PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza H5N1 Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-Idiotipe adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2010
Ketut Karuni Nyanakumari Natih NIM B161060031
ABSTRACT KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. The Preparation of Candidate Vaccine Avian Influenza H5N1 Using The Principle of Anti-idiotype Antibody. Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, and FACHRIYAN H. PASARIBU Avian Influenza (AI) represent one of the greatest concerns for public health that has emerged from the animal reservoir in recent time. The aim of this research was to prepare candidate vaccine AI H5N1 using the principle of anti-idiotype antibody. A polyclonal antibody was collected from guinea pigs which had been immunized with inactivated AI vaccine H5N1 Legok strain. Antibody of H5N1 AI in serum was detected using an Agar Gel Precipitation Test and Hemmaglutination Inhibition Test. The highest titre of antibody was obtained one week after the third immunization. Serum of guinea pigs which contain IgG was purified using the montage antibody purification kit & spin column with prosep A media (Millipore). The AI H5N1 IgG concentration was 8 mg/ml. AI H5N1 IgG, was then cut with a pepsin enzym to obtain F(ab)2; it was called Ab1. The concentration of IgG and F(ab)2 and purity of IgG were determined by UV spectrophotometer and showed that Ab1 concentration was 1 mg/ml. Molecular weight was established by Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis. Production of Ab2 was done by inoculation of rabbits with Ab1. The first immunization with 500 µg of Ab1 in Complete Freund Adjuvant was applied subcutaneously. The immunization was repeated with the same dose in Incomplete Freund Adjuvant at 1 week intervals. One week after the second dose of immunization, the rabbit’s serum was harvested and IgG was purified using the montage antibody purification kit & spin column with prosep A media (Millipore). The rabbit IgG, called Ab2, was an antiidiotype antibody against AI. Identification of Ab2 was determined by Agar Gel Precipitation Test. A precipitation line appeared between Ab1 and Ab2 and a partial identity reaction appeared between Ab2 and the AI H5N1 antigen. The results of immunogenecity test indicated that Ab2 has a possibility to be an antigen for protection against AI virus H5N1 infection. Keywords: avian influenza, immunoglobulin G, anti-idiotype antibody
RINGKASAN KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-idiotipe. Dibimbing oleh RETNO D. SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, dan FACHRIYAN H. PASARIBU Penyakit flu burung atau Avian Influenza adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza tipe A famili Orthomyxoviridae dengan galur bervariasi antigen 16 hemaglutinin dan 9 neuraminidase. Penyakit Avian Influenza termasuk daftar list A dalam Office International Des Epizooties dan merupakan penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 2004 dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 96/KPTS/PP.620/2/2004 tanggal 3 Pebruari 2004, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit Avian Influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1. Vaksinasi merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan Avian Influenza. Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus klinis penyakit Avian Influenza dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh virus Avian Influenza. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyiapkan kandidat vaksin Avian Influenza H5N1 menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe. Penelitian diawali dengan pembuatan antibodi poliklonal yang dikoleksi dari marmut yang telah diimunisasi dengan vaksin Avian Influenza H5N1 inaktif strain Legok. Keberadaan antibodi AI H5N1 di dalam serum marmut diperiksa dengan uji Agar Gel Presipitasi dan diukur titernya dengan uji hambatan hemaglutinasi. Titer antibodi tertinggi diperoleh seminggu setelah imunisasi ke tiga dengan Geometric Mean Titer 1351.12. Pemurnian Imunoglobulin G serum marmut dilakukan dengan montage antibody purification kit & spin column with prosep A media. Konsentrasi Imunoglobulin G Avian Influenza H5N1 diukur dengan spektrofotometer ultra violet sebesar 8 mg/ml. Imunoglobulin G AI H5N1 kemudian dipotong dengan enzim pepsin sehingga diperoleh F(ab)2 selanjutnya disebut Ab1. Konsentrasi F(ab)2 ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab1 sebesar 1 mg/ml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis sebesar 110 kDa. Produksi antibodi anti-idiotipe dilakukan dengan menginokulasi Ab1 pada kelinci. Imunisasi pertama dengan dosis 500 µg dilarutkan dalam Freund’s Adjuvant komplit yang diaplikasikan secara subkutan. Imunisasi diulang dengan dosis yang sama dicampur dalam Freund’s Adjuvant inkomplit dengan interval 1 minggu. Setiap minggu setelah imunisasi kedua, serum kelinci dikoleksi dan diidentifikasi dengan uji Agar Gel Presipitasi. Serum kelinci dipanen dan pemurnian Imunoglobulin G kelinci dilakukan dengan montage antibody purification kit & spin column with prosep A media. Konsentrasi Ab2 ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab2 sebesar 8 mg/ml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis sebesar 150 kDa.
Imunoglobulin G kelinci selanjutnya disebut Ab2 adalah antibodi anti-idiotipe terhadap Avian Influenza H5N1. Identifikasi Ab2 dilakukan dengan uji Agar Gel Presipitasi. Garis presipitasi terbentuk antara Ab1 dan Ab2 dan terbentuk reaksi identitas parsial antara Ab2 dan antigen AI H5N1. Selanjutnya dilakukan uji imunogenesitas pada ayam SPF dengan 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok Imunoglobulin G kelinci kontrol, kelompok antibodi anti-idiotipe dan kelompok vaksin AI H5N1. Pengambilan darah ayam dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Keberadaan titer antibodi diukur dengan uji hambatan hemaglutinasi dan uji serum netralisasi in vitro terhadap beberapa isolat lokal. Pengukuran titer antibodi dengan uji hambatan hemaglutinasi menunjukkan bahwa walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif baik terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB (2009). Secara statistik antara perlakuan Ab2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin AI. Pengukuran titer antibodi dengan uji serum netralisasi menunjukkan bahwa walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dan antigen AI H5N1 IPB (2005), tetapi tidak protektif terhadap A/Goose/Bojonggenteng/IPB2RS/2006. Secara statistik antara perlakuan Ab2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dan isolat AI H5N1 IPB (2005) sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin AI. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya peluang Ab2 sebagai antigen dalam pencegahan infeksi virus Avian Influenza H5N1.
Kata kunci: avian influenza, imunoglobulin G, antibodi anti-idiotipe
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 sampai Agustus 2009 ini adalah preparasi vaksin Avian Influenza dengan judul Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza H5N1 Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-Idiotipe. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S., sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S., serta Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu sebagai anggota komisi pembimbing, dan Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, M.S., PhD. sebagai ketua Program Studi Sains Veteriner atas segala bimbingannya dari awal hingga terselesaikannya disertasi ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian atas pelimpahan beasiswa untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si. dan drh Ekowati Handharyani, M.S., PhD. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Nastiti Kusumorini, PhD., sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. Terimakasih juga kepada drh. H. Agus Setiyono, M.S., PhD. dan Dr. drh. Abdul Rahman, atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka. Kepada semua pihak penulis sampaikan terimakasih atas saran, kritik, dan masukan yang diberikan untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada drh. Agus Heriyanto, M.Phil., Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan periode tahun 2006-2009 yang memberikan motivasi, dukungan dan fasilitas dari awal hingga selesai penulisan disertasi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo yang memberikan motivasi dan rekomendasi untuk melanjutkan studi ke jenjang doktor. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ibu Susandra Kuswandi dan Dra. Inggriani, M. Biomed. dari PT. Nutrilab Pratama, drh, Hartono (Ketua Pinsar), drh. Okti Nadia Poetri, MSi. (Fakultas Kedokteran Hewan IPB), drh. Darsono (PT. Bofarma) dan Risa, S.Si. (BBalitvet) atas bantuan bahan-bahan penelitian dan kerjasamanya yang sangat baik, juga kepada drh. Carolos Baso Darmawan (USDA) atas motivasi dan sumbangan daftar pustakanya dan drh. Roosnilasari Endah Pertiwi, M.Si atas motivasi dan doanya. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Sayu Putu Paryati, M.Si. (Unjani Bandung), drh. Ida Lestari, M.Sc., unit uji Virologi (terutama drh. Yuni Yupiana, M.Sc., Neni Nuryani, Ipat H, Dodo Hermawan, Tarim) dan Hewan Percobaan (terutama drh. IGA Gede Anom, Agus Sting, Deni) Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, dan staf Laboratorium Imunologi FKH-IPB atas bantuannya selama penelitian.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kepada teman-teman seperjuangan, terutama kepada Dr. drh. Nyoman Suarsana, M.Si.(Udayana Bali), Dr. Muharam Saepulloh, S.Si.,M.Sc. (BBalitvet Bogor), drh. Sophia Setyawati, M.P. (Karantina Hewan Jakarta), drh. Sutiatuti W., M.Si. (BBalitvet Bogor), drh. Mustofa Sabri, M.P. (Unsyah Aceh), Dr. Ir. Najamudin, M.Si. (Universitas Tadulako Palu), serta teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Drs. I. Ketut N. Natih, M.Hum. dan ibunda Ketut Geniki serta kakak-kakak dan adik-adik, atas doanya yang terus menerus, dukungan moril dan finansial. Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis juga sampaikan kepada keponakan-keponakan tersayang yang selalu memberikan semangat dan doa. Terimakasih kepada keluarga tercinta Kompol I Nengah Ganti, S.H. atas ijin, dan doanya, dan kepada ananda Putu Gayatridevi Ganti Karuni Natih yang selalu mendampingi mama dalam suka dan duka meraih cita-cita mama. Terimakasih sayang atas pengorbanan, pengertian, kesabaran, ketabahan, doa yang tulus serta dorongan semangat yang terus menerus. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2010
Ketut Karuni Nyanakumari Natih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja (Bali) pada tanggal 21 Desember 1967 sebagai anak ke-empat dari pasangan Drs. I. Ketut N. Natih, M.Hum dan Ketut Geniki. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, melalui PMDK, lulus sarjana kedokteran hewan tahun 1992 dan lulus profesi dokter hewan tahun 1993. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan Program Master Sains di Program Studi Sains Veteriner Pascasarjana IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Medik Veteriner Unit Uji Virologi di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian sejak tahun 1994 sampai sekarang. Karya Ilmiah berjudul Preparasi Imunoglobulin G Kelinci Sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner Volume 11 No1 Edisi Maret 2010 yang merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xviii
I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Rumusan Permasalahan .............................................................. 1.3 Maksud dan Tujuan .................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 1.5 Hipotesis .....................................................................................
1 1 3 5 5 5
II
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Antibodi ...................................................................................... 2.2 Antibodi Anti-idiotipe ............................................................... 2.3 Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Vaksin ...................................... 2.4 Virus Influenza ............................................................................ 2.5 Virus Avian influenza (AI)........................................................... 2.6 Patogenesis Avian influenza ...................................................... 2.6.1 Reseptor Virus Avian influenza.......................................... 2.6.2 Mekanisme Infeksi Virus Avian influenza ...................... 2.7 Vaksin dan Vaksinasi Avian influenza .......................................
6 6 8 10 11 16 18 18 19 23
III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................................ 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 3.2.1 Hewan Percobaan ............................................................... 3.2.2 Bahan dan Media ................................................................ 3.2.3 Peralatan ............................................................................. 3.3 Metode ......................................................................................... 3.3.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 ........................................ 3.3.2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian influenza H5N1
28 28 28 28 28 29 30 30
(Ab1) Pada Marmut............................................................
32
3.3.2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab1) ...........
32
3.3.2.2 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab1) 3.3.2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab)2 ..................................... 3.3.3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab2) Pada Kelinci........ 3.3.3.1 Pemurnian Imunoglobulin G Kelinci Antibodi Anti-idiotipe (Ab2) .................................................. 3.3.4 Imunogenesitas “Kandidat Vaksin” (Antibodi Antiidiotipe ) .............................................................................. 3.3.4.1 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji HI ......................................................... 3.3.4.2 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji SN ........................................................ 3.3.5 Analisis Data ........................................................................ IV
V
33 34 34 35 36 36 37 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 4.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 .................................................. 4.2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian influenza H5N1 (Ab1) ............................................................................................ 4.2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI (Ab1) .................................. 4.2.2 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab1) ........... 4.2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan H5N2 dan Pemurnian Fragmen F(ab)2 ................................................. 4.3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab2) pada kelinci.................. 4.3.1 Pemurnian Imunoglobulin G Antibodi Anti-idiotipe (Ab2) 4.3.2 Reidentifikasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab2) ....................... 4.4 Imunogenesitas “Kandidat Vaksin” (Antibodi Anti- idiotipe) 4.4.1 Uji serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji HI ................................................................................. 4.4.2.Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji SN .................................................................................
39 39
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 5.2 Saran .............................................................................................
74 74 74
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... LAMPIRAN …………………………………………………………..
75 83
40 41 45 46 50 50 51 53 56 63
DAFTAR TABEL Halaman 1
Protein Influenza A .......................................................................
12
2
Persyaratan Vaksin ....................................................................... 24
3
Primer Untuk mengamplifikasi Virus AI H5N1 ...........................
31
4
Titer Antibodi Poliklonal virus AI H5N1 .....................................
42
5
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI................................ 57
6
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI..............................................
59
7
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI............................................. 60
8
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI.............................................. 62
9
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN..................................... 65
10
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan Uji SN..................................................... 67
11
Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN.............. 68
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tiga Kelas Determinan Antigenik ...................................................
7
2
The idiotypic network ……………………………………………
9
3 Virus Influenza Tipe A, B dan C ......................................................
13
4 Ilustrasi Antigenic Drift Virus Influenza...........................................
14
5 Ilustrasi Antigenic Shift Virus Influenza ...........................................
15
6 RNA Virus Influenza A.....................................................................
17
7 Replikasi Virus Influenza .................................................................
22
8 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan primer subtipe H5......................................
40
9 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR dengan subtipe N1 ...........................................................
40
10 Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi ............
41
11 Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 ................................
42
12 Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi..........................................................................................
46
13 Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin ..............
47
14 Profil pita protein Imunoglobulin G yang telah dipurifikasi ............
48
15 Profil pita protein Fragmen F(ab)2 ..................................................
48
16 Antibodi Anti-idiotipe sebagai imunogen ........................................
51
17 Reaksi Identitas Parsial Imunoglobulin G Kelinci Spesifik Terhadap Ab1 dan Antigen Virus Avian influenza H5N1 ...............
52
18 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti Anti-idiotipe dengan Antigen
AI H5N1............................................................................................ 19 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti-idiotipe dengan Antibodi Anti Anti-idiotipe..............................................................................
55
20 Regulasi idiotipik dari respon imun .................................................
56
21 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI........................................
58
22
55
Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI.................................................
59
23 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI......................................................
61
24 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI.....................................................
62
25 Biakan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) kontrol ...........
64
26 Sel MDCK yang diinfeksi oleh virus AI H5N1 ..............................
64
27 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan Uji SN......................................
66
28 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN....................................................
67
29 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN................
69
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Daftar Vaksin Avian Influenza di Indonesia .........................................
84
2
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI ..........................
85
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI ........................................
86
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI ........................................
87
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI .......................................
88
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN..............................
89
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN............................................
90
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN............
91
9
Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode Konvensional ..
92
10
Prosedur Uji Agar Gel Presipitasi (Agar Gel Presipitation = AGP)....
95
11
Prosedur Uji Hambatan Hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition Test = HI ) …………………………………………..............................
96
12
Prosedur Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) .......................................
98
13
Prosedur Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis SDS-PAGE …….........................................................
99
14
Prosedur Uji Serum Netralisasi (SN).....................................................
102
15
Prosedur Pembuatan Antigen Avian Influenza ......................................
106
3 4 5 6 7 8
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit ini adalah
virus influenza tipe A termasuk dalam famili
Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini mempunyai galur bervariasi yaitu 16 antigen hemaglutinin (HA) dan 9 neuraminidase (NA) (Fouchier 2005). Penyakit AI termasuk daftar list A dalam Office International Des Epizooties (OIE) (OIE 2008) dan merupakan penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia. Wabah AI H5N1 mulai terjadi pada tahun 1997 di Hongkong kemudian menyebar ke Korea Selatan, Jepang, Thailand, Filipina, Korea Utara, Kamboja, Siberia, Romania, dan Turki. Virus ini bersifat sangat patogen dan zoonosis karena dapat menginfeksi unggas dan manusia (Swayne 2004). Virus influenza berbentuk pleiomorfik yaitu filamen atau sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006). Kasus AI H5N1 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada bulan Agustus 2003, menyerang beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 2004 dan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 96/KPTS/PP.620/2/2004 tanggal 3 Pebruari 2004 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (Avian Influenza) dibeberapa provinsi di wilayah Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393/Kpts/PD.620/7/2007, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit AI pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (Ditjennak 2008). Kasus ini kemudian meluas keberbagai daerah di Indonesia dan telah menyerang berbagai jenis unggas. Virus AI sudah terjadi secara endemis pada perunggasan di Indonesia khususnya di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi (Songserm et al. 2006; FAO 2009). Daerah tertular virus AI H5N1 sudah mencapai 31 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Avian Influenza masih menjadi penyakit zoonosa yang penting karena wabah AI di Indonesia
sudah banyak menelan korban jiwa manusia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa jumlah penderita flu burung pada manusia sampai Desember 2009 sebanyak 161 orang diantaranya meninggal dunia sebanyak 134 orang (tingkat kematian 81.71 %) (FAO 2009; WHO 2009). Pola penularan virus ini pada manusia belum diketahui dengan pasti. Keadaan ini mengkhawatirkan akan terjadinya pandemi AI. Pemerintah Indonesia melakukan upaya penanganan AI berupa 9 (sembilan) langkah strategis dalam rangka pengendalian wabah AI tersebut Salah satunya adalah vaksinasi (Ditjennak 2008). Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus klinis penyakit AI dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh virus AI (Naipospos 2004) dan sejak tahun 2004 Indonesia sudah menggunakan 400 juta dosis vaksin AI (Bouma et al. 2009). Vaksin AI yang digunakan di Indonesia saat ini adalah vaksin AI yang telah diinaktifkan Pembuatan vaksin AI umumnya dilakukan dengan menyuntikkan virus pada telur ayam berembrio (TAB) (OIE 2008) atau dibiakkan pada kultur jaringan (sel) dengan menggunakan sel primer Chicken Embrio Fibroblast (CEF) atau sel lestari Madin Darby Canine Kidney (MDCK).
Virus AI ditumbuhkan pada TAB yang tidak mengandung
virus atau patogen apapun yang dikenal dengan istilah Specific Pathogen Free (SPF). Virus AI juga dapat ditumbuhkan sel MDCK karena virus influenza sangat mudah bereplikasi pada sel tersebut sehingga dapat digunakan untuk produksi vaksin influenza (Liu et al. 2009). Virus AI yang telah ditumbuhkan selanjutnya diinaktifkan dengan bahan kimia (beta-propiolakton) untuk dijadikan vaksin (OIE 2008). Kendalanya vaksin dibuat dari virus yang virulen, maka ada kemungkinan masih terdapat vaksin yang dapat menimbulkan kasus penyakit dan juga membahayakan pekerja laboratorium yang memproduksinya. Pengembangan terhadap vaksin yang aman, efektif dan protektif sangat diperlukan saat ini. Vaksin antibodi anti-idiotipe merupakan solusi terhadap pembuatan vaksin dari virus yang virulen. Vaksin antibodi anti-idiotipe adalah vaksin yang dibuat atas dasar adanya daerah pengenalan antigen oleh antibodi. Pengenalan antigen dengan antibodi dapat menghasilkan imunitas spesifik untuk mencapai tujuan imunisasi. Hewan yang disuntik dengan suatu antigen, maka respon imun akan terjadi pada tubuh hewan tersebut.
Respon humoral yang terjadi akan menghasilkan antibodi (Ab1) yang
mengekspresikan beberapa kumpulan idiotipe di daerah variable yang akan dikenali oleh epitop dari antigen yang disuntikkan. Antibodi (Ab1) bila disuntikkan kepada hewan lain, maka kumpulan atau populasi antibodi yang mengenalinya disebut antibodi anti-idiotipe (Ab2) (Vizcaino 2004). Penggunaan vaksin antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin alternatif untuk penyakitpenyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan. Vaksin antibodi anti-idiotipe juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi. Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan biaya produksi yang lebih murah. Antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, selain itu antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius (Lin & Zhou 1995).
1.2 Rumusan Permasalahan Penyakit Avian Influenza merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena dapat menyebabkan kematian massal berbagai macam galur unggas sampai mencapai angka kematian (mortalitas) 100% dalam waktu relatif singkat dan dapat menular pada hewan lain juga manusia (zoonosis). Pemerintah Indonesia mencanangkan sembilan langkah strategis dalam rangka pengendalian dan pemberantasan penyakit AI. Sembilan langkah strategis tersebut meliputi (1) penerapan biosekuriti secara ketat, (2) depopulasi selektif di daerah tertular, (3) vaksinasi, (4) pengendalian lalu lintas ternak unggas, (5) surveilans dan penelusuran, (6) peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness), (7) pengisian kembali (restocking) unggas, (8) stamping out di daerah tertular baru, dan (9) monitoring, pelaporan dan evaluasi (Ditjennak 2008). Vaksinasi telah digunakan sebagai cara pengendalian penyakit AI pada unggas bersama-sama dengan tindakan lain secara paralel, seperti peningkatan tindakan biosekuriti yang lebih ketat, pengendalian lalu lintas ternak, surveilan dan monitoring, restrukturisasi peternakan serta pembuatan dan penegakkan aturan (regulasi) yang dibuat
oleh suatu negara. Vaksinasi tampaknya akan semakin dipilih karena berbagai pertimbangan antara lain pertimbangan ekonomi, tindakan karantina, eradikasi atau stamping out yang dilakukan secara berdiri sendiri tidak menjamin keamanan unggas, khususnya unggas-unggas yang dipelihara dengan densitas tinggi pada daerah yang sudah bersifat endemik. Disisi lain pertimbangan etika internasional, khususnya berkaitan dengan penyediaan bahan pangan yang aman dan keamanan lingkungan bagi seluruh makhluk hidup (Wibawan et al. 2006). Indonesia menerapkan vaksinasi sebagai salah satu strategi kebijakan penanggulangan AI, hal ini merupakan peluang bisnis bagi kalangan swasta untuk mendatangkan vaksin dari luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan vaksin bagi para peternak maupun industri perunggasan di Indonesia. Keadaan ini berdampak masuknya bermacam-macam vaksin AI konvensional produksi luar negeri dengan berbagai subtipe (H5N1, H5N2, dan H5N9) dan strain (Mexico, Wisconsin, dan England) dan vaksin rekombinan atau GMO (Geneticcally Modified Organism). Vaksinasi AI di Indonesia saat ini menggunakan vaksin inaktif yang dapat beresiko masih adanya virus virulen akibat inaktifasi yang tidak sempurna. Penggunaan vaksin anti-idiotipe selain sebagai vaksin alternatif untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi. Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dalam jumlah banyak sehingga biaya produksi menjadi lebih murah. Antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius.
