Disusurinya koridor Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu dengan langkah-langkah pasti. Ia sudah tahu tujuannya. Setelah belokan itu, akan sampailah ia. Di sana, di tempat delapan tahun yang lalu, gadis tersayangnya pernah berdiri membelakanginya, menatap sebuah papan. Ia tak bisa melihat ekspresinya. Ketika ia memanggil namanya, gadis itu menoleh dengan wajah yang pucat. Tak seperti biasa. Tatapannya pun hampa. Juga tak seperti biasa. Ia menjawab panggilannya dengan suara yang, anehnya, seceria biasanya, “Hei, Sandra!” “Lagi lihat apa, Sit?” “Ini.” Sandra mendekati gadis itu, berdiri di sisinya. Ia melihat apa yang sedang dilihat gadis itu. Sebuah papan yang ditempeli foto-foto wajah-wajah pucat, tampaknya mayat. Ia bergidik. Di bagian atas papan itu, tertulis, “Bantu Kami Kenali Mereka.” “Papan apa ini, Sit?” Sebetulnya ia sudah bisa menebak jawabannya, tapi ia masih merasa perlu bertanya. Sebab ia tak suka apa yang ia yakin ada di dalam pikiran si gadis tersayang. “Ini mayat-mayat tak dikenal yang ditemukan warga. Di tepi jalan, di kolong jembatan, juga mengambang di kali. Mungkin warga yang membawanya ke sini, mungkin juga polisi. Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga biasanya pergi ke sini untuk melihat-lihat, siapa tahu di antara foto ini ada orang yang mereka cari.” Keduanya terdiam sejenak. Lalu gadis itu menoleh. “Berjanjilah.”
Sandra menggeleng, “Aku enggak mau. Aku tahu apa yang mau kamu minta, Sit, tapi aku enggak mau. Karena enggak akan ada apa pun yang terjadi padamu.” “Berjanjilah.” Ia menggeleng lagi. “Berjanjilah kamu akan mencariku di sini bila suatu hari nanti aku menghilang.” “Dan kenapa kamu harus menghilang?” “Karena aku telah memberitahumu sesuatu yang harusnya tak dibeberkan pada orang lain.” “Kamu akan baik-baik saja.” “Berjanjilah satu hal lagi.” Sandra diam. Ia sudah tahu apa yang akan diminta gadis itu. Mereka telah berbagi kontrakan selama hampir empat tahun. Mereka sering sudah tahu apa yang akan dikatakan yang lain walaupun kata belum terucap. “Jagalah orang tuaku. Kunjungi mereka sesering engkau mampu. Mereka pasti akan kesepian kalau aku tak ada.” Tangisnya pecah. Bagaimana bisa gadis tersayangnya ini mengatakan hal begitu sedih dengan suara biasa-biasa saja? Gadis itu tersenyum, bibirnya gemetar, “Harusnya aku yang menangis, Ndra.” Sebulan berlalu. Dua bulan. Tak ada yang terjadi. Ia mulai melupakan percakapan itu dan yakin segalanya akan berjalan lancar. Lalu gadis tersayangnya hilang saat sedang bersama lelaki pilihan jantungnya. Ia menghentikan langkahnya di tempat papan itu dulu berada. Ya, dulu. Sebab sejak 2002, papan itu dialihfungsikan dengan alasan yang ia juga tak terlalu mengerti. Sejak itu, ia harus masuk ke ruang Tata Usaha, membawa foto orang yang ia cari, membeberkan ciri-ciri terakhir saat orang itu diketahui
2
hilang. Pihak Tata Usaha akan mencari di data komputer. Jawabannya selalu, “Belum ada, Mbak.” Lalu sejak 2006, ia harus mencari sendiri ke kamar mayat. Melalui prosedur yang sama. Bertanya pada mantri jaga. Mendapat jawaban yang sama pula. Lalu mengapa ia masih rutin ke sini bila papan itu sudah tak ada? Entahlah. Mungkin karena ia ingin mengulangi ingatan tentang sahabat tersayangnya itu. “Sandra?” Ia tercekat. Suara yang ia kenal. Sandra menoleh dan mendapati sosok perempuan berjilbab, berkulit putih, tersenyum padanya. Jas putihnya melambai-lambai. Orang inilah yang pertama kali Sandra temui saat ia ke sini. Saat ia menelusuri foto demi foto dengan perasaan tak menentu. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia tak tahu apakah ia ingin menemukan foto sahabatnya di situ atau tidak. Perempuan inilah yang saat itu menemaninya. Menghiburnya saat ia tak kuasa menahan tangis. Mengajaknya ke suatu sudut untuk bercerita dengan lebih leluasa. Perempuan ini adalah seorang dokter forensik yang memiliki nama yang enak didengar: Oktavinda. Tapi entah kenapa orang-orang memanggilnya dokter Idhoen. Sejak itu, mereka mulai berteman. “Iya, Dok.” “Sudah ada kabar?” Sandra menggeleng. Perempuan itu menepuk bahunya penuh simpati, “Mungkin lain kali,” katanya lembut. “Sudah delapan tahun, Dok....” Sandra meremas bagian kiri atas dadanya. Suatu gerakan tanpa sadar yang sering ia lakukan tiap kali jantungnya seakan teriris karena membayangkan nasib sahabatnya itu.
