PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI IMUNOGLOBULIN Y (IgY) SPESIFIK KHV DARI SERUM AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN
RAMLAH B04103051
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK RAMLAH. Purifikasi dan Karakterisasi imunoglobulin Y (IgY) Spesifik KHV dari Serum Ayam Single Comb Brown Leghorn. Dibimbing oleh FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan OKTI NADIA POETRI. Dunia Perikanan Indonesia beberapa tahun lalu telah mengalami wabah penyakit yang menginfeksi ikan Koi dan ikan Mas yaitu Koi Herpes Virus (KHV). Kejadian ini sangat merugikan petani ikan sehingga mereka terpaksa harus menjual ikan di pasaran dengan harga yang lebih murah atau menyebabkan ikan mati sebelum dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk mempurifikasi dan mengkarakterisasi imunoglobulin Y (IgY) spesifik Koi Herpes Virus (KHV) dari serum ayam Single Comb Brown Leghorn yang telah divaksinasi dengan antigen KHV. Vaksinasi diaplikasikan secara intramuskular dengan dosis antigen KHV 0,4 ml x 10 3,8TCID 50/ml dalam freund adjuvan komplit pada minggu I. Kemudian dilakukan pengulangan vaksinasi sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu minggu secara intramuskular dengan dosis antigen 0,3 ml dalam freund adjuvan inkomplit pada minggu II kemudian dosis antigen 0,5 ml dalam freund adjuvan inkomplit pada minggu III dan IV. Booster kembali dilakukan delapan minggu setelah vaksinasi terakhir secara intravena dengan dosis antigen 0,1 ml selama tiga hari berturut-turut. Serum dari ayam kemudian dipanen dan dilakukan pengujian dengan Agar Gel Presipitasi untuk mengidentifikasi keberadaan IgY spesifik KHV. Imunoglobulin Y dipurifikasi menggunakan amonium sulfat jenuh dengan konsentrasi 50% dan 60%. Imunoglobulin Y yang telah dipurifikasi merupakan IgY spesifik KHV. Imunoglobulin Y kemudian ditentukan berat molekulnya dengan teknik SDS-PAGE. Konsentrasi IgY serum dihitung dengan menggunakan spektrofotometer UV. Hasil penelitian ini adalah berat molekul IgY spesifik KHV 180 kDa dan konsentrasi IgY spesifik KHV sebesar 7,89 mg/ml.
Kata kunci : IgY, , amonium sulfat, SDS-PAGE, spektrofotometer
PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI IMUNOGLOBULIN Y (IgY) SPESIFIK KHV DARI SERUM AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN
RAMLAH
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Purifikasi dan Karakterisasi imunoglobulin Y (IgY) Spesifik KHV dari Serum Ayam Single Comb Brown Leghorn Nama
: Ramlah
NRP
: B04103051
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu 130701878
Drh. Okti Nadia Poetri, MSi 132313046
Diketahui Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini 131669942
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamiin. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, kridhoan dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orangtua tercinta H.Syamsuddin dan Hj.Sa’aman yang selalu melantunkan doa, memberikan semangat, kasihsayangnya kepada penulis, kakakku tersayang K’ Diana, H. Yunus, K’ Mansyur, K Rahman (alm) dan adik-adikku tersayang Rahmi, Ratna serta ketiga keponakan kecilku (Arif, Khalid dan Fadhil). 2. Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu sebagai dosen pembimbing atas didikan, bimbingan, arahan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. 3. Drh. Okti Nadia Poetri, MSi sebagai dosen pembimbing atas arahan, didikan, bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. 4. Drh. Abadi Sutisna, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, motivasi dan nasehatnya selama penulis kuliah. 5. Dr. drh. Hj. Agustin Indrawati, MBiomed atas masukannya. 6. Staf dan Pegawai LRKI Pasar Minggu Jakarta. Staf dan Pegawai Lab Bakteriologi Bagian Mikrobiologi Kesehatan, UPT Medik Dept. IPHK (P Agus S, M’ Shelin, M’ Lia, Pak Kosasih) 7. Saudariku Dora, dan Kru seperjuangan Sherly, T Dini, K Rama dan kakak2 yang telah memberikan saran.
8. Keluarga di Cempaka 13 (Pritta, Herly, Yasmilia, Nariza, Kakek, Mba Ade, Mba Tarmi, Timon dan Jiun) dan keluarga di Pondok Sakha (Elia, Dhiosi, Cyprit, Lia, Iwid, Sitti dan Teteh2), Mba Nur, Mba Vina, Mba Hapsa, K Marwah, T’ Tita, Mba Nurul, Ani SN, Lilis, Nining, Chandra, Ulil, Ahmad, Aswad, Supry dan Zudanang. 9. Keluarga di BEM KM Kabinet IPB Bersatu 2006/2007 (Sekment Kru, Pimpinan2, Staff2 dan KOMINFO’ers). 10. Saudara/i BEM FKH Kabinet Kebersamaan (2005-2006), IKAMI SULSEL, ORNITH’ers, Ruminer’s, KSR PMI UNIT I IPB, An Nahl, IMAKAHI dan My Little Family KRAMNUT-SMUNEL.
.
11. Kakak-kakakku di FKH (B’39, B’38, B’37, B’36), saudara/i ku di Gynolaemata (B’40), dan adek- adekku (Ankt’41, ’42, ’43). 12. Beasiswa BBM, Supersemar, Tugas Akhir. Terimakasih atas segala semangat, inspirasi dan persaudaraan (ukhuwah) yang luar biasa. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah di berikan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor,
Januari 2008
Ramlah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 20 Januari 1985. Penulis adalah putri ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Bapak H. Syamsuddin dan Ibu Hj. Sa’aman. Penulis menempuh pendidikan Taman KanakKanak di TK Al Muttaqien (1990-1991), Sekolah dasar di SDN Inpres Tabaringan II (1991-1997), kemudian penulis melanjutkan studi di SLTPN 5 Makassar (19972000). Setelah lulus dari SMUN 5 Makassar penulis diterima di Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa organisasi intra dan ekstra kampus antara lain : Bendahara umum KOMTI angkatan 40, pengurus BEM FKH IPB periode 2004-2005 dan periode 2005-2006 sebagai Sekretaris Departemen Informasi dan Komunikasi, Pengurus IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) periode 2004-2005, Pengurus Himpro Ornithologi dan Unggas periode 2004-2005 dan Bendahara Umum periode 20052006, Sekretaris Departemen Komunikasi dan Informasi BEM KM Kabinet IPB Bersatu periode 2006-2007, KSR (Korps Sukarela) PMI UNIT I IPB, DKM An Nahl, Himpunan Mahasiswa Sulawesi Selatan (IKAMI), serta pernah menjadi asisten mata kuliah PAI (Pendidikan Agama Islam) semester genap (2005-2006), asisten mata kuliah PKPTT 2006-2007, dan asisten mata kuliah Patologi Sistemik II semester ganjil (2007-2008).
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA ...................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA Virus Herpes......................................................................................
3
Koi Herpesvirus ................................................................................
3
Gejala Klinis KHV ............................................................................
5
Terapi ................................................................................................
6
Imunoglobulin Y ...............................................................................
6
Pemanfaatan IgY ...............................................................................
8
Sistem Imun ......................................................................................
9
Purifikasi Imunoglobulin .................................................................
11
SDS-PAGE.......................................................................................
13
Spektrofotometer ..............................................................................
17
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
20
Materi Penelitian ..............................................................................
20
Metode Penelitian Preparasi Antigen KHV ...................................................................
20
Vaksinasi Ayam ...............................................................................
21
Pemanenan Serum ............................................................................
21
Uji Agar Gel Presipitasi ...................................................................
21
Pemurnian Imunoglobulin Y ............................................................
22
Karakterisasi ImunoglobulinY .........................................................
22
Konsentrasi dengan Spektrofotometer .............................................
23
viii
HASIL DAN PEMBAHASAN Purifikasi Imunoglobulin Y..............................................................
24
Karakterisasi Imunoglobulin Y ........................................................
26
Penghitungan Konsentrasi................................................................
29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ......................................................................................
31
Saran.................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
32
LAMPIRAN ................................................................................................
35
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Koi Herpesvirus...........................................................................
5
Gambar 2. Imunoglobulin .............................................................................
7
Gambar 3. Proses Elektroforesis ..................................................................
15
Gambar 4. Proses Spektrofotometer.............................................................
18
Gambar 5. Reaksi positif dari AGPT serum ................................................
25
Gambar 6. Proses Dialisis ............................................................................
26
Gambar 7. Profil pita protein hasil SDS-PAGE serum hasil purifikasi .......
27
x
DAFTAR LAMPIRAN Bahan-bahan uji Agar Gel Presipitation (AGP) ...........................................