1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai kandidat vaksin untuk pencegahan Avian Influenza. 2. Mengetahui fenomena kekebalan hasil vaksinasi menggunakan vaksin antibodi anti-idiotipe dan vaksin Avian Influenza yang beredar.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu metode
pengembangan
antibodi anti-idiotipe yang efektif, protektif dan aman.
1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Antibodi anti-idiotipe AI bersifat imunogenik dan mampu menginduksi terbentuknya antibodi yang berikatan secara homolog dengan antigen virus AI. 2. Antibodi anti-idiotipe AI dapat digunakan sebagai kandidat vaksin. 3. Antibodi anti-idiotipe memberikan hasil yang lebih protektif dibandingkan dengan vaksin komersil secara in vitro.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi Respon imun akan terjadi dalam tubuh hewan yang terpapar oleh suatu antigen. Respon humoral tubuh yang terinfeksi akan menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan suatu molekul protein atau globulin yang diproduksi oleh sel B dan saling berikatan secara spesifik dengan antigen. Antibodi ditemukan pada darah atau kelenjar tubuh vertebrata
lainnya,
dan
digunakan
oleh
sistem
kekebalan
tubuh
untuk
mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus. Molekul antibodi adalah globulin, maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (Ig). Ada 5 kelas utama imunoglobulin dalam serum yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE (Alberts et al 2002; Roitt 2003). Bila serum protein dipisahkan dengan cara elektrophoresis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa imunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan beta (Bratawidjaja 2002). Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida yang terdiri dari dua pasang rantai polipeptida berat (heavy = H) dan dua rantai ringan (light = L) yang identik. Keempatnya bergabung melalui ikatan disulfida antar rantai. Struktur molekul antibodi berbentuk seperti huruf “Y”, masing-masing mempunyai daerah variabel (VH dan VL) dan daerah konstan (CH dan CL). Fragmen imunoglobulin yang identik disebut Fab (Fragment antigen binding) yang merupakan bagian imunoglobulin yang mengikat antigen serta bereaksi dengan determinan antigen dan hapten. Bagian tunggal imunoglobulin disebut Fc (Fragment crystallizable) oleh karena mudah dikristalkan. Daerah variabel (V) tersusun dari sekitar 110 sampai 130 asam amino, merupakan gugus NH2 sebagai tempat ikatan antara rantai H dan L. Daerah konstan C pada rantai H meliputi daerah aktivasi komplemen dan molekul reseptor Fc dari berbagai jenis sel (Bratawidjaja 2002; Roitt 2003). Daerah V dan C mempunyai tiga kelas determinan antigenik
yaitu : (1)
determinan isotypic, membedakan rantai ringan menjadi dua klas, yaitu kappa (κ) dan
lamda (λ) yang terdiri atas 230 asam amino, sedangkan rantai berat yang terdiri dari 450600 asam amino mempunyai lima isotipe berbeda yang membagi imunoglobulin menjadi lima klas yang berbeda dengan fungsi yang berbeda-beda pula (IgG, IgM, IgA, IgE, IgD); (2) determinan allotypic, dibedakan dari produk gen pada lokus yang sama (IgG1, IgG2a, IgG2b); dan (3) determinan idiotypic, dihubungkan dengan spesifisitas ikatan antigen (Saldanha 2000) (Gambar 1).
Allotypic, variasi asam amino pada lokus yang Idiotypic, variasi dihubungkan
Isotypic, variasi rantai berat γ, μ, ε,
Gambar 1 Tiga Kelas Determinan Antigenik (Sumber: Saldanha (2000)) Rantai-rantai pada molekul antibodi tersebut dapat dipisahkan satu sama lain dengan mereduksi ikatan S-S atau dengan pengasaman. Pada IgG yang merupakan tipe antibodi terbanyak, daerah engsel yang terpapar memanjang oleh adanya kandungan prolein yang tinggi, karena itu mudah terkena efek proteolitik; molekul akan terpotong oleh papain menjadi dua fragmen Fab yang identik, masing-masing mengandung satu tempat pengikatan antigen dan fragmen ketiga yaitu Fc
yang tidak mempunyai
kemampuan mengikat antigen. Pepsin memotong pada tempat yang berbeda, melepaskan Fc dari bagian molekul lainnya berupa fragmen 5S yang besar, yang dikenal sebagai F(ab)2. Fragmen ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Daerah spesifik untuk berikatan dengan antigen disebut paratop dan mengekspresikan beberapa kumpulan idiotop yang mampu meningkatkan produksi antibodi (Roitt 2003).
Menurut Roitt (2003) dapat dibuat antiserum yang spesifik terhadap molekul antibodi individual dan dapat membedakan antara satu antibodi monoklonal dengan lainnya tanpa tergantung dari struktur isotipik maupun alotipik. Antiserum tersebut dapat menetapkan determinan individual yang khas untuk tiap antibodi dan disebut idiotipe. Determinan idiotipe ini terletak di daerah variabel dari antibodi dan berkaitan dengan daerah hipervariabel.
2.2 Antibodi Anti-idiotipe Idiotope adalah determinan antigen tunggal pada regio variabel molekul antibodi yang dapat ditemukan pada sel B dan sel T (Kennedy et al. 1983). Lokasi idiotope pada sisi pengikat antigen, pada rantai berat maupun pada rantai ringan antibodi, namun kebanyakan terletak pada rantai berat (Ban et al. 1994). Idiotipe adalah kumpulan idiotope atau epitop spesifik, diekspresikan sebagai reseptor antigen pada sel B dan sel T. Jerne (1985) membuat suatu teori tentang jaringan idiotipik, bahwa imunisasi dengan suatu antigen dapat menginduksi antibodi spesifik terhadap antigen (Ab1). Antibodi yang dihasilkan dari antigen eksternal disebut antibodi idiotipe (Ab1), antibodi yang dihasilkan oleh Ab1 adalah antibodi anti-idiotipe (Ab2), antibodi yang dihasilkan Ab2 adalah antibodi anti anti-idiotipe (Ab3), dan seterusnya, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi terbentuknya serangkaian autoantibodi yang dapat saling mengenali satu sama lain membentuk suatu jaringan idiotipik. Daerah variabel (V) molekul antibodi mempunyai daerah spesifik untuk berikatan dengan antigen (paratop) dan permukaan yang mampu meningkatan produksi antibodi (idiotop). Paratop dan idiotop terletak pada tempat yang sama, maka anti-idiotipe akan meniru
(internal
image)
struktur
antigen
melalui
proses
saling
melengkapi
(complementary) dan homobodies (Kennedy & Attanasio 1990). Jerne (1985) membuat suatu teori tentang jaringan idiotipik, bahwa imunisasi dengan suatu antigen dapat menginduksi antibodi spesifik terhadap antigen (Ab1).
Gambar
2
The idiotypic network: a. Menurut teori jaringan idiotipik dari Jerne, imunisasi dengan antigen dapat mengakibatkan tidak hanya generasi antigen-antibodi spesifik (Ab1) tetapi juga ke antibodi yang mengenali Ab1. Hal ini terjadi karena struktur unik (idiotipe) dari tempat pengikatan antigen dari Ab1 merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan Ab2 yang meniru struktur antigen. Mekanisme yang sama menghasilkan Ab3. Ab1 dan Ab3 memiliki kapasitas mengikat serupa dan dalam banyak kasus, urutan asam aminonya identik mengikat tempat antigen; b. Seperti yang juga dikemukakan oleh Jerne, struktur unik dalam rangka Ab1 dapat memicu jaringan idiotipik. (Sumber: Shoenfeld (2004))
2.3 Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Vaksin
Antibodi anti-idiotipe (Ab2) yang memiliki karakteristik serologik internal image sangat potensial digunakan sebagai antigen dalam serodiagnostik, preparasi vaksin atau modulasi respon imun untuk mengontrol infeksi (Zhou et al. 1994). Antibodi antiidiotipe juga dapat digunakan sebagai prekusor awal sistem imun inang terhadap agen infeksius.
Pemberian anti-idiotipe pada simpanse sebelum pemberian antigen HBs
meningkatkan titer antibodi terhadap HBs dibandingkan dengan tanpa pemberian antiidiotipe (Kennedy et al. 1984). Menurut Suartha (2001), antibodi anti-idiotipe mampu memberikan perlindungan 88.8% terhadap serangan bakteri Streptococcus Group C (SGC) ganas. Antibodi anti-idiotipe juga dapat digunakan sebagai antigen pengganti pada imunisasi dengan antigen yang sulit diperoleh dalam jumlah yang banyak (Roitt 2003). Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dengan mudah dalam jumlah yang banyak, kesulitan yang berhubungan dengan tenaga, biaya dalam penyediaan antigen dari agen penyakit dapat dieliminasi, bahaya penyebaran agen infeksius dalam pelaksanaan di lapangan dapat dihindari (Lin & Zhou 1995). Antibodi anti-idiotipe dapat digunakan sebagai vaksin karena dapat meningkatkan respon kebal dari vaksin konvensional yang semula tidak efektif atau lemah (Huang et al. 1988). Paryati et al (2006), mengatakan antibodi anti-idiotipe mampu menginduksi kadar antibodi protektif terhadap rabies. Antibodi anti-idiotipe juga dapat mengurangi efek klinis yang merugikan dari penggunaan vaksin konvensional (Clark et al. 1996), mampu memberikan kekebalan protektif pada sistem imun prematur (Huang et al. 1988), protektif menghambat penyebaran secara vertikal infeksi suatu mikroorganisma (Kennedy et al. 1996). Vaksin antibodi anti-idiotipe juga dapat merangsang klon imun yang toleran dan tersembunyi (McNamara et al. 1984). Chatterjee et al. (2000) menggunakan antibodi anti-idiotipe untuk melawan kanker karena penggunaan vaksin anti-idiotipe lebih baik dari vaksin antigen tradisional, sedangkan
Reinarzt et al. (2003) mengatakan antibodi anti-idiotipe dapat sebagai
pengganti antigen anti tumor dalam strategi vaksinasi karena dapat menstimulasi sel B. Lebih lanjut antibodi anti-idiotpe dapat meningkatkan respon imun terhadap neoplasma dan meningkatkan produksi auto antibodi pada penyakit autoimun (Rico & Hall 1989).
Park et al. (2005) dalam penelitiannya mengembangkan penggunaan antibodi anti-idiotipe terhadap kapsular polisakarida dari Neisseria meningitides group B sebagai vaksin karena belum ada vaksin terhadap penyakit ini yang merupakan penyakit serius penyebab sepsis dan meningitis pada bayi dan balita.
2.4 Virus Influenza Penyakit flu pada manusia dan hewan disebabkan oleh virus dalam famili Orthomyxoviridae, memiliki pembungkus (envelope), bersegmen dan memiliki negativesingle strand Rybonucleic acid (RNA). Virus ini berukuran 80-120 nm, merupakan partikel pleimorphic berukuran sedang yang terdiri atas 2 lapis lemak dan terletak diatas matriks M1 yang mengelilingi genom. Permukaan envelope mempunyai dua tonjolan glikoprotein yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Protein lain selain H dan N, virus influenza A juga memiliki protein matriks (M1, M2), nukleoprotein (NP), polimerase (P1, Pb2, PA), non structural (NS1), dan NEP.
Masing-masing protein
mempunyai fungsi yang berbeda (Tabel 1) (Mulyadi & Prihatini 2005). Sampai saat ini famili Orthomyxoviridae terdiri dari 5 genus yaitu Influenzavirus A, Influenzavirus B, Influenzavirus C (tiga genus ini biasa disebut dengan influenza tipe A, B, dan C), Thogotovirus dan Isavirus. Hanya Genus Influenzavirus A yang menginfeksi unggas (Capua & Alexander 2009). Virus influenza tipe A dan B memiliki 8 segmen RNA, namun virus influenza tipe C hanya memiliki 7 segmen (Gambar 3) (Hoffmann et al. 2000). Determinan antigenik utama dari virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N atau NA), yang mampu memicu terjadinya respon imun dan respon yang spesifik terhadap subtipe virus. Respon ini sepenuhnya bersifat protektif di dalam, tetapi bersifat protektif parsial pada lintas subtipe yang berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influenza dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam amino (Fouchier 2005).
Tabel 1 Protein Influenza A Protein Hamaglutinin (HA)
Tempat (perkiraan jumlah virion) Permukaan (500)
Neuraminidase (NA)
Permukaan (100)
Pelepasan virus, aktivitas enzim
Membran/matrik (M1)
Di dalam (interna) (3000)
Struktur pembungkus (envelope) utama protein, pertemuan virus
M2
Permukaan (20-60)
Virus tidak dibungkus dan pertemuan, hubungan ion
Nucleoprotein (NP)
Di dalam (interna) (3000)
Berkaitan dengan RNA dan protein polymerase
Polymerase (PB1,PB2,PA)
Di dalam (interna) (30-60)
Replikasi transkripsi
NS1
Nonsruktural(sel terinfeksi)
Pengaturan replikasi virus
NEP
Fungsi Perlekatan sel dan penetrasi, aktivitas penyatuan (fusi)
RNA
dan
Di dalam (interna) (130- Faktor ekspor inti (nuclear) 200) (Sumber : Mulyadi dan Prihatini (2005))
Gambar 3 Virus Influenza Tipe A, B, dan C (Sumber: Hoffmann et al. (2000)) Virus influenza A mempunyai sifat mudah berubah. Antigen permukaan yang dimiliki virus influenza tersebut dapat berubah secara periodik yang lebih dikenal dengan istilah antigenic drift (mutasi titik/minor) dan antigenic shift (pergeseran genetik/mutasi mayor). Antigenic drift merupakan perubahan yang terjadi akibat mutasi genetik struktur protein permukaan virus, sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut, sedangkan antigenic shift merupakan perubahan genetik virus yang memungkinkan virus ini menginfeksi secara lintas spesies (Gambar 4 dan 5) . Mutasi mayor merupakan keunikan virus influenza karena genom virus itu terdiri atas delapan potong RNA, sehingga ketika virus influenza dengan tipe berbeda menginfeksi sel yang sama akan terjadi pertukaran segemen RNA dalam sel. Kedua sifat tersebut dapat menyebabkan kejadian pandemi (Stohr 2005).
Gambar 4 Ilustrasi Antigenic drift Virus Influenza (Sumber: FKH IPB (2006))
Gambar 5 Ilustrasi Antigenic Shift Virus Influenza (Sumber: FKH IPB (2006)) Berbeda dengan virus influenza tipe A, virus influenza tipe B tidak diklasifikasikan ke dalam subtipe dan hanya menyerang manusia. Namun, virus ini telah diketahui dapat menginfeksi anjing laut. Virus influenza tipe B dapat menyebabkan epidemi pada manusia, namun tidak sampai menyebabkan pandemi. Virus influenza tipe C, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hanya memiliki 7 segmen RNA, tidak seperti virus influenza tipe A ataupun tipe B yang memiliki 8 segmen. Virus influenza tipe C tidak memiliki protein permukaan HA dan NA seperti yang dimiliki oleh virus
influenza tipe A dan B, akan tetapi kedua segmen tersebut digantikan oleh glikoprotein tunggal yang disebut dengan haemagglutinin-esterase-fusion (HEF). Virus influenza tipe C hanya menyebabkan gejala penyakit ringan saja dan tidak menyebabkan epidemi maupun pandemi penyakit pada manusia (Nicholson et al. 1998).
2.5 Virus Avian Influenza (AI) Avian Influenza (AI) menyebabkan angka kematian yang tinggi pada ayam di Italia pada tahun 1878. Namun baru diketahui pada tahun 1955 bahwa penyebab fowl plague sebenarnya adalah virus AI yang memiliki komposisi gen yang serupa (hampir identik) dengan virus influenza manusia. Virus AI adalah virus influenza tipe A, pada awalnya hanya ditularkan oleh unggas. Unggas tersebut adalah burung, bebek, ayam, selain itu dapat juga ditularkan oleh beberapa hewan lain seperti babi, kuda, anjing laut, ikan paus, musang, dan kucing. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat diburung puyuh dan burung onta. Penyakit ini ditularkan dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke manusia (Mulyadi & Prihatini 2005). Keberadaan virus AI H5N1 pada unggas air di Indonesia telah dibuktikan dengan ditemukannya isolat dari unggas air di daerah Jawa Barat (Susanti 2008) dan di kucing (Murtini et al. 2008). Berdasarkan atas patogenitasnya, virus AI dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Pada umumnya virus AI subtipe H1-H4, H6, H8-H15 ada dalam bentuk LPAI dan umumnya menyebabkan sedikit gejala klinis atau bahkan tidak memperlihatkan gejala klinis sedikitpun. Sifat mudah mutasi dari virus ini menyebabkan keganasannya ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi. Artinya walaupun sama-sama H5 yang menginfeksi belum tentu menunjukkan tingkat keganasan yang sama (Russel & Webster 2005). Menurut Capua dan Alexander (2009), hanya virus AI subtipe H5, H7 dan H10 yang terlihat sebagai penyebab HPAI tapi tidak semua sub tipe H5, H7 dan H10 bersifat virulen. Virus AI dibungkus oleh glikoprotein dan dilapisi oleh lapisan lemak ganda (bilayer lipid). Glikoprotein HA dan NA merupakan protein permukaan yang sangat berperan dalam penempelan dan pelepasan virus dari inang. Protein HA merupakan
bagian terbesar dari spike yaitu 80 % dan NA sebesar 20 %. Struktur HA dan NA menentukan subtipe dari virus AI, sedangkan NP dan M digunakan untuk membedakan antara virus influenza A dengan B atau C (Nicholson et al. 1998; Anonim 2010). RNA virus influenza tipe A dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 RNA Virus Influenza A Angka kematian hewan yang terinfeksi virus LPAI sangat rendah bila tidak terjadi infeksi sekunder. Beberapa strain LPAI mampu bermutasi di bawah kondisi lapang menjadi virus HPAI. Virus HPAI bersifat sangat infeksius dan fatal pada unggas. Virus HPAI dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu yang cepat pada unggas dengan atau tanpa memperlihatkan gejala klinis, dan ketika ini terjadi, maka penyakit dapat menyebar dengan cepat antar flock. Penyebaran virus HPAI antara lain melalui aktivitas migrasi burung-burung liar yang merupakan induk semang (inang) alami virus penyebab, kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, air minum, udara di daerah tercemar, peralatan kandang tercemar, serta secara sekunder melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut, pakan, dan lainlain yang berasal dari daerah tercemar.
Virus HPAI ini dapat hidup pada suhu
lingkungan dalam jangka waktu yang lama dan dapat bertahan hidup pada bahan-bahan yang telah dibekukan. Satu gram feses hewan yang terinfeksi virus ini mengandung virus yang cukup untuk menginfeksi satu juta unggas.
Virus influenza yang sangat virulen (H5N1) dapat hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22o C dan lebih dari 30 hari pada 0o C, di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, virus akan mati dengan pemanasan 60o C selama 30 menit atau 56o C selama 3 jam, deterjen, desinfektan (formalin, iodin) (Horimoto & Kawaoka 2001; Cucunawangsih 2006). 2.6 Patogenesis Avian Influenza 2.6.1 Reseptor Virus Avian Influenza Penularan virus influenza A dapat terjadi antar spesies termasuk manusia, namun virus AI tidak efisien dalam replikasi pada sel manusia, demikian juga sebaliknya, virus influenza pada manusia tidak efisien replikasi pada unggas. Hal ini disebabkan oleh perbedaan reseptor yang dimiliki oleh masing-masing sel tersebut. Ikatan pada reseptor merupakan
awal patogenesitas virus AI. Virus akan masuk ke sel inang melalui
endositosis yang diperantarai oleh reseptor (Elton et al. 2001; Rahardjo 2004). Reseptor yang dimiliki oleh sel manusia berupa N-acetylsialic acid yang mengikat galaktosa dengan ikatan alfa 2,6 atau disingkat NeuAcα2,6Gal (asam sialat-α2,6), sedangkan pada unggas dan kuda, senyawa galaktosa diikat pada alfa 2,3 atau disingkat NeuAcα2,3Gal (asam sialat-α2,3). Kebanyakan hewan mempunyai reseptor mirip dengan unggas seperti paus dan anjing laut. Khusus untuk babi, sampai saat ini satu-satunya hewan yang mempunyai kedua macam reseptor tersebut, dalam arti bahwa babi sensitif terhadap AI maupun virus influenza manusia (Nicholson et al. 1998; Suzuki et al. 2000). Perbedaan reseptor ini korelasinya dengan letak asam amino nomer 226 yaitu pada virus influenza manusia diisi oleh leusin (Leu), sedangkan pada pada AI dan virus influenza pada kuda (Equine Influenza) diisi oleh glisin (Gln) (Rahardjo 2004).
2.6.2 Mekanisme Infeksi Virus Avian Influenza Proses terjadinya infeksi atau patogenesa tahap pertama terjadi secara inhalasi (menghirup) atau ingesti (memakan) AI. Enzim tripsin dan protease lainnya dalam sel tropisma terutama pada epitel saluran pernapasan, paru-paru dan trakhea tersedia untuk pembelahan (cleavage) protein hemaglutinin. Jadi pada saat AI menginfeksi sel, enzim tripsin dan protease dalam sel akan memecah protein hemaglutinin menjadi dua bagian yaitu HA1 dan HA2 (Rahardjo 2004).
