EVALUASI ANTIBODI ASAL INDUK (MATERNAL ANTIBODI) PADA KUNING TELUR ASAL AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N9
SUGIARTO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
RINGKASAN
SUGIARTO (B04104063). Evaluasi Antibodi Asal Induk (maternal Antibodi) pada Kuning Telur Asal Ayam Single Comb Brown Leghorn yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza. Dibimbing oleh Retno Damajanti Soejoedono dan Sri Murtini
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekebalan asal induk (maternal antibodi) pada kuning telur asal ayam yang divaksinasi H5N9 dan diuji dengan virus standar avian influenza H5N1. Penelitian ini menggunakan hewan coba berupa ayam petelur strain Single Comb Brown Leghorn berjumlah 6 ekor. Semua ayam divaksinasi dengan vaksin inaktif H5N9, setelah sebelumnya dilakukan uji HI dengan menggunakan virus H5N1 sebagai virus standar untuk memastikan bahwa ayam-ayam tersebut memiliki titer antibodi terhadap H5N1 yang rendah atau tidak memiliki antibodi sama sekali. Telur dikoleksi setelah titer antibodi yang terbentuk di dalam serum mencapai 26. Imunoglobulin Y diperoleh dengan
metode
purifikasi
menggunakan
PEG-Kloroform.
Rataan
hasil
penghitungan titer IgY H5N9 dengan menggunakan uji HI tiap minggu dari minggu ke-1 sampai minggu ke-5 adalah 21, 20.75, 20, 21, 20. Berdasarkan hasil tersebut menggambarkan bahwa vaksin H5N9 pada induk tidak memiliki kemampuan untuk memicu terbentuknya antibodi maternal pada kuning telur atau IgY yang kebal terhadap H5N1.
EVALUASI ANTIBODI ASAL INDUK (MATERNAL ANTIBODI) PADA KUNING TELUR ASAL AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N9
SUGIARTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi : Evaluasi Antibodi Asal Induk (Maternal Antibodi) pada Kuning Telur Asal Ayam Single Comb Brown Leghorn yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza H5N9 Nama : Sugiarto NRP : B04104063
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS
Dr. drh. Sri Murtini, Msi
NIP: 130 275 892
NIP: 132 133 967
Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 131 669 942
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di desa Andong, Kec. Butuh, Kab. Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 20 April 1985 sebagai anak ke-lima dari lima bersaudara pasangan bapak Maidi dan ibu Pairah. Pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas diselesaikan di kota Purworejo. Pada tahun 1992, penulis masuk ke SD N Andong dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP N 1 Kutoarjo dan lulus tahun 2001. Penulis masuk ke SMU N 7 pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa antara lain sebagai Kadep Kewirus Himpro Ruminansia 2006/2007 dan sebagai Kadep Infokom BEM Pembaharuan Fakultas Kedokteran Hewan 2007/2008.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, pemimpin semesta alam yang melimahkan rahmat dan karunianya sehinggapenulisan skripsi dengan judul ”Evaluasi Antibodi Induk Dari Kuning Telur Pada Ayam Yang Divaksin Dengan Vaksin Avian Influenza H5N9” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan para pengikutnya. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Sri Murtini, MSi atas bimbingannya dalam penyusunan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda Maidi dan Ibunda Pairah yang tercinta, saudara kandung penulis (Mbak Jah, Mas Pram, Mbak Sri, dan Mbak Ulis) serta seluruh keluarga besar penulis. Terima kasih atas segala pengorbanan dan bimbingannya selama ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Danamon Peduli atas beasiswanya selama menempuh pendidikan S1. Temanteman satu penelitian (Yus dan Dhesy Ungu), terima kasih atas kerja samanya. Buat Mbak Ika, Mbak Okti, Ibu Santi, Pak Lukman, Mas Wahyu, Mas Ivan, Pak Nur dan Pak Kos, terima kasih atas bantuannya selama penelitian. Buat BapakIbu guru dari TK Rukun Andong, SDN Andong, SMPN 1 Kutoarjo, SMAN 7 Purworejo, dan seluruh staf pengajar FKH IPB yang telah memiliki andil besar dalam mengasah pikiran penulis, terima kasih untuk kalian semua. Teman-teman seperjuangan My Chick (Muhan, Kuga dan Bang Sat-rio), mari majukan usaha kita. Sahabat-sahabat saya Shierly, Eks-GS (Agus, Dhani, Eki, Budi, Andraw, Fuad, Dahlan, Nanang ), Dhani, RC (Mungky, Gege, Puput, Yus, Betty, Wahyu, Iya, dan Ana), Nina, Dhini, Mas Tri, Ocha, Karim, Phiyeng, Desi, Dinasti, Risna, Wening, Fitri Has, dan Lastri terima kasih atas semuanya.
Teman-teman
Asteroidea ’41, terima kasih atas kerjasama dan kekompakanya. Terima kasih kepada para penulis yang karyanya telah dijadikan pustaka dalam skripsi ini. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, terima kasih untuk semuanya.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa karya ini masih banyak kekurangan dan masih butuh penyempurnaan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan semoga karya ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.
Bogor, September 2008
Sugiarto
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
x
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 1.3. Manfaat Penelitian ......................................................................................
1 2 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Avian Influenza ........................................................................................... 2.1.1. Virus Avian Influenza .................................................................... 2.1.2. Kelangsungan Hidup Virus Avian Influenza di Lingkungan .......... 2.1.3. Induk Semang (Host) ...................................................................... 2.1.4. Infeksi Virus Influenza .................................................................... 2.1.5. Gejala Klinis Avian Influenza ......................................................... 2.1.6. Pengendalian Avian Influenza ........................................................
4 4 7 7 8 9 10
2.2. Vaksin Avian Influenza ............................................................................... 11 2.3. Yolk Immunoglobulin (IgY) ........................................................................ 14 3. MATERI DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat ........................................................................................... 3.2. Metode Penelitian ........................................................................................ 3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 3.2.2. Vaksinasi ......................................................................................... 3.2.3. Koleksi Serum ................................................................................. 3.2.4. Penyiapan SDS 0.5% ...................................................................... 3.2.5. Penentuan Titer Antibodi ................................................................ 3.2.6. Koleksi Telur ................................................................................... 3.2.7. Pemurnian IgY ................................................................................
16 16 16 16 16 17 17 18 18
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 20 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................................ 25 5.2. Saran ........................................................................................................... 25 6. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan titer antibodi serum hasil uji hemaglutinin inhibisi ......................... 21 2. Data rataan titer Ig Y ..................................................................................... 23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4.
Struktur virus influenza ................................................................................... 6 Gambaran mikroskopis virus avian influenza H5N1 ..................................... 7 Bagan persebaran virus avian influenza .......................................................... 9 Perbedaan struktur antara IgY dengan IgG mamalia .................................... 15
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza merupakan salah satu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya yang lebih dikenal dengan istilah zoonosis (Anonimous 2007).
Penyakit ini menjadi isu global setelah ditemukan pada
manusia di tahun 1997 di Hong Kong.
