
Prevalensi katarak..., Aghnia Permatasari, FK UI, 2013