Mekanisme infeksi virus influenza dimulai dengan perlekatan virus pada permukaan membran plasma. Reseptor untuk virus influenza adalah sialoglycolipid atau gangliosides atau sialoglycoprotein. Terminal sialic acid akan dikenali oleh hemaglutinin (HA) yang berperan dalam perlekatan virus. Kedudukan reseptor virus pada bagian distal globular hemaglutinin, yaitu daerah molekul yang menunjukkan sedikit perbedaan yang dikelilingi oleh 3 tempat antigen yang berbeda. Virus akan masuk ke dalam sel dengan bantuan ikatan paku HA pada
mukoprotein yang mengandung terminal N-acetyl
neuraminic acid (NANA = sialic acid) (Manugerra & Hannoun 1999). Partikel virus setelah melekat akan ditelan melalui proses endositosis dan virus lewat suatu lubang selubung akan masuk ke dalam gelembung endositotik dan akhirnya endosom. mengatakan secara berangsur-angsur lisosom akan menyatu pH akan menurun (pH kira-kira 5). Protein HA akan berikatan dengan reseptor yang terdapat dinding sel inang. Siklus replikasi terjadi dalam saluran pernapasan dan atau saluran pencernaan dengan mengeluarkan bagian dari virus yang bersifat menimbulkan infeksi (Rahardjo 2004).
Protein virus eksternal seperti HA yang tahan terhadap degradasi enzim
(protease). Protein HA akan mengalami perubahan pada saat kondisi pH yang cukup asam tersebut, yaitu dengan membuka bagian hydrophobic sub unit HA2 sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan antara membran endosomal seluler dan lapisan lemak ganda (lipid bilayer) virus. Untuk virus influenza tipe A protein M2 memungkinkan destabilization lapisan protein M1. Virus akan masuk pada saat nukleokapsid dilepaskan ke dalam sitoplasma seluler. Penghambatan masuknya virus dapat bervariasi tergantung pada tingkat kekebalan dan bahan kimia. Pengaktifan pH oleh aliran ion akan membuat protein M2 menjadi penting dalam proses uncoating (pelepasan selubung). Spesifik target rangkaian asam nukleat (sequence nucleat) pada nukleoprotein (NP) akibat translokasi nukleokapsid ke dalam nukleus (Manugerra & Hannoun 1999) Virus influenza yang merupakan virus RNA mempunyai 3 tipe virus spesifik RNA (messenger, antigenomic dan viral atau genomic) yang semuanya disintesa di dalam nukleus. Segmen NS melalui sambungan untuk menyandikan protein NS1 (non-struktur) dan NS2. Untuk virus tipe A, segmen M sebagai sandi protein M1 dan M2. Selama infeksi oleh virus influenza, total sintesa protein dipertahankan pada tingkat yang tinggi kemudian terjadi surprising swing dari sintesa protein seluler menjadi protein influenza,
seharusnya dalam bagian untuk menghalangi translasi seluler mRNA. Translasi ada dalam sitoplasma dimana protein virus disintesa. Ini yang menjalani glikosilasi seperti HA dan NA, lewat ke dalam retikulum endoplasmik dan kemudian Golgi dan trans-Golgi apparatus. Pada jalur ini glikoprotein influenza dilekatkan ke dalam lipid bilayer sampai pada permukaan sel. Protein virus yang lain akan datang di bawah membran sel plasma melalui difusi yang sederhana. Virion dibentuk oleh kuncup (budding) pada permukaan membran plasma. Menurut Garman dan Laver (2004), hemaglutinin adalah sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi (glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang terikat dalam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat, daerah eskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan kemampuannya melekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang menyalurkan derivat asam neuroaminic. Daerah eksternal (exodomain) dari glikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase (NA), melakukan aktivitas ensimatik sialolitik (sialolytic enzymatic activity) dan melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah tertumpuknya virus dan mungkin juga memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari jaringan epitel yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akan menempel ke sasaran. Ini membuat neoroamidase merupakan sasaran yang menarik bagi obat antivirus. Virion akan masuk dan menyatu kedalam ruang endosom setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai (Rust 2004). Virion akan mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membran endosom melalui pemindahan proton terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus, pada nilai pH di endosom sekitar 5.0. Proses selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA. Hasilnya adalah terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antara membran virus dengan membran lisomal. Berikutnya, kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan pelindung dari protein (ribonucleoprotein complex, RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Ke delepan segmen tersebut disalurkan ke nukleus untuk melakukan transkripsi mRNA
virus dan replikasi RNA genomik melalui proses yang rumit yang secara cermat diatur oleh faktor virus dan faktor sel. Protein polimerase yang tergantung pada RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah kompleks (gabungan) dari PB1, PB2 dan protein PA virus, dan memerlukan RNA (RNP) yang terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk tugas ini. Protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA genomik yang sudah ter-replikasi setelah terjadi translasi, virion-virion progeni tumbuh dari membran sel yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus sebelumnya. Penataan antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein pembungkus virus dimediasi oleh protein matrix-1 virus (M1) yang membentuk struktur serupa cangkang tepat di bawah pembungkus virus. Reproduksi virus di dalam sel yang mudah menerimanya berlangsung cepat (kurang dari sepuluh jam) dan dengan proses yang efisien.
Gambar 7 Replikasi Virus Influenza (Sumber: Rahardjo (2004)) Keterangan gambar: (1) Mula-mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein hemaglutinin. (2) Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu. Berdasarkan pengamatan dilaboratorium diketahui selama 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah mencapai 50%, proses ini sampai segmen RNA keluar ke dalam sitoplasma.
(3) Segmen-segmen tersebut masuk ke dalam ini sel (nukleus) dan mengalami transkripsi, untuk mengubah bentuk (-) RNA menjadi (+) RNA. (4) Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud adalah protein hemaglutinin, neuraminidase, matriks dan protein nonstruktural. (5) Delapan segmen yang berada di inti sel ditambah dengan segmen RNA yang masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi yaitu perbanyakan RNA. Berbeda dengan virus RNA lainnya, dimana replikasinya terjadi di luar inti sel. Dengan berlangsung di dalam inti sel, AI menggunakan bahan-bahan yang diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini memudahkan terjadinya proses Antigenic drift dan antigenic shift. (6) Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk dibungkus dengan protein HA, NA dan M serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari sel inang. Untuk bisa keluar dari sel inang, virus baru ini akan menempel pada reseptor yang terdapat dalam sel inang. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuraminidase bukan hemaglutinin seperti pada saat masuk ke sel. Proses ini bisa berlangsung selama 2 jam setelah infeksi (Rahardjo 2004).
2.7 Vaksin dan Vaksinasi Avian Influenza Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan penyakit AI di Indonesia adalah vaksinasi yang berpedoman pada ketentuan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE 2004; OIE 2008). Program vaksinasi merupakan 1 (satu) dari 9 (sembilan) langkah strategi penanggulan HPAI yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2004. Pada pelaksanaannya, kebijakan vaksinasi ini diterapkan dengan : (a) menggunakan vaksin yang sudah mendapatkan registrasi; (b) pada peternakan sektor 1, 2 dan 3 dilakukan secara swadaya; (c) pada peternakan sektor 4 pengadaan vaksin dan operasional vaksinasinya dibantu pemerintah; dan (d) program vaksinasi dilaksanakan dengan mengikuti SOP (Standar Operasional Prosedur) Pengendalian AI yang telah ditetapkan (Ditjennak 2008). Vaksin AI mengacu pada ketentuan OIE (2008) adalah sebagai berikut: 1. Vaksin yang direkomendasikan penggunaannya adalah vaksin AI inaktif. Vaksin AI aktif konvensional tidak direkomendasikan.
2. Vaksin AI inaktif konvensional hanya boleh diproduksi dengan menggunakan seed virus low pathogenic. 3.
Vaksin bersifat imunogenik, dilihat dari respon pembentukkan antibodi yang tinggi.
Vaksin yang baik menurut Pyre et al. (2008) adalah vaksin harus potensial, aman, stabil pada suhu ruang, dapat diberikan hanya dengan dosis tunggal, murah serta mampu dibedakan antara hewan vaksinasi dan infeksi secara alam (Differentiation of Infected From Vaccinated Animals/DIVA). Tabel 3 Persyaratan Vaksin Homolog Heterolog Rekombinan Rekombinan Rekombinan (RG H5N1) AI/ND FP Inaktif Inaktif (H5/ND) (H5) ( H5N1) (H5N2) Murni/aman/potensi +/+/+ +/+/± +/+/± +/+/± +/±/± Suhu stabil Tidak Tidak Tidak Tidak Ya/Tidak* Dosis tunggal Tidak Tidak Ya Ya/ Tidak Ya/ Tidak Pemberian mudah Tidak Tidak Tidak Ya/ Tidak Ya (tetes (oral/mucosal) mata) DIVA Tidak Ya Ya Ya/ Tidak Ya Murah Bervariasi tergantung Negara ( 0.01-0-05 US dollar) Vaksin Eropa lebih mahal dari Asia. Keterangan : RG. Reverse Genetik ; AI. Avian Influenza; ND. New Castle Disease; FP .Fowl Pox; DIVA. Differentiation of Infected From Vaccinated Animals (Sumber: Pyre et al. (2008)) Vaksin Ideal
Kendala dalam pembuatan vaksin yang sering timbul adalah antigenic drift dan antigenic shift. Dengan alasan tersebut di atas maka vaksin inaktif yang menggunakan isolat lokal merupakan pilihan yang terbaik. Vaksin ini relatif mudah membuatnya dan memerlukan waktu singkat untuk memproduksinya. Namun demikian, vaksin ini perlu dievaluasi tiap tahun dengan mengamati apakah telah terjadi antigenic drift atau antigenic shift di lapangan. Apabila hal tersebut terjadi, maka diperlukan isolat baru sebagai bibit vaksin. Kebijakan pemerintah Indonesia berdasarkan rekomendasi hasil pertemuan Direktorat Kesehatan Hewan, Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Komisi Obat Hewan dan Narasumber UPP-AI Pusat yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 20-21 Maret
2009 adalah untuk menghasilkan vaksin yang baik
dengan kualitas, efikasi dan
keamanan yang tinggi serta potensi yang optimal diperlukan pemilihan master seed baru dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi.
Untuk memenuhi prinsip kehati-hatian
tersebut, ditentukan kriteria master seed baru sebagai berikut: 1. Subtipe H5N1 2. Sifat imunogenesitas tinggi 3. Sifat antigenesitas dengan cakupan geografis yang luas. 4. Sifat genetik antigenik yang stabil. 5. Tingkat proteksi yang tinggi terhadap uji tantang dengan beberapa isolat virus yang berbeda karakter genetik dan antigeniknya (Ditjennak 2009). Hingga tahun 2009, Indonesia telah menggunakan vaksin AI impor dan produksi dalam negeri yang masih menggunakan master seed Legok 2003 (HPAI H5N1) dan H5N2. Jumlah vaksin AI di Indonesia yang telah mendapat registrasi sementara dari Departemen Pertanian RI adalah sebanyak 24 vaksin (Lampiran 1) yang menggunakan master seed, yaitu H5N1 (HPAI, isolat lokal, strain Legok), H5N1 (HPAI, isolat lokal, strain Purwakarta), H5N2 (LPAI, strain England N-28), H5N2 (LPAI, strain Mexico 232), H5N2+ND (LPAI, strain England N-28 dan ND strain Lasota), H5N9 (LPAI, strain Wisconsin 68), dan H5N1 reverse genetic (isolat lokal Legok dengan Puerto Rico), dan vaksin vektor (H5N8 dengan FP 89) (Ditjennak 2009). Strategi vaksinasi AI yang dilakukan di Indonesia berdasarkan prosedur operasional standar pengendalian penyakit AI (Ditjennak 2008) adalah sebagai berikut: 1. Vaksin AI yang digunakan adalah vaksin inaktif yang strain virusnya homolog dengan subtipe virus isolat lokal (H5) baik yang diproduksi secara konvensional maupun rekayasa genetika. 2. Vaksin yang digunakan harus telah mendapatkan nomor registrasi dari pemerintah c.q Direktorat jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 3. Strategi vaksinasi dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pada daerah bebas dilarang melakukan vaksinasi; b. Pada daerah kasus rendah, tidak dianjurkan melakukan vaksinasi;
c. Pada daerah kasus tinggi atau endemis, dilakukan vaksinasi secara tertarget. 4. Pelaksanaan vaksinasi tertarget tersebut dipilih pada populasi tertentu di daerah tertentu dengan kasus tinggi penyakit pada AI pada unggas, terdapat kasus manusia dan atau terdapat peternakan sektor1,2 dan 3 di sekitarnya. 5. Vaksinasi dilakukan 3-4 kali dalam satu tahun, dan atau sesuai petunjuk produsen yang tertera pada etiket atau brosur. 6. Vaksinasi hanya dilakukan pada unggas yang sehat. 7. Cakupan vaksinasi meliputi seluruh populasi unggas terancam di daerah tertular yakni ayam buras, bebek, itik, entok, kalkun, angsa, burung merpati, burung puyuh, ayam ras petelur dan ayam ras pedaging yang termasuk peternakan sektor 4. 8. Vaksinasi dilakukan oleh petugas dinas dan atau kader/relawan desa terdidik, yang telah dilatih dan telah mengikuti pelatihan vaksinasi (vaksinator). 9. Program vaksinasi dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan setempat. Strategi vaksinasi diharapkan dapat menurunkan kerentanan terhadap infeksi virus sekaligus mengurangi pengeluaran virus dari tubuh unggas, baik dari segi jumlah maupun lamanya waktu, sehingga merupakan alat yang tepat untuk menekan terjadinya kasus baru dan sirkulasi virus di lingkungan. Kesuksesan program vaksinasi dapat tercapai apabila vaksinasi dianggap sebagai alat untuk memaksimalkan tindak biosekuriti tanpa mengesampingkan pelaksanaan surveilans agar setiap perubahan antigenik virus yang bersirkulasi dilapangan dapat segera terdeteksi (Capua & Marangon 2006; Maas et al. 2007). Efek perlindungan pasca vaksinasi merupakan respon kebal terhadap protein hemaglutinin (HA) pada permukaan virus dan atau neuraminidase (NA). Efek perlindungan yang diberikan oleh sebuah vaksin hanya terhadap subtipe HA individual yang terdapat dalam vaksin. Pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukkan antibodi terhadap virus influenza A yang dapat diamati pada hari ke7 sampai ke 10 pasca infeksi. Pemeriksaan serologik yang dipakai adalah uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutination
Inhibition/HI)
untuk
mengetahui
adanya
antibodi
terhadap
hemaglutinin (H) dan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N) (Rahardjo 2004; WHO 2002; OIE 2008).
III BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai Agustus 2009.
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah marmut (Cavia porcellus) dengan berat badan 300-400 gr untuk produksi antibodi poliklonal AI H5N1 (Ab1); kelinci New Zealand White dengan berat badan berat 2.5 kg untuk preparasi antibodi terhadap Ab1 atau antibodi anti-idiotipe (Ab2); ayam petelur strain White Leghorn Specific Pathogen Free (SPF) umur 4 minggu untuk produksi antibodi terhadap Ab2 (Ab3) atau uji imunogenesitas kandidat vaksin AI (antibodi anti-idiotipe). Marmut, kelinci dan ayam
diberikan pakan berbentuk pelet sesuai dengan
standar pakan hewan laboratorium BBPMSOH.
3.2.2 Bahan dan Media Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin Avian Influenza (AI) H5N1 inaktif strain Legok, PCR kit AI (Super ScriptTM III One-Step RT-PCR System with Platinum Ethanol
R
Taq DNA Polymerase-Invitrogen), TRIZOLR LS Reagent (Invitrogen),
(Merck),
Chloroform
(Merck),
Isoprophil
Alcohol
(Merck),
Diethilpyrocarbonate (DEPC) (Invitrogen), Primer H5 (Invitrogen) dan N1 (Eurogentec), Tris Boric Edta (TBE) (Invitrogen), Agarose (Invitrogen), Ethium Bromide (Sigma), BlueJuice Gel Loading (Invitrogen), antigen AI H5N1 strain Legok 2003 (BBalitvet), sel darah merah ayam SPF, Larutan Alsever, Natrium azide (Merck), Phosphate Buffer Saline (PBS) (Gibco), Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A
(Millipore-Montage), Polyethilenglycol 6000 (Merck), Bovine Serum Albumin (Sigma), Sodium Dodecyl Sulfate (Invitrogen), Acrylamide (Invitrogen), Tris HCl (Sigma), NNmethhylene bis acrilamide (Invitrogen), Amonium persulfat (Sigma), Tetra Methyl Etilen Diamin (TEMED)(Invitrogen), Methanol (Sigma), Marker protein (Invitrogen, Promega), Mercaptoethanol (Sigma), Tris Base (Sigma), Natrium Sitrat (Merck), Amonium Sulfat (Sigma), Enzim pepsin (Sigma), Diethylaminoethyl (DEAE), Cellulose, Asam acetat glacial (Sigma), Comassie blue (Sigma), Imunoglobulin G kontrol (Promega), Freund’s Complete Adjuvant (FCA) dan Freund’s Incomplite Adjuvant (FIA)(Sigma), alkohol 70%, aquabidest, formaldehyde, Minimum Eagle Media (Gibco), Fetal Bovine Serum (Gibco), Penicillin Streptomycin (Gibco), Triptose Phosphate Broth (TPB)(BD), LGlutamin (Gibco), NaHCO3 (Merck) dan Thioglycollate (TGC) (Difco). Bahan lain adalah TAB SPF, biakan jaringan MDCK, isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI IPB (2005), isolat AI H5N1 IPB (2007), isolat AI H5N1 IPB (2008), isolat AI H5N1 IPB (2009), dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 (Susanti 2008).
3.2.3 Peralatan Peralatan yang digunakan adalah kandang marmut, kelinci dan ayam dan perlengkapan makan dan minum. Peralatan lain adalah alat suntik (1 ml, 3 ml, 5 ml dan 10 ml), filter (0.45 µm dan 0.22 µm), tabung sentrifus, mikropipet (single dan multichannel), tips, tabung ependorf (microtube), beker glass, rak tabung, gelas objek, microwave, microplate 96 lubang dengan dasar V (Nunc), microplate 96 lubang steril dengan dasar datar (Nunc), botol biakan jaringan (Nunc), botol duran, magnetic sitrer, stirer, vortex mixer, pipet Mohr (1ml, 2 ml, 5 ml dan 10 ml), perlengkapan uji agar gel presipitasi (Agar Gel Precipitation/AGP), pH meter, mesin sentrifus, mesin thermocycle, gel elektrophoresis, transluminator, spektrofotometer, inkubator telur, inkubator biakan jaringan, timbangan, penangas air, peralatan untuk Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), conector, pelubang telur, thoma cythometerl, inverted microscope, dan laminar air flow (Biosafety Level II).
3.3 Metode 3.3.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi dengan menggunakan pelarut lemak (kloroform atau eter, disentrifugasi kemudian endapannya diambil untuk uji Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Ditjennak 2007). Isolasi RNA dilakukan dengan
menggunakan metoda TRIZOLR LS Reagent
(Invitrogen) sebagai berikut : sebanyak 250 μl vaksin dan 750 μl Trizol dimasukkan kedalam tabung eppendorf 1.8 ml, kemudian dihomogenkan memakai vortex mixer. Larutan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar (25–30o C), kemudian ditambahkan 500 μl chloroform. Tabung tersebut dihomogenkan selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian disentrifus dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 2–8o C selama 15 menit. Sebanyak 500 μl fase cair pada supernatan (putih bening) diambil dan dimasukkan kedalam tabung baru. Fase cair tersebut ditambahkan 500 μl isoprophil alcohol dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Larutan selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 2–8o C selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang. Hasilnya adalah endapan RNA. Ke dalam endapan tersebut ditambahkan 1000 μl ethanol 75% dan disentrifus dengan kecepatan12.000 g selama 5 menit.
Endapan RNA dikeringkan selama 7 menit di dalam laminar air flow,
selanjutnya dilarutkan dengan 10 μl air suling bebas Rnase atau DEPC. Tahap akhir adalah larutan RNA diinkubasikan dalam penangas air 60o C selama 10 menit. Larutan RNA di simpan pada suhu
– 20o C sampai dilakukan RT-PCR.
Reverse transcription adalah pembuatan cDNA yang bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim reverse transcriptase. Reverse TranscriptasePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilakukan dengan metoda Super ScriptTM III OneStep RT-PCR System with Platinum
R
Taq DNA Polymerase (Invitrogen). Primer yang
digunakan untuk mengamplifikasi gen H5 adalah menurut Lee dan Suarez (2004) dan primer N1 (Tabel 4). Reaksi PCR (PCR mix) dibuat sebanyak 50 µl dengan komposisi sebagai berikut : 25 μl 2x reaction PCR mix , 2 μl Platinum Taq, 5 μl RNA template, 1 μl Primer forward (10 µM), 1 μl Primer reverse (10 µM) dan 16 μl ddH2O (ultrapure H2O). Campuran tersebut dihomogenkan dengan vortex mixer, kemudian dimasukkan ke dalam mesin thermocycle yang telah diprogram. Program RT-PCR adalah menurut Lee et al.
2001: cDNA synthesis 60o C selama 30 menit, predenaturasi 95o C selama 2 menit, selanjutnya 35 siklus terdiri dari denaturasi 95o C selama 40 detik, penempelan 50o–55o C selama 40 detik, ekstensi 72o C selama 1 menit dan post ekstensi 72o C selama 4 menit.
Pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel
agarose 2 %. Tabel 4 Primer Untuk mengamplifikasi Virus AI H5N1 ___________________________________________________________________ Primer Sekuen basa Produk (pb) ___________________________________________________________________ 1 H5N1-H5-forward: 5’AAA CAG AGA GGA AAT AAG TTG AAAA ATT’3 H5N1-H5-reverse: 5’AAA GAT AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC’3 2 H5N1-N1-forward GD: 5'- TTG CTT GGT C(A/G)G CAA GTG C H5N1-N1-reverse Yong: 5'- TGA T(A/G)G TGT CTG TTA TTA TGC C
55 120
____________________________________________________________________ pb: pasangan basa
Elektroforesis produk amplifikasi PCR (DNA) dilakukan menggunakan ultrapure agarose (Invitrogen) 2%. Sebanyak 2 gram agarose dilarutkan dalam 100 ml TBE buffer, kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi jernih. Ethium bromide ditambahkan ke dalam gel hangat selanjutnya gel dituangkan ke dalam dish mupid (sebanyak 50 ml kedalam dish yang besar)
dan dibiarkan pada suhu kamar
selama 15 menit. Sambil menunggu, sebanyak 250 ml TBE buffer dituangkan ke dalam mupid electrophoresis. Gel yang beku diletakkan di dalam mupid elektroforesis dengan aliran listrik negatif mengalir ke positif. Sebanyak 2 μl loading dye (BlueJuice Gel Loading-Invitrogen) dan 8 μl produk amplifikasi PCR dicampur dan dimasukkan ke dalam lubang gel. Voltase yang digunakan sebesar 50 Volt selama 45 menit. Pita atau fragmen DNA yang teramplifikasi dilihat dibawah sinar ultaviolet.