Penyakit ini menyebabkan 18 orang
dirawat di rumah sakit dan 6 orang diantaranya meninggal dunia (Tam 2002; WHO 2008). Sejak saat itu avian influenza menjadi pusat perhatian seluruh manusia di dunia. Sebelumnya, avian influenza merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, hanya terdapat 24 kejadian primer yang tercatat di seluruh dunia sejak tahun 1950-an (Harder and Warner 2008). Penyebaran virus avian influenza ini sangat cepat dan terus menerus mengalami mutasi, menyebabkan penyakit ini sulit diberantas. Avian influenza terus menyebar tidak hanya di Hong Kong, hampir seluruh Asia terserang penyakit ini.
Kasus avian influenza banyak
ditemukan di kawasan Asia Tenggara. Thailand, Viatnam, Kamboja dan Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang terkena wabah avian influenza. Kasus avian influenza di Indonesia sangat komplek, kasus pertama pada unggas teridentifikasi di dua kabupaten yaitu Pekalongan dan Tangerang, pada bulan Agustus 2003. Sementara kasus pertama pada manusia terjadi di Kabupaten Tangerang pada bulan Juli 2005. Pada 14 Januari 2007 Komisi Nasional Avian Influenza menetapkan status kejadian luar biasa untuk seluruh Indonesia setelah empat orang meninggal karena terinfeksi avian influenza di Jakarta dan Tangerang.
Sektor peternakan juga mengalami kerugian yang sangat besar.
Ribuan ekor unggas dibasmi dalam rangka pengendalian penyakit ini. Dampaknya banyak peternak unggas yang gulung tikar. Tidak hanya itu, korban manusia terus bertambah, menempatkan Indonesia menjadi negara terbanyak korban avian influenza pada manusia.
Pemerintah mulai membuat program-
program pemberantasan dan peraturan perundangan untuk pengendalian avian influenza. Namun sampai saat ini Indonesia belum terbebas dari penyakit ini. Wabah avian influenza yang telah meluas hampir diseluruh kepulauan Indonesia membuat stamping out tidak lagi efektif. Vaksinasi disertai dengan
peningkatan biosekuriti dirasa menjadi metode yang paling efektif untuk mengendalikan wabah avian influenza di Indonesia. Vaksinasi bertujuan untuk menginduksi terbentuknya antibodi spesifik terhadap virus avian influenza. Vaksin avian influenza yang terdapat di Indonesia merupakan vaksin inaktif baik berupa vaksin homolog
maupun heterolog. Vaksin H5N9 tergolong vaksin
heterolog karena avian influenza yang mewabah di Indonesia adalah virus avian influenza subtipe H5N1. Penggunaan vaksin yang paling ideal masih menjadi perdebatan diantara para ilmuan. Cara lain yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak buruk karena infeksi virus avian influenza adalah memperkuat sistem imun sejak dini yaitu dengan cara meningkatkan maternal antibodi pada anak yang baru lahir. Anak ayam umur kurang dari 1 minggu peka terhadap banyak agen patogen.
Hal
tersebut disebabkan karena sistem imun pada anak ayam belum secara penuh berkembang, oleh karena itu maternal antibodi menjadi alat utama untuk perlindungan diri dari serangan agen patogen. Salah satu cara untuk mendapatkan maternal antibodi adalah dengan melakukan vaksinasi pada induk ayam. Diharapkan dengan vaksinasi pada induk akan meningkatkan tanggap kebal induk terhadap agen patogen pada vaksin dan pada akhirnya akan diturunkan ke telur sebagai maternal antibodi untuk anak ayam. Cara ini sangat bermanfaat untuk industri penetasan ayam atau industri pembibitan. Pengebalan ayam terhadap avian influenza menggunakan vaksin heterolog sudah banyak dilakukan, tetapi kajian efektifitas vaksin heterolog dalam menginduksi kekebalan maternal antibodi belum banyak diketahui . Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang mengkaji efektifitas vaksin heterolog (H5N9) dalam pembentukan maternal antibodi pada telur atau yolk immunoglobulin (IgY) terhadap virus avian influenza subtipe H5N1.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekebalan maternal pada telur hasil vaksinasi H5N9 yang diuji dengan virus H5N1.
1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan vaksin yang paling efektif untuk memicu maternal antibodi pada anak ayam.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Avian Influenza Avian influenza merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini menyerang berbagai jenis burung liar dan domestik. Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung pada virulensi virus dan kepekaan induk semang (host) (CIDRAP 2008). Menurut tingkat patogenitasnya avian influenza dibagi menjadi dua yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). LPAI merupakan virus yang sifat infeksinya ringan atau tidak menimbulkan gejala sakit pada unggas yang diserang. Pada umumnya, hanya mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara pada unggas petelur atau menurunkan penambahan berat badan pada unggas pedaging (Harder dan Warner 2008). Virus yang didapat dari unggas liar secara umum merupakan virus low pathogenic. HPAI merupakan virus avian influenza yang dapat menimbulkan penyakit dengan tingkat keparahan tinggi pada hewan terinfeksi. Subtipe virus avian influenza yang tergolong dalam highly pathogenic adalah subtipe H5 dan H7 atau subtipe lain yang tidak pernah dijumpai dalam unggas liar (Webster 1998). Tidak semua subtipe H5 dan H7 sangat patogen, tetapi mempunyai potensi untuk menjadi sangat patogen. Berdasarkan penelitian terbaru telah menunjukkan H5 dan H7
virus
berpatogenitas rendah dapat bermutasi menjadi virus dengan patogenitas tinggi setelah berada dalam kawanan unggas (WHO 2006).
Meskipun virus HPAI
tumbuh dalam unggas domestik, virus ini dapat ditularkan secara horizontal ke burung liar. Penularan virus HPAI dari unggas domestik ke burung liar pada umumnya bersifat sporadik, sehingga secara epidemiologi unggas liar tidak dianggap mempunyai peranan penting dalam penyebaran virus HPAI (Swayne dan Suarez 2000).
2.1.1. Virus Avian Influenza Virus adalah segmen kecil dari nucleic acid dengan mantel protein atau lipoprotein.
Virus membutuhkan induk semang spesifik untuk bereplikasi.
Secara khas, virus masuk ke dalam sel melalui permukaan reseptor yang
berhubungan dan memperoleh sistem biomekanik sel untuk replikasi semua komponen dari virus itu sendiri, memasukkan gennya. Dalam banyak kasus, proses replikasi gen selalu mengalami kekeliruan, menyebabkan banyak mutasi. Karena begitu banyak virus baru yang dihasilkan dalam siklus replikasi, hasil mutasi ini dapat diseleksi dari kemampuan untuk memperbanyak dirinya sendiri (Kuby 2007). Avian influenza disebabkan oleh virus RNA yang tergolong dalam famili Orthomyxoviridae. Famili ini terdiri dari 5 genera yang didasarkan pada variasi antigen nukleoprotein. Kelima genera tersebut adalah influenza A, influenza B, influenza C, thogovirus dan isavirus. Avian influenza sendiri berasal dari genus influenza A.