3
“Insya Alloh, kelak ada kabar,” dokter itu menepuk pundak Sandra sekali lagi, “Teruslah berdoa. Alloh Maha Mendengar.” Sandra mengangguk. “Kamu sendiri, apa kabar? Bekerja di mana sekarang?” Sandra meringis. “Masih berusaha jadi penulis, Dok….” Dokter itu masih diam, menunggu kata-kata Sandra selanjutnya. Tapi Sandra melanjutkannya dalam hati, Dan masih saja gagal. “Yah…” Dokter itu menggaruk-garuk kepalanya, “Ini memang bukan urusan saya, tapi memangnya kamu enggak berminat kerja di instansi atau perusahaan tertentu?” Sandra tersenyum pahit, “Saya hanya mau jadi penulis, Dok.” Dokter tersenyum, “Baiklah. Just asking.” “Saya pulang dulu ya, Dok. Masih ada urusan,” Sandra mengulurkan tangan. Mereka berjabatan tangan. “Sampai ketemu, Ndra. Jangan berhenti berdoa.” Sandra mengangguk.
4
“Aassalamualaikum.” Sandra membuka pagar rumahnya dengan gontai. Sepanjang perjalanan, ia terus-menerus teringat mimik dokter Idhoen tadi saat ia mengatakan hanya ingin menjadi penulis. Semua orang yang ia kenal, pasti akan mengeluarkan mimik seperti itu. Penulis? Memangnya itu pekerjaan? Sekadar hobi, bolehlah. Tapi dijadikan sumber mata pencaharian? Apa kamu sudah gila? Menulis itu kan bisa dilakukan semua orang. Lulusan fakultas teknik pun bisa jadi penulis, best seller malah. Enggak usah terlalu idealis, lah. Mentangmentang lulusan sastra, terus mau jadi penulis, gitu? Hidup ini berat, Nak! Butuh uang! Dan kamu masih punya tanggungan! “Waalaikumussalam! Kak! Kakak!” Nadia, adik bungsunya, berlari-lari dari rumah sambil melambai-lambaikan sebuah majalah. Sandra tersenyum lembut. Ah, ya. Tidak semua orang. Setidaknya, masih ada satu orang yang mendukungnya penuh. Orang pertama yang terbelalak kagum saat ia menunjukkan cerpen pertamanya yang dimuat di sebuah harian ibukota. Orang yang memekik bangga setiap kali ia menunjukkan nama dan judul cerpennya yang memenangi berbagai sayembara menulis cerpen. Orang yang ikut menangis bahagia saat novel pertamanya naik cetak. Begitu juga saat novel kedua dan ketiganya menyusul. Orang yang selalu dengan bangga membawabawa semua majalah atau koran yang memuat cerpennya ke sekolah, menunjukkannya pada semua temannya dan berkata, “Ini tulisan kakakku, lho.” Nadia menyodorkan majalah itu pada Sandra. Matanya berpendar bangga, “Coba lihat! Baca, deh!”