3.3.2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian Influenza H5N1 (Ab1) Produksi antibodi poliklonal AI H5N1 dilakukan pada 10 ekor marmut dengan berat badan 350-400 gram. Darah preimunisasi diambil untuk mengetahui titer antibodi terhadap virus AI H5N1. Imunisasi dilakukan dengan menyuntik satu dosis vaksin AI
H5N1 inaktif strain Legok (0,5 ml) secara subkutan. Penyuntikan diulang sebanyak 3 kali dengan interval 3 minggu. Keberadaan antibodi dideteksi dengan uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition/HI) (WHO 2002, OIE 2005) dan uji agar gel presipitasi (Agar Gel Precipitationt/AGP). Serum dikoleksi setelah titer antibodi tinggi dalam darah yaitu seminggu setelah imunisasi ke-3.
3.3.2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab1) Reidentifikasi serum marmut dilakukan dengan uji HI dan uji AGP (OIE 2005). Serum marmut diinaktifasi terlebih dahulu dalam penangas air 56o C selama 30 menit dan diabsorbsi dengan sel darah merah ayam pada suhu ruang selama 30 menit, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 1000 g selama 5 menit dan diambil supernatannya untuk selanjutnya di uji HI. Uji hambatan hemaglutinasi adalah sebagai berikut: pada semua lubang microplate 96 lubang dimasukkan pengencer PBS dan pada lubang pertama dimasukkan 25 µl serum. Pengenceran secara seri kelipatan dua sampai dengan lubang 11, selanjutnya ditambahkan sebanyak 25 µl antigen AI H5N1 4 HAU/25 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian ditambahkan sel darah merah ayam SPF 1% sebanyak 25 µl pada semua lubang diinkubasikan
dan selanjutnya
pada suhu kamar selama 40 menit. Titer antibodi ditentukan dari
pengenceran tertinggi serum yang mampu menghambat aglutinasi sel darah merah. Uji agar gel presipitasi adalah sebagai berikut: agar gel dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene Glycol (PEG) 6000, 0.1% Na azide dalam 25 ml PBS pH 7.4 dan 25 ml akuades pH 7.4. Larutan ini dipanaskan dalam microwave sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Larutan sebanyak 3.75 ml dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras, kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Antigen sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur tengah dan antibodi sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur disekelilingnya.
3.3.2.2 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab1) Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) AI H5N1 dari serum marmut (Ab1) dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A
media (Millipore). Prosep A dilepaskan dari tutup atas dan bawahnya kemudian dimasukkan kedalam spin colomn. Spin column dicuci dengan 10 ml binding buffer, kemudian disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 15 menit. Serum marmut di saring dengan menggunakan steriflip GP filter 0,22 µm, selanjutnya sampel serum dilarutkan dengan binding buffer dengan perbandingan 1:1 v/v, lalu dimasukkan kedalam spin column dan disentrifus pada kecepatan 150 g selama 20 menit. Spin colomn dicuci kembali dengan 10 ml binding buffer dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit, pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Imunoglobulin G di elusi dengan 10 ml buffer dan elusi dilakukan langsung kedalam tabung sentrifus yang berisi 1,3 ml buffer netral, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit. Larutan yang ada dibawah
ditampung dan merupakan IgG. Imunoglobulin G di desalting dengan
menggunakan Amicon Ultra 15 dan disentrifus dengan kecepatan 4500 g selama 30 menit. Larutan yang ada diatas ditampung dan merupakan IgG poliklonal. Reidentifikasi IgG AI H5N1 dilakukan dengan uji AGP dan untuk mengetahui berat molekul IgG dilakukan SDS-PAGE (Hames & Rickwood 1987) dengan menggunakan sistem diskontinyu. Sistem ini terdiri atas gel pemisah dengan konsentrasi 12 % dan gel pengumpul dengan konsentrasi 4 %. Gel diwarnai dengan commassie blue dan estimasi berat molekul protein berdasarkan perbandingan dengan marker umum berat molekul, selanjutnya konsentrasi IgG dihitung dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet. 3.3.2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab)2 Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dari serum marmut ditujukan untuk memperoleh fragmen F(ab)2 dari imunoglobulin. Fragmen F(ab)2, selanjutnya disebut Ab1, akan digunakan untuk merangsang terbentuknya antibodi spesifik terhadap epitop Ab1 pada kelinci. Antibodi yang akan terbentuk oleh Ab1 ini merupakan antibodi antiidiotipe (Ab2). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan enzim pepsin, sehingga akan diperoleh 1 fragmen F(ab)2 divalen yang mengandung 2 Fab dan 1 fragmen Fc. Imunoglobulin G dibuat menjadi 5 mg/ml dalam Na sitrat 100 mM pH 3.5. Pemotongan IgG dilakukan dengan menggunakan 5 µg pepsin untuk 1 mg IgG, kemudian diinkubasi dalam penangas air pada suhu 37 0C selama 24 jam, setelah 24 jam reaksi pemotongan dihentikan dengan Tris buffer 3 M pH 8,8 sebanyak 10%, lalu disentrifus
dengan kecepatan 10.000 g selama 30 menit. Larutan ini kemudian di desalting dengan Amicon Ultra 15 dengan kecepatan 4500 g selama 20 menit. Larutan ini kemudian di dialisis dalam PBS pH 8.0 selama 24 jam untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan protein.
Proses dialisis ini akan menyebabkan molekul-molekul garam
keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Hasil dialisis inilah yang akan digunakan sebagai Ab1 untuk mengimunisasi kelinci. Reidentifikasi dilakukan dengan metode SDS-PAGE. Fragmen F(ab)2 memiliki berat molekul 110 kDa, selanjutnya konsentrasi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet.
3.3.3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab2) Pada Kelinci Antibodi anti-idiotipe (Ab2) disiapkan dengan cara menyuntik kelinci dengan Ab1 (F(ab)2). Produksi Ig G menggunakan 3 ekor kelinci New Zealand White berat 2.5 kg. Dua ekor kelinci diimunisasi dengan 500 µg Ab1 H5N1 dalam Freund’s Complete Adjuvant (FCA) secara subcutan dan satu ekor kelinci sebagai kontrol. Imunisasi ulangan dilakukan satu minggu berikutnya dengan menyuntikkan 500 µg Ab1 dalam Freund’s Incomplete Adjuvant (FIA) secara subcutan. Satu minggu kemudian serum dikoleksi dan identifikasi keberadaan Ab2 H5N1 strain Legok dengan uji AGP. Berat molekul ditentukan
dengan
metode
SDS-PAGE
dan
konsentrasinya
dihitung
dengan
spektofotometer ultra violet.
3.3.3.1 Pemurnian Imunoglobulin G Kelinci Anti-Idiotipe (Ab2) Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) AI H5N1 dari serum kelinci (Ab2) dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A media (Millipore). Prosep A dilepaskan dari tutup atas dan bawahnya kemudian dimasukkan kedalam spin column. Spin column dicuci dengan 10 ml binding buffer, kemudian disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 15 menit. Serum marmut di saring dengan menggunakan steriflip GP filter 0,22 µm, selanjutnya sampel serum dilarutkan
dengan binding buffer dengan perbandingan 1:1 v/v, lalu dimasukkan kedalam spin column dan disentrifus pada kecepatan 150 g selama 20 menit. Spin column dicuci kembali dengan 10 ml binding buffer dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit, pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Imunoglobulin G di elusi dengan 10 ml buffer dan elusi dilakukan langsung kedalam tabung sentrifus yang berisi 1.3 ml buffer netral, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit. Larutan yang ada dibawah
ditampung dan merupakan IgG. Imunoglobulin G di desalting dengan
menggunakan Amicon Ultra 15 dan disentrifus dengan kecepatan 4500 g selama 30 menit. Larutan yang ada diatas ditampung dan merupakan IgG. Reidentifikasi IgG kelinci dilakukan dengan uji AGP dan untuk mengetahui berat molekul IgG dilakukan SDS-PAGE (Hames & Rickwood 1987) dengan menggunakan sistem diskontinyu. Sistem ini terdiri atas gel pemisah dengan konsentrasi 12 % dan gel pengumpul dengan konsentrasi 4 %. Gel diwarnai dengan commassie blue dan estimasi berat molekul protein berdasarkan perbandingan dengan marker umum berat molekul, selanjutnya konsentrasi IgG dihitung dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet.
3.3.4 Imunogenesitas “Kandidat Vaksin” (Antibodi Anti-idiotipe) Imunisasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab2) pada ayam dilakukan untuk mendeteksi terbentuknya antibodi terhadap Ab2. Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan
antibodi anti anti-idiotipe (Ab3). Antibodi ini diharapkan mempunyai
karakteristik serologi sama dengan antibodi dari serum marmut (Ab1), sehingga mampu bereaksi homolog dengan Ab2 maupun dengan antigen virus AI. Imunisasi dilakukan sebagai berikut: sebanyak 20 ekor ayam dibagi @ 5 ekor menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol; kelompok II sebagai kelompok Ig G kelinci kontrol, kelompok III sebagai kelompok kandidat vaksin (antibodi antiidiotipe) dan kelompok IV sebagai kelompok vaksin AI H5N1. Kelompok kontrol adalah kelompok ayam yang tidak diberi perlakuan. Kelompok Ig G kelinci kontrol adalah kelompok ayam yang diimunisasi dengan 500 µg Ig G kelinci kontrol dalam FCA secara intramuscular.
Kelompok antibodi anti-idiotipe adalah kelompok ayam yang
diimunisasi dengan 500 µg Ab2 dalam FCA secara intramuscular. Kelompok vaksin AI H5N1 adalah kelompok ayam yang diimunisasi dengan 1 dosis vaksin komersil AI H5N1
inaktif strain Legok secara intramuscular. Serum darah dikoleksi sebelum imunisasi (preimunisasi) dan tiap minggu post imunisasi selama 1 bulan. Pengukuran titer antibodi dari imunisasi antibodi anti-idiotipe (Ab2) menggunakan uji HI dan uji serum netralisasi (SN) (Ditjennak 2007; WHO 2002).
3.3.4.1 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji HI Persiapan untuk melakukan uji serologi antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) dengan uji HI adalah dengan memproduksi antigen AI (Lampiran 15) dari beberapa isolat, yaitu isolat AI H5N1 IPB (2007), isolat AI H5N1 IPB (2008), dan isolat AI H5N1 IPB (2009), sedangkan antigen AI H5N1 strain Legok (2003) diperoleh dari Balitvet. Uji serologi antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) dengan uji HI sebagai berikut: sebanyak 25 µl PBS dimasukkan ke dalam setiap lubang pada microplate 96 lubang, kemudian ditambahkan 25 µl serum pada lubang yang pertama. Serum diencerkan dengan kelipatan 2 sampai lubang ke 11, kemudian ditambahkan dengan 25 µl antigen (4 HAU) pada semua lubang. Microplate diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, selanjutnya ditambahkan 25 µl sel darah merah ayam SPF 1% pada semua lubang. Larutan tersebut
diinkubasikan selama 40 menit pada suhu kamar.
Titer antibodi
ditentukan dari pengenceran tertinggi serum yang mampu menghambat aglutinasi sel darah merah.
3.3.4.2 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji SN Persiapan untuk melakukan uji serologi anti anti-idiotipe (Ab3) dengan uji SN adalah dengan mempropagasi dan mengukur kandungan virus dari isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005) dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2RS/2006 pada TAB dan sel MDCK (Lampiran 14) Uji serum netralisasi dilakukan dengan menggunakan biakan sel MDCK. Sebanyak 25 µl medium dimasukkan ke dalam setiap lubang microplate (96 well), kemudian 25 µl serum pada lubang yang pertama. Serum diencerkan dengan kelipatan 2 sampai lubang ke 11, kemudian ditambahkan dengan 25 µl virus AI (100 TCID50 ) pada semua lubang. Microplate diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370 C dengan 5% CO2 selama satu jam, selanjutnya ditambahkan dengan 100 µl sel MDCK (106 sel/ml) pada
semua lubang. Biakan sel diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370 C dengan 5% CO2. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari. Titer antibodi ditentukan dari pengenceran tertinggi serum yang mampu menetralisasi efek sitopatik.
3.3.5 Analisis Data Karakteristik uji dari antibodi anti-idiotipe dianalisis secara deskriptif yaitu berdasarkan gambaran hasil yang diperoleh dan secara statistik dengan menggunakan metode Mann Whitney dengan soft ware SPSS-16 dengan tingkat kepercayaan
(P-
value) 0.05. Mann Whitney adalah metode statistik yang digunakan untuk membedakan dua parameter dengan data non parametrik. Salah satu indikasi untuk mengetahui suatu data parametrik atau tidak adalah dengan melihat sebaran data (distribusi normal berarti parametrik) (Field 2005).
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi RNAnya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Reidentifikasi ini penting dilakukan untuk mengetahui bahwa master seed yang digunakan memiliki hemaglutinin H5 dan neuraminidase N1. Vaksin AI yang beredar di Indonesia harus terdaftar di Departemen Pertanian dan diuji mutunya di BBPMSOH (Lampiran 1). Spesifikasi master seed yang digunakan dalam produksi vaksin harus identik dengan keterangan dalam label vaksin (Ditjennak 2007). Reidentifikasi vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan primer H5 (Lee & Suarez 2004) dan primer N1 menunjukkan hasil positif terhadap virus AI subtipe H5N1. Gambaran pita DNA H5 berada pada 55 pb sesuai dengan primer subtipe H5 (Gambar 8) dan pita DNA N1 berada pada 120 pb sesuai dengan primer subtipe N1 (Gambar 9). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin tersebut menggunakan master seed H5N1. Master seed ini adalah virus AI yang berasal dari isolat lapang saat wabah AI pertamakali terjadi di Indonesia. Isolat berasal dari ayam yang terinfeksi oleh virus AI subtipe H5N1 dari daerah Legok, Banten. Penggunaan isolat tersebut sebagai master seed vaksin produksi lokal merupakan kebijakan pemerintah RI saat keadaan darurat untuk mengatasi wabah AI saat itu walaupun master seed vaksin AI yang direkomendasikan oleh OIE harus berasal dari isolat virus yang Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (OIE 2004). Beberapa kejadian menunjukkan bahwa tidak semua primer H5 dapat digunakan untuk melacak subtipe H5N1. Konfirmasi yang paling tepat untuk menentukan primer adalah dengan mengetahui urutan nukleotida gen HA dan NA (Suwarno et al. 2006).
250 pb 200 pb 150 pb 100 pb 55 pb
50 pb
1
2
3
4
M
Gambar 8 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe H5 (produk 55 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif H5; 3. Vaksin; 4. Kontrol positif H5; M. Marker 50 pb (Invitrogen)
400 pb 300 pb 200 pb
120 bp
100 pb
4 Gambar
3
2
1
M
9 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe N1 (produk 120 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif N1; 3. Kontrol positif N1; 4. Vaksin; M. Marker 100 pb (Invitrogen)
4.2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian Influenza H5N1 (Ab1) Pada Marmut Antibodi poliklonal AI H5N1 dalam serum marmut dapat dideteksi dengan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) dan uji hambatan hemaglutinasi (HI) (OIE 2005). 4.2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab1)
Reidentifikasi serum anti AI H5N1 (Ab1) dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif terhadap antigen AI H5N1 dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Hasil ini menunjukkan bahwa telah terbentuk antibodi yang homolog terhadap virus AI H5N1 yang diimunisasikan.
1
2
Ag
6
5
3
4
Gambar 10 Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1. Serum marmut 1; 2. Serum marmut 2; 3. Serum marmut 3; 4. Serum marmut 4; 5. Serum marmut 5; 6. Serum marmut 6; ( ) Garis presipitasi Keberadaan antibodi poliklonal Avian Influenza H5N1 dideteksi dengan uji HI. Hasil titer antibodi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 11.
Titer antibodi yang
terbentuk satu minggu setelah imunisasi ke tiga sebesar 1351.12 (210.4) . Claassen et al. (2007), mengukur titer antibodi yang dihasilkan oleh ayam layer (white leghorn) SPF terhadap beberapa vaksin AI subtipe H5N1 produksi lokal yang berisi master seed virus AI H5N1 strain Legok. Titer antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi dan diuji dengan HI adalah tinggi yaitu 28-11. Li et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa hasil titer antibodi terhadap virus AI sebanyak 2
10
(1024) adalah tinggi dan dapat dilakukan
panen serum untuk penelitian selanjutnya.
Tabel 4 Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 dengan Uji HI Marmut
Titer Antibodi Pre imunisasi
I
II
III
1
0
2 3 4 5 6 7 8 9 10 GMT
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
64 128 2048 128 128 512 64 64 1024 32 64 2048 256 1024 256 256 512 128 64 128 2048 128 2048 128 256 2048 128 256 2048 128 97.01 147.03 1351.12 Keterangan: I. Pasca imunisasi pertama; II. Pasca imunisasi kedua; III. Satu minggu pasca imunisasi ketiga; GM. Geometric Mean Titer
1600
T iter A ntibo di (G M T
1400 1200 1000 Titer
800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 11 Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1
Semua virus influenza A memiliki nukleokapsid dan antigen matriks secara antigenik yang sama. Antigen matrik tersebar lebih cepat dibandingkan dengan antigen nukleoklapsid. Uji AGP digunakan secara luas di berbagai negara untuk deteksi antibodi dan antigen spesifik virus AI. Uji AGP dilakukan untuk melihat reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen oleh antibodi ini diperlihatkan oleh adanya garis presipitasi di media agar gel. Jika sediaan antibodi tidak homolog dengan antigen maka tidak akan terbentuk garis presipitasi.
Penggunaan uji AGP dalam penelitian ini karena teknik imunopresipitasi merupakan salah satu cara yang masih dipakai untuk menganalisis atau mengukur kadar antigen atau antibodi. Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) yang dapat dianalisis dengan berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat dilangsungkan dalam media cair maupun media semisolid (gel). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam teknik imunopresipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum atau antibodi yang digunakan dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti. Reaksi imunopresipitasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah aviditas antibodi. Aviditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen binding site). Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai aviditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi aviditas antibodi makin stabil kompleks yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya suhu, pH dan molaritas larutan yang dipakai, dan yang tidak boleh diabaikan adalah perbandingan antara konsentrasi antigen dengan antibodi dalam reaksi. Perbandingan konsentrasi antigen dengan antibodi merupakan faktor terpenting dalam reaksi presipitasi. Pembentukkan presipitasi terjadi apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk (postzone effect), sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan komplek antigen antibodi tetap ada dalam larutan tanpa membentuk presipitasi (prozone effect) (Kresno 2001). Hasil penelitian ini terlihat bahwa pembentukkan garis presipitasi antara antigen dan antibodi karena kosentrasi antigen dan antibodi seimbang (zone ekivalen) (Gambar 10). Titer antibodi terhadap AI H5N1 adalah 28-11 (Tabel 4), sedangkan titer antigen AI H5N1 standar sebesar 28-9. Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di injeksi, rute imunisasi, dan sensitifitas assay (Bellanti 1993).
Imunisasi terhadap marmut pada penelitian ini
dilakukan sebanyak 3 kali. Tujuannya adalah untuk membentuk kondisi hiperimun pada marmut, sehingga dihasilkan antibodi dengan titer tinggi.
Vaksin inaktif umumnya
diperlukan dua atau tiga kali vaksinasi untuk memperoleh titer antibodi tinggi. Vaksinasi pertama adalah untuk memperkenalkan dan kedua sebagai booster atau ulangan sangat
diperlukan, supaya daya imunitasnya cukup tinggi (Roitt 2003; Rantam 2005). Titer antibodi yang tertinggi pada penelitian ini dicapai satu minggu setelah imunisasi ke tiga. Hemaglutinasi adalah fenomena aglutinasi sel darah merah oleh virus tertentu antara lain oleh virus influenza, sebagian besar virus Myxo beberapa virus Pox (Variola, Vaccinia dan Ectromelia), semua virus Reo, sebagian besar virus Toga, beberapa virus Entero dan lainnya.
Bagian virus yang mengaglutinasi sel darah merah disebut
hemaglutinin. Virus akan menempel pada permukaan sel darah merah melalui hemaglutinin tanpa menembus masuk ke dalam sel tersebut. Tempat virus menempel pada permukaan sel darah merah merupakan reseptor yang terdiri dari karbohidrat (mukopolisakarida) bersifat seperti lem dan sifat kimiawinya mirip musin pada saluran pernafasan. Hemaglutinasi terjadi karena banyak virus melekat pada sel darah merah dan bila dua sel darah merah yang mengandung partikel virus pada permukaannya bersentuhan mereka saling menempel melalui jembatan protoplasma yang terbentuk antara kedua sel tersebut. Lama kelamaan terbentuk massa yang cukup besar besar terdiri dari sel darah merah yang saling berdekatan (aglutinasi) dan karena massa tersebut cukup berat secara perlahan-lahan akan mengendap ke dasar tabung atau microplate. Hemaglutinasi oleh virus dapat dihambat oleh antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut, sehingga uji hambatan hemaglutinasi digunakan untuk mengetahui dan mengukur adanya antibodi dalam serum. Batas akhir aktivitas penghambatan adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih dapat menghambat secara sempurna penggumpalan sel darah merah. Uji hambatan hemaglutinasi merupakan salah satu uji serologik yang sederhana, cepat dan memiliki sensitiftas yang tinggi
untuk deteksi
antibodi virus AI (OIE 2008; Capua & Alexander 2009). Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya.
Titer
antibodi masih rendah pada tahap respon permulaan.
Antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas, hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi
terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu titer antibodi yang dihasilkan juga tinggi. Vaksin inaktif diperlukan dalam jumlah banyak untuk dapat merangsang respon antibodi. Respon antibodi tergantung dari antigen yang berada dalam vaksin. Hubungan antara kandungan antigen dalam vaksin inaktif dan respon antibodi penting untuk mengetahui penggunaan vaksin yang optimal (Maas et al. 2007). Antibodi yang dihasilkan dari imunisasi marmut dengan vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok adalah antibodi poliklonal karena antibodi ini dihasilkan oleh turunan dari beberapa sel B yang mengenali epitop berbeda pada antigen yang sama (Alberts et al. 2002). Menurut Roitt (2003), antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam tubuh hewan lalu memurnikan antibodi dari serum darah. Antibodi ini umumnya bereaksi dengan banyak epitop Berdasarkan definisinya antibodi poliklonal adalah antibodi yang diperoleh dari hiperimun, disebut juga serum hiperimun dan dapat bereaksi dengan sejumlah determinan antigen yang berbeda pada antigen (bereaksi pada banyak epitop).
4.2.2
Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab1) Pemurnian Imunoglobulin G dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody
Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni sehingga memudahkan proses pemotongan F(ab)2 dari Fc. Kit ini mempergunakan protein A, yaitu protein dinding sel Staphylococcus aureus yang akan berikatan dengan bagian Fc dari IgG. Reidentifikasi IgG AI H5N1 dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif dengan antigen AI H5N1, ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 12). Hal ini berarti bahwa terjadi reaksi serologi yang homolog antara IgG H5N1 dengan antigen AI H5N1 karena IgG AI H5N1 merupakan antibodi spesifik terhadap virus AI H5N1. Konsentrasi IgG AI H5N1 yang diperoleh sebesar 8 mg/ml.
2 1
3 Ag
6
4 5
Gambar 12 Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI ) Garis presipitasi H5N1; 1,2,3,4,5. IgG AI H5N1; ( Imunoglobulin G (IgG) adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah dan mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen. Imunoglobulin G mampu menetralisasi virus dengan cara mengaglutinasi dan mempresipitasikan antigen (Alberts et al. 2002; Roitt 2003).
4.2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab)2 Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dengan pepsin untuk memperoleh fragmen F(ab)2 yang selanjutnya akan dimurnikan. Enzim pepsin hampir menghancurkan bagian fragmen Fc tetapi tidak menghancurkan kedua fragmen Fab (Gambar 13).
Daerah pengikatan antigen
Daerah pengikatan antigen
Antibodi
A
pepsin
B
C
Gambar 13 Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin: A. Imunoglobulin yang dipotong dengan enzim pepsin; B. Fragmen Fc; C. Fragmen F(ab)2 Pemurnian fragmen F(ab)2 dengan desalting menggunakan Amicon Ultra 15. Protein dengan berat molekul < 30 kDa akan berada pada bagian bawah dan protein dengan berat molekul yang lebih tinggi akan berada di bagian atas. Fragmen F(ab)2 akan berada pada bagian atas, karena protein ini memiliki berat molekul 110 kDa. Fragmen F(ab)2
kemudian didialisis untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan
protein. Dialisis dilakukan menggunakan PBS pH 8,0 selama 24 jam. Proses dialisis ini
akan menyebabkan molekul-molekul garam keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Fragmen F(ab)2 hasil pemurnian ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan Sodium Dodecyl Sulphonat Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDSPAGE) dan diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer ultraviolet. Profil pita protein Imunoglobulin G dan fragmen F(ab)2 dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Imunoglobulin G mempunyai berat molekul 150 kDa dan fragmen F(ab)2 mempunyai berat molekul 110 kDa. Pengukuran konsentrasi fragmen F(ab)2 dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet diperoleh hasil sebesar 1 mg/ml. Jumlah ini cukup untuk digunakan sebagai antigen, guna menginduksi terbentuknya antibodi anti-idiotipe pada kelinci. Dosis antigen berkisar antara 10-100 µg (Leenars et al. 1997; Paryati 2006; Poetri et al. 2008). Secara in vivo dengan 100 µg fragmen F(ab)2 dapat mencegah virus AI H5N1 (Lu et al. 2006), namun untuk antigen protein dianjurkan memakai dosis antara 50-1000 µg (Leenars et al. 1994).
M 220 100 60
1
2
3
4
5
M 225 150
50
100 75 50
40
35
30
25
25 20 15 10
15 10
1
2
Gambar 14 Profil pita protein Imunoglobulin Gambar 15 Profil pita protein G yang telah dipurifikasi: M. Fragmen F(ab)2: M. Marker (Promega); Marker (Invitrogen); 1. IgG Ab1; 1. F(ab)2 ; 2. F(ab)2 2. IgG kelinci kontrol; 3. IgG dan Fc Ab2; 4. IgG Ab2; 5. IgG kelinci standar (Promega) Fragmen F(ab)2 adalah antibodi AI H5N1 (Ab1) dan digunakan untuk mengimunisasi kelinci untuk produksi antibodi anti-idiotipe (Ab2). Fragmen F(ab)2 ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Fragmen ini masih dapat mempresipitasikan antigen karena masih mempunyai kedua binding site (tempat ikatan) (Roitt 2003) Menurut Rantam (2003), SDS-PAGE adalah protein dielektrophoresis dalam detergen ionik yaitu SDS. Detergen ini akan mengikat residu hidrophobik dari bagian belakang peptida secara komplit, dengan demikian protein SDS-komplek migrasi melalui poliakrilamid tergantung dari berat molekulnya.
Ada dua sistem pada SDS yaitu
kontinyu (Weber & Osbon) dan diskontinyu (Laemli).
Sistem kontinyu, campuran
protein dilapiskan pada bagian atas (bands pada bagian atas dari separating gel), sehingga kelemahan pada sistem ini akan terjadi resolusi dengan sampel. Penelitian ini menggunakan sistem diskontinyu, dimana protein migrasi dengan cepat melaui pelarut ion pada stacking gel dan separating gel. Protein terkonsentrasi pada garis tipis berupa pita atau band yang tipis. Lebih
lanjut
Rantam
(2003)
menyatakan
bahwa
Polyacrylamide
Gel
Electrophoresis (PAGE) adalah merupakan standar metode pengujian terhadap berat molekul protein, struktur subunit dan kemurnian protein. Poliakrilamid adalah matrix pilihan untuk memisahkan protein yang mempunyai berat molekul antara 500-250.000 Dalton. Pori-pori pada matrik dibentuk oleh rantai cross-linking linear polyacrylamid dengan bis acrylamide. Ukuran pori-pori berkurang sesuai dengan peningkatan total presentasi acrylamide atau peningkatan derajat presentasi konsentrasi campuran dengan bisacrylamide. Dengan pembuatan atau pemilihan total konsentrasi yang tepat akan menentukan pula ukuran yang tepat terhadap ukuran protein yang diinginkan.
Jadi
semakin tinggi total presentasi akan menghalangi pergerakan protein ke dalam gel, begitu juga bila terlalu rendah total presentasi akan mengakibatkan pergerakan protein menjadi
terlalu cepat bergerak melalui gel yang mengakibatkan didapatkan protein spesifik rendah dan tidak sesuai dengan protein yang diinginkan. Awal terjadinyapolimerasi biasanya disempurnakan
oleh
ammonium
persulfat
dan
dikatalisa
oleh
N,N,N,N-
Tetramethylethylenediamine (TEMED). Antibodi (Ab1) murni satu spesies yang disuntikkan ke spesies yang berbeda akan dikenali sebagai antigen asing dan menimbulkan respon humoral (Ab2) yang kuat (Harlow & Lane 1988; Roitt 2003). Penggunaan fragmen F(ab)2 dari antibodi sebagai Ab1 dapat meningkatkan spesifisitas dan mengurangi heterogenitas antibodi yang akan terbentuk dari hasil imunisasi menggunakan Ab1 sebagai antigen. Imunisasi dengan fragmen Fab IgG menunjukkan respon yang lebih besar dibandingkan imunisasi dengan IgG yang disebabkan sifat menghambat bagian Fc (Roitt 2003).
4.3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab2) Pada Kelinci Fragmen F(ab)2 dari marmut atau disebut juga Ab1 digunakan untuk menginduksi antibodi anti-idiotipe (Ab2). Fragmen ini diemulsikan dengan menggunakan FCA yaitu Freund’s adjuvant bentuk lengkap dan diimunisasikan pada kelinci. Dua ekor kelinci di imunisasi dengan Ab1, dan satu ekor kelinci sebagai kontrol. Satu minggu kemudian fragmen F(ab)2 diemulsikan dengan FIA yaitu Freund’s adjuvant bentuk tidak lengkap. Serum kelinci diperiksa keberadaan antibodi terhadap Ab1 dengan uji AGP. Akibat rangsangan antibodi (Ab1) akan terbentuk antibodi dengan urutan asam amino khas yang diekspresikan sebagai epitop unik pada regio variabel molekul antibodi (Ab2). Idiotipe pada Ab2 digunakan sebagai dasar pembuatan vaksin yang potensial untuk melawan agen infeksius (Kennedy & Attanasio 1990). Identifikasi serum kelinci dengan uji AGP menunjukkan terbentuknya garis presipitasi antara Ab1 dengan serum kelinci, hasil ini menunjukkan bahwa Ab2 memiliki kemiripan antigenic determinant dengan virus AI yang digunakan sebagai master seed vaksin. Antibodi anti-idiotipe ini selanjutnya dimurnikan IgG-nya
4.3.1 Pemurnian Imunoglobulin G Antibodi Anti-idiotipe (Ab2)
Pemurnian
IgG kelinci dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody
Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore).
Pemurnian dilakukan
untuk mendapatkan IgG murni. Imunoglobulin G kelinci adalah antibodi anti-idiotipe (Ab2) yang merupakan antibodi poliklonal yang mengandung antibodi dengan spesifisitas, afinitas dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal relatif stabil dan bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda, sehingga mengakibatkan terbentuknya komplek antigen-antibodi yang lebih besar dan mudah mempresipitasikan antigen. Karakterisasi antibodi anti-idiotipe (Ab2) dilakukan dengan mengukur berat molekul dengan SDS-PAGE. Imunoglobulin G kelinci mempunyai berat molekul 150 kDa (Gambar 15).
4.3.2 Reidentifikasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab2) Hasil pemurnian Ig G kelinci selanjutnya diidentifikasi dengan uji AGP. Identifikasi
menunjukkan reaksi positif yang ditandai dengan terbentuknya garis
presipitasi antara Ab1 dan Ab2, artinya telah terbentuk antibodi terhadap Ab1 (Gambar 16).
Ab2
Ab1
Ab2 Ab2
Gambar 16
Ab2
Ab2
Ab2
Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Imunogen: Ab1. Antibodi AI H5N1; Ab2. Antibodi anti-idiotipe; ( → ) garis presipitasi
Adanya garis presipitasi merupakan adanya reaksi homolog antara Ab1 dan Ab2. Daerah variabel suatu antibodi
yang mengikat antigen bersifat antigenik dan dapat
menstimulasi terbentuknya antibodi terhadap daerah variabel itu sendiri jika disuntikkan
pada hewan yang berbeda spesiesnya atau bahkan pada hewan yang sama spesiesnya (Migliorini & Schwartz 1988; Roitt 2003). Antibodi ini disebut sebagai antibodi anti-idiotipe (Ab2) Avian Influenza H5N1. Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotipe dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Antibodi Ab2 ini dapat digunakan sebagai antigen pengganti karena memiliki karakteristik yang sama dengan antigen aslinya terlihat dengan terbentuknya reaksi Ab2 identitas parsial antara antibodi anti-idiotipe AI H5N1 dengan antigen H5N1 (Gambar 17). Reaksi ini menunjukkan virus AI H5N1 mempunyai determinan antigen yang sama dengan antibodi anti-idiotipe AI H5N1. Menurut Jerne 1985, daerah hipervariabel dari imunoglobulin dapat bersifat sebagai antigen dan antibodi yang terbentuk dari antigen tersebut merupakan antibodi anti-idiotipe yang dapat berikatan secara langsung dengan paratope atau daerah pengikatan antigen dari Ab1. Hasil uji AGP ini membuktikan bahwa Ab2 mempunyai kemampuan untuk meniru struktur antigen aslinya sehingga Ab2 dapat digunakan sebagai imunogen dalam pencegahan infeksi virus AI H5N1. AbuShakra et al. 1997 mengatakan bahwa molekul imunoglobulin yang merupakan protein bersifat antigenik sehingga hewan yang diimunisasi dengan imunoglobulin akan menghasilkan antibodi anti imunoglobulin yang dapat mencegah terjadinya penyakit. Preparasi vaksin untuk mengontrol infeksi viral dengan menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe telah dikembangkan dengan penelitian (Tackaberry et al. 1992; Zhou et al. 1994; Huang et al. 1995; Lin & Zhou 1995; Kennedy et al. 1996).
3 Ab1
Ab2
1
2 Ag
Gambar 17 Reaksi Identitas Parsial Imunoglobulin G Kelinci Spesifik Terhadap Ab1 dan Antigen Virus Avian Influenza H5N1: Ag. Antigen H5N1; Ab1. antibodi AI H5N1; Ab2. Antibodi anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Konsentrasi IgG kelinci diukur dengan spektrofotometer ultraviolet yang diperoleh sebesar 8 mg/ml. Imunoglobulin G kelinci ini digunakan sebagai imunogen pengganti virus AI H5N1 yang diemulasikan dengan Freund’s adjuvant untuk imunisasi ayam SPF umur 4 minggu. Adjuvan adalah substansi yang jika dicampurkan dengan antigen kemudian disuntikkan akan bekerja memperbesar imunogenesitas antigen sehingga akan memperkuat respon imun terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Kuby 1997).
Penggunaan adjuvan di dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
respon imun tubuh sehingga antibodi yang terbentuk cukup banyak. Adjuvan membantu imunogen yang kurang imunogenik dalam menggertak sistem imun tubuh. Adjuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun apabila antigen memiliki imunogenesitas rendah atau apabila jumlah antigen sedikit. Adjuvan juga dapat berfungsi sebagai depot antigen karena adjuvan sebagai pembawa antigen menuju lokasi sistem imun dan melepaskannya sedikit demi sedikit, sehingga masa pembentukan antibodi berlangsung lebih lama (Leenaars et al. 1994). Penggunaan adjuvan untuk memacu respons imun dengan afinitas yang tinggi dengan cara
memperluas permukaan antigen dan memperlambat pelepasan antigen
dalam tubuh, sehingga pembentukan antibodi lebih optimal. Adjuvan memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen di dalam tubuh sehingga
memberi kesempatan pada sistem limfoid untuk menuju antigen sehingga antibodi akan diproduksi dalam jangka waktu lama (Bellanti 1993; Rantam 2005). Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah.
Idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya ant-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti anti idiotipe dan seterusnya. Freund’s Complete Adjuvant berupa emulsi antigen cairan dalam minyak mineral mengandung mikobakterium mati karena pemanasan. Freund’s Incomplete Adjuvant yaitu emulsi antigen cairan dalam minyak mineral tapi tidak mengandung mikobakterium.
4. 4 Imunogenesitas “Kandidat Vaksin” (Antibodi Anti-idiotipe) Imunoglobulin G kelinci (Antibodi anti-idiotipe/Ab2) yang diperoleh dari serum kelinci kemudian diimunisasikan ke ayam SPF (uji imunogenesitas). Uji imunogenesitas dilakukan dengan membandingkan kelompok kandidat vaksin antibodi anti-idiotipe dengan kelompok kontrol, kelompok IgG kelinci kontrol, dan kelompok vaksin AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe (Ab2) sebagai antigen diemulsikan dalam adjuvan yang bertujuan untuk meningkatkan respon imun ayam. Emulsi antigen dengan CFA dan IFA dapat sebagai depot antigen sehingga pembentukkan antibodi akan berlangsung terus. Pengujian imunogenesitas dilakukan untuk mengetahui sifat imunogenik antibodi anti-idiotipe dari IgG kelinci terhadap ayam sebagai hewan target.
Metode ini
merupakan uji potensi vaksin AI yang mengacu pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI) (Ditjennak 2007). Vaksin AI H5N1 sebagai pembanding adalah vaksin dengan strain yang sama dengan Ab2. Serum ayam dikoleksi sampai 4 minggu dengan interval 1 minggu. Paratop pada Ab2 adalah idiotop Ab1. Idiotop pada Ab2 menimbulkan pembentukkan Ab3 (Kennedy & Attanasio 1990). Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab3), selanjutnya dilakukan uji HI untuk mengetahui titer antibodinya dan uji serum netralisasi untuk mengetahui titer antibodi secara in vitro.
.
Untuk mengetahui reaksi spesifik antara Ab3 dan antigen AI H5N1 serta reaksi
antara Ab2 dan Ab3 dilakukan pengujian dengan uji AGP. Adanya garis presipitasi pada Gambar 18 mengambarkan adanya reaksi homolog antara Ab3 dan antigen AI H5N1 dan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 19) menggambarkan adanta reaksi homolog antara Ab2 dan Ab3. Reaksi spesifik antara Ab3 dan antigen AI H5N1 menunjukkan bahwa pada serum ayam telah terbentuk antibodi yang sama dengan Ab1 dan mampu berikatan secara spesifik dengan antigen AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe mengandung internal image atau merupakan mimikri dari antigen AI H5N1 yang dapat menginduksi Ab3 spesifik terhadap antigen aslinya.
Kemampuan meniru struktur antigen aslinya merupakan
landasan penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai antigen (Shoenfeld 2004).
Ab3 Ab3 Ag
Ab3
Ab2 Ab3
Gambar 18 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti Anti-idiotipe dengan Antigen AI H5N1: Ab3. Antibodi anti antiidiotipe; Ag. Antigen AI ) garis H5N1; ( presipitasi
Ab3
Ab3
Ab3
Gambar19 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti-idiotipe dengan Antibodi Anti Antiidiotipe: Ab2. Antibodi antiidiotipe; Ab3. Antibodi anti ) garis anti-idiotipe; ( presipitasi
Roitt (2003) menggambarkan regulasi idiotipik respon imun yaitu
interaksi
idiotipe dan anti-idiotipe yang terdapat pada antibodi dan reseptor sel T. Telah dilakukan penelitian sebagai berikut: antigen disuntikkan pada hewan pertama dan antibodi terbentuk Ab1 (idiotipe) dimurnikan dan disuntikan pada hewan ke-2, Ab2 (anti-idiotipe)
dimurnikan dan digunakan untuk imunisasi hewan ke-3 dan seterusnya. Secara konsisten ditemukan bahwa Ab2 mengenal idiotipe (Ab1) yang juga jelas ditemukan pada Ab3. Ab4 bersifat seperti Ab2 dalam mengenali idiotipe yang serupa pada Ab1 dan Ab3., jadi meskipun Ab1 dan Ab3 sama-sama idiotipe, hanya fraksi kecil Ab3 bereaksi dengan antigen asal. Hasil ini terlihat bila idiotipe tersebut Id yang bereaksi silang (Id umum) berada pada sejumlah antibodi yang bervariasi (secara tidak langsung adalah reseptor B) dengan spesifisitas berbeda. Antibodi anti-idiotipe (Ab2) bila disuntikkan pada hewan ke3 akan bereaksi dengan semua sel B pembawa Id1 dan hanya sebagian saja yang mempunyai spesifisitas sama dengan serum asal (Gambar 20).
Gambar 20
4.4.1
Regulasi idiotipik dari respon imun: Ab1 yang dihasilkan oleh rangsangan antigen disuntikan kepada hewan ke-dua untuk menghasilkan Ab2, yang dimurnikan dan disuntikkan ke hewan 3, dan seterusnya. Ab2 dan Ab4 masingmasing bereaksi dengan idiotip pada Ab1 dan Ab3 tetapi bagian dari Ab3 bereaksi dengan antigen asal. (Sumber: Roitt (2003))
Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji HI Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe
(Ab3), selanjutnya dilakukan uji serologi dengan uji HI. Uji hambatan hemaglutinasi dilakukan terhadap beberapa antigen, yaitu
antigen AI H5N1 strain Legok (2003),
antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB Ab3 Ab3 (2009). Ab
Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab3) dengan uji HI terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB (2009) dapat dilihat pada Tabel 5 sampai Tabel 8. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 menurun pada minggu ke-4 sedangkan pada kelompok vaksin AI H5N1 meningkat. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 5). Tabel 5 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Titer Antibodi Waktu Imunisasi Pre imunisasi
Kontrol GMT <2a
SD 0
IgG Kontrol GMT <2a
SD 0
Ab2 GMT <2a
Vaksin SD 0
GMT <2a
SD 0
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 12.13b 32.86 27.86b 19.59 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 48.50b 21.47 97.00c 35.05 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 27.86b 19.91 222.86d 57.24 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab3 terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (12.13), meningkat pada minggu ketiga (48.50) dan menurun pada minggu keempat (27.86). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 21).
Rataan titer Ab (GMT)
250 200 kontrol 150 IgG kontrol 100
Ab2
50
Vaksin AI H5N1
0 pre
1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 21 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan ke-4 pasca imunisasi. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 6).
Tabel 6 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI
Titer Antibodi Waktu Imunisasi
Kontrol
Pre imunisasi
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 5.28b 2.2 10.56c 4.38 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 16d 0 84.49e 35.05 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 55.72e 14.3 128f 0 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI terlihat bahwa kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (5.28), meningkat pada minggu ketiga (16) dan makin meningkat pada minggu keempat (55.72). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 22).
Rataan Titer Ab (GMT)
140 120 100
kontrol
80
IgG kontrol
60
Ab2
40
Vaksin AI H5N1
20 0 pre
1 mgg pi
2 mgg pi
3 mgg pi
4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 22 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2.
Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan menurun pada minggu ke-4 pasca imunisasi. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 tidak berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 7) Tabel 7 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Titer Antibodi Waktu Imunisasi Pre imunisasi
Kontrol
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 6.06b 2.2 6.96b 7.2 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 42.22c 17.53 73.52d 28.62 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 24.25c 8.8 27.86c 7.2 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.06), meningkat pada minggu ketiga (42.22) dan menurun pada minggu keempat (24.25). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 23).