Genus ini hanya memiliki satu spesies yaitu virus influenza A
(CIDRAP 2008). Pengamatan
menggunakan
mikroskop
elektron
menunjukan
virus
influenza A mempunyai bentuk pleomorfik, dari bentuk bulat dengan garis tengah rata-rata 120 nm sampai berbentuk filamen. Influenza A diklasifikasikan atas dasar perlengkapan antigennya yaitu hemaglutinin (HA) dan neuroaminidase (NA) glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan partikel virus (Rohm et al. 1996). Kedua protein ini membentuk penjuluran khas di permukaan partikel virus dengan panjang sekitar 16 nm (Shekel dan Wiley 1986 diacu dalam Mahardika et al. 2005). Protein HA dan NA menentukan patogenitas suatu virus influenza, serta sangat mudah mengalami mutasi. Hemaglutinin berperan dalam memulai infeksi dengan menempel pada reseptor sialil-oligosakarida pada permukaan sel. Hemaglutinin juga menginduksi antibodi penetral yang penting dalam pencegahan infeksi. Sedangkan NA adalah suatu enzim sialidase yang menghambat agregasi virion dengan menghilangkan asam sialat sel (Horimoto dan Kawaoka 2001). Antibodi terhadap NA juga berperan dalam perlindungan hewan terhadap infeksi berikutnya (Mahardika et al. 2005). Protein virus influenza lain tampaknya juga sangat berperan dalam patogenitas strain (Zambon 1999). Protein-protein tersebut adalah M1, M2, NP, tiga enzim polymerase RNA kompleks – PB1, PB2, dan PA– dan NS2.
Protein NS1– yang hanya terdapat pada sel terinfeksi dan tidak
diintegrasikan dalam partikel virus, berfungsi menekan fungsi interferon
hewan/manusia. Fungsi ini juga vital dalam patogenesis virus influenza (Mahardika et al. 2005). Virus influenza A mempunyai 16 subtipe hemaglutinin (HA) yaitu H1H16 dan 9 subtipe neuramidase (NA) yaitu N1-N9 (Fouchier et al. 2004). Beberapa strain avian influenza yang diketahui dapat menyerang manusia adalah subtipe H5, subtipe H7, subtipe H9 dan subtipe H10. Subtipe H5 dan H7 dapat berupa low pathogenic atau highly pathogenic, sedangkan H9 hanya menimbulkan penyakit yang ringan (low pathogenic). Strain H5N1 beredar di antara unggas di seluruh dunia dan bertanggung jawab atas terjadinya panzootic yang terjadi antara unggas domestik dan burung-burung lain di Asia, Eropa, dan Afrika (CIDRAP 2008).
Gambar 1 Struktur virus influenza (Sumber: http//www.microbiologybytes.com)
Gambar 2 Gambaran mikroskopis virus avian influenza H5N1 (terlihat warna emas) (Sumber: www.clcbio.com).
2.1.2. Kelangsungan Hidup Virus Avian Influenza di Lingkungan Suspensi virus dalam air mampu mempertahankan virulensinya selama 100 hari pada suhu 17 o C. Pada suhu di bawah -50o C virus dapat bertahan untuk waktu yang tidak terbatas (Harder and Warner 2008). Hasil penelitian yang lain menemukan bahwa beberapa virus avian influenza tetap bertahan di dalam air suling dalam 207 hari pada suhu 17°C dan 102 hari pada 28°C (Stallknecht 1990).
2.1.3. Induk Semang (Host) Virus avian influenza dapat menyerang berbagai jenis burung liar dan domestik. Gejala klinis pada burung-burung terbentang dari asimtomatis hingga penyakit yang fatal (Horimoto dan Kawaoka 2001). Burung-burung air terutama itik, burung pantai dan burung camar, merupakan reservoir alami bagi virus avian influenza (Fouchier 2004; Webster 1992). Burung air ini pada umumnya tidak menunjukkan gejala sakit ketika terinfeksi virus avian influenza (Horimoto dan Kawaoka 2001). Pada umumnya virus ini tidak berbahaya untuk host alami tersebut.
Meskipun demikian, setelah berpindah ke host baru, baik
unggas
maupun mamalia, virus influenza akan mengalami mutasi secara cepat dan berkembang menjadi jenis baru. Virus baru ini sangat patogen dan menjadi ancaman serius bagi manusia, unggas serta populasi burung liar (International Institute for Surtainable Development 2006). Selain menyerang bangsa unggas, avian influenza juga menyerang bangsa mamalia. Virus influenza A telah ditemukan pada kuda, babi, ikan paus, dan anjing laut (Amosin 2005; Keawcharoen 2004; Guo 1992; Ito 1999; Quirk 2004; Thanawongnuwech 2005; Choi 2005). H5N1 juga telah ditemukan pada kucing, macan tutul, harimau, musang, dan anjing (CIDRAP 2008).
Mamalia yang
tetular oleh virus avian influenza pada umumnya adalah omnivora dan karnivora. Karena jenis-jenis mamalia tersebut yang paling riskan terinfeksi virus dengan cara memakan unggas yang terinfeksi.
2.1.4. Infeksi Virus Influenza Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai oral-fekal (mulut-tinja). Selain itu air dan benda-benda lain yang tercemar merupakan media penularan secara tidak langsung yang juga penting (Harder dan Warner 2008). Penularan dari unggas liar ke unggas domestik terutama terjadi bila unggas domestik dibiarkan bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua 2003; Henzle 2003). Cara penularan virus avian influenza dari unggas ke unggas dapat berupa pemindahan atau perpindahan kawanan unggas, kontak yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat pemotonga, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut pakan, kandang atau bangkai unggas, penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat, dan sebagainnya (Marangon dan Capua 2005). Praktek pertanian dan kebiasaan makan dipercaya sebagai sebab terjadinya transmisi virus avian influenza dari unggas ke manusia di Asia (Carver dan Krushinskie 2006). Kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi atau permukaan yang dicemari oleh tinja unggas menjadi rute infeksi pada manusia yang utama (WHO 2005). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran di dalam dan di antara kawanan adalah pecahnya telur di inkubator dapat menginfeksi anak ayam
yang sehat atau perpindahan dari burung terinfeksi dalam kawanan. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontaminasi pada peralatan, rak telur, truk makanan, dan baju dan sepatu pekerja.
Gambar 3 Bagan persebaran virus avian influenza (Sumber: http//www.avianflu.unair.ac.id) 2.1.5. Gejala Klinis Avian Influenza Gejala klinis pada setiap spesies berbeda-beda, dari tanpa gejala sampai ke yang bersifat ganas. Gejala yang ditimbulkan tersebut tergantung pada virulensi dari virus dan kepekaan dari induk semang (host) (CIDRAP 2008). Gejala yang umum terlihat antara lain sebagai berikut: - Jengger, pial, kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan (sianosis) - Keluar cairan dari mata dan hidung - Pembengkakan daerah muka dan kepala - Perdarahan subkutan - Batuk, bersin dan ngorok - Diare dan kematian tinggi - Ptechie pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki
Gejala yang nampak pada manusia menyerupai gejala influenza pada umumnya yaitu demam, batuk, nyeri otot, pneumoni, sesak nafas akut dan kadang-kadang disertai dengan konjungtivitis. Jika tidak ditangani dengan serius dapat menyebabkan kematian (CDC 2006).