5
Sandra melihat cover majalah itu dan mengernyitkan kening. Seingatnya, ia tak pernah mengirimkan cerpennya ke majalah ini. Ia membaca judul cerpen yang ditunjukkan adiknya. KOTAKU, KOTA ZOMBI oleh: Nadia Mutiara Perut Sandra bergejolak. Melihat nama adiknya terpampang seperti itu di majalah, membuat perasaan Sandra jadi tak menentu. Bangga, tentu saja. Tapi perutnya juga terpilin oleh sebuah perasaan yang sekaligus membuatnya malu pada dirinya sendiri. Iri. Ya. Ia merasa iri pada adiknya. “Kak, kok malah bengong? Ayo terusin bacanya!” Sandra memegangi majalah di hadapannya. Matanya nanar berlarian di atas kalimat demi kalimat yang ia baca. Tangannya makin erat meremas. Nadia menyeringai puas di depannya. “Gimana, Kak? Bagus, kan?” “Sudah pasti bagus kalau sampai bisa dimuat, Nad,” desis Sandra. Bagaimana mungkin? Kamu kan masih kelas dua belas! Kok, tulisanmu sudah sebagus ini??!! Hatinya berteriak tak rela. Nadia tersenyum lebar. Sandra berganti-ganti menatap majalah di tangannya ini, lalu menatap adiknya. Perlahan, rasa bangganya menyeruak, menggantikan rasa iri aneh yang sesaat tadi menguasainya. Sanda tersenyum bangga. “I’m so proud of you,”katanya tulus. “Terima kasih, semua ini berkat Kakak. Kalau Kakak enggak mengajariku menulis, aku juga enggak akan bisa.” “Bukan begitu. Kakak kan, cuma mengajari teknik menulis. Tapi cara kamu mengembangkan tema, membuat plot, itu sesuatu yang enggak bisa diajarkan secara teori. Itu muncul dari cara pikir kamu, cara kamu melihat segala
6
sesuatu, dan secara enggak langsung, muncul dari buku-buku yang pernah kamu baca.” Nadia mengangguk senang, “Suatu hari nanti, aku juga akan jadi seperti Kakak.” “Maksudmu, jadi penulis gagal?” tanya Sandra sambil tersenyum pahit. Nadia menggeleng keras, “Aku enggak pernah menganggap Kakak penulis gagal. Kakak mungkin hanya kurang menguasai teknik sales and marketing, makanya novel Kakak enggak ada yang jadi best seller, he he he….” “Dasar kamu,” Sandra mengacak-acak rambut adiknya. “Tapi aku serius, Kak. Aku mau jadi penulis juga.” “Kamu masih muda, Nad. Jalan kamu masih panjang. Kenapa kamu enggak bisa ambil hikmah dari hidup Kakak? Kamu enggak lihat, Kakak sudah setua ini, enggak punya aset, enggak punya kendaraan pribadi, tabungan tiris, laptop masih yang sama dengan yang Kakak pakai waktu Kakak kuliah dulu, ponsel juga enggak ganti-ganti, enggak punya semua yang sekarang dimiliki teman-teman Kakak.” “Tapi semua teman Kakak juga enggak memiliki apa yang sekarang Kakak punya.” “Apa itu?” “Karya.” Sandra terdiam. “Kakak punya sesuatu yang akan terus ada setelah Kakak meninggal nanti. Ide yang Kakak tulis dalam novel dan cerpen Kakak itu, akan terus dibaca orang.” “Atau mungkin tertumpuk di gudang.” “Kakak mulai terdengar seperti Mama.” “Hah? Jadi, Mama sudah tahu tentang cerpen kamu ini?”
7
Nadia mengangguk. Sinar di matanya meredup, “Mama malah ngomongnya lebih pedas lagi. Katanya, ‘Baru satu cerpen saja, kamu sudah langsung mimpi mau jadi penulis!’” “Dan habis itu pasti kalimat terusannya adalah, ‘Coba lihat itu Kakakmu! Bla bla bla,’ ya kan?” Nadia terdiam, menundukkan kepala. Sandra tahu, Nadia tak perlu menjawab. Mama pasti marah besar. Nanti begitu ia masuk rumah, mama pasti akan langsung membuat sidang dadakan dengan Sandra sebagai terdakwa. Mama sangat tak suka saat Sandra memutuskan menjadi penulis purnawaktu alih-alih bekerja kantoran. Sekarang, pasti mama bertambah marah saat mengetahui Nadia mulai mengikuti jejaknya. Langkah Sandra lebih gontai lagi saat memasuki rumah daripada saat ia baru membuka pagar.