Rataan titer A b (GMT)
80 70 60
kontrol
50
IgG kontrol
40
Ab2
30 20
Vaksin AI H5N1
10 0 pre
1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi
4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 23 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca imunisasi. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 tidak berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 8).
Tabel 8 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI
Titer Antibodi Waktu Imunisasi
Kontrol
Pre imunisasi
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
12.12c
4.38
24.25de
8.76
55.71f
39.19
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 6.96b 1.79 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 21.11cd 8.76 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 36.76ef 14.3 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05
kolom yang sama
Titer Ab3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.96), meningkat pada minggu ketiga (21.11) dan makin meningkat pada minggu keempat (36.76). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 24).
Rataan Titer Ab (GMT)
60 50 kontrol
40
IgG kontrol
30
Ab2 20
Vaksin AI H5N1
10 0 pre
1 mgg pi
2 mgg pi
3 mgg pi
4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 24 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Secara gambaran umum pada kelompok kontrol dan kelompok IgG kontrol tidak menghasilkan titer antibodi terhadap antigen AI H5N1 karena dalam penelitian ini menggunakan ayam SPF.
Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada reaksi
kontaminasi dari kelompok antibodi anti-idiotipe dan vaksin AI H5N1.
Kelompok
antibodi anti-idiotipe titer antibodi muncul pada minggu ke-2 pasca imunisasi dan meningkat pada minggu ke-3 pasca imunisasi. Titer tersebut menunjukkan bahwa ayam pada kelompok antibodi anti-idiotipe mempunyai kekebalan yang baik terhadap AI H5N1, demikian juga dengan kelompok vaksin AI H5N1. Antara perlakuan kelompok Ab2 dengan kelompok vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin. Antigen yang diimunisasikan pada hewan akan menginduksi terbentuknya antibodi sekitar 1-2 minggu pasca imunisasi. Penurunan kadar antibodi dalam serum merupakan cermin dari hilangnya populasi sel plasma penghasil antibodi spesifik. Sekali berdiferensiasi penuh, sel plasma mati setelah 3-6 hari dan Ig yang dihasilkan ini menurun perlahan-lahan karena proses katabolisme (Tizard 1995). Menurut Alberts et al. (2002), antibodi yang terbentuk oleh sel B akan bertahan melawan agen infeksi dengan mengikat virus.
4.4.2
Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) dengan Uji SN Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe
(Ab3), juga dilakukan uji serologi secara in vitro dengan uji SN pada sel lestari dari ginjal anjing (MDCK). Uji serum netralisasi (SN) dilakukan terhadap beberapa isolat, yaitu isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005) dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006. Persiapan sebelum melakukan uji SN adalah dengan menumbuhkan virus AI dari isolat-isolat tersebut pada telur ayam berembrio TAB SPF umur 9 hari, dilanjutkan dengan menumbuhkan dan memperbanyak virus AI pada sel MDCK. Hasil propagasi virus AI pada sel MDCK selanjutnya digunakan untuk uji serologi. Pertumbuhan virus AI pada sel MDCK dapat dilihat pada Gambar 26 dimana terlihat adanya efek sitopatik (Cythopathic Effect/CPE), sedangkan pada Gambar 25 terlihat sel MDCK normal.
Gambar 25 Biakan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) kontrol (Objektif 40x)
A
B
C
Gambar 26 Sel MDCK yang diinfeksi oleh virus AIH5N1: A. Efek sitopatik hari pertama, B. Efek sitopatik hari ke-dua, C. Efek sitopatik hari ke-tiga (Objektif 40x) Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab3) dengan uji SN terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005), dan A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dapat dilihat pada Tabel 9 sampai Tabel 11. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji SN, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2 . Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca imunisasi. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2,3 dan 4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 9)
Tabel 9 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN Titer Antibodi Waktu Imunisasi
Pre imunisasi
Kontrol
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
13.93c
9.79
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 5.28b 2.1 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 16c 8.76 imunisasi <2a 0 <2a 0 24.25cd 8.76 4 minggu pasca imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05
42.22d 17.52 97.00e 35.05 kolom yang sama
Titer Ab3 terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (5.28), meningkat pada minggu ketiga (16) dan makin meningkat pada minggu keempat (24.25). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 27).
R a ta a n T iter A b (G M T )
100 80 kontrol 60
IgG kontrol
40
Ab2 Vaksin AI H5N1
20 0 pre
1 mgg pi
2 mgg pi
3 mgg pi
4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 27 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan Uji SN Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan uji SN, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2 . Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca imunisasi. Antara kelompok Ab2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 tidak berbeda nyata. Titer antibodi kelompok Ab2 masih protektif (Tabel 10).
Tabel 10 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan Uji SN Waktu Imunisasi
Titer Antibodi
Kontrol
Pre imunisasi
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2a
0
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 4.00b 0 6.96bc 4.89 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 9.18c 3.57 10.56c 4.38 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 18.38d 7.15 21.11d 8.76 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab3 terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (4.00), meningkat pada minggu ketiga (9.18) dan makin meningkat pada minggu keempat (18.38).
Walaupun
titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 28).
Rataan titer Ab (GMT)
25 20 15
kontrol IgG kontrol
10
Ab2
5
Vaksin AI H5N1 0 pre
1 mgg pi
2 mgg pi
3 mgg pi
4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 28 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN terhadap isolat Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN adalah antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab2 berbeda nyata.
Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab2
dimulai minggu ke-4 pasca imunisasi dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai minggu ke3 pasca vaksinasi. Titer antibodi baik pada kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI
H5N1 berbeda nyata. Titer antibodi kelompok Ab2 dan kelompok vaksin AI H5N1 tidak protektif (Tabel 11). Tabel 11 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN Titer Antibodi Waktu Imunisasi Pre imunisasi
Kontrol
IgG Kontrol
Ab2
Vaksin
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
GMT
SD
<2a
0
<2a
0
<2a
0
<2
0
1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2 0 imunisasi 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2 0 imunisasi 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 4.00b 0 imunisasi 4 minggu pasca <2a 0 <2a 0 4.00b 0 8.00c 0 imunisasi Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab3 terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab2 mulai terbentuk antibodi pada minggu keempat (4.00) pasca imunisasi. Titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 dan lebih kecil dari 16, menunjukkan bahwa Ab2 tidak protektif terhadap isolat tersebut (Gambar 29).
R ataan T iter A b (GM T )
8 6
kontrol IgG kontrol
4
Ab2 Vaksin AI H5N1
2 0 pre
1 mgg pi
2 mgg pi
3 mgg pi 4 mgg pi
Waktu Imunisasi
Gambar 29 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab3) terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN Hasil uji serologi in vitro dengan uji SN menunjukkan bahwa titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab3) antara perlakuan Ab2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dan isolat AI H5N1 IPB (2005)
sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin,
sedangkan pada
antara perlakuan Ab2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan
perbedaan yang nyata
terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006, akan
tetapi strain ini tidak terlindungi karena titer antibodi kurang dari 16, jadi antibodi antiidiotipe (Ab2) tidak prospektif sebagai kandidat vaksin karena antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Uji serologi sangat penting dilakukan untuk memeriksa titer atau kadar antibodi pada ayam yang telah diimunisasi oleh vaksin AI. Seekor ayam dapat dinyatakan kebal terhadap penyakit AI jika memiliki titer antibodi serendah-rendahnya 4 (log 2) atau 24 atau 16. Sementara itu kelompok peternakan ayam dinyatakan kebal terhadap AI jika lebih dari 90 % memiliki titer antibodi pasca imunisasi serendah-rendahnya 16 (Ditjennak 2007). Virus influenza A tumbuh dengan baik secara in vivo pada TAB dan in vitro pada biakan sel. Propagasi virus AI menggunakan TAB-SPF yakni telur ayam yang tidak
mengandung antibodi terhadap berbagai patogen khususnya virus AI. Biakan sel yang sering digunakan adalah biakan sel primer (sel fibroblas ayam, sel ginjal, sel hati) dan biakan sel lestari seperti MDCK. Uji serum netralisasi dengan menggunakan beberapa isolat AI H5N1 pada sel MDCK untuk mengetahui apakah Ab3 mampu menetralisasi virus AI. Uji ini (in vitro) penting dilakukan mengingat idealnya vaksin AI harus diuji tantang pada hewan target (in vivo) yang harus menggunakan fasilitas kandang Biosecurity Level 3 (BSL 3). Sel MDCK merupakan sel lestari yang berasal dari epitel ginjal anjing. Sel MDCK diperoleh dari American Tissue Culture Collection 34 (ATCC). Sel ini telah banyak digunakan untuk isolasi virus AI karena virus AI sangat produktif dan mudah tumbuh.
Biakan sel tersebut setiap saat dapat disiapkan untuk kepentingan produksi
antigen dalam jumlah banyak, dibandingkan telur ayam berembrio SPF selain harganya mahal
juga tidak selalu siap pada saat diperlukan untuk pengujian karena harus
menunggu umur embrio yang tepat saat inokulasi (9-11 hari). Biakan sel dalam bidang virologi, seringkali digunakan untuk perbanyakkan virus, mengetahui kandungan virus dan diagnosa penyakit. Teknik ini menjadi pilihan karena penggunaan telur ayam berembrio masih mengandung bermacam-macam kontaminasi mikroba (Park et al. 2001). Meskipun demikian teknik biakan sel memerlukan ketrampilan khusus dan harus steril (Tobita et al. 1975). Berdasarkan rekomendasi dari ATCC sel MDCK harus dikembangkan dengan menggunakan medium Eagle yang dilengkapi 10% Fetal Calf Serum (FCS). Selain untuk propagasi virus, sel MDCK digunakan pula untuk uji serologik, yaitu untuk mengetahui antibodi terhadap virus AI dengan menggunakan uji serum neutralisasi (SN) (WHO 2002). Uji SN telah banyak digunakan di laboratorium diagnostik baik untuk screening maupun untuk titrasi antibodi, sehingga dapat diketahui keterpaparan hewan oleh virus tersebut. Pemakaian sel MDCK sangat disarankan mengingat peraturan tentang animal welfare yang melarang penggunaan hewan coba apabila penelitian tersebut masih dapat menggunakan sel lestari asal hewan. Titer antibodi adalah pengenceran serum tertinggi yang dapat menetralisasi virus (Maas et al. 2007). Menurut Reina et al. 1997, sel MDCK adalah biakan sel yang paling sensitif (100%) untuk digunakan sebagai pertumbuhan virus AI dibandingkan sel Vero (green
monkey continous cell line) (71.4 %) dan sel MRC-S (human lung embryonated cells ) (57.1 %). Biakan sel MDCK baik digunakan untuk diagnosa virus influenza (Clavijo et al. 2002) dan produksi vaksin influenza (Liu et al. 2009). Penggunaan sel MDCK dalam produksi vaksin AI H5N1 inaktif lebih cepat dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan TAB (Hu et al. 2008). Pertumbuhan virus AI H5N1 pada sel MDCK ditandai dengan terbentuknya efek sitopatik (Cytophatogenic Effect/CPE). Pengamatan dilakukan setiap hari hingga hari ke7. Efek sitopatik virus AI akan terbentuk dalam waktu 32 jam (Wanasawaeng et al. 2009) sampai 72 jam. Efek sitopatik terlihat pada hari pertama kemudian akan meningkat pada hari ke 3 (Shankar et al. 2009).
Perubahan sel diawali dengan degenerasi, sel-sel
bentuknya bundar kemudian nekrosa (Shankar et al. 2009; Wanasawaeng et al. 2009). Efek sitopatik isolat AI H5N1 strain Legok (2003) A/Goose/Bojonggenteng/IPB2RS/2006 terbentuk pada hari ke pertama dan isolat AI H5N1 IPB (2005) terbentuk pada hari ke-2 (Gambar 26). Menurut Shankar et al. (2009), virus AI yang tidak patogen (LPAI) tidak akan memproduksi CPE pada sel MDCK, tetapi virus AI yang ganas (HPAI) akan membentuk CPE pada sel MDCK. Isolat AI H5N1 Legok (2003) termasuk subtipe HPAI H5N1 (Wiyono et al. 2004). Isolat AI H5N1 IPB (2005) termasuk HPAI yang terdaftar dalam bank isolat pathogen FKH IPB. Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 (H5N1) adalah
virus AI subtipe H5N1 yang berhasil diisolasi dari unggas air subklinis
dipeternakan skala rumah tangga di Jawa Barat yang secara molekuler, urutan asam aminonya menunjukkan virus HPAI (Susanti et al. 2008). Antibodi anti-idiotipe (Ab2) dari kelinci merupakan antibodi poliklonal yang mengandung antibodi dengan spesifisitas, afinitas dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal relatif lebih stabil, sehingga secara keseluruhan aktivitasnya tidak begitu berpengaruh walaupun titernya sedikit menurun. Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda pada antigen sehingga rekativitas multipel ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang besar maka terjadi presipitasi antigen. Antibodi monoklonal, karena sifatnya yang monospesifik kurang mempresipitasi antigen (Burgess 1995; Paryati et al. 2006). Menurut Lin dan Zhou (1995) antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius
mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, selain itu antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius. Antibodi anti-idiotipe (Ab2) mampu menginduksi titer antibodi pada hewan target dan kadarnya masih mampu melindungi terhadap virus AI. Menurut Roitt (2003) senyawa yang bersifat imunogenik apabila mampu merangsang pembentukkan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap senyawa tersebut dan meningkatkan respon kekebalan selular. Antibodi anti-idiotipe (Ab2) bersifat imunogenik karena mampu merangsang pembentukkan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap virus AI H5N1. Kemampuan Ab2 kelinci untuk menginduksi antibodi pada ayam menunjukkan bahwa Ab2 bersifat internal image dan mampu menembus barrier spesies (Zhou et al. 1990). Anders et al (1989) mengatakan bahwa penggunaan virus influenza sebagai model untuk preparasi antibodi anti-idiotipe merupakan penelitian yang sangat menarik. Antibodi anti-idiotipe digunakan sebagai imunogen atau antigen. Antibodi anti-idiotipe dapat digunakan sebagai vaksin alternatif untuk penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi (Lin & Zhou 1995). Penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin dapat dipertimbangkan, walaupun titer antibodi yang terbentuk lebih rendah bila dibandingkan dengan vaksin virus AI. Perbedaan titer antibodi tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan imunogen, misalnya derajat keasingan. Sistem imun dari suatu individu akan lebih cepat terbentuk terhadap antigen atau virus dibandingkan dengan antibodi anti-idiotipe, karena antibodi merupakan komponen tubuh normal pada suatu individu. Produksi vaksin pada vaksin komersil umumnya diberikan bahan lain sebagai tambahan atau pengawet. Bahan-bahan tambahan yang terdapat di dalam vaksin seperti benzetonium khlorida, etilen glicol, glutamat, neomycin, fenol, streptomycin, atau thimerosal. Bahan-bahan tersebut dapat membuat vaksin lebih awet, stabil pada panas, cahaya, dan kondisi lingkungan lainnya.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan penambahan bahan lain terhadap antibodi antiidiotipe agar dapat meningkatkan sifat imunogeniknya dan stabil pada lingkungan. Vaksin AI yang digunakan saat ini adalah vaksin inaktif. Vaksin inaktif yaitu vaksin yang dihasilkan melalui pengrusakan virulensinya tapi imunogenitasnya masih ada (Rantam 2005). Infektifitas virus dihilangkan sedangkan imunogenesitasnya dipertahankan dengan cara; (1) fisika misalnya dengan pemanasan, radiasi (2) kimia, dengan bahan kimia fenol, betapropiolakton, formaldehid. Proses inaktifasi virus harus dilakukan dengan sempurna agar tidak terjadi pencemaran virus di lingkungan. Penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin perlu dipertimbangkan karena vaksin antibodi anti-idiotipe relatif lebih stabil dan aman.
Pengembangan antibodi
spesifik H5N1 merupakan strategi alternatif untuk pencegahan dan kontrol wabah AI di masa datang (Lu et al. 2006). Vaksin antibodi anti-idiotipe dapat mengatasi resiko yang mungkin timbul akibat penggunaan virus AI sebagai bahan vaksin, mengingat virus AI H5N1 merupakan virus yang infeksius dan ganas. Vaksin antibodi anti-idiotipe dapat sebagai pilihan yang tepat dalam program vaksinasi AI karena proses pembuatan vaksin antibodi anti-idiotipe yang aman dan virus tidak mencemari lingkungan, sehingga tidak beresiko akan tersebarnya kembali virus infektif dan tidak akan menimbulkan wabah penyakit. Vaksin antibodi anti-idiotipe relatif stabil karena tidak akan mengalami mutasi. Hal ini disebabkan vaksin antibodi anti-idiotipe dibuat berdasarkan pengenalan antigen oleh antibodi
yang dapat menghasilkan imunitas spesifik untuk mencapai tujuan
imunisasi (Vizcaino 2004).
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Fragmen F(ab)2 IgG AI H5N1 bersifat antigenik karena dapat menginduksi terbentuknya antibodi anti-idiotipe (Ab2)
yang
mampu berikatan secara homolog dengan antibodi virus AI H5N1. Imunoglobulin G kelinci dapat digunakan sebagai antigen penginduksi antibodi spesifik terhadap virus AI H5N1 strain Legok sehingga dapat dijadikan sebagai antigen pengganti virus AI H5N1. 2. Metode antibodi anti-idiotipe dapat digunakan untuk pembuatan vaksin AI H5N1. 3. Titer antibodi anti-idiotipe (Ab2) pada uji imunogenesitas lebih rendah dibandingkan dengan vaksin komersil AI H5N1 tetapi masih protektif terhadap virus AI H5N1 strain Legok (2003), AI H5N1 IPB (2005), AI H5N1 IPB (2007), AI H5N1 IPB (2008) dan AI H5N1 IPB (2009), sedangkan terhadap isolat dari unggas air tidak protektif
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo mengenai protektifitas antibodi anti-idiotipe dengan uji tantang terhadap virus AI H5N1 pada hewan target.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Shakra M, Buskila D, Shoenfeld Y. 1997. Introduction – Idiotypes and Antiidiotypes. UK: Elsevier Science B.V. Alberts B et al. 2002. Molecular Biology of the Cell. Ed ke-4. USA: Garland Science. Anders EM, Kapaklis-Deliyannis GP, White DO. 1989. Induction of response to influenza virus with anti-idiotypic antibodies. J Virol 63:2758-2767. Anonim. 2010. The Influenza Virus. http://www.ifpma.org/The influenza Virus/001 [16 januari 2010] Ban N et al. 1994. Crystal structure of idiotype-anti-idiotype Fab complex. Proc Natl Acad Sci USA 91:1604-1608. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bouma A et al.. 2009. Estimation of transmission of H5N1 Avian Influenza virus in chickens. Plos Pathogens 5 (1):1-13. Bratawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Ed ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Brugh MA JR. 1978. A simple method for recording and analyzing serological data. Avian Dis 22:362-365. Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Elisa Technology in Diagnosis and Research. Capua I, Marangon S. 2007. Control and prevention of avian influenza in an evolving scenario. Vaccine 25:5645-5652. Capua I, Alexander DJ. 2009. Ecology, epidemiology and human health implications of Avian Influenza virus infections. Di dalam: Capua I, Alexander DJ, editor, Avian Influenza and Newcastle Disease. A Field and Laboratory Manual. Italia: Springer-Verlag. hlm 1-18.
Chatterjee MB, Chatterjee SK, Foon KA. 2000. Anti-idiotype vaccine against cancer. Imunol Letters 74:51-58.
Chen J et al. 1998. Structure of the hemagglutinin precursor cleavage site, a determinant of influenza pathogenicity and the origin of the labile conformation. Cell 95:409417. Claassen I, Natih K, Bouma A. 2007. Indonesian H5N1 vaccines can reduce transmission of Avian Influenza virus among layer. Di dalam: International Avian Influenza Vaccination Seminar. Grand Melia Hotel. Jakarta. Clark GDB, MacKay RJ, Ward RE, Sheerin B. 1996. Effect of vaccination of ponies with A4 anti-idiotypic antibody on serum idiotype (IC9) and antilipid a concentration. Am J Vet Res 57: 665-658. Clavijo A, Tresnan DB, Jolie R, Zhou E-M. 2002. Comparison of embryonated chicken eggs with MDCK for the isolation of swine influenza virus. Can J Vet Res 66:117-121. Cucunawangsih. 2006. Flu Burung. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. [DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia. Jilid I (Sediaan Biologik). Ed ke-3. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. [DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Prosedur Operasional Standar Pengendalian Penyakit Avian Influenza. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. [DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Rekomendasi kebijakan vaksin dan strategi vaksinasi AI. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Elton et al. 2001. Interaction of the influenza virus nucleoprotein with the cellular CRM1-mediated nuclear export pathway. J Virol 75:408-419. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Bird flu situation in Indonesia critical. http://www.fao.org./newsroom/EN/news/2008/1000813/index.html [14 Desember 2009]. Field A. 2005. Discovering Statistics Using SPSS. London: Soge Publication Ltd. Fouchier RA , Munster V, Wallensten A. 2005. Characterization of a novel influenza a virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from Black-headed Gulls. J Virol 79:2814-22.
[FKH IPB] Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 2006. Kajian Seroepidemiologi virus avian influenza serta strategi penanggulangannya di Sumatera dan Kalimantan. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan FKH IPB. Bogor: FKH IPB. Garman E, Laver G. 2004. Controlling influenza by inhibiting the virus's neuraminidase. Abstract: Cur Drug Targets 5:119-36. http://amedeo.com/lit.php?id=15011946.html [20 Januari 2007]. Hames BD, Rickwood D. 1987. Gel Electrophoresis of Protein. Oxford, Washington DC: IRL Press. Harris A et al. 2006. Influenza virus pleiomorphy characterizad by cryoelectron tomography. Proc Natl Acad Sci USA 103:19123-19127. Hoffmann E, Neumann G, Kawaoka Y, Hobom G, Webster RG. 2000. A DNA transfection system for generation of Influenza A virus from eight plasmids. Natl Acad Sci USA 97:6108-6113. Horimoto K, KawaokaY. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza a viruses. Clinic Microbiol Rev 14:129-149. Hu AYC et al. 2008. Microcarrier-based MDCK cell culture system for the production of influenza H5N1 vaccines. Vaccine 26:5736-5740. Huang JY, Ward RE, Kohler H. 1988. Biologycal mimicry of antigenic stimulation: analysis of the in vivo antibody responses induced by Monoclonal Anti-Idiotypic Antibodies. Immunol 68:1-8. [ICTV]
International Commite on Toxonomy of http://www.ncbi.nml.nih./ICTVdb/.html [ 30 Juni 2006]
Viruses.