2.1.6. Pengendalian Avian Influenza Pengendalian penyakit dilakukan dengan tindakan preventif. Tindakan preventif tersebut antara lain pengontrolan perpindahan burung dan produk yang mungkin terkontaminasi virus, stamping out atau pemusnahan terhadap unggas yang terinfeksi atau yang beresiko, peningkatan biosekuriti, dan vaksinasi (CIDRAP 2008). Pemusnahan virus avian influenza yang patogenik pada unggas piaraan merupakan strategi yang paling efektif untuk mencegah terjadinya pandemik avian influenza (Horimoto dan Kawaoka 2001). Pemusnahan atau stamping out terhadap unggas yang tertular, hewan yang kontak, dan hewan lain dalam radius tertentu. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina, pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produknya serta manusia, repopulasi peternakan setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas HPAI (Mahardika et al. 2005). Cara lain untuk pencegahan virus avian influenza adalah memperketat biosekuriti. Beberapa prinsip biosekuriti antara lain manajemen "all in-all out", pencucian dan disinfeksi alat, pembatasan keluar-masuk manusia, penyediaan pakaian pekerja kandang yang memadai, menghilangkan kontak dengan burung dan unggas liar, serta pemberlakuan protokol ketat saat repopulasi. Terkait dengan biosekuriti, praktek pengembalaan itik di sawah setelah panen tidak sesuai untuk pengendalian influenza. Risiko tukar menukar virus influenza antara ternak unggas, babi, dan manusia sedapat mungkin ditekan. Menghindari peternakan tumpang sari antara unggas, babi, dan ikan. Pedagang di pasar burung atau pasar hewan hidup sebaiknya mengembangkan prosedur yang aman terhadap avian influenza. Pemisahan burung atau hewan berdasarkan jenis dan asal, desinfeksi rutin, dan mengosongkan kandang secara periodik akan memotong penyebaran influenza A secara signifikan (Mahardika et al. 2005).
Jika penyebaran virus HPAI pada ternak sudah demikian luas atau penyakit sudah menjadi endemik pada ternak dan burung liar, stamping out mustahil dilakukan. vaksinasi.
Strategi alternatif adalah stamping out disertai dengan
Strategi ini banyak ditentang oleh banyak kalangan.
Beberapa
pendapat yang menentang vaksinasi antara lain: a. Vaksinasi tidak mendorong peternak untuk meningkatkan isolasi dan biosekuriti. b. Vaksinasi dapat berhasil mencegah penyakit klinis akan tetapi tidak mencegah pengeluaran virus pada ayam yang divaksin. c. Penggunaan vaksin dilaporkan memicu munculnya varian baru akibat mutasi. d. Penggunaan vaksin menyebabkan virus menjadi endemik. e. Penggunaan vaksin mempengaruhi perdagangan dan menyembunyikan virus menular yang masih ada (Mahardika et al. 2005).
Vaksin virus HPAI yang sekarang tersedia adalah vaksin inaktif dalam adjuvant minyak yang mempunyai kandungan virus yang homolog dan heterolog. Vaksin homolog mengandung virus dengan subtipe yang sama dengan virus yang mewabah. Sedangkan vaksin heterolog membawa virus yang mempunyai molekul HA yang sama dengan penyebab wabah tetapi mempunyai NA yang berbeda, misalnya vaksin H5N2 dan H5N9 untuk wabah yang disebabkan oleh H5N1 (Mahardika et al. 2005). Korea Selatan telah berhasil mengendalikan H5N1 melalui tindakan kontrol yang kuat meliputi vaksinasi, kontrol aktivitas perpindahan dengan ketat, desinfeksi, pengawasan secara ketat dan biosekuriti peternakan (WHO 2006).
2.2. Vaksin Avian Influenza Vaksin merupakan kesatuan agen patogen yang menyebabkan terjadinya respon imun terhadap patogen tersebut. Pemberian vaksin bertujuan agar ketika individu menghadapi patogen spesifik yang diwakili oleh vaksin, individu tersebut dapat mengenali agen dan dapat meningkatkan tanggap kebal sehingga melindungi individu terhadap paparan agen tersebut (Korsman 2006).
Konsep vaksinasi berasal dari China kuno, di mana nanah dari pasien cacar disuntik ke orang sehat untuk mencegah secara alami infeksi oleh cacar. Konsep ini diperkenalkan ke Eropa awal abad ke-18, dan pada tahun 1796, Edward Jenner menjadi orang pertama yang melakukan eksperimen menggunakan cacar sapi (cowpox) untuk agen vaksinasi cacar. Kata vaksin itu sendiri berasal dari kata vacca yang berarti sapi (Korsman 2006). Vaksin dibedakan menjadi dua yaitu vaksin aktif (live vaccine) dan vaksin inaktif (killed vaccine). Vaksin aktif merupakan vaksin dari virus hidup yang telah dilemahkan. Sedangkan vaksin inaktif adalah vaksin virus mati, dalam vaksin tersebut terkandung virus yang sudah mati. Virus yang terkandung dalam vaksin inaktif telah kehilangan sifat infektif namun antigenitasnya masih dipertahankan.
Sifat antigenitas inilah yang berperan dalam menginduksi
kekebalan tubuh (Fenner et al. 1995). Vaksinasi dalam dunia kedokteran hewan bertujuan untuk mencapai empat sasaran yaitu: 1. Perlindungan terhadap timbulnya penyakit secara klinis, 2. Perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, 3. Perlindungan terhadap ekskresi virus, dan 4. Pembedaan secara serologik antara hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksin (differentiation of infected from vacctinated animals /DIVA) (Harder dan Warner 2008).
Beberapa vaksin dikembangkan untuk perlindungan terhadap highly pathogeic avian influenza dari subtipe H5N1 Asia, namun efektifitasnya sangat bersifat individual. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Institute of Molecular Biology yang membandingkan efisiensi yang ditimbulkan oleh vaksin inaktif (H5N2, H5N3, H5N9) terhadap virus H5N1 menunjukkan bahwa vaksin yang berasal dari virus H5N9 memiliki tingkat proteksi paling lemah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat 50% dari ayam yang divaksinasi terserang penyakit dan 20% diantarnya mati (Veits 2008). Risiko hewan yang divaksinasi untuk terkena infeksi virus virulen dan mengeksresinya biasanya juga dapat diturunkan. Hal ini dapat menimbulkan masalah epidemiologik yang signifikan di
daerah endemik yang sudah mendapat vaksinasi secara luas. Unggas yang telah divaksinasi meskipun nampak sehat dapat juga terkena infeksi dan mengeluarkan virus liar di balik perlindungan vaksin (Harder dan Warner 2008). Penelitian menggunakan vaksin H5N9 juga dilakukan terhadap 540 burung di tiga kebun binatang divaksinasi ke dua kali terhadap avian influenza dengan
selang
waktu
6
minggu.