36
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan kontribusi dalam dunia kedokteran hewan khususnya dalam penelitian yang bertujuan untuk
mendiagnosa
dan
mengidentifikasi
penyakit
dan
agen
penyebabnya. Dunia perikanan Indonesia beberapa tahun yang lalu mengalami wabah penyakit yang menginfeksi beberapa jenis ikan hias yang dibudidayakan oleh petani. Kejadian ini sangat merugikan petani ikan sehingga mereka terpaksa menjual ikan di pasaran dengan harga lebih murah dan menyebabkan ikan mati sebelum dipanen (Sunarto et al. 2005). Penyakit ikan disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Faktor
internal
terdiri
dari
faktor
genetik,
sekresi
internal,
imunodefisiensi, saraf, dan metabolik. Faktor eksternal antara lain penyakit yang bersifat non patogen yang merupakan penyakit lingkungan (suhu, kualitas air, pH, keracunan pakan) dan yang bersifat patogen yakni oleh virus, parasit, jamur dan bakteri. Umumnya ikan itu sering terjangkit penyakit patogen dan non patogen akibat faktor eksternal (Yuasa et al. 2003). Salah satu wabah penyakit yang baru-baru ini terjadi adalah Koi Herpes Virus yang menyerang ikan mas dan ikan koi. Kejadian ini terjadi pada tahun 2002 sekitar sekitar bulan April dengan tingkat kematian mencapai 80-95 %. Penyebaran dari penyakit ini sangat cepat dalam kurun waktu satu minggu dapat mencapai 10-30 km (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004). Pendeteksian di lapangan pun masih relatif sulit dilakukan karena infeksinya yang bersifat laten dan gejala klinis yang dimbulkan tidak spesifik. Ikan mas merupakan salah satu komoditi yang cukup penting, karena merupakan komoditi terbesar budidaya ikan air tawar sebagai sumber protein hewani yang relatif murah dan ikan koi dikenal sebagai ikan hias dengan berbagai variasi. Penyakit ini sangat meresahkan dan merugikan bagi peternak ikan mas dan ikan koi. Tidak hanya itu, bahkan pelaku usaha lain seperti pabrik pakan, pengusaha pemancingan , pengusaha restoran juga mangalami kerugian. Sehingga berdampak pula bagi perekonomian negara.
2
Kemajuan teknologi dalam dunia kedokteran memberikan kontribusi pada cara pengobatan yang dilakukan. Pengobatan penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan cara pemberian imunisasi aktif maupun imunisasi pasif. Imunisasi pasif dapat dilakukan seperti pemanfaatan imunoglobulin Y (IgY) spesifik asal kuning telur ayam untuk penanggulangan penyakit pada ikan dan udang. Pemberian IgY ini dapat dilakukan melalui pakan ikan (pelet) yang mengandung imunoglobulin spesifik. Immunoglobulin Y adalah antibodi yang di dapatkan dari unggas yang diproduksi dari serum dan telur yang memiliki fungsi biologis yang sama dengan immunoglobulin G (Warr et al. 1995 ). Kemajuan dalam teknik diagnostik laboratorium di dasarkan atas reaksi antigen dengan antibodi. Kemajuan dalam bidang imunologi ini terjadi diawali dari penerapan teknik hibridoma dan antibodi monoklonal pada awal tahun 1980an. Antibodi ya ng sangat spesifik untuk antigen tertentu. Saat ini dimungkinkan untuk mendeteksi, mengukur kadar, maupun mempurifikasi antigen atau antibodi. Teknik yang digunakan diantaranya SDS-PAGE, PCR, ELISA. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa karakteristik dan jumlah immunoglobulin Y spesifik KHV yang terdapat dalam serum darah ayam Single Comb Brown Leghorn.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mempurifikasi dan mengkarakterisasi IgY spesifik KHV dari serum ayam Single Co mb Brown Leghorn.
3
TINJAUAN PUSTAKA Virus Herpes Virus Herpes tersebar luas di alam, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Dari sekitar 100 spesies anggota virus herpes saat ini, delapan diantaranya menyerang manusia dan beberapa lainnya bersifat zoonosis (Daili & Makes 2002). Virus Herpes merupakan virus yang berukuran besar dibandingkan dengan virus lainnya. Secara morfologik, anggota virus Herpes memiliki struktur yang serupa satu dengan lainnya. Morfologik struktur virus Herpes dari arah dalam keluar terdiri dari genom DNA untai ganda linier, berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen, dan selubung. Kapsid terdiri dari atas protein yang tersusun dalam simetri ikosahedral. Tegumen yang terdapat diantara kapsid dan selubung merupakan massa fibrous dengan ketebalan bervariasi dan seringkali asimetrik. Selubung, jika dilihat dibawah mikroskop elektron tampak seperti susunan tiga lapis. Sebagian selubung berasal dari membran sel yang diinfeksinya, karena dalam selubung terkandung unsur lipid, virus menjadi sensitif terhadap pengaruh detergen dan pelarut lipid lainnya (Daili & Makes 2002). Dari selubung keluar tonjolan-tonjolan yang disebut spike yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan virus yang berselubung lainnya. Tonjolan tersebut tersusun atas glikoprotein dengan panjang tonjolan berkisar antara 8 nm. Jumlah dan jenis glikoprotein selubung virus herpes bervariasi (Daili & Makes 2002).
Koi Herpesvirus (KHV) Koi herpesvirus (KHV) merupakan salah satu penyakit infeksius yang menyerang spesies ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan koi yang disebabkan oleh DNA virus. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1998 dan telah dikonfirmasikan terjadi di Israel pada tahun 1999. Kemudian kejadian kasus dilaporkan berlanjut di Amerika Serikat, Eropa dan Asia. Kerugian ekonomi yang dialami akibat kematian ikan yang disebabkan oleh penyakit ini di Israel mencapai empat juta dollar Amerika (OATA 2001). Di Indonesia penyakit KHV pertama kali terjadi pada ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret, 2002 (Sunarto et al. 2005). Ikan koi yang berasal
4
dari Cina ini masuk ke Surabaya melalui Hongkong pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002. Dari Surabaya ikan ini selanjutnya dibawa ke Blitar dan mulailah terjadi kematian massal (80-95%). Sekitar akhir April 2002, terjadi kematian pada common carp di Subang serta bulan Mei 2002 wabah KHV terjadi di sentra budidaya ikan mas di daerah Cirata, Jawa Barat (Sunarto et al. 2005). Wabah KHV kembali terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan pada bulan Februari 2003 dengan gejala yang ditimbulkan sama seperti yang ditemukan pada common carp di pulau Jawa. Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu dan Jambi (Sunarto et al. 2005). Wabah KHV di Indonesia telah menyebar sampai ke Bali (Denpasar), Jawa Timur (Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan Surabaya), Jawa Tengah (Semarang, dan Brebes), Jawa Barat (Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur, dan Bekasi), Banten, dan Sumatera (Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan) (Rukyani & Sunarto 2003). Koi herpesvirus menyerang golongan ikan mas dan koi dengan tingkat kematian mencapai 80-90%. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kontak langsung antara ikan yang sehat dan ikan yang terjangkit, kontaminasi air, dan peralatan. Virus ini bersifat laten dan aktif pada keadaan tertent u seperti stres dari transportasi, dan penanganan seperti pergantian lingkungan dan fluktuasi temperatur (Sunarto et al. 2005). Secara morfologi KHV (Gambar 1) termasuk golongan Herpes virus yaitu virus yang berbentuk heksagonal dengan diameter 110 nm. Virus ini dapat bertindak sebagai carrier yang timbul kembali disaat kondisi ikan stres (Sunarto et al. 2005). KHV pada umumnya dapat hidup dan berkembang biak pada suhu antara 18-30 0C. Oleh karena itu, serangan penyakit KHV akan mereda bila ikan dipelihara diluar suhu tersebut. Kematian terjadi sangat cepat karena virus ini memiliki masa inkubasinya antara 5-7 hari dengan tingkat kematian mencapai 80-95% dalam waktu satu minggu sejak gejala klinis muncul (Davenport 2001).
5
Gambar 1 Koi Herpesvirus (Anonim 2007a)
Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi virus ini akan memperlihatkan gejala penurunan nafsu makan, lemah, penurunan mukosa pada kulit dan insang sehingga kulit tampak kering, hemorrhagi pada sirip dan kulit, nekrosa sel insang atau insang gripis pada ujung lamela dan akhirnya membusuk (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004). Ikan yang terserang penyakit ini akan mengalami perubahan tingkah laku antara lain berenang pada permukaan air, berkumpul dekat air mancur, gerakan yang tidak terkontrol dan megap-megap pada permukaan air (gangguan pernafa san). Secara histopatologis ditemukan nekrosa pada insang, ekor ,sirip, ginjal, limpa dan hati. Pada insang terjadi hiperplasia dan hipertropi sel epitel (Sunarto et al. 2005). Pada beberapa ikan yang terinfeksi terlihat luka melepuh pada kulit, sehingga dalam bahasa Indonesia disebut penyakit melepuh.Wabah KHV terus berlanjut dan muncul pula bermacam-macam tanda klinis yang ditemukan atau dilaporkan. Namun terdapat tanda klinis yang patognomonis yakni nekrosis insang (gill necrosis) (Sunarto et al. 2005). Diagnosa KHV dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni deteksi dengan PCR, histopatologi dan gejala klinis. PCR merupakan teknik yang dipakai untuk melipatgandakan asam nukleat (DNA) in vitro secara enzimatis. Teknik PCR digunakan sebagai konfirmasi keberadaan DNA virus KHV yang telah diinokulasikan pada masing- masing kultur sel. Pada semua kultur sel yang telah diinokulasikan
virus KHV dengan berbagai perlakuan jam telah diuji
menggunakan metode PCR, dan didapatkan hasil pengujian 0, 1, 2, 4, 8, 24, 48, dan 96 jam positif KHV, sedangkan pada perlakuan 192 jam didapat hasil yang
6
negatif KHV. Teknik dengan PCR telah dilakukan secara rutin di daerah Sumatera, Jawa dan Sulawesi secara rutin dalam mengkonfirmasi diagnosa KHV (diagnosa level 3) (Sunarto et al. 2005). Titer virus standar dari HSV-1 (herpes simplex virus type-1) dan HSV-2 pada CH (chang’s liver cell) yaitu antara 102,025-102,033 TCID50 /ml sedangkan pada virus BHV-1 (bovine herpes virus) titer virus normalnya yaitu 105 TCID50 /ml (Lipps 1999 ; Gregorch et al 2004 diacu dalam Mulyana 2006).