2006.
Jerne NK. 1985. The generative grammar of the immune system. Science 229:1057 1059. Kennedy RC, Storthz KA, Henkel RD, Dreesman GR. 1983. Characteristics of shared idiotype by two IgM anti-herpes simplek virus monoclonal antibodies that recognize different determinants. J Immunol 130:1943-1946. Kennedy RC, Sparrow JT, Sanchez Y, Melnick L, Dreesman GR. 1984. Enhancement of viral hepatitis B antibody (Anti HBs) response to a synthetic cyclic peptide by priming with anti-idiotype antibodies. Virology 136:247-252. Kennedy RC, Attanasio R. 1990. Concepts of idiotype-based. Vaccines for Hepatitis B virus and human immunodefficiency Virus. Can J Microbiol 36:811-816.
Kennedy RC, Shearer MH, Chanh TC, Jenson HB, Stanley JR. 1996. Molecular and structural characterization of antibodies to Hepatitis B surface antigen: developing a non-human primate model to evaluate maternal therapeutic vaccination strategies during pregnancy. Antiviral Therapy 1:76-83. Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kuby J. 1997. Imunology. Ed ke-3. New York: Freeman and Company. Lee MS, Chang PC, Shien JH, Cheng MC, Shieh HK. 2001. Identification and subtyping of Avian Influenza viruses by Reverse Transcription-PCR. J Virol Method 97:13-27. Lee CW, Suarez DL. 2004. Application of Real Time RT-PCR for the quantitation and competitive replication study of H5 and H7 subtype Avian Influenza virus. J Virol Method 119:151-158. Leenaars PPAM, Hendriksen CFM, Angulo AF, Koedam MA, Claassen E. 1994. Evaluation of several adjuvant as alternatives to the use of Freund’s Adjuvant in rabbits. Vet Immunol Immunopathol 40:225-241. Leenaars PPAM, Claassen E, Boersma WJA. 1997. Antigen and antigen presentation. Didalam: Lefkovits I, editor, Immunology Methods Manual. London: Akademic Press Ltd. hlm 989-1013. Li B, Peng J, Niu Z, Yin X, Liu F. 2005. Preparation of anti-idiotypic antibody against Avian Influenza virus subtype H9. Cell Mol Immunol 2:155-157. Lin M, Zhou EM. 1995. Internal image rabbit anti-idiotypic antibody detects sheep antibodies to the Bluetongue virus core protein VP7. Immunotechnol 1:151-155. Liu J, Shi X, Schwartz R, Kemble G. 2009. Use of MDCK cells for production of live attenuated influenza vaccine. Vaccine 27:6460-6463. Lu J et al. 2006. Passive immunotherapy for influenza A H5N1 virus infection with equine hyperimmune globulin F(ab’)2 in mice. Respir Res 7:43 Maas R, Tacken M, Zoelen D, Oie H. 2007. Dose response effects of Avian Influenza (H7N7) vaccination of chickens: serology, clinical protection and reduction of virus excretion. Vaccine 27:3592-3597.
Mannugerra JC, Hannoun C. 1999. Influenza and Other Viral Respiratory Diseases. Paris: Institute Pasteur. McNamara MKRE, Ward RE, Kohler H. 1984. Monoclonal idiotipe vaccine against Streptococcus pneumoniae infection. Science 226:1325-1326. Migliorini P, Schwartz RS. 1988. Anti-idiotypic antibodies in autoimmune diseases. Clin Exp Rheumatol 6:145-150. Mulyadi B, Prihatini. 2005. Diagnosis laboratorik flu burung (H5N1). Indones J Clinic Pathol Medic Laborat 12:71-81. Murtini S, Susanti R, Handharyani E. 2008. Seroprevalensi avian influenza H5N1 pada kucing-kucing liar di Bogor. The 3 rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medicine and Conservation (AZWMC 2008). Bogor, Indonesia, 19-21 August 2008. Naipospos TSP. 2004. Vaksinasi sebagai strategi pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza di tengah tantangan pandemik Asia. Di dalam: Rapat evaluasi Kebijakan vaksinasi AI jangka panjang. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Nicholson KG, Webster RG, Hay AJ. 1998. Text Book of Influenza. USA: Blackwell Science. [OIE] Office International des Epizooties. 2004. OIE Manual of Standard for Diagnostic Test and Vaccines. Ed ke-4. Paris: OIE. [OIE] Office International des Epizooties. 2005. Avian Influenza. Chapter 2.7.12. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. Paris: OIE. [OIE] Office International des Epizooties. 2008. OIE Terrestrial Manual Chapter 2.3.4. Paris: OIE Park IH et al. 2005. Anti-idiotypic antibody as a potential candidate vaccine for Neisseria meningitidis serogroup B. Infec Immun 73:6399-6406. Paryati SPY, Wibawan IWT, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2006. Imunoglobulin ayam sebagai antibodi anti-idiotipe terhadap rabies. J Vet 7:92-103. Poetri ON, Soejoedono RD, Paryati SPY. 2008. Produksi antibodi anti-idiotipe sebagai alternatif pengganti virus Avian Influenza. Media Kedokteran Hewan 24:74-79.
Pyre M, Fusheng G, Desvaux S, Roger F. 2008. Avian Influenza vaccines: a practical review in relation to their application in the field with a focus on the Asian experience. Epidemiol Infec 1-21. Rantam FA. 2003. Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga University Press. Rahardjo Y. 2004. Avian Influenza: pencegahan, pengendalian dan pemberantasannya. Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Nidom CA. Editor. Jakarta: PT Gallus Indonesia Utama (GITA Pustaka). Reed LJ, Muench H. 1938. A simple methods for estimating fifty percent endpoint. Am J Hyg 27:493-497. Reina J, Fernandez-Baca V, Blanco I, Munar M. 1997. Comparison of Madin-Darby Kidney Cells (MDCK) with a green monkey continous cell line (Vero) and human lung embryonated cells (MRC-5) in the isolation of Influenza A virus from nasopharyngeal aspirates by shell vial culture. J Clinic Microbiol 35:1900-1901. Reinartz S et al. 2003. Interleukin-6 fused to an anti-idiotype antibody in a vaccine increases the specific humoral immune response against CA125+ (MUC-16) ovarian cancer. Cancer Res 63:3234-3240. Rico MJ, Hall RP. 1989. Anti-idiotypic antibodies as vaccine candidates. Arch Dermatol 125:271-275. Roitt IM. 2003. Imunologi. Ed ke-8. Harahap A, Kurniawan L, Djauzi S, Kresno SB, Dachlan YP, penerjemah. Jakarta: Widya Medika. Terjemahan dari: Essential Immunology. Russel CJ, Webster RG. 2004. The genesis of a pandemic influenza virus. Cell 123: 368371. Rust MJ, Lakadamyali M, Zhang F, Zhuang X. 2004. Assembly of endocytic machinery around individual influenza viruses during viral entry. Abstract: Nat Struct Mol Biol 11: 567-73. http://amedeo.com/lit.php?id=15122347.html [11 September 2007]. Saldanha J. 2000. Brief Introduction to Antibody Structure. London: Birkbeck College. Shankar BP et al. 2009. Assessment of pathogenic potential Avian Influenza viruses by MDCK cell culture. Int J Poult Sci 8:462-464. Shoenfeld Y. 2004. The idiotypic network in autoimmunity: antibodies that bind antibodies that bind antibodies. Nat Medic 10:72-79.
Songserm T et al. 2006. Domestic ducks and H5N1 influenza epidemic, Thailand. Emerg Infec Dis 12:575-581. Stohr K. 2005. Avian influenza and pandemics-research needs and opportunities. N Engl J Med 352:405-407. Suartha IN, Priosoeryanto BP, Utama IW, Wibawan IWT. 2001. Penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin terhadap Streptokokosis. J Vet 2:1-4 Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT, Suhartono MT. 2008. Filogenetik dan struktur antigenik virus Avian Influenza subtipe H5N1 isolat unggas air. J Vet 9:99-106. Suwarno, Rahardjo AP, Fauziah, Srihanto EA. 2006. Karakterisasi virus Avian Influenza dengan uji serologik dan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction. Media Kedokteran Hewan 22:74-78. Suzuki et al. 2000. Sialic acid species as a determinant of the host range of influenza A viruses. J Virol 74:11825-11831. Swayne DE. 2004. Avian influenza, vaccine and control. Poultry Sci 83:79-81. Tackaberry ES, Hamel J, Larose Y, Kuhl R, Brodeur BR. 1992. Monoklonal antiidiotypes for the rapid detection of human cytomegalovirus. J Virol Methods 40:175-182. Tizard I. 1995. Imunologi an Introduction. Ed ke-4. USA: Saunders College Tobita K, Sugiura A, Enomoto C, Furuyama M. 1975. Plaque assay and primary isolation of influenza a viruses in an established line of canine kidney cell (MDCK) in the presence of trypsin. Medic Microbiol Immunol 162:9-14. Vizcaino SMJ. 2004. How Many Types are Known? Course of Introduction to the Swine Immunologi. http://www.sanidadanimal.info./inmum/elautor.html [29 Juni 2004] Wanasawaeng W, Bunpapong N, Thanawongnuwech R. 2009. Growth characteristics of the Thai H5N1 Avian Influenza virus in chicken embryonic eggs and MDCK cells. Thai J Vet Med 39:281-286. [WHO] World Health Organization. 2002. WHO Manual on Animal Influenza. Diagnosis and Surveillance. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2009. Avian Influenza- Situasi di Indonesia. http://translate.googleusercontent.com.html [18 Desember 2009].
Wibawan IWT, Mahardika N, Soejoedono RD. 2006. Penggunaan sistem DIVA dalam rangka pengendalian penyakit Avian Influenza pada unggas. Di dalam: Rapat Koordinasi Nasional Seed Virus Avian Influenza (AI) di Hotel Bidakara. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Jakarta. Wiyono A et al. 2004. Isolasi dan karakterisasi virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5N1 asal wabah di Indonesia. JITV 9:61-71. Zhou EM, Lohman KL, Kennedy RC. 1990. Administration of noninternal image monoklonal anti-idiotypic antibodies induces restricted responses specific for human immunodeficiency virus envelope glycoprotein epitopes. Virol 174:9-17. Zhou EM, Afshar A, Heckert RA, Nielsen K. 1994. Anti-Idiotypic antibodies generated by sequential immunization detect the share idiotype on antibodies to Pseudorabies virus antigens. J Virol Methods 48:301-313.
.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Vaksin Avian Influenza Terdaftar di Indonesia No 1 2 3 4 5
Nama Vaksin Afluvet Vaksiflu AI Medivac AI Caprivac AI-K Avian Influenza Vaccine
M A/Chicken/Lego A/Chicken/Lego A/Chicken/Lego A/CK/WJ/PWTA/Chicken/Mexi
PT. Bio Farma/Qilu Animal Health Products Fact, RRC PT. Farmadika Sejahtera Indonesia/Harbin Weike Bio Technology Development Company, China PT. Biotek Indonesia/Yebio Bioengineering Co, Ltd. Of Qindao, China PT. Cakar Mas/Zaoqing Da Hua Nong Biology Medicine Co Ltd, China PT Medion PT Vaksindo Satwa Nusantara PT Medion PT. Avindo Perdana Bahtera Mulia/Laboratorio Avi-Mex, SA de CV Mexico DF PT. Intervet Indonesia/Intervet International bv, Netherlands
A/Turkey/Englan A/Turkey/Englan
19
Optimune AIV Nobilis Influenza H5 Gallimune Flu H5N9 Inactivated vaccine of Avian Influenza (H5N2) Inactivated AI VAC Oil Emulsion Avian Influenza Vaccine, Inactivated (H5N2 subtype) Portek AI Kill Vacc DHN of avian Influenza Inactivated Vaccine Medivac AI N2 Vaksiflu N2 Medivac ND-AI N2 Newcastle Disease Avian Influenza Nobilis Influenza H5 + ND
Produsen/Importir Pusvetma PT Vaksindo Satwa Nusantara PT Medion Farma Jaya PT Caprifarmindo laboratories PT. Avindo Perdana Bahtera Mulia /Laboratorio Avi-Mex, SA de CV Mexico PT. Boehringer Ingelheim Vetmedica Indonesia/Boehringer Ingelheim Vetmedica AS de CV Mexico PT. Agrinusa Unggul Jaya/Biomune de Mexico SA de CV Mexico PT. Intervet Indonesia/Intervet International bv, Netherlands PT. Romindo Primavetcom /Merial, Italy PT. Lito Prima Mandiri/Qian Yuan Hao Biological Co Ltd, RRC
6
Volvac AI
7 8 9 10
20 21 22 23 24
Vaksipes N2 Afluvet H5N2 Caprivac ND-AIK Bird Close 5.1 Trovak AIV H5
PT Vaksindo Satwa Nusantara Pusvetma PT Caprifarmindo laboratories PT IPB Shigeta Animal Pharmaceuticals PT. Romindo Primavetcom/Merial-Select, USA
11 12 13 14 15 16 17 18
Sumber: Ditjennak 2009
A/Chicken/Mexi
A/Chicken/Mexi A/Chicken/Mexi A/Turkey/Wisco A/Turkey/Englan
A/Turkey/Englan A/Turkey/Englan
A/Turkey/Englan A/Turkey/Englan Lasota- A/Turkey Lasota- A/Chick (H5N2) A/Chicken/Mexi Lasota A/Turkey/Englan A/Turkey/Englan ITA- A/CK/WJ/P A/IPB-SGT-KU/ ODCEP25/CEP6 .AI:H5N8.vFP89
Lampiran 2 Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan uji HI Waktu Imunisasi Pre
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
I
II
III
IV
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 64 64 4 12.13 64 64 64 64 16 48.50 64 32 32 32 8 27.86
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 64 32 16 16 32 27.86 64 64 128 128 128 97.00 128 256 256 256 256 222.86
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 3
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Waktu imunisasi Pre
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
I
II
III
IV
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 8 8 4 5.28 16 16 16 16 16 16 64 64 64 64 32 55.72
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 8 16 8 16 8 10.56 64 64 128 128 64 84.49 128 128 128 128 128 128
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 4
Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Waktu imunisasi Pre
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
I
II
III
IV
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 8 8 8 6.06 64 32 32 64 32 42.22 32 16 32 32 16 24.25
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 16 8 16 6.96 64 64 64 64 128 73.52 32 32 32 16 32 27.86
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 5 Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI
Waktu imunisasi Pre
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
I
II
III
IV
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 8 8 8 4 8 6.96 32 16 16 32 16 21.11 32 32 32 64 32 36.76
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 8 8 16 16 16 12.12 16 32 16 32 32 24.25 32 32 64 128 64 55.71
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 6 Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan Uji SN Waktu
I
II
III
IV
imunisasi Pre
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 4 8 8 5.28 8 16 16 32 16 16 16 32 32 32 16 24.25
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 32 16 8 8 16 13.93 32 32 64 64 32 42.22 64 128 128 64 128 97.00
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 7 Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN Waktu imunisasi
I
II
III
IV
Pre
1 2 3 4 5
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 4 4 4 4 8 8 16 8 8 9.18 16 16 32 16 16 18.38
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 8 16 8 4 4 6.96 8 16 16 8 8 10.56 16 32 32 16 16 21.11
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 8 Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab3) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN Waktu imunisasi
I
II
III
IV
Pre
1 2 3 4 5
GMT 1 mgg pi
GMT 2 mgg pi
GMT 3 mgg pi
GMT 4 mgg pi
GMT
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 4 4 4 4
<2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 <2 4 4 4 4 4 4 8 8 8 8 8 8
I = Kelompok Kontrol; II = Kelompok Ig G Kontrol; III = Kelompok Ab2; IV = Kelompok Vaksin AI H5N1; mgg pi = minggu post imunisasi; GMT= Geometric Mean Titer
Lampiran 9 Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode Konvensional 1. Isolasi RNA (Metoda TRIZOLR LS Reagent – Invitrogen) A. Bahan : - Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok - TRIZOLR LS Reagent (Invitrogen, Cat. No. 10296-010 100 ml) - Chloroform (Merck/BDH K171412141) CHCl3. - Isoprophil Alcohol (Merck K28887934) = 2-Propanol (H3CHCOH)CH3
-
Ethanol 75 % (Merck K15920083) C2H5OH. 25 ml DEPC-Treated Water. 75 ml Ethanol. Air suling bebas Rnase. Diethylpyrocarbonate (DEPC) (Invitrogen, Cat. No. 10813-012)
B. Alat-alat : - Mikropipet/Single pipette 1000 μl (khusus RNA) - Mikropipet/Single pipette 200 μl (khusus RNA) - Mikropipet/Single pipette 10-20 μl (khusus RNA) - Tips 1000 μl (khusus RNA). - Tips 100-200 μl (khusus RNA). - Tips 10 μl (khusus RNA). - Vortex mixer. - Sentrifus dingin (Tomy Max 150) - Microtube 1.8 ml (khusus RNA), harus baru dan sudah diautoclave. - Penangas air 600 C. - Wadah berisi es - Tempat pembuangan tips - Biosafety Cabinet Level 2. - Sarung tangan. - Masker C. Prosedur : Sebanyak 250 μl vaksin dan 750 μl Trizol dimasukkan kedalam tabung eppendorf 1.8 ml, kemudian dihomogenkan menggunakan vortex mixer. Larutan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar (25–30o C), kemudian ditambahkan 500 μl chloroform. Tabung tersebut dihomogenkan selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian disentrifus dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 2–8o C selama 15 menit. Sebanyak 500 μl fase cair pada supernatan (putih bening) diambil dan dimasukkan kedalam tabung baru. Fase cair tersebut ditambahkan 500 μl isoprophil alcohol dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Larutan selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 2–8o C selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang. Hasilnya adalah endapan RNA. Ke dalam endapan tersebut ditambahkan 1000 μl ethanol 75% dan disentrifus dengan kecepatan12.000 g selama 5 menit. Endapan RNA dikeringkan selama 7 menit di dalam laminar air flow, selanjutnya dilarutkan dengan 10 μl air suling bebas Rnase atau DEPC. Tahap akhir adalah larutan RNA diinkubasikan dalam penangas air 60o C selama 10 menit. Larutan RNA di simpan pada suhu –20o C sampai dilakukan RT-PCR. 2. Amplifikasi PCR MIX Metoda Super ScriptTM III One-Step RT-PCR System dengan Platinum R Taq DNA Polymerase (Invitrogen, Cat. No. 12574-026) Primer : 1. H5 (Invitrogen) = 55 bp H5F: 5’AAA CAG AGA GGA AAT AAG TTG AAAA ATT’3 H5R: 5’AAA GAT AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC’3
2. N1 (Eurogentec) = 120 bp N1F: 5'- TTG CTT GGT C(A/G)G CAA GTG C N1R: 5'- CCA GTC CAC CCA TTT GGA TCC A. B. -
Bahan-bahan : Reaction PCR Mix Super ScriptTMIII /Platinum Taq RNA template (extraction product with Trizol) Primer forward (H5 dan N1) Primer reserve (H5 dan N1) ddH2O Mineral oil Alat-alat : PCR tube 0.5 ml (bebas RNA) Single pipette 1-10 μl Single pipette 10-20 μl Single pipette 10-100 μl Tips 0.1-10 μl Tips 10-20 μl Tips 10-100 μl Tempat pembuangan tips Wadah berisi es Sarung tangan Masker Mesin PCR
C. Prosedur : Reaksi PCR (PCR mix) dibuat sebanyak 50 µl dengan komposisi 25 μl 2x reaction PCR mix , 2 μl Platinum Taq, 5 μl RNA template, 1 μl Primer forward (10 µM), 1 μl Primer reverse (10 µM) dan 16 μl ddH2O (ultrapure H2O). Campuran tersebut dihomogenkan, kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR yang telah diprogram. Program RT-PCR adalah cDNA synthesis 60oC selama 30 menit, predenaturasi 95oC selama 2 menit, 35 siklus terdiri dari denaturasi 95oC selama 40 detik, penempelan 50o– 55oC selama 40 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit dan post ekstensi 72oC selama 4 menit. 3. Elektrophoresis dan Visualisasi Produk Amplifikasi PCR A. Bahan-bahan: 1. Running Buffer → TBE Buffer (pH 8.0-8.1) (Invitrogen) 2. Agarose (Invitrogen.) 2 %: - Agarose 3 gr - TBE 150 ml Larutan dimasak dalam microwave sampai larutan bening. 3. Ethidium Bromide
4. BlueJuice TM Gel Loading Buffer (Invitrogen, Cat. No. 10816-015) 5. Marker (Invitrogen, Cat. No. 15628-019- 100 bp DNA ladder; Invitrogen, Cat. No. 10416-014- 50 bp DNA ladder) B. Alat-alat : - Erlenmeyer - Timbangan - Volumetric flask - pH meter - Mini gel Electrophoresis System (Mupid 2) - Single pippette 1-10 μl - Single pippette 10-20 μl - Tips 1-10 μl - Tips 10-20 μl - Wadah gel - Parafilm - Transluminator C. Prosedur : Sebanyak 2 gram agarose dilarutkan dalam 100 ml TBE buffer, kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi jernih. Ethium bromide ditambahkan ke dalam gel hangat selanjutnya gel dituangkan ke dalam dish mupid (± 50 ml kedalam dish yang besar) dan dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit. Sambil menunggu, sebanyak 250 ml TBE buffer dituangkan ke dalam mupid electrophoresis. Gel yang beku diletakkan di dalam mupid elektroforesis dengan aliran listrik negatif mengalir ke positif. Sebanyak 2 μl loading dye (BlueJuice Gel Loading) dan 8 μl produk amplifikasi PCR dicampur dan dimasukkan ke dalam lubang gel. Voltase yang digunakan sebesar 50 Volt selama 45 menit. Pita DNA yang teramplifikasi dilihat dibawah sinar ultraviolet Lampiran 10 Prosedur Uji Agar Gel Presipitasi (Agar Gel Presipitation =AGP) A. Bahan-bahan: - Agarose 0.4 gr - Poly Ethylene Glycol (PEG) 6000 1.2 gr - Na azide 0.1% 0.04 gr - Larutkan dalam 25 ml PBS pH 7.4 dan 25 ml akuades pH 7.4. B. Alat-alat: - Gelas erlenmeyer - Gelas ukur - Gelas objek - Timbangan - Sendok - Mikrowave
- Puncher - Pipet 10 ml - Mikropipet + tips C. Prosedur: Larutan agar dipanaskan dalam mikrowave sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Larutan sebanyak 3.75 ml dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras, kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Antigen sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur tengah dan antibodi sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur disekelilingnya.