Respon
serologis
terevaluasi
oleh
haemagglutination inhibition test (HI test) 4-6 minggu setelah pemberian vaksin yang kedua. Terdapat perbedaan respon terhadap vaksin antara individu satu dengan individu yang lain. Pinguin, burung pelikan, itik, angsa, burung bangau, ayam mutiara dan burung kakaktua merah menunjukkan respon yang lemah terhadap vaksin H5N9, sedangkan pada flamengo, ibis (sejenis bangau), rhea (sejenis burung unta), Congo Peafowl, egrang sayap hitam, burung beo amazon, dan kookaburras memiliki titer dan seroconversi yang tinggi (Bertelsen 2007). Penelitian menggunakan vaksin dari H5N2 dan di papar dengan virus yang homolog menunjukkan penuruna jumlah virus yang dikeluarkan burung kira-kira 2-3 hari setelah pemaparan, tetapi beberpa burung yang divaksinasi masih tetap mengeluarkan virus pada 28 hari setelah pemaparan (Donahoe 1998). Pengujian efektifitas dari strain virus H5 yang berbeda pada vaksin yang dipapar dengan virus H5 isolat Meksiko, 3 minggu setelah vaksinasi
memperlihatkan ayam
terlindungi dari gejala klinik dan kematian, tetapi vaksin tidak secara umum melindungi dari keterpaparan virus. Vaksinasi mengurangi jumlah penyebaran virus dari burung dan titer virus pada usapan (swab) oropharyngeal dan kloaka , tetapi pada kebanyakan kasus virus masih dapat terdeteksi, khususnya di trachea (Swayne et al. 1999). Perdebatan terus berkembang atas kelayakan penyebarluasan vaksinasi unggas dalam mencegah penyebaran H5N1. Program vaksinasi yang lemah dapat meningkatkan penyebaran virus yang tidak terdeteksi dengan mencegah tanda penyakit tetapi tidak mengurangi tingkatan dari pengeluaran virus dibawah level penyebaran (CIDRAP 2008). Vaksinasi unggas di China tidak dapat menghentikan penyebaran H5N1 di negara tersebut (Smith 2004). Vaksinasi pada unggas diwajibkan di Vietnam pada tahun 2005 dan berhasil menurunkan aktifitas
H5N1 pada 2005 namun virus tersebut muncul lagi di Vietnam pada akhir tahun 2006 (CIDRAP 2006).
2.3. Yolk Immunoglobulin (Ig Y) Imunoglobulin yang terbentuk dalam darah sebagai akibat paparan antigen tertentu, mudah ditransfer ke dalam kuning telur dan kemudian dikenal dengan nama IgY (Yolk immunoglobulin). Pada ayam, IgY dalam kuning telur menyebabkan kekebalan bawaan anak dari induk, yang kemudian dikenal dengan maternal antibodi. Produksi IgY terhadap berbagai jenis antigen dapat dilakukan pada telur (Soejoedono et al. 2005). Fungsi biologis IgY sama dengan Ig G mamalia (Warr et al. 1995 diacu dalam Soejoedono et al. 2005). Imunoglobulin Y terdiri dari dua molekul rantai berat dan dua molekul rantai ringan. Rantai berat mempunyai satu bagian variabel dan empat bagian konstan. IgY berberat molekul ~180 kDa, mempunyai koefisien sedimentasi 7,8 Svedberg dan titik isoelekrik pada 5,7-7,6 (Cipolla et al.. 2001 dan DavalosPatoja et al. 2000 diacu dalam Soejoedono et al. 2005). Konsentrasi antibodi kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan serum yaitu 15-25 mg IgY/ml (Akita dan Nakai 1993 diacu dalam Soejoedono et al. 2005), sedangkan Szabo et al. (1995) menyatakan dalam 1ml kuning telur mengandung 8-20 mg IgY. Produksi IgY dalam 1 minggu setara dengan kandungan antibodi dalam 90-100 ml serum. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa hanya mamalia besar seperti kuda dan sapi yang dapat menandingi produksi antibodi yang dihasilkan oleh ayam (Larsson et al. 1993 diacu dalam Soejoedono et al. 2005). Penelitian lain menyebutkan bahwa IgY yang telah dimurnikan 18 kali lebih banyak dibandingkan Ig G yang dimurnikan dari kelinci dalam 1 bulannya. (Gassman et al. 1990 diacu dalam Soejoedono et al. 2005).
Gambar 4 Perbandingan struktur IgY dengan IgG mamalia (Szabo et al. 1995).
Struktur dasar bagian engsel pada IgY lebih pendek dan kurang fleksibel dari pada bagian engsel Ig G. Bagian Fc IgY lebih panjang dengan tiga pasang gugus karbohidrat, sedangkan pada Ig G hanya memiliki dua pasang gugus karbohidrat (Zhang 2003).
3. MATERI DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain enam ekor ayam Single Comb Brown Leghorn umur 20 minggu, vaksin inaktif H5N9 dengan adjuvant, virus standar H5N1, SDM 0.5%, Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7,6, NaCl fisiologis (0,85%), kloroform, dan Poly Etilen Glicol (PEG) 6000. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam, timbangan mikrogram, spuit 1ml dan 3ml, magnetic stirer, vorteks, pipet pasteur, lemari pendingin, freezer, microplate, mikropipet, sentrifus, tabung mikro (microtube), kertas saring dan gelas ukur.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2007 sampai bulan April 2008.
3.2.2. Vaksinasi Vaksinasi dilakukan dua kali dengan selang waktu 4 minggu.
Dosis
vaksin yang diberikan adalah 0.3ml/kg BB. Vaksin diberikan secara subcutan di daerah leher. Vaksinasi I dilakukan setelah dipastikan bahwa ayam induk tidak memiliki antibodi terhadap avian influenza yang dapat menetralisasi vaksin. Vaksinasi kedua dilakukan 4 minggu setelah vaksinasi I dengan dosis dan cara aplikasi yang sama.
3.2.3. Koleksi Serum Serum digunakan dalam penentuan titer antibodi terhadap avian influenza pada induk menggunakan uji hemaglutinasi inhibisi. Serum diperoleh dari pengambilan darah sebelum vaksinasi I dan sebelum vaksinasi II.
Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan spuit 3 ml melalui vena brachialis sebanyak 1-2 ml. Pemisahan serum dilakukan dengan cara darah dalam spuit didiamkan dalam suhu ruang sampai darah membeku. Spuit yang berisi bekuan darah disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4oC selama satu malam agar serumnya keluar. Serum yang telah keluar dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung mikro dan diberi label. Tabung mikro yang berisi serum disimpan dalam freezer (-20 oC) sampai sampel akan diperiksa.
3.2.4. Penyiapan Sel Darah Merah (SDM) 0,5% Darah utuh (whole blood) yang diambil dari ayam percobaan, ditambahkan antikoagulan Natrium Sitrat 3.8% dengan perbandingan 1:4, lalu disentrifugasi selama 10-15 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Supernatan yang terbentuk dibuang, sedangkan endapannya dibilas dengan NaCl fisiologis kemudian disenrifugasi kembali. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali hingga terbentuk SDM 100% yang kemudian diencerkan menjadi 5% sebagai SDM stok. Sel darah merah stok diencerkan lagi menjadi SDM 0.5% yang akan digunakan pada uji HI.
3.2.5. Penentuan Titer Antibodi Penentuan titer antibodi dilakukan dengan menggunakan uji hemaglutinin inhibisi (uji HI) cara
. Uji HI terhadap serum dilakukan tiga kali yaitu
sebelum vaksinasi I, 4 minggu setelah vaksinasi I atau sesaat sebelum vaksinasi II dan 4 minggu setelah vaksinasi II. Uji HI digunakan juga untuk menentukan titer IgY. Serum diganti dengan IgY murni dalam uji HI untuk menentukan titer IgY. Prosedur uji HI adalah sebagai berikut: 1. Sumur-sumur microplate diisi 25 l NaCl fisiologis (0,85%) sampai sumur ke-8 2. Sumur baris pertama ditambah 25 l serum 3. Kemudian dilakukan pengenceran bertingkat dengan cara sumur ke-1 diambil 25 l lalu masukkan ke sumur ke-2, dihomogenkan dengan menghisap dan mengeluarkan campuran menggunakan mikropipet. Sebanyak 25
l diambil dari sumur ke-2 lalu dimasukkan ke sumur
baris ke-3 dan seterusnya sampai sumur ke-8. Dari sumur ke-8 diambil 25 l dan dibuang 4. Semua sumur ditambah 25
l virus H5N1 4 HAU, kemudian
dihomogenkan dengan cara menggoyang-goyangkan microplate
selama
30 detik, didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang 5. Masing-masing sumur ditambah 25 l SDM 0.5 %, didiamkan beberapa menit 6. Perubahan yang terjadi diamati dan dicatat. Untuk memperjelas pengamatan dibuat kontrol aglutinasi dan kontrol non-aglutinasi. Kontrol aglutinasi berisi 25 l SDM 0,5% ditambah 25 l virus H5N1 4 HAU dan kontrol non-aglutinasi berisi 25
l SDM 0,5% ditambah 25
l NaCl
fisiologis.
Interpretasi titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang masih memberi hambatan terhadap antigen 4HAU.
3.2.6. Koleksi Telur Koleksi telur dilakukan setelah vaksinasi kedua. Hal ini dilakukan berdasarkan pemeriksaan darah sebelum vaksinasi kedua, titer antibodi terhadap virus H5N1 telah tinggi, sehingga diprediksi dengan titer antibodi yang tinggi pada serum akan terdeteksi adanya antibodi pada telur ayam. Pengoleksian telur dilakukan setiap hari selama 5 minggu. Rata-rata titer tiap minggu diperoleh dari telur yang dikumpulkan dalam satu minggu.
3.2.7. Pemurnian IgY Setelah dilakukan pengumpulan telur, kemudian dilakukan pemurnian IgY dengan teknik PEG-Kloroform sebagai berikut: 1. Kuning telur dipisahkan dari putih telur dengan menggunakan kertas saring, kemudian selaput kuning telur disayat, kuning telur dibiarkan mengalir 2. Kuning telur ditampung dalam gelas ukur, dicatat volumenya
3. Kuning telur ditambah PBS (pH 7,6) sebanyak 20 ml/butir telur dan dihomogenkan 4. Bersamaan dengan penghomogenan campuran, ditambahkan 25 ml kloroform/butir telur secara perlahan hingga terbetuk campuran yang semisolid 5. Suspensi semisolid disentrifuse selama 30 menit dengan kecepatan 1200g 6. Hasil sentrifugasi dipisahkan supernatannya dari endapan kemudian ditambah dengan PEG 6000 hingga terbentuk larutan 12% w/v
Rumus: Jumlah PEG yang ditambahkan = 12gr x volume supernatan 100ml
7. Campuran supernatan dengan PEG disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 15700g 8. Pelet yang terbentuk diambil, masukkan ke dalam tabung mikro dan ditambah PBS sebanyak 2 ml/butir telur. Hasil pemurnian IgY ini yang akan diukur titernya dengan uji HI.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian vaksin bertujuan untuk menginduksi kekebalan terhadap agen patogen spesifik atau untuk mempersiapkan individu dalam menghadapai infeksi dari agen patogen yang belum pernah menginfeksinya (Korsman 2006). Tubuh memiliki dua sistem kekebalan dalam merespon adanya agen patogen, yaitu sistem kekebalan non spesifik dan sistem kekebalan spesifik. Tanggap kebal yang diperoleh dari vaksinasi adalah tanggap kebal yang bersifat spesifik melalui sistem kekebalan spesifik. Makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Pesenting Cell (APC) akan memfragmentasi antigen dan akan mempresentasikan antigen tersebut ke sel limfosit T melalui molekul Major Histocompasibility Complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag. Sel T hanya akan bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan APC bersama-sama dengan MHC. Sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas II (MHC II) dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas I (MHC I). MHC II akan membawa antigen yang disajikan oleh APC kepada sel Th. Interaksi antara sel Th dan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleokin. Sitokin dan interleokin berfungsi sebagai alat komunikasi antar sel.
Sitokin dan interleokin akan menginduksi pematangan sel Limfosit B
menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan dari mekanisme ini hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut kekebalan permukaan atau kekebalan humoral.
Antibodi ini
tidak dapat merespon antigen yang terdapat didalam sel. Antigen di dalam sel direspon oleh kekebalan seluler yang diperantarai oleh sel limfosit Tc (cytotoxic). Antigen akan dipresentasikan oleh APC ke sel Tc melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dan MHC I dilakukan melalui molekul CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada didalamnya.
Proses kekebalan ini disebut proses kekebalan seluler (Cellular
Mediated Immuniti) (Wibawan et al. 2003).
Netralisasi antigen terjadi apabila antigen tersebut dikenali oleh antibodi. Antibodi selalu bersifat spesifik terhadap antigen tertentu. Bagian antibodi yang berikatan dengan antigen adalah paratop, sedangkan bagian antigen yang berikatan dengan antibodi adalah epitop. Paratop antibodi 1 hanya bisa berikatan dengan epitop antigen 1, paratop antibodi 2 hanya bisa berikatan dengan epitop antigen 2. Oleh karena itu homologi agen penyusun vaksin terhadap agen lapang sangat mempengaruhi kualitas vaksin. Antigen dapat memiliki lebih dari satu epitop. Tubuh akan merespon antigen tersebut dengan membentuk antibodi yang sesuai dengan epitop-epitop yang terdapat pada antigen tersebut (Wibawan et al. 2003). Vaksinasi diaplikasikan secara subkutan karena vaksin yang digunakan merupakan vaksin dengan adjuvant. Adjuvant dalam vaksin dapat membentuk gumpalan. Adjuvant merupakan suatu agen yang dapat merangsang sistem imun dan meningkatkan tanggapan terhadap suatu vaksin, tanpa mempunyai efek antigenik spesifik.
Adjvant
berfungsi meningkatkan kemampuan vaksin
(Scheibner 2000). Hasil pengukuran rataan titer antibodi ayam yang divaksinasi dengan vaksin H5N9 dan diuji dengan virus standar H5N1 tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan titer antibodi serum hasil uji hemaglutinin inhibisi Kelompok Titer Antibodi
Sebelum
Setelah
Setelah
Vaksinasi I
Vaksinasi I
Vaksinasi II
22.5
26.17
27
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebelum vaksinasi titer antibodi ayam terhadap terhadap H5N1 rendah (22,5). Uji HI terhadap serum sebelum vaksinasi dilakukan untuk memastikan ada tidaknya antibodi terhadap H5 yang dapat menetralisasi
vaksin.
Adanya
antibodi pada
serum
sebelum
vaksinasi
menunjukkan bahwa ayam induk telah terpapar oleh virus avian influenza subtipe H5 sebelumnya melalui vaksinasi ketika ayam berada di peternakan. Meskipun demikian, hasil uji HI tersebut (22.5) menunjukkan bahwa titer antibodi dalam serum ayam induk sangat rendah dan belum mencapai titer protektif. Menurut OIE (2005) di dalam Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial
Animals, titer HI dikatakan positif atau protektif jika hambatan terhadap aglutinasi mencapai pengenceran 1/16 (24 atau 4 log2) atau lebih terhadap antigen 4 HAU. Rendahnya titer antibodi terhadap H5 dijadikan dasar untuk dilakukan perlakuan vaksinasi I. Vaksin tidak akan dinetralisasi oleh antibodi yang telah terdapat pada tubuh induk dan antibodi yang terbentuk berikutnya merupakan hasil induksi dari vaksinasi yang dilakukan. Evaluasi terhadap vaksinasi I dilakukan 4 minggu setelah vaksinasi bersamaan dengan vaksinasi II.
Selang waktu vaksinasi yang digunakan 4
minggu karena vaksin yang digunakan merupakan vaksin dengan adjuvant sehingga memiliki kemampuan menginduksi kekebalan yang relatif lama. Pengeluaran antigen oleh vaksin beradjuvan dilakukan secara sedikit demi sedikit sehingga vaksin bertahan lama. Setelah vaksinasi terbukti vaksin H5N9 dapat meningkatkan respon imun tehadap virus H5N1. Pengoleksian telur dilakukan setelah titer pada serum induk lebih dari 26 karena berdasarkan penelitian Hartati (2005), pada induk yang divaksinasi avian influenza mencapai titer lebih dari 26 akan diperoleh titer maternal antibodi dalam DOC yang mencapai titer 2 4. Rataan titer antibodi pada serum setelah vaksinasi I adalah 2 6,17, diharapkan antibodi pada telur telah terdeteksi. Dilihat dari hasil uji HI yang tinggi setelah vaksinasi I (26,17) maka telur dapat mulai dikoleksi. Pemaparan antigen yang sama yang terjadi untuk kedua kalinya akan merangsang pembentukan respon imun sekunder yang sering disebut sebagai booster. Respon imun sekunder akan menghasilkan titer antibodi yang lebih tinggi dan lebih cepat (lag phase pendek) dari pada respon imun primer. Hal tersebut disebabkan karena adanya sel B dan sel T memory dan adanya antibodi yang tersisa dari pemaparan pertama.
Pengoleksian telur dilakukan mulai dari
minggu pertama sampai minggu kelima setelah vaksinasi II. Telur yang dikoleksi selanjutnya dimurnikan dan diperoleh IgY murni. Rataan hasil uji HI terhadap IgY murni tersaji pada Tabel 2. Hasil tersebut menunjukan bahwa antibodi yang terbentuk pada kuning telur oleh vaksinasi dengan vaksin H5N9 sangat rendah. Dari data diatas dapat terlihat bahwa vaksin H5N9 tidak dapat memicu tanggap kebal pada anak ayam. Antibodi dalam telur yang diinduksi oleh vaksin heterolog berbeda dengan IgY yang diinduksi oleh vaksin homolog (Handayani 2008).
Hal tersebut diduga karena tingkat homologi vaksin H5N9 terhadap virus uji H5N1. Kemampuan suatu vaksin dalam menginduksi sistem imun sangat dipengaruhi oleh tingkat homologi vaksin tersebut terhadap virus yang mewabah. Perbedaan antigen vaksin H5N9 dan virus H5N1 terdapat pada struktur neuraminidase (NA) (Suzuki et al. 2000 diacu dalam Asmara 2007).
Untuk
mengetahui tingkat homologi agen vaksin H5N9 terhadap virus H5N1 memerlukan penelitian yang lebih mendalam terhadap struktur protein kedua agen tersebut. Vaksin avian influenza yang mengandung virus (master seed) avian influenza subtipe H5, sedapat mungkin homolog atau memiliki tingkat homologi terhadap virus avian influenza lapangan di atas 80% dan memiliki potensi sama dengan 90% (Darminto 2008).
Tabel 2 Data rataan titer Ig Y Minggu ke-
Titer Ig Y (rataan)
1
21
2
20,75
3
20
4
21
5
20
Selain tingkat homologi yang merupakan faktor internal, terdapat pula faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat kekebalan atau titer antibodi yang terbentuk oleh vaksinasi. Faktor eksternal tersebut antara lain strategi vaksinasi, jenis vaksin yang digunakan, vaksinator, jenis hewan yang divaksinasi, kondisi hewan dan lingkungan. Metode pemurnian IgY yang digunakan juga dapat berpengaruh terhadap titer IgY yang diperoleh. Menurut Mayasari (2005), konsentrasi IgY yang dihasilkan dengan metode PEG-Amonium Sulfat lebih tinggi dari pada dengan metode PEG-Kloroform tetapi metode PEG-Amonium Sulfat memiliki prosedur yang lebih rumit. Secara garis besar metode pemurnian IgY yang digunakan berpengaruh terhadap konsentrasi, aktivitas dan kemurnian
IgY yang diperoleh (Bizhanov dan Vyshniauskis 2000 diacu dalam Astuti 2006). Sehingga ada kemungkinan hilangnya IgY pada saat pemurnian yang menyebabkan rendahnya titer Ab pada IgY yang telah di ekstraksi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka dapat diketahui bahwa vaksin H5N9 tidak memiliki kemampuan dalam menginduksi maternal antibodi pada telur terhadap infeksi dari virus avian influenza subtipe H5N1.
5.2. Saran 1. Penginduksian pembentukan IgY atau maternal antibody pada anak ayam (DOC) lebih baik menggunakan vaksin homolog dari pada vaksin heterolog.
6. DAFTAR PUSTAKA Amonsin A et al..2005.Genetic characterization of H5N1 influenza A viruses isolated from zoo tigers in Thailand.Virology. [Epubahead of print] Abstract: http:// amedeo.com/lit.php?id=16194557. [2 Jul 2008]. [Anonimous]. 2007. Myxoviruses. http://www.microbioloybytes.com/virology /Ortho myxoviruses.html http. [2 Jul 2008]. Astuti AA. 2006. Purifikasi dan Karakterisasi Imunoglobulin Y (IgY) Kuning Telur Ayam Spesifik Salmonela Enteritidis Menggunakan Metode Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrilamide Gel Elekrophoresis (SDS-PAGE). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bertelsen M.F et al.. 2007. Serological response to vaccination agaist avian influenza in zoo-birds using an inactivated H5N9 vaccine. Vaccine 5 (22): 4345-9. http://www. ScienceDirect.com.[31 Mei 2008]. [CDC] The Center for Disease Control and Prevention.2006. Avian influenza infection in Humans. http://www.cdc.gov/flu/avian/gen-info/avian-fluhumans.htm. [15 Jul 2008]. Capua I, Marangon S, dalla Pozza M, Terregino C, Cattoli G.2003. Avian Influenza in Italy 1997-2001. Avian Disease 47(3): 839-43. http://amedeo. om /lit.php?id = 15370041. [2 Jul 2008]. Carver D.K. and Krushinskie E.A.2006. Avian influenza: Human pandemic. concerns. CAST Commentary QTA2006-1.The Science Source for Food Agricultural and Environmental Issues. [CIDRAP] Center for Infectious Disease Research & Policy.2008. Avian Influenza (Bird Flu): Agricultural and Wildlife Considerations. Choi YK et al.. 2005. Studies of H5N1 influenza virus infection of pigs by using viruses isolated in Viet Nam and Thailand in 2004. J Virol 79: 10821-5 16051873. Darminto. 2008. Perkembangan teknologi pengendalian penyakit avian influenza. Balai Besar Penelitian Veteriner. http://pse.litbang.deptan.go.id ind/pdf files/ LOKA_DRT_22-05-08.pdf. [3 Agust 2008].
Fenner FJ. et al..1995.Virologi Veteriner Edisi Kedua.Semarang. Putra DKH, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari Veterinary Virology. Fouchier RA et al..2004. Characterization of a novel influenza a virus hemaglutinin subtype (H16) obtainedfrom black-headed gulls.Jurnal of Virology 79(5): 2814-2822. [terhubung berkala]. http// www. the journal of Virology.html.[31 Mei 2008]. Guo Y et al..1992.Characterization of a new avian-like influenza A virus from horses in China.Virology 188: 245-55.http://amedeo.com/lit.php?id= 1314452. [2 Jun 2008]. Handayani DT. 2008. Karakterisasi Protein Imunoglobulin Y (IgY) H5N1, H5N2 dan H5N9 Menggunakan Metode SDS-PAGE.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Harder TC dan Warner O. 2008. Avian influenza. World Disease: dangerous disease. http// www.influenzareport.com/ir/ai.htm. [31 Mei 2008]. Hartati Y. 2005. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Srain Hubbard [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Henzler D.J.2003.Epidemiology, production losses, and control measures associated with an outbreak of avian influenza subtype H7N2 in Pennsylvania (1996-98). Avian Disease 47(3):1022-36.http://amedeo.com /lit.php?id=14575105. [2 Jul 2008]. Horimoto T dan Kawaoka Y. 2001.Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin Microbiol Rev 14(1):129-49. Horimoto T dan Kawaoka Y. 2005. Nature Rev Microbio 3 : 591 – 600. [IISD] International Institute for Sustainable Development . 2006.Scientific Seminar on Avian Influenza, The Environment and Migritory Birds. Avian Influenza & Wild Birds Bulletin 123(1). http://www.iisd.ca/ymb/ais /ymbvol123num1e.html. [1 Jun 2008]. Keawcharoen J et al..2004.Avian influenza H5N1 in tigers and leopards. Emerg Infect Dis 10: 2189-91. Abstract: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/ 10(12): 04-0759.htm. [31 Mei 2008].
Korsman Stephen. 2006. Vaccine.Influenza Report. http://www.influenzareport. com/ ir/ai.html.[14 Jun 2008]. Kuby. 2007. Immunologi Sixth Edition.New York: W.H. Freeman and company. Mahardika I G N K, Kencana G A Y, Sibang M, Suardana I B, Winaya I B O. 2005. Aspek epidemiologi virus avian influenza: sifat virus dan peran berbagai spesies hewan dalam genesis pandemi. Marangon S, Capua I. 2005. Control of AI in Italy: from Stamping-out-strategy to Emergency and Prophylactic Vaccination. In: Proc. Internat. Conf on Avian Influenza, O.I.E., p. 29. Mayasari RS. 2005. Perbandingan Metode PEG-Amonium Sulfat dan PEGKloroform untuk Ekstraksi dan Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) Kuning Telur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. [OIE] Office International des Epizooties.2005.Manual of Diagnostic Tests and vaccines for terrestrial animal chapter2.1.14. Avian Influenza http/www.oie .int /eng/norms/mmanual/A_00037.htm. [31 Mei 2008]. Perdue M L dan Swayne D E. 2005. Public health risk from avian influenza viruses. Avian Dis 49: 317–327. Quirk M. 2004.Zoo tigers succumb to avian influenza. Lancet Infect Dis 4:716. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=15593440. [31 Mei 2008]. Rohm C, Zhou N, Suss J, Mackenzie J, dan Webster R.G. 1996. Characterization of a novel influenza hemaglutinin, H15: criteria for determination of influenza A subtypes. Virology 217: 508-516. Scheibner V.2000. Adverse Effects Of Adjuvants In Vaccines. Nexus 8 (1).
Soejoedono R.D et al.. 2007.Pemanfaatan telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Produksi ”Yolk Immunoglobulin” (IgY) Anti Plaque dan Diare dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus mutan, Esscherichia coli dan Salmonella enteritidis. Smith Al at al.2004.Ice as a reservoir for pathogenic human viruses: specifically, caliciviruses, influenza viruses, and enteroviruses.. Medical Hypotheses 63 (4): 560-566.
Stallknecht DE, Shane SM, Kearney MT, Zwank PJ. 1990. Persistence of avian influenzaviruses in water. Avian Dis; 34: 406-11. Abstract: http://amedeo. com/lit.php?id=2142420. [31 Mei 2008]. Swayne DE et al.. (1999). Influence of virus strain and antigen mass on the efficacy of H5 avian influenza inactivated vaccines.Avian Pathology 28, 245-255. Swayne DE dan Suarez DL. 2000. Highly pathogenic avian influenza.Rev Sci Tech 19(2): 463-82. http://amedeo.com/lit.php?id=10935274.html. [31 Mei 2008]. Szabo, Cs.; Bardos, L.; Losonczy, S.; Karchesz, K.1998. Isolation of antibodies from chicken and quail eggs. Biomedical Sciences at McMaster University, Canada,Dec 7-16th. Available at URL http://www.mcmaster. ca/inabis98 /immunology /szabo 0509/index.html [31 Mei 2008]. Thanawongnuwech R et al.. 2005.Probable tiger-to-tiger transmission of avian influenza H5N1. Emerg Infect Dis;11: 699-701. Abstract: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol11no05/05-0007.htm. Tam JS. 2002. Influenza a (H5N1) in Hong Kong: an overview. Vaccine 2:S7781. Veits J et al.. 2008.Protective Efficacy of several vaccines against highly pathogenic H5N1 avian influenza virus under exsperimental conditions. Vaccine 26 (13): 1688-96. http//www.pubmed.com. [14 Mei 2008]. Webster RG et al..1992.Evolution and ecology of influenza a viruses.microbiol Rev 56: 152-79. http://amedio.com/lit.php?id=1579108 [31 Mei 2008]. Webster RG.1998.Influenza: An emerging disease. Emerg Infect Dis 4: 436-41. http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol4no3/ Webster.hlm. [31 Mei 2008]. [WHO] World Health Organization.2005. Avian influenza frequently asked questions. Epidemic and Pandemic Alert and Response (EPR). http/www.who.int.htm.[31 Mei 2008]. [WHO] World Health Organization.2006.Avian influenza (" bird flu") - Fact sheet. . http/www.who.int.htm. .[31 Mei 2008].
[WHO] World Health Organization.2008. H5N1 avian influenza: Timeline of major events. http/www.who.int/csr/disease/avia_influenza. [31 Mei 2008]. [WHO] World Health Organization.2008. Cumulative number of confirmed human cases of avian influenza a (H5N1) reported to WHO. http/www .who. int/ csr/ disease/avia_influenza. [31 Mei 2008]. Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat Imunologi. Laboratorium Imunologi Departemen Kitwan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zambon MC 1999. Journal of Antimicrobial Chemotheraphy 44:3-9. Zhang W. 2003. The use of gene-spesific IgY antibodies for drug target discovery. DDT. 8 (8). Elsevier Science Ltd.