Terapi Sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Usaha percobaan telah dilakukan untuk mengobati ikan yang terinfeksi dengan antibiotik, tetapi tidak berhasil dengan baik. Beberapa petani ikan telah mencoba menggunakan potassium permanganat (pk) untuk pengobatan tetapi potassium permanganat cenderung membuat iritasi pada insang yang bisa menyebabkan ikan lebih banyak yang terinfeksi yaitu di atas 80-90% (Sunarto et al. 2005).
Imunoglobulin Y Imunoglobulin Y (IgY) merupakan antibodi yang terdapat di dalam serum darah dan kuning telur pada amfibi, reptil dan aves. ImunoglobulinY merupakan antibodi humoral utama pada ayam. Zat ini pertama kali ditemukan oleh Klemperer pada tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya induk ayam adalah produsen antibodi yang sangat potensial. Telur merupakan sumber IgY yang sangat penting, selain itu IgY unggas lebih tahan terhadap suhu dan perubahan pH dibandingkan dengan IgG serta tidak menyebabkan reaksi silang dengan komponen struktura l jaringan dan sel darah mamalia (Larsson et al.1993). Ayam dapat digunakan untuk memproduksi antibodi selama masa produksi telurnya. Ayam yang telah digunakan untuk memproduksi antibodi selama 3 bulan harus di imunisasi booster setiap bulan berikutnya untuk memastikan antibodi yang tetap tinggi. Ayam mampu menghasilkan antibodi dengan aviditas yang tinggi segera setelah
7
dilakukan satu kali vaksinasi. Aviditas yang sama dapat ditemukan pada domba setelah empat kali vaksinasi (Warr et al. 1995). Struktur (Ga mbar 2) imunoglobulin terdiri dari 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri dari 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (SS), demikian pula rantai berat satu dengan lainnya dihubungkan dengan ikatan SS. Enzim proteolitik papain dapat memecah struktur ini menjadi 3 fragmen, yaitu 2 fragmen yang memiliki susunan sama terdiri atas rantai berat (H) dan rantai ringan (L), fragmen ini dapat bereaksi dengan determinan antigen serta hapten (disebut fragmen antigen binding site = Fab) dan fragmen yang dapat dikristalkan dari larutan (fragmen crystallizable = Fc). Fragmen Fab dibentuk oleh dominan terminal N, sedangkan fragmen Fc dibentuk oleh domain terminal C dengan Fc dihubungkan dengan leher atau hinge yang fleksibel (Wibawan et al. 2003). Imunoglobulin Y memiliki sifat biologik yang merupakan gabungan dari sifat biologik IgG dan IgE. Imunoglobulin Y memiliki 2 rantai berat yang tersusun dari 4 bagian yang konstan (C?1-4) dan 1 bagian yang variabel (VH) sedangkan rantai ringannya tersusun 1 rantai konstan (CL) dan 1 rantai variabel (VL). Bagian leher (hinge) dari IgY tidak fleksibel seperti IgG. ImunoglobulinY tidak dapat berikatan dengan Fc mamalia dan tidak dapat bereaksi dengan protein A (Wibawan et al. 2003).
Gambar 2 Imunoglobulin Y (Zhang, 2003)
8
Imunoglobulin Y adalah protein yang sensitif terhadap denaturasi, aktifitas IgY mampu bertahan setelah dipanaskan selama 15 menit pada suhu 70 0 C. Inkubasi pada pH 4 dapat ditoleransi dengan baik, tetapi pada pH 2 suhu 37 0C aktifitas antibodi akan turun dengan cepat (Shimizu et al. 1992). Sedangkan menurut Larsson et al. (1993), IgY relatif stabil untuk dipertahankan aktivitasnya jika disimpan pada kondisi ruang. Aktivitas IgY dapat dipertahankan dengan baik jika disimpan pada suhu 37 0 C untuk jangka waktu 1 bulan atau pada suhu kamar untuk jangka waktu 6 bulan dan aktivitas IgY dapat dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 4 0 C. Analisis antibodi ayam secara fungsional setara dengan antibodi kelinci atau mamalia dan telah berhasil diuji menggunakan metode preparasi afinitas kolom, analisa western blot, (Enzim Linked Immunosorbent Assay) ELISA, biotinylated atau fluorescens dengan label, rocket immunoelectrophoresis, immunoprecipitation, immunogold labelling, dan imunohistokimia maupun Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) (Gordon 1983, Carla nder 2002).
Pemanfaatan Imunoglobulin Y Menurut Warr et al. (1995) IgY memiliki fungsi sebagai produsen antibodi karena memiliki beberapa keuntungan yaitu : a) Biaya pemeliharaan ayam relatif lebih murah, b) Kandungan IgY tinggi di dalam telur dan dapat diproduksi dalam jumlah besar, c) Imunoglobulin Y menghasilkan respon imun yang lebih spesifik dan tidak memiliki efek samping karena tidak bereaksi dengan IgG mamalia dan reseptor serta telur memiliki daya simpan lebih lama, d) Jara k filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh sehingga tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia. Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh IgY akan menjadi hal pendukung potensi ayam sebagai inang untuk memproduksi IgY spesifik terhadap antigen tertentu sehingga dapat digunakan sebagai perangkat imunodiagnostik dan imunoterapi. Beberapa penelitian mengenai IgY yang telah dilakukan di Indonesia antara lain : sebagai anti Mutan Streptococcus serotipe d Streptococcus sobrinus
9
(Poetri 2007), anti tetanus (Suartha 2006), sebagai anti adhesin pada permukaan biofilm (Chrismirina 2006), sebagai anti EPEC (Rawendra 2005, Mustopa 2004). Prinsip dari pengebalan pasif adalah transfer kekebalan terhadap beberapa penyakit yang dapat dilakukan antara lain melalui pemberian IgY per oral (Carlander 2002). Beberapa sumber melaporkan bahwa pemberian antibodi spesifik terhadap patogen tertentu secara oral dapat memberikan kekebalan bagi tubuh terhadap serangan patogen pada saluran gastrointestinal hewan dan manusia misalnya Colibacilosis dan infeksi rotavirus yang merupakan penyebab diare (Carlander 2002). Aktivitas antibodi sebagai bahan imunisasi pasif yang diberikan secara oral bergantung pada pH, temperatur, enzim pada saluran pencernaan, dan dosis antibodi. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan dalam pengaplikasian IgY.
Sistem Imun Tubuh makhluk hidup memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen. Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan. Sistem pengenalan antigen dilakukan oleh unsur sistem imun disebut limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai jenis sel (Kresno 1996). Kemampuan diversifikasi dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya terletak diseluruh tubuh secara umum, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjer limfe, limpa, timus, sistem saluran pernafasan, saluran cerna dan organ-organ lain. Sistem imun ayam terdiri dari bursa fabrisius, sumsum tulang, limfa, timus, glandula Harderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid di traktus alimentarius. Sel pensintesa antibodi (Sel B) diproduksi oleh bursa fabrisius, sedangkan sumsum tulang adalah sumber dari bursa dan timus stem sel. Limpa adalah pusat proliferasi plasma sel dan sel B memori. Burung tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi antibodi. Timus adala h pusat maturasi sel stem yang
10
berdiferensiasi menjadi limfosit T. Aktivitas limfosit T pada unggas sama dengan limfosit T pada mamalia (Larsson et al. 1993). Bursa adalah organ limfoid primer yang fungsinya sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari sistem pembentuk antibodi. Bursa ini pun berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menagkap antigen dan membentuk antibodi, juga memiliki sebuah pusat kecil sel T tepat dibelakang lubang salurannya (Tizard 1988). Bila sistem imun terpapar pada saat yang dianggap asing, maka ada 2 jenis respon imun yang mungkin terjadi yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun yang spesifik. Respon imun nonspesifik umumnya imunitas bawaan (innate immunity) artinya respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada saat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon tubuh yang sebelumnya pernah terpapar oleh antigen tertentu (Kresno 1996). Perbedaan yang utama dari antara kedua jenis respon imun itu yaitu respon imun spesifik menunjukkan diversifitas yang sangat besar, sistem imun spesifik menunjukkan tingkat spesialisasi yang cukup tinggi (ini berarti mekanisme respon imun terhadap berbagai jenis antigen tidak sama), sistem imun spesifik mampu menge nal kembali antigen yang pernah dijumpainya (memiliki memori), sehingga paparan berikutnya meningkatkan efektivitas mekanisme pertahanan tubuh. (Kresno 1996) Periode lag (keterlambatan) adalah periode dimana antigen pertama kali diimunisasikan ke dalam tubuh dan
belum terlihat sesuatu reaksi dari tubuh
tersebut. Antibodi baru akan ditemukan sekitar 1 minggu setelah suntikan pertama, dan kadarnya dalam serum akan meningkat dan mencapai tingkat puncaknya pada 10-14 hari sebelum menurun. Pada umumnya, jumlah antibodi yang terbentuk, dan karenanya tingkat daya proteksi yang dihasilkan, selama reaksi pertama atau primer ini relatif kecil. Bila beberapa waktu kemudian setelah yang pertama, antigen yang kedua diberikan akan diikuti dengan pembentukan antibodi dengan periode lag yang lebih cepat yakni 3 atau 4 hari. Jumlah antibodi yang ditemukan meningkat dengan cepat ke tingkat yang tinggi sebelum menurun kembali dengan lambat (Tizard 1988). Reaksi sekunder atau yang kedua sangat berbeda dan bersifat khusus dengan pemberian antigen yang identik dengan yang pertama. Reaksi sekunder
11
dapat ditimbulkan beberapa bulan sampai tahunan. Reaksi sekunder dapat juga dibuat dikarenakan reaksi hewan terhadap suntikan antigen yang pertama begitu sangat lemah sehingga tidak dapat ditemukan. Jadi sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya (Tizard 1988). Sel B adalah sel yang bertanggungjawab atas pembentukan imunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15 % dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel B perawan (virgin) yang terdapat dalam sumsum tulang dan belum pernah terpapar pada antigen, umumnya menunjukkan respon yang lebih lambat dibandingkan dengan sel B yang terdapat dalam jaringan limfoid perifer. Setelah rangsangan antigen limfosit B akan menglami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk immunoglobulin, dan membelah dan lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B memori. Pembentukan sel B memori adalah suatu proses yang bergantung pada proses sel T, sedangkan antigen yang merangsang sel B tanpa bergantung pada sel T tidak merangsang pembentukan sel memori (Kresno 1996).