Lampiran 11 Prosedur Uji Hambatan Hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibitiont = HI) 1. Bahan –bahan : A. Alsever’s C6H12O6 (Merck Art. 8342) 20,5 gr, 8 gr C6H5Na3O7 . 2H2O (Merck Art. 6448) C6H8O72H2O (Merck Art. 244) 0,55 gr NaCl (Merck Art. 6404) 4,20 gr, Ditambahkan dH2O 1000 ml. Stirer sampai larut, kemudian cek pH 6,1. Autoclave pada suhu 115oC dengan tekanan 12,5 psi selama 15 menit. Alsever’s disimpan pada suhu 4oC. B. Sel darah merah ayam 1 % C. Phospate Buffer Saline (PBS) D. Antigen 4 HAU E. Kapas alkohol 2. Alat-alat: A. Syringe
B. C. D. E.
Tabung sentrifus Sentrifus Mikroplate 96 lubang dengan dasar V Mikropipet + tips
3. Prosedur Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI) A. Pembuatan Sel Darah Merah Ayam (SDM ayam) 10 % Ayam SPF diambil darahnya dari vena brachialis (sayap) dengan perbandingan 1:1 (darah:alsever) dalam syringe, kemudian dicampur merata, dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 3000 g selama 5 menit. Pembuatan SDM ayam pekat dengan cara mencuci SDM ayam dengan PBS sebanyak 3 kali. Sel darah merah sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung 10 ml dan ditambahkan PBS, kemudian disentrifus dengan kecepatan 1000 g selama 10 menit, selanjutnya supernatan dibuang. B. Pembuatan Sel Darah Merah Ayam (SDM ayam) 1% 10 ml Pembuatan SDM ayam 1% dengan cara SDM ayam pekat sebanyak 1000 µl dicampur dengan PBS 10 ml. Kocok perlahan hingga larut. C. Pembuatan Antigen 4 HAU Prosedur uji HA adalah sebagai berikut : Antigen H5N1 diencerkan secara seri dengan kelipatan dua. Pada pengujian ini menggunakan lempeng mikrotiter 96 lubang dengan dasar V. Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 dimasukkan 25 µl antigen. Pada semua lubang dimasukkan larutan PBS, kemudian dilakukan pengenceran dengan menggunakan pipet multichanel 5 µl- 50 µl, pada lubang 11 dibuang 25 µl, lubang 12 sebagai kontrol sel darah merah. Sebanyak 50 µl sel darah merah ayam 1% dengan menggunakan pipet multichanel 5 µl- 50 µl dimasukkan ke dalam semua lubang kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 30 menit. Titer antigen 1 HAU adalah pengenceran terakhir yang dapat mengaglutinasi sel darah merah ayam. Tetapkan nilai 4 HAU untuk dipakai pada uji HI. D. Prosedur Uji HI Prosedur uji HI adalah sebagai berikut : Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 µl dimasukkan 25 µl serum. Pada semua lubang dimasukkan pengencer Phospate Buffer Saline(PBS), kemudian dilakukan pengenceran secara seri kelipatan dua sampai lubang 11, lubang 12 sebagai kontrol sel darah merah. Antigen AI H5N1 yang telah diencerkan hingga konsentrasi 4 HA Unit sebanyak 25 µl dimasukkan pada semua lubang dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl ditambahkan sel darah merah ayam 1% sebanyak 50 µl pada semua lubang dan selanjutnya diinkubasikan pada kamar selama 30 menit. Terbentuknya aglutinasi menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung antibodi terhadap v, sirus AI, sedangkan apabila tidak terjadi aglutinasi tetapi yang terjadi adalah pengendapan sel darah merah ayam,
E.
maka serum tersebut mengandung antibodi terhadap virus AI. Banyaknya antibodi dalam serum dinyatakan dalam titer yang dihitung sampai pengenceran keberapa terjadi pengendapan sel darah merah ayam. Satuannya adalah HI unit . Penghitungan Geometric Mean Titer (GMT) (Brugh 1978): Log 2 GMT = (Log2t1)(S1)+(log2t2)(S2)+…. (log2tn)(Sn) N Keterangan : N = Jumlah contoh serum yang diamati t = titer antibodi pada pengenceran tertinggi yang masih dapat menghambat aglutinasi sel darah merah S = Jumlah contoh serum yang bertiter t n = Sampel ke-n
Lampiran 12 Prosedur Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) 1. Bahan-bahan: A. Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A media (Millipore). B. Serum 2. Alat- alat: A. Tabung sentrifus B. Sentrifus C. Mikropipet + tips 3. Prosedur Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) dari serum marmut (Ab1) dan serum kelinci (Ab2) dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A media (Millipore). Prosep A dilepaskan dari tutup atas dan bawahnya kemudian dimasukkan kedalam spin kolom. Spin kolom dicuci dengan 10 ml binding buffer disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 15 menit. Serum di filter dengan menggunakan steriflip GP filter 0,22 um. Sampel serum dilarutkan dengan binding buffer menggunakan perbandingan 1:1 v/v, lalu dimasukkan kedalam kolom spin dan disentrifus pada kecepatan 150 g selama 20 menit. Kolom spin dicuci kembali dengan 10 ml binding buffer dan disentrifus
dengan kecepatan 500 g selama 5 menit, pencucian dilakukan dua kali. Imunoglobulin G di elusi dengan 10 ml buffer elusi langsung kedalam tube sentrifus berisi 1,3 ml buffer netral dengan kecepatan 500 g selama 5 menit. Larutan yang ada dibawah yang ditampung dan merupakan IgG. Imunoglobulin G di desalting dengan menggunakan Amicon Ultra 15 dan disentrifus dengan kecepatan 4500 g selama 30 menit. Larutan yang ada diatas ditampung dan merupakan IgG.
Lampiran 13 Prosedur Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis ( SDSPAGE) 1. Persiapan reagen SDS PAGE A. Acrylamide/Bis (30%T,2.67% C) Acrilamide/Bis (30%T,2.67% C) 146 gr NN Methylene-bis-acrylamide 4 gr Larutkan dalam akuabides sampai volume 500 ml, simpan pada suhu 4o C dalam wadah gelap. Masa pakai 30 hari. B. 1.5 M Tris- HCl pH 8.8 Tris Base 54.25 gr Larutkan dalam akuabides sampai 150 ml, buat sampai pH 8.8 dengan Hcl kemudian tambahkan aquabides sampai volume 300 ml. C. 0.5 M Tris-HCl pH 6.8 Tris base 6 gr Larutkan dalam akuabides sampai 60 ml, buat sampai pH 6.8 dengan HCl kemudian tambahkan akuabides sampai volume 100 ml. D. 10% (w/v) SDS Larutkan 10 gr SDS dalam 60 ml akuabides dengan stirer, kemudian tambahkan akuabides sampai volume 100 ml. E. 10% (w/v) Ammonium Persulfate Larutkan 10 gr ammonium persulfat dalam 100 ml akuabides. F. Sampel buffer
Akuabides 3.0 ml 0.5 M Tris-HCl pH 6.8 1.0 ml Glyserol 1.6 ml 10% SDS 1.6 ml ß-merkaptoetanol 0.4 ml 0.5% (w/v) bromophenol blue (dalam akuades) 0.4 ml Encerkan sample dengan perbandingan 1:4. Panaskan pada 95o C selama 4 menit. Catatan: Sampel dapat diganti dengan sampel buffer komersil dengan perbandingan 1:1. G. 5x Running buffer (1x = 25 mM Tris, 192mM glycine, 0.1% SDS pH 8.3) Tris Base 45 gr Glycine 216 gr SDS 15 gr Larutkan dalam 3 liter akuabides, simpan pada suhu 4o C. Sebelum digunakan biarkan pada suhu ruang dan buat menjadi larutan 1x.
2. Persiapan Gel Monomer concentration (30%T, 2.67%C)
Gel Pemisah (375 M Tris, pH 8.8)
Gel Pengumpul (125 M Tris, pH 6.8) 12% 4% Acrilamide/Bis (30% T, 2.67% C) 2.4 ml 260 µl Akuabides 2 ml 1.22 ml 1.5 M Tris- HCl pH 8.8 1.5 ml 0.5 M Tris-Hcl pH 6.8 0.5 ml 10% (w/v) SDS 60 µl 20 µl 10% (w/v) Ammonium Persulfate 30 µl 10 µl TEMED 3 µl 2 µl Catatan : Volume gel pemisah dan pengumpul dapat diperbesar dan diperkecil sesuai ukuran cetakan gel yang tersedia (umumnya setiap merk elektrophoresis berbeda volume) Dapat dibuat kelipatannya. Dalam penelitian ini akan digunakan elektrophoresis Sigma. 3. Persiapan Pewarnaan Gel SDS diwarnai dengan metode pewarnaan Commasie Blue. A. Larutan Commasie Blue Larutkan 0.25 gr commasie brilliant blue dalam 125 ml methanol, 25 ml asam asetat glasial dan 100 ml akuabides. B. Larutan Pemucat
Larutkan 100 ml methanol, 100 ml asam asetat glasial dan 800 ml akuabides. 4. Prosedur SDS PAGE Penentuan berat molekul dianalisis dengan metode Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) (Gordon 1983). Pengukuran berat molekul ini sesuai dengan teknik yang dilakukan oleh Laemmli (1970) dengan sistem discontinue menngunakan gel pemisah dengan konsentrasi 12 %, gel pengumpul 4 %, running buffer, larutan pewarna commasie brilliant blue dan larutan pemucat (distaining solution). Pembuatan agar acrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca yang berukuran 18x15.5 cm (Pharmacia-BiotechR) yang telah dibersihkan dengan alcohol 70%, pada kedua sisi tepi bagian dalam diberi spacer, kedua lempeng kaca dihimpitkan dan selanjutnya dijepit. Pada bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur dan kemudian diisi gel pemisah (12% poliakrilamid) sampai 1 cm dibawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet dan biarkan selama sekitar 30 menit kemudian diisi gel pengumpul (4% poliakrilamid) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Sampel dilarutkan dengan larutan buffer sample perbandingan 1:1 dan campuran ini kemudian diinkubasi dalam penangas air 60o C selama 5 menit sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel electrophoresis. Sebanyak 10 µl sample dimasukkan ke dalam masing-masing sumur, kemudian perangkat electrophoresis dijalankan dengan arus 50 mA dengan voltase 100 V selama kurang lebih 3 jam. Elektrophoresis berakhir apabila pewarna sample mencapai batas 0.5 cm dari bagian bawah gel. Setelah electrophoresis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam dalam larutan pewarna commasie brilliant blue (SigmaR Chemical Co.) selama 45 menit pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel gel pada larutan pemucat methanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas.
Lampiran 14 Prosedur Uji Serum Netralisasi (SN) 1. Bahan A. Penicillin 100.000 unit Satu flakon Penicillin (Gibco) 1 gr yang mengandung 1 juta unit . Larutkan dengan akuabides (dH2O)steril 10 ml. Kocok hingga larut. Simpan pada suhu 4o C. B. Streptomycin 100.000 unit Satu flakon Streptomycin (Gibco) 1 gr yang mengandung 1 juta unit. Larutkan dengan aquabides (dH2O) steril 10 ml. Kocok hingga larut. Simpan pada suhu 4o C. C. Tripsin Versene EDTA (ATV) a. Larutan A: NaCl (Merck) 8 gr KCl (BDH Prod.29594) 0,4 gr Glucose(Merk Art. 8432) 1,0 gr Versene/EDTA (Sigma E-6758)0,50 gr Tambahkan dH2O 500 ml, kemudian distirer sampai larut. b. Larutan B: Trypsin (Merck) 0,5 gr, NaHCO3 (Merck Art. 6323) 0,58 gr Tambahkan dH2O 500 ml, kemudian distirer sampai larut. Larutan A dicampur dengan larutan B, distirer sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 14 psi selama 15 menit dan disaring dengan filter 0,22 µm. ATV disimpan pada suhu -20o C. D.MEM (Minimum Eagle Medium)(Gibco-Cat. No. 12100-061) Pembuatan MEM dengan cara menimbang MEM sebanyak 13,37 gr,
kemudian ditambahkan dH2O sebanyak 1000 ml. Stirer sampai larut kemudian diautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. MEM disimpan pada suhu 4o C. E. Media Biakan Jaringan 5 liter Pembuatan media biakan jaringan 5 liter dengan cara membuat MEM (Gibco-Cat. No. 12100-061) 5 liter, kemudian ditambahkan Penicillin (100 ribu unit) 10 ml, Streptomycin (100 ribu unit) 10 ml, NaHCO3 (Merck) 5(x3,7 gr) dan Hepes (Gibco-Cat. 11344-033) 50 ml. Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media biakan jaringan disimpan pada suhu 4o C. F. Media Pemelihara (Maintenance Medium = MM) 100 ml Pembuatan MM 100 ml dengan cara mencampur media biakan jaringan sebanyak 98 ml dan fetal bovine serum (FBS) 2% (Gibco) sebanyak 2 ml. Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media pemelihara disimpan pada suhu 4o C. G. Media Penumbuh (Growth Medium = GM)100 ml Pembuatan GM 100 ml dengan cara mencampur media biakan jaringan sebanyak 95 ml dan fetal bovine serum (FBS) 5%(Gibco) sebanyak 5 ml. Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media penumbuh disimpan pada suhu 4o C. H. NaHCO3 5,6% Pembuatan NaHCO3 5,6% dengan cara menimbang NaHCO3 (Merck Art. 6323) 5,6 gr, kemudian ditambahkan dH2O 100 ml. Stirer sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. NaHCO3 disimpan pada suhu 4o C. I. PBS (Ca&Mg) Pembuatan PBS – dengan cara menimbang NaCl (Merck Art. 6404 ) 8 gr, KCl (BDH Prod. 29594) 0,2 gr, Na2HPO4 (Merck Art. 6586) 1,15 gr, Na2HPO4.2H2O (Merck art. 6580) 1,42 gr dan KH2PO4 (Merck Art. 4873) 0,2 gr, kemudian ditambahkan 1000 ml dH2O. Stirer sampai larut, cek pH 7,2-7,4, kemudian diautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. PBS- disimpan pada suhu 4o C. J. Sel MDCK
2. Alat-alat: A. Biosafety Cabinet Level II B. Microplate 96 lubang untuk biakan jaringan C. Tabung pengencer D. Botol media E. Botol sel / tissue culture flask F. Pipet G. Tabung sentrifus H. Mikropipet (singlechannel pipette dan multichannel pipette + tips) I. Sentrifus J. Inkubator 37o C dan 5% CO2
3. Prosedur A. Propagasi Biakan Jaringan Ginjal Anjing Madin Darby Canine Kidney (MDCK) Biakan jaringan MDCK yang telah membentuk sel selapis (monolayer) pada tissue culture flask besar (75 cm2) dipropagasi dengan cara membuang media pada biakan jaringan MDCK. Umumnya biakan jaringan MDCK sudah membentuk sel selapis berumur 3 sampai 4 hari, kemudian di cuci dengan PBSsteril sebanyak 2 kali sebelum ditambahkan 1,5 ml Tripsin Versen EDTA (ATV). Biakan jaringan MDCK diinkubasikan pada suhu 37oC selama 3-5 menit sambil sesekali digoyang dan dilanjutkan dengan pipeting yaitu dengan menghisap dan menyemburkan secara hati-hati suspensi tersebut menggunakan pipet 5 ml steril sehingga sel-selnya lepas. Sel-sel yang lepas akan terlihat jelas dibawah mikroskop, selanjutnya ditambahkan media penumbuh (GM) sebanyak 10 ml dan dimasukkan kedalam tabung sentrifus 50 ml, disentrifus dengan kecepatan 750 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet ditambahkan 40 ml media penumbuh (GM) dan dimasukkan kedalam 2 tissue culture flask besar (75 cm2) masing-masing 20 ml, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC . B.Propagasi Isolat Lokal AI Isolat AI disimpan pada suhu -70o C, kemudian ditumbuhkan kembali pada biakan jaringan MDCK. Isolat lokal AI diperbanyak dalam biakan jaringan MDCK yang ditumbuhkan pada tissue culture flask kecil (25 cm2). Media biakan jaringan MDCK yang telah membentuk jaringan selapis, dibuang secara aseptis menggunakan pipet 5 ml steril, kemudian dengan menggunakan pipet single channel 1000 µl ditambahkan 300 µl isolat yang telah mengalami beku-cair sebanyak 3 kali dan diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37o C selama 1 jam sebelum ditambahkan media pemelihara (MM). Sel tersebut diamati selama 5 sampai 7 hari untuk melihat ada tidaknya CPE (cytopathogenik effect), apabila CPE mencapai 80-90%, maka sel dan cairan dipanen untuk kemudian dilakukan uji kandungan virus. C. Uji Kandungan Virus Inokulum yang akan dititrasi dibeku-cairkan terlebih dahulu sebanyak 3 kali, kemudian disentrifus dengan kecepatan 750 g selama 10 menit. Supernatan dikoleksi untuk selanjutnya diuji kandungan virusnya. Uji kandungan virus mengunakan microplate 96 lubang steril dengan dasar datar. Supernatan diencerkan sepuluh kali secara serial dengan pengencer media pemelihara (MM) dari 10-1 sampai 10-8 pada tabung 10 ml steril. Dengan menggunakan pipet single channel 100 µl sebanyak 50 µl per lubang dimasukkan dari masing-masing pengenceran sebanyak 4 lubang. Kontrol positif (virus 10o) dan kontrol negatif (sel yang tidak diinokulasi) dibuat sebagai pembanding dan disertakan pada lempeng mikrotiter yang sama. Sebanyak 100 µl biakan jaringan
MDCK dalam media penumbuh dengan konsentrasi sel 2x105 per ml dimasukkan pada masing-masing lubang dengan meggunakan pipet multichannel 50µl-300 µl, selanjutnya diinkubasikan pada inkubator 37oC yang mengandung 5% CO2 . Pengamatan akan terjadinya CPE dilakukan setiap hari selama 5 sampai 7 hari. Hasil yang diperoleh dihitung dengan metoda Reed & Munch (1938).
Contoh Penghitungan Titrasi Kandungan Virus Pengenceran Virus
CPE (positif)
10-1 10-2 10-3 10-4 10-5
5/5 4/5 2/5 1/5 0/5
Kumulatif yg terinfeksi (CPE +) 12 7 3 1 0
Metoda Reed & Munch (1938)
Kumulatif yg tdk terinfeksi (CPE -) 0 1 4 8 13
Perbandingan Presentasi Kumulatif Kumulatif 12/12 7/8 3/7 1/9 0/13
100% 87,5% 43.0% 11.1% 00%
Rumus TCID50 (Tissue Culture Infective Dose): PD (Proportionate Distance) = (Diatas 50% - 50%) = 87,5 - 50 = 37,5 = 0,86 (Diatas 50% - Dibawah 50%) 87,5 - 43 43,5 → TCID50 = >50% + PD = 2 + 0,86 = 2,86 TCID50 = 10-2,86 D. Prosedur kerja uji serum netralisasi dengan biakan jaringan Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 µl dimasukkan 25 µl serum. Pada semua lubang dimasukkan pengencer Phospate Buffer Saline (PBS), kemudian dilakukan pengenceran secara seri kelipatan dua sampai lubang 11, lubang 12 sebagai kontrol sel darah merah. Virus AI H5N1 yang telah diencerkan hingga konsentrasi 200 TCID50 sebanyak 25 µl dimasukkan pada semua lubang dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada inkubator dengan suhu 37o C dengan 5% CO2 selama 30 menit, kemudian dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl ditambahkan sel MDCK sebanyak 100 µl pada semua lubang dan selanjutnya diinkubasikan pada inkubator dengan suhu 37o C dengan 5% CO2 7 hari. Terbentuknya CPE menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung antibodi terhadap virus AI, sedangkan apabila tidak terjadi CPE, maka
serum tersebut mengandung antibodi terhadap virus AI. Banyaknya antibodi dalam serum dinyatakan dalam titer yang dihitung sampai pengenceran keberapa terjadinya CPE.
Lampiran 15 Prosedur Pembuatan Antigen AI 1. Bahan : - Telur Ayam Berembrio (TAB) Specific Pathogen Free (SPF) umur 10 hari - Isolat lokal AI - PBS + PSK - Virus AI (tipe A) strain H5N1 - Sel darah merah (SDM) ayam SPF 3 % dan 1 % 2. Alat-alat : - Safety Cabinet - Inkubator - Sentrifuse dingin - Tabung sentrifus - Tabung eppendorf - Rak Telur - Micropippete dan fintip - Stirer dan magnetic stirer. - Disposible syringe - Microplate 96 well - Pipet Aid 3. Prosedur : Telur ayam berembrio (TAB) umur 10 hari diinokulasikan dengan 0,1 ml isolat lokal AI. Telur diinkubasikan dalam inkubator 37o C selama 3-5 hari. Panen cairan allantois dilakukan secara steril dan dikumpulkan pada tabung sentrifus. Selanjutnya dilakukan uji HA cepat dengan cara mencampur 1 bagian cairan alantois dan 1 bagian SDM 3 % , apabila terjadi aglutinasi maka cairan alantois tersebut disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Koleksi supernatan dan dilakukan uji HA cepat kembali dan diukur titernya dengan uji HA.
Proses inaktifasi dilakukan dengan cara supernatan tersebut ditambahkkan dengan 0,2 % formalin kemudian distirer pada suhu 4oC selama 1 malam. Selanjutnya dilakukan titrasi antigen dengan uji HA. Supernatan didistribusikan sebanyak 1-2 ml pada tabung eppendorf dan simpan pada suhu -20 o C kemudian pada suhu -70 o C.