8
“Med! Medi! Tolong! Tolong aku, Med!” Medi bangun dengan malas-malasan, sebab ia tahu, walaupun suara di luar terdengar begitu menyayat dan suara pintu kamar kostnya yang digedorgedor begitu rupa menyiratkan permasalahan antara hidup dan mati, masalah sahabatnya tidaklah seberat itu. Paling-paling ia hanya butuh tempat menginap malam ini. Tapi Medi juga tak bisa mengabaikannya. Ia harus membukakan pintu kamarnya, sebab kalau tidak, Sandra akan terus melolong-lolong. Orang-orang di kamar sebelah akan keluar kamar dan ikut menggedor-gedor kamarnya. Tak ada yang tahan mendengar suara memelas Sandra. Mungkin suatu hari nanti aku akan pindah kost tanpa kasih tahu alamat yang baru ke dia. Atau pindah ke apartemen yang pakai bel, atau yang kedap suara sekalian, pikir Medi sambil memutar kunci. Begitu pintu dibuka, Sandra menyerbu masuk dan duduk di ranjang dengan wajah minta dikasihani. Sandra tak berkata apa-apa, tapi Medi sudah paham. “Iya, iya. Kamu boleh nginap di sini.” Air muka Sandra berubah. Senyumnya mengembang. “Makasih, Med, kamu memang sahabat terbaikku!” ia menabrak Medi dalam pelukan. “Ih, sudah, ah! Aku enggak suka dipeluk cewek!” Sandra melepaskan pelukannya dan membanting diri ke atas kasur, berbaring telentang. “Kenapa lagi sekarang? Masih kabur gara-gara enggak tahan dengar omelan Mama tentang masalah yang itu-itu juga?” Sandra menghela napas. Medi juga. Lebih keras, malah.
9
“San, aku ngerti kamu pengin banget jadi penulis. Tapi aku juga bisa ngerti keinginan mamamu supaya kamu kerja kantoran dan ikut membantu keluarga. Biar gimana, kamu itu anak pertama dan adik-adikmu masih sekolah. Nadia masih SMA dan Mario baru saja masuk SMP. “Menurut kamu, buat apa orang tuamu bela-belain kerja keras dari pagi sampai malam sampai kamu jadi sarjana? Lulusan dari universitas negeri terbaik pula! Buat apa, coba? Supaya kamu punya masa depan yang lebih cerah, San. Supaya bisa berbagi dengan orang tuamu, ikut menanggung kedua adikmu. Masa depan cerah sama dengan pekerjaan dengan gaji tinggi! Apalagi kamu pintar bahasa Inggris dan komputer. Harusnya kamu memang sudah dari dulu kerja di tempat bagus. Soalnya kamu masih punya tanggung jawab, San….” Sandra menunduk lemah. “Iya, Med, aku tahu. Apalagi, sejak papa meninggal tahun lalu, hidup makin berat saja bagi kami. Tapi kamu kan, tahu, aku pernah coba kerja kantoran. Dan aku enggak suka! Tiap orang berusaha keras menjilat atasan, berusaha jadi yang terbaik walaupun itu berarti harus menginjak orang lain, belum lagi tingkat pelecehan seksual yang tinggi!” Medi menggeleng-gelengkan kepala, “Itu karena orang-orang pengin maju! Mana ada karyawan yang mau kerja di bagian itu-itu saja selama bertahuntahun dan enggak pernah dapat promosi? Lagian, San, buat kamu, diajak makan siang oleh teman kantor cowok juga sudah kamu kategorikan sebagai pelecehan seksual sih, terang saja kamu enggak betah!” “Terang saja bagi aku itu pelecehan seksual, yang ngajak kan, sudah beristri!” “Ya, kamu tahan-tahan saja, atau bilang baik-baik kalau kamu enggak mau. Bukannya menolak dengan pedas. Itu kan, gunanya komunikasi?” Sandra manyun. “Selain itu, kalau kerja, kamu punya penghasilan bulanan!”
10