Purifikasi Imunoglobulin Kemurnian maupun spesifitas imunoglobulin (Ig) dapat ditingkatkan dengan menghilangkan protein serum yang tidak diinginkan. Hanya kira-kira 10% dari protein antiserum adalah imunoglobulin dan biasanya 1-10% berupa antibodi yang diarahkan kepada imunogen yang diinjeksikan (Kurstak 1985 dalam Heytman
1995).
Menurut
Heytman
(1995)
metode
untuk
pemurnian
imunoglobulin ini terbagi 2 dengan 2 kategori terpisah yakni solubilitas diferensial (garam, PEG, presipitasi asam kaprilat, dan lain-lain) dan kromatografi (filtrasi gel, pertukaran ion, hidroksi apatit dan afinitas). Apabila merencanakan metode rangkaian metode pemurnian Ig, sangat penting untuk mempertimbangkan antara kemurnian dan hasilnya, karena dalam kebanyakan kasus jika kemurnian bertambah maka hasilnya berkurang (Ig yang diperoleh dari purifikasi be rkurang). Faktor ekonomi yang perlu dipertimbangkan yaitu meliputi reproduksibilitas, kenyamana n, waktu dan biaya (Heytman 1995). Presipitasi menggunakan amonium sulfat tidak menghasilkan imunoglobulin yang
12
homogen, dan metode ini metode yang mungkin paling banyak dipakai dalam fraksinasi. Metode ini merupakan teknik purifikasi yang mendasar dan merupakan langkah pendahuluan yang bermanfaat bagi langkah selanjutnya. Prosedur ini bersifat sederhana, murah dan baik bagi kebanya kan imunoglobulin (Heytman 1995). Fraksinasi ammonium sulfat merupakan salah satu cara pemurnian protein melalui proses pengendapan. Pada proses ini protein dipisahkan dari serum komponen non protein yang terdapat dalam larutan protein. Penambahan garam ammonium sulfat akan menurunkan kelarutan protein karena terjadi kompetisi antara ion garam yang ditambahkan dengan protein yang terlarut sehingga terjadi efek salting out. Fraksi amonium sulfat 40-60% memiliki aktivitas protease yang lebih tinggi (Kamelia et al. 2005). Pengadukan dalam prosedur kerja dari metode purifikasi imunoglobulin dengan
menggunakan
ammonium
sulfat
tidak
lain
dimaksudkan
agar
menghindarkan terjadinya presipitasi protein lain yang tidak diinginkan seperti albumin dan transferin. Dialisis selama 24 jam bertujuan untuk menghilangkan ion ammonium yang dapat mengganggu proses selanjutnya, misalnya konjugasi yang dapat mengakibatkan residu asam amino mengalami perikatan silang antar sesama asam amino sehingga mengakibatkan beberapa perubahan. Adanya ion sulfat dapat diketahui dengan penambahan barium klorida dengan ditandai terjadinya kekeruhan yang berkabut pada cairan tersebut (Heytman 1995) Dialisis merupakan proses pertukaran ion (buffer exchange). Meskipun bukan merupakan suatu metode untuk mendapatkan protein murni, tetapi proses pertukaran ion (buffer exchange) memegang peranan penting dalam proses purifikasi dikombinasikan dengan protein lainnya. Proses dialisis dapat dilakukan dengan menggunakan tabung dialisis. Tabung dialisis mempunyai lubang (poripori) yang sangat kecil, dimana hanya molekul-molekul yang sangat kecil (< 5000 Da) yang dapat lolos, sedangkan molekul protein yang mempunyai ukuran yang lebih besar tidak dapat melewatinya (Ford 2004).
13
Sodium Dodecyl Sulphate -Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) Protein merupakan makromolekul amfoter artinya tiap molekulnya memiliki muatan listrik positif dan negatif. Adanya perbedaan ukuran dan muatan listrik pada setiap kelompok protein dapat dipisahkan. Protein dapat berionisasi pada perbedaan pH atau dalam larutan sebagai kation (bermuatan positif) dan anion (bermuatan negatif). Pada pengaruh medan listrik, partikel bermuatan ini akan bermigrasi baik ke katoda maupun ke anoda tergantung muatan alaminya. Pemisahan partikel bermuatan dalam medan listrik disebabkan karena adanya gradien potensial muatan totalnya, namun adanya gaya gesek akibat perbedaan ukuran molekul, bentuk molekul, ukuran pori medium, dan viskositas buffer, maka dapat menghambat pergerakan partikel tersebut. Semakin besar ukuran partikel semakin kecil mobilitasnya, sedangkan dua partikel dengan ukuran dengan ukuran sama tetapi bentuknya berbeda akan berbeda pula mobilitasnya (Wilson & Walker 2000). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan fraksi-fraksi zat berdasarkan migrasi bermuatan listrik dibawah pengaruh medan listrik karena adanya perbedaan ukuran, bentuk, muatan, atau sifat kimia molekul. Protein dengan muatan yang berbeda akan terpisah karena molekul tersebut akan bergerak kearah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul tersebut. Berdasarkan
pemisahan
tersebut
elektroforesis
dapat
digunakan
untuk
menentukan berat molekul, mendeteksi kemurnian, dan menetapkan titik isoelektrik. Sebagai alat analisa, elektroforesis sangat sederhana, cepat dan mempunya i sensitifitas tinggi (Gordon 1983). Menurut Gordon (1983) elektroforesis gel dapat terbagi atas gel pati dan gel poliakrilamid. Gel poliakrilamid relatif lebih baik, karena ukuran porinya dapat diatur. Gel ini terbentuk oleh adanya polimerisasi dari monomer akrilamid menjadi rantai yang panjang oleh adanya ikatan silang dengan komponen N,N’metilen bisakrilamid. Polimerisasi ini diawali dengan adanya reaksi antara amonium per sulfat sebagai katalis dengan N,N,N’,N’-tetrametilendiamin (TEMED). SDS-PAGE merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menganalisis campuran protein secara kualitatif. Metode ini khususnya berguna
14
untuk memonitor hasil purifikasi protein dan metode ini memisahkan protein berdasarkan perbedaan berat molekul. Penambahan SDS pada gel poliakrilamid menghasilkan SDS-PAGE yang digunakan untuk sampel terdenaturasi. SDS merupakan detergen anionik dan bersama dengan ß-merkaptoetanol yang dilanjutkan dengan pemanasan akan merusak tiga dimensi protein melalui pemecahan ikatan disulfida menjadi gugus sulfidril. SDS -PAGE digunakan pada pH netral, pada pH 7 SDS akan membentuk komplek negatif dengan protein, sehingga sampel akan bergerak kearah elektroda positif (Gordon 1983). Secara umum sampel digerakkan pada support matriks seperti kertas, selulose asetat, strach gel, agarose atau polyacrilamide gel. Matriks ini dapat menghambat pencampuran yang disebabkan oleh panas dan menyediakan catatan hasil dari elektroforesis run. Pada akhir proses running, matriks ini dapat diwarnai dan digunakan untuk scanning, autoradiografi, atau penyimpanan. Sebagai tambahan, matrik yang paling umum digunakan untuk scanning (agarose dan polyacrilamide) dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya dikarenakan matrik tersebut adalah gel penyerap. Gel penyerap dapat bertindak sebagai penyaring dengan proses perlambatan, atau dalam beberapa kasus secara komplit menghalangi pergerakan dari makromolekul yang besar dan membiarkan molekul yang lebih kecil untuk lebih bermigrasi. Oleh karena agarose gel cair umumnya lebih kaku dan lebih mudah untuk ditangani daripada polyacrilamide pada konsentrasi yang sama, agarose digunakan untuk memisahkan protein besar dan protein komplek. Polyacrilamide, yang penanganannya sangat mudah untuk meningkatkan konsentrasi, digunakan untuk memisahkan kebanyakan protein dan poligonukleotida kecil yang membutuhkan gel berpori-pori kecil untuk perlambatan (Gordon 1983). Migrasi muatan SDS -PAGE ini dipengaruhi karena terjadinya perbedaan ukuran, muatan, atau sifat kimia molekul serta merupakan aksi medan listrik. Selain itu, penggunaan media gel dan poliakrilamida juga sangat mempengaruhi dari hasil yang diperoleh, hal ini karena dari gel poliakrilamida ini mengandung bahan yang dapat membantu migrasi proten. Poliakrilamida ini bersifat inert, tidak bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan dan stabil pada kisaran pH yang
15
luas dan bersifat transparan sehingga dapat diwarnai (Hames & Rickwood 1990). Proses elektroforesis ditunjukkan pada Gambar 3
Gambar 3 Proses Elektroforesis (Anonim 2007b)
Elektroforesis dengan media gel yang bersifat seperti pori-pori yakni mudah menyerap (porous) sering digunakan terutama karena dapat memisahkan molekul dari ukurannya. Gel yang bersifat porous dapat menahan atau menghalangi pergerakan molekul besar sedangk an molekul kecil akan bermigrasi secara bebas. Ada beberapa medium yang dapat digunakan untuk melakukan elektroforesis, yaitu medium selulose asetat, gel silika, gel agarose, pati dan poliakrilamid. Gel poliakrilamid merupakan pilihan terbaik sebagai medium elektoforesis karena memiliki stabilitas dan kemurnian yang tinggi dan memiliki ukuran pori yang sesuai dengan protein. Gel poliakrilamid ini diperoleh dengan cara polimerisasi akrilamid dengan adanya sejumlah kecil ikatan silang dari methylene bis-acrilamide dan ammonium persulfat sebagai katalisator. Selain itu adanya TEMED (Tetramethyl-ethylendiamine) yang berperan sebagai katalisator dalam awal polimerasi (Wilson & Walker 2000). Bufer yang digunakan dalam penelitian ini adalah bufer diskontinyu. Bufer diskontinyu adalah sistem bufer yang menggunakan bahan bufer yang berbeda (bahan, komposisi dan pH) dan gel dibandingkan dengan running buffer. Dua macam bufer yakni bufer pengurai dan bukan pengurai. Sistem bufer pengurai menggunakan SDS (Sodium Dodecyl Sulphate) dalam larutannya. Kebanyakan molekul SDS dapat mengikat protein dengan merusak bentuk alami protein dan memberinya muatan negatif yang besar tanpa memperdulikan muatan aslinya. Molekul protein yang besar akan membentuk komplek dengan SDS yang kecil
16
sehingga semua protein akan mempunyai protein yang sama (Wilson & Walker 2000). Penggunaan
SDS
dibantu
merkaptoetanol
dan
pemanasan
yang
menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi protein. Rusaknya struktur tiga dimensi protein tersebut sebagai akibat terpecahnya ikatan disulfida yang selanjutnya gugus sulfisdril. Medium poliakrila mid, akan memisahkan protein yang komplek berdasarkan ukurannya. Ukuran ini dikalibrasi dengan protein standar (marker) yang telah diketahui berat molekulnya (Wilson & Walker 2000). Selama proses elektoforesis berlansung, agar gel protein dipengaruhi oleh 2 gaya, yakni pertama gaya elektroforetik, yang disebabkan perbedaan potensial. Pada nilai pH normal (lebih besar dari pH 8) dalam proses elektroforesis media agar, kebanyakan protein bermuatan negatif dan gaya ini menyebabkan protein bergerak menuju ke anoda. Gaya ke-2 yakni gaya elektroendosmik yang menyebabkan protein menuju ke katoda. Hal ini disebabkan oleh pengaruh media agar. Diasumsikan bahwa ion-ion bermuatan positif akan menetralkan muatan negatif dari gel bebas bergerak dalam medan listrik, sementara ion negatif berikatan kovalen pada matriks gel yang tetap, akibatnya ion positif cenderung bermigrasi menuju katoda yang tidak dapat diimbangi oleh migrasi ion negatif ke anoda. Konsentrasi ionik pada katoda menjadi lebih besar dibandingkan pada anoda, sehingga air akan bergerak ke katoda untuk menyeimbangkan konsentrasi. Selam proses migrasi, protein mengalami proses osmotik, sehingga semua gel yang tersuspensi dalam gel, sebagian besar gama gobulin (IgY) dipengaruhi laju air, bergerak menuju katoda (Johnstone & Thorpe 1987 diacu dalam Simorangkir 1993). Menurut Mack (1995) PAGE dalam gel natif atau SDS akan memberikan informasi tentang berat molekul protein sasaran dan kontaminan. Sehingga media yang sesuai untuk filtrasi gel dapat dipilih. Elektroforesis dapat dilakukan dengan 2 sistem yakni sistem vertikal maupun sistem horisontal. Sistem vertikal, gel dapat dicetak antara 2 pelat kaca atau batang gelas dan digantung diantara dua tangki penyangga atas dan bawah yang juga merupakan sistem pendingin yang diperlukan unuk membuang panas yang dihasilkan selama proses elektroforesis. Pada sistem horisontal, gel dicetak
17
sebagai lonjoran batangan dan diletakkan di atas tempat horizontal yang didinginkan. Gel dihubungkan ke tangkai penyangga melalui sumbu (Mack 1995). Protein dapat dideteksi dengan berbagai pewarna seperti Commassie blue, Amido Black, dan pewarna perak yang paling sensitif (Burnette 1981, Batteiger et al 1982, Merril dan Pratt 1986 dalam Mack 1995). Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dihitung dari garis awal separating gel sampai ujung protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye.
Spektrofotometer Spektrometer absorbsi adalah sebuah instrumen untuk mengukur absorbsi/penyerapan cahaya dengan energi (panjang gelombang) tertentu oleh suatu atom/molekul. Spektrofotometer dikembangkan beberapa puluh tahun lalu untuk keperluan para fisikawan dan kimiawan dalam mempelajari struktur molekul dan mengembangkan dengan teori molekul. Kini, spektrofotometer juga banyak digunakan untuk berbagai seperti studi bahan, lingkungan ataupun untuk mengontrol suatu proses kimiawi dalam industri (Anonim 2007c). Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur daya serapan. Alat ini mengeluarkan cahaya pada jarak gelombang yang dipilih terlebih dahulu, lalu dipancarkan melalui sampel (Anonim 2007c). Alat ini digunakan untuk mengukur panjang gelombang cahaya (foton) dan molekul. Energi cahaya diserap dan digunakan oleh elektron di dalam molekul tersebut untuk bertransisi ketingkat energi elektronik (E) yang lebih tinggi (Sentra Biosains Dinamika 2001). Spektrofotometer terdiri dari: AAS/AES untuk penyerapan/pancaran atom, UV-Vis untuk penyerapan molekul, fluoromentri untuk pancaran molekul, spektrometri Jisim (MS) untuk pemecahan molekul disebabkan oleh elektron bertenaga tinggi (pecahan molekul bercas), NMR (nuclear magnetic resonance) untuk sensitifitas magnet nukleus atom (spin nucleus) terhadap sekitar molekul atau ion nya, ESR (electron spin resonance), sama seperti NMR tetapi melibatkan
18
elekron tunggal (spin elektron) dan ion logam dalam paramagnet dan IR (infra merah) untuk mengukur penyerapan radiasi pada frekuensi berbeda. Radiasi IR = 0.8 – 100 µm. IR dekat = 0.8 – 2.5 µm, IR pertengahan = 2.5 – 15 µm, IR jauh = 15 – 100 µm (Anonim 2007c). Pada spektrofotometer sinar tampak (Gambar 4), molekul atau senyawa yang dianalisis tidak akan mengabsorbsi cahaya. Oleh karena itu, senyawa tersebut harus diikat oleh suatu senyawa kimia sehingga menghasilkan warna. Senyawa tersebut akan mengabsorbsi cahaya pada rentang panjang gelombang yang terbatas (Wilson & Walker 2000). Prinsip kerja dari spektrofotometer adalah iradiasi sinar ultra violet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan. Penyerapan sinar tersebut oleh nukleotida secara maksimal dicapai pada gelombang 260 nm sedangkan penyerapan maksimal oleh protein dicapai pada panjang gelombang 280 nm (Sulandari & Zein 2003). Menurut Mayasari (2005) pelarut spektrofotometer yang dapat digunakan adalah semua cairan yang dapat diperoleh dalam bentuk murni dalam daerah ukur 220 nm sampai 800 nm serta yang tidak atau hanya sedikit menunjukkan absorbsi sendiri dan dapat melarutkan dengan mudah senyawa yang hendak dianalisis. Letak maksimum absorbsi tergantung pada pelarut yang digunakan dan akan bergeser kearah panjang gelombang yang lebih panjang dengan bertambahnya polaritas pelarut.
Gambar 4 Proses Spektrofotometer (Anonim 2007d)
19
Konsentrasi IgY serum ayam tidak berbeda dengan yang ada pada kuning telur (Larson et al. 2003). Menurut Carlander (2002) konsentrasi IgY kuning telur memiliki faktor perkalian 1,23 terhadap konsentrasi IgY serum. Menurut Toivanen dan Toivanen (1987) dalam Simorangkir (1993) bahwa konsentrasi normal IgY dalam serum 5-7 mg/ml. Konsentrasi IgY serum ayam yang sedang mengeram adalah 2-3 mg/ml sedangkan pada kuning telurnya ditemukan 100-400 mg/ml (Kowalozyk et al. 1985 dalam Suartini 2005).
20
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dimulai pada bulan September 2006 sampai dengan Agustus 2007, bertempat di Laboratorium Bakteriologi Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Unit Pelayanan Terpadu Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) dan Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Penelitian Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan 1 ekor ayam Single Comb Brown leghorn yang dipelihara pada umur produksi telur. Bahan yang digunakan isolat virus KHV yang telah dikarakterisasi di Balai Riset Perikanan, PBS pH 7,2 dan pH 8, aquades, Poly Ethylene Glykol (PEG) 6.000, agarose, amonium sulfat, 1% Na azide, dan alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, gelas ukur, mikrotube, gelas objek, dispossible syringe, water bath, mikropipet, gel puncher, vortex, magnetic stirer (Luchi HSD-4P), refrigerator (Sanyo), deep freezer (Sanyo Ultralow), inkubator, spektrofotometer (Hitachi U-20), elektroforesis (SDS-PAGE), microwave, wadah penyimpanan AGPT inkubator dan kamera digital.
Metode Penelitian Preparasi Antigen Koi Herpesvirus Isolat virus yang digunakan berasal dari Laboratorium Riset dan Teknologi Perikanan Jakarta Timur telah diinokulasikan pada sel KT (koi tail 2) dengan titer virus 103,8 TCID50/ml dengan bentuk CPE berupa vakuolisasi pada biakan sel, nilai titer ini merupakan hasil isolasi virus dari target organ yaitu ginjal, limpa, dan insang 3:1:1 w/w ikan koi yang terinfeksi pada Jawa Barat (Mulyana 2006). Isolat virus tersebut dinonaktifkan dalam water bath selama 30 menit pada suhu 60 0C lalu suspensi disimpan dalam deep freezer -80 0 C.
21
Vaksinasi Ayam Vaksinasi dilakukan pada seekor ayam Single Comb Brown Leghorn betina berumur 24 minggu yang siap telah bertelur dengan interval vaksinasi 1 minggu. Pada minggu pertama dilakukan vaksinasi secara intramuskular pada otot dada sebanyak 0,4 ml antigen KHV ditambahkan 0,4 ml freund adjuvan komplit yang sebelumnya telah dihomogenkan. Pada minggu ke 2 ayam divaksinasi 0,3 ml antigen KHV setelah dihomogenkan dengan 0,3 ml freund adjuvan inkomplit secara intramuskular. Begitu juga vaksinasi ke 3 dan ke 4 dilakukan seperti pada minggu sebelumnya, dengan jumlah sebanyak 0,5 ml antigen KHV ditambahkan 0,5 ml adjuvan inkomplit yang sebelumnya dihomogenkan terlebih dahulu. Tiga bulan kemudian, ayam di booster dengan 0,1 ml antigen KHV selama tiga hari berturut -turut melalui IV.
Pemanenan Serum Serum pertama kali dipanen pada satu minggu setelah imunisasi dengan cara pengambilan darah melalui vena axillaris pada daerah sayap ayam sebanyak 3 ml. Darah diletakkan agak miring dan didiamkan sampai memadat sekitar 15 menit lalu di simpan dalam inkubator selama 30 menit sampai 2 jam. Serum terlihat bening dari lapisan yang lainnya dan berada pada lapisan paling atas kemudian di panen dan disimpan dalam refrigerator - 4 0 C . Setelah hasil uji AGP positif maka dilakukan pemanenan serum.
Uji Agar Gel Presipitasi Agar gel dibuat dengan melarutkan 0,4 g agarose dan 1,2 g Poly Ethylene Glycol (PEG) 6.000, 0,1 % Na azide dalam 25 ml PBS pH 7,4 dan 25 ml akuades. Larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Kemudian larutan dipipet sebanyak 3,75 ml, di cetak pada gelas objek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan 25 µl antigen dan 25 µl antibodi dari serum atau IgY pada sumur sekelilingnya. Gelas obyek diletakkan diatas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 sampai 48
22
jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen dan antibodi.
Pemurnian Imunoglobulin Y Asal Serum dengan Amonium Sulfat Serum dipresipitasikan secara bertahap dengan menggunakan ammonium sulfat 60% dan 50% (Harlow & Lane 1988). Sebanyak 6 ml serum ditambahkan 3,6 ml amonium sulfat jenuh 60% pertetes sambil distirer, diaduk selama 60 menit dan disentrifuse 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan endapan yang terbentuk dilarutkan dengan NaCl fisiologis hingga mencapai volume semula. Tambahkan lagi 3 ml ammonium sulfat jenuh 50%, supernatan dibuang dan endapan di tambahkan NaCl fisiologis hinga mencapai volume sama. Selanjutnya dilakukan dialisis selama 24 jam pada PBS pH 8,0.
Karakterisasi IgY dengan SDS-PAGE Penentuan berat molekul dianalisis dengan metode Sodium Deodecil Sulphate-Poly Acrilamide Gel Elektrophoresis (SDS-PAGE) (Gordon 1983). Pengukuran berat molekul ini seseuai dengan teknik yang dilakukan oleh Laemmli (1970). SDS-PAGE ini menggunakan gel pemisah dengan konsentrasi 12 %, gel pengumpul 4%, larutan pewarna Commasie Blue dan larutan pencuci. Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca yang berukuran 18 X 15,5 cm (Pharmacia -Biotech®) yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%, pada kedua sisi tepi bagian dalam diberi spacer, kedua lempeng kaca dihimpitkan dan selanjutnya dijepit. Dibagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur dan kemudian diisi gel pemisah (12% poliakrilamida) sampai 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet dan dibiarkan sekitar 30 menit kemudian diisi gel pengumpul (4% poliakrilamida) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Sampel IgY yang telah didapatkan dari hasil purifikasi, ditambahkan dengan larutan buffer sampel perbandingan 1:1 dan campuran ini kemudian ditangas 60
0
C selama 5 menit sebelum dimasukkan kedalam sumur gel
elektroforesis. Sebanyak 10 µl sampel dimasukkan kedalam masing-masing sumur, kemudian perangkat elektroforesis dijalankan dengan arus 50 mA dengan
23
voltase 100 V selama 3 jam. Elekroforesis berakhir apabila pewarna sampel mencapai batas 0,5 cm dari bagian bawah gel. Setelah elektroforesis berkhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue (Sigma® Chemical Co) selama 3 jam pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening a tau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dihitung dari garis awal separating gel sampai ujung protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye (Gordon 1983).
Konsentrasi dengan Spektrofotometer Konsentrasi protein yang telah dipurifikasi dihitung dengan menggunakan spektrofotometer. Absorbansia sampel ditentukan dengan pembacaan UV spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Konsentrasi sampel dihitung berdasarkan kurva larutan standar dengan bovine serum albumin yang telah dibuat.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Purifikasi IgY Spesifik KHV dari Serum Ayam Serum ayam yang dipanen berasal dari
ayam yang telah divaksinasi
dengan antigen Koi Herpes Virus. Serum kemudian diuji dengan uji agar gel presipitasi (AGP). Uji agar gel presipitasi untuk mengetahui adanya respon ayam yang telah divaksinasi, dibuktikan dengan terbentuknya garis presipitat berwarna putih. Prinsip uji agar gel presipitasi yakni reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen ini diperlihatkan dengan adanya garis presipitasi di media agar gel. Jika sediaan antibodi tidak homolog dengan antigen maka tidak akan berbentuk garis presipitasi. Uji agar gel presipitasi, memperlihatkan proses penetralan antigen. Maka antibodi berfungsi sebagai presipitin yang mengendapkan antigen (Wibawan et al. 2003). Uji AGP merupakan uji yang bersifat kualitatif untuk mengetahui keberadaan antibodi (Tizzard 1988).
b b Garis presipitasi
a b b
Gambar 5. Reaksi positif AGP serum. Terdapat garis presipitasi antara sumur antigen (a) dan sumur antibodi (b) dari serum ayam yang divaksinasi KHV.
Hasil dari uji agar gel presipitasi (Gambar 5), terdapat garis presipitat berwarna putih diantara sumur antigen dan antibodi, membuktikan bahwa ayam tersebut memberikan respon terhadap antigen KHV yang disuntikkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibawan et al. (2003) bahwa pada saat paparan kedua, antigen akan dikenal oleh sel pertahanan dengan lebih efisien. Karena jumlah sel
25
B dan sel T spesifik juga lebih banyak, kemungkinan untuk beraksi dengan antigen akan lebih besar, sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Disamping itu antibodi yang tersisa juga dapat bereaksi dengan antigen, sehingga komplek antibodi-antibodi menjadi lebih mudah ditangkap oleh APC (antigen presenting cells) dan diproses. Selanjutnya sel T dan sel B akan terstimulasi seperti halnya dengan respon imun primer dengan kecepatan dan efisiensi yang lebih tinggi. Daerah variabel suatu antibodi atau bagian dari molekul yang mengikat antigen bersifat antigenik dan dapat menggertak terbentuknya antibodi terhadap variabel itu sendiri bila disuntikkan pada hewan yang berbeda spesiesnya atau bahkan pada hewan yang sama spesiesnya (Migliorini & Schwartz 1988 dalam Paryati 2006). Pada penyuntikan antigen KHV dilakukan penambahan adjuvan yang bertujuan untuk memperbesar atau meningkatkan respon imun. Tahap berikutnya yakni pemurnian IgY dengan menggunakan amonium sulfat jenuh dengan prinsip pengendapan protein yang berwarna putih pada tahap akhirnya. Hasil dari pemurnian ini diperoleh IgY sebanyak 3 ml dari jumlah awal serum yang digunakan sebanyak 6 ml. Hal ini terjadi karena dalam serum mengandung cairan yang terdiri dari berbagai macam protein dan molekul lainnya dan menurut Heytman (1995) apabila kemurnian suatu protein bertambah maka konsentrasinya akan berkurang. Menurut Harlow dan Lane (1988), ketika suatu larutan garam dengan konsentrasi tinggi dan mengandung banyak ion seperti ion amonium (NH4) + dan ion sulfat (SO 42-) ditambahkan kedalam larutan yang mengandung protein, maka larutan tersebut akan bersaing dengan protein untuk mengikat molekkul air. Air akan berpindah dan berikatan dengan garam, sehingga kelarutan protein akan berkurang, menyebabkan pengendapan protein. Protein yang mengendap mempunyai afinitas yang lebih baik terhadap molekul protein lain daripada dengan molekul air. Harlow dan Lane (1988) menyatakan bahwa faktor–faktor yang berpengaruh terhadap pengendapan protein, adalah jumlah dan posisi grup polar, berat molekul protein, pH larutan dan temperatur ketika pengendapan yang terjadi. Kebanyakan antibodi akan mengendap pada kondisi 50% jenuh. Kelemahan dari pengendapan dengan menggunakan amonium sulfat adalah protein yang diinginkan, misalnya antibodi, tidak didapatkan dalam keadaan
26
murni, terkontaminasi oleh protein-protein dengan berat molekul tinggi lainnya. Oleh karena itu, pengendapan dengan amonium sulfat tidak dapat digunakan sebagai metode tunggal, tetapi harus dikombinasikan dengan metode lain dan metode yang lebih maju dan efektif. Endapan yang diperoleh dari hasil sentrifus selanjutnya dilarutkan dengan PBS. Kemudian dilakukan proses dialisis (Gambar 6) menggunakan PBS pH 8,0 selama 18 sampai dengan 24 jam, yang bertujuan agar garam yang terdapat dalam protein dapat dihilangkan. IgY yang telah diperoleh ditempatkan dalam membran (kantung dialisis) selektif permeabel yang direndam dalam larutan bufer maka molekul-molekul garam akan keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar menjadi sama. Partikel dengan berat molekul besar akan tetap dalam kantung dialisis sebaliknya parikel yang berat molekulnya kecil akan berdifusi keluar dari kantung dialisis (Harlow & Lane 1988) .
Gambar 6 Proses dialisis
Karakterisasi IgY Spesifik KHV dengan SDS-PAGE SDS-PAGE dilakukan dengan tujuan untuk mengkarakterisasikan IgY spesifik KHV. Pita protein dari hasil elekroforesis SDS-PAGE (Gambar 7) menujukkan karakteristik dari polipeptida dari sampel yang digunakan, pita dapat menunjukkan polipeptida yang penting dan juga bisa menunjukkan molekul lain dalam sampel. Hasil pembacaan SDS-PAGE, pita protein menunjukkan berat molekul IgY diestimasikan mendekati 180 kDa yang terletak diantara marker umum dengan pita 225 kDa dan150 kDa, sehingga pada pita protein tersebut diduga sebagai IgY rantai utuh yang berat molekulnya 180 kDa, menurut
27
beberapa pendapat para ahli dan sesuai penelitian Zhang (2003) bahwa total berat molekul adalah 180 kDa. Pita protein 2 berat molekulnya diestimasikan 100 kDa . Kemungkinan dari pita protein ke 2 adalah adalah fragmen Fab2 IgY. Menurut Zhang (2003) menyebutkan bahwa total berat molekul IgY adalah 180 kDa yang disusun oleh dua rantai berat berukuran 68 kDa dan dua molekul rantai ringan berukuran 20 kDa. Pita protein ke 3 diestimasikan 35 kDa, kemungkinan adalah fragmen Fc dari IgY KHV. Penentuan dari berat molekul IgY spesifik Koi Herpes virus (KHV) tidak dapat dipastikan hal ini dikarenakan adanya kemungkinan pita rantai berat dan rantai ringan pada pita protein yang merupakan sub unit dari IgY yang belum dirakit dari serum (Anonim 2004). kDa
1
3
4
225
180 kDa
150 100
100 kDa
75 50 35
35 kDa
25
Gambar 7 Profil pita protein hasil SDS-PAGE serum hasil purifikasi. (1) Marker protein, (3) Marker Kontrol IgY 180 kDa (Promega), (4) IgY spesifik KHV
SDS-PAGE
memiliki
kelebihan
yaitu
mekanisme nya
dalam
mengklasifikasikan suatu protein berdasarkan berat molekulnya dari bahan yang digunakan. Mekanisme dari perjalanan penentuan berat molekul ini diawali dengan imunoglobulin yang telah diperoleh di masukkan ke dalam sumur gel yang terdapat paling atas, dimana gel tersebut adalah bufer gel pengumpul dengan pori yang lebih besar. Gel ini kemudian mengumpulkan protein (imunoglobulin yang diperoleh), selanjutnya imunoglobulin akan bermigrasi dari yang memiliki berat molekul paling tinggi akan berada pada lapisan paling atas dari gel pemisah
28
sampai yang memiliki berat molekul yang paling rendah berada pada lapisan paling bawah sekitar 0,5 cm dari dasar gel pemisah. Hal ini karena dari sifat gel pemisah memiliki ukuran yang lebih kecil dari gel pengumpul (Wilson & Walker 2000). Proses ini tidak lain karena dari sifat gel poliakrilamida yang memiliki kemampuan sebagai katalisator pada tahap awal polimerase dalam migrasi imunoglobulin. Hal ini sesuai dengan Wilson dan Walker (2000) bahwa gel poliakrilamida ini diperoleh dengan cara polimerisasi akrilamida dengan adanya sejumlah kecil ikatan silang dari methylene bis-acrilamide dan ammonium persulphate sebagai katalisator. Selain itu adanya TEMED yang berperan sebagai katalisator dalam awal polimerasi. Penelitian ini menggunakan buffer yang digunakan oleh Laemmli dalam SDS yaitu Tris-HCL pH 6,8 dan pH 8,8, menurut Hames Rickwood (1990) dalam Simorangkir (1993) buffer tersebut mempunyai kelebihan yakni menghasilkan pemisahan dan resolusi komponen sampel yang tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gel poliakrilamida yang digunakan semakin kecil ukuran molekul yang dipisahkan dan makin besar mobilitas molekul tersebut. Penelitian ini menggunakan gel poliakrilamida sebesar 12%, sehingga mobilitas protein yang diperoleh besar serta berat molekul yang tinggi dapat dipisahkan. Keberhasilan pemisahan suatu senyawa dipengaruhi pula oleh banyak hal antara lain buffer, suhu, waktu dan besarnya arus listrik yang digunakan (Hames & Rickwood 1990 dalam Simorangkir 1993). Suhu dapat mempengaruhi kekentalan media dan jari-jari ion, sehingga mobilitas juga akan berpengaruh. Waktu dan arus listrik yang optimum akan menghasilkan pola pemisahan molekul yang optimum tergantung dari jenis molekul yang akan dipisahkan dan buffer yang digunakan (Wilson & Walker 2000). Selama proses elektoforesis berlangsung, agar gel protein dipengaruhi oleh 2 gaya, yakni pertama gaya elektroforetik, yang disebabkan perbedaan potensial. Pada nilai pH normal (lebih besar dari pH 8) dalam proses elektroforesis media agar, kebanyakan protein bermuatan negatif dan gaya ini menyebabkan protein bergerak menuju ke anode. Gaya ke 2 yakni gaya elektroendosmik yang menyebabkan protein menuju ke katoda. Hal ini disebabkan oleh pengaruh media agar. Diasumsikan bahwa ion-ion bermuatan positif akan menetralkan muatan
29
negatif dari gel bebas bergerak dalam medan listrik, sementara ion negatif berikatan kovalen pada matriks gel yang tetap, akibatnya ion positif cenderung bermigrasi menuju katoda yang tidak dapat diimbangi oleh migrasi ion negatif ke anoda. Konsentrasi ionik pada katoda menjadi lebih besar dibandingkan pada anoda, sehingga air akan bergerak ke katoda untuk menyeimbangkan konsentrasi. Selam proses migrasi, protein mengalami proses osmotik, sehingga semua gel yang tersuspensi dalam gel, sebagian besar gama gobulin (IgY) dipengaruhi laju air, bergerak menuju katoda (Johnstone & Thorpe 1987 dalam Simorangkir 1993). Hasil elektroforesis di beri pewarnaan Commasie Briliant Blue selama 2 sampai 3 jam. Kemudian dicuci dengan menggunakan larutan pemucat dan asam asetat
sampai terbentuk gel berwarna bening. Pencucian dilakukan sampai
beberapa hari karena pita yang terbentuk masih terlihat tebal dan berwarna biru tua, hal ini dapat dikarenakan pada tahap awal perlakuan konsentrasi pewarna terlalu tinggi, namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi pengamatan. Pewarnaan dengan Commasie Briliant Blue digunakan karena mudah dikerjakan dan dapat mewarnai protein pada gel poliakrilamida (Wilson & Walker 2000). Pengamatan dengan menggunakan SDS-PAGE ini diperoleh ukuran dan berat molekul selain itu kemurnian dari imunoglobulin yang diuji.
Penghitungan Konsentrasi IgY Spesifik KHV dari Serum Penghitungan konsentrasi dilakukan dengan spektrofotometer ultra violet. Alat ini digunakan untuk mengukur panjang gelombang cahaya (foton) dan molekul. Energi cahaya diserap dan digunakan oleh elektron di dalam molekul tersebut untuk bertransisi ketingkat energi elektronik (E) yang lebih tinggi (Sentra Biosains Dinamika 2001). Menurut Sulandari dan Zein (2003) prinsip kerja dari spektrofotometer adalah iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan. Penyerapan sinar tersebut oleh nukleotida secara maksimal dicapai pada gelombang 260 nm sedangkan penyerapan maksimal oleh protein dicapai pada panjang gelombang 280 nm. Menurut Carlander (2002) konsentrasi IgY kuning telur memiliki faktor perkalian 1,23 terhadap konsentrasi IgY serum. Menurut Toivanen dan Toivanen (1987) dalam Simorangkir (1993) bahwa konsentrasi normal IgY dalam serum 5-7
30
mg/ml. Konsentrasi IgY serum ayam yang sedang mengeram adalah 2-3 mg/ml sedangkan pada kuning telurnya ditemukan 100-400 mg/ml (Kowalozyk et al. 1985 dalam Suartini 2005). Pada penghitungan konsentrasi IgY serum yang diperoleh dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet sebesar 7,82 mg/ml. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran bahwa konsentrasi IgY yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Triwijayanti (2001) dengan konsentrasi IgY serum sebesar 5,37 mg/ml dan sangat berbeda dibandingkan dengan Suartini (2005) dengan konsentrasi IgY serum sebesar 0,9 mg/ml dan Paryati (2006) sebesar 0,940 mg/ml dengan metode purifikasi menggunakan kromatografi filtrasi gel dengan kolom khusus IgY sehingga diperoleh konsentrasi IgY yang rendah. Menurut Heytman (1995) apabila kemurnian suatu protein bertambah maka konsentrasinya akan berkurang. Kemurnian suatu IgY tergantung dari kemajuan metode yang digunakan.
31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemurnian menggunakan amonium sulfat terhadap IgY diperoleh hasil IgY spesifik Koi Herpes Virus (KHV). Metode SDS-PAGE dapat digunakan untuk mengkarakterisasi IgY dengan mengetahui berat molekulnya. Hasil penelitian diperoleh berat molekul IgY spesifik Koi Herpes Virus (KHV) 180 kDa dan konsentrasi IgY spesifik KHV sebesar 7,89 mg/ml.
Saran Perlu dilakukan pemurnian IgY dengan menggunakan metode Fast Purification Liquid Chromatography (FPLC) sebagai teknik lanjutan dari pemurnian IgY menggunakan amonium sulfat da n perlu penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi dari IgY spesifik KHV terhadap ikan yang terinfeksi KHV.
32
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2004. Purification Kit. www.sterogen.com/cap.htm [2 Juni 2007].
Field Code Changed
[Anonim] 2007a. Koi Herpes Virus. http://www.g.kaiyodai.ac.jp [4 Mei 2007]
Field Code Changed
[Anonim] 2007b. SDS PAGE web.chemistry.gatech.edu/.../gel_elect/gel.jpg [4 Mei 2007] [Anonim] 2007c. Spektrofotometer. http://www.kimialipi.net. [4 Mei 2007] [Anonim]
2007d. Spectrophotometry. http://www.cofc.edu/~kinard/Applets/ Spectrophotometry.gif. [12 Juli 2007].
Field Code Changed
Carlander D. 2002. Avian IgY Antibody: In Vitro and In Vivo.[Disertations]. Acta Universitis Upsaliensis: Uppsula. Daili S.F, Makes W.I. 2002. Infeksi Virus Herpes. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kelompok Studi Herpes Virus. Jakarta. Davenport K. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). Ornamental Aquatic Trade Association. United Kingdom. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Petunjuk Pe ngendalian Penyakit Insang Membusuk. http://www.dkp.go.id/content.php?c=1631. Bogor, Indonesia [7 Mei 2007] Ford RC. 2004. Isolation of Proteins and Nucleic Acids. Course Notes. http://www.bi.umist.ac.uk/teaching/modules/. [7 Mei 2007] Gordon AH. 1983. Electrophoresis of Protein Polyacilamide and Strach Gels. Elvesier Science Publishers, Amsterdams. Harlow Ed, Lane D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. USA. Heytman M.J. 1995. Purifikasi Imunoglobulin. Didalam : Artama WT, penerjemah; Burgess WG, editor. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta : UGM Press. Fakultas Kedokteran Hewan. Kamelia. 2005. Amonium sulfat. http://www.ns.ui.ac.id [4 Mei 2007] Kresno SB. 1996. Imunologi. Diagnosa dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Field Code Changed
Field Code Changed
33
Larsson A, Ballow RM, Lindahl TL, Frosberg PO. 1993. Chicken Antibodies : Taking advantagesof Evolution A-review. Poultry Science 72:1807-1812. Mack S. 1995. Elektroforesis dan Kromatografi, serta Penggunaannya pada ELISA. Didalam : Artama WT, penerjemah; Burgess WG, editor. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta : UGM Press. Fakultas Kedokteran Hewan. hlm 229-241. Mayasari,R S. 2005. Perbandingan Metode P-A dan P-C untuk Ekstraksi dan Purifikasi IgY Kuning Telur. [Skripsi]. Bogor: FKH IPB. Mulyana A. 2006. Titer Dosis Infektif Koi Herpesvirus (KHV) Dengan Menggunakan Kultur Sel KT-2 (Koi Tail no 2). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bo gor. OATA. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). http:www.ornamental fish.org. [7 Mei 2007] Paryati SPY, Wibawan IWT, Soejoedono RM, Pasaribu FH. 2006. Imunoglobulin Ayam sebagai Antibodi Anti-Idiotype terhadap Rabies. Jurnal Veteriner. hlm 92-103. Rukyani A, Sunarto A. 2003. Makalah Seminar Penilaian Kualitas Ikan Koi : Mewaspadai Bahaya Penyakit Koi Herpesvirus(KHV). Jakarta. Sentra
Biosains Dinamika. 2001. Spektrofotometer Absorbsi http://sentrabd.com/spectrophotometer.htm. [2 Juni 2007].
UV/VIS. Field Code Changed
Shimizu M, Nagasima H, Sano K, Hashimoto K, Ozeki M, Tsuda K. 1992. Moleculer Stability of Chicken and Rabbit Imunoglobulin G. Biosci Biotechnol Biochem 56:270-274 Simorangkir M. 1993. Isolasi dan Identifikasi Imunoglobulin Gama (IgG) Serum Ayam Buras dan Ayam Ras dengan Metode Kromatografi Pertukaran Ion dan Imunokimia [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suartini IAG. 2005. Perbedaan Aktivitas Biologik IgY dan IgG Antitetanus Ditinjau dari Pengaruh pH, Suhu dan Enzym. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian Biologi. Lemaga Ilmu Pengetahuan Indinesia. Sun S, Mo W, ji Y, Liu S. 2001. Preparation and Mass Spectrometric Study IgY Againts Rabies Virus. Rapid Commun Mass Spectrom 15:708-712. http://www.gallusimmunotech.com/advantages/research.html. [7 Juni 2007]
Field Code Changed
34
Sunarto A, Rukyani A, Hami T. 2005. Indonesia Experience On The Outbreak Og KHV In Koi And Carp (Cyprinus carpio). Bulletin Of Fisheries Research Agency. Supplement No.2. Tizard.1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Masduki Partodiredjo, penerjemah. Airlangga University Press : Surabaya. Triwijayanti N. 2001. Preparasi Serum Kelinci Spesifik Terhadap IgY Ayam yang Dimurnikan dengan menggunakan ion Exchange Chromatografi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Yuasa K, Panigoro N, Bahnan M, Kholidin EB . 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air Tawar.Jambi : Balai Budidaya Air Tawar, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA. Warr GW, KE Magor, DA Higgins. 1995. IgY: Clues to the Origins of Modern Antibodies. Immunol Tod 16:392-398. Wibawan IWT, RD Soejoedono, CS Damayanti, TB Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Wilson K, Walker J. 2000. Principle and Techniques of Practical Biochemistry. Edisi ke-5. London: Cambridge University Press. Zhang, W. 2003. The Use of Gene-Spesific IgY Antibodies for Drug Target Discovery. DDT. Elsevier Science Ltd Vol.8 No.8.
35
36
Bahan Uji Agar Gel Presipitasi (AGPT) 1. 0,4 gram agarose 1.2.1,2 gram polietilenglikol (PEG) 6000 1.3.25 ml PBS (pH 7,4) 1.4.25 ml aquadest
Bahan SDS PAGE 1. Acrilamide /Bis (30 % T, 2,67% oC) Acrilamide 36,5 gram Bis 10 gram Aquades 12,5 ml 2. 1,5 M Tris- HCl pH 8,8 2.3.0,5 M Tris- HCl pH 6,8 2.4.10 % (w/v) SDS Untuk 500 µl = 0,05 gr + 500 µl akuades Dw 5. 10 % Amonium persulfate (w/v) Untuk 200 µl = 0,02 gr + 200µl akuades 6. sampel bufer 6.7.Running bufer Tris base 15 gr Glicine 72 gr SDS 5 gr (dilarutkan dalam akuades ) simpan 4 o C
Bahan Konsentrasi sampel bovine serum albumin: 1 % - 0,2 gr BSA + 20 ml PBS 0,9 % - 1,8 ml BSA 1% + 0,2 ml PBS 0,8 % - 1,6 ml BSA 1% + 0,4 ml PBS 0,7 % - 1,4 ml BSA 1% + 0,6 ml PBS 0,6 % - 1,2 ml BSA 1% + 0,8 ml PBS 0,5 % - 1,0 ml BSA 1% + 1 ml PBS 0,4 % - 0,8 ml BSA 1% + 1,2 ml PBS 0,3 % - 0,6 ml BSA 1% + 1,4 ml PBS 0,2 % - 0,4 ml BSA 1% + 1,6 ml PBS 0,1 % - 0,2 ml BSA 1% + 1,8 ml PBS 0,0 % - 2 ml
Formatted: Bullets and Numbering
Formatted: Bullets and Numbering
Formatted: Bullets and